peranan zat ekstraktif dalam pembentukan gaharu pada ... 2... · alaminya terjadi sangat lambat....

19
6 TINJAUAN PUSTAKA Gaharu Gaharu merupakan produk hasil hutan non kayu yang sangat berharga. Dalam SNI 01-5009.1-1999 (BSN 1999), gaharu didefinisikan sebagai sejenis kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon dalam berbagai bentuk dan warna yang khas dan memiliki kandungan damar wangi, sebagai akibat dari suatu proses infeksi yang terjadi secara alami maupun buatan pada beberapa jenis pohon penghasil gaharu. Di tingkat internasional, harga gubal gaharu kualitas double super yang ditandai warna kehitaman dapat mencapai Rp 25 juta per kilogram (GSA 2005). Produk ini dihasilkan terutama oleh pohon-pohon dari genus Aquilaria, Aetoxylon, Enkleia, Phaleria, Wilkstroemia, dan Gyrinops, family Thymeleacea. Genus Aquilaria dan Gyrinops sejak tahun 2004 telah masuk dalam Appendix II CITES karena sumber dayanya yang berkurang di alam (Blanchette 2006; CITES 2004; Sumarna 2005a; Suhartono dan Mardiastuti 2002; Barden et al. 2000). Departemen Kehutanan telah menetapkan kuota ekspor gaharu sebesar 130 ton/tahun dengan perincian 30 ton/tahun untuk gaharu dari bagian barat Indonesia (genus Aquilaria) dan 100 ton/tahun untuk gaharu dari Indonesia timur (genus Aquilaria dan Gyrinops ) (Direktorat Jenderal PHKA 2007), karena adanya kekhawatiran punahnya spesies penghasilnya di Indonesia. Gaharu ini sebenarnya merupakan endapan resin yang terakumulasi pada jaringan kayu sebagai reaksi pohon terhadap pelukaan atau infeksi patogen. Kayu gaharu yang dijuluki ‘kayu para dewa’ ini telah diperdagangkan sejak ratusan tahun lalu. Di Indonesia, perdagangan gaharu pertama kali tercatat sejak abad ke- 5 masehi, dimana China merupakan pembeli utama produk ini (Suhartono dan Mardiastuti 2002). Gaharu diperdagangkan dalam bentuk bagian kayu (cip, bongkahan, atau bentuk tak beraturan), serbuk, dan minyak hasil sulingan. Perdagangan produk dalam bentuk cair biasanya sangat jarang di Indonesia. Warna bagian kayu bervariasi dari coklat terang hingga coklat gelap mendekati hitam. Semakin gelap warna produk, semakin tinggi kandungan resin dan kualitasnya. Sedangkan

Upload: truongtuyen

Post on 10-Mar-2019

240 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Peranan Zat Ekstraktif Dalam Pembentukan Gaharu Pada ... 2... · alaminya terjadi sangat lambat. Ciri-ciri visual pada pohon seperti bentuk tajuk yang tidak sehat, daun merana dan

6

TINJAUAN PUSTAKA

Gaharu

Gaharu merupakan produk hasil hutan non kayu yang sangat berharga.

Dalam SNI 01-5009.1-1999 (BSN 1999), gaharu didefinisikan sebagai sejenis

kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon dalam berbagai bentuk dan

warna yang khas dan memiliki kandungan damar wangi, sebagai akibat dari suatu

proses infeksi yang terjadi secara alami maupun buatan pada beberapa jenis pohon

penghasil gaharu.

Di tingkat internasional, harga gubal gaharu kualitas double super yang

ditandai warna kehitaman dapat mencapai Rp 25 juta per kilogram (GSA 2005).

Produk ini dihasilkan terutama oleh pohon-pohon dari genus Aquilaria,

Aetoxylon, Enkleia, Phaleria, Wilkstroemia, dan Gyrinops, family Thymeleacea.

Genus Aquilaria dan Gyrinops sejak tahun 2004 telah masuk dalam Appendix II

CITES karena sumber dayanya yang berkurang di alam (Blanchette 2006; CITES

2004; Sumarna 2005a; Suhartono dan Mardiastuti 2002; Barden et al. 2000).

Departemen Kehutanan telah menetapkan kuota ekspor gaharu sebesar 130

ton/tahun dengan perincian 30 ton/tahun untuk gaharu dari bagian barat Indonesia

(genus Aquilaria) dan 100 ton/tahun untuk gaharu dari Indonesia timur (genus

Aquilaria dan Gyrinops) (Direktorat Jenderal PHKA 2007), karena adanya

kekhawatiran punahnya spesies penghasilnya di Indonesia.

Gaharu ini sebenarnya merupakan endapan resin yang terakumulasi pada

jaringan kayu sebagai reaksi pohon terhadap pelukaan atau infeksi patogen. Kayu

gaharu yang dijuluki ‘kayu para dewa’ ini telah diperdagangkan sejak ratusan

tahun lalu. Di Indonesia, perdagangan gaharu pertama kali tercatat sejak abad ke-

5 masehi, dimana China merupakan pembeli utama produk ini (Suhartono dan

Mardiastuti 2002).

Gaharu diperdagangkan dalam bentuk bagian kayu (cip, bongkahan, atau

bentuk tak beraturan), serbuk, dan minyak hasil sulingan. Perdagangan produk

dalam bentuk cair biasanya sangat jarang di Indonesia. Warna bagian kayu

bervariasi dari coklat terang hingga coklat gelap mendekati hitam. Semakin gelap

warna produk, semakin tinggi kandungan resin dan kualitasnya. Sedangkan

Page 2: Peranan Zat Ekstraktif Dalam Pembentukan Gaharu Pada ... 2... · alaminya terjadi sangat lambat. Ciri-ciri visual pada pohon seperti bentuk tajuk yang tidak sehat, daun merana dan

7

produk berbentuk serbuk biasanya berwarna coklat terang hingga coklat (BSN

1999; Suhartono dan Mardiastuti 2002).

Pemerintah Indonesia membedakan kualitas gaharu ke dalam tiga belas

kelas mutu yang dikelompokkan menjadi tiga sortimen (BSN 1999). Namun,

dalam pasar lokal dan mungkin juga dalam perdagangan internasional, produk ini

dibagi menjadi enam hingga delapan kelas kualitas tergantung daerahnya.

Klasifikasi dibuat berdasarkan kandungan resin, meskipun tidak terdapat standar

formal kandungan resin untuk setiap kelas (Suhartono dan Mardiatuti 2002).

Tabel 1 Klasifikasi kualitas gaharu

Tanda mutu Kelas kualitas Nama kualitas gaharu1. Sortimen gubal gaharu

UIII

Mutu UtamaMutu pertamaMutu kedua

Mutu superMutu AB

Sabah super2. Sortimen kemedangan

I

IIIIIVVVIVII

Mutu pertama

Mutu keduaMutu ketiga

Mutu keempatMutu kelimaMutu keenamMutu ketujuh

Tanggung A/tanggungkemedangan 1

Sabah 1Tanggung ABTanggung C

Kemedangan 1Kemedangan 2Kemedangan 3

3. Sortimen abu gaharuUIII

Mutu utamaMutu pertamaMutu kedua

Mutu utamaMutu pertamaMutu kedua

Sumber: BSN (1999)

Aquilaria spp.

