peran nyamuk sebagai vektor demam berdarah dengue …
TRANSCRIPT
Sjamsul Huda, S.Si2021
PERAN NYAMUK SEBAGAI VEKTORDEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)
MELALUI TRANSOVARIAL
Dr. Isna Hikmawa�, S.KM.,M.Kes (Epid)Sjamsul Huda, S.Si
Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)II
Editor:Febriani Safitri
Desain Sampul dan Tata Letak:Tim Satria Publisher
Penerbit dan Pencetak:Satria Publisher
Jalan Raya Tinggarjaya RT 01/09 Ja�lawang, Banyumas, Jawa Tengah HP: 085867822579
ISBN:978-623-6057-56-8
125 Halaman, 14, 8 x 21 cm
Terbitan PertamaCetakan Pertama
2021
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA PASAL 72
1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu Ciptaan atau memberikan izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan/ atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000.00 (lima miliar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyerahkan, menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada pasal (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp. 500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).
PERAN NYAMUK SEBAGAI VEKTORDEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)
MELALUI TRANSOVARIAL
Dr. Isna Hikmawa�, S.KM.,M.Kes (Epid)Sjamsul Huda, S.Si
Sjamsul Huda, S.Si III
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil'alamin segala puji bagi Allah SWT Tuhan
semesta alam. Atas segala nikmat dan karunia-Nya yang tak
terhingga, sehingga penyusunan buku dengan judul “Peran Nyamuk
Sebagai Vektor Demam Berdarah Dengue (DBD) Melalui Transovarial
dapat diselesaikan. Buku ini merupakan kajian dari kegiatan peneli�an
disertasi yang kami lakukan, terdiri dari lima topik: 1. Demam Berdarah
Dengue (DBD) 2. Nyamuk Ae. aegyp� dan Ae. albopictus 3. Transmisi
Transovarial 4. Persistensi Virus Dengue 5. Nyamuk Sebagai Vektor.
Dengan selesainya penyusunan buku ini harapannya dapat
bermanfaat sebagai kajian teori terkait berbagai hal yang
berhubungan dengan DBD dan vektor penularnya. Terimakasih kami
sampaikan kepada Ayah dan Ibu serta keluarga tercinta atas semangat
dan do'anya selama ini. Kedua pembimbing Prof. Dr.dr. Hendro
Wahjono, MSc, Trop, Med, DMM, Sp.MK(K) dan Dr. Ir. Mar�ni, M. Kes.
Sjamsul Huda, S.Si atas bantuan teknis pada saat kegiatan rearing
nyamuk serta segenap civitas akademika Universitas Muhammadiyah
Purwokerto dan semua pihak yang telah membantu baik secara
langsung maupun �dak langsung. Semoga buku ini memberikan
banyak manfaat bagi semua fihak. Kri�k dan saran yang konstruk�f
akan kami terima demi penyempurnaan buku ini.
Purwokerto, 19 Jumadil Awwal 1442 H
3 Januari 2021 M
Penyusun
Dr. Isna Hikmawati,S.KM.,M.Kes(Epid)
Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)IV
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ........................................................... iii
BAB I Pendahuluan....................................................... 1
BAB II DEMAM BEDARAH DENGUE (DBD)................... 12
A. Penyebab Demam Berdarah (DBD)................ 12
B. Mekanisme Penularan................................... 17
C. Barrier (Hambatan) Terhadap Penularan Virus
Dengue........................................................... 21
BAB III AEDES AEGYPTI DAN AEDES ALBOPICTUS....... 25
A. Ae. Aegyp�..................................................... 25
1. Taksonomi.................................................... 25
2. Morfologi..................................................... 25
3. Bionomik...................................................... 43
B. Ae. Albopictus................................................ 37
1. Taksonomi.................................................... 37
2. Morfologi..................................................... 38
3. Bionomik...................................................... 43
Sjamsul Huda, S.Si
BAB IV TRANSMISI TRANSOVARIAL............................. 45
A. Definisi Transmisi Transovarial....................... 45
B. Kejadian Transovarial dan Sebaran Sero�pe di
Indonesia....................................................... 46
C. Peneli�an Terkait Transovarial di Beberapa
Negara............................................................ 53
D. Faktor yang Mempengaruhi........................... 58
BAB V PERSISTENSI VIRUS DENGUE............................ 63
A. Definisi Persistensi......................................... 63
B. Hasil Peneli�an Persisitensi............................ 70
BAB VI NYAMUK SEBAGAI VEKTOR............................. 76
A. Mekanisme Nyamuk Sebagai Vektor.............. 76
B. Kompetensi Vektor dan Kapasitas Vektor....... 78
C. Siklus Gonotropik dan Lama Metamorfosisi
Vektor Infeksius.............................................. 80
D. Analisis Survival Nyamuk Ae. Albopictus dan
Ae. Aegyp� Infeksius...................................... 86
DAFTAR ISTILAH.......................................................... 94
DAFTAR PUSTAKA...................................................... 106
V
1 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan
penyakit yang disebabkan oleh dengue (DENV). infeksi virus
DENV adalah virus RNA single-stranded yang terdiri dari
empat serotipe yang berbeda yaitu DENV-1, DENV-2,
DENV-3 dan DENV-4 termasuk dalam Genus Flavivirus,
Family Flaviviridae. Penyakit ini ditandai dengan demam
bifasik, leukopenia, limfadenopati, mialgia atau artralgia
dan ruam. Hasil penelitian Bhatt, S. et al memperkirakan
70-500 juta orang terinfeksi virus dengue setiap tahun di
lebih dari 100 negara di seluruh dunia. Hasil penelitiannya
dengan pendekatan kartografi memprediksi DBD akan terus
menyebar khususnya di daerah tropis akibat pengaruh curah
hujan, suhu dan tingkat urbanisasi, diperkirakan ada 390
juta/tahun terjadi infeksi karena DBD dan 96 juta kasus
menunjukkan tingkat keparahan klinis atau sub-klinis.
Worldh Health Organisation (WHO) melaporkan lebih dari
BAB I
PENDAHULUAN
Sjamsul Huda, S.Si 2
40 tahun, kasus DBD di negara endemik mencapai 4.975.807
kasus dengan kasus kematian sebanyak 68.977 (1,4%). DBD
merupakan masalah besar di Asia Tenggara, karena selama
periode 40 tahun tersebut terjadi kematian 67.295 dari total
kematian di seluruh dunia sebanyak 68.977. Hal ini berarti
terjadi kematian rata-rata 1682/tahun karena DBD.
DBD sebagian besar terjadi di daerah tropis dan sub-
tropis dengan vektor utamanya nyamuk Aedes aegypti
terutama ada di daerah perkotaan dan Aedes albopictus lebih
banyak di daerah pedesaan. – Vektor dan penyakit DBD
terkonsentrasi di daerah tropis dan sub tropis, penyebaran
vektor dan peningkatan pergerakan populasi nyamuk
menyebabkan virus menjadi endemik di daerah beriklim
sedang. – Hasil penelitian oleh Hu et al menunjukkan adanya
perbedaan insiden DBD berdasarkan karakteristik wilayah
geografis dan insiden lebih banyak terutama pada daerah
tropis. Globalisasi, perdagangan, urbanisasi, perjalanan,
perubahan demografis, persediaan air domestik yang tidak
memadai dan suhu udara yang semakin memanas berhubungan
dengan penyebaran vektor Ae. aegypti dan Ae. albopictus.
3 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
Indonesia merupakan salah satu negara tropis dengan
sebaran keempat serotipe DENV-1, 2, 3, 4. Infeksi oleh
salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap
serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang
terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga
tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai
terhadap serotipe lain tersebut. Oleh karena itu seseorang
dapat terinfeksi 3 atau bahkan 4 serotipe selama hidupnya.
Peningkatan antibodi seseorang dan pengetahuan yang baik
tentang DBD dapat mengurangi risiko infeksi yang ke dua.
Crude Fatality Rate (CFR) penyakit DBD di Indonesia dari
tahun ke tahun cenderung fluktuatif. Tahun 2014 (0,9), 2015
(0,83), 2016(0,78), 2017 (0,72), 2018 (0,65), 2019 (0,94),
Data tersebut mengambarkan kenaikan DBD pada lima
tahunan, karena selama empat tahun berturut-turut terjadi
penurunan CFR. Hasil penelitian Hikmawati dan Pattima
di Kabupaten Banyumas, sebagai salah satu daerah endemis
DBD di Jawa Tengah menunjukkan case fatality rate (CFR)
tahun 2016 sebesar 8,69, dengan tingginya CFR pada tahun
tersebut, Banyumas dinyatakan status Kejadian Luar Biasa
(KLB). Pemberantasan DBD melalui pengendalian vektor
Sjamsul Huda, S.Si 4
belum dapat memutuskan transmisi dari nyamuk ke
nyamuk karena masih ada bukti empiris penularan
transovarial. Transmisi transovarial merupakan mekanisme
penularan vertikal dalam tubuh nyamuk, yaitu virus
ditularkan oleh nyamuk betina pada telurnya, yang nantinya
akan menjadi nyamuk. Transmisi transovarial merupakan
salah satu cara eksistensi virus dengue mempertahankan
keberadaannya di alam, sehingga meningkatkan
kecenderungan terjadi kasus DBD pada lokasi yang sama
secara berulang. Penularan transovarial merupakan salah
satu bentuk peran vektor yang kompeten dalam
pemeliharaan serotipe virus pada saat interepidemik.
Transovarial dalam konsep epidemiologi merupakan
peran dari vektor DBD, khususnya nyamuk Ae aegypti dan
Ae albopictus yang mempengaruhi keseimbangan antara
host, agent dan environment sehingga menimbulkan
peningkatan insiden DBD di beberapa wilayah.
Pengendalian terhadap vektor DBD sebenarnya telah
banyak dilakukan dengan berbagai metode antaralain kimia,
biologi, fisik, rekayasa lingkungan dan lain-lain. Namun hal
5 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
tersebut belum mendapatkan hasil yang efektif dan aman,
sebagai contoh pada pengendalian secara kimia, walaupun
dapat menurunkan populasi vektor dengan segera,
penggunaan yang berlebihan berdampak pada kualitas
lingkungan dan resistensi vektor. Pengendalian vektor untuk
menghentikan transmisi dari nyamuk ke nyamuk menjadi
hal penting karena telah ada bukti empiris penularan
transovarial. Hasil penelitian transovarial virus dengue di
Malaysia melaporkan penularan transovarial terjadi pada
masyarakat urban dan sub urban baik pada Ae. aegypti
maupun Ae. albopictus. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa di alam, nyamuk dapat berfungsi
sebagai reservoir alami untuk virus. Penelitian transovarial
di Amazon menunjukkan tingkat infeksi transovarial sebesar
46% dan deteksi serotipe yang teridentifikasi meliputi
serotipe DENV-1 dan DENV-4. Hasil penelitian infeksi
DENV di Bangkok menyimpulkan penularan transovarial
meningkat selama musim panas, atau 4 bulan sebelum
insiden DBD meningkat pada manusia. Hasil penelitian ini
menemukan infeksi virus dengue melalui transovarial
sebesar 47,9% oleh DENV-4, 13,4% oleh DENV-3, 5% oleh
Sjamsul Huda, S.Si 6
DENV-1, 3,4% oleh DENV-2 dan secara keseluruhan
sebanyak 30,3% mengandung semua serotipe tersebut.
Penelitian di Kota Cebu menunjukkan MIR (Minimum
Infection Rate) nyamuk yang terinfeksi DENV-4, DENV-3
dan DENV-1 berangsur-angsur meningkat dari nol pada
musim hujan menjadi 48,22/1000 nyamuk yang terinfeksi pada
pertengahan musim kemarau. Hasil penelitian ini mendeteksi
keberadaan DENV di musim kemarau dan temuan ini
memberikan sinyal peringatan dini dari wabah DBD.
Indonesia memiliki beberapa wilayah endemis DBD,
sehingga secara geografis merupakan tempat yang baik
untuk perindukan nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus.
Hasil penelitian di wilayah endemis menemukan 55,7%
kondisi lingkungan yang kurang baik. Hal tersebut dilihat
dari manajemen pengelolaan sampah, kebiasaannya
menampung air dalam bak mandi/kontainer serta rutinitas
membersihkan bak mandi/kontainer tersebut, sehingga hal
ini menjadi sarana tempat perindukan nyamuk. Riset
tersebut menemukan container indeks dengan nilai 50-100%
sebesar 50%. Tingginya container indeks menjadi wahana
tempat perindukan nyamuk. Penelitian Lidiasari, dkk dari
7 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
Kota Menado menunjukkan Index Transmisi Transovarial
(ITT) berkisar 39,1% -70%, penelitian ini dilakukan
terhadap nyamuk Ae. aegypti yang diambil dari kelurahan
endemis DBD di kota tersebut. Penelitian tentang
transovarial di Kota Pontianak oleh Sucipto dan Dani
menunjukkan ITT sebesar 54,5%. Hasil penelitian sebaran
serotipe di Indonesia menemukan frekuensi DENV-1
sebanyak 9,6%, DENV-2 sebanyak 55%, DENV-3 sebanyak
29% dan DENV-4 sebanyak 0,4%. Berdasarkan luasnya
distribusi serotipe virus dengue, DENV-2 dan DENV-3
merupakan serotipe yang paling luas distribusinya. Hasil
riset tersebut menunjukkan adanya perbedaan proporsi
variasi serotipe virus dengan daerah endemis yang berbeda.
Hasil penelitian transovarial pada daerah endemis di Kota
Semarang menggunakan uji immunohistokimia (IHC)
menunjukkan adanya penularan transovarial dalam telur
nyamuk Ae. aegypti.
Ae. aegypti dan Ae. albopictus memiliki peran penting
dalam penularan DBD karena secara bersamaan dapat
mentransmisikan virus dengue secara vertikal/transovarial
Sjamsul Huda, S.Si 8
maupun secara horizontal. Hal ini sebagaimana hasil
penelitian oleh Mourya, et al yang menemukan adanya
transmisi horizontal serotipe DENV-2 oleh nyamuk yang
terinfeksi melalui penularan vertikal. Hasil penelitian
tersebut menyimpulkan adanya mekanisme transovarial
yang diteruskan dengan menularkan secara horizontal.
Fenomena transmisi vertikal sebelum transmisi horizontal
menunjukkan adanya persistensi/pemeliharaan serotipe
virus dengue oleh vektor utama (Ae. aegypti) maupun ko
vektor lainnya sebelum ditularkan ke manusia sebagai
transmisi horizontal. Persistensi virus adalah infeksi virus
terselubung dengan tingkat ekuilibrium antara virus dan
sistem kekebalan host mengakibatkan durasi infeksi
panjang. Hasil penelitian persistensi oleh Ahmad et al
menunjukkan persistensi melalui transovarial pada nyamuk
Ae. aegypti pada serotipe DENV-2 persisten sampai
generasi ke-lima. Keberadaan virus dalam tubuh nyamuk
pada saat tidak banyak kasus atau tidak ada wabah,
menunjukkan kemampuan vektor Ae. aegypti dan Ae.
albopictus mempertahankan virus dalam periode
interepidemik. Hasil penelitian Joshi pada nyamuk Ae.
9 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
aegypti menemukan persistensi serotipe DENV-3 sampai
generasi ke-tujuh. Hasil penelitian tersebut menemukan
adanya perbedaan kematian larva dan rata-rata telur yang
menetas antara nyamuk yang terinfeksi serotipe DENV-3
dan yang tidak terinfeksi serotipe DENV-3.
Ae. albopictus selama ini dikenal sebagai ko-vektor
penyakit DBD, namun beberapa riset menunjukkan
persentase kejadian transovarial justru lebih tinggi pada Ae.
albopictus dibanding Ae.aegypti. Hal tersebut sebagaimana
penelitian yang dilakukan oleh Eva, et al di daerah Florida
menunjukkan persentase transovarial lebih besar pada Ae.
albopictus (11,11%) dibanding Ae. aegypti (8,33%). Hasil
penelitian yang sama ditunjukkan dari penelitian
transovarial di Jodhpur India. Penelitian pada empat musim
didapatkan persentase transovarial lebih tinggi terjadi pada
Ae. albopictus (15,7%) dibanding pada Ae. aegypti
(12,6%). Di kawasan Jaipur Ae. vittatus menunjukkan
infeksi tertinggi (20%) diikuti oleh Ae. albopictus (18,7%)
dan paling sedikit di Ae.aegypti (13,3%). Di kawasan kota
pengumpulan data pada empat musim menunjukkan infeksi
vertikal maksimum terjadi pada nyamuk Ae. albopictus
Sjamsul Huda, S.Si 10
(14,2%). Hasil penelitian tersebut menunjukkan penularan
vertikal tiga kota di Jodhpur India antara 12,6-20%. Hasil-
hasil penelitian di atas menunjukkan adanya peran penting
Ae. albopictus, walaupun sebagai ko-vektor namun
memberi peran yang penting. Peran penting pertama dilihat
dari infeksi yang lebih tinggi pada Ae. albopictus dibanding
Ae. aegypti. Kedua temuan bahwa di kawasan kota infeksi
tertinggi terjadi pada Ae. albopictus, padahal riset-riset
sebelumnya menunjukkan bahwa Ae. albopictus lebih
banyak di daerah pedesaan. Selain itu beberapa riset
menemukan populasi Ae. albopictus yang tidak jauh
berbeda dengan populasi Ae. aegypti. Hasil penelitian
menunjukkan baik Ae. aegypti maupun Ae. albopictus
ditemukan berkembangbiak dalam tempat penampungan air
dengan Container Indeks (CI) sebesar 29,41-80%.
Terjadinya transovarial pada Ae. aegypti maupun Ae.
albopictus menunjukkan nyamuk survive di alam. Pada
kondisi survive, maka nyamuk akan mengalami proses
metamorfosis dan siklus gonotropik. Adanya pemanasan
global yang berdampak pada perubahan suhu, kelembaban,
curah hujan menyebabkan metamorfosis berlangsung cepat
11 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
dan kondisi survive yang lama, akan berdampak nyamuk
mengalami beberapa s iklus gonotropik. Dalam
perkembangannya, satu siklus gonotropik dapat
menghasilkan telur rata-rata 150 butir. Adanya transovarial
pada siklus gonotropik, menunjukkan persistensi virus
dengue. Semakin tinggi infeksi pada setiap siklus
gonotropik, maka akan meningkatkan Minimum Infection
Rate (MIR) dan semakin tinggi nilai MIR menunjukkan
virus tersebut semakin persisten. Adanya persistensi melalui
beberapa generasi (transgenerasional) tentu berdampak
pada penularan dan penyebaran penyakit DBD. Selain
pemanasan global, dampak lingkungan akibat pestisida juga
memberikan dampak terjadinya resistensi vektor yang akan
berpengaruh kepada kepadatan vektor yang pada akhirnya
berdampak pada transovarial. Untuk itu peran masyarakat
yang paling efektif adalah melalui kegiatan praktek
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) agar kepadatan
vektor dapat ditekan dan penyebaran penyakit DBD tidak
semakin menyebar lebih luas.
Sjamsul Huda, S.Si 12
A. Penyebab Demam Berdarah Dengue (DBD)
DBD disebabkan virus dengue suatu arbovirus
termasuk family Flavivirida yang berukuran 35-45 nm.
