peran hukum udara dalam pengaturan dan …

11
l8l PERAN HUKUM UDARA DALAM PENGATURAN DAN PENGEMBANGAN INDUSTRI PENERBANGAN, KHUSUSNYA INDUSTRI PESAWAT UDARA DI INDONESIA ____ OIeh : Mieke Komar Kantaatmadja, S.H.,M.C.L. ,C.N. *) _-;-__ Pengantar Pada kesempatan ini penulis, sesuai dengan tugasnya untuk memberikan suatu penjelasan ten tang Hukum Uda- ra, dalam makalah ini ' akan menyaji: kan suatu pengantar tentang dasar- dasar pengetahuan Hukum Udara. Adalah tujuan pengantar ini agar dalam penulisan dan penganalisisan yang akan dilakukan para peserta Lokakarya ini mengenai suatu perma- salahan yang menyangkut industri pe- nerbangan dan khususnya industri pesawat udara, aspek-aspek Hukum Udara yang re1evan selalu turut diper- hatikan. Merupakan kenyataan di seluruh dunia, bahwa suatu hal yang paling "menarik" . untuk "head-line" persu- ratkabaran adalah terjadinya kecelaka- an pesawat udara. Aspek-aspek Hukum Udara yang selalu ditonjolkan berkisar pada tanggung jawab operator (per- usahaan penerbangan yang bersangkut- an) atas kerugian yang diderita para penumpang 1 maupun orang lain yang *) MaIcalah ini disampaikan pada Karya Latihan Wartawan II di Industri Pesa- wat Terbang Nusantara di Bandung tanggal 3 Februari 1987, dan direvisi se- perlunya. 1. Lihat Konvensi Warsawa 1929 tentang Pengangkutan Internasional' Protokol . ' Den Haag, 1955; Konvensi Guadalajara tidak berstatus penumpang,2 masalah pem bayaran ganti rugi (di Indonesia diberi penamaan "santunan"), masalah asuransi, 3 investigasi kecelakaan pesa- wat,4 serta pencarian dan bantuan. s Dan turut mempertanyakan sejauh mana industri pesawat udara yang memproduksi pesawat, mesin dan komponen pesawat yang naas itu dapat turut diminta pertanggungjawab- an atas dasar tanggung jawab atas 1961, Protokol Guatemala 1971, ke-4 Konvensi Montreal 1975; Ordonansi Pengangkutan Udara Staatsblad 1930 No. 100 dan PP 17, 1965 serta berbagai SK Menteri yang menambah peraturan 1m. 2. Konvensi Roma 1952 tentang kerugi- an yang diderita pihak ketiga di atas per permukaan bumi; Protokol Montreal 1978, RI belum memiliki peraturan na- sional khusus mengenai hal ini. 3. Praktek asuransi penerbangan sudah maju di Indonesia walaupun belum di- dukung undang-undang nasional Asu- ransi Penerbangan lihat PP 17, 1965, beberapa PP dan SK Menteri yang rele- van. 4. Mengikuti Annex 13 ICAO, tentang Aircraft Accident Investigation. 5. Lihat Annex 12 ICAO, PP No. 12, 1972, dan Keppres No. 11, 1972. April 1987 .

Upload: others

Post on 29-Oct-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERAN HUKUM UDARA DALAM PENGATURAN DAN …

l8l

PERAN HUKUM UDARA DALAM PENGATURAN DAN PENGEMBANGAN INDUSTRI PENERBANGAN,

KHUSUSNYA INDUSTRI PESAWAT UDARA DI INDONESIA

____ OIeh : Mieke Komar Kantaatmadja, S.H.,M.C.L. ,C.N. *) _-;-__

Pengantar

Pada kesempatan ini penulis, sesuai dengan tugasnya untuk memberikan suatu penjelasan ten tang Hukum Uda­ra, dalam makalah ini ' akan menyaji: kan suatu pengantar tentang dasar­dasar pengetahuan Hukum Udara. Adalah tujuan pengantar ini agar dalam penulisan dan penganalisisan yang akan dilakukan para peserta Lokakarya ini mengenai suatu perma­salahan yang menyangkut industri pe­nerbangan dan khususnya industri pesawat udara, aspek-aspek Hukum Udara yang re1evan selalu turut diper­hatikan.

Merupakan kenyataan di seluruh dunia, bahwa suatu hal yang paling "menarik" . untuk "head-line" persu­ratkabaran adalah terjadinya kecelaka­an pesawat udara. Aspek-aspek Hukum Udara yang selalu ditonjolkan berkisar pada tanggung jawab operator (per­usahaan penerbangan yang bersangkut­an) atas kerugian yang diderita para penumpang1 maupun orang lain yang

*) MaIcalah ini disampaikan pada Karya Latihan Wartawan II di Industri Pesa­wat Terbang Nusantara di Bandung tanggal 3 Februari 1987, dan direvisi se­perlunya.

1. Lihat Konvensi Warsawa 1929 tentang Pengangkutan Internasional' Protokol

. '

• •

Den Haag, 1955; Konvensi Guadalajara

tidak berstatus penumpang,2 masalah pem bayaran ganti rugi (di Indonesia diberi penamaan "santunan"), masalah asuransi, 3 investigasi kecelakaan pesa­wat,4 serta pencarian dan bantuan.s

Dan turut mempertanyakan sejauh mana industri pesawat udara yang memproduksi pesawat, mesin dan komponen pesawat yang naas itu dapat turut diminta pertanggungjawab­an atas dasar tanggung jawab atas

1961, Protokol Guatemala 1971, ke-4 Konvensi Montreal 1975; Ordonansi Pengangkutan Udara Staatsblad 1930 No. 100 dan PP 17, 1965 serta berbagai SK Menteri yang menambah peraturan • • 1m.