Pohon-pohon penghasil gaharu termasuk dalam family Thymeleacea.

Family ini terdiri dari Gonystyloideae, Aquilariodeae, Thymelaeiodeae, dan

Gilgiodaphniodeae. Salah satu genus dalam famili Thymeleacea yang

menghasilkan gubal gaharu kualitas terbaik dengan permintaan pasar yang cukup

tinggi adalah Aquilaria . Aquilaria termasuk jenis cepat tumbuh yang dapat

memulai pertumbuhan generatifnya pada umur awal empat tahun (Anonim 2002).

Jenis-jenis ini tersebar di Asia Selatan dan Asia tenggara, dari kaki bukit

Page 3: Peranan Zat Ekstraktif Dalam Pembentukan Gaharu Pada ... 2... · alaminya terjadi sangat lambat. Ciri-ciri visual pada pohon seperti bentuk tajuk yang tidak sehat, daun merana dan

8

Pegunungan Himalaya hingga di hutan hujan di Papua New Gunea, dan dapat

tumbuh mulai dari ketinggian beberapa meter hingga 1.000 m dpl dengan

pertumbuhan terbaik di sekitar 500 m dpl. Aquilaria dapat tumbuh pada berbagai

tipe tanah, bahkan pada tanah marjinal.

Tabel 2 Jenis-jenis Aquilaria yang menghasilkan gaharu

Negara/daerah Jenis AquilariaAsia Selatan

Indonesia

Indochina--

Aquilaria agalochaAquilaria malaccensis, A. beccariana, A.cummingiana, A. filarial, A. hirta, A.microcarpaAquilaria crassnaAquilaria grandifloraAquiaria chinensis

Sumber: Anonim (2002); Wiriadinata dan Sidiyasa dalam Suhartono dan Mardiastuti (2002)

Sumarna (2005b) menyebutkan Indonesia memiliki kekayaan 27 species

penghasil gaharu dari 8 genus dan 3 famili, yang tersebar di di hutan dataran

rendah dan tinggi di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Irian. Habitat

tanaman ini biasanya tersebar di wilayah hutan primer dan sekunder 0 – 700 m

dpl, dengan curah hujan 1.500-6.500 mm/tahun, suhu 22 – 34 °C, Rh : 70 – 80 %.

Pohon Aquilaria merupakan pohon yang hijau selama hidupnya (evergreen),

tumbuh dengan tinggi tanaman mencapai 15 - 40 m dengan diameter 0,5 – 2,5 m

(Hayne 1987). Kayu yang sehat (kayu tanpa resin) berwarna putih cerah dan

lunak; sedangkan kayu yang mengandung resin berwarna gelap, keras dan berat.

Daunnya berbentuk elips atau lanceolate, berukuran lebar 3-3,5 cm dan panjang

6-8 cm, serta memiliki 12-16 pasang tulang daun. Bunganya hermaproditik

dengan warna kuning kehijauan atau putih, panjang mencapai 5 cm. Buah dari

pohon ini berwarna hijau berbentuk kapsul telur dengan panjang 4 cm dan lebar

2,5 cm; exocarp dan berambut halus; terdapat dua benih per buah (Adelina 2004).

Page 4: Peranan Zat Ekstraktif Dalam Pembentukan Gaharu Pada ... 2... · alaminya terjadi sangat lambat. Ciri-ciri visual pada pohon seperti bentuk tajuk yang tidak sehat, daun merana dan

9

Aquilaria crassna

Aquilaria crassna memiliki klasifikasi dan nama ilmiah sebagai berikut

(The IUCN Red List of Treatened Species 2007):

Divisio : Spermatophyta

Sub divisio : Angiospermae

Class : Dicotyledoneae

Ordo : Myrtales

Famili : Thymeleacea

Genus : Aquilaria

Species : Aquilaria crassna Pierre ex Lecomte

Penghasil gaharu ini dapat mencapai tinggi 15 – 20 m dan diameter 40 – 50

cm, dengan tajuk yang kecil dan batang yang lurus. Jenis ini dapat ditemukan di

berbagai tipe hutan, hutan primer ataupun hutan sekunder, pada daerah dengan

ketinggian 300 – 800 m dpl dan curah hujan 1.200 – 2.000 mm/ tahun. Tumbuhan

ini tumbuh pada berbagai tipe tanah, tapi cenderung lebih baik pada tanah berbatu

dengan lapisan tanah ferralitic yang dangkal (Loc dan Luu 2007; Jensen 2007).

A. crassna mulai berbunga pada usia 6-8 tahun, antara bulan Maret dan

April, dan berbuah antara bulan Mei – Juli. Jenis ini mengalami penyerbukan

dengan bantuan serangga. Dengan sekitar 4.500 benih per kg dan tingkat

perkecambahan mencapai 80-90%, maka seharusnya tidak terdapat masalah dalam

pembudidayaan jenis ini. Pohon penghasil gaharu ini merupakan jenis yang

membutuhkan naungan pada saat awal pertumbuhan tapi memerlukan cahaya

matahari untuk pertumbuhan selanjutnya (Loc dan Luu 2007; Jensen 2007).

Aquilaria microcarpa

Aquilaria microcarpa merupakan tanaman dalam family Thymelaeaceae

yang ditemukan di Indonesia dan Singapura. Seperti halnya spesies dalam genus

Aquilaria yang lain, pemanfaatan dan perdagangan produk dari jenis ini dibatasi

karena termasuk dalam status konservasi vulnerable dan tercantum dalam

Appendix II CITES. Jenis penghasil gaharu ini tersebar di Semenanjung

Malaysia, Sumatra (Sijunjung, Palembang, dan Lampung), Bangka, Belitung, dan

hampir di seluruh pulau Kalimantan. A. microcarpa tumbuh pada hutan dataran

rendah hingga daerah dengan ketinggian 200 m dpl (CITES 2004).

Page 5: Peranan Zat Ekstraktif Dalam Pembentukan Gaharu Pada ... 2... · alaminya terjadi sangat lambat. Ciri-ciri visual pada pohon seperti bentuk tajuk yang tidak sehat, daun merana dan

10

Klasifikasi dan nama ilmiah A. microcarpa adalah sebagai berikut (GRIN

2008):

Divisio : Spermatophyta

Sub divisio : Angiospermae

Class : Magnoliopsida

Ordo : Thymelaeales

Famili : Thymeleacea

Genus : Aquilaria

Species : Aquilaria microcarpa Baill

Kandungan Kimiawi Gaharu

Gubal gaharu sebenarnya adalah resin yang tidak dieksudasikan, melainkan

terdeposit dalam jaringan kayu pada pohon. Deposit resin ini mengakibatkan kayu

yang seratnya lepas dan berwarna putih berubah menjadi kompak padat berwarna

hitam serta wangi. Resin ini termasuk golongan sesquiterpena yang mudah

menguap (Ishihara et al. 1991).

