peran politik perempuan hizbut tahrir indonesia
DESCRIPTION
TERPINGGIRKAN DI TENGAH PERJUANGAN (Studi Terhadap Peran Politik Perempuan Hizbut Tahrir Indonesia) Oleh:Zusiana Elly TriantiniTRANSCRIPT
TERPINGGIRKAN DI TENGAH PERJUANGAN
(Studi Terhadap Peran Politik Perempuan Hizbut Tahrir Indonesia)
Zusiana Elly Triantini
CPNS Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Aktifis Perempuan LKiS Yogyakarta
Masnun Tahir
Dosen Institut Agama Islam Negeri Mataram
Abstrak
Kehadiran demokrasi di Indonesia tak pelak melahirkan spiritualitas Islam baru dengan berbagai model, yang salah satunya adalah kelahiran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang merupakan kepanjangan tangan gerakan Hizbut Tahrir (HT) di Timur Tengah. Mereka mengaku sebagai partai politik ideologis yang melandaskan gerakan dan ajarannya pada Islam dan dakwahnya berpijak di atas keharusan mengembalikan khila>fah Isla>miyah dengan bertompang kepada fikrah (ide) sebagai sarana paling pokok dalam perubahan. Kelompok ini telah mengeluarkan ijtihad-ijtihad syar’i tentang politik yang cenderung kontroversial dan mengundang pro dan kontra di tengah pergulatan wacana penegakan demokrasi di Indonesia. Salah satu konsep yang kontroversial itu adalah dakwah sebagai peran politik yang harus dilakukan perempuan, yang mencampuradukkan antara wilayah domain sosiologis dan teologis serta mengandung bias gender yang lahir dari penafsiran yang tekstual literalis. Mereka menolak menggunakan pemahaman sejarah. Kalaupun mereka menerima penjelasan kapan, di mana, dan peristiwa apa yang melatarbelakanginya turunnya ayat, tetap saja pemahamannya bersifat tekstual. Peristiwa yang terjadi ketika ayat turun dipahami hanya sebagai latar setting yang harus juga diduplikasi ke dalam kehidupan kapan pun, termasuk di zaman modern sekarang ini. Ayat tidak boleh ditafsiri secara berlebihan apalagi jauh dari teks itu sendiri. Tidak ada kritik terhadap pemahaman-pemahaman sebelumnya yang dihasilkan oleh ulama-ulama ahli tafsir. Yang mereka lakukan hanyalah memahami teks ayat itu, dan mengesampingkan pemahaman sebelumnya. Dengan pendekatan gender, artikel ini juga membahas tentang peran, hak, dan kewajiban yang harus dilakukan oleh kaum perempuan HTI. Dari pembahasan ini, dapat diketahui pula pandangan HTI tentang wacana gender dan feminisme, serta implikasinya terhadap eksistensi perempuan dalam gerakan ini.
Kata Kunci : Perempuan, HTI, Gender, Hegemoni
A. Mengenal Lebih dekat HTI
Awalnya, Hizbut Tahrir adalah sebuah partai politik Islam di Palestina yang
dakwahnya berpijak di atas keharusan mengembalikan khila>fah Isla>miyah dengan
44
bertopang pada fikrah (ide) sebagai sarana paling pokok dalam perubahan. Organisasi
ini lahir dengan beberapa agenda besar yang bertujuan membangkitkan kembali umat
Islam dari kemerosotan yang sangat parah, membebaskan umat dari ide-ide, sistem
perundang-undangan dan hukum yang dianggap kufur, serta membebaskan
masyarakat Islam dari dominasi negara-negara kafir.1 Mereka ingin membangun
kembali khila>fah Isla>miyah sebagai tempat pengejawantahan pelaksananaan urusan
pemerintahan sesuai dengan nas}s} yang diturunkan oleh Allah SWT. Hizbut Tahrir
mengusung ide Pan Islamisme yang bertujuan mengembalikan supremasi Islam pada
abad pertengahan yang dimanifestasikan dengan mendirikan khila>fah dan penegakan
Syari’at Islam secara internasional. Hal ini mengindikasikan adanya pemerintahan
yang terpusat dari seluruh dunia.
Ajaran yang dimiliki oleh Hizbut Tahrir tergolong salah satu dari Jama’ah
Islamiyah2 (kumpulan orgnisasi) yang membawa pemikiran Ahl al-Sunnah wa al-
Jama>’ah. Tujuan mereka terfokus pada penerapan kehidupan Islami dengan jalan
terlebih dahulu menegakkan negara Islam di negeri-negeri Arab, kemudian di negara-
negara Islam lainnya, dan setelah itu tugas dakwah dilancarkan ke negara-negara
bukan Islam melalui umat Islam yang sudah terbentuk.3
Ciri utama Hizbut Tahrir adalah konsentrasinya yang sangat besar kepada
aspek thaqa>fah (keilmuan) dan menjadikannya sebagai landasan pembentukan pribadi
Muslim dan umat Islam. Selain itu Hizbut Tahrir juga berupaya keras mengembalikan
kepercayaan terhadap Islam melalui aktifitas keilmuan di satu sisi dan melalui jalur
politik di sisi lain. Melalui jalur politik mereka merumuskan dengan cara merekam
dan menginvertarisasi segala kejadian atau peristiwa yang kemudian dijadikan
pembicaraan yang mengacu kepada kebenaran pemikiran dan hukum-hukum Islam4
dalam rangka meraih kepercayaan serta simpati yang akan menjadikan semakin
banyaknya massa yang bergabung.
1 Beberapa agenda besar HTI dapat dilihat lebih lanjut dalam Mengenal Lebih Dekat Hizbut
Tahrir, cet III (Bogor: HTI, 2002), hlm. 35. 2 Jama’ah Islamiyah yang dimaksud di sini bukanlah JI sebagai organisasi yang disinyalir
melakukan beberapa aksi bom di beberapa kota, melainkan Jama’ah Islamiyah sebagai kumpulan organ Islam yang berlandaskan pada Ahl al-Sunnah wal Jama>’ah .
3 WAMY, Gerakan Keagamaan dan Pemikiran: Akar Ideologis dan Penyebarannya, (Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat, 2002), hlm 89.
4 Ibid.
45
Kelahiran Hizbut Tahrir Indonesia dibidani dan dipelopori oleh beberapa
orang anggota dan simpatisan HT yang telah bersentuhan langsung dengan gerakan
ini di Timur Tengah. Oleh karena itu, tidak heran jika nama, bentuk, doktrin, ideologi
dan metode gerakannya benar-benar mengikuti HT di Timur Tengah. Bahkan HTI
merupakan cabang resmi dari jaringan HT internasional dan bertanggungjawab
kepada pengurus pusat HT di Yordania.5
Nama-nama yang selalu disebut sebagai tokoh dan pemimpin HT antara lain
Syaikh Taqiyuddin Nabhani,6 Abdul Qadim Zallum,7 dan ’Atha Abu Rusytah.8
Sedangkan tokoh dan pemimpin yang sering disebut dalam HTI antara lain Mama
Abdullah Bin Nuh,9 Muhammad al-Khaththath,10 dan Ismail Yusanto.11
HT maupun HTI memiliki karakteristik antara lain:
1) Latar belakang berdirinya adalah seruan al-amr bi’l-ma’ru>f wa nahy ’ani’l-munkar;
2) Misi utamanya adalah terbentuknya dawlah Isla>miyah dengan bentuk khila>fah Islam
secara transnasional;
3) Anggotanya merupakan orang-orang yang bersedia terhimpun dalam sistem Islam
tanpa batas ras, golongan, keturunan, bangsa maupun mazhab tertentu;
4) Aktivitasnya bersifat politik;
5) Wilayah sasarannya adalah negeri-negeri Islam;
6) Landasan berfikirnya adalah al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas;
7) Metode dakwah yang diterapkan mengikuti perjalanan dan perjuangan dakwah
Rasulullah saw dengan tahapan tathqi>f (pembinan dan pengkaderan), tafa>‘ul
(berinteraksi), istila>m al-h}ukm (penerimaan kekuasaan); dan
5 M. Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke
Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 2005), hlm. 162. 6 Untuk lebih jauh tentang Syaikh Taqiyuddin Nabhani (1909-1979) lihat dalam
http://ms.wikipedia.org. 7 Abdul Qadim Zallum adalah pengganti Syaikh Taqiyuddin Nabhani. Lebih lanjut lihat
dalam qalbusalim.wordpress.com 8 ’Atha Abu Rusyta adalah pemimpin Hizbut Tahrir setelah Abdul Qadim Zalum hingga
sekarang lebih jauh lihat http://ms.wikipedia.org. 9 Mama Abdullah bin Nuh salah satu penyebar ajaran Hizbut Tahrir di Indonesia lihat di
A.Maftuh Abegebriel dkk, Negara Tuhan; The Thematic Encyclopaedia, (Yogyakarta: SR-Ins Publishing, 2004).