2. Konvensi Roma 1952 tentang kerugi­an yang diderita pihak ketiga di atas per permukaan bumi; Protokol Montreal 1978, RI belum memiliki peraturan na­sional khusus mengenai hal ini.

3. Praktek asuransi penerbangan sudah maju di Indonesia walaupun belum di­dukung undang-undang nasional Asu­ransi Penerbangan lihat PP 17, 1965, beberapa PP dan SK Menteri yang rele­van.

4. Mengikuti Annex 13 ICAO, tentang Aircraft Accident Investigation.

5. Lihat Annex 12 ICAO, PP No. 12, 1972, dan Keppres No. 11, 1972.

April 1987 .

Page 2: PERAN HUKUM UDARA DALAM PENGATURAN DAN …

182

produksi (product liability). 6 Ingat kasus DC-lO beberapa tahun yang lalu.7

Hal di atas dapat dimaklumi, na­mun perlu diketahui bahwa Hukum Udara tidak hanya mengatur perm a­salahan yang menyangkut kecelakaan pesawat udara dan ganti rugi saja.

Juga, tidak terbatas mengatur masa-•

lah hijacking, atau dikenal dengan segi-segi Hukum Udara Pidana,8 yang memang merupakan suatu objek pem­beritahuan yang "menarik" juga.

Batasan

Batasan (definisi) Hukum yang dapat diberikan di sini

Udara adalah

6. Tuntutan ganti rugi atas kerugian yang disebabkan oleh produk pesawat udara dapat didasarkan atas teori kelalaian (theory of negligence), teori ganti rugi mutlak (strict liability) yang timbul seketika pada saat terjadinya kerugian dan atas dasar adanya pelanggaran ter­hadap jaminan-jaminan (warranties) yang diperjanjikan pihak manufacturer dengan pihak lain; baca Mieke Komar Kantaat­madja Kontrak Jual-beli Pesawat Udara, dalam buku Berbagai Masalah Hukum Udara dan (ruang) Angkasa. Remaja karya, 1984, hlm. 30-40.

7. Kecelakaan American Airlines DC-lO yang terjadi di Chicago, 25 Mei 1979, yang menghasilkan antara lain diadakan inspeksi Wing pylon mount system pada semua tipe pesawat ini.

8. Konvensi Tokyo 1965, Konvensi Den Haag 1970, Konvensi Montreal 1971, UU No.2, 1976 ,tentang Pengesahan RI atas ketiga Konvensi tersebut, UU No.4, 1976 tentang perubahan dan penambahan beberapa paw dari KUHAP Pidana bertalian dengan perluasan be­lakunya ketentuan perundang-undangan pidana, kejahatan penerbangan, dan ke­jahatan terhadap sarana/prasarana pener­bangan.

Hukum dan Pembangunan

bahwa Hukum Udara (Air Law, Aero­nautical Law, Lucht Recht; Luft -Recht, Droit d'Arien') mencakup kumpulan peraturan yang · mengatur penggunaan ruang udara beserta selu­ruh manfaatnya bagi penerbangan, ma­syarakat dan negara-negara di dunia ini.9 Dengan kata lain, Hukum Udara mencakup segala macam undang-un­dang, peraturan dan kebiasaan menge­nai penerbangan, serta segala hak dan kewajiban yang ditimbulkannya, yang disusun berdasarkan perjanjian, ke­biasaan dan hukum yang berlaku di dan di an tara negara-negara. 10 Tentang sifat dan luas wilayah berlakunya Hu­kum Udara telah diketahui bahwa se­tiap negara metniliki kedaulatan penuh dan eksklusif (full and exclusive sovereignty ) dalam ruang udara yang berada di atas wilayah darat dan laut-

9. I.M.Ph. Diederik.s Verschoor, An Intro­duction to Air Law, Kluwer, 1982, hlm. 1.

1O.Priyatna Abdurrasyid: Kedaulatan Ne­gara di Ruang Udara, disertasi, FH Unpad, 1972,hlm. 25. Pengertian lain, yang menempatkan Hukum Udara sebagai bagian dari Hu­kum Angkasa (Aerospace Law, Hukum (ruang) Udara dan Ruang Angkasa) menegaskan bahwa Hukum Angkasa (c.q. Hukum Udara) pada hakikatnya berusaha mencari penyelesaian atas tiga masalah yang berkaitan dengan: 1. Sifat dan lURS daerah di ruang udara

(dan ruang angkasa) tempat Hukum Angkasa berlaku dan diterapkan,

2. Bentuk-bentuk ·kegiatan manusia yang diatur di daerah tersebut,

3. Segala peralatan penerbangan (flight instrumentalities) yang menjadi objek hukum ini; ibid, hlm. 20.

Page 3: PERAN HUKUM UDARA DALAM PENGATURAN DAN …

Hukum d4n InduBtri Penerbanllan

annya.11 Harus diakui bahwa batas paling atas ruang (wilayah) yang di­atur Hukum Udara belum juga dite­tapkan oleh Hukum Internasional dan Hukum Nasional , masalah delimitasi ini masih diperdebatkan di forum internasional. Pengaturan dalam Un­dang-Undang No. 20 tahun 1982 ten tang ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan dan Keamanan Negara Indonesiapun12 masih mendapat tang­gapan-tanggapan "kontroversial" di dalam negara kita. Untuk mudah­nya, baiklah kita berpegang pada ke­nyataan bahwa di ruang udara yang masih berisi volume udara (atmosfrr) dan di mana aktivitas aeronautika oleh pesawat udara 13 dapat berlang-

1l.Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipillnternasional. Batasan Pesawat Udara menurut Kon­vensi Chicago 1944.