DBD kebanyakan asimptomatik dengan gejala klinis
yang bervariasi dari ringan sampai berat (Dengue
Hemorhag ic Fever /DHF dan Dengue Shock
Syndrome/DSS). Vasculopathy pada DBD ditandai
dengan kebocoran pembuluh kapiler dan kelainan
regulasi hematologis dan pada DSS terjadi shock
hipovolemik. Virus dengue merupakan virus RNA untai
tunggal terdiri dari 4 serotipe yaitu (DENV-1, DENV-2,
DENV-3, dan DENV-4). (Halstead, 2008) Virus dengue
masuk dalam kelompok serogroup di antara flavivirus
yang ditularkan nyamuk, menunjukkan hubungan
filogenetik dengan kelompok virus Japanese ensefalitis
dan demam kuning. Progeni serogroup DENV saat ini
BAB II
DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)
13 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
diperkirakan telah muncul sekitar 1000 tahun yang lalu,
dengan menggunakan teknik molekuler dan sebagian
besar filogenik menunjukkan bahwa serotipe DENV-4
adalah serotipe yang paling berbeda, diikuti oleh DENV-
2, DENV-1 dan DENV-3 sebagai serotipe yang paling
erat kaitannya. Dari hal tersebut menunjukkan adanya
perbedaan galur virus dalam kemampuan mengikat dan
menginfeksi sel target. (Kyle and Harris, 2008)
Variasi genetik yang berbeda pada keempat serotipe
tersebut tidak hanya menyangkut antar serotipe tetapi
juga di dalam serotipe itu sendiri tergantung waktu dan
daerah penyebarannya. Fenomena ini mengindikasikan
munculnya varian-varian baru hasil evolusi genetik virus.
Hasil penelitian Raikeinsyah menunjukkan serotipe
DENV-3 di Indonesia telah terjadi variasi genetik.
(Raekiansyah, 2004) Secara klinik keempat serotipe
DENV mempunyai tingkatan manifestasi yang berbeda,
tergantung dari jenis serotipe DENV. Survei serologi
memperlihatkan bahwa keempat serotipe DENV tersebut
bersirkulasi di Indonesia. Serotipe DENV-2 dan DENV-3
secara bergantian merupakan serotipe yang dominan, dan
Sjamsul Huda, S.Si 14
serotipe DENV-3 dalam kurun waktu 1975-1990 sangat
berkaitan dengan kasus DBD berat, tetapi pada KLB
2004 serotipe yang dominan adalah serotipe DENV-3 dan
DENV-4. (Prasetyowati and Puji Astuti, 2010) Hasil
penelitian di Peru menunjukkan distribusi serotipe virus
DBD berdasarkan keadaan geografis lebih banyak
menyerang pada daerah tropis dengan jenis serotipe
sebagian besar DENV-3 dan DENV- 4. –(G et al., 2008)
Indonesia sebagai negara tropis merupakan negara
dengan kasus dan kematian DBD yang masih tinggi.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia merilis
perkembangan penyakit demam berdarah dengue (DBD)
mulai tahun 2014 sampai dengan Januari 2019,
sebagaimana Tabel 1.1 berikut ini: (RI, 2019)
Tabel 1.1Jumlah penderita, kematian, CFR dan IR DBD di Indonesia tahun 2014-2019
Pola berjangkit infeksi DENV dipengaruhi oleh iklim
No
Data
2014
2015
2016
2017
2018
2019
1
? Penderita DBD
100.347
129.650
204.171
68.407
53.075
13.683
2
? Kematian DBD
907
1.071
1.598
493
344
133
3
CFR DBD
0,9
0,83
0,78
0,72
0,65
0,94
4 IR DBD 39,83 50,75 78,85 26,10 20,01 5,08
15 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
0dan kelembaban udara. Pada suhu yang panas (28 C-
032 C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes sp
akan tetap bertahan hidup dalam jangka waktu yang
lama. Hasil penelitian Polwiang menemukan populasi
nyamuk meningkat secara eksponensial dari awal musim
hujan pada awal mei dan mencapai puncaknya pada akhir
juni dan potensi terbesar untuk transmisi dengue terjadi
ketika suhu 28,9°C. Penelitian tersebut menyimpulkan
bahwa infeksi dengue tergantung pada variasi musim dan
iklim. Curah hujan memberikan tempat bagi nyamuk
untuk bertelur dan berkembang ke tahap dewasa
sedangkan suhu memainkan peran penting dalam siklus
kehidupan dan perilaku nyamuk karena suhu yang sangat
tinggi atau sangat rendah dapat mengurangi risiko
infeksi. (Polwiang S, 2015) Perubahan suhu akibat
pemanasan global berdampak pada distribusi dan
kejadian demam berdarah. Curah hujan yang berubah-
ubah dan suhu yang tinggi akibat kekeringan yang
panjang dapat mempengaruhi populasi nyamuk dan
penularan penyakit oleh arbovirus. Hasil penelitian Ebi,
K.L dan Nealon, J memproyeksikan bahwa, karena suhu
Sjamsul Huda, S.Si 16
terus meningkat dan pola curah hujan berubah-ubah
memberi peluang perluasan geografis penyebaran vektor
Aedes sp dan negara berpenghasilan rendah lebih tinggi
kejadian demam berdarah. (Ebi and Nealon, 2016) Hasil
openelitian Fidayanto dkk menunjukkan suhu 20-30 C
dengan kelembaban berkisar 60-90% merupakan kondisi
optimum untuk perkembangbiakan nyamuk Ae. aegypti.
Dengan demikian jika lingkungan berada pada suhu dan
kelembaban tersebut akan mendukung peningkatan
kepadatan populasi nyamuk yang selanjutnya berdampak
pada penularan dan penyebaran penyakit DBD.
(Fidayanto et al., 2013)
Faktor lainnya selain iklim dan kelembaban udara
adalah urbanisasi yang tidak terencana serta belum
optimalnya kegiatan pengendalian vektor merupakan
beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan
penyebaran penyakit DBD. Pengendalian vektor adalah
usaha yang dilakukan untuk menurunkan populasi vektor
untuk mencegah penyakit yang ditularkan oleh vektor
atau gangguan yang diakibatkan oleh vektor. Tujuan
17 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
pengendalian vektor DBD adalah menurunkan densitas
dan populasi vektor sampai pada indeks tertentu (tingkat
yang tidak membahayakan lagi bagi kesehatan
masyarakat). Oleh karena itu pengendalian vektor sangat
membutuhkan peran serta masyarakat. Hasil penelitian
sebelumnya menyimpulkan salah satu hambatan dalam
pengendalian vektor adalah kurangnya partisipasi aktif
masyarakat dalam kegiatan Pemberantasan Sarang
Nyamuk (PSN). (Hikmawati and Purwito, 2013) Gerakan
PSN jika dilaksanakan secara rutin maka dapat diprediksi
daerah endemis dan serangan DBD akan semakin
berkurang, karena tempat perindukan nyamuk Ae.
aegypti maupun Ae albopictus tidak ada. Kebiasaan
menampung air di dalam kontainer/bak-bak mandi untuk
keperluan sehari-hari secara tidak langsung memberi
tempat perindukan Ae. aegypti maupun Ae. albopictus
sebagai vektor DBD untuk meletakkan telurnya.
B. Mekanisme Penularan
DBD ditularkan oleh arthropoda yaitu nyamuk Ae.
aegypti sebagai vektor utama dan Ae. albopictus sebagai
Sjamsul Huda, S.Si 18
ko-vektor. Virus dengue dapat tetap hidup (survive) di
alam lewat dua mekanisme: Mekanisme pertama melalui
transmisi vertikal dalam tubuh nyamuk, virus ditularkan
oleh nyamuk betina pada telurnya yang nantinya akan
menjadi nyamuk atau ditularkan dari nyamuk jantan pada
nyamuk betina melalui kontak seksual. Mekanisme
kedua melalui transmisi horizontal yaitu virus ditularkan
dari nyamuk ke dalam tubuh makhluk vertebrata dan
sebaliknya. Makhluk vertebrata disini adalah manusia
dan kelompok kera tertentu. Nyamuk mendapatkan virus
dengue pada saat menggigit manusia (makhluk
vertebrata) yang saat itu darahnya mengandung virus
dengue (viremia). Virus yang sampai ke dalam lambung
nyamuk akan mengalami replikasi (memecah diri atau
berkembang biak), kemudian akan migrasi dan akhirnya
sampai di kelenjar ludah. Virus memasuki tubuh manusia
lewat gigitan nyamuk yang menembus kulit. Empat hari
kemudian virus akan mereplikasi dirinya secara cepat.
Apabila jumlahnya sudah cukup, virus akan memasuki
sirkulasi darah dan saat itulah manusia yang terinfeksi
akan mengalami gejala panas. Nyamuk Aedes sp dapat
19 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
mengandung DENV pada saat menghisap darah manusia
viremik, yaitu dua hari sebelum panas sampai lima hari
sesudah timbul demam. Sekali virus dapat masuk dan
berkembang biak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk
generasi berikutnya akan dapat menularkan virus
( i n f e k t i f ) k e i n d i v i d u y a n g r e n t a n s e l a m a
menusuk/menggigit dan menghisap darah. Virus
berkembang di dalam nyamuk selama 8-10 hari (inkubasi
ekstrinsik) sebelum dapat ditularkan ke manusia lain
selama menusuk/menggigit dan menghisap darah
berikutnya. Lama waktu yang diperlukan untuk inkubasi
ekstrinsik ini tergantung pada suhu lingkungan. Setelah
virus masuk ke dalam tubuh, maka akan menimbulkan
kerusakan/virulensi pada inang yang mengganggu fungsi
tubuh inang. (Halstead, 2008)
adalah derajat tingkat patogenitas yang Virulensi
diukur oleh banyaknya organisme yang diperlukan untuk
menimbulkan penyakit pada jangka waktu tertentu.
Virulensi berkaitan erat dengan infeksi dan penyakit.
Infeksi merujuk pada suatu situasi suatu mikroorganisme
telah menetap dan tumbuh pada suatu inang, dalam hal ini
Sjamsul Huda, S.Si 20
mikrorganisme tersebut dapat melukai atau tidak melukai
inangnya, sementara adalah kerusakan atau penyakit
cedera pada inang yang mengganggu fungsi tubuh inang.
Sebagai contoh, 50%/50% lethal dose (LD ) 50dosis letal
adalah jumlah organisme yang diperlukan untuk
membunuh setengah dari jumlah inang yang diserang.
Sementara dosis infeksius 50%/50% infectious dose
(ID ) adalah jumlah organisme patogen yang dibutuhkan 50
untuk menginfeksi 50% dari total inang yang diserang.
(R. Rico, 2011) Hasil penelitian oleh Prommalikit
menunjukkan terdapat perbedaan galur virus dalam
kemampuan mengikat dan menginfeksi sel target yang
dilihat berdasarkan kemampuan menghasilkan virus
progenik dengan hasil produk gen yang berlainan dan
memberikan aspek berbeda. Serotipe DENV-2 sering
menyebabkan syok, serotipe DENV-3 sering diisolasi
dari DBD berat sehingga dapat disimpulkan beratnya
DBD berkorelasi dengan tingginya titer viremia, infeksi
sekunder dan serotipe DENV-2. (Prommalikit O, 2015)
21 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
C. Barrier (hambatan) terhadap penularan virus
dengue
Tidak semua nyamuk galur Ae. aegypti dan Ae.
albopictus berperan sebagai vektor penyakit DBD. Galur
geografis tertentu bersifat refraktori terhadap infeksi
virus dengue per oral. Beberapa nyamuk Ae. albopictus
yang refraktori terhadap infeksi virus dengue per oral
terjadi di Malaysia, Taipei dan Filipina dan khusus
refraktori terhadap infeksi virus dengue serotipe DENV-3
per oral terjadi di Mauritius. Fenomena ini menunjukkan
adanya hambatan infeksi dalam usus tengah (midgut)
yang dikendalikan secara genetis. (Rosen, L, 1976)
Sistem barrier yang membuat nyamuk menjadi refraktori
terhadap infeksi arbovirus meliputi :
1) Diversi darah yang diisap ke divertikula yang
lokasinya pada pertemuan antara usus depan (foregut)
dan usus tengah (midgut), sehingga virus tidak dapat
masuk ke lumen usus tengah (mesenteron)
2) Barrier infeksi mesenteronal yang meliputi faktor
biofisis dan biokemis
Sjamsul Huda, S.Si 22
3) Barrier penyebaran virus dari sel mesenteron
4) Barrier infeksi kelenjar saliva
5) Barrier lainnya yaitu barrier masuknya virus ke
duktus salivarius dan barrier penularan transovarial.
(Hardy, JL, Honk , EJ, Kramer, LD, Reeves, 1983)
Hambatan pertama terhadap pathogen bagi vektor
nyamuk adalah hambatan fisik yang bersifat anatomis,
walaupun hal ini masih perlu dikaji lebih lanjut dengan
berbagai penelitian. Hasil riset Franz, et al memaparkan
bahwa midgut nyamuk merupakan organ kontak pertama
untuk arbovirus, jika terjadi infeksi midgut maka akan
menghambat pembentukan infeksi dalam sel-sel usus,
serta menghindari transfer arbovirus ke hemolymph dan
jaringan. (Franz AW, Kantor AM, Passarelli AL, 2015)
Berikut ini merupakan interaksi berbagai respons dan
hambatan terhadap infeksi pada nyamuk. Pada
prinsipnya tiap-tiap nyamuk memiliki cara untuk
merespons atau menangkal patogen, sebagian besar
menggunakan barrier fisik, respons humoral dan seluler
dengan berbagai efektor di masing-masing cabang
23 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
respons tersebut, sebagaimana Gambar 1.1 berikut ini
Gambar 1.1. Respon pada nyamuk menangkal patogen (Alonso-
Palomares LA, Moreno-García M, Lanz-Mendoza H, 2019)
Berbagai barriers tersebut di atas memiliki pengaruh
yang berbeda terhadap kompetensi vektor pada nyamuk.
Mekanisme masuknya virus diawali dari menginfeksi
epitel midgut dan berreplikasi sebelum melewati lamina
basal ke dalam hemolimf dan menyebar ke seluruh tubuh
nyamuk. Agar dapat ditransmisikan ke inang berikutnya,
virus harus menginfeksi kelenjar liur. Keragaman genetik
Sjamsul Huda, S.Si 24
virus berkurang jika ada barriers anatomis seperti infeksi
midgut, infeksi kelenjar ludah. Perubahan populasi virus
jika telah melewati barriers, digambarkan dengan
perubahan warna (semakin biru tua) sebagaimana
Gambar 1.2 berikut ini:
Gambar 1.2 Barriers pada nyamuk (Rückert and Ebel, 2019)
25 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
BAB III
AEDES AEGYPTI DAN AEDES ALBOPICTUS
A. Ae. aegypti
Ae. aegypti merupakan vektor utama penyakit DBD.
Narasi dibawah ini menjelaskan tentang vektor Ae.
aegypti mulai dari taksonomi, morfologi dan bionomik.
(Halstead, 2008),(Rahayu, DF, Ustiawan, 2013),
(Leopoldo MR, 2004b)
1. Taksonomi
Ae. aegypti termasuk Kingdom: Animalia, Pylum:
Arthropoda, Kelas: Insecta, Ordo: Diptera, Familli:
Culicidae, Sub famili: Culicinae, Genus: Aedes, Sub
genus: Stegomyia, Spesies: Aedes aegypti. Nyamuk Ae.
aegypti diduga berasal dari benua Afrika. Penyebaran
virus oleh nyamuk Ae. aegypti mudah sekali terjadi di
negara beriklim tropis, seperti Indonesia.
Sjamsul Huda, S.Si 26
Gambar. 2.1. Telur Ae. aegypti
Gambar 2.1 menggambarkan telur Ae. aegypti yang
2. Morfologi
Ae. aegypti mengalami metamorfosis sempurna, yaitu
mengalami perubahan bentuk morfologi selama
hidupnya dari stadium telur berubah menjadi stadium
larva kemudian menjadi stadium pupa dan menjadi
stadium dewasa. Jarak waktu (masa) antara pergantian
kulit dalam pertumbuhan dan perkembangan disebut
stadium sedangkan fase ialah jangka waktu hidup
nyamuk dalam satu stadium. Tahapan tiap stadium
dijelaskan sebagai berikut (Halstead, 2008), (Boesri,
2011a):
1). Stadium telur
27 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
berwarna hitam, berbentuk ovale, kulit tampak garis-
garis yang menyerupai sarang lebah, panjang ± 0,80
mm dan berat ± 0,0010-0,015 mg. Seekor nyamuk Ae.
aegypti betina dapat bertelur rata-rata 100-300 butir
telur dan rata-rata 150 butir. Ae.aegypti meletakan
te lur secara terpisah pada dinding tempat
perindukannya (breeding place) 1-2 cm di atas
permukaan air. Tempat air yang tertutup longgar lebih
disukai sebagai tempat bertelur dibanding tempat
yang terbuka. Telur nyamuk Aedes sp sangat tahan
terhadap kekeringan di penampungan air sampai
0 0beberapa bulan dalam temperatur -2 C- 42 C, bila
kelembaban terlalu tinggi telur akan menetas dalam
waktu 4 hari. Jika mendapat genangan air, telur akan
tumbuh berkembang. Lingkungan yang optimal pada
0 0temperatur 24,5 C-27,5 C dengan kelembaban 81,5%-
89,5% pada PH 7. Dalam waktu 1-2 hari telur akan
menetas menjadi larva/jentik yang berbentuk seperti
cacing, bergerak aktif dengan gerakan-gerakan naik
Sjamsul Huda, S.Si 28
ke permukaan air dan turun ke dasar secara berulang-
ulang. Penelitian oleh De Majo et al menyimpukan
bahwa pada suhu 30°C, telur akan menetas 1 sampai 3
hari dan pada suhu 16°C akan menetas dalam waktu 7
hari. Pada kondisi normal, telur Aedes aegypti yang
direndam di dalam air akan menetas sebanyak 80%
pada hari pertama dan 95% pada hari kedua.
Berdasarkan jenis kelaminnya, nyamuk jantan akan
menetas lebih cepat dibanding nyamuk betina, serta
lebih cepat menjadi dewasa. (De Majo MS1, Montini
P, 2017)
2). Stadium Larva
Gambar 2.2. Larva Ae aegypti
29 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
Gambar 2.2 menggambarkan larva Ae. aegypti
yang berbentuk larva seperti cacing bilateral simetris
atau biasa diistilahkan vermoform. Larva (jentik)
berukuran 0,5-1 cm, merupakan fase pertama nyamuk
yang menetas dari telur. Larva memiliki corong
pernafasan (siphon) yang tidak langsing dan memiliki
satu pasang hair tuff serta pecten yang tumbuh tidak
sempurna. Larva mengalami empat t ingkat
pertumbuhan yang ditandai dengan pergantian kulit
(ecdysis) yang disebut instar. Instar I memiliki panjang
1-2 mm, tubuh transparan, siphon masih transparan,
tumbuh menjadi larva instar II dalam 1 hari. Larva
instar II memiliki panjang 2,5 – 3,9 mm, siphon agak
kecoklatan, tumbuh menjadi larva instar III selama 1-2
hari. Larva instar III berukuran panjang 4-5 mm,
siphon sudah berwarna coklat, tumbuh menjadi larva
instar IV selama 2 hari. Larva instar IV berukuran 5-7
mmm sudah terlihat sepasang mata dan sepasang
antena, tumbuh menjadi pupa dalam 2-3 hari. Umur
rata-rata pertumbuhan larva hingga pupa berkisar 5-8 0
hari. Posisi istirahat pada larva membentuk sudut 45
terhadap bidang permukaan air.
