peran pfemp1 pada malaria cerebral
TRANSCRIPT
BAB III
PLASMODIUM FALCIPARUM ERITROCYTE MEMBRANE PROTEIN 1
PADA MALARIA CEREBRAL
3.1 Karakteristik genom dan sifat antigen P. falciparum
Plasmodium falciparum memiliki genom berukuran 22,8 Mega basa (Mb)
yang tersebar pada 14 kromosom yang masing-masing berukuran sekitar 0,643-3,29
Mb. Jumlah gen yang terdapat dalam kromosom P. falciparum sebanyak 5.300 gen
yang mengkode berbagai protein. Seperti halnya organisme lainnya, P. falciparum
memiliki famili gen yang bersifat sangat variabel, diantaranya var, rif dan stevor,
yang secara berurutan masing-masing mengkode P. Falciparum erythrocyte
membrane protein-1 (PfEMP-1), repetitive intersperded family (rifin), dan
subtelomeric variable open reading frame.
Para peneliti telah berhasil memetakan struktur genom P. falciparum yang
terdiri dari gen var, rif dan stevor pada bagian subtelomer pada masing-masing
kromosom (dapat dilihat pada gambar dibawah ini). (Noviyanti R. Patogenesis
molekuler Plasmodium falciparum: kajian gen parasit yang berkaitan dengan
virulensi. Dalam: Ed. Harijanto, Nugroho dan Gunawan CA. Malaria dari molekuler
dan klinis. Edisi 2. EGC. Jakarta 2010: 17-30)
16
Gambar 10. Diagram susunan kromosom Plasmodium falciparum. Gen var, rif dan stevor terletak pada subtelomer dari kromosom. TARE (telomeric-associated repeat sequence) yang mengandung sekuens rep20 diduga berfungsi untuk menjaga kestabilan kromosom dan membantu dalam pembentukan cluster kromosom di dalam inti sel.
Gen var mengkode PfEMP-1 yang diekspresi di permukaan eritrosit yang
terinfeksi parasit. PfEMP-1 memperantarai perlekatan (adhesi) eritrosit terinfeksi ke
berbagai sel reseptor yang tersebar pada sel-sel endotel berbagai organ. Protein rifin
dikode oleh gen rif, merupakan protein permukaan yang diekspresikan pada
permukaan eritrosit yang terinfeksi serta mengalami proses variasi antigen. Protein
stevor memiliki persamaan dengan rifin, namun lebih sedikit bervariasi dibandingkan
dengan rifin. Fungsi dari stevor dan rifin masih belum jelas. (Noviyanti R.
Patogenesis molekuler Plasmodium falciparum: kajian gen parasit yang berkaitan
dengan virulensi. Dalam: Ed. Harijanto, Nugroho dan Gunawan CA. Malaria dari
molekuler dan klinis. Edisi 2. EGC. Jakarta 2010: 17-30)
17
Gambar 11. Skema organisasi kromosom P. falciparum dan struktur PfEMP-1.
3.2 Struktur Plasmodium falciparum Eritrocyte Membrane Protein 1
Plasmodium falciparum Eritrocyte Membrane Protein 1 (PfEMP-1) disandi
oleh sekitar 59 jenis gen var yang berbeda, berukuran sekitar 6-13 kb, dan memiliki
struktur yang terdiri dari 2 ekson (Gambar 2.3). Struktur ekson pertama sangat
bervariasi karena daerah ini memperantarai perlekatan eritrosit terinfeksi dengan
berbagai jenis reseptor pada sel endotel. Exon I terdiri dari berbagai domain, seperti
Duffy binding-like (DBL) yang memiliki homologi dengan glikoforin A dari
molekul EBA175 P. falciparum dan kelompok antigen Duffy dari P. vivax (Sim et
al., 1994; Peterson et al., 1995). Dua domain pertama dari ekson I (DBL1 dan cysteine
rich interdomain region/CIDR) membentuk struktur utama yang conserved sehingga
diperkirakan daerah ini berperan penting dalam perlekatan antigen (Gambar 2.3). Ada
18
sekitar 1-6 DBL lainnya yang terletak lebih ke arah ujung 3' (ujung karboksil) dari
protein PfEMP-1 (Su et al., 1995; Buffet et al., 1999) yang lebih sedikit tingkat
homologinya dibanding dengan DBL1 dan CIDR. Susunan terakhir ekson I adalah
sequence of variable length (SVL) dan domain yang hidrofobik, yaitu transmembrane
segments (TMS). Ekson II mengkode acidic terminal segment (ATS) yang memiliki
jumlah sistein yang sangat sedikit dan terletak di bagian sitoplasma parasit (Su et al:,
1995).