12.Lihat Penjelasan UndaQg-Undang ini Pa­sal 30 ayar 3(a): "Yang dimaksud de­

. tugas penegakan kedaulatan negara diartikan sama dengan Penjelasan ayat 2 (a) pasal ini bagi wilayah udara. Adapun pengertian dirgantara mencakup ruang udara dan antariksa termasuk orbit geostationer yang merupakan sumber daya alam terbatas", Sedangkan Pen­jelasan pasa/ 30 ayat 2(a) berbunyi: "Yang dimaksud dengan tugas penegak­an kedaulatan negara di laut mencakup pengertian penegakan hukum di laut se­suai dengan kewenangan yang diatur dengan peraturan perundang-undangan, Baik daJam lingkup nasional maupun daJam kaitannya dengan ketentuan-ke­tentuan hukum internasional" ,

13.Batasan Pesawat Udara menurut Kon­vensi Chicago 1944 yang diubah pada tahun 1967, dengan munculnya pesa­wat Hoover Aircraft, berbunyi: "Aircraft is any machine that can derive support in the atmosphere from the reactions of the air other that the reactions of the air against the earth's surface" . Batasan

183

sung, . disinilah berlaku Hukum ,Uda­ra. 14 Sehingga roket dan pesawat ulak-alik seperti "Challenger alm." dan

- . seluruh aktivitas lainnya tidak tunduk pada Hukum Udara tetapi diatur oleh Hukum Ruang Angkasa (Outer Space

15 -Law) Dari pengertian-pengertian di atas terlihatbahwa sifat internasional Hukum Udara sangat menonjol,16 dan memang sejak awal perkembangan Hukum Udara ketentuan-ketentuan Hukum Internasional sangat mem­pengaruhi pembentukan materi Hu­kum Udara. Contohnya, Konvensi Chi­cago 1944 ten tang Penerbangan Sipil Interrtasional --beserta ke-18 Annexes­nya wajib diterapkan oleh setiap ne­gara peserta Konvensi, termasuk Indo­nesia.Dapat disimpulkan bahwa selu­ruh penindang-undangan, peraturan dan ketentuan, seperti yang dimuat dalam Undang-Undang No. 83 tahun

sebelumnya, yang _juga rnasih dimuat daJam Undang-Undang Penerbangan In­donesia 1958 berbunyi: "Machines which can derive support in the atmos­phere from the reactions of the air" .

Hooveraircraft tidak termasuk klasifikasi . .

pesawat udara di atas. 14.Dikenal juga berbagai teori di1imitasi

lainnya, sepertiyang menarik batas de­markasi menurut perigee terendah suatu satelit yang mengorbit yaitu k.l. 100-11 0 km di atas sea level.

IS.Lihat antara lain Outer Space Treaty 1967, .Rescue and Return of Astronauts Agreement 1958, Liability Agreement 1972, Registration Agreement 1975 dan Moon Agreement 1980.

16.Sejak Konvensi Paris 1919 sifat interna­sional pengaturan Hukum Udara mulai tampak. Didukung oleh kenyataan bah­wa sifat karakteristik pesawat udara ada-. -

lah_ unsur kecepatannya I(spud) dan kemampuannya untuk dalam w3ktu sing­

-kat melewati -"legal national spheres" yang berbeda-beda.

April 1987

Page 4: PERAN HUKUM UDARA DALAM PENGATURAN DAN …

184

1958 Republik Indonesia tentang Pe­nerbangan, CASR (Civil Aviation safety Regulation) Indonesia yang menerapkan (sebagian besar, belum se­luruhnya) ketentuan Annexes ICAO,17 berbagai Konvensi Intemasional yang diikuti Indonesia, perjanjian-perjanjian bilateral, Peraturan Pemerintah, Kepu­tusan dan Instruksi Presiden, Surat Ke­putusan Bersama/Menteri, Undang-Un­dang lainnya yang berkaitan dengan aktivitas penerbangan tercakup dalam kumpulan pengaturan Hukum Udara Indonesia.18 Kesemuanya ini menjadi sumber Hilkum Udara dan dapat digu­nakan untuk mencari pemecahan per­masalahan hukum tentang penerbang­an di Indonesia. Sejauh diperlukan dan apabila Hukum Udara Indonesia belum cukup mengatumya perlu dicari bahan perbandingan dari ketentuan-ketentu­an khusus, praktek hukum dan yuris-

17.Ke-18 Annexes ICAO yang berm keten­tuan-ketentuan teknis implementasi isi Konvensi Chicago 1944 mencakup: (1) personnel licensing, (2) rules of the air, (3) meteorological service for inter­national air navigation, (4) aeronautical charts, (5) units of meaSUlUllent to be used in air and ground operations, (6) operation of aircraft, (7) aircraft nationality and registration marks, (8) airworthness of aircraft, (9) facilitation, (10) aeronautical telecommunications, (11) aircraft traffic services, (12) search and rescue, (13) air craft accident in­vestigation, (14) aerodromes, (15) aero­nau tical information services, (to) air­craft noise, (17) security-safe guarding International Civil Aviation against acts of unlawful interference, (18) safe trans­port of dangerous .goods by air.

