peran dewan riset daerah penguatan sistem …drn.go.id/files/buku-peran-drd-2011-final.pdf ·...
TRANSCRIPT
i
PERAN DEWAN RISET DAERAH
DALAM
PENGUATAN SISTEM INOVASI
ii
PERAN DEWAN RISET DAERAH
DALAM
PENGUATAN SISTEM INOVASI
© Penerbit Dewan Riset Nasional
Sekretariat Gedung I BPP Teknologi Lantai 2 Jl. M.H. Thamrin No. 8, Jakarta 10340
Tim Penyusun:
Irsan Aditama Pawennei Mirta Amalia
Rachmat A.Anggara
Penyunting: Tusy A.Adibroto
Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Dewan Riset Nasional
Jakarta, 2011 www.drn.go.id
Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.
ISBN 978-979-9017-31-4
iii
KATA PENGANTAR
Dewan riset di setiap negara lazimnya berperan penting dalam memberikan arahan tentang prioritas riset di tingkat nasional. Arahan ini diterjemahkan dalam penelitian-penelitian oleh berbagai institusi yang terkait dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di negara bersangkutan. Di samping itu, beberapa negara juga menempatkan dewan riset sebagai mediator dalam difusi teknologi dan kerjasama di antara para pihak dalam mengembangkan usaha. Namun mengenai kedudukan secara struktural formal dan informal, maupun peran dan fungsinya, dewan riset di setiap negara mempunyai perbedaan tergantung pada karakteristik pemerintahannya. Di Indonesia, pada tingkat nasional terdapat Dewan Riset Nasional (DRN), sedangkan pada tingkat daerah (kabupaten / kota), terdapat Dewan Riset Daerah (DRD). Semenjak era otonomi daerah, peran lembaga – lembaga di daerah menjadi sangat penting dalam mendukung perekonomian. Oleh karena itu, peran DRD sebagai lembaga independen yang memberikan rekomendasi kebijakan kepada Pemerintah Daerah harus senantiasa diperkuat dan dapat memberikan kontribusi nyata terhadap pembangunan perekonomian daerah. Kajian tentang aspek tersebut dilakukan DRN guna menyusun buku Peran Dewan Riset Daerah dalam Penguatan Sistem Inovasi. Buku ini dimaksudkan untuk memperkukuh landasan dalam menyiapkan bahan masukan untuk Menteri Negara Riset dan Teknologi yang merupakan tugas dan fungsi DRN. Di samping itu, buku ini diharapkan dapat memperkaya khasanah bacaan bagi para
iv
pembaca yang tertarik atau memerlukan tambahan pengetahuan dalam peningkatan peran DRD dalam peningkatan perekonomian daerah berbasis inovasi untuk mencapai kesejahteraan rakyat.
Atas segenap jerih payah, kerjasama, dukungan, dan bantuan dari pihak – pihak yang terlibat dalam persiapan dan penerbitan buku ini, kami mengucapkan terima kasih. Kami berharap buku ini dapat memberikan manfaat yang besar bagi segenap pihak yang berkaitan dengan kegiatan ilmu pengetahuan, riset dan teknologi, khususnya dalam penguatan peran DRD.
Jakarta, Oktober 2011
Ketua Dewan Riset Nasional
Prof.Dr.Ir. Andrianto Handojo
v
DAFTAR ISI
Kata Pengantar Ketua Dewan Riset Nasional….……………………………………….iii
Daftar Isi………………………………………………………………………….…………......v
Daftar Gambar…………………………………………………………………..……………viii
1. PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
1.1 LATAR BELAKANG ................................................................................................. 1
1.2 RUMUSAN PERMASALAHAN ................................................................................... 3
1.3 METODOLOGI...................................................................................................... 3
1.4 STRUKTUR PENULISAN LAPORAN ............................................................................. 6
2. KAJIAN PUSTAKA ............................................................................................ 8
2.1 SISTEM INOVASI NASIONAL (SINAS) ........................................................................ 8
2.2 SISTEM INOVASI DAERAH (SIDA) .......................................................................... 17
2.3 KOMUNIKASI ..................................................................................................... 20
3. METODOLOGI ............................................................................................... 28
3.1. RUMUSAN PERMASALAHAN .................................................................................... 29
3.2. DESAIN STUDI KASUS ............................................................................................ 30
3.3. METODA PENGUMPULAN DATA .............................................................................. 31
3.3.1. Mekanisme Pengumpulan Data: Fieldwork dan Desk Study ................... 31
3.3.2. Jenis Data: Primer dan Sekunder ............................................................. 33
3.3.3. Pengolahan Data ..................................................................................... 33
vi
4. KAJIAN UNDANG-UNDANG DAN KELEMBAGAAN ......................................... 35
4.1 UNDANG – UNDANG .......................................................................................... 35
4.2 KELEMBAGAAN .................................................................................................. 40
5. MEKANISME DAN INTERAKSI DRD DENGAN MITRA DRD .............................. 45
5.1 DRD SUMATERA UTARA ..................................................................................... 45
5.2 DRD SUMATERA SELATAN ................................................................................... 51
5.3 DRD DKI JAKARTA ............................................................................................. 55
5.4 DRD JAWA TENGAH ........................................................................................... 61
5.5 DRD JAWA TIMUR ............................................................................................. 72
5.6 DRD NUSA TENGGARA TIMUR ............................................................................. 74
5.7 DRD KALIMANTAN TENGAH................................................................................. 76
5.8 DRD KALIMANTAN TIMUR ................................................................................... 78
5.9 DRD SULAWESI SELATAN .................................................................................... 80
5.10 DRD MALUKU .................................................................................................. 83
6. ANALISIS LINTAS DAERAH ............................................................................. 88
6.1 ANALISIS MEKANISME PENYELENGGARAAN DRD ..................................................... 89
6.2 POLA INTERAKSI DRD DENGAN MITRA STRATEGIS .................................................... 92
6.3 HARAPAN PENYELENGGARAAN DRD DAN INTERAKSI DRD DENGAN MITRA ................... 99
6.4 PENYELENGGARAAN DRD UNTUK MEMPERKUAT SINAS DAN SIDA............................ 115
vii
7. PENUTUP .....................................................................................................125
7.1 KESIMPULAN ................................................................................................... 125
7.2 REKOMENDASI KEBIJAKAN ................................................................................. 131
8. DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................135
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 0-1 Konsep SIDa Sumatera Selatan............................................................18
GAMBAR 4-1 STRUKTUR ORGANISASI BAPPEDA SUMATERA SELATAN................................42
GAMBAR 4-2 STRUKTUR ORGANISASI BAPPEDA DKI JAKARTA..........................................43
GAMBAR 4-3 STRUKTUR ORGANISASI BALITBANGDA JAWA TENGAH.................................44
Gambar 6-1 Konsep SIDa Jawa Tengah………………………………………………...........122
1
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Pengembangan industri berbasis teknologi yang mampu
menghasilkan produk dan jasa UU No. 18/2002 memberikan peran
yang sangat jelas bagi pemerintah, baik pusat maupun daerah. Pasal
18 UU No 18 tahun 2002 secara khusus menunjukkan fungsi dan peran
pemerintah. Fungsi Pemerintah antara lain menumbuhkembangkan
motivasi, memberikan stimulasi dan fasilitas, serta menciptakan iklim
yang kondusif bagi perkembangan Sistem Nasional Penelitian,
Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di
Indonesia. Dijelaskan bahwa fungsi pemerintah dalam pengembangan
sistem inovasi bukan sebagai pelaku langsung (doer), melainkan
sebagai fasilitator dan pembuat regulasi (regulator). Dalam
melaksanakan fungsi-fungsi tersebut, pemerintah wajib merumuskan
arah, prioritas utama, dan kerangka kebijakan pemerintah di bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi.
2
Untuk mendukung Menteri Negara Riset dan Teknologi dalam
merumuskan arah, prioritas utama, dan kerangka kebijakan
pemerintah di bidang penelitian, pengembangan, dan penerapan ilmu
pengetahuan dan teknologi (iptek), pemerintah membentuk Dewan
Riset Nasional (DRN) yang beranggotakan masyarakat dari unsur
kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Seperti halnya
pemerintah pusat, pemerintah daerah juga mempunyai fungsi dan
peran untuk mendukung pengembangan sistem inovasi. Dalam hal
penyusunan arah kebijakan pembangunan ilmu pengetahuan dan
teknologi (iptek) di daerah, Pemerintah Daerah membentuk Dewan
Riset Daerah (DRD).
DRD merupakan sebuah organisasi non struktural yang bersifat
normatif. Akibatnya, DRD bukan merupakan badan pelaksana
maupun lembaga penelitian dan pengembangan (Litbang).
Melainkan, salah satu fungsi utama DRD adalah untuk
memberdayakan lembaga Litbang daerah. Oleh karena itu, jalinan
kerjasama dalam bidang iptek antara DRD dan lembaga Litbang
3
daerah tersebut idealnya berupa interaksi dua arah untuk kepentingan
kedua belah pihak.
1.2 Rumusan Permasalahan
Studi ini mengkaji dua permasalahan utama. Pertama, dilakukan
kajian mengenai berbagai model penyelenggaraan DRD yang sudah
ada, dikembangkan, dan berjalan di Indonesia. Kedua, memahami
interaksi antara DRD dengan institusi – institusi terkait. Hasil kajian ini
dapat digunakan sebagai masukan dalam upaya menyusun sebuah
perangkat analisis untuk peningkatan kemampuan iptek DRD. Hal ini
dikaitkan dengan penguatan Sistem Inovasi Daerah (SIDa) dalam
mendukung penguatan Sistem Inovasi Nasional (SINas) yang dirasa
cukup mendesak.
1.3 Metodologi
Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk mendapatkan
kedalaman dinamika penyelenggaraan DRD yang kini sudah berjalan
serta mekanisme yang diharapkan. Metode yang digunakan dalam
4
penelitian ini adalah desk study dan kajian lapangan (fieldwork),
dengan memanfaatkan sumber-sumber data primer dan sekunder.
Di satu sisi, melalui metode desk study penelitian ini mengkaji literatur
mengenai komunikasi, Sistem Inovasi Nasional (SINas), dan Sistem
Inovasi Daerah (SIDa). Selain itu, desk study juga mengkaji regulasi-
regulasi, evaluasi model atau program yang sudah ada dalam
mekanisme penyelenggaraan DRD. Di sisi lain, kajian lapangan
(fieldwork) menggali detil mekanisme tersebut melalui wawancara
terhadap para pemegang keputusan di DRD dan pemegang
keputusan di institusi-institusi terkait, seperti DRN, Pemerintah
Daerah, dan Perguruan Tinggi. Wawancara juga ditujukan untuk
mendapatkan gambaran tentang interaksi antara DRD dan institusi-
institusi lainnya yang ada sekarang ini dan apa yang diharapkan di
masa yang akan datang.
Wawancara mendalam (in-depth interviews) dilakukan terhadap
anggota-anggota DRD di sepuluh provinsi Indonesia juga mitra-mitra
DRD tersebut. Sepuluh provinsi yang dipilih merupakan gambaran
5
keragaman penyelenggaraan DRD. Kesepuluh provinsi tersebut
adalah Sumatera Utara, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Tengah,
Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan,
Maluku, dan Nusa Tenggara Timur. Total narasumber adalah 22
orang, terdiri dari 10 orang dari DRD, 10 orang dari mitra DRD (yaitu
Bappeda (Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah) atau
Balitbangda (Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah)), seorang
anggota Badan Pengurus (BP) DRN, dan seorang pakar independen
yang berpengalaman dalam berhubungan dengan mekanisme
penyelenggaraan dan interaksi DRD dengan para mitranya di tingkat
daerah maupun nasional.
Rancangan pengambilan data demikian bertujuan untuk mendukung
kajian ini mendapatkan gambaran lebih rinci dan menyeluruh dari
dinamika penyelenggaraan dan interaksi DRD dengan institusi-
institusi terkait.
6
1.4 Struktur Penulisan laporan
Laporan Kajian ini terbagi menjadi tujuh bab. Bab I memberikan
penjabaran awal mengenai kajian ini, yang terdiri dari latar belakang,
rumusan permasalahan, serta metodologi. Bab II memaparkan
literatur-literatur yang terkait dengan SINas, SIDa, dan juga metode
komunikasi dan interaksi antara aktor-aktor yang terlibat. Bab III
menjelaskan mengenai detil metodologi penyusunan kajian ini,
termasuk mekanisme pengumpulan dan pengolahan data.
Bab IV memaparkan secara singkat hasil - hasil temuan data-data
pendukung, termasuk Undang-Undang dan organisasi lembaga-
lembaga terkait. Bab V memaparkan temuan utama mengenai
mekanisme dan interaksi DRD dengan para mitranya di Pusat maupun
daerah. Bab VI memberikan sintesis analisis lintas daerah. Bab VI ini
memberikan gambaran secara keseluruhan sehubungan dengan
kondisi komunikasi dan interaksi DRD dengan para mitranya saat ini,
juga mekanisme atau skema yang diharapkan dapat terwujud di masa
mendatang yang memungkinkan terjadinya komunikasi antara pihak-
pihak yang terkait. Pisau analisis yang digunakan masih dalam
kerangka pembentukan dan penguatan SIDa di Indonesia.
7
Bab VII menutup kajian ini dengan memberikan rekomendasi kepada
Kementerian-Kementerian, Pemerintah Daerah, dan lembaga-
lembaga terkait.
8
2. Kajian Pustaka
Kajian mekanisme penyelenggaraan DRD serta interaksi antara DRD
dengan DRN dan mitra-mitranya erat kaitannya dengan upaya
pembentukan dan penguatan Sistem Inovasi di Indonesia, baik di
tingkat nasional maupun daerah. DRD merupakan salah satu institusi
yang berperan penting dalam penguatan sistem inovasi di Indonesia.
Oleh karena itu, untuk menunjang pembahasan mekanisme
penyelenggaraan DRD Indonesia, bab ini memaparkan kajian pustaka
tentang Sistem Inovasi Nasional (SINas) dan Sistem Inovasi Daerah
(SIDa). Selain itu, mengingat kata kunci dari interaksi antara DRD dan
para mitranya adalah mengenai penerapan komunikasi yang efektif,
pustaka tentang Komunikasi juga dijabarkan pada bab Kajian Pustaka
ini.
2.1 Sistem Inovasi Nasional (SINas)
Untuk menjadi bangsa yang menguasai Iptek, inovasi harus
ditempatkan sebagai urat nadi kehidupan bangsa. Dalam
pengembangannya, dibutuhkan suatu Sistem inovasi yang efektif dan
9
efisien, dengan kunci keberhasilan implementasinya adalah adanya
koherensi kebijakan inovasi dalam dimensi antarsektor dan lintas
sektor; intertemporal (antar waktu); dan nasional-daerah (inter
teritorial), daerah-daerah, dan internasional.
Konsep Sistem Inovasi Nasional (National Innovation System) sendiri
telah berkembang sejak tahun 1980an di berbagai negara di Eropa
dan Amerika Serikat. Konsep awal National Innovation System (NIS)
dimulai ketika Christopher Freeman berkolaborasi dengan IKE grup di
Aalborg, Denmark, dari proyek kolaborasi riset inilah versi awal
mengenai NIS terbentuk (Freeman, 1987; Lundvall, 1992). Kolaborasi
kedua pihak tersebut melahirkan gagasan mengenai "sistem produksi
nasional" dimana interaksi vertikal antar institusi memiliki peran vital
dalam perkembangan ekonomi nasional. Konsep NIS ini mulai
terdifusi secara luas melalui buku yang dibuat oleh Christopher
Freeman pada tahun 1987 mengenai NIS di Jepang, publikasi ilmiah
mengenai NIS di negara berkembang dan publikasi ilmiah berupa
buku yang berjudul "Technical Change and Economic Theory in with
10
National Innovation System by Freeman, Lundvall, and Pelikan" (Dosi et
al., 1988).
Berangkat dari penelitian tersebut, penelitian-penelitian mengenai
sistem inovasi nasional mulai berkembang. Berbagai macam definisi
NIS mulai bermunculan diantaranya;
“ .. the network of institutions in the public and private sectors whose
activities and interactions initiate, import, modify and diffuse new
technologies.” (Freeman, 1987)
“ .. the elements and relationships which interact in the production,
diffusion and use of new, and economically useful, knowledge ... and are
either located within or rooted inside the borders of a nation state.”
(Lundvall, 1992)
“... a set of institutions whose interactions determine the innovative
performance ... of national firms.” (Nelson, 1993)
11
Dari definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa NIS adalah
suatu hubungan atau jaringan antar elemen-elemen (industri,
akademisi, pemerintah, dan masyarakat sipil) yang memiliki peran
dalam mewujudkan interaksi dalam pertukaran pengetahuan, difusi
teknologi, dan produksi sehingga terwujud peningkatan inovasi di
suatu negara. Di Indonesia, National Innovation System ini dikenal
dengan istilah Sistem Inovasi Nasional (SINas).