10 Muhammad al-Khaththath adalah pemimpin Hizbut Tahrir Indonesia hingga sekarang liha. www. Hizbut-tahrir.or.id
11 Ismail Yusanto dikenal sebagai juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia, di beberapa peretemuan Hizbut Tahrir Indoensia dan di beberapa media yang memuat tentang Hizbut Tahrir namanya sering disebut bahkan lebih dikenal daripada Muhamad al-Khaththath.
46
8) Pemikirannya berlandaskan pada pemikiran Islam.12
Dalam menjalankan misi perjuangan tegaknya khilafah, HTI memiliki
tahapan sebagai berikut:
1) Tahapan pembinaan dan pengkaderan (tathqi>f) untuk melahirkan orang-orang
yang meyakini fikrah HT dan membentuk kerangka sebuah partai;
2) Tahap interaksi (tafa>‘ul) dengan umat agar mampu mengemban dakwah Islam
sehingga umat akan menjadikanya sebagai perkara utama dalam kehidupan serta
berusaha menerapkan dalam realitas kehidupan; tahapan ini dapat juga disebut
sebagai tahap revolusi pemikiran;
3) Tahap penerimaan kekuasaan (istila>m al-h}ukm), untuk menerapkan Islam secara
praktis dan menyeluruh, sekaligus menyebarluaskan risalah Islam ke seluruh
dunia; tahapan ini sering disebut sebagai revolusi.
Gambaran tentang HTI di atas mengingatkan pada pendapat beberapa tokoh
seperti Musa Kailani yang dalam tulisannya mengartikan fundamentalisme sebagai
gerakan sosial keagamaan yang mengajak umat Islam kembali kepada prinsip-prinsip
Islam yang fundamental dan kembali kepada kemurnian etika dengan cara
mengintegrasikannya secara positif dalam doktrin agama.13 Kemudian Jan Hjarpe
yang mengungkapkan bahwa fundamentalisme merupakan keyakinan kepada al-
Qur’an dan Sunnah sebagai dua sumber otoritatif yang mengandung norma-norma
politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan untuk menciptakan masyarakat yang baru.
Leonard Binder juga menyatakan bahwa fundametalisme adalah sebuah gerakan
keagamaan yang menjunjung tinggi romantisme periode Islam awal.14
Pandangan-pandangan tersebut membuat penulis berpandangan bahwa HTI
tergolong sebagai kelompok Islam fundamentalis karena wacana serta doktrin yang
mereka bangun. Menurut Hizbut Tahrir menegakkan khila>fah Isla>miyah adalah
kewajiban karena syariat tidak akan tegak tanpa ada khila>fah.15 Dengan adanya
12 Haedar Nashir, Gerakan Islam Syari’at Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, (Jakarta:
PSAP, 2007), hlm. 409-411. 13 A.Maftuh Abegebriel dan Ibida Syitaba, “Fundametalisme Islam, Akar Telogis dan Politis,”
dalam Negara Tuhan: Thematic Encyclopaedia, (Yogyakarta: SR-Ins Publishing, 2004), hlm 501. 14 Ibid. 15 “Hajatan Demokrasi Muslim Indonesia”, Gatra, edisi khusus Nomor 1-2 tahun XI, 27
November 2004, hlm. 120.
47
khila>fah, maka syari’at akan tegak karena akan ada yang bertanggung jawab untuk
menyebarkan ajaran yang berkaitan dengan syari’at Islam ke seluruh pelosok negeri.
Dari keseluruhan akativitas HTI yang paling menonjol adalah kegiatan
kampanye untuk menolak sistem politik yang berasal dari Barat. Mereka menolak
konsep nasionalisme, demokrasi, trias politika, kedaulatan rakyat, sistem kekuasaan
turun temurun, hukum sekuler, dan konsep politik lain yang dianggap tidak berasal
dari syari’at Islam. Mereka menghendaki sebuah sistem politik yang islami yang
hampir sama dengan konsep politik Abul A’la al-Mawdudi dan Sayyid Qutb.16 Selain
itu mereka juga menolak segala isme yang berasal dari Barat, seperti feminisme,
pluralisme, dan isme-isme yang lain.
Setelah mengetahui latar belakang dan pemahaman yang melekat pada HTI,
maka perlu kiranya menentukan pisau analisa untuk membedah pandangan HTI dan
selanjutnya melakukan kritik sebagai sebuah pandangan baru terhadap apa yang ada.
Untuk menganalisa lebih jauh peran politik perempuan dalam HTI, tepat kiranya
digunakan teori hermeneutik yang akan mengungkap bagaimana pola penafsiran serta
pola pemahaman yang ada dan diterapkan dalam HTI. Teori ini mengatakan bahwa
hermeneutik adalah sebuah analisis yang berusaha memperoleh pemahaman yang
mendalam dengan mengadakan penafsiran terhadap data teks atau pemikiran.
Analisis ini digunakan untuk melakukan interpretasi atas teks-teks yang menjadi
argumentasi HTI secara baru dan makna baru atau melakukan sebuah interpretasi
produktif yang bertumpu pada dialektika antara tiga pusaran yang dijadikan starting
point atau point of view yaitu the world of the text (aspek kebahasaan ), the world of the author
(dunia pengarang teks, termasuk Tuhan) dan the world of the reader (dunia pembaca
teks) dengan kompleksitas tradisi (bahasa kebudayaan) yang dihadapi, dipahami dan
dibangun.17 Di samping itu faktor-faktor ekstralinguistik (hal-hal di luar bahasa) yang
menentukan terbentuknya konteks pemikiran HTI juga akan dianalisa secara kritis.
16 M. Imdadun Rahmat, Arus Baru..., hlm. 52.
17 Hans George Gadamer, Truth and Method, (New York, Seabury Press, 1975), hlm. 273.
48
Dari teori yang ini kiranya akan ditemukan bagaimana sejatinya konsep peran politik
perempuan HTI ini, dan mengapa demikian.
B. Peran Politik Perempuan HTI: Bukan Soal Kesetaraan, Melainkan
Kewajiban
Asumsi awal penulis tentang perempuan HTI sangat sederhana: ”mereka
pasti perempuan-perempuan yang terpasung dan terkungkung oleh doktrin bahwa
perempuan tidak layak berjuang dalam ranah politik”, karena pengalaman bacaan
penulis –baik dari teori maupun praktik- mengatakan bahwa model penafsiran
terhadap doktrin-doktrin tentang perempuan yang biasanya digunakan kelompok
fundamentalis seperti HTI lebih cenderung tekstual dan kaku. Di kemudian hari,
setelah penulis mengikuti beberapa forum diskusi atau halaqah yang diadakan oleh
HTI dan melihat ghirah kampanye khilafah perempuan HTI, asumsi awal penulis
terbantahkan, meski tidak secara keseluruhan. Perempuan HTI sangat dekat dengan
aktifitas yang mengkampanyekan soal khilafah. Bahkan dalam beberapa kesempatan
mereka, dengan semangat untuk meegakkan syari’ah dengan khilafah, turut serta
dalam beberapa demonstrasi yang diadakan oleh HTI. Tak tanggung-tanggung,
beberapa dari perempuan HTI mengajak anak-anak mereka untuk berlatih tahu
tentang politik sedari dini dengan membawa serta dalam momen tersebut. Ternyata
perempuan HTI memiliki kesadaran organisasi dan responsif yang cukup tinggi. Hal
ini terbukti dalam beberapa kesempatan penulis banyak menjumpai perempuan HTI
melakukan kritik dan tanggapan terhadap permasalahan aktual yang sedang terjadi
melalui berbagai media, selain halaqah, seperti ketika menanggapi isu seputar
presiden perempuan, poligami, kekerasan terhadap perempuan dan tema-tema
lainnya, baik melalui media cetak maupun elektronik.
Dalam ranah kajian tentang peran politik perempuan, HTI menggunakan
buku yang ditulis oleh Najmah Saidah18 sebagai panduan belajar tentang beberapa hal
yang menyangkut politik perempuan. Buku ini dapat dijadikan gambaran tentang
bagaimana sejatinya HTI memandang peran politik perempuan. Buku ini juga telah
diringkas dan dijadikan booklet “Peran Politik Perempuan” yang diterbitkan oleh HTI
18 Najmah Sa’idah & Husnul Khotimah, Revisi Politik Perempuan Bercermin pada Shahabiyat, (Jakarta: IdeA Pustaka Utama, 2003).
49
Press. Ketika penulis menelisik lebih jauh tentang peran politik perempuan HTI
lewat pengurus Nisa’ HTI DIY dan koordinator Hubungan Masyarakat DPD 1 DIY
di Yogyakarta, penulis menemukan banyak hal yang sama antara pendapat yang
dilontarkan dengan apa yang tertuang dalam buku Najmah Sa’idah tersebut. Di
sinilah asumsi awal tentang keterkungkungan perempuan HTI dalam beberapa hal
mulai nampak. Perjuangan mereka memiliki nilai lebih, tetapi pergulatan mereka
dalam ranah pengambilan keputusan ataupun penentuan kebijakan sangat
terpinggirkan (tidak ada keadilan).