18.Lihat Hirnpunan Peraturan Penerbangan yang dikeluarkan oleh Direktorat Jen­deral Perhubungan Udara bagian Hu­kum, 1984.

Hullum d4n PembIJnlfU nan

prudensi negara asing lainnya. Seperti dalam industri pesawat uda­

ra, ketentuan-ketentuan teknis yang dimuat dalam Federal Aviation Regu­lation 1958 (dan perubahan-perubah­annya)19 perlu turut diperhatikan. De­mikian pula perkembangan. Hukum Udara di negara terse but dan negara­negara lain yang memiliki industri penerbangan dan industri pesawat udara yang maju. Tentunya tidak se­tiap permasalahan yang menyangkut industri penerbangan maupun indus­tri pesawat udara dapat diatasi hanya dengan menerapkan ketentuan-keten­tuan Hukum Udara. Ketentuan-keten­tuan hukum umum seperti yang ter­muat dalam Hukum Perdata, Pidana,

Dagang, Fiskal, Hukum Perindustrian, dan lain-lain yang relevan selalu harus turut diperhatikan. Contoh: suatu kerjasama bilateral dalam desain dan produksi pesawat udara antara indutri pesawat udara yang bersifat transna­sional menyangkut Hukum Perusaha­an, Hukum Kontrak, Pengaturan Peng­alihan Teknologi, Hukum Fiskal, dan lain-lain beserta ketentuan-ketentuan Hukum Udara negara-negara yang ber­sangkutan. Apabila dipertanyakan me­ngapa ketentuan-ketentuan Hukum Udara yang disinggung di atas mem­beri !resan seolah-olah hanya mengatur mengenai aktivitas penerbangan sipil dan pesawat udara sipil melulu. Ja­wabannya adalah, bahwa terkecuali apabila suatu ketentuan Hukum Udara yang secara tegas dinyatakan berlaku untuk penerbangan yang dilakukan oleh pesawat udara negara/militer, aktivitas pengoperasian pesawat udara

19.Lihat CFR, 14 1980, Aeronautics and Space, Part I to Part 59.

Page 5: PERAN HUKUM UDARA DALAM PENGATURAN DAN …

Huku m dan IndU8tri Penerbanllan

terakhir ini seluruhnya diatur oleh ke­tentuan yang khusus diperuntukkan b.aginya.2O

Kriteria urituk membedakan suatu pesawat udara ' sipil di satu pihak dan pesawat udara militer di pihak lain, terutama dilihat dari tujuan pengguna­annya. Contoh: suatu pesawat udara Lockheed Hercules yang diperuntuk­kan bagi pengangkutan transmigrasi memperoleh status pesawat udara si­pil. Dan harus tunduk pada antara lain kewajiban registrasi menu rut Undang­Undang No. 83 tahun 1958, CASR, Indonesia, dan sejauh belum diubah dengan ketentuan lain, Peraturan Peng­awasan Penerbangan 1936 No. 426.

Sebagai alat transportasi yang rela­tif lebih muda dibanding dengan alat transportasi darat dan laut, pesawat udara sering dijuluki sebagai the most regulated mode of transportation yang diatur oleh berbagai ketentuan hukum nasional (terrnasuk Hukum Udara), yang diserasikari dengan keten­tuan-ketentuan hukum internasional.21

20. Ditetapkan oleh badan-badan berwenang Departemen Pertahanan dan Keamanan (Angkatan Bersenjata) Republik Indone­sia. Dalam perundang-undangan RI. di­beri peran pula pada badan-badan !le­

perti LAP AN dan Depanri untuk mene­tapkan kebijaksanaan/policy penerbang­an yang menyangkut baik penerbangan sipil dan negara/rniliter.

21. Annexes ICAO yang berisikan defi­nitions, standards dan recommended practices perlu ditaati oleh negara pe-

' serta Konvensi. Walaupun "reoomrnend­ed practices" tidak berfifat memaksa, apabila suatu negara peserta tidak atau kurang sanggup menerapkan atur­an-atural1 di atas, karena kondisi nasio­nalnya, hal ini perlu diberitahukan pada ICAO Council (Pasal 38 Konvensi Chi­cago 1944).

185

Kesemuanya menunjukkan pada ke­wenangan Pemerintah untuk turut ntengawasi agar efisiensi penerbangan dan keselamatan penerbangan terpe­nuhi. Walaupun demikian Pemerintah tidak dapat sebagai "penja­min" (guarantor) atas produk yang dihasilkan pihak industri pesawat udara maupun jasa penerbangan para operator.22 Persyaratan-persyaratan ke· selamatan penerbangan yang ditetap­kan Pemerintah adalah persyaratan teknis yang berupa standard minimum yang harus dipenuhi agar tercapai ke­selamatan penerbangan bagi masyara­kat. Tingkat keselamatan penerbang­an maksimal tetap terletak pada pun­dak pihak manufacturer maupun per­usahaan penerbangan selama jangka guna atau serviceable life time pesa­wat udara tersebut.

