peran ulama pesantren dalam melestarikan sekte...

125
PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE SUNNI DI PULAU MADURA Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh Hodari NIM: 1111032100031 PROGRAM STUDI AGAMA-AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2016

Upload: trinhdiep

Post on 02-Mar-2019

239 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN

SEKTE SUNNI DI PULAU MADURA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh

Hodari

NIM: 1111032100031

PROGRAM STUDI AGAMA-AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2016

Page 2: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan
Page 3: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan
Page 4: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan
Page 5: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

i

ABSTRAK

Fokus skripsi ini adalah membahas peran ulama pesantren dalam

melestarikan sekte Sunni di Pulau Madura. Pengambilan fokus riset tersebut

dilatarbelakangi oleh dua poin masalah. Pertama, keberislaman orang-orang

Madura yang kuat dan fanatisme mereka terhadap sekte Sunni. Hal ini ditandai

dengan empat hal: jumlah pesantren yang banyak; banyak jumlah langgar dan

masjid; maraknya ritual keislaman; dan, diterimanya NU secara masif. Kedua,

dinamika keempat hal yang menandai kuatnya keberislaman dan fanatisme

golongan orang-orang Madura itu sangat tergantung kepada peran ulama

pesantren. Karena mereka di Madura dianggap sebagai “jenderal” dalam bidang

keagamaan. Kedua poin ini merupakan fenomena yang masih berlangsung di

Pulau Madura di tengah gempuran modernisasi dan informasi yang tak terelakkan.

Ini dapat terjadi tak lepas dari peran ulama pesantren.

Tujuan riset ini adalah mengeksplorasi dan menganalisis data sejauh mana

peran mereka dalam melestarikan sekte Sunni di Pulau Madura. Secara

metodologis, riset ini menggunakan pendekatan sosiologis dengan format riset

sudi kasus dan dengan jenis riset kualitatif. Teknik pengumpulan datanya berupa

wawancara, observasi, dan dokumentasi, sementara teknik sampelnya adalah

snowball dan teknik analisis datanya adalah deskriptif-analitis.

Hasil riset ini menunjukkan bahwa peran ulama pesantren dalam

melestarikan sekte Sunni di Pulau Madura terbagi ke dalam tiga sektor: ulama dan

pesantren; ulama dan masyarakat; dan, ulama dan organisasi. Di pesantren,

mereka berperan sebagai guru, di masyarakat sebagai tokoh, dan di organisasi

sebagai pemantau sekaligus aktifis yang bergerak di bidang keagamaan dalam

rangka menjaga dan membentengi sekte Sunni. Selain di tiga sektor tersebut

terdapat pula beberapa ulama yang bergerak melestarikan sekte Sunni melalui

karya tulisan. Salah satu contoh kasus di antara mereka yang sangat produktif

adalah Kyai Taifur Ali Wafa. Dia sudah rampung menelurkan 43 karya berbahasa

Arab.

Kata Kunci: ulama pesantren, Madura, Islam, kyai, Sunni.

Page 6: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

ii

KATA PENGANTAR

Ide riset ini berawal dari sebuah diskusi kecil antara penulis dengan salah

satu dosen Studi Agama-Agama, Dadi Darmadi—peneliti di PPIM yang pernah

menempuh pendidikan di Department of Anthropology Harvard University—di

lantai tujuh gedung Fakultas Ushuludin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016

lalu. Di ruang 703 itu, kami membincangkan pemilihan topik yang sekiranya

menarik untuk dijadikan fokus penelitian skripsi penulis kali ini. Beberapa hari

kemudian, penulis menyambangi beberapa orang untuk meminta masukan tentang

proposal skripsi yang sedang penulis garap. Di antara mereka adalah; Dr. M.

Amin Nurdin, MA, dosen pembimbing skripsi penulis; Prof. Iik Mansurnoor,

seorang peneliti senior paska-sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang

pernah melakukan riset tentang Madura; beberapa teman di Forum Mahasiswa

Ciputat (Formaci); dan di Warung Sejarah RI. Berdasarkan hasil diskusi yang

cukup panjang dengan beberapa orang tersebut, penulis menyimpulkan bahwa

judul yang menarik untuk diangkat adalah “Peran Ulama Pesantren Dalam

Melestarikan Sunni di Pulau Madura.”

Riset ini menghabiskan waktu sekitar empat bulan lebih. Dua bulan

digunakan untuk riset lapangan di Pulau Madura dan selebihnya adalah proses

menuliskan laporan tersebut dalam bentuk skripsi. Penulis menyambangi kurang

lebih 15 pesantren untuk melakukan observasi dan mendatangi sembilan

narasumber: delapan di antaranya adalah para ulama pesantren dan yang satu

Page 7: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

iii

orang terakhir adalah seorang peneliti senior STAIN Pamekasan, Dr. Zainuddin

Syarif, yang juga pernah melakukan riset tentang pesantren di Madura.

Rampungnya penulisan skripsi ini tak lepas dari bantuan, dukungan,

motivasi, dan bimbingan banyak pihak, terutama jajaran birokrasi kampus yakni

seperti Prof. Masri Mansoer selaku Dekan Fakultas Ushuludin dan segenap

jajarannya; Dr. Media Zainul Bahri, Ketua Jurusan Program Studi Studi Agama-

Agama; Dra. Halimah SM, M.Ag, Sekertaris Jurusan sekaligus Pembimbing

Akademik (PA) penulis; Prof. M. Ridwan Lubis, penguji proposal penulis; dan

Dr. M. Amin Nurdin yang terus setia membimbing penulis dalam menyelesaikan

riset ini.

Proses keberlangsungan penelitian ini juga tak lepas dari peran teman-

teman di Madura. Saat melangsungkan penelitian di Madura bagian Timur,

penulis sangat berhutang budi kepada Fathor Rahman Longos (sepupu), Fathor

Rahman Jadung (teman angkatan pondok), dan teman-teman di Komunitas Fataria

STAIN Pamekasan. Ketika melangsungkan riset di Madura bagian Barat, penulis

sangat terbantu dengan partisipasi teman-teman di IPNU PCNU Sampang dan

Rabdu Abdillah (kakak kandung) untuk jaringan kepada beberapa ulama.

Terakhir yang tak kalah penting, penulis ucapkan terima kasih kepada

keluarga besar penulis. Untuk bapak dan ibu, terima kasih atas doa, dukungan,

dan dana yang telah dikeluarkan selama proses pendidikan berlangsung hingga

riset ini rampung. Untuk istri dan anak penulis, terima kasih atas kesabaran

mereka. Untuk keluarga kakak penulis di Sampang terima kasih atas bantuan

Page 8: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

iv

mereka dalam membangun jaringan dengan beberapa kyai untuk dijadikan

narasumber.

Skripsi ini merupakan penelitian awal penulis di bidang sains dan tentu

jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis sangat menghargai segala bentuk

masukan dan kritikan.

Ciputat, 29 April 2017

Penulis

Page 9: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

v

DAFTAR TABEL

Tabel I Pesantren dan Santri Tahun 187 — 43

Tabel II Daftar Judul Kitab Kuning Mu’tabaroh Yang Biasa Diajarkan di

Pesantren Madura — 51

Tabel III Daftar Judul Kitab Karya Kyai Toifur Ali Wafa — 70-71

Page 10: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

vi

PEDOMAN TRANSLITERASI

Huruf Arab Huruf Latin

ا

b ب

t ت

ts ث

j ج

h ح

kh خ

d د

dz ذ

r ر

z ز

s س

sy ش

s ص

dl ض

t ط

z ظ

‘ ع

gh غ

f ف

q ق

k ك

l ل

m م

n ن

w و

h ه

` ء

y ى

lam alif ال

Page 11: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

vii

DAFTAR ISI

ABSTRAK — i

KATA PENGANTAR — ii

DAFTAR TABEL — v

PEDOMAN LITERASI — vi

DAFTAR ISI — vii

BAB I PENDAHULUAN — 1

A. Latar Belakang Riset — 1

B. Batasan Riset — 6

C. Rumusan Pertanyaan Riset — 7

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian — 7

E. Tinjauan Pustaka — 7

F. Metode Riset — 10

G. Sistematika Penulisan — 11

BAB II DEFINISI DAN SEJARAH SUNNI — 13

A. Definisi Sunni — 13

B. Sejarah Paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah — 14

BAB III PROFIL ULAMA PESANTREN DI PULAU MADURA — 26

A. Ulama Sebagai Kyaéh — 26

B. Sejarah Ulama di Pulau Madura — 28

1. Periode I: Ulama di Masa Islamisasi Awal — 28

2. Periode II: Ulama di Masa Islamisasi Istana — 29

3. Periode III: Ulama di Masa Skripturalisasi Islam — 34

BAB IV PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN

SEKTE SUNNI DI PULAU MADURA — 48

A. Peran Ulama di Tiga Sektor — 48

1. Ulama dan Pesantren — 48

2. Ulama dan Masyarakat — 59

3. Ulama dan Organisasi — 64

Page 12: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

viii

B. Ulama Yang Melestarikan Sekte Sunni di Pulau Madura Melalui

Karya Tulis: Perjalanan Intelektual Kyai Toifur Ali Wafa — 69

BAB V PENUTUP — 78

A. Kesimpulan — 78

B. Saran — 79

Page 13: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Riset

Riset ini akan meneliti peran ulama pesantren dalam melestarikan sekte

Sunni di Madura. Penelitian ini berangkat dari dua persoalan. Pertama, sekte

Sunni di pulau Madura merupakan paham keagamaan yang dianut oleh

mayoritas masyarakat Madura secara fanatik (Iik Mansurnoor,).1 Besarnya

perkembangan dan kemapanan sekte tersebut yang dianut secara fanatik oleh

orang-orang Madura di pulau itu ditandai dengan empat hal: jumlah pesantren

yang banyak; banyaknya langgar dan masjid; maraknya ritual keagamaan; dan,

diterimanya organisasi keagaaan yang bernama Nahdlatul Ulama (NU) secara

masif. Kedua, pesatnya perkembangan sekte tersebut di pulau itu dan sikap

fanatisme keagamaan penduduk di dalamnya tak lepas dari karisma, otoritas

dan supremasi para ulama pesantren di bidang keagamaan.2 Hal tersebut dapat

ditandai dengan adanya pola relasi masyarakat dengan ulama pesantren yang

bersifat sentralistik.

Bersadarkan laporan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian

Agama Republik Indonesia untuk tahun 2008 hingga 2015 terdapat data

statistik tentang jumlah pesantren di Madura. Pada tahun 2008/2009, di

Bangkalan terdapat 171 pesantren dengan jumlah total santri 35.702 laki-laki

1 Iik Mansurnoor, Islam in An Indonesian World: Ulama of Madura (Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press, 1990), h. 274-300. 2 Yanwar Pribadi, Pribadi, Yanwar, “Islam and Politics in Madura: Ulama and Other

Local Leaders in Search of Influence 1990-2010,” (Desertasi S3 Universitas Leiden, 2013), h. 15-

70.

Page 14: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

2

dan 27.305 perempuan. Di Sampang ada 275 pesantren dengan santri laki-

lakinya berjumlah 32.830 dan perempuannya 22.407 orang. Di Pamekasan

terdapat 231 Pesantren dengan total jumlah santri laki-lakinya 19.719 dan

perempuannya 16.622. Terakhir, di Sumenep jumlah pesantren yang terdata

mencapai 238 dengan total jumlah santri 25.450 laki-laki dan 26.034

perempuan.3 Bilamana semua pesantren di empat kabupaten yang berada di

Pulau Madura tersebut dijumlahkan, angka yang akan tercapai adalah 915

pesantren: sebuah angka yang menakjubkan. Nangro Aceh Darussalam (NAD)

saja dengan 22 kabupaten, jumlah pesantren yang ada di provinsi tersebut baru

mencapai angka 1077.4 Bila dibandingkan dengan NAD, Madura yang tak

dihitung sebagai provinsi dengan sebatas empat kabupaten di dalamnya hanya

kekurangan 162 angka.

Di samping banyaknya jumlah pesantren, Pulau Madura juga terkenal

dengan banyaknya jumlah langgar dan masjid.5 Di Madura, langgar sendiri

terbagi menjadi dua, langgar roma dan langgar ngaji. Langgar roma

merupakan sebuah bangunan yang sengaja diletakkan di dekat rumah. Biasanya

dalam satu pemukiman keluarga besar—baik itu bentuknya adalah tanean

lanjang maupun kampoeng meji—terdapat satu langgar roma. Fungsi

bangunan langgar roma adalah sebagai tempat pertemuan ketika ada

3 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan Islam Departemen Agama R.I,

“Daftar Jumlah Santri dan Nama Kyai Tahun 2008/2009,” dokumen diakses dari

http://pendis.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id2=statponpes2009, h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan Islam Departemen Agama R.I, h.

464-485. 5 Mansurnoor, Islam in An Indonesian World: Ulama of Madura, h. 212-216 dan Latief

Wiyata, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura (Yogyakarta: LkiS, 2002), h.

38-45.

Page 15: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

3

kunjungan pihak kerabat, tempat salat keluarga, dan acara ritual keislaman

tertentu yang dipelopori oleh keluarga besar. Adapun langgar ngaji merupakan

bangunan khusus yang disediakan sebagai tempat berlangsungnya proses

pengajian bagi anak-anak yang ingin belajar membaca Al-Qur’an. Langgar

semacam ini terdapat pada tiap dusun: satu dusun biasanya satu langgar

bahkan kadang-kadang lebih. Begitu pun dengan masjid, hampir di setiap

dusun di Madura memiliki satu masjid. Langgar dan masjid selain sebagai

tempat menunaikan salat lima waktu pun kerap dijadikan sebagai sarana ritual-

ritual tertentu yang dilakukan secara serentak oleh masyarakat atau keluarga

besar. Ritualitas keislaman yang kerap dipraktikkan tersebut berupa selametan6

dengan pembacaan yásin,7 tahlil,

8 dan doa. Pelaksanaan ritual tersebut hampir

terjadi setiap hari—paling lamanya seminggu sekali—tergantung keperluan

tuan rumah yang sedang membutuhkan ritualitas tersebut. Biasanya itu

dilakukan pada setiap ada kematian, syukuran, dan atau kompolan.9

Poin terakhir yang menandai kemapanan sekte Sunni di Madura adalah

diterimanya NU secara masif. NU pertama kali masuk ke Madura diperkirakan

pada tahun 1926, tahun awal pendirian. Karena salah satu penentu berdirinya

6 Tradisi Slametan di Madura berbeda dengan Slametan yang ditulis Geertz tentang

tradisi Jawa dalam bukunya, Religion of Java (1960). Menurut Geertz, tradisi Slametan di Jawa

erat kaitannya dengan varian Abangan. Adapun di Madura tidak demikian. Di sana, Slametan juga

berlaku bagi kalangan para santri, yakni Muslim. Hal ini dapat dipahami karena Islam sejak awal

di Madura tidak “menciptakan dualitas pemahaman dan penerimaan Islam ke dalam tradisi

Madura” sebagaimana di Jawa (Mansurnoor, 1990: 8). 7 Ritual pembacaan yásín merupakan pembacaan surah dalam Al-Qur’an yang ke-36.

8 Ritual pembacaan tahlil merupakan pembacaan kalimat tauhid yakni “lá iláha illa

Allah.” 9 Sebuah tradisi berkumpul di Madura. Dalam perkumpulan tersebut, para anggota

masyarakat yang tergabung melakukan aktifitas ritual keagamaan seperti pembacaan tahlil atau

kadang-kadang solawatan. Untuk lebih jelasnya tentang tradisi kompolan silakan baca tulisan

Rokat Bhuju’ Vis-a-Vis Kompolan: Metamorfosis Elit Madura Pasca Keruntuhan Orde Baru

(2007: 133-148) karya Fathol Khalik yang diterbitkan jurnal Karsa pada bulan Oktober 2007, Vol.

XII. No. 2.

Page 16: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

4

organisasi yang berbasis pesantren tersebut adalah Kyai Kholil Bangkalan.10

Dia merupakan ulama Madura sekaligus guru Kyai Hasyim Asy’ari, pendiri

NU. Faktor yang menyebabkan pesatnya perkembangan NU di Madura selain

karena faktor elit—sosok kyai Kholil—juga faktor kesesuaian ideologi.

Berdasarkan dokumen hasil Muktamar yang pertama di Surabaya, 21 Oktober

192611

, dan Anggaran Dasar NU (Qanún Asási li Jam’iyyah Nahdlati al-

‘Ulamá’) pasal kedua yang merupakan hasil keputusan Muktamar yang ketiga,

28 September 1928 di Surabaya12

, penulis mendapati data bahwa salah satu

tujuan penting berdirinya NU adalah melestarikan dan membentengi paham ahl

al-ssunnah wa al-jama’ah, yakni merawat sekte Sunni. Tujuan NU untuk

melestarikan sekte Sunni mendapat sambutan baik dari para kyai di Madura.

Karena jauh sebelum NU terbentuk, para ulama di Madura sudah menerapkan

paham sekte Sunni.

Hal tersebut terjadi diakibatkan karena peran dakwah ulama pesantren

yang merupakan alumni Mekkah: menyebarkan kitab kuning. Dalam

pembahasan ini, tesis Azra tentang adanya jaringan antara ulama Nusantara

dengan ulama Mekkah dalam proses transmisi keilmuan sangat membantu

penulis.13

Pada abad ke-19 akhir dan awal abad ke-20 terdapat tiga ulama

pesantren yang sama-sama merupakan alumni Mekkah: Kyai Abdul Hamid di

10

M. Solahudin, Nahkoda Nahdliyyin (Kediri: Nous Pustaka Utama, 2013), h. 23. 11

Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nadlatul

Ulama Kesatu 1926 Sampai Dengan Kedua Puluh Sembilan 1994 (Surabaya: Dinamika Press

Group, 1977), h. 2. 12

Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, Risalah Ahlussunnah Wal-Jama’ah: Dari

Pembiasaan Menuju Pemahaman dan Pembelaan Akidah-Amaliyah NU (Surabaya: Khalista,

2015), h. 161. 13

Asyumardi Azra, The Origin of Islamic Reformism in Southest Asia: Network of

Malay-Indonesian and Middle Eastern ‘Ulamá’ in The Seventeenth And Eighteenth Centuries

(Crows Nest: Allen & Unwin,2004. Reprint, Honolulu: University of Hawai’i Press, 2004), h. 8.

Page 17: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

5

Pamekasan, Kyai Syarqowi di Sumenep, dan Kyai Muhammad Kholil di

Bangkalan. Ketiga kyai tersebut merupakan tiga tokoh agama yang sangat

populer di Madura. Kyai Abdul Hamid adalah pengasuh pesantren terbesar di

Pamekasan, Darul Ulum Banyuanyar periode 1868-1933.14

Kyai Syarqowi

merupakan pendiri pesantren Annuqayah di Sumenep, 1860-an.15

Adapun Kyai

Muhammad Kholil adalah pendiri dua pesantren besar di Bangkalan—

pesantren Kademangan dan Jangkebuan—sekaligus sebagai ulama yang

berjasa dalam pembentukan organisasi NU, 1926 sebagaimana penulis

singgung di awal.16

Demikian empat hal yang menandai kemapanan sekte Sunni di Madura.

Perkembangan keempat hal tersebut sangat terikat kepada peran ulama

pesantren.17

Sebab dalam bidang keagamaan, pola relasi masyarakat Madura

dengan ulama pesantren sangat sentralistik. Orang Madura menjadikan ulama

pesantren sebagai tokoh sentral keagamaan dan menempatkannya sebagai kyai

yang berada di level tertinggi, kalau meminjam istilahnya Iik Mansurnoor,

sebagai “focus.”18

Ulama pesantren selalu menjadi panutan kyai-kyai lain dan

bahkan sejumlah besar elemen masyarakat luas. Masyarakat Madura

sepenuhnya patuh kepada apa yang pernah disampaikan oleh ulama pesantren

sembari menempatkan ulama pesantren sebagai orang-orang yang terpilih dan

14

Zainuddin Syarif, Dinamisasi Manajemen Pesantren dari Tradisional hingga Modern

(Yogyakarta: Sunan Kalijaga, 2007), h. 28-30. 15

Huub de Jonge, Madura dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi,

dan Islam (Jakarta: Gramedia, 1989), h. 239-245. 16

Fuad Amin Imron, Syaikhona Kholil Bangkalan: Penentu Berdirinya Nahdlatul Ulama

(Surabaya: Khalista, 2016). 17

Pribadi, “Islam and Politics in Madura: Ulama and Other Local Leaders in Search of

Influence 1990-2010,” h. 15-53. 18

Mansurnoor, Islam in An Indonesian World: Ulama of Madura, h. 323.

Page 18: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

6

menganggapnya lebih mulia dari diri mereka. Dengan kata lain, para kyai

pesantren adalah “jenderal” dalam urusan paham keagamaan, yang dapat

menentukan ke arah mana nasib paham tersebut menuju: berkembang atau

mundur; radikal atau moderat.

Gambaran pembahasan di atas menyimpulkan bahwa obyek riset ini

merupakan kasus yang unik. Di tengah gempuran banyaknya ragam paham-

paham keagamaan yang kerap memanfaatkan kemajuan teknologi informatika

melalui media-media seperti TV, radio, koran, dan social-media, sekte Sunni di

pulau Madura tetap bertahan dan terlestarikan. Hal tersebut terbukti dengan

banyaknya pesantren, rumah ibadah, ritual kegamaan, dan kemapanan NU di

Madura. Keempat hal yang menandai kemapanan sekte Sunni di pulau Madura

dalam proses perkembangannya sangat terikat dan tergantung kepada peran

ulama pesantren. Dari itu, penulis tertarik untuk mengetahui peran ulama

pesantren—yang memiliki kedudukan level tertinggi sebaga kyai—dalam

melestarikan sekte Sunni di pulau tersebut.

B. Batasan Riset

Fokus riset ini adalah meneliti peran ulama pesantren di pulau Madura

dalam melestarikan sekte Sunni. Untuk membatasi penelitian ini penulis

merinci peran mereka menjadi tiga: yakni, metode, bagaimana dan apa saja

yang mereka lakukan; tempat, di mana saja mereka lakukan; dan waktu, kapan

saja mereka lakukan. Batasan wilayahnya adalah Pulau Madura. Penulis akan

meneliti ulama pesantren di empat kabupaten, yakni Bangkalan, Sampang,

Pamekasan, dan Sumenep.

Page 19: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

7

C. Rumusan Pertanyaan Riset

Dari penjelasan di atas, penulis akhirnya dapat merumuskan permasalan

riset kali ini dalam bentuk pertanyaan singkat dan jelas sebagai berikut:

bagaimana Peran Ulama Pesantren dalam Melestarikan Paham Ahl al-Sunnah

Wa al-Jama’ah (Sunni) di Pulau Madura?

D. Tujuan dan Manfaat Riset

Tujuan riset kali ini adalah mengeksplorasi, mengolah, dan menganalisis

data sejauh mana peran ulama pesantren di Madura dalam melestarikan sekte

Sunni. Penulis akan mengeksplorasi data tentang metode, tempat, dan waktu

yang mereka gunakan dalam melestarikan Sunni di pulau Madura.

Adapun manfaatnya melahirkan dua kegunaan: kegunaan akademis dan

praktis. Kegunaan akademis, penulis dapat menyajikan data tentang peran

ulama pesantren di Madura dalam melestarikan sekte Sunni, mulai dari metode,

tempat, dan waktu yang mereka gunakan—yang mana penyajian data tersebut

untuk mengukuhkan penemuan-penemuan sebelumnya yang sudah pernah

dilakukan oleh para peneliti. Adapun kegunaan praktisnya, penulis dapat

menyelesaikan tugas akhir skripsi. Selain itu, karya ini juga dapat menjadi

bahan bacaan yang komprehensif mengenai hubungan ulama pesantren di

Madura dengan institusi pendidikan dan masyarakat dalam menjaga

keagamaan.

E. Tinjauan Pustaka

Mengenai buku-buku yang pernah membahas ulama Madura, penulis

temukan cukup banyak. Sebuah buku dan artikel ini, Islam in Indonesian

Page 20: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

8

World: Ulama of Madura (1990) dan Linking The Scripture to Villages in

Madura (2011) merupakan karya Iik Mansurnoor. Pada karyanya yang

pertama, Iik—sapaan akrabnya—membahas ulama di Madura dari sudut

pandang antropologi. Dalam penelitiannya itu dia menemukan bahwa ulama

Madura—sama dengan sejumlah ulama Nusantara di luar Madura—termasuk

sebagai ulama non-birokratis. Pangkat keulamaan yang mereka sandang bukan

merupakan pemberian resmi oleh suatu lembaga agama. Orang disebut ulama

di Madura lantaran pertama, memiliki ikatan keluarga dengan ulama

sebelumnya, kedua, memiliki pengetahuan Islam yang luas dan ketiga,

karismatik. Di Madura ulama biasanya dipanggil dengan sebutan Kyaéh

(Kyai). Di samping menjabarkan tentang karateristik ulama Madura, Iik juga

berhasil memaparkan peran mereka dalam mewujudkan pendidikan Islam dan

keterlibatannya dalam politik. Pada tulisan keduanya, dia mengeksplorasi data

temuan lapangan dan membuat kesimpulan yang cukup kontroversial. Menurut

Iik, kyai di Madura setelah kemerdekaan merupakan pengganti posisi raja

(rato) di tengah-tengah masyarakat. Iik berhasil melakukan komparasi antara

karateristik dan peran-peran raja dengan kyai.

Selain Iik, ada pula seorang peneliti Belanda, Huub de Jonge. Dia menulis

dua buku tentang Madura. Pertama merupakan karya dia sendiri, Madura

dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam (1989).

Dalam buku tersebut dia memaparkan sejarah masuknya Islam di Madura dan

keterlibatan ulama dalam mewujudkan pedidikan Islam di sana. Penelitian dia

fokus pada satu daerah yang bernama Parindu, kemudian menyinggung sedikit

Page 21: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

9

tentang perjalanan seorang ulama asal Kota Kudus yang mendirikan pesantren

terbesar di Sumenep, Annuqayah. Di dalam buku tersebut dia menyebut-nyebut

dua nama kyai, Syarqowi dan Gema. Menurut Jonge, dua ulama itu sangat

berpengaruh dalam dinamika perkembangan pendidikan Islam di Sumenep

pada abad ke-19 akhir. Pada buku kedua yang merupakan kumpulan beberapa

penulis, Agama, Kebudayaan, dan Ekonomi, Jonge menghadirkan wacana

tentang kesinambungan antara pertumbuhan ideologi agama, politik dan

ekonomi di Madura. Dia berhasil mengadirkan beberapa tulisan. Diantaranya

adalah sebuah karya dia sendiri yang merupakan cuplikan dari buku dia di

awal, Perkembangan Ekonomi dan Islamisasi di Madura; karya Kuntowijoyo,

Agama Islam dan Politik: Gerakan-gerakan Sarekat Islam Lokal di Madura,

1913-1920; dan, karya Ahmad Khusyairi, Orientasi Politik, dan

Kepemimpinan Lokal di Antara Orang-orang Madura di Lumajang.

Selebihnya masih ada beberapa karya namun tak terkait dengan tema penulisan

kali ini.