Hal tersebut bermula dari pandangan HTI tentang peran politik perempuan
yang selalu didahuli dengan kritik terhadap term-term ’Barat’ seperti gender,
feminisme, dan lain sebagainya. Menurut HTI gagasan keadilan dan kesetaraan
gender (KKG) adalah sebuah konspirasi kelanjutan dari upaya menghapuskan
peradaban Islam dan mencegah kebangkitannya kembali melalui penghancuran
keluarga-keluarga muslim. Untuk mempertahankan hegemoninya, Barat, yang masih
menaruh dendam terhadap Islam, memanfaatkan berbagai isu seperti demokrasi,
HAM, pluralisme, dan KKG sendiri. Dibalik opini KKG sesungguhnya tersimpan
bahaya besar bagi eksistensi keluarga dan masyarakat muslim. Konspirasi keji di balik
program pemberdayaan perempuan versi KKG ini bertujuan untuk menghancurkan
kepemimpinan laki-laki dalam keluarga dan masyarakat, sekaligus menghapuskan
peran keibuan yang menjadi tulang punggung lahirnya generasi muslim yang
berkualitas. Oleh karena itu, langkah-langkah KKG ini menurut HTI harus
diwaspadai.19
Mereka menilai isu gender merupakan alat yang paling ampuh untuk merusak
perempuan Islam. Isu KKG bukan solusi mengatasi keterpurukan perempuan, malah
menambah persoalan baru yaitu perempuan merasa terhina ketika melakukan tugas-
tugas domestik karena tidak dianggap berkontribusi untuk ekonomi bangsa, karena
tidak menghasilkan income. Inilah yang membuat perempuan-perempuan
meninggalkan tugas domestiknya, yang oleh Allah telah dibuat seharmonis mungkin,
yang pada akhirnya institusi rumah tangga rusak dan generasi hancur.
19 Ummu Fathimah NJL, “Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG): Gagasan yang harus
Diwaspadai”, dalam Al-Wa’ie, Media Politik Dakwah, No.75 Tahun VII, 1-30 November 2006, hlm. 9.
50
Terlepas dari logika ideologis yang berbasis pada doktrin bahwa semuanya
harus berdasarkan nilai-nilai Islam dan bukan Barat, menurut penulis tidak
seharusnya HTI mencurigai atau mewaspadai konsep KKG ini. Sebab KKG
merupakan salah satu gerakan yang muncul untuk memperjuangkan keadilan dan
kesetaraan bagi perempuan, sebuah cita-cita yang sejalan dengan pesan dasar ajaran
Islam. Kesetaraan dan keadilan gender adalah suatu kondisi yang mencerminkan
adanya kedudukan yang setara antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga,
masyarakat, berbangsa, dan bernegara untuk memperoleh hak-haknya sebagai
manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan politik,
ekonomi, sosial, budaya, pendidikan dan keamanan serta kesamaan dalam menikmati
hasil pembangunan. Sedangkan keadilan gender adalah kondisi dan perlakuan yang
adil bagi perempuan dan laki-laki.
Selain mengkritik term KKG, HTI juga berpendapat bahwa feminisme telah
membawa banyak perubahan di belahan bumi mana pun. Banyaknya kaum
perempuan yang telah berhasil mengekspresikan diri, bekerja di bidang apa pun yang
diinginkannya, tanpa harus takut dengan berbagai hal tabu yang selama ini dianggap
mengekang mereka, merupakan salah satu bukti menurut HTI. Bahkan hal ini
dianggap sebagai awal persoalan karena selain membawa dampak positif, feminisme
juga membawa dampak buruk bagi masyarakat secara keseluruhan. Kebebasan yang
ditawarkan feminisme, bagi HTI, berakibat pada runtuhnya struktur keluarga,
meningkatnya angka perceraian, merebaknya free-sex, meningkatnya kasus aborsi,
dilema perempuan karir, sindrom cinderella complex, pelecehan seksual, anak-anak
bermasalah, dan lain-lain. Walhasil yang terbentuk bukan masyarakat yang kokoh,
tetapi sebuah masyakat yang penuh dengan konflik yang tidak memberikan
ketenangan dan kepastian, karena berbagai penyimpangan banyak terjadi di
dalamnya.20
Beberapa kritik HTI terhadap feminisme antara lain: pertama, ketidakadilan
gender yang dikatakan telah melembaga secara universal dalam struktur masyarakat
patriarkhis sesungguhnya terbantah oleh realitas bahwa berbagai fakta yang disebut-
sebut sebagai persoalan perempuan ternyata juga dialami oleh kaum laki-laki. Bahkan
20 Nurfaizah dan Najmah, ‘Membangun Keluarga Ideologis” dalam Al-Wa’ie, Media Politik
Dakwah, No. 64 Tahun V, 1-28 Februari 2005, hlm. 14.
51
di dunia ketiga yang mayoritas negeri kaum muslim, persoalan-persoalan seperti
kemiskinan, diskriminasi, kekerasan, kebodohan, malnutrisi dan sebagainya kini
menjadi persoalan-persoalan krusial yang dihadapai masyarakat secara keseluruhan
sebagai implikasi dari penerapan sistem kapitalisme yang lemah dan rusak, dengan
sistem politiknya yang bobrok, sistem sosialnya yang rapuh, dan sebagainya.21
Kedua, ide kesetaraan gender yang diusung feminisme merupakan gagasan
yang absurd, ambivalen dan utopis. Sebab, sebagaimana sudah dijelaskan, kaum
feminis meyakini bahwa sifat keperempuanan yang dianggap lebih banyak merugikan
perempuan bukan merupakan bentukan yang alami (nature/kodrati) melainkan
dibentuk oleh kebudayaan (nurture). Untuk itu mereka menuntut adanya perubahan
konstruksi sosial budaya baik secara kultural maupun struktural. Dengan begitu
diharapkan pembagian peran yang berspektif gender tidak ada lagi. Dalam hal ini
mereka yakin bahwa ketika suatu saat masyarakat bisa memandang perempuan
sebagai manusia, bukan atas dasar gender, pembagian peran domestik vis a vis publik
pun akan cair dengan sendirinya. Artinya semua orang akan mampu berkiprah dalam
bidang apapun yang diinginkannya tanpa harus khawatir dianggap menyalahi kodrat
dan sebagainya.
Ketiga, cara pandang feminisme yang individualistik dan cenderung emosional
juga telah menempatkan persoalan perempuan seolah terpisah dari persoalan
masyarakat secara keseluruhan. Hal ini terkait dengan pandangan demokrasi yang
menganggap bahwa masyarakat adalah kumpulam individu-individu yang merdeka,
dengan laki-laki di satu sisi dan perempuan di sisi yang lain. Dengan demikian, di
dalam demokrasi prinsip individualisme menjadi sesuatu yang inherent. Prinsip ini
telah menempatkan diri, ego, jenis, dan kelompok sebagai sumber orientasi. Ketika
muncul persoalan-persoalan yang menyangkut komunitas perempuan, mereka lantas
memandang persoalan tersebut sebagai urusan internal komunitas perempuan.
Akibatnya, pemecahan yang dimunculkannya pun hanya dilihat dari satu perspektif
saja, yakni perspektif perempuan. Padahal realitasnya, masyarakat bukan hanya
sekadar terbentuk dari individu-individu saja, tetapi juga dari kesamaan pemikiran,
21 Najmah Sa’idah & Husnul Khotimah, Revisi .., hlm.78.
52
perasaan, dan aturan yang diterapkan, yang disertai dengan adanya interaksi terus
menerus.22
Keempat, politik dalam perspektif feminisme seolah terbatasi pada aspek
kekuasaan dan legislasi saja. Akibatnya, ide pemberdayaan peran politik perempuan
pun selalu diarahkan untuk menjadikan kaum perempuan mampu melibatkan diri dan
berkiprah seluas-luasnya di wilayah politik formal, seperti di lembaga-lembaga
pemerintahan atau kekuasaan, lembaga legislasi, partai politik, dan lain-lain. Hal ini
sebetulnya terkait dengan logika feministik yang diilhami oleh teori mekanisme
kekuasaan mayoritas yang ada dalam logika demokrasi yang menganggap apabila
perempuan terlibat dalam kebijakan, maka masalah perempuan akan terselesaikan.
Padahal, dalam tataran praktik, masalah ada tidaknya hubungan antara kiprah politik
perempuan seperti itu dan tuntasnya persoalan perempuan masih sangat debatable.
Banyak fakta justru menunjukkan bahwa keberadaan perempuan di parlemen atau di
puncak kekuasaan sekali pun tidak lantas menjamin tuntasnya persoalan-persoalan
perempuan. HTI mencontohkan kasus Indonesia yang pernah dipimpin perempuan,
ternyata ‘nasib’ perempuan tidak lebih baik daripada nasib perempuan yang ada di
negeri yang kepala negaranya seorang laki-laki. Demikian juga realitas keterpurukan
yang terjadi Bangladesh ketika dipimpin oleh Begum Khalida Zia dan Sheikh Hasina
Wajed.23 Bagi HTI yang terpenting dalam hal ini adalah bukan masalah kuantitas
perempuan yang berkiprah di wilayah politik, melainkan kembali pada ideologi yang
benar dan seragam dalam konteks politik yang didasari oleh akidah yang benar, yaitu
akidah Islam dengan penerapan hukum-hukumnya.
