peran rokok terhadap kadar kalsium...
TRANSCRIPT
PERAN ROKOK TERHADAP
KADAR KALSIUM SALIVA
Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA KEDOKTERAN
OLEH:
Muhammad Reza Syahli
NIM: 1112103000100
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/ 2015 M
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
segala nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian
ini. Salawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Laporan penelitian ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya karena adanya
dukungan, bantuan, dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Allah SWT, Yang Maha Mengasihi lagi Maha Menyayangi hamba-Nya.
2. Nabi Muhammad SAW, idola dan panutan penulis dalam menjalani kehidupan
sebagai seorang calon dokter muslim.
3. Prof. Dr. H. Arief Sumantri, M.Kes selaku Dekan FKIK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan arahan kepada penulis selama
menempuh pendidikan di Program Studi Pendidikan Dokter FKIK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4. dr. Achmad Zaki, M.Epid, Sp.OT selaku Ketua Program Studi Pendidikan
Dokter atas bimbingan yang telah diberikan selama penulis menempuh
pendidikan di Program Studi Pendidikan Dokter FKIK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
5. drg. Laifa Annisa Hendarmin, Ph.D selaku pembimbing 1 yang telah
meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mendampingi dan membimbing
penulis dari awal melakukan penelitian hingga menyusun dan menyelesaikan
laporan penelitian ini.
6. dr. Fikri Mirza Putranto, Sp.THT-KL selaku pembimbing 2 yang telah
memberikan masukan dan arahan dalam penulisan laporan penelitian dan telah
mencurahkan waktu, tenaga, pikiran untuk membimbing penulis dalam
menyusun dan menyelesaikan laporan penelitian ini.
vi
7. dr. Ibnu Harris Fadillah, Sp.THT-KL dan Bapak Chris Adhiyanto, M.Biomed,
Ph.D selaku penguji 1 dan penguji 2 pada sidang laporan penelitian ini yang
telah memberikan saran dan kritikan yang membangun agar penelitian ini
lebih baik.
8. dr. Nouval Shahab, Sp.U, Ph.D, FICS, FACS selaku penanggung jawab modul
riset mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter angkatan 2012 yang selalu
memberikan arahan dan mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan
penelitian ini.
9. Ibu Zeti Harriyati, M.Biomed dan Ibu Endah Wulandari, M.Biomed selaku PJ
Laboratorium Biologi dan Biokimia yang telah memberikan izin penggunaan
laboratorium, serta Mba Lilis dan Mba Suryani yang telah memberikan
bantuan kepada penulis dalam pengambilan data.
10. Bapak dan Ibu tersayang dan tercinta, H. Syahrial dan Hj. Alisma atas
limpahan kasih sayang, pengorbanan tanpa pamrih, doa dan dukungan yang
tiada pernah putus, serta semangat kepada penulis selama melaksanakan
penelitian. Terima kasih atas segala kebaikan dan keridaannya hingga penulis
dapat terus berusaha sekuat tenaga menggapai cita.
11. Kakak-kakak kandung tercinta, Lisa Putri, Rina Susanti, Dewi Marlina, Rita
Hariyanti, Bot Sosani, dan Mutia Rahayu beserta keluarga besar penulis atas
dukungan, doa, dan semangat yang selalu diberikan agar kepada penulis.
Terima kasih sudah menjadi contoh yang baik bagi penulis selama ini.
12. BPH TBM USMR 2014-2015, Adlina Zahra, Ega Gumilang, Putri Aulia Hilfa
Lubis, Putri Junitasari, Ranita Rusydina, Nadiyah Zhafirah, Faruq Yufarriqu
Mufaza, Zahrotu Romadhon, dan Arwinda Tanti, tim super kebanggan yang
selalu memberikan semangat dalam menyelesaikan penelitian ini.
13. Kelompok belajar SD 14, Galang Prahanarendra, Octafika Hairlina Ayu,
Fakhri Muhammad Suradi, Siti Binayu Adzani, Naftalena Dwi Putri, Nuraisah
Septiarini, Abdul Rasyid, Zulfikar Tria Raharja, Firda Fakhrena, Fiizhda
Baqarizky; serta seluruh anggota PSPD UIN 2012 dan teman-teman, kakak-
kakak, adik-adik PSPD UIN Jakarta yang tidak bisa penulis sebutkan satu-
persatu. Terima kasih atas atas kebersamaan dan semangatnya dalam
menempuh dunia kedokteran ini.
vii
14. Teman-teman satu kelompok penelitian, Sari Dewi Apriana,
Abqariyatuzzahra, Faruq Yufarriqu Mufaza, dan Nabila Syifa. Terima kasih
atas kerjasama, semangat, dan dukungan dalam melakukan penelitian ini
bersama-sama dari awal melakukan penelitian hingga menyusun dan
menyelesaikan laporan penelitian ini.
15. Seluruh responden riset yang telah bersedia meluangkan waktunya menjadi
sampel pada penelitian ini.
16. Teman-teman kostan, Azmi Agnia, Rivki Wida, dan Arif Syafa’at yang selalu
mendukung dan menyemangati penulis dalam melakukan penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa laporan penelitian ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, besar harapan penulis kepada pembaca untuk menyampaikan
kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan laporan penelitian ini.
Demikian laporan penelitian ini penulis susun, semoga dapat memberikan manfaat
bagi kita semua.
Ciputat, 8 Oktober 2015
Penulis
viii
ABSTRAK
Muhammad Reza Syahli. Program Studi Pendidikan Dokter. Peran Rokok
terhadap Kadar Kalsium Saliva. 2015
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk melihat peranan rokok terhadap kadar
kalsium saliva. Metode: Total subjek penelitian ini adalah 86 orang yang terbagi
menjadi dua kelompok, yaitu kelompok perokok (n=55) dan kelompok non-
perokok (n=31). Seluruh subjek penelitian melewati tahap pengisian lembar
persetujuan dan kuesioner, pemeriksaan gigi dan mulut oleh dokter gigi, serta
pengumpulan saliva yang tidak distimulasi. Pengukuran kadar kalsium saliva
menggunakan Ca2+
meter LAQUAtwin Horiba. Hasil: Parameter klinis dari
kesehatan gigi dan mulut (DI dan OHI-S) lebih tinggi pada kelompok perokok
dibanding non-perokok. Tetapi hasil uji statistik didapatkan perbedaan yang
signifikan pada skor CI dan OHI-S (p<0,05). Kadar kalsium saliva secara statistik
signifikan (p<0,05) lebih tinggi pada kelompok perokok (0,86±0,25 mmol/L)
dibanding non-perokok (0,55±0,18 mmol/L). Perokok dengan jenis rokok kretek
kadar kalsiumnya lebih tinggi (0,92±0,25 mmol/L) dibanding jenis non-kretek
(0,84±0,25 mmol/L) dan non-perokok (0,55±0,18 mmol/L); dan juga pada
perokok berat (1,07±0,14 mmol/L) dibanding kelompok lainnya. Kesimpulan:
Kadar kalsium saliva pada perokok jenis kretek dan perokok berat (indeks
Brinkman >600) secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan non-perokok.
Peningkatan kadar kalsium saliva dapat menunjukkan terjadinya proses
demineralisasi gigi pada rongga mulut perokok sehingga menurunkan derajat
kesehatan gigi dan mulut.
Kata kunci : merokok, perokok, saliva, kalsium, kadar kalsium saliva, kesehatan
mulut
ABSTRACT
Muhammad Reza Syahli. Medical Education Study Program. The Role of
Cigarette Smoking on Salivary Calcium Level. 2015
Objectives: The aim of this study was to observe the role of cigarette smoking on
salivary calcium level. Methods: A total of 86 subjects were divided into two
groups: smokers (n=55) and non-smokers (n=31). All subjects completed the
stage of filling the informed consent and questionnaire, underwent a physical
examination of mouth and teeth by the dentist, and unstimulated whole saliva
were collected. Measurement of salivary calcium level were done using the
Ca2+
meter LAQUAtwin Horiba. Results: The clinical parameters of oral health
(DI and OHI-S) were higher in smokers than non-smokers. But results of
statistical test indicated that there was significant difference in CI score and OHI-
S (p<0,05). Salivary calcium level was significantly higher in smokers than non-
smokers (p<0,05). The clove cigarette smokers group (0,92±0,25 mmol/L ) had a
higher salivary calcium level than non-clove cigarette smokers (0,84±0,25
mmol/L) and non-smokers (0,55±0,18 mmol/L), and also in heavy smokers
(1,07±0,14 mmol/L) than other groups. Conclusions: The level of salivary
ix
calcium in clove cigarette and heavy smokers (Brinkman index >600) is
significantly higher than non-smokers. Increased salivary calcium shows that the
demineralization process occur in the oral cavity of smokers which reducing the
degree of oral health.
Keywords: smoking, smokers, saliva, calcium, salivary calcium level, oral health
x
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR JUDUL .................................................................................................. i
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ............................................. ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................... v
ABSTRAK .......................................................................................................... viii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiv
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xv
BAB 1. PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................................... 2
1.3. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 2
1.3.1. Tujuan Umum ................................................................................... 2
1.3.1. Tujuan Khusus .................................................................................. 3
1.4. Manfaat Penelitian .................................................................................... 3
1.4.1. Bagi Peneliti ...................................................................................... 3
1.4.2. Bagi Masyarakat................................................................................ 3
1.4.3. Bagi Civitas Akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta............... 3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 4
2.1. Landasan Teori ......................................................................................... 4
2.1.1. Saliva ................................................................................................. 4
xi
2.1.1.1. Definisi Saliva ................................................................................... 4
2.1.1.2. Kelenjar Saliva .................................................................................. 4
2.1.1.3 Komposisi Saliva .............................................................................. 6
2.1.1.4 Fungsi Saliva ..................................................................................... 7
2.1.1.5 Sekresi Saliva .................................................................................. 10
2.1.1.6 Metode Pengumpulan Saliva........................................................... 12
2.1.2 Ion Kalsium dalam Saliva ............................................................... 14
2.1.3. Tembakau dan Rokok ..................................................................... 15
2.1.3.1. Tembakau ........................................................................................ 15
2.1.3.2. Definisi Rokok ................................................................................ 17
2.1.3.3. Jenis Rokok ..................................................................................... 17
2.1.3.4. Kandungan Kimia pada Rokok ....................................................... 19
2.1.3.5. Tahapan Perilaku Merokok ............................................................. 21
2.1.3.6. Definisi dan Klasifikasi Perokok .................................................... 21
2.1.3.7. Prevalensi Perokok .......................................................................... 23
2.1.4. Status Kesehatan Gigi dan Mulut .................................................... 25
2.1.5 Efek Merokok Tembakau terhadap Saliva ...................................... 27
2.1.6. Efek Merokok Tembakau terhadap Kesehatan Gigi dan Mulut...... 29
2.2. Kerangka Teori ....................................................................................... 31
2.3. Kerangka Konsep ................................................................................... 32
2.4. Definisi Operasional ............................................................................... 33
BAB 3. METODE PENELITIAN ..................................................................... 35
3.1. Desain Penelitian .................................................................................... 35
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................ 35
3.3. Kriteria Subjek Penelitian ...................................................................... 35
3.3.1. Kriteria Inklusi ................................................................................ 35
xii
3.3.2. Kriteria Eksklusi.............................................................................. 35
3.4. Besar Sampel Penelitian ......................................................................... 36
3.5. Alat dan Bahan ....................................................................................... 38
3.5.1. Alat Penelitian ................................................................................. 38
3.5.2. Bahan Penelitian.............................................................................. 38
3.6. Cara Kerja Penelitian .............................................................................. 38
3.7. Alur Penelitian ........................................................................................ 40
3.8. Identifikasi Variabel ............................................................................... 41
3.9. Manajemen dan Analisis Data ................................................................ 41
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 42
4.1. Hasil Penelitian ....................................................................................... 42
4.1.1. Karakteristik Subjek Penelitian ....................................................... 42
4.1.2. Karakteristik Perokok Subjek Penelitian ........................................ 43
4.1.3. Status Kesehatan Gigi dan Mulut Subjek Penelitian....................... 44
4.1.4. Hubungan Karakteristik Merokok dengan Kadar Kalsium Saliva
pada Subjek Penelitian .................................................................... 45
4.2. Pembahasan ............................................................................................ 47
4.3. Keterbatasan Penelitian .......................................................................... 50
4.4. Aspek Keislaman .................................................................................... 51
BAB 5. SIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 52
5.1. Simpulan ................................................................................................. 52
5.2. Saran ....................................................................................................... 52
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 53
LAMPIRAN ......................................................................................................... 59
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Kelenjar Saliva Mayor ...................................................................... 5
Gambar 2.2. Hubungan Antara Fungsi Saliva dengan Berbagai Unsur Saliva.... 10
Gambar 2.3. Kontrol Sekresi Saliva..................................................................... 12
Gambar 2.4. Pengaturan Sekresi Saliva melalui Saraf Parasimpatis ................... 12
Gambar 2.5. Metode Pengumpulan Saliva Passive Drool ................................... 13
Gambar 2.6. Efek Merokok pada Jaringan Periodontal ....................................... 30
Gambar 3.1. Penjelasan dan Pengisian Kuesioner Penelitian .............................. 38
Gambar 3.2. Pemeriksaan Gigi dan Mulut Subjek Penelitian.............................. 38
Gambar 3.3. Persiapan Alat Ukur Kalsium Saliva............................................... 39
Gambar 3.4. Pengukuran Kalsium Saliva ............................................................ 39
Gambar 3.5. Pengeluaran Sampel Saliva dari Freezer untuk Dianalisa .............. 40
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Perbedaan Kadar Komposisi Unstimulated dan Stimulated Saliva... 7
Tabel 2.2. Kandungan Kimia Tembakau Siap Pakai ....................................... 16
Tabel 2.3. Kandungan Gula dan Nikotin beberapa Tipe Tembakau ................ 16
Tabel 2.4. Kriteria Pemeriksaan Debris Index (DI) ......................................... 26
Tabel 2.5. Kriteria Pemeriksaan Calculus Index (CI) ...................................... 26
Tabel 2.6. Kriteria Pemeriksaan Gingival Index (GI) ...................................... 27
Tabel 4.1. Karakteristik Subjek Penelitian ....................................................... 42
Tabel 4.2. Karakteristik Perokok Subjek Penelitian ........................................ 43
Tabel 4.3. Status Kesehatan Gigi dan Mulut Subjek Penelitian....................... 44
Tabel 4.4. Hubungan Karakteristik Merokok dengan Kadar Kalsium Saliva
pada Subjek Penelitian ................................................................... 45
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Lembar Informed Consent dan Kuesioner Penelitian ..................... 59
Lampiran 2 Riwayat Penulis ............................................................................... 69
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rokok merupakan salah satu masalah terbesar bagi kesehatan penduduk
dunia. Di Indonesia merokok adalah suatu kebiasaan yang sering dijumpai,
terutama di rumah, kantor, jalanan, dan di fasilitas umum seperti warung makan,
terminal, bandara, serta transportasi umum. Data Tobacco Atlas tahun 2012
menunjukkan Indonesia merupakan salah satu dari lima negara dengan konsumsi
rokok terbanyak setelah Cina (38%), Rusia (7%), dan Amerika Serikat (5%)
dengan presentase yang sama dengan Jepang, yaitu 4%. Menurut data survei Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 jumlah penduduk Indonesia diatas
umur 15 tahun yang merokok tahun 2013 adalah 36,3%. Jika dibandingkan
dengan survei sebelumnya, angka ini terus naik, yaitu tahun 2010 sebanyak 34,7%
dan tahun 2007 sebanyak 34,2%. Rata-rata jumlah rokok yang dikonsumsi per
hari adalah 12,3 batang (setara dengan satu bungkus).1,2
Meskipun sebagian besar orang dewasa di Indonesia merokok, terutama
pada laki-laki (67%), delapan dari sepuluh orang dewasa percaya bahwa merokok
dapat menyebabkan penyakit berat.3 Hampir enam juta kematian pertahun
disebabkan oleh rokok. Sebagian besarnya (80%) disebabkan oleh konsumsi
rokok secara langsung (perokok aktif) dan sebagian kecilnya karena pajanan tidak
langsung (perokok pasif). Diperkirakan pada tahun 2013, jika tidak ditangani
secara serius, angka kematian yang ditimbulkan akibat asap rokok akan meningkat
menjadi depalan juta per tahun.4
Kandungan rokok yang terhirup mengandung
lebih dari 7.000 bahan kimia, ratusan diantaranya bersifat toksik, dan sekitar tujuh
puluhnya bisa menyebabkan kanker.5
Merokok tidak hanya menimbulkan efek sistemik, tetapi juga dapat
menyebabkan timbulnya efek lokal, yaitu kondisi patologis pada rongga mulut
karena rongga mulut merupakan bagian pertama yang terpapar oleh rokok.6 Salah
satu bentuk sistem pertahanan dalam rongga mulut adalah saliva. Saliva
merupakan cairan eksokrin tubuh pada rongga mulut yang disekresikan oleh tiga
kelenjar saliva utama, yaitu kelenjar parotis, kelenjar sublingualis, kelenjar
2
submandibularis serta kelenjar saliva kecil lainnya.7 Saliva mengandung 99,5%
air, dan 0,5% komponen lainnya seperti elektrolit, mukus, glikoprotein, enzim dan
komponen antimikroba.8 Kalsium merupakan salah satu komponen elektrolit
dalam saliva. Kadar normal kalsium saliva dalam keadaan tidak terstimulasi
adalah 4-6 mg/dl (1-1,5 mmol/L).9 Kadar kalsium saliva yang tinggi membuat
plak pada gigi lebih cepat mengeras, yang secara tidak langsung mempengaruhi
derajat kesehatan gigi dan mulut.10
Sah et al. tahun 2012 melaporkan terdapat
hubungan yang signifikan antara tingginya kadar kalsium pada saliva dengan
penyakit periodontitis (radang pada jaringan penunjang gigi).11
Terdapat beberapa penelitian mengenai efek merokok terhadap komposisi
saliva. Penelitian Khan GJ et al. tahun 2005 di Pakistan menyatakan bahwa
terdapat peningkatan kadar kalsium saliva pada perokok dibandingkan dengan
non-perokok. Namun, kadar kalsium saliva yang tinggi pada perokok tersebut
masih belum dapat dijelaskan.12
Sedangkan Zuabi et al. seperti yang dikutip oleh
Bafghi et al. tahun 2015 didapatkan perbedaan komposisi saliva (kalsium,
magnesium, natrium) pada perokok secara bermakna lebih rendah dibandingkan
non-perokok.13
Banyaknya jumlah perokok di Indonesia, namun minim penelitian yang
berkaitan dengan sistem pertahanan mulutnya. Berdasarkan hal tersebut,
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran rokok terhadap kadar kalisum
saliva pada laki-laki perokok di Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan dari latar belakang diatas, penulis dapat
merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana peran rokok terhadap kadar kalsium saliva?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui peran rokok terhadap saliva.