Singkatnya, kewenangan Pemerin­tah · untuk menetapkan pengaturan maupun kebijaksanaan administratif dan teknis menyangkut penetapan po­licy penerbangan, pengaturan aspek­aspek ekonomis dan teknis penerbang­an. Termasuk di dalamnya pengaturan lalu lirttas penerbangan melalui udaraf 'penetapan route-route yang dapat di­operasikan oleh perusahaan pener­bangan, penentuan tarif dan kapasitas angkutan penumpang dan cargo, izin usaha penerbangan berjadwal dan ti­dak berjadwal, pengoperasian pelabuh-

22.Alasan ini digunakan sebagai tangkisan dalam tuntutan hukum di mana Peme­rintah ingin dilibatkan sebagai pihak yang memberikan perizinan dan sertifi­kasi. Baca Mark A. Dombroff, Certifi­cation and Inspection: An overview of government Liability, Journal of Air

Law & Commerce, vol. 47, No.2, 1982. hlm.229-255.

April 1987

Page 6: PERAN HUKUM UDARA DALAM PENGATURAN DAN …

186

an udara dan termasuk kebisingan sua­ra zoning dan aktivitas komersial di da­lam pelabuhan udara, registrasi, pemi­likan dan hak jaminan atas pesawat udara, persyaratan pemasukan pesa­wat udara ke Indonesia, bea-bea yang menyangkut penerbangan, hal-hal lain yang sudah pada awal tu­lisan ini, dan lain-lain. Ketentuan­ketentuan . stan dar dan proses untuk memenuhi persyaratan keselamatan penerbangan yang berkaitan dengan industri pesawat udara, desain dan produksi pesawat udara, me sin dan komponen, pemeliharaan, pengopera­sian pesawat dan berbagai izin keca­kapan awak pesawat serta petugas­petugas penerbangan, dan lain-lain.

Yang terpenting bagi Industri Pe­saw at Terbang Nusantara, Indonesia (1PTN), berawal dari persetujuan pengoperasiannya sebagai Engineering Design Organization dan Manufactur­ing Crganization. 23 Ketatnya standar dan proses pensertifIkasian juga ter­Wtijud dalam proses desain, produksi

• • aan pengoperasian pesawat udara. Pada tahap desain dan pembuatan pro­totype suatu pesawat wajib diperoleh Type Certification, sebagai tanda bah-wa prototipe tersebut memenuhi stan dar dan proses kelaikan udara yang berlaku. Pada tahap produksi

. pesawat udara yang telah memperoleh SertifIkasi Tipe, diperlukan Produc­tion Certificate (di sarnping juga dike­nal Supplemental Type Certificate un­tuk izin modifikasi pesawat udara

23.Part. 55 dan 56 CASR. termasuk ~ailua perangkat penilaian/evaluasi yang terse­dia pada Dirjen. Perhubungan .Udara untuk dapat memberikan p.ersetujuan tersebut.

• •

Hukum dan Pembangunan

yang bersangkutan). Untuk tahap pengoperasian pesawat udara tersebut diperlukan Sertifikasi Kelaikan Ter­bang (Airworthiness Certificate) seba­gai prasyarat yang ditetapkan dalam Undang-Undang No. 83 tahun 1958. Tahap Sertifikasi yang berbeda-beda telah dan harus dilalui oleh produk­produk IPTN seperti NC. 212, NBO 105, Puma SA 330 dan Super Puma AS-332, Bell412 yang dirakit berda­sarkan Lisensi dengan pihak CASA, MBB, Aerospatiale SA, dan Bell. Pesa­wat-pesawat ini tidak rnemerlukan Ty­pe Sertification seperti halnya CN 235. Pesawat terakhir ini yang perancangan dan produksinya dilakukan berdasar­kan suatu kerjasama bilateral antara CASA dan IPTN perlu memperoleh semua sertifikat di atas, berawal dari Type Certification yang standar dan prosesnya telah ditetapkan oleh suatu Joint Certification Board. yang tet­diri dari pejabat-pejabat Departemen Perhubungan Dirjen Perhubungan Uda-

• ra Spanyol dan Indonesia. Hasilnya, adalah pemberian Type Certification pada bulan Juni 1986 yang lalu untuk CN. 235, yaitu dari Pemerintah Spa­nyol untuk versi CN 235 Spanyol dan Indonesia untuk versi CN 235 - Indo-

• neSla. Pada tahap dimulainya pemasaran

produk pesawat udara keluar negeri, maka di samping persyaratan kesela­matan penerbangan nasional lazimnya perlu dipenuhi pula persyaratan stan­dar dan proses sertifIkasi dari negara yang akan mengimpor pesawat ter­sebut. Harus diperoleh pengakuan (recognitionp4 dari negara asing ter-

24. Bilateral Airworthiness Agre.ement bu­kan merupakan Trade Agreement te-

. '

Page 7: PERAN HUKUM UDARA DALAM PENGATURAN DAN …

Hukumdan Indu8trl Penerbangan

sebut atas sertiflkat ke1aikan terbang Indonesia yang telah diberikan untuk pesawat udara .