Gambar 2. Diagram skematik struktur protein dari PfEMP-1 dan binding domain.(a) Prototypical PfEMP-1 regio ekstraselular terdiri atas satu NTS dan DBL1α-CIDR1α “semiconserved head structure” yang diikuti oleh suatu DBL2δ-CIDR2β secara bergandeng. (b) Protein-protein PfEMP-1 yang lebih besar, termasuk DBLβ, γ dan ε yang susunan tipenya berbeda. Pemetaan binding bawaan untuk reseptor yang peka dengan domain yang bertanggung jawab untuk binding. (Smith et al 2001).
Secara mikroskopik immunoelektron lokalisasi molekul PfEMP1
diidentifikasi pada ujung tonjolan luar knop dari eritrosit yang terinfeksi. PfEMP1
merupakan protein permukaan yang bervariasi 200-350 kD dari eritrosit yang
terinfeksi dan merupakan satu dari protein sitoadheren, protein yang membantu
proses mediasi adheren dari eritrosit terinfeksi P. falciparum ke sel-sel endothelial
mikrovaskular pada pasien malaria serebral.
19
MfEMP2 (disebut juga mature erythrocyte surface antigen, MESA)
merupakan molekul polimorfik, ukuran 250-300 kD dan lokasi pada vakuola
parasitoporus dari skizon, dengan membrane-bound vesicles dalam sitoplasma
eritrosit yang berhubungan dengan knob dan permukaan dalam dari membran eritrosit
yang menutup knop. MfEMP-2/MESA dihubungkan secara spesifik dengan
sitoskleton eritrosit terinfeksi, oleh karena itu, hal ini merupakan rangkaian elemen
penting untuk PfEMP-1. PfEMP-3 adalah sebuah antigen permukaan dengan ukuran
315 kD lokasi di membran eritrosit. PfEMP-3 mungkin mempengaruhi formasi knob
dan diduga PfEMP-3 berinteraksi dengan sebuah protein dari sitoskeleton eritrosit.
Gambar 7. Struktur knobs eritrosit parasit dan diagram interaksi antara antigen PfEMP-1 dengan reseptor pada sel endotelial. Parasit P falciparum mengekspresi PfEMP-1 dan
20
protein lain yang terpusat pada knobs yang berasal dari parasit pada permukaan sel darah merah terinfeksi parasit. (Diadaptasi dart Deitsch et al. 1996). Diagram dibuat oleh Art and Graphic Department, the Walter and Eliza Ha" Institute, Melbourne; Noviyanti, PhD thesis 2003. (Lihat sisipan Gambar Berwarna him. W-2)
PfEMP-1 merupakan antigen yang terekspresi dalam berbagai tipe sebagai suatu
cara bagi parasit untuk tetap fleksibel dalam melekat (adhesi) pada berbagai macam
sel endotel pada tubuh manusia (host). Sifat-sifat inilah yang menjadikan PfEMP-1
sebagai protein yang virulens dan berperan penting dalam patogenesis malaria
(Miller et al., 2002). Meskipun sebagian besar infeksi ini tidak menyebabkan
malaria berat, namun jika perlekatan terjadi dalam jumlah yang sangat besar
(sekuestrasi) pada organ-organ yang vital seperti otak dan plasenta, dapat
menyebabkan malaria serebral dan berpengaruh buruk pada kehamilan.