3
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui perbedaan kadar kalsium saliva antara laki-laki
perokok dan non-perokok.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Peneliti
1. Merupakan syarat untuk memperoleh gelar sarjana kedokteran dan
dinyatakan lulus masa pre-klinik PSPD FKIK UIN Jakarta.
2. Menambah pengalaman dan pengetahuan mengenai rokok dan
bahayanya serta kadar kalsium pada saliva laki-laki perokok dan non-
perokok.
1.4.2 Bagi Masyarakat
1. Menambah kewaspadaan terhadap bahaya merokok.
2. Menambah pengetahuan mengenai efek merokok terhadap peningkatan
kadar kalsium saliva pada laki-laki perokok dan non-perokok.
1.4.3 Bagi Civitas Akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1. Memberikan pengetahuan dan referensi bagi penelitian selanjutnya
mengenai topik terkait penelitian ini, baik di dalam maupun di luar
lingkungan Civitas Akademika PSPD FKIK UIN Jakarta.
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Saliva
2.1.1.1 Definisi Saliva
Saliva atau dalam bahasa awam sering disebut liur adalah cairan eksokrin
tubuh pada rongga mulut yang mengandung kurang lebih 99% air, didalamnya
terdapat struktur kompleks seperti elektrolit, protein, enzim, imunoglobulin, dan
faktor antimikroba lainnya. Elektrolit yang terkandung dalam saliva diantaranya
adalah natrium, kalium, kalsium, klorida, magnesium, bikarbonat, dan fosfat.
Berbagai komponen tersebut saling berinteraksi dan bertanggung jawab dalam
menjalankan fungsinya di dalam saliva guna menjaga keseimbangan fisiologis
rongga mulut dan gigi. Saliva diproduksi oleh kelenjar saliva mayor dan kelenjar
saliva minor. Kandungan kimia pada saliva membantu menetralkan asam yang
masuk ke dalam tubuh melalui rongga mulut, serta membunuh beberapa jenis
bakteri yang merugikan di mulut sebelum mencapai aliran darah.7,14
2.1.1.2 Kelenjar Saliva
Kelenjar saliva adalah kelenjar yang menyekresikan saliva ke dalam
rongga mulut. Terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelenjar saliva mayor dan
kelenjar saliva minor. Sebagian besar dari saliva diproduksi dari ketiga kelenjar
saliva mayor, yaitu kelenjar parotis; kelenjar sublingualis; dan kelenjar
submandibularis yang menghasilkan lebih dari 90% saliva, sedangkan kelenjar
saliva minor seperti kelenjar labial; kelenjar bukal; kelenjar palatal; dan kelenjar
lingual pada mukosa, submukosa bibir, palatum dan lidah dari rongga mulut,
kelenjar ini hanya berperan kecil terhadap hasil saliva yang disekresikan ke dalam
rongga mulut, yaitu sekitar 7-8% dari total volume saliva. Seperti halnya kelenjar
saliva mayor, kelenjar saliva minor terbentuk selama trimester pertama kehamilan,
yaitu dari proliferasi epitel mulut yang menjadi dasar lapisan ektomesenkim
membentuk duktus dan ujung dari terminal secretory.15,16
5
Gambar 2.1. Kelenjar saliva mayor
(Sumber: Tortora, 2011)17
Kelenjar parotis adalah kelenjar saliva terbesar dengan berat 15-30 gram
yang terletak di bagian inferior dan anterior dari telinga . Kelenjar parotis terdiri
dari dua lobus, yaitu lobus superfisial dan lobus profunda. Lobus superfisial
kelenjar parotis terletak di permukaan lateral otot masseter, di bagain lateral
nervus fasial (n.VII), sedangkan lobus profunda terletak di bagian medial nervus
fasial (n.VII), diantara prosesus mastoid dari tulang temporal dan ramus
mandibular. Hasil sekresi kelenjar parotis mengalir melalui duktus parotis atau
duktus Stensen yang bermuara di vestibulum rongga mulut. Kelenjar parotis
menyumbang 26% produksi saliva pada keadaan tidak terstimulasi, terdiri dari sel
serous acinar saja yang banyak mengandung enzim amilase.17,18
Kelenjar submandibularis merupakan kelenjar saliva terbesar kedua
dengan berat 7-16 gram. Kelenjar yang juga dikenal dengan nama submaksilaris
ini terletak di submandibular triangle yang pada bagian superior dibentuk oleh
tepi inferior dari mandibular dan pada bagian antero-posterior dibentuk oleh
muskulus digastrikus. Sebagian besar kelenjar submandibularis terletak di
posterolateral muskulus milohioideus. Hasil sekresi kelenjar submandibular
mengalir melalui duktus Wharton sepanjang 4-5 cm berjalan bersama dengan
nervus hipoglosus (n.XII) di sebelah superior dan nervus lingualis di sebelah
inferior dan bermuara pada sebelah lateral frenulum lingualis di dasar mulut
bagian posterior gigi bawah. Kelenjar submandibularis memproduksi 69% saliva
pada keadaan tidak terstimulasi, sebagian besar terdiri dari sel serous acinar dan
beberapa mucous acinar.17,18
6
Kelenjar sublingualis merupakan kelenjar saliva mayor terkecil dengan
berat 2-4 gram yang terletak di dalam mukosa pada dasar mulut, diatas otot
milohioideus. Hasil sekresi kelenjar sublingualis mengalir langsung ke dasar
mulut atau melalui duktus Bartholin yang kemudian berlanjut menjadi duktus
Wharton. Kelenjar sublingualis memproduksi 5% saliva pada keadaan tidak
terstimulasi yang sebagian besar terdiri dari sel-sel mucous acinar dan sedikit
serous acinar.17,18
2.1.1.3 Komposisi Saliva
Orang dewasa sehat rata-rata memproduksi saliva sebanyak 500-1500 mL
saliva per hari. Saliva terdiri atas 99,5% komponen air dan 0,5% komponen
lainnya diantaranya elektrolit, mukus, glikoprotein, enzim dan komponen
antimikroba. Komponen saliva terdiri dari komponen organik dan anorganik.
Whole saliva terutama mengandung air dan beberapa ion seperti Na+, K
+, Mg
2+,
Ca2+
, Cl-, HCO3
-, HPO
2/3- yang berperan dalam sistem buffer. Komponen organik
yang terkandung dalam saliva terdiri dari protein dan non-protein. Kandungan
non-protein diantaranya adalah asam urat, bilirubin, kreatinin, glukosa, asam
amino, kolesterol, dan mono/digliserida. Sedangkan komponen organik protein di
dalam saliva seperti amilase, karbonik anhidrase, albumin, transferin,
imunoglobin-A (IgA), imunoglobin-B (IgG).8
Beberapa fungsi protein saliva pada manusia adalah menghambat
pengendapan kalsium, persepsi rasa, proses pencernaan, menghambat proteinase,
dan fungsi lainnya seperti transkripsi, proliferasi sel, transduksi sinyal, motalitas
dan kemotaksis sel. Selain itu saliva juga mengandung suatu glikoprotein bernama
musin, terdiri dari rangkaian protein panjang dengan ikatan rantai karbohidrat
yang lebih pendek. Fungsinya untuk memberikan konsistensi mukus pada saliva,
yaitu melumasi makanan, mengikat bakteri, dan melindungi permukaan mukosa
rongga mulut.8,19
7
Tabel 2.2. Perbedaan kadar komposisi unstimulated dan stimulated saliva
Kandungan Saliva Unstimulated saliva Stimulated saliva Air
Padat
99,55%
0,45%
99,53%
0,47%
Mean ± SD Mean ± SD
Flow
pH
0,32 ± 0,23
7,04 ± 0,28
2,08 ± 0,84
7,61 ± 0,17
Kandungan Anorganik
Natrium (mmol/L)
Kalium (mmol/L)
Kalsium (mmol/L)
5,76 ± 3,43
19,47 ± 2,18
1,32 ± 0,24
20,76 ± 11,74
13,62 ± 2,70
1,47 ± 0,35
Magnesium (mmol/L) 0,20 ± 0,08 0,15 ± 0,05
Klorida (mmol/L) 16,40 ± 2,08 18,09 ± 7,38
Bikarbonat (mmol/L) 5,47 ± 2,48 16,03 ± 5,06
Fosfat (mmol/L) 5,69 ± 1,91 2,70 ± 0,55
Tiosianat (mmol/L) 0,70 ± 0,42 0,34 ± 0,20
Iodida (μmol/L) 13,8 ± 8,5
Fluor (μmol/L) 1,37 ± 0,76 1,16 ± 0,64
Kandungan Organik
Total protein (mg/L)
IgA sekretori (mg/L)
MUC5B (mg/L)
MUC7 (mg/L)
Amilase (U=mg maltose/mL/min)
Lisozim (mg/L)
Laktoferin (mg/L)
Staterin (μmol/L)
Albumin (mg/L)
Glukosa (μmol/L)
Laktat (mmol/L)
Lipid total (mg/L)
Asam amino (μmol/L)
Urea (mmol/L)
Amoniak (mmol/L)
1630 ± 720
76,1 ± 40,2
830 ± 480
440 ± 520
317 ± 290
28,9 ± 12,6
8,4 ± 10,3
4,93 ± 0,61
51,2 ± 49,0
79,4 ± 33,3
0,20 ± 0,24
12,1 ± 6,3
780
3,57 ± 1,26
6,86
1360 ± 290
37,8 ± 22,5
460 ± 200
320 ± 330
453 ± 390
23,2 ± 10,7
5,5 ± 4,7
60,9 ± 53,0
32,4 ± 27,1
0,22 ± 0,17
13,6
567
2,65 ± 0,92
2,57 ± 1,64
(Sumber: Whelton, 2012)20
2.1.1.4 Fungsi Saliva
Saliva memiliki berbagai macam peran, terutama pada kesehatan gigi dan
mulut. Diantara fungsi saliva di dalam rongga mulut adalah:7
1. Perasa
Salivary flow yang terbentuk di dalam asinus dalam keadaan isotonik terhadap
plasma. Namun karena mengalir melewati duktus, mengalami perubahan
menjadi keadaan hipotonik. Kandungan hipotonik saliva dengan kadar
glukosa, natrium, klorida, dan urea yang rendah, sehingga memiliki kapasitas
untuk memberikan kelarutan substansi yang memungkinkan gustatory buds
8
merasakan berbagai rasa yang berbeda. Gustin yang merupakan salah satu
protein saliva, penting untuk pertumbuhan dan perkembangan dari gustatory
buds.
2. Proteksi dan lubrikasi
Saliva membentuk lapisan seromucosal yang berfungsi sebagai pelindung dan
pelumas jaringan rongga mulut dari agen iritan. Mucins, yang merupakan
protein saliva dengan kandungan tinggi karbohidrat, memiliki peran sebagai
lubrikasi, proteksi terhadap dehidrasi, dan pada pemeliharaan viskoelastisitas
saliva. Selain itu, protein ini juga melindungi jaringan rongga mulut terhadap
serangan infeksi dari mikroorganisme yang bersifat proteolitik.
3. Pengenceran and pembersihan
Selain mengencerkan (diluting) substansi-substansi di dalam rongga mulut,
konsistensi cairan saliva juga memudahkan untuk terjadinya pembersihan
secara mekanis terhadap sisa-sisa zat atau residu seperti non-adherent bacteria
dan debris. Semakin besar aliran saliva (salivary flow), maka semakin besar
pula kapasitas pengenceran dan pembersihan sisa-sisa zat di dalam rongga
mulut.
4. Sistem penyangga
Buffer adalah suatu substansi yang membantu mempertahankan agar pH tetap
dalam kondisi netral. Saliva memiliki kemampuan mengatur keseimbangan
sistem penyangga untuk melindungi rongga mulut, diantara caranya adalah
sebagai berikut:
a. mencegah kolonisasi oleh mikroorganisme patogen dengan membuat
kondisi lingkungan rongga mulut agar tidak menjadi media pertumbuhan
yang optimal
b. menetralisir dan membersihkan zat asam yang dihasilkan oleh
mikroorganisme penghasil asam (acidogenic), dengan demikian
demineralisasi pada enamel gigi dapat dicegah
Sistem asam karbonat-bikarbonat lebih berperan pada kondisi saliva yang
terstimulasi sebagai sistem buffer. Sedangkan pada kondisi saliva yang tidak
terstimulasi sistem fosfat lah yang berperan.