Kuntowijoyo dengan sebuah bukunya yang sangat populer, Perubahan

Sosial dalam Masyarakat Agraris: Madura 1850-1940 juga pernah

menyinggung tentang ulama di Madura. Dalam buku tersebut, Kuntowijoyo

memaparkan peran ulama di masyarakat terumata keterlibatan mereka dalam

dunia politik dan pendidikan. Zainuddin Syarif pun menelurkan dua buku:

Dinamikan Manajemen Pesantren dari Tradisional hingga Modern (2007) dan

Dinamika Politik Kiai dan Santri dalam Pilkada Pamekasa (2010). Buku

pertama membahas perjalanan pesantren Banyuanyar dalam membentuk sistem

Page 22: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

10

pendidikan, mulai dari tradisional hingga modern. Di dalamnya juga sempat

diulas tentang biografi para pengasuh dari masa ke masa. Adapun buku kedua

lebih fokus pada keterlibatan kyai dalam dunia politik dan pendidikan.

Bagaimana sosok kyai yang merupakan guru dapat menjadi “jenderal” politik

pada Pemilihan Umum (Pemilu) di Pamekasan, itu lah fokus kajian buku

tersebut. Satu lagi buku karya Muhammad Kosim, Pondok Pesantren di

Pamekasan (2002). Dalam buku itu, Kosim memaparkan sejumlah pesantren di

Pamekasan dan beberapa ulama penting di dalamnya.

Yanwar Pribadi, Islam and Politics in Madura: Ulama and Other Local

Leaders in Search of Influence 1990-2010 (2013)—dengan data historis-

antropologis—memaparkan hubungan Islam dan politik di Madura. Fokus

penelitian dia adalah keterlibatan ulama yang disebut kyai dan pemimpin lokal,

blater dan kalebun, dalam dunia politik.19

Muthmainnah lewat karyanya,

Jembatan Suramadu: Respon Ulama Terhadap Industrialisasi (1998) menyoal

respon para ulama tentang pembangunan Jembatan Suramadu dan

Industrialisasi di Madura.

Jika penulis tarik kesimpulan dari sekian buku di atas, wacana

pembahasan yang diangkat seputar tigal hal: ekonomi, politik, dan pendidikan.

Hal ini menunjukkan bahwa belum ada riset ilmiah yang melakukan penelitian

tentang peran ulama pesantren dalam melestarikan paham Sunni di Pulau

Madura.

F. Metode Riset

19

Pribadi, “Islam and Politics in Madura: Ulama and Other Local Leaders in Search of

Influence 1990-2010,”h. All.

Page 23: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

11

Riset ini merupakan penelitian sosiologis. Dengan pendekatan sosiologi

agama, peneliti akan mengamati gejala-gejala sosial keberagamaan

masyarakat. Fokus penelitiannya adalah peran ulama pesantren dalam

melestarikan sekte Sunni di Pulau Madura. Penelitian ini membutuhkan

pendalaman kasus. Dari itu, peneliti menggunakan format riset studi kasus

dengan jenis riset kualitatif.

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara,

observasi, dan dokumentasi. Peneliti akan membuat kerangka pertanyaan

dalam wawancara, atau sering disebut sebagai pedoman wawancara atau

angket, yang cukup longgar, bahkan bersifat induktif. Demi kedalaman

informasi, peneliti butuh terjun langsung mengamati subyek riset (observasi).

Terakhir, peneliti akan mengumpulkan data dokumentatif berupa apa saja yang

masih terkait: bisa berbentuk buku, koran, pamflet, gambar, video, dll.

Teknik sampel yang digunakan adalah snowball. Dalam upaya

pengumpulan data dan mencari nara sumber, peneliti akan mempertimbangkan

arahan nara sumber sebelumnya atau warga sekitar (baca: informan) tentang

siapa yang lebih tepat untuk dijadikan nara sumber selanjutnya. Peneliti akan

menggali data dan memperbanyak nara sumber sesuai kebutuhan dan

berdasarkan saran dari pihak-pihak terdekat. Adapun teknik analisis datanya

nanti adalah deskriptif-analitis.

Waktu riset berlangsung sekitar kurang lebih dua bulan dan tempatnya

adalah pulau Madura, dari barat, ada Kabupaten Bangkalan, Sampang,

Page 24: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

12

Pamekasan, dan Sumenep. Ulama dari keempat kabupaten tersebut lah yang

akan dijadikan narasumber dalam riset ini.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan buku ini terbagi ke dalam lima bab. Bab I adalah Pendahuluan.

Pada bab ini penulis akan menjelaskan latar belakang masalah; batasan

masalah; rumusan riset; tujuan dan manfaat riset; buku-buku yang terbit lebih

awal dan dapat dijadikan rujukan; dan metode riset yang akan digunakan.

Bab II adalah kajian konseptual. Penulis akan menjelaskan dua hal:

definisi Sunni dan sejarahnya. Bab III adalah pemaparan profil ulama

pesantren di Pulau Madura. Pada bab ini, penulis akan menjabarkan macam-

macam ulama di Madura dan sejarah ulama hingga pembentukan pesantren di

Pulau Madura. Bab IV adalah analisis. Pada bab ini penulis akan menjelaskan

temuan-temuan lapangan: pertama, tentang peran ulama pesantren dalam

melestarikan Sunni di Madura dan kedua, perbedaan metode dakwah di antara

para ulama pesantren dalam melestarikan Sunni di Madura. Bab V adalah

Penutup. Pada bab ini penulis akan menjabarkan dua hal: kesimpulan dan

saran.

Page 25: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

13

BAB II

DEFINISI DAN SEJARAH SUNNI

A. Definisi Sunni

Istilah Sunni merupakan nomenklatur yang merujuk pada salah satu sekte

dalam Islam yang kerap dikenal sebagai ahl al-sunnah wa al-jama’ah (Adams,

1971: 602).1 Adapun istilah tersebut merupakan frasa (idlafah) yang terdiri dari

tiga kumpulan kata (kalimah) berbahasa Arab: ahlun, sunnah, dan jama’ah.

Kata ahlun dapat berarti “keluarga,” “golongan,” dan atau “pengikut;” sunnah

adalah “jalan,” “cara,” “metode,” “tabiat,” “watak,” dan atau “peraturan;” dan

terakhir, kata jama’ah bisa bermakna “kumpulan orang-orang,” “mayoritas,”

dan atau “sekumpulan orang yang bersepakat dalam suatu persoalan.”2

Penggunaan terma ini pun dapat kita jumpai pada sejumlah hadits (baca:

hadits)3 Nabi Muhammad. Dua di antaranya adalah perkataan seperti, “ikutilah

sunnah-ku dan sunnah para Khulafa al-Rasyidin setelahku”4 dan “siapa yang

hendak dapat hidup damai di surga ikutilah jama’ah.”5 Seorang intelektual

Muslim, Abdullah Harari menegaskan definisi ahl al-sunnah wa al-jama’ah

secara terminologis. Menurut dia, “ahl al-sunnah adalah mayoritas umat

1 W. Richard Comstock, ed. Religion and Man: An Introduction (New York: Harper and Row,

1971), h. 602-608. 2 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka

Progressif, 1997). 3Dokumen hadits adalah kumpulan dokumentasi yang berisi laporan-laporan tentang Nabi

Muhammad. Laporan tersebut meliputi tindakannya (sunnah fi’liyyah), perkataannya (sunnah

qauliyyah), dan legitimasi yang dia buat (sunnah taqririyyah). 4 ‘Alikum bi sunnatí wa sunnati Khulafái Rásyidína min ba’dí (Hasyim Asy‟ari, Risalah; dan,

Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, 2015: 2). 5 Man aráda buhbúhata al-jannati falyalzami al-jamá’ata (HR. Tirmidzi: 2091; Al-Hakim I:

77-78) dan Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, 2015: 4.

Page 26: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

14

Muhammad. Mereka adalah para sahabat dan para pengikut mereka dalam

urusan prinsip-prinsip teologi. Adapun al-jama’ah adalah mayoritas terbesar

kaum Muslim.”6

B. Sejarah Paham Ahl al-Ssunnah wa al-Jama’ah

Terma ini nampak kerap dipakai—sebagai nomenklatur bahkan legitimasi

terhadap sekte tertentu dalam Islam—baru pada sekitar abad ke-10 Masehi,

yakni setelah kemunculan aliran-aliran Asy‟ariyah dan Maturidiyah.7 Pada era

itu, di Semenanjung Arab sedang terjadi perdebatan teologis yang cukup

menegangkan di kalangan intelektual Muslim. Di sana, terdapat tiga sekte

besar yang memiliki pandangan teologi berbeda satu sama lain dan saling

bertentangan: Syiah, Mu‟tazilah, dan suatu kelompok baru yang menamai

dirinya sebagai ahl al-sunnah wa al-jama’ah. Kemunculan kelompok terakhir

merupakan reaksi terhadap keberadaan sekte Mu‟tazilah.8 Fenomena ini

berawal dari gagasan besar seorang cendekiawan bernama Abdu al-Hasan Ali

bin Isma‟il al-Asy‟ari (873-935 M) yang memproklamirkan pemikiran baru.

Lelaki asal Basra itu menghabiskan masa mudanya selama sekitar 30

tahun-an sebagai seorang cendekia ternama beraliran Mu‟tazilah. Di kalangan

intelektual dia dikenal sebagai pemuda yang cerdas bahkan gurunya, Jubba‟i

acap kali menyuruh dia untuk melayani penantang debat. Hal itu merupakan

penghormatan baginya. Sebab dalam sekte bergengsi seperti Mu‟tazilah yang

6 Liyu’lam anna ahla as-sunnati hum jumhur al-ummati Muhammadiyyah wa hum al-shahabah

wa man tabi’ahum fi al-mu’taqadi ay fí ushúli al-i’tiqádi...wa al-jamá’ah hum as-sawádu al-

a’dhám (al-Harari, 1997: 14-15 dan Tim Aswaja, 2015: 4-5). 7 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI

Press, 2010), h. 65. 8 Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 62.

Page 27: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

15

dikenal sangat rasional, tak sembarang orang mendapatkan kepercayaan

semacam itu. Namun pada usianya yang ke-40, sekitar tahun 912 dia

menyatakan diri keluar dari sekte itu. Banyak pengamat sejarah teologi

kebingunan untuk menentukana faktor penyebab Asy‟ari keluar dari sekte

Mu‟tazilah.

Terkait hal tersebut, kemungkinan ada empat faktor penyebab yang

penulis temukan. Pertama, Asy‟ari keluar dari sekte Mu‟tazilah karena faktor

politik. Di era itu Mu‟tazilah sedang berada dalam fase kemunduran. Fase

tersebut ditandai dengan keputusan Mutawakkil untuk tak lagi menjadikan

sekte Mu‟tazilah sebagai madzhab resmi negara. Sebelumnya di bawah

pimpinan Ma‟mun, Mu‟tazilah mendapatkan kedudukan yang sangat strategis.

Dia pernah menjadikan sekte tersebut sebagai madzhab resmi negara. Namun

di era Mutawakkil sebaliknya, dia justru berpihak kepada para ulama yang

berada dalam barisan ahl al-sunnah, seperti Hanbali—orang yang dikenal

sangat bertentangan dengan Mu‟tazilah—dan para pengikutnya. Melihat

fenomena kemunduran sekte Mu‟tazilah yang kian hari pengaruhnya semakin

lemah, Asy‟ari kemudian menyatakan diri keluar dari sekte tersebut.9

Mengenai sebab berikutnya, yang kedua, Montgomery Watt pernah

menuturkan bahwa Asy‟ari meninggalkan Mu‟tazilah lantaran faktor

kecemburuan sosial. Semasa dekat dengan Jubba‟i, Asy‟ari sering kali

menggantikan posisinya untuk melawan penantang debat. Jubba‟i mengakui

kecerdasan Asy‟ari dan kemungkinan besar bisa menjadi penggantinya. Tapi di

9 Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 68-69.

Page 28: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

16

lain sisi, Jubba‟i memiliki seorang putra yang juga dikenal sangat cerdas.

Namanya adalah Abu Hasyim. Lantaran kehadiran Abu Hasyim yang cerdas

dan merupakan putra Jubba‟i sendiri, kesempatan Asy‟ari untuk mendapatkan

kursi sebagai pengganti gurunya semakin sempit. Terbukti nantinya yang

menggantikan Jubba‟i bukan Asy‟ari tapi putranya sendiri, Hasyim.

Kemungkinan lantaran faktor itu lah, Asy‟ari rela meninggalkan sekte yang

sudah berpuluh-puluh tahun dia bina itu.10

Namun menurut Watt, selain itu masih ada kemungkinan faktor lain yaitu

wacana yang dikembangkan oleh kaum Mu‟tazilah terlampau elitis dan tak

menyentuh kalangan masyarakat awam. Mereka mengembangkan pemikiran-

pemikiran yang susah diterima masyarakat luas dan bahkan kadang-kadang

bertentangan dengan kelompok Sunni. Lalu faktor keempat yang dia tuturkan

pula adalah adanya sejumlah laporan tentang peristiwa mimpi. Asy‟ari sebelum

keluar dari sekte lamanya pernah bermimpi Nabi Muhammad selama tiga kali

pada bulan Ramadlan. Pada mimpi pertama, Nabi hadir dengan memerintahkan

Asy‟ari untuk tak terlalu jauh meninggalkan sunnah. Kisah lain menyebutkan

bahwa sebelum bermimpi Nabi, Asy‟ari mempelajari tafsír al-qur’an dan

sunnah terlebih dulu. Pada mimpi keduanya Nabi hadir untuk mempertegas

mimpi pertama. Pada mimpi yang ketiga kedatangan Nabi membuat Ay‟ari

gembira. Karena Nabi tak melarang dia menggunakan akal-rasio, melainkan

menggambungkannya dengan referensi sunnah.11

10

W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam. Penerjemah Umar Basalim

(Jakarta: P3M, 1987), h. 99. 11

Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, h. 101.

Page 29: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

17

Di tengah dilema antara memilih untuk bergabung dengan kelompok ahl

al-sunnah atau Mu‟tazilah, Asy‟ari pada suatu kesempatan pernah berdebat

dengan gurunya, Jubba‟i (faktor penyebab yang kelima). Rekaman perdebatan

tersebut dapat kita lihat di bawah ini.

“Asy‟ari: Bagaimana kedudukan ketiga orang berikut: Mukmin, kafir dan

anak kecil di akhirat?

Jubba‟i: Yang mukmin mendapatkan kedudukan baik di surga, yang kafir

masuk neraka, dan yang kecil terlepas dari bahaya neraka.

Asy‟ari: Kalau yang kecil ingin memperoleh tempat yang lebih tinggi di

surga, mungkin kah itu?

Jubba‟i: Tidak, yang mungkin mendapatkan tempat yang baik itu karena

kepatuhannya kepada Tuhan. Yang kecil belum mempunyai kepatuhan yang

serupa itu.

Asy‟ari: Kalau anak itu mengatakan kepada Tuhan: Itu bukan lah salahku.

Jika sekiranya Engkau bolehkan aku terus hidup aku akan mengerjakan perbuatan-

perbuatan baik seperti yang dilakukan orang mukmin itu.

Jubba‟i: Allah akan menjawab: “Aku tahu bahwa jika engkau terus hidup

engkau akan berbuat dosa dan oleh karena itu akan kena hukum. Maka untuk

kepentinganmu Aku cabut nyawamu sebelum engkau sampai kepada umur

tanggung jawab.”

Asy‟ari: Sekiranya yang kafir mengakatan: “Engkau ketahui masa depanku

sebagaimana Engkau ketahui masa depannya. Apa sebabnya Engkau tidak jaga

kepentinganku?”

Di sini Jubba‟i terpaksa diam.”12

12

Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 67.

Page 30: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

18

Terlepas faktual atau pun tidak, dialog di atas menunjukkan bahwa Asy‟ari

pernah berada dalam fase keraguan. Dia meragukan sekte yang dia geluti

selama ini. Selain faktor-faktor di atas, Ahmad Hanafi pun menyebutkan

bahwa salah satu penyebabnya (yang keenam) adalah keretakan persaudaraan

antara umat Islam (ukhuwah al-islamiyah) yang terjadi saat itu. Mendapat

fenomena yang tak elok semacam itu—umat Islam mengalami perpecahan--

Asy‟ari khawatir ajaran-ajaran keislaman justru dibuat semakin kabur.13

Oleh

karena itu dia tak hanya keluar dari Mu‟tazilah namun sebenarnya juga sedang

membuat rumusan teologi baru. Setelah lima belas hari menyendiri di

rumahnya, dia kemudian keluar menuju Masjid dan berdiri di mimbar. Di sana,

dia mendeklarasikan pemikiran terbarunya.

“Hadirin sekalian, saya selama ini mengasingkan diri untuk berpikir tentang

keterangan-keterangan dan dali1-dalil yang diberikan masing-masing golongan.

Dalil-dalil yang dimajukan, dalam penelitian saya, sama kuatnya. OIeh karena itu

saya meminta petunjuk dari Allah dan atas petunjuk-Nya saya sekarang

meninggalkan keyakinan-keyakinan lama dan menganut keyakinan-keyakinan

baru yang saya tulis dalam buku-buku ini. Keyakinan-keyakinan lama saya

lemparkan sebagaimana saya melemparkan baju ini."14

Pernyataannya di mimbar itu mengindikasikan bahwa dia menganut

keyakinan baru. Keyakinan tersebut kemudian populer dengan sebutan ahl al-

sunnah wa al-jama’ah dan dalam rumusan teologi (aqidah) secara khusus

13

Ahmad Hanafi, Theology Islam (Ilmu Kalam) (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 59. 14

Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 67

Page 31: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

19

kadang-kadang menggunakan namanya sendiri, Asy‟ariyah. Paham barunya

populer dengan sebutan ahl al-sunnah karena menurut Ahmad Mahmud Subhi,

dia merupakan teolog Muslim yang ber-madzhab Syafi‟i.15

Namun menurut

Hanafi, ada sebagian pendapat yang menyatakan bahwa Asy‟ari juga

bermadzhab Maliki dan ada yang Hanbali.16

Terlepas dari perdebatan tersebut,

terbukti bahwa Asy‟ari memiliki relasi keilmuan (sanadiyyah) dengan para ahli

fikih yang berada di “garis” ahl al-sunnah, yakni mereka yang mendahulukan

bukti-bukti hadits dari pada rasionalitas akal dalam memutuskan suatu

persoalan. Mereka yang tergabung di dalamnya dan populer adalah Maliki,

Hanafi, Syafi‟i, dan Hanbali. Keempat ulama tersebut dikenal sebagai pendiri

madzáhib al-arba’ah, empat sekte.

1. Pemikiran Asy’ari: Ahlussunnah versus Mu’tazilah

Sebagaimana penulis katakan di awal bahwa Asy‟ari muda adalah

seorang Mu‟tazili. Pada usianya yang ke-40 dia baru mengubah haluan dari

madzhab yang terkenal sangat rasional menuju kepada madzhab ahli

sunnah. Perubahan haluan pemikiran ini menarik untuk ditinjau. Asy‟ari

tak seutuhnya meninggalkan perangkat rasionalitas dalam menganalisis

suatu persoalan. Dia mencipatakan sintesa baru antara kelompok Sunnah

yang terlalu tekstual dengan kelompok Mu‟tazili yang terlampau rasional.

Dia ingin mendamaikan cara berpikir kedua. Hasilnya, dia dapat

menelurkan buah pemikiran-pemikiran yang berbeda dari kalangan

Mu‟tazilah. Pemikiran-pemikiran dia ini dapat kita jumpai dalam beberapa

15

Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 68. 16

Hanafi, Theology Islam (Ilmu Kalam), h. 61.

Page 32: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

20

karyanya seperti Kitab al-Luma’ Fí al-Rad ‘alá Ahl al-Ziagh wa al-Bidá

dan al-Ibanah ‘an Ushul al-Diyanah di samping pula beberapa buku karya

para murid-murid dan pengikutnya.

Terdapat enam poin pemikiran dia yang populer diperdebatkan dengan

kalangan Mu‟tazili. Pertama, persoalan tentang sifat Tuhan. Menurut

kalangan Mu‟tazili, Tuhan tak bersifat. Sifat-sifat yang disandangkan

kepada Tuhan sejatinya tak terpisah dan bukan esensi di luar Tuhan,

melainkan esensi Tuhan itu sendiri, demikian argumentasi mereka.17

Lain

dengan Asy‟ari, menurut dia Tuhan memiliki sifat. Sifat-sifat Tuhan

berbeda dengan dzat-Nya namun tak terpisah.18

Selain persoalan sifat Tuhan, yang kedua, Asy‟ari berbeda pandangan

teologis dengan Mu‟tazili tentang Al-Qur‟an. Menurut kalangan Mu‟tazili,

Al-Qur‟an merupakan ciptaan Tuhan (makhluk). Mereka membangun

argumentasi dengan terlebih dulu menguliti makna kalám. Kalám adalah

suara yang terdiri dari sejumlah huruf dan dapat disimak. Bila mana Al-

Qur‟an adalah kalámulláh berarti ia tak kekal (laitsal qadím) dan

merupakan ciptaan Tuhan. Allah sebagai mutakallim, bagi kalangan

Mu‟tazila—terutama kalau kita menyimak pendapat Wasil (700-748

M/121-169 H), Jubba‟i (w. 874 M/295 H), dan Hasyim (w. 900 M/321

H)—bukan merupakan “Yang Berbicara” melainkan “Yang Mencipta.” Al-

Qur‟an sebagai kalám itu diciptakan oleh Tuhan.19

Adapun Al-Qur‟an

17

Muhammad Ibn „Abd al-Karim Syahrastani, Milal wa al-Nihal (Kairo, 1951), Juz I, h. 48

dan Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 45. 18

Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 70. 19

Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 50-51.

Page 33: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

21

sebagai mu’jizát, kalangan Mu‟tazili melakukan pemetaan definisi.

Menurut mereka, yang tergolong sebagai mu’jizát hanya isi kandungan Al-

Qur‟an—sementara redaksi tekstualnya, bukan.

Dulunya, kala masih di usia muda dapat dipastikan bahwa Asy‟ari pernah

mengamini pandangan ini. Namun semenjak berpindah haluan pemikiran,

pandangan itu tak luput dari protes-kritiknya. Menurut dia, Al-Qur‟an

sebagai kalám Alláh tak diciptakan. Argumentasi yang dia telurkan adalah

bila mana Al-Qur‟an diciptakan akan banyak kata kun bermunculan. Salah

satu ayat dalam kitab suci tersebut berbunyi, “Bila Kami menghendaki

sesuatu, Kami bersabda: “terjadilah (kun),” maka ia pun terjadi.”20

Pada

ayat tersebut terdapat kata “kun” yang bermakna “terjadilah.” Dalam proses

penciptaan, Tuhan—sesuai pernyataan-Nya sendiri dalam ayat tersebut—

menggunakan kata “kun.” Berarti bila mana Al-Qur‟an dianggap ciptaan

maka untuk menciptakan kata “kun” dalam ayat tersebut membutuhkan

kata “kun” yang lain, dan seterusnya hingga tanpa batas. Itu menurut

Asy‟ari tak mungkin. Makanya dia menolak.

Poin pemikiran dia selanjutnya, yang ketiga, adalah bahwa Tuhan dapat

dilihat di akhirat. Kenapa bisa demikian? Sebab, menurut Asy‟ari, sifat-

sifat yang tak pantas disandang Tuhan hanya sifat yang menggiring

pengertian bahwa Dia diciptakan. Sementara, sifat Tuhan dapat dilihat di

akhirat nanti sama sekali tak membawa kepada pengertian bahwa Dia

diciptakan. Karena sifat dapat dilihat tak selalu berarti identik dengan sifat

20

Lihat QS Al-Nahl (16-40). Penerjemahan ayat ini penulis tirukan dari gaya terjemahan dalam

bukunya Harun Nasution (2010: 70).

Page 34: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

22

diciptakan.21

Keempat, soal ketentuan-ketentuan (taqdir). Dalam kajian ini

dia menelurkan satu konsep “kasb”: sebuah konsep yang rumit. Menurut

dia, tindak-tanduk manusia tak dapat lepas dari jejaring kuasa Tuhan

(qudrah-irádah) namun pada saat yang sama dia memiliki kendali. Kendali

itu itu pun adalah kuasa Tuhan. Menurut Nurcholish Madjid, bangunan

teologi dia tentang takdir hampir-hampir menyerupai Jabariyah: sebuah

madzhab teologi yang fatalistik.22

Kelima adalah topik antropomorfisme Tuhan. Pada masalah ini, dia

menangguhkan logika-rasio. Menurut dia Tuhan tak dapat

dirasionalisasikan. Dia menolak takwil terhadap beberapa ayat Al-Qur‟an

yang terkesan antropomorfistik seperti bahwa Tuhan memiliki tangan,

berwajah, bertempat, dan lain-lain. Satu sisi dia mengakui bahwa Tuhan

laisa kamitslihi sya’ (tak ada seseuatu pun menyerupai-Nya), lain sisi dia

mengamini konsep antropomorfisme tentang Tuhan. Mengatasi kayakinan

yang seakan-akan paradoks tersebut, Asy‟ari membentengi diri dengan

apologi “bilá kaifa”: tanpa perlu ditanyakan bagaimana sejatinya bentuk

Tuhan. Sebab menurut dia, Tuhan itu lá yukayyaf wa lá yuhad: tak

berbentuk dan tak berbatas.

Selanjutnya, masalah keenam, adalah keadilan Tuhan. Gagasan yang dia

telurkan adalah upaya mempertahankan kemutlakan otoritas Tuhan.

Keadilan Tuhan, bagi dia, berbeda dengan keadilan versi manusia. Untuk

mengimplementasikan keadilan, Tuhan tak pernah mempertimbangkan

21

Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 70. 22

Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 283-303.

Page 35: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

23

manusia dan apalagi patuh pada gagasan-gagasan keadilan yang mereka

ketahui. Keadilan Tuhan melampaui keadilan versi mereka. Dia menolak

keras doktrin Mu‟tazili tentang al-wa’d wa al-wa’id23

. Menurut Asy‟ari,

Tuhan memiliki kebebasan sebebas-bebasnya untuk menghukum siapa pun

yang Dia kehendaki dan sebaliknya, menganugerahi pahala. Kebebasan

tersebut tanpa syarat. Tuhan bebas memilih, berbuat, dan memutuskan

tanpa tergantung pada perilaku manusia (‘amal al-insániyah). Itu lah

keadilan Tuhan menurut Asy‟ari. Adapun persoalan yang ketujuh adalah

penolakan terhadap konsep manzilah bain manzilatain-nya Mu‟tazili. Di

kalangan sekte rasionalis itu populer sebuah ajaran bahwa ada sebuah

tempat di antara surga (jannáh) dan neraka (al-nár). Itu lah yang kerap

disebut manzilah bain manzilatain: tempat di antara dua tempat. Tempat

tersebut merupakan ruang khusus di akhirat nanti yang diperuntukkan bagi

manusia-manusia yang tak dapat dikenakan sangsi hukum dan anugerah

pahala, seperti bayi, atau mereka yang tak layak di surga dan pun di neraka,

seperti pendosa besar. Orang berdosa besar tak pantas di surga, demikian

keyakinan Mu‟tazili dan tak pula mesti di neraka. Sebab neraka hanya

diperuntukkan bagi kalangan kafir, pendosa besar bukan kafir. Asy‟ari

menolak ajaran itu. Bagi dia, orang Islam yang berdosa besar adalah fasiq.

Namun Asy‟ari tak memutuskan apakah fasiq lantas masuk surga atau

neraka, termasuk kafir atau mu’min. Bagi dia, otoritas itu berada di bawah

bayang-bayang kuasa Tuhan. Selain beberapa masalah di atas tentu masih

23

Konsep ini merupakan ajaran Mu‟tazili tentang keadilan Tuhan. Bagi kalangan Mu‟tazili,

Tuhan tak akan disebut adil bila tak memberikan pahala bagi yang beramal baik (al-wa’d) dan

menyiksa yang bersalah (al-wa’id).