Protein PfEMP-1 merupakan target dari antibodi yang bersifat protektif (Bull
et al., 1998). Namun, karena gen var memiliki kemampuan untuk melakukan
perubahan (switching) sekitar 2% per generasi (Rtberts et al., 1992), hal ini
menyulitkan usaha untuk penemuan vaksin terhadap malaria. Kemampuan untuk
mengubah antigen melalui proses antigenic variation ini merupakan suatu cara bagi P.
falciparum untuk dapat terhindar dari serangan sistem imun host. Selain itu, dengan
adanya variasi antigen, memungkinkan terjadinya malaria kronik yang dapat
mempengaruhi pola transmisi malaria yang terjadi melalui gigitan nyamuk
Anopheles betina. Hingga kini, mekanisme yang mendasari terjadinya switching
antigen belum sepenuhnya jelas, terutama yang berkaitan dengan ekspresi PfEMP-1
yang selektif yang berkaitan dengan sifat-sifat perlekatannya dengan sel reseptor
pada host.
3.3 Peran PfEMP-1 dan kemampuan parasit untuk melakukan sitoadhesi pada berbagai reseptor.
PfEMP-1 memiliki kemampuan untuk melekat pada berbagai reseptor pada tubuh
manusia (host), di antaranya CD36, ICAM-1, trombospondin (Baruch et al., 1996), CSA
21
(Buffet et al., 1999; Reeder et al., 1999), HA (Beeson et al., 2000), P-selectin (Senczuk et
al., 2001), dan CR1 (Rowe et al., 1997), memperantarai rosetting (Rowe et al., 1997; Chen
et al., 1998) serta pembentukan autoaglutinasi (Roberts et al., 2000). Meskipun variasi
pada PfEMP-1 cukup tinggi, namun antibodi yang terbentuk terhadap protein ini
memiliki cross- reactivity terbatas yang kemungkinan berkaitan dengan sistem imun
yang protektif sehingga PfEMP-1 dapat dijadikan target kandidat vaksin malaria (Marsh
et al., 1998; Bull et al., 1998, Joergensen et al., 2006).
Peran berbagai macam domain pada PfEMP-1 dalam memperantarai perlekatan
pada sel endotel dirangkum pada Tabel 1. DBL dan CIDR dapat dibedakan menjadi
beberapa jenis berdasarkan atas kesamaan sekuensnya (Smith et al., 2000). Domain
yang mampu melekat pada suatu reseptor tertentu, memiliki kesamaan sekuens gen
var yang mengkode PfEMP-1. CIDR-1α merupakan domain yang memperantarai
perlekatan dengan CD36, sedangkan CIDR-1β tidak berikatan dengan CD36. DBL2βc2
domain merupakan domain yang secara umum memperantarai perlekatan PfEMP-1
dengan ICAM-1 (Baruch et al., 1996; Smith et al., 2000). Meskipun domain PfEMP-1
yang memperantarai perlekatan dengan CD36 dan ICAM-1 cukup bervariasi namun
masih ada sekitar 30-50% domain yang homolog sehingga menunjukkan kemungkinan
dapat dikembangkan sebagai kandidat vaksin malaria, terutama terhadap malaria
berat.
Tabel 2. Domain pada PfEMP-1 yang memperantarai perlekatan pada reseptor sel
endotel.
No. Domain pada MfEMP-1 Reseptor
1. CIDR1α (Baruch et al., 1997; Smith et al. 1998) CD36
2. DBLγ (Buffet et al., 1999; Reeder et a/. 1999) CSA
3. DBL3X (Salanti et al., 2003) CSA
4. CIDR1 α (Degen et al., 2000; Reeder et al. 1999) CSA
5. DBL2βc2 (Smith et al., 2000) ICAM-1
22
6. DBL1 α (Chen et a/., 1998; Chen et al., 2000) Glikosaminoglikan, heparan sulfat, antigen pada golongan darah A
7. DBL1 α (Rowe et al., 1997; Rowe et al., 2000) CR1
8. CIDR1 α and DBL2δ (Chen et al., 2000) PECAM-1/CD31
Gambar 2.4 Model ekspresi PfEMP-1 pada P falciparum. Eritrosit yang terinfeksi dapat mengekspresikan lebih dari satu PfEMP-1 yang memiliki lebih dari satu domain yang memperantarai perlekatan pada reseptor sel endotelial. Model 1 menggambarkan satu eritrosit yang terinfeksi malaria memiliki satu PfEMP-1 pada setiap selnya. Model 2 menunjukkan adanya ekspresi lebih dari 1 PfEMP-1 dengan kemampuan yang berbeda dalam melakukan cytoadhesion pada sel endotel. Model 3, menunjukkan PfEMP-1 yang memiliki lebih dari 1 domain yang dapat memperantarai cytoadhesion (Noviyanti dan Brown, 2003; Noviyanti, PhD thesis
23
2003).