9
5. Integritas enamel gigi
Saliva memiliki peranan penting untuk mempertahankan integritas fisik-kimia
dari enamel gigi dengan memodulasi proses remineralisasi dan demineralisasi.
Faktor utama yang mengendalikan stabilitas dari hidroksiapitat enamel adalah
konsentrasi aktif dari kalsium bebas, fosfat bebas, fluor bebas, dan pH saliva.
Tingginya konsentrasi kalsium dan fosfat dalam saliva menjamin terjadinya
pertukaran ion pada permukaan gigi terutama dimulai pada gigi yang erupsi
sehingga mengakibatkan maturasi pasca-erupsi. Sebelum terjadinya kavitas
pada gigi karies, remineralisasi masih dapat terjadi karena komponen kalsium
dan fosfat yang terkandung dalam saliva. Konsentrasi kalsium dalam saliva
sangat bervariasi tergantung pada salivary flow, dan tidak dipengaruhi oleh
diet. Namun penyakit seperti cystic fibrosis dan beberapa obat seperti
pilokarpin dapat menyebabkan peningkatan kadar kalsium. Kalsium saliva
dapat terioniasai atau terikat, tergantung pada kondisi pH.
6. Membantu proses pencernaan
Saliva berperan dalam membantu proses pencernaan awal terhadap pati, dan
proses pembentukan bolus pada makanan. Hal ini disebabkan oleh adanya
enzim α-amilase (ptialin) pada saliva yang berfungsi untuk memecah pati
menjadi maltose, maltotriose, dan dextrins. Enzim ini dianggap sebagai
indikator yang baik untuk menilai fungsi kelenjar saliva. Sebagian besar
(80%) komponen dari enzim ptialin ini disintesis oleh kelenjar parotis dan
sisanya oleh kelenjar submandibularis.
7. Perbaikan jaringan
Berfungsi sebagai perbaikan jaringan, kaitannya dengan saliva adalah waktu
perdarahan pada jaringan rongga mulut yang berlangsung lebih singkat
dibandingkan jaringan lain. Suatu ekperimen menujukkan ketika saliva
dicampurkan dengan darah, waktu koagulasinya menjadi lebih cepat
(meskipun hasil bekuannya kurang padat dari yang normalnya).
8. Sifat antibakteri
Saliva mengandung komponen protein imunologik dan non-imunologik yang
mempunyai sifat antibakteri. IgA merupakan komponen protein imunologik
10
terbesar pada saliva, yang dapat menetralisir virus, bakteri, dan enzim toksin.
IgA berperan sebagai antibodi yang berikatan dengan antigen bakteri sehingga
mencegah penempelan pada rongga mulut. Komponen imunologik lainnya
antara lain IgM, IgG dalam jumlah yang kecil dan mungkin berasal dari cairan
gingiva. Sedangkan komponen protein non-imulogik yang terkandung pada
saliva terdiri dari enzim lisozim, laktoferin, dan staterin, peroksidase, mucin
glycoproteins, agglutinins, histatins, proline-rich proteins, dan cystatins.
Gambar 2.2. Hubungan antara fungsi saliva dengan berbagai unsur saliva
(Sumber: http://intranet.tdmu.edu.ua/)
2.1.1.5 Sekresi Saliva
Dalam keadaan sehat, sekresi saliva terjadi melalui dua tahap. Sel asinus
menyekresikan sekresi primer yang tidak jauh berbeda dengan cairan
ekstraseluler. Saat sekresi primer ini mengalir pada duktus asinar, dimana terjadi
pengkondisian, beberapa zat secara aktif akan direabsorpsi seperti ion natrium
sedangkan beberapa zat lain secara aktif akan disekresi seperti ion kalium dan
bikarbonat. Selama salivasi maksimal, konsentrasi zat pada saliva berubah karena
kecepatan pembentukan sekresi primer oleh sel kelenjar asinus. Sekresi asinar ini
kemudian akan mengalir melalui duktus asinar dengan cepat sehingga
diperkirakan pembaruan pada sekresi duktus menurun.19
Kelenjar saliva terdiri atas dua kelenjar sekresi utama, yaitu sel serous dan
sel mucous. Terdapat perbedaan strukur secara histologi dengan menggunakaan
mikroskop elektron pada sel serous dan sel mucous, dan tipe dari komponen
makromolekul yang dihasilkan. Sel serous umumnya menghasilkan protein dan
11
glikoprotein, enzim, zat antimikroba, dan lainnya. Sedangkan sel mucous produk
utamanya adalah mucin. Saat kondisi istirahat, aliran saliva berkisar 0.5 mL/menit
atau dikenal sebagai laju basal spontan terus-menerus, hingga laju aliran
maksimalnya sekitar 5 mL/menit sebagai respon terhadap rangsangan kuat.
Sekresi basal ini penting untuk menjaga mulut dan tenggorokan selalu basah.21,22
Selain itu, sekresi saliva dapat ditingkatkan oleh dua jenis refleks saliva,
yaitu refleks saliva sederhana dan terkondisi. Refleks saliva sederhana terjadi
ketika kemoreseptor dan reseptor tekan di dalam rongga mulut berespons terhadap
keberadaan makanan. Reseptor ini akan menghasilkan impuls serat-serat saraf
aferen yang membawa informasi ke pusat saliva di medula batang otak.
Selanjutnya pusat saliva akan mengirim impuls melalui saraf otonom ekstrinsik ke
kelenjar saliva untuk meningkatkan sekresi saliva. Sedangkan refleks saliva
terkondisi atau didapat terjadi tanpa stimulasi oral. Dengan berpikir, melihat,
mencium, atau mendengar pembuatan makanan yang enak akan memicu salivasi
melalui refleks ini. Ini adalah respon yang dipelajari berdasarkan pengalaman
sebelumnya. Sinyal berasal dari luar mulut dan secara mental dikaitkan dengan
kenikmatan makan bekerja melalui korteks serebri untuk merangsang pusat saliva
di medulla batang otak.22
Pusat saliva mengatur derajat pengeluaran liur melalui saraf otonom yang
menyarafi kelenjar saliva. Di kelenjar saliva, respons simpatis dan parasimpatis
tidak antagonistik. Baik simpatis maupun parasimpatis meningkatkan sekresi
saliva tetapi jumlah, karakteristik, dan mekanismenya berbeda. Stimulasi simpatis
menghasilkan saliva dengan volume terbatas, kental, dan kaya mukus. Efeknya
pada kondisi dimana sistem simpatis lebih dominan mulut terasa lebih kering
daripada biasanya karena lebih sedikit saliva yang dihasilkan. Sebaliknya, pada
stimulasi parasimpatis yang memiliki efek dominan dalam sekresi saliva,
menghasilkan saliva yang segera keluar, encer, jumlahnya banyak, dan kaya
enzim. Sekresi saliva merupakan satu-satunya sekresi pencernaan yang seluruhnya
berada di bawah kontrol saraf.22
12
Gambar 2.3. Kontrol sekresi saliva
(Sumber: Sherwood, 2012)22
Kontrol sekresi saliva pada jalur saraf parasimpatis diatur oleh sinyal saraf
parasimpatis sepanjang nukleus salivatorius superior dan inferior yang ada di
batang otak.19
Adanya benda atau objek di dalam rongga mulut dapat menjalankan
refleks saliva dengan menstimulasi reseptor yang dimediasi oleh nervus trigeminal
(V) atau impuls pada lidah dimediasi oleh nervus kranial fasial (VII),
glosopharingeal (IX), dan vagal (X). Stimulasi parasimpatis akan mempercepat
sekresi saliva pada semua kelenjar, sehingga akan dihasilkan produk saliva dalam
jumlah yang banyak.17,23
Gambar 2.4. Pengaturan sekresi saliva melalui saraf parasimpatis
(Sumber: Guyton and Hall, 2011)19
2.1.1.6 Metode Pengumpulan Saliva
Beberapa metode yang sering digunakan dalam pengumpulan saliva untuk
menilai saliva secara keseluruhan adalah passive drool (draining), spitting,
suction and absorbent. Pemilihan metode pengumpulan saliva tergantung kepada
13
tujuan peneliti dan target umur dari subjek penelitian, misalnya pada beberapa
anak mungkin tidak sanggup dengan metode passive drool karena akan berpotensi
untuk tersedak, maka yang biasa digunakan adalah metode absorbent.24,25
1. Metode passive drool
Metode ini merupakan yang paling efektif dan telah diterima oleh banyak
peneliti pada hampir semua analisa untuk mengumpulkan saliva dengan
mengeluarkannya secara pasif ke dalam tabung penampung. Prinsip yang
sama juga terdapat pada metode draining.24,25
Gambar 2.5. Metode pengumpulan saliva passive drool
(Sumber: Saliva collection and handling advice, 2015)24
2. Metode spitting
Pada metode ini, subjek penelitian diminta untuk mengumpulkan saliva pada
dasar mulut kemudian subjek diminta meludahkannya ke dalam tabung
penampung setiap 60 detik.25
3. Metode suction
Dalam metode ini saliva diaspirasi secara terus-menerus dari dasar mulut ke
dalam tabung penampung dengan bantuan saliva ejector atau dengan
aspirator.25
4. Metode absorbent
Metode pengumpulan saliva dengan cara mengumpulkan saliva dengan swab,
cotton role, atau gauze sponge. Kemudian diletakkan dalam tabung dan
diputar dengan gerakan sentrifugal.25
Metode pengumpulan yang digunakan pada penelitian ini adalah jenis
metode spitting, dimana subjek penelitian diinstruksikan untuk mengumpulkan
salivanya ke dalam tabung penampung melalui corong setiap 60 detik selama 5
14
kali. Subjek penelitian juga diinstruksikan untuk tidak mengkonsumsi makanan
dan minuman (kecuali air putih) sebelum atau saat pengambilan saliva dari subjek
perokok dan non-perokok.
2.1.2 Ion Kalsium dalam Saliva
Kalsium merupakan komponen terbesar yang terdapat tulang dan gigi pada
makhluk hidup bertulang belakang. Tidak heran jika terjadi gangguan pada
metabolisme kalsium akan menyebabkan sebagian besar penyakit kronis
diantaranya osteoporosis, penyakit ginjal, obesitas, penyakit jantung, dan
hipertensi. Ion kalsium pada saliva berperan penting dalam proses demineralisasi
dan remineralisasi enamel, juga pada pembentukan karang gigi. Kalsium
memproteksi gigi secara tidak langsung dengan cara menguatkan tulang rahang,
menguatkan pertautan gigi dan tulang, mencegah terjadinya celah dimana bakteri
dapat invasi ke dalam gigi, mencegah terjadinya inflamasi dan perdarahan.
Konsumsi kalsium yang cukup penting untuk pertumbuhan struktur gigi yang
baik.12,26
Ion kalsium merupakan salah satu kandungan anorganik saliva dengan
konsentrasi cukup tinggi selain ion natrium dan kalium. Konsentrasi ion kalsium
pada saliva dari kelenjar submandibularis, yaitu 3,7 mmol/L, lebih tinggi jika
dibandingkan dengan kalsium plasma, yaitu 2,5 mmol/L.26
Dalam keadaan tidak
terstimulasi, kadar normal ion kalsium pada saliva adalah 4-6 mg/dl (1-1,5
mmol/L).9 Konsentrasi kalsium dalam saliva sangat bervariasi tergantung pada
salivary flow, dan tidak dipengaruhi oleh diet. Pertambahan dari aliran saliva akan
meningkatkan nilai pH dan konsentrasi kalsium pada saliva, juga akan
menyebabkan pertambahan kalsium fosfat. Sehingga dengan meningkatnya
konsentrasi kalsium menyebabkan terjadinya mineralisasi plak.6,7
Kadar ion kalsium dalam saliva dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara
lain:7,12,27
1. Salivary flow merupakan faktor penting terhadap kadar komponen saliva,
temasuk kalsium. Konsentrasi kalsium akan meningkat ketika salivary flow
meningkat.
15
2. Jenis kelenjar. Sekresi kalsium terbesar dihasilkan oleh kelenjar
submandibularis.
3. Ritme bilogis. Kadar ion kalsium akan menurun pada dini hari atau pagi hari.
4. Stimulus. Dalam keadaan terstimulasi, sebagian besar whole saliva berasal
dari kelenjar parotis, sedangkan dalam keadaan tidak terstimulasi berasal dari
kelenjar submandibularis.
5. Penyakit seperti cystic fibrosis dan diabetes mellitus dapat meningkatkan
kadar kalsium.
6. Obat-obatan seperti pilokarpin menyebabkan peningkatan kadar kalsium.
Terdapat peningkatan konsentrasi kalsium pada saliva seorang perokok
selama proses merokok. Kalsium pada saliva dengan mudah akan diambil oleh
plak karena afinitasnya, yang tidak hanya menjadi faktor utama berkaitan dengan
timbulnya penyakit periodontitis, tetapi juga secara signifikan berkaitan dengan
kesehatan gigi. Kandungan anorganik pada plak adalah kalsium, fosfat, dan
mineral lain. Jika kandungan mineralnya meningkat, timbunan plak akan
terkalsifikasi membentuk kalkulus. Kalsium adalah ion yang dapat menjadi
penanda (marker) potensial untuk penyakit periodontal dalam saliva.28
Sah N et
al. tahun 2012 menyatakan bahwa terdapat hubungan yang jelas dan signifikan
antara tingginya kadar kalsium pada saliva dengan penyakit periodontitis. Hasil
yang sama juga dinyatakan oleh Sewon et al. tahun 1990 seperti yang dikutip Sah
N et al. dengan opini bahwa subjek yang terkena periodontitis memiliki
kemungkinan remineralisasi lebih tinggi daripada subjek tanpa periodontitis.11
Begitu juga menurut Varghese et al. tahun 2015, kadar kalsium saliva yang tinggi
membuat plak lebih cepat mengeras, yang secara tidak langsung mempengaruhi
derajat kesehatan gigi dan mulut.10
2.1.3 Tembakau dan Rokok
2.1.3.1 Tembakau
Tembakau menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
tumbuhan berdaun lebar, daunnya diracik halus dan dikeringkan untuk bahan
16
rokok, cerutu, dan sebagainya.29
Berbeda dari tanaman lain, tanaman tembakau
dimanfaatkan terutama untuk dirokok. Asap yang dihasilkan dari tanaman
tembakau diharapkan dapat memberikan kenikmatan bagi perokok. Tembakau
yang bermutu tinggi adalah aromanya harum, rasa isapnya enteng, dan
menyegarkan; dan tidak memiliki ciri-ciri negatif seperti rasa pahit, pedas,
menggigit. Kandungan kimia tembakau siap pakai dibagi menjadi 10 kelompok
(Tabel 2.4). Bahan kimia tersebut sebagian mempunyai korelasi positif terhadap
mutu rokok, khususnya rokok kretek. Tembakau mutu baik, umumnya
mengandung kadar nikotin tinggi, juga asam-asam lemak, minyak atsiri, dan
bahan organik lain yang berfungsi memberikan rasa dan aroma saat dibakar.30
Tabel 2.4. Kandungan kimia tembakau siap pakai
Golongan Kandungan (%) Dampak terhadap mutu
rokok
Selulose 7 - 16 +
Gula 0 - 22 +
Trigliserida 1 -
Protein 3,5 - 20 -
Nikotin 0,6 - 5,5 +
Pati 2 - 7 -
Abu (Ca, K) 9 - 25 +
Bahan organik 7 - 25 +/-
Lilin 2,5 - 8 +
Pektinat, polifenol, flavon,
karotenoid, minyak atsiri, paraffin,
sterin, dll
7-12 +/-
(Sumber: Tirtosastro, 2010)30
Setiap jenis tembakau mempunyai kandungan kimia yang berbeda untuk
menghasilkan karakter yang dikehendaki. Kandungan gula dan nikotin beberapa
tipe tembakau, yaitu:30
Tabel 2.5. Kandungan gula dan nikotin beberapa tipe tembakau
Jenis tembakau Gula total (%) Nikotin (%)
Virginia FC 12 - 25 1,5 - 3,5
Virginia rajangan 5 - 20 1,0 - 2,5
Temanggung 0,5 - 7 3,0 - 8,0
Madura 10 - 15 1,0 - 3,5
Weleri 1 - 11 1,0 - 3,0
Cerutu - 0,9 - 2,68
Lumajang VO 0,75 - 1,75 0,5 - 0,7 (Sumber: Tirtosastro, 2010)
30
17
2.1.3.2 Definisi Rokok
Rokok menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 109 Tahun
2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Aditif Berupa Produk
Tembakau Bagi Kesehatan adalah salah satu produk tembakau yang dimaksudkan
untuk dibakar dan dihisap dan/atau dihirup asapnya, termasuk rokok kretek, rokok
putih, cerutu atau bentuk lainnya yang lainnya yang dihasilkan dari tanaman
Nicotiana tabacum, Nicotiana rustica, dan spesies lainnya atau sintetisnya yang
asapnya mengandung nikotin dan tar, dengan atau tanpa bahan tambahan.31
2.1.3.3 Jenis Rokok
Saat ini terdapat beberapa jenis rokok yang beredar di Indonesia.