Kelima, anggapan bahwa demokrasi merupakan jalan terbaik bagi penyelesaian
persoalan-persoalan perempuan sehingga mereka harus ikut memperjuangkannya
adalah anggapan yang sangat lemah. Sebab, demokrasi dan demokratisasi sendiri, baik
dari segi teori maupun praktiknya, banyak sekali mengandung ambivalensi.24 Gagasan
22 Ibid., hlm. 80. 23 Ibid., hlm. 81. 24 Memang tidak mudah mengaitkan-ngaitkan Islam dengan demokrasi. Meskipun demikian,
tidak sedikit Muslim yang berpandangan bahwa Islam sejalan dengan demokrasi. Dalam kaitan ini, biasanya sejumlah prinsip Islam dikemukakan, ditafsirkan, untuk kemudian disimpulkan bahwa nilai-nilai itu satu semangat dengan pandangan profetik demokrasi. Prinsip-prinsip umum yang ditawarkan adalah keadilan (‘adl), persamaan (musa>wah), musyawarah (syu>ra), dan sebagainya. Pembahasan tentang respon intelektual muslim terhadap demokrasi bisa dibaca pada karya Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999).
53
kedaulatan di tangan rakyat sehingga rakyat berhak menentukan hukum (prinsip
mayoritas), selalu melahirkan tirani minoritas, karena kehendak rakyat yang mayoritas
sering harus tunduk kepada kehendak wakil rakyat yang minoritas. Jika demikian
faktanya, bagaimana mungkin bisa diharapkan sistem ini bisa memberikan kebaikan
pada ‘nasib perempuan’, apalagi pada manusia secara keseluruhan.25
Bagi HTI kritik atas feminisme jelas tidak boleh berhenti pada tataran teoritis
atau praktis saja, mengingat --jika dilihat dari sudut pandang Islam-- keberadaan
paham ini sangat berbahaya karena terkait dengan hal-hal prinsip yang menyangkut
tatanan akidah maupun syari’ah. Salah satu yang paling urgen adalah mengkritisi
sejauh mana keabsahan gagasan rekonstruksi fiqh perempuan dengan metodologi
tafsir feminis yang digunakannya,26 seberapa layak pula gagasan-gagasan ‘kaum
pembaharu’ bisa diadopsi sebagai landasan beramal bagi kaum muslim maupun
muslimah dalam menjalani peran dan fungsi sosial yang akan dipertanggungjawabkan
di akherat kelak.27
Lebih lanjut HTI menilai bahwa pemikiran para tokoh feminis ini sangatlah
rancu dan berbahaya, dan inilah yang perlu diwaspadai oleh umat Islam, karena:
Pertama, ide ini merupakan produk pemikiran barat yang menganut faham liberalis
dan kapitalistik; kedua, faham ini tegak di atas landasan pemisahan agama dari
kehidupan, akibatnya menafikan Kha>liq dalam mengatur kehidupan; ketiga,
keberadaan gerakan-gerakan ini telah mengkondisikan kaum muslim untuk merestui
ide-ide yang ditawarkan, sekaligus menjadi pengembannya walaupun akan mengikis
kesempurnaan Islam; keempat, seperti penjelasan sebelumnya bahwa ide ini telah
memunculkan ketimpangan dan keguncangan struktur masyarakat dan keluarga;
kelima, ide ini makin menjauhkan kaum muslim dari gambaran keagungan dan
keunikan masyarakat Islam dengan aturan sosialnya yang manusiawi, sekaligus
memadamkan cita-cita mereka untuk hidup di dalam masyarakat Islam. Bahkan, ide-
ide yang diusung feminisme kian mendekatkan kaum muslim pada hukum-hukum
Barat yang rusak dan merusak. Padahal, seharusnya disadari bahwa secara politis,
25 Najmah Sa’idah & Husnul Khotimah, Revisi.., hlm. 82. 26 Tokoh-tokoh feminis yang disebut HTI adalah mulai dari feminis luar seperti Amina
Wadud Muhsin, Ashgar Ali Engineer, Fatima Mernisi sampai feminis dalam negeri seperti Nasarudin Umar maupun Musdah Mulia.
27 Najmah Sa’idah & Husnul Khotimah, Revisi Politik.., hlm. 94.
54
negara kapitalis yang menjadi sponsor dan suporter gerakan feminis ini sangat
berkepentingan dengan ide-ide seperti ini di dunia Islam.28
Pemikiran HTI ini didasari oleh pandangan mereka yang menganggap semua
mabda atau ideologi selain Islam seperti kapitalisme, sosialisme, komunisme,
nasionalisme, patriotisme, free masonry, sektarianisme, dan isme-isme sejenis tidak
lain sebagai ideologi yang rusak dan bertentangan dengan fitrah manusia. Mabda-
mabda tersebut merupakan buatan manusia. Selain rusak dan cacat, semuanya
bertentangan dengan Islam dan hukum-hukum Islam. Mengambilnya,
menyebarluaskannya, dan berkelompok berasaskan mabda-mabda tersebut termasuk
perkara yang diharamkan Islam. Kaum muslim juga diharamkan mendirikan partai
politik berdasarkan ideologi-ideologi buatan manusia tersebut, juga haram menjadi
anggota dan simpatisannya, karena partai-partai politik seperti itu termasuk partai-
partai kufur dan mengajak kepada kekufuran.29
Penolakan HTI terhadap isme-isme, termasuk feminisme, di atas lebih terlihat
sebagai gerakan politik anti Barat. Padahal apabila ditilik dari lahir dan
berkembangnya isme-isme tersebut tidak terlepas dari gerakan perubahan yang cukup
besar dan banyak isme yang ditolak oleh HTI pada realitanya diterima dengan baik di
berbagai belahan dunia, seperti nasionalisme dan demokrasi. Sehingga kalau HTI
mengatakan bahwa di balik isme-isme tersebut tersimpan bahaya dan konspirasi besar
dari Barat, menurut penulis terlalu berlebihan. Akan tetapi kalau dikatakan bahwa
Barat menjadi salah satu peradaban yang membesarkan isme-isme tersebut, alasan itu
masih bisa diterima. Jika HTI mengatakan bahwa isme-isme tersebut merupakan
paham yang tidak bebas nilai, maka HTI30 harus memiliki jawaban yang cukup kuat
untuk mengatakan bahwa HTI bebas nilai, karena tidak ada suatu paham yang bisa
dikatakan bebas nilai.
Hal lain yang juga menjadi bidikan wacana HTI dalam hal peran politik
perempuan adalah soal pemimpin negara perempuan. Menurut HTI, di antara
aktifitas politik tertentu yang tidak diperkenankan oleh Allah untuk digeluti
perempuan adalah aktifitas-aktifitas yang termasuk dalam wilayah kekuasaan atau
28 Ibid., hlm 112-3. 29 Haedar Nashir, Gerakan Islam...,hlm. 409. 30 Seperti yang disampaikan oleh Nopriadi (Pengurus HTI DIY) dalam acara Workshop
“Globalisasi: Tantangan dan Peluang untuk Agama-Agama”, 8-9 Maret 2008.
55
pemerintahan. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan wilayah kekuasaan atau
pemerintahan adalah wilayah pengaturan urusan umat yang dilakukan secara langsung
dan menyeluruh, misalnya menjadi penguasa. Penguasa dipandang sebagai orang yang
bertanggungjawab penuh secara langsung dan menyeluruh dalam mengurus urusan
umat. Dalam sistem Islam, jabatan penguasa mencakup khalifah (kepala negara),
mu‘awin tafwi>d (pembantu khalifah dalam urusan pemerintahan), wali (kepala wilayah),
dan amir (kepala daerah).31 Oleh karena itu, tidak heran pada tahun 2004, menjelang
pemilihan presiden (pilpres), ribuan massa HTI Sulawesi Selatan melakukan unjuk
rasa. Salah satu pernyataan sikapnya adalah menolak kepala negara perempuan. Hal
yang sama juga pernah mereka lakukan pada masa kepemimpinan Megawati.