Eritrosit yang terinfeksi parasit mampu melekat pada berbagai macam reseptor
dalam satu waktu (Chaiyaroj et al., 1994; Fernandez et al., 1998). Apakah perlekatan
ini diperantarai oleh PfEMP-1 tunggal pada satu sel atau oleh berbagai domain pada
PfEMP-1, merupakan topik penelitian yang menarik (lihat Gambar 2.4, Noviyanti dan
Brown, 2003). Satu penelitian menunjukkan bahwa PfEMP-1 tunggal dapat
memperantarai perlekatan antara CD36 dan ICAM-1 oleh domain yang berbeda (Smith et
al., 2000). Domain tersebut diekspresikan menjadi protein fusi yang selanjutnya dapat
memperantarai perlekatan pada berbagai macam reseptor termasuk perlekatan pada
platelet-endothelial cell adhesion molecule-1 (PECAM-1/CD31), antigen pada golongan
darah tipe A, immunoglobulin M normal, heparan sulfat, dan CD36 (Chen et al.,
2000).
3.4 Penelitian untuk memahami ekspresigen var/ PfEMP-1 dalam kaitannya dengan fenotip eritrosit yang terinfeksi parasit.
Beberapa penelitian dilakukan untuk memahami bagaimana PfEMP-1 berlekatan
dengan berbagai reseptor melalui kemampuan perubahan/switching antigen P. falciparum
yang dikode oleh gen var (Noviyanti et al., 2001; lihat Gambar 2.5, Noviyanti dan Brown,
2003). Eritrosit terinfeksi parasit diseleksi untuk mendapatkan fenotip adhesi yang
homogen seperti CSA, kemudian seleksi dilanjutkan pada reseptor ICAM-1, dan
terakhir diseleksi kembali ke CSA (lihat Gambar 2.5). Parasit selanjutnya dikloning
dengan cara pengenceran bertahap (limiting dilution) setiap kali dilakukan proses seleksi.
Fenotip masing-masing parasit kemudian diuji dengan menggunakan teknik binding assay
pada tiap reseptor yang digunakan untuk menyeleksi parasit (Noviyanti dan Brown,
2003).
Perubahan ekspresi PfEMP-1 dideteksi dengan metode Western Blot dengan
menggunakan antibodi poliklonal anti ATS yang dibuat dari kelinci (Crabb et al., 1997).
Hasil analisis Western Blotting menunjukkan adanya perubahan ukuran PfEMP-1
24
pada tiap isolat yang diseleksi. Hal ini menunjukkan bahwa ada beberapa jenis
PfEMP-1 yang memperantarai perlekatan pada reseptor yang sama, atau tipe PfEMP-1
tertentu yang memperantarai perlekatan pada beberapa reseptor sekaligus. Alternatif
lain, masing-masing sel mengekspresi bermacam-macam PfEMP-1 yang mampu
berikatan dengan berbagai jenis reseptor pada host (lihat Gambar 2.4). Populasi parasit
yang mampu melekat pada reseptor CSA atau ICAM-1 menunjukkan adanya
ekspresi gen var yang berbeda (Noviyanti et al., 2001). Penelitian pada tingkat sel
tunggal yang melekat pada reseptor CSA juga memperjelas fenomena ekspresi
berbagai macam gen var yang berasosiasi dengan fenotip perlekatan dengan CSA (Duffy
et al., 2002).
3.5 Kaitan antara ekspresi PfEMP-1 dan patogenesis malaria berat.
Gejala klinis malaria sangat bervariasi dari ringan hingga berat sehingga dapat
membahayakan kehidupan, termasuk malaria berat, malaria serebra, dan gangguan
pernapasan yang berat (severe respiratory distress). Beberapa penelitian ditujukan
untuk melihat adanya asosiasi antara ekspresi gen var dengan fenotip perlekatan pada
sel endotel dan gejala klinis yang ditimbulkan (Bull et al., Newbold et al., 1999).
Pada kondisi fisiologis, sekuestrasi eritrosit terinfeksi malaria pada pembuluh
darah diperantarai oleh berbagai reseptor (Chaiyaroj et al., 1994; Heddini et al., 2000).
Cluster Determinant 36 memiliki perlekatan yang spektrumnya sangat luas pada
reseptor sel-sel endotel pada tubuh manusia, namun tidak terekspresi di plasenta dan
pada jaringan otak. Sebaliknya, ICAM-1 banyak dijumpai di pembuluh darah otak
sehingga banyak dihubungkan dengan adanya sekuestrasi eritrosit yang terinfeksi
parasit malaria di otak (Turner et al., 1994; Newbold et al., 1997).
Struktur genom gen var P. falciparum dibagi menjadi 3 kelompok (A,B, dan C)
dan dua tipe antara, yaitu kelompok B/A dan B/C berdasarkan sekuens bagian promoter
upstream non coding dari gen var (Voss et al., 2000; Laystsen et al., 2003). Hal tersebut
25
sangat menarik untuk diperhatikan, karena struktur ini dapat memiliki implikasi
biologis yang berkaitan dengan fungsi gen var dalam kaitannya dengan gejala klinis
malaria.
Beberapa penelitian telah banyak dilakukan untuk memahami lebih dalam
mengenai ekspresi ketiga kelompok gen var yang berbeda. Di antaranya dengan
melakukan analisis ekspresi gen var dengan teknik reverse-transcription polymerase chain
reaction (PCR) dan quantitative real time PCR (QRT-PCR). Parasit dengan fenotip rosetting
yang diasosiasikan dengan terjadinya malaria berat di Afrika lebih banyak
mengekspresikan gen var dari kelompok A atau kelompok A dan B ( Jensen et al., 2004;
Rottmann et al., 2006; Kyriacou et al., 2006). Sedangkan penelitian di Papua New
Guinea menunjukkan gen var dari kelompok B berasosiasi dengan malaria berat
(Kaestli et al., 2006). Hal menarik yang perlu dicatat di sini adalah fenomena
rosetting di Afrika(Carlson et al., 1990; Rowe et al., 1995) dihubungkan dengan
malaria berat, namun hal ini tidak terjadi di Papua New Guinea (Rogerson et al.,
2000). Adanya perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh kurangnya ekspresi
reseptor CR1 (complement receptor 1) pada eritrosit pada populasi di Papua New
Guinea (Cockburn et al., 2004). Sementara itu, parasit pada individu tanpa gejala,
sebagian besar mengekspresi gen var kelompok C (Jensen et al., 2004; Rottmann
et al., 2006; Kaestli et al., 2006; Kyriacou et al., 2006).
Secara serologis, isolat parasit P. falciparum yang menyebabkan malaria
berat memiliki tipe antigen permukaan (variant surface antigen/VSA) yang lebih
conserved dibanding parasit pada individu yang menderita malaria tanpa komplikasi
(Bull et al., 2000; Nielsen et al., 2002; Nielsen et al., 2004). VSA dari individu
dengan malaria berat dikenali sistem imun lebih selektif dibanding VSA dari
individu yang non-imun. Parasit yang memiliki fenotip serupa dengan parasit dari
individu dengan malaria berat, mengekspresi VSA jenis tertentu yang dikode oleh
var gene tipe A. Recombinant DNA yang dibuat terhadap jenis VSA ini juga
terbukti diekspresi pada permukaan eritrosit yang terinfeksi ( Jensen et al., 2004).
Penelitian lain dengan menggunakan sekuens DBL1a menunjukkan adanya
26
kaitan antara rosetting dan malaria berat dengan tipe DBLla tertentu (Normark et al.,
2007). Penelitian terdahulu dengan menggunakan DBLla menunjukkan bahwa
isolat dari pasien dengan malaria berat memiliki delesi 1-2 sistein pada sekuensnya
(Kirchgatter dan Portillo, 2002). Penelitian genomik untuk analisis tipe gen
paling dominan pada isolat parasit dari individu dengan malaria berat dan
penelitian dari segi serologis, diharapkan 3.2.pat menjadi dasar acuan baru untuk
pengembangan vaksin yang spesifik terhadap malaria berat.
27