Berdasarkan bahan ramuan menurut Kementerian Perindustrian dan Perdagangan
RI tahun 2004:32
1. Rokok kretek, yaitu rokok khas Indonesia sebagai hasil olahan tembakau
rajangan dan/atau krosok dicampur cengkeh rajangan dan saos serta bahan
tambahan lainnya yang diizinkan dan dibungkus dengan menggunakan
berbagai bahan pembungkus.32
Rokok kretek dikenal dengan nama cigarettes
cengkeh, dengan kandungan cengkeh 40% dan tembakau 60%. Beberapa
kekhasan yang terdapat pada rokok cengkeh:33
a. Cengkeh menimbulkan aroma yang enak, sehingga menutupi faktor
bahaya dari tembakau
b. Kandungan zat eugenol pada cengkeh yang dapat mempengaruhi efek
sensori sehingga dapat membuat hisapan rokok lebih dalam lagi
2. Rokok putih, yaitu rokok dengan atau tanpa filter menggunakan tembakau
Virginias iris dan/atau tembakau lainnya tanpa menggunakan cengkeh,
digulung dengan kertas sigaret dan boleh menggunakan bahan tambahan yang
diizinkan.32
18
Sedangkan menurut Gondodiputro tahun 2007, jenis-jenis rokok antara lain:33
1. Cigarettes (sigaret)
Cigarettes merupakan sediaan tembakau yang banyak digunakan dan dapat
menimbulkan adiksi. Saat ini, banyak dikembangkan produk-produk yang
dikatakan aman, yaitu dengan menggunakan berbagai macam filter seperti
dengan nama light dan mild cigarettes. Namun produk tersebut saat ini belum
terbukti lebih aman.
2. Organic, natural, additive-free cigarettes
Sediaan rokok yang diklaim tidak mengandung bahan aditif seperti kertas
pembungkus rokok, lem perekat, dan filternya sehingga dinilai lebih aman
dibanding cigarettes yang modern. Namun hal ini belum terbukti karena
faktanya produk ini lebih banyak mengandung tar dan nikotin dibandingkan
dengan produk modern.
3. Roll-your-own (RYO) cigarettes atau rokok lintingan sendiri
Sediaan ini lebih murah dibandingkan dengan sediaan rokok modern.
Peningkatan penggunaan RYO cigarettes sebagian besar disebabkan oleh
budaya dan faktor finansial.
4. Small hand-rolled cigarettes (bidis)
Bidis berasal dari India dan beberapa negara di Asia Tenggara. Bidis
mengandung beberapa ratus milligram tembakau yang dibungkus dengan daun
atendu atau daun temburni (Diospyros melanoxylon). Dalam suatu studi
kohort didapatkan bahwa konsumen bidis menyebabkan kematian dan risiko
timbulnya penyakit lebih tinggi daripada konsumen cigarettes. Bidis dihisap
lebih intensif dibandingkan rokok biasa, sehingga terjadi peningkatan asupan
nikotin yang dapat menyebabkan efek kardiovaskuler. Disamping itu, inhalasi
tar bidis lebih tinggi 2-3 kali dibandingkan cigarettes.
5. Clove cigarettes (kretek)
Dikenal juga dengan nama cigarettes cengkeh, karena mengandung 40%
cengkeh dan 60% tembakau. Sediaan ini sangat khas dan terkenal di
Indonesia. Bahaya yang ditimbulkan hampir sama dengan bidis. Selain itu
cengkeh memiliki kekhasannya sendiri, yaitu menimbulkan aroma yang enak
19
sehingga menutup faktor bahaya tembakau, akibatnya kretek lebih dalam
dihisapnya daripada rokok biasa. Kandungan zat eugenol pada cengkeh yang
mempengaruhi efek sensori sehingga hisapan rokok lebih dalam lagi.
6. Cigar (cerutu)
Cerutu adalah gulungan tembakau yang dibungkus oleh daun tembakau yang
dapat diproduksi dengan mesin atau manual. Kandungan tembakaunya lebih
banyak dibandingkan cigarettes, seringkali cerutu hanya mengandung
tembakau saja. Risiko terjadinya kanker paru maupun penyakit lain yang
disebabkan merokok pada konsumen cerutu hampir sama dengan konsumen
cigarettes.
7. Pipes (pipa)
Asap yang dihasilkan oleh jenis rokok pipa bersifat lebih basa (alkaline)
dibandingkan asap cigarettes, sehingga perokok tidak perlu memerlukan
hisapan yang langsung untuk mendapatkan kadar nikotin yang tinggi dalam
tubuh.
8. Waterpipes
Sediaan ini terkenal digunakan di Asia Tenggara dan timur Tengah serta telah
digunakan berabad-abad dengan persepsi bahwa cara ini sangat aman.
Beberapa nama lokal yang sering digunakan hookah, bhang, narghile, shisha.
2.1.3.4 Kandungan Kimia Rokok
Kandungan rokok yang terhirup mengandung lebih dari 7.000 bahan
kimia, ratusan diantaranya bersifat toksik, dan sekitar tujuh puluhnya bisa
menyebabkan kanker.5 Secara umum, kandungan rokok dapat dibagi menjadi dua
golongan besar, yaitu kandungan gas (92%) dan kandungan padat atau partikel
(8%).
Komponen gas pada asap rokok terdiri dari karbonmonoksida,
karbondioksida, hidrogensianida, amoniak, oksida dari nitrogen dan senyawa
hidrokarbon. Sedangkan komponen partikel pada rokok terdiri dari tar, nikotin,
fenol, kadmium, benzopiren, indol, karbarzol, kresol, benzoantracene.34
20
Nikotin merupakan komponen yang paling banyak dijumpai di dalam
rokok yang bersifat toksik dan menimbulkan ketergantungan psikis. Nikotin
merupakan alkaloid alam yang berbentuk cairan, tidak berwarna, dan mudah
menguap. Zat ini dapat berubah warna menjadi cokelat dan berbau seperti
tembakau jika bersentuhan dengan udara. Nikotin berperan dalam menghambat
perlekatan dan pertumbuhan sel fibroblas ligamen periodontal, menurunkan isi
protein fibroblast, serta dapat merusak sel membran. Gas karbonmonoksida (CO)
memiliki afinitas dengan hemoglobin sekitar dua ratus kali lebih kuat
dibandingkan afinitas oksigen terhadap hemoglobin. Sehingga menyebabkan
kekurangan pasokan oksigen ke dalam jaringan tubuh dan dapat meningkatkan
tekanan darah.34
Tar adalah kumpulan dari beribu-ribu bahan kimia dalam komponen padat
atau partikel asap rokok dan bersifat karsinogenik. Pada saat dihisap, tar masuk ke
dalam rongga mulut sebagai uap padat yang setelah dingin akan menjadi padat
dan membentuk endapan berwarna cokelat pada permukaan gigi, saluran napas,
dan paru-paru. Komponen tar mengandung radikal bebas, yang berhubungan
dengan risiko timbulnya kanker. Kandungan tar pada rokok yang mengendap pada
gigi akan menyebabkan permukaan gigi menjadi kasar, sehingga mudah dilekati
plak. Akumulasi plak pada margini gingiva, diperparah dengan kondisi kebersihan
mulut yang kurang baik, menyebabkan terjadinya gingivitis.34
Selain nikotin, di dalam rokok juga terdapat senyawa gula, bahan adiktif,
saus, pemberi rasa, dan lain-lain sehingga terbentuk rasa yang memenuhi selera
konsumen. Satu batang rokok terdiri atas berbagai jenis tembakau agar rasa dan
aroma yang diperoleh mempunyai kekhasan tersendiri. Bahan tambahan untuk
rasa dan aroma yang lain yang berasal dari luar tembakau antara lain cengkeh dan
mentol.30
Merokok pada dasarnya adalah menikmati asap nikotin yang dibakar.
Merokok tanpa nikotin, meskipun belum dibuktikan, nampaknya tidak akan
terjadi. Apabila tujuannya adalah untuk menekan bahan berbahaya bagi kesehatan,
menghilangkan nikotin belum menyelesaikan masalah secara keseluruhan. Tar,
gas CO, tobacco specific-nitrosamine (TSNA), benzo-a-pyrene (B-a-P), residu
21
pestisida, dan lain-lain yang terkandung dalam asap rokok tidak kalah
berbahayanya dibanding nikotin.30
2.1.3.5 Tahapan Perilaku Merokok
Dalam perkembangannya, terdapat beberapa tahapan pada perilaku
merokok menurut Leventhal dan Cleary tahun 1980 dalam Mowery et al. antara
lain:35
1. Tahap preparation, tahap dimana seseorang yang bukan perokok mulai
mengembangkan pandangan terhadap dirinya menjadi seorang perokok dan
membentuk opini dan kepercayaaan akan nikmatnya merokok.
2. Tahap initiation, merupakan tahapan percobaan pertama kalinya merokok.
3. Tahap becoming a smoker, pada tahap ini terjadi peningkatan yang bertahap
dalam frekuensi merokok, serta peningkatan rutinitas merokok pada berbagai
situasi. Apabila seseorang telah merokok empat batang per hari mempunyai
kecenderungan untuk menjadi perokok.
4. Tahap maintenance of smoking, pada tahap ini kebiasaan merokok merupakan
salah satu bagian dari self-regulation dalam berbagai situasi dan ditujukan
untuk mecari kesenangan, relaksasi, dan mengurangi rasa kegelisahan.
2.1.3.6 Definisi dan Klasifikasi Perokok
Doll dan Hill tahun 1950 mendefinisikan perokok adalah seseorang yang
merokok setiap hari setidaknya satu tahun.36
Sedangkan menurut WHO tahun
1998, perokok adalah seseorang yang pada saat dilakukan survey merokok apapun
jenis apapun dari produk tembakau baik setiap hari maupun kadang-kadang.
Klasifikasi perokok menurut WHO seperti yang dikutip Weitkunat et al. sebagai
berikut:37
1. Perokok harian (daily smoker), yaitu seseorang yang merokok apapun jenis
produk tembakau setidaknya sekali dalam sehari (dengan pengecualian bahwa
orang yang merokok setiap hari, tetapi tidak merokok pada hari berpuasa,
masih tergolong kelompok perokok harian).
22
2. Perokok sesekali (occasional smoker), yaitu seseorang yang merokok tetapi
tidak setiap hari. Occasional smoker ini mencakup:
a. Reducers, yaitu seseorang yang dulunya merokok setiap hari, namun saat
ini tidak lagi setiap hari
b. Continuing occasional, yaitu seseorang yang tidak pernah merokok setiap
hari, saat ini merokok sesekali dan telah merokok lebih dari 100 rokok
c. Experimenters, yaitu seseorang yang merokok dengan jumlah kurang dari
100 rokok dan saat ini merokok sesekali
Non-perokok menurut WHO tahun 1998 adalah seseorang yang pada saat
dilakukan survey tidak merokok sama sekali. Klasifikasi non-perokok menurut
WHO sebagai berikut:37
1. Ex-smokers, yaitu seseorang yang dulunya merokok setiap hari, namun saat ini
tidak merokok sama sekali.
2. Never-smokers, yaitu seseorang yang tidak pernah merokok sama sekali atau
tidak pernah merokok setiap hari dan sudah merokok kurang dari 100 rokok
semasa hidupnya.
3. Ex-occasional smokers, yaitu seseorang yang dulu pernah merokok sesekali
tapi tidak setiap hari, dan sudah merokok lebih dari 100 rokok semasa
hidupnya.
Menurut Sitepoe tahun 2000, perokok dapat dikategorikan berdasarkan
jumlah rokok yang dikonsumsi (dalam batang) per hari, yaitu:38
1. Perokok ringan, yaitu seseorang yang mengkonsumsi rokok antara 1-10
batang per hari.
2. Perokok sedang, yaitu seseorang yang mengkonsumsi rokok antara 11-20
batang per hari.
3. Perokok berat, yaitu seseorang yang mengkonsumsi rokok lebih dari 20 batang
per hari.
23
IB = Jumlah batang rokok yang dihisap sehari x Lama merokok (tahun)
𝑃𝑎𝑐𝑘 − 𝑦𝑒𝑎𝑟𝑠 𝑜𝑓 𝑠𝑚𝑜𝑘𝑖𝑛𝑔 = Jumlah batang rokok yang dihisap per hari
20x Lama merokok (tahun)
Berdasarkan indeks merokok, perokok dapat diklasifikasikan untuk
menentukan derajat berat-ringannya merokok. Terdapat beberapa metode untuk
menghitung indeks merokok, namun yang sering digunakan secara luas adalah
indeks Brinkman (IB), berdasarkan jumlah batang rokok yang dihisap sehari dan
lama merokok dalam tahun.39
Penggolongannya berdasarkan indeks Brinkman adalah:39
0-200 : perokok ringan
201-600 : perokok sedang
>600 : perokok berat
Selain itu dikenal pula pengukuran derajat berat-ringannya merokok yang
lain, yaitu dalam pack-years of smoking, berdasarkan jumlah bungkus rokok yang
dikonsumsi per hari dan lama merokok dalam tahun. Dengan asumsi satu bungkus
rokok terdiri dari 20 batang rokok, 1 cigarettes pack-years artinya seseorang
sudah merokok 1 bungkus rokok selama setahun.40
Penggolongannya berdasarkan pack-years of smoking adalah:41
0.0 : never smokers
0.1 – 20.0 : light smokers
20.1 – 40.0 : moderate smokers
>40 : heavy smokers
2.1.3.7 Prevalensi Perokok di Indonesia
Berdasarkan data beberapa hasil survei terhadap rokok di Indonesia,
seperti RISKESDAS, (Global Youth Tobacco Survey) GYTS, dan (Global Adult
Tobacco Survey) GATS menggambarkan bahwa besarnya masalah rokok dan
dampaknya terhadap kesehatan masyarakat Indonesia. Hasil survei tersebut adalah
sebagai berikut:
24
1. RISKESDAS
RISKESDAS merupakan riset berbasis komunitas berkala setiap 3 tahun sejak
tahun 2007, mengumpulkan data dasar dan indikator kesehatan yang
mempresentasikan gambaran wilayah nasional, propinsi, kota/kabupaten di
Indonesia. RISKESDAS yang terakhir dilakukan pada tahun 2013.