Dalam hal ini, harus diakui bahwa stan dar kelaikan udara (airworthiness standard) yang ditetapkan oleh Fede­ral Aviation Administration/FAA da­lam FAR Amerika Serikat· dianggap paling berwibawa dan juga merupakan "ticket" bagi pemasaran di mayoritas negara di dunia ini. Walaupun sebenar­nya desain dan prototype CN 235 sudah dirancang sesuai dengan FAA's FAR. Part 25 (amendment 54)25 : Airworthiness standards transport category airplanes,namun untuk mem­peroleh pengakuan resmi dari Amerika Serikat/FAA diperlukan suatu perjan­jian bilateral yang dikenal dengan Bilateral Airworthiness Agreement for importation/export of Aircraft. Ame­rika Serikat/F AA (yang terkenal pro­tective terhadap usaha pemasukan pe­sawat udara buatan negara asing)26

tapi berupa technial agreement (yang dapat bersifat luas dan terbatas) " ... in­tended only to facilitate the reciprocal acceptance of test results, certificates, or marks of conformity issued by 1he importing country, US of Transportation FAA, Advisory Circular, No.820-82.

25 .. Asian Aviation, No. 1 June 23, 1986. Indonesia Air Show.

26. Baca John Newhouse yang menggambar­kan betapa sulitnya Airbus A-310 dan Concorde memasuki pasaran domestik Amerika Serikat, The Sporty Game, New York, 1982; Brazil menunggu 3 tahun dan memperoleh sertifikasi untuk Bandeirante pada tahun 1978 setelah ada pembeli AS, Beverley M. Carl. The Brazilian Aircraft Industry and the Use of Law as a tool for Development, Journal of Air, Law & Commerce, Vol. 50, vol. 3 & 4,1985, hIm. 551.

187

mempersyaratkan perlu adanya calon ,

pembeli pesawat udara terse but di Amerika Serikat, (kriteria : US interest in the aircraft). Contoh : IPTN sudah menjual 2 pesawat NC - 212 Aviocars ke suatu perusahaan penerbangan di Guam pada tahun 1984, dan atas dasar ini dimulai langkah-Iangkah untuk pembentukan perjanjian bilateral se­macam di atas.

Sementara telah dihasilkan suatu "Exchange of Notes" sebagai langkah awal penutupan suatu Bilateral Air­worthiness Agreement antara RI-USA pada tanggal 24-1-1987 yang lalu disertai suatu Tripartite Definition of Regulatory Responsibility for the PT. IPTN manufactured C-212 antara DGAC - Indonesia, DGCA - Spa­nyol dan FAA-USA.

Agar perjanjian bilateral yang diper­lukan itu dapat terwujud, peran ke­terlibatan pihak Pemerintah RI (De­partemen Luar Negeri), bersama dengan kesiapan badan-badan teknis Departemen Perhubungan (Dirjen. Perhubungan Udara) dan kesiapan in­dustri pesawat udara (IPTN) sangat menentukan, yaitu kesiapan dan kemampuan untuk memenuhi semua persyaratan prosedur dan teknis yang dipersyaratkan F AA/F AR. Di sam­ping itu tersedianya perangkat hukum udara nasional yang lengkap, terutama yang menyangkut pensertifikasian di atas dan keyakinan pihak asing bahwa ketentuan-ketentuan hukum tersebut telah diterapkan secara konsekuen, merupakan juga suatu prasyarat bagi perwujudan perjanjian bilateral terse­but.27

27. "F AA includes in its eValuation an assesment of the foreign airworthiness

April 1987

,

Page 8: PERAN HUKUM UDARA DALAM PENGATURAN DAN …

188

Dalam pada itu, seluruh proses. pensertiflkasian di atas mempunyai impact besar dari segi pembiayaan, baik bagi industri pesawat udara maupun operator penerbangan, mengingat kedua pihak inilah yang harus menanggung pembiayaan di atas (demikian pula praktek di Amerika Serikat).28 Berkaitan dengan usaha pemasaran pesawat udara, perlu dicatat bahwa Pemerintah Indonesia beberapa waktu yang lalu telah mengeluar­kan suatu SK Menteri Perhubungan ten tang "syarat-syarat pendaftaran dan operasional pesawat udara yang diperoleh dengan cara leasing". 29

Ketentuan ini dapat mendorong usaha leasing pesawat udara, apabila konstruksi yuridis leasing di Indo­nesia didukung dengan ketentuan­ketentuan fmansial dan perpajakan yang menguntungkan.

Dapat disimpulkan bahwa untuk usaha ini, yang tennasuk dalam bi­dang perindustrian, sesungguhnya se­gala ketentuan Hukum Perindustrian, Hukum Perdagangan, Ketenagakerjaan, Ketentuan Perpajakan secta pengatur­an Pengalihan/Pelimpahan Teknologi

authority's technical competences, capa· •

bilities, regulatory authority, efficiency, its airworthiness laws and regulations, foreign industry's overall state of-the­art in design and manufacturing capa­bility for the scope of the agreement sought . . . ", U.S. Department of transport,op. cit., p. 2.

28. Baca Dennis Nilson, Airworthiness Di· rectives : recovering' the cost of com· pliance, Journal of Air Law & Commer­ce, vol. 49, No.1, 1983, him. 1-30.

29. SK.KM 78/AU.00l/PNB-86 tertanggai 16 Juni 1986.

Huhum dan Pembangunan

turut berperan dan perlu mendukung­nya, dan bukan hanya oleh ketentuan­ketentuan Hukum Udara saja.

Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa berbagai fasilitas perpajakan, export credits, loan guaranties dan insurance facilities lazim diberikan pada usaha industri pesawat uda­ra di negara lain, baik di negara indus­tri maju (AS, Inggris, dan negara lain) dan negara sedang berkembang (con toh: Brazil dalam memajukan berba­gai produk industri pesawat udara Embraer) dan upaya-upaya tersebut terbukti sangat efektif dalam mem­bantu pengembangan industri tersebut. Usaha pemeri~tah untuk memberi per­lindungan bagi pengembangan industri pesawat udara, seperti Inpres No. 1/1980 30 bukan merupakan hal yang baru dalam praktek industri pener­bangan (contoh di Brazil).31

Dalam usaha pengalihan teknologi dari luar negeri dalam rangka memi­liki dan mengembangkan teknologi tinggi industri pesawat udara sendiri, pengaturan hukum tentang perlindung­an paten, merk, informasi/know how merupakan ketentuan-ketentuan sub­stan sial. Implementasinya diwujudkan dalam berbagai bentuk kerjasama transnasional seperti Licensing, Agen­cies, Jointventures antara contractor dan subcontractors, pendirian Konsor­sium maupun pembentukan suatu Joint Company, seperti dalam hal AIRTEC (Casa-IPTN) untuk pengem­bangan dan produksi CN-235.

30. Tentang larangan pemasukan pesawat­pesawat yang sejenis dengan produksi udara dalam negeri.

31. Baca Beverly M. Carl, op. cit.. him. 513-586.

Page 9: PERAN HUKUM UDARA DALAM PENGATURAN DAN …

Hukum dan Industri Pen-erbangan

Bentuk kerjasama transnasional yang bertujuan pengembangan bersa­rna program pembuatan pesawat udara dan mencakup pengalihan dan pene­rapan teknologi antara industri pesa­wat udara32 dapat dipilih dari berba­gai bentuk kerjasama, sesuai dengan kebutuhan industri pesawat udara pada saat tertentu. Sebagai bentuk yang paling "sederhana' 'untuk peng­alihan teknologi adalah kerjasama berdasarkan perjanjian Licensing.

Contoh CASA - IPTN : NC-2l2; IPTN-MBB : BO-106; IPTN - Aeros­patiale : Puma NSA 330, Super Puma NAS 332; IPTN - Bell Co : NBell 412 dan lain-lain. Seperti diketahui,33 pengalihan teknologi IPTN dilakukan secara terprogram dan bertahap dalam bentuk penerapan teknologi berupa progressive manufacturing plans. Se­suai dengan perencanaan tahapan yang ditetapkan, perlu diperhatikan persya­ratan utama bagi kerjasama transna­sional yaitu perlu adanya penyeleng­garaan norma-norma, cara-cara pro­duksi, komponen-komponen stan dar , pengalaman, prosedur dan struktur or­ganisasi industri-industri yang bersang­kutan, agar diperoleh kerjasama yang dapat berhasil secara operasional dan optimal.34 Yang kemudian disepakati

32. W.B. Jenkins Legal aspects of interna­tional cooperation on aircraft design and production, Aeronautical Journal, Maret 1972; C.B. White Cooperation between the parties to the project itself and third parties, idem.

33. Baca Prof. Dr. lng. B.l. Habibie, A Pro· gressive Decade of IPTN 1985, Lihat Rahardi Ramelan The role of PT IPTN, in forsteri71g and developing supporting industries Symposium on Aviation In­dustry and Air Transportation, 1986.

34. Oetaryo Diran, IPTN, 1981.

189

bersama, dan sesuai dengan bentuk kerjasama yang dipilih, dituangkan' dalam perjanjian dan kontrak kerja­sarna pengembangan dan produksi se­cara bertahap.

Bentuk kerjasama lain yang dapat dipilih35 adalah : Kerjasama atas da­sar perjanjian antara prime contractor dan sub-contractor. Dalam kerjasama seperti ini prime contractor adalah satu industri pesawat udara tertentu yang menerima tanggung jawab utama atas pelaksanaan seluruh proyek pe­ngembangan pesawat udara tertentu terhadap pihak pemesan/pembeli (cus­tomer). Dalam pelaksanaan program pengembangan tersebut para subcon­tractor, yaitu industri·industri pesawat udara lain, turut serta dengan meng­ambil bagian work packages tertentu. Pembagian tugas dan tanggung jawab diatur secara seksama, juga meliputi pembagian beban finansial yang harus disetujui bersama. Pengalihan tekno­logi antar-industri pesawat udara yang terlibat dalam program ini disepakati bersama. Contoh, kerjasama dalam pembuatan Fokker F·104.

Kerjasama lain adalah berdasarkan perjanjian pembentukan suatu Kon­sorsium antara beberapa industri pesa­wat udara. Bentuk kerjasama ini men· cakup beberapa prim~r-contracts (pro­duction dan sale) yang pengembangan­nya diatur antar-industri yang berga­bung dalam konsorsium tersebut. Ke­dudukan hukum antar berbagai indus­tri adalah sebagai equal partners, tidak dibentuk suatu badan hukum ter­sendiri untuk menangani program pe-

35. W.B. Jenkins, supra, catatan ' kaki, No. 30.

April 1987 .