NIS menekankan pentingnya pembelajaran interaktif melalui aliran-
aliran informasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi diantara manusia,
perusahaan, dan institusi dimana aliran tersebut adalah kunci dalam
penciptaan proses inovasi (Lundvall, 2007). Sebuah hubungan yang
kompleks di antara pemain dalam SINas –industri (business),
pemerintah (policy maker), perguruan tinggi/institusi riset (university),
dan masyarakat (society)– akan menghasilkan inovasi dan
pengembangan teknologi. Pemahaman mengenai SINas dapat
membantu para pembuat kebijakan untuk mengidentifikasi aspek-
aspek yang memiliki peran vital (leverage points) untuk meningkatkan
kinerja inovasi dan daya saing ekonomi nasional (OECD, 1997).
12
Dengan menggunakan pendekatan SINas, pembuat kebijakan dapat
melakukan investigasi mendalam dalam menemukan inti
permasalahan dalam sistem, baik permasalahan di antara institusi
maupun relasi antara kebijakan pemerintah –yang terkait dengan
pengembangan teknologi dan inovasi– dengan institusi-institusi yang
berkepentingan. SINas mengedepankan pengembangan kebijakan
pemerintah untuk meningkatkan kinerja relasi antara aktor dan
institusi dalam sistem dan juga kebijakan yang terkait dengan
pengembangan kapasitas berinovasi sebuah perusahaan atau industri
untuk mengadopsi dan mendisfusi teknologi dan pengetahuan yang
baru (Edquist, 1997).
Dalam pengukuran keberhasilan suatu negara dalam menerapkan
SINas, laporan OECD (2007) menyatakan bahwa SINas berpusat pada
empat tipe aliran informasi atau pengetahuan, yaitu;
1) Interaksi di antara pelaku industri. Interaksi antar pelaku
industri, biasanya, dapat dilihat dari jumlah kolaborasi
riset, pelatihan bersama, dan pengembangan kemampuan
teknikal yang dilakukan dua perusahaan atau lebih.
13
2) Interaksi antara industri, universitas, dan lembaga
penelitian. Hasil dari interaksi ketiga elemen tersebut,
umumnya, adalah kolaborasi riset, kolaborasi pembuatan
paten, publikasi di jurnal akademik secara kolektif, dan
bentuk interaksi informal lainnya.
3) Tingkat difusi teknologi dan ilmu pengetahuan di suatu
perusahaan. Tingkatan difusi disini termasuk level adopsi
dalam bentuk tacit ataupun codified knowledge dan juga
adopsi akan produk-produk teknologi baru seperti
teknologi informasi&komunikasi, mesin-mesin, dan
perkakas-perkakas lainnya.
4) Mobilitas personil. Pergerakan atau mobilitas personil dari
suatu institusi privat ke institusi publik (dan juga di dalam
institusi yang bersifat sama), akan mempercepat proses
transfer pengetahuan dan teknologi baru. Mobilitas
personil yang tinggi dalam melakukan transfer teknologi
dan pengetahuan akan berkontribusi positif terhadap
kemampuan berinovasi suatu perusahaan (Lundvall, 1997).
14
Dalam rangka mengembangkan sistem inovasi, diperlukan adanya
riset yang tepat guna. Nelson (1993) juga menekankan bahwa sistem
inovasi merupakan suatu konsep tentang penataan jejaring yang
kondusif di antara para pelaku atau aktor di lembaga iptek dalam
suatu sistem yang kolektif dalam penciptaan (creation), penyebaran
(diffussion), dan penggunaan (utilization) ilmu pengetahuan
(knowledge) untuk pencapaian inovasi. Penataan jejaring ini tentunya
bergantung pada kerangka institusi (institutional framework / setting)
yang memungkinkan para aktor untuk saling berinteraksi.
Keterkaitan antara SINas dengan interaksi positif dalam kebutuhan
riset ini juga disampaikan oleh Lundvall (1992) yang menyatakan
bahwa sistem inovasi merupakan elemen dan jaringan yang
berinteraksi dalam menghasilkan, mendifusikan dan menggunakan
pengetahuan yang baru dan bermanfaat secara ekonomi di dalam
suatu batas negara. Motohashi (2005) juga Gregersena dan Johnson
(1997) menjelaskan bahwa seyogyanya suatu SINas mampu
menciptakan atmosfer yang mendukung tumbuhnya kegiatan
kolaborasi multidisiplin seperti ini.
15
Untuk mendukung pembentukan serta penguatan SINas, Noam
(2006) berpendapat diperlukan adanya suatu lembaga yang berperan
sebagai sistem integrator. Sistem integrator ini menghubungkan
jaringan-jaringan dalam apa yang disebut oleh Jensen (2002) sebagai
komunitas riset. Selain itu, dibutuhkan suatu institusi yang
mengkoordinasi agenda kegiatan riset (seperti pada Debackere dan
Veugelers, 2005). Regulasi dan kebijakan riset dan teknologi
sebaiknya mencakup lingkup koordinasi riset tersebut (Burlamaqui,
2009). Regulasi ini kemudian diterapkan dalam konteks kebijakan,
yaitu administrasi bisnis (untuk perusahaan komersial), perencanaan
publik (untuk pemerintah), dan organisasi non-pemerintah (Jensen,
2002). Lemahnya koordinasi kegiatan penelitian merupakan salah
satu fokus ketidakefektifan komunikasi antara peneliti dan industri
pengguna (D'Souza dan Sadana, 2006). Fungsi koordinasi kemudian
menjadi semakin kritikal pada upaya penguatan SINas ketika
diperlukan adanya pembagian (clustering) sistem inovasi lokal atau
regional yang berfokus pada peningkatan inisiatif inovasi daerah.
16
Button dan Rossera (1990) lebih lanjut mengungkapkan bahwa
infrastruktur informasi merupakan faktor penting dalam komunikasi.
Menurut Worral (Worral, 1972), lemahnya infrastruktur komunikasi
mempengaruhi tingkat efektifitas diseminasi riset, terutama antara
peneliti dengan penyusun kebijakan –baik dalam lingkup perusahaan,
industri maupun nasional. Selain itu, Hamelink (1983) berpendapat
bahwa penyusun regulasi atau kebijakan seringkali mengabaikan
aspek sosial.
Keterkaitan antara SIN dengan interaksi positif dalam kebutuhan riset
ini juga disampaikan oleh Lundvall (1992) yang menyatakan bahwa
sistem inovasi merupakan elemen dan jaringan yang berinteraksi
dalam menghasilkan, mendifusikan dan menggunakan pengetahuan
yang baru dan bermanfaat secara ekonomi di dalam suatu batas
negara. Motohashi (2005) juga Gregersena dan Johnson (1997)
menjelaskan bahwa seyogyanya suatu Sistem Inovasi Nasional (SIN)
mampu menciptakan atmosfer yang mendukung tumbuhnya kegiatan
kolaborasi multidisiplin seperti ini.
17
2.2 Sistem Inovasi Daerah (SIDa)
Perkembangan di berbagai negara menunjukkan bahwa faktor-faktor
lokalitas semakin disadari sebagai faktor yang menentukan
keunggulan daya saing. Setelah pengenalan konsep Sistem Inovasi
Nasional (SINas), beberapa skolar mengembangkan konsep ‘turunan’
Sistem Inovasi Regional. Sistem Inovasi Regional mengedepankan
pentingnya proses pembelajaran yang terlokalisasi (Cooke et al, 1997;
Cooke, 2001, 2009; Doloreux dan Parto, 2005). Cooke (2009)
menambahkan, bahwa konsep Sistem Inovasi Regional melihat
pentingnya faktor budaya dan keheterogenan konteks yang
mempengaruhi cara berinteraksi dan pembelajaran lokal.
Hal ini juga sebenarnya sangat relevan dengan kondisi Indonesia dan
disadari oleh pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya.
Otonomi daerah, ketersebaran geografis, dan keanekaragaman sosial
dan budaya Indonesia sudah semestinya menjadi faktor penting bagi
penguatan Sistem Inovasi Daerah (SIDa) –istilah yang diperkenalkan
oleh Taufik (2005) yang merujuk pada konsep Sistem Inovasi
Regional– yang merupakan pilar penting dalam penguatan sistem
18
inovasi nasional (SINas). Oleh karena itu, dalam kerangka penguatan
sistem inovasi di Indonesia, dimensi lokalitas sangatlah penting dalam
memperhatikan kearifan lokal masing-masing daerah.
Konsep SIDa ini merupakan suatu konsep yang baru di berbagai
daerah di Indonesia. Namun, ada beberapa daerah yang sudah
mempunyai konsep SIDa di daerahnya, seperti konsep SIDa di
Sumatera Selatan dan Jawa Tengah pada gambar 2-1 berikut:
Gambar 2-1 Konsep SIDa Sumatera Selatan
Source: Retnaningsih (2011)
19
Dengan memperhatikan SINas dan SIDa ini, Taufik (2005)
mengungkapkan bahwa terdapat enam agenda strategis kebijakan
inovasi yang perlu dikembangkan di Indonesia ke depan, yaitu:
1. Mengembangkan (reformasi) kerangka umum yang kondusif bagi
perkembangan inovasi dan bisnis;
2. Memperkuat kelembagaan dan daya dukung litbang iptek dan
meningkatkan kemampuan absorpsi dunia usaha, khususnya
UKM;
3. Menumbuh kembangkan kolaborasi bagi inovasi dan
meningkatkan difusi inovasi, praktik baik/terbaik dan/atau hasil
litbangyasa;
4. Mendorong budaya kreatif – inovatif;
5. Menumbuhkembangkan dan memperkuat keterpaduan pemajuan
sistem inovasi dan klaster industri nasional dan daerah;
6. Penyelarasan dengan perkembangan global.
Di tingkat nasional, Sistem Inovasi Nasional (SINas) merupakan
sebuah sistem yang kompleks. Banyak pihak yang ikut berperan untuk
mewujudkan SINas menjadi suatu sistem yang efektif dan produktif
20
untuk menghasilkan produk barang dan/atau jasa yang dibutuhkan
konsumen sehingga secara nyata dapat berkontribusi terhadap
pertumbuhan ekonomi nasional. Demikian pula di tingkat daerah,
Sistem Inovasi Daerah (SIDa) juga senantiasa harus selalu
dikembangkan. Untuk itu pihak-pihak yang ikut berperan hendaknya
dapat bekerja dalam suatu kesamaan tujuan dan langkah-langkah
yang sinergis.
2.3 Komunikasi
Menurut Hovland et al. (1982), komunikasi adalah proses seorang
komunikator menyampaikan stimulus dalam bentuk kata-kata
dengan tujuan mengubah atau membentuk perilaku-perilkau orang
lainnya atau khalayak. Pengertian komunikasi juga disampaikan
Rogers (1986) dimana komunikasi adalah sebuah seluruh prosedur
melalui dimana pikiran sesorang dapat mempengaruhi pikiran orang
lainnya.
Komunikasi sendiri dilihat sebagai sebuah proses, dimana pesan
disampaikan oleh komunikator (pengirim pesan) kepada komunikan
21
(penerima pesan) dan dimengerti dengan baik oleh komunikan, yang
pada akhirnya menghasilkan suatu tindakan (Jakobson, 1960). Sebuah
komunikasi bisa dikatakan sebagai bentuk komunikasi efektif ketika
komunikator dimengerti oleh komunikan dan melakukan sebuah
tindakan affirmative terhadap pesan yang disampaikan oleh
komunikator (Ruben dan Stewart, 1998).
Dalam komunikasi terdapat tiga elemen penting, yaitu komunikator,
pesan dan komunikan (West dan Turner, 2001). Komunikator bisa
perseorangan, kelompok atau media. Sedangkan pesan dapat
berbentuk pesan verbal, non-verbal bersifat publik dan privat atau
insidental atau dengan maksud (purposedly). Selain 3 elemen tersebut,
berdasarkan Gamble & Gamble (2005) terdapat juga elemen-elemen
lainnya, antara lain salurannya (medium / media), yaitu bagaimana
pesan disampaikan oleh dikirim oleh sender apakah menggunakan
medium seperti media masa atau melalui panca indera. Selain
gangguan (noise) dimana terdapat gangguan saat berbicara seperti
suara lain atau hal lain yang dapat menganggu komunikasi tersebut
yang menyebabkan pesan yang hendak disampaikan tidak diterima
22
atau tidak dimengerti. Konteks juga memiliki peran yang penting
dalam pola interaksi komunikasi, suatu kondisi atau tempat tertentu
akan mempengaruhi komunikasi itu sendiri. Feedback dalam
komunikasi adalah bentuk suatu sarana dalam komunikasi ketika
komunikan mengerti pesan yang disampaikan atau tidak, dan
feedback dapat bersifat negatif atau positif. Hal lainya adalah efek,
dimana dalam komunikasi bisa mengakibatkan dampak, baik emosi,
fisik, kognif ataupun juga ketiganya.
Komunikasi sendiri terbagi dalam beberapa level, dimana interaksi
terjadi tidak hanya diantara dua individu melainkan dapat juga terjadi
dalam level kelompok. Level komunikasi bisa diidentifikasikan ke
dalam lima level dimana di dalamnya terdapat komunikasi
intrapersonal, komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok (besar
dan kecil), komunikasi organisasional, komunikasi massa (publik) atau
komunikasi internasional (Ruben dan Stewart, 1998). Semua level
komunikasi ini melibatkan dan berpengaruh pada pola komunikasi
dan orang yang terlibat di dalamnya. Komunikasi intrapersonal adalah
komunikasi yang hanya melibatkan satu individu, komunikasi diri.
23
Sedangkan komunikasi interpersonal saat sudah melibatkan orang
lain dengan konteks face-to-face contact atau point-to-point.
Kemudian, jenis komunikasi kelompok melibatkan beberapa orang
dimana di dalamnya terdapat diskusi. Sebagai contohnya, komunikasi
kelompok kecil seperti pertemuan (meeting) atau juga yang dapat
melalui medium seperti teleconference. Di sisi lain, komunikasi
kelompok besar yang melibatkan orang banyak dimana individu lebih
berperan sebagai audiensi daripada bagian dari pertemuan tersebut.
Kemudian komunikasi organisasi yang merupakan komunikasi dengan
adanya level kepentingan operasi sebuah industri, bisnis atau
organisasi tertentu. Lalu, dikenal komunikasi publik atau massa
adalah level dimana sebuah komunikasi dengan menggunakan
medium / media. Merupakan sebuah bentuk komunikasi dengan
jangkauan besar dan banyak, seperti komunikasi yang dilakukan
melalui televisi.
Komunikasi memiliki macam-macam fungsi, antara lain sebagai
bentuk untuk mengerti dan memahami suatu keadaan dan melakukan
24
hubungan bermakna seperti melakukan perubahan sosial, mengontrol
suatu keadaan, dan lain-lain (Ruben & Stewart, 1998). Namun pada
dasarnya, komunikasi selalu memiliki tujuan. Dimana tujuan itu
berada pada sisi komunikatornya. Komunikasi bisa menjadi sebuah
alat dalam persuasi. Menurut Hovland et al. (1982), komponen atau
elemen yang terkait dalam komunikasi persuasif bergantung pada
tiga hal, yaitu:
1. Sumber dan pesan. Dalam komunikasi persuasif yang
efektif, sumber yang dapat dipercaya (credible) sehingga
mampu melakukan persuasinya. Di dalam pesan,
bagaimana isi pesan disampaikan dan dengan model
komunikasi yang tepat dapat membuat komunikan
mempunyai ketertarikan secara emosional. Selain itu,
penggunaan bahasa juga menjadi sebuah variabel dalam
melakukan efektifitas penyampaian pesan. Lalu cara
penyajian pesan dan saluran yang digunakan sebagai
bentuk komunikasi yang efektif.
2. Audiens atau penerima pesan. Dalam melakukan
penyampaian pesan, audiens atau komunikan atau
25
khalayak yang dituju adalah sebuah hal yang harus
diperhatikan, karena lawan bicara atau khalayak yang tidak
sesuai dengan gaya penggunaan bahasa akan
mengakibatkan bentuk persuasu atau komunikasi tidak
menjadi efektif.
3. Efek situasional. Dalam komunikasi, sebuah ruang atau
keadaaan dapat mempengaruhi komunikasi itu sendiri,
dimana proses tersebut dapat dipengaruhi oleh message
density, repetition dan distraction yang mungkin terjadi.
Komunikasi yang baik atau efektif adalah ketika komunikan dan
komunikator memiliki persepsi atau pengertian yang sama akan suatu
hal. Dimana pencapaian ini dapat terjadi ketika adanya persamaan
melalui tahapan menjadi bersama melalui komunikasi (West dan
Turner, 2001). Tahapan-tahapan komunikasi ini adalah sebagai
berikut:
1. Initiating atau awal dari komunikasi
2. Experimenting / exploring, dimana tahap komunikasi dengan
melakukan pertukaran informasi
26
3. Intensifying / strengthening, saat suatu komunikasi menjadi
intensif dan berkembang
4. Integrating / merging, saat komunikasi mengerti kebutuhan
satu dan lainnya.