Berdasarkan hasil data survei RISKESDAS terhadap prevalensi perokok
berusia ≥15 tahun di Indonesia cenderung terjadi peningkatan pada
RISKESDAS tahun 2007 (34,2%), RISKESDAS 2010 (34,7%), dan
RISKESDAS 2013 (36,3%). Prevalensi perokok laki-laki lebih tinggi (64,9%)
dibandingkan perempuan (2,1%). Proporsi tertinggi pada tahun 2013 adalah
Nusa Tenggara Timur (55,6%). Rata-rata jumlah batang rokok yang dihisap
per hari per orang di Indonesia adalah 12,3 batang (setara dengan 1 bungkus).2
2. GATS
GATS merupakan suvei rumah tangga nasional, termasuk Indonesia, yang
representatif dari orang dewasa laki-laki dan perempuan, berusia 15 tahun atau
lebih tentang penggunaan tembakau, nantinya hasil dari masing-masing negara
dapat diabndingkan dengan negara lain. GATS di Indonesia yang terakhir
dilakukan adalah pada tahun 2011. Berdasarkan hasil data survei GATS 2011
memperlihatkan bahwa 38,4% dari populasi penduduk berusia ≥15 tahun
merupakan perokok aktif dengan prevalensi perokok laki-laki lebih tinggi
(67%) dibandingkan dengan perempuan (2,7%). Rerata jumlah uang yang
dihabiskan untuk mengkonsumsi 20 batang rokok kretek adalah Rp 12.719.3
3. GYTS
GYTS merupakan survei berbasis sekolah untuk masalah merokok pada anak
sekolah usia 13-15 tahun dan masyarakat sekolah yang telah dilakukan di
beberapa negara termasuk di Indonesia. GYTS terakhir dilakukan di Indonesia
pada tahun 2009. Berdasarkan hasil data survei GYTS 2009, prevalensi
merokok pada anak sekolah usia 13-15 tahun menunjukkan bahwa 30,4% anak
sekolah pernah merokok dan prevalensi laki-laki lebih tinggi (57,8%)
dibandingkan dengan perempuan (6,4%). 20,3% anak sekolah usia 13-15
25
tahun adalah perokok aktif dengan prevalensi laki-laki lebih tinggi (41%)
dibandingkan perempuan (3,5%).42
2.1.4 Status Kesehatan Gigi dan Mulut
Kebersihan mulut merupakan faktor dasar bagi kesehatan mulut.
Kebersihan mulut yang buruk dapat menimbulkan penumpukan plak gigi, yang
kemudian dapat menyebabkan gingivitis, hingga akhirnya mengarah pada
penyakit periodontal. Untuk mengukur derajat kesehatan gigi dan mulut, terdapat
beberapa indeks yang dinilai berdasarkan hasil pemeriksaan fisik gigi dan mulut.
Oral Hygiene Index Simplified (OHI-S) adalah nilai yang menunjukkan status
kebersihan seseorang secara klinis. OHI-S terdiri dari beberapa kategori yang
dinilai, antara lain adalah Debris Index (DI) dan Calculus Index (CI) yang
menunjukkan status ketebalan debris dan karang gigi pada permukaan gigi.
Plaque Index (PI) menunjukkan status ketebalan plak pada permukaan gigi. Perlu
dibedakan dengan debris, dental plaque diartikan sebagai endapan lunak yang
melekat pada permukaan gigi, terdiri dari flora yang bercampur bakteri, terkadang
sel epitel yang terlepas (desquamated), dan leukosit polimorfonuklear (PMN)
yang bermigrasi. Gingival Index (GI) digunakan untuk menunjukkan status
keparahan gingivitis pada gusi seseorang dengan melihat dari warna, konsistensi,
dan kecenderungan untuk gusi berdarah.43,44
Permukaan gigi yang diperiksa untuk menilai OHI-S adalah 6 permukaan
gigi, yaitu 4 permukaan gigi bagian posterior, 2 permukaan gigi bagian anterior.
Permukaan gigi bagian posterior yang diperiksa adalah molar pertama atau molar
kedua, yaitu bagian atas pada sisi bukal, dan bagian bawah pada sisi lingual.
Sedangkan permukaan gigi bagian anterior yang diperiksa adalah permukaan
labial dari incisivus satu kanan atas dan incisivus satu kiri bawah. Jika kedua gigi
bagian anterior tidak ada atau hilang, maka dapat dilihat dari gigi incisivus satu
pada sisi yang berlawanan dari garis tengah (midline).44
26
Tabel 2.6. Kriteria Pemeriksaan Debris Index (DI).43,44
Skor Kriteria
0 Tidak ada debris atau stain
1 Debris lunak yang menutupi tidak lebih dari 1/3 permukaan gigi atau
adanya stain ekstrinsik tanpa adanya debris pada permukaan gigi
tersebut
2 Debris lunak yang menutupi lebih dari 1/3 permukaan gigi namun
tidak lebih dari 2/3 permukaan gigi
3 Debris lunak yang menutupi lebih dari 2/3 permukaan gigi
Menghitung Debris Index (DI)
Tabel 2.7 Kriteria Pemeriksaan Calculus Index (CI)43,44
Skor Kriteria
0 Tidak ada kalkulus
1 Kalkulus supragingiva menutupi tidak lebih dari 1/3 permukaan gigi
2 Kalkulus supragingiva menutupi lebih dari 1/3 permukaan gigi namun
tidak lebih dari 2/3 permukaan gigi dan/atau terdapat sedikit/bercak
kalkulus subgingiva di servikal gigi
3 Kalkulus supragingiva menutupi lebih dari 2/3 permukaan gigi
dan/atau kalkulus subgingiva yang menutupi atau melingkari
permukaan servikal gigi
Menghitung Calculus Index (CI)
Kriteria Penilaian DI dan CI:43,44
0,0 – 0,6 : baik
0,7 – 1,8 : sedang
1,9 – 3,0 : buruk
27
Tabel 2.8 Kriteria Pemeriksaan Gingival Index (GI)44,45
Skor Kriteria
0 Gingiva normal
1 Inflamasi ringan, sedikit perubahan warna, sedikit edema, tidak ada
perdarahan saat penyondean (probing)
2 Inflamasi sedang, kemerahan, edema & licin mengkilat, perdarahan
saat penyondean (probing)
3 Inflamasi berat, kemerahan & edema yang jelas, ulserasi.
Kecendrungan untuk perdarahan spontan
Menghitung Gingival Index(GI)
Kriteria Penilaian GI:44,45
0 : sehat
0,1 – 1,0 : gingivitis ringan
1,1 – 2,0 : gingivitis sedang
2,1 – 3,0 : gingivitis berat
Menghitung OHI-S:
Kriteria Penilaian OHI-S:43,44
0 : sangat baik
0,1 – 1,2 : baik
1,3 – 3,0 : sedang
3,1 – 6,0 : buruk
2.1.5 Efek Merokok Tembakau terhadap Saliva
Penggunaan produk tembakau secara tradisional antara lain dengan cara
merokok, menghisap, menghirup, mengunyah, dan mencelupkannya. Pada abad
ke-18 telah ditemukan bahwa merokok meningkatkan aktivitas dari kelenjar
saliva. Setelah merokok, untuk sementara terjadi peningkatan kandungan kalsium,
kalium, dan fosfat pada saliva. Pada pemakai produk tembakau jangka panjang,
28
reseptor pengecap, yang merupakan lokasi utama untuk stimulasi produksi saliva,
dimana selalu terekspos dalam waktu yang lama diduga mempengaruhi terhadap
refleks saliva.12
Kolte et al. membandingkan efek merokok terhadap komposisi saliva dan
status periodontal, menyimpulkan bahwa perokok dengan periodontitis terjadi
penurunan signifikan kadar protein total, kalsium, magnesium, dan fosfat
dibandingkan non-perokok dengan periodontitis. Sejalan dengan itu Mac Gregor
et al. pada tahun 1986 seperti yang dikutip Kolte et al. dalam studinya melaporkan
bahwa semakin besar kadar plak dan pembentukan kalkulus terjadi peningkatan
konsentrasi kalsium dan peningkatan rasio kalsium fosfat di dalam plak.46
Efek panas yang ditimbulkan dari pembakaran rokok dapat mengiritasi
mukosa mulut secara langsung, menyebabkan perubahan vaskularisasi dan sekresi
dari kelenjar saliva. Terdapat peningkatan laju aliran saliva serta konsentrasi ion
kalsium selama proses merokok.
Selain itu merokok dapat menyebabkan
penurunan fungi imun saliva, yaitu penurunan fungsi sel PMN, penurunan
antibodi dalam saliva (IgA, IgG), dan penurunan rasio CD4+/CD8 pada komposisi
cairan saliva sehingga terjadi gangguan fungsi sel-sel pertahanan tubuh yang
berguna untuk menetrasilir bakteri dalam rongga mulut. Selama merokok terjadi
peningkatan aktivitas dari enzim metaloproteinase (MMPs), sitokin proinflamasi
dan mediator inflamasi seperti interleukin-1 (IL-1), prostaglandin (PGE2), tumour
necrosis factor-alpha (TNF-α), yang mengakibatkan destruksi pada matriks
ekstraseluler.34
Radikal bebas yang terkandung dalam asap rokok seperti reactive oxygen
spesies (ROS) dapat mengaktifkan transkripsi nuclear factor-kappa B (NF-κB)
yang mengaktifkan gen untuk TNF- dan IL-8 sebagai kemoatraktan neutrofil.
ROS juga menurunkan kemampuan antioksidan saliva. Nikotin berefek terhadap
kemoatraktan langsung terhadap neutrofil. Neutrofil yang berkumpul akan aktif
dan melepaskan granul yang kaya akan protease sel (elastase neutrofil, proteinase
3, dan katepsin G) sehingga terjadi kerusakan jaringan.47
29
2.1.6 Efek Merokok Tembakau terhadap Kesehatan Gigi dan Mulut
Merokok tidak hanya menimbulkan efek sistemik, tetapi juga dapat
menyebabkan timbulnya efek lokal, yaitu kondisi patologis pada rongga mulut.
Gigi dan jaringan lunak rongga mulut merupakan bagian yang dapat mengalami
kerusakan akibat rokok.6
Studi prospektif kohort oleh Dietrich et al. tahun 2007
dengan 43.112 individu profesional kesehatan laki-laki di Amerika dari tahun
1986-2002 menunjukkan bahwa terdapat hubungan dose-dependent antara
merokok dengan angka kejadian kehilangan gigi, dengan perokok berat
mempunyai 3 kali lebih tinggi kemungkinan kehilangan gigi dari pada non-
perokok.48
Begitu juga dengan perokok pasif, menurut penelitian Arbes et al.
tahun 2001 terhadap 6.611 orang non-perokok menemukan bahwa 11% diantara
individu yang terpapar environmental tobacco smoke di rumah atau di tempat
kerja memiliki risiko 1,5 kali lebih tinggi dibanding dengan individu yang tidak
terpapar. Meskipun peningkatan risikonya jauh lebih kecil jika dibandingkan
dengan peningkatan risiko terkait perokok aktif, yaitu 5 kali lebih besar.49
Merokok menunjukkan efek negatif terhadap penyembuhan luka di rongga
mulut setelah periodontal scaling, bedah periodontal, atau luka bekas
pencambutan. Dilaporkan bahwa meningkatnya frekuensi merokok dan merokok
pada saaat pembedahan secara signifikan dapat meningkatkan kejadian alveolar
ostitis atau dry socket. mekanisme gangguan penyembuhan mungkin berhubungan
dengan peningkatan kadar plasma adrenalin dan noradrenalin setelah merokok,
dan menyebabkan vasokonstriksi perifer serta kerusakan fungsi neutrofil
polimorfonuklear.50
Terdapat bukti bahwa rokok menekan aktivitas, mengurangi respon
kemotaksis, mobilitas, serta kemampuan fagosit dari sel PMN pada rongga mulut.
Aliran darah dan cairan sulkus gingiva berkurang, serta penurunan komponen
imun seluler dan humoral pada daerah gingival crevice. Menurut Mac Gregor
tahun 1984 seperti yang dikutip oleh Pejcic et al. mengukur proporsi plak pada 64
perokok dan 64 non-perokok berpasangan usia dan jenis kelaminnya. Pada kedua
jenis kelamin, terdapat perbedaan plak yang signifikan antara perokok dan non-
perokok, dan terdapat kecenderungan peningkatan deposit plak dengan
peningkatan konsumsi rokok.28
30
Merokok
Pertahanan tubuh host
Kerusakan matriks ekstraseluler dan
alveolar bone loss Gangguan penyembuhan luka
Perubahan pada jaringan ikat dan
pembuluh darah
↓Suplai oksigen dan nutrisi
↓Sintesis kolagen
↓Fungsi PMN
↓Rasio CD4+/CD8
↓Ig A, IgG saliva
↑ Sitokin proinflamasi, mediator inflamasi IL-1,
TNF-α, PGE2
↑Matriks metalloproteinase (MMPs)
Penyakit periodontal semakin parah dan respon
terapi yang buruk
Merokok dapat menyebabkan penurunan potensi oksidasi-reduksi (Eh) dan
dapat menyebabkan peningkatan plak bakteri yang anaerob. Terdapat peningkatan
yang signifikan pada proporsi bakteri Gram positif terhadap bakteri Gram negatif
hari ke-3 awal pembentukan plak pada perokok dibanding non-perokok.28
Gambar 2.9. Efek merokok pada jaringan periodontal
(Sumber: Kusuma ARP, 2011)34
31
2.2 Kerangka Teori
Perokok
Kandungan
pada rokok dan
asap merokok
Kandungan
pada rokok Kandungan pada
asap rokok
Efek panas Radikal bebas
Kerusakan lokal
pada dinding
mukosa mulut
Nuclear faktor
kappa B aktif
Gen untuk TNF
dan IL-8 aktif
Kemoatraktan
neutrofil
Mempengaruhi
vaskularisasi di
sekitar rongga mulut
Mengandung banyak reactive oxygen
species (ROS)
↓ Kemampuan
antioksidan
saliva
Zat
karsinogeni Nikotin
↓ Sel PMN ↓ Antibodi (IgA, IgG) ↓ Rasio CD4+/CD8
↓ Fungsi
imun saliva
Pelepasan granul
neutrofil
Efek kemoatraktan
neutrofil
Neutrofil
aktif
Kerusakan sel
dan jaringan
kelenjar saliva
Elastase neutrofil,
proteinase 3,
katepsin G
Iritasi dan
inflamasi
kelenjar saliva
↑ Ambilan kalsium
dari deposit pada
gigi (demineralisasi)
↑ Kadar kalsium
saliva
↑ Insidensi
kalkulus
supragingival
Membuat plak
lebih cepat
mengeras
Menjadi marker
pada penyakit
periodontal
↓ Derajat kesehatan
gigi dan mulut
Kondisi
stress Respon
simpatis >
parasimpatis ↓ Produksi
saliva
Konsumsi makanan
dan minuman yang
bersifat asam
Demineralisasi
pada gigi
Penyakit karies gigi
Zat asam oleh
mikroorganisme asidogenik
Lama rokok dan
jumlah batang
rokok sehari
Rongga mulut dan
saliva semakin
terpapar
Waktu pengambilan sampel, Penyakit cystic fibrosis, Kebiasaan menyirih, Konsumsi obat yang
mempengaruhi produksi saliva, Penyakit diabetes mellitus
32
2.3 Kerangka Konsep
Variabel bebas
Variabel yang diteliti
Variabel perancu
Perokok
Kandungan pada rokok
dan asap rokok
Kerusakan sel dan
jaringan kelenjar
saliva
Peningkatan kadar kalsium
saliva
Waktu pengambilan sampel,
Penyakit karies gigi / cystic fibrosis,
Kondisi stress,
Kebiasaan menyirih,
Konsumsi obat yang mempengaruhi produksi saliva,
Makan atau minum saat pengambilan sampel,
Penyakit diabetes mellitus
Risiko penyakit gigi &
mulut ↑
33
2.4 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Operasional Pengukur Alat
Ukur
Cara
Ukur
Skala
Ukur
1 Kalsium
saliva
Kadar komponen
kalsium pada saliva
dalam keadaan normal
(tidak distimulasi) yang
diukur dengan satuan
mmol/L dengan
LAQUAtwin Horiba.