Sjamsul Huda, S.Si 30
3). Stadium Pupa
Gambar 2.3. Pupa Ae. Aegypti
Gambar 2.3 menggambarkan bentuk pupa Ae.
aegypti. Pupa merupakan fase tidak aktif makan,
bentuk ini merupakan bentuk persiapan untuk berubah
menjadi nyamuk dewasa. Bentuk pupa coartate
maksudnya suatu bentuk yang hanya terlihat sebagai
kantung. Pupa mempunyai corong pernafasan
berbentuk segi tiga (tri angular) dengan bentuk tubuh
seperti tanda baca ”koma”. Tubuh pada stadium pupa
terdiri dari dua bagian, yaitu cephalothorax yang lebih
besar dan abdomen dengan ben tuk tubuh
membengkok. Pupa akan tumbuh menjadi nyamuk
31 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
dewasa dalam waktu selama 2-3 hari. Nyamuk dewasa
akan keluar dari pupa melalui celah di antara kepala
dan dada (cephalothorax).
4). Stadium dewasa
Gambar 2.4 Nyamuk Ae. aegypti
Gambar 2.4 mengambarkan nyamuk Ae aegypti
yang memiliki badan berwarna hitam dan memiliki
bercak serta garis-garis putih pada bagian kaki.
Panjang nyamuk Ae. Aegypti ± 5 mm. Tubuh nyamuk
dewasa terdiri dari 3 bagian, yaitu kepala (caput),
dada (thorax) dan perut (abdomen). Pada bagian
kepala terpasang sepasang mata majemuk, sepasang
antena dan sepasang palpi, antena berfungsi sebagai
Sjamsul Huda, S.Si 32
organ peraba dan pembau. Pada nyamuk betina,
antena berbulu pendek dan jarang (tipe pilose).
Sedangkan pada nyamuk jantan, antena berbulu
panjang dan lebat (tipe plumose). Thorax terdiri dari 3
ruas, yaitu prothorax, mesotorax, dan methatorax.
Pada bagian thorax terdapat 3 pasang kaki dan pada
ruas ke 2 (mesothorax) terdapat sepasang sayap.
Abdomen terdiri dari 8 ruas dengan bercak putih
keperakan pada masing-masing ruas. Pada ujung atau
ruas terakhir terdapat alat kopulasi berupa cerci pada
nyamuk betina dan hypogeum pada nyamuk jantan.
Ae. aegypti secara makroskopis memang terlihat
hampir sama seperti Ae. albopictus, tetapi berbeda
pada letak morfologis pada punggung
(mesonotum). Ae. aegypti mempunyai gambaran
punggung berbentuk garis seperti lyre dengan dua
garis lengkung dan dua garis lurus putih, sedangkan
Ae. albopictus hanya mempunyai satu strip putih pada
mesononum sebagaimana Gambar 2.5 berikut ini:
33 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
Aedes aegypti� Aedes albopictus
Gambar 2.5 Perbedaan Mesonotum Ae. aegypti dan Ae.
albopictus
Secara mikroskop i s mesep imeron pada
mesonotum antara Ae.aegypti dan Ae albopictus
berbeda, pada Ae. aegypti terlihat sebagaimana
Gambar 2.6 berikut ini:
Gambar 2.6 mesepimeron pada Aedes aegypti
Selain perbedaan mesepimeron antara Ae. aegypti
dan Ae. albopictus, anterior pada kaki Ae. aegypti
bagian femur kaki tengah terdapat strip putih
memanjang, sebagaimana Gambar 2.7 berikut ini
Sjamsul Huda, S.Si 34
Gambar 2.7 kaki pada Ae. aegypti
3. Bionomik
Proses seksual dan reproduksi pada Ae. aegypti
diawali dari nyamuk Ae. aegypti jantan yang keluar
terlebih dahulu dari kepompong kemudian disusul
nyamuk betina. Nyamuk jantan akan tetap tinggal di
dekat sarang, sampai nyamuk betina keluar dari
kepompong, setelah jenis betina keluar, maka nyamuk
jantan akan langsung mengawini/ kopulasi. Seumur
hidupnya nyamuk betina kawin hanya satu kali,
sedangkan nyamuk jantan bersifat poligami. 1-2 hari
setelah nyamuk betina terlahir, akan mencari darah untuk
proses reproduksinya.
Nyamuk Ae. aegypti betina mempunyai probosis
panjang pada bagian mulutnya untuk menembus kulit dan
35 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
penghisap darah. Sedangkan pada nyamuk jantan,
probosisnya berfungsi sebagai pengisap sari bunga atau
tumbuhan yang mengandung gula. Nyamuk betina
bersifat anthropofilik yaitu senang kepada darah
manusia, selain itu bersifat multiple feeding, artinya
untuk memenuhi kebutuhan darah sampai kenyang
biasanya nyamuk ini bisa menghisap darah beberapa kali.
Waktu menggigit pada pagi dan siang hari dengan dua
puncak waktu yaitu setelah matahari terbit (08.00-13.00)
dan sebelum matahari terbenam (15.00-17.00). Setelah
kenyang menghisap darah, nyamuk betina akan
beristirahat di tempat-tempat yang disukainya, yaitu
tempat yang gelap, hinggap pada benda yang
bergantungan di dalam rumah seperti gordyn/kelambu,
dan baju/pakaian di kamar yang gelap dan lembab atau
disemak-semak/tanaman yang rendah termasuk
rerumputan di halaman/pekarangan rumah. Nyamuk Ae.
aegypti mampu terbang sejauh 2 KM, tetapi biasanya ±
40-100 meter dari tempat perindukannya. Sifat khas ini
dapat dijadikan pedoman dalam pengendalian vektor
DBD, menunjukkan bahwa vektor tidak akan berada jauh
Sjamsul Huda, S.Si 36
dari lokasi penderita. '(Biu and Hassan, 2012) Ae.
Aegypti meletakan telur pada tempat penampungan air
yang jernih dengan permukaan yang kasar dan
kontainer/tempat penampungan air yang berwarna gelap
lebih disukai dibanding yang berwarna terang.
(Setyabudi and Hikmawati, 2016)
Stadium telur, larva dan pupa hidup dalam air dan
stadium dewasa hidup beterbangan. Perkembangan
hidup dari stadium telur sampai dewasa memerlukan
waktu 8-12 hari tidak lebih dari 15 hari (inkubasi
ekstrinsik). Umur nyamuk betina di alam bebas (inkubasi
intrinsik) berkisar 3-14 hari (rata-rata 4-7 hari)
tergantung pada suhu dan kelembaban di sekelilingnya
sedangkan di laboratorium bisa bertahan sampai 3 bulan
dan rata-rata ½ bulan sedangkan umur nyamuk jantan
antara 3-6 hari. (Leopoldo MR, 2004a),(Rahayu, DF,
Ustiawan, 2013) Ae. aegypti selain sebagai vektor virus
dengue, nyamuk Ae. Aegypti juga sebagai vektor virus
zika, chikungunya, dan demam kuning. (Hubbert, no
date).
37 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
B. Ae. albopictus
Ae. albipictus merupakan co-vektor DBD. Narasi
dibawah ini menjelaskan tentang vektor Ae. albopictus
mulai dari taksonomi, morfologi dan bionomik.
, ,(Rahayu, DF, Ustiawan, 2013) (Boesri, 2011b)
(Leopoldo MR, 2004b)
1. Taksonomi
Ae. albopictus dikenalkan pertama kali oleh Skuse
pada tahun 1894 dengan taksonomi sebagai berikut :
Kingdom: Animalia, Pylum: Arthropoda, Kelas: Insecta,
Ordo: Diptera, Familli: Culicidae, Sub famili: Culicinae,
Genus: Aedes, Sub genus: Stegomyia, Spesies: Aedes
albopictus. Ae. albopictus merupakan nyamuk asli dari
Asia Tenggara diantaranya berasal dari : Brunei
Darusalam, Burma, Kamboja, Laos, Malaysia, Philipina,
Singapura, Thailand, Vietnam, Pulau Kalimantan dan
pulau-pulau di seluruh Indonesia. Di luar daerah Asia
Tenggara penyebarannya antara lain meliputi India,
Australia, Somalia, Perancis, Chagas, Hawai, Jepang,
Korea, Madagaskar, Pulau Mariana, Mauritus, Nepal,
New Guinea.
Sjamsul Huda, S.Si 38
2. Morfologi
Secara umum ukuran maupun bentuknya mirip
dengan Ae. aegypti, tetapi ada beberapa perbedaan,
sebagaimana dijelaskan dalam gambar-gambar di bawah
ini, yang dijelaskan mulai dari telur sampai nyamuk
sebagai berikut :
1). Stadium Telur
Gambar 2.8. Telur Ae. albopictus
Gambar 2.8 menggambarkan telur nyamuk Ae.
albopictus yang berbentuk lonjong dengan satu ujungnya
lebih tumpul. Telur Ae albopictus berukuran ± 0,5 mm
berwarna hitam dan akan lebih hitam warnanya ketika
menjelang menetas.
39 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
2). Stadium Larva
Gambar 2.9 Larva Ae. albopictus
Gambar 2.9 menggambarkan larva Ae. albopictus
dengan ciri-ciri: kepala berbentuk bulat silindris, antena
pendek dan halus dengan rambut-rambut berbentuk
sikat di bagian depan kepala. Ciri khas larva Ae.
albopictus yang membedakan dengan Ae. albopictus
adalah pada ruas abdomen VIII terdapat gigi sisir tanpa
duri pada bagian lateral thorax. Larva Ae. albopictus
berukuran lebih kurang 5 mm. Instar I lebar kepala ± 0,3
mm, instar II lebar kepala ± 0,45 mm, instar III lebar
kepala ± 0,65 mm, instar IV lebar kepala ± 0,95 mm.
Sjamsul Huda, S.Si 40
Suhu optimum perkembangan larva antara 21- 25ºC ,
dengan masa hidup larva berkisar antara 10-12 hari
sedangkan pada pada suhu 23-27ºC masa hidup larva
antara 6-8 hari. Perkiraan masa hidup larva tiap instar
sebagai berikut : instar I antara 1-2 hari; instar II antara
2-3 hari; instar III antara 2-3 hari dan instar IV sampai
menjadi pupa rata-rata selama 3 hari.
3). Stadium Pupa
Gambar 2.10 Pupa Ae. albopictus
Gambar 2.10 menggambarkan pupa Ae. albopictus
berbentuk seperti koma dengan cephalothorax yang
tebal, abdomen dapat digerakkan vertikal setengah
lingkaran. Warna pupa Ae. albopictus agak coklat dan
menjadi hitam menjelang dewasa, pada kepala
mempunyai corong untuk bernapas yang berbentuk
41 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
seperti terompet panjang dan ramping. Pupa mempunyai
masa hidup antara 1 sampai 3 hari pada suhu kamar.
Pupa jantan lebih besar ukurannya dibanding pupa
betina.
4). Stadium Dewasa
Gambar 2.11. Nyamuk Ae. albopictus
Gambar 2.11 menggambarkan nyamuk dewasa Ae.
albopictus dengan ciri-ciri tubuh berwarna hitam
dengan bercak/garis-garis putih pada notum dan
abdomen, antena berbulu/plumose. Palpus pada Ae.
albopictus jantan sama panjang dengan proboscisnya,
sedangkan pada Ae. albopictus betina palpus hanya 1/4
panjang proboscis. Mesonotum dengan garis putih
horizontal, femur kaki depan sama panjang dengan
Sjamsul Huda, S.Si 42
proboscis, femur kaki belakang putih memanjang di
bagian posterior, tibia gelap dan sisik putih pada pleura
tidak teratur. Ae. albopictus mempunyai satu strip putih
pada mesonotum, mesepimeron membentuk tambalan
putih berbentuk V, anterior bagian femur tengah tanpa
strip putih memanjang, sebagaimana Gambar 2.12
berikut:
Gambar 2.12. Mesepimeron Ae. albopictus
Selain mesepimeron, ciri khusus Ae. albopictus yang
membedakan dengan Ae. aegypti adalah anterior bagian
femur tengah tanpa str ip putih memanjang,
sebagaimana Gambar 2.13 berikut ini:
Gambar 2.13 : Kaki Anterior bagian femur Ae. albopictus
43 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
3. Bionomik
Ae. albopictus melakukan proses perkawinan
sebelum sebelum atau sesudah menghisap darah. Ae.
albopictus meletakkan telur di dinding dekat permukaan
air. Setiap ekor meletakkan telur antara 2 sampai 8
kelompok dengan rata-rata 89 butir/ekor. Telur akan
menetas dalam waktu satu sampai 48 jam pada
temperatur 23 sampai 27ºC dan pada pengeringan
biasanya telur akan menetas segera setelah kontak
dengan air.Umur nyamuk Ae. albopictus dewasa rata-rata
berumur antara 12-40 hari pada nyamuk betina dan pada
nyamuk jantan antara 10-22 hari. Kebiasaan nyamuk Ae.
albopictus mencari darah berlangsung hampir sepanjang
hari sejak pagi kira-kira pukul 07.30 sampai sore antara
pukul 17.30 dan 18.30, dengan aktifitas mengigit pada
sore hari 2,4 kali lebih tinggi daripada pagi hari. Ae.
albopictus meletakan telur sama seperti Ae. aegypti yaitu
pada tempat penampungan air dengan permukaan yang
kasar dan warna yang gelap. Tempat- tempat
penampungan air baik yang alami maupun buatan
manusia yang menjadi tempat larva Ae. albopictus antara
Sjamsul Huda, S.Si 44
lain bak mandi, drum, tempayan, kaleng beas, botol
pecah atau ban bekas, keramik, jambangan bunga,
perangkap semut, dan dapat juga pada ketiak daun.
(Boesri, 2011b) (Bahang, 1978)
Ae. albopictus lebih menyukai darah manusia
(antropofilik) dan bersifat anautogenik atau memerlukan
darah untuk perkembangan telurnya. Sifat mengigit
nyamuk Ae. albopictus bersifat multiple/mengigit
beberapa kali pada beberapa individu. Nyamuk betina
sesudah kenyang/penuh menghisap darah tidak akan
menghisap darah lagi sampai bertelur. Nyamuk Ae.
albopictus terbang tidak jauh dari permukaan tanah dan
bergerak ke semua arah di sekitar tempat perindukan,
namun jika ada angin, dapat terbang sampai jarak ± 434
meter. (Boesri, 2011b) Selain peran sebagai vektor DBD,
Ae. albopictus mampu menjadi penular/reservoir dari
penyakit yang disebabkan oleh Dirofilaria immitis,
Plasmodium lophurae, Plasmodium gallinaceum,
Plasmodium fallax dan beberapa virus penyebab
penyakit Western encepha- listis, Chikungunya dan
Japanese en- cephalistis.(Hubbert, no date)
45 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
A. Definisi Transmisi Transovarial�
Transmisi transovarial didefinisikan sebagai
penularan virus dengue dari nyamuk betina yang
terinfeksi akibat menghisap darah viremik, kemudian
virus mengalami replikasi dalam nyamuk dan telur
infeksi menghasilkan larva yang infeksiousa. Dengan
demikian penularan secara transovarial terjadi melalui
mekanisme transmisi vertikal dalam tubuh nyamuk yang
mana virus ditularkan oleh nyamuk betina pada telurnya,
yang nantinya akan menjadi nyamuk. (Grunnill M, 2016)
Secara keseluruhan penularan DENV di alam melalui dua
mekanisme, yaitu dengan cara horisontal dan vertikal
sebagai berikut: —(Chen and Vasilakis, 2011)
BAB IV
TRANSMISI TRANSOVARIAL
Sjamsul Huda, S.Si 46
1. Horizontal -1
Vektor Ae. aegypti atau Ae. albopictus betina yang
menghisap darah viremik yang DENV nya berasal dari
vektor Ae. aegypti atau Ae. albopictus betina lainnya.
2. Horizontal- 2
Vektor Ae. aegypti atau Ae. albopictus betina infektif
DENV yang berasal dari nyamuk Ae. aegypti atau Ae.
albopictu jant infektif melalui inseminasi/transeksual
3. Vertikal - 1
Secara transovarial, virus DENV ada di dalam ovum
Ae. aegypti atau Ae. albopictus
4. Vertikal -2
Secara transovum, virus DENV menempel di
permukaan ovum Ae. aegypti atau Ae. albopictus
B. Kejadian transovarial dan sebaran serotipe di
Indonesia
Indeks Transmisi Transovarial (ITT) di Indonesia,
masih cukup tinggi, dengan proporsi di setiap daerah
bervariasi antara 6-70%. Hasil review beberapa riset
47 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
sebelumnya menunjukkan kejadian transovarial merata
di beberapa wilayah di Indonesia dengan gambaran ITT
tertinggi mulai dari Kota Menado, Yogyakarta dan
Pontianak sebagaimana Gambar 3.1 berikut ini :
Gambar 3.1 Gambaran ITT beberapa wilayah di Indonesia
Gambar 3.1 menunjukkan hasil riset transovarial
Lidiasari dengan teknik Imunositokimia di Kota Menado
menunjukkan ITT sebesar 70%. (Lidiasani P. Mosesa,
Angle Sorisi, 2016) Riset selanjutnya oleh Sucipto dari
Pontianak menunjukkan ITT sebesar 55%. (Sucipto and
Dani, 2009) Penelitian transovarial di Kota Malalayang
oleh Sorisi didapatkan ITT sebesar 17%. (Sorisi,
Sjamsul Huda, S.Si 48
Umniyati and Satoto, 2012) Hasil penelitian Seran
menemukan ITT di Yogyakarta sebesar 64%. (Seran
MD, 2012) Selanjutnya penelitian Wanti dkk
menunjukkan ITT di Kupang sebesar 9%. (Wanti,
Oktovianus Sila, Irfan, 2016) Temuan Fionasari
menemukan ITT di Salatiga sebesar 27%. (Fionasari T;
Arum S.J dan Yusnita M.A., 2012) Temuan Yulianti di
Kota Jambi menemukan ITT sebesar 9%. (Yulianti, 2016)
Hasil penelitian Nurfadly di Kota Medan menunjukkan
ITT sebesar 6%. (Nurfadly, 2009) Riset ITT di
Kabupaten Banyumas dari hasil penelitian Wijayanti
menemukan transmisi transovarial sebesar 28%.
Selanjutnya identifikasi riset-riset sebelumnya
tentang sebaran serotipe di Indonesia, baik pada transmisi
vertikal/transovarial maupun transmisi horizontal
menunjukkan kesamaan serotipe DENV secara vertikal
(transovarial) maupun secara horizontal. Gambaran
sebaran serotipe virus dengue melalui transmisi vertikal
dan transmisi horizontal berdasarkan penelitian-
49 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
penelitian sebelumnya sebagaimana Tabel 3.1 dan 3.2
berikut ini:
Tabel 3.1 Sebaran serotipe transmisi vertikal beberapa
penelitian di Indonesia
No
Nama Peneliti/Tahun
Daerah
Sebaran Serotipe
1 Nurfandy, 2009 Medan DENV-1
2 Rahayu, 2019 Yogyakarta DENV-1,2,3
3 Wanti, 2016) Kupang DENV-1
4 Fionasari, 2012 Salatiga DENV-2 5 Sunardi, 2018 Sukoharjo DENV-3
Tabel 3.1 menunjukkan sebaran serotipe secara
vertikal/transovarial mulai dari penelitian Nurfadly
dengan temuan serotipe DENV-1 pada Ae. aegypti.