Sebagian besar komponen dalam gaharu teridentifikasi sebagai golongan

sesquiterpenoid. Salah satu komponen wangi utama dari gaharu yang pertama

diidentifikasi oleh Bhattacharyya dan Jain adalah agarol yang merupakan

senyawa monohidroksi (Prema dan Bhattacharyya 1962).

Penelitian Nakanishi berhasil mengkarakterisasi jinkohol (2β-hydroxy-(+)-

prezizane) dari gaharu asal Indonesia melalui ekstraksi benzene. Tim ini juga

menemukan dua sesquiterpena baru dari Aquilaria malaccensis asal Indonesia,

yaitu jinkoh eremol dan jinkohol II yang disebut sebagai tipe B untuk

membedakannya dengan tipe A dari A. agallocha, serta mengisolasi alpha-

agarofuran dan (-)-10-epi-gamma-eudesmol, oxo-agarospirol sebagai konstituen

utama pada gaharu tipe B (Burfield 2005a).

Dalam Burfield (2005a) disebutkan bahwa Yoneda telah berhasil

mengidentifikasi sesquiterpena utama yang terdapat pada gaharu tipe A (pada A.

agallocha) dan tipe B (pada A. malaccensis). Tipe A ditemukan mengandung β-

agarofuran 0,6%, nor-ketoagarofuran 0,6%, agarospirol 4,7%, jinkoh-eremol

4,0%, kusunol 2,9%, dihydrokaranone 2,4%, dan oxo-agarospirol 5,8%.

Page 6: Peranan Zat Ekstraktif Dalam Pembentukan Gaharu Pada ... 2... · alaminya terjadi sangat lambat. Ciri-ciri visual pada pohon seperti bentuk tajuk yang tidak sehat, daun merana dan

11

Sedangkan pada tipe B, teridentifikasi senyawa-senyawa α-agarofuran(-)-10-epi-

γ-eudesmol 6,2%, agarospirol 7,2%, jinkohol 5,2%, jinko-eremol 3,7%, kusunol

3,4%, jinkohol II 5,6%, dan oxo-agarospirol 3,1%.

Gambar 1 Beberapa struktur kimia komponen gaharu.

Yagura et al (2003) menemukan turunan kromone baru, yaitu 5-hydroxy-6-

methoxy-2-(2-phenylethyl) chromone, 6-hydroxy-2-(2-hydroxy-2-phenylethyl)

chromone, 8-chloro-2-(2-phenylethyl)-5,6,7–trihydroxy-5,6,7,8- tetrahydro

chromone, dan 6,7-dihydroxy-2-(2-phenylethyl)-5,6,7,8-tetrahydrochromone yang

diisolasi dari ekstrak MeOH kayu buangan Aquilaria sinensis, disamping tujuh

komponen gaharu lainnya yang telah dikenal.

Budidaya dan Pembentukan Gaharu

Sampai saat ini, gaharu masih dihasilkan dari populasi di hutan alam.

Permintaan gaharu yang semakin tinggi telah menyebabkan eksploitasi yang

berlebihan dan akhirnya memicu langkanya sumber daya penghasil gaharu di

alam. Tercantumnya dua genus utama penghasil gaharu dalam Appendix II

CITES (CITES 2004) menyebabkan ditetapkannya kuota bagi ekspor produk ini.

Kuota ditetapkan Departemen Kehutanan pada tahun 2007 sebesar 130 ton/tahun

(Direktorat Jenderal PHKA 2007).

Penelitian Suhartono dan Newton (2001) menyebutkan terdapat dua teknik

pemungutan gaharu di alam, yaitu tebang langsung dan mengerik/mengikis bagian

batang yang terinfeksi tanpa menebang. Observasi yang dilakukan menunjukkan

frekuensi Aquilaria spp. yang ditebang di Kalimantan Timur lebih tinggi

dibandingkan di Kalimantan Barat dan Sumatra timur (Riau), dimana di

Kalimantan timur empat pohon ditebang per hari.

Page 7: Peranan Zat Ekstraktif Dalam Pembentukan Gaharu Pada ... 2... · alaminya terjadi sangat lambat. Ciri-ciri visual pada pohon seperti bentuk tajuk yang tidak sehat, daun merana dan

12

Pemburu-pemburu gaharu menentukan suatu pohon mengandung akumulasi

resin hanya berdasarkan pengalaman. Seringkali pohon yang telah ditebang

ditinggalkan terbengkalai begitu saja karena ternyata sama sekali tidak

mengandung apa yang dicari. Sampai saat ini tidak ada suatu ciri morfologi

tertentu yang dengan sangat pasti menunjukan suatu pohon mengandung gaharu

dalam kuantitas dan kualitas tertentu.

Beberapa penelitian budidaya dan produksi gaharu buatan telah dimulai

sejak lama. Pemerintahan Indonesia melalui Departemen Kehutanan telah

mewajibkan setiap eksportir gaharu membudidayakan pohon gaharu di lahan

seluas minimal dua hektar. Di Indonesia tercatat terdapat 28 perusahaan di bidang

gaharu ini (GSA 2005).

Budidaya tanaman penghasil gaharu telah banyak dilakukan, baik oleh

perorangan, perusahaan swasta maupun lembaga penelitian dan pengembangan.

Propagasi tanaman penghasil gaharu dapat dilakukan secara generatif (benih)

maupun vegetatif (anakan alam, stump atau cabutan, stek pucuk), dan dapat juga

dikembangkan dalam kultur vegetatif (Sumarna 2005b). Budidaya ideal adalah

pada kawasan dengan intensitas cahaya masuk sekitar 60 %, seperti pada hutan

campuran, bekas tebangan, HTI daur panjang, Hutan Rakyat, atau dalam pola

diversifikasi dengan kebun karet rakyat, kelapa sawit, dan lain-lain.

Konservasi ex-situ sumber genetik A. malaccensis dan A. microcarpa telah

dilakukan pada tiga lokasi masing-masing di Pekanbaru (50 m dpl), Bogor (200 m

dpl) dan Tondano (600 m dpl) dengan menanam 1.000 bibit yang berasal dari

klon-klon teridentifikasi hasil mikropropagasi. Hasil percobaan seleksi 80 pohon

dengan menggunakan inokulum tunggal F menunjukkan bahwa 33% pohon A.

malaccensis (8 dari 24 pohon) dan 24% pohon A. microcarpa (13 dari 54 pohon)

berpotensi menghasilkan gaharu (Umboh 2006).

Menurut Sumarna (2005a), gaharu potensial yang ditanam sudah dapat

diinokulasi mikroba untuk pembentukan gubal pada umur lima tahun atau pada

saat telah terbentuk organ reproduktif (berbunga dan berbuah). Suatu penelitian

lembaga nonprofit, The Rainforest Project Foundation, mempelajari pembentukan

resin pada Aquilaria dan Gyrinops serta menemukan metode untuk menghasilkan

resin pada tanaman gaharu budidaya. Teknik yang dilakukan adalah dengan

Page 8: Peranan Zat Ekstraktif Dalam Pembentukan Gaharu Pada ... 2... · alaminya terjadi sangat lambat. Ciri-ciri visual pada pohon seperti bentuk tajuk yang tidak sehat, daun merana dan

13

melukai pohon dengan cara-cara tertentu dan memberi perlakuan untuk memicu

respon pertahanan alami pohon. Penggunaan teknik ini akan mendukung

dihasilkannya resin secara berkelanjutan dari pohon budidaya (Blanchette 2006).