Nilai normal kalsium
saliva adalah 1-1,5
mmol/L.
Peneliti Ca2+ meter
LAQUAtwin
Horiba
Sampel saliva
diambil
menggunakan
mikropipet
kemudian
diletakkan pada
alat pengukur
kalsium saliva
Numerik
2 Status
merokok
Kebiasaan merokok
seseorang. Dikatakan
merokok jika pada saat
pengambilan saliva
telah merokok aktif dan
memenuhi kriteria
inklusi penelitian.
Sedangkan tidak
merokok jika pada saat
pengambilan saliva
tidak merokok aktif
dan memenuhi krtiteria
inklusi penelitian.
Peneliti Kuesioner Pengisian
kuesioner dan
wawancara
Kategorik
3 Oral
Higiene
Index
Simplified
(OHI-S)
Indeks yang
menunjukkan angka
status kebersihan gigi
dan mulut seseorang
dinilai dari Debris dan
Calculus Index
Dokter gigi
pembimbing
Indeks OHI-
S
Pemeriksaan
fisik gigi dan
mulut
Numerik
4 Calculus
Index (CI)
Indeks yang
menunjukkn angka
ketebalan calculus atau
karang gigi pada
permukaan gigi
seseroang
Dokter gigi
pembimbing
Indeks CI Pemeriksaan
fisik gigi dan
mulut
Numerik
34
5 Debris
Index (DI)
Indeks yang
menunjukkan angka
ketebalan debris atau
sisa makanan pada
permukaan gigi
seseorang
Dokter gigi
pembimbing
Indeks DI Pemeriksaan
fisik gigi dan
mulut
Numerik
6 Gingival
Index (GI)
Indeks yang
menunjukkan angka
keparahan gingivitis
pada gusi seseorang
dengan melihat dari
warna, konsistensi, dan
kecendrungan untuk
gusi berdarah
Dokter gigi
pembimbing
Indeks GI Pemeriksaan
fisik gigi dan
mulut
Numerik
7 Derajat
merokok
Penentuan derajat
berat-ringannya
merokok berdasarkan
indeks Brinkman, yaitu
jumlah rokok yang
dihisap sehari dikalikan
dengan lama merokok
dalam tahun
Peneliti Kuesioner Pengisian
kuesioner dan
wawancara
Kategorik
8 Jenis rokok Jenis rokok
dikelompokkan
berdasarkan bahan
ramuan, yaitu rokok
kretek dan rokok non-
kretek
Peneliti Kuesioner Pengisian
kuesioner dan
wawancara
Kategorik
35
BAB 3
METODELOGI PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian analitik bivariat tidak berpasangan
dengan desain penelitian potong lintang (cross sectional).
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan selama bulan Februari-Juli 2015 dan untuk
pengukuran kadar kalsium saliva dilakukan di Laboratorium Medical Research
lantai 2 Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3.3 Kriteria Subjek Penelitian
3.3.1 Kriteria Inklusi
1. Laki-laki
2. Usia 20-55 tahun
3. Bersedia menandatangani lembar informed consent
4. Kriteria subjek perokok
Perokok aktif saat pengambilan sampel saliva
5. Kriteria subjek non-perokok
Tidak pernah merokok
Pernah merokok namun tidak merokok sejak 5 tahun yang lalu
3.3.2 Kriteria Eksklusi
1. Sedang berpuasa saat pengambilan sampel
2. Keadaan psikologi yang buruk misalnya gaduh, gelisah, agitasi
3. Memiliki riwayat penyakit sistemik yang berhubungan dengan kelenjar
saliva seperti diabetes mellitus, serta penyakit gigi dan mulut seperti
36
karies gigi
4. Mengkonsumsi alkohol dan NAPZA
5. Sedang meminum obat-obatan tergolong psikotropika dan
mengkonsumsi makanan ataupun minuman yang mempengaruhi kadar
kalsium saliva seperti cola atau sejenisnya, serta makanan dan
minuman yang bersifat asam.
3.4 Besar Sampel Penelitian
Besar sampel dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus
besar sampel penelitian analitik tidak berpasangan dengan variabel numerik,
yaitu:
Keterangan:
Zα = kesalahan tipe I sebesar 5% = 1,645
Zβ = kesalahan tipe II sebesar 20% = 0,842
(X1 – X2) = selisih minimal yang dianggap bermakna = 0,05
S = Sg = standar deviasi, diperolah dengan rumus:
Sg = standar deviasi gabungan
S1 = standar deviasi kelompok 1 pada penelitian sebelumnya
n1 = besar sampel kelompok 1 pada penelitian sebelumnya
S2 = standar deviasi kelompok 2 pada penelitian sebelumnya
n2 = besar sampel kelompok 2 pada penelitian sebelumnya
37
Hasil perhitungan berdasarkan data penelitian Khan GJ et al. tahun 2005:
(Sg)2 = [0,09
2 x (20-1) + 0,07
2 x (20-1)]
20+20-2
= 0,1539 + 0,0931
38
Sg = √0,0065
= 0,0806
Setelah dimasukkan ke dalam rumus:
N1 = N2 = 2 {(1,645 + 0,842) 0,0806}2
(0,05)2
= 2 (0,04181)
0,0025
= 33,448 (dibulatkan menjadi 33)
Berdasarkan perhitungan rumus besar sampel dari data penelitian Khan GJ
et al. tahun 2005, minimal besar sampel pada penelitian ini sebanyak 33 orang
untuk setiap kelompok. Pada penelitian ini terdapat 3 variabel yang
mempengaruhi kadar kalsium saliva yang tidak dapat dikontrol dengan criteria
eksklusi. Sehingga berdasarkan rule of ten, yaitu jumlah variabel yang
mempengaruhi kadar kalsium saliva yang tidak dapat dikontrol dengan kriteria
eksklusi dikalikan dengan 10, besar sampel yang dibutuhkan adalah 30 orang
untuk setiap kelompok.
Untuk menentukan besar sampel pada penelitian ini adalah dengan cara
membandingkan antara jumlah besar sampel berdasarkan rumus besar sampel
penelitian analitik dengan rule of ten, lalu diambil angka sampel terbesar. Oleh
karena itu, pada penelitian ini besar sampel yang dibutuhkan adalah 33 sampel
untuk setiap kelompok.
38
3.5 Alat dan Bahan Penelitian
3.5.1 Alat Penelitian
Alat penelitian yang digunakan antara lain tabung penampung; corong;
pipet mikrometer; tip; Ca2+
meter LAQUAtwin Horiba; tissue; stopwatch;
coolbox yang berisi es batu; senter; alat periksa gigi dan mulut.
3.5.2 Bahan Penelitian
Bahan penelitian yang digunakan antara lain saliva subjek perokok dan
non-perokok; dan aquades.
3.6 Cara Kerja Penelitian
Menentukan subjek penelitian yang sesuai dengan kriteria inklusi.
Mendapatkan informed concent berupa tanda tangan kepada subjek
penelitian, mengisi kuesioner serta memberikan penjelasan mengenai
prosedur pengambilan saliva kepada subjek penelitian.
Gambar 3.1. Penjelasan dan pengisian kuesioner penelitian
Melakukan pemeriksaan gigi dan mulut subjek penelitian yang dilakukan
oleh dokter gigi dan dibantu oleh penulis, untuk menilai status GI, CI, DI
yang selanjutnya dihitung skor OHI-S.
Gambar 3.2. Pemeriksaan gigi dan mulut subjek penelitian
39
Subjek penelitian diminta untuk membuang salivanya selama 5 menit
sesuai instruksi dan dikumpulkan pada tabung penampung melalui
corong. Ukur dan catat jumlah saliva yang sudah selesai dikumpulkan
selama 5 menit. Jika jumlahnya masih kurang dari 1,5 mL, maka subjek
penelitian diminta kembali untuk membuang salivanya tetapi tidak lagi
diwaktukan.
Sebelum digunakan untuk pengukuran, alat Ca2+ meter LAQUAtwin
Horiba terlebih dahulu dilakukan kalibrasi dengan cairan standar khusus.
Hidupkan alat dengan menekan tombol ON. Siapkan cairan standar, tekan
tombol CAL (calibration). Tunggu beberapa detik hingga muncul simbol
senyum pada layar dan sudah tidak berkedip lagi, lalu bilas dengan
aquades. Miringkan cairan bilasan ke tissue, dan jangan di lap. Alat siap
pakai untuk pengukuran kalsium saliva.
Gambar 3.3. Persiapan alat ukur kalsium saliva
Pasangkan tips pada ujung mikropipet, atur pengambilan sebanyak
100μL. Ambil sampel saliva lalu tetesi pada bagian tengah alat pengukur
terdapat sensor. Tutup dan tekan tombol MEAS (measurement). Tunggu
hingga simbol senyum pada layar tidak berkedip lagi. Catat hasil yang
tertera pada layar (dalam satuan ppm). Satuan kadar kalsium saliva yang
digunakan pada penelitian ini adalah mmol/L, sehingga perlu konversi
satuan dengan cara membaginya dengan massa atom dari ion kalsium,
yaitu 40,078.
Gambar 3.4. Pengukuran kalsium saliva
40
Pada penelitian ini, hampir semua sampel saliva dilakukan pengukuran
sebanyak satu kali (simplo). Tetapi pada beberapa sampel yang dicurigai
nilainya terlalu rendah atau sebaliknya, dilakukan pengukuran sebanyak
dua kali (diplo). Sampel saliva yang sudah terkumpul disimpan dalam
freezer pada suhu -20⁰C sampai dibutuhkan kembali untuk dianalisa. Jika
ingin menggunakannya, keluarkan dari freezer dan taruh pada suhu
ruangan hingga kira-kira satu jam dan pastikan tidak ada cairan saliva
yang mengendap pada tabung.
Gambar 3.5. Pengeluaran sampel saliva dari freezer untuk dianalisa
3.7 Alur Penelitian
41
3.8 Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
Varibel bebas/independen pada penelitian ini adalah kebiasaan merokok
dan kebiasaan tidak merokok
Varibel terikat/dependen pada penelitian ini adalah kadar kalsium saliva
Variabel perancu pada penelitian ini adalah subjek penelitian yang tidak
mempunyai kebiasaan merokok, namun terpapar asap rokok dengan
jangka waktu yang cukup lama (perokok pasif), diet atau mengkonsumsi
makanan atau minuman pada saat pengambilan sampel saliva dilakukan,
penyakit gigi seperti karies, cystic fibrosis, dan atau penyakit metabolik
seperti diabetes mellitus
3.9 Manajemen dan Analisis Data
Data hasil pengukuran kalsium saliva pada saliva subjek dan data dari
pengisian kuesioner yang telah didapatkan, dikumpulkan lalu dimasukkan ke
dalam komputer dalam bentuk tabel induk menggunakan aplikasi Microsoft Excel
2010, kemudian dianalisis menggunakan aplikasi SPSS v.22. Data yang diperoleh
dianalisa secara deskriptif untuk mengetahui rerata dan standar deviasi.
Normalitas distribusi data menggunakan uji Kolmogorov Smirnov, karena jumlah
sampel penelitian yang lebih dari 30.
Uji hipotesis untuk membandingkan kalsium saliva pada saliva laki-laki
perokok dan non-perokok menggunakan uji Unpaired t-test dan untuk data
dengan distribusi data tidak normal diuji dengan menggunakan uji Mann Whitney.
Jika dilihat nilai p<0,05, maka terdapat perbedaan yang signifikan kadar kalsium
saliva pada saliva laki-laki perokok dibandingkan dengan non-perokok.
42
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Karakteristik Subjek Penelitian
Karakteristik dari 86 subjek penelitian ini meliputi usia, pendidikan, dan
pekerjaan dapat dilihat pada tabel 4.1 dibawah ini.
Tabel 4.1. Karakteristik Subjek Penelitian (n=86)
Karakteristik Non-Perokok Perokok
Jumlah (n) Presentase (%) Jumlah (n) Presentase (%)
Usia
20-24 tahun 4 12,9 0 0
25-34 tahun 7 22,6 3 5,5
35-44 tahun 10 33,3 25 45,5
45-55 tahun 10 33,3 27 49,1
Rerata ± SD 37,1 ± 9.92 44(29-55)*
Pendidikan
Tidak sekolah
SD
SMP
SMA
S1
1
1
5
18
6
3,2
3,2
16,1
58,1
19,4
2
8
13
30
2
3,6
14,5
23,6
54,5
3,6
Pekerjaan
Pegawai
Wiraswasta
Buruh
15
10
6
48,4
32,3
19,4
12
22
21
21,8
40
38,2 *= median (minimum - maximum)
Hasil penelitian menunjukkan usia subjek penelitian berkisar antara 20
tahun sampai dengan 55 tahun. Berdasarkan hasil perhitungan statistik, nilai
median usia subjek perokok 44 tahun, sedangkan nilai rerata usia subjek non-
perokok adalah 37,1 tahun. Ditemukan sebanyak 27 (49,1%) orang subjek
perokok usia 45-55 tahun, pada subjek non-perokok terdapat kesamaan jumlah
pada dua kelompok usia 35-44 tahun dan 45-55 tahun masing-masing sebesar 10
(33,3%) orang. Berdasarkan tingkat pendidikan formal, subjek perokok terbanyak
berpendidikan terakhir SMA, yaitu sebesar 30 (54,5%) orang, begitu juga dengan
subjek non-perokok sebesar 18 (58,1%) orang. Subjek perokok terbanyak bekerja
sebagai wiraswasta, yaitu sebesar 22 (40%) orang, sedangkan 15 (48,4%) orang
subjek non-perokok bekerja sebagai pegawai.
43
4.1.2 Karakteristik Perokok Subjek Penelitian
Berdasarkan pengelompokan subjek perokok, untuk melihat jenis rokok,
jumlah batang rokok perhari, lama rokok, serta derajat merokok melalui
perhitungan indeks Brinkman dapat dilihat pada tabel 4.2 dibawah ini.