(Nurfadly, 2009) Temuan penelitian yang sama di Kota
Kupang oleh Wanti, dkk menemukan deteksi serotipe
DENV-1 pada Ae. aegypti. (Wanti, Oktovianus Sila,
Irfan, 2016) Penelitian di Kota Yogyakarta oleh Rahayu
dengan temuan serotipe DENV-1,2,3. (Seran MD, 2012)
Penelitian di Kota Salatiga oleh Fionasari terdeteksi
serotipe DENV-2 sedangkan di Kota Sukoharjo oleh
Sunardi terdeteksi serotipe DENV-3. (Fionasari T; Arum
,S.J dan Yusnita M.A., 2012) (Sunardi, 2018)
Sjamsul Huda, S.Si 50
Tabel 3.2 Sebaran serotipe transmisi horizontal
beberapa penelitian di Indonesia
No
Nama Peneliti/Tahun
Daerah
Sebaran Serotipe
1
Kusumawati, 2009 Medan
DENV-1,2,3,4
2
Ghinanti, 2016
Yogyakarta DENV-1,2,3,4
6
Suwandono, 2006
Jakarta
DENV-1,2,3,4
7
Moore, 2017
Papua
DENV-1,2,3,4
8 Andriyoko, 2012 Bandung DENV-1,2,3,4
9 Paisal, 2015 Aceh DENV-1,2,3,4
10 Prasetyowati, 2010 Jawa Barat DENV-1,2,3,4
11 Herman, 2012 Pontianak DENV-1,2,3,4
12 Soedjoko, 2005 Surabaya DENV-2,3
Tabel 3.2 menggambarkan sebaran serotipe secara
horizontal dari hasil-hasil penelitian sebelumnya antara lain
: penelitian oleh Soedjoko di Surabaya, menemukan deteksi
serotipe secara horisontal pada 28 pasien yang diperoleh
Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya, dengan temuan 25%
terdeteksi DENV-2 dan 3,8% terdeteksi DENV 2 dan 3.
(Soedjoko Hariadhi, 2005) Hasil penelitian Andriyoko di
RS Hasan Sadikin Bandung dari data manifestasi klinis dan
hematologi rutin terdeteksi pada 27 (36%) sampel dengan
dominasi DENV-3 (13) diikuti DENV-2 (8), DENV-4 (4),
dan DENV-1 (2). (Andriyoko et al., 2012) Penelitian oleh
51 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
Faisal dari Aceh dengan 100 sampel yang terkumpul
diperoleh 16 sampel yang positif pada pemeriksaan RT-
PCR, terdiri dari sembilan DENV-4, tiga sampel DENV-1,
dua sampel DENV-2, dan dua sampel DENV-3. (Paisal,
Reni Herman, Aya Yuriestia Arifin, Arie Ardiansyah, Sari
Hanum, Khairiah, Mukhlis Zuriadi, 2015) Penelitian oleh
Herman, dkk tentang sebaran serotipe secara horizontal dari
Kota Pontianak ditemukan DENV-1 3,2%, DENV-2 5,3%,
DENV-3 47,5%, dan DENV-4 1,1 %. Temuan transovarial
dari Kota Medan DENV-1 sebesar 12,8%, DENV-2 31,4%,
DENV-3 22,1%, DENV-4 2,3%. Temuan transovarial dari
Jakarta DENV-1 15,9%, DENV-2 14,3%, DENV-3 25,4%,
DENV-4 1,6%. (Herman et al., 2012) Selanjutnya hasil
penelitian sebaran serotipe di Papua oleh Moore et al,
menunjukkan keempat serotipe terdeteksi secara
horizontal. (Moore et al., 2017) Hal yang sama pada
penelitian di Jawa Barat oleh Prasetyowati, dkk
menemukan empat serotipe terdeteksi di Jawa Barat.
(Prasetyowati and Puji Astuti, 2010)
Tabel 3.1 dan 3.2 di atas memberikan informasi
adanya fenomena transmisi horizontal yang diawali dari
Sjamsul Huda, S.Si 52
transmisi vertikal ataupun sebaliknya, akibat persistensi
virus dengue pada saat interepidemik. Hal ini dapat
dilihat dari temuan serotipe yang sama dari beberapa kota
di Indonesia. Misalnya temuan di Yogyakarta oleh
Rahayu dkk, menemukan terdeteksi virus dengue secara
transovarial pada nyamuk Ae. aegypti dengan temuan
22,20% DENV-1, 1,25% DENV-2, dan 2,17% DENV-3.
(Rahayu et al., 2019) Temuan serotipe yang sama di
Yogyakarta hasil penelitian Ghinanti, dkk menemukan
terdeteksi serotipe secara horizontal pada 38 pasien dari
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wonosari
Yogyakarta dengan persentase 10,5% DENV-1, 21,1%
DENV-2, 50% DENV-3 dan 18,4% DENV-4. Hal yang
sama pada penelitian transmisi horizontal di Kota Medan
oleh Kusumawati, dkk menggunakan uji RT-PCR,
didapatkan hasil dari serum 100 penderita akut DD/DBD
dengan gejala klinis sesuai kriteria klinis WHO, setelah
diperiksa positif disebabkan oleh DEN-2 sebanyak 74
orang (74,0%) dan yang disebabkan DEN-1 sebanyak 2
orang (2,0%) dan penderita yang tidak mengandung virus
DEN atau negatif sebanyak 24 orang (24%).
53 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
(Kusumawati and Yulfi, 2009) Sedangkan hasil
penelitian vertikal/transovarial dengan temuan serotipe
yang sama di Kota Medan dilakukan oleh Nurfadly yang
menemukan adanya deteksi serotipe DENV-1. Pada
penelitian tersebut, dari 100 ekor nyamuk yang diperiksa
didapatkan 6 sampel (6%) yang positif mengandung
DENV-1. Virus DENV-1 ditemukan pada sampel
nyamuk yang berasal dari Kecamatan Medan Helvetia
dan Kecamatan Medan Amplas masing-masing sebanyak
3 sampel. (Nurfadly, 2009)
C. Penelitian Terkait Transovarial di Beberapa Negara
Tabel 3.3. Daftar Penelitian Tentang Transovarial
No
Nama
Metode
Judul
Hasil
1
Thoungrungkiat, et a.l
(Thongrungkiat, Maneekan and Wasinpiyamongkol, 2011)
studi lapangan untuk menentukan transovarial virus
dengue
pada Ae. aegypti
di daerah perkotaan Bangkok, Thailand. Larva dikumpulkan setiap bulan selama satu tahun dan dipelihara terus sampai dewasa di laboratorium. Selanjutnya diuji RT-PCR dan metode nested-PCR.
Prospektive field study of transovarial dengue virus transmission by two different
forms of aedes aegypty in an urban area of Bangkok Thailand
Hasil penelitian menunjukkan transmisi transovarial (TOT) meningkat secara bertahap selama bulan musim panas, mencapai puncaknya April-Juni
atau 4 bulan sebelum insiden dengue
meningkat pada manusia. Hasil penelitian DENV4 dominan, diikuti DENV 3, 1 dan 2
Sjamsul Huda, S.Si 54
2 Angle, dkk. (Sorisi, Umniyati and Satoto, 2012)
Studi analitik observasional dengan pendekatan crossectional , mengambil sampel darah dari nyamuk Ae. aegypti generasi 1(F1) yang dikumpulkan dari 5 desa di Malalayang
Transovarial Transmission Index of Dengue Virus on Aedes aegypti and Aedes albopictus Mosquitoes in Malalayang District in Manado, North Sulawesi, Indonesia
Hasil penelitian menunjukkan adanya penularan transovarial di Malalayang dengan proporsi Ae.aegypti lebih tinggi dibanding Ae. albopictus dan tidak ada hubungan indek transmisi transovarial (ITT) dengan Insiden Rate dengue
3 Thenmozhi, et al. (Thenmozhi et al., 2007)
Studi lapangan dengan mengambil larva di dalam dan di luar rumah, kemudian dipelihara di laboratorium sampai dewasa, setelah itu dideteksi virus dengue dengan ELISA
Natural Vertical Transmission of Dengue Virus in Aedes albopictus (Diptera: Culicidae) in Kerala, a Southern Indian State Velayutham
Hasil penelitian menemukan adanya virus dengue serotipe 2 pada nyamuk Ae. Albopictus
4 Emantis, dkk. (Rosa and Salmah, 2015)
Studi menentukan transovarial pada larva Ae. albopictus yang ada di Phytotelmata sebagai hal yang berpotensi terjadinya penyebaran DBD.
Detection of Transovarial Dengue Virus with Reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) in Aedes albopictus (Skuse) Larvae Inhabiting Phytotelmata in Endemic DHF Areas in West Sumatra, Indonesia
Larva Ae. albopictus yang ada di phytotelmata positif mengandung dua serotipe dengue yaitu DENV1 dan DENV4 yang berpotensi menularkan dan menyebarkan DBD
55 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
5
Rohani , et al.(Ahmad, Ismail and Hanlim, 2008)
Penelitian dilakukan untuk menguji persistensi transovarial virus serotipe DENV-2 dari nyamuk Ae.
aegypti
hasil pemeliharaan ± 30 th,. 200 nyamuk betina dewasa selama 4-5 hari diberi makan dengan darah yang mengandung virus dengue
hasil isolate pasien DBD. Setiap generasi dideteksi menggunakan
immunological staining methods
Persistency of transovarial dengue virus in Aedes aegypti (Linn.).
Deteksi adanya serotipe 2 sampai generasi ke lima, dibawah kondisi laboratorium pada nyamuk Ae.
aegypti
6
Lormeau, et al. (Van-Mai Cao-Lormeau, 2009)
Mendeteksi keberadaan protein yang dapat mengikat DENV dalam salivary gland extracts (SGE)
dari dua spesies
nyamuk. Menggunakan virus overlay protein binding assay
Dengue
viruses binding proteins from Ae.
aegypti
and Ae. polynesiensis salivary glands
Terdeteksi beberapa protein yang mampu mengikat DENV di
kelenjar air liur
dari Ae. aegypti dan Ae. polynesiensis
7 Johnson, et al.
(Johnson et al., 2005)
Reaksi tunggal dan dalam reaksi fourplex (mengandung empat set primer-probe dalam campuran reaksi tunggal), pengenceran standar virus setara dengan 0,002 PFU dari DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 virus yang terdeteksi; batas deteksi DEN-1 virus adalah 0,5 setara PFU. Singleplex dan reaksi fourplex dievaluasi dalam panel dari 40 spesimen serum viremik
dengan 10 spesimen per serotipe
Serotype-specific detection of dengue viruses in a fourplex real-time reverse transcriptase PCR assay.
Serotipe spesifik, fourplex real-time reverse transcriptase PCR assay
dapat digunakan sebagai metode untuk diagnosis diferensial dari serotipe DENV tertentu pada pasien demam berdarah viremik dan sebagai alat untuk identifikasi cepat dan serotipe virus DEN isolat. dengue
Sjamsul Huda, S.Si 56
8
Vinod, et al.
(Joshi, Mourya and Sharma, 2002)
Nyamuk diperoleh dari koloni yang dipelihara di pusat laboratorium Pusat Penelitian Desert (Jodhpur, India, dengan metode intrathoracic inoculations, dari isolasi pasien demam berdarah
yg tersimpan di laboratorium> 10 th. Deteksi menggunakan indirect fluorescent antibody (IFA) test
Persistence Of Dengue-3 Virus Through Transovarial Transmission Passage In Successive Generations Of Aedes Aegypti Mosquitoes
Mekanisme penularan secara transovarial serotype 3 dapat diturunkan sampai generasi ketujuh
9
Wang, et al.
(Wang SF, Wang WH, Chang K, Chen YH, Tseng SP, Yen CH, Wu DC, 2016)
Laporan wabah epidemi dengue di Taiwan
th 2014,
ada 15.732 kasus DF dan 136
kasus
demam berdarah dengue
(DBD)
dan 20
mengakibatkan kematian. Korelasi antara DF dan DHF bersama dengan
data
suhu dan curah hujan.
Severe Dengue Fever Outbreak in Taiwan
Faktor utama yang berhubungan dengan kejadian luar biasa demam beradarah antaralain perubahan iklim akibat curah hujan dan temperatur udara yang mana faktor tersebut mempengaruhi aktifitas nyamuk dan penularan DENV
10 Mourya, et al.
(Prasetyowati and Puji Astuti, 2010)
Nyamuk betina yang terinfeksi virus diselidiki tentang bovine albumin phosphate saline pH 7.2 (BAPS) melalui pengumpan membran.
Kehadiran virus di BAPS ditentukan
dengan ELISA atau intrathorac
Horizontal and vertical transmission of dengue virus type 2 in highly and lowly susceptible strains of Aedes aegypti mosquitoes
Transmisi horizontal DEN2 oleh nyamuk yang terinfeksi melalui transovarial
11
Angel, et al.
(Angel and Joshi, 2008)
Larva Ae. aegypti, Ae. albopictus
dan Ae. vittatus
dikumpulkan dari daerah pedesaan dan perkotaan tiga kabupaten-Jodhpur, Jaipur dan Kota. Larva dikumpulkan dari ketiga daerah tsb
dan dipelihara
sampai
dewasa di lab
pada suhu kamar. Setelah itu tes
antibodi
fluoresensi
tidak
langsung (IFAT).
Distribution and seasonality of vertically transmitted dengue
viruses in Aedes mosquitoes in arid and semi-arid areas of Rajasthan, India
Hasil penelitian menunjukkan penularan vertikal di tiga kota tersebut antara 14,2%-20%.
57 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
12
Harry, et al. (Prince and
Matud, 2011)
Kadar serum DV IgM diukur
dengan
enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA).
Estimation of Dengue Virus IgM Persistence Using Regression Analysis
Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan indeks IgM yang signifikan
antara
infeksi primer dari infeksi sekunder
13
Edillo,
et al. (Edillo, Sarcos
and Sayson, 2015)
Larva nyamuk dikumpulkan dari rumah tangga dan lapangan selama musim hujan dan kering (bulan November 2011 hingga Juli 2012 dan dipelihara di laboratorium
hingga dewasa. Kemudian dideteksi keberadaan DENV dengan metode RT-PCR.
Natural vertical transmission of dengue viruses in Aedes aegypti in selected sites in Cebu City, Philippines
Hasil penelitian menunjukkan bahwa transovarial infektion sebesar 36,26%. Infeksi lebih banyak berasal dari larva yang dikumpulkan dari rumah tangga, dan pada musim kemarau. Hasil penelitian ini mendeteksi fokus alami mereka di musim kemarau memberikan sinyal peringatan dini wabah DBD.
14
Eva, et al.
(Eva
A, Buckner, Barry W , Alto, L Philip, 2013)
Ae.
albopictus
berasal dari Florida Medical Entomology Laboratory (FMEL) di Vero Beach dan Ae. aegypti dari Key West. Nyamuk dipelihara di kandang pada suhu 24 ± 0,5 ° C dan fotoperiod 14:10. Propagasi DENV-1 untuk bloodmeals mengikuti metode yang telah ditetapkan sebelumnya.
Vertical Transmission of Key West Dengue-1 Virus by Aedes aegypti and Aedes albopictus (Diptera: Culicidae) Mosquitoes From Florida
Adanya Transmisi vertikal DENV-1 dengan tingkat 11,11% untuk Ae. albopictus dan 8,33% untuk Ae. Aegypti. Tidak ada perbedaan signifikan yang terdeteksi pada jumlah telur yang diletakkan oleh kedua spesies tersebut setelah menyerap DENV-1 dalam darah.Kesimpulan Ae. aegypti dan Ae. albopictus adalah vektor kompeten untuk DENV-1, melalui transmisi vertikal antara wabah tahun 2009 dan 2010.
Sjamsul Huda, S.Si 58
D. Faktor yang mempengaruhi
Faktor yang mempengaruhi penularan transovarial
pada nyamuk antara lain: (Ahmad, Ismail and Hanlim,
2008),(Anderson, JR, Rico Hesse, 2006)
a) Perbedaan inter dan intra spesifik
Perbedaan interspesifik antara lain ditunjukkan
oleh nyamuk Ae. albopictus yang dapat
menularkan virus lacrosse secara transovarial,
s e d a n g k a n n y a m u k c u l e x t i d a k d a p a t
menularkannya. Perbedaan intra spesifik
ditunjukkan oleh nyamuk Ae. aegypti dari strain
yang berasal dari daerah non endemik DENV gagal
menularkan DENV secara transovarial.
b) Perbedaan strain virus
Perbedaan stain virus yang mempengaruhi
penularan transovarial ditunjukkan oleh Filial
infection rate(FIR) Ae. albopictus terhadap infeksi
DENV serotipe 1 berbeda-beda menurut strain
virus tersebut.
59 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
Hasil penelitian transovarial di Kota Semarang pada
daerah-daerah endemis dengan metode u j i
immunohistokimia (IHC) menyimpulkan adanya virus
dengue dalam telur nyamuk Aedes spesies. (Mashoedi,
Djamán and Yusuf, 2009) Hasil penelitian Mourya, et al
menunjukkan adanya transmisi horizontal serotipe
DENV-2 oleh nyamuk yang terinfeksi melalui penularan
vertikal. Penelitian dilakukan terhadap nyamuk betina
yang terinfeksi virus, diselidiki keberadaannya di bovine
albumin phosphate saline (BAPS) melalui membran.
Kehadiran virus di BAPS dideteksi dengan ELISA. Hasil
menunjukkan penularan transovarial ditemukan 7 kali
lebih tinggi pada serotipe DENV-2 dibanding serotipe
DENV-1. Pada suhu kamar, virus mendapat kesempatan
untuk berkembang biak dan meningkatkan jumlah telur.
Keturunan yang diperoleh dari nyamuk yang terinfeksi
ditemukan mampu menularkan virus secara horizontal
ketika dilakukan penyelidikan BAPS melalui membran.
(Mourya DT1, Gokhale, Basu A, Barde PV, Sapkal GN,
Padbidri VS, 2001)
Sjamsul Huda, S.Si 60
Hasil penelitian sebelumnya oleh Thongrungkiat S, et
al menyimpulkan bahwa transmisi transovarial
meningkat secara bertahap selama bulan-bulan musim
panas, mencapai puncaknya pada bulan April sampai
bulan Juni. Sedangkan kasus DBD mencapai puncaknya
pada bulan September, sebulan setelah masuk musim
hujan. Oleh karena itu, transmisi transovarial yang lazim
terjadi empat bulan sebelum insiden tinggi pada manusia.
Infeksi virus dengue melalui transovarial terjadi pada
empat serotipe dengan DENV-4 sebagai serotipe yang
paling dominan, diikuti oleh DENV-3, DENV-1, dan
D E N V - 2 . ( T h o n g r u n g k i a t , M a n e e k a n a n d
Wasinpiyamongkol, 2011) Hasil penelitian transovarial
lainnya pada nyamuk Ae. aegypti dilakukan di Kota
Cebu, Filipina, dengan prosedur larva dikumpulkan dari
dalam dan luar rumah mulai bulan November 2011
hingga Juli 2012. Selanjutnya larva dibawa ke
laboratorium untuk dipelihara sampai dewasa. Ekstrak
RNA virus pada nyamuk diuji dengan RT-PCR. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa 62 (36,26%; n =
679) dari 171 nyamuk (n = 2.871) positif DENV.