Baik pada habitat alaminya di hutan tropis maupun di hutan tanaman/

budidaya, tidak semua pohon mengandung gaharu dan mekanisme pembentukan

alaminya terjadi sangat lambat. Ciri-ciri visual pada pohon seperti bentuk tajuk

yang tidak sehat, daun merana dan menguning, batang dan kulit mengering atau

patah, tidak menjamin kandungan yang dimiliki pohon tersebut secara pasti. Di

habitat alami, diperkirakan hanya satu dari sepuluh pohon dewasa dengan

diameter di atas 20 cm yang menghasilkan gaharu (Giano diacu dalam Barden et

al. 2000). Disebutkan juga bahwa pohon dengan dbh di atas 20 cm yang

mengandung gaharu diperkirakan menghasilkan sekitar 1 kg gaharu per pohon.

Sadgopal (Barden et al. 2000), memperkirakan hasil gaharu yang terbaik

diperoleh pada pohon berumur 50 tahun atau lebih. Penelitian terbaru yang

dilakukan oleh The Rain Forest Project (TRP) di Vietnam menunjukkan

pembentukan gaharu dapat terjadi pada pohon budidaya berumur 3 tahun, yang

telah dikonfirmasi berdasarkan analisis kimia (Barden et al. 2000).

Mekanisme pembentukan gaharu masih menjadi pertanyaan yang belum

terjawab tuntas. Interaksi ekologis antara pohon inang, pelukaan dan/atau jamur

dalam pembentukan gaharu masih belum dipahami. Faktor-faktor lain seperti

umur pohon, perbedaan antar pohon, pengaruh musim, variasi lingkungan, dan

variasi genetik juga berperan penting dalam pembentukan gaharu. Tiga hipotesis

disebutkan sebagai penyebab terbentuknya gaharu, yaitu hasil dari patologis,

pelukaan yang diikuti patologis, dan proses nonpatologis. Namun begitu,

penelitian yang dilakukan masih belum memberi cukup bukti untuk mendukung

hipotesis tersebut (Ng et al diacu dalam Barden et al . 2000).

Patogenesis pada tumbuhan adalah pertarungan antara inang dengan

patogen yang kompatibel, yang menurut Agrios (1997) keberhasilan proses

infeksi oleh suatu patogen sehingga dapat menginduksi gaharu di pengaruhi oleh:

1. Inang yang rentan, yaitu jenis pohon gaharu.

2. Patogen yang virulen, artinya organisme patogen yang potensial

menyebabkan penyakit pada pohon inang gaharu.

Page 9: Peranan Zat Ekstraktif Dalam Pembentukan Gaharu Pada ... 2... · alaminya terjadi sangat lambat. Ciri-ciri visual pada pohon seperti bentuk tajuk yang tidak sehat, daun merana dan

14

3. Lingkungan yang mendukung.

4. Peranan manusia memodifikasi lingkungan, patogen dan pohon inang.

Beberapa ahli lain berpendapat pelukaan dan perlakuan mekanis pada pohon

merupakan pemicu terbentuknya gaharu, yang kemudian diikuti aktivitas mikroba

(Van Beek diacu dalam Barden et al. 2000; Pojanagaroon dan Kaewrak 2006),

sementara yang lain berpendapat asosiasi mikroorganisme yang menstimulasi

pohon merespon dengan senyawa pertahanan (Prema dan Bhattacharyya 1962;

Burfield 2005a; Sumarna 2005b).

Tabel 3 Cendawan yang berasosiasi dengan pohon gaharu

Peneliti yang mengisolasi Jenis cendawanBose (1939)Battcaharrya (1952)Guangdong Institut of Botany(1976)Jalaluddin (1977)

Subansenee et al. (1985)

Parman et al. (1996); Santoso(1996); Rahayu et al. (1998)

Hawksworth et al. (1976);Gibson (1977)Tamuli et al. (1999)Tamuli et al. (2000)

Cendawan imperfektiEpicoccum granulatumMelanotus flavolinus

Cytosphaera mangiferae, Penicillium,Aspergillus, FusariumCercosporella, Chaetomium, Cladosporium,Curvularua, Diplodia, Pestalotia, popularia,Phialogeniculata, Pithomyces, Rhizopus,Spiculostillella, TrichodermaDiplodia sp., Phytium sp., Fusarium solani, F.lateritium, F. bulbigenum, Popularia sp.,Rhinocladiella sp., Rhizoctonia sp.,Acremonium, Libertella, Scytalidium,Thielaviopsis, TrichodermaPhilophora parasitica

Fusarium sp., Penicillium sp., Epicoccum sp.Fusarium oxysporum, Chaetum globosum

Disarikan dari Isnaini (2004) dan Burfield (2005b)

Pojanagaroon dan Kaewrak (2006) menstimulasi pembentukan gaharu pada

A. crassna dengan perlakuan berbagai metode mekanis, dan menunjukan semakin

lama waktu proses akan menyebabkan warna pada daerah infeksi menjadi

semakin gelap. Semakin besar objek yang digunakan untuk melukai pohon,

semakin luas daerah yang mengalami perubahan warna. Pembentukan perubahan

warna di daerah pelukaan terjadi tiga kali lebih cepat di musim hujan

dibandingkan di musim kering.

Page 10: Peranan Zat Ekstraktif Dalam Pembentukan Gaharu Pada ... 2... · alaminya terjadi sangat lambat. Ciri-ciri visual pada pohon seperti bentuk tajuk yang tidak sehat, daun merana dan

15

Zat Ekstraktif Kayu

Metabolit sekunder dalam pohon meliputi berbagai senyawa, seperti

flavanoid, terpena, fenol, alkaloid, sterol, lilin, lemak, tanin, gula, gum, suberin,

asam resin, dan karotenoid. Komponen ini bukan merupakan bagian struktural

kayu seperti polisakarida atau lignin. Kandungan metabolit sekunder sangat

bervariasi antar jaringan, antar pohon dalam spesies yang sama, antar spesies, dan

antar musim ke musim. Jenis-jenis tropis dan sub-tropis umumnya mengandung

jumlah ekstraktif yang lebih banyak dibanding jenis-jenis di daerah temperet.

Konsentrasi metabolit ini bervariasi antar spesies, antar jaringan (konsentrasi

tertinggi berada di kulit, kayu teras, akar, pangkal percabangan, dan jaringan

luka), antar pohon dalam spesies yang sama, dan antar musim (Forestry

Commission GIFNFC 2007).