Page 36: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

24

banyak poin-poin lain yang tak mungkin penulis paparkan satu per satu di

sini secara lebih detail.

2. Maturidiyyah dan Pemikirannya

Selain Asy‟ari tokoh yang sering dilibatkan sebagai salah satu “tiang”

ahlussunnah wal jama’ah adalah Abu Mansur Muhammad Ibn Muhammad

Ibn Mahmud al-Maturidi (w. 944 M). Lelaki kelahiran Samarkand pada

pertengahan kedua abad ke-9 M itu memiliki konsep teologi yang hampir

mirip dengan Asy‟ari namun dalam beberapa hal berbeda. Perbedaannya

terletak pada segelitir ajaran, seperti: takdir; al-wa’d wa al-wa’id; dan

antropomorfisme.

Dalam diskursus takdir, Maturidi dekat dengan Mu‟tazili. Dia

mengamini bahwa manusia dapat bertindak atas dasar dirinya sendiri dan

takdir dapat ditentukan olehnya. Demikian pula dengan masalah al-wa’d

wa al-wa’id dan antropomorfisme. Dia menggunakan logika-rasio,

sebagaimana juga Mu‟tazili, untuk mengatasi kedua masalah tersebut.

Menurutnya, kelak hukum dan anugerah Tuhan mesti harus terjadi dan

gambaran-gambaran Tuhan yang antropomorfistik dapat dirasionalisasi

(ta’wil). Selebihnya, Maturidi—sebagai mana ditegaskan di awal—dalam

hal teologi mirip dengan Asy‟ari. Hal tersebut dapat dimaklumi lantaran

Maturidi adalah pengikut madzhab Hanafi: seorang mujtahid yang banyak

menggunakan rasio di samping pula sangat berpegang teguh pada

Sunnah.24

24

Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 78.

Page 37: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

25

Sebagaimana lumrah dalam tradisi intelektual Arab, pemilik nama Abu

Mansur itu memiliki banyak pengikut. Para pengikutnya tak selalu satu

pandangan. Mereka terbelah menjadi dua. Para pengikut yang berada di

kota Samarkand memiliki pandangan teologis mirip Mu‟tazili, sementara

mereka yang berdomisili di kota Bukhara lebih dekat dengan Asy‟ari.

Menariknya, Maturidiyyin (para pengikut madzhab Maturidi) Samarkand

merupakan para pengikut Abu Mansur sendiri. Adapun yang dari Bukhara

sebenarnya adalah generasi penerus Bazdawi (421-439 H): salah satu

pengikut Maturidi yang tak pernah langsung belajar kepada Abu Mansur.

Bazdawi mengetahui pandangan teologi Maturidi dari orang tuanya dan

kemungkinan orang tuanya belajar kepada neneknya—yang merupakan

murid langsung dari Abu Mansur.

Page 38: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

26

BAB III

PROFIL ULAMA PESANTREN DI PULAU MADURA

A. Ulama Sebagai Kyaéh

Terma ulama („ulama) secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang

berarti “orang-orang yang memiliki pengetahuan.” Ia merupakan bentuk jamak

dari kata „alim.1 Dalam konteks ini pengetahuan (al-„ilm)

2 tersebut memiliki

arti sempit (ism al-ma‟rifah), yakni “pengetahuan tentang Islam.” Jadi secara

terminologi kata “ulama” berarti “orang-orang yang memiliki pengetahuan

tentang Islam.”3 Di Madura ulama dikenal dengan sebutan kyaéh

4 (selanjutnya:

1 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, 14

th ed. (Surabaya:

Pustaka Progressif, 1997), h. 965. 2 Kata al-„ilm dalam susunan gramatika bahasa Arab merupakan bentuk mashdar

(Inggris: knowledge sebagai abstract noun). Kalau dirinci berdasarkan rumusan tashrif akan

berbentuk demikian: „alima (fi‟il madli)-ya‟lamu (fi‟il mudlari‟)-„ilman (ism mashdar)-„áliman

(ism fá‟il). 3 Definisi ini sejalan dengan pengertian yang diberikan oleh Geertz dan berbeda dengan

Jajat Burhanudin (Geertz 1959-60:230). Jajat mendefinisikannya secara lebih luas (ism al-

nakirah) bahwa ulama tak selalu berarti pemimpin keagamaan tradisional. Dia menulis, “the

„ulama institution that this article intends to deal with is not exvlusively associated with the

traditional religious leaders as addressed by Geertz and other scholars.” “Here, the term

„ulama is used in a broder sense, denoting those who have legitimate authority primarily in

field of religion, i.e. reproducing socially accepted religious meanings within the Muslim

community. (Jajat 2004: 27)” 4 Istilah kyaéh merupakan kata yang berasal dari bahasa Madura. Kata tersebut sepadan

dengan kata “kyai” (dicetak tegak lurus) dalam bahasa Indonesia dan ada beberapa

kesamaan—namun berbeda—dengan kata “kyai” (dicetak miring) dalam bahasa Jawa. Kata

tersebut merupakan gelar kehormatan bagi seorang ulama atau tokoh agama Islam.

Untuk menyebut kyaéh, Iik Mansurnoor menggunakan sebutan “kyai” dan “kyai” dalam

beberapa tulisannya dengan cetak miring (Iik, 2011) dan beberapa tidak (Iik, 1990). Demikian

pula dengan Kuntowijoyo (2002) dengan cetak tegak lurus, “kyai.” Adapun Zainuddin Syarif

pada bukunya, Dinamisasi Manajemen Pesantren: Dari Tradisional Hingga Modern (2007)

menggunakan istilah “kyai.” Namun pada kesempatan lain dalam karyanya, Dinamika Politik

Kiai dan Santri dalam Pilkada Pamekasan (2010) dia menggunakan “kiai.” Hal ini sama

dengan Yanwar Pribadi. Dalam tulisannya, Islam and Politics in Madura: Ulama and Other

Local Leaders in Search of Influence 1990-2010 (2013) dia mencantumkan istilah “kiai,”

hanya saja dengan cetak miring.

Saya berani menuliskan istilah “kyaéh” karena dua hal. Pertama, dalam tradisi masyarakat

Madura, penyebutan “kyai” atau “kiai”—terlepas dengan problem cetak miring maupun tegak

lurus—atas tokoh agama yang dihormati hampir tak ada dalam dialog percakapan keseharian

Page 39: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

27

kyai). Ada empat sarjana yang pernah mendefiniskan istilah tersebut secara

khusus: Iik Mansurnoor; Kuntowijoyo; Yanwar Pribadi dan Sunyoto Usman.

Keempat sarjana tersebut menelurkan definisi yang sama. Menurut mereka,

kyai adalah gelar kehormatan bagi mereka yang memiliki kecakapan dalam

disiplin pengetahuan keislaman dan atau menjadi tokoh masyarakat. Gelar

tersebut mereka dapatkan bukan secara birokratis melainkan sebagai pemberian

masyarakat.

Mansurnoor membagi kyai ke dalam empat macam level: kyai sebagai

pengasuh pondok pesantren besar dengan jumlah santri yang banyak (kyaéh

raja); sebagai pengasuh pondok pesantren kecil dengan jumlah santri yang

sedikit (kyaéh kéni‟); sebagai imam masjid desa (ma‟ kaéh atau kéaji, dan atau

kéajji); dan sebagai guru langgar5 (ma‟ kaéh).

6 Semuanya merupakan ulama

non-birokratis. Berbeda dengan Mansurnoor, Kuntowijoyo tak hanya

menggolongkan kyai sebagai tokoh agama yang non-birokratis. Lebih dari itu,

dia menyebutkan bahwa gelar tersebut juga dalam sejarah pernah disandangkan

kepada seseorang yang berada di tatanan birokrasi pribumi seperti punggawa,

(verbal) kecuali dalam percakapan tersebut menggunakan bahasa Indonesia atau Jawa. Kalau

percakapan itu menggunakan bahasa Madura dan diucapkan oleh orang Madura yang asli, kita

akan mendengar mereka menyebut “kyaéh.” Kedua, penulisan kata tersebut dalam literatur-

lietatur bahasa Madura belum ada ketentuan baku. Jadi penulisan kata “kyaéh” penulis

sesuaikan dengan pengucapan orang Madura sendiri. Namun demi memudahkan penulisan,

untuk penyebutan selanjutnya penulis akan menggantinya menjadi “kyai” (dengan cetak tegak

lurus). 5 Kata lain dari langgar adalah musala.

6 Iik Arifin Mansurnoor, Living Islamically in The Periphery: Muslim Discourse,

Institution, And Intelektual Tradition in Southeast Asia (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2011), h.

230.

Page 40: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

28

mantri, atau keturunan mereka.7 Adapun menurut Pribadi, di Madura ada

empat macam kyai: kyai pesantren, kyai tarekat, kyai dukun, dan kyai

langgar.8 Terakhir menurut Usman. Bagi dia, kyai terbagi menjadi tiga macam.

Pertama kyai sebagai figur pimpinan pesantren; kedua, sebagai tokoh

masyarakat yang pandai dalam disiplin pengetahuan keislaman; dan ketiga,

kyai sebagai guru langgar.9 Di sini, penulis akan mengulas kyai jenis pertama,

yakni seorang ulama sebagai pemimpin tertinggi dari sebuah pondok pesantren

yang diasuhnya.

B. Sejarah Ulama di Pulau Madura

Sejarah ulama di Pulau Madura dapat dibagi ke dalam tiga gelombang

periode. Masing-masing periode tersebut memiliki karakteristik peranan yang

berbeda satu sama lain. Ketiga periode itu akan penulis bahas secara lebih rinci

di bawah ini.

1. Periode I: Ulama di Masa Islamisasi Awal

Penyebaran Islam pertama kali ke Pulau Madura diperkirakan terjadi

pada sekitar paruh kedua abad ke-15, tepatnya di daerah pesisir bagian

selatan Sumenep. Penyebaran tersebut kemudian meluas hingga ke sejumlah

wilayah seperti salah satunya adalah desa Parindu, sebuah kampung yang

berada di lereng pebukitan dekat Dataran Tinggi Guluk-Guluk dengan luas

7 Kuntowijoyo, Kuntowijoyo, Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura

1850-1940. Penerjemah Machmoed Effendhie dan Punang Amaripuja (Yogyakarta: Mata

Bangsa, 2002), h. 432. 8 Pribadi, “Islam and Politics in Madura: Ulama and Other Local Leaders in Search of

Influence 1990-2010,” h. 49-50. 9 Sunyoto Usman, Citra Status Sosial Kiai Di Kalangan Masyarakat Madura: Studi

Kasus di Kecamatan Palengaan Kabupaten Pamekasan (Yogyakarta: Depdikbud Yogyakarta,

1981), h. 101-102.

Page 41: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

29

4,5 km2. Hal ini terjadi lantaran adanya kontak perdagangan antara orang-

orang Madura yang gemar merantau dengan berbagai daerah seberang

seperti Sumatera (Palembang), Malaka, dan bahkan India (Gujarat).10

Mereka yang membawa ajaran itu adalah para ulama dengan ragam latar

belakang profesi: ada yang sebagai pedagang; palayar; dan guru.

Penyeberan itu mereka lakukan secara individual. Mereka ada yang berasal

dari luar Madura dan ada yang merupakan warga setempat. Mereka

memanfaatkan bandar-bandar pelabuhan—seperti beberapa kota bandar di

dekat jalur Selat Malaka dan Laut Jawa—sebagai tempat berlangsungnya

transmisi keagamaan. Di sana mereka satu sama lain mendiskusikan Islam

pun beberapa orang yang belum mengenal Islam menjadi tahu. 11

Beberapa orang Madura yang sudah mengenal Islam lalu pulang ke

kampung halaman—atau pihak asing yang baru datang dari luar—mulai

memperkenalkan Islam kepada penduduk pedalaman setempat. Namun,

pada periode ini, sebagaimana juga diakui oleh Mansurnoor, bukti-bukti

sejarah tentang ulama yang tersedia sangat terbatas.12

Sejarah ulama akan

semakin jelas yakni pada periode kedua.

2. Periode II: Ulama di Masa Islamisasi Istana

Penyebaran Islam lalu semakin masif di Pulau Madura ketika pihak

kerajaan mulai terlibat aktif. Itu terjadi sekitar paruh kedua abad ke-16 dan

seterusnya. Pada gelombang kedua ini, hubungan ulama dengan kerajaan

10

Jonge, Madura dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam,

h. 239. 11

Mansurnoor, Islam in An Indonesian World: Ulama of Madura, h. 8. 12

Mansurnoor, Islam in An Indonesian World: Ulama of Madura, h. 8

Page 42: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

30

semakin erat. Islamisasi tak hanya berlangsung secara individual

sebagaimana yang terjadi pada gelombang pertama. Pihak kerajaan sudah

mulai campur tangan. Kerajaan-kerajaan besar di Sumenep, Pamekasan,

Pemadekan, dan Arosbaya sangat antusias terhadap Islam. Kerajaan-

kerajaan tersebut turut menyebarluaskan agama yang pernah dibawa oleh

Nabi Muhammad Saw itu sebab para rajanya sebelumnya sudah bersedia

untuk memeluk Islam. Salah satu faktor penyebab mereka pindah agama

adalah lantaran perjumpaan mereka dengan tokoh-tokoh semi-mythical

teachers dan saints—menirukan gaya tutur Iik—seperti Sunan Ampel,

Kudus, dan Giri, yang diketahui memiliki hubungan baik dengan kerajaan

Demak.13

Mereka semua adalah ulama kharismatik dan sangat disegani di

Pulau Jawa saat itu. Penulis kurang mengetahui secara detail dalam

perjumpaan itu, materi keislaman apa saja yang para Sunan—sebagai

ulama—dan raja perbincangkan. Terlepas dari itu, sejarah mencatat bahwa

Islamisasi di Pulau Madura pada periode kedua berjalan lebih mulus.

Faktor lain yang menyebabkan Islamisasi di pulau tersebut di bawah

kekuasaan bayang-bayang kerajaan berjalan dengan sedikit—untuk tak

mengatakan “tanpa”—kendala dan hambatan adalah melemahnya kekuasan

Kerajaan Majapahit yang berakhir runtuh.14

Hal tersebut kemudian

diperkuat dengan terbentuknya jaringan keluarga antara kerajaan-kerajaan di

Madura dengan Kerajaan Demak. Salah satu contohnya adalah pernikahan

antara putri bungsu sultan Demak dengan pangeran dari Kerajaan

13

Iik Arifin Mansurnoor, Islam in An Indonesian World: Ulama of Madura, h. 9. 14

Iik Arifin Mansurnoor, Islam in An Indonesian World: Ulama of Madura, h. 10.

Page 43: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

31

Pamadekan di Sampang. Selain membangun jaringan politik juga

memperkuat tali ukhuwah islamiyah, persaudaraan yang berasaskan

keislaman, di antara kedua kerajaan besar itu. 15

Akibat semakin menguatnya jaringan Islam di Madura, para ulama

mendapatkan posisi penting dalam kerajaan. Hal ini ditandai dengan

diberikannya tanah perdikan oleh raja kepada para ulama yang ada di sana.

Tanah tersebut merupakan sebuah desa yang biasanya diberikan oleh raja

kepada orang-orang terhormat seperti tentara dan guru agama (ulama). Di

Sumenep, sebagai contoh, raja pernah memberikan desa Sendir, Batuampar

dan Barangbang kepada para ulama.16

Untuk memperjelas gambaran di atas, penulis akan mengangkat tiga

contoh kasus ulama di Madura. Penulis ingin mengawalinya dengan kisah

seorang guru agama yang bernama Abdullah. Nama ini kemudian hari

dikenal dengan Modin Teja. Dia adalah keturunan bangsawan dari salah

satu kerajaan di Sumenep yang sudah kehilangan kekuatan politik sejak

kemunculan dinasti Demak di Madura bagian Timur. Kiprahnya dalam

dunia keulamaan adalah mengajarkan pengetahuan tentang Islam di sebuah

kampung Teja, Pamekasan, ketika kerajaan masih menyisakan praktik-

praktik ritual dan simbol-simbol Buddhisme-Siwaisme. Dia berdiam di desa

tersebut. Sembari mengembangkan pertanian, dia juga tak lupa mengajarkan

pengetahuan-pengatahuan keislaman kepada masyarakat desa. Lantaran

memiliki kecakapan dalam memimpin rakyat desa, dia kemudian diangkat

15

Mansurnoor, Islam in An Indonesian World: Ulama of Madura, h. 9. 16

Mansurnoor, Islam in An Indonesian World: Ulama of Madura, h. 9; dan Muthmainnah,

Jembatan Suramadu: Respon Ulama terhadap Industrialisasi (Yoyakarta: LKPSM, 1998), h. 39.

Page 44: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

32

menjadi seorang Modin. Dari itu kenapa dia kemudian dikenal dengan

sebutan Modin Teja.

Menurut Iik, Modin adalah contoh ril khothib17

dan guru agama yang

sangat disegani di Madura, masa itu. Walaupun masyarakat desa Teja

menghormatinya sedemikian mungkin, dia sama sekali tak tertarik

memanfaatkan popularitasnya itu sebagai modal kekuatan dalam urusan

politik, bergabung dengan pemerintahan (saat itu: kerajaan). Dia tetap

menjadi pelayan masyarakat desa dengan mengembangkan pertanian

sembari mengajarkan pengetahuan-pengetahuan agama.18

Berbeda dengan anaknya—lebih tepatnya menantunya yang merupakan

santri-nya yang menikah dengan anak perempuannya—bernama

Abdurrahman. Dia tak hanya ahli dalam urusan agama dan pertanian

sebagaimana mertuanya. Dia bahkan juga memiliki pengetahuan yang luas

tentang kemasyarakatan dan dekat dengan kerajaan. Sebelum dia berkiprah

dalam jaringan keulamaan demi kelancaran misi keislaman selanjutnya,

ayahnya (mertuanya) mengirim dia ke sebuah pondhuk19

di Sampang, yang

kabarnya masih ada kaitan kekeluargaan dengan Kerajaan Pamadekan. Di

sana dia belajar pengetahuan Islam secara lebih mendalam. Setelah

menyelesaikan studi, dia tak tinggal serumah dengan mertuanya. Dia lebih

17

Khothib berasal dari bahasa Arab—asal katanya menurut susunan tasrif adalah

khothaba-yakhtubu-khothbatan—yang berarti “penceramah.” 18

Iik Arifin Mansurnoor, Islam in An Indonesian World: Ulama of Madura, h. 10. 19

Istilah “pondhuk” merupakan bahasa Madura yang berarti pondok atau pondok

pesantren. Di Aceh dikenal dengan Dayah, Jawa Barat Surau atau Kobong. Sementara dalam

bahasa Arab biasanya sepadang dengan kata al-ma‟had. Kita tak dapat membayangkan sistem

pondok saat itu sebaik dan semapan pondok pesantren yang berkembang saebagaimana saat ini.

Barangkali pondok yang dimakasud di situ lebih menyerupai sistem pendidikan langgar (Iik,

1990: 12)

Page 45: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

33

memilih untuk memperluas jaringan. Terbukti, kemudian hari dia berhasil

menyebar-luaskan Islam secara lebih sistematis. Berkat hubungan baik

dengan rato20

(selanjutnya: rato) Pamekasan lantaran berhasil membangun

pertanian di daerah selatan, pihak kerajaan memberikan dia tanah untuk

kepentingan—kemungkinan—membangun pondok dan turut merenovasi

langgar. Demi melancarkan pendidikan yang sudah terbangun secara lebih

baik dibanding ayahnya (mertuanya), Abdurrahman tentu sangat

membutuhkan fasilitas tersebut. Tanah pemberian kerajaan tersebut berada

di kampung Raba. Lantaran di kampung tersebut, di tanah pemberian

kerajaan itu, Abdurrahman berhasil membangun sistem pendidikan yang

lebih bagus dibanding mertuanya tak heran kalau kemudian namanya

popular dengan sebutan Kyaéh21

Raba22

(selanjutnya: Kyai Raba). Di

samping memperbaiki sistem pendidikan, dia juga berhasil membuat rato

menerima Islam secara baik. Hubungan baik antara rato dengan Kyai Raba

membuat propaganda Islamisasi di Madura semakin berjalan lancar.23

Setelah santri semakin banyak, Kyai Raba menugaskan santrinya yang

pintar dan taat untuk pulang ke rumah dan membangun pesantren baru

20

Sebutan untuk seorang raja. Ia merupakan bahasa resmi orang Madura. 21

Istilah kyaéh asli bahasa Madura sepadang dalam bahasa Indonesia dengan kata

“Kyai.” Ia merupakan julukan untuk orang yang dihormati. Iik Mansurnoor tetap menggunakan

sebutan “Kyai” dalam beberapa tulisannya ditulis dengan cetak miring (Iik, 2011) dan beberapa

tidak (Iik, 1990). Saya berani menuliskan “Kyai” menjadi kyaéh karena dua hal. Pertama, dalam

tradisi masyarakat Madura, penyebutan “Kyai” secara verbal atas tokoh agama yang dihormati

hampir tak ada. Mereka akrab dengan kata “kyaéh.” Kedua, kata tersebut belum penulis temukan

dalam kamus bahasa Madura, sejauh jangakauan ketelitian penulis. Kata “kyaéh” penulisannya

saya sesuaikan dengan cara ucap masyarakat Madura sendiri. 22

“Raba” bisa juga ditulis “Rabeh.” Iik dalam karyanya, Islam in And Indonesian World:

Ulama of Madura (1990:12), menggunakan kata “Raba.” Sementara Mohammad Kosim dalam

Pondok Pesantren di Pamekasan: Pertumbuhan dan Perkembangan (2002:10) menggunakan

istilah “Rabeh.” 23

Iik Arifin Mansurnoor, Islam in An Indonesian World: Ulama of Madura, h. 12.

Page 46: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

34

sebagai bentuk jaringan keulamaan. Dia menugaskan muridnya yang

bernama Bungso. Bungso kemudian membangun pondok di Batuampar,

Sumenep. Nama dia kemudian dikenal dengan Kyai Batuampar.24

Tiga

contoh kyai tadi—sebagai ulama—berhasil melakukan Islamisasi di Pulau

Madura. Tentu dengan berbagai cara. Satu hal yang menarik adalah cara

yang digunakan ketiga kyai tersebut untuk menyebarkan keislaman bukan

dengan egosentrisme keagamaan. Mereka justru lebih menekankan

hubungan sosial dengan strategi diplomasi, kebudayaan, dan pertanian.

Gambaran di atas menyimpulkan bahwa sejarah Islamisasi awal di Pulau

Madura tebagi ke dalam dua gelombang. Gelombang pertama adalah adanya

interaksi antara para perantau dengan para pembawa Islam di luar Madura.

Penyebaran Islam ini ke Pulau Madura—sebagaimana interaksi yang

berlangsung—pun terjadi secara individual. Berbeda dengan gelombang ke

dua, kerajaan sudah turut andil. Ulama yang melangsungkan misi

keagamaan selain dapat menarik “hati” masyarakat desa dengan melakukan

pendekatan budaya dan pertanian pun mendapat dukungan bulat dari pihak

kerajaan. Proses Islamisasi yang mereka lakukan sedikit kendala bahkan

justru sangat menguntungkan.

3. Periode III: Ulama di Masa Skripturalisasi Islam

Dengan semakin licinnya proses Islamisasi yang berlangsung dan

pengaruh ulama semakin besar, keberagamaan masyarakat desa mengalami

perubahan. Perubahan tersebut ditandai dengan apa yang oleh Iik sebut

24

Iik Arifin Mansurnoor, Islam in An Indonesian World: Ulama of Madura, h. 14.

Page 47: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

35

sebagai “skripturalisasi”25

keberagamaan masyarakat desa oleh para ulama.

Upaya skripturalisasi tersebut berangkat dari “kegelisahan26

”—meminjam

istilahnya Zainuddin Syarif—ulama saat itu. Ulama ingin supaya

masyarakat Madura dalam berislam tak hanya mengandalkan pengetahuan

yang didapat dari mendengar, tapi lebih kepada pengenalan secara lebih

baik atas teks-teks keislaman. Dari itu, kegelisahan tersebut memunculkan

gagasan untuk membangun pondok pesantren dengan sistem yang lebih baik

dan dengan jangkauan yang lebih luas (supralocal religious center,

istilahnya Iik)27

.

Pada sekitar abad ke-16, berdiri dua pesantren tertua di Pamekasan.

Pertama, pesantren Bere’ Léké yang didirikan oleh Syeikh Abdurrahman,

seorang ulama asal Sumenep. Selain sebagai ulama, dia juga dikenal sebagai

pengembara. Sebelum mendirikan pesantren, tentu sebagaimana tradisi

pendahulunya, dia menghabiskan masa mudanya dalam menempuh studi

keislaman. Berdasarkan jejak rekam sejarah, dia pernah belajar Islam di dua

tempat secara berurutan: di Camplong, Sampang, kepada Kyai Prajjan dan

kemudian kepada Kyai Zainal Abidin di Candenah Kwanyar, Bangkalan. Di

tempat studinya yang terakhir dia tak hanya dapat meraup pengetahuan

keislaman tetapi juga berhasil menjadi menantu Kyai Candenah.

Setelah menikah, dia diperintahkan oleh Kyai—sekaligus mertua

barunya—Cendanah untuk merantau (hijrah) ke arah Utara Pamekasan.

25

Istilah “skripturalisasi” penulis ambil dari tulisannya Iik. Lih: Iik Arifin Mansurnoor,

Islam in An Indonesian World: Ulama of Madura, h. 229. 26

Zainuddin Syarif, Dinamisasi Manajemen Pesantren: Dari Tradisional Hingga

Modern (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2007), h. 24. 27

Mansurnoor, Islam in An Indonesian World: Ulama of Madura, h. 216.

Page 48: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

36

Sebelum dia dan istrinya berangkat, Kyai Cendanah sempat berpesan.

Pesannya adalah bahwa bila mana mereka berdua nanti di tengah perjalanan

menemui dua sumber mata air yang mengalir ke sungai harap berhenti.

Sebab di sana lah, di hamparan tanah kosong yang berada di antara dua

sumber mata air itu, mereka nantinya—harap Kyai Cendanah—membangun

pesantren. Tanah yang hendak dijadikan pesantren itu adalah hutan

belantara. Dari itu, kemudian wilayah tersebut dikenal dengan nama Bere’

Léké, Toronan, berada tepat di Desa Larangan Badung, Kecamatan

Palengaan. Di sana lah, Syeikh Abdurrahman membangun pesantren

perdananya: pesantren Bere’ Léké.28

Kedua, pesantren lain yang juga diduga tertua adalah Sumberanyar.

Pesantren tersebut terletak di Desa Larangan Tokol, Kecamatan Tlanakan.

Pendiri pesantren tersebut adalah Kyai Zubeir sekitar tahun 1515 M. Dia

hidup sekawan dengan Buju’ Agung Raba (Kyai Raba). Mengenai

silsilahnya masih polemik. Ada tiga pendapat yang penulis temui. Pertama

menyatakan bahwa Kyai Zubeir merupakan putra Kyai Raidin bin Buju’

Kyai Kosambih bin Raden Kabul alias Buju’ Aji Gunung Sampang. Kedua,

dia adalah putra Kyai Khatib bin Muhammad al-Azhari bin Ahmad bin Kyai

Mujahid Arosbaya Bangkalan. Terakhir ketiga, dia sebagai sepupu Kyai

Abdul Alam Prajjan, Camplong, Sampang. Menurut laporan dari

Mohammad Kosim, kedua pesantren tersebut diduga kuat berdiri di abad

yang sama, namun masih keterbatasan data untuk menyimpulkan mana yang

28

Mohammad Kosim, Pondok Pesantren di Pamekasan: Pertumbuhan dan

Perkembangan (Pamekasan: P3M, 2002), h. 8-11.

Page 49: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

37

lebih tua. Tetapi yang jelas, dugaan kuat bahwa pendiri kedua pesantren

tersebut hidup di abad—bahkan di tahun-tahun—yang sama lantaran dua

alasan: keduanya sama-sama terekam sejarah sebagai santri Kyai Prajjan;

dan, generasi kepemimpinan selanjutnya pun sama, yakni tujuh kali

pergantian pemimpin dihitung dari generasi pertama. Generasi penerus

Syeikh Abdurrahman di antaranya adalah KH. Hasan; KH. Ishak; KH. Isbat;

KH. Nashirudin; Ny. Halimah; KH. Mawardi. Adapun penerus Kyai Zubeir

adalah KH. Zubeir II; Kyai Umrah/Kyai Rato; KH. Sukriwe; KH. Marzuki;

KH. Syahri; dan KH. Maliji.29

Pada sekitar tahun 1788 M, salah seorang keturunan Syeikh

Abdurrahman, Kyai Isbat kembali mengembangkan jaringan keulaman

dengan membuat pesantren baru di lokasi baru: sekarang termasuk bagian

Desa Poto’an Daja, Kecamatan Palengaan, Kabupaten Pamekasan. Berawal

dari sebuah langgar kecil, kiprahnya dalam dunia pendidikan keislaman

mendapatkan dukungan penuh dari masyarakat. Pelan-pelan langgar

tersebut berubah menjadi pesantren lantaran banyak santri dari luar daerah

hendak menimba pengetahuan keislaman, di sana.30

Pasalnya gagasan

tentang pembentukan jaringan baru itu sama dengan apa yang terjadi kepada

para ulama pendulunya. Satu hal yang selalu membuat ulama berjuang

keras, yakni kegelisahan atas minimnya pengetahuan masyarakat tentang

agama Islam. Meski Islamisasi terus mengalami kemajuan, bagi Kyai Isbat

saat itu masih banyak masyarakat yang perlu dididik secara lebih baik lagi.

29

Kosim, Pondok Pesantren di Pamekasan: Pertumbuhan dan Perkembangan, h. 8-11. 30

Syarif, Dinamisasi Manajemen Pesantren: Dari Tradisional Hingga Modern, h. 24-25.

Page 50: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

38

Dia tak mudah puas dengan pencapaian para pendahulunya. Semangat juang

(Arab: jihad) Islamisasi di Madura terus dia bangkitkan.

Demi cita-citanya itu Kyai Isbat dan istrinya suatu ketika mencari lahan

baru untuk ditempati sebuah langgar. Dia akan menyebarkan pengetahuan

keislaman di tempat tersebut. Dari hasil pencariannya itu, dia menemukan

sebuah desa terpencil. Namanya Longsereh. Desa itu sekarang merupakan

bagian dari Kecamatan Rabatal, Kabupaten Sampang. Tapi, dia tinggal di

desa itu hanya sebentar. Istrinya tak kerasan sebab trauma atas kejadian

yang pernah menimpa putranya. Anaknya kecelakaan, tenggelam di sungai

dekat kediamannya. Akhirnya, mau tak mau mereka pindah. Lokasi baru

kali ini berada di Desa Poto’an Daja itu dan diberi nama Banyuanyar.

Secara etimologi “banyu” merupakan bahasa Jawa yang berarti “air.”

Adapun “anyar” artinya “baru.” Banyuanyar memiliki arti “air baru.”

Nampaknya nama ini dipakai dan diabadikan sebagai bentuk penghargaan

atas jasa Kyai Isbat yang telah menemukan sumber mata air dan lalu

membuatkan sumur di sana, yang sampai sekarang masih bisa berfungsi.

Dari sejak itu-lah pesantren Banyuanyar terbentuk. Perlahan demi perlahan,

pesantren tersebut semakin besar. Periode 1817-1868 merupakan periode

perintisan di bawah kendali Kyai Isbat, putra Kyai Ishak; 1868-1933

merupakan periode skripturalisasi ajaran-ajaran keislaman secara lebih baik

di bawah kepemimpinan Kyai Abdul Hamid yang pernah langsung berguru

kepada Syeikh Nawawi Al-Bantani di Mekkah; 1943-1966 di bawah

bimbingan KH. Baidawi; 1966-1980 diasuh oleh KH. Abdul Hamid Baqir;

Page 51: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

39

1980-sekarang adalah periode pembaruan pesantren dengan membuka

Madrasah Tsanawiyah (MTs) pada tahun ajaran 1979/1980 dan Madrasah

Aliyah (MA) pada tahun 1983/1984 di bawah kepemimpinan KH.

Muhammad Syamsul Arifin.31

Berbeda dengan apa yang terjadi di Pamekasan, di Sumenep pada sekitar

tahun 1860-an terdapat kisah menarik dua ulama, Gema dan Kyai Syarqowi.

Gema adalah seorang pedagang yang berhasil berangkat haji dan

memberikan banyak perubahan di daerah Prenduan. Adapun Syarqowi

adalah temannya. Dia adalah keturunan salah satu ulama populer di kota

Kudus. Ayahnya bernama Kyai Shidiq Romo dan kakeknya bernama Kyai

Kanjeng Sinuwun. Pertemuan dia dengan Gema adalah saat sama-sama

dalam sebuah kapal yang sedang berlabuh menuju Mekkah. Gema tertarik

atas kecerdasan dan perilaku Kyai Syarqowi. Setelah tiba di Hijaz, Gema

mangalami sakit parah dan tak lama kemudian meninggal dunia. Sebelum

meninggal dan dikuburkan di Taif, dia sempat berpesan kepada Kyai

Syarqowi. Pesannya adalah bahwa bila Gema meninggal, dia ingin supaya

Kyai Syarqowi menikahi istri mudanya, Khotijah, di Parindu. Kyai

Syarqowi menyanggupi hal itu. Setibanya di Parindu, setelah selesai

menunaikan ibadah haji, Kyai Syarqowi betul-betul menikahi Khotijah.

Orang yang menjadi saksi pernikahan tersebut bernama Abdullah.

Suami Khotijah yang baru itu kian hari semakin kesohor di Parindu.

Namun popularitas yang dia miliki tak melulu tanpa perlawanan. Tak sedikit

31

Syarif, Dinamisasi Manajemen Pesantren: Dari Tradisional Hingga Modern, h. 24-25.

Page 52: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

40

pemuka agama tradisional di sekitar Parindu iri dan dengki kepadanya. Itu

lah alasan kenapa kemudian dia pindah tempat ke daerah Guluk-Guluk. Di

sana dia membuat pesantren yang menjadi cikal bakal pesantren terbesar di

Kabupaten Sumenep hingga sekarang, Annuqoyah. Pesantren lama di

Parindu digantikan oleh Kyai Chotib, muridnya yang pertama. Kabarnya,

murid senior Kyai Syarqowi ini lah orang pertama yang berhasil membuat

pemahaman keberislaman selama ini di masyarakat menjadi jelas.32

Di Bangkalan, pada tahun 1870-an berdiri dua pesantren, Jangkebuan dan

Kademangan. Kedua pesantren tersebut didirikan oleh seorang ulama yang

namanya sangat populer saat itu—bahkan hingga sekarang—yakni

Syaikhona33

K.H. Muhammad Kholil. Pesantren pertama tersebut (baca:

Jangkebuan) didirikan di atas lahan pemberian Panembahan Isma’il—

seorang penguasa Bangkalan saat itu—tepatnya pada tanggal 19 Rajab 1290

Hijriyah (1873 M). Pesantren tersebut masih aktif sampai sekarang dengan

nama Al-Muntaha Al-Kholili. Adapun pesantren kedua juga masih

dilestarikan oleh keturunannya sampai sekarang dengan nama Pondok

Pesantren Syaikhona Muhammad Kholil. Keturunannya yang masih aktif

mengasuh pondok tersebut adalah Kyai Fahri As-Schal, adapun yang

membidangi manajemen pesantren adalah adiknya, Kyai Nasih As-Schal.

Kedua pesantren tersebut merupakan pesantren yang terbilang cukup tua di

Madura, khususnya di Bangkalan. Mulanya, Kyai Kholil membangun kedua

pesantren itu sebagai bentuk misionarisasi keislaman yang memang sedang

32

Jonge, Madura dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, h. 239-245. 33

Syaikhona merupakan gelar kehormatan bagi seorang ulama.

Page 53: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

41

tumbuh subur saat itu di samping juga sebagai strategi perlawanan terhadap

penjajahan Belanda.34

Hampir sama dengan yang dilakukan para kyai yang lain. Sebelum

membangun pesantren, terlebih dahulu dia memperdalam pengetahuan

keislaman. Dia menempuh studi tersebut dari satu tempat ke tempat yang

lain. Sebuah laporan menyebutkan bahwa pada masa mudanya dia belajar

Islam kepada ayahnya, Kyai Abdul Latif, seorang penceramah keliling.

Setelah itu dia melanjutkan berguru kepada Tuan Guru Dawuh (Buju’

Dawuh, Desa Malajeh, Bangkalan); Tuan Guru Agung (Buju’ Agung); Kyai

Sholeh, pengasuh pesantren Bungah, Gresik; Kyai Muhammad Noer,

pengasuh pesantren Langitan, Tuban; Kyai Arif, pesantren Darussalam,

Kebon Candi, Pasuruan; Kyai Asyik, pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan;

Kyai Noerhasan Sidogiri, Kraton, Pasuruan; Kyai Abu Dzarrin, Winongan;

dan Kyai Abdul Basyar, Banyuwangi. Demikian guru-guru dia semua

adalah orang Jawa. Dia belajar di beberapa pesantren Jawa tersebut sekitar

enam tahun, dari tahun 1852-1958 M. Kemudian pada tahun 1859 dia

menempuh studinya ke luar negeri, yakni tepatnya di Mekkah. Pada waktu

itu, dia sempat berjumpa dan berteman dengan beberapa sarjana asal

Nusantara yang telah lebih dulu bermukim di sana. Diantaranya adalah

Syeikh Abdul Ghoni, Bima; Syaikh Ibrahim; Syeikh Abdul Ghani al Asyi;

Syeikh Abdur Rouf Sungkeli; Syeikh Yusuf, Sumbawa; Syeikh Nahrawi;

Syeihk Abdul Hamid Dhagistani; K.H. Asnawi Kudus; K.H. Asnawi

34

Fuad Amin Imron, Syaikhona Kholil Bangkalan Penentu Berdirinya Nadhlatul Ulama

(Surabaya: Khalista, 2016), h. 73.

Page 54: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

42

Banten; Ajengan Tubagus Bakri, Purwakarta; Syeikh Arsyad Banten; K.H.

Asy’ari Bawean; K.H. Majnun Mauk, Tangerang; Syeikh Muhammad

Khatib Hambali; Syeikh Ahmad Katib, Minangkabau; dan Syeikh

Muhammad Yasin, Padang.35

Di Mekkah, dia berguru kepada Syeikh Nawawi Al-Bantani dan Syeikh

Ali Rahbini. Kepada Syeikh Nawawi dia belajar pengetahuan fiqh (hukum

Islam), aqidah (teologi), dan tasawwuf (spiritual) sesuai dengan paham

ahlussunnah wal jama‟ah.36

Sekembalinya dari luar negeri, dia menjadi

misionaris Islam di tanah air, tepatnya di Madura. Sebelum mendirikan

pesantren, dia bekerja sebagai penasehat keagamaan di bidang keislaman di

kantor Adipati Bangkalan hingga kemudian menjadi menantu Pangeran

Lodrapati, yakni menikahi Raden Ayu Assek.37

Kemudian, sebagaimana

penulis paparkan di awal, setelah menjalin hubungan erat dengan kerajaan,

dua pesantren berhasil dia bangun dan berkembang sampai sekarang.

Selain pesantren-pesantren yang penulis paparkan di atas masih banyak

yang lain. Pada tahun 1871 saja, jumlah pesantren mencapai 126. Jumlah

tersebut merupakan total keseluruhan dari pesantren-pesantren yang ada di

empat kabupaten: di Bangkalan terdapat 15 pesantren; di Sampang terdapat

19; di Pamekasan terdapat 43; dan di Sumenep paling banyak, yakni ada 49

pesantren. Jumlah semua santri mencapai 4.632 (lih: Tabel I). Semakin ke

sini jumlah santri semakin meningkat. AVIO mencatat peningkatan jumlah

santri dari tahun ke tahun. Pada tahun 1865 jumlah santri baru ada 2.504;

35

Imron, Syaikhona Kholil Bangkalan Penentu Berdirinya Nadhlatul Ulama, h. 64-74. 36

Imron, Syaikhona Kholil Bangkalan Penentu Berdirinya Nadhlatul Ulama, h. 68. 37

Imron, Syaikhona Kholil Bangkalan Penentu Berdirinya Nadhlatul Ulama, h. 69-73.

Page 55: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

43

setahun berikutnya, 1866 ada 9.674; dan 1871, 18.106; 1881, 30.336; 1887,

44.625; 1893, 54.915. Jumlah tersebut merupakan jumlah total dari

gabungan antara jumlah santri pesantren (seterusnya: santri pondok) dengan

santri langgar. Faktor yang menyebabkan jumlah santri pondok menurun

pada tahun 1881 adalah berdirinya sekolah-sekolah umum (sejak 1863).

Para santri yang tamat belajar membaca Al-Qur’an—mulai dari alif-alifan

(belajar huruf Arab), ngijha (mengeja), turutan (surat-surat pendek), dan

kemudian lalar (mengaji Al-Qur’an)—di langgar-langgar banyak tak

meneruskan ke pesantren tetapi ke sekolah-sekolah umum. Namun

sebagaimana Kuntowijoyo tegaskan bahwa pendidikan keagamaan tetap

merupakan “bagian yang esensial dari kehidupan masyarakat.”38

Tabel I

Pesantren dan Santri Tahun 187139

38

Kuntowijoyo, Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940, h.

328-345. 39

Tabel ini diambil dari Kuntowijoyo, Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris

Madura 1850-1940, h. 328-345.

Pesantren

Bangkalan

Sampang

Pamekasan

Sumenep

Total

JUMLAH MURID

Jml Skl Llk Prp Anak Llk Anak Prp

(di bawah 15 tahun)

Total

15

19

43

49

126

894

738

415

-

2.047

-

-

57

-

57

1.223

22

379

734

2.358

45

-

125

-

170

2.162

760

976

734

4.632

Page 56: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

44

Pendidikan keagamaan, bahkan, bukan hanya menjadi “bagian yang

esensial” sebagaimana Kuntowijoyo katakan di awal tetapi terus mengalami

skripturalisasi. Usaha skripturalisasi keagamaan yang dilakukan oleh para

ulama semakin lancar dan memiliki arah yang semakin jelas selain karena

kedekatan ulama dengan masyarakat, kondisi sosiol ekonomi-politik juga

menentukan. Pada abad ke-19, Belanda—VOC lalu kolonial—mulai

menekan kerajaan. Kerajaan menjadi seperti mulai kehilangan kekuasaan.

Banyak tokoh masyarakat saat itu marah dan kecewa terhadap kerejaan

karena patuh terhadap Belanda. Dari itu ulama aristokratik yang independen

bebas melancarkan misinya dan semakin populer lantaran keberaniannya

menghadapi Belanda maupun kerajaan yang sudah takluk di bawah

pemerintahan Belanda. Tak heran kenapa pada abad itu, banyak

bermunculan pesantren yang tak lagi terikat dengan kerajaan mana pun.

Basis kekuatannya adalah masyarakat pedasaan bukan lagi kerajaan.40

Sikap

independensi—dan bahkan dengan bentuk perlawanan—ini ditandai dengan

peristiwa perang Prajjan pada pukul 22.00, tanggal 9 Desember 1895,

peperangan melawan penjajahan Belanda dibawah komando Kyai Semantri,

seorang ulama kesohor asal Sampang.41

Di samping sikap independensi,

pada paruh kedua abad ke-19, harapan masyarakat Muslim Madura untuk

mengetahui dan menjalankan keberislaman secara lebih skripturalis semakin

kuat. Hal ini sejalan dengan semakin meningkatnya hubungan

40

Iik Arifin Mansurnoor, Islam in An Indonesian World: Ulama of Madura, h. 36. 41

Iik Arifin Mansurnoor, Islam in An Indonesian World: Ulama of Madura, h. 37;

Kuntowijoyo, Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940, h. 341.

Page 57: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

45

“keilmuan42

”—meminjam istilahnya Azra—antara penduduk Nusantara

dengan Semenajung Arab. Pengalaman para haji (selanjutnya: haji) yang

baru pulang dari Mekkah, informasi dari imigran Arab yang datang ke

Nusantara, dan beberapa buku-buku keislaman yang diperoleh dari Arab

membuat gambaran ajaran-ajaran keislaman semakin jelas. Orang Madura

yang ingin mendapatkan gambaran Islam dengan lebih jelas—baik

persoalan keilmuan maupun contoh praktik—tentu jalannya adalah

berangkat naik haji. Mereka harus ke Mekkah, selain belajar agama kepada

sejumlah guru—sebagaimana sudah dipraktekkan banyak ulama di Madura

saat itu—juga mengamati bagaimana orang-orang Arab menjalankan

praktik-praktik keislaman.

Penulis temukan data yang menakjubkan bahwa pada tahun 1880 di

Pulau Madura, terdapat 896 haji; 1885 ada 1.111; dan, 1890 ada 1.364.43

Jumlah haji dari tahun ke tahun di pulau itu terus meningkat. Hubungan

orang-orang Madura dengan Arab melalui keberangkatan haji itu

meningkatkan kesadaran pentingnya skripturalisasi kebaragamaan. Mereka

akan mengetahui sendiri praktik-praktik keagamaan yang berkembang di

Mekkah saat itu dan hal tersebut dapat memicu penasaran mereka untuk

mendalami pengetahuan Islam lebih lauh. Tak semua haji dari Madura saat

berada di Mekkah menuntut pengetahuan agama secara lebih serius

sebagaimana yang dilakukan Syaikhona Kholil dan Kyai Abdul Hamid.

42

Azyumardi Azra, The Origins of Islamic Reformism in Southest Asia: Networks of

Malay-Indonesian and Middle Eastern Ulama’ in The Seventeenth and Eighteenth Centuries

(Alexander Street: Allen and Unwin, 2004). 43

Kuntowijoyo, Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940, h.

334.

Page 58: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

46

Namun dapat diasumsikan bahwa kesadaran skripturalisasi pemahaman

keagamaanya akan muncul. Hal tersebut disebabkan dua hal, pertama, bekal

pengetahuan keagamaan yang didapat dari guru-guru agama (ulama) di

Madura yang memang sudah mapan secara keilmuan, dan kedua mereka

berhadapan sendiri dengan realitas keberagamaan di pusat keislaman saat

itu. Mereka yang pulang dari haji tak tentu menjadi tokoh agama setempat

dan mengajarkan pengetahuan keislaman yang baru saja diperoleh dari

Arab. Namun mereka setidaknya dapat memberikan contoh praktik-praktik

keagamaan yang mereka perolah dari pengalaman selama di Mekkah,

setidaknya seperti praktik salat dan berpakaian. Menurut Kuntowijoyo

mereka, para haji, sepulang dari Mekkah tak memiliki perbedaan dengan

masyarakat pada umumnya kecuali cara berpakaian.44

Ciri khas pakaian

mereka adalah peci putih. Ini merupakan simbol haji dan juga sekaligus

religiusitas seseorang di Madura. Penggunaan simbol peci putih di Madura

memiliki dampak sosial. Mereka yang menggunakan peci tersebut identik

dua hal: kalau bukan haji biasanya adalah santri. Identitas berpakaian yang

digunakan oleh para haji tersebut semakin memperkuat kultur santri

sedangkan kultur santri di Madura identik dengan kultur keislaman yang

sudah mengalami skripturalisasi. Puncak skripturalisasi keislaman di

Madura terjadi semenjak kedatangan organisasi baru yang bernama

Nahdlatul Ulama (disingkat: NU).

44

Kuntowijoyo, Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940, h.

335.

Page 59: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

47

Pada tahun 1926, sebagaimana penulis paparkan di awal (baca: Bab II),

para ulama pesantren mendirikan NU di Surabaya. Kehadiran organisasi

Islam—yang oleh Geertz disebut sebagai tradisionalis (Geertz, )—tersebut

memiliki dampak besar bagi para ulama tradisional yang berbasis di

pedesaan untuk memperkuat pengaruhnya. Keberhasilan mereka dalam

memperkuat pengaruh di Madura dapat dibuktikan dengan terbentuknya—

apa yang oleh Yanwar Pribadi sebut sebagai—“kultur santri” (Santri

Culture).45

Kultur santri tersebut ditandai dengan kuatnya hubungan antara

tiga institusi: ulama, NU, dan pesantren. Adapun salah satu faktor yang

mengikat hubungan tersebut adalah paham keagamaan. Paham keagamaan

ulama di Madura adalah Sunni.

45

Yanwar Pribadi, “Islam and Politics in Madura: Ulama and Other Local Leaders in

Search of Influence 1990-2010,” (Dessertation, University of Leiden, 2013), h. 15-53.

Page 60: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

48

BAB IV

PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE

SUNNI DI PULAU MADURA

A. Peran Ulama di Tiga Sektor

Peran ulama pesantren dalam melestarikan sekte Sunni di pulau Madura

dapat terbagi ke dalam tiga sektor, yang mana pada masing-masing bidang

tersebut menggunakan metode yang berbeda-beda. Ketiga sektor itu adalah

peran mereka sebagai guru di pesantren, tokoh atau sesepuh di masyarakat, dan

anggota organisasi.

1. Ulama dan Pesantren

Untuk melestarikan sekte Sunni di pesantren, ulama pesantren

Madura berperan sebagai guru agama. Mereka mengajarkan

pengetahuan-pengetahuan keislaman yang sesuai dengan ajaran Sunni

kepada para santri. Dalam bidang hukum praktis, mereka mengajarkan

pengetahuan keislaman yang masih tergolong dalam kategori paham

madzhab Syafi‟iyah. Di bidang teologi mereka mengajarkan paham-

paham Asy‟ariyah dan dalam bidang spiritual mereka memberikan

suguhan doktrin-doktrin Ghazaliyah.

Pengetahuan keislaman semacam itu mereka ajarkan berdasarkan

kurikulum tradisional, yakni sistem pembelajaran yang didapat secara

turun-temurun (sanadiya wa nasabiyah). Kurikulum tersebut—sebagai

kurikulum pendidikan Islam tertua di Indonesia—merujuk kepada

Page 61: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

49

buku-buku ajar dan metode pembelajaran yang khas. Buku ajar yang

mereka gunakan adalah kitab kuning (baca: kitab kuning) dan metode

pembelajarannya adalah weton dan bandongan.1

Kitab kuning—sebagai buku ajar pesantren—merupakan buku

karya para ulama klasik. Buku-buku semacam itu biasanya berwarna

cokelat muda, tampak seperti buku tua, ada yang tipis dan ada yang

tebal.2 Isi yang terkandung di dalamnya biasanya merupakan buah

pikir para ulama klasik di tiga bidang disiplin pengetahuan, teologi,

hukum, dan spiritual. Selain ketiga bidang itu, ada juga yang

mengandung pengetahuan khusus seperti gramatika bahasa Arab dan

karya-karya sastra Arab.3 Gaya penulisannya ada dua bentuk, matan

dan syarah. Kitab kuning matan merupakan karya ulama klasik yang

belum dikomentari. Sebagai karya literasi, teks yang tersaji di

dalamnya masih utuh sebagai karya asli, belum ada campuran tangan

pihak lain. Hal ini berbeda dengan kitab kuning syarah. Ia merupakan

buku komentar atas kitab kuning matan. Untuk kitab kuning yang

mengandung ajaran teologi, hukum, dan spiritual dalam tradisi

pendidikan pesantren Sunni di Madura—ini juga berlaku di daerah lain

di Jawa—ada kategori khusus yang boleh diajarkan di pesantren. Para

ulama pesantren—secara turun temurun—mengkategorikan kitab

1 Syarif, Dinamisasi Manajemen Pesantren dari Tradisional hingga Modern, h. 66.

2 Untuk memperkaya data tentang kitab kuning silakan baca karya Martin van Bruinessen,

Pesantren and Kitab Kuning: Continuity and Change in A Tradition of Religious Learning, yang

diterbitkan dalam sebuah buku bersama (bunga rampai) yang diedisi oleh: Wolfgang Marschall,

ed., Texts from The Islands: Oral and Written Traditions of Indonesia and the Malay World

(Berne: The University of Berne Institute of Ethnology, 1994), h. 121-146. 3 Iik Arifin Mansurnoor, Islam in An Indonesian World: Ulama of Madura, h. 280-283.

Page 62: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

50

kuning yang boleh diajarkan di pesantren adalah buku-buku klasik

yang mu’tabaroh. Istilah mu’tabroh sendiri dalam bahasa Arab berarti

“layak dipertimbangkan.” Nampaknya kategorisasi ini merupakan

usaha untuk membentengi hasil buah pikiran dalam bentuk literasi dari

luar sekte Sunni. Pemilihan kitab mu’tabaroh di kalangan ulama

pesantren Madura memiliki kesesuaian dengan kategorisasi yang

dirumuskan oleh NU pada muktamarnya yang ke-27 di Pondok

Pesantren Salafiyah Syafi‟iyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur.

Dalam keputusan muktamar tersebut menurut Shofiyullah yang disebut

dengan kitab-kitab mu’tabaroh adalah kitab-kitab klasik yang para

penulisnya memiliki ikatan pemahaman keagamaan yang kuat dengan

empat madzhab (madzhib al-arba’ah).4 Untuk mengetahui lebih rinci

beberapa contoh kitab-kitab mu’tabaroh yang diajarkan di pesantren

Madura silah lihat pada Tabel II di bawah ini.

4 Shofiyullah, Al-Kutub Al-Mu’tabarah: Kajian atas Sumber Rujukan dalam Beristinbath

Menurut NU, Muhammadiyah, dan Persis (T.tp.: T.tp., t.t.), h. 12.

Page 63: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

51

Tabel II

Judul Kitab Mu’tabarah Yang Diajarkan di Pesantren Madura

No. Judul

Kitab

(Matan)

Nama Penulis Judul

Kitab

(Syarah)

Nama

Penulis

Jenis

Kitab

1. Safinah

al-Najah

Salim bin Sumair

Al-Hadhromi (w.

1271 H)

Kasyifah

Al-Saja

Nawai Al-

Bantani

Fikih

2. Sullam

al-Taufiq

Abdullah bin Al-

Husain bin Thohir

Al-Alawi Al

Hadhromi (1191-

1242 H)

Mirqat

Shu’ud Al-

Tashdiq

Nawawi Al-

Bantani

Fikih

3. ‘Aqidah

al-Awam

Sayyid Al-Marzuki Nur Al-

Dholam

Nawawi Al-

Bantani

Akidah

(Teologi)

4. Bidayah

al-

Hidayah

Hamid Al-Ghazali Muraqi Al-

‘Ubud

Nawawi Al-

Bantani

Tasaww

uf

5. Ghayah

wa Taqrib

Ahamd bin Husein

bin Ahmad Al-

Ashbahani (Qadhi

Abu Suja‟)

Fath al-

Qorib

Mujib

Muhammad

Ibn Qosim

Al-Ghazi

(w. 928 H)

Fikih

6. Ihya’

Ulumuddi

n

Hamid Al-Ghazali - - Tasawuf,

Fikih,

Akidah

7. Al-

Muharrah

Al-Rafi‟i Fathu Al-

Wahhab

Abu

Zakariya

bin

Muhammad

Al-Anshari

(w. 926 H)

Fikih

8. Fathu

Mu’in

Zainuddin bin Abdul

Aziz Al-Malibari

I’anah al-

Thalibin

Abu Bakar

Syatta‟ Al-

Dimyati

Fikih

Selain delapan kitab kuning yang tertulis pada tabel di atas tentu

masih banyak kitab kuning lain yang tergolong sebagai kitab

Page 64: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

52

mu’tabaroh, seperti Shahih Bukhari,5 Shahih Muslim,

6 dll. Kitab

kuning mu’tabaroh tersebut di pesantren biasanya diajarkan oleh kyai

langsung kecuali di pesantren besar. Dalam pesantren besar, biasanya

para kyai pengasuh hanya mengajarkan kitab kuning yang termasuk

kategori pelajaran lanjutan seperti I’anah al-Thalibin, Ihya Ulum al-

Din, dan kitab-kitab kuning lanjutan lain. Metode pengajaran yang

mereka gunakan, sebagaimana sudah penulis jelaskan di awal, adalah

weton dan bandongan.7 Metode tersebut merupakan metode

pembelajaran yang diperoleh secara turun temurun. Kyai mendapatkan

metode tersebut dari pondok pesantren, di mana dia dulu menimba

pengetahuan atau dari orang tuanya sendiri. Bentuk metode tersebut

adalah kyai—sebagai guru—membacakan teks kitab kuning yang

dianggap mu’tabaroh lalu mengurai susunan gramatika bahasa

Arabnya dan kemudian menterjemahkannya dalam bahasa Madura.

Adapun santri menuliskan catatan singkat pada kitab yang mereka

pegang sesuai dengan penjelasan Kyai. Proses pembelajaran tersebut

sering kali disebut sebagai pangajian (pengajian). Pengajian tersebut

biasanya berlangsung setiap selesai menunaikan salat lima waktu.

Namun yang sering terjadi adalah selepas maghrib dan subuh.8 Tempat

yang kyai gunakan biasanya adalah masjid atau kadang-kadang

5 Merupakan kitab yang di dalamnya memuat Hadits-hadits Nabi Muhammad karya Abu

Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah Al-Jufi Al-Bukhari

(w. 870 M). 6 Buku kumpulan hadits karya Abu Husain Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi Al-

Naisaburi (821-875 M) 7 Syarif, Dinamisasi Manajemen Pesantren dari Tradisional hingga Modern, h. 66.

8 Iik Arifin Mansurnoor, Islam in An Indonesian World: Ulama of Madura, h. 298.

Page 65: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

53

musala. Formasi kelas yang dibentuk adalah kyai duduk di depan para

santri dan para santri duduk menghadap kyai.

Di dalam kelas pangajian itu ada sejumlah etiket santri yang

dibangun. Untuk menerapkan sejumlah etiket santri kepada guru saat

proses belajar berlangsung, kyai menggunakan rujukan sebuah buku

karya Zarnuji, Ta’limul-Muta’allim. Dalam kitab tersebut dijelaskan

bahwa santri harus patuh kepada guru. Kepatuhan tersebut berupa

sikap diam tak memandang wajah guru dan tak bertanya kalau tak

dipersilakan. Konsep etiket dalam kitab itu, penulis amati berjalan di

pesantren. Saat kyai mulai memasuki kelas—sebut saja masjid atau

musala—para santri berdiri, atau kadang-kadang di sebagian pesantren

duduk diam menundukkan kepala. Sikap semacam itu merupakan

penyambutan hormat kepada guru. Ketika kyai sudah mulai

membacakan teks kitab, para santri tak satu pun dapat memberanikan

diri untuk menatap muka kyai. Biasanya santri fokus sekitar tiga jam

lebih untuk menundukkan kepala, melihat teks-teks Arab pada kitab

yang mereka pegang. Mereka tak berbicara, bercanda, apalagi teriak-

teriak meledek guru di depan. Hal-hal semacam itu di pesantren susah

terjadi bila mana kyai langsung yang mengajar. Fenomena itu

merupakan bentuk penghormatan kepada guru dalam tradisi pesantren.

Etiket semacam itu di pesantren Madura sangat mengikat. Ada satu hal

yang membuat para santri sangat terikat dengan etiket tersebut: istilah

barokah. Para santri pondok di Madura meyakini bahwa untuk

Page 66: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

54

mendapatkan barokah santri mau tak mau harus tunduk dan patuh

kepada guru dengan etiket kesantrian yang berlaku di sana.

Di samping penggunaan metode tradisional dan sejumlah

penerapan etiket kepada guru, dalam institusi pesantren di Madura pun

terdapat fasilitas sarana pembelajaran. Untuk pesantren yang jumlah

santrinya kurang dari seratus orang (pondhuk kéné) fasilitas yang

disediakan hanya ada tiga: pondok sebagai tempat tinggal atau asrama

para santri; masjid atau kadang-kadang hanya musala sebagai tempat

pembelajaran berlangsung; dan ketiga tenaga pengajar, yakni kyai itu

sendiri sebagai pengasuh. Adapun untuk ponduk raja, pesantren yang

memiliki jumlah santri lebih dari seratus orang, fasilitasnya pun

bertambah. Untuk pesantren jenis salaf hanya bertambah tenaga

pendidik dan untuk jenis modern (khalaf)9 selain tambahan tenaga

pendidik juga gedung sekolah sebagai tempat berlangsungnya proses

pembelajaran pendidikan formal.

Di dalam pesantren kyai tak hanya mengajarkan pengetahuan

keislaman semata. Mereka juga membekali santri dengan ragam ritual

keislaman tertentu dan kecakapan dalam menerapkan akhlak, etiket

seorang santri. Oleh karena itu, di pesantren kyai dihormati bukan

hanya karena kecakapan intelektualitasnya namun juga lantaran

kegemaran dalam praktik-praktik ritual keislaman (‘abid) dan juga

9 Pesantren salaf adalah bentuk pesantren yang hanya menerapkan metode pembelajaran

tradisional. Di dalamnya hanya mengajarkan pendidikan keagamaan. Adapun pesantren modern

adalah pesantren yang sudah mulai memasukkan kurikul nasional dalam metode pembelajarannya,

yakni seperti membuat lebaga pendidikan formal. Untuk lebih jelasnya silahkan baca buku,

Dinamisasi Manajemen Pesantren dari Tradisonal Hingga Modern (2007) karya Zainudin Syarif.

Page 67: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

55

akhlaknya (sháleh). Kyai yang gemar dengan tarekat biasanya juga

membekali santri dengan aliran tarekat yang dia geluti. Seperti Kyai

Toifur Ali Wafa, misalnya. Dia merupakan mursyid tarekat

Naqsyabandiyah di Sumenep. Selain mengajarkan beberapa kitab

kepada para santrinya, dia juga mengajarkan ritual-ritual tarekat

tersebut. Hal ini juga terjadi pada Kyai Ali Karrar. Dia merupakan

mursyid tarekat Alawiyyah di Pamekasan. Adapun kyai yang tak aktif

di tarekat tetap melestarikan ritual-ritual keagamaan yang kerap

disebut sebagai ritual nahdliyah.

Ritual nahdliyah itu ada sembilan macam bentuk ritual yang umum

dikenal oleh masyarakat Madura.

a. Empa’ Bulanan dan Mérét Kandung

Tradisi empa’ bulanan merupakan aktifitas religius berupa

praktik ritual tertentu seperti membaca doa-doa khusus. Itu

dilakukan untuk mendoakan janin yang sedang berumur empat

bulan dalam kandungan. Hal tersebut hampir sama dengan

tradisi méret kandung—hanya saja diperuntukkan sebagai

upacara kehamilan ketika berusia tujuh bulan.

b. Tahlil

Masyarakat Muslim Madura akrab dengan istilah tahlil.

Istilah tersebut ialah serapan dari bahasa Arab, tahlil yang

berarti membacakan kalimat tauhid: láilaha illálláh

muhammadurrasúlulláh. Sebagai ritual, praktik tahlil itu

Page 68: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

56

biasanya dilakukan dengan, pertama, tawasshul kepada orang-

orang yang telah meninggal dengan membacakan surah Al-

Fatihah; kedua, dilanjutkan dengan membacakan surah Yasin,

lalu—atau langsung—membaca tiga surah pendek: al-falaq,

an-nás, dan al-ikhlas. Setelah pembacaan itu, para praktisi

ritual tahlil biasanya melanjutkan dengan membacakan

sholawat, istighfar, atau langsung kalimat tauhid. Terakhir

adalah doa (lihat Lampiran I).

c. Upacara Pemakaman

Dalam upacara pemakaman tak ada yang berbeda dengan

beberapa tradisi keislaman yang golongan lain kecuali dua hal:

saat pengiringan janazah dan setelah pemakaman. Dalam

tradisi kaum nahdliyyin, ketika membawa janazah dari tempat

disalatkan menuju keburuan, mereka mengiringi janazah

sepanjang perjalanan dengan membacakan kalimat tauhid.

Adapun ketika proses penguburan selesai mereka meneruskan

dengan pembacaan talqin (lihat: Lampiran II) dan kemudian

tahlil di kuburan. Selepas itu, para pelayat tak langsung pulang

ke rumah masing-masing namun mampir dulu ke rumah duka

(baca: pihak al-marhum atau al-marhumah). Di sana mereka

mendapatkan jamuan makan dari keluarga orang yang telah

meninggal.

d. Maulid

Page 69: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

57

Kelahiran Nabi Muhammad dalam Islam dikenal dengan kata

maulid: bermakna “sebuah hari kelahiran.” Dalam acara maulid

biasanya jamaah nahdliyin membacakan sholawat dengan buku

panduan bermacam-macam. Ada yang menggunakan buku

Barzanji, Simtudduror, Dibái, dan Habsyi.

e. Manaqib

Dalam tradisi NU, kita mengenal manaqib-ban. Itu

merupakan ritual pembacaan biografi tokoh tertentu. Misalnya,

salah satu ulama yang sering dikenang lewat tradisi ini adalah

Syeikh Abdul Qodir Al-Jailani, dan dikenal dengan istilah

Manaqib-an Syeikh Abdul Qadir Jailani.

f. Haul

Begitu pun juga ketika hendak menghormati ulama sesepuh

yang sudah meninggal. Dalam NU ada tradisi haul. Tradisi

tersebut merupakan bentuk upacara peringatan hari wafatnya

seorang ulama. Salah satu agenda ritual semacam itu yang

sering kita kenal adalah Haul Gus Dur. Itu merupakan upacara

kenangan wafatnya K.H. Abdurrahman Wahid.

g. Asyura

Tradisi asyura merupakan ritual yang kerap dilakukan oleh

jamaah nahdliyin ketika memasuki sepuluh hari pertama bulan

Asyura versi tahun Hijriyah. Pada sejumlah hari itu—terutama

tanggal 9 dan 10—merupakan hari istimewa bagi mereka untuk

Page 70: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

58

melakukan beberap ritual. Sembari mengutip pendapat Ahmad

bin Hanbal mereka biasanya menganjurkan untuk melakukan

lima belas keutamaan praktik ritual: baik bersifat individual

maupun sosial. Pertama, bersedekah kepada orang-orang

miskin; kedua, mengusap kepala yatim; ketiga, menyuguhkan

hidangan buka bagi orang yang berpuasa; keempat,

menyiramkan air; kelima, mengunjungi saudara yang seiman;

keenam, mandi; ketujuh, menjenguk orang yang sedang sakit;

kedelapan, berbakti kepada orang tua dan memuliakan mereka;

kesembilan, mengontrol emosi; kesepuluh, memaafkan orang

yang pernah jahat; kesebelas, perbanyak salat, doa dan istghfar;

kedua-belas, maksimalkan dzikir; ketiga-belas, membersihkan

jalan dari rintangan; keempat-belas, berjabat tangan dengan

tiap orang yang dijumpai; kelima-belas, perbanyak membaca

surah Al-Ikhlash. Sejumlah ritual tersebut hanya merupakan

anjuran. Tak semua orang nahdliyin melakukan itu. Namun

pada bulan tersebut ada satu kebiasaan masyarakat nahdliyin

yakni membuat bubur dan mereka menamainya, Tajin Sora.

h. Sya’ban

Dalam lingkungan jamaah nahdliyin terdapat satu tradisi

ritual yang kerap disebut sebagai sya’ban. Tradisi keagamaan

tersebut merupakan sebuah bentuk ritual dalam rangka

pertama, memperingati hari penutupan buku catatan amal.

Page 71: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

59

Kedua, membacakan surah Yasin diulang tiga kali. Pembacaan

pertama untuk meminta supaya rezeki lancar; kedua, supaya

umur panjang; dan ketiga dosa-dosa diampuni. Lalu, ritual

tersebut diakhiri dengan pembacaan doa khusus (lihat:

Lampiran III)

Selain membekali santri dengan praktik ritual keislaman, para kyai

juga mengajarkan etiket kesantrian. Etiket kesantrian adalah prinsip

sopan santun yang biasa dipraktikkan oleh kalangan santri. Mereka

memilih kostum, cara berlajar, menyapa orang, dan bertindak-tanduk

keseharian yang khas. Kostum yang mereka gunakan adalah sarung

dan peci: dua pakaian yang mencirikan kesantrian seseorang. Cara

menyapa dan berbicara dengan orang sangat dianjurkan untuk dengen

tutur yang lembut dan bahasa Madura yang halus. Di Madura, santri

dan non-santri betul-betul dapat dibedakan.

2. Ulama dan Masyarakat

Di luar pesantren, kyai juga merawat sekte Sunni dengan berperan

sebagai pangasepoh (baca: sesepuh) di masyarakat. Dia mengemban

tugas sebagai tokoh masyarakat. Peran-peran yang dia laksanakan

berbentuk pelayanan kepada masyarakat dengan ragam aktifitas.

Semua aktifitas itu dapat dibagi ke dalam dua bentuk jenis kegiatan

yang tujuannya adalah melestarikan paham aswaja. Pertama, kegiatan

intelektual berupa pengajian dan kedua kegiatan spiritual berupa ritual-

ritual keislaman.

Page 72: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

60

Pengajian yang disampaikan oleh ulama pesantren ada dua bentuk:

pengajian kitab kuning dan ceramah. Pengajian kitab kuning

berlangsung hampir sama dengan metode yang para kyai terapkan di

pesantren. Bedanya hanya soal tempat dan waktu. Tempatnya kadang

berpindah-pindah dan kadang menetap di tempat tertentu seperti Majlis

Ta’lim.10

Adapun waktunya amat tergantung kepada permintaan

masyarakat. Biasanya pengajian jenis ini dilakukan secara rutin, kalau

tidak mingguan, sebulan dua kali, atau sebulan sekali.

Di masyarakat Madura tradisi semacam ini dikenal dengan

sebuatan kompolan pangajian. Kata kompolan sendiri memiliki arti

kumpulan.11

Kata ini dapat disepadankan dengan kata forum atau

himpunan. Forum ini berbentuk informal dan lahir dari tradisi orang

Madura. Tradisi ini muncul lantaran faktor geografis-agraria.

Kepulauan tersebut secara geografis tepat berada di sebalah Timur

Pulau Jawa dan sebelah Barat Laut Pulau Bali. Pulau yang terkenal

dengan garam dan tembakaunya itu dipisahkan dengan Jawa oleh

bentangan perairan: yang kemudian disebut sebagai Selat Madura.

Berdasarkan peta tahun 1846 Madura berada di antara 6o42‟ dan 7

o18‟

Lintang Selatan, dan di antara 112o40‟ dan 114

o2‟ Bujur Timur.

12

Untuk mengetahui lebih baik tentang keadaan ekologisnya, P.J. Veth

10

Sebuah forum di mana pengajian berlangsung. 11

Khusus untuk daerah Pamekasan, istilah kompolan dikenal dengan istilah koloman

yang memiliki arti sama. Untuk lebih jelasnya tentang tradisi kompolan silakan baca tulisan Rokat

Bhuju‟ Vis-a-Vis Kompolan: Metamorfosis Elit Madura Pasca Keruntuhan Orde Baru (2007: 133-

148) karya Fathol Khalik yang diterbitkan jurnal Karsa pada bulan Oktober 2007, Vol. XII. No. 2. 12

Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris, h. 27.

Page 73: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

61

pada tahun 1903 pernah mengkomparasikannya dengan Pulau Jawa.

Dia menulis bahwa pemandangan alam di Pulau Jawa nampak dengan

warna-warna yang kuat dan bentuk rupa memukau, sedangkan Madura

sebaliknya. Sebagai sebuah pulau yang terpisah, alamnya

menampakkan pemandangan yang sederhana: warna-warna yang

lembut dan bergaris-garis, di sana sini warna putih kapur silang-

menyilang.13

Bentuk lahan tanah di pulau tersebut didominasi oleh

tegal bukan persawahan sebagaimana di Jawa. Jika dibandingkan

dengan lahan tegal, lahan persawahan di Madura terbilang sangat

terbatas. Tegal merupakan lahan pertanian yang tanahnya adalah

perkapuran.14

Lahan pertanian semacam ini membuat formasi rumah-rumah

penduduk memiliki dua pola, ada yang berupa kampung meji dan

tanéan lanjang.15

Kampung meji merupakan pola pemukiman

terpencar, yang mana satu kelompok pemukiman dengan pemukian

lain terisolasi. Jarak antara kedua kelompok pemukiman bisa mencapai

satu hingga dua kilometer.16

Rumah yang dibangun dalam satu bentuk

pemukiman itu biasanya menghadap ke selatan semua. Berbeda

dengan kampung meji, pola tanéan lanjang merupakan pemukiman

berkelompok dengan skala kecil. Formasi perumahan di dalamnya

berderet dan menghadap ke selatan semua. Bentuk pemukiman

13

Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris, h. 24. 14

Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris, h. 31. 15

Latief Wiyata, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, h. 39-43. 16

Latief Wiyata, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, h. 39.

Page 74: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

62

tersebut—berdasarkan sejarah dan susunan keluarga penghuni—

biasanya dibangun oleh sebuah keluarga yang memiliki banyak anak

perempuan. Di Madura terdapat sebauh pola pernikahan yang

menkombinasikan antara unsorilokal dan matrilokal (uxori-

matrilokal). Pihak lelaki mau tak mau harus tinggal di rumah

perempuan setelah menikah. Pihak keluarga yang memiliki banyak

anak perempuan harus menyediakan banyak rumah. Dari sana

terbentuk lah pola pemukiman tanéan lanjang.17

Pemukiman semacam

ini kebanyakan berada di daerah Sumenep. Walaupun berbeda formasi,

pola pemukiman tanéan lanjang tetap memiliki kesamaan dengan

kampung meji. Persamaannya terletak pada bagaimana kedua

pemukiman tersebut mencerminkan pola kehidupan yang

individualistik jika dilihat dari jarak antar pemukiman. Sebagaimana

kampung meji, antar tanéan lanjang pun jaraknya cukup jauh. Kedua

pemukiman tersebut dengan pemukiman-pemukiman yang lain

dipisahkan oleh lahan-lahan tegal. Jauhnya jarak antar pemukiman ini

nampaknya dapat menjadi alasan yang logis kenapa orang Madura

kemudian membentuk suatu pola relasi sosial yang disebut kompolan

untuk melakukan kegiatan sosial. Di Madura, kompolan sendiri

memiliki banyak ragam bentuk. Kompolan yang didirikan dan

dilestarikan oleh orang-orang Madura yang gemar menimba

17

Untuk lebih detailnya, penjelasan tentang tanéan lanjang dapat dibaca pada buku

Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura (2002) karya Latief Wiyata.

Page 75: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

63

pengetahuan keislaman dinamai kompolan pangajian. Ini merupakan

sebuah tradisi himpunan kalangan santri di Madura.

Selain pembacaan teks kitab kuning di kompolan, beberapa kyai

juga kerap mengisi pengajian dalam bentuk ceramah. Berbeda dengan

pembacaan teks kitab kuning di kompolan, materi ceramah yang

disampaikan biasanya seputar pengetahuan keislaman yang mudah

dipahami dan waktunya tak menentu. Para kyai penceramah itu jarang

mengupas pemikiran-pemikiran para tokoh dalam Islam. Acap kali

mereka sekadar menyampaikan materi-materi himbauan untuk beramal

baik dan fokus untuk kehidupan setelah kematian. Pelaksanaan acara

ini lumrahnya di salah satu rumah penduduk yang sedang memiliki

keperluan seperti kenduri pernikahan (walimah al-nikah),

memperingati kelahiran Nabi Muhammad (maulid), khitan18

anaknya,

dan lain-lain. Selain di rumah penduduk kadang-kadang juga di musala

atau masjid dalam acara-acara hari besar tertentu dalam Islam, seperti

maulid, tahun baru Hijriyah, Isra’ Mi’raj, dan kadang-kadang juga di

pesantren dalam acara haflah al-imtihan, haul, dan lain-lain. Bentuk

pengajian jenis ini disampaikan tentu oleh kyai yang mahir

berceramah. Tak semua kyai dapat melakukan itu, sama sebagaimana

juga pembacaan teks kitab kuning. Masing-masing kyai memiliki

bidang keunggulan tersendiri.

18

Sebuah tradisi sunatan.

Page 76: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

64

Selain pematangan intelektualitas keislaman masyarakat, aktifitas

yang juga para kyai selenggarakan adalah pematangan spiritualitas.

Dalam bidang ini, biasanya mereka bergerak sebagai mursyid19

atau

pemimpin doa. Mereka yang bergerak sebagai mursyid adalah para

kyai yang aktif di tarekat tertentu. Tarekat yang dapat diterima dan

dijalani oleh ulama pesantren di Madura adalah salah satu dari dua

puluh dua tarekat terpilih yang sudah disahkan oleh kalangan Sunni

(thariqah mu’tabaroh).20

Adapun yang berkembang dan cukup besar

ada tiga: Tarekat Tijaniyyah, Alawiyyah, dan Naqsyabandiyyah.

Pesantren yang reperentatif dengan Tijaniyyah-nya adalah pesantren

Al-Amin Prenduan Suemenep, Alawiyyah adalah Darut Tauhid Proppo

Pamekasan, dan Naqsyabandiyyah adalah Assadad Ambunten

Sumenep. Selain bergerak sebagai mursyid, terdapat pula sejumlah

kyai yang berperan sebagai pemimpin doa. Mereka biasanya

memimpin doa dalam setiap acara ritual keislaman ala nahdliyyin.

3. Ulama dan Organisasi

Adapun sektor yang ketiga adalah peran mereka dalam organisasi.

Sejumlah besar para kyai di Madura aktif di dalam NU, mulai dari

menduduki jabatan Syuriyah,21

Tanfidhiyah,22

bahkan hingga hanya

sekadar aktif dalam menerapkan cita-cita NU. Seperti salah contoh

19

Sebutan yang akrab digunakan buat para guru tarekat dalam Islam. 20

Untuk mengetahui daftar nama tarekat yang dianggap mu’tabaroh di kalangan Sunni

silakan baca: Aziz Masyhuri, Ensiklopedi 22 Aliran Tarekat dalam Tasawuf (Surabaya: Imtiyaz,

2014). 21

Jabatan Syuriyah dalam NU adalah jabatan sebagai pemandu atau pemantau perjalanan

organisasi. Posisi ini biasanya diduduki oleh para kyai pesantren. 22

Jabatan Tanfidhiyah adalah jabatan sebagai pelaksana organisasi.

Page 77: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

65

Kyai Ilyasi, pengasuh pesantren Nurul Islam Bluto. Dalam rangka

turut merujudkan cita-cita NU, dia mengintruksikan kepada para

jajaran pendidik di sekolah yang dia asuh itu untuk mengganti OSIS

dengan IPNU.23

Namun selain NU ada pula beberapa organisasi

khusus yang bergerak dengan tujuan untuk membentengi aswaja dan

didirikan oleh para kyai. Penulis temukan di Madura ada tiga

organisasi semacam itu yang sedang aktif. Pertama, organisasi dengan

nama Aliansi Ulama Madura (AUMA), Forum Kiai Muda Madura

(FKM Madura), dan Harkah Pimpinan Pondok Pesantren Madura

(HP3M). Ketiganya lahir di Pamekasan.

AUMA didirikan pada tanggal 31 Oktober 2015 di Pondok

Pesantren Nurul Cholil Demangan Barat, Bangkalan. Sebagaimana

tercantum dalam salah satu selebaran edar yang penulis dapati di

kantor AUMA itu sendiri, latar belakang pendirian organisasi tersebut

adalah konflik kekerasan agama yang terjadi di Tolikara Papua. Pada

tanggal 17 Juli 2015 (1 Syawal 1436) sedang terjadi kericuhan.

Menjelang pelaksanaan salat Idul Fitri, salah satu masjid di sana

dibakar oleh sebagian kelompok non-Muslim. Sebagian jamaah masjid

tersebut adalah orang Madura perantau yang berada di sana. Berawal

23

Munif, “Meneguhkan Pesantren Sebagai Pilar NKRI: Studi Atas Peran dan Strategi

Pesantren Madura Dalam Menghadapi Kelompok Islam Radikal,” (Tesis S2 Program Studi

Pendidikan Islam, Institut Ilmu Keislaman Annuqiyah Guluk-Guluk Sumenep, 2015), h. 80.

Page 78: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

66

dari peristiwa tersebut sebagian para kyai di Pulau Madura membentuk

organisasi yang kemudian diberi nama AUMA.24

Visi dan misi pembentukan organisasi keagamaan baru tersebut—

sebagaimana tertulis dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga

(AD/ART) Bab VIII, Visi dan Misi—disebutkan pada Pasal 14 bahwa

visi AUMA adalah pertama, “melindungi kemurnian aqidah, syariat,

akhlaq dan ukhuwah islamiyah „ala ahlissunnah wal jama’ah di bawah

madzáhib al-arba’ah; kedua, beramal baik secara maksimal dan ikhlas

karena Allah SWT demi memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.

Adapun misinya dapat dilihat pada Pasal 15. Di sana disebutkan ada

enam poin: “pertama, melestarikan kegiatan keagamaan; kedua,

mempererat tali ukhuwah islamiyah; ketiga, mengupayakan penolakan

segala bentuk aliran-aliran yang menodai dan mengganggu kemurnian

aqidah islamiyah; keempat, menggali prakarsa ulama dan tokoh agama

Madura setelah melalui musyawarah dan memperjuangkannya; kelima,

membina dan membimbing umat dalam mewujudkan tujuan AUMA;

dan, keenam, mengawasi setiap program pembangunan Madura untuk

dapat membawa kemaslahatan umat secara utuh dan komperehensif,

dunia dan akhirat.” Tujuannya adalah—dapat dilihat pada Pasal 16—

“untuk menciptakan masyarakat Madura yang agamis dan islami serta

benar-benar bersinergi dengan ulama.”25

24

Brosur AUMA yang penulis dapatkan pada tanggal 27 Januari 2017 pukul 16.40 di

Kantor AUMA, Proppo Pamekasan. 25

AUMA, AD/ART, h. 7-8.

Page 79: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

67

Organisasi yang memperoleh izin—No SK. Menkumham: AHU-

0030091.AH.01.07.Tahun 2015—itu diketuai oleh Kyai Ali Karrar

selama periode 2016-2020. Dia merupakan pengasuh Pondok

Pesantren Darut Tauhid Proppo Pamekasan dan segaligus mursyid

tarekah naqsyabandiyah di Madura. Kantornya berada di Proppo tak

jauh dari pesantren Darut Tauhid, kira-kira kurang lebih lima ratus

meter. Orang yang bergerak di AUMA adalah para ulama dan tokoh

keagamaan di Madura, baik yang punya pesantren maupun tidak.

FKM berdiri pada tanggal 15 April 2015. Tujuan keorganisasian

ini tak jauh berbeda dengan AUMA. Dalam AD/ART FKM Madura

Bab VIII Pasal 15 disebutkan bahwa tujuan pembentukannya adalah

“untuk membentuk tatanan masyarakat bersendikan syari’at islamiyah

‘ala alhlis sunnah wal jama’ah.” Visi dan misinya tercantum dalam

Bab VII. Pada pasal 13, visinya adalah “terwujudnya tatanan

masyarakat bersendikan syari’ah islamiyah ‘ala ahlissunnah wal

jama’ah.” Adapun misinya—pada Pasal 14—terbagi menjadi enam

poin: pertama, beramal baik secara maksimal dan ikhlas karena Allah

SWT demi memperoleh keuntungan dunia dan akhirat; kedua,

mempererat tali kebersamaan anggota dalam berdakwah; ketiga,

mengadakan pertemuan dengan pemerintah atau pihak-pihak tertentu

dalam mewujudkan tujuan FKM Madura bilamana dipandang perlu;

keempat, membentengi dan melanjutkan perjuangan kyai-kyai sepuh

dalam memperjuangkan ajaran Islam ‘ala ahlissunnah wal jama’ah:

Page 80: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

68

kelima, menggali prakarsa lora/ustadz dan menindaklanjutinya setelah

melalui musyawarah pengurus; keenam, melindungi syari’ah

islamiyah ala ahlissunnah wal jama’ah. Ketua organisasi ini adalah

Umar Hamdan Karrar, putra Kyai Ali Karrar. Organisasi ini

digerakkan oleh para lora (putra para kyai) di Madura.26

Adapun HP3M merupakan organisasi keagamaan yang digerakkan

oleh para pengasuh pesantren dan didirikan pada tanggal 21 September

2016 di Pamekasan. Kantor sekretariatnya berada di Dusun

Pangaporan, Desa Plakpak, Kecamatan Pegantenan. Itu berada tepat di

samping pintu gerbang Pondok Pesantren Ummul Qura, yang mana

pengasuhnya, K.H Lailur Rahman merupakan ketua perdana organisasi

baru tersebut. Organisasi ini bergerak di bidang pelayanan umat, yakni

sebagaimana tercantum dalam AD/ART-nya, untuk menjaga paham

ahlussunnah wal jama’ah (Sunni) yang berbasis kepada empat

madzhab: Maliki, Syafi‟i, Hanafi, dan Hanbali. Dalam usaha

membentengi paham Sunni, sebagaimana penulis peroleh dari data

wawancara dengan Kyai Lailur, dinyatakan bahwa setidaknya ada

empat agenda. Agenda pertama adalah memantau dan

mempertahankan paham Sunni di pesantren; kedua, di masjid-masjid,

sekolah dan beberapa langgar; ketiga, di masyarakat dalam bentuk

kompolan, tahlilan, khaul, dan ritaul nahdliyin lainnya; dan, terakhir

26

FKM, AD/ART, h. 6-10.

Page 81: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

69

keempat adalah di daerah luar Pulau Madura, di mana di situ ada

masyarakat Madura perantauan.27

Peran ulama pesantren Madura di organisasi selalu menduduki

posisi penting. Mereka menjadi elit dan pemegang semua kendali

organisasi. Peran mereka kalau tidak sebagai ketua umum biasanya

sebagai penggerak utama. Kedudukan atau posisi formal di organisasi

tak terlalu signifikan dalam pergerakan untuk melestarikan Sunni di

Madura. Untuk melestarikan sekte tersebut, peran signifikan para

ulama pesantren Madura di organisasi adalah mewujudkan

perkumpulan dan penjagaan semangat juang bersama. Dengan adanya

organisasi, mereka memiliki wadah resmi dan bahkan legal untuk

melakukan pergerakan demi melestarikan sekte Sunni.

B. Ulama Yang Melestarikan Sunni Melalui Karya Tulis: Contoh Kasus

Perjalanan Intelektual Kyai Toifur Ali Wafa

Ulama pesantren di Madura selain berperan di tiga sektor—pesantren,

masyarakat, dan organisasi—sebagaimana penulis jelaskan di atas, terdapat

beberapa di antara mereka dengan jumlah yang sangat terbatas yang juga turut

melestarikan paham Sunni melalui karya tulisan. Salah satu di antaranya adalah

K.H. Toifur Ali Wafa. Lelaki kelahiran 20 Sya‟ban 1384 H (1963 M) itu

merupakan salah satu ulama pesantren yang paling produktif dalam menulis.

Karya yang dia tulis berjumlah 43 buku (lihat Tabel III) dalam bahasa Arab.28

27

Lampiran HP3M. 28

Habib Alaidrus, Manár al-Wafá (Sumenep: T.pn., 2005), h. 235-246.

Page 82: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

70

Salah satu buku monumentalnya adalah Firdaus al-Na’im: sebuah tafsir Al-

Qur‟an.

Tabel III: Kitab-Kitab Karya Kyai Toifur Ali Wafa

No. Judul Kitab

1. Minhah al-Karim al-Mannán

2. Taudlíh al-Maqál

3. Al-Dzhab al-Sabík

4. Riyádl al-Muhibbín

5. Daf’u al-Ihám wa al-Hab

6. Tuhfah al-Ráki’ wa al-Sájid

7. Kasyf al-Awhám

8. Mazíl al-‘Uná’

9. Taudlíh al-Ta’bír

10. Kasyf al-Khafá’

11. Al-Quthúf al-Diniyah

12. Balaghah al-Thulláb fí Talkhísh Fatwá Masyáyikhí

13. Al-Jawáhir al-Sunniyyah

14. Habáil al-Syawárid

15. Al-Badr al-Munír

16. Al-Tadríb

17. Jawáhir al-Qláid

18. Misykat al-Anwár

19. Zauraq al-Najá’

20. Raf’u al-Rain wa al-Ríbah

21. Miftah al-Ghawámidl

22. Baráhin dzawi al-‘Irfán

23. Al-Tibyán

24. Aríj al-Nasím

25. Sullam al-Qáshidín

26. Nail al-Arb

27. Al-Raudl al-Nadlír

28. Núr al-Dhalám

29. Al-Riyádl al-Bahiyyah

30. Al-ídlah

31. Fath al-Lathíf

32. Al-Fiyah Ibn Ali Wafa

33. Darar al-Táj

34. Al-Iklíl

35. Al-Munahhil al-Syafí

36. Al-Firqad al-Rafi’

Page 83: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

71

37. Núr al-Sáthi’

38. Al-Nifhah al-‘Anbariyyah

39. Izálah al-Waná’

40. Al-Kaukib al-Aghr

41. Jawáhir al-Shafá

42. Risálah al-Musammáh

43. Firdaus al-Na’im

Dia merupakan pengasuh Pondok Pesantren Assadad. Pondok tersebut

berdempetan dengan rumahnya di desa Ambunten, Kabupaten Sumenep. Di

lembaga pendidikan Islam tersebut dia mengajarkan beberapa buku-buku ajar

pesantren sebagaimana pada umumnya, di samping pula kadang-kadang

membedah buku-bukunya sendiri. Dia mengajar studi keislaman biasanya

selepas salat Maghrib secara berjama‟ah dan Subuh di Masjid yang berada di

halaman pesantren. Pesantren yang dia asuh itu masih tergolong sebagai

pesantren tradisional (salaf). Di sana, dia tak membuka sekolah formal. Tapi

meskipun demikian, dia tak melarang para santri—bagi yang berkehendak—

untuk belajar di sekolah formal.

Selain di pesantren dia juga aktif melestarikan paham Sunni di

masyarakat. Keterlibatan dia di masyarakat sama dengan kyai-kyai yang lain,

yaitu mengisi ceramah, pengajian, dll. Walaupun nama dia tak terlalu populer

bagi kalangan masyarakat Madura bagian Barat, dia merupakan salah satu

tokoh tarekat naqsyabandi yang disegani di Sumenep. Basis kekuatan masa dia

memang di Madura bagian Timur. Meskipun termasuk ulama yang produktif

menulis, di masyarakat dia bukan terkenal lantaran buku-bukunya tetapi karena

karisma dan ketauladanannya yang lemah lembut. Kesibukan dia sebagai

pangasepoh di masyarakat nampaknya melebihi kesibukan dia sebagai guru di

Page 84: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

72

pesantren. Tapi sesibuk apa pun, dia tetap selalu menyediakan waktu khusus

untuk berada di pesantren. Dia memilih malam untuk tetap berada di pesantren,

terutama di rumahnya. Belakangan ini dia tak mau menerima undangan

masyarakat bila mana penyelenggaraan acaranya di malam hari. Dia

beraktifitas di masyarakat selalu di siang hari. Di malam hari, total mulai

menjelang maghrib hingga setelah pengajian Subuh, dia khususnya waktunya

untuk berada di pesantren.

Sebagai kyai yang memiliki daya intelektualitas mumpuni, namanya tentu

tak asing lagi bagi kalangan para kyai NU yang lain. Di Sumenep, dia

bergabung dengan organisasi yang berlambang bumi dan bintang sembilan itu.

Salah satu peran yang dia tekuni adalah mengisi pengajian kitab kuning pada

waktu-waktu tertentu di Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU). Di

samping aktif menyumbangkan intelektualitas keislaman kepada para anggota

organisasi tersebut, dia juga menyepuhi—sebagai Ketua Umum—sebuah

wadah gerakan para kyai, komunitas Majelis Alumni-Alumni Pondok

Pesantren (Massa Pontren).

Salah satu tujuan utama gerakan tersebut adalah membentengi paham

Sunni dari rongrongan ajaran lain. Agenda yang dijalankan adalah pertama,

pengajian rutin setiap bulan. Kyai Toifur merupakan salah seorang ulama yang

kerap kali dimintai untuk membacakan teks kitab kuning tertentu di agenda

tersebut. Kedua, penyuluhan ke pesantren-pesantren dan sekolah-sekolah

tentang pentingnya Sunni melalui beberapa anggota yang sudah direkrut.

Ketiga adalah menghimbau kepada masyarakat untuk tak menjual tanah kepada

Page 85: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

73

asing melalui kompolan maupun ceramah. Agenda yang sudah berhasil adalah

terwujudnya peraturan kepada seluruh siswi Muslimah di Sumenep untuk

menggunakan kerudung. Data ini penulis peroleh ketika mewawancarai Kyai

Toifur di rumahnya.

Salah satu dari keberhasilan Massa Pontren adalah diterapkannya sampai

sekarang peraturan berkerudung bagi para siswi Muslimah.29

Melalui

komunitas itu, dia nampaknya ingin supaya paham Sunni betul-betul

terlestarikan di Pulau Madura. Dia tak ingin paham Sunni yang berkembang di

masyarakat Madura tercampuri oleh paham-paham lain.30

Pemahaman

keagamaan dia ini dapat tergolong ekslusif. Hal tersebut dapat dipahami

lantaran dia merupakan santri jebolan Mekkah. Dia merupakan salah satu

ulama Madura yang memiliki jaringan keilmuan yang kuat dengan Mekkah.

Sebelum mendirikan Pondok Pesantren Assadad itu pada tahun 1992, dia

sempat merantau ke Mekkah. Perjalanan dia itu dalam rangka menimba ilmu

kepada beberapa ulama yang berada di sana. Diantara ulama yang dia jadikan

guru adalah Syeikh Ahmad Dardum dan Syeikh Ismail Zein. Kepada Syeikh

Dardum, dia belajar studi gramatika bahasa Arab (nahwu) dan hukum Islam

(fiqh). Salah dua buku yang pernah dia pelajari kepada gurunya yang terkenal

sebagai pakar nahwu itu adalah pertama, Syarah Ibn ‘Aqil—karya Ibn Aqil

yang merupakan buku komentar atas buku gramatika bahasa Arab yang

29

Wawancara Pribadi dengan Kyai Toifur Ali Wafa pada 19 Februari 2017 pukul 12.30. 30

Khusus kasus kerudung dan jilbab, paham yang lain yang dimaksud di sini adalah

ajaran fikih yang membolehkan perempuan untuk tidak memakai kerudung sebagaimana doktrin

Muhammad Said Al-Asymawi dalam kitabnya, Haqiqat al-Hijab wa Hujjiyatu Al-Hadits. Kitab

ini pernah diterjemahkan oleh Jaringan Islam Liberal dengan judul baru, Kritik Atas Jilbab.

Adapun paham lain di bidang akidah adalah Syiah, Wahabi, dan Liberal.

Page 86: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

74

terkenal puitik, Al-Fiyah karya Ibn Malik—dan kedua, buku fiqh yang berjudul

Kifayatul Akhyar karya Abu Bakar bin Muhammad bin Abdul Mu‟min. Kitab

kuning terakhir tersebut merupakan buku komentar atas karya Abu Syuja‟,

Taqrib.

Biasanya dia berangkat ke rumah gurunya itu, Syeikh Dardum, pada pagi

hari. Di sore harinya, selepas menunaikan salat Ashar, dia pergi ke rumah

Syeikh Ismail. Di sana, dia belajar banyak kitab-kitab kuning hingga malam.

Dari selepas Ashar hingga Maghrib dia belajar karya para ulama terdahulu

seperti Nihayatul Muhtaj dan beberapa kitab fiqh lain. Setelah Isya‟ dia belajar

kitab-kitab Hadits (kutub al-sittah).31

Sebelum merantau ke Mekkah, sebagaimana kebanyakan para ulama

Madura yang lain, dia juga pernah menempuh pendidikan Islam di Pulau

Madura dan beberapa di Pulau Jawa. Studi keislaman perdananya dia dapatkan

dari orang tuanya sendiri, Kyai Ali Wafa, seorang ulama yang terkenal sebagai

tokoh tarekat naqsyabandiyah di Sumenep. Dia belajar kepada ayahnya

tentang metode membaca Al-Qur‟an—mulai dari mengenal huruf hingga dapat

membacanya secara baik—(baca: sesuai tajwid) dan praktik salat (Madura:

duana bajang). Setelah dapat membaca Al-Qur‟an dan mempraktikkan salat

dengan baik, dia kemudian melanjutkan belajar tentang beberapa kitab kuning

dasar. Di antaranya adalah jurmiyah, kafrawi, mutammimah, matan safinah,

matan sullam, aqidatul awam, risalah mukhtashar fi ‘ilmi al-tauhid, bidayh al-

hidayah, dll. Tak lama setelah menyelesaikan beberapa buku ajar dasar

31

Alaidrus, Manár al-Wafá, h. 45-83.

Page 87: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

75

pesantren tersebut hingga dia berhasil dapat membaca kitab kuning dengan

baik, ayahnya wafat. Umur Kyai Toifur muda saat itu belum menginjak usia

ke-14 tahun. Saat itu dia sudah menjadi yatim. Tapi status ke-yatiman-nya tak

membuat semangat dia dalam mengejar pendidikan keislaman surut. Dia

melanjutkan studinya kepada saudaranya, Kyai Ali Hisyam. Kepadanya dia

belajar buku-buku karya Syeikh Nawawi Banten, seperti Kasyifah al-Najah,

buku komentar atas Safina; Syarah Sullami; dan Syarah Bidayah al-Hidayah.

Pada saat sudah menginjak usia yang ke-14 tahun, dia berangkat ke

Mekkah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima (hajj). Pada tahun itu pula

dia dijodohkan dengan salah satu putri Kyai Abdullah Salil Kholil dan sampai

sekarang menjadi istrinya. Sepulang dari Mekkah dia kembali mengejar

pendidikan keislaman. Kali ini dia dibawa oleh saudarannya, Kyai Hisyam,

untuk bertemu dengan Kyai Ahmad Zaini bin Miftahul Arifin, salah seorang

ulama Sumenep yang pernah menjadi Imam Besar Masjid Istiqlal di Jakarta.

Kyai Hisyam menyampaikan pinutur kepada Kyai Zaini bahwa ada surat dari

ayahnya—Kyai Ali Wafa—sebelum wafat. Surat itu kira-kira berisi tentang

pesan Kyai Ali Wafa kepada Kyai Zaini untuk membantu putranya bila mana

suatu saat nanti tak ada umur. Singkat cerita, Kyai Toifur muda diterima di

pesantren untuk menjadi santri baru. Di sana dia menghabiskan waktu

belajarnya hanya depalapan bulan. Sebab tak lama setelah kepulangannya dari

Jakarta, Kyai Zaini yang mendapatkan titipan putra Kyai Ali Wafa itu pun

wafat. Akhirnya terpaksa Kyai Toifur muda harus meninggalkan pesantren.

Tapi walaupun sebentar, di sana dia sudah sempat menyelesaikan studinya

Page 88: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

76

tentang beberapa disiplin pengetahuan keislaman, seperti fiqh, hadits, dan

nahwu.

Kemudian selepas belajar dari pesantennya Kyai Zaini, dia melanjutkan ke

pesantren Sidogiri. Di sana dia langsung belajar kepada Kyai Abdullah Salil

Kholil. Beberapa kitab yang dia pelajari adalah Shahih Bukhari, Asymuni

Syarah Al-Fiyah, Syarah Baiquniyah, Syarah Sullam Munawwaraq fi Mantiq

wa al-Luma’, dll. Sebagai memang terjadi dalam tradisi pesantren, selain

belajar di pondok dia juga belajar kepada kyai tertentu dalam waktu tertentu

(nyolok). Selama bulan puasa (ramadhan), dia mengaji kitab kuning kepada

Kyai Jamaludin. Kitab kuning yang dia pelajari dengan sistem bandongan

adalah Shohih Bukhari. Selama satu bulan suntuk, Kyai Jamaludin

menuntaskan (khatam) pembacaan teks. Waktunya seharian penuh, muali dari

selepas Subuh hingga tengah malam. Waktu istirahatnya hanya di waktu salat

dan setelah Maghrib. Selebihnya hanya untuk mengaji kitab. Kyai Toifur muda

mengikuti pengajian itu dengan aktif sebulan penuh.

Saat dia sedang aktif-aktifnya belajar di pesantren, kakak kandungnya—

yang selama ini membiayai dia—menyusul ayahnya. Kyai Hisyam meninggal

dunia di usia muda. Lantaran ditinggal kakaknya itu, dia terpaksa untuk pulang

ke kampung halaman dan berhenti mondok. Meskipun keadaan mendesak

seperti itu, dia tetap semangat untuk meneruskan studi. Dia bercita-cita untuk

melanjutkan studi keislamannya di Mekkah. Cita-cita tersebut terlaksana

lantaran pertemuannya dengan salah seorang Habib—Fadhlil Muhammad bin

Sholih al-Muhdlar—di rumah Habib Husein bin Abdullah al-Hinduan,

Page 89: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

77

Ambunten. Berkat pertemuan tersebut, dia bisa melanjutkan studinya di

Mekkah.32

Di kota Mekkah lah dia kemudian belajar untuk menulis. Kemungkinan

besar latar belakang pendidikan keagamaan itu yang membuat dia dapat

dengan mahir menelurkan karya-karya dalam bahasa Arab. Ulama pesantren di

Madura jarang yang dapat meniru produktifitas dia dalam berkarya. Ulama

sekaliber kyai Habibullah Kalabaan—pendiri pondok pesantren salaf terbesar

di Sumenep—saja baru berhasil menulis kitab kurang lebih tiga karya. Salah

satunya adalah syarah Al-Fiyah Ibn Malik. Kyai Toifur bagi kalangan para kyai

selain terkenal karena prilakunya yang sopan juga karena karyanya yang

banyak. Gambaran tersebut menyimpukan bahwa dalam melestarikan Sunni di

Pulau Madura melalui karya tulisan berupa kitab, ulama pesantren yang patut

untuk dipelajari adalah Kyai Toifur Ali Wafa.

32

Alaidrus, Manár al-Wafá, h. 22-45.

Page 90: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

78

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sunni merupakan salah satu sekte terbesar dalam Islam. Sekte ini

secara geneologi intelektual merujuk kepada garis pemikiran yang

dibangun oleh dua tokoh yakni Asya‟ri dan Maturidi. Sejarah

perkembangan sekte ini cukup panjang. Awal kemunculannya sebagai

sebuah institusi diperkirakan terjadi pada sekitar abad ke-10 Masehi. Sekte

ini kemudian berkembang secara pesat ke ke semenanjung Asia Tenggara,

termasuk Indonesia di dalamnya. Di negara tersebut terdapat satu daerah

kepulauan di mana para penduduknya merupakan penganut sekte Sunni

secara fanatik. Kepulauan tersebut bernama Madura.

Sekte Sunni di sana berkembang dengan pesat dan terlestarikan

dengan baik. Perkembangan sekte tersebut di pulau itu tak lepas dari peran

para ulama. Transmisi paham Sunni ke pulau Madura terjadi secara besar-

besaran pada abad ke-19. Pada saat itu, banyak ulama Madura yang sudah

memiliki jaringan keilmuan dengan Mekkah. Hal yang menarik adalah

para ulama yang memiliki jaringan keilmuan dengan Mekkah itu

merupakan para ulama pesantren.

Dalam melestarikan sekte Sunni mereka bergerak di tiga sektor:

pesantren, masyarakat, dan organisasi. Ketiga sektor tersebut mereka

jadikan medan dakwah dalam menyebarkan dan mempertahankan sekte

Page 91: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

79

Sunni. Para ulama pesantren bergerak di pesantren dengan berperan

sebagai guru. Adapun di masyarakat mereka berperan sebagai tokoh

masyarakat dan sebagai pemandu dinamika keagamaan di organisasi.

Namun selain bergerak di tiga sektor, ada pula ulama pesantren yang

bergerak melestarikan sekte Sunni di Madura melalui karya tulis. Salah

satunya adalah Kyai Toifur Ali Wafa. Dia merupakan kyai pesantren yang

sangat produktif menulis kitab. Kitab yang sudah rampung dia tulis

berjumlah 43 karya.

B. Saran

Berdasarkan hasil riset kali ini penulis memberikan beberapa saran

buat para ulama pesantren di Pulau Madura dan para peneliti yang tertarik

di bidang ini. Buat para ulama pesantren Madura, penulis memberikan satu

saran. Untuk menjaga dan melestarikan Sunni di pulau tersebut para ulama

pesantren harus terus menjaga hubungan baik dengan para ulama—baik

dengan para pesantren lain maupun dengan ulama non-pesantren—dan

dengan masyarakat luas, terutama dengan masyarakat di daerah perkotaan.

Dalam hal ini para ulama pesantren perlu mempertimbangkan langkah

yang diawali oleh para ulama pesantren di NU dan HP3M. Kedua gerakan

tersebut sebagai langkah dakwah sangat tepat. Karena gerakan yang

mereka bangun dapat menyentuh masyarakat hingga di level pedesaan.

Mereka memanfaatkan sarana-sarana masjid dan langgar-langgar. Lebih

dari itu mereka juga perlu memperhatikan masyarakat perkotaan. Menurut

penulis, masyarakat yang berada di perkotaan memerlukan perhatian

Page 92: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

80

khusus mengingat efek dari industrialisasi dan modernisasi. Nasib roda

perkembangan sekte Sunni di pulau Madura hampir sepenuhnya

tergantung kepada peran ulama pesantren. Karena di Madura ulama

pesantren dianggap sebagai “jenderal” dalam bidang keagamaan. Cara

pandangan masyarakat terhadap ulama pesantren yang seperti itu akan

memudar seiring dengan akibat dari modernisasi yang berlangsung.

Mereka yang hidup dengan pola modern dapat dengan mudah tak lagi

mengukuhkan posisi kyai sebagai “jenderal” dalam bidang keagamaan.

Bilamana ini terjadi sekte Sunni dengan sendirinya dapat mengalami

kebangkrutan.

Buat para peneliti yang tertarik di bidang ini—yakni penelitian

tentang pola keagamaan di Madura—masih banyak tugas yang perlu

diselesaikan. Pertama, riset utuh tentang sejarah masuknya Islam ke Pulau

Madura belum pernah digarap kecuali sekadar berupa profil-profil singkat.

Kedua, penelitian tentang hubungan ulama pesantren dengan para pemuka

agama lain di Pulau Madura. Ketiga, respon penganut agama lain terhadap

masyarakat Muslim Madura dan para ulamanya. Terakhir yang keempat

adalah peran ulama Madura dalam merespon paham atau sekte lain di luar

Sunni. Selain keempat poin di atas tentu masih banyak garapan riset

tentang Madura yang selalu “menarik” meminjam istilahnya Iik

Mansurnoor saat penulis menemuinya di gedung Pascasarjana UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta sebelum berangkat melakukan riset kali ini.

Page 93: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Al-Harari, Abdullah, Izhar al-‘Aqidah al-Sunniyah bi Syarh al-‘Aqidah al-Thahawiyyah.

Beirut: Dar al-Masyari‟, 1997.

Ali, Abdullah Yusuf, The Holy Qur’an: Original Arabic Text with English Translation and

Selected Commentaries. Kuala Lumpur: Saba Islamic Media, 2008.

Azra, Asyumardi. “The Origin of Islamic Reformism in Southest Asia: Network of Malay-

Indonesian and Middle Eastern „Ulamá‟ in The Seventeenth And Eighteenth

Centuries.” Crows Nest: Allen & Unwin,2004. Reprint, Honolulu: University of

Hawai‟i Press, 2004.

Buhanudin, Jajat. “The Fragmentation of Religious Authority: Islamic Print Media in Early

20th Century Indonesia.” Studia Islamika XI, no. 1 (Desember 2004), h: 23-63.

Bruinessen, Martin van. “Pesantren and Kitab Kuning: Continuity and Change in A Tradition

of Religious Lerning.” diterbitkan dalam sebuah buku bersama yang diedisi oleh:

Wolfgang Marschall, ed., Texts from The Islands: Oral and Written Traditions of

Indonesia and the Malay World. (Berne: The University of Berne Institute of

Ethnology, 1994): h. 121-146.

Comstock, W. Richard, ed. Religion and Man: An Introduction. New York: Harper and Row,

1971.

Geertz, Clifford, Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa.

Penerjemah Aswab Mahasin dan Bur Rasuanto, 2th

ed. Depok: Komunitas Bambu,

2014.

Habib Alaidrus, Manár al-Wafá. Sumenep: T.pn., 2005.

Hanafi, Ahmad, Theology Islam (Ilmu Kalam). Jakarta: Bulan Bintang, 1974.

Imron, Fuad Amin, Syaikhona Kholil Bangkalan: Penentu Berdirinya Nahdlatul Ulama.

Surabaya: Khalista, 2016.

Jonge, Huub de, Madura dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan

Islam. Penerjemah KITLV-LIPI. Jakarta: Gramedia, 1989.

Khalik, Fathol. “Rokat Bhuju‟ Vis-a-Vis Kompolan: Metamorfosis Elit Madura Pasca

Keruntuhan Orde Baru.” Karsa XII, no. 2 (Oktober 2007): h. 133-148.

Page 94: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

Kosim, Mohammad, Pondok Pesantren di Pamekasan: Pertumbuhan dan Perkembangan.

Pamekasan: P3M, 2002.

Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris. Penerjemah Machmoed

Effendhie dan Punang Amaripuja. Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002.

Madjid, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, 1999.

Mansurnoor, Iik Arifin, Islam in An Indonesian World: Ulama of Madura. Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press, 1990.

__________________, Living Islamically in The Periphery: Muslim Discourse, Institution,

And Intelektual Tradition in Southeast Asia. Ciputat: UIN Jakarta Press, 2011.

Masyhuri, Aziz, Masalah Keagamaan Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nadlatul Ulama

Kesatu 1926 Sampai Dengan Kedua Puluh Sembilan 1994. Surabaya: Dinamika

Press Group, 1977.

Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka

Progressif, 1997.

Munif. “Meneguhkan Pesantren Sebagai Pilar NKRI: Studi Atas Peran dan Strategi Pesantren

Madura Dalam Menghadapi Kelompok Islam Radikal.” Tesis S2 Program Studi

Pendidikan Islam, Institut Ilmu Keislaman Annuqiyah Guluk-Guluk Sumenep, 2015.

Muthmainnah, Jembatan Suramadu: Respon Ulama terhadap Industrialisasi. Yoyakarta:

LKPSM, 1998.

Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI

Press, 2010.

Pribadi, Yanwar. “Islam and Politics in Madura: Ulama and Other Local Leaders in Search of

Influence 1990-2010.” Disertasi S3 Universitas Leiden, 2013.

Shofiyullah, Al-Kutub Al-Mu’tabarah: Kajian atas Sumber Rujukan dalam Beristinbath

Menurut NU, Muhammadiyah, dan Persis (T.tp.: T.tp., t.t.).

Solahudin, M, Nahkoda Nahdliyyin. Kediri: Nous Pustaka Utama, 2013.

Syahrastani, Muhammad Ibn „Abd al-Karim, Milal wa al-Nihal I. Kairo, 1951.

Syarif, Zainuddin. “Dinamika Politik Kiai dan Santri dalam Pilkada Pamekasan.” Disertasi

S3 IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2010.

______________, Dinamisasi Manajemen Pesantren: Dari Tradisional Hingga Modern.

Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2007.

Page 95: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, Risalah Ahlussunnah Wal-Jama’ah: Dari

Pembiasaan Menuju Pemahaman dan Pembelaan Akidah-Amaliyah NU. Surabaya:

Khalista, 2015.

Usman, Sunyoto, Citra Status Sosial Kiai Di Kalangan Masyarakat Madura: Studi Kasus di

Kecamatan Palengaan Kabupaten Pamekasan. Yogyakarta: Depdikbud Yogyakarta,

1981.

Wiyata, Latief, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura. Yogyakarta: LkiS,

2002.

Watt, W. Montgomery, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam. Penerjemah Umar Basalim.

Jakarta: P3M, 1987.

Internet

Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan Islam Departemen Agama R.I, “Daftar

Jumlah Santri dan Nama Kyai Tahun 2008/2009,” dokumen diakses dari

http://pendis.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id2=statponpes2009.

Dokumen Institusi

AUMA, AD/ART.

FKM, AD/ART.

HP3M, AD/ART.

Brosur

Brosur AUMA yang penulis dapatkan pada tanggal 27 Januari 2017 pukul 16.40 di Kantor

AUMA, Proppo Pamekasan.

Dokumen Wawancara

Wawancara Pribadi dengan Kyai Athaullah. Sampang, 10 Februari 2017.

Wawancara Pribadi dengan Kyai Halimi. Sumenep, 16 Januari 2017.

Page 96: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

Wawancara Pribadi dengan Kyai Jurjiz. Sumenep, 20 Januari 2017.

Wawancara Pribadi dengan Kyai Lailurrahman. Pamekasan, 26 Januari 2017.

Wawancara Pribadi dengan Kyai Munif. Sumenep, 21 Januari 2017.

Wawancara Pribadi dengan Kyai Nasih. Bangkalan, 11 Februari 2017.

Wawancara Pribadi dengan Kyai Syamsul Arifin, 26 Januari 2017.

Wawancara Pribadi dengan Kyai Toifur Ali Wafa, 19 Februari 2017.

Wawancara Pribadi dengan Zainuddin Syarif, 20 Februari 2017.

Page 97: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

DAFTAR PERTANYAAN UNTUK PARA KYAI PESANTREN

1. Dalam Islam, kita mengenal banyak sekte. Menurut Anda, sekte yang terbaik untuk

diikuti itu apa dan alasannya kenapa?

2. Bagaimana pendapat Anda tentang sekte Sunni, Syiah, dan Ahmadiyah?

3. Apakah menurut Anda sekte di luar Anda pantas disebut kafir?

4. Menurut Anda, siapakah yang pantas disebut kafir?

5. Dari mana Anda mengetahui bahwa sekte Anda adalah yang terbaik?

6. Upaya apa saja yang Anda lakukan untuk meletarikan sekte yang Anda ikuti?

7. Sekarang banyak paham keislaman yang berkembang, apakah banyaknya paham

tersebut menurut Anda mengancam terhadap sekte yang Anda anut? Kalau memang

mengancam sekte apa saja yang mengancam dan bagaimana upaya Anda untuk

membentengi sekte Anda dari ancaman itu.

8. Kalau boleh saya tahu biografi Anda

a. Pendidikan

b. Umur

Page 98: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

DAFTAR PERTANYAAN UNTUK PARA KYAI PESANTREN

Kyai Athaullah

(Tanggal 05 Februari 2017 pukul 12.15 s/d 12.30)

1. Dalam Islam, kita mengenal banyak sekte. Menurut Anda, sekte yang terbaik untuk

diikuti itu apa dan alasannya kenapa?

Akidah dan ajaran-ajaran yang diberikan guru. Itu yang benar. Ya kalau dalam

bahasa kitabnya adalah Ahlussunnah wal jama’ah.

2. Bagaimana pendapat Anda tentang sekte Sunni, Syiah, dan Ahmadiyah?

Kalau sekarang memang banyak sekte. Tapi sebenarnya dari dulu. Di Islam

sudah memang banyak sekte muncul. Tapi kita perlu hati-hati dengan sekte yang tidak

atau bukan ajaran dari guru atau ulama. Seperti Syiah, wahabi, dan Ahmadiyah. Itu

aliran sesat.

3. Apakah menurut Anda sekte di luar Anda pantas disebut kafir?

Bukan kafir yang pantas buat mereka. Tapi mungkin sesat atau dlalal. Kafir

itu ya buat orang yang tidak membaca syahatain.

4. Menurut Anda, siapakah yang pantas disebut kafir?

Ya itu tadi orang murtad bisa kafir, orang yang memang tidak masuk Islam itu

kafir.

5. Dari mana Anda mengetahui bahwa sekte Anda adalah yang terbaik?

Mengaji dan membaca kitab-kitab. Itu kan sudah ada di kitab-kitab.

6. Upaya apa saja yang Anda lakukan untuk meletarikan sekte yang Anda ikuti?

Selain memang mengajarkan beberapa kitab klasik, saya menjaga etika pesantren

saja. Jadi kalau di pesantren sudah diikat dengan etika, ya gak mungkin akan

melenceng. Salah satu etika yang saya tekankan adalah sopan santun kepada guru dan

kedua orang tua. Itu pertama, kedua, berpakaian. Boleh saja berpakaian modern yang

penting jangan lepas kopiah. Kopiah ini wajib kalau mengikuti Kitab Sullam. Nah,

itu, santri boleh tampil modern tapi jangan sampai melenceng dari syariah. Nah, kalau

sudah itunya dijaga insya Allah pahamnya pun akan selamat. Berangkat dari diri

sendiri saja soal itu. Artinya untuk mencegah paham dari luar, kita perlu melestarikan

Page 99: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

apa yang kita punya saja. Karena begini, Akhlak dulu baru ilmu. Jadi paham itu kan

ilmu. Jadi yang dipraktikkan adalah akhlak dulu.

Kalau saya di sini, pokoknya kita amalkan yang di pondok. Insyaallah yang di luar

gak masuk. Ini negara hukum. Kalau pakai kekerasan tak bisa. Hukum yang

berbicara. Kalau kita sudah mapan dengan amaliya sehari-harinya selesai sudah.

Kadanga sepupuan ini. Sepupunya ini wahabi. Ini membantah. Ini pernah ada kasus

seperti ini. Akhirnya oleh sepupu yang NU yang sudah di rumah aja. Ini kan ada

ilmunya. Kita mapankan amaliyah NU aja selesai. Kadang-kadang itu orang awam

yang bentrok.

7. Sekarang banyak paham keislaman yang berkembang, apakah banyaknya paham

tersebut menurut Anda mengancam terhadap sekte yang Anda anut? Kalau memang

mengancam sekte apa saja yang mengancam dan bagaimana upaya Anda untuk

membentengi sekte Anda dari ancaman itu.

Itu seperti yang tadi saya jelaskan. Saya melakukan gerakan pembenahan

amaliyah di pesantren saja.

8. Kalau boleh saya tahu biografi Anda

a. Pendidikan

Saya dulu belajar kepada Abad lalu biasa sambil sekolah. Dulu saya bercita-

cita jadi pengacara tapi kata Abah sayang ini pesantren siapa yang mau ngelola.

b. Umur

Sekarang saya sudah berumur 50 tahuan ke atas.

Page 100: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

DAFTAR PERTANYAAN UNTUK PARA KYAI PESANTREN

Kyai Halimi

(Tanggal 16 Januari 2017, pukul 14.52 s/d 15.30)

1. Dalam Islam, kita mengenal banyak sekte. Menurut Anda, sekte yang terbaik untuk

diikuti itu apa dan alasannya kenapa?

Sunni. Alasannya karena pendapatnya kuat baik secara naqli maupun aqli. Dan

selain itu dibuktikan dengan mayoritas.

2. Bagaimana pendapat Anda tentang sekte Sunni, Syiah, dan Ahmadiyah?

Syiah selama mereka meyakini syahadat dan tidak melakukan sesuatu yang

darudah itu mereka masih Muslim. Misalnya ada Syiah yang mengakfirkan sahabat,

gimana, itu. Maka itu adalah berbuatan salah. Apakah itu bisa menyebabkan kafir.

Bisa tapi saya gak berani menyatakan kafir. Nah, syiah itu masih sayahatnya sama.

Jadi mereka masih Muslim.

Kalau mengenai Ahmadiyah saya lebih duka pendapat Gus Dur, Ahmadiyah

itu salah. Kalau Wahabi enggak. Wahabi gak kafir.

3. Apakah menurut Anda sekte di luar Anda pantas disebut kafir?

Kafir itu sebenernya dari istilah bahasa Arab. Istilah kafir dari segi bahasa bisa

bermakna tertutup. Secara istilah bisa bermakna orang yang tidak memeluk agama

Islam di zaman nabi. Kalau kita melihat ke Al-Qur’an, ada ayat yang menyebut kata

kafir tapi tak merujuk kepada kafir dalam artian non-Muslim, seperti fain syakartum

la-azidannakum wa lainkafartum inna ‘adzabi la syadid. Nah, kata kafir disitu adalah

kafur nikmat bukan kafir secara ideologis. Kafir dalam arti perbuatan. Terus ada

hadits misalnya, sibabul muslim fusuqun wa qitaluhu kufrun. Yang artinya, mencela

orang Muslim itu perbuatan fasik dan memerangi orang Muslim kekufuran. Bahkan

dalam Quran ada istilah kuffar yang maknanya itu petani. Ya memang istilah kafir

dalam segi bahasa itu memang banyak artinya. Kafir itu ada dua. Kafir i’tiqadi dan

ada kafir amali. Untuk yang kedua ini orang Muslim bisa kufur. Seperti ISIS, itu

kufur kalau menurut Hadits, karena kufur amali.

4. Menurut Anda, siapakah yang pantas disebut kafir?

Siapa saja yang disebut kafir, ya istilah Al-Qur’an, ya non-Muslim itu kafir.

Itu menurut saya memang tak perlu disikapi over. Ya saya gak perlu marah juga kalau

ada orang Katolik bilang kita domba tersesat tak boleh marah. Karena memang itu

istilah internal. Seperti kita juga bilang kafir kepada mereka, mereka bilang ke kita

sebagai domba tersesat. Itu biasa. Kalau ada kasus seperti wanita yang bilang ada

pahlawan kafir di Indonesia itu, nah itu gak bener sacara etika sosial. Jadi kalau ada

Page 101: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

orang kafir berbuat baik kepada kita ya sudah kita tetap berbuat baik kepada mereka

dan tak perlu bilang kafir. Jadi sebenarnya, kalau kita lihat dalam Quran ada kecaman

secara ideologi terhadap orang kafir. Seperti ayat yang membahas trinitas. Jadi itu

jelas, itu kafir menurut ideologi Islam. Siapa yang disebut kafir? Sebenarnya kalau

orang gak ada. Tapi kalau ideologi, itu ada. Siapa yang melenceng dari Islam itu kafir.

Dalam etika Qur’an itu orang ngomong itu harus dijaga. Itu soal ideologi saja.

5. Dari mana Anda mengetahui bahwa sekte Anda adalah yang terbaik?

Dari kitab. Masa kyai dari TV.

6. Upaya apa saja yang Anda lakukan untuk meletarikan sekte yang Anda ikuti?

Dakwah. Kita harus terus melancarkan dakwah. Dakwah itu bisa berupa

ceramah bisa berupa perilaku.

7. Sekarang banyak paham keislaman yang berkembang, apakah banyaknya paham

tersebut menurut Anda mengancam terhadap sekte yang Anda anut? Kalau memang

mengancam sekte apa saja yang mengancam dan bagaimana upaya Anda untuk

membentengi sekte Anda dari ancaman itu.

Tidak ada yang mengancam. Perbedaan itu biasa. Tapi bila itu meresahkan

masyarakat itu bahaya. Kita perlu untuk menyebarkan kepada masyarakat tentang

bagusnya Sunni dan seperti itu lah pokoknya.

8. Kalau boleh saya tahu biografi Anda

a. Pendidikan

-

b. Umur

34 tahun

Page 102: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

DAFTAR PERTANYAAN UNTUK PARA KYAI PESANTREN

Narasumber: Kyai Jurjiz

(Tanggal 20 Januari 2017 pukul 04.00 s/d 05.21)

1. Dalam Islam, kita mengenal banyak sekte. Menurut Anda, sekte yang terbaik untuk

diikuti itu apa dan alasannya kenapa?

Sekte yang paling bagus ya Sunni, yakni Ahlussunnah wal Jama’ah. Kenapa?

Karena sekte tersebut merupakan sekte leluhur yang sanadnya nyambung hingga

rasulullah. Para pendahulu kita, guru-guru kita, dulu itu menganut sekte ini. Lagi-lagi

ini sekte yang sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad Saw. Kita bersekte kan bukan

untuk memecah belah umat Islam. Tidak. Tetapi tujuannya adalah mengikuti ajaran

Nabi yang benar. Istilah kitabnya itu najiyah. Nah, Sunni atau aswaja itu adalah ajaran

yang tepat.

2. Bagaimana pendapat Anda tentang sekte Sunni, Syiah, dan Ahmadiyah?

Seperti yang katakan di awal, kalau saya memilih Sunni. Ya kalau sunni yang

dimaksud itu adalah aswaja yang menyandarkan pahamnya kepada Asy’ariyah atau

Maturidiyah. Nah, sekarang banyak yang ngaku-ngaku Sunni seperti Wahabi, Salafi,

dan lain-lain. Mereka hanya mengaku ahlussunnah tapi pada kenyatannya berbeda

dengan Sunni yang saya maksud. Wahabi itu kan Sunni-nya ke Ibn Taimiyyah.

Padahal Sunni itu ya Asy’ariyah dan dalam bidang fikih itu salah satu dari empat

madzhab.

Kalau soal Syiah, sekte yang menyimpang dari ajaran Nabi. Mereka sesat.

Tapi mereka belum tentu kafir tapi kalau mendekati iya. Kenapa karena mereka,

begini. Sekte Syiah itu banyak golongan juga ya. Nah, suka mengkafirkan sahabat

misalnya. Dalam Islam itu sudah dijelaskan bahwa kalau suka mengkafirkan orang

lain itu bisa jadi kafir sendiri. Nah, ini ada sekte Syiah yang seperti ini. Ini bahaya.

Mereka bisa mendekati kafir karena sudah mengkafirkan para sahabat. Tapi mengenai

siapa yang kafir sebenarnya, wallahu a’lam.

Kalau Ahmadiyah jelas sesat. Itu yang kontroversial kan yang satunya. Yang

mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad itu nabi. Itu dia. Itu masalah dalam Islam.

Setelah Nabi Muhammad tak ada nabi lagi. Tapi untuk dihukumi kafir belum tentu.

Mereka mendekati kafir seperti Syiah. Kenapa saya belum berani menyatakan kafir,

karena selama membaca syahadat itu masih Muslim. Soal kafir itu urusan Allah. Yang

jelas kategorinya begitu.

3. Apakah menurut Anda sekte di luar Anda pantas disebut kafir?

Saya tadi sudah jelaskan, seperti Syiah, Wahabi, dan Ahmadiyah, itu belum

tentu kafir. Seorang Muslim itu tidak bisa sembarang menuduh kafir orang lain

Page 103: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

apalagi masih membaca syahadat. Yang jelas-jelas kafir itu ya orang tidak membaca

syahadat seperti Kristen, Katolik, dll. Itu kafir.

4. Menurut Anda, siapakah yang pantas disebut kafir?

Kafir itu begini ya. Orang kafir itu bisa jadi karena murtad dan memang

agamanya bukan Islam. Kalau yang murtad itu hukumnya wajib dibunuh. Nah,

murtad itu apa. Murtad itu ada tiga. Murtad bil qauli dengan perkataan, murtad bil

fi’li perbuatan, dan murtad bil qalbi bisikan hati. Murtad dengan perkataan itu bisa

terjadi karena melecehkan simbol-simbol Islam atau ingkar kepada Allah. Kalau yang

dengan perbuatan misalanya melempar tanah ke pintu gerbang Al-Is’af itu murtad.

Namanya murtad bil fi’li. Kenapa? Karena orang itu melakukan pelecehan terhadap

simbol-simbol Islam. Pesantren itu kan simbol Islam. Nah begitu.

5. Dari mana Anda mengetahui bahwa sekte Anda adalah yang terbaik?

Ya saya belajar Islam dari kecil. Ini saya dapati dari guru-guru saya. Islam itu

ya yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw. Kalau mau mengikuti nabi ya ikuti

para ulama yang sanadnya nyambung. Nah, ajaran Islam yang sampai ke saya ini saya

yakin itu dilestarikan oleh para ulama yang benar.

6. Upaya apa saja yang Anda lakukan untuk meletarikan sekte yang Anda ikuti?

Saya mengajarkan kitab-kitab kepada santri di sini, mengisi pengajian, dan ya

seperti kompolan dan lain-lain. Ya biasa gimana seorang kyai, pokoknya tempat saya

merawat aswaja itu di pesantren dan di masyarakat. Sekarang saya lagi aktif selain di

NU juga di AUMA dan FKM. Itu forumnya para kyai. Saya ikut di dalamnya. Itu

untuk berjuang membela agama Allah.

7. Sekarang banyak paham keislaman yang berkembang, apakah banyaknya paham

tersebut menurut Anda mengancam terhadap sekte yang Anda anut? Kalau memang

mengancam sekte apa saja yang mengancam dan bagaimana upaya Anda untuk

membentengi sekte Anda dari ancaman itu.

Ya menurut saya beberapa sekte di luar yang diajarkan oleh ulama-ulama salaf

yang sudah diakui itu banyak sekali yang perlu diwaspadai. Terlebih ketika kita bicara

soal Syiah, Wahabi, dan Ahmadiyah. Di Madura Ahmadiyah sendiri belum ada.

Tetapi bukan berarti tak akan ada. Jadi saya bersama sejumlah besar ulama pesantren

di Pamekasan membuat forum Islam seperti AUMA dan FKM. Itu tujuannya adalah

membentengi Islam dari paham-paham sesat. Di Sumenep ini saya sedang menggarap

FPI. Saya sebagai ketuanya tapi belum dilantik.

Page 104: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

Jadi, saya kedepan sangat berharap mahasiswa juga ikut terlibat dalam

bersama-sama dengan ulama untuk menjaga Islam dari rongrongan asing maupun

orang-orang munafik di dalamnya.

Sekarang itu banyak orang yang mengaku Islam tapi munafik. Kenapa

dibilang munafik karena mereka percaya bahwa Islam benar tapi tidak mau dengan

syariat Islam. Seperti usaha-usaha untuk membangun daerah-daerah di Indonesia

menjadi lebih Islam dan berdasarkan syariat, itu banyak gak mau. Ini bahaya. Ini

munafik namanya.

Usaha saya dan para ulama itu untuk membentengi Sunni dari paham lain itu

menjaga ukhuwah islamiyah. Saya terus menyebarkan pentingnya untuk berhati-hati

kepada masyarakat atas banyaknya paham-paham yang sesat.

8. Kalau boleh saya tahu biografi Anda

a. Pendidikan

Saya mondok tidak sekolah. Pondok saya di sini dulu lalu ke Sidogiri.

b. Umur

Umur saya sekarang sekitar 50-an.

Page 105: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

DAFTAR PERTANYAAN UNTUK PARA KYAI PESANTREN

Kyai Lailurrahman

(Tanggal...)

1. Dalam Islam, kita mengenal banyak sekte. Menurut Anda, sekte yang terbaik untuk

diikuti itu apa dan alasannya kenapa?

Sekte yang baik itu ya Sunni. Sunni itu kan sekte yang paling bisa

dipertanggung-jawabkan secara dalil aqli maupun naqli.

2. Bagaimana pendapat Anda tentang sekte Sunni, Wahabi, Syiah, dan Ahmadiyah?

Kalau Wahabi itu masih ada kemiripan dengan Sunni tapi kalau Syiah dan

Ahmadiyah itu jelas sesat.

3. Apakah menurut Anda sekte di luar Anda pantas disebut kafir?

Tidak lah. Yang kafir itu kalau keluar dari Islam seperti murtad. Kalau orang

itu murtad bisa kafir. Tapi kalau mendekati murtad belum tentu. Sekte tidak

menjadikan seseorang kafir.

4. Menurut Anda, siapakah yang pantas disebut kafir?

Orang yang sudah atau sama-sekali tidak meyakini syhadatain. Itu kafir.

5. Dari mana Anda mengetahui bahwa sekte Anda adalah yang terbaik?

Bejalar. Saya bukan hanya karena keturunan lantas menjadi ikut-ikutan Sunni

tapi karena memang Sunni ini bagus.

6. Upaya apa saja yang Anda lakukan untuk melestarikan sekte yang Anda ikuti?

Saya melestarikannya dengan dua cara, tradisional dan modern. Cara

tradisional dengan melalui pesantren dan ke masyarakat. Tetapi yang secara modern

saya dan beberapa teman kyai termasuk Kyai Ali Fikri yang nyuruh kamu ke sini

membentuk suatu wadah buat para kyai. Wadah itu saya beri nama Harkah Pimpinan

Pondok Pesantren (HP3M).

7. Sekarang banyak paham keislaman yang berkembang, apakah banyaknya paham

tersebut menurut Anda mengancam terhadap sekte yang Anda anut? Kalau memang

mengancam sekte apa saja yang mengancam dan bagaimana upaya Anda untuk

membentengi sekte Anda dari ancaman itu.

Page 106: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

Ya itu tadi saya dan beberapa kyai akan turun ke masyarakat melalui hal yang paling

terkecil surau. Supaya anak-anaknya nanti dipondokkan. Kalau dipondokkan insya-

Allah selamat akidahnya.

8. Kalau boleh saya tahu biografi Anda

a. Pendidikan

Universitas Ummul Quro Mekkah

b. Umur

54 tahun.

Page 107: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

DAFTAR PERTANYAAN UNTUK PARA KYAI PESANTREN

Nasarumber: Kyai Munif

(Tanggal...)

1. Dalam Islam, kita mengenal banyak sekte. Menurut Anda, sekte yang terbaik untuk

diikuti itu apa dan alasannya kenapa?

Kita tahu bahwa Islam memang banyak memiliki sekte. Sekte itu kan muncul

karena politik. Banyak sekte dalam Islam yang kemudian bermunculan. Itu kalau gak

salah masalah perbedaan semakin meruncing ketika di masa Sayyidina Utsman.

Makanya di waktu itu disebut sebagai zaman fitnatul kubro.

Banyaknya sekte itu membuat banyak umat Islam bingung. Tapi kebingunan

itu dapat diatas dengan belajar Islam yang benar. Kalau kita belajar Islam dengan

benar kita akan temukan sekte atau kelompok yang najiyah yang selamat itu yang

mana. Kyai Hasyim Asy’ari menyebutkan bahwa yang disebut dengan kelompok

selamat itu adalah ahlussunnah wal jama’ah. Kelompok ini didasarkan pada ajaran-

ajaran Nabi Muhammad Saw yang diajarkan atau ditunrunkan secara sanadiyah.

Makanya ajaran ini terpercaya.

2. Bagaimana pendapat Anda tentang sekte Sunni, Syiah, dan Ahmadiyah?

Kalau kita merujuk kepada pedoman aswaja yang ditulis oleh Kyai Hasyim

Asy’ari kita akan menemukan bahwa sekte di luar jalur aswaja itu sebenarnya adalah

sekte yang paham-paham di dalamnya banyak dicurigakan artinya kebenarannya

masih diragukan. Kalau sekte seperti Syiah ya itu sesat Ahmadiyah apalagi. Tapi

walau pun mereka sesat mereka tidak boleh disakiti apalagi mereka tinggal di daerah

atau suatu negara hukum seperti Indonesia. Kita harus menghargai mereka walaupun

bagi kita mereka itu sesat.

Kesesatan seseorang tidak lantas sepantasnya menjadi alasan bagi kita untuk

menyerang dengan cara-cara kekerasan. Kekerasan dalam Islam itu tak ada kecuali

kita sedang terpojokkan. Kita harus pandai-pandai membedakan mana perang dan

mana sekadar kerusuhan. Perang dalam Islam memang ada tapi ada aturannya juga

tidak sembarangan.

3. Apakah menurut Anda sekte di luar Anda pantas disebut kafir?

Tidak lah. Kalau sekte di luar Islam itu selama masih membaca kedua

syahadat itu masih merupakan Muslim. Kalau kita mengikuti paham Sunni, untuk

mengatakan orang lain kafir itu susah. Kita lebih baik diam dari pada salah.

4. Menurut Anda, siapakah yang pantas disebut kafir?

Page 108: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

Kalau yang pantas disebut kafir ya orang kafir. Orang kafir itu ya yang bukan

orang Islam. Itu kafir. Tapi kalau masih membaca syahadat itu masih Muslim. Seperti

Kristen, Yahudi, itu kafir. Tapi kafir sendiri dalam Islam itu kan ada definisnya dan

macam-macamnya. Ada kafir yang boleh diperangi ada yang tidak. Nah, kita harus

jeli di situ.

5. Dari mana Anda mengetahui bahwa sekte Anda adalah yang terbaik?

Tentu belajar. Pelajarannya ya berdasarkan kitab kuning pastinya. Tradisi

ulama pesantren di Madura kan memang begitu dalam menimba ilmu. Kita tahu Islam

kan bukan dari TV.

Oh ya sekarang banyak orang belajar Islam dari internet. Itu mengkhawatirkan

sekali. Mereka bisa salah paham dengan ajaran-ajaran yang sebenarnya karena

mereka tidak punya guru. Dalam belajar guru itu penting.

6. Upaya apa saja yang Anda lakukan untuk meletarikan sekte yang Anda ikuti?

Saya mengisi penagajian-pengajian, ikut memperkuat sepak terjak organisasi

NU dan di pesantren ini. Saya bahkan punya rencana ke masyarakat untuk

memperkuat paham Sunni. Tujuannya adalah selain untuk menjaga kemurnian Sunni

juga untuk mencegah paham-paham Islam radikal.

Sekarang saya lihat, banyak banget sekte keislaman yang bercorak radikal. Itu

semua gara-gara Wahabi. Dikit-dikit kafir, bid’ah, bunuh. Waduh pokoknya kisruh

sekali. Saya jadi sangat khawatir. Makanya saya ingin terjun ke masyarakat datang ke

desa-desa, ke langgar-langgar untuk memberikan pandangan kepada para kyainya

supaya tidak terkontaminasi paham tidak jelas. Soalnya mereka pinter sekali mencari

cela memasuki wilayah-wilayah yang sudah dikuasai oleh kyai-kyai Sunni.

7. Sekarang banyak paham keislaman yang berkembang, apakah banyaknya paham

tersebut menurut Anda mengancam terhadap sekte yang Anda anut? Kalau memang

mengancam sekte apa saja yang mengancam dan bagaimana upaya Anda untuk

membentengi sekte Anda dari ancaman itu.

Yang jelas-jelas mengancam bagi saya itu adalah Wahabi yang bercorak

khawarij itu, seperti ISIS, Al-Qaedah, bahkan FPI. Karena mereka itu walaupun

berbeda ada kesamaan. Suka rusuh. Itu saja. Ini bahaya kalau suka rusuh begitu. Islam

itu harus mengajarkan sesuatu yang berarti dan rahmatan lil ‘alamin.

Untuk melestarikan Sunni dan membentengi dari sekte sempalan itu kita harus

memperkuat pesantren. Di tesis saya ini saya jelaskan betapa pesantren sangat

berguna dalam mewujudkan Islam yang anti-radikalisme. Sebenarnya untuk

mencegah paham-paham sempalan itu kita cukup memperkuat tradisi nahdliyin saja

itu sudah selesai.

8. Kalau boleh saya tahu biografi Anda

Page 109: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

a. Pendidikan

Saya S1 di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan S2 di INSTIKA Guluk-Guluk.

b. Umur

58.

Page 110: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

DAFTAR PERTANYAAN UNTUK PARA KYAI PESANTREN

Kyai Nasih As-Schal

(Tanggal 11 Februari 2017 pukul 14.15 s/d 14.30)

1. Dalam Islam, kita mengenal banyak sekte. Menurut Anda, sekte yang terbaik untuk

diikuti itu apa dan alasannya kenapa?

Ajaran bisa dikatan benar itu kan karena ada bukti. Bukti yang dibutuhkan

untuk mengetahui sekte mana di antara banyak sekte dalam Islam adalah dengan

melakukan rujukan literatur. Kedua adalah mayoritas. Sampai sekarang terbukti

ahlussunnah adalah yang merupakan sekte paling banyak penganutnya dan secara

literatur dapat dipertanggung jawabkan.

2. Bagaimana pendapat Anda tentang sekte Sunni, Syiah, dan Ahmadiyah?

Kalau paham-paham di luar Sunni, apakah itu Syiah, Ahmadiyah, Wahabi dan

lain-lain pokoknya perlu diwaspadai. Di Bangkalan ini kita menampung semua

organisasi para kyai untuk tujuan yang sama yakni membentengi Sunni.

3. Apakah menurut Anda sekte di luar Anda pantas disebut kafir?

Bisa jadi. Tapi tidak semudah itu. Orang menuduh kafir dalam Islam itu bisa

kafir. Itu kan cirinya orang khawarij yang suka mengkafirkan orang. Kalau Sunni

tidak begitu. Sunni adalah kelompok yang tidak mudah mengkafirkan orang lain.

Mungkin sebatas sampai pada level sesat. Tapi bisa jadi juga mendekati kafir seperti

Ahmadiyah yang meyakini ajarannya bahwa Nabi Muhammad Saw itu bukan nabi

terakhir itu bahaya.

4. Menurut Anda, siapakah yang pantas disebut kafir?

Orang non-Muslim dan yang keluar dari Islam. Di dalam Islam sendiri selama

masih mengaku Muslim tidak bisa dihukumi kafir. Pengakuan itu harus ada buktinya,

apa itu yakni syahadat.

5. Dari mana Anda mengetahui bahwa sekte Anda adalah yang terbaik?

Mengaji. Saya belajar Islam melalui pesantren.

6. Upaya apa saja yang Anda lakukan untuk meletarikan sekte yang Anda ikuti?

Page 111: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

Usaha saya sendiri itu bergabung dengan ulama untuk bersama-sama

membentuk gerakan yang lebih baik selain melaksanakan tugas seperti biasa, yakni

pengajian, dan di pesantren sendiri.

7. Sekarang banyak paham keislaman yang berkembang, apakah banyaknya paham

tersebut menurut Anda mengancam terhadap sekte yang Anda anut? Kalau memang

mengancam sekte apa saja yang mengancam dan bagaimana upaya Anda untuk

membentengi sekte Anda dari ancaman itu.

Syiah itu mengancam. Wahabi juga. Tapi selama mereka tidak membuat rusuh

kita perlu untuk hati-hati. Makanya kita perlu ada semacam forum dengan para ulama

di Madura. Itu tujuannya jelas buat melancarkan agenda pelestarian Sunni atau lebih

tepatnya tradisi-tadisi keislaman yang diajarkan oleh para pendahulu kita.

8. Kalau boleh saya tahu biografi Anda

a. Pendidikan

--

b. Umur

Sekitar 32-an.

Page 112: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

DAFTAR PERTANYAAN UNTUK PARA KYAI PESANTREN

Kyai Syamsul Arifin

(Tanggal 26 Januari 2017 pukul 16.30 s/d 16.00)

1. Dalam Islam, kita mengenal banyak sekte. Menurut Anda, sekte yang terbaik untuk

diikuti itu apa dan alasannya kenapa?

Ahlussunnah wal Jama’ah. Karena sekte tersebut merupakan sekte yang

selamat. Orang sekarang banyak memecah belah Islam dengan sekte. Sunni

seharusnya tidak begitu. Siapa pun dia kalau masih mengikuti para ulama terdahulu

yang berada di garis Sunni itu perlu untuk dirangkul bersama-sama. Umat Islam

sekarang perlu bangkit. Sekarang banyak sudah generasi santri yang pandai. Dari itu

mereka harus bisa menggerakkan Islam menuju kemajuan.

2. Bagaimana pendapat Anda tentang sekte Sunni, Syiah, Wahabi, dan Ahmadiyah?

Kalau Syiah jelas sesat itu. Wahabi masih mendingan. Artinya sekte Wahabi

dalam beberapa hal masih ada kesamaan, tapi tetap harus waspada terutama Wahabi-

Salafi yang suka membid’ahkan praktik-praktik umat Islam seperti Maulid dan lain-

lain.

Kalau Ahmadiyah itu kan ada yang tidak mengakui siapa itu nabinya itu

sebagai nabi. Ada yang tidak sesat. Tapi yang sudah mengamini adanya nabi setelah

nabi Muhammad Saw. itu sudah keterlaluan. Itu adalah ajaran sesat.

3. Apakah menurut Anda sekte di luar Anda pantas disebut kafir?

Tidak. Tidak gampang menyebut kafir bagi kelompok lain. Harus hati-hati.

Orang Sunni itu tidak mudah menyebut kelompok lain itu sebagai kafir.

4. Menurut Anda, siapakah yang pantas disebut kafir?

Ya orang kafir. Masa orang Islam disebut kafir. Orang kafir itu yang tidak

membaca atau tidak meyakini adanya Allah dan Nabi Muhammad Saw. sebagai rasul.

Mereka yang orang-orang non-Islam seperti Kristen, itu kafir.

5. Dari mana Anda mengetahui bahwa sekte Anda adalah yang terbaik?

Belajar. Ngaji.

6. Upaya apa saja yang Anda lakukan untuk melestarikan sekte yang Anda ikuti?

Page 113: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

Saya mengisi pengajian, di sini di pesantren, organisasi seperti AUMA. Saya

terlibat di dalamnya. Itu penting organisasi seperti itu untuk mencegah paham dari

luar. Di masyarakat saya juga bergerak. Tapi sekarang saya jarang turun ke

masyarakat karena faktor usia.

7. Sekarang banyak paham keislaman yang berkembang, apakah banyaknya paham

tersebut menurut Anda mengancam terhadap sekte yang Anda anut? Kalau memang

mengancam sekte apa saja yang mengancam dan bagaimana upaya Anda untuk

membentengi sekte Anda dari ancaman itu.

Syibilis itu yang mengancam. Syiah, wahabi, dan liberal. Itu perlu terus

diwaspadai. Mereka itu bahaya. Caranya adalah masyarakat diberitahu.

Penyebarannya melalui kyai-kyai muda yang masih semangat untuk memperjuangkan

Islam.

8. Kalau boleh saya tahu biografi Anda

a. Pendidikan

Mondok saya.

b. Umur

Lebih dari 60 tahun. Usia saya sudah lanjut.

Page 114: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

DAFTAR PERTANYAAN UNTUK PARA KYAI PESANTREN

Kyai Toifur Ali Wafa

(Tanggal 19 Februari 2017)

1. Dalam Islam, kita mengenal banyak sekte. Menurut Anda, sekte yang terbaik untuk

diikuti itu apa dan alasannya kenapa?

Ahlussunnah wal jama’ah karena madzhab itu merupakan ajaran yang dibawa

oleh ulama-ulama salaf yang terpercaya.

2. Bagaimana pendapat Anda tentang sekte Sunni, Syiah, dan Ahmadiyah?

Madzhab di luar Sunni itu memang perlu dikoreksi kebenarannya. Sebab

banyak di antara mereka yang kurang benar dalam memberikan suatu keputusan

agama.

3. Apakah menurut Anda sekte di luar Anda pantas disebut kafir?

Tidak. Mereka masih Muslim. Selama masih membaca syahadat masih muslim.

4. Menurut Anda, siapakah yang pantas disebut kafir?

Orang yang mengingkari syahadat.

5. Upaya apa saja yang Anda lakukan untuk meletarikan sekte yang Anda ikuti?

Saya mengajar di pesantren, mengisi pengajian, dan menyebarkan paham

Sunni melalui tulisan. Di biografi saya sudah ada semua tulisan saya kecuali

Firdausunna’im.

6. Sekarang banyak paham keislaman yang berkembang, apakah banyaknya paham

tersebut menurut Anda mengancam terhadap sekte yang Anda anut? Kalau memang

mengancam sekte apa saja yang mengancam dan bagaimana upaya Anda untuk

membentengi sekte Anda dari ancaman itu.

Saya membentengi Sunni dengan cara berkumpul dengan para kyai. Di

Sumenep saya mengetuai forum Massapontren. Itu kami yang mengusulkan untuk

seluruh siswi di Madura supaya menggunakan jilba dan berhasil.

Mengenai serangan dari pihak di luar Sunni kita bisa antisipasi kalau

masyarakat masih dekat dengan kyai.

7. Kalau boleh saya tahu biografi Anda

Page 115: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

a. Pendidikan

--

b. Umur

54 tahun.

Page 116: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

WAWANCARA DENGAN ZAINUDDIN SYARIF

20 Februari 2017

Saya dengar bahwa di Pamekasan, dua pesantren besar Banyuanyar dengan Bata-Bata itu

adalah SI bukan NU, Anda kan pernah melakukan penelitian tentang pesantren tersebut, lalu

bagaimana menurut Anda?

Sebenarnya kedua pesantren tersebut memang SI namun itu hanya di sektor politik.

Mereka dalam urusan paham keagamaan tetap Sunni bahkan mirip dengan NU. Hanya saja

mereka tak dilibatkan ke dalam NU secara organisasi, itu ceritanya panjang kamu coba baca

bukunya Iik Mansurnoor di situ sudah ada penjelasannya. Kalau di Pamekasan PCNU-nya itu

memang paling kecil se-Madura. Pesantren yang oleh Iik disebut sebagai reperesentasi NU di

Pamekasan adalah Bettet.

Jadi, ya secara ritual maupun paham keagamaan ulama pesantren di Madura itu

semuanya Sunni. Mereka menganut paham keagamaan yang berdasarkan Sunni Maturidiyah

dan Asy’ariyah. Paham itu kuat sekali.

Page 117: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

Lampiran I

Teks Bacaan Tahlil Lengkap

Teks Bacaan Tahlil

د صلى اهلل عليو وسلم )الفاتة( إل حضرة النب المصطفى مم

هداء قربي ث إل حضرة إخوانو من األنبياء والمرسلي واألولياء والش

الئكة امل

يع امل صنفي وج

الي والصحابة والتابعي والعلماء وامل خصوصا سيدنا والص

شيخ عبد القادر اجليالن رضي اهلل عنو )الفاتة(

يع أىل القب ور هاتنا وأجدادنا من المسلمي والمسلمات والمؤمني والمؤمنات من مشارق االرض إل مغاربا ب رىا ث إل ج وبرىا خصوصا أباءنا وأم

اتنا ومشاينا ومشايخ مشاينا ولمن اج )الفاتة( (Nama arwah yang dikirimi hadiah tahlil) تمعنا ىهنا بسببو وخصوصاوجد

ب سم اهلل الرحن الرحيم

مد ل يلد ول يولد * ول يكن لو كفوا أحد قل ىو اللو أحد * اللو الص

إال اهلل اهلل أكب ر وللو المد ال إلو

ب سم اهلل الرحن الرحيم

ف ثات ف العقد * ومن شر حاسد إذا حسد قل أعوذ برب الفلق * من شر ما خلق * ومن شر غاسق إذا وقب * ومن شر الن

ال إلو إال اهلل اهلل أكب ر وللو المد

ب سم اهلل الرحن الرحيم

اجلنة والناس ف صدور الناس * من قل أعوذ برب الناس * ملك الناس * إلو الناس * من شر الوسواس الناس * الذي ي وسوس

ال إلو إال اهلل اهلل أكب ر وللو المد

بسم اللو الرحن الرحيم

ين * إياك ن عبد وإياك نس دنا الصراط المستقيم * صراط الذين أن عمت عليهم غي تعي * اى المد للو رب العالمي * الرحن الرحيم * مالك ي وم الد

الي. أمي المغضوب عليهم وال الض

. الذين ي ؤمن ون بالغيب ويقيمون الصالة وما رزق ناىم ي نفقون. والذين ي ؤمن ون با بسم اهلل الرحن الرحيم. ال. ذلك الكتاب الريب فيو ىدى للمتقي

Page 118: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

وإهلكم إلو واحد الإلو إال ىو الرحن الرحيم اهلل ك ىم المفلحون.أنزل إليك وما أنزل من ق بلك وباالخرة ىم ي وقن ون. اولئك على ىدى من ربم واولئ

ماوات وماف األرض م وم التأخذه سنة والن وم. لو ماف الس م ماب ي أيديهم وما خلفهم ن ذالذى يشفع عنده إال بإذنو ي عل ال إلو اال ىو الي القي

ماوات واألرض وال يؤده حفظ يطون بشيء من علمو إال با شاء وسع كرسيو الس ماوات وما ف األرض وإ والي ن هما وىو العلي العظيم. للو ماف الس

ب من يشاء. و اهلل على كل شيء قدي ر. امن الرسول با أنزل اليو من ربو ت بدوا ماف أن فسكم أو تفوه ياسبكم بو اهلل ف ي غفر لمن يشاء وي عذ

عنا وأطعنا غفرانك ر والمؤمن ون. كل امن باهلل ن فسا إال وسعها ومالئكتو وكتبو ورسلو الن فرق ب ي أحد من رسلو وقالوا س ر. اليكل ب نا وإليك المصي

ها مااكتسبت رب نا الت نا إصرا كما حلتو على الذين من ق هلا ماكسبت وعلي لنا ماالطاقة ؤاخذنا إن نسي أو أخطعنا رب نا وال تمل علي بلنا رب نا وال تم

لنا بو

عنا واغفر لنا وارحنا ) مرة( 7واع

فانصرنا على القوم الكافرين.أنت موالنا

ي ) ، إرحنا ياأرحم الراح ي مرة( 7برحتك يا أرحم الراح

ا يريد اهلل ليذىب ع يد. إن يد م را. إن اهلل ومالئكتو يصلون على النب ورحة اهلل وب ركاتو عليكم أىل الب يت إنو ح ركم تطهي نكم الرجس أىل الب يت ويطه

يا أي ها الذين أمن وا صلوا عليو وسلموا تسليما.

الة على أسعد ملو د. عدد معلوماتك ومداد أللهم صل أفضل الص د وعلى أل سيدنا مم كلماتك كلما ذكرك قاتك ن ور اهلدى سيدنا وموالنا مم

اكرون. وغفل عن ذكرك الغافلون. الذ

الة على أ دعدد معلومات أللهم صل أفضل الص د وعلى أل سيدنا مم ك ومداد كلماتك كلما ذكرك سعد ملوقاتك شس الضحى سيدنا وموالنا مم

اكرون. وغفل عن ذكرك الغافلون الذ

ال د. عدد أللهم صل أفضل الص د وعلى أل سيدنا مم جى سيدنا وموالنا مم معلوماتك ومداد كلماتك كلما ذكرك ة على أسعد ملوقاتك بدر الد

اكرون. وغفل عن ذكرك الغافلون. الذ

. وحسب نا اهلل ونعم الوكيل نعم المول وسلم ورضي ر. والحول والق وة إال باهلل العلي العظيم اهلل ت عال عن سادتنا أصحاب رسول اهلل أجعي ونعم النصي

Page 119: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

مرة( 7أست غفر اهلل العظيم )

, اهلل حي باق ل الذكر فاعلم أنو الإلو إال اهلل حي موجود الإلو إال اهلل حي معب ود الإلو إال أفض

مرة( 7/11/33الإلو إال اهلل )

الإلو إال اهلل الإلو إال اهلل

د رسول اهلل الإلو إال اهلل مم

د أللهم صل عليو وسلم ) مرة( 2أللهم صل على مم

د يارب صل عليو وسلم أللهم صل على مم

33سبحان اهلل وبمده سبحان اهلل العظيم

د وعلى الو وصحبو وسلم أللهم صل على حبيبك سي دنا مم

د وعلى الو وصحبو وبارك وسلم أللهم صل على حبيبك سيدنا مم

د وعلى الو وصحبو وبارك وسلم أج . )الفاتة(أللهم صل على حبيبك سيدنا مم عي

Doa Tahlil

يطان الرجيم. بسم اهلل الرحن الرحيم. المد للو رب العالمي ، حدا ي واف نعمو ويكافئ أعوذ باهلل من الش اكرين حد الناعمي مزيده. يا رب نا . حد الش

لك المد كما ي نبغي جلالل وجهك وعظيم سلطانك.

د ف اآل . وصل وسلم على سيدنا مم لي د ف االو . وصل وصل وسلم ع خرين.اللهم صل وسلم على سيدنا مم د ف كل وقت وحي لى سيدنا مم

ين. د ف المالء االعلى ال ي وم الد وسلم على سيدنا مم

د صلى اهلل عليو وسلم ىدية واصلة ورحة ن اللهم اجعل واوصل وت قبل ما ق رأناه من القرآن العظيم وما ىللناه وما ناه على النب مم ازلة سبحناه وما صلي

م ذالك ون هديو ال حضرة سيدنا وحبيبنا وشف بربكة شاملة وصدقة مت قب لة ن قد يع إخوانو من و د صلى اهلل عليو وسلم وإل ج يعنا وق رة أعيننا وموالنا مم

Page 120: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

الي والصحابة والتابعي والعلم هداء والص ، واالولياء والش يع المجاىدين ف سبيل اهلل رب اء العام األنبياء والمرسلي لي والمصنفي المخلصي وج

يخ عبد القادر اجليالن رضي اهلل عنوالعالمي والمالئكة المقربي خصوصا ال سيدنا الش

Jika berkendak ditujukan kepada ruh seseorang, maka baca :

..………… وخصوصا ال حضرة روح

(sebutkan nama ruh yang dituju)

Lalu melanjutkan bacaan doa :

يع أىل القب ور من المسلمي والمسلمات والمؤمني والمؤمنات من هاتنا وأجداتنا ث إل ج مشارق االرض ومغاربا ب رىا وبرىا خصوصا إل آبائنا وام

اتنا ونص خصوصا إل من اجتمعنا ىاىنا بسببو وألجلو هم. أللهم انزل الرحة والمغفرة على أىل القب ور أللهم اغفرهلم وارحهم وعافهم و .وجد عن اع

ن يا حسنة وف االخرة حس د رسول اهلل. رب نا آتنا ف الد ا يصفون نة وقنا عذاب النار. سبحان ر من أىل ال إلو إال اهلل مم والمد للو .بك رب العزة عم

الفاتة .رب العالمي

Page 121: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

Lampiran II

Teks Bacaan Talqin Berbahasa Arab :

. ذطجؼ ا١ حى ج . ا ش١ئ اه االه . و اهطح١ ح اطه للاه خ . تس فس شائمح ا و فه ا ذ اهجهح فمس فاظ. ا ازذ اهاض ظحعح ػ ح . ف م١ا ا ٠ ضو ف١ا اج , ا ذماو ض. غط راع ا ١ا االه ح١اج اس ا ا

ذ ا رطجى , ؼ١سو ا رطجى ز ارطاب. س ف١ا ؼ١سو اب. اثه لجط اذماو ؼط اضج اذط.

صه للاه هح ضسي للاه ػ ا للاه للاه تالله للاه حساب. تس ا صسق ح ػس اطه ا . صا سه ػ١

. حضط ١غ س٠ا ج احسج فاشا واد االه ص١حح . ا طس ا

ه للاه د ....... ٠طح / ت ظ٠را ٠ا ...... ت ١ا ه اس س . شثد ػ تطاظ٠د ا٢ذطج. فال ذ تطظخ ف صطخ ا٢ .

شازج ا ا زاض ا٢ذطج. د ت لس ١ا زاض اس ف فاضلرا ػ١ س اهص ؼ ا ي للاه سا ضس ه ح ه ا . ف شا ال ا االه للاه

فال ٠ع سه ػ١ س صه للاه ه ح ح ه ا ثاه تأ ته وهال ا ىا جاءن ا ك ا ذ اه اػ ال ٠طػثان. ػجان

ك ذ ك د ذ ا ا ذؼا و ك للاه ذ ؟. فم ده ػ١ ا اهص ا اػرمازن؟ ا ز٠ه؟ ضته؟ اشا ساالن . ا للاه

ا اشا سأالن اثهاثح . ضت ا للاه اشا سأالن اثها١ح فم . ضت ال ر للاه ف ك تال ذ ط ا تسا حس فم ح ا اذ

ا ىؼثح لثر ا ا ا مطآ ا س ث١ـ ه ح ز٠ اإلسال ضت فعع. للاه ا اذ س ا اخ فط٠ضر صه

ات . ي للاه س ضس ه ح ي ال ا االه للاه د ػ ل اا ػشد ات ر١ ا ١ طا

٠ثؼث ثطظخ ا ٠ تصا ا م١ اهه اػ ........ ح ٠ا ........ ت حجه ا سهه تص . ذ ج صا اط ي ف ا ذم ه ف شا ل١

جاءا تا سه ػ١ س صه للاه ه ح . فم ؼ١ ك اج ر ف ا تؼث ف١ى ا اهص ه ذ . ف ها ت آ فاذهثؼا ضت اخ ث١

. فم ؼظ١ ؼطش ا ضب ا د وه ذ ػ١ ال ا االه للاه حسث

ثؼث ه ا ا ى١ط حك ىط ه سؤاي ا مثط حك ي ا ه ع ا خ حك ه ا ا اػ حساب ح ه ا ا حك حك ١عا ه ا ا ك

ه ا اػح آذ١ح ال ض٠ة ف١ا ه اسه ا جهح حك ه ا ا ه اهاض حك ا طاط حك ه اص ا ض مث ف ا ٠ثؼث للاه

Sampai di sini pembacaan Talqin mayit, kemudian dilanjutkan dengan pembacaan

doa. Pada saat dibacakan doa, semua pelayat atau pengiring disunnahkan duduk dan

mengamini doa tersebut. Berikut ini teks doanya :

حسذا ٠ا حاضطا ١س تغائة, آس ح١س ه ٠ا أ١س و ـ زػه اه ال سر ر حجه م غطتر غطترا اضح حسذ . ١ ٠ا ضبه اؼا اغفط ا ذفرها تؼس

“Kami menitipkan saudaraku kepada-Mu ya Allah, Ya Tuhan yang memberi kesenangan

setiap orang yang mendirikan, Ya Tuhan yang selalu hadir tidak pernah absen berilah

kesenangan atas kesendirian saudaraku ini. Kasihanilah pengembaraan kami dan

pengembaraan saudara kami ini, peringatkanlah dua dari hujjah yang telah kami ajarkan

kepadanya, janganlah Engkau menfitnah kami sesudah dia meninggal dan ampunilah kami

dan dia wahai Tuhan seluruh Alam”.

١ . آ ١ ؼا ضب ا س لله ح ا سه صحث ػ آ س ه ح ػ س١سا صه للاه

Page 122: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

Lampiran III

Do’a Malam Nisfu Sya’ban

وس وصحب د و عى ا ح عى سدا ص ه , ا ذا اه ع وال ا ذا ا اه

ال إ عا طىي واإل اذا ا جالي واإلورا ا ا و أ ر سحج وجارا ث ظهر االج إال ا

طرو ا أو حرو ىحاب شما أو ا أ دن ف ع ث وحبحـ و إ , اه خا ئـف ا ا محر ا أو

ح ا زق فا ار ف ي و إ لحار ع وطر ا وحر ىحاب شما و ج ا أ بفضه ف ه

ث رات فإ ه ل خ ى فما ر زو لا ا د ىحاب سع ا أ دن ف ع و أشبحـ ولى ه رزل

وحا به ا حك ف ا د أ اشاء و ثبث و ع حى هللا , رس به ا ي عى سا س

فر اح ىر ا شهرشعبا ة اصف ف باحجى األ عظ ىحاب , إ ه ا ها و ق ف

ر ث عال أ وأ أع ث ب ا أ و اال أع و اأع بالء ا إصرف ع و بر حى ار ح حه ا ارح غىب , برح ا وصحب د و عى ا ح وصى هللا عى سدا وس

عا د هلل رب ا ح وا

Page 123: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

Foto bersama Kyai Dardiri Ziubairi Foto bersama Kyai Munif Zubairi

Foto bersama Kyai Halimi

Page 124: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

Foto bersama Kyai Jurjiz Kalabaan Foto bersama Kyai Ilyasi Bluto

Foto para ulama Madura saat berkumpul di kantor AUMA, Pamekasan

Page 125: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM MELESTARIKAN SEKTE …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/36628/2/HADORI... · h. 831-849. 4 Bagian Perencanaan dan Data Setdijen Pendidikan

Kyai Lailurrahman Kyai Syamsul Arifin

Kyai Athaullah Kyai Hanif