61 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
Minimum Infection Rate (MIR) dari DENV berkisar dari
0 di musim hujan menjadi 48,22/1.000 di musim kemarau
(bulan April 2012). DENV terdeteksi di semua stadium
(larva, pupa dan dewasa baik jantan/betina). Nyamuk
positif DENV lebih banyak berasal dari dalam rumah
dibanding luar rumah (p <0,001) dan lebih banyak di
musim kemarau daripada di musim hujan (p <0,05).
Dengan analisis Generalized Linear Model Mixed
variabel jenis tempat bersarang, curah hujan bulanan,
suhu dan kelembaban relatif adalah prediktor signifikan
dari kasus bulanan dengue (p <0,05). Hasil penelitian
tersebut menyimpulkan adanya DENV pada Ae. aegyti di
musim kemarau sebagai sinyal peringatan dini wabah
DBD. (Edillo, Sarcos and Sayson, 2015)
Penularan secara transovarial oleh nyamuk Ae.
aegypti dan Ae. albopictus dan urbanisasi yang cepat
serta industrialisasi telah menyebabkan peningkatan
populasi vektor di negara-negara Timur Laut India. Pada
tahun 2013, Guwahati, ibukota Assam, India mengalami
wabah DBD. Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk
Sjamsul Huda, S.Si 62
menentukan tingkat infeksi virus dengue (DENV) pada
kedua vektor di wilayah tersebut. Selama wabah, nyamuk
dewasa dan larva dari kedua spesies vektor tersebut
dikumpulkan dari tempat perindukan berdasarkan kasus
daerah pelaporan selanjutnya dicata t indeks
kontainernya. Deteksi virus menggunakan RT-PCR.
Hasil penelitian menunjukkan kedua vektor yaitu Ae.
aegypti dan Ae. albopictus ditemukan berkembang biak
di tempat-tempat penampungan air dengan indeks
kontainer (CI) antara 29,41-80%. Hasil penelitian
tersebut menemukan adanya serotipe DENV-2 pada Ae.
aegypti. Studi tersebut menyimpulkan penularan
transovarial di negara tersebut menjadi informasi penting
dalam konsep epidemiologi untuk mengambil langkah
pengendalian vektor yang sesuai. (Dutta et al., 2015)
63 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
A. Definisi Persistensi
Boldogh, I dan Albrecht T, P.P mendefinisikan
persistensi virus sebagai infeksi virus terselubung yang
menunjukkan adanya keseimbangan antara virus dan
sistem kekebalan inang sehingga mengakibatkan durasi
infeksi panjang. Persistensi dicirikan dengan keberadaan
virus yang tetap ada dalam sel spesifik individu yang
pernah terinfeksi. Infeksi persisten melibatkan semua
tahap infeksi walaupun tanpa menimbulkan kerusakan
yang berlebihan dari sel inang. Ada tiga jenis interaksi
virus-host persisten yang didefinisikan sebagai laten,
kronis dan infeksi lambat. (Boldogh I, Albrecht T, 1996)
Penularan persisten dibedakan dalam dua bentuk yaitu
sirkulatif dan propagatif. Virus sirkulatif masuk dalam
BAB V
PERSISTENSI VIRUS DENGUE
Sjamsul Huda, S.Si 64
tubuh vektor menuju ke usus dan hemolimfe kemudian
menetap sampai dapat dikeluarkan lagi melalui kelenjar
saliva (ludah) dan cairan liur dalam mulutnya. Sedangkan
virus propagatif memperbanyak diri dalam tubuh vektor.
Virus persisten adalah virus yang di dalam badan
serangga mula-mula mengalami periode laten sebelum
ditularkan ke generasi berikutnya (transovarial passage).
(Boldogh I, Albrecht T, 1996) Persistensi merupakan
periode waktu antara virus diakuisisi oleh vektor sebelum
ditransfer ke host baru, namun persistensi virus tidak
jelas bagaimana penyebarannya di alam. Menurut hasil
penelitian Grunnill et al tahun 2016 kombinasi infeksi
asimtomatik pada manusia dan mobilisasi orang
cenderung lebih penting sebagai faktor yang menentukan
persistensi virus dengue ini. (Grunnill M, 2016)
Penelitian tentang persistensi virus dengue melalui
transovarial pada nyamuk Ae. aegypti di Selanggor
menunjukkan serotipe DENV-2 persisten sampai
generasi kelima (F5). (Ahmad, Ismail and Hanlim, 2008)
Ketika nyamuk menghadapi infeksi virus, respon imun
65 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
seluler dan humoral diatur oleh empat sinyal pathway
sebagaimana Gambar 4.1 berikut (Withchom J, 2011) :
Gambar 4.1. Signal pathway respon imun seluler dan humoral
pada nyamuk. Pathway utama adalah Tol (a), IMD (b), JAK-
STAT (c), dan RNAi (d).
a. RNA interference (RNAi)
Jalur RNAi adalah pusat respon antivirus pada
nyamuk, respons ini melibatkan pengenalan dan
degradasi RNA eksogen selama replikasi genom
untuk virus RNA, intermediate RNA untai ganda
(dsRNA) dihasilkan. Protein Dcr2, yang mengandung
domain RNase III, mendeteksi dsRNA ini dan
membelah mereka menjadi RNA kecil yang saling
mengganggu (siRNA) dengan panjang 19-22 bp. Jalur
Sjamsul Huda, S.Si 66
RNAi memicu produksi Vago. (Ruckert C, Bell Sakyi
L, Fazakerley JK, 2014) Hasil riset Sanchez et al
menyimpulkan blocking protein Dcr2 pada Ae.
aegypti menghasilkan peningkatan titer virus DENV-
2 hampir 10 kali lipat, hal ini menunjukkan pentingnya
jalur RNAi untuk membatasi infeksi. '(Sánchez-
Vargas I, Scott JC, Poole-Smith BK, Franz AW,
Barbosa-Solomieu V, Wilusz J, 2009)
b. Toll Pathway
Toll Pathway diaktifkan oleh protein pengenal
peptidoglycan sebagai respons terhadap jamur, bakteri
gram-positif dan virus. Pada nyamuk Ae. aegypti,
sinyal toll pathway memicu aktivasi faktor transkripsi,
seperti REL1 A/B, yang ditranslasikan ke nukleus dan
menyebabkan produksi molekul efektor, seperti
drosomycin. (Severson DW, 2016) Regulator untuk
jalur ini adalah protein cactus (negatif) dan MyD88
(positif). –(Cirimotich CM, Dong Y, Garver LS, Sim
S, 2010) Ketika MyD88 didiamkan dalam Ae. aegypti,
infeksi oleh DENV diintensifkan di midgut. (Ramirez
JL, 2010)
67 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
c. IMD (Immune deficiency) pathway
IMD pathway merupakan respon yang membatasi
replikasi virus Sindbis (SINV) setelah diaktifkan oleh
mikrobiota nyamuk melalui faktor negatif Caspar.
(Barletta AB, Nascimento-Silva MC, Talyuli OA,
Oliveira JH, Pereira LO, Oliveira PL, 2017) Efektor
yang dihasilkan melalui IMD pathway adalah
diptericin, attacin & vago. 65 Vago mengikat
reseptornya dan memicu aktivasi JAK-STAT pathway.
(Ruckert C, Bell Sakyi L, Fazakerley JK, 2014)
d. JAK-STAT (The Janus kinase/signal transducers
and activators of transcription) pathway
JAT-STAT pathway menghambat replikasi
arbovirus seperti DENV dan West Nile Virus (WNV).
Hasil riset melaporkan bahwa sel-sel Aag-2 (garis sel
Ae. aegypti) meningkat secara kuantitatif dengan
transkripsi STAT selama infeksi oleh Sindbis
Virus(SINV).(Ruckert C, Bell Sakyi L, Fazakerley JK,
2014) JAK-STAT pathway dan toll pathway jika
dikombinasikan meningkatkan resistensi terhadap
Sjamsul Huda, S.Si 68
Zika Virus(ZIKV) pada Ae. aegypti. (Angleró-
Rodríguez YI, MacLeod HJ, Kang S, Carlson JS,
Jupatanakul N, 2017) Selain faktor-faktor tersebut,
masih perlu riset lanjutan untuk beberapa faktor lain:
seperti fagositosis, autofagi, apoptosis, dan saluran
untuk infeksi (trakea) untuk menentukan peran
mereka yang tepat dalam infeksi vektor oleh arbovirus
sebagaimana Gambar 4.2 berikut ini. (Alonso-
Palomares LA, Moreno-García M, Lanz-Mendoza H,
2019)
Gambar 4.2. Effectors infeksi nyamuk oleh arbovirus
Interaksi seluler dan molekuler seperti RNAi
mendorong diversifikasi virus pada nyamuk. Perbedaan
dalam kompetensi vektor dan berbagai barriers yang
69 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
ditemui virus selama penyebaran dalam nyamuk dapat
mengakibatkan perbedaan viral load, evolusi dan
kemunculan virus baru. Adanya urbanisasi, pembukaan
lahan pemukiman penduduk dapat berdampak pada
interaksi vektor, nyamuk dan inang vertebrata. Nyamuk
antropofagik seperti Ae. aegypti dan Ae. albopictus,
termasuk yang sering berinteraksi dengan inang viremik,
dan peran mereka dapat mempertahankan virus pada saat
inter epidemik. Jarak terbang yang cukup jauh dari kedua
vektor ini dan distribusi ditemukan di mana-mana, hal ini
dapat menjadi penyebab munculnya kejadian luar biasa
dengan pathogen yang luas. Sebagaimana digambarkan
dalam Gambar 4.3 berikut ini. (Rückert and Ebel, 2019)
Gambar 4.3. Faktor yang mempengaruhi munculnya
global pathogen
Sjamsul Huda, S.Si 70
B. Hasil Penelitian Persistensi
Hasil deteksi virus dengue menunjukkan persistensi
virus dengue transmisi transovarial pada Ae. albopictus
dan Ae. aegypti koloni laboratorium maupun koloni
lapangan dengan hasil progeni yang positif bervariasi
pada keempat serotipe di ketiga jenis vektor tersebut
sebagaimana Tabel 4.1 berikut ini:
Tabel 4.1. Deteksi Virus Dengue pada Ae .albopictus dan Ae.
aegypti
Vektor Progeni Serotipe
DENV-1
DENV-2
DENV-3
DENV-4 Ae. albopictus
Lab
F1
+
+
+
+
F2
+
+
+
F3
+
Ae.
aegypti
Lab
F1
+
+
+
+
F2
+
+
+
+
F3
+
+
+
F4
+
+
F5
+
F6
Ae. aegypti
Lapangan
Medan
F1
+
+
F2
+
F3
+
Mimika
F1
+
+
F2
+
+
F3
+
+
Magelang
F1
+
F2
+
F3
Palu
Bengkulu
71 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
Hasil deteksi transovarial nyamuk Ae. aegypti koloni
lapangan dari lima kota, yaitu: Medan, Mimika,
Magelang, Bengkulu dan Palu menunjukkan tiga kota
yaitu Medan, Mimika dan Magelang positif virus dengue
secara transovarial, sedangkan Palu dan Bengkulu tidak
terdeteksi terjadinya transmisi transovarial. Hasil deteksi
virus dengue dengan PCR menunjukkan dari Kota Medan
terdeteksi DENV-1 dan DENV-4, dari Kota Mimika
terdeteksi DENV-3 dan DENV-4, dan dari Kota
Magelang terdeteksi DENV-4. (Hikmawati, I,
Wahyono, H, Martini, M, Hadisaputro, S, Darmana, E,
Mustika Djati, K R, Mardihusodo, S. J. Umniyati, 2020)
Temuan transmisi transovarial dalam penelitian ini
menggambarkan adanya infeksi ganda dalam tubuh
vektor dalam satu progeni, hal ini terjadi pada progeni F1
dari Kota Medan (infeksi ganda DENV-1 dan DENV-4)
dan dari Kota Mimika (infeksi ganda DENV-3 dan
DENV-4). Fenomena ini menggambarkan peran Ae.
aegypti sebagai vektor penyakit DBD dalam infeksi
silang. Sedangkan kejadian transovarial koloni
Sjamsul Huda, S.Si 72
laboratorium pada Ae. albopictus maupun Ae. aegypti
dilakukan melalui artificial inoculation dengan metode
intratorakal. Hasil penelitian menunjukkan kejadian
transovarial secara buatan melalui artificial inoculation.
(Hikmawati, I, Wahyono, H, Martini, M, Hadisaputro, S,
Darmana, E, Mustika Djati, K R, Mardihusodo, S. J.
Umniyati, 2020)
Dalam penelitian di atas, sampel telur berasal dari
laboratorium Parasitologi, Fakultas Kedokteran,
Universitas gajah Mada Universitas. Sedangkan sampel
lapangan berasal dari rearing telur yang tersimpan di
Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran
Uiversitas Gajah Mada dari beberapa penelitian sebagai
berikut : Telur dari Kota Magelang, berasal dari
penelitian Hadi Satrisno, dengan judul : Analisis Spasial
Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Uji
Kerentanan Ae. aegypti Terhadap Malathion di Kota
Magelang. (Satrisno, 2018) Telur dari Kota Palu, berasal
dari penelitian Purwaningsih, dengan judul publikasi:
Combined Target Site VGST Mutations Play A Primary
73 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
Role In Pyrethroid Resistant Phenotypes of Aedes
Aegypti As Dengue Vector From Palu City, Central
Sulawesi. (Purwaningsih, Sitti Rahmah Umniyati, 2019)
Telur dari Kota Medan, berasal dari penelitian Ledy
Afrida Sinaga dengan judul publikasi: Early Detection of
Kdr Mutation in Dengue Vector Aedes Aegypti
Cypermetrin Resistant From Dengue Endemic Area in
Medan City, Noth Sumatera Province, Indonesia.
(Sinaga, Ledy Afrida, Umniyati, Siti Rahmah,
Mulyaningsih, 2018) Telur dari Kota Mimika, berasal
dari penelitian Riska Amelia Okyana dengan judul :
Perbandingan Indikator Entomologi pada Nyamuk Aedes
sp di daerah endemis dan non endemis di Kabupaten
Mimika, Papua. (Riska Amelia Okyana,Tri Baskoro
Tunggul Satoto, Sitti Rahmah Umniyati, Michail Bangs,
2018) Telur dari Kota Bengkulu, berasal dari penelitian
Dessy Triana dengan judul publikasi : Resistance Status
Of Ae. Aegypti To Malathion And Cypermethrin In
Bengkulu. (Triana, Umniyati and Mulyaningsih, 2019)
Penularan transovarial virus dengue ditemukan pada
akhir 1970-an dan menjadi temuan untuk menjadi sarana
Sjamsul Huda, S.Si 74
virus ini bertahan (persisten). Hasil penelitian menduga
penu la r an ve r t i ka l da l am popu la s i nyamuk
memungkinkan virus untuk bertahan (persisten).
Penelitian menggunakan model matematik untuk melihat
efisiensi infeksi transovarial terhadap kemungkinan
terjadi persistensi menunjukkan bahwa infeksi vertikal
sebesar 1-4% bukan merupakan faktor risiko penting bagi
virus menjadi persisten. Dalam situasi endemik,
peningkatan jumlah reproduksi, persistensi menjadi
signifikan ketika infeksi vertikal melebihi 20-30%.
Dalam situasi epidemi infeksi vertikal mempercepat
jalannya wabah dan benar-benar dapat mengurangi
waktu persistensi, hal ini sesuai dengan fakta bahwa
siklus hidup nyamuk relatif cepat. Ketika efisiensi infeksi
vertikal rendah virus ini cepat hilang kecuali ada
amplifikasi dalam populasi manusia. Oleh karena itu
kasus DBD asimtomatik pada manusia lebih mungkin
untuk menjadi hal penting dalam persistensi dibanding
transmisi dalam populasi vektor. (Adams B, 2010)
Hasil penelitian persistensi virus dalam tubuh manusia
menunjukkan keberadaan antibodi DENV spesifik dalam
75 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
serum darah setelah 70 tahun yang lalu pernah terinfeksi.
Laporan yang dipublikasikan menunjukkan bahwa
serotipe DENV-1 dan DENV-2 bertanggung jawab
terjadinya wabah di Nagasaki dari tahun 1942-1944.
Penelitian ini dilakukan ketika epidemi dengue terjadi di
Nagasaki Jepang dari tahun 1942 sampai 1944. Seorang
relawan Jepang diminta diagnosis serologis infeksi
DENV pada tahun 2014 dan menyumbangkan sampel
darah untuk mengukur titer antibodi terhadap DENV.
(Ngwe Tun MM, Muta Y, Inoue S, 2016) Hasil penelitian
persistensi virus lainnya dilakukan oleh Joshi terhadap
nyamuk Ae. aegypti betina yang berumur 4-5 hari
diinfeksi dengan virus dengue serotipe DENV-3 dengan
metode intrathoracic inoculations menyimpulkan
kematian lebih banyak pada nyamuk yang diinfeksi
dengan virus dan mekanisme penularan secara
transovarial serotipe DENV-3 dapat diturunkan sampai
generasi ke-tujuh. (Joshi, Mourya and Sharma, 2002)
Sjamsul Huda, S.Si 76
BAB VI
NYAMUK SEBAGAI VEKTOR
A. Mekanisme Nyamuk Sebagai Vektor
Arbovirosis merupakan penyakit yang disebabkan
oleh virus dengan perantara oleh arthropoda. Arthropoda
hematofag untuk virus adalah nyamuk, kutu, lalat pasir
dan pengusir hama. Nyamuk merupakan vektor yang
paling penting dalam penularan patogen ke manusia.
Nyamuk setelah menghisap darah viremik, berbagai
mekanisme diaktifkan untuk menangkal infeksi virus
tersebut. Namun demikian, berbagai virus tersebut
memiliki strategi mengatasi hambatan untuk berhasil
mencapai kelenjar ludah untuk melanjutkan siklus
penularan. Keberhasilan tersebut dipengaruhi banyak
faktor antara lain: karakteristik anatomi, fisiologis, dan
molekuler nyamuk itu sendiri. Selama masa inkubasi
77 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
ekstrinsik, virus yang memasuki midgut dan masuk ke
hemolymph selanjutnya menginfeksi sel-sel tubuh,
trakea, hemosit, ovarium, jaringan saraf, dan mencapai
kelenjar ludah. (Le Coupanec A, Tchankouo-Nguetcheu
S, Roux P, Khun H, Huerre M, Morales-Vargas R, 2017)
Mekanisme penyebaran arbovirus selain dengan
nyamuk juga mempengaruhi inang/host non-manusia,
seperti : kuda, burung, tikus, dan mamalia kecil lainnya,
namun beberapa inang tersebut tidak meningkatkan
virulensi virus, namun lebih kepada dampak pada jiwa.