Tabel 4.2. Karakteristik Perokok Subjek Penelitian (n=55)
Karakteristik Perokok
Jumlah (n) Presentase (%)
Jenis Rokok
Kretek
Filter
Lainnya
16
38
1
29,1
69,1
1,8
Jumlah Rokok Perhari
<11 batang
11-20 batang
>20 batang
13
27
15
23,6
49,1
27,3
Rerata ± SD 12 (2-40)*
Lama Merokok
<6 tahun
6-10 tahun
>10 tahun
5
5
45
9,1
9,1
81,8
Rerata ± SD 21,78 ± 10,55
Derajat Merokok
Ringan
Sedang
Berat
21
21
13
38,2
38,2
23,6
Rerata ± SD 300 (6-1476)* *= median (minimum - maximum)
Pada penelitian ini didapatkan bahwa 38 (69,1%) orang perokok
mengkonsumsi rokok jenis filter. Hasil perhitungan statistik menunjukkan nilai
median jumlah rokok adalah 12 batang perhari, sedangkan rerata lama merokok
adalah 21,78 tahun. Sebagian besar perokok telah merokok lebih dari 10 tahun,
yaitu sebesar 45 (81,8%) orang dengan jumlah rokok 11-20 batang perhari
(49,1%). Berdasarkan indeks Brinkman, 21 (38,2%) orang adalah perokok dengan
derajat ringan dan derajat sedang.
44
4.1.3 Status Kesehatan Gigi dan Mulut Subjek Penelitian
Tabel 4.3. Status Kesehatan Gigi dan Mulut Subjek Penelitian
Karakteristik Perokok Non Perokok
p value n = 55 n = 31
Debris Index 1 (0,33-1,67)* 0,83 (0,17-1,5)* 0,083
0,048**
0,960
0,014**
Calculus Index 1,67 (0,83-2,83)* 1,67 (0,33-2,33)*
Gingival Index 1,17 (0,33-2,33)* 1,17 ± 0,50
OHI-S 2,64 ± 0,64 2,24 ± 0,80
* = median (minimum - maximum)
**= p value signifikan
Nilai rerata OHI-S pada perokok lebih tinggi (2,64) dibandingkan dengan
non-perokok (2,24). Hal ini menunjukkan bahwa status kebersihan mulut pada
perokok lebih buruk derajatnya dibandingkan dengan non-perokok. Nilai median
DI perokok (1,0) lebih tinggi dibandingkan dengan non-perokok (0,83) yang
menunjukkan bahwa status ketebalan debris pada permukaan gigi perokok lebih
tebal dibandingkan non-perokok. Median CI pada perokok didapatkan nilai yang
sama (1,67) jika dibandingkan dengan non-perokok, hal tersebut menunjukkan
karies pada permukaan gigi perokok sebanding dengan non-perokok. Berdasarkan
hasil perhitungan statistik, nilai median GI pada perokok adalah 1,17, sama
dengan nilai rerata GI pada non-perokok. Hal tersebut menunjukkan status
keparahan gingivitis pada gusi perokok sama dengan non-perokok. Pada
penelitian ini secara keseluruhan status kesehatan gigi dan mulut pada subjek
perokok lebih buruk dibandingkan subjek non-perokok jika ditinjau dari nilai
OHI-S dan CI yang lebih tinggi pada subjek perokok.
45
4.1.4 Hubungan Karakteristik Merokok dengan Kadar Kalsium Saliva
pada Subjek Penelitian
Tabel 4.4. Hubungan Karakteristik Merokok dengan Kadar Kalsium Saliva pada
Subjek Penelitian
Karakteristik Kalsium (mmol/L)
p value Mean ± SD
Kebiasaan Merokok
Perokok
Non-perokok
0,86 ± 0,25
0,55 ± 0,18
<0,001*
Jenis Rokok
Non-perokok
Kretek
Non-kretek
0,55 ± 0,18
0,92 ± 0,25
0,84 ± 0,25
<0,001**
Derajat Merokok
Non-perokok
Ringan
Sedang
Berat
0,55 ± 0,18
0,74 ± 0,25
0,86 ± 0,23
1,07 ± 0,14
<0,001***
*uji unpaired t-test, p <0,05
**uji Kruskal Wallis, p <0,05
***uji Jonckheere Terpstra, p <0,05
Hasil pengukuran kadar kalsium saliva didapatkan nilai rerata kalsium
saliva pada perokok lebih tinggi dibanding non-perokok, yaitu sebesar 0,86 ± 0,25
mmol/L dan 0,55 ± 0,18 mmol/L. Setelah dilakukan uji statistik berupa unpaired
t-test didapatkan hasil p value 0,000 (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan bermakna antara nilai rerata kadar kalsium saliva perokok
dibanding subjek non-perokok. Rerata kadar kalsium saliva pada subjek perokok
dengan jenis rokok kretek lebih tinggi (0,92 ± 0,25 mmol/L) dibandingkan dengan
perokok dengan jenis rokok non-kretek (0,84 ± 0,25 mmol/L) dan pada subjek
non-perokok (0,55 ± 0,18 mmol/L). Setelah dilakukan uji statistik Kruskal Wallis
diperoleh hasil bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dari ketiga kelompok
jenis rokok dengan kadar kalsium saliva (p value <0,001). Hasil uji statistik
lanjutan, yaitu uji Mann Whitney antara kelompok non-perokok dengan kretek;
non-perokok dengan non-kretek; dan kelompok kretek dengan non-kretek;
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kadar kalsium saliva yang signifikan
dengan p value 0,000 (p<0,05) pada kelompok non-perokok dengan non-kretek
dan kelompok non-perokok dengan kretek. Sedangkan pada kelompok kretek
dengan non-kretek tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p value 0,235).
46
Berdasarkan derajat berat-ringannya merokok, subjek dapat
dikelompokkan menjadi empat kelompok. Untuk melihat perbedaan rerata kadar
kalsium saliva pada masing-masiing kelompok dengan bantuan uji Jonckheere
Terpstra. Hasilnya adalah terdapat perbedaan yang signifikan dari keempat
kelompok tersebut (p value 0,000), dengan rerata pada kelompok berat lebih
tinggi (1,07 ± 0,14 mmol/L) dibandingkan dengan kelompok non-perokok (0,55
± 0,18), ringan (0,74 ± 0,25 mmol/L), dan sedang (0,86 ± 0,23 mmol/L). Hasil uji
statistik lanjutan, yaitu uji Mann Whitney antara kelompok non-perokok dengan
ringan; non-perokok dengan sedang; non-perokok dengan berat; ringan dengan
sedang; ringan dengan berat; dan sedang dengan berat; menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan kadar kalsium saliva yang signifikan pada semua kelompok,
kecuali pada kelompok ringan dengan sedang (p value 0,186). Dari hasil
penelitian ini didapatkan kadar kalsium saliva pada masing-masing kelompok
subjek penelitian berdasarkan derajat merokok dipengaruhi oleh karena faktor
besarnya dosis atau derajat (dose dependent), yaitu semakin semakin besar derajat
merokok sebanding dengan semakin tinggi rerata kadar kalsium saliva.
47
4.2 Pembahasan
Penelitian ini melibatkan 86 sampel yang terdiri dari, 55 orang laki-laki
perokok dengan rentang usia 25-55 tahun dan 31 orang laki-laki non perokok
dengan rentang usia 20-55 tahun. Usia subjek perokok terbanyak terdapat pada
kelompok usia 45-55 tahun, yaitu 27 orang (49,1%). Hal ini hampir bersesuaian
dengan data RISKESDAS pada tahun 2013 bahwa pada rentang 45-55 tahun
didapatkan prevalensi perokok sebesar 31,4% menempati urutan ketiga (2% lebih
rendah dibandingkan dengan prevalensi perokok tertinggi pada rentang usia 30-34
tahun). Berdasarkan tingkat pendidikannya, jumlah subjek perokok terbanyak
berpendidikan terakhir SMA, yaitu sebesar 30 orang (54,5%). Hal tersebut sesuai
dengan data RISKESDAS pada tahun 2013. Sedangkan jika dilihat dari status
pekerjaan, pada subjek perokok terbanyak bekerja sebagai wiraswasta, yaitu
sebesar 22 orang (40%). Sesuai dengan data RISKESDAS pada tahun 2013,
prevalensi perokok di Indonesia dengan jenis pekerjaan wiraswasta sebesar 39,8%
yang menempati urutan kedua. Hal ini mungkin disebabkan karena sebaran subjek
penelitian yang diambil sebagai sampel pada penelitian ini berada di wilayah
padat permukiman serta jauh dari lahan sawah dan laut, sehingga sangat jarang
ditemui subjek penelitian yang bekerja sebagai petani ataupun nelayan. Secara
keseluruhan karakteristik subjek pada penelitian ini tidak jauh berbeda dengan
data RISKESDAS tahun 2013.2
Sebagian besar subjek perokok pada penelitian ini merokok dengan jenis
rokok filter (69,1%). Hal ini bertolak belakang dengan data GATS Indonesia
tahun 2011 yang menyatakan bahwa prevalensi perokok laki-laki terbanyak
terdapat pada jenis rokok kretek, yaitu sebesar 80,4%. Tetapi pada daerah urban,
seperti pada lokasi penelitian ini dilakukan, rokok putih mempunyai prevalensi
lebih tinggi dibanding rokok kretek. Dari penelitian ini juga didapatkan bahwa
sebagian besar subjek perokok telah merokok lebih dari 10 tahun (81,8%) dengan
jumlah rokok 10-20 batang perhari (49,1%). Artinya adalah paparan zat toksin
yang terkandung dalam rokok telah cukup lama masuk ke dalam rongga mulut
perokok. Berdasarkan indeks Brinkman 38,2% perokok adalah perokok dengan
derajat ringan dan sedang masing-masing 21 orang, dan sisanya perokok berat
(23,6%).3
48
Rongga mulut merupakan bagian pertama yang terpapar oleh rokok yang
dapat menyebabkan terganggunya kesehatan gigi dan mulut. Hasil penelitian
didapatkan debris index dan derajat kesehatan mulut pada perokok lebih buruk
dibandingkan dengan non-perokok. Tetapi jika dilihat secara statistik, didapatkan
perbedaan yang signifkan pada skor CI perokok dan non-perokok (Mann Whitney
p=0,048). Hasil ini sesuai dengan penelitian Sreedevi M et al. dan Bergstrom J et
al. bahwa skor CI pada perokok secara bermakna lebih tinggi dibandingkan
dengan non-perokok. Kemungkinan bahwa merokok lebih mempengaruhi
terhadap laju mineralisasi daripada laju pembentukan plak supragingiva.51,52
Begitu juga dengan OHI-S terdapat perbedaan yang signifikan (unpaired t-
test p=0,014), dimana OHI-S merupakan penjumlahan skor CI dan DI. Hal ini
sejalan dengan penelitian Arowojolu MO et al. dan Nwhator SO et al. Menurut
Arowojolu tingginya OHI-S pada perokok karena merokok dapat menyebabkan
perubahan warna pada gigi, membuat permukaan gigi menjadi kasar, mendorong
terakumulasinya plak dengan cepat. Kandungan anorganik pada plak adalah
kalsium, fosfat, dan mineral lain. Jika kandungan mineralnya meningkat,
timbunan plak akan terkalsifikasi membentuk kalkulus.53,54
Hasil pengukuran kadar kalsium saliva pada perokok didapatkan secara
bermakna lebih tinggi (0,86 ± 0,25 mmol/L) dibandingkan dengan non-perokok
(0,55 ± 0,18 mmol/L). Hasil serupa juga dilaporkan oleh Khan GJ et al. tahun
2005, terjadi peningkatan kadar kalsium saliva pada sampel yang merokok dengan
rerata 1,30 ± 0,09 mmol/L dibandingkan dengan sampel kontrol (non-perokok)
1,07 ± 0,07 mmol/L. Namun, kadar kalsium saliva yang tinggi pada kelompok
perokok tersebut masih belum dapat dijelaskan.12
Abed et al. tahun 2012
menyatakan bahwa terjadi peningkatan bermakna konsentrasi kalsium pada 15
sampel saliva perokok dibandingkan dengan 15 sampel non-perokok. Peningkatan
ini mungkin disebabkan oleh beberapa faktor; pertama, merokok menurunkan
derajat keasaman rongga mulut pada semua laki-laki yang diperiksa, yang dapat
mempercepat perpindahan kalsium dari tooth lattice dan melepaskan kalsium ke
dalam saliva; kedua, penuaan, terjadi penurunan kepadatan (densitas) tulang
rangka yang sering terjadi terutama pada usia tua dan berhubungan dengan
meningkatnya jumlah kalsium pada saliva.55
49
Sreedevi et al. tahun 2011 menyatakan bahwa merokok dapat
menimbulkan perubahan pada saliva yang mengakibatkan peningkatan kadar
kalsium dan juga mungkin kadar fosfat.51
Al-obaidi tahun 2006 menyatakan kadar
kalsium saliva yang terstimulasi lebih tinggi pada perokok dibandingkan non-
perokok, walaupun tidak terdapat perbedaan yang signifikan.56
Hal ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Kiss E pada tahun 2010 yang menyatakan
terdapat perbedaan yang signifikan kadar kalsium saliva pada wanita perokok
dibandingkan dengan non-perokok. Tingkat konsentrasi kalsium saliva
berhubungan erat dengan kemampuan mineralisasi dari rongga mulut. Sewon et
al. tahun 2000 melaporkan bahwa konsentrasi kalsium pada stimulated saliva
perokok lebih tinggi dibandingkan dengan non-perokok. Dalam penelitian
terbarunya tahun 2004 Sewon menyatakan pada perokok diduga terjadi penurunan
kepadatan mineral tulang yang mungkin akan meningkatkan kadar kalsium saliva.
Perubahan kalsium secara umum dapat digambarkan pada saliva.57,58,59
Berlawanan dengan hasil tersebut, Bafghi et al. menyatakan kadar kalsium
saliva yang terstimulasi pada perokok lebih rendah walaupun tidak signifikan
dibandingkan dengan non-perokok. Studi sebelumnya yang dilaporkan oleh Zuabi
et al. seperti yang dikutip oleh Bafghi et al. terdapat perbedaan komposisi saliva
(Ca, Mg, Na) pada perokok bermakna lebih rendah. Perbedaan hasil ini terjadi
kemungkinan karena berbedanya teknik yang dikerjakan dalam pemilihan subjek
penelitian, metode pengumpulan saliva, dan alat untuk menganalisanya.13
Hasil uji statistik terhadap hubungan jenis rokok dengan kadar kalsium
saliva menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara jenis rokok
kretek dan non-kretek. Walaupun pada jenis rokok kretek mengandung kadar
nikotin yang lebih tinggi dibandingkan non-kretek, yang mempunyai efek
terhadap kerusakan jaringan mulut, tetapi efek tersebut tidak terlihat pada
penelitian ini.60
Hal ini mungkin disebabkan karena jumlah subjek perokok
dengan jenis rokok kretek tidak sebanding dengan non-kretek sehingga kurang
dapat menggambarkan karakteristik suatu kelompok. Namun, jika dibandingkan
antara kelompok non-perokok baik dengan jenis rokok kretek maupun non-kretek
hasilnya signifikan (Mann Whitney p<0,05).