Produksi dan akumulasi berbagai senyawa organik merupakan mekanisme

utama pertahanan tanaman terhadap herbivora, serangan mikroba penyakit, dan

hama. Senyawa-senyawa tersebut merupakan hasil metabolisme sekunder

tanaman. Di samping berperan sebagai senyawa pertahanan tanaman, metabolit

sekunder atau zat ekstraktif ini juga merupakan sinyal kimiawi untuk menarik

binatang dalam membantu penyerbukan dan penyebaran benih. Misalnya,

antosianin dan monoterpena jika berada di daun berperan sebagai insektisida dan

antimikrobial, namun pada bunga berperan sebagai atraktan serangga untuk

membantu penyerbukan (Forestry Commission GIFNFC 2007).

Metabolit sekunder pada kayu dapat disebut sebagai zat ekstraktif. Zat

ekstraktif didefinisikan sebagai senyawa-senyawa yang dapat diekstrak dari kayu

atau kulit kayu dengan pelarut polar dan non polar (Hills 1987). Zat ekstraktif

yang terdiri dari bermacam-macam bahan ini memiliki fungsi yang penting dalam

daya tahan terhadap serangan jamur dan serangga, memberi bau, rasa dan warna

pada kayu.

Zat ekstraktif berpengaruh dalam ketahanan alami pada kayu (Findlay

1978). Beberapa kayu dari hutan tropis mengandung zat ekstraktif yang bersifat

racun, seperti alkaloid yang dapat menyebabkan iritasi dan gatal-gatal bagi orang

yang menyentuhnya. Zat ekstraktif pada kayu teras dapat menjadi pertahanan

pohon terhadap agen perusak meskipun pengaruhnya sangat bervariasi pada

Page 11: Peranan Zat Ekstraktif Dalam Pembentukan Gaharu Pada ... 2... · alaminya terjadi sangat lambat. Ciri-ciri visual pada pohon seperti bentuk tajuk yang tidak sehat, daun merana dan

16

berbagai habitat (Hills 1987). Rowell (1984) menyatakan bahwa diantara fungsi

zat ekstraktif adalah sebagai bagian dari mekanisme sistem pertahanan pohon

terhadap serangan mikroorganisme.

Metabolit sekunder tanaman efektif dalam melawan hama dan agen

penyakit karena analog dengan komponen vital tertentu dari sistem sinyal seluler,

atau dapat terlibat dengan enzim vital dan memblokir jalur metabolisme.

Metabolit sekunder tanaman telah dimanfaatkan manusia sejak ribuan tahun lalu,

misalnya saja untuk penyamak (indigo, sikonin), pemberi rasa (vanilin,

kapsaicin), pewangi (minyak esensial), stimulan (kafein, nikotin), halusinogen

(morfin, tetrahidrokanabinol), racun (strikniin), dan obat-obatan (kuinin, atropin)

(Forestry Commission GIFNFC 2007).

Achmadi (1989) menggelompokkan zat ekstraktif menjadi dua yaitu fraksi

lipofilik dan fraksi hidrofilik. Fraksi lipofilik adalah lemak, lilin, terpena,

terpenoid dan alkohol alifatik tinggi, sedangkan yang termasuk fraksi hidrofilik

adalah senyawa fenolik (tanin, lignan dan stilbena), karbohidrat terlarut, protein,

vitamin, dan garam anorganik.

Sjostrom (1995) menyatakan bahwa secara kimiawi ekstraktif kayu dapat

digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu komponen alifatik, terpena dan terpenoid,

serta senyawa fenolik. Komponen-komponen alifatik merupakan kelompok

lemak dan lilin. Termasuk dalam kelompok ini adalah berbagai macam senyawa

alifatik yang terdapat dalam resin seperti n-alkana, alkohol lemak, asam lemak,

lemak (ester gliserol), lilin (ester dari alkohol), dan suberin. Kelompok alkana

bersifat lipofilik dan mantap. Asam lemak umumnya terdapat sebagai ester dan

merupakan komponen utama resin parenkim di dalam kayu daun jarum maupun

daun lebar. Ester dan alkohol lain biasanya berupa alkohol alifatik atau terpenoid

alami, yang dikenal sebagai lilin.

Terpena dalam kelompok kedua merupakan hasil kondensasi dari dua atau

beberapa unit isoprena (C5H8) yang menghasilkan dimer dan oligomer yang lebih

tinggi. Rumus umum terpena adalah (C5H8)n. Menurut jumlah unit isoprena (n),

terpena dikelompokkan lagi menjadi monoterpena (n=2), seskuiterpena (n=3),

diterpena (n=4), triterpena (n=6), tetraterpena (n=8) dan politerpena (n>8).

Terpena adalah hidrokarbon murni, sedangkan terpenoid mengandung gugus

Page 12: Peranan Zat Ekstraktif Dalam Pembentukan Gaharu Pada ... 2... · alaminya terjadi sangat lambat. Ciri-ciri visual pada pohon seperti bentuk tajuk yang tidak sehat, daun merana dan

17

fungsi seperti hidroksil, karbonil, karboksil atau ester. Contoh dari terpenoid

adalah poliprenol. Ekstraktif kayu daun jarum mengandung semua jenis terpena,

dari monoterpena sampai tri dan tetraterpena, kecuali seskuiterpena yang

tergolong sangat langka. Sesquiterpenoid merupakan kandungan senyawa yang

teridentifikasi pada gaharu. Terpena yang paling penting adalah α-pinena dan

limonena yang terdapat pada semua kayu daun jarum. Beberapa monoterpena

merupakan unsur pokok oleoresin dari beberapa kayu tropika.

Fenolik dan Senyawa Pertahanan Tanaman

Kelompok ketiga dalam penggolongan ekstraktif kayu oleh Sjostrom (1995)

adalah senyawa fenolik. Golongan ini sangat heterogen, penggolongannya dapat

dibuat menjadi lima kelas, yaitu:

1. Stilbena (turunan-turunan dari 1,2-difeniletilena), yang mempunyai ikatan

ganda terkonjugasi sehingga komponen-komponennya bersifat sangat

reaktif, contohnya adalah pinosilvin.

2. Lignan, yaitu pengabungan oksidatif dua unit fenilpropana (C6C3),

contohnya konidendrin, pinoresinol, hidroksimatai-resinol, dan asam

plikatat.

3. Tanin terhidrolisis: produk hidrolisisnya adalah asam galat dan elagat serta

gula, biasanya glukosa merupakan produk utama

4. Flavanoid, memiliki kerangka karbon trisiklik C6C3C6, misalnya saja

krisin dan taksifolin (dihidrokuersetin).

5. Tanin terkondensasi, merupakan polimer-polimer flavanoid, contohnya

adalah katekin.

Forestry Commission GIFNFC (2007) menyebutkan bahwa fenolik adalah

senyawa organik yang dicirikan oleh keberadaan grup hidroksil (-OH) yang

terikat pada cincin benzena atau struktur cincin aromatik komplek lainnya.