5. Bonding / comitting, yang ditandai dengan suatu perjanjian
ataupun ritual publik
6. Differentiating, saat ditemukan perbedaan-perbedaan yang
tidak sejalan dalam proses komunikasi. Maka konflik dan
orientasi antara kedua pihak bergeser
7. Circumscibing, saat adanya batasan-batasan dan interaksi
8. Stagnating, dimana dalam proses atau pola komunikasi tidak
berkembang dan monoton sehingga tidak ada interkasi baru
9. Avoding / evading, dimana ada jarak diantara kedua belah
pihak dan tidak ada interaksi
10. Terminating / ending, dimana suatu komunikasi berhenti
27
Sehubungan dengan riset ini, komunikasi yang efektif di dalam DRD
dan antara DRD dengan para mitranya di pusat maupun daerah
merupakan langkah awal untuk membentuk suatu interaksi yang
efektif, sehingga pada akhirnya terjadi interaksi dan kerjasama yang
berkelanjutan.
28
3. Metodologi
Kajian ini bertujuan untuk mengembangkan metoda komunikasi dan
interaksi antara DRD dengan para mitranya dalam rangka penguatan
sistem inovasi daerah. Kajian ini menggunakan metoda Studi Kasus
(case study). Studi Kasus adalah sebuah metoda untuk meneliti
fenomena-fenomena empiris yang dipengaruhi oleh kondisi-kondisi
kontekstual fenomena tersebut (Yin, 2003).
Selaras dengan tujuan yang hendak dicapai, maka, studi ini bersifat
eksploratif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan
kualitatif berguna dalam menjelaskan konteks dari suatu peristiwa
(Berg, 2007) dan proses lahirnya sebuah perspektif serta bagaimana
perspektif tersebut dimengerti oleh berbagai pihak (Denzin and
Lincoln, 2000). Lebih lanjut, pendekatan kualitatif digunakan untuk
menganalisis kedalaman dinamika dan keberagaman konteks
komunikasi dan interaksi antara peneliti dan industri.
29
3.1. Rumusan Permasalahan
Ada dua aspek utama kajian ini. Pertama, mengkaji berbagai model
penyelenggaraan DRD yang sudah ada, dikembangkan, dan berjalan
di Indonesia. Kedua, memahami interaksi antara DRD dengan institusi
– institusi terkait. Dari kedua hal ini, studi ini berharap mampu
menghasilkan satu set perangkat analisis yang dapat digunakan
sebagai acuan untuk dapat menguatkan DRD dalam rangka
peningkatan kemampuan iptek. Berdasarkan dua aspek ini, maka
rumusan permasalahan kajian ini adalah:
1. Bagaimana selama ini komunikasi dan interaksi antara DRD
dengan para mitranya dilakukan?
2. Skema atau mekanisme apa yang diharapkan, yang
memungkinkan adanya interaksi dinamis antara DRD dengan
para mitranya?
Rumusan permasalahan ini kemudian dioperasionalkan ke dalam
pertanyaan-pertanyaan wawancara. Panduan wawancara tersebut
dapat dilihat dalam lampiran laporan ini.
30
3.2. Desain Studi Kasus
Robert K. Yin (2003) mengemukakan empat jenis desain Studi Kasus
berdasarkan jumlah kasus dan unit analisis yaitu Single Case Study dan
Multiple Case Study yang masing-masing dapat terdiri dari satu Unit
Analisis maupun beberapa Unit Analisis. Studi ini sengaja memilih
Multiple Case Study karena keunggulannya dalam menganalisis
fenomena terkait melalui perbandingan berbagai kondisi kontekstual
(Yin, 2003). Namun Unit Analisis yang dipakai dalam studi ini adalah
Unit Analisis tunggal. Hal ini dikarenakan fenomena yang diteliti juga
tunggal yaitu komunikasi dan interaksi antara DRD dengan para
mitranya.
Riset ini memilih sepuluh provinsi yang akan dianalisis, yaitu Sumatera
Utara, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Maluku,
dan Nusa Tenggara Timur. Masing-masing kasus dipilih secara a priori
atau ex ante alias di awal studi. Kasus-kasus tersebut diharapkan
“memberikan hasil yang tidak serupa namun disertai penjelasan yang
telah dapat diduga sebelumnya” guna kepentingan replikasi teori
31
(theoretical replication) (Yin, 2003: 47). Pemilihan kasus secara a priori
juga menguatkan empirical grounding dari emergent theory yang
dipakai dalam studi ini (Eisenhardt, 1989: 536). Kasus-kasus tersebut
dianggap memiliki konteks yang relevan dengan Indonesia.
3.3. Metoda Pengumpulan Data
3.3.1. Mekanisme Pengumpulan Data: Fieldwork dan Desk Study
Metoda pengumpulan data yang digunakan adalah kajian lapangan
(fieldwork), dan kajian pustaka (desk study). Kajian lapangan dalam
riset ini berupa wawancara mendalam semi terstruktur (semi
structured in-depth interview) dengan para peneliti dan pengguna
mengenai mekanisme komunikasi yang ada sekarang ini dan juga
harapannya di masa yang akan datang. Sementara kajian pustaka
dilakukan melalui analisis laporan penelitian, artikel ilmiah, data
statistik, maupun berita dan opini di surat kabar. Metoda
pengumpulan data tersebut diatas dipilih karena keunggulan dari
masing-masing metoda dapat mengurangi kelemahan-kelemahan
dari metoda lainnya.
32
Metoda wawancara mendalam memiliki keunggulan dalam segi
mengungkap kedalaman data dan kekayaan konteks yang dikandung
dari data tersebut. Kedalaman dan kekayaan ini memampukan studi
ini untuk mengerti latar belakang suatu peristiwa dan motivasi
maupun alasan-alasan para pelaku yang terlibat dalam peristiwa
tersebut. Namun, pada saat yang sama, kedalaman dan kekayaan
data tersebut hanya sahih dalam menjelaskan fenomena tertentu.
Dengan kata lain, kedalaman dan kekayaan tersebut mengurangi
kemampuan penggeneralisasian dari analisis fenomena terkait ke
dalam tataran yang lebih umum. Hal inilah yang menjadi kelemahan
metoda wawancara. Metoda kajian pustaka dan survei sebaliknya
unggul dalam penggeneralisasian suatu fenomena. Hal ini dicapai
melalui keluasan analisis yang diperoleh dalam kajian pustaka yang
tersedia. Namun keluasan analisis ini memiliki kelemahan yaitu
kurangnya kemampuan untuk mengerti kedalaman dan kekayaan
konteks suatu fenomena.
Oleh karena itu, studi ini mengombinasikan ketiga metoda diatas
untuk mendapatkan hasil analisis yang lebih baik. Keluasan (width)
33
riset ini akan didapatkan dari desk study. Sementara itu, kedalaman
(depth) akan didapatkan dari wawancara mendalam (in-depth
interview). Dengan metode seperti diusulkan di atas, kajian ini
berharap mampu untuk mendapatkan gambaran lebih rinci dan
menyeluruh dari dinamika metode komunikasi dan interaksi.
3.3.2. Jenis Data: Primer dan Sekunder
Studi ini menggunakan data primer maupun data sekunder. Data
primer yang dimaksud tersebut adalah hasil wawancara. Sementara
data sekunder berasal dari laporan penelitian, statistik, maupun
ulasan surat kabar. Panduan wawancara dapat dilihat pada lampiran.
3.3.3. Pengolahan Data
Terdapat dua jenis data yang dikumpulkan dan dianalisis dalam studi
ini, yaitu data primer (hasil wawancara) dan data sekunder (hasil desk
study dan survei). Data tersebut diolah sesuai dengan jenis data
masing-masing.
Data primer disimpan dalam dua bentuk yaitu data audio berupa mp3
file dan amr file. Rekaman audio wawancara tersebut lalu dialih-
34
bentukan menjadi teks melalui melalui transkrip verbatim kata per
kata yang disimpan dalam bentuk Microsoft Word file. Teks-teks
tersebut kemudian dianalisis melalui pemberian kode (coding) secara
tematik maupun sesuai dengan fenomena yang terkait (Berg, 2007).
Data sekunder hasil survei disimpan dalam bentuk Microsoft Excel file.
Pengalihan bentuk data dari Qualtrics menjadi Microsoft Excel
dilakukan secara otomatis melalui program Qualtrics. Data tersebut
diperiksa ulang untuk memastikan tidak ada kesalahan teknis dalam
pengalihan bentuk tersebut. Data tersebut kemudian diolah dengan
menggunakan fungsi statistik yang terdapat dalam Microsoft Excel.
Jenis analisis statistik yang digunakan adalah statistik deskriptif.
35
4. Kajian Undang-Undang dan Kelembagaan
4.1 Undang – Undang
Dewan Riset Daerah adalah sebuah lembaga Pemerintah yang
beranggotakan masyarakat dari unsur kelembagaan Iptek yang
bertugas untuk mendukung perumusan prioritas dan berbagai aspek
kebijakan penelitian, pengembangan, dan penerapan Iptek di daerah.
Tujuan dari pendirian DRD berdasarkan UU No. 18 Tahun 2002 adalah:
a. memberikan masukan kepada Pemerintah daerah untuk
menyusun arah, prioritas, serta kerangka kebijakan
Pemerintah daerah di bidang iptek;
b. mendukung Pemerintah daerah melakukan koordinasi di
bidang iptek dengan daerah-daerah lain;
c. mewakili daerah di DRN ( Perpres No 16/2005 tentang DRN )
Dalam rangka menjalankan perannya, DRD tentunya harus
berkoordinasi dengan berbagai pihak di tingkat nasional seperti DRN,
dan juga di tingkat daerah dengan lembaga eksekutif daerah,
lembaga penelitian dan pengembangan daerah. Dalam hal ini perlu
36
dibangun suatu mekanisme kerja yang jelas dan dapat dilaksanakan
oleh seluruh lembaga.
Melihat tugas dan perannya, keberadaan DRD memiliki arti strategis.
Walaupun demikian, sejak UU No 18/2002 diberlakukan, di samping
belum semua daerah membentuk DRD, ternyata peran DRD yang
sudah terbentuk di beberapa daerah juga kinerjanya masih belum
optimal. Beberapa kemungkinan penyebab kondisi ini dari faktor
internal dan eksternal antara lain :
a. Kelembagaan DRD, baik kelembagaan internal (perangkat
kelengkapan kelembagaan) maupun kelembagaan eksternal
(kesekretariatan);
b. Program, mekanisme kerja dan luaran DRD;
c. Masih belum samanya persepsi kalangan pemerintah
terutama pemerintah daerah terhadap keberadaan DRD;
d. Masih terdapat perbedaan pendapat mengenai tugas dan
fungsi DRD, baik di kalangan internal maupun eksternal DRD;
e. Belum tersedianya sarana dan mekanisme koordinasi antar
DRD.
37
Dalam kelembagaan di daerah, Peraturan yang seringkali diacu adalah
PP No. 41 tahun 2007 mengenai struktur kelembagaan daerah. Pada
PP ini disebutkan bahwa struktur di daerah terdiri atas:
1. Unsur Pimpinan Daerah (Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati
dan Wakil Bupati)
2. Unsur Legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah / DPRD)
dan Sekretariat DPRD
3. Sekretariat Daerah (Sekda, Biro / Badan, Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD))
4. Lembaga-Lembaga Teknis Daerah
Namun, PP ini menimbulkan polemik dan kendala dengan
hubungannya terhadap DRD, antara lain:
Tidak memasukkan Iptek dan Inovasi sebagai Urusan Pemda
(dari 31 urusan)
Prinsip pembentukan kelembagaan adalah efisiensi /
perampingan
Keberadaan badan litbang tidak disebut secara ekspilisit
38
Hal ini ditambah dengan adanya salah persepsi dan kesalahan
redaksional pada Penjelasan Pasal 22 ayat 5, dimana disebutkan
bahwa:
“Perumpunan dimaksud adalah penanganan urusan
pemerintahan yang terdiri dari urusan wajib dan fungsi
pendukung yang dapat digabung dalam satu perangkat daerah
berbentuk badan dan/atau kantor, misalnya urusan perencanaan
pembangunan digabung dengan urusan penelitian dan
pengembangan”
Dimana hal ini dianggap oleh pihak internal Kementerian Menteri
Dalam Negeri, melalui mantan Staff Ahli Menteri, Prof. Ngadisah,
yang menyatakan pada Lokakarya Peningkatan DRD dalam
Penguatan Sistem Inovasi yang diselenggarakan DRN pada 14
Desember 2010, bahwa perumpunan itu mengambil contoh yang
salah dalam menerapkan efisiensi kelembagaan. Hal ini
mengakibatkan kesalahan fatal yang membuat banyak daerah yang
39
melebur Balitbangda ke dalam Bappeda nya, sebagaimana contohnya
yang terjadi di Jawa Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Oleh karena itu, diperlukan sosialisasi oleh Kementerian Riset dan
Teknologi maupun DRN tentang persepsi yang benar tentang peran
DRD dan Balitbangda, khususnya DRD sebagai advisor bagi
pemerintah daerah baik melalui balitbangda atau langsung ke kepala
daerah.
Secara lebih lanjut, diberlakukannya era otonomi daerah (otda)
dengan adanya UU No 22 tahun 1999 (yang diperbaharui dengan UU
no 32 tahun 2004) tentang Pemerintah Daerah, serta UU no 25 tahun
1999 (yang diperbaharui dengan UU no 33 tahun 2004) tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah, memberikan kesempatan kepada daerah untuk lebih leluasa
mengelola daerahnya bagi kesejahteraan masyarakat. Dalam tataran
empiris, berbagai pendekatan tentang sistem inovasi terus
berkembang, dan tentunya perlu senantiasa disesuaikan dengan
konteks yang berkembang.
40
4.2 Kelembagaan
Berdasarkan Taufik (2010), di antara faktor penentu penting
perkembangan sistem inovasi adalah jejaring/kemitraan (khususnya
kemitraan strategis bidang iptek atau yeng mempengaruhi
perkembangan inovasi). Oleh karena itu, hubungan antara
kelembagaan (perusahaan, universitas, dan badan-badan pemerintah)
beserta legislasinya sangat diperlukan untuk membangun suatu
koordinasi dan kemitraan yang efektif dan efisien. Kesepakatan dalam
kemitraan yang terjadi bisa mengikat secara hukum seperti
”kerjasama” (cooperation) dan ”kolaborasi” (collaboration) atau juga
bersifat lebih longgar, seperti ”koordinasi” (coordination).
Dalam hal ini, diperlukan adanya kemitraan yang baik antara DRD
dengan para mitranya di daerah, yaitu Balitbangda atau Bappeda, dan
juga di pusat yaitu DRN. Balitbangda ataupun Bappeda ini adalah
lembaga yang secara struktural berada dibawah koordinasi
Pemerintah Daerah (Pemda). Tugas utama dari Balitbangda /
Bappeda umunya adalah sebagai berikut:
41
a. Menyelenggarakan Pemerintahan daerah di bidang
perencanaan pembangunan daerah;
b. Menyelenggarakan penelitian dan pengembangan;
c. Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan perencanaan
pembangunan di daerah.
Dalam menjalankan misinya tersebut, struktur organisasi Bappeda
mempunyai struktur yang mirip satu sama lainnya, sebagaimana
dapat terlihat dari struktur Bappeda Sumatera Selatan dan DKI
Jakarta berikut:
42
Gambar 4-1 Struktur Organisasi Bappeda Sumatera Selatan Sumber: Website Bappeda Sumatera Selatan
(http://bappeda.sumselprov.go.id)
43
Gambar 4-2 Struktur Organisasi Bappeda DKI Jakarta
Sumber: Website Bappeda DKI Jakarta (http://www.bappedajakarta.go.id)
44
Sedangkan, di sisi lain Balitbangda mempunyai struktur yang lebih
tidak rumit dibandingkan Bappeda. Namun, setiap Balitbangda
umumnya mempunyai struktur organisasi seperti Balitbangda di Jawa
Tengah berikut:
Gambar 4-3 Struktur Organisasi Balitbangda Jawa Tengah
Sumber: Website Biro Organisasi dan Kepegawaian Sekretariat Daerah Propinsi Jawa Tengah (http://orpeg.jatengprov.go.id)
45
5. Mekanisme dan Interaksi DRD dengan
Mitra DRD
Dalam menjawab perumusan masalah yang dijabarkan di bab awal,
studi ini melakukan pengambilan data melalui wawancara dengan
DRD dan pihak-pihak terkait. Bab ini menjabarkan hasil wawancara
terkait mekanisme penyelenggaraan DRD dan Interaksi antara DRD
dengan para mitranya di daerah.