Aedes sp adalah spesies yang unik, tidak hanya karena
sifat antropofilik dan peridomestik, tetapi juga karena ia
dapat menularkan beragam virus pathogen. Selain
sebagai vektor untuk virus dengue (DENV), Aedes sp
juga sebagai vektor yellow fever virus (YFV),
chikungunya virus (CHIKV), dan Zika virus (ZIKV)
sebagaimana Gambar 4.1 berikut: (Alonso-Palomares
LA, Moreno-García M, Lanz-Mendoza H, 2019)
Gambar 5.1 : Berbagai jenis siklus transmisi pada host
utama dan host insidental.
Sjamsul Huda, S.Si 78
B. Kompetensi Vektor dan Kapasitas vektor
Kompetensi vektor menggambarkan kemampuan
arthropoda untuk mengirimkan patogen. Kompetensi
vektor menunjukkan kemampuan instrinsik vektor antara
lain spesies, strain, individual dalam mendukung
perkembangan dan propagasi patogen agar dapat
menularkan patogen secara biologi. (Kyle and Harris,
2008) Kerentanan vektor dapat mempengaruhi
kerentanannya terhadap infeksi, lama masa inkubasi
ekstrinsik serta efisiensi penularan. Dengan demikian
kompetensi vektor terbatas pada interaksi patogen-
vektor. Kompetensi vektor dipengaruhi antara lain
genotipe virus dan ukuran nyamuk. (Anderson, JR, Rico
79 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
Hesse, 2006),(Strickman,D and Kittayapong, 2003)
Secara matematis status kerentanan dihitung dengan
mengukur MID50 (Mosquito infection Dose 50) yaitu
dosis yang diperlukan sehingga 50% nyamuk yang
diinfeksi dengan virus dengue per oral menunjukkan
positif DENV pada jaringan otaknya setelah masa
inkubasi 14 hari berdasarkan metode imunofluoresensi,
sehingga semakin rendah MID50 semakin tinggi status
kerentanan nyamuk tersebut terhadap infeksi virus
DENV.
Kapasitas vektor menggambarkan tingkat reproduksi
dasar patogen yang ditularkan oleh spesies/populasi
vektor tertentu. Formula kapasitas vektor ini dilihat dari
jumlah gigitan nyamuk yang menimbulkan infeksi pada
inang individu. Hal ini dipengaruhi oleh lima faktor:
kepadatan vektor (m), probabilitas makan (a),
kompetensi vektor (VC), probabilitas kelangsungan
hidup (p) dan inkubasi ekstriksi (n). Faktor-faktor
tersebut tidak dapat menjadi penyebab sendiri, namun
saling bergantung dengan faktor lainnya, termasuk faktor
Sjamsul Huda, S.Si 80
lingkungan dan faktor interaksi virus-nyamuk,
sebagaimana Gambar 5.2 di bawah ini:
Gambar 5.2 Faktor yang mempengaruhi kapasitas vektor.
(Alonso-Palomares LA, Moreno-García M, Lanz-Mendoza H,
2019)
C. Siklus Gonotropik dan Lama Metamorfosis Vektor
Infeksius
Gambaran siklus gonotropik dan lama metamorfosis
vektor infeksius (Ae. albopictus dan Ae. aegypti) dari
hasil penelitian sebagaimana Tabel 5.1 berikut ini :
Tabel 5.1. Hasil Analisis Siklus Gonotropik dan Lama
Metamorfosis
Tabel 5.1 menggambarkan rata-rata siklus gonotropik
tercepat pada Ae. albopictus yaitu selama 4 hari, dan
terlama pada Ae. aegypti lapangan selama 6 hari. Hasil uji
81 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
Siklus Gonotropik N mean Sd 95% CI nilai p Aedes albopictus Laboratorium 80 4 0,50a 4,39-4,61 0,0001
Aedes aegypti Laboratorium 80 5 0,44b 4,65-4,85
Aedes aegypti Lapangan 80 6 0,83c 5,79.6,16
Lama Metamorfosis N mean Sd 95% CI nilai p
Aedes albopictus Laboratorium 80 11 2,25a 10.50-11.50 0,0001
Aedes aegypti Laboratorium 80 8 0,87b 8.31-8.67
Aedes aegypti Lapangan 80 7 0,49c 7.20-7.51
statistik Kruskal Wallis menunjukkan adanya perbedaan
siklus gonotropik pada ketiga strain vektor tersebut (p
value :0,0001). Pada analisis lanjutannya hasil uji
statistik Post hoc Mann-Whitney (digambarkan dalam
kode a, b, c) menunjukkan adanya perbedaan (p value<
0,05) dua kelompok pada ketiga strain. Selanjutnya pada
lama metamorfosis, rata-rata metamorfosis terlama,
terjadi pada Ae. albopictus koloni laboratorium yaitu
selama 14 hari, dan metamorfosis paling cepat terjadi
pada Ae. aegypti koloni lapangan selama 7 hari. Hasil uji
statistik Kruskal Wallis menunjukkan adanya perbedaan
lama metamorfosis pada ketiga strain vektor tersebut (p
value :0,0001). Pada analisis lanjutan hasil uji statistik
Sjamsul Huda, S.Si 82
Post hoc Mann-Whitney (digambarkan dalam kode a, b,
c) menunjukkan adanya perbedaan (p value < 0,05) dua
kelompok pada ketiga strain (Hikmawati, 2019).
Preliminary research pada penelitian ini menemukan
pada nyamuk infektif serotipe DENV-2 menunjukkan
adanya perbedaan jumlah telur pada siklus gonotropik
satu dan siklus gonotropik dua (p value: ≤ 0,005) dengan
mean different : 13,5. (Hikmawati, I, Wahyono, H,
Martini, M, Hadisaputro, S, Darmana, E, Mustika Djati,
K R, Mardihusodo, 2019) Beberapa hasil riset
sebelumnya menunjukkan siklus gonotropik di
Kabupaten Wonosobo antara 3-7 hari. (Nova and
Martini, 2012) Hasil penelitian Siraj, AS et al
menunjukkan semua interval generasi sangat sensitif
terhadap suhu, menurun dua kali lipat antara 25°C dan
35°C. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
epidemi virus dengue dapat dipercepat dengan
meningkatnya suhu, hal ini tidak hanya karena lebih
banyak infeksi per generasi tetapi juga karena lebih cepat
pada tiap generasi. (Siraj et al., 2017) Hasil penelitian
sebelumnya menunjukkan, panjang siklus gonotrofik
83 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
diperkirakan berdasarkan nilai koefisien korelasi tinggi
yang muncul setiap 4 hari di musim hujan pada 26,7 ±
1,22 ° C, dan 3 hari di musim kering pada 29,8 ± 1,47 °C.
Tingkat kelangsungan hidup populasi Ae. aegypti lebih
tinggi di musim hujan yaitu 0,94 dibandingkan di musim
kemarau yaitu 0,93. Perkiraan waktu minimum untuk
mematangkan telur setelah pemberian darah hampir
sama pada kedua musim (3,5 hari di musim hujan dan
3,25 hari di musim kering). (Garcia-Rejon, 2017) Hasil
penelitian Ritadi, dkk menyimpulkan bahwa suhu dan
lama penyimpanan berpengaruh terhadap persentase
tetas telur Ae. aegypti di laboratorium (p= 0,046).
Persentase telur yang menetas semakin menurun
tergantung dengan suhu dan lama waktu penyimpanan.
(Alfiah and Alfiah, 2014)
Tahapan metamorfosis penting diketahui agar
kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dapat
berjalan secara efektif dan efisien. PSN merupakan
kegiatan yang dilakukan masyarakat secara mandiri di
lingkungannya masing-masing untuk menghilangkan
Sjamsul Huda, S.Si 84
tempat-tempat perindukan nyamuk melalui 3 M. M yang
pertama yaitu (menguras) yaitu menguras bak mandi dan
tempat penampungan air. M yang ke dua (menutup) yaitu
menutup tempat-tempat penampungan air. M yang ke
tiga (mengubur) yaitu mengubur barang-barang bekas di
lingkungan sekitar agar tidak menjadi tempat perindukan
nyamuk. Hasil penelitian menyimpulkan salah satu
hambatan dalam pengendalian vektor adalah kurangnya
partisipasi aktif masyarakat dalam kegiatan PSN.
(Hikmawati and Purwito, 2013) Hasil penelitian Siraj, et
al menunjukkan peningkatan suhu dapat mempercepat
epidemi virus demam berdarah, dikarenakan cepatnya
metamorfosis tiap generasi sehingga lebih banyak infeksi
tiap generasi. (Siraj et al., 2017)
Penelitian sebelumnya oleh De Majo, et al dari
Argentina, menyimpulkan pada umumnya nyamuk
Aedes sp akan meletakan telurnya pada suhu sekitar 20°
sampai 30°C. Pada suhu 30°C, telur akan menetas setelah
1 sampai 3 hari dan pada suhu 16°C akan menetas dalam
waktu 7 hari. Pada kondisi normal, telur Aedes sp yang
85 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
direndam di dalam air akan menetas sebanyak 80% pada
hari pertama dan 95% pada hari ke dua. Berdasarkan jenis
kelaminnya, nyamuk jantan akan menetas lebih cepat
dibandingkan nyamuk betina sehingga nyamuk jantan
lebih cepat menjadi dewasa. Faktor-faktor yang
mempengaruhi daya tetas telur adalah suhu, pH air
perindukan, cahaya, serta kelembaban disamping
fertilitas telur itu sendiri. Proporsi telur yang menetas
berkorelasi posit if dengan suhu perendaman.
Kelangsungan hidup sebesar 30% pada suhu 13,2°C dan
di atas 90% pada suhu 20°C. Sedangkan waktu
pengembangan pada suhu rendah adalah 49,4 d pada suhu
13,2°C & 17,7 d pada suhu 20°C. Hasil penelitian
tersebut dapat menjadi pertimbangan dalam program
pengendalian vektor agar fokus pengendalian lebih tepat
sasaran pada berbagai stadium nyamuk. (De Majo MS1,
Montini P, 2017)
Sjamsul Huda, S.Si 86
D. Analisis survival Nyamuk Ae. albopictus dan Ae.
Aegypti Infeksius
Analisis survival bertujuan melihat kelangsungan
hidup nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus mulai dari
terinfeksi virus dengue sampai batas waktu tertentu
nyamuk tersebut mati. Hasil penelitian menunjukkan
selama pengamatan tujuh hari, terdapat 14 nyamuk Ae.
aegypti yang mati sedangkan pada Ae. albopictus
terdapat 54 nyamuk yang mati. 50% Ae. aegypti mati
pada 139,8 jam pasca intratorakal (hari ke-5), sedangkan
pada Ae. albopictus pada 87,7 jam pasca intratorakal (hari
ke-3). Hasil analisis menunjukkan ada perbedaan survive
antara nyamuk Ae. aegypti dengan Ae. albopictus (p
value= 0,0001). Dengan tingkat kematian yang lebih
rendah, makna adanya perbedaan menunjukkan Ae.
aegypti infeksius lebih survive di alam dibanding Ae.
albopictus sebagaimana Tabel 5.2 berikut ini
(Hikmawati, I, Hendro Wahjono, Martini Martini, 2019):
Tabel 5.2. Analisis Survival Nyamuk Ae. albopictus
dan Ae. aegypti
87 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
Survival rate pada Ae. aegypti dan Ae. albopictus
menunjukkan ketahanan nyamuk pada saat kondisi
infeksius. Dalam kondisi infeksius, peluang hidup Ae.
aegypti lebih lama dibanding Ae. albopictus. Hal ini
ditunjukkan dengan nilai median survival nyamuk Ae.
albopictus lebih cepat 87,7 jam dibandingkan Ae. aegypti
139,8 jam, artinya dalam kondisi infeksi, pada hari ke-3
Ae. albopictus dan hari ke -5 Ae. aegypti, populasi
nyamuk infeksius yang masih hidup kedua vektor
tersebut kurang lebih masih 50% dari total populasi yang
ada. Temuan ini menjadi hal penting, terkait dengan
upaya pengendalian DBD melalui PSN. Beberapa upaya
yang dapat dilakukan antara lain dengan kebersamaan
waktu PSN (dalam satu lingkungan dilakukan secara
serentak) dan waktu pelaksanaan, sebaiknya setiap 3 hari
sekali dan tidak lebih dari 5 hari. Kelangsungan hidup
nyamuk dipengaruhi banyak faktor salah satunya kondisi
Analisis Survival N kematian (ekor)
median survival (jam)
95% CI P value
Aedes albopictus 70 54 87,7 74,5-100,9 0,0001
Aedes aegypti 70 14 139,8 125,1-154,6
Sjamsul Huda, S.Si 88
lingkungan setempat (kondisi ekologis). Hal ini
sebagaimana hasil riset sebelumnya yang menyimpulkan
bahwa kelangsungan hidup dan paritas pada nyamuk
lebih tinggi (68,5%) pada daerah pinggiran kota dengan
komunitas penduduk miskin dan kepadatan manusia
yang sangat tinggi serta pekerjaan yang tidak teratur.
Tingkat penyebaran dapat mencapai maksimum 363 m.
Tingkat kelangsungan hidup yang tinggi pada nyamuk
akan meningkatkan kemungkinan nyamuk untuk
menghisap darah pada orang yang viremia sehingga
menjadi infektif dan siap untuk menularkan virus
dengue. Nyamuk betina infektif dapat hidup untuk
periode yang lebih lama daripada inkubasi ekstrinsik.
(Janeiro et al., 2007)
Masuknya virus dengue dalam tubuh nyamuk
menunjukkan nyamuk mengalami proses imflamasi.
Bagian penting untuk berkembang dan beramplifikasi
pada virus dengue adalah sel-sel dari glandula salivarius
dan ovarium. Nyamuk yang diinfeksi virus dengue
bagian tersebut menunjukkan perubahan bentuk secara
89 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
morfologi dan histologi dibandingkan dengan nyamuk
sehat atau tidak terkena virus (aksenik) dan bagian organ
tersebut terlihat jauh lebih besar (membengkak). Hasil
penelitian sebelumnya oleh Joshi, et al menyimpukan
rata-rata telur yang dihasikan lebih sedikit pada nyamuk
yang terinfeksi DENV-3 ( 48.5 ± 19.4) dibanding yang
tidak terinfeksi (86 ± 29). (Joshi, Mourya and Sharma,
2002) Selain faktor infeksi, banyaknya telur yang
dihasilkan dipengaruhi banyaknya darah yang dihisap
oleh nyamuk tersebut untuk mematangkan telurnya,
darah digunakan untuk asupan prote in yang
diperlukannya untuk memproduksi telur. Hasil penelitian
di Thailand dan Puerto Rico memperkirakan rata-rata Ae.
aegypti mengambil 0,76 dan 0,63 Human Blood Meals
per Day. (Scott TW1, Amerasinghe PH, Morrison AC,
Lorenz LH, Clark GG, Strickman D, Kittayapong P,
2000) Infeksi pada nyamuk berdampak pada Motivation
and Avidity to Blood Feed yang mempengaruhi kapasitas
vektor. Hasil penelitian sebelumnya menyimpulkan
adanya infeksi serotipe DENV-2 akan mempengaruhi
perilaku nyamuk dalam menghisap darah pertama (first
Sjamsul Huda, S.Si 90
feed) dibandingkan selanjutnya (second feed). Efek
infeksi lebih berpengaruh pada nyamuk yang muda
dibandingkan yang tua, walaupun tidak bermakna secara
statistik, nyamuk yang tidak terinfeksi lebih cepat
menghisap darah dibandingkan yang terinfeksi. (Maciel-
de-freitas et al., 2013)
Kematian nyamuk pasca terinfeksi virus dengue
menunjukkan adanya virulensi virus dengue. Virulensi
virus dengue berdampak pada risiko terjadinya syok pada
kasus demam berdarah. Hasil penelitian sebelumnya
menunjukkan virus serotipe DENV-2 lebih virulen. (R.
Rico, 2011) Serotipe DENV-2 dan DENV-3 selain
berdampak kematian yang tinggi pada nyamuk, serotipe
ini menunjukkan infeksi yang lebih berat pada manusia.
Hasil riset yang dilakukan oleh Andriyoko, dkk
menunjukkan infeksi oleh serotipe DENV-2
memberikan gambaran hasil penurunan kadar
hemoglobin tertinggi, persentase peningkatan nilai
hematokrit tertinggi, dan jumlah trombosit terendah
dibandingkan dengan serotipe lainnya. (Andriyoko et al.,
91 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
2012) Penularan vertikal serotipe DENV-2, 7 kali lebih
tinggi dibandingkan DENV-1. Penularan transovarial
akan optimum jika nyamuk betina yang terinfeksi
dibiarkan menetas setelah dua bulan. Hal ini
menunjukkan pada suhu kamar, virus mendapat
kesempatan untuk berkembangbiak dan meningkatkan
jumlah telur. Keturunan yang diperoleh dari nyamuk
yang terinfeksi ditemukan mampu menularkan virus
secara horizontal ketika dilakukan penyelidikan tentang
BAPS (Bovine Albumin Phosphate Saline) pada pH 7,2.
(Mourya DT1, Gokhale, Basu A, Barde PV, Sapkal GN,
Padbidri VS, 2001)
Virulensi virus berdampak pada kerentanan nyamuk
yang berbeda-beda pada setiap infeksi. Hasil penelitian
Muturi, et al menunjukkan nyamuk Ae. aegypti yang
terinfeksi DENV-4 kurang rentan terhadap infeksi
sekunder dengan DENV-2, begitu juga sebaliknya.
Fekunditas populasi pada nyamuk yang terinfeksi
DENV-2 secara signifikan lebih tinggi daripada DENV-4,
setelah diberikan membrane feeding dengan darah non
Sjamsul Huda, S.Si 92
infeksius selama 7 hari. (Muturi EJ, Buckner E, 2017)
Serotipe DENV-2 dan DENV-3 yang berasal dari Asia
berhubungan dengan kejadian epidemi dan infeksi
dengue berat. Genotipe dari subtipe Asia serotipe DENV-
2 dan DENV-3 telah menyebabkan siklus endemis di
benua lain dan pada beberapa kasus telah menggantikan
genotipe lain yang tidak menyebabkan infeksi dengue
berat. Penelitian yang dilakukan akhir akhir ini
mendapatkan sel target primer (sel dendrit) manusia dan
pada nyamuk, serotipe DENV-2 dan DENV-3
menghasilkan titer virus yang lebih tinggi dibandingkan
dengan serotipe lainnya. Sampai saat ini masih menjadi
pertanyaan mengapa pada beberapa serotipe virus
dengue mempunyai kemampuan replikasi yang lebih
tinggi bila dibandingkan dengan serotipe lainnya,
sehingga perlu dilakukan pengawasan terhadap transmisi
serotipe virus dengue yang memiliki potensi virulensi
tinggi untuk menentukan apakah virulensi juga
dipengaruhi oleh faktor genetik pejamu dan status imun
pejamu sebelumnya. (Simmons CP, Halstead SB,
Rothman A, Harris E, Screaton G, Rico-Hesse R, 2006)
93 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
Hasil riset lainnya menunjukkan virus dengue DENV-3
merupakan serotipe dengan karakteristik lebih virulen.
Infeksi virus dengue serotipe DENV-3 viabel untuk
ketiga galur sel (cell line) dan metode plaque assay yaitu
pada galur sel BHK-21 memberikan hasil terbaik.