Page 10: PERAN HUKUM UDARA DALAM PENGATURAN DAN …

190

ngembangan tersebut, yang dibentuk adalah series of co-ordinating com­mittees of bodies. Pelaksanaan work packages tetap harus dilaksanakan da­lam koordinasi yang ketat. Kesemua­nya diatur secara seksama dalam ber­bagai kontrak internasional antar-in­dustri yang bersangkutan. Contoh: program Concorde (Aerospatiale -CAAC), Transall (MBB - VPW -Aerospatiale); Airbus (Aerospatiale ).

Kerjasama lain dapat dalam bentuk mendirikan suatu perusahaan/Joint Company ,sebagai badan hukum yang khusus dibentuk untuk menangani satu program pengembangan pesawat udara tertentu atau series pesawat udara . Pendirian dan pendaftaran per­usahaan terse but disepakati di negara tertentu, dan dalam kerjasama ini dapat turut serta berbagai industri pe­sawat udara, yang masing-masing merupakan pemegang saham yang turut serta dengan proporsi share of work yang disetujui. Kesemuanya di­atur dalam berbagai kontrak interna­sional antara para pemegang saham dengan pihak Joint Company tersebut, dan antara para pemegang saham sen­diri. Contoh : AIRTEC/CASA-IPTN untuk CN-235. Wewenang dan tang­gung jawab baik terhadap pihak cus­tomer dan antar pemegang saham di-

• atur dengan teperinci, dan kewenang-an joint company dapat ditetapkan sebagai berikut:

- Joint company dapat bersifat shell­company, yang dibentuk dengan tujuan semata-mata untuk mene­rima kontrak pengembangan pro­gram pesawat udara dari pihak customer, yang kemudian peke~a­arinya diserahkan dalam bentuk sub-contracts kepada para peme·

Hukum dan Pembangunan

gang saham. Perusahaan ini tidak memiliki staf tenaga kerja dan tidak memiliki fungsi sendiri dan lebih berfungsi sebagai sarana untuk menampung kontrak pengembang­an program (contractual vehicle), contoh : Anglo-French SEPECAT.

- Joint company yang memiliki tugas dan wewenang yang lebih luas, memiliki tenaga staf sendiri terle­pas dari pemegang saham. Secara yuridis, tanggung jawab masing-ma­sing pemegang saham terbatas pada pelaksanaan subcontracts rna sing. masing dan tidak meliputi tanggung jawab at as seluruh program pe­ngembangan. Walaupun dalam prak-

tek di kalangan industri penerbang-an, para customer tetap meminta jaminan (guarantee) para peme­gang saham untuk-turut menjamin pelaksanaan seluruh proyek program pengembangan tersebut (diterapkannya asas bertanggung jawab secara bersama dan beren­teng, joint and severally liable). Contoh : Panavia Aircraft GmbH (BAC-MBB-FIAT). Demikian secara garis besar bebe­rapa bentuk kerjasama industri pe­sawat udara yang bersifat transna­sional, yang berkembang sangat

pesat di dunia penerbangan dan tentunya dapat pula mengambil bentuk variasi lain daripada yang diuraikan di atas. Seluruh perjanji­an yang menjadi das.ar kerjasama di atas bersifat confidential agree­ments yang harus dihormati oleh para pihak, penyalahgunaannya akan berakibat fatal, yaitu berupa pembatalan kontrak, disertai tun­tutan ganti rugi dan secara tidak langsung mengurangi bonafiditas

-

Page 11: PERAN HUKUM UDARA DALAM PENGATURAN DAN …

Hukum dan Indu.tri Penerbangan

industri yang bersangkutan.

Adalah suatu trend di Indonesia bahwa praktek hukum, terutama di dunia perindustrian dan niaga (indus­try-commerce) sering berjalan men­cari berbagai bentuk dan pengaturan­antar-pihak (secara kontraktual) tanpa didukung oleh pengaturan peraturan secara tertulis. Berkembangnya Com­mercial usages dan practices memang tidak dapat dibendung 'mengingat per­kembangan kebutuhan manusia dalam interaksi industry-commerce demikian meningkat. Sedangkan pengaturan hu­kum tidak cukup cepat dilengkapi, diubah, dan dipermodernisir untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Disini­lah terletak dilema hukum Indonesia pada umumnya, yang diakui secara luas. Dan pengaturan Hukum Udara Indonesiapun tidak terkecuali meng­hadapi hal yang sarna.

Di satu pihak adalah menarik untuk membicarakan peran Hukum Udara dalam pengembangan industri pener-

191

bangan, khususnya industri pesawat udara, namun bersamaan dengan itu perlu dipertanyakan pula sejauh mana Hukum Udara Indonesia dewasa ini sudah cukup memadai untuk dapat diakui sebagai tool for developing

. bidang-bidang industri ini. Sebagai perangkat yang turut mengatur, mengawasi, mendukung, dan mem­bantu pengembangan industri dan sanggup memecahkan permasalahan­permasalahan yang ada sekarang dan dalam waktu yang akan datang.

Harus diakui bahwa usaha pengem­bangan industri pesawat udara Indo­nesia, di satu pihak sangat memerlukan perangkat pengaturan hukum yang mendukung derap langkah aktivitas­aktivitasnya, namun di lain pihak ha­rus diakui aktivitas-aktivitas tersebut turut memberikan masukan-masukan

pada pengembangan Hukum Udara yang sedang dilakukan di Indonesia dewasa ini.

April 1987