5.1 DRD Sumatera Utara
DRD Sumatera periode kepengurusan periode 2010-2014 yang sedang
berjalan ini mempunyai Fokus utama kegiatan dalam pembuatan
Kebijakan Strategis Daerah (Jakstrada) iptek dan Agenda Riset
Daerah (ARD). Keanggotaan pada periode kepengurusan ini
berjumlah 28 orang. Namun, wawancara dengan Wakil Ketua DRD
mengungkapkan bahwa hanya setengahnya saja yang aktif dalam
kegiatan-kegiatan DRD, sebagaimana pada petikan berikut:
46
“dari dua puluh delapan anggota yang betul-betul aktif dan hadir
selalu setengahnya, setengahnya lagi itu sangat sulit ada harapan
hadir, untuk itu menjadi timpang, padahal diperlukan adanya
dedikasi karena ini menentukan arah kebijakan penelitian,
pengembangan penelitian“ (Tahier, wawancara, 2011)
Dalam mekanisme penyelenggaraan DRD ini, terdapat kritik yang
terungkap dari pihak Balitbangda, khususnya pada jenis rekomendasi
yang diberikan DRD:
“selama ini terlalu banyak penelitian yang DRD lakukan di tataran
konseptual dan tataran impelementasinya tidak ada. Dimana ini
akan menimbulkan pemerintah daerah menjadi sedikit jenuhlah”
(Iwan, wawancara, 2011)
Oleh karena itu, diharapkan adanya keseimbangan dengan
dilakukannya rekomendasi DRD berdasarkan permasalahan aktual
dan lebih “membumi” dalam merekomendasikan solusi-solusi atas
permasalahan yang ada di daerah.
47
Dalam hal interaksi antara DRD dengan mitranya, yaitu Balitbangda,
manfaat utama yang diharapkan dapat diberikan oleh DRD adalah
rekomendasi sebagai dasar kebijakan riset dengan output yang
terukur. Hal ini terungkap pada petikan wawancara dengan
Balitbangda:
“DRD diharapkan dapat mendukung kebijakan-kebijakan program
kita. Secara akademis kan mereka lebih mengetahui kondisi apa
yang di Sumatra Utara, jadi kita untuk menyusun program dapat
meminta masukan hal-hal apa yang perlu kita lakukan untuk
program penelitian ke depan“ (Iwan, wawancara, 2011)
DRD Sumatera Utara mempunyai hubungan yang baik dengan
Balitbangda dan mendapat dukungan penuh dari mitranya tersebut.
Kedua pihak menyadari bahwa peran balitbangda dapat diperkuat
oleh keberadaan DRD. Hal ini dapat terlihat dari pernyataan dari pihak
Balitbang yang menyatakan bahwa pertemuan rutin setiap minggu
dilakukan antara Balitbangda dan DRD, karena memang kantor
Sekretariat DRD menginduk pada Balitbangda. Mengenai keuntungan
bahwa kantor DRD terletak di Balitbangda ini juga disampaikan oleh
48
Wakil Ketua DRD yang menyatakan bahwa kantor DRD yang menyatu
dengan Balitbang membuat pekerjaan menjadi lebih efektif dan
efisien.
Selain itu, disampaikan juga oleh pihak Balitbangda bahwa Kepala
Balitbangda banyak meminta masukan kepada DRD untuk melakukan
review program-program yang dilakukan Balitbangda. Hal ini
didukung oleh DRD yang menyatakan bahwa:
“sekarang sudah mulai ada pemasukan-pemasukan yang
dimasukkan menjadi program kajian oleh Balitbang” (Tahier,
wawancara, 2011)
Namun, terdapat kelemahan atas pengawasan terhadap rekomendasi
ini yang belum dikoordinasikan dengan baik oleh kedua institusi ini,
sebagaimana yang disampaikan pihak DRD:
“tetapi apakah hasilnya rekomendasi akan bermanfaat dan
tercapai programnya oleh mereka, tidak dapat kita lakukan
pengawasan“ (Tahier, wawancara, 2011)
49
Secara garis besar, berdasarkan Tahier (wawancara, 2011), terdapat
beberapa permasalahan utama yang ada di DRD antara lain:
- Absensi kehadiran anggota DRD di kegiatan-kegiatan DRD yang
masih dirasakan kurang, terutama dalam menghadiri rapat
mingguan pada hari Selasa
- Anggaran DRD yang belum mencukupi
- Koordinasi yang kurang dalam pengambilan keputusan
Selain tiga permasalahan diatas, dirasakan bahwa hasil rekomendasi
tidak ada feedback dari Balitbangda, sehingga tidak dapat dinilai
bahwa rekomendasi tersebut dipakai atau tidak oleh Balitbangda.
Seharusnya terdapat mekanisme pengawalan yang dapat dilakukan
DRD terhadap hasil rekomendasi yang diusulkan. Selain itu, terdapat
juga permasalahan bahwa para Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD) belum terbuka dengan rekomendasi-rekomendasi yang
diusulkan oleh DRD.
Hal yang perlu ditingkatkan dalam interaksi antara DRD dengan para
mitranya di daerah maupun pusat adalah dijalinnya komunikasi yang
50
intensif dalam suasana yang kondusif dalam pengembangan riset.
Sebagaimana hubungan antara DRD dengan para mitranya di daerah,
diperlukan pula hubungan yang baik antara DRD dengan mitranya di
pusat, yaitu DRN. Wakil Ketua DRD menyatakan bahwa hubungan
informal dengan DRD terjalin dengan baik dengan adanya frekuensi
kunjungan ke DRN yang konsisten, yang menimbulkan adanya
koordinasi yang baik dengan pihak DRN.
Hubungan antara DRN dengan DRD dapat ditingkatkan dengan
adanya forum komunikasi antara seluruh DRD dan DRN. Kemudian
diperlukan juga database hasil riset. Wakil Ketua DRD Sumatera Utara
menilai bahwa figur Gubernur sangat menentukan dalam eksistensi
keberadaan DRD. Namun, dalam hal ini selain figur, yang perlu
diperbaiki adalah sistemnya. DRD Sumatera Utara untuk ke depannya
mempunyai program untuk merumuskan guidance dalam rangka
meningkatkan jumlah hasil riset yang implementatif. Lebih jauh lagi,
diharapkan terbentuk adanya budaya riset di masyarakat.
51
5.2 DRD Sumatera Selatan
Dewan Riset Daerah Sumatera Selatan terbentuk sejak tahun 2002.
Sejak pembentukannya tersebut, DRD Sumsel telah melaksanakan
empat (4) pergantian kepemimpinan yaitu (1) Dr. Robiyanto periode
2002-2005; (2) Dr. Ir. Taufik Toha, periode 2005-2007;(3) Dr.Ir. Jony
Bustam periode 2007-2009; dan sekarang (4) Fachrurrozie Sjarkowi,
Ph.D. periode 2010-2013. Dalam perjalanannya DRD Sumsel
menjalankan beberapa tugas dan fungsi yaitu:
a. Tugas Pokok: Membantu Balitbangda-Sumatera Selatan
menyusun Jakestrada & Arahan Riset Daerah (ARD) 2010-2014
b. Tugas Rutin : Mengawal ARD agar dijalankan oleh setiap
SKPD secara konsisten.
c. Tugas Khusus: Melakukan kajian literatur untuk beberapa
kajian yang diberikan oleh Gubernur Sumatera Selatan .
Berdasarkan Fachrurrozie Sjarkowi (wawancara, 2011) selaku Ketua
DRD Sumatera Selatan, terdapat beberapa hal yang mendasari DRD
untuk melakukan hubungan dengan mitra diantaranya adalah
kepentingan pribadi dan kelembagaan.
52
a. Kepentingan pribadi dari Ketua DRD saat ini adalah keinginan
untuk memberikan nilai tambah pada potensi lokal yang
sebelumnya hanya bisa menjual bahan mentah yang selama ini
hanya dimanfaatkan oleh Singapura. Dari hal inilah yang
mendorong Ketua DRD selalu mengingatkan dan mengajak
masyarakat tentang teknologi yang selalu disampaikan pada
setiap kesempatan seperti seminar.
b. Kepentingan kelembagaan: apabila suatu lembaga memiliki
konsep yang matang, jaringan yang baik dengan lembaga lain
dan pemimpin yang berani berkomitmen maka akan memacu
kinerja suatu lembaga.
Mitra strategis DRD Sumatera Selatan adalah Balai Penelitan dan
Pengembangan Daerah (Balitbangda) Sumatera Selatan. Balitbangda
Sumatera Selatan memiliki misi sebagai berikut;
1. Meningkatkan SDM sarana dan prasarana serta kelembagaan
Balitbangda yang berkualitas, profesional, dan kompetitif.
53
2. Mendayagunakan hasil Litbang sebagai dasar kebijakan
perencanaan pembangunan provinsi Sumatera Selatan secara
berkelenajutan.
3. Menumbuhkan sistem inovasi daerah untuk meningkatkan
nilai tambah dan produktivitas sektor ekonomi berkelanjutan.
4. Meningkatkan difusi Iptek melalui publikasi dan intermediasi
Iptek, serta kemitraan dunia usaha yang bermuara pada
kesejahteraan masyarakat.
5. Membangun sinergi pelaku, lembaga, dan kegiatan Litbang
dalam jejaring litbang menuju hasil litbang yang efektif,
efisien, dan terhindar dari duplikasi.
6. Menumbuhkan pengakuan HAKI dan menghindari plagiarisme.
Selain Mitra Utama DRD ini, terdapat juga mitra-mitra lainnya seperti
Pemerintah Daerah, seluruh SKPD, semua asosiasi dibawah KADIN,
semua Perguruan Tinggi yang memiliki Lembaga Litbang (misal:
Universitas Sriwijaya dan Universitas Muhammadiyah), Bank
Indonesia Provinsi Sumatera Selatan. Khususnya untuk Bank
Indonesia, institusi ini secara rutin memberikan laporan triwulan
54
kepada DRD tentang perkembangan perekonomian Provinsi
Sumatera Selatan untuk selanjutnya diharapkan DRD dapat
memberikan tanggapan.
Dalam berinteraksi dengan para mitranya, DRD mengaplikasikan
konsep SIDa dengan baik. Berdasarkan Sjarkowi (wawancara, 2011),
mitra didorong untuk memacu SIDa dengan cara memotivasi dan
memberikan gambaran tentang manfaatnya, misalnya Universitas
Muhamadiyah yang bertanggung jawab untuk kluster Pertanian.
Konsep penerapan SIDa ke dalam interaksi dengan para mitranya,
dijelaskan lebih lanjut dalam petikan wawancara berikut:
“Dalam konsep SIDa, DRD merupakan inti dan bagian luarnya
adalah plasma yang dalam hal ini adalah mitra. Saat ini DRD
masih sangat dominan, tetapi untuk kedepan mitra akan dapat
lebih diberdaya gunakan” (Sjarkowi, wawancara, 2011)
Manfaat dari SIDa ini juga disadari oleh Balitbangda Sumatera
Selatan, dimana berdasarkan Peraturan Daerah (PERDA) Nomor 2
tahun 2011 dan Peraturan Gubernur (Pergub) No. 9 tahun 2011
55
terdapat reposisi lembaga litbang daerah, dimana kini namanya
berganti menjadi Badan Penelitian dan Pengembangan Inovasi
Daerah (Retnaningsih, 2011). Hal ini tentunya akan mendukung
pengembangan SIDa di Sumatera Selatan.
5.3 DRD DKI Jakarta
Dewan Riset Daerah DKI Jakarta untuk pertama kali terbentuk pada
tahun 2005 dan baru mulai menjalankan fungsi-fungsinya pada tahun
2006. Jeda satu tahun ini dikarenakan waktu perekrutan anggota DRD
DKI. Sesuai dengan UU No 18 tahun 2002, DRD DKI saat ini
merupakan periode kedua, memiliki tiga komisi yaitu (1) Komisi
Sumberdaya Manusia, (2) Komisi Pengkajian& Pengembangan Riset,
dan (3) Komisi Monitor& Evaluasi. Kegiatan DRD DKI yang sedang
aktif dilakukan adalah melakukan penilaian terhadap hasil penelitian /
riset yang dilakukan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah Pemerintah
(SKPD) dan atau lembaga riset lainnya dan DRD memberikan
rekomendasi terhadap hasil penelitian / riset tersebut kepada
Pemerintah Daerah. Selain itu, DRD ini juga masih dalam tahap
56
perencanaan awal untuk membangun Sistem Inovasi Daerah (SIDa)
dan Agenda Riset Daerah (ARD).
Dalam penyelenggaraan DRD, berdasarkan Erry Chayaridipura
(wawancara) selaku Sekretaris DRD DKI Jakarta, ada 2 hal utama yang
menjadi permasalahan, antara lain Status keanggotaan DRD dan
status pembiayaan. Hal ini ditunjukkan petikan wawancara dengan
beliau berikut:
“Seringkali timbul pertanyaan mengenai status DRD. DRD itu
lembaga pemerintah-kah tapi nonstruktural, lembaga swadaya
masyarakat-kah tapi didirikan dengan amanat undang-undang
dan dengan pergub, swasta juga bukan. Sehingga pada waktu
pengalokasian anggaran selalu berubah-ubah“ (Chayaridipura,
wawancara, 2011).
Oleh karena itu, Chayaridipura (wawancara, 2011) menyatakan
bahwa mekanisme penyelenggaraan DRD agar ideal, berkaitan
dengan 2 hal:
57
1. Status DRD. Para anggota DRD semuanya tidak tetap, dan juga
staf sekretariatnya status kepegawaiannya kurang jelas. Oleh
karena itu, diharapkan adanya ketetapan keanggotaan dan
sekretariat DRD yang jelas dan independen
2. Struktur Pembiayaan. Struktur pembiayaan selalu mengalami
perubahan dari tahun 2006-2011, dimana sebagai berikut:
- Tahun 2006 : Dana Fasilitasi dari APBD (melalui BAPPEDA)
- Tahun 2007 : Dana Operasional dari APBD (melalui
rekening BAPPEDA)
- Tahun 2008 : Dana Bantuan Sosial (dana bantuan melalui
Sekda)
- Tahun 2009 : Dana Hibah (dana bantuan melalui Sekda)
- Tahun 2010: Dana Operasional dari APBD (melalui
rekening BAPPEDA)
- Tahun 2011 : Dana Hibah (dana bantuan melalui Sekda)
Dirasakan adanya kesulitan apabila dana disalurkan melalui dana
operasional. Ke depannya diharapkan pendanaan sudah ada
posnya untuk DRD dan juga dilakukan dalam sistem hibah
58
Mitra utama dari DRD DKI Jakarta adalah Bappeda DKI Jakarta.
Bapeda DKI memiliki fokus pada 7 bidang utama yaitu (1)
Kesejahteraan masyarakat, (2) Prasarana, sarana, dan lingkungan
hidup, (3) Ekonomi, (4) Pemerintahan, (5) Program Pembiayaan dan
Pembangunan, (6) Penelitian dan Statistik, dan (7) Pembinaan
Perencanaan. Bappeda DKI saat ini dikepalai oleh Ibu Sarwo
Handhayani.
Harapan Bappeda terhadap DRD adalah adanya inovasi pemikiran dari
kepakaran mereka yang akan menjadi daya ungkit berbagai
permasalahan kebijakan riset di Jakarta (Kusumawati, wawancara,
2011). Namun, Tuty Kusumawati selaku Kepala Bidang Penelitian dan
Statistik Bappeda, harapan ini tidak tercapai dikarenakan beliau
berpendapat DRD tidak berpikir secara strategis dan kurangnya
komunikasi yang baik dengan Bappeda. Beliau juga berpendapat
bahwa DRD yang berisi para pakar itu sebenarnya sangat
memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan Balitbangda dalam
keperluan aktivitas riset, terutama dalam Knowledge Management
59
Centre of Excellence. Hal ini ditunjukkan pada petikan wawancara
berikut:
“sebetulnya saya pribadi dan institusi Bapeda ini sangat
menaruh harapan besar terhadap DRD ini terutama ketika saya
dengarkan Ibu pimpinan (Kepala Bappeda), Ibu Sarwo
Handayani, ketika audiency dengan beliau, mengharapkan peran
serta DRD dalam merespon hal – hal yang memang Pemda ini
harus memberikan response, terutama quick response. Quick
response itu menyangkut berita – berita yang setiap hari terus
berkembang. Nah response tersebut diharapkan dilakukan oleh
DRD yang memang kita anggap memiliki kepakaran. Jadi, jika
memang dimensi kepakaran itu yang diketengahkan, maka
masyarakat ini akan memperoleh informasi yang balance dan
memperoleh informasi akurat tanpa keberpihakan atau tanpa
sebuah rekayasa. Jadi artinya yang diungkapkan di masyarakat
itu dipublish betul – betul didasarkan atas landasan kepakaran”
(Kusumawati, wawancara, 2011)
60
Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya Bappeda mengharapkan
adanya kerjasama yang baik dengan DRD. Bahkan Balitbangda juga
mempunyai beberapa pemikiran dalam memberikan solusi dalam
memperkuat DRD sebagaimana yang disampaikan Nanis Setyowati
(wawancara, 2011) selaku Kepala Sub Bidang Penelitian dan
Pengembangan Kebijakan Bappeda DKI Jakarta:
Sinkronisasi penyusunan program DRD
Isi rekomendasi dari DRD masih bersifat general dan common
sense
Diperlukan adanya inovasi dan terobosan yang berarti, yang
selama ini dirasakan belum terjadi
Diperlukan adanya koordinasi pusat dan daerah, temasuk dari segi
agenda riset. Oleh karena itu, diharapkan DRD segera dapat
merampungkan Agenda Riset Daerah (ARD) 2011
Diperlukan adanya program strategis koordinasi DRD untuk
sinkronisasi Pusat dan Daerah. Sehingga pada akhirnya akan
menambah wawasan baru untuk kerjasama antara DRD dan
Bappeda
61
Dibutuhkan adanya portal kerjasama sebagai wadah memperbaiki
komunikasi antara DRD dengan para mitranya
5.4 DRD Jawa Tengah
Dewan Riset Daerah Jawa Tengah berdiri pada tahun 2000, tepatnya
pada tanggal 3 Juni. Sejak tahun 2000 tersebut, DRD Jawa Tengah
sudah melewati 3 periode hingga saat ini adalah periode 2010-2015.
DRD pada periode terbaru ini mempunyai visi untuk menjadi lembaga
yang terkemuka dalam kebijakan riset dan pembangunan Jawa
Tengah (Kameo, wawancara), dengan memfokuskan kajiannya ke
delapan (8) bidang yaitu:
- Bidang Pertanian, Pangan, dan Lingkungan
- Bidang Kesejahteraan Masyarakat (Kesehatan, Sosial Budaya,
Pariwisata, Agama, dan Kesetaraan Gender)
- Bidang Industri, Kewirausahaan, Usaha Mikro Kecil dan
Menengah (UMKM)
- Bidang Infrastruktur Fisik
- Bidang Kebijakan Publik
62
- Bidang Pendidikan
- Bidang Kependudukan
Selain tujuh (7) prioritas kajian diatas DRD Jawa Tengah juga
melakukan kajian-kajian yang berkaitan dengan current issues yang
sedang berkembang di Jawa Tengah yang juga sudah menjadi arahan
Gubernur Jawa Tengah, antara lain:
- Master Plan Visit Jawa Tengah 2012
- Pembangunan Jalan Tol Semarang – Solo
- Sistem pemadam kebakaran di Jawa Tengah
DRD Jawa Tengah juga secara aktif menerbitkan jurnal, bernama
SUAR, dimana telah diterbitkan sebanyak 3 kali pada tahun 2009 dan
2010. Jurnal ini berisi kajian-kajian mengenai kajian proritas dan
berdasarkan current issues. Dalam menjalankan fungsinya di daerah,
DRD mempunyai berbagai mitra, dimana berdasarkan Kameo
(wawancara, 2011), terdiri dari 3 kelompok mitra, yaitu:
63
1. Mitra utama: Pemerintah Daerah, Balitbangda, SKPD
Kelompok ini disebut mitra utama dikarenakan posisi DRD dalam
memberikan masukan langsung kepada institusi-institusi tersebut
2. Lembaga-lembaga penelitian, universitas-universitas.
3. Organisasi masyarakat, LSM, pengusaha, organisasi-organisasi
profesi, dan sebagainya
Dalam penyelenggaraan kegiatan-kegiatannya, kelemahan dari DRD
ini yang dirasakan oleh Prof. Daniel Kameo selaku Ketua DRD periode
2010-2015 adalah permasalahan absensi, sebagaimana tertuang pada
pernyataan beliau berikut:
“kami rapat hampir jarang tuh dapat 100%. Mesti ada satu atau
dua yang tidak mungkin bisa datang. Nah, ini karena memang kita
tidak penuh di sini. Sehingga kadang-kadang kalau kita lihat
komentar dari orang yang berkunjung ke sini, ke kita, lho kok
kantornya kosong? Seperti itu. Menurut saya idealnya itu harus ada
yang tetap. Kalau kita ini total semua tidak tetap” (Kameo,
wawancara, 2011)
64
Dari segi interaksi antara DRD dengan para mitranya, interaksi yang
cukup baik terjadi antara DRD dengan mitra utamanya, yaitu
Balitbangda dan Pemerintah Daerah. Hal ini sebagaimana yang
diungkapkan Ketua DRD, Daniel Kameo berikut:
“hubungan DRD dengan para mitra utamanya selalu baik karena
kalau selalu kontak. Misalnya SKPD menghubungi DRD, situasi
saling membutuhkan, positif, jadi tidak pernah ada dalam
suasana pertentangan atau konflik.” (Kameo, wawancara, 2011)
Bahkan, Kameo (wawancara, 2011) menyatakan bahwa kekuatan
utama DRD Jawa Tengah ini adalah komunikasi yang baik dengan
Gubernur Jawa Tengah dan Balitbang Jawa Tengah, sehingga
rekomendasi-rekomendasi yang dikeluarkan oleh DRD cukup
didengar oleh para mitranya, baik Gubernur dan Balitbangda, maupun
SKPD-SKPD terkait, seperti Dinas Koperasi dan UMKM, Pertanian dan
Tanaman Pangan, Kebudayaan dan Pariwisata, dan juga Dinas Sosial.
Interaksi antara DRD dengan para mitra utamanya ini sedikit dikoreksi
oleh Ketua DRD periode sebelumnya, 2006-2009, Prof. Siti Fatimah
Muis. Beliau menyatakan bahwa hubungan antara DRD dengan
65
Balitbangda dan Pemerintah Daerah (Gubernur) selalu baik. Namun,
salah satu permasalahan DRD adalah para Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) yang ada di Jawa Tengah belum optimal dalam
memanfaatkan keberadaan DRD. Hal ini dikarenakan kurang adanya
pertukaran informasi yang optimal mengenai apa yang dapat
dilakukan oleh DRD dan juga apa manfaat yang dapat diambil dari
keberadaan DRD.
Secara lebih lanjut, Kajian-kajian yang dilakukan DRD sebagian besar
adalah melakukan review dari program-program yang ada dengan
prinsip utama evidence-based. Salah satu keberhasilan DRD ini adalah
pembuatan Agenda Riset Daerah (ARD) 2007-2011. Namun, dalam
implementasinya masih banyak pelaku riset di daerah, terutama para
SKPD yang belum mengacu pada ARD ini (Fatimah Muis, wawancara,
2011). Hal ini dikarenakan sebenarnya para SKPD selalu diundang
pada rapat-rapat pembuatan ARD ini, namun seringkali ketika rapat
hanya diwakilkan kepada bawahannya saja, bukan para pembuat
keputusan. Fatimah Muis (wawancara) juga menambahkan bahwa
perhatian dari SKPD ini merupakan salah satu kunci utama dalam
66
penyelenggaraan DRD sehingga dapat terbentuk kerjasama yang baik
antara DRD dan para SKPD.
Interaksi yang juga perlu diperhatikan di daerah adalah hubungan
antara DRD Provinsi dengan DRD Kabupaten. Setidaknya ada 5 DRD
Kabupaten di Jawa Tengah, yaitu DRD Kabupaten Wonogiri, Pati,
Surakarta, Klaten, dan Tegal. Dikarenakan adanya otonomi daerah,
hubungan antara DRD Provinsi dan DRD Kabupaten ini terputus
secara struktural. Jadi DRD-DRD Kabupaten dan DRD Provinsi tidak
berhubungan secara intensif. Padahal, berdasarkan Fatimah Muis
(wawancara, 2011), DRD Kabupaten yang dianggap paling sukses
adalah DRD Surakarta, dimana seluruh rekomendasi dari DRD
tersebut didengar oleh Walikota Surakarta (Solo). Salah satu faktor
dari keberhasilan DRD ini selain kedekatan hubungan dengan
Walikota adalah Ketuanya dipimpin oleh orang yang berlatar
belakang swasta, sehingga pendekatannya akan lebih efektif dan
efisien. Dimana hal ini barangkali dapat menjadi pendorong DRD
kabupaten lainnya dan bahkan menjadi wadah saling belajar dengan
67
DRD Provinsi dalam meningkatkan peran DRD di setiap level di
daerah.
Oleh karena itu, Fatimah Muis (wawancara, 2011) juga menyatakan
bahwa kunci utama penyelenggaraan DRD lainnya selain keterlibatan
SKPD, yaitu adanya keterlibatan unsur swasta dan pemberdayaan
DRD Kabupaten / Kota. Hal ini juga didukung oleh Kepala Balitbangda,
Agus Suryono, sebagaimana petikan wawancara berikut:
“kekurangan DRD mengenai keanggotaan. saya lupa ada tiga
belas atau apa, itu juga ada yang dari bisnis juga yang ikut juga
sebagai anggota. nah, peran serta dari pebisnis ini yang masih
perlu agak-agak kita dorong”(Suryono, wawancara, 2011)
“perlu ada suatu hubungan yang bukan struktural komunikasi
antara DRN, DRD provinsi, dan DRD kabupaten. Ini yang belum
sering. kalau DRD provinsi okelah, tapi begitu DRD kabupaten,
kota.. ini yang mereka kurang. Jadi inilah, kalau itu ada suatu
komunikasi DRN, DRD, sama DRD kabupaten yang sering
68
komunikasi secara bareng, ini akan bisa memberikan advokasi
kepada kepala daerahnya” (Suryono, wawancara, 2011)
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa selain kegiatan-kegiatan
DRN yang masih terbatas, beliau menyatakan dua kelemahan DRD
lainnya adalah (1) Peran swasta dirasakan masih kurang, dimana
terlalu dominan unsur dari universitas, kemudian (2) Pemberdayaan
DRD Kabupaten / Kota dirasakan masih kurang adanya komunikasi
dan koordinasi. Padahal apabila ini dapat dioptimalkan, dapat
dirasakan langsung di daerah pada era otonomi daerah ini.
Secara lebih lanjut, Agus Suryono selaku Kepala Balitbangda yang
merupakan mitra utama DRD menyatakan bahwa harapan terhadap
DRD ini adalah agar hubungan lebih terbuka dan terjalin komunikasi
yang lebih intensif, khususnya dalam mendukung kegiatan
Balitbangda yang mempunyai fokus utama dalam peningkatan Sistem
Inovasi Daerah (SIDa) berbasis klaster. Dimana dalam hal ini, dibagi
menjadi 35 klaster berdasarkan jumlah kabupaten di Jawa Tengah
dimana setiap daerah memiliki keunggulan masing-masing. Harapan
69
ini sebagaimana dapat terlihat dari petikan wawancara dengan beliau
berikut:
“kebijakan kita apabila didukung oleh DRD itu paling tidak
mempunyai suatu dukungan yang akan di dengar oleh gubernur.
Jadi ada suatu trust juga, karena memang DRD ini dengan pakar
juga kan dari perguruan tinggi, dan sebagainya. Kan suaranya
lebih didengar”(Suryono, wawancara, 2011)
Setelah kita menganalisa interaksi antara DRD dengan para mitranya
di daerah, dapat dianalisa juga temuan-temuan untuk interaksi antara
DRD dengan mitranya di pusat, yaitu DRN. Prof Daniel Kameo selaku
Ketua DRD menyatakan bahwa hubungan antara DRN dengan DRD
Jateng dirasakan belum terjalin dengan baik. Harapannya adalah
pendekatan dilakukan secara bottom-up dengan mendapatkan
masukan dari DRD, sebagaimana dikutip dalam wawancara berikut:
“Akan lebih baik kalau mengetahui permasalahan nasional ini
secara Bottom Up. DRN bisa membahas permasalahan secara
nasional, dan bisa minta masukan secara bottom up dari DRD.
DRN bisa mengambil masukan dari DRD sesuai porsinya, dan
70
DRD bisa menyuarakan aspirasinya untuk DRN. Seringkali
kebijakan yang datang dari pusat itu tak bisa diterapkan secara
optimal di daerah. Daerah belum tentu punya pemikiran yang
sama atau bahkan mengerti apa yang dibicarakan.”(Kameo,
wawancara, 2011)
Oleh karena itu, DRN diharapkan menggandeng DRD untuk
menyuarakan suara aspirasi daerah.
Permasalahan ini juga disetujui oleh Prof. Fatimah Muis yang
merupakan Ketua DRD periode 2006-2009 yang menyatakan hal
serupa bahwa DRD merasakan kurang banyak manfaat yang
didapatkan dari setiap kedatangannya ke DRN, dimana sebagian
besar acara di DRN hanya berupa penjelasan dan arahan dari pusat
mengenai apa yang seharusnya dilakukan di daerah. Harapannya
selain penjelasan itu adalah setidaknya para DRD ini diberikan waktu
untuk menceritakan pengalaman-pengalamannya di daerah.
Kemudian mungkin dari ini, apabila ada masalah dapat dicarikan
71
solusi bersama, dan juga apabila pengalaman sukses dapat diduplikasi
untuk dilakukan juga di DRD lainnya.
Dari pihak DRN sendiri, sebenarnya interaksi yang kurang ini sudah
disadari, sebagaimana petikan wawancara dengan Sekretaris DRN,
Dr. Tusy Adibroto, berikut:
“komunikasi dengan DRN sangat minim, yang ada adalah kalau
ada kegiatan kita mengundang. Ya jadi lebih formal, tapi ya
sudah sampe sekian saja, tidak ada kelanjutan
apapun.”(Adibroto, wawancara, 2011)
Namun, pihak DRN sendiri nampaknya sudah memikirkan strategi
yang sesuai untuk meningkatkan komunikasi antara DRN dengan
DRD, sehingga akan terjadi kerjasama yang baik. Hal ini ditunjukkan
petikan wawancara dengan Dr. Tusy Adibroto berikut:
“Kami mulai memikirkan bagaimana kita lebih mempererat
kerjasama antar DRN dan DRD, tapi ini belum dilaksanakan, ini
baru berpikir dengan misalnya kita mencari “mainan bersama”
sehingga mau tidak mau ada suatu pekerjaan bersama, dimana
72
akhirnya kita juga berkomunikasi karena memang harus
dilaksanakan dan dipertanggung jawabkan. Dan yang kedua,
kita juga saat ini sedang mengembangkan di DRN yang disebut
Open Method of Research Coordination (OMRC), nah saya
berharap lewat OMRC kita bisa berhubungan erat dengan DRD
malahan ada DRD yang sudah menyatakan keinginannya ingin
adopt OMRC” (Adibroto, wawancara, 2011)
Dari petikan wawancara tersebut, dapat ditemukan bahwa beberapa
strategi yang dapat dilakukan adalah penyelesaian permasalahan
bersama dengan adanya pertukaran knowledge antara DRN dan DRD.
Selain itu, dapat juga memanfaatkan Open Method of Research
Coordination (OMRC) yang sedang dikembangkan oleh DRN.
5.5 DRD Jawa Timur
Dewan Riset Daerah Provinsi Jawa Timur dibentuk berdasarkan
amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sisnas P3
Iptek. Dalam rangka mengimplementasikan amanat UU dimaksud
Pemerintah Provinsi Jawa Timur menetapkan Peraturan Gubernur
73
Jawa Timur Nomor 50 Tahun 2010 tanggal 22 Juni 2010 tentang
Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Dewan Riset Daerah Provinsi
Jawa Timur. Peraturan Gubernur tersebut ditindaklanjuti dengan
Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 188/327/KPTS/013/2010
tanggal 19 Juli 2010 tentang Pangangkatan Anggota Dewan Riset
Daerah Provinsi Jawa Timur 2010-2014. DRD Provinsi Jawa Timur
adalah Lembaga Non Struktural yang membantu Pemerintah Provinsi
Jawa Timur di Bidang Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi. DRD Provinsi Jawa Timur berkedudukan dibawah
koordinasi BAPPEDA Provinsi Jawa Timur dan bertanggung jawab
langsung kepada Gubernur.
Mitra utama DRD Jawa Timur adalah Perguruan Tinggi Negeri (PTN),
Perguruan Tinggi Swasta (PTS), dan Balitbang Jawa Timur. Hubungan
DRD dengan mitra kerja DRD selama ini sudah berjalan dengan baik.
Karena masing-masing lembaga sudah punya kavling tugas pokok dan
fungsi. DRD adalah lembaga perumus kebijakan riset, sedang
lembaga pelaku riset adalah berada di PTN/PTS dan Balitbang.
Hubungan DRD dengan mitra kerja (Balitbang) bersifat kemitraan,
74
dimana dalam hubungan kerja tersebut lebih diarahkan kepada
penyiapan penyusunan arah kebijakan pembangunan ilmu
pengetahuan dan teknologi di daerah.
Dalam hal hubungan DRD Jawa Timur dengan DRN, selama ini
hubungan DRD dengan DRN adalah hubungan konsultatif fungsional,
bukan hierarkis vertikal. Dimana masing-masing lembaga bersifat
independen. DRD bukan sub ordinat dari DRN, walaupun dalam
peraturan (UU No. 18/2002) mengamanatkan anggota DRD juga bisa
mewakili sebagai anggota DRN. Untuk lebih meningkatkan hubungan
antara DRD dengan DRN, diharapkan ada sebuah forum berkala
tahunan, misal: Rapat Kerja Nasional (Rakernas) dan semacamnya.
5.6 DRD Nusa Tenggara Timur
Dewan Riset Daerah Nusa Tenggara Timur dibentuk pada tahun 2006
berdasarkan SK Gubenur NTT no. 184 tahun 2005. DRD NTT berada
dibawah garis koordinasi langsung Gubernur NTT. Secara struktur
organisasi DRD NTT dapat dijabarkan seperti dibawah ini:
Ketua
Wakil Ketua
75
Sekretaris
Anggota
Jumlah anggota Dewan Riset Daerah NTT berjumlah 35 orang. Dalam
keberjalanannya selama ini, DRD NTT memiliki fungsi utama sebagai
pembantu pemerintah provinsi dalam hal pengembangan riset dan
teknologi daerah. Bantuan yang diberikan oleh DRD NTT berupa
masukan dan membuat roadmap pengembangan riset dan teknologi.
Tugas utama DRD NTT selama ini adalah pemetaan riset di daerah
NTT tetapi dalam keberjalanannya fungsi ini tidak berjalan baik.
Peran DRD ini dirasakan berkurang ketika Badan Penelitian dan
Pengembangan (Balitbang), yang merupakan tempat DRD
menginduk dari segi kesekretariatan dan juga pendanaan, diubah
namanya menjadi Badan Diklat dan Litbang. Selain perubahan nama
ini, Badan ini pada implementasinya terlalu fokus pada urusan Diklat
(pelatihan-pelatihan) dibandingkan Litbangnya, sehingga membawa
pengaruh kepada perhatian secara substansif maupun pendanaan
kepada DRD yang berkurang.
76
5.7 DRD Kalimantan Tengah
Dewan Riset Daerah Kalimantan Tengah terbentuk pada tahun 2009.
Keberjalanannya selama 2 tahun ini masih sangat minim aktivitas. Hal
ini dikarenakan adanya hambatan yang disebabkan oleh SK Gubernur
yang perlu direvisi. SK penugasan pejabat DRD selama ini berdasarkan
jabatan, sehingga saat terjadi rotasi ataupun mutasi pejabat
mengakibatkan kurangnya rasa memiliki rasa dan tanggungjawab
untuk melaksanakan tupoksi DRD. Legalitas menjadi penghambat
utama dari keberjalanan DRD Kalimantan Tengah ini, impak lainnya
dari masalah legalitas ini adalah DRD Kalimantan Tengah belum
mendapat surat penugasan untuk menjalin kerja sama dengan Bapeda
sehingga koordinasi dengan Bapeda ataupun institusi terkait lainnya
masih jarang.
Dewan Riset Daerah Kalimantan Tengah juga mengalami masalah di
dalam internal organisasinya. Sebagaimana dikutip dari wawancara
dengan Sekretaris DRD Kal-Teng, Bambang S. Lautt, dibawah ini;
“Pengetahuan pengurus tentang aturan penyelenggaraan
organisasi sepertinya sangat minim. Hal ini diketahui dari tidak
77
tahunya Ketua mekanisme pelantikan dan bagaimana
penyelenggaraan rapat dan sidang yang diperlukan bahkan baru
‘ngeh’ saat SP kegiatan diskusi atau rapat yang dilakukan Komisi
Teknis DRN. Namun, tampaknya dari pengurus juga kurang
proaktif untuk berkomunikasi baik dengan DRD lain atau
berkonsultasi dengan DRN”(Lautt, wawancara, 2011)
Mitra strategis DRD Kal-Teng, Balitbang Kalimantan Tengah, juga
mengalami stagnansi yang sama. Bappeda Kal-Teng tidak dapat
melakukan tugas dan fungsinya dengan baik dikarenakan hal yang
sama belum adanya SK Gubernur yang mengatur pembiayaan dan
juga proses koordinasi antara DRD dengan Bappeda.
Harapan kedepannya untuk Kalimantan Tengah adalah pemerintah,
dalam hal ini Gubernur, segera memberikan SK untuk memperjelas
status dan mekanisme keberjalanan penelitian dan pengembangan di
daerah. Hal lainnya adalah mekanisme pembiayaan untuk DRD
berasal dari DRN sehingga masih dalam satu kesatuan fungsi, dengan
mekanisme seperti diharapkan pendanaan akan lebih cepat. Untuk
melakukan hal tersebut, DRD harus mempunyai hubungan struktural
78
yang jelas dengan DRN. Hal ini dikarenakan apabila penyandang dana
dari Pemerintah Daerah, dapat tidak netral dalam memberikan
rekomendasi
5.8 DRD Kalimantan Timur
Dewan Riset Daerah Kalimantan Timur memiliki tugas dan fungsi
sebagai pemberi masukan kepada Gubernur setempat dari berbagai
kajian mengenai masalah-masalah aktual yang terjadi di daerah
setempat. DRD Kal-Tim menjalankan tugas mingguan untuk
melakukan beberapa hal yaitu:
Advokasi hasil penelitian-penelitian yang sudah dilakukan
untuk dijalankan di Balitbang atau Bappeda dan juga ke DRN.
Dengan harapan dapat dibiayai untuk pengembangan lebih
lanjut.
Rapat Mingguan antara anggota DRD dengan Bappeda.
Agenda utama DRD Kalimantan Timur untuk tahun 2011 adalah;
(1) mengadakan seminar daerah mengenai penghijauan,
(2) pembentukan Jakstrada, (3) Penetapan Arahan Riset Daerah.
79
Mekanisme penyelenggaran DRD selama ini masih banyak hambatan,
terutama dari aspek internal DRD Kal-Tim itu sendiri. Pergantian
anggota dan pejabat menjadikan DRD Kal-Tim sering mengalami
pengubahan haluan sehingga tidak ada satu program yang tuntas
dijalankan. DRD Kal-Tim sudah menghasilkan banyak program tetapi
seringkali program yang sudah diberikan ke Balitbangda berubah
arahan dan menjadi tidak berjalan. Permasalahan pencairan dana juga
menjadi masalah yang cukup mengkhawatirkan di DRD Kal-Tim.
Keterlambatan masuknya dana bisa mencapai satu tahun.
Harapan kedepan adalah memperbanyak elemen dari akademisi dan
praktisi bisnis untuk turut serta memikirkan arahan riset daerah,
seperti dikutip pada wawancara dengan Sekretaris DRD Kalimantan
Timur, Binsar Simangunsong, di bawah ini;
“Idealnya yang di banyak kan adalah Academic dan Business,
karena Academic secara teori kuat, sedangkan Business
mengikuti keinginannya apa jadi tahu kebutuhan. Dan itu akan
menjadi kombinasi yang tepat. Government sedikit saja karena
80
lebih banyak menimbulkan masalah karena diwarnai oleh
mindset yang tidak benar sehingga independensi DRD hilang”
(Simangunsong, wawancara, 2011)
Selain itu diharapkan DRN menjalankan fungsi pendampingannya ke
DRD Kalimantan Timur dengan lebih intensif. Dari segi pendanaan
lebih baik dari DRN sehingga rentang birokrasi masih satu fungsi dan
tidak panjang sehingga dapat lebih transparan dan efisien.
5.9 DRD Sulawesi Selatan
Dewan Riset Daerah Sulawesi Selatan memiliki kondisi yang unik
dibandingkan dengan daerah lain. DRD Sul-Sel secara administratif
dibawah Balitibangda Sul-Sel. Hal ini tentunya membuat fungsi DRD
yang seharusnya bermitra dengan Balitbangda menjadi tidak berjalan
mekanisme koordinasinya. Permasalahan DRD Sul-Sel berawal dari
sakitnya Ketua DRD pada tahun 2009 yang mengharuskan beliau
mundur dan setelah kejadian tersebut DRD vakum sampai sekarang.
81
Keanggotaan DRD banyak dipenuhi oleh akademisi dan Balitbangda
namun kenyataannya di lapangan akademisi sibuk di urusan
universitas masing-masing begitu juga dengan Balitbangda yang
sehari harinya harus menjalankan tugas dari Pemerintah provinsi.
Dengan kondisi tersebut praktis DRD seperti tidak diperhatikan atau
bahkan eksistensinya tidak dirasakan di Sulawesi Selatan. Kondisi
tersebut juga mengakibatkan komunikasi antara DRD dan
Balitbangda mengalami stagnasi. Efek dari hal ini pada akhirnya
adalah terhambatnya pengembangan riset di daerah. Seperti
diutarakan dalam wawancara oleh Prof. Wasir Thalib, Sekretaris DRD
Sul-Sel dibawah ini:
“Dahulu memang DRD diberi kesempatan untuk
menyelenggarakan pertemuan sendiri tapi itu tidak jalan karena
ini kan orang sibuk semua. Akhirnya..sekarang saya lihat.. waktu
itu dikasih uang transport bulanan tapi dianggap tidak efektif
karena yang rajin dan tidak rajin dapat sama.” (Thalib,
wawancara, 2011)
82
Hal serupa juga dikemukakan oleh Rajendra, Ketua Sekretariat DRD
Sulawesi Selatan, seperti dikutip dibawah ini;
“Anggota DRD banyak juga dari Guru Besar Perguruan Tinggi
yang notabene memiliki dedikasi tinggi pada Perguruan Tinggi,
namun litbang tidak dapat men-support atau mengapresiasi
secara layak karena anggaran terbatas.”(Rajendra, wawancara,
2011)
Untuk meningkatkan performansinya kedepan, DRD Sulawesi Selatan
diharapkan dapat membuat dan merealisasikan program-program
yang riil dan sesuai dngan kontekstual permasalahan yang ada di
daerah, sehingga Balitbang merasakan langsung kontribusinya
kepada masyarakat daerah setempat. DRN diharapkan membuat
mekanisme baru dalam hal pendanaan DRD sehingga dapat
mempercepat proses pembiayaan DRD.
Pengembangan riset didaerah Sulawesi Selatan bisa dikatakan tidak
mengalami kemajuan apapun sejak berdirinya DRD pada tahun 2009.
Komitmen pejabat tertinggi daerah, dalam hal ini Gubernur Sulawesi
83
Selatan, dirasa masih belum memperhatikan Penelitian dan
Pengembangan di daerah.
5.10 DRD Maluku
Dewan Riset Daerah Maluku merupakan institusi yang masih baru.
Terbentuk pada tahun 2010, DRD Maluku memiliki alat organisasi
sebagai berikut;
Ketua
Wakil Ketua
Sekretaris
Komisi Sosial Budaya Agama
Komisi Ekonomi
Komisi Infrastruktur
Komisi Hukum, Politik, dan Keamanan
DRD Maluku memiliki dua (2) fungsi utama yaitu (1) memeberi
masukan kepada Gubernur terkait pengembangan riset dan (2)
Memberi arahan riset di daerah-daerah tingkat 2 melalui Bappeda.
Keberjalanannya selama setahun kurang ini masih berfokus kepada
84
penyusunan arahan riset sehingga praktis belum memberikan
pertimbangan kepada Gubernur terkait riset dan belum melakukan
arahan kepada Bappeda mengenai riset yang harus dilakukan
kedepan. Seperti dikutip dari wawancara dengan Ketua DRD Maluku,
Augy Sahailatua, PhD, dibawah ini;
“DRD ini kan organisasi sebenarnya boleh terbilang baru kan
jadi semua orang mencoba beradaptasi, jadi DRD kan tidak
melakukan riset, DRD hanya mengkonsep bagaimana riset itu
bisa terarah dan membantu untuk memantau dan evaluasi
supaya riset itu benar - benar menghasilkan capaian yang
diinginkan, sebenarnya fungsinya lebih banyak kesana”
(Sahailatua, wawancara, 2011)
DRD Maluku bermitra dengan banyak institusi diantaranya
Pemerintah Provinsi, Universitas, dan Balai Penelitian dan
Pengembangan. Koordinasi dengan mitra-mitranya masih berupa
pertemuan informal dan spontan, missal jika terjadi hal-hal yang
mendesak untuk didiskusikan bersama-sama. Ketua DRD Maluku
merasa hubungan dengan mitra-mitranya sampai saat ini belum
85
memberikan keuntungan bagi pihak mitra, seperti dikutip pada
wawancara dibawah ini;
“belum yah saya belum melihat manfaatnya untuk mitra tapi
kami selalu berfikir untuk itu bahwa keuntungan – keuntungan
itu harus ada di mitra, kami punya konsep itu diantara
penyusunan Agenda Riset Daerah..jadi sebenarnya hubungan
dengan mitra itu bisa dimanfaatkan karena punya kepentingan
bersama, jadi dia butuh riset dari kita dan kita butuh dia untuk
melaksanakan agenda kita” (Sahailatua, wawancara, 2011)
Hambatan yang dialami oleh DRD dan mitranya, dalam hal ini
Bappeda, adalah sulitnya mempertemukan kedua belah pihak
dikarenakan kesibukan masing-masing. Hal ini cukup
mengkhawatirkan mengingat seharusnya DRD dan Bappeda bekerja
dalam satu garis koordinasi dan sinergis. Kedua belah pihak
merasakan hal yang sama seperti dikutip pada wawancara dibawah
ini;
“Kendala kita ya itu tadi, kita teman-teman bapak-bapak ibu-ibu
anggota DRDnya ini kan juga pada sibuk, waktu, jadi ketika
86
diminta untuk pertemuan, misalkan kita mengingatkan Pak
Ketua bahwa begini loh Pak, kita harus pertemuan, atau Pak
Ketua yang langsung kontak ke kita, minta pertemuan, kita
fasilitasi, Pak Ketuanya bilang gini gini gini, oh ya sudah
sepakatnya ok bagaimana, hubungi semua anggota untuk bisa
dihadirkan” (Joisangadji, wawancara, 2011)
Harapan kedepan, DRD Maluku berkomitmen untuk menyelesaikan
arahan riset daerah dengan mengacu kepada Arahan Riset Nasional
yang dibuat oleh DRN sehingga dengan adanya ARD (Arahan Riset
Daerah) mekanisme kerja akan lebih terarah dan terukur. Koordinasi
dengan mitra bisa menjadi lebih intensif karena sudah ada acuannya.
DRD juga berharap hubungan dengan DRN bisa lebih intensif dengan
bentuk pendampingan oleh DRN kepada DRD Maluku. Selama
keberjalanannya DRD Maluku merasa dilepas begitu saja oleh DRN
padahal DRN memiliki kapabilitas yang lebih dibandingkan dengan
DRD Maluku. Prof. Sahailatua, Ketua DRD Maluku, mengatakan hal
seperti dibawah ini;
87
“kita sangat perlu masukan DRN untuk supaya kita lebih
mengembangkan diri kan kita di dalam kita yang melaksanakan
kita yang terlibat langsung itu tidak melihat permasalah yang
ada sebaik orang yang dari luar, DRN sebenarnya kita minta
untuk itu, jadi misalnya dia akan melihat Maluku dalam peta
Indonesia, dalam jarak pandang yang berbeda karena dia di luar.
Kita di dalam nih kan kadang – kadang ada internal interest dan
sebagainya itu yang sangat mempengaruhi tapi kalau DRN
melihatnya lebih (obyektif)” (Sahailatua, wawancara, 2011).
DRD Maluku dan Bappeda Maluku mengharapkan dukungan dan
komitmen dari Pemerintah Provinsi Maluku, terutama Gubernur untuk
lebih memperhatikan riset daerah. Mereka merasa selama ini
Pemerintah Provinsi belum memperhatikan pentingnya riset daerah
sehingga kegiatan-kegiatan DRD mengalami stagnasi.
88
6. Analisis Lintas Daerah
Mengacu kembali pada tujuan utama dari kajian ini yaitu (1) mengkaji
berbagai model penyelenggaraan DRD yang sudah berjalan di
Indonesia dan (2) memahami interaksi antara DRD dengan institusi –
institusi terkait. Untuk menjawab kedua tujuan diatas telah dilakukan
wawancara dengan 22 responden yang terdiri dari 10 DRD, 10 Mitra
DRD, 1 orang DRN, dan 1 orang pakar independen. Dalam interview,
pertanyaan yang diajukan mengacu pada tiga hal utama yaitu; (1)
Mekanisme penyelenggaraan DRD, (2) Pola hubungan DRD dengan
Mitra DRD , dan (3) Pola hubungan DRD dengan DRN (daftar
pertanyaan selengkapnya terlampir). Dari hasil wawancara, kajian ini
menemukan bahwa banyak perbedaan dari setiap DRD dalam
menjalankan ketiga hal diatas. Setiap daerah memiliki situasi dan
kondisinya masing yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Kajian ini
juga mengungkapkan kendala, kekurangan, dan saran perbaikan
kedepannya dalam menguatkan peran DRD beserta mitra
strategisnya.
89
6.1 Analisis Mekanisme Penyelenggaraan DRD
Untuk hal pertama, merujuk kembali kepada UU No 18 tahun 2002,
mekanisme penyelenggaraan DRD bertujuan untuk mencapai ketiga
hal dibawah ini yaitu:
a. memberikan masukan kepada Pemerintah Daerah untuk
menyusun arah, prioritas, serta kerangka kebijakan
Pemerintah Daerah di bidang iptek;
b. mendukung Pemerintah Daerah melakukan koordinasi di
bidang iptek dengan daerah-daerah lain;
c. mewakili daerah di DRN ( Perpres No 16/2005 tentang DRN )
Tidak semua daerah menerapkan mekanisme yang sama untuk
mencapai ketiga tujuan di atas. Mekanisme yang digunakan sangat
tergantung dengan kondisi yang ada di setiap daerah. Kutipan
wawancara dengan narasumber di bawah ini menunjukkan bahwa
mekanisme penyelenggaraan DRD sangat kontekstual pada
daerahnya masing-masing:
90
“(yang) kami lakukan (adalah) membuat kegiatan-kegiatan yang
bersifat tematik. Tematik ini didasarkan kepentingan
pembangunan daerah, khususnya provinsi Jawa Tengah. Jadi
misalnya kami lihat di RPJM (Rencana Pembangunan Jangka
Menengah) yang menjadi prioritas pembangunan Jateng, pokok-
pokok kajian kami fokus pada topik-topik tersebut, seperti pada
tahun ini kami fokus di pembangunan jalan tol dan pertanian..”
(Kameo, wawancara, 2011)
“(pada) tahun 2008, DRD DKI tidak melakukan riset tetapi lebih
kepada pengelola anggaran riset. DRD sendiri adalah lembaga
independen tapi tidak melakukan research sendiri. Kita mencoba
menelaah permasalahan yang ada di DKI, bukan melakukan
kajian, menelaah masalah dengan harapan tentunya ini bisa
menjadi masukan kepada gubernur, kemudian gubernur
barangkali menugaskan kepada Bappeda coba ditindaklanjuti
(untuk) lakukan kajian” (Chayaridipura, wawancara, 2011)
91
Dalam konsep Sistem Inovasi Regional sendiri, menurut Cooke (2009),
tidak menihilkan adanya sifat heterogen dari institusi-institusi yang
terlibat. Bahkan, adanya sifat heterogen ini kemudian menjadi salah
satu aspek penting dalam penyusunan sebuah kebijakan inovasi untuk
mendukung penguatan Sistem Inovasi Nasional. Keheterogenan
institusi dan organisasi di dalam sebuah sistem inovasi, baik regional
maupun nasional, mempengaruhi corak interaksi antar organisasi
tersebut. Terbentuknya Sistem Inovasi Regional sangat bergantung
pada interaksi antar institusi (Cooke, 2009) yang kemudian
mendorong berbagai macam inisiatif pembelajaran bersama
(Lundvall, 1992; Nelson, 1993). Pembuat kebijakan perlu
mengembangkan sebuah sistem (termasuk infrastruktur)
pembelajaran bersama yang lahir dari interaksi intensif pihak-pihak
terkait (Cooke et al, 1997).
Hasil wawancara dengan sepuluh DRD terungkap bahwa terdapat
perbedaan mekanisme pengelolaan DRD yang merupakan bukti
terhadap apa yang dikatakan oleh Cooke (2009) bahwa sifat
heterogen institusi terkait tidak dapat dinihilkan. Merujuk pada
92
kutipan wawancara dengan Kameo dan Chayaridipura di atas, salah
satu perbedaan mendasar yang ditemukan pada mekanisme DRD
adalah level keaktifan dalam berinteraksi dengan institusi atau
organisasi terkait. Diungkapkan bahwa DRD Jawa Tengah secara aktif
berkoordinasi dan memberikan rekomendasi sesuai dengan prioritas
Pemerintah daerah Jawa Tengah. Sementara itu, DRD DKI Jakarta
lebih pasif dan melakukan rekomendasi berdasarkan permasalahan-
permasalahan terbaru. Meski demikian, terlihat adanya upaya
menjalankan DRD untuk mencapai ketiga tujuan sebagaimana
tercantum dalam UU No 18 tahun 2002, walaupun pengukuran atau
indikator ketercapaiannya belum ditentukan secara formal di dalam
DRD sendiri.
6.2 Pola Interaksi DRD dengan Mitra Strategis
Untuk hal kedua, pola hubungan DRD dengan mitra strategisnya, dari
hasil wawancara terlihat juga bahwa dengan mekanisme yang
berbeda-beda di tiap daerah menghasilkan pola hubungan yang
berbeda antara masing-masing DRD dengan mitra-mitranya. DRD DKI
Jakarta, misalnya, belum memiliki interaksi yang sinergis dengan
93
mitra strategisnya yaitu Bappeda DKI Jakarta. Seperti dikutip pada
wawancara dibawah ini:
“jadi misalnya Bappeda mengamati ini perlu ada kajian ini, minta
kepada DRD. Sejauh itu anggarannya kita masuk, kalau tidak,
ya ngga bisa. Karena itu yang tadi sifatnya mungkin gubernur
menghendaki tolong kaji yang menyangkut masalah seperti
sekarang ini, masalah transportasi. Ya kita bisa bikin ditelaah
lagi, telaahan masalah strategis” (Chayaridipura, wawancara,
2011)
Dari kutipan diatas, dapat dilihat bahwa hubungan DRD DKI dengan
mitranya masih bersifat satu arah yaitu dari inisiatif Bappeda terkait
kebutuhan kajian terhadap DRD. Lain halnya dengan DRD Sumatera
Selatan, mereka memiliki hubungan yang cukup sinergis dengan
mitra-mitranya. Mitra DRD Sumatera Selatan tidak hanya Bapeda
Sumatera Selatan, tetapi juga universitas, lembaga bank, dan
lembaga riset. Pola hubungan DRD Sumatera Selatan yang cukup baik
ini dikarenakan Ketua DRD Sumatera Selatan saat ini menerapkan
dan mengkampanyekan konsep Sistem Inovasi Daerah (SIDa) secara
94
luas dan intensif, dimana konsep SIDa di Sumatera Selatan dapat
dilihat pada Gambar 2-1 di bab Kajian Pustaka. Konsep ini disambut
baik dan antusias oleh mitra-mitra mereka. Kutipan wawancara
dengan DRD Sumsel seperti dibawah ini;
“saya melihat bahwa di setiap kontak saya dengan lembaga dan
staff selalu produktif, inovatif, dan selalu diapresiasi. Jadi,
ternyata kalau suatu lembaga memiliki konsep, memiliki
kepemimpinan yang sungguh-sungguh, ya kan? Dan dia memiliki
jaringan, hubungan baik dengan semua lembaga lain. Ini akan
sangat memacu kinerja dari staff lembaga yang bersangkutan
(mitra strategis_. Nah, oleh karena itu, ketika saya ditunjuk
sebagai ketua DRD nah ini saya ingat. Berarti satu harus siap
konsep, contoh konsep adalah SIDa” (Sjarkowi, wawancara,
2011)
Hal ini juga senada dikatakan oleh mitra DRD Sumatera Selatan yaitu
Balitbangda Sumatera Selatan, seperti dikutipan wawancara dibawah
ini;
95
“Harapan terhadap DRD sebagai mitra Balitbangda sebagian
sudah tercapai dan meningkatkan kinerja Balitbangda baik
kebijakan penelitian dan pengembangan maupun masukan –
masukan yang disampaikan oleh DRD terhadap Pemerintahan
Prov. Sumsel” (Eko, wawancara, 2011)
Hal ketiga yang dikaji dalam penelitian ini adalah pola hubungan DRD
dengan DRN. Dari ketiga daerah menunjukkan konsistensi keterkaitan
pola hubungan DRD dengan Mitra dan mekanisme penyelenggaran
masing-masing DRD dengan pola hubungan DRD dengan DRN.
Seperti dapat dilihat pada DRD Sumatera Selatan yang memiliki
konsep SIDA yang cukup baik, sehingga pola hubungannya dengan
DRN juga cukup baik, sebagaimana dikutip dari hasil wawancara
dibawah ini;
“iya kita dengan DRN ini kan secara fungsional, Ketua DRD
adalah anggota DRN . gitu kan. Secara otomatis, jadi apapun
yang terjadi di DRN akhirnya kita tahu, ya kan... nah, jadi tinggal
lagi sebagai makanya tadi saya katakan sebagai kepemimpinan
yang serius, sungguh-sungguh” (Sjarkowi, wawancara, 2011)
96
Kutipan diatas menunjukkan bahwa DRD Sumatera Selatan menjalin
hubungan yang cukup intensif dengan DRN di Jakarta. Sehingga
konsep penerapan SIDa di Sumatera Selatan dapat diketahui dan
didukung penuh oleh DRN. Hal ini yang perlu dilakukan oleh DRD DKI
Jakarta yang belum melakukan koordinasi yang cukup intensif dengan
DRN sehingga terlihat pola kerja yang terbatas pada mengelola
anggaran yang diberikan dari Bappeda DKI Jakarta. Hal ini dapat
dilihat pada kutipan wawancara dibawah ini;
“ya kami komunikasi itu sebetulnya secara formal hanya baru
satu kali, saya lupa itu tahun 2010, bulan apa. Saya minta ke
Bappeda, tolong diselenggarakan rapat koordinasi antara
Bappeda, DRD, DRN, LIPI kemudian Menristek, beberapa
perguruan tinggi untuk mencoba membahas bagaimana
mekanisme penyelenggaraan research...mohon maaf
komunikasi masih belum sampai (ke DRN) “ (Chayaridipura,
wawancara, 2011)
97
Berkaitan dengan hubungan antara DRN dan DRD ini, keberadaan
perwakilan DRD sebagai anggota DRN akan memiliki peran yang
sangat penting bagi upaya peningkatan iptek nasional. Sesuai dengan
tugas yang dicantumkan dalam UU No 18/2002, DRD juga berperan
sebagai agen pembangunan iptek di daerah. Melalui keberadaan
perwakilan DRD di DRN, informasi strategi pembangunan nasional
iptek akan secepatnya sampai di daerah. Informasi yang diperoleh
dapat dielaborasi oleh masing-masing daerah menjadi bahan
masukan kebijakan pemerintah daerah, yang pada gilirannya juga
menjadi umpan balik bagi kebijakan pembangunan iptek nasional.
Selain itu, keberadaan perwakilan DRD tersebut dapat dioptimalkan
perannya dalam rangka membangun jaringan lembaga iptek nasional.
Peran tersebut dapat dilaksanakan oleh DRD, apabila kedudukannya
sebagai anggota DRN benar-benar aktif.
Dengan fakta yang diungkapkan di atas dapat disimpulkan bahwa
mekanisme penyelenggaraan DRD, pola hubungan DRD dengan
Mitra, dan pola hubungan DRD dengan DRN sangat kontekstual di
setiap daerah. Tak dipungkiri bahwa masing-masing institusi dan
98
organisasi yang terlibat –baik DRN, DRD maupun mitra-mitranya–
memiliki karakteristik berbeda yang kemudian dapat membentuk
kompetensi masing-masing daerah. Meski demikian, terkait dengan
konsep sebuah sistem, tetap diperlukan penyelarasan kegiatan
penyelenggaraan DRD yang diikuti dengan penyusunan seperangkat
indikator (UNIDO, 2003) untuk menilai perkembangan setiap DRD.
Daerah yang memiliki mekanisme yang cukup jelas dan dipimpin oleh
seorang pemimpin yang memiliki komitmen akan mempunyai pola
hubungan yang sinergis dengan mitranya dan DRN yang
menghasilkan pencapaian peningkatan IPTEK di daerahnya yang lebih
baik daripada daerah yang belum menerapkan mekanisme yang
cukup kuat.
Secara lebih lanjut, berdasarkan DRN (2002), DRD yang merupakan
dewan yang terlibat di dalam penyusunan kebijakan, termasuk dalam
kategori lembaga penunjang dalam kategorisasi kelembagaan yang
berkaitan dengan perkembangan Sistem Inovasi Nasional (SINas).
Peran DRD ini diharapkan dapat turut serta mendukung peningkatan
99
kemampuan Iptek, dimana peningkatan ini dapat tercapai apabila
SINas dan SIDa dapat berjalan dengan baik.
Hal ini juga didukung oleh Zulkieflimansyah (2006) yang menyatakan
bahwa salah satu elemen utama sistem inovasi nasional adalah
adanya program publik yang mendukung pengembangan dan transfer
teknologi. Dimana dalam hal ini, DRD diharapkan dapat memberikan
masukan kepada Pemerintah Daerah dalam merancang program
publik ini. Hal inilah yang berdasarkan analisa awal ini dapat terlihat di
DRD Sumatera Selatan yang sedang mengembangkan konsep SIDa.
6.3 Harapan Penyelenggaraan DRD dan Interaksi DRD dengan
Mitra
Mekanisme penyelenggaraan DRD dalam rangka memperkuat SINas
masih banyak mengalami kendala dan prmasalahan. Banyak harapan-
harapan yang diutarakan oleh para narasumber untuk perbaikan
penyelenggaraan DRD kedepannya.
100
6.3.1 Kelembagaan DRD
Dari berbagai narasumber yang kami wawancara mayoritas
mengatakan permasalahan DRD ada di kelembagaan DRD itu sendiri.
Kelembagaan DRD tersebut mencakup 3 hal yaitu; (1) Kepegawaian,
(2) Pembiayaan, dan (3) Struktur Organisasi.
Mengacu kembali kepada UU No 18 tahun 2002 dan PP No. 41 tahun
2007 mengenai struktur kelembagaan daerah, dimana unsur DRD
hendaknya berisikan elemen dibawah ini:
1. Unsur Pimpinan Daerah (Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan
Wakil Bupati)
2. Unsur Legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah / DPRD) dan
Sekretariat DPRD
3. Sekretariat Daerah (Sekda, Biro / Badan, Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD))
4. Lembaga-Lembaga Teknis Daerah
Peraturan ini membuat DRD menjadi sulit untuk bergerak
dikarenakan anggota dari DRD memiliki tugas di institusi lain
101
sehingga tidak dapat fokus menjalan fungsi DRD. Banyak daerah yang
mengalami kesulitan dalam menjalankan DRD karena anggotanya
tidak ada ataupun jarang bekerja di DRD. Seperti dikutip dari
wawancara dengan DRD Sumatera Utara dibawah ini;
“dari dua puluh delapan anggota yang betul-betul aktif dan hadir
selalu setengahnya, setengahnya lagi itu sangat sulit ada
harapan hadir, untuk itu menjadi timpang, padahal diperlukan
adanya dedikasi karena ini menentukan arah kebijakan
penelitian, pengembangan penelitian“ (Tahier, wawancara,
2011)
Hal senada juga diungkapkan oleh Sekretaris DRD Sulawesi Selatan;
“Dahulu memang DRD diberi kesempatan untuk
menyelenggarakan pertemuan sendiri tapi itu tidak jalan karena
ini kan orang sibuk semua. Akhirnya..sekarang saya lihat.. waktu
itu dikasih uang transport bulanan tapi dianggap tidak efektif
karena yang rajin dan tidak rajin dapat sama.” (Thalib,
wawancara, 2011)
102
Konflik di dalam organisasi DRD ini adalah akibat dari UU dan PP yang
dibuat oleh pemerintah. Oleh karena itu, perlu adanya kajian ulang
mengenai UU No 18 tahun 2002 dan PP no 41 tahun 2007, sehingga
DRD memiliki staf yang berdedikasi penuh kepada DRD tentunya
dengan tetap mempertimbangkan kesejahteraan staf yang akan
bertugas penuh di DRD.
Aspek kelembagaan lainnya adalah pembiayaan kegiatan DRD. DRD
untuk menjalankan tugas dan fungsinya sebagaimana diamanatkan
oleh UU No 18 Tahun 2002 memerlukan dana yang memadai,
terutama untuk mengajukan rekomendasi kepada Pemerintah
Daerah. Namun, pada keberjalanannya pembiayaan ini banyak
mengalami keterlambatan yang bisa mencapai 1 tahun lamanya.
Penyebab dari lamanya pembiayaan ini adalah dana yang
dianggarkan untuk DRD berasal dari anggaran pemerintah daerah
setempat sehingga pencairan dana harus melalui tahapan birokrasi
yang cukup lama. Hal ini diperumit oleh kebijakan dari kepala daerah
setempat (gubernur) yang mayoritas tidak melihat pentingnya riset di
daerah sehingga DRD setempat tidak berjalan sebagaimana
103
fungsinya. Sebenarnya untuk hal ini, DRD mempunyai landasan
hukum yang memadai untuk menuntut komitmen dari Pemerintah
Daerah melalui Balitbangda / Bappeda dalam meningkatkan riset dan
iptek di daerah, yaitu mengacu pada Pasal 27, UU No. 18 Tahun 2002
sebagaimana berikut:
“Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengalokasikan
anggaran sebesar jumlah tertentu yang cukup memadai untuk
memacu akselerasi penguasaan, pemanfaatan, dan pemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi.”