Marinova et al. (2005) menyebutkan fenolik sebagai senyawa metabolit sekunder

yang jumlahnya melimpah dalam tanaman. Fenolik mencakup kelompok dengan

kandungan bioaktif yang sangat besar (lebih dari 8.000 senyawa), mulai dari

molekul fenol sederhana hingga struktur polimerik dengan berat molekul di atas

30.000. Berdasarkan jumlah subunit fenol, fenolik diklasifikasikan ke dalam dua

Page 13: Peranan Zat Ekstraktif Dalam Pembentukan Gaharu Pada ... 2... · alaminya terjadi sangat lambat. Ciri-ciri visual pada pohon seperti bentuk tajuk yang tidak sehat, daun merana dan

18

kelompok dasar, fenol sederhana dan polifenol. Fenol sederhana meliputi

kelompok asam fenolat atau fenol dengan grup karboksil. Sedangkan polifenol

mengandung sedikitnya dua cincin fenol.

Sejumlah senyawa aktif telah didefinisikan sebagai senyawa anti jamur.

Eusiderin, sejenis neo lignan dari kayu ulin (Eusideroxylon zwageri) (Syafii et al.

1985) dan angolensin yang diekstrak dari kayu Pterocarpus indicus bersifat racun

terhadap jamur Coriolus versicolor dan Tyromyces polutris (Pilotti et al. 1995).

Ohashi et al. (1994) melaporkan bahwa 3 jenis komponen bioaktif yaitu 8-

asetoksielemol, 8-hidroksielemol dan hinociic acid yang diisolasi dari daun kayu

Juniperus chineensis var pyramidalis terbukti dapat menghambat pertumbuhan

beberapa jenis jamur, dan dari kayu Cunninghamia lanceolata berhasil

diidentifikasi senyawa cedrol yang bersifat anti jamur (Shieh dan Sumimoto

1992). Forestry Commission GIFNFC (2007) menyatakan bahwa lignan yang

merupakan produk penggabungan oksidatif dari polifenol dengan ikatan β-βpada

sisi rantai, menunjukkan aktivitas biologis sebagai penghalang pertumbuhan

jamur, racun ikan, dan antifeedan serangga.

Meskipun fenolik terkondensasi terdapat dalam jumlah sedikit di dalam

kayu teras, kulit dan xilem, namun fenolik ini mempunyai fungsi sebagai

fungisida dan secara efektif melindungi kayu dari serangan organisme perusak

kayu. Fenolik seperti tanin terkondensasi dengan berat molekul tinggi atau

substansi-terikat dinding sel, secara in vitro menunjukan sifat anti jamur terhadap

beberapa penyakit tertentu (Sjostrom 1995). Namun, ekstrak kasar metanol pohon

norway spruce (yang diharapkan mengandung setidaknya stilbena, flavanoid, dan

konjugasi fenol sederhana) memperlihatkan sedikit sekali sifat anti jamur dalam

percobaan in vitro. Kemungkinan situasi in vitro berbeda, karena pada kondisi in

vivo terdapat enzim aktif maupun faktor lain (Schmidt et al. 2007).

Mekanisme resistensi pada tanaman dikategorikan oleh Dickinson (2003)

menjadi dua, yaitu pasif (konstitusif) dan aktif (induced). Mekanisme pasif

melibatkan elemen struktural seperti kulit ari atau sel pembatas di akar, serta pre-

formed senyawa kimia antimikrobial yang disebut fitoantisipin. Tanaman

memiliki berbagai mekanisme pertahanan aktif atau inducible, yang meliputi

respon hipersensitif (kematian sel tanaman secara lokal), dan induksi ekspresi gen

Page 14: Peranan Zat Ekstraktif Dalam Pembentukan Gaharu Pada ... 2... · alaminya terjadi sangat lambat. Ciri-ciri visual pada pohon seperti bentuk tajuk yang tidak sehat, daun merana dan

19

tertentu. Ekspresi gen ini misalnya perbaikan atau penguatan struktur pertahanan

dinding sel, biosintesis atau penambahan senyawa antimikrobial (fitoaleksin),

enzim, atau protein terkait-pertahanan.

Gaharu merupakan senyawa fitoaleksin dari pohon gaharu sebagai

mekanisme pertahanannya terhadap infeksi patogen. Kayu beresin ini merupakan

metabolit sekunder yang dibentuk tanaman sebagai respon terhadap infeksi

patogen. Pohon gaharu sehat tidak pernah memproduksi sesquiterpenoid sebagai

metabolit sekunder yang beraroma harum dari pohon tersebut (Yuan diacu dalam

Isnaini 2004). Tanaman dapat mensintesis dan mengakumulasi metabolit

sekunder sebagai respon terhadap infeksi oleh agen tertentu, rangsangan fisiologi,

maupun keadaan cekaman (Goodman et al. diacu dalam Isnaini 2004).

Fungsi metabolit sekunder dalam sistem pertahanan tanaman, baik

Fitoantisipin maupun fitoaleksin, memainkan peranan penting (Verpoorte et al.

2000). Fitoantisipin adalah senyawa aktif antimikrobial yang telah terdapat pada

tanaman dan kadangkala terpicu pengaktifannya saat pelukaan. Sedangkan

Fitoaleksin adalah senyawa aktif antimikrobial yang diproduksi secara de novo

setelah pelukaan atau infeksi. Biosintesis keduanya terpicu pada level gen.

(Verpoorte et al. 2000; Vidhyasekaran 2000).

Senyawa fenol dan sesequiterpena termasuk dalam kelompok metabolit

sekunder dalam tanaman. Senyawa fenol telah diketahui bersifat racun dan

merupakan substansi antibakterial (Vidyasekaran 2000). Daya racun fenol

beragam pada jenis fenol yang berbeda dan daya racunnya terhadap germinasi

spora, pertumbuhan miselia, dan produksi enzim juga bervariasi. Penelitian yang

dilakukan Le Tourneau et al. menunjukkan daya racun fenol tergantung pada

strukturnya (Vidhyasekaran 2000).

Pada banyak kasus, kandungan total fenol telah diamati berpengaruh

terhadap resistensi tanaman terhadap penyakit. Peningkatan total fenol pada sel

yang terinfeksi mengindikasikan bahwa sintesis fenol terjadi selama infeksi

ataupun akan ditransportasikan dari jaringan disekitarnya. Keberadaan inhibitor

fenol sebelum infeksi (atau disebut sebagai preformed phenolic) dilaporkan hanya

dalam sedikit kasus, misalnya saja penelitian Walter dan Stahman yang

menunjukan kelimpahan asam protocathechuic dan cathecol pada lapisan terluar

Page 15: Peranan Zat Ekstraktif Dalam Pembentukan Gaharu Pada ... 2... · alaminya terjadi sangat lambat. Ciri-ciri visual pada pohon seperti bentuk tajuk yang tidak sehat, daun merana dan

20

varietas bawang yang resisten, atau konsentrasi catechin yang tinggi pada anakan

kapas yang resisten terhadap Rhizoctonia solani. Namun, pada berbagai interaksi

dengan penyakit, bukan preformed fenolik tetapi fenol yang disintesis setelah

infeksi yang seringnya berkaitan dengan resistensi penyakit. Dan meskipun

senyawa fenol telah diketahui merupakan substansi beracun dalam tanaman,

namun dalam beberapa kasus senyawa ini mungkin saja tidak terlibat dalam

resistensi penyakit, contohnya tidak adanya perbedaan signifikan antara

kandungan fenol yang diamati pada tanaman gandum sehat dan yang diinokulasi

patogen (Vidhyasekaran 2000).

Metabolit sekunder tanaman yang diturunkan dari terpenoid memiliki

berbagai fungsi dalam tanaman, diantaranya sebagai minyak esensial

(monoterpenoid); atraktan serangga; fitoaleksin (sesqui-, di-, dan triterpena)

sebagai agen antimikrobial. Berdasarkan berbagai fungsi tersebut, ekspresi dari

jalur biosintesis yang terlibat akan berbeda. Terdapat jalur biosintesis yang

terpicu pada level gen setelah pelukaan atau infeksi, dan ada yang terjadi pada

level senyawa dimana senyawa yang telah ada secara enzimatis dirubah menjadi

senyawa aktif ketika pelukaan. Sebagai contoh, biosintesis sesquiterpena tertentu

pada Solanaceae terpicu oleh infeksi mikroba, sedangkan pada tanaman lain

biosintesis sesquiterpenoid merupakan ekspresi pembentukan yang umum,

misalnya saja pada Morinda citrifolia, anthraquinone biasa ditemukan di seluruh

bagian tanaman (Verpoorte 2000).

Analisis senyawa Fenolik

Kebanyakan senyawa fenol (terutama flavanoid) dapat dideteksi pada

kromatogram berdasarkan warnanya atau flourensinya dibawah lampu UV,

warnanya diperkuat bila diuapi amonia. Pigmen senyawa fenol berwarna dan

dapat dilihat sehingga mudah diamati selama proses isolasi dan pemurnian

(Harborne 1987).

Cara terbaik untuk memisahkan dan mengidentifikasi senyawa fenol

sederhana adalah dengan kromatografi lapis tipis (KLT). Jaringan fenol

dihidrolisis dalam suasana asam atau basa setelah pemekatan ekstrak tumbuhan

dalam etanol-air. Hidrolisis suasana asam dilakukan dengan HCl 2 M selama 30

Page 16: Peranan Zat Ekstraktif Dalam Pembentukan Gaharu Pada ... 2... · alaminya terjadi sangat lambat. Ciri-ciri visual pada pohon seperti bentuk tajuk yang tidak sehat, daun merana dan

21

menit, larutan kemudian didinginkan dan disaring sebelum diekstraksi. Hidrolisis

basa dengan NaOH 2M pada suhu kamar selama 4 jam dalam lingkungan

nitrogen, dan sebelum diekstraksi harus diasamkan dulu. Fenol yang terbebaskan

dari kedua cara ini diekstraksi dengan eter dan ekstrak eter ini dicuci, dikeringkan,

dan diuapkan sampai kering. Sisa penguapan dilarutkan dalam eter, kemudian

dikromatografi pada silika gel dengan pengembang asam asetat-kloroform dan etil

asetat-benzena. Fenol menyerap di daerah UV pendek dan dapat dideteksi pada

pelat silika gel yang mengandung indikator flouresensi gelombang 253 nm,

terlihat sebagai bercak gelap dengan latar belakang berflouresensi. Bila

digunakan pereaksi Folin-Ciocalteau, fenol yang berinti katekol (chatecol) atau

hidrokuinon terlihat sebagai bercak biru. Fenol lainnya terlihat sebagai bercak

biru sampai kelabu bila pelat diuapi amonia. Pereaksi vanilin-HCl (1 g vanilin

dalam 10 ml HCl pekat) dan vanilin-H2SO4 pekat (2:1) dengan turunan resorsinol

dan fluoroglusinol menghasilkan warna merah muda (Harborne 1987).

Brignolas et al. (1998) mengamati fenolik sebagai penduga keresistenan

pohon norway spruce (Picea abies) terhadap kumbang dan jamur. Strip kulit kayu

berukuran 100 x 10 mm diambil dari area lubang inokulasi dan area steril, pada 6

dan 12 hari sejak inokulasi dilakukan. Sampel strip dari area steril juga diambil

pada saat inokulasi dilakukan. Setelah sampel dihaluskan, dilakukan ekstraksi

dua tahap pada suhu 40C. Pertama, ekstraksi menggunakan pelarut pentana untuk

menghilangkan komponen resin, dan selanjutnya mengekstrak fenolik terlarut

dengan metil alkohol 80%. Komposisi ekstrak monofenol dilakukan dengan

reverse-phase HPLC, menggunakan kolom silika C-18. Fase bergerak

menggunakan campuran acetonitril dan asam asetat-air (1/99, v/v). Hasil yang

diperoleh diekspresikan dalam vanilil alkohol ekuivalen per gram floem kering.

Cvikrova et al. (2006) mengekstrak fenolik dari norway spruce yang

terinfeksi Ascocalyx abietina. Asam fenolik bebas, terikat-ester, dan terikat

glikosida diperoleh dengan mengekstrak jaringan kayu yang telah dihaluskan

dalam nirogen cair, dengan melarutkannya dalam metanol. Fraksi asam fenolik

terikat ester dinding sel diperoleh setelah hidrolisis alkalin dari residu ekstraksi

metanol. Asam fenolik dianalisis HPLC menggunakan Dionex Liquid

Chromatograhp dengan kolom C18 Spherisorb 5 ODS (250 mm x 4,6 mm).

Page 17: Peranan Zat Ekstraktif Dalam Pembentukan Gaharu Pada ... 2... · alaminya terjadi sangat lambat. Ciri-ciri visual pada pohon seperti bentuk tajuk yang tidak sehat, daun merana dan

22

Asam-asam fenolik ditentukan berdasarkan absorbsi maksimal dan dibandingkan

dengan senyawa referensi otentik.

Metode analisis fenolik menggunakan HPLC dilakukan oleh Nyman dan

Julkunen-Tiitto (2000) pada sampel dari pohon willow. Sampel jaringan

ditimbang 1,3 – 30,6 mg dan ditempatkan dalam tabung eppendorf, kemudian

dihancurkan dengan batang gelas, lalu ditambahkan 0,45 ml metanol murni.

Setelah homogenisasi, larutan ini disimpan dalam es selama 15 menit, kemudian

dihomogenisasi kembali, dan selanjutnya disentrifus (3 menit, 16.000 rpm).

Supernatan yang terbentuk diambil, residunya diekstrak kembali menggunakan

0,45 ml metanol (2 menit dalam es). Supernatan yang dihasilkan kemudian di

evaporasi dibawah aliran nitrogen. Ekstrak selanjutnya dilarutkan kembali dalam

1 ml metanol, 0,5 ml larutan yang terbentuk digunakan untuk HPLC. Sampel

yang digunakan untuk HPLC dievaporasi dengan nitrogen cair dan disimpan pada

220C. Sebelum HPLC, sampel yang disimpan tadi dilarutkan lagi dalam 0,4 ml

metanol-H2O (1:1). HPLC kemudian di-run.

Metode pendugaan total fenolik dalam akar kelapa yang diinokulasi dengan

Pseudomonas flourescens, Trichoderma viride dan T. harziannum yang dilakukan

oleh Karthikeyan et al. (2006) menggunakan metode Folin-Ciocalteau. 1 g

sampel akar dihomogenisasi dalam 10 ml metanol 80% (v/v), kemudian diagitasi

atau diputar selama 15’ pada suhu 700C. Ekstrak metanol ini diambil 1 ml dan

ditambahkan 5 ml air detilasi dan 250 µl reagent Folin-Ciocalteau (1 N), larutan

ini selanjutnya dsimpan pada suhu 250C. Absorban warna biru yang muncul

diukur pada 725 nm. katekol digunakan sebagai standar, dan jumlah fenolik

diekspresikan sebagai µg katekol/mg berat segar sampel.

Fusarium spp.

Jamur Fusarium spp. merupakan jamur penyebab penyakit pada banyak

tanaman. Klasifikasi dan nama ilmiah jamur ini adalah (Doctorfungus 2007):

Kingdom : FungiFilum : AscomycotaOrdo : HypocrealesFamili : HypocreaceaeGenus : Fusarium

Page 18: Peranan Zat Ekstraktif Dalam Pembentukan Gaharu Pada ... 2... · alaminya terjadi sangat lambat. Ciri-ciri visual pada pohon seperti bentuk tajuk yang tidak sehat, daun merana dan

23

Fusarium adalah jamur saprofitik berfilamen yang tersebar luas pada

tanaman dan tanah. Genus Fusarium terdiri dari lebih 20 spesies, yang paling

umum adalah F. solani, F. oxysporum, dan F. chlamydosporum. Fusarium

berbeda dari Acremonium, Lecythophora, dan Phialemonium karena memiliki

makrokonidia, dan berbeda juga dari Cylindrocarpon karena makrokonidianya

memiliki sel kaki dan ujung yang meruncing (Doctorfungus 2007).

Fusarium spp. tumbuh dengan cepat di sabouraud dextrose agar (SDA)

pada suhu 25°C dan menghasilkan penyebaran koloni seperti wol atau kapas yang

datar. Satu-satunya spesies yang lambat tumbuh adalah F. dimerum. Dari depan,

koloni bisa berwarna putih, krem, tan, salmon, cinamon, kuning, merah, violet,

merah muda, ataupun, ungu. Dari bagian belakang, koloni ini bisa tidak

berwarna, atau tan, merah, ungu gelap, dan coklat. Sclerotium adalah massa hifa

yang tetap dorman pada kondisi yang tidak kondusif, yang dapat diamati secara

makroskopis dan berwarna biru tua. Sedangkan sporodochium, lembar berbentuk

bantal dari hifa yang mendukung konidiospora di permukaannya, biasanya tidak

muncul pada kultur, namun ketika muncul dia berwarna krem, tan, atau oranye,

kecuali untuk F. solani yang berwarna biru kehijauan (Doctorfungus 2007).

Pengamatan mikroskopis menunjukan hifa hyaline septate, konidiospora,

fialides, makrokonidia, dan mikrokonidia. Sebagai tambahan untuk elemen-

elemen dasar tadi, F. chlamydosporum, F. napiforme, F. oxysporum, F.

semitectum, F. solani, and F. sporotrichoides menghasilkan klamidospora.

fialides berbentuk silender, soliter atau sebagai komponen sistem percabangan

yang komplek. Makrokonidia (3-8 x 11-70 µm) dibentuk dari fialides pada

konidiospora yang bercabang ataupun yang tidak, terdiri dari 2 atau lebih sel

berdinding tebal; halus; dan berbentuk silender. Sebaliknya, mikrokonidia (2-4

x4-8 µm), merupakan konidiospora sederhana yang panjang ataupun pendek,

terdiri dari 1 sel (kadang 2 atau 3 sel), halus, berbentuk ovoid hingga silindris,

tersusun dalam bentuk bola (kadang berbentuk rantai), dan berdinding tipis

(Doctorfungus 2007).

Genus Fusarium mencakup berbagai spesies yang sangat bervariasi

sehubungan dengan struktur genetiknya dan juga karena adaptasi yang tinggi

dengan merubah morfologinya sesuai perubahan lingkungan. Banyak spesies

Page 19: Peranan Zat Ekstraktif Dalam Pembentukan Gaharu Pada ... 2... · alaminya terjadi sangat lambat. Ciri-ciri visual pada pohon seperti bentuk tajuk yang tidak sehat, daun merana dan

24

Fusarium yang cenderung bermutasi dengan cepat, sehingga menyulitkan dalam

mengidentifikasinya. Bentuk spesifik dari makrokonidia yang langsing berbentuk

seperti pisang atau bulan sabit merupakan karakteristik identifikasi yang utama.

Beberapa spesies dapat dibedakan dari sekuen mikrokonidia, dan beberapa yang

lain dari keragaman pola klamidospora (Cullison 2008).

Ykema dan Stutz (1991) mengisolasi Fusarium sp. dari bagian akar tanaman

guayule yang nekrosis. Sampel nekrosis ditempatkan pada bagian mulut toples

yang telah dilapis oleh cheesecloth, kemudian dicuci dengan air mengalir selama

10 menit. Bagian akar selanjutnya dicuci dengan air destilasi, dan disterilisasi

permukaannya dengan sodium hipoklorida 1% selama 30 detik, dikeringkan, dan

dicuci lagi dengan air destilasi steril. Untuk menginduksi pertumbuhan miselial,

potongan akar kemudian ditempatkan pada agar-air di petri disk yang diinkubasi

pada suhu kamar. Isolat spora tunggal dipindahkan ke V8 juice agar dan potatoe

dextrose agar (PDA) dan diidentifikasi jenisnya.

Ykema Stutz (1991) juga mengevaluasi patogenisitas Fusarium sp. pada

anakan guayule. Anakan berumur 2 minggu dipindahkan ke cangkir styrofoam

yang berisi UC-soilless medium yang telah dipastuerisasi, kemudian disimpan di

rumah kaca dan disiram selama 8 hari. Fusarium spp. ditumbuhkan di V8 juice-

agar dibawah lampu flourescent pada suhu 250C selama 1 minggu. Suspensi

yang mengandung mikro- dan makrokonidia disiapkan, konidia dihitung dengan

hemacytometer. Konsentrasi akhir konidia dijadikan 2 x 105 spora per ml.

Tanaman diinokulasi dengan membuat 3 lubang di media soilless dengan pisau

kemudian 40 ml suspensi spora dimasukkan ke dalam setiap lubang. Untuk

kontrol, suspensi spora diganti 40 ml air destilasi. Anakan-anakan ini selanjutnya

ditempatkan di rumah kaca selama 2 minggu. Pengamatan dilakukan terhadap

tanaman-tanaman yang menunjukkan gejala penyakit, berupa jumlah tanaman

yang terkena penyakit dan berat segar tanaman ditimbang. Hasilnya 75%-96%

mengalami nekrosis dan gejala penyakit yang disebabkan Fusarium spp.