Dengan istilah lain, menurut HTI, Islam telah mengharamkan jabatan
kekuasaan bagi perempuan dan mengkhususkannya bagi laki-laki. Hanya saja
pengkhususan ini bukan untuk merendahkan atau menjadikan perempuan sebagai
warga negara kelas dua, karena Islam memandang bahwa peran penguasa dan rakyat
dalam politik sama pentingya. Penguasa adalah pelaksana politik yang bersumber dari
hukum-hukum Allah, sedangkan rakyat berperan sebagai pengawas dan pengoreksi
kehidupan politik berdasarkan hukum-hukum Allah.32
Dalam konteks ini jabatan kepala negara merupakan sebuah tanggung jawab
yang besar, karena menyangkut terlaksananya pengaturan kehidupan umat sesuai
dengan aturan Allah dan Rasul-Nya sehingga Islam memberikan aturan yang rinci
tentang masalah ini. Syaikh Taqiyuddin an-Nabbhani, pendiri HT, dalam kitab Niz|a>m
al-H{ukm fi> al-Isla>m, sebagaimana dikutip Najmah Sa’idah, menegaskan syarat-syarat
utama seorang kepala negara adalah:
1) Muslim, berdasarkan firman Allah dalam Surat An Nisa (4): 141;
2) Laki-laki, berdasarkan hadis Nabi: lan-yufliha qawmun wallu> amrahum imra'atan;33
3) Balig;
4) Berakal sehat;
5) Adil, artinya konsisten dalam menjalankan agamanya, berdasarkan firman Allah
dalam Qur’an Surat al-Thalaq (65): 2;
31 Najmah Sa’idah & Husnul Khotimah, Revisi.., hlm.157. 32 Ibid., hlm. 158. 33 Untuk lebih jelas lihat teks hadis dalam Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail al-Bukhari,
(Sahih al-Bukhari, Beirut: Dar al-Fikr,t.t.), V: 136, hadis nomor 4073.
56
6) Merdeka, karena seorang budak tidak memiliki wewenang untuk mengatur dirinya
apalagi mengatur orang lain;
7) Mampu melaksanakan tugas kekhalifahan, yaitu mampu memelihara urusan umat.
Berdasarkan syarat-syarat yang dikemukakan oleh pendiri HT tersebut,
menurut HTI syarat laki-laki sebagai kepala negara dan pejabat penguasa di bawahnya
adalah syarat mutlak bagi pemerintahan Islam. Hal ini telah menjadi sunnah
Rasulullah dan dipegang teguh oleh kaum muslim dari masa ke masa. Para ulama
mujtahid empat mazhab bahkan telah bersepakat bahwa mengangkat seorang
perempuan menjabat kepala negara adalah haram.
Alasan HTI tidak membolehkan perempuan menjadi kepala negara atau
pemimpin hampir sama dengan pendapat para tokoh atau organisasi yang selama ini
menolak kepemimpinan perempuan. Menurut HTI ada beberapa argumentasi sebagai
dasar.
Pertama, firman Allah dalam Surat al-Nisa (4): 34. HTI melarang pemimpin
(presiden) perempuan berdasar firman Allah SWT di atas. Padahal, menurut Imam
Abul Hasan Ali ibn Ahmad Al-Wahidi (w.468 H) asbab al-nuzul (sebab-sebab
turunnya ayat) ayat tersebut bermula dari kisah Sa'ad ibn Rabi', seorang pembesar
golongan Anshar. Diriwayatkan bahwa istrinya (Habibah bintu Zaid ibn Abi
Hurairah) telah berbuat nusyu>z (durhaka, menentang keinginan Sa'ad untuk
bersetubuh) lalu ia ditampar oleh Sa'ad. Peristiwa keluarga ini berbuntut dengan
pengaduan Habibah kepada Nabi saw. Nabi kemudian memutuskan untuk meng-
qishash terhadap Sa'ad, akan tetapi begitu Habibah beserta ayahnya mengayunkan
beberapa langkah untuk melaksanakan qishash, Nabi memanggil keduanya lagi, seraya
mengabarkan ayat yang baru turun melalui Jibril, ar-rija>lu qawwa>mu>na 'ala>’n-nisa>’,
karena itu Nabi meralat kembali perintah untuk meng-qishash Sa'ad. Dari sini, dapat
dipahami bahwa pemakaian ayat tersebut untuk mengharamkan kepemimpinan
perempuan di luar urusan "ranjang" jelas memiliki validitas yang sangat lemah. Ayat
tersebut juga bukan berupa kalimat instruksi (amr), namun hanya khabariah (berita),
sehingga akurasi hukum wajib atau haram memiliki kadar yang kurang efektif.
Menurut Nasaruddin Umar, ayat ini tidak tepat dijadikan alasan untuk
menolak perempuan menjadi pemimpin dalam masyarakat. Selain itu, Muhammad
57
Abduh dalam tafsir al-Manar tidak memutlakkan kepemimpinan laki-laki terhadap
perempuan, karena ayat di atas tidak menggunakan kata “ma> fadhdhalahum bihinna”
atau “bitafdhi>lihinna”, tetapi menggunakan kata “bi-ma> fadddhalalla>h ba’dhahum ‘ala
ba’dhin”.34
Kalau didalami secara bahasa, surat al-Nisa’ ayat 34 itu masih harus difahami
secara mendalam; bahwa laki-laki menjadi pemimpin, masih bersifat penafsiran yang
dangkal. Dalam ayat tersebut dijelaskan ar-rija>lu qawwa>mu>na 'ala>’n-nisa>’. Kata
qawwa>mu>na oleh kelompok fundamentalis seperti HTI difahami sebagai pemimpin,
padahal bisa bermakna lain yaitu pelindung, perawat, dan pendidik. Sebab kata
pemimpin cenderung memberikan pemaknaan yang bersifat otoriter dan bias gender,
tetapi kalau perawat, pelindung dan pendidik lebih menekankan pada tanggungjawab.
Dan jika ditilik dari latarbelakang turunnya ayat ini, yaitu terjadi kasus keluarga
sahabat Sa’ad ibn Abi Rabi’ dengan istrinya Habibah binti Zaid maka ayat ini tidak
berangkat dari kasus yang bersifat publik.
Kedua, hadis dari Abu Bakrah: lan yuflih}a qawmun wallu> amrahum imra'atan.35
Hadis ini dipahami sebagai isyarat bahwa perempuan tidak boleh dijadikan pemimpin
dalam urusan pemerintahan atau politik. Oleh karenanya HTI menyatakan seorang
perempuan tidak sah menjadi khalifah atau imam karena hadis ini dipahami sebagai
ketentuan syari’at yang bersifat baku dan universal, tanpa melihat aspek-aspek yang
terkait dengan hadis, seperti kapasitas diri Nabi ketika mengucapkan hadis, suasana
yang melatarbelakangi munculnya hadis, serta setting sosial yang melingkupi sebuah
hadis. Padahal segi-segi yang berkaitan dengan diri Nabi dan suasana yang melatar
belakangi atau penyebab terjadinya hadis mempunyai kedudukan yang penting dalam
pemahaman hadis secara utuh.36
Untuk mengetahui keabsahan pengambilan hukum tersebut, perlu dilihat asbab
wurud al-hadis (sebab-sebab munculnya hadis). Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-'Asqalani
(w.852 H) dalam karyanya Fath al-Bari menegaskan bahwa hadis tersebut bermula dari
kisah Abdullah ibn Hudzafah, kurir Rasulullah saw yang menyampaikan surat ajakan
34 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 150. 35 Tentang hadis ini dan perawinya, lihat Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail al-Bukhari,
Sahih ...,V: 136. Hadis nomor 4073. 36 Nizar Ali, “Kepemimpinan Perempuan dalam Dunia Politik”, dalam Hamim Ilyas dkk,
Perempuan Tertindas? Kajian Hadis-hadis Misoginis (Yogyakarta: elSaq Press & PSW, 2005), hlm..272.
58
masuk Islam kepada Kisro Anusyirwan, penguasa Persia yang beragama Majusi.
Anusyran menanggapi sinis ajakan tersebut dengan merobek-robek surat. Nabi Saw
memiliki firasat bahwa Imperium Persia kelak akan terpecah belah sebagaimana
Anusyirwan merobek-robek surat tersebut. Tak berapa lama, firasat itu terjadi,
akhirnya kerajaan dipimpin putri Kisro yang bernama Buran. Mendengar realitas
negeri Persia yang dipimpin perempuan, Nabi Saw berkata: lan yuflih}a qawmun wallu>
amrahum imra'atan. Komentar Nabi ini sangat argumentatif, karena kapabilitas Buran
yang lemah di bidang kepemimpinan. Melihat latar belakang ini, turunnya hadis
tersebut tampak kasuistis dan kondisional. Obyek pembicaraan Nabi bukanlah
kepada seluruh perempuan, tetapi hanya tetuju kepada putri Anusyirwan yang
kredebilitas kepemimpinannya sangat diragukan, terlebih di tengah percaturan politik
Timur Tengah saat itu yang rawan peperangan antar suku. Hadis ini juga bukan
berupa kalimat larangan (nahy), tetapi hanya khabariah (berita). Oleh karena itu,
hukum haram (larangan) pun tidak memiliki signifikansi yang akurat.37 Quraish
Shihab menambahkan bahwa hadis ini khusus ditujukan kepada masyarakat Persia
dan tidak kepada masyarakat umum dan dalam semua urusan.38 Tidak berlebihan jika
kemudian Ibn Jarir Al-Thabari menandaskan, pemimpin (presiden) perempuan
bukanlah mani’ (penghalang) dalam hukum Islam. Pendapat ini kemudian dikuatkan
pula oleh sebagian ulama’ Malikiyyah dalam memberikan legitimasi Ratu Syajaratud
Dur di Mesir.39
Dilihat dari aspek dalil, hadis ini tidak cukup syarat dijadikan pelarangan
keterlibatan perempuan menjadi pemimpin. Karena menurut teori us\ul al-fiqh, sebuah
nash, baru dapat dikatakan menunjukkan larangan (pengharaman) jika memuat
setidaknya hal-hal berikut. Pertama, secara redaksional, nash dengan tegas mengatakan
haram. Kedua, nash dengan tegas melarangnya dalam bentuk nahy. Ketiga, nash diiringi
oleh ancaman (‘uqu>bah). Keempat, menggunakan redaksi lain yang menurut gramatika
37 Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-'Asqalani, Fathul Bari Syarhu S}ahih al-Bukhari (Beirut: Dar al-
Fikr, t.t.), VIII: 128; Said Aqiel Siradj, Islam Kebangsaan: Fiqh Demokratik Kaum Santri, editor: Jauhar Hatta Hasan, (Jakarta: Pustaka Ciganjur; Oktober 1999), hlm. 8. 38 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur an, (Bandung: Mizan, 1419 H/1998 M), hlm. 314.
39 Ibid., hlm. 8-9.
59
bahasa arab menunjukkan tuntutan yang harus dilaksanakan. Adapun redaksi hadis
tersebut tidak bisa diarahkan pada pelarangan (haram).40
Menurut penulis, penolakan HTI terhadap kepemimpinan perempuan
(terutama presiden) lebih dilandasi oleh tafsir literal yang mereka pegang dalam
memahami teks al-Qur’an dan al-Hadis, yang menunjukkan makna literal bahwa laki-
laki menjadi pemimpin perempuan. Jika mereka menggunakan tafsir kontekstual,
maka akan diperoleh hukum sebaliknya.
Secara kontekstual, posisi perempuan yang ditempatkan sebagai subordinat
laki-laki sesungguhnya muncul dan lahir dari sebuah bangunan masyarakat atau
peradaban yang dikuasai laki-laki, yang secara populer dikenal sebagai peradaban
patriarkhi. Pada masyarakat seperti ini, perempuan tidak diberikan kesempatan untuk
mengaktualisasikan dirinya dan berperan dalam posisi-posisi yang menentukan. Oleh
karena itu, laki-laki diposisikan lebih superior daripada perempuan.
Penulis melihat pemahaman HTI tentang ketidakbolehan perempuan menjadi
pemimpin terlihat tekstual dan konservatif sehingga sangat bias gender. Apabila
pemahaman ini dihadapkan pada fakta-fakta sejarah yang ada maka ia akan
terbantahkan. Sejumlah perempuan terbukti telah mampu memimpin bangsanya
dengan sukses gemilang. Pada masa sebelum Islam, dikenal Ratu Balqis –penguasa
negeri Saba- yang diceritakan al-Qur’an. Kepemimpinannya dikenal sukses gemilang
dan negaranya aman sentosa. Kesuksesan Balqis ini antara lain disebabkan karena ia
mampu mengatur negaranya dengan sikap dan pandangan yang demokratis. Selain
Ratu Balqis, di era modern ini banyak sekali perempuan yang juga relatif sukses
memipin bangsanya sendiri seperti Indera Gandhi, Margaret Tatcher, Benazir Buto,
dan lain-lain. Sebaliknya terdapat sejumlah besar kepala negaranya berjenis kelamin
laki-laki yang gagal memimpin bangsanya. Sejak tahun 2000-an sejumlah negara
dikepalai atau dipimpin oleh perempuan. Antara lain Bangladesh, Guyana, Irlandia,
Selandia Baru, Sri Langka, Jerman, Indonesia, dan beberapa negara di Eropa.
Kegagalan dan kesuksesan memimpin suatu negara dengan demikian tidak
ada kaitan sama sekali dengan persoalan jenis kelamin, tetapi lebih pada sistem yang
diterapkan dan kemampuan memimpin. Menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah –
40 Abdul Jalil, dkk., Fiqh Rakyat: Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan, (Yogyakarta; LKiS; 2000),
hlm. 74.
60
sebagaimana dikutip Husein Muhammad- bahwa persoalan-persoalan yang
menyangkut kemasyarakatan dan politik, yang paling penting adalah kemaslahatan.41
Terkait dengan pemikiran beberapa ulama’ yang mengajukan syarat laki-laki
bagi seorang pemimpin, penulis berpendapat bahwa pemikiran ulama’ tersebut sudah
tidak relevan dengan konteks zaman dan harus mengalami peninjauan ulang agar
hukum Islam tetap eksis dan shalih li kulli makan wa zaman (kontekstual dalam segala
ruang dan waktu). Jika asumsinya adalah karena perempuan tidak memiliki
kemampuan rasio yang memadai jika diperhadapkan dengan laki-laki, seperti
argumentasi yang biasa digunakan untuk menolak kepemimpinan perempuan, maka
alasan yang demikian bisa dipahami ketika pada masa-masa dahulu, kondisinya
memang miskin akses informasi, dan menjadikan perempuan tidak bisa mengetahui
suatu persoalan secara komprehensif. Hal ini tidaklah mengherankan, jika kemudian
perempuan pada abad pertengahan --ketika banyak sekali kitab fiqh dikarang--
perempuan terpinggirkan secara sosial-politik sehingga mereka tidak bisa mengakses
pendidikan, informasi dan pengetahuan.42
Dengan situasi zaman yang seperti sekarang ini, yang diiringi telah begitu
terbukanya seluruh aspek yang dulu tidak bisa diakses perempuan maka asumsi di
atas menjadi terpatahkan secara otomatis. Selain itu, asumsi perempuan secara fisik
juga lemah sehingga tidak pantas menjadi pemimpin, juga menjadi tidak signifikan
lagi ketika saat ini moda transportasi, komunikasi dan teknologi telah menjembatani
keterbatasan-keterbatasan yang dialami perempuan.
Perjuangan politik perempuan HTI bukan karena landasan kesetaraan
melainkan berdasarkan pandangan bahwa perempuanpun memiliki kewajinan besar
untuk berpolitik. Dalam konsepsi doktrin gerakan politik HTI, keterlibatan
perempuan dalam aktivitas politik digolongkan menjadi dua, yaitu aktivitas politik
yang dibolehkan atau diwajibkan dan yang dilarang. Aktivitas politik perempuan yang
dibolehkan dalam konsep HTI adalah: (1) hak dan kewajiban bai’at,43 (2) hak memilih
41 Hussein Muhammad, Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender
(Yogyakarta : LKiS, 2001), hlm. 151. 42 Abdul Jalil, dkk. Fiqh Rakyat., hal. 75. 43 Thoha Hamim, Islam & NU di Bawah Tekanan Problematika Kontemporer (Surabaya:
Diantama, 2004), hlm. 10.
61
dan dipilih menjadi anggota majelis umat,44 (3) kewajiban amar makruf nahi munkar,45
(4) kewajiban menasihati dan mengoreksi penguasa,46 dan (5) kewajiban menjadi
anggota partai.47
Realitas dalam lintasan sejarah ditemukan keterlibatan kaum perempuan dalam
aktivitas politik sudah ada sejak masa-masa awal perkembangan Islam, mereka
membantu perjuangan Nabi dan sahabatnya sampai pada aktivitas yang paling
berisiko seperti jihad. Realitas sejarah ini menjadi argumentasi lain HTI untuk
mengizinkan perempuan terlibat dalam ranah politik. 48
Dari pengamatan dan pembacaan yang penulis lakukan di atas, secara
hermeneutis penulis melihat terdapat keterkaitan erat antara persepsi HTI dan latar
weltanschauung mereka. Latar yang dimaksud menunjuk pada prasangka, kondisi
historis (historical situatednes), dan tradisi HTI. Secara langsung maupun tidak, anasir
hermeneutik itu mewarnai horison HTI dalam menderivasi pesan tekstual ajaran
Islam seputar relasi gender. Jadi pemahaman HTI itu tidak berawal dari kekosongan
dalam situasi budaya yang vakum, melainkan muncul sebagai refleksi langsung dari
gugusan pengalaman panjang pengetahuan dan kehidupan mereka. Persepsi HTI
mengenai kesadaran gender, termasuk kepemimpinan perempuan secara langsung
berkaitan dengan teks-teks doktrinal Islam yang cenderung membenci perempuan
(misoginis). Akan tetapi penulis melihat bahwa hal itu tidak hanya karena Islam hadir
di tengah masyarakat bertradisi “man is the best and the first” melainkan juga
berlangsungnya kesimpangsiuran dalam memahami otoritas teks di satu sisi, dan
dimensi penafsiran di sisi lain yang acap kali bermuara pada reproduksi wacana yang
bertentangan dengan nilai kesetaraan gender. Agaknya itu memang konsekuensi logis
dimenangkannya otoritas tradisi Islam demi memelihara idealitas Islam sebagai agama
samawi. Trend paradigmatik “mensubordinasi konteks atas teks” menjadi fenomena
umum dan nyaris dalam keseluruhan dinamika keilmuan Islam pasca abad
44 Najmah Sa’idah & Husnul Khotimah, Revisi.., hlm.152. 45 Jalaluddin Rahmat, Islam dan Pluralisme: Akhlak Al-Qur’an Menyikapi Perbedaan (Jakarta:
Serambi, 2006), hlm. 226-7. 46 Abdul Qadim Zalluum, Sistem Pemerintahan Islam, terj. M.Maghfur W (Bangil: Al-Izzah,
2002), hlm. 335. 47 Najmah Sa’idah & Husnul Khotimah, Revisi.., hlm. 155. 48 Bukti keterlibatan perempuan muslimah dalam kegiatan politik pada masa kerasulan bisa
dibaca pada Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita , terj. Chairul Halim, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm. 489-547.
62
pertengahan Hijriyah yang berimbas pada banyaknya ajaran Islam kehilangan konteks
sosialnya (sekaligus relevansi sosialnya).
C. Halaqah: Ruang Silaturahmi, Komunikasi, dan Belajar
Salah satu ciri yang melekat pada HTI adalah halaqah-halaqanya. Di halaqah
inilah silaturahmi antaranggota HTI terbangun dan berbagai kajian diselengarakan,
seperti kajian tentang isu-isu KDRT, poligami, presiden perempuan, dan isu khilafah
menjadi hal tepenting dari serangkaian diskusi tersebut. Pernah pada suatu waktu
penulis mengikuti beberapa halaqah yang diselenggarakan oleh FATIMAH (Forum
Muslimah Cinta Khilafah)49 di beberapa tempat di Yogyakarta. Audiens yang hadir
pada halaqah-halaqah tersebut bukan hanya perempuan anggota HTI saja melainkan
juga dihadiri oleh beberapa perwakilan badan otonom-badan otonom perempuan
organisasi Islam di Yogyakarta, seperti Muslimat, Fatayat, Aisiyah, Nasyiatul Aisiyah,
dan lain-lain. Selain itu, HTI juga mengundang tokoh-tokoh perempuan seperti Ibu
Teladan Yogakarta dan juga banyak tokoh perempuan lainnya.
Halaqah yang diadakan oleh HTI biasanya bersifat terbuka karena halaqah ini
menjadi salah satu media kampanye kepada publik tentang term-term yang diusung
dalam khilafah. Oleh karena itu, HTI tidak pernah mengadakan halaqah atau seminar
yang menghadirkan tokoh yang dianggap kontra terhadap term HTI sehingga forum
yang diadakan HTI tersebut seringkali mengusung ide-ide HTI. Meskipun demikian
dari beberapa halaqah yang pernah penulis ikuti, proses dialog antara pembicara dan
audiens selalu cair. Dalam satu kesempatan penulis juga pernah menyaksikan kritik
yang dilontarkan dari audiens terhadap konsep yang dimiliki oleh HTI (dalam hal ini
tema halaqah adalah poligami) dan salutnya kritik tersebut disikapi dengan bijak.
Perempuan HTI tidak hanya belajar tentang isu-isu yang berkaitan dengan
perempuan, di beberapa kesempatan penulis juga pernah ditawari untuk mengikuti
kajian tentang fiqh siyasah bersama Ustad Shidiq al Jawi, seminar terbatas tentang
pendidikan, dan juga dalam konferensi khilafah baik yang Internasional maupun
nasional. Dari beberapa halaqah yang pernah penulis ikuti, penulis melihat semangat
perjuangan perempuan HTI tercermin dari barisan kalimat yang penulis sarikan dari
49 Fatimah merupakan forum khusus bagi anggota nisa’ HTI Yogyakarta yang biasanya
menyelengarakan berbagai diskusi (umum maupun khusus bagi anggota).
63
beberapa halaqah dan juga perbincangan penulis dengan anggota dan pengurus HTI;
“Kau boleh dari Islam madzhab apa pun (kecuali yang tidak percaya pada
Muhammad), dari Islam organisasi mana pun, asalkan kau tahu dan mau untuk selalu
berjuang demi bersatunya umat Islam dalam bingkai khilafah, maka engkau menjadi
teman seperjuangan kami dengan semangat ‘izzul Islam wal muslimin. Akan tetapi satu
hal bahwa kami adalah partai politik, yang kami perjuangkan adalah madzhab
politik.” Selain itu penulis juga menemukan model relasi yang penulis gambarkan
dalam kalimat berikut ini: ”Tak ada raut kebencian di wajah mereka, senyum ramah
selalu menyambut ketika kita bertemu dengan mereka, tatapan penuh gairah
perjuangan dan optimisme yang mereka punya mungkin tak dipunyai perempuan di
organisasi mana pun”. Kalimat tersebut menggambarkan semangat tak kenal lelah
dari para anggota maupun pengurus HTI yang pernah penulis temui.
Besar kecilnya halaqah HTI tergantung pada tema yang diperbincangkan.
Selain itu halaqah yang diadakan oleh HTI ada yang diperuntukkan bagi anggotanya
sendiri, ada yang bersifat untuk umum. Beberapa yang penulis ungkap di atas adalah
halaqah yang bersifat umum.
Satu hal lagi, selain melalui media halaqah, HTI juga mengkampanyekan
khilafah dengan menggunakan sistem sel seperti halnya sistem yang digunakan oleh
Partai Komunis Indonesia pada masa orde lama dan sistem yang kerap kali digunakan
oleh model perdagangan multi level marketing (MLM), meski dalam hal ini penulis tidak
bermaksud menyamakan atau membandingkan.
D. Demi Tegaknya Khilafah
Khilafah seolah menjadi jargon yang “ampuh” bagi HTI. Konsep ini selalu
disajikan dalam berbagai pertemuan sebagai suatu solusi permasalahan Indonesia
yang mereka bilang saat ini sedang akut. Menegakkan khila>fah Isla>miyah adalah
kewajiban karena syari’at tidak akan tegak tanpa ada khila>fah50, dengan adanya khila>fah
maka syari’at akan tegak karena akan ada yang bertanggung jawab untuk
menyebarkan ajaran yang berkaitan dengan syari’at Islam ke seluruh pelosok negeri.
Tegaknya khila>fah adalah cita-cita yang membuat anggota HTI bersemangat untuk
50 “Hajatan Demokrasi Muslim Indonesia”, Gatra Edisi Khusus Nomor 1-2 tahun XI. 27
November 2004, hlm 120.
64
menyebarkan ide atau pemikiran yang mereka pegang sebelum proses perebutan
kekuasaan yang akan dilakukan setelah ide atau pemikiran tentang khila>fah tersebar di
seluruh dunia, khususnya di Indonesia. Satu hal yang penulis lihat istimewa dari
proses ini adalah perempuan HTI memberikan sumbangan yang sangat besar bagi
eksistensi HTI hingga saat ini.
Ketika penulis bertemu dengan Ustad Yoyo Tendyo S, koordinator
Hubungan Masyarakat HTI DPD 1 DIY, dan menanyakan perihal berdirinya khila>fah
di Indonesia, dengan tegas beliau menyatakan bahwa Hizbut Tahrir memiliki
keyakinan yang sangat kuat bahwa khila>fah akan berdiri dan Indonesia akan menjadi
negara pusat berdirinya khila>fah. Pendapat lain yang juga penulis jumpai adalah
perjuangan HTI dapat membahayakan kesatuan negara Republik Indonesia seperti
diungkap oleh Zainuddin dalam disertasinya Perjuangan Pengambilalihan Kekuasaan:
Studi tentang Khilafah Perspektif Hizbut Tahrir, 51 meskipun menurut Nopriadi, salah satu
anggota HTI, khila>fah bukan konsep yang bersifat ijtihadi.
Dari sini secara subyektif penulis melihat bahwa optimisme tegaknya khilafah
oleh HTI disambut pesimis oleh sebagian kalangan masyarakat karena realitas sejarah
mengungkapkan bahwa praktik pemerintahan khila>fah yang telah ada juga mengalami
distorsi dan penyimpangan dalam berbagai bidang seperti halnya praktik
pemerintahan modern saat ini.52 Apalagi jika khila>fah dihadapkan dengan realitas
bangsa modern (nation state) yang plural (beraneka ragam) seperti Indonesia, keduanya
akan menjadi bom waktu yang saling berbenturan.
E. Penutup: Kritik terhadap Sebuah Konsep
Setelah menganalisa peran politik perempuan HTI di pembahasan
sebelumnya, penulis melihat tawaran HTI tersebut mengindikasikan ketimpangan
antara hak yang diberikan kepada perempuan dengan beban kewajiban peran politik
(dakwah) yang mereka emban untuk perjuangan partai. Perempuan sebagai anggota
partai memiliki kewajiban yang sama dengan laki-laki, sedangkan dalam dataran hak,
perempuan HTI memiliki wilayah yang sangat terbatas, bahkan untuk menjadi
51Zainudin, Perjuangan Pengambilalihan Kekuasaan Studi tentang Khilafah Perspektif Hizbut Tahrir,
Disertasi Program Doktor UIN Sunan Kalijaga 2007. 52 Bacaan yang baik tentang sejarah kelam praktik politik di kalangan kaum muslim pada
masa klasik adalah karya Farag Fouda, Kebenaran yang Hilang (Jakarta: Paramadina, 2008).
65
anggota majelis umat pun perempuan harus memiliki kriteria khusus, termasuk dari
sisi umur (usia yang tidak lagi memiliki tanggung jawab besar terhadap pengasuhan
anak).53 Pada level organisasi, perempuan hanya berhak untuk mengeluarkan
pendapat yang berkaitan dengan masalah umat, bagaimanapun laki-laki yang
terhimpun dari majelis umat yang memiliki hak lebih untuk menentukan. Bahkan
beberapa hal yang menjadi keputusan Amir pusat HT tidak harus dipertanyakan
namun harus dilaksanakan, termasuk keputusan yang berkaitan dengan perempuan.54
Bisa dibayangkan begitu banyak peran yang harus dimiliki oleh perempuan
HTI dalam ranah publik dan domestik, namun sangat disayangkan peran ini tidak
diimbangi dengan pemberian hak yang seimbang dalam ranah publik, khususnya
dalam ranah politik. Mengapa hal ini tidak mendapatkan protes dari perempuan HTI?
Semua itu karena doktrin yang mereka miliki telah menjadi keyakinan yang kuat.
Menurut penulis kalau HTI konsisten dengan doktrin kembali kepada al-
Qur’an dan al-Hadis, seharusnya memberikan ruang yang bebas bagi kaum
perempuannya. Terkait partisipasi publik terutama urusan sosial politik, penulis
banyak menjumpai literatur yang mengenalkan keuletan Khadijah dalam memainkan
peran-peran bisnisnya, kecerdasan dan intelektualitas Aisyah sampai pernah
memimpin kelompok oposisi pada zaman pemerintahan Ali bin Abi Thalib atas
ketidaksetujuannya terhadap kebijakan pemerintah Ali pada masa itu, kemudian
Ummu Salamah yang memiliki peran cemerlang dalam bidang politik. Kesemuanya
ini merupakan gambaran dari kebebasan ruang sosial politik yang diberikan kepada
perempuan pada masa itu.
Kalau kita mau bersikap arif, sebenarnya keterlibatan perempuan di ranah
publik (terlebih sebagai pemimpin) merupakan cerminan implementasi pengakuan
dan penghormatan Islam terhadap perempuan. Pemberian kesempatan untuk terlibat
dalam urusan publik akan memberi manfaat besar bagi terciptanya keadilan dan
kesejahteraan bagi semua orang. Kehadiran pemimpin yang diharapkan mampu
merumuskan kebijakan-kebijakan negara yang dapat memberdayakan berjuta-juta
kaumnya dan menghapus kultur diskriminatif seharusnya tidak dibatasi dari sisi
53 Wawancara dengan Humas DPD 1 HTI Yogyakarta pada Sabtu, 6 Oktober 2007, pukul
11.00 – 12.30. WIB di kantor DPD 1 DIY. 54 Wawancara dengan Pengurus Nisa’ HTI DPD 1 DIY, pada 16 Desember 2007 di Kantor
HTI PDP 1 DIY.
66
gender melainkan pada sisi kemampuan. Perilaku diskriminatif tersebut akan luntur
jika konstruksi sosial yang menghargai laki-laki dan perempuan terbentuk secara
seimbang. Akan tetapi, butuh perjuangan yang panjang untuk mewujudkan
keseimbangan tersebut, apalagi jika melihat doktrin gerakan seperti HTI yang masih
terkungkung pada teks verbatim nash.
Di sinilah penulis melihat peminggiran atau bahkan hegemoni yang dilakukan
oleh HTI terhadap perempuannya. Kalau hegemoni dikatakan sebagai penguasaan
kelompok dominan yang digunakan untuk membentuk kesadaran subordinat maka
hegemoni dalam tubuh HTI tercipta antara laki-laki sebagai kelompok dominan
untuk melakukan subordinat terhadap perempuan. Hegemoni HTI ini dilakukan
lewat pemahaman dan penafsiran yang tekstual terhadap doktrin keagamaan yang
mestinya bisa ditafsirkan sesuai dengan semangat zaman, apalagi pesan dasar dari al-
Qur’an sangat jelas yaitu tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan
termasuk dalam politik. Apalagi jika dilihat dari latar belakang pendidikan perempuan
HTI yang tergolong menengah ke atas (sebagian besar menempuh pendidikan hingga
perguruan tinggi).
Apabila dilihat dalam peta pergerakan perempuan, HTI saat ini berada pada
tingkatan pengakuan terhadap kemampuan dan kompetensi perempuan dalam
berpolitik, namun belum mencapai tahapan memunculkan partisipasi perempuan
secara langsung dalam politik. Padahal aktivitas sosial-politik kaum perempuan
mustahil dapat tercapai dengan baik tanpa merealisasikan tiga tahapan penting yang
saling berkaitan, yaitu pertama, pengakuan terhadap kemampuan dan kompetensi
politik kaum perempuan; kedua, penghargaan atau pengakuan tersebut mencapai
momentumnya ketika kaum perempuan menjadi sadar secara politik dan menyadari
tanggung jawabnya dalam masyarakat; dan, ketiga, memunculkan partisipasi politik
yang luas di kalangan kaum perempuan yang dikondisikan oleh kemampuan-
kemampuan dan tingkat kesadaran diri mereka sendiri yang dipraktekkan pada
sebuah latar belakang sosial yang menyenangkan serta memberikan rangsangan dan
momentum bagi mereka.
Mungkinkah perempuan HTI akan terus terpinggirkan di tengah perjuangan
keras mereka menkampanyekan khila>fah di Indonesia? Kalau HTI masih berkutat pada
67
pemaknaan teks yang literalis maka perempuan HTI akan selalu menjadi bagian
masyarakat yang terpinggirkan dalam politik.
68
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita , terj. Chairul Halim, Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
Abdul Jalil, dkk., Fiqh Rakyat;Pertautan Fiqh Dengan Kekuasaan, Yogyakarta: LKiS, 2000.
Abdul Qadim Zalluum, Sistem Pemerintahan Islam, terj. M.Maghfur W, Bangil: Al-Izzah, 2002.
Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Abu Daud Sulaiman, Sunan Abi Dawud, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-'Asqalani, Fathul Ba>ri Syarhu S}ahi>h al-Bukha>ri, Beiru>t: Da>r al-Fikr, t.t.
Al-Wa’ie Media Politik Dakwah, No.75 Tahun VII, 1-30 November 2006.
Al-Wa’ie Media Politik Dakwah, No.64 Tahun V, 1-28 Februari 2005.
Farag Fouda, Kebenaran yang Hilang, Jakarta: Paramadina, 2008.
Gatra Edisi Khusus Nomor 1-2 tahun XI. 27 November 2004
Haedar Nashir, Gerakan Islam Syari’at Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia, Jakarta: PSAP, 2007.
Hamim Ilyas, dkk, Perempuan Tertindas? Kajian Hadis-hadis Misoginis, Yogyakarta: elSaq Press & PSW, 2005.
Hans George Gadamer, Truth and Method, New York, Seabury Press, 1975.
Hussein Muhammad, Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, Yogyakarta: LKiS, 2001.
Jalaluddin Rahmat, Islam dan Pluralisme; Akhlak Al-Qur’an Menyikapi Perbedaan, Jakarta: Serambi, 2006.
Masykuri Abdillah, Demokrasi Di Persimpangan Makna, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999.
M. Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia, Jakarta: Erlangga, 2005.
M. Quraish Shihab, Wawasan Al- Qur an, Bandung: Mizan, 1419 H/1998 M.
Najmah Sa’idah & Husnul Khotimah, Revisi Politik Perempuan Bercermin Pada Shahabiyat, Jakarta: IdeA Pustaka Utama, 2003.
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender, Jakarta: Paramadina, 1999.
Said Aqiel Siradj, Islam Kebangsaan: Fiqh Demokratik Kaum Santri, editor: Jauhar Hatta Hasan, Jakarta: Pustaka Ciganjur; Oktober 1999.
Thoha Hamim, Islam & NU di bawah Tekanan Problematika Kontemporer, Surabaya: Diantama, 2004.
69
Ummu Nayla, “Pemberdayaan Perempuan Perspektif Islam Sebuah Solusi” dalam Aliansi Penulis Pro Syari’ah, Keadilan dan Kesetaraan Gender (2007).
WAMY, Gerakan Keagamaan dan Pemikiran Akar Ideologis dan Penyebarannya, Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat, 2002.
Zainudin, Perjuangan Pengambilalihan Kekuasaan Studi tentang Khilafah Perspektif Hizbut Tahrir, Disertasi Program Doktor UIN Sunan Kalijaga 2007 (tidak diterbitkan).