(Dadan Supardan, Jaka Widada, Tri Wibawa, 2016)
Sjamsul Huda, S.Si 94
DAFTAR ISTILAH
Agent :
Analisis Survival :
Arthropoda :
Merupakan semua unsur atau elemen hidup maupun tidak hidup yang kehadirannya atau ketidakhadirannya bila diikuti dengan kontak yang efektif dengan pejamu (host) yang r e n t a n d a l a m k e a d a a n y a n g memungkinkan akan menjadi stimuli untuk menyebabkan terjadinya proses penyakit.
Adalah analisis yang bertujuan menaksir probabilitas kelangsungan hidup, kekambuhan, kematian, dan peristiwa-peristiwa lainnya sampai pada per iode waktu te r ten tu . bertujuan untuk mengetahui hasil dari variabel yang mempengaruhi suatu awal kejadian sampai akhir kejadian, contohnya waktu yang dicatat dalam hari, minggu, bulan, atau tahun. Untuk kejadian awal contohnya awal nyamuk terinfeksi virus dan untuk kejadian akhir contohnya kematian nyamuk.
Merupakan kata yang berasal dari bahasa latin: arthra artinya ruas, buku,
95 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
Arbovirus :
Artralgia :
Bionomik nyamuk :
segmen, dan podos artinya kaki yang berarti merupakan hewan yang memiliki kaki beruas, berbuku, atau bersegmen. Athropoda d ibagi m e n j a d i e m p a t k e l a s : K e l a s Hexapoda, misalnya nyamuk, lalat. Kelas Arachnoida (kaki 8), misalnya tungau. Kelas Crustacea (kaki 10), misalnya udang. Kelas Myriapoda: chilopoda dan dipoppoda, misalnya kaki seribu.
Adalah kependekan dari Arthropod Borne Virus. Arbovirus adalah virus RNA yang ditularkan oleh vektor serangga.
Merupakan salah satu gejala pada demam berdarah ditandai dengan nyeri satu atau lebih sendi karena adanya infeksi virus dengue.
Merupakan hubungan timbal balikantara nyamuk dengan lingkunganh idupnya . B ionomik nyamukmeliputi:kebiasaanmenggigit,siklushidup nyamuk, perkembangbiakannyamuk,habitatnyamuk,pemilihanhospes, distribusi penyebarann y amu k d a n p e nya k i t y a n gditularkanolehnyamuk.
Sjamsul Huda, S.Si 96
Adalah tempat berkembangbiaknya vektor, pada nyamuk Aedes sp (vektor d e m a m b e r d a r a h , t e m p a t berkembangbiaknya adalah pada air yang jernih dan air tersebut tidak kontak langsung dengan tanah (bak manadi, drum, ban bekas vas, bunga dan lain sebagainya.
Merupakan suatu angka yang dinyatakan ke dalam persentase yang berisikan Data orang mengalami kematian akibat suatu penyakit tertentu. Pada dasarnya Case Fatality Rate digunakan pada pengkuran penyakit menular.
Persentase container yang positif jentik dari seluruh container yang diperiksa.
Adalah sindrom syok yang terjadi pada penderita Dengue Hemorhagic Fever (DHF) atau Demam Berdarah Dengue. Menurut kriteria WHO, DSS dinyatakan sebagai DHF derajat III-IV.
Adalah demam t inggi se lama beberapa hari disusul oleh penurunan
Breeding Places :
Case Fatality Rate :
ContainerIndeks (CI) :
DengueShockSyndrome (DSS) :
Demam Bifasik :
97 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
Demam Berdarah Dengue (DBD) :
Epidemi :
Endemik :
suhu lebih kurang satu hari dan kemudian timbul kembali. Demam bifasik biasa ditemukan pada demam dengue, yellow fever, colorado tick fever, rit valley fever, infeksi virus misalnya influenza, poliomyelitis.
Adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus dengue. Virus ini masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus, yang hidup di wilayah tropis dan subtropis.
Kenaikkan kejadian suatu penyakit yang berlangsung cepat dan dalam jumlah insidens yang di perkirakan, d i b a g i m e n j a d i c o m m o n sours(exposure) epidemic (satu sumber penularan) dan propagated (progressive) epidemic (banyak sumber penularan).
Adalah penyakit menular yang terus menerus terjadi di suatu tempat atau prevalensi suatu penyakit yang biasanya terdapat di suatu tempat. Fenomena endemik merupakan penyakit yang umum terjadi pada laju yang konstan namun cukup tinggi
Sjamsul Huda, S.Si 98
Environment/Lingkungan :
Filial (F) :
Fekunditas :
Gejala Klinis /Symptoms :
pada suatu populasi disebut sebagai endemik, contoh penyakit endemik adalah DBD.
A d a l a h s e g a l a s e s u a t u y a n g mengelilingi dan juga kondisi di luar m a n u s i a a t a u h e w a n y a n g menyebabkan atau memungkinkan penularan penyakit. Lingkungan merupakan faktor ekstrinsik yang cukup penting dalam menentukan terjadinya proses interaksi antara pejamu dengan unsur penyebab dalam proses terjadinya penyakit.
Art inya keturunan. F1 adalah keturunan pertama dan F2 adalah keturunan kedua, dst
Adalah jumlah telur yang terdapat pada induk nyamuk betina yang telah matang dan siap untuk dikeluarkan.
Adalah keluhan penderita tentang penyakit yang dideritanya secara subjektif. Dimana hal ini akan dipadankan dengan tanda klinis (signs) yang secara objektif diperoleh dari pemeriksaan klinis oleh tenaga medis, untuk melakukan analisis dan
99 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
menarik kesimpulan dalam bentuk diagnosis.
Adalah intensifikasi hubungan sosial s e c a r a m e n d u n i a s e h i n g g a menghubungkan antara peristiwa di satu lokasi dengan lokasi lainnya serta menyebabkan terjadinya perubahan pada keduanya. Adanya globalisasi menyebabkan penyakit infeksi menyebar lebih mudah.
Organisme, biasanya berupa manusia atau hewan yang menjadi tempat terjadinya proses alamiah penyakit. Host memberikan tempat dan penghidupan kepada suatu pathogen.
Adalah suatu daerah di permukaan bumi yang secara geografis berada di sekitar ekuator.Area ini terletak
o odiantara 23,5 LU dan 23,5 LS . Iklim tropis terletak di garis katulistiwa, memiliki dua musim (hujan dan kemarau) , pada daerah t ropis tergambar dengan wilayah yang hangat dan lembab sepanjang tahun.
Adalah wilayah yang berada di utara dan selatan wilayah tropis yang
Globalisasi :
Host :
Iklim tropis :
Iklim Sub Tropis :
Sjamsul Huda, S.Si 100
dibatasi oleh garis balik utara dan garis balik selatan pada lintang 23,5o utara dan selatan. Sub tropis terletak di garis lintang, diwarnai badai, hujan salju, angin tornado dan memiliki empat musim (panas semi, panas, gugur, dingin).
Adalah frekuensi penyakit atau kasus b a r u y a n g b e r j a n g k i t d a l a m masyarakat di suatu tempat atau wilayah atau negara pada waktu t e r t e n t u ( u m u m n y a 1 t a h u n ) d iband ingkan dengan jumlah penduduk yang mungkin terkena penyakit baru tersebut.
Periode diantara terjadinya lonjakan kasus (epidemi).
M e r u p a k a n s u a t u s e n i , i l m u p e n g e t a h u a n , d a n t e k n o l o g i pembuatan peta.
Adalah rendahnya jumlah sel darah putih yang ada di dalam tubuh (normal 3500-10.500/mikroliter), dikarenakan adanya gangguan atau penyakit tertentu dalam tubuh kita.
Incidence Rate :
Inter-Epidemik :
Kartografi :
Leukopenia :
101 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
Merupakan kelenjar sistem imun yang umumnya membesar karena infeksi bakteri atau virus, namun beberapa kelenjar getah bening yang membengkak secara bersamaan dapat mengindikasikan adanya kanker.
A d a l a h r e n t a n g w a k t u y a n g d ipe r lukan da r i s aa t nyamuk menggigit dan memasukkan virus dengue ke dalam tubuh seseorang hingga orang tersebut mengalami gejala DBD. Masa inkubasi virus dengue dalam manusia (inkubasi intrinsik) berkisar antara 3 sampai 14 hari sebelum gejala muncul, gejala klinis rata-rata muncul pada hari keempat sampai hari ketujuh, sedangkan masa inkubasi ekstrinsik (di dalam tubuh nyamuk) berlangsung sekitar 8-10 hari.
Adalah salah satu contoh metamorfosis
sempurna yang terjadi pada hewan
kelas insekta. Dikatakan sempurna,
karena dalam proses metamorfosis
yang dilaluinya, nyamuk mengalami 4
tahapan perubahan dari mulai telur,
larva, pupa, hingga menjadi nyamuk
dewasa.
Limfa denopati :
Masa InkubasiDBD :
Metamorfosis Nyamuk :
Sjamsul Huda, S.Si 102
Myalgia (Nyeri )Otot :
MIR(Minimum Infection Rate) :
Propagatif :
Progeni :
Reservoir :
Merupakan kata yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu myo yang berarti otot dan algos yang berarti nyeri. myalgia pada demam berdarah terjadi karena Adanya proses inflamasi atau adanya infeksi virus.
M e r u p a k a n i n d i k a t o r u n t u k memperkirakan tingkat infeksi nyamuk, dihitung berdasarkan rasio dari jumlah positif dengan jumlah nyamuk yang diperiksa.
Adalah virus berkembangbiak di d a l a m t u b u h v e k t o r. I n f e k s i menyebabkan perubahan fisiologis maupun anatomis sebagai tanggapan terhadap pathogen.
Adalah keturunan yang berasal dari sumber yang sama.
Adalah manusia, hewan, tumbuhan, tanah atau zat organic (seperti tinja, makanan) yang menjadi tempat tumbuh dan berkembangbiak agent sewaktu agent berkembang biak dalam reservoir, mereka melakukan sedemikian rupa sehingga penyakit dapat ditularkan pada pejamu yang rentan.
103 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
Ruam :
Subklinis :
Siklus Gonotropik :
Syok Hipovolemik:
Transmisi Transovarial/
Merupakan salah satu gejala pada demam berdarah ditandai kondisi kulit iritasi, bengkak atau gembung kulit yang diketahui dengan adanya warna merah, rasa gatal, bersisik, kulit yang mengeras atau benjolan melepuh pada kulit akibat adanya infeksi virus.
A r t i n y a p e n y a k i t b e l u m memanifestasikan dirinya ke dalam tubuh pasien meskipun penyakit itu sudah ada di dalam tubuh pasien. Keadaan ini disebabkan karena penyakit belum cukup parah untuk menimbulkan gejala.
Adalah waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan perkembangan telur mulai dari nyamuk menghisap darah sampai telur dikeluarkan, biasanya berlangsung antara 3-4 hari.
Adalah kondisi darurat di mana jantung tidak mampu memasok darah yang cukup ke seluruh tubuh akibat volume darah yang kurang.
Adalah mekanisme penularan virus dengue dalam tubuh nyamuk Aedes
Sjamsul Huda, S.Si 104
sp . betina ke ovum, kemudian berpropagasi dalam ovum, larva, pupa, dan imago.
Adalah mekanisme penularan virus dengue antara vertebrata viremia yang ditularkan oleh nyamuk Aedes sp.
Merupakan arthropoda yang dapat menularkan, memindahkan atau menjadi sumber penularan penyakit pada manusia sehingga sering dikenal sebagai arthropod borne diseases atau vector borne diseases. Contoh Arthropodborner nyamuk, penyakit yang ditularkan al: Malaria, filarial, yellow fever, ensefalitis, dengue haemofhagic fever. Arthropodborner lalat rumah, penyakit yang ditularkan al: Demam tifoid dan paratifoid, diare, disentri, kolera, gastroenteritis, amebiasis, infestasi, helmintik, yaws, pol iomyel i t i s , konjungt iv i t i s , trakoma, antraks.
Adalah peradangan pada pembuluh darah yang menyebabkan perubahan pada dinding pembuluh. Perubahan yang terjadi antara lain penebalan, pelemahan, penyempitan.
Vertikal :
Transmisi Horizontal :
Vektor :
Vasculopathy :
105 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
Viremia :
Virulensi :
Adalah periode virus berada di dalam aliran darah sehingga dapat ditularkan kepada orang lain melalui gigitan nyamuk.
Adalah derajat kemampuan suatu p a t o g e n o p o r t u n i s t i k u n t u k menyebabkan penyakit.
Sjamsul Huda, S.Si 106
DAFTAR PUSTAKA
Adams B, B. M. (2010) 'How important is vertical transmission in mosquitoes for the persistence of dengue? Insights from a mathematical model.', E p i d e m i c s , 2 ( 1 ) , p p . 1 – 1 0 . d o i : 10.1016/j.epidem.2010.01.001.
Ahmad, R., Ismail, Z. and Hanlim, L. (2008) 'Persistency of transovarial dengue virus in Aedes aegypti (Linn)', The Southeast Asian Journal of Tropical Medicine and Public Health, 39(5), pp. 813–6.
Alfiah, R. S. and Alfiah, S. (2014) 'Pengaruh Suhu Penyimpanan Terhadap Presentase Tetas Telur', Vektora, 6(1), pp. 9–12.
Alonso-Palomares LA, Moreno-García M, Lanz-Mendoza H, S. M. (2019) 'Molecular Basis for Arbovirus Transmission by Aedes aegypti Mosquitoes', I n t e r v i ro l o g y , 6 1 ( 6 ) , p p . 2 5 5 – 6 4 . d o i : 10.1159/000499128.
Anderson, JR, Rico Hesse, R. (2006) 'Aedes aegypti vectorial capasity is determined by the infecting genotype of dengue virus', Am J Trop Med Hyg, 75(5), pp. 886–92.
Andriyoko, B. et al. (2012) 'Penentuan Serotipe Virus Dengue dan Gambaran Manifestasi Klinis serta Hematologi Rutin pada Infeksi Virus Dengue', Majalah Kedokteran Bandung, 44(4), pp. 253–60.
Angel, B. and Joshi, V. (2008) 'Distribution and seasonality of vertically transmitted dengue viruses in Aedes
107 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
mosquitoes in arid and semi-arid areas of Rajasthan, India', J Vector, 45(March), pp. 56–59.
Angleró-Rodríguez YI, MacLeod HJ, Kang S, Carlson JS, Jupatanakul N, D. G. (2017) 'Aedes aegypti Molecular Responses to Zika Virus: Modulation of Infection by the Toll and Jak/Stat Immune Pathways and Virus Host Factors.', Front Microbiol., 10(8), p. 2050.
Bahang, Z. . (1978) Life History of Aedes aegypti dan Aedes albopictus under laboratory condition., Inst For Med Research, Kuala Lumpur.
Barletta AB, Nascimento-Silva MC, Talyuli OA, Oliveira JH, Pereira LO, Oliveira PL, et al. (2017) 'Microbiota activates IMD pathway and limits Sindbis infection in Aedes aegypti.', Parasit Vectors., 10(1), p. 103.
Bhatt, S. et al. (2013) 'The global distribution and burden of dengue', Nature, 496(7446), pp. 504–7.
Biu, F. M. and Hassan, M. S. (2012) 'Waktu Aktifitas Menghisap Darah Nyamuk Aedes Aegypti Dan Aedes Albopictus di Desa Pa ' Lanassang Kelurahan Barombong Makassar Sulawesi Selatan', Jurnal Ekologi Kesehatan, 11(4), pp. 306–14.
Boesri, H. (2011a) 'Biologi dan Peranan Aedes albopictus ( Skuse ) 1894 sebagai Penular Penyakit', Aspirator, 3(2), pp. 117–25.
Boldogh I, Albrecht T, P. D. (1996) 'Persistent Viral Infections', in Medical Microbiology. Texas: Galveston (TX): University of Texas Medical Branch at Galveston, ISBN-10: 0-9631172-1-1.
Chen, R. and Vasilakis, N. (2011) 'Dengue — Quo tu et quo vadis?', Viruses, 3, pp. 1562–1608.
Sjamsul Huda, S.Si 108
Cirimotich CM, Dong Y, Garver LS, Sim S, D. G. (2010) 'Mosquito immune defenses against Plasmodium infection.', Dev Comp Immunol., 34(4), pp. 387–95.
Le Coupanec A, Tchankouo-Nguetcheu S, Roux P, Khun H, Huerre M, Morales-Vargas R, et al. (2017) 'Co-Infection of Mosquitoes with Chikungunya and Dengue Viruses Reveals Modulation of the Replication of Both Viruses in Midguts and Salivary Glands of Aedes aegypti Mosquitoes.', Int J Mol Sci., 18(8), p. E1708.
Dadan Supardan, Jaka Widada, Tri Wibawa, N. W. (2016) 'uji viablitas virus dengue serotipe 3pada beberapa galur sel (cell-line)', BIOTA, IX(1), pp. 120–27.
Dutta, P. et al. (2015) 'First evidence of dengue virus infection in wild caught mosquitoes during an outbreak in Assam, Northeast India', Journal of Vector Borne Diseases, 52(4), pp. 293–98.
Ebi, K. L. and Nealon, J. (2016) 'Dengue in a changing climate', Environmental Research. Elsevier, 151, pp. 115–23.
Edillo, F. E., Sarcos, J. R. and Sayson, S. L. (2015) 'Natural vertical transmission of dengue viruses in Aedes aegypti in selected sites in Cebu City , Philippines', Journal of Vector Ecology, 40(2), pp. 282–91.
Eva A, Buckner, Barry W , Alto, L Philip, L. (2013) 'Vertical Transmission of Key West Dengue-1 Virus by Aedes aegypti and Aedes albopictus (Diptera: Culicidae) Mosquitoes From Florida', J Med Entomol , November,(6), pp. 1291–97.
109 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
Fernandes, C. et al. (2017) 'Transovarial transmission of DENV in Aedes aegypti in the Amazon basin : a local model of xenomonitoring', Parasites & Vectors. Parasites & Vectors, 10(249), pp. 1–9. doi: 10.1186/s13071-017-2194-5.
Fidayanto, R. et al. (2013) 'Control Model of Dengue Hemorrhagic Fever', Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 7(11), pp. 522–28.
Fionasari T; Arum S.J dan Yusnita M.A. (2012) Identifikasi Serotipe Virus Dengue pada Nyamuk Aedes aegypti Dan Aedes albopictus di Kota Salatiga Dengan Metode RT-PCR. Salatiga.
Fontenille D, Failloux AB, R. (2007) 'Should we expect Chikungunya and Dengue in Southern Europe?', in In: Emerging Pests and Vector-Borne Diseases in Europe Eds. Wageningen, The Netherlands.: TakkenW& Knols BGJ. Wageningen Academic Publishers, pp. 169–184.
Franz AW, Kantor AM, Passarelli AL, C. R. (2015) 'Tissue Barriers to arbovirus infection in mosquitoes', Viruses, 7(7), pp. 3741–67.
G, C. et al. (2008) 'Spatial and temporal dynamics of dengue fever in Peru : 1994 – 2006', Epidemiology and I n f e c t i o n , 1 3 6 ( 1 2 ) , p p . 1 6 6 7 – 7 7 . d o i : 10.1017/S0950268808000290.
Garcia-Rejon, C. M. B.-B. U.-G. C.-T. C. T. D. M.-W. M. T.-C. C. N. E. (2017) 'Blood Feeding Status, Gonotrophic Cycle and Survivorship of Aedes (Stegomyia) aegypti (L.) (Diptera: Culicidae) Caught in Churches from Merida, Yucatan, Mexico', Neotropical Entomology, 46(6), pp. 622–30.
Sjamsul Huda, S.Si 110
Greeg, M. (1996) Field Epidemiology. Edited by G. Richard C, Dicker, Richard A. new york: oxford university prees.
Grunnill M, B. M. (2016) 'How Important is Vertical Transmission of Dengue Viruses by Mosquitoes (Diptera: Culicidae)?', Jurnal Medical Entomology., 53(1), pp. 1–19.
Halstead, S. B. (2008) Dengue. Edited by H. Geofrei, Pasfol and Stephen L. London: imperial College Press.
Hanlim, L. and Ahmad, R. (2005) 'Transovarial transmition of dengue virus in aedes aegypti and aedes albopictus in relation to dengue outbreak in an urban area in Malaysia', Dengue Bulletin, 29.
Hardy, JL, Honk , EJ, Kramer, LD, Reeves, W. (1983) 'Intrinsic factors affecting vector competence of mosquitoes for arbovirus', Ann.Rev.entomol, 28, pp. 229–62.
Herman, R. et al. (2012) 'Sebaran Serotipe Virus Dengue di Pontianak , Medan dan Jakarta Tahun 2008', Biotek Medisiana Industri, 1(2), pp. 73–8.
Hikmawati, I, Hendro Wahjono, Martini Martini, S. H. (2019) 'Analisis Survival Vektor Infecsius DENV-2 Melalui Artificial Inoculation', in The Future of Nursing Care After The Covid-19 Pandemic. Universitas Jenderal Soedirman.
Hikmawati, I, Pattima, S. (2018) 'Cross Sectional Study: The Relationship Between Comorbidities and Hematocrit with the Hospitalization of Patients of Dengue Hemorrhagic Fever(DHF)', Advanced Science Letters, 14(1), pp. 112–15.
111 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
Hikmawati, I, Wahyono, H, Martini, M, Hadisaputro, S, Darmana, E, Mustika Djati, K R, Mardihusodo, S. J. Umniyati, S. (2020) 'Rapid Detection of Dengue Virus Transovarial Transmition from Nature and Artificial Inoculation', Journal of Critical Reviews, 7(1), pp. 41–47.
Hikmawati, I, Wahyono, H, Martini, M, Hadisaputro, S, Darmana, E, Mustika Djati, K R, Mardihusodo, S. J. (2019) 'Mortality Rate and Gonotropic Cycle Serotipe Denv-2 Transovarial Transmission through Intratoracal', Indian Journal of Public Health Research & Development, 10(09), pp. 4–8.
Hikmawati, I. (2019) Persistensi Virus Dengue(DENV 1-2-3-4) Transmisi Transovarial-Transgenerasional Pada Nyamuk Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus (Diptera: Culicidae). Universitas Diponegoro.
Hikmawati, I. and Purwito, D. (2013) 'Phenomenology Study of Various Obstacle Efforts to Eliminate of Dengue Haemoragic Fever in Banyumas Dictrict', in NETS ( National Olympiade and International Conference on Education Technology and Science. P u r w o k e r t o : U n i v e r s i t a s M u h a m m a d i y a h Purwokerto, ISBN : 978-602-14930-0-7, pp. 416–420.
Hikmawati, I. and Sholihah, Umi, Widhi Nirwansya, A. (2015) 'Map Practice Prevention, Environmental Conditions and index Density Larvae Community of Endemic Dengue Haemorhagic Fever ' , in Collaborative Approach to Improve Research and Management of Chronic Diseases. Purwokerto:
Sjamsul Huda, S.Si 112
University of Muhammadiyah Purwokerto-Pharmacy International Conference(UMP-PIC), ISBN : 978-602-73538-0-0, pp. 191–8.
Hu W, Clements A, Williams G, T. S. (2011) 'Spatial analysis of notified dengue fever infections', Epidemiology and Infection, 139(3).
Hubbert, W. (2010) Disease transmitted from animal to man. Springfield: Charles C Thomas Publish.
Janeiro, D. E. et al. (2007) 'Daily Survival Rates and Dispersal of Ae AEGYPTI Female in Rio', Am J Trop Med Hyg, 76(4), pp. 659–65.
Johnson, B. W. et al. (2005) 'Serotype-Specific Detection of Dengue Viruses in a Fourplex Real-Time Reverse Transcriptase PCR Assay', JOURNAL OF CLINICAL MICROBIOLOGY, 43(10), pp. 4977–83. doi: 10.1128/JCM.43.10.4977.
Joshi, V., Mourya, D. T. and Sharma, R. C. (2002) 'Persistence Of Dengue-3 Virus Through Ttranovarial Ttransmission Passage In Successive Generations Of Aedes Aegypti Mosquitoes', Am J Trop Med Hyg, 67(2), pp. 158–61.
Kooi, B. and Stollenwerk, N. (2008) 'Epidemiology of dengue fever : A model with temporary cross-immunity and possible secondary infection shows bifurcations and chaotic behaviour in wide parameter regions', Math. Model. Nat. Phenom, 3(1), pp. 1–3. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed.
Kusumawati, R. L. and Yulfi, H. (2009) Deteksi dan Penentuan Virus Dengue dari Spsesimen Klinik di Rumah Sakit Kota Medan dengan Menggunakan
113 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
Metode Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR). Universitas Sumatra Utara.
Kyle, J. L. and Harris, E. (2008) 'Global Spread and Persistence of Dengue', Annu.Rev.Microbiol, 62(4), pp. 71–92.
Leopoldo MR (2004a) Pictorial keys for the identification of mosquitoes(Diptera: Culicidae associated with dengue virus transmission. Uuckland, New Zealand: Mongolia Press.
Leopoldo MR (2004b) Pictorial keys for the identification of mosquitoes (Diptera: Culicidae) associated with dengue virus transmition. Auckland, New Zealand,: Mongolia Press.
Lidiasani P. Mosesa, Angle Sorisi, V. D. P. (2016) 'Deteksi transmisi transovarial virus dengue pada Aedes aegypti dengan teknik imunositokimia di Kota Manado', Jurnal e-Biomedik (eBm), 4(1), pp. 116–21.
Liu T, Xu Y, Wang X, Gu J, Yan G, C. X. (2018) 'Antiviral systems in vector mosquitoes.', Dev Comp Immunol., 83(6), pp. 34–43.
Maciel-de-freitas, R. et al. (2013) 'The Influence of Dengue Virus Serotype-2 Infection on Aedes aegypti (Diptera:Culicidae) Motivation and Avidity to Blood F e e d ' , P l o s O n e , 8 ( 6 ) , p p . 6 – 1 0 . d o i : 10.1371/journal.pone.0065252.
De Majo MS1, Montini P, F. S. (2017) 'Egg Hatching and Survival of Immature Stages of Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) Under Natural Temperature Conditions During the Cold Season in Buenos Aires, Argentina.', J Med Entomol, 54(1), pp. 106–13.
Sjamsul Huda, S.Si 114
Mashoedi, I. D., Djamán, Q. and Yusuf, I. (2009) 'Deteksi Virus Dengue pada Telur Nyamuk Dewasa Aedes spesies di Daerah Endemis DBD ( Studi Kasus di Kota Semarang )', Sains Medika, 1(1), pp. 1–8.
Moore, P. R. et al. (2017) 'Dengue viruses in Papua New Guinea : evidence of endemicity and phylogenetic variation , including the evolution of new genetic lineages', Emerging Microbes & Infections. Nature Publishing Group, 6(12), pp. 111–14. doi: 10.1038/emi.2017.103.
Mourya DT1, Gokhale, Basu A, Barde PV, Sapkal GN, Padbidri VS, G. M. (2001) 'Horizontal and vertical transmission of dengue virus type 2 in highly and lowly susceptible strains of Aedes aegypti mosquitoes', Acta Virol, 45(2), pp. 67–71.
Murray, NEA, Quam MB, Wilder, S. (2013) 'Epidemiologi of Dengue : Past, present and future prospects', Clinical Epidemiologi, 5(1), pp. 299–309.
Muturi EJ, Buckner E, B. J. (2017) 'Superinfection interference between dengue-2 and dengue-4 viruses in Aedes aegypti mosquitoes.', Trop Med Int Health, 22(4), pp. 399–406.
Ngwe Tun MM, Muta Y, Inoue S, M. K. (2016) 'Persistence of Neutralizing Antibody Against Dengue Virus 2 After 70 Years from Infection in Nagasaki', Biores Open Access., 5(1), pp. 188–91.
Nova, P. and Martini (2012) 'Perbedaan Siklus gonotropik dan Peluang Hidup Aedes sp di Kabupaten Wonosobo', Ekologi Kesehatan, 11(3), pp. 194–201.
Nurfadly (2009) Deteksi dan penentuan serotipe virus
115 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
dengue tipe 1 dari nyamuk Aedes aegypti dengan menggunakan RT-PCR di Kota Medan. Universitas Sumatra Utara.
Paisal, Reni Herman, Aya Yuriestia Arifin, Arie Ardiansyah, Sari Hanum, Khairiah, Mukhlis Zuriadi, Y. (2015) 'Serotipe virus Dengue di Provinsi Aceh Dengue virus serotype in Aceh Province', Aspirator, 7(1), pp. 7–12.
Polwiang S (2015) 'The seasonal reproduction number of dengue fever: impacts of climate on transmission', PeerJ, 3, pp. 2–15. doi: doi: 10.7717/peerj.1069. eCollection 2015..
Prasetyowati, H. and Puji Astuti, E. (2010) 'Serotipe Virus Dengue di Tiga Kabupaten / Kota Dengan Tingkat Endemisitas DBD Berbeda di Propinsi Jawa Barat Dengue Virus Serotypes in Three Districts / Municipalities with Different Endemicity Level of Dengue in West Java', Aspirator, 2(2), pp. 120–24.
Prince, H. E. and Matud, J. L. (2011) 'Estimation of Dengue Virus IgM Persistence Using Regression Analysis', CLINICAL AND VACCINE IMMUNOLOGY, 18(12), pp. 2183–85. doi: 10.1128/CVI.05425-11.
Prommalikit O, T. U. (2015) 'Dengue Virus Virulence And Diseases Severiy.', Southeast Asian J Trop Med Public H e a l t , 4 6 ( 1 ) , p p . 3 5 – 4 2 . Av a i l a b l e a t : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed.
Purwaningsih, Sitti Rahmah Umniyati, B. M. (2019) 'Combined Target Site VGST Mutations Play A Primary Role In Pyrethroid Resistant Phenotypes of Aedes Aegypti As Dengue Vector From Palu City, Central Sulawesi', Indonesia Journal of Tropical and Infectious Disease, 7(5), pp. 93–98.
Sjamsul Huda, S.Si 116
R. Rico, H. (2011) 'Dengue Virus Virulence and Transmition Determinans', Curr Top Microbiol Immunol, 338(3), pp. 45–55. doi: 10.1007/978-3-642-02215-9.
Raekiansyah, M. (2004) Variasi genetik virus dengue tipe 3, Magister Program Studi Ilmu Biomedik pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Perpustakaan Nasional RI. Universitas Indonesia. Available at: http://lib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=79646&lokasi=lokal.
Rahayu, DF, Ustiawan, A. (2013) 'Identifikasi Aedes aegypti dan Aedes albopictus', Balaba, 9(1), pp. 7–10.
Rahayu, A. et al. (2019) 'Prevalence and Distribution of Dengue Virus in Aedes aegypti in Yogyakarta City before Deployment of Wolbachia Infected Aedes aegypti', (2009), pp. 1–12.
Ramirez JL, D. G. (2010) 'The Toll immune signaling pathway control conserved antidengue defenses across diverse Ae. aegypti strains and against multiple dengue virus serotypes.', Dev Comp Immunol., Jun; 34.(6), pp. 625–9.
RI, K. (2019) 'Kemenkes Rilis Jumlah Korban DBD dari 2014 hingga 2019', Republika, p. 5.
Riska Amelia Okyana,Tri Baskoro Tunggul Satoto, Sitti Rahmah Umniyati, Michail Bangs, R. F. (2018) Perbandingan Indikator Entomologi pada Nyamuk Aedes sp di daerah endemis dan non endemis di Kabupaten Mimika, Papua, Magister I lmu Kedokteran Tropis, Universitas Gajah Mada. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
117 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
Rodenhuis-Zybert I A, Wilschut J, S. J. (2010) 'Dengue Virus Life Cycle: Viral and Host Factors Modulating Infectivity', Cell Mol Life Sci, 67(2), pp. 2773–8. A v a i l a b l e a t : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20372965.
Rosa, E. and Salmah, S. (2015) 'Detection of Transovarial Dengue Virus with RT-PCR in Aedes albopictus ( Skuse ) Larvae Inhabiting Phytotelmata in Endemic DHF Areas in West Sumatra , Indonesia', American Journal of Infectious Diseases and Microbiology, 3(1), pp. 14–17. doi: 10.12691/ajidm-3-1-3.
Rosen, L, G. D. (1976) 'The use of mosquitoes to detect and propagate dengue viruses', Am J Trop Med Hyg, 23, pp. 1153–60.
Ruckert C, Bell Sakyi L, Fazakerley JK, F. R. (2014) 'Antiviral responses of arthropod vectors: an update on recent advances', Virusdisease, 25(3), pp. 249–60.
Rückert, C. and Ebel, G. D. (2019) 'How do virus-mosquitos interactions lead to viral emergence', Trends Parasitol, 3 4 ( 4 ) , p p . 3 1 0 – 2 1 . d o i : 10.1016/j.pt.2017.12.004.How.
Sánchez-Vargas I, Scott JC, Poole-Smith BK, Franz AW, Barbosa-Solomieu V, Wilusz J, et al. (2009) 'Dengue virus type 2 infections of Aedes aegypti are modulated by the mosquito's RNA interference pathway.', PLoS Pathog, 5(2), p. e1000299.
Satrisno, H. (2018) Analisis Spasial Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Uji Kerentanan Aedes aegypti Terhadap Malathion di Kota Magelang. Gajah Mada, Yoyakarta.
Sjamsul Huda, S.Si 118
Scott TW1, Amerasinghe PH, Morrison AC, Lorenz LH, Clark GG, Strickman D, Kittayapong P, E. J. (2000) 'Longitudinal studies of Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) in Thailand and Puerto Rico: blood feeding frequency.', J Med Entomol, 37(1), pp. 89–101.
Seran MD, P. H. (2012) 'Transmisi Transovarial Virus Dengue pada Telur Nyamuk Aedes aegypti.', Aspirator, 4(2), pp. 53–8.
Setyabudi, R. and Hikmawati, I. (2016) 'Kesukaan Nyamuk Aedes Aegypti Bertelur pada Kontainer Berwarna Gelap dan Kontainer Tidak Berwarna Gelap', Medisains, Fikes UMP, IV(2), pp. 14–22.
Severson DW, B. S. (2016) 'Genome Investigations of Vector Competence in Aedes aegypti to Inform Novel Arbovirus Disease Control Approaches.', Insects., 7(4), p. E 58.
Simmons CP, Halstead SB, Rothman A, Harris E, Screaton G, Rico-Hesse R, dkk. (2006) Report of the scientific working group on dengue. Geneva, Switzerland: World Health Organization.
Sinaga, Ledy Afrida, Umniyati, Siti Rahmah, Mulyaningsih, B. (2018) 'Early Detection of Kdr Mutation in Dengue Vector Aedes Aegypti Cypermetrin Resistant From Dengue Endemic Area in Medan City, Noth Sumatera Province, Indonesia', in World Insecticide Network, International Conference. Singapura.
Siraj, A. S. et al. (2017) 'Temperature modulates dengue virus epidemic growth rates through its effects on reproduction numbers and generation intervals', PLoS Negl Trop Dis, 11(7), pp. 1–19.
119 Dr. Isna Hikmawati, S.KM.,M.Kes (Epid)
Soedjoko Hariadhi (2005) Pola Distribusi Serotipe Virus Dengue pada Beberapa Daerah Endemik di Jawa Timur dengan Kondisi Geografi Berbeda. Universitas Airlangga, Surabaya.
Sorisi, A. M. H., Umniyati, S. R. and Satoto, T. B. (2012) 'Transovarial Transmission Index of Dengue Virus on Aedes aegypti and Aedes albopictus Mosquitoes in Malalayang District in Manado , North Sulawesi , Indonesia', TMJ, 01(02), pp. 87–95.
Strickman,D and Kittayapong, P. (2003) 'Dengue and its vectors in Thailand: calculated transmition risk from total pupae conts of Aedes aegypti and association of wing, length measurements with aspects of the larva habitat', Am J Trop Med Hygmj., 68(2), pp. 209–17.
Sucipto and Dani, C. (2009) Deteksi transmisi transovarial virus dengue pada nyamuk Aedes aegypti (diptera: culicidae) jantan dan betina serta hubungannya dengan incidence rate demam berdarah dengue di kota pontianak, Magister Ilmu Kedokteran Tropis Universitas Gajah Mada. Gajah Mada Yogyakarta.
Sunardi (2018) Prevalensi Transmisi Transovarial Dan Tingkat Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) Di Kecamatan Grogol Kabupaten Sukoharjo . Universitas Gajah Mada.
Telle, O. et al. (2016) 'The Spread of Dengue in an Endemic Urban Milieu – The Case of Delhi , India', Plos One, pp. 1–17.
Thenmozhi, V. et al. (2007) 'Natural Vertical Transmission of Dengue Virus in Aedes albopictus ( Diptera : Culicidae ) in Kerala , a Southern Indian State', Jpn.J.Infect.Dis, 60(5), pp. 245–49.
Sjamsul Huda, S.Si 120
Thongrungkiat, S., Maneekan, P. and Wasinpiyamongkol, L. (2011) 'Prospective field study of transovarial dengue-virus transmission by two different forms of Aedes aegypti in an urban area of Bangkok , Thailand', Journal of Vector Ecology, 36(1), pp. 147–52.
Triana, D., Umniyati, S. R. and Mulyaningsih, B. (2019) 'Resistance Status Of Aedes Aegypti To Malathion and Cypermethrin In Bengkulu', Southeast Asian J Trop Med Public Healt, 50(3), pp. 1–8.
Van-Mai Cao-Lormeau (2009) 'Dengue viruses binding proteins from Aedes aegypti and Aedes polynesiensis salivary glands', Virology Journal 2009, 6(35), pp. 4–7. doi: 10.1186/1743-422X-6-35.
Wang SF, Wang WH, Chang K, Chen YH, Tseng SP, Yen CH, Wu DC, C. Y. (2016) 'Severe Dengue Fever Outbreak in Taiwan.', Am J Trop Med Hyg, 94(1), pp. 193–7.
Wanti, Oktovianus Sila, Irfan, E. S. (2016) 'Transovarial Transmiion and Dengue Virus Serotypes In Aedes Aegypti In Kupang', Jurnal Kesehatan Masyarakat, 12(1), pp. 131–8.
Withchom J, S. C. (2011) 'The Pathogenesis of dengue', Vaccine, 29(42), pp. 7221–8.
Yulianti, P. (2016) Analisis Sebaran Kasus Dan Faktor Risiko Penularan Demam Berdarah Dengue (DBD) Dengan Keberadaan Nyamuk Aedes spp. Di Kelurahan Mayang Mangurai Kota Jambi . Universitas Gajah Mada