Contoh daerah yang memiliki Kepala Daerah yang memprioritaskan
riset adalah Jawa Tengah. Koordinasi Gubernur Jawa Tengah dengan
DRD dan Balitbangda setempat berjalan secara rutin, sehingga
Gubernur memahami dan mendukung program-program riset yang
diusulkan oleh DRD dan Balitbangda yang secara langsung
mengakibatkan pendanaan DRD berjalan lancar. Pencapaian DRD
Jawa Tengah terlihat sangat baik dari tahun ke tahun dan koordinasi
dengan mitra strategisnya berjalan sangat baik. Selain komitmen dari
Kepala Daerah, harapan akan pendanaan DRD berasal dari induk DRD
104
yaitu Dewan Riset Nasional banyak diutarakan oleh para narasumber
kajian ini, salah satunya adalah Sekretaris DRD Kalimantan Tengah,
kutipan wawancara sebagai berikut;
“Dana dari pemprov seringkali terlambat masuk ke kas
DRD…bisa sampai 3-6 bulan, hal ini menghambat kerja DRD…
Harapan kedepan, pembiayaan DRD dapat langsung berasal dari
DRN, sebagai institusi yang sebenarnya adalah jangkar dari
DRD-DRD didaerah... mungkin dananya bisa masuk lebih cepat
karena fokusnya sama-sama untuk riset..kalau pemprov banyak
kerjaan lainnya..”(Lautt, wawancara, 2011)
Namun, struktur organisasi DRD yang diinginkan berada langsung
dibawah DRN ini tidak dimungkinkan oleh UU No 18 tahun 2002 dan
PP no 41 tahun 2007.
Dari segi struktur koordinasi DRD yang berada dibawah Pemerintah
Daerah menyebabkan DRD kehilangan fokus dan prioritasnya dalam
melakukan riset. Perubahan struktur koordinasi DRD juga diharapkan
oleh para narasumber, mereka berharap DRD mendapatkan masukan
105
secara intensif dari Dewan Riset Nasional. Ketua DRD Maluku, Augy
Sahailatua, PhD mengungkapkan harapannya ini dalam kutipan
wawancara berikut;
“kita sangat perlu masukan DRN untuk supaya kita lebih
mengembangkan diri kan kita di dalam kita yang melaksanakan
kita yang terlibat langsung itu tidak melihat permasalah yang
ada sebaik orang yang dari luar, DRN sebenarnya kita minta
untuk itu..” (Sahailatua, wawancara, 2011)
Hal ini juga didukung oleh Kepala Balitbangda Jawa Tengah, Agus
Suryono, sebagaimana petikan wawancara berikut:
“perlu ada suatu hubungan struktural komunikasi antara DRN,
DRD provinsi, dan DRD kabupaten. Ini yang belum sering. kalau
DRD provinsi okelah, tapi begitu DRD kabupaten, kota.. ini yang
mereka kurang. Jadi inilah, kalau itu ada suatu komunikasi DRN,
DRD, sama DRD kabupaten yang sering komunikasi secara
bareng, ini akan bisa memberikan advokasi kepada kepala
daerahnya” (Suryono, wawancara, 2011)
106
Dalam menjalankan tugasnya, peran DRD seharusnya dapat dipahami
dengan baik oleh institusi – institusi lainnya di daerah. Beberapa
pengalaman yang didapatkan dengan interaksi dengan institusi lain,
terutama dengan institusi pemerintah, seringkali mereka masih
mempertanyakan perbedaan antara DRD dan Balitbangda,
sebagaimana petikan pakar independen, Atang Sulaeman berikut:
“sepengetahuan saya masih ada beberapa daerah yang masih
mempertanyakan apa bedanya Balitbang dengan DRD. Kalau itu
belum di clear kan dengan baik, dimana birokrasi masih
menganggap dewan riset itu saingan dalam litbang, itu suatu
masalah besar menurut saya, dan hal tersebut harus di
klarifikasi,” (Sulaeman, wawancara, 2011)
Sebagai kesimpulan, dalam aspek kelembagaan DRD ada tiga (3)
aspek yang dapat diperbaiki untuk meningkatkan performansi DRD
yaitu (1) Kepegawaian DRD sebaiknya fokus untuk bertugas di DRD
sehingga staf DRD tidak memiliki jabatan di institusi lain, (2)
Pembiayaan DRD melalui Balitbangda / Bappeda hendaknya
mempunyai pos khusus sejak perencanaan dana yang didapatkan
107
Balitbangda / Bappeda, (3) Interaksi rutin dan intensif dengan DRN
yang sebaiknya secara jelas dituangkan dalam AD/ART institusi DRD,
(4) Sosialisasi ke perangkat daerah mengenai tugas dan fungsi DRD
6.3.2 Sinkronisasi Program kerja DRD dengan Mitra
Kajian Penguatan DRD sebagai bentuk penguatan sistem inovasi
daerah (SIDa) pada akhirnya bermuara pada terbentuknya sistem
inovasi di Indonesia. Sistem inovasi nasional adalah suatu hubungan
atau jaringan antar elemen-elemen (industri, akademisi, pemerintah,
dan masyarakat sipil) yang memiliki peran dalam mewujudkan
interaksi dalam pertukaran pengetahuan, difusi teknologi, dan
produksi sehingga terwujud peningkatan inovasi di suatu negara.
Pendekatan ilmu sistem inovasi nasional menekankan pada aliran
informasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi diantara manusia,
perusahaan, dan institusi dimana aliran tersebut adalah kunci dalam
penciptaan proses inovasi (Lundvall, 2007). Sebuah hubungan yang
kompleks diantara pemain dalam sistem inovasi nasional-industri
(business), pemerintah (policy maker), perguruan tinggi/institusi riset
108
(university), dan masyarakat (society)-akan menghasilkan inovasi dan
pengembangan teknologi.
Mengacu pada pernyataan Lundvall (2007) diatas bahwa aliran
informasi adalah alat utama untuk memujudkan sinkronisasi antar
institusi aktor-aktor penggiat inovasi. Dalam konteks sistem inovasi
daerah (SIDa) di Indonesia, aktor inovasi yang berjalan adalah DRD
dan Bappeda/Balitbangda. Proses komunikasi dan koordinasi antar
kedua aktor tersebut tidak berjalan dengan baik di semua daerah.
Berikut beberapa kutipan wawancara yang menunjukkan kondisi
tersebut;
“DRD diharapkan dapat mendukung kebijakan-kebijakan program
kita. Secara akademis kan mereka lebih mengetahui kondisi apa
yang di Sumatra Utara, jadi kita untuk menyusun program dapat
meminta masukan hal-hal apa yang perlu kita lakukan untuk
program penelitian ke depan“ (Iwan, wawancara, 2011)-
Balitbangda DRD Sumatera Utara
109
“belum yah saya belum melihat manfaatnya untuk mitra tapi kami
selalu berfikir untuk itu bahwa keuntungan – keuntungan itu harus
ada di mitra, kami punya konsep itu diantara penyusunan Agenda
Riset Daerah..jadi sebenarnya hubungan dengan mitra itu bisa
dimanfaatkan karena punya kepentingan bersama, jadi dia butuh
riset dari kita dan kita butuh dia untuk melaksanakan agenda kita”
(Sahailatua, wawancara, 2011)-Ketua DRD Maluku
Dua kutipan diatas menunjukkan bahwa kedua aktor inovasi daerah
masih belum bekerja secara sinergis karena belum adanya komunikasi
yang berjalan baik antar kedua pihak. Mengacu literatur West dan
Turner (2001) bahwa komunikasi yang baik atau efektif adalah ketika
komunikan dan komunikator memiliki persepsi atau pengertian yang
sama akan suatu hal. Dimana pencapaian ini dapat terjadi ketika
adanya persamaan melalui tahapan menjadi bersama melalui
komunikasi (West dan Turner, 2001). Dalam proses komunikasi DRD
dengan Bappeda/Balitbangda terlihat belum adanya persepsi yang
sama mengenai riset daerah, sehingga komunikasi antar mereka tidak
berjalan dengan baik. Arahan Riset Nasional harusnya menjadi
110
persepsi yang sama untuk kedua belah pihak namun masih perlu
peran Pemda/Pemprov untuk menjambatani kedua aktor ini. Dengan
adanya komunikasi yang berjalan efektif diharapakan DRD dan
Balitbangda dapat bersinkronisasi untuk menjalankan riset di daerah
melalui pembuatan program riset secara bersama-bersama. Program
riset tersebut harapannya menjadi sebuah pekerja bersama antara
DRD dengan Balitbangda.
6.3.3 Koordinasi DRD dengan DRN
DRD berada di bawah garis koordinasi Pemerintah Daerah setempat.
Kondisi ini terlihat ambigu mengingat DRD merupakan sebuah
institusi yang bertugas sebagai pemberi masukan kepada Pemda
dalam mengembangkan riset daerah. Selain itu, arahan
pengembangan riset di daerah, antara lain diejawantahkan dari
Arahan Riset Nasional (ARN) yang dibuat oleh DRN. Sehingga, untuk
efisiensi dan efektivitas keberjalanan riset nasional dan daerah DRD
harus berkoordinasi secara langsung baik struktural maupun
fungsional. Pada kenyataannya, proses ini berjalan kurang baik.
111
Seperti dikutip dari wawancara dengan Suryono, Kepala Balitbangda
Jawa Tengah dan Daniel Kameo, Ketua DRD Jawa Tengah berikut
“perlu ada suatu hubungan yang bukan struktural komunikasi
antara DRN, DRD provinsi, dan DRD kabupaten. Ini yang belum
sering. kalau DRD provinsi okelah, tapi begitu DRD kabupaten,
kota.. ini yang mereka kurang. Jadi inilah, kalau itu ada suatu
komunikasi DRN, DRD, sama DRD kabupaten yang sering
komunikasi secara bareng, ini akan bisa memberikan advokasi
kepada kepala daerahnya” (Suryono, wawancara, 2011)
“Akan lebih baik kalau mengetahui permasalahan nasional ini
secara ‘bottom-up’. DRN bisa membahas permasalahan secara
nasional, dan bisa minta masukan secara ‘bottom up’ dari DRD.
DRN bisa mengambil masukan dari DRD sesuai porsinya, dan
DRD bisa menyuarakan aspirasinya untuk DRN. Seringkali
kebijakan yang datang dari pusat itu tak bisa diterapkan secara
optimal di daerah. Daerah belum tentu punya pemikiran yang
sama atau bahkan mengerti apa yang dibicarakan” (Kameo,
wawancara, 2011)
112
Hal ini juga didukung oleh Sekretaris Dewan Riset Nasional, Dr. Tusy
Adibroto, mengutip pernyataan beliau di bawah ini
“komunikasi dengan DRN sangat minim, yang ada adalah kalau
ada kegiatan kita mengundang. Ya jadi lebih formal, tapi ya
sudah sampe sekian saja, tidak ada kelanjutan apapun.”
(Adibroto, wawancara, 2011)
Padahal DRD-DRD ini memberi harapan besar terhadap hubungan
DRN, sebagaimana kutipan pernyataan Ketua DRD Jawa Tengah
Periode 2006-2009, Prof. Siti Fatimah Muis, berikut
“Harapan terhadap hubungan dengan DRN dan DRD Provinsi,
maupun DRD Kabupaten adalah adanya networking yang kuat
antara seluruh Dewan Riset ini. Dimana dalam hal ini, di tingkat
nasional fasilitator untuk hubungan para DRD seluruh Indonesia
adalah DRN. Sedangkan untuk tingkat daerah, DRD Provinsi
dapat menjadi fasilitator para DRD Kabupaten/Kota.” (Muis,
wawancara, 2011)
113
Untuk mewujudkan harapan tersebut dan mengatasi permasalahan
yang ada selama ini, DRN sudah memikirkan strategi yang sesuai
untuk meningkatkan komunikasi antara DRN dengan DRD, sehingga
akan terjadi kerjasama yang baik. Hal ini ditunjukkan petikan
wawancara dengan Dr. Tusy Adibroto berikut
“Kami mulai memikirkan bagaimana kita lebih mempererat
kerjasama antar DRN dan DRD, tapi ini belum dilaksanakan, ini
baru berpikir dengan misalnya kita mencari “mainan bersama”
sehingga mau tidak mau ada suatu pekerjaan bersama, dimana
akhirnya kita juga berkomunikasi karena memang harus
dilaksanakan dan dipertanggung jawabkan. Dan yang kedua,
kita juga saat ini sedang mengembangkan di DRN yang disebut
Open Method of Research Coordination (OMRC), nah itu saya
berharap lewat OMRC kita bisa berhubungan erat dengan DRD
malahan ada DRD yang sudah menyatakan keinginannya ingin
adopt OMRC” (Adibroto, wawancara, 2011)
Pernyataan ini juga didukung Sulaeman (wawancara, 2011) yang
mengharapkan adanya forum rutin DRN-DRD yang diselenggarakan
114
di daerahyang berbeda-beda, dan pentingnya OMRC, sebagaimana
petikan wawancara berikut:
“Menurut saya forum komunikasi DRN-DRD itu penting karena
komunikasi antar anggota DRD pun bisa terjadi, tidak perlu
melalui DRN kan, antar mereka saja. Nah pada saat DRN punya
informasi atau punya sharing apa pun akan mudah
menyampaikannya dalam forum aja, apalagi DRN punya OMRC,
itu saya pikir akan kuat apabila ada dasar ikatannya dulu. kalau
saya berpendapat, OMRCC itu hanya sebuah alat saja,
bagaimana sebuah komunikasi itu berkomunikasi dan saling
mencari tau apa yang mereka lakukan” (Sulaeman, wawancara,
2011)
Dengan adanya OMRC, harapannya koordinasi antara DRN, DRD,
Bappeda, Balitbangda, bahkan ke universitas dan lembaga riset serta
industri dapat berjalan sinergis dan saling mendukung satu sama lain.
Sehingga Sistem inovasi baik di daerah maupun nasional dapat
mencapai cita-cita untuk meningkatkan kapasitas riset dan iptek di
tanah air.
115
6.4 Penyelenggaraan DRD untuk Memperkuat SINas dan SIDa
Berdasarkan Porter (1990), makna daya saing bangsa adalah
produktivitas nasional yang melibatkan berbagai pihak stakeholders
sejak dari hulu – hilir suatu produk, yang dalam hal ini bermakna multi
disiplin, multi sektor, multi kementerian. Dalam hal keunggulan daya
saing suatu bangsa secara internasional, pemerintah menjadi unsur
penting yang dapat menentukan kompetisi skala internasional di
masa globalisasi ini. Kebijakan pemerintah, khususnya kebijakan
pajak dan peraturan-peraturan, menjadi faktor penentu dalam
penentu keputusan berbagai pihak yang akan mengembangkan
industri di negara tersebut (Porter, 1990). Misalnya dalam hal alokasi
modal, dimana faktor keuntungan jangka panjang yang lebih
diperhatikan daripada hanya jangka pendek.
Berbagai negara seperti Jepang dan Republik Korea dapat menjadi
contoh sukses negara yang mendapat dukungan dari kebijakan
pemerintahnya. Oleh karena itu, dibutuhkan stabilitas sistem yang
dapat membuat industri terus bekerja dengan optimal. Pemerintah
pusat dan daerah dapat berperan secara menonjol dalam kesuksesan
116
industri nasional dengan melakukan sinergi kebijakan yang efektif dan
efisien. Kesuksesan ini dapat terjadi apabila suatu negara dapat secara
mandiri dan mengembangkan diri dalam meningkatkan kemampuan
nasionalnya, terutama dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi (iptek). Sehingga pada akhirnya peningkatan daya saing
bangsa dapat tercapai.
Perkembangan iptek di Indonesia belum dapat memberikan
sumbangan yang signifikan bagi pembentukan keunggulan posisi
(positional advantage) Indonesia di tengah dinamika perdagangan
global. Sementara itu, posisi perdagangan Indonesia semakin
menurun karena adanya kecenderungan pasar yang semakin
didominasi oleh produk-produk asing yang berbasis teknologi yang
lebih kompetitif. Kondisi tersebut tercermin pada Global
Competiveness Index (GCI) yang dimuat dalam The Global
Competiveness Report 2009-2010, menunjukkan bahwa Indonesia
menempati peringkat 54 dari 134 negara dalam hal Indeks Daya Saing.
Salah satu dari 12 pilar daya saing yang diukur oleh badan ini adalah
daya inovasi suatu bangsa. Dalam hal ini Indonesia berada pada
117
urutan ke-40. Menurut laporan The Global Competiveness Report 2009-
2010 tersebut, daya inