peranan badan narkotika nasional dalam pencegahan tindak pidana ... · peranan badan narkotika...
TRANSCRIPT
1
Kode 596 / Ilmu Hukum
LAPORAN TAHUNAN
PENELITIAN HIBAH BERSAING
PERANAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL DALAM
PENCEGAHAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN
PENANGGULANGANNYA
(Studi di wilayah Kota Denpasar)
Tahun ke I dari rencana II tahun
Ketua / Anggota Tim:
1. SAGUNG PUTRI M.E PURWANI, SH, MH./ 0013037106
2. A.A NGURAH YUSA DARMADI, SH, MH./ 0021035807
3. I MADE WALESA PUTRA, SH, M.Kn./ 0022028202
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
OKTOBER 2015
2
HALAMAN PENGESAHAN
3
RINGKASAN
Masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika merupakan bahaya bagi seluruh umat manusia yang tidak dapat ditanggulangi secara sepenggal-sepenggal. Efek negatif yang demikian kompleks akibat dari penyalahgunaan narkotika akan berpengaruh terhadap kehidupan manusia akan berlangsung lama. Wilayah Kota Denpasar merupakan ibu kota dari Propinsi Bali yang didalamnya terdapat heterogenitas penduduk, mobilitas penduduk, serta kuantitas, sebagai daerah tujuan wisata internasional tidak dapat di pungkiri juga sebagai pusat tujuan peredaran gelap Narkotika oleh mafia-mafia internasional. Target sasaran adalah masyarakat terutama remaja dewasa yang sangat rentan terhadap perubahan.
Berdasarkan hal tersebut ada permasalahan hukum yang akan diteliti dalam penelitian ini, yaitu : Bagaimana penanggulangan tindak pidana penyalahgunaan narkotika di Kotamadya Denpasar? Dan Hambatan-hambatan yang di hadapi BNN di wilayah Kotamadya Denpasar dalam mengatasi kasus penyalahgunaan narkotika? Serta Bagaimana penentuan sanksi pidana atau rehabilitasi terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika, khususnya di wilayah kotamadya Denpasar?
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui langkah-langkah yang dilakukan oleh para penegak hukum yang terkait serta menganalisa hambatan-hambatan yang di hadapi dalam penentuan sanksi atau rehabilitasi dan upaya BNN mengahatasi kasus-kasus narkotika yang terjadi di Kotamadya Denpasar.
Untuk melihat cara pengambilan keputusan dalam pemberian saksi pidana maupun rehabilitasi bagi pelaku penyalahgunaan narkotika
Jenis penelitian ini adalah Socio Legal Research, yang mencoba menemukan kebenaran dengan tetap bertumpu pada premis normatif dengan fokus kajiannya pada esensi hukum yang tertuang dalam bentuk norma-norma, yang kemudian dihubungkan dengan kenyataan yang terjadi di lapangan. Jenis pendekatan yang utamanya akan dipergunakan dalam penelitian ini adalah statute approach, conceptual approach dan comparative approach. Sumber Data yang telah dikumpulkan diklasifikasikan untuk mempermudah menganalisa sumber-sumber tersebut
Rencana dari kegiatan penelitian ini adalah untuk tahun 1 melakukan pemetaan terhadap permasalahan, penentuan sanksi atau rehabilitasi yang di hadapi oleh BNN di Kotamadya Denpasar dalam menangani kasus, Tahun 2 melihat peranan, manfaat Rehabilitasi, urgensi tempat rehabilitasi bagi Pelaku Tindak Pidana Narkotika dan melihat kerjasama BNN terhadap Tim Pendamping di Masyarakat Bagi Pelaku Tindak Pidana Narkotika
Keywords : BNN, Tindak Pidana Narkotika dan Rehabilitasi
4
PRAKATA
Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nyalah
laporan kemajuan penelitian desentralisasi dengan skim Penelitian Hibah Bersaing yang
berjudul ” PERANAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL DALAM
PENCEGAHAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN
PENANGGULANGANNYA (Studi di wilayah Kota Denpasar” dapat kami selesaikan.
Kami menyadari sepanjang pelaksanaan penelitian ini banyak pihak yang membantu
pelaksanaannya. Untuk itu dalam kesempatan ini kami menyampaikan rasa terima kasih
kepada:
1. Ketua DIKTI
2. Rektor Universitas Udayana
3. Ketua LPPM Universitas Udayana,
4. Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana beserta staff
5. BNN Kota Denpasar, POLDA BALI, BAPAS Denpasar, LAPAS Kelas I
Denpasar, PN Denpasar dan Kejaksaan Negeri Denpasar
6. Semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian penelitian ini.
Kami menyadari dalam penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh
karena itu saran dan kritik bagi penyempurnaan penelitian ini sangat kami harapkan.
Akhir kata dengan segala kerendahan hati, kami berharap semoga hasil penelitian ini
dapat memberikan manfaat dan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum
terutama terkait dengan bidang hukum.
Denpasar, 30 Oktober 2015
Tim Peneliti
5
DAFTAR ISI
HAL
HALAMAN SAMPUL ..................................... 1
HALAMAN PENGESAHAN ..................................... 2
RINGKASAN ..................................... 3
PRAKATA ..................................... 4
DAFTAR ISI ..................................... 5
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................... 6
BAB 2.TINJAUAN PUSTAKA ..................................... 15
BAB 3.TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ..................................... 25
BAB 4.METODE PENELITIAN ..................................... 26
BAB 5.HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................... 30
BAB 6. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA ..................................... 52
BAB 7.KESIMPULAN DAN SARAN ..................................... 53
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1. Tabel-Tabel
2. Ijin Penelitian
3. Artikel ilmiah
4. Personalia Tenaga Peneliti Beserta Kualifikasinya.
5. Dokumentasi Kegiatan
6. Bahan Ajar
6
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bali merupakan daerah tujuan wisata domestik maupun internasional. Sebagai
daerah pariwisata, Pulau Bali yang dijuluki sebagai Pulau Dewata atau Pulau Seribu
Pura merupakan etalase Indonesia dimata dunia. Pulau Bali sebagai surga bagi produsen
narkotika memperburuk image Bali. Hal ini sangat berdampak pada citra Bali yang
sudah tentu akan sangat berpengaruh pada sektor pariwisata dan bahkan sektor
ekonomi. Oleh karena itu, keamanan Bali dari peredaran gelap dan penyalahgunaan
narkotika perlu dijaga.
Pada awalnya narkotika digunakan untuk kepentingan umat manusia, khususnya
untuk pengobatan, pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Namun, dengan semakin berkembangnya zaman, narkoba digunakan untuk
hal-hal negatif.1 Penyalahgunaan narkoba umumnya digunakan untuk mengurangi atau
menghilangkan rasa nyeri, kelelahan, ketegangan jiwa, sebagai hiburan, maupun untuk
pergaulan.2 Penggunaan narkotika secara berkali-kali membuat seseorang dalam
keadaan tergantung pada narkotika. Ketergantungan terhadap narkoba dapat
menimbulkan gangguan kesehatan jasmani dan rohani serta dapat menyebabkan
penderitaan dan kesengsaraan hingga kematian.3 Oleh karena itu, agar penggunaan
narkotika dapat memberikan manfaat bagi kehidupan umat manusia, maka peredarannya
harus diawasi secara ketat.
Tindak pidana narkotika sekarang ini tidak lagi dilakukan secara perseorangan
melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama, bahkan merupakan satu
sindikat yang terorganisasi dengan jaringan luas yang bekerja secara rapi dan sangat
rahasia baik di tingkat nasional maupun internasional.4
1Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disingkat Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom I), h. 100.
2Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia 2004, Pedoman Pencegahan Penyalahgunaan
Narkoba Bagi Pemuda, Jakarta, h.2. 3Ibid. 4AR. Sujono dan Bony Daniel, 2011, Komentar dan Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Sinar Grafika, Jakarta Timur, h. 60.
7
Penyalahgunaan narkotika merupakan kejahatan yang secara kriminologis
dikategorikan sebagai kejahatan tanpa korban (crime without victim), kejahatan ini tidak
diartikan sebagai kejahatan yang tidak menimbulkan korban tetapi mempunyai makna
bahwa korban dari kejahatan ini adalah dirinya sendiri. Hal itu berarti si pelaku
sekaligus sebagai korban kejahatan.5 Apabila dikatakan sebagai korban, maka sudah
jelas bahwa seorang penyalah guna narkotika dan pecandu narkotika harus dijauhkan
dari stigma pidana dan diberikan perawatan.
Penerapan hukuman pidana berupa pidana penjara bagi penyalah guna narkotika
terbukti tidak berhasil, melainkan setiap tahun penyalah guna narkotika yang masuk
penjara angkanya semakin meningkat. Faktor terpenting dalam upaya penanggulangan
penyalahgunaan narkotika yang sering diabaikan terutama oleh aparat penegak hukum
di Indonesia adalah adanya upaya rehabilitasi. Model pemidanaan terhadap penyalah
guna narkotika sampai sekarang ini masih menempatkannya sebagai pelaku tindak
pidana (kriminal) sehingga upaya-upaya rehabilitasi sering terabaikan.6
Untuk menanggulangi bahaya penyalahgunaan narkotika diperlukan suatu aturan
sebagai landasan hukumnya. Sebelumnya tentang narkotika diatur dalam Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Namun kini Undang-Undang tentang
Narkotika dalam perkembangannya telah diperbaharui dengan dikeluarkannya Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang mengatur mengenai penjatuhan
pidana dalam bentuk pidana minimum khusus paling singkat 1 (satu) tahun untuk Pasal
135, Pasal 139, Pasal 140, Pasal 141, Pasal 143, dan Pasal 147 dan pidana maksimal
khusus 20 (dua puluh) tahun. Disamping itu, juga diatur mengenai pemanfaatan
narkotika untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan serta mengatur tentang
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi pecandu narkotika. Rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial dimaksudkan untuk memulihkan dan/atau mengembangkan
kemampuan fisik, mental, dan sosial pecandu dengan tujuan akhir sembuhnya pecandu
dari ketergantungan narkotika.
Jaminan rehabilitasi medis dan sosial bagi korban penyalahgunaan narkotika
sangat tergantung terhadap keputusan hakim yang memeriksa perkara korban
penyalahgunaan narkotika, namun dalam prakteknya korbaan penyalahgunaan narkotika
5Weda Darma Made, 1999, Kronik dalam Penegakan Hukum Pidana, Guna Widya, Jakarta, h. 80. 6http://www.gepenta.com/artikelMembangun+Paradigma+Dekriminalisasi+Korban+Pengguna+Nark
oba-.phpx diakses tanggal 22 September 2014.
8
bisa didakwa hanya sebagai penyalah guna. Sebagai contoh, pengguna narkotika karena
kecanduan harus membeli Narkotika Golongan I bukan tanaman secara melawan hukum
dan tanpa hak, kemudian narkotika tersebut dimiliki atau dikuasai dan setelah itu
digunakan untuk dirinya sendiri. Berbagai rangkaian tindakan untuk menyalahgunakan
narkotika tersebut dapat diancam tiga pasal sekaligus, yakni Pasal 114 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam hal perbuatan menawarkan
untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar,
menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I dengan ancaman hukuman
minimum 5 dan maksimum 20 tahun, Pasal 112 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai,
atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman dengan ancaman hukuman
minimum 4 tahun dan maksimum 12 tahun, dan Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam hal penyalah guna Narkotika
Golongan I bagi diri sendiri dengan ancaman hukuman maksimum 4 tahun.
Penyalah guna narkotika dan pecandu narkotika adalah sama-sama
menggunakan atau menyalahgunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Hanya
saja bagi pecandu narkotika mempunyai karakteristik tersendiri, yakni adanya
ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis. Sehingga bagi pecandu
narkotika hanya dikenakan tindakan berupa kewajiban menjalani rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial. Pada Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, penyalah guna narkotika bisa menjadi subyek yang dapat dipidana kecuali
dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika, maka
penyalah guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pada Pasal 127
mengancam pidana penjara bagi penyalah guna narkotika. Disatu sisi dalam Pasal 127 tersebut
menyatakan bahwa penyalah guna narkotika itu adalah korban yang wajib menjalani rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial. Disinilah nampak adanya konflik norma pada Pasal 127 Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Permasalahan Narkoba di negeri ini telah sangat meresahkan masyarakat dan
bangsa Indonesia, tidak hanya dari kalangan berada, warga miskin - menengah, pegawai
negeri atau swasta, tua - muda, bahkan anak sekolah, tidak sedikit terjebak menjadi
korban penyalahgunaan Narkoba. Badan Narkotika Nasional (BNN) mendata kasus
penyalahgunaan narkotika di Indonesia naik tajam. Korbannya mencapai lebih 5 juta
9
jiwa. Di kalangan pelajar, jumlah penggunanya mencapai sekitar 921.695 orang.
Pengguna yang meninggal di tahun 2012 mencapai rata-rata 50 orang per hari.7
Sebenarnya Narkoba dibutuhkan dalam dunia kesehatan dan pengembangan
ilmu pengetahuan, sehingga pengadaannya perlu dijamin dan tidak bertentangan
ketentuan undang-undang yang berlaku. Di sisi lain Narkoba dapat menimbulkan
bahaya apabila disalahgunakan, Narkoba dapat menyebabkan timbulnya penyakit,
gangguan kesehatan sampai dengan kematian, bahkan efek negatif lain kejahatan
Narkoba dapat menimbulkan kejahatan atau prilaku kriminal lainnya seperti tindak
kekerasan fisik, kesusilaan atau kejahatan terhadap harta benda. Penyalahgunaan
Narkoba dapat mengakibatkan sindroma ketergantungan apabila penggunaannya tidak
di bawah pengawasan dan petunjuk tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan untuk itu.
Dunia internasional menggangap kejahatan Narkoba telah masuk dalam
kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Penyelenggaraan konferensi tentang
narkotika/psikotropika yang pertama kali dilaksanakan oleh The United Nations
Conference for the Adaption of Protocol on Psychotropic Substances mulai tanggal 11
Januari - 21 Februari 1971 di Wina, Austria telah menghasilkan Convention Psycotropic
Substances 1971.8 Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Convention of Psychotropic
Substance 1971 berdasarkan UU No. 8 Tahun 1996. Ratifikasi terhadap konvensi
tentang substansi psikotropika tersebut memberikan konsekuensi hukum. Oleh karena
itu, pemerintah Indonesia berkewajiban untuk menanggulangi pemberantasan kejahatan
penyalahgunaan Narkoba tersebut. Penyalahgunaan Narkoba serta peredaran dan
perdagangan gelap dapat digolongkan ke dalam kejahatan internasional. Kejahatan
internasional ini membuktikan adanya peningkatan kuantitas dan kualitas kejahatan ke
arah organisasi kejahatan transnasional, melewati batas-batas negara dan menunjukkan
kerjasama yang bersifat regional maupun internasional.9
Indonesia kembali telah berusaha mengantisipasi dan penanggulangi masalah
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba, dengan meratifikasi Konvensi
7BNN: Kasus Penyalahgunaan Narkotika di Indonesia Naik Tajam
http://www.majalahpotretindonesia.- com, diakses 14 April 2013. 8 Siswanto Sunarso, 2004, Penegakan Hukum Psikotropika dalam Kajian Sosiologi Hukum, PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 1.
9 Ibid, hal 3.
10
Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan
Psikotropika Tahun 1988 (Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and
Psychotropic Subtances 1988) dan Konvensi Psikotropika Tahun 1971 (Covention on
Psychotropic Subtances 1971) dengan mengeluarkan Undang-undang No. 7 Tahun
1997 Tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Tentang
Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika dan Undang-undang No. 8
Tahun 1996 Tentang Pengesahan Konvensi Psikotropika.
Permasalahan Narkoba di negeri ini telah sangat meresahkan masyarakat dan
bangsa Indonesia, tidak hanya dari kalangan berada, warga miskin - menengah, pegawai
negeri atau swasta, tua - muda, bahkan anak sekolah, tidak sedikit terjebak menjadi
korban penyalahgunaan Narkoba. Badan Narkotika Nasional (BNN) mendata kasus
penyalahgunaan narkotika di Indonesia naik tajam. Korbannya mencapai lebih 5 juta
jiwa. Di kalangan pelajar, jumlah penggunanya mencapai sekitar 921.695 orang.
Pengguna yang meninggal di tahun 2012 mencapai rata-rata 50 orang per hari.10
Penyalahgunaan Narkoba berkaitan erat dengan peredaran gelap sebagai bagian
dari dunia tindak pidana internasional. Mafia perdagangan gelap memasok Narkoba
agar orang memiliki ketergantungan sehingga jumlah supply meningkat. Terjalinnya
hubungan antara pengedar/bandar dengan korban membuat korban sulit melepaskan diri
dari pengedar/bandar, bahkan tidak jarang korban juga terlibat peredaran gelap karena
meningkatnya kebutuhan dan ketergantungan mereka akan Narkoba.11
Selanjutnya dikeluarkan Undang-undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika
dan Undang-undang No.22 tahun 1997 tentang Narkotika sebagai pengganti Undang-
undang yang lama yaitu Undang-undang No. 9 Tahun 1976 Tentang narkotika. Dan
disempurnakan dengan membuat aturan hukum baru yang cukup memadai dan
terakomodasi yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang
diharapkan lebih efektif mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkotika, termasuk untuk menghindarkan wilayah Negara Republik Indonesia
dijadikan ajang transaksi maupun sasaran peredaran gelap narkotika.
10BNN: Kasus Penyalahgunaan Narkotika di Indonesia Naik Tajam
http://www.majalahpotretindonesia.- com, diakses 14 April 2013. 11
Lydia Harlina Martono & Satya Joewana, 2006, Membantu Pemulihan Pecandu Narkoba &
Keluarganya, Balai Pustaka, Jakarta, hal.1.
11
Ketentuan Pasal 64 Ayat (1) Undang-Undang No 35 Tahun 2009 menyebutkan
bahwa dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran
gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, dengan Undang-Undang ini dibentuk Badan
Narkotika Nasional, yang selanjutnya disingkat BNN, selanjutnya pada Ayat (2)
menyebutkan BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga
pemerintah nonkementerian yang berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung
jawab kepada Presiden. Sehingga BNN memegang peranan penting yang ditetapkan
oleh undang-undang dalam hal pemberantasan peredaran gelap serta pencegahan
penyalahgunaan Narkoba. Pula sesuai visinya BBN menjadi lembaga yang profesional
dan mampu berperan sebagai focal point Indonesia di bidang pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor
dan bahan adiktif lainnya di Indonesia.12
Kasus Pilot Lion Air Syaiful Salam, yang tertangkap basah nyabu di Hotel
Golden Palace tanggal 4 Februari 2012, dalam putusannya Hakim Pengadilan Negeri
Surabaya menjatuhi sanksi penjara selama satu tahun, sebelumnya majelis hakim telah
menolak permintaan rehab dari terdakwa13. Terdakwa dianggap melanggar ketentuan
Pasal 127 UU No 35 Tahun 2009, pemberian sanksi pidana penjara ini merupakan
contoh pengenaan sanksi pidana terhadap penyalahgunaan Narkoba.
Selain sanksi pidana yang dijatuhkan terhadap penyalahgunaan Narkoba, ada
kasus, pengguna hanya dikenakan sanksi rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial,
seperti pengguna Narkoba di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, hanya dikenakan
rehabilitasi14. Hal kedua ini sejalan dengan SEMA No. 3 Tahun 2011 tentang
Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika di dalam Lembaga Rehabilitasi Medis
dan Rehabilitasi Sosial, yang menempatkan agar hakim memberikan perintah
penempatan pada lembaga rehabilitasi sosial dan medik baik dalam bentuk penetapan
ataupun putusan bagi penyalah guna, korban penyalahgunaan dan pecandu Narkoba.
Hingga terkait penyalahgunaan Narkoba, dalam memutus suatu perkara otoritas
hakim yang begitu besar dalam memutuskan perkara yang mengakibatkan banyak
terjadi disparitas putusan dalam perkara yang sejenis. Hal ini ditandai dengan adanya
perbedaan secara substansial yang tajam antara putusan hakim Pengadilan Negeri yang
12 http://www.bnn.go.id 13 Nyuciek Asih, 2012, Nyabu, Eks Pilot Lion Air Diganjar Satu Tahun,
http://www.beritajatim.com diakses 12 April 2013. 14 Lima Pengguna Narkoba Di Sumenep Jalani Rehabilitasi, http://www.ciputranews.com,
diakses 12 April 2013.
12
satu dengan yang lain atau hakim Pengadilan Tinggi dan hakim Mahkamah Agung
mengenai perkara yang sama, padahal semuanya mengacu pada peraturan yang sama.15
Dengan demikian ada kemungkinan terjadi disparitas putusan hakim dalam kasus
Narkoba dapat terjadi terhadap pemakai yang satu dengan yang lain atau antara
pengedar yang satu dengan pengedar yang lain atau hukuman untuk pemakai yang satu
bisa berupa sanksi penjara sedangkan pemakai yang lain dapat di kenakan rehabilitasi.
Diharapkan akan ada Putusan – putusan Hakim yang progresif dalam menyikapi
situasi para pemakai narkotika. Hal ini tentunya akan dapat dilakukan manakala
kebijakan atas pemakai narkotika terutama mereka yang mengalami kecanduan sesuai
dengan hak atas kesehatan dan hak asasi mereka. Putusan yang progresif membutuhkan
landasan kebijakan negara yang juga progresif. Kebijakan tersebut tentu akan muncul
manakala peraturan dan penegak hukum peka atas hak asasi manusia. Sayangnya,
hingga kini, UU Narkotika masih jauh dari semangat penyembuhan bagi mereka yang
mengalami adiksi. Hal ini dapat dilihat dari semangat pemidanaan yang muncul dalam
Berkas Acara Pemeriksaan (BAP) yang dibuat ditingkatan kepolisian dan kemudian
dilanjutkan dengan tuntutan para Jaksa yang sesuai dengan UU mengkriminalkan para
pengguna.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara nomor
798/Pid.B/2009/PN Jkt.Pst, dengan ketua H. Makmun Masduki, SH, MH menjatuhkan
vonis rehabilitasi kepada seorang pecandu narkotika yang mengalami ketergantungan.
Dalam pertimbangan putusannya, hakim menyatakan bahwa banyak narapidana
narkotika yang dari sisi kesehatan adalah orang sakit yang butuh terapi kesehatan.
Selanjutnya penjara bukanlah tempat yang tepat untuk para pecandu narkotika yang
mengalami ketergantungan. Oleh karena itu hakim memerintahkan terdakwa untuk
menjalani rehabilitasi di RSKO Cibubur terlebih dahulu.
Sedangkan khususnya di Propinsi Bali yang merupakan daerah tujuan wisata
tidak sedikit terjadi kasus penyalahgunaan Narkoba. Seperti dikatakan Kepala Badan
Narkotika Provinsi Bali dalam keteranganya di Denpasar (7/2/2013) mengatakan
tingginya angka prevalensi penyalahgunaan narkotika di Bali karena daya imunitas dan
kesadaran akan ancaman narkotika di Bali masih rendah, hasil penelitian Badan
15
Bambang Sutiyoso, 2007, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti
dan Berkeadilan, UII Press, Yogyakarta, hal.10.
13
Narkotika Nasional dan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia menunjukkan
bahwa tingkat prevalensi penyalahgunaan narkotika di Bali mencapai 1,8 persen dari
jumlah penduduk atau mencapai 50.530 orang.16
Bahkan BNN telah berencana membangun pusat rehabilitasi di Bali untuk
merehabilitasi pencandu narkotika. Rencana BNN itu mendapat dukungan dari
Gubernur Bali. Kepala BNN Provinsi Bali mengatakan, pihaknya sudah menemui
Gubernur Bali untuk menyampaikan rencana pembangunan pusat rehabilitasi BNN di
Bali. "Gubernur mendukung sebab pada prinsipnya pusat rehabilitasi itu untuk
kepentingan masyarakat Bali," Direncanakan dibangun di Bangli. Pusat rehabilitasi
BNN itu akan memakai lahan milik pemerintah seluas dua hektar, dan diperkirakan
dapat menampung 300 orang.17
Hingga terkait penyalahgunaan Narkoba, dalam memutus suatu perkara otoritas
hakim yang begitu besar dalam memutuskan perkara yang mengakibatkan banyak
terjadi disparitas putusan dalam perkara yang sejenis. Hal ini ditandai dengan adanya
perbedaan secara substansial yang tajam antara putusan hakim Pengadilan Negeri yang
satu dengan yang lain atau hakim Pengadilan Tinggi dan hakim Mahkamah Agung
mengenai perkara yang sama, padahal semuanya mengacu pada peraturan yang sama.18
Dengan demikian ada kemungkinan terjadi disparitas putusan hakim dalam kasus
Narkoba dapat terjadi terhadap pemakai yang satu dengan yang lain atau antara
pengedar yang satu dengan pengedar yang lain atau hukuman untuk pemakai yang satu
bisa berupa sanksi penjara sedangkan pemakai yang lain dapat di kenakan rehabilitasi.
Diharapkan akan ada Putusan – putusan Hakim yang progresif dalam menyikapi
situasi para pemakai narkotika. Hal ini tentunya akan dapat dilakukan manakala
kebijakan atas pemakai narkotika terutama mereka yang mengalami kecanduan sesuai
dengan hak atas kesehatan dan hak asasi mereka. Putusan yang progresif membutuhkan
landasan kebijakan negara yang juga progresif. Kebijakan tersebut tentu akan muncul
manakala peraturan dan penegak hukum peka atas hak asasi manusia. Sayangnya,
hingga kini, UU Narkotika masih jauh dari semangat penyembuhan bagi mereka yang
16 Pengguna Narkotika di Bali Mencapai 50.530 Orang, http://www.beritabali.com, diakses 12
April 2013. 17 Cokorda Yudhistira, 2013, BNN Bangun Pusat Rehabilitasi di Bali,
http://nasional.kompas.com, diakses 11 April 2013. 18 Bambang Sutiyoso, 2007, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti
dan Berkeadilan, UII Press, Yogyakarta, hal.10.
14
mengalami adiksi. Hal ini dapat dilihat dari semangat pemidanaan yang muncul dalam
Berkas Acara Pemeriksaan (BAP) yang dibuat ditingkatan kepolisian dan kemudian
dilanjutkan dengan tuntutan para Jaksa yang sesuai dengan UU mengkriminalkan para
pengguna.
1.2 Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka terdapat dua rumusan masalah yang
akan di bahas, yaitu sebagai berikut:
1. Hambatan-hambatan yang dihadapi, serta upaya BNN di wilayah Kotamadya
Denpasar dalam mengatasi kasus penyalahgunaan narkotika? Dan Bagaimana
penanggulangan tindak pidana penyalahgunaan narkotika di Kotamadya
Denpasar?
2. Bagaimana penentuan sanksi pidana atau rehabilitasi terhadap pelaku
penyalahgunaan narkotika?
15
BAB 2.
TINJAUAN PUSTAKA
Perkembangan yang ada di dunia saat ini menunjukkan terjadinya
kecenderungan perubahan kuat dalam memandang para penyalah guna narkotika yang
tidak lagi dilihat sebagai pelaku kriminal, namun sebagai korban atau pasien yang harus
diberi empati.19 Pada pasal 127 ayat (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika disebutkan bahwa penyalah guna yang dapat dibuktikan atau terbukti sebagai
korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial. Di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga
memberikan kewenangan hakim untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani
pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi, yaitu hakim yang memeriksa
perkara pecandu narkotika dapat:
a. Memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan
dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu narkotika tersebut
terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika; atau
b. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan
dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu narkotika tersebut tidak
terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.
1.6.2 Teori Pemidanaan
Andi Hamzah menyatakan bahwa pemidanaan itu disebut juga sebagai
penjatuhan pidana atau penghukuman. Dalam bahasa Belanda disebut straftoemeting
dan dalam bahasa Inggris disebut sentencing. Kemudian Andi Hamzah menegaskan
bahwa pemberian pidana ini mempunyai dua arti, yaitu:
1. Dalam arti umum, menyangkut pembentuk undang-undang ialah yang
menetapkan stelsel sanksi hukum pidana (pemberian pidana in abstracto).
2. Dalam arti konkrit, ialah yang menyangkut berbagai badan atau jawatan yang
kesemuanya mendukung dan melaksanakan stelsel sanksi hukum pidana itu.20
19Dani Krisnawaty dan Eddy O.S. Hiariej, 2006, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena Pundi
Aksara, Jakarta, h. 99. 20Tolib Setiady, 2009, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung, h. 21-22.
16
Dalam teori dalam pemidanaan biasanya digunakan berbagai macam teori, yaitu:
1. Teori Absolut ( Teori Pembalasan)
Pandangan yang bersifat absolut (yang dikenal juga dengan teori
retributif), dianggap sebagai pandangan paling klasik mengenai konsepsi
pemidanaan karena kejahatan itu menimbulkan penderitaan pada korban, maka
harus diberikan pula penderitaan sebagai pembalasan terhadap orang yang
melakukan perbuatan jahat. Jadi, penderitaan harus dibalas dengan
penderitaan.21 Menurut teori retributif, setiap kejahatan harus diikuti pidana,
tidak boleh tidak, tanpa tawar-menawar. Seseorang mendapat pidana karena
telah melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat-akibat apapun yang timbul dari
dijatuhkannya pidana. Hanya dilihat kemasa lampau dan tidak dilihat kemasa
depan.22 Ada beberapa ciri dari teori retributif sebagaimana yang diungkapkan
oleh Karl O. Cristiansen, yaitu:
a. Tujuan pidana semata-mata untuk pembalasan;
b. Pembalasan merupakan tujuan utama, tanpa mengandung sarana-sarana
untuk tujuan lain, misalnya kesejahteraan rakyat;
c. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat bagi adanya pidana;
d. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan pembuat;
e. Pidana melihat ke belakang yang merupakan pencelaan yang murni dan
tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik, atau memasyarakatkan
kembali pelanggar.23
Nigel Walker menyatakan bahwa para penganut teori retributif ini dapat pula
dibagi dalam beberapa golongan, yakni:
1. Penganut teori retributif yang murni (the pure retributivist) yang
berpendapat bahwa pidana harus cocok atau sepadan dengan kesalahan si
pembuat;
2. Penganut retributif tidak murni (dengan modifikasi) yang dapat pula dibagi
dalam:
21Marlina, 2011, Hukum Penitensier, PT. Refika Aditama, Bandung, h. 41.
22Wirjono Prodjokoro, 1989, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Eresco, Bandung, h.23. 23Muladi dan Barda Nawawi, 1992, Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, (selanjutnya
disingkat Muladi dan Barda Nawawi I), h. 17.
17
a. Penganut retributif yang terbatas (the limiting retributivist) yang
berpendapat bahwa pidana tidak harus cocok/sepadan dengan kesalahan;
hanya saja tidak boleh melebihi batas yang cocok/sepadan dengan
kesalahan terdakwa.
b. Penganut retributif yang distributif (retribution in distribution), disingkat
dengan teori distributive yang berpendapat bahwa pidana janganlah
dikenakan pada orang yang tidak bersalah, tetapi pidana juga tidak harus
cocok/sepadan dan dibatasi oleh kesalahan. Prinsip “tiada pidana tanpa
kesalahan” dihormati, tetapi dimungkinkan adanya pengecualian,
misalnya dalam hal strict liability.24
Nigel Walker selanjutnya menjelaskan bahwa hanya golongan the pure
retributivist saja yang mengemukakan alasan-alasan atau dasar pembenaran untuk
pengenaan pidana. Oleh karena itu, golongan ini disebut golongan punisher (penganut
teori pemidanaan). Sedangkan golongan the limiting retributivist dan golongan
retribution in distribution tidak mengajukan alasan-alasan untuk pengenaan pidana,
tetapi mengajukan prinsip-prinsip untuk pembatasan pidana. Selanjutnya menurut Nigel
Walker, kebanyakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana disusun sesuai dengan
penganut golongan the limiting retributivist, yaitu dengan menetapkan pidana
maksimum sebagai batas atas tanpa mewajibkan pengadilan untuk mengenakan batas
maksimum yang telah ditentukan.25
2. Teori Relatif (Teori Tujuan)
Teori relatif atau teori tujuan juga disebut teori utilitarian yang lahir sebagai
reaksi terhadap teori absolut. Menurut Nigel Walker teori ini lebih tepat disebut
sebagai teori aliran reduktif (the reductive point of view) karena dasar
pembenaran pidana menurut teori ini adalah untuk mengurangi frekuensi
kejahatan.26 Secara garis besar, tujuan pidana menurut teori relatif bukanlah
sekedar pembalasan akan tetapi untuk mewujudkan ketertiban di dalam
24Muladi dan Barda Nawawi, 2005, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, PT. Alumni, Bandung,
(selanjutnya disingkat Muladi dan Barda Nawawi II), h. 12-13. 25Ibid, h. 13. 26Ibid, h. 16.
18
masyarakat. Sebagaimana dikemukakan Koeswadji bahwa tujuan pokok dari
pemidanaan, yaitu :
1. Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat (dehandhaving van
demaatschappelijke orde);
2. Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai akibat
dari terjadinya kejahatan. (het herstel van het doer de misdaad onstane
maatschappelijke nadeel);
3. Untuk memperbaiki si penjahat (verbetering vande dader);
4. Untuk membinasakan si penjahat (onschadelijk maken van de misdadiger);
5. Untuk mencegah kejahatan (tervoorkonning van de misdaad).27
Tentang teori relatif ini Muladi dan Barda Nawawi Arief menjelaskan bahwa:
Pidana bukan sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang
yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu
yang bermanfaat. Oleh karena itu teori ini pun sering juga disebut teori tujuan
(utilitarian theory). Jadi dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah
terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena orang
membuat kejahatan) melainkan “nepeccetur” (supaya orang jangan melakukan
kejahatan).28
Jadi tujuan pidana menurut teori relatif adalah untuk mencegah agar ketertiban
di dalam masyarakat tidak terganggu. Dengan kata lain, pidana yang dijatuhkan kepada
si pelaku kejahatan bukanlah untuk membalas kejahatannya, melainkan untuk
mempertahankan ketertiban umum. Beberapa karakteristik dari teori relatif atau teori
utilitarian, yaitu:
a. Tujuan pidana adalah pencegahan (prevensi);
b. Pencegahan bukanlah pidana akhir, tetapi merupakan sarana untuk
mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat;
27Koeswadji, 1995, Perkembangan Macam-macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum
Pidana, Cetakan I, Citra Aditya Bhakti, Bandung, h. 12. 28Muladi dan Barda Nawawi II, loc.cit.
19
c. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si
pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk
adanya pidana;
d. Pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat untuk
pencegahan kejahatan;
e. Pidana berorientasi ke depan, pidana dapat mengandung unsur pencelaan,
tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima
apabila tidak dapat membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan
kesejahteraan masyarakat.29
3. Teori Gabungan
Menurut teori gabungan bahwa tujuan pidana itu selain membalas kesalahan
penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat, dengan mewujudkan
ketertiban. Teori ini menggunakan kedua teori tersebut di atas (teori absolut dan
teori relatif) sebagai dasar pemidanaan, dengan pertimbangan bahwa kedua teori
tersebut memiliki kelemahan-kelemahan yaitu:
1. Kelemahan teori absolut adalah menimbulkan ketidakadilan karena dalam
penjatuhan hukuman perlu mempertimbangkan bukti-bukti yang ada dan
pembalasan yang dimaksud tidak harus negara yang melaksanakan.
2. Kelemahan teori relatif yaitu dapat menimbulkan ketidakadilan karena pelaku
tindak pidana ringan dapat dijatuhi hukum berat, kepuasan masyarakat
diabaikan jika tujuannya untuk memperbaiki masyarakat, dan mencegah
kejahatan dengan menakut-nakuti sulit dilaksanakan.30
Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pada pasal-
pasalnya terdapat konflik norma, yaitu pada Pasal 4 huruf d Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika yang menyatakan bahwa “Undang-Undang tentang
Narkotika bertujuan: Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi
penyalah guna dan pecandu narkotika”, namun di dalam Pasal 54 Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan bahwa “Pecandu narkotika dan
korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi
29Muladi dan Barda Nawawi II, op.cit, h. 17. 30 Koeswadji, op.cit, h. 11-12.
20
sosial”. Berdasarkan Pasal 54 hak penyalah guna untuk mendapat rehabilitasi menjadi
diabaikan. Penyalah guna yang pada awalnya mendapatkan jaminan rehabilitasi namun
dengan memandang asas legalitas yang diterapkan di Indonesia, maka dalam
pelaksanaannya penyalah guna narkotika harus menghadapi resiko ancaman pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, kecuali penyalahguna tersebut dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban
penyalahgunaan narkotika, maka penyalah guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial.
Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap penyalah guna narkotika berupa
pidana penjara ini dianggap sebagai reaksi terhadap teori tujuan pemidanaan, yaitu teori
relatif (teori utilitarian). Tujuan pidana menurut teori relatif bukanlah sekedar
pembalasan akan tetapi untuk mewujudkan ketertiban di dalam masyarakat.
Terhadap pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika, teori tujuan
pemidanaan yang diterapkan adalah teori treatment. Treatment sebagai tujuan
pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang berpendapat bahwa pemidanaan
sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan pada perbuatannya. Namun,
pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ini untuk memberikan tindakan perawatan
(treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti
penghukuman.31 Aliran positif ini beralaskan paham determinisme yang menyatakan
bahwa seseorang melakukan kejahatan bukan berdasarkan kehendaknya karena manusia
tidak mempunyai kehendak bebas dan dibatasi oleh berbagai faktor, baik watak
pribadinya, faktor biologisnya, maupun faktor lingkungannya. Oleh karena itu, pelaku
kejahatan tidak dapat dipersalahkan dan dipidana melainkan harus diberikan perlakuan
(treatment) untuk resosialisasi dan perbaikan si pelaku.32
A. Tugas BNN Dalam Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika
Pencegahan dan Pemberantasan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika dilakukan dengan membangun upaya pencegahan yang berbasis masyarakat,
termasuk didalamnya melalui jalur pendidikan sekolah maupun luar sekolah dengan
31Mahmud Mulyadi, 2006, Karya Ilmiah Revitalisasi Alas Filosofis Tujuan Pemidanaan Dalam
Penegakan Hukum Pidana Indonesia, USU Repository, Medan, h. 8.
32Ibid, h.9.
21
menggugah dan mendorong kesadaran masyarakat, kepedulian san peran serta aktif
masyarakat.
Pemerintah juga mengupayakan kerjasama bilateral, regional, multilateral
dengan negara lain dan/atau badan internasional guna mencegah dan memberantas
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sesuai dengan kepentingan nasional.
Pemerintah membentuk sebuah badan koordinasi narkotika tingkat nasional yang
bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Badan ini mempunyai tugas melakukan
koordiansi dalam rangka ketersediaan, pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan
dan peredaran gelap narkotika.
Di dalam penjelasan Keputusan Presiden no 17 Tahun 2002 dinyataka bahwa
Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam kegiatan Pencegahan, Pemberantasan,
Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika melaksanakan beberapa peran yaitu
sebagai berikut :
1. Bidang Pencegahan,
2. Bidang Rehabilitasi,
3. Bidang Penegakan Hukum,
Pada masa ini merupakan perkembangan ketiga dari Badan Narkotika Nasional,
akan tetapi badan narkotika nasional pada masa itu dianggap kurang begitu efektif
dikarenakan lembaga tersebut hanya bersifat koordinatif dan administratif.
Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta
dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkotika. Masyarakat wajib melaporkan kepada pejabat yang berwenang apabila
mengetahui adanya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
B. BNN dalam Pencegahan Tindak Pidana Narkotika
Peran Badan Narkotika Nasional jika dikaitkan dengan pencegahan tindak
pidana narkotika adalah suatu realitas yang tidak mungkin dilepaskan, sesuai dengan
Pasal 3, Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional.
Seiring dengan perkembangannya, pemerintah telah memberlakukan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Dalam Undang-Undang ini disebutkan
bahwa setiap pengguna Narkoba yang setelah vonis pengadilan terbukti tidak
mengedarkan atau memproduksi narkotika, dalam hal ini mereka hanya sebatas
pengguna saja, maka mereka berhak mengajukan untuk mendapatkan pelayanan
22
rehabilitasi. Melihat hal tersebut, Undang-Undang ini memberikan kesempatan bagi
para pecandu yang sudah terjerumus dalam penyalahgunaan narkotika agar dapat
terbebas dari kondisi tersebut dan dapat kembali melanjutkan hidupnya secara sehat dan
normal.
Kuratif disebut juga program pengobatan. Program kuratif ditujukan kepada
pemakai Narkoba. Tujuannya adalah mengobati ketergantungan dan menyembuhkan
penyakit sebagai akibat dari pemakaian Narkoba, sekaligus menghentikan pemakaian
Narkoba. Tidak sembarang orang boleh mengobati pemakai Narkoba. Pemakaian
Narkoba sering diikuti oleh masuknya penyakit-penyakit berbahaya serta gangguan
mental dan moral. Pengobatannya harus dilakukan oleh dokter yang mempelajari
Narkoba secara khusus. Pengobatan terhadap pemakai Narkoba sangat rumit dan
membutuhkan kesabaran luar biasa dari dokter, keluarga, dan penderita. Inilah sebabnya
mengapa pengobatan pemakai Narkoba memerlukan biaya besar tetapi hasilnya banyak
yang gagal.
Kunci sukses pengobatan adalah kerjasama yang baik antara dokter, keluarga
dan penderita. Rehabilitasi adalah upaya pemulihan kesehatan jiwa dan raga yang
ditujukan kepada pemakai Narkoba yang sudah menjalani program kuratif. Tujuannya
agar ia tidak memakai lagi dan bebas dari penyakit ikutan yang disebabkan oleh bekas
pemakaian Narkoba. Seperti kerusakan fisik (syaraf, otak, darah, jantung, paru-paru,
ginjal, dati dan lain-lain), kerusakan mental, perubahan karakter ke arah negatif, asocial
dan penyakit-penyakit ikutan (HIV/AIDS, hepatitis, sifili dan lain-lain). Itulah sebabnya
mengapa pengobatan Narkoba tanpa upaya pemulihan (rehabilitasi) tidak bermanfaat.
Setelah sembuh, masih banyak masalah lain yang akan timbul. Semua dampak negatif
tersebut sangat sulit diatasi. Karenanya, banyak pemakai Narkoba yang ketika ”sudah
sadar” malah mengalami putus asa, kemudian bunuh diri.
Program represif adalah program penindakan terhadap produsen, bandar,
pengedar dan pemakai berdasar hukum. Program ini merupakan instansi pemerintah
yang berkewajiban mengawasi dan mengendalikan produksi maupun distribusi semua
zat yang tergolong Narkoba.Selain mengendalikan produksi dan distribusi, program
represif berupa penindakan juga dilakukan terhadap pemakai sebagai pelanggar undang-
undang tentang Narkoba. Instansi yang bertanggung jawab terhadap distribusi,
produksi, penyimpanan, dan penyalahgunaan Narkoba adalah : Badan Obat dan
Makanan (POM), Departemen Kesehatan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai,
23
Direktorat Jenderal Imigrasi, Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung/
Kejaksaan Tinggi/ Kejaksaan Negeri, Mahkamah Agung (Pengadilan Tinggi/
Pengadilan Negeri).
BNN dalam operasionalnya ditingkat provinsi dilaksanakan oleh Badan
Narkotika Provinsi (BNP) dan pada tingkat kabupaten Kota oleh Badan narkotika
Kabupaten/Kota (BNK). Sampai saat ini telah terbentuk 31 BNP dari 33 provinsi dan
baru terbentuk 270 BNK dari 460 Kabupaten Kota di seluruh Indonesia.33
Program kegiatan upaya Pencegahan, Pemberantasan Penyalahgunaan dan
Peredaran Gelap Narkotika atau P4GN terhadap tindak pidana narkotika yang dilakukan
oleh Badan Narkotika Nasional didasari oleh kebijakan dan strategi nasional.34
Strategi Nasional P4GN berupa : Peningkatan kampanye anti Narkotika di
lingkungan kerja, sekolah dan keluarga, untuk mengurangi tingkat prevalensi
penyalahguna Narkotika yang saat ini berjumlah 1,99 % dari total populasi penduduk
indonesia. Mengupayakan agar korban yang sembuh meningkat dan korban yang
relapse berkurang. Pengungkapan jaringan sindikat meningkat.
Adapun Kebijakan nasional P4GN yaitu menjadikan masyarakat imun terhadap
penyalahgunaan Narkotika, menyembuhkan korban penyalahguna Narkotika melalui
proram terapi dan rehabilitasi dan terus menerus memberantas jaringan sindikat
Narkotika.
Analisis mengenai penanggulangan penyalahgunaan narkotika sesuai Undang–
undang Nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika berdasarkan pada teori kebijakan. Teori
efektivitas hukum, teori kepatuhan dan ketaatan hukum serta teori sistem hukum digunakan
untuk menganalisis hambatan-hambatan dalam menanggulangi dan memberantas tindak
pidana narkotika.
Tindak pidana narkotika begitu membahayakan kelangsungan generasi muda, oleh
sebab itu tindak pidana ini perlu ditanggulangi dan diberantas. Marjono Reksodiputro
merumuskan penanggulangan sebagai untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam
batas-batas toleransi masyarakat. Selanjutnya Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa:
Kebijakan penanggulangan dalam hukum pidana pada hakikatnya merupakan
bagian dari kebijakan penegakan hukum (khususnya hukum pidana). Kebijakan
penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang pidana merupakan bagian
33 Pedoman P4GN ( Handbook Badan Narkotika Nasional , 2007) , hlm:70-73 34http://www.bnn.go.id/portalbaru/portal/konten.php?nama=PressRelease&op=detail_press_relea
se&id=68&mn=2&smn=e, Jakarta, 31 Peb 2013
24
integral dari kebijakan perlindungan masyarakat serta merupakan bagian integral dari
politik sosial. Politik sosial tersebut dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional
untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan
masyarakat.35
Pemberantasan tindak pidana narkotika merupakan usaha-usaha yang dilakukan
penegak hukum dalam pemberantasan tindak pidana penyalahgunaan narkotika, serta
konsekuensi yuridis terhadap pelanggaran Undang-undang Nomor 35 tahun 2009
tentang Narkotika. Pemberantasan tindak pidana narkotika dihubung dengan fakta–fakta
sosial. Pound sangat menekankan efektif bekerjanya dan untuk itu ia sangat
mementingkan beroperasinya hukum di dalam masyarakat. Oleh karena itu Pound
membedakan pengertian Law in hook’s di satu pihak dan law in action di pihak lain.
Pembedaan ini dapat diterapkan pada seluruh bidang hukum. Ajaran itu menonjolkan
masalah apakah hukum yang diterapkan sesuai dengan pola -pola prikelakuan.
Pada dasarnya, pemerintah telah berupaya keras untuk mengatasi masalah
pecandu yang masih minim direhabilitasi. Turunnya Peraturan Pemerintah (PP) No.25
Tahun 2011 Tentang Wajib Lapor Bagi Penyalahguna Narkoba, merupakan wujud
komitmen negara untuk mengakomodir hak pecandu dalam mendapatkan layanan terapi
dan rehabililtasi termasuk didalamnya dapat diketahui kepribadiannya dengan
pemeriksaan MMPI yang dapat menetapkan kepribadian yang akan terganggu fungsi
berpikirnya, perilaku dan emosi.
35 Arief Amrullah, 2010, Politik Hukum Pidana Dalam Perlindungan Korban kejahatan
Ekonomi di Bidang Perbankan, Bayumedia, Jakarta, hal. 22.
25
BAB 3.
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1.3 Tujuan Khusus Penelitian
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji fungsi dan peran BNN
dalam penanggulangan tindak pidana penyalahgunaan Narkotika khususnya di wilayah
kota Denpasar. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui bagaimanakah langkah-langkah yang dilakukan oleh para penegak
hukum yang terkait dan untuk melihat hambatan-hambatan apa yang di hadapi
para penegak hukum dan BNN dalam mengahatasi kasus-kasus narkotika yang
terjadi di Kota Denpasar.
2. Melihat cara pengambilan keputusan dalam pemberian saksi pidana maupun
rehabilitasi bagi pelaku penyalahgunaan narkotika
MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini sungguh penting, bermanfaat dan sangat urgen untuk dilakukan
mengingat adanya tren peningkatan kasus Narkoba di kalangan masyarakat terutama
masyarakat muda. Selain itu Untuk mengupayakan langkah-langkah yang lebih efektif
bagi penanggulangan bahaya narkotika, serta untuk meminimalisasi hambatan-
hambatan yang terjadi dalam penanggulangan narkotika baik oleh penegak hukum
maupun BNN dan untuk meningkatkan perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi
pelaku dan pengguna narkotika dalam pemberian saksi pidana maupun rehabilitasi
26
BAB 4.
METODE PENELITIAN
3.1 Konsep, Jenis Penelitian dan Metode Pendekatan.
3.1.1 Konsep Penelitian
Konsep hukum yang dikedepankan adalah konsep hukum yang berkeadilan
holistik bagi masyarakat, serta berkeadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat pengguna
(end user) dalam dimensi fair used. Konsep keadilan holistik dalam penelitian ini
adalah keadilan yang berbasis masyarakat secara keseluruhan dan keadilan dalam
konteks deep ecology.
3.1.2 Jenis Penelitian
Jenis Penelitian ini adalah penelitian hukum dalam ranah Socio Legal. Penelitian
ini mengkaji hukum Undang-Undang sebagaimana oleh berbagai faktor sosial yang
melahirkan aliran-aliran baru yang amat kritis pada pengkajian hukum yang yang
beraliran legisme murni. Milovanovic dan pengikutnya juga menyebutnya sebagai
kajian dalam ranah the sociological jurisprudence, the functional jurisprudence, dan the
critical legal studies.36
Penelitian socio legal research ini menggunakan data sekunder sebagai data
awal yang kemudian dilanjutkan dengan penggunaan dengan data primer yang diperoleh
melalui studi lapangan. Morris L.Chohen dan Kent C. Olson mengemukakan legal
research is an essential component of legal practice. It is the process offending the law
that governs an activity and materials that explain or analyze that law.37
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif naturalistik. Melalui penggunaan
metode kualitatif ini diharapkan dapat ditemukan makna-makna yang tersembunyi di
balik objek maupun subjek yang akan diteliti. Sebagaimana suatu penelitian naturalistik,
maka penelitian inipun berpedoman pada kreteria sebagai berikut : sumber data adalah
situasi yang wajar (natural setting), peneliti sebagai instrumen penelitian, sangat
deskriftif, mementingkan proses maupun produk, mencari makna, mengutamakan data
langsung, triangulasi, menonjolkan rincian kontekstual, subjek yang diteliti dipandang
36 Soetandyo Wignjosoebroto,2008, Bahan Bacaan Penulisan Disertasi (Selanjutnya disebut
Soetandyo Wignjosoebroto III), UNDIP Semarang. 37 Morris L. Cohen, Kent C. Olson, 2000, Legai Research, West Group,USA, p.. 1
27
berkedudukan sama dengan peneliti, mengutamakan perspektif emic, verifikasi,
sampling yang purposif, serta mengadakan analisis sejak awal. 38
3.1.3 Metode Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini : Conceptual approach, Statute
approach, serta comparative approach. Teori yang digunakan untuk menganalisis
permasalahan adalah : Legal System Theory dari W. Friedman, Natural Rights Theory
dari John Locke, serta Social Planning Theory dari William Fisher.
3.2 Data dan Sumber Data
Data yang diteliti dalam penelitian ini adalah Data Primer dan Data Sekunder.
Data Primer adalah data yang sumbernya langsung dari pihak- pihak yang terlibat dalam
objek penelitian atau dengan kata lain data yang diperoleh dari penelitian lapangan.
Sedangkan Data Sekunder adalah terdiri dari : a. Bahan Hukum Primer yang
bersumber dari peraturan perundang-undangan dan dokumen hukum; b. Bahan Hukum
Sekunder yang bersumber dari buku-buku dan tulisan- tulisan hukum dan textbooks;39 c.
Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan
terhadap Bahan Hukum Primer dan Bahan Hukum Sekunder.
Selain meneliti Bahan Hukum Primer, juga diteliti Bahan Hukum Sekunder yang
terdiri dari Case Law dari Jurnal Hukum baik Digital Journal maupun konvensional
Jurnal Hukum maupun Buku-Buku Literatur. Mengingat kegiatan penelitian ini juga
dilanjutkan dengan kegiatan pengkajian, pendokumentasian, pendaftaran dan
pembublikasian, maka amat penting untuk mengumpulkan data yang bersumber dari
data sekunder dalam bentuk Buku-Buku atau tulisan dalam format lainnya yang telah
memuat berbagai informasi tentang permasalahan yang di kaji.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini mempergunakan teknik pengumpulan. Data Sekunder dilakukan
dengan cara Studi Kepustakaan (studi dokumen) serta studi perbandingan yaitu
serangkaian usaha untuk memperoleh data dengan jalan membaca, menelaah,
mengklasifikasikan, mengidentifikasikan, memotret dan melakukan scanning atas
38 S. Nasution, 1996, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Tarsito, Bandung, hal.9-12. 39 Ibid.
28
dokumen-dokumen kemudian dilakukan pemahaman serta pengkajian terhadap data
yang diperoleh. Hasil dari kegiatan pengkajian tersebut kemudian dianalisis secara
sistematis sebagai intisari hasil pengkajian studi dokumen yang nantinya akan
dideskripsikan serta di-input.
Teknik pengumpulan Data Primer, dilakukan melalui studi lapangan yaitu suatu
cara untuk memperoleh data dengan cara terjun langsung ke lapangan melakukan
wawancara (interview), dengan menggunakan pedoman wawancara, untuk mendapatkan
data kualitatif. Instrumen penelitian adalah peneliti sendiri, pedoman wawancara, alat
perekam dan kamera, serta video. Sumber informasi berasal dari informan kunci
dengan menggunakan teknik snow bowling. Selain itu dalam penelitian ini juga
digunakan teknik penyebaran kwesioner pada responden untuk memperoleh data
sekunder guna menunjang data kualitatif. Instrumen penelitian adalah tenaga lapangan,
kwesioner, kamera, serta video
.
3.4 Lokasi Penelitian
Dalam penelitian ini akan mengambil lokasi: POLDA, BNN di wilayah Kota
Denpasar, BNN Provinsi Bali, Kejaksaan, Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi,
LSM yang berkaitan dengan permasalahan, LAPAS, BAPPAS.
3.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Sebagai komponen-komponen analisis data digunakan model interaktif yang
dikembangkan oleh Milles Huberman. Dalam penelitian ini, data yang diperoleh
dianalisis dengan menggunakan model analisis mengalir (flow model of analysis).40
Secara lebih rinci data yang diperoleh dari penelitian, baik yang bersumber dari
data primer maupun dari data sekunder akan diolah dan dianalisis secara kritis analitis
dan disajikan secara deskriptif analitis. Tahap analisis data merupakan satu tahapan
yang penting dalam suatu proses penelitian.
3.6 Teknik Pengecekan Validitas Data
Uji validitas digunakan untuk mengetahui apakah setiap pertanyaan dalam
variabel dapat dimengerti oleh responden maupun informan sehingga dapat memberikan
40 Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, 1992, Analisis Data Kualitatif, UI Press,
Jakarta, hal 19-20.
29
jawaban yang tepat. Suatu instrumen dalam penelitian dikatakan valid apabila mampu
mengukur apa yang diinginkan untuk diukur, dan dapat mengungkapkan data dari
variabel-variabel yang diteliti secara tetap. Dalam pengecekan terhadap validitas data
dalam penelitian kualitatif dapat digunakan triangulasi data, yakni tehnik pemeriksaan
keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan
pengecekan atau sebagai pembanding data itu.
Penelitian ini menggunakan tehnik pengecekan keabsahan ketekunan
pengamatan dan triangulasi. Melalui tehnik pengecekan ketekunan pengamatan akan
dapat diketahui unsur-unsur yang relevan dengan pokok permasalahan yang diteliti.
Sementara itu dengan tehnik triangulasi sumber dapat diperbandingkan perbedaan dan
persamaan situasi sumber saat penyampaian data dan kesesuaiannya dengan dokumen –
dokumen dalam format data sekunder yang menjadi data penelitian. Triangulasi metode
digunakan untuk mengecek validitas data yang diperoleh melalui observasi, wawancara
mendalam serta data yang diperoleh melalui penyebaran kwesioner pada pengumpulan
data primer.
30
BAB 5.
HASIL YANG DICAPAI
2.1 Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana
Belanda, yaitu strafbaarfeit.41 Kata strafbaarfeit terdiri dari feit yang dalam
bahasa belanda berarti sebagian dari suatu kenyataan atau een gedeelte van de
werkelijkheid, sedangkan strafbaar berarti dapat dihukum, sehingga secara
harafiah perkataan strafbaarfeit diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu
kenyataan yang dapat dihukum.”42
Seorang ahli hukum pidana, yaitu Moeljatno yang berpendapat bahwa
pengertian tindak pidana yang menurut istilah beliau yakni perbuatan pidana
adalah: ”Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar
larangan tersebut.”43
Wiryono Prodjodikoro memberi pandangan mengenai tindak pidana atau
dalam Bahasa Belanda strafbaarfeit yang menyatakan bahwa:
Tindak pidana atau strafbaarfeit yang sebenarnya merupakan istilah resmi dalam straafwetbook atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang sekarang berlaku di Indonesia. Ada istilah dalam bahasa asing, yaitu delict atau tindak pidana yang berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana dan pelaku ini dapat dikatakan merupakan subjek tindak pidana.44
41Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana I; Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori
Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, P.T Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 67.
42P. A. F Lamintang, 1984, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, h. 172. 43Moeljatno, 1987, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, h. 54.
44Wiryono Prodjodikoro, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, P.T. ERESCO, Jakarta, h. 50.
31
Seorang ahli hukum, yaitu Simons merumuskan unsur-unsur tindak pidana
sebagai berikut:
1. Diancam dengan pidana oleh hukum.
2. Bertentangan dengan hukum.
3. Dilakukan oleh orang yang bersalah.
4. Orang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.45
Unsur-unsur tindak pidana dapat dikelompokkan dalam 2 (dua) kelompok, yaitu:
1. Unsur obyektif terdapat di luar pelaku yang berupa perbuatan yang dilarang
dan diancam undang-undang, akibat, serta keadaan yang dilarang.
2. Unsur subyektif, yaitu unsur-unsur yang terdapat di dalam diri pelaku yang
berupa hal yang dapat dipertanggungjawabkan dan kesalahan.46
Adapun pengertian dari narkotika itu sendiri, Sudarto mengatakan bahwa:
“Kata narkotika berasal dari perkataan Yunani“Narke” , yang berarti terbius
sehingga tidak merasa apa-apa.”47 Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, pengertian narkotika adalah zat atau
obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun
semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan yang dibedakan ke dalam golongan-golongan
sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.
45Andi Hamzah, 2004, Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, h. 88.
46P. A. F Lamintang dan Djisman Samosir, 1981, Tindak Pidana-Tindak Pidana Khusus Kejahatan Yang Ditujukan Terhadap Hak Milik dan Lain-Lain Hak Yang Timbul dari Hak Milik, Tarsito, Bandung, h. 25.
47Taufik Makarao, 2005, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 17.
32
Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika, jenis-jenis narkotika dibagi menjadi 3 (tiga) golongan. Setiap
golongan narkotika memiliki fungsi yang berbeda-beda, yaitu:
1. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan
untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam
terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Contoh : heroin, kokain, ganja.
2. Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan,
digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau
untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi
mengakibatkan ketergantungan. Contoh : morfin, petidin.
3. Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan
banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan
ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan
ketergantungan. Contoh: codein.
Tindak pidana penyalahgunaan narkotika termasuk kualifikasi tindak
pidana khusus karena tindak pidana penyalahgunaan narkotika tidak menggunakan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai dasar pengaturannya, akan tetapi
menggunakan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Di
dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, kelompok
kejahatan di bidang narkotika terdiri atas: kejahatan yang menyangkut produksi
narkotika, kejahatan yang menyangkut jual beli narkotika, kejahatan yang
menyangkut pengangkutan dan transito narkotika, kejahatan yang menyangkut
penguasaan narkotika, kejahatan yang menyangkut penyalahgunaan narkotika,
kejahatan yang menyangkut tidak melaporkan pecandu narkotika, kejahatan yang
33
menyangkut label dan publikasi narkotika, kejahatan yang menyangkut jalannya
peradilan narkotika, kejahatan yang menyangkut penyitaan dan pemusnahan
narkotika, kejahatan yang menyangkut keterangan palsu, dan kejahatan yang
menyangkut penyimpangan fungsi lembaga.48
Sanksi pidana maupun denda terhadap orang yang menyalahgunakan
narkotika terdapat dalam ketentuan pidana pada Bab XV mulai dari Pasal 111
sampai dengan Pasal 148 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika. Ketentuan mengenai sanksi dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika sangat besar. Sanksi pidana paling sedikit 1 (satu) tahun
penjara sampai 20 (dua puluh) tahun penjara bahkan pidana mati. Denda yang
dicantumkan dalam Undang-Undang Narkotika tersebut berkisar antara
Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah) sampai dengan Rp 20.000.000.000,00 (dua
puluh miliar rupiah). Secara filosofis pembentukan Undang-Undang Narkotika
dengan mencantumkan sanksi yang besar dan tinggi dalam ketentuan pidana
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah menunjukkan
bahwa terdapat suatu makna untuk melindungi korban dari kejahatan
penyalahgunaan narkotika. Dengan demikian, korban yang pernah dipidana akan
menjadi takut untuk mengulangi kejahatannya lagi.
2.2 Penegakan Hukum Pidana
Jimly Asshiddiqie menulis dalam makalahnya, penegakan hukum adalah
proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma
48Gatot Supramono, 2002, Hukum Narkoba Indonesia, Djambatan, Jakarta, h. 200.
34
hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-
hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.49
Menurut Satjipto Raharjo, penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk
mewujudkan ide-ide kepastian hukum, kemanfaatan sosial, dan keadilan menjadi
kenyataan. Proses perwujudan ketiga ide inilah yang merupakan hakekat dari
penegakan hukum. Penegakan hukum dapat diartikan pula penyelenggaraan
hukum oleh petugas penegak hukum dan setiap orang yang mempunyai
kepentingan dan sesuai kewenangannya masing-masing menurut aturan hukum
yang berlaku.50
Penegakan hukum pidana adalah upaya untuk menerjemahkan dan
mewujudkan keinginan-keinginan hukum pidana menjadi kenyataan, yaitu hukum
pidana menurut Van Hammel adalah keseluruhan dasar dan aturan yang dianut
oleh negara dalam kewajibannya untuk menegakkan hukum, yakni dengan
melarang apa yang bertentangan dengan hukum (on recht) dan mengenakan
nestapa (penderitaan) kepada yang melanggar larangan tersebut.51
Dalam menegakkan hukum pidana harus melalui beberapa tahap yang
dilihat sebagai usaha atau proses rasional yang sengaja direncanakan untuk
mencapai tujuan tertentu yang merupakan suatu jalinan mata rantai aktifitas yang
tidak termasuk bersumber dari nilai-nilai dan bermuara pada pidana dan
pemidanaan. Tahap-tahap tersebut adalah:
1. Tahap Formulasi Tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh badan pembuat undang-undang yang melakukan kegiatan memilih yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan yang akan datang, kemudian
49Jimly Asshiddiqie, “Makalah Penegakan Hukum”, available from: URL: http://www.jimly.com diakses tanggal 10 Oktober 2014.
50Satjipto Raharjo, 1980, Hukum dan Masyarakat, Cetakan Terakhir, Angkasa, Bandung, h. 15.
51Sudarto, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, h. 60.
35
merumuskannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini disebut dengan tahap kebijakan legislatif.
2. Tahap Aplikasi Tahap penegakan hukum pidana (tahap penerapan hukum pidana) oleh aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian sampai ke pengadilan. Dengan demikian aparat penegak hukum bertugas menegakkan serta menerapkan peraturan- peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang- undang, dalam melaksanakan tugas ini aparat penegak hukum harus berpegang teguh pada nilai-nilai keadilan dan daya guna. Tahap ini disebut sebagai tahap yudikatif.
3. Tahap Eksekusi Tahap penegakan pelaksanaan hukum serta secara konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Pada tahap ini aparat-aparat pelaksana pidana bertugas menegakkan peraturan perundang-undangan yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang melalui penerapan pidana yang telah diterapkan dalam putusan pengadilan. Dengan demikian, proses pelaksanaan pemidanaan yang telah ditetapkan dalam pengadilan, aparat-aparat pelaksana pidana itu dalam pelaksanaan tugasnya harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang dan undang-undang daya guna.52
Sementara itu, proses penegakan hukum dalam pandangan Soerjono
Soekanto dipengaruhi oleh 5 (lima) faktor, yaitu:
1. Faktor hukumnya sendiri, yaitu berupa undang-undang. 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum. 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku
atau diterapkan. 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.53
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan
esensi dari penegakan hukum juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas
penegakan hukum.
2.3 Korban Penyalahgunaan Narkotika
52Sudarto. 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, h. 25-26.
53Soerjono Soekanto, 1983, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali, Jakarta, h. 4-5.
36
Secara umum yang dimaksud dengan korban adalah mereka yang
menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang
mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan
dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita.54 Menurut Black’s Law
Dictionary, victims adalah The person who is the object of a crime or tort, as the
victim of robbery is the person robbed.55
Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan korban adalah seseorang yang
mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang
diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
Dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika menyatakan bahwa penyalah guna adalah orang yang menggunakan
narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Penyalahgunaan narkotika dapat
diartikan sebagai tindakan atau perbuatan yang tidak sebagaimana mestinya
(menyimpang atau bertentangan dengan yang seharusnya) yang mempergunakan
narkotika secara berlebihan (overdosis) sehingga membahayakan diri sendiri,
baik secara fisik maupun psikis.56
Pengertian korban penyalahgunaan narkotika menurut Penjelasan Pasal 54
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa
korban penyalahgunaan narkotika adalah seseorang yang tidak sengaja
54Arif Gosita, 1993, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta, h. 6. 55Henry Campbell Black, 1979, Black’s Law Dictionary, West Publishing Company, St. Paul Minn.
56A. W. Widjaya,1985, Masalah kenakalan Remaja dan Penyalahgunaan Narkotika, Amirco, Bandung, h. 13.
37
menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau
diancam untuk menggunakan narkotika.
Ditinjau dari perspektif tingkat keterlibatan korban dalam terjadinya
kejahatan, Ezzat Abdel Fattah menyebutkan beberapa tipologi korban, yaitu:
1. Nonparticipating victims adalah mereka yang menyangkal atau menolak kejahatan dan penjahat tetapi tidak turut berpartisipasi dalam penanggulangan kejahatan;
2. Latent or predisposed victims adalah mereka yang mempunyai karakter tertentu cenderung menjadi korban pelanggaran tertentu;
3. Propocative victims adalah mereka yang menimbulkan kejahatan atau pemicu kejahatan;
4. Participating victims adalah mereka yang tidak menyadari atau memiliki perilaku lain sehingga memudahkan dirinya menjadi korban;
5. False victims adalah mereka yang menjadi korban karena dirinya sendiri.57
Apabila ditinjau dari perspektif tanggung jawab korban itu sendiri maka
Stephen Schafer mengemukakan tipologi korban itu menjadi tujuh bentuk, yaitu:
1. Unrelated victims adalah mereka yang tidak ada hubungan dengan si pelaku dan menjadi korban karena memang potensial. Untuk itu, dari aspek tanggung jawab sepenuhnya ada di pihak korban.
2. Proactive victims merupakan korban yang disebabkan peranan korban untuk memicu terjadinya kejahatan. Karena itu, dari aspek tanggung jawab terletak pada diri korban dan pelaku secara bersama-sama.
3. Participating victims hakikatnya perbuatan korban tidak disadari dapat mendorong pelaku melakukan kejahatan. Misalnya, mengambil uang di bank dalam jumlah besar yan tanpa pengawalan, kemudian dibungkus dengan tas plastik sehingga mendorong orang untuk merampasnya. Aspek ini pertanggungjawaban sepenuhnya ada pada pelaku.
4. Biologically weak victims adalah kejahatan disebabkan adanya keadaan fisik korban seperti wanita, anak-anak, dan manusia lanjut usia (manula) merupakan potensial korban kejahatan. Ditinjau dari pertanggungjawabannya terletak pada masyarakat atau pemerintah setempat karena tidak dapat memberi perlindunga kepada korban yang tidak berdaya.
5. Socially weak adalah korban yang tidak diperhatikan oleh masyarakat bersangkutan seperti gelandangan dengan kedudukan sosial yang lemah. Untuk itu, pertanggungjawabannya secara penuh terletak pada penjahat atau masyarakat.
57Lilik Mulyadi, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Viktimologi, Djambatan,
Denpasar, h. 124.
38
6. Self victimizing victims adalah korban kejahatan yang dilakukan sendiri (korban semu) atau kejahatan tanpa korban. Untuk itu pertanggungjawabannya sepenuhnya terletak pada korban sekaligus sebagai pelaku kejahatan.
7. Political victims adalah korban karena lawan polotiknya. Secara sosiologis, korban ini tidak dapat dipertnggungjawabkan kecuali adanya perubahan konstelasi politik.58
Selain dari prespektif yang dikemukakan kedua tokoh tersebut, sebagai
suatu perbandingan perlu pula dikemukakan beberapa tipologi yang
dikemukakan oleh Sellin dan Wolfgang sebagai berikut:
1. Primary victimization adalah korban individual. Jadi korbannya adalah orang perorangan (bukan kelompok);
2. Secondary victimization, yang menjadi korban adalah kelompok, misalnya badan hukum;
3. Tertiary victimization, yang menjadi korban adalah masyarakat luas; 4. Mutual victimization, yang menjadi korban adalah si pelaku sendiri,
misalnya pelacuran, perzinahan, dan narkotika; 5. No victimization, yang dimaksud bukan berarti tidak ada
korbanmelainkan korban tidak segera dapat diketahui. Misalnya konsumen yang tertipu dalam menggunakan suatu hasil produksi.59
Berdasarkan tingkat keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan,
korban penyalahgunaan narkotika termasuk dalam tipologi false victims, yaitu
pelaku yang menjadi korban karena dirinya sendiri. Merujuk perspektif
tanggung jawab korban, Stephen Schafer menyatakan adanya self victimizing
victims, yakni pelaku yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya
sendiri. Untuk itu pertanggungjawabannya sepenuhnya terletak pada korban
sekaligus sebagai pelaku kejahatan. Sedangkan menurut Sellin dan Wolfgang
korban penyalahgunaan narkotika merupakan mutual victimization, yaitu pelaku
58Ibid, h. 123. 59Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatri Gultom, 2006, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan
Antara Norma Dan Realita, Raja Grafindo, Jakarta, (selanjutnya disingkat Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom II), h. 49.
39
yang menjadi korban adalah si pelaku sendiri. Seperti halnya pelacuran, dan
perzinahan.
Selain itu, penyalah guna narkotika juga dapat dikategorikan sebagai
kejahatan tanpa korban (crime without victim). Pengertian kejahatan tanpa korban
berarti kejahatan ini tidak menimbulkan korban sama sekali akan tetapi si pelaku
sebagai korban. Sementara dalam kategori kejahatan, suatu perbuatan jahat haruslah
menimbulkan korban dan korban itu adalah orang lain (an act must take place that
involves harm inflicted on someone by the actor). Artinya, apabila hanya diri sendiri
yang menjadi korban, maka hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai kejahatan.60
3.1 Pengguna Narkotika Berdasarkan Perundang-Undangan
Jika dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, hakikatnya pengguna narkotika adalah orang yang menggunakan zat
atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun
semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan yang dibedakan ke dalam golongan-golongan
sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang Narkotika.
Pengguna narkotika dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu pengguna
narkotika terhadap orang lain (Pasal 116, Pasal 121, Pasal 126 Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika) dan pengguna narkotika untuk diri
sendiri (Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika).
Pengguna narkotika terhadap orang lain adalah setiap orang yang tanpa
hak atau melawan hukum memberikan narkotika untuk digunakan oleh orang lain.
Melawan hukum dalam bahasa Belanda adalah wederrechtelijk (weder:
bertentangan dengan, melawan; recht: hukum). Melawan hukum berarti pula
60http://www.gepenta.com/artikel-Rehabilitasi+Korban+Pengguna+Narkoba-.phpx diakses tanggal
10 Oktober 2014.
40
dengan tanpa hak atau ijin dari pihak yang berwenang. Sedangkan pengguna
narkotika untuk diri sendiri adalah penggunaan narkotika yang dilakukan oleh
seseorang tanpa hak atau melawan hukum. Jika orang yang bersangkutan dapat
dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika, maka ia harus
menjalani rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial dan masa rehabilitasinya
akan diperhitungkan sebaga masa menjalani hukuman.
Penggunaan istilah “pengguna narkotika” digunakan untuk memudahkan
dalam penyebutan bagi orang yang menggunakan narkotika dan untuk
membedakan dengan penanam, produsen, penyalur, kurir, dan pengedar narkotika.
Walaupun penanam, produsen, penyalur, kurir, dan pengedar narkotika juga
menggunakan narkotika, namun yang dimaksud dengan pengguna narkotika
adalah orang yang menggunakan narkotika bukan penanam, produsen, penyalur,
kurir dan pengedar narkotika.61
Jika dikaitkan dengan orang yang menggunakan narkotika, dalam Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dapat ditemukan berbagai
istilah antara lain:
1. Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
yang menyebutkan bahwa “Pecandu narkotika adalah orang yang
menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan
ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis”.
2. Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
yang menyebutkan bahwa: “Penyalah guna adalah orang yang menggunakan
narkotika tanpa hak atau melawan hukum”.
61http://www.slideshare.net/adeblonde/kedudukan-hukum-pengguna-narkotiska-dalam-uu-ri-no-35-
thn-2009 diakses tanggal 21 Oktober 2014.
41
3. Penjelasan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
yang dimaksud dengan korban penyalahgunaan narkotika adalah seseorang
yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu,
dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika.
4. Penjelasan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
yang dimaksud dengan mantan pecandu narkotika adalah orang yang telah
sembuh dari ketergantungan terhadap narkotika secara fisik dan psikis.
Keberagaman istilah untuk pengguna narkotika tersebut berpotensi
membingungkan dan dapat menimbulkan ketidakjelasan baik dalam merumuskan
berbagai ketentuan didalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika maupun pada pelaksanaannya. Salah satu permasalahan akibat
banyaknya istilah adalah kerancuan pengaturan, yaitu didalam Pasal 4 huruf d
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa
“Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan: menjamin pengaturan upaya
rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalah guna dan pecandu narkotika”, namun,
dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
menyebutkan bahwa “Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika
wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial”. Berdasarkan Pasal 54
hak penyalah guna untuk mendapat rehabilitasi menjadi diabaikan.
Penyalah guna yang pada awalnya mendapatkan jaminan rehabilitasi
namun dengan memandang asas legalitas yang diterapkan di Indonesia, maka
dalam pelaksanaannya penyalahguna narkotika harus menghadapi resiko ancaman
pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika yang menyatakan bahwa:
(1) Setiap Penyalah Guna:
42
a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun;
b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun; dan
c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55,
dan Pasal 103.
(3) Dalam hal penyalah guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika, penyalah
guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Namun, hakim juga diberikan kemungkinan untuk tidak menjatuhkan
pidana penjara karena dalam pasal-pasal yang berkaitan dengan Pasal 127
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terdapat pula
penjatuhan sanksi tindakan rehabilitasi oleh hakim. Pasal yang dimaksud, yaitu
Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang
menyatakan bahwa, "Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika
wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial” dan Pasal 55 Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang berbunyi:
(1) Orang tua atau wali dari pecandu narkotika yang belum cukup umur wajib
melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau
lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh
Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
43
(2) Pecandu narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau
dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit,
dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh
Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
(3) Ketentuan mengenai pelaksanaan wajib lapor sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Selanjutnya, Pasal 103 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
yang menyatakan bahwa:
(1) Hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat:
a. Memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan
dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu narkotika tersebut
terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika;atau
b. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani
pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu narkotika
tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.
(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu narkotika
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa
menjalani hukuman.
3.2 Kriteria Pengguna Narkotika Dapat Dikatakan Sebagai Korban
Penyalahgunaan Narkotika
Di dalam Pasal 127 ayat (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika disebutkan bahwa penyalah guna wajib menjalani rehabilitasi
44
medis dan rehabilitasi sosial jika dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban
penyalahgunaan narkotika.
Pada Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika disebutkan bahwa yang dimaksud dengan penyalah guna adalah orang
yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Sedangkan di
dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
disyaratkan bahwa narkotika hanya digunakan untuk kepentingan pelayanan
kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, selanjutnya di
dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika lebih
membatasi penggunaan Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk
kepentingan pelayanan kesehatan dan dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan
I hanya dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah
mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat
dan Makanan. Sehingga bila seseorang yang menggunakan narkotika melanggar
aturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan 8 Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika, maka pelaku tersebut tidak mempunyai hak atau
perbuatannya bersifat melawan hukum.
Selanjutnya yang dimaksud dengan korban penyalahgunaan narkotika,
menurut penjelasan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena
dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan
narkotika. Dengan demikian, seorang korban penyalahgunaan narkotika harus
terbukti tidak mempunyai unsur kesengajaan dikarenakan adanya keadaan yang
45
memaksa untuk menggunakan narkotika atau ketidaktahuan yang bersangkutan
jika yang digunakannya adalah narkotika.
Pembuktian penyalah guna narkotika merupakan korban penyalahgunaan
narkotika merupakan hal yang sulit karena harus melihat awal penyalah guna
narkotika menggunakan narkotika dan diperlukan pembuktian bahwa penyalah
guna narkotika ketika menggunakan narkotika dalam kondisi dibujuk, diperdaya,
ditipu, dipaksa, dan/ atau diancam untuk menggunakan narkotika.
Dalam implementasinya, Mahkamah Agung mengeluarkan terobosan
dengan mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 04 Tahun
2010 tentang Penetapan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan, dan Pecandu
Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial yang
menjadi pertimbangan hakim dalam memutus suatu persoalan hukum terhadap
pengguna narkotika, maka ditentukan klasifikasi tindak pidana sebagai berikut:
1. Terdakwa pada saat ditangkap oleh penyidik Polri dan penyidik Badan
Narkotika Nasional dalam kondisi tertangkap tangan.
2. Pada saat tertangkap tangan sesuai butir a diatas ditemukan barang bukti
pemakaian 1 (satu) hari dengan perincian antara lain sebagai berikut:
a. Kelompok Methamphetamine (sabu-sabu) seberat 1 gram.
b. Kelompok MDMA (ectasy) seberat 2,4 gram/ sebanyak 8 butir.
c. Kelompok Heroin seberat 1,8 gram.
d. Kelompok Kokain seberat 1,8 gram.
e. Kelompok Ganja seberat 5 gram.
f. Daun Koka seberat 5 gram.
g. Meskalin seberat 5 gram.
h. Kelompok Psilosybin seberat 3 gram.
46
i. Kelompok LSD (d-lysergic acid diethylamide) seberat 2 gram.
j. Kelompok PCP (Phencyclidine) seberat 3 gram.
k. Kelompok Fentanil seberat 1 gram.
l. Kelompok Metadon seberat 0,5 gram.
m. Kelompok Morfin seberat 1,8 gram.
n. Kelompok Petidine seberat 0,96 gram.
o. Kelompok Kodein seberat 72 gram.
p. Kelompok Bufrenorfin seberat 32 gram.
3. Surat uji laboratorium positif menggunakan narkotika berdasarkan permintaan
penyidik.
4. Perlu surat keterangan dari dokter jiwa/psikiater pemerintah yang ditunjuk
oleh hakim.
5. Tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan terlibat dalam peredaran gelap
narkotika.
Dalam hal hakim menjatuhkan pemidanaan berupa perintah untuk
dilakukan tindakan hukum berupa rehabilitasi atas diri terdakwa, majelis hakim
harus menunjuk secara tegas dan jelas tempat rehabilitasi yang terdekat dalam
amar putusannya. Tempat-tempat rehabilitasi yang dimaksud adalah:
a. Lembaga rehabilitasi medis dan sosial yang dikelola dan/atau dibina dan
diawasi oleh Badan Narkotika Nasional.
b. Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Cibubur, Jakarta.
c. Rumah Sakit Jiwa di seluruh Indonesia (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia).
d. Panti Rehabilitasi Departemen Sosial Republik Indonesia dan Unit Pelaksana
Teknis Daerah (UPTD).
47
e. Tempat-tempat rujukan lembaga rehabilitasi yang diselenggarakan oleh
masyarakat yang mendapat akreditasi dari Departemen Kesehatan atau
Departemen Sosial (dengan biaya sendiri).
Untuk menjatuhkan lamanya proses rehabilitasi, hakim harus sungguh-
sungguh mempertimbangkan kondisi atau taraf kecanduan terdakwa sehingga
wajib diperlukan adanya keterangan ahli dan sebagai standar dalam proses terapi
dan rehabilitasi adalah sebagai berikut:
a. Program Detoksifikasi dan Stabilisasi, lamanya 1 (satu) bulan.
Pada fase ini, pecandu menghadapi gejala putus zat (withdrawal). Untuk
membantu melewati masa putus zat digunakan pendekatan pharmakoterapi
dengan cara simptomatik atau substitusi.
b. Program Primer, lamanya 6 (enam) bulan.
Fase dilakukannya perubahan-perubahan yang bersifat internal. Pada fase ini
dibangun kembali sikap, pola hidup, kemampuan mengelola emosi,
pemahaman dan penerimaan diri, dan intelektual. Fase ini merupakan landasan
bagi proses pertumbuhan seorang pecandu dalam menjalankan pemulihannya.
c. Program Re-Entry, lamanya 6 (enam) bulan.
Maksud dari re-entry adalah kembali berintegerasi dengan kehidupan sosial
masyarakat (mainstream). Pada fase ini seorang pecandu di dalam program
sudah mulai kembali berintegerasi dengan lingkungan sosial masyarakat.
Hakim dalam menjatuhkan pemidanaan berupa rehabilitasi terhadap
pengguna narkotika yang telah dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan
narkotika merupakan makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana dilihat dari sudut
pendekatan kebijakan sosial, yaitu upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial
(termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai tujuan nasional (kesejahteraan
masyarakat). Tindakan rehabilitasi berupa rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial
48
terhadap korban penyalahgunaan narkotika dapat menjadikan hukum positif menjadi
lebih baik.
Sanksi Yang Dijatuhkan Oleh Hakim Pada Pengguna Narkotika
Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, sanksi bagi pengguna narkotika diatur dalam pasal sebagai berikut:
Pasal 116:
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika
Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I
untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau pemberian
Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku
dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah
1/3 (sepertiga).
Pasal 121:
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika
Golongan II tehadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan II
untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling
49
sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
(2) Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau pemberian
Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku
dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah
1/3 (sepertiga).
Pasal 126:
(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika
Golongan III tehadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan III
untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Dalam hal penggunaan narkotika tehadap orang lain atau pemberian
Narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 127:
(1) Setiap Penyalah Guna:
50
a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun;
b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun; dan
c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55,
dan Pasal 103.
(3) Dalam hal penyalah guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika, penyalah
guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Pasal 128:
(1) Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang sengaja tidak melapor, dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda
paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(2) Pecandu narkotika yang belum cukup umur dan telah dilaporkan oleh orang
tua atau walinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) tidak
dituntut pidana.
(3) Pecandu narkotika yang telah cukup umur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 55 ayat (2) yang sedang menjalani rehabilitasi medis 2 (dua) kali masa
perawatan dokter di rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis yang
ditunjuk oleh pemerintah tidak dituntut pidana.
51
(4) Rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) harus memenuhi standar kesehatan yang ditetapkan oleh
Menteri.
Pasal 134:
(1) Pecandu narkotika yang sudah cukup umur dan dengan sengaja tidak
melaporkan diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda
paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
(2) Keluarga dari pecandu narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
dengan sengaja tidak melaporkan pecandu narkotika tersebut dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling
banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
52
BAB 6.
RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA
1. Menganalisa data dengan mencari jawaban akan manfaat rehabilitasi bagi pelaku
tindak pidana narkotika
2. Menganalisa Urgenitas tempat Rehabilitasi yang tepat bagi pelaku tindak pidana
narkotika
3. Melakukan tindakan pendampingan bagi pelaku tindak pidana narkotika dan
Pemantauan BNN di masyarakat terhadap pelaku tindak pidana narkotika setelah
melakukan rehabilitasi
4. Penentuan sanksi pidana atau rehabilitasi terhadap pelaku penyalahgunaan
narkotika.
5. Peranan BNN dalam menentukan Rehabilitasi bagi pelaku tindak pidana
narkotika
6. Hasil dari penelitian ini dimasukkan dalam jurnal ilmiah nasional.
7. Melakukan sosialisasi hasil penelitian kepada masyarakat umum dan remaja
serta LSM peduli terhadap perkembangan narkotika di kalangan masyarakat
terutama di wilayah kota Denpasar.
53
BAB 7.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan uraian permasalahan yang telah dibahas, maka dapat ditarik
simpulan sebagai berikut:
1. Pengguna narkotika yang dimaksud sebagai korban penyalahgunaan narkotika
sebagaimana menurut Penjelasan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika yang menyatakan bahwa korban penyalahgunaan
narkotika adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena
dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan
narkotika.
2. Pertimbangan hakim di Pengadilan Negeri Denpasar dalam menjatuhkan
sanksi pada pengguna narkotika antara lain:
a. Dibuktikan adanya perbuatan melawan hukum yang artinya tanpa hak atau
tanpa ijin dari pihak yang berwenang.
b. Adanya rekam medis bahwa orang tersebut positif mengkonsumsi
narkotika.
c. Barang bukti berdasarkan uji laboratorium forensik positif mengandung
sediaan narkotika.
d. Adanya barang bukti berupa alat hisap narkotika (bong).
54
Saran
Berdasarkan uraian dan simpulan di atas, maka diajukan saran sebagai
berikut:
1. Kualifikasi pengguna narkotika sebagai korban penyalahgunaan narkotika
sebaiknya memenuhi hasil pemeriksaan penyidik Polri yang dituangkan dalam
berkas perkara bahwa yang bersangkutan telah menyalahgunakan narkotika
minimal 6 (enam) bulan yang lalu dan dalam rangka pelaksanaan rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial bagi pecandu narkotika dan korban
penyalahgunaan narkotika, di Bali belum ada tempat khusus untuk
melaksanakan rehabilitasi sosial. Oleh karena itu, diharapkan agar pihak yang
berkompeten dibidang ini menyediakan tempat khusus untuk melaksanakan
rehabilitasi sosial.
2. Hakim dalam memberikan putusannya terhadap korban penyalahgunaan
narkotika selain berdasarkan pertimbangan hakim juga harus ada bukti secara
tertulis yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang (dokter) tentang hasil test
darah dan urine terdakwa yang positif telah menggunakan narkotika secara
melawan hukum (tanpa seijin dokter). Hal ini diajukan saran mengingat dalam
putusan hakim walaupun hasil test darah dan urine terdakwa negatif (tidak ada
indikasi telah menggunakan narkotika), tetapi oleh hakim diputus berdasarkan
Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika.
55
DAFTAR PUSTAKA
BUKU Soetandyo Wignjosoebroto, 2008, Bahan Bacaan Penulisan Disertasi (Selanjutnya
disebut Soetandyo Wignjosoebroto III), UNDIP Semarang. Siswanto Sunarso, 2004, Penegakan Hukum Psikotropika dalam Kajian Sosiologi
Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta S. Nasution, 1996, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Tarsito, Bandung Pedoman P4GN ( Handbook Badan Narkotika Nasional , 2007) Morris L. Cohen, Kent C. Olson, 2000, Legai Research, West Group,USA Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, 1992, Analisis Data Kualitatif, UI Press,
Jakarta Lydia Harlina Martono & Satya Joewana, 2006, Membantu Pemulihan Pecandu
Narkoba & Keluarganya, Balai Pustaka, Jakarta Bambang Sutiyoso, 2007, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum yang
Pasti dan Berkeadilan, UII Press, Yogyakarta Arief Amrullah, 2010, Politik Hukum Pidana Dalam Perlindungan Korban kejahatan
Ekonomi di Bidang Perbankan, Bayumedia, Jakarta INTERNET Roelly Rosuli, 2012, Kantor Baru BNN Bali Dipelaspas,
http://balinasionalnews.blogspot.com, diakses 11 April 2013. Cokorda Yudhistira, 2013, BNN Bangun Pusat Rehabilitasi di Bali,
http://nasional.kompas.com, diakses 11 April 2013. BNN: Kasus Penyalahgunaan Narkotika di Indonesia Naik Tajam
http://www.majalahpotretindonesia.- com, diakses 14 April 2013. http://www.bnn.go.id Nyuciek Asih, 2012, Nyabu, Eks Pilot Lion Air Diganjar Satu Tahun,
http://www.beritajatim.com diakses 12 April 2013. Lima Pengguna Narkoba Di Sumenep Jalani Rehabilitasi, http://www.ciputranews.com,
diakses 12 April 2013.
56
Pengguna Narkotika di Bali Mencapai 50.530 Orang, http://www.beritabali.com, diakses 12 April 2013.
http://www.beritaindonesia.co.id/nasional/Narkoba-menyebar-ke-penjuru-negeri, Jan 6,
2013 at 22:40 pm http://www. cribd.com/doc/43029701/Untitled , Mart 7, 2013 at 10.48 am http://www.bnn.go.id/portalbaru/portal/konten.php?nama=PressRelease&op=detail_pre
ss_release&id=68&mn=2&smn=e, Jakarta, 31 Peb 2013
57
LAMPIRAN - LAMPIRAN
58
1. Tabel-Tabel
Tahun Jumlah Umur Jenis Yang Disalahgunakan Lokasi Rujukan
2013 3 38th Methamphetamine Balai Rehab Lido (Bogor)
40th Methamphetamine Balai Rehab Lido (Bogor)
41th Amphetamine Balai Rehab Lido (Bogor)
2014 4 32th Methamphetamine Balai Rehab Lido (Bogor)
18th Amphetamine Balai Rehab Baddoka (Makasar)
37th Putau Balai Rehab Baddoka (Makasar)
39th Marijuana Balai Rehab Lido (Bogor)
2015 30 37th Amphetamine Balai Rehab Lido (Bogor)
21th Sabu-Sabu Yayasan Gerasa
39th Sabu-Sabu Yayasan Dua Hati
38th Sabu-Sabu Yayasan Yakita
42th Sabu-Sabu Yayasan Yakeba
46th Sabu-Sabu Yayasan Yakita
33th Sabu-Sabu Yayasan Dua Hati
25th Sabu-Sabu Yayasan Yakeba
28th Inex Yayasan Dua Hati
31th Sabu-Sabu Yayasan Dua Hati
27th Inex Yayasan Dua Hati
21th Inex Yayasan Gerasa
23th Inex Yayasan Gerasa
23th Inex Yayasan Yakita
32th Inex Yayasan Yakeba
27th Inex Yayasan Yakeba
23th Inex Yayasan Yakita
33th Inex Yayasan Yakita
21th Inex Yayasan Yakeba
21th Inex Yayasan Yakita
25th Methamphetamine Yayasan Gerasa
21th Amphetamine Balai Rehab Lido (Bogor)
23th Inex Galih Pakuan (Bogor)
16th Inex Yayasan Yakita
23th Inex BNN Kota Denpasar
30th Amphetamine BNN Kota Denpasar
31th Amphetamine BNN Kota Denpasar
35th Amphetamine BNN Kota Denpasar
DATA PENGGUNA NARKOBA DI KOTA DENPASAR
PERIODE 2013-2015
Sumber data : BNN Kota Denpasar
59
Bulan/
Tahun
Jumlah Klien
Awal
Jumlah Klien
Baru
Jumlah Klien
Keluar
Jumlah Klien
Akhir
Jul-13 35 0 0 35
Agust-13 35 5 3 37
Sep-13 37 4 2 39
Okt-13 39 2 1 40
Nop-13 40 2 3 39
Des-13 39 0 1 38
Jan-14 38 0 2 36
Feb-14 36 2 5 33
Mar-14 33 0 1 32
Apr-14 32 4 0 36
Mei-14 36 0 0 36
Jun-14 36 0 3 33
Jul-14 33 2 4 31
Agust-14 31 4 1 34
Sep-14 34 1 1 34
Okt-14 34 2 1 35
Nop-14 35 1 7 29
Des-14 29 0 0 29
Jan-15 29 3 1 31
Feb-15 31 2 1 32
Mar-15 32 0 3 29
Apr-15 29 0 1 28
Mei-15 28 1 4 25
Jun-15 25 3 3 25
2013
2014
2015
Data Peserta Layanan Terapi Metadon Lapas Kelas IIA Kerobokan
Periode 2013-2015
60
2. IJIN PENELITIAN
61
3. LUARAN ���� ARTIKEL PADA SAAT SEMINAR SENASTEK
BNN DAN REHABILITASI DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PENANGGULANGANNYA
SAGUNG PUTRI M.E PURWANI11), A.A NGURAH YUSA DARMADI22),
I MADE WALESA PUTRA33) 1)Bagian Hukum Pidana,Fakultas Hukum,Universitas Udayana, Jalan P. Bali, Denpasar, 80114,
Telp (0361)222666,E-mail : [email protected] 2) Bagian Hukum Pidana,Fakultas HukumUniversitas Udayana, Jalan P. Bali, Denpasar, 80114, 3) Bagian Hukum Pidana,Fakultas Hukum,Universitas Udayana,Jalan P. Bali, Denpasar, 80114,
Abstrak
Penelitian ini adalah penelitian hukum dalam ranah Socio Legal yang berbertujuan untuk mengkaji fungsi dan peran BNN khususnya di kota Denpasar, dalam penanggulangan tindak pidana penyalahgunaan Narkotika bagi pengguna. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini : Conceptual approach, Statute approach, serta comparative approach. Penelitian mempergunakan data primer, dengan menggunakan pedoman wawancara, untuk mendapatkan data kualitatif yang berlokasi: di POLDA, BNN di wilayah Kota Denpasar, BNN Provinsi Bali, Kejaksaan, Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, LSM yang berkaitan dengan permasalahan, LAPAS, BAPPAS. Penelitian ini menggunakan tehnik pengecekan keabsahan ketekunan pengamatan dan metode triangulasi. Dari permasalahan dapatlah dikatakan bahwa sampai saat ini hambatan yang dihadapi oleh BNN Kota Denpasar adalah diperlukan dokter yang secara khusus untuk mengobati pemakai Narkoba. Pengobatan tersebut memerlukan biaya besar serta diperlukan juga tempat rehabilitasi yang jelas, karena sampai saat ini hanya melalui titipan saja. BNN kota Denpasar dalam menaggulangi kekurangan tersebut dilakukanlah program kuratif yang ditujukan kepada pemakai Narkoba. UU Narkotika juga memberikan kewenangan Hakim untuk memerintahkan pecandu menjalani pengobatan perawatan melalui rehabilitasi, Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa; Hakim mempunyai kewenangan untuk Memerintahkan,
Memutuskan dan Menetapkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi. dan BNN kota Denpasar sudah sangat mendesak membutuhkan tempat rehabilitasi tersendiri, sehingga tugas dan fungsi dapat berjalan sesuai dengan yang direncanakan.
Kata Kunci : BNN, Rehabilitasi, Penanggulangan dan Tindak Pidana Narkotika
1. PENDAHULUAN
Gejala atau fenomena terhadap penyalahgunaan narkotika dan upaya penanggulangannya saat ini sedang mencuat dan menjadi perdebatan dikalangan para ahli hukum. Fenomena ini sudah mendekati suatu tindakan yang mengkhawatirkan dan sangat membahayakan. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 17 Tahun 2002 Tentang Badan Narkotika Nasional (BNN) sebagai sebuah lembaga forum dengan tugas mengkoordinasikan 25 instansi pemerintah terkait dan ditambah dengan kewenangan operasional untuk mengkoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan nasional penanggulangan narkoba. Baru kemudian tahun 2003 BNN mendapatkan alokasi anggaran dari APBN, namun karena tanpa struktur kelembagaan yang memiliki jalur komando yang tegas dan hanya bersifat koordinatif, maka BNN dinilai tidak bekerja secara optimal dan dianggap tidak mampu meneyelesaikan permasalahan nrkotika yang terus meningkat.
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, yang merupakan perubahan dari Undang-Undang No. 22 Tahun 1997, BNN diberikan kewenangan penyelidikan tindak pidana narkotika dan precursor narkotika. Berdasarkan undang-undang tersebut status kelembagaan BNN menjadi Lembaga Pemerintah Non-Kementrian (LPNK) dengan struktur vertical ke Provinsi dan Kabupaten/Kota. Badan Narkotika Nasional berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden. Pendekatan penanggulangan penyalahgunaan narkotika di Indonesia belum terpadu dan instansi atau kelompok masyarakat bekerja
62
sendiri-sendiri. Sehingga hasil yang diperoleh belum optimal. Banyak instansi selain Kepolisian yang memiliki tugas memberantas penyalahgunaan narkotika, namun belum ada upaya pembinaan khusus terhadap pengguna sebagai korban, karena sampai saat ini masyarakat masih beranggapan bahwa para pengguna itu adalah penjahat dan tanpa mendalami lebih jauh mengapa mengkonsumsi narkotika.
Crime without victim dapatlah dikatakan seperti itu bagi penyalahgunaan narkotika, dalam hal ini kejahatan tanpa adanya korban, dengan kata lain bahwa korban dari kejahatan ini adalah dirinya sendiri, pelaku yang sekaligus menjadi korban.62 Seorang penyalah guna narkotika dan pecandu harus dijauhkan dari stigma pidana dan diberikan perawatan. Faktor terpenting dalam upaya penanggulangan penyalahgunaan narkotika sering diabaikan terutama oleh aparat penegak hukum di Indonesia, yaitu adanya upaya rehabilitasi. Model pemidanaan terhadap penyalah guna narkotika sampai sekarang ini masih menempatkannya sebagai pelaku tindak pidana (kriminal) sehingga upaya rehabilitasi sering terabaikan.63
Penyalah guna narkotika dan pecandu narkotika adalah sama-sama menggunakan atau menyalahgunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Hanya saja bagi pecandu narkotika mempunyai karakteristik tersendiri, yakni adanya ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis. Sehingga bagi pecandu hanya dikenakan tindakan berupa kewajiban menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Pasal 127 Undang-Undang Narkotika, penyalah guna narkotika bisa menjadi subyek yang dapat dipidana kecuali dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika, maka penyalah guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Sanksi pidana yang dijatuhkan terhadap penyalahgunaan Narkoba, pengguna hanya dikenakan sanksi rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial, Hal ini sejalan dengan SEMA No. 3 Tahun 2011 tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika di dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial, yang menempatkan agar hakim memberikan perintah penempatan pada lembaga rehabilitasi sosial dan medik baik dalam bentuk penetapan ataupun putusan bagi penyalah guna, korban penyalahgunaan dan pecandu Narkoba, namun ada kemungkinan terjadi disparitas putusan hakim dalam kasus Narkoba dapat terjadi terhadap pemakai yang satu dengan yang lain atau antara pengedar yang satu dengan pengedar yang lain atau hukuman untuk pemakai yang satu bisa berupa sanksi penjara sedangkan pemakai yang lain dapat di kenakan rehabilitasi.
Banyak penelitian yang membicarakan mengenai narkotika, namun dalam hal ini lebih banyak menyoroti dan mencari kelemahan dan kesalahan yang dilakukan oleh penyidik atau aparat penegak hukum, yang terkesan hanya kegiatan represif saja. Disamping itu terkesan bahwa penyuluhan atau komunikasi dan informasi serta edukasi kepada masyarakat lebih banyak menunggu permintaan dari pihak lain atau kelompok masyarakat. Hal tersebutlah diperlukan adanya hasil yang berkesinambungan.
Berdasarkan hal tersebutlah dilakukan penelitian ini, yang bertujuan untuk mengkaji fungsi dan peran BNN dalam penjatuhan rehabilitasi bagi penyalahgunaan Narkotika khususnya di wilayah kota Denpasar dan mengetahui langkah-langkah yang dilakukan oleh BNN kota Denpasar, serta menganalisa hambatan-hambatan yang di hadapi dalam penentuan rehabilitasi terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika di Kota Denpasar.
2. BAHAN DAN METODE
Jenis penelitian ini adalah Socio Legal Research, yang mencoba menemukan kebenaran dengan tetap bertumpu pada premis normatif dengan fokus kajiannya pada esensi hukum yang tertuang dalam bentuk norma-norma, yang kemudian dihubungkan dengan kenyataan yang terjadi di lapangan. Jenis pendekatan yang utamanya akan dipergunakan dalam penelitian ini adalah statute approach, conceptual approach dan comparative
62 Weda Darma Made, 1999, Kronik dalam Penegakan Hukum Pidana, Guna Widya, Jakarta, h. 80 63.http://www.gepenta.com/artikelMembangun+Paradigma+Dekriminalisasi+Korban+Pengguna+Na
rkoba-.phpx diakses tanggal 22 September 2015.
63
approach. Sumber Data yang telah dikumpulkan diklasifikasikan untuk mempermudah menganalisa sumber-sumber tersebut.
Teknik pengumpulan Data Primer, dilakukan melalui studi lapangan, untuk memperoleh data dengan cara terjun langsung ke lapangan melakukan wawancara (interview), dengan menggunakan pedoman wawancara, untuk mendapatkan data kualitatif. Instrumen penelitian adalah peneliti sendiri, pedoman wawancara, alat perekam dan kamera. Sumber informasi berasal dari informan kunci dengan menggunakan teknik snow bowling. Selain itu dalam penelitian ini juga digunakan teknik penyebaran kwesioner pada responden untuk memperoleh data sekunder guna menunjang data kualitatif. Penelitian ini mengambil lokasi: POLDA, BNN di wilayah Kota Denpasar, BNN Provinsi Bali, Kejaksaan, Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, LSM yang berkaitan dengan permasalahan, LAPAS, BAPPAS.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data dilakukan Secara lebih rinci data yang diperoleh dari penelitian, baik yang bersumber dari data primer maupun dari data sekunder akan diolah dan dianalisis secara kritis analitis dan disajikan secara deskriptif analitis. Uji validitas digunakan untuk mengetahui apakah setiap pertanyaan dalam variabel dapat dimengerti oleh responden maupun informan sehingga dapat memberikan jawaban yang tepat. Suatu instrumen dalam penelitian dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan untuk diukur, dan dapat mengungkapkan data dari variabel-variabel yang diteliti secara tetap. Pengecekan terhadap validitas data dalam penelitian kualitatif dapat digunakan triangulasi data, yakni tehnik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding data itu.
Penelitian ini menggunakan tehnik pengecekan keabsahan ketekunan pengamatan dan triangulasi. Melalui tehnik pengecekan ketekunan pengamatan akan dapat diketahui unsur-unsur yang relevan dengan pokok permasalahan yang diteliti. Sementara itu dengan tehnik triangulasi sumber dapat diperbandingkan perbedaan dan persamaan situasi sumber saat penyampaian data dan kesesuaiannya dengan dokumen –dokumen dalam format data skunder yang menjadi data penelitian. Triangulasi metode digunakan untuk mengecek validitas data yang diperoleh melalui observasi, wawancara mendalam serta data yang diperoleh melalui penyebaran kwesioner pada pengumpulan data primer.
3. HASIL
Penelitian yang dilakukan di beberapa lokasi yaitu POLDA, BNN di wilayah Kota Denpasar, BNN Provinsi Bali, Kejaksaan, Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, LSM yang berkaitan dengan permasalahan, LAPAS, BAPPAS melalui hasil wawancara dapatlah dikatakan, secara garis besarnya bahwa dengan terbentuknya BNN khususnya di kota Denpasar terlihat penanganannya lebih jelas dan terkoordinasi. Ini dibuktikan dengan lebih banyaknya terungkap dan lebih banyak barang bukti yang disita, dan yang lebih penting lagi lebih banyak generasi muda terselamatkan dari bahaya narkotika.
Hasil wawancara didapatkan pula adanya kemungkinan disparitas putusan hakim terhadap pemakai. Hukuman untuk pemakai yang satu bisa berupa sanksi penjara sedangkan pemakai yang lain dapat di kenakan rehabilitasi, perbedaan putusan inilah terkadang menyulitkan BNN untuk menentukan sikap. Hal ini pun tidak bias menyalahkan hakim begitu saja mengingat UU Narkotika pada Pasal 127 mengancam pidana penjara bagi penyalah guna narkotika. Disatu sisi dalam Pasal 127 tersebut menyatakan bahwa penyalah guna narkotika itu adalah korban yang wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Disinilah nampak adanya konflik norma pada Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Bali, khususnya Denpasar belum memiliki panti rehabilitasi bagi pecandu, untuk itulah diperlukan sebuah tempat bagi mereka yang menjalani pemulihan, karena saat ini fungsi dokter khusus yang menangani hal tersebut belum berperan secara maksimal, sehingga BNN kota Denpasar menganggap perlu segera dibangun tempat pemulihan bagi pecandu, sehingga upaya kuratif dan rehabilitative tersebut dapat terlaksana sesuai apa yang
64
digariskan oleh UU. Sehingga dapat membantu korban atau pengguna untuk keluar dari ketergantungan dan dapat hidup produktif di tengah-tengah masyarakat.
4. PEMBAHASAN
Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa penyalah guna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Penyalahgunaan narkotika dapat diartikan sebagai tindakan atau perbuatan yang tidak sebagaimana mestinya (menyimpang atau bertentangan dengan yang seharusnya) yang mempergunakan narkotika secara berlebihan (overdosis) sehingga membahayakan diri sendiri, baik secara fisik maupun psikis.64
Pengertian korban penyalahgunaan narkotika menurut Penjelasan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa korban penyalahgunaan narkotika adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika.
Berdasarkan tingkat keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan, korban penyalahgunaan narkotika termasuk dalam tipologi false victims, yaitu pelaku yang menjadi korban karena dirinya sendiri, untuk itu pertanggungjawabannya sepenuhnya terletak pada korban sekaligus sebagai pelaku kejahatan.
Undang-Undang Narkotika, hakikatnya pengguna narkotika adalah orang yang menggunakan zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang Narkotika.
Pengguna narkotika dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu pengguna narkotika terhadap orang lain (Pasal 116, Pasal 121, Pasal 126 UU Narkotika) dan pengguna narkotika untuk diri sendiri (Pasal 127 UU tersebut).
Pengguna narkotika terhadap orang lain adalah setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memberikan narkotika untuk digunakan oleh orang lain. Melawan hukum berarti pula dengan tanpa hak atau ijin dari pihak yang berwenang. Sedangkan pengguna narkotika untuk diri sendiri adalah penggunaan narkotika yang dilakukan oleh seseorang tanpa hak atau melawan hukum. Jika orang yang bersangkutan dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika, maka harus menjalani rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial dan masa rehabilitasinya akan diperhitungkan sebaga masa menjalani hukuman.65
Penyalah guna yang pada awalnya mendapatkan jaminan rehabilitasi namun dengan memandang asas legalitas yang diterapkan di Indonesia, maka dalam pelaksanaannya penyalahguna narkotika harus menghadapi resiko ancaman pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, namun, hakim juga diberikan kemungkinan untuk tidak menjatuhkan pidana penjara karena dalam pasal-pasal yang berkaitan dengan Pasal 127 Undang-Undang Narkotika terdapat pula penjatuhan sanksi tindakan rehabilitasi oleh hakim.
Pembuktian penyalah guna narkotika merupakan korban penyalahgunaan narkotika merupakan hal yang sulit karena harus melihat awal penyalah guna narkotika menggunakan narkotika dan diperlukan pembuktian bahwa penyalah guna narkotika ketika menggunakan narkotika dalam kondisi dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/ atau diancam untuk menggunakan narkotika.
64A. W. Widjaya,1985, Masalah kenakalan Remaja dan Penyalahgunaan Narkotika, Amirco,
Bandung, h. 13.
65 Syamsudin, Aziz, 2011, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta
65
Implementasinya, Mahkamah Agung mengeluarkan terobosan dengan mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 04 Tahun 2010 tentang Penetapan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutus suatu persoalan hukum terhadap pengguna narkotika, dalam hal hakim menjatuhkan pemidanaan berupa perintah untuk dilakukan tindakan hukum berupa rehabilitasi atas diri terdakwa, majelis hakim harus menunjuk secara tegas dan jelas tempat rehabilitasi yang terdekat dalam amar putusannya, untuk menjatuhkan lamanya proses rehabilitasi, hakim harus sungguh-sungguh mempertimbangkan kondisi atau taraf kecanduan terdakwa sehingga wajib diperlukan adanya keterangan ahli dan sebagai standar dalam proses terapi dan rehabilitasi.
5. KESIMPULAN
Hakim dalam menjatuhkan pemidanaan berupa rehabilitasi terhadap pengguna narkotika yang telah dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika merupakan makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana dilihat dari sudut pendekatan kebijakan sosial, yaitu upaya untuk mengatasi masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka mencapai tujuan nasional (kesejahteraan masyarakat). Tindakan rehabilitasi berupa rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial terhadap korban penyalahgunaan narkotika dapat menjadikan hukum positif menjadi lebih baik. Panti rehabilitasi keberadaannya sudah sangat mendesak, sehingga rencana pembangunan tempat tersebut oleh pemerintah provinsi Bali melalui BNN di daerah Bangli segera diwujudkan, sehingga pemulihan dapat berjalan sesuai dengan UU
UCAPAN TERIMA KASIH Terimakasih kami ucapkan - Puji Tuhan kami panjatkan, karena atas perkenan Beliau makalah ini dapat selesai - Terima kasih kepada, panitia senastek 2015, yang telah memberikan kesempatan untuk
membuat makalah ini. - Terima kasih kepada BNN Provinsi Bali, BNN Kota Denpasar, PN, PT, BAPAS, LAPAS,
POLDA Bali, atas data dan wawancara serta FGD nya - Terima kasih adik-adik mahasiswa yang membantu wawancara dan pengolahan data
sehingga makalah ini dapat terselesaikan. - Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini. DAFTAR PUSTAKA Buku : Syamsudin, Aziz, 2011, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta Weda Darma Made, 1999, Kronik dalam Penegakan Hukum Pidana, Guna Widya, Jakarta Widjaya A. W.,1985, Masalah kenakalan Remaja dan Penyalahgunaan Narkotika, Amirco, Bandung Internet: http://www.gepenta.com/artikelMembangun+Paradigma+Dekriminalisasi+Korban+Pengguna+Narkoba-
.phpx diakses tanggal 22 September 2015 Peraturan Perundang-undangan : Undang-Undang No. 35 Tentang Narkotika Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 40 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.
35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 23 Tahun 2010 Tentang Badan Narkotika Nasional (BNN) SEMA No. 3 Tahun 2011 tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika di dalam Lembaga
Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial
66
4. PERSONALIA TENAGA PENELITI
Biodata Ketua dan Anggota Peneliti
A. Identitas Diri Ketua Peneliti
1. Nama Lengkap (dengan gelar) Sagung Putri M.E. Purwani, SH.,MH L/P 2. Jabatan Fungsional Asisten Ahli 3. Jabatan Struktural - 4. NIP/NIK/No.Identitas lainnya 19710313 200502 2 003 5. NIDN 0013037106 6. Tempat dan Tanggal Lahir Denpasar, 13 Maret 1971 7. Alamat Rumah Jln. Pulau Kae No. 12 Denpasar 8. Nomor Telepon/ HP (0361) 8747223 / 08155744872 9. Alamat Kantor Jln. Pulau Bali No. 1 Denpasar 10. Nomor Telepon/Faks (0361) 222666/ Fax. (0361) 234888 11. Alamat e-mail [email protected]
12. Lulusan yang telah dihasilkan S-1= … orang; S-2= …Orang; S-3= Orang … 13. Mata Kuliah yg diampu 1. Hukum Pidana
2. Hukum Kesehatan 3. Hukum Pidana Lanjutan 4. Tindak Pidana Tertentu Dalam KUHP 5. Victimologi 6. Kriminologi 7. Hukum HAM Lanjutan 8. Penologi
B. Riwayat Pendidikan
Program S-1 S-2
Nama Perguruan Tinggi Universitas Udayana Universitas Udayana
Bidang Ilmu Ilmu Hukum Hukum & Sistem Peradilan Pidana
Tahun Masuk 1990 2008 Tahun Lulus 1995 2011 Judul Skripsi/Thesis Pemeriksaan Kesehatan
Pranikah di kaitkan dengan UU No. 1 Tahun 1974
Eksistensi Keterangan Ahli Dalam Proses Pembuktian Peradilan Pidana
Nama Pembimbing Dra. Ida Ayu Astika - Dr. I Gst Kt Ariawan, SH.,MH
- I Wayan Tangun Susila, SH.,MH
67
C. Pengalaman Penelitian dalam 5 Tahun Terakhir
No. Tahun Judul Penelitian Pendanaan
Sumber *) Jml (Juta Rp.) 1. 2008 Aspek Hukum Penerapan Sistem
Pelayanan Satu Atap (One Stop Service) Proses Perizinan Penanaman Modal Dalam Menunjang Pariwisata Bali
Dosen Muda, DIPA PNBP
7.500.000,-
2. 2010 Hubungan Kunjungan Wisatawan Asing Dengan Tingkat Kejahatan Narkotika di Bali
NPT Project Nuffic IDN 223
20.000.000,-
3. 2011 Perlindungan Korban Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Sistem Peradilan Pidana
Dosen Muda, DIPA PNBP
7.500.000,-
4. 2012 Pengaturan Pengawasan Terhadap Terpidana Bersyarat
Dosen Muda, DIPA PNBP
7.500.000,-
5. 2012 Praktik Monopoli Dalam Korporasi Sebagai Tindak Pidana Ekonomi
DIPA FH UNUD
2.812.500,-
6. 2012 Tinjauan Yuridis Pertanggungjawaban Pidana dlm Pelaksanaan Jabatan Notaris
Dana DIPA Kenotariatan
6.000.000,-
7. 2013 Eksistensi Pidana Mati Dalam Penerapan Sanksi Terhadap Tindak Pidana Korupsi
D. Pengalaman Pengabdian kepada Masyarakat dalam 5 Tahun Terakhir
No. Tahun Judul Pengabdian Kepada Masyarakat
Pendanaan
Sumber *)
Jml (Juta Rp.)
1. 2009 Sosialisasi UU No. 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak dan UU No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
DIPA PNBP 4.000.000,-
2. 2010 Konsultasi dan Pembinaan Awig-Awig di Desa Pekraman, Abang Tegalalang Gianyar
DIPA PNBP 4.000.000,-
3. 2012 Sosialisasi Bahaya Penyalahgunaan Narkotika Dan Psikotropika Di Sekaa Teruna-Teruni Br Pande, Desa Jegu-Tabanan
Anggaran B.O. PTN Tahun 2012
4.500.000,-
68
4. 2012 Sosialisasi Undang-Undang Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Desa Krambitan, Kec. Kerambitan, Kabupaten Tabanan
DIPA Fakultas Hukum Universitas Udayana,Tahun Anggaran 2012
2.812.500,-
5. 2012 Sosialisasi Pembekalan Materi Tindak Pidana Penipuan Dalam Pembuatan Akta Notaris
Dana Prodi Magister Kenotariatan
4.000.000,-
E. Pengalaman Penulisan Artikel Ilmiah dalam Jurnal dalam 5 Tahun Terakhir
No. Judul Artikel Ilmiah
Volume/Nomor Nama Jurnal
1. Victimisasi Kriminal Terhadap Perempuan
ISSN: 0215-899X, Vol.3/ Januari 2008
Jurnal Hukum Kertha Patrika
2. Hubungan Kunjungan Wisatawan Asing Dengan Tingkat Kejahatan Narkotika di Bali
ISSN: 0215-899X, Vol. September 2011
Jurnal Hukum Kertha Patrika
3. Hak Memperoleh Bantuan Hukum Sebagai Penghargaan Atas HAM Sipil Dalam Konstitusi Indonesia
ISSN: 1829-7706, Vol: IV/No.2 November 2011
Jurnal Konstitusi PKK-FH UNUD
4. Eksistensi Hukuman Mati Ditinjau Dari Perspektif Hak Asasi Manusia (Hak Untuk Hidup)
ISSN: 1693-5934, Vol.1 Maret 2012
Jurnal Advokasi FH-Mahasaraswati Dps
Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila dikemudian hari ternyata dijumpai ketidak-sesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima risikonya. Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam pengajuan penelitian Desentralisasi Ibah Bersaing dengan judul “PERANAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL DALAM PENCEGAHAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PENANGGULANGANNYA” (Stu di di Kotamadya Denpasar)
Denpasar, 14 Pebruari 2014 Pengusul,
(Sagung Putri M.E. Purwani, SH.,MH) NIP. 19710313 200502 2 003
69
A. Identitas Diri Anggota Peneliti (1)
1. Nama Lengkap (dengan gelar)
Anak Agung Ngurah Yusa Darmadi, SH.,MH
L/P
2. Jabatan Fungsional Lektor 3. Jabatan Struktural - 4. NIP/NIK 19571125 198602 1 001 5. NIDN 0021035807 6. Tempat dan Tanggal Lahir Denpasar, 25 Nopember 1957 7.
Alamat Rumah Jln. Gunung Penulisan, No. 5 Pemecutan Denpasar
8. Nomor Telepon/ HP (0361) 756086, (+62)81338669205 9. Alamat Kantor Jln. Pulau Bali No.1 Denpasar 10. Nomor Telepon/Faks (0361) 222666/ Fax. (0361) 234888 11. Alamat e-mail [email protected]
12. Mata Kuliah yg diampu 1. Hukum Pidana 2. Hukum Pidana Lanjutan 3. Tindak Pidana Tertentu Dalam KUHP 4. Penologi 5. Penitensier
B. Riwayat Pendidikan
Program S-1 S-2 Nama Perguruan Tinggi
FH Universitas Udayana
Program Pascasarjana Universitas Udayana
Bidang Ilmu Ilmu Hukum Pidana
Hukum & Sistem Peradilan Pidana
Tahun Masuk 1977
2008
Tahun Lulus 1984
2011
Judul Skripsi/Thesis
Suatu Tinjauan Pengemisan dan Gelandangan dilihat dari Pasal 504 KUHP dan Pasal 505 KUHP
Perubahan Pidana Seumur Hidup Menjadi Pidana Sementara
Nama Pembimbing
- I Nengah Sotia, SH - I Made Tjatrayasa, SH -
- Dr. I Gst Kt Ariawan, SH.,MH
- I Made Tjatrayasa, SH.,MH
C. Pengalaman Penelitian dalam 5 Tahun Terakhir
No. Tahun Judul Penelitian Pendanaan
Sumber *) Jml (Juta Rp.)
1. 2010 Pidana Pengawasan Sebagai Alternatif Pidana Penjara Dalam Konsep Rancangan KUHP 2010
DIPA FH UNUD
2.500.000,-
70
2. 2010 Pengaruh UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Terhadap Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Bali (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Denpasar)
DIPA FH UNUD
2.500.000,-
3. 2011 Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Perusakan Fisik Daya Tarik Wisata
Project Nuffic IDN 223
20.000.000,-
4. 2011 Perlindungan Korban Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Sistem Peradilan Pidana di Provinsi Bali
PDM 7.500.000,-
5. 2012 Pengaturan Pengawasan Terhadap Terpidana Bersyarat
PDM 7.500.000,-
6. 2012 Praktik Monopoli Dalam Korporasi Sebagai Tindak Pidana Ekonomi
DIPA FH UNUD
2.812.500,-
D. Pengalaman Pengabdian kepada Masyarakat dalam 5 Tahun Terakhir
No. Tahun Judul Pengabdian Kepada Masyarakat
Pendanaan
Sumber *) Jml (Juta Rp.)
1. 2009 Diseminasi Rekomendasi Bagi Pembaharuan Hukum di Indonesia
Kerjasama FH Unud, Univ. Tadulako, Univ Batam
-
2. 2010 Penyuluhan Hukum Tentang Narkotika di Desa Selan Bawak, Kec Marga-Tabanan
Dana Kersos -
3. 2012 Sosialisasi Pembekalan Materi Tindak Pidana Penipuan Dalam Pembuatan Akta Notaris
Dana Prodi Magister Kenotariatan
4.000.000
E. Pengalaman Penulisan Artikel Ilmiah dalam Jurnal dalam 5 Tahun Terakhir
No. Judul Artikel Ilmiah Volume/Nomor Nama Jurnal
1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Perusakan Fisik Daya Tarik Wisata
No.2, Volume 36, Tahun 2011 ISSN : 0215-899X
Kertha Patrika, FH UNUD
Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila dikemudian hari ternyata dijumpai ketidak-sesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima risikonya.
71
Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam pengajuan penelitian Desentralisasi Ibah Bersaing dengan judul “PERANAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL DALAM PENCEGAHAN TINDAK PI DANA NARKOTIKA DAN PENANGGULANGANNYA” (Studi di Kotamadya Denpasar)
Denpasar, 14, Pebruari, 2014 Pengusul,
(Anak Agung Ngurah Yusa Darmadi, SH.,MH.) NIP. 19571125 198602 1 001
72
A. Identitas Diri Anggota Peneliti (2)
1. Nama Lengkap (dengan gelar) I Made Walesa Putra,S.H.,M.Kn. L 2. Jabatan Fungsional Asisten Ahli 3. Jabatan Struktural - 4. NIP 19820222 200912 1003 5. NIDN 0022028202 6. Tempat dan Tanggal Lahir Denpasar, 22 Februari 1982 7.
Alamat Rumah Jl. Gn Batur Perum Nusa Bumi Ayu A7 Denpasar
8. HP 081934354488 9. Alamat Kantor Jln. P. Bali No.1 Denpasar 80114 10. Nomor Telepon/Faks (0361) 222666/ Fax. 234888 11. Alamat e-mail [email protected]
12. Lulusan yang telah dihasilkan S-1= … orang; S-2= …Orang; S-3= Orang … 13. Mata Kuliah yg diampu 1. Viktimologi
2. Tindak Pidana Tertentu KUHP 3. Penitensier 4. Hukum Kesehatan 5. Hukum Pidana 6. Hukum Pidana Lanjutan 7. Tindak Pidana Khusus 8. Hukum Keluarga dan Harta
Perkawinan B. Riwayat Pendidikan
Program S-1 S-2 S-3 Nama Perguruan Tinggi Univ Atmajaya
Yogayakarta (UAJY)
Magister Kenotariatan UGM
-
Bidang Ilmu Hk Perdata –Agraria
Hukum Perdata -
Tahun Masuk 2000 2004 - Tahun Lulus 2004 2006 - Judul Skripsi/Thesis/Disertasi Pandangan
Masyarakat Terhadap Sistem Pembagian Hasil Tanah Pertanian Setelah Berlakunya UU No 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil Di Kabupaten Tabanan Propinsi Bali
Kendala-Kendala dalam Pelaksanaan Prinsip Kehati-hatian Terhadap Pemberian Kredit Dengan Jaminan Hak Tanggungan Pada Bank Tabungan Negara Cabang Yogyakarta
-
Nama Pembimbing/Promotor SW Endah Cahyowati, S.H.,M.S.
Prof.DR.Nindyo Pramono,S.H.,M.S.
-
73
C. Pengalaman Penelitian dalam 5 Tahun Terakhir
No. Tahun Judul Penelitian Pendanaan
Sumber *) Jml (Juta Rp.)
1. 2011 Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan Berlakunya UU No 8 Tahun 2010
DIPA Bagian Hukum Pidana
6.000.000
2. 2011 Perlindungan Hukum Nasabah Balicon
PDM 7.500.000
3. 2012 Tinjauan Yuridis Pertanggungjawaban Pidana dlm Pelaksanaan Jabatan Notaris
Dana DIPA Kenotariatan
6.000.000
4. 2012 Pelaksanaan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum (Studi Kasus Pembuatan Jalan By Pass Ida Bagus Mantra Denpasar -Karangasem)
PDM 7.500.000
5. 2012 Pertanggungjawaban Pidana Pers dlm Penyebaran Berita Bohong (Kajian Yuridis thp Peraturan Perundang-undangan di bidang Pers)
PDM 7.500.000
6. 2012 Analisis Yuridis Pertanggung-jawaban Pidana Pimpinan Redaksi Pada Pelanggaran Kegiatan Pers (Kajian Yuridis Terhadap Peraturan Perundang-Undangan Di Bidang Pers)
DIPA Bagian Hukum Pidana
FH UNUD
2.500.000
7. 2013 Implementasi UU No 20 Tahun 2011 terhadap Perizinan Pembagunan Kondotel di Wilayah Kabupaten Badung
Hibah Unggulan
DIPA BLU
45.000.000
8. 2013 Penelitian Buku Ajar Hukum Keluarga dan Perkawinan Prodi Magister Kenotariatan Udayana
DIPA Prodi Magister
Kenotariatan UNUD
5.000.000
9. 2013 Penelitian Identifikasi & Inventarisasi Hasil Karya Budaya Masyarakat Bali
DPA Dinas Kebudayaan Provinsi Bali
TA 2013
26.000.000
74
D. Pengalaman Pengabdian kepada Masyarakat dalam 5 Tahun Terakhir
No. Tahun Judul Pengabdian Kepada Masyarakat
Pendanaan
Sumber *) Jml (Juta Rp.)
1. 2012 Sosialisasi Pentingnya Pembuatan Surat Keterangan Silsilah Keluarga Untuk Keperluan di Bidang Keperdataan Bagi Warga Banjar Pasti Desa Pandak Gede, Kec.Kediri Kab.Tabanan
DIPA BLU 4.000.000
2. 2012 Sosialisasi Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
Kenotariatan FH UNUD
4.000.000
3. 2012 Pengenalan Kedudukan Akta Notaris Untuk Legalisasi Hubungan Hukum Masyarakat di Banjar Pasti, Desa Pandak Gede, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan, Propinsi Bali.
Kenotariatan FH UNUD
4.000.000
4. 2012 Sosialisasi Pembebanan Hak Tanggungan dalam Pemberian Kredit BPR di Kabupaten Badung
Kenotariatan FH UNUD
4.000.000
E. Pengalaman Penyampaian Makalah Secara Oral pada Pertemuan/ Seminar Ilmiah
dalam 5 Tahun Terakhir
No. Nama Pertemuan ilmiah/ Seminar
Judul Artikel Ilmiah Waktu dan Tempat
1. Seminar Desiminasi Hasil Penelitian Dosen Prodi Mkn Unud
Tinjauan Yuridis Pertanggungjawaban Pidana Dalam Pelaksanaan Jabatan Notaris
Ruang Kuliah Prodi MKn Unud
2. Kerjasama Prodi Mkn dengan BPR Siwi Sedana (Tim Pelaksana Penjaminan Mutu (TPPM) Prodi MKn)
Sosialisasi Permasalahan Pembebanan Hak Tanggungan & Fidusia dalam Pemberian Kredit BPR
Gedung BPR Siwi Sedana
3. Pemaparan Hasil Penelitian Buku Ajar Prodi Magister Kenotariatan Udayana
Hukum Keluarga dan Perkawinan Prodi Magister Kenotariatan Udayana
Ruang Kuliah Prodi Magister Kenotariatan Udayana
75
Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila dikemudian hari ternyata dijumpai ketidak-sesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima risikonya. Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam pengajuan penelitian.
Denpasar, 21 April 2014 Pengusul,
76
DOKUMENTASI KEGIATAN (1)
FGD DENGAN LAPAS KELAS IA
77
DOKUMENTASI KEGIATAN (2)
FGD DENGAN POLDA BALI
78
DOKUMENTASI KEGIATAN (3)
FGD DENGAN BNN KOTA DENPASAR
79
80