50
Rerata kadar kalsium saliva ditemukan paling tinggi pada kelompok
dengan derajat merokok berat, yaitu 1,07 ± 0,14 mmol/L. Hal ini sesuai penelitian
yang dilakukan oleh Sewon et al. tahun 2004, bahwa perokok dengan kategori
berat (>10 batang rokok perhari) terdapat perbedaan kadar kalsium saliva yang
signifikan dibandingkan non-perokok. Selain dipengaruhi oleh jumlah rokok yang
dihisap perhari, hal ini juga dipengaruhi oleh seberapa lama subjek tersebut
mengkonsumsi rokok. Kemungkinan pada subjek perokok dengan derajat ringan,
reseptor pengecap yang merupakan lokasi utama untuk stimulasi sekresi saliva
dalam pengaruhnya terhadap refleks salivasi kurang terpajan sehingga efek
terhadap refleks saliva tidak terlalu terlihat dibandingkan dengan subjek perokok
dengan derajat sedang dan berat.58,12
4.3 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini mempunyai keterbatasan yang harus dipertimbangkan untuk
penelitian selanjutnya adalah tidak semua sampel saliva dilakukan pengukuran
secara diplo (dua kali pengukuran).
51
4.4 Aspek Keislaman
Setelah pemaparan dampak buruk merokok yang disebabkan oleh zat-zat
beracun yang terkandung didalamnya tidak hanya merugikan dari sisi kesehatan
juga sisi ekonomi dan sosial. Penulis memberikan saran bagi partisipan perokok
dan untuk diri penulis sendiri mulai berhenti merokok secara bertahap dengan
tekad yang kuat dan jauhi asap rokok agar tidak membahayakan diri sendiri dan
orang lain. Hukum merokok tidak disebutkan secara jelas dan tegas di dalam Al
Quran dan sunah Nabi. Oleh karena itu, solusinya dengan membaca ijtihad.
Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia masih terdapat perbedaan
pandangan hokum merokok, yaitu antara makruh dan haram. Sedangkan untuk
beberapa perlakuan, seperti merokok di tempat umum, oleh anak-anak dan oleh
wanita hamil maka hukumnya adalah haram.61
Diantara dasar penetapannya adalah ayat Al Quran surat Al-A’raf ayat
157:
Artinya: “Nabi itu menyuruh kepada mereka berbuat yang makruf, dan
melarang mereka dari yang munkar, menghalalkan bagi mereka segala yang baik
dan melarang bagi mereka segala yang buruk.” (Al-A’raf: 157)
Selain itu Allah SWT juga menegaskan dalam surat Al-Isra’ ayat 26-27:
Artinya: “Janganlah kamu menghambur-hamburkan hartamu secara boros.
Sesungguhnya orang-orang yang berlaku boros itu adalah saudara-saudara
syaitan. Dan syaitan itu sangat ingkar terhadap Tuhannya.” (Al-Isra’:26-27)
Serta hadist Nabi Muhammad SAW:
Artinya: “Tidak boleh membuat mudlarat kepada diri sendiri dan tidak
boleh membuat mudlarat kepada orang lain” (HR Ibnu Majah)
52
BAB 5
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Pada penelitian ini didapatkan kadar kalsium saliva perokok (0,86 ± 0,25
mmol/L) secara bermakna lebih tinggi dibanding non-perokok (0,55 ± 0,18 mmol/L)
dengan beda rerata 0,31 dan nilai p<0,05.
5.2 Saran
Bagi peneliti selanjutnya:
1. Diharapkan pada penelitian selanjutnya dapat meneliti peran rokok terhadap
komponen elektrolit lainnya dalam saliva yang mempengaruhi derajat
kesehatan rongga mulut
2. Diharapkan pada penelitian selanjutnya jika ingin melihat peran jenis rokok
terhadap kalsium saliva dibutuhkan minimal jumlah sampel yang lebih besar
53
DAFTAR PUSTAKA
1. Eriksen M, Mackay J, Ross H. The tobacco atlas. 4th
ed. Atlanta: American
Cancer Society; 2012.
2. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kemenkes RI. Riset kesehatan
dasar 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2013
3. WHO. Global Adult Tobacco Survey: Indonesia report 2011. Jakarta: World
Health Organization, Regional Office for South-East Asia; 2012
4. WHO Media Centre [Internet]. Tobacco Key Facts No. 339; update 2015 [cited
2015 June 20]. Available from: http://www.who.int/mediacentre
5. CDC [Internet]. Atlanta: Chemicals in Tobacco Smoke; 2011 [cited 2014
December 20]. Available from: http://www.cdc.gov
6. Kasim, E. Merokok sebagai faktor resiko terjadinya penyakit periodontal. Jurnal
Kedokteran Trisakti. 2001 January-April; 20(1): 9-15.
7. Almeida PDV, Grégio AMT, Machado MÂN, Lima AAS, Azevedo LR. Saliva
composition and functions: a comprehensive review. J Contemp Dent Pract. 2008
March; 9(3):72-80.
8. Devi TJ. Saliva- a potential diagnostic tool. Journal of Dental and Medical
Sciences. 2014 February; 13(2):52-7.
9. Saladin KS, Porth CM. Salivary glands. In: Gerard J, Nicholas P, editors.
Anatomy and physiology the unity of form and function. 6th
ed. New York:
Oxford University Press; 1998. p. 892-8
10. Varghese M, Hedge S, Kashyap R, Maiya AK. Quantitative assessment of
calcium profile in whole saliva from smokers and non-smokers with chronic
generalized periodontitis. Journal of Clinical and Diagnostic Research. 2015 May;
9(5): 54-7.
11. Sah N, More SP, Bhutani H. Estimation and comparision of salivary calcium
levels in healthy subjects and patients with gingivitis and periodontitis: a cross-
54
sectional biochemical study. Archives of Oral Sciences & Research. 2012; 2(1):
13-6.
12. Khan GJ, Mehmood R, Salahuddin, Marwat FM, Haq I, Rehman J. Secretion of
calcium in the saliva of long term tobacco users. J Ayub Med Col Abbottabad.
2005; 17(4): 1-3.
13. Bafghi AF, Tabrizi AG, Bakhshayi P. The effect of smoking on mineral and
protein composition of saliva. Iranian Journal of Otorhinolaryngology. 2015 July;
27(4): 301-5.
14. Humphreys, JVA. The role of saliva in health watch news. World Natural Health
Organization [Internet]. 2005 June [cited 2015 August 7]; 1(8). Availabe from:
http://www.wnho.net
15. Sonneson M. On minor salivary gland secretion in children, adolescents, and
adults. Swedish Dental Journal. 2011; 215: 14-9.
16. Pedersen GW. Glandula saliva. In: Lilian Y, editor. Buku ajar praktis bedah
mulut. Jakarta: EGC; 1996. p. 279.
17. Tortora GJ, Derrickson B. The digestive system. In: Bonnie R, editor. Principles
of anatomy and physiology. 12th
ed. US: John Wiley & Sons, Inc; 2009. p. 930.
18. Holsinger FC, Bui DT. Anatomy, function, and evaluation of the salivary glands.
In: Myers EN, Ferris RL, editor. Salivary gland disorder. New York: Springer
Link; 2007. p. 1-16.
19. Guyton AC, Hall JE. Textbook of medical physiology. 12th
Ed. Philadelphia:
Elsevier; 2011.
20. Whelton H. Introduction: the anatomy and physiology of salivary glands. In:
Edgar WM, Dawes C, O’Mullane DM, editor. Saliva and oral health. London:
Stephen Hancocks; 2012. p. 11.
21. Nanci A. Salivary glands. In: Nanci A, author. Ten cate’s oral histology:
development, structure, and function. 8th
ed. St Louis: Mosby Elsevier; 2013. p.
258.
22. Sherwood L. Sistem pencernaan. In: Sherwood L, author. Fisiologi manusia dari
sel ke sistem. 8th
ed. Jakarta: EGC; 2012. p. 651-2.
55
23. Martini FH. Fundamentals of anatomy and physiology. 9th
ed. US: Pearson;
2012.
24. Saliva Collection and Handling Advice 3rd
ed. [Internet] 2013. [cited 2015 July
11]. Available from: https://www.salimetrics.com
25. Armand A. Perubahan pH saliva setelah mengkonsumsi minuman isotonik dan
minuman produk olahan susu pada mahasiswa FKG USU [skripsi]. Medan:
Universitas Sumetera Utara; 2010.
26. Lamria B. Analisa volume, pH dan kadar ion kalsium saliva yang distimulasi
pada pecandu ganja di pusat rehabilitasi insyaf Medan tahun 2014 [skripsi].
Medan: Universitas Sumatera Utara; 2015
27. Moreira AR, Passos IA, Sampaio FC, Soares MSM, Oliveira RJ. Flow rate, pH
and calcium concentration of saliva of children and adolescents with type 1
diabetes mellitus. Braz J Med Biol Res. 2009 August; 42(8): 707-11.
28. Pejcic A, Obradovic R, Kesic L et al. Smoking and periodontal disease: A review.
Medicine and Biology. 2007; 14(2): 53-9.
29. Hasan A. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka; 2007.
30. Tirtosastro S, Murdiyati AS. Kandungan kimia tembakau dan rokok. Buletin
Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri. 2010 April; 2(1): 33-43.
31. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.109 tahun 2012 tentang
pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi
kesehatan. Jakarta: Depkes RI; 2012.
32. Kementerian Perindustrian dan Perdangangan. Keputusan Menteri Perindustrian
dan Perdagangan Republik Indonesia No. 62/MPP/Kep/2/2004 tentang pedoman
cara uji kandungan kadar nikotin dan tar rokok. Jakarta: Kementerian
Perindustrian dan Perdagangan; 2004.
33. Gondodiputro S. Bahaya tembakau dan bentuk-bentuk sediaan tembakau
[internet] 2007. [cited 2014 December 12]. Available from:
http://resources.unpad.ac.id
34. Kusuma ARP. Pengaruh merokok terhadap kesehatan gigi dan rongga mulut
[internet] 2011. [cited 2015 June 30]. Available from: http://jurnal.unissula.ac.id
56
35. Mowery PD, Farrelly MC, Haviland ML, Gable JM, Wells HE. Progression to
established smoking among US youths. Am J Public Health. 2004; 94(2): 331-7.
36. Doll, R. and Hill AB. Smoking and carcinoma of the lung: preliminary report;
Brit. Med. J. 1950 September; p. 739–48.
37. Weitkunat R, Coggins CRE, Wang ZS, Kallischingg G, Dempsey R. Assessment
of cigarette smoking in epidemiologic studies. Contributions to Tobacco
Research. 2013 September; 25(7): 638-48.
38. Sitepoe M. Usaha Mencegah Bahaya Merokok. Jakarta: Gramedia; 1997.
39. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK):
pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: PDPI; 2003.
40. Wijaya H. Gen CYP2A6 meningkatkan ketergantungan fisik perokok terhadap
nikotin [tesis]. Denpasar: Universitas Udayana; 2011.
41. Lee YH, Shin MH, Kweon SS, Choi JS, Rhee JA, Ahn HR, et al. Cumulative
smoking exposure, duration of smoking cessation, and peripheral arterial disease
in middle-aged and older Korean men. Bio Med Central Public Health. 2011; p.
1-7
42. WHO. Global Youth Tobacco Survey: Indonesia report 2009. Jakarta: World
Health Organization, Regional Office for South-East Asia; 2009
43. Oral Hygiene Indices: Introduction. https://www.mah.se/CAPP/Methods-and-
Indices/Oral-Hygiene-Indices/
44. Muller HP. Periodontology: The essentials. New York: Thieme; 2005.
45. Sasea A, Lampus BS, Supit A. Gambaran status kebersihan rongga mulut dan
status gingiva pada mahasiswa dengan gigi berjejal. Jurnal e-Gigi FK Unsrat.
2013 Maret; 1(1): 52-8.
46. Kolte AP, Kolte AR, Laddha RK. Effect of smoking on salivary composition and
periodontal status. J Indian Soc Periodontol. 2012 Jul-Sep; 16(3): 350–3.
47. Maitra A, Kumar V. Paru dan saluran napas atas. In: Kumar V, Cotran RS,
Robbins SL, editors. Buku Ajar Patologi Robbins. 7th
Ed. Jakarta: EGC; 2012.
57
48. Dietrich T, Maserejian NN, Joshipura KJ et al. Tobacco use and incidence of
tooth loss among US male health professionals. J Dent Res. 2007 April; 86(4):
373-7.
49. Arbes Jr SJ, Agústsdóttir H, Slade GD. Environmental tobacco smoke and
periodontal disease in the United States. Am J Public Health. 2001 February;
91(2): 253–7.
50. Vellappally S, Fiala Z, Šmejkalová J et al. Smoking related systemic and oral
disease. Acta Medica (Hradec Králové). 2007; 50(3): 161–6.
51. Sredeevi M, Ramesh A, Dwarakanath C. Clinical study: Periodontal status in
smokers and non smokers: a clinical, microbiological, and histopathological
study. International Journal of Dentistry. 2011 September; 2012:1-10.
52. Bergstrom J. Tobacco smoking and supragingival dental calculus. Journal of
Clinical Periodontology. 1999 August; 26(8): 541–7.
53. Arowojolu MO, Fawole OI, Dosumu EB, et al. A comparative study of the oral
hygiene status of smokers and non-smokers in Ibadan, Oyo State. Niger Med J.
2013 July; 54(4): 240-3.
54. Nwhator SO, Ayanbadejo P, Savage KO, et al. Oral hygiene status and
periodontal treatment needs of Nigerian male smokers. TAF Prev Med Bull.
2010; 9: 107-12.
55. Abed AA, Al-fatah JA, Mohana MA. Evaluation of calcium concentration in
saliva of Iraqi male smokers. APJS. 2012; 11(1): 18-24.
56. Al-obaidi, W. Salivary calcium, potassium and oral health status among smokers
and non-smokers (a comparative study). J Bagh Coll Dentistry. 2006; 18(2): 89-
91.
57. Kiss E. Salivary electrolytes, focused on salivary calcium level and the
periodontal state in healthy smoking and non-smoking women. University Szeged
Faculty of Dentistry, Department of Periodontology. 2010.
58. Sewon L, Karjaleinen S, Soderling E. Salivary calcium level in tobacco smokers.
J Dent Res. 2000; 79: 1301-5.
58
59. Sewon L, Laine M, Karjaleinen S, Doroguinskaia A, Veromaa ML. Salivary
calcium reflects skeletal bone density of heavy smokers. Archives of Oral
Biology. 2004; 49: 355-8.
60. Susanna D, Hartono B, Fauzan H. Penentuan kadar nikotin dalam asap rokok.
Makara Kesehatan. 2003 December; 7(2): 38-41.
61. Majelis Ulama Indonesia. Keputusan ijtima’ ulama komisi fatwa se-Indonesia.
Bagian ketiga. 2009.
59
LAMPIRAN
Lampiran 1
Lembar Informed Consent dan Kuesioner Responden
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
Lampiran 2
Riwayat Penulis
Identitas:
Nama : Muhammad Reza Syahli
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat, Tanggal Lahir : Padang, 17 Juli 1994
Agama : Islam
Alamat : Jln. Mustika XII/137 Pegambiran RT 04/RW 14,
Padang, Sumatera Barat
Email : [email protected]
Riwayat Pendidikan
1999 – 2005 : SDN 18 Alang Lawas, Padang
2005 – 2008 : SMPN 4 Padang
2008 – 2012 : SMAN 4 Padang
2012 – sekarang : Program Studi Pendidikan Dokter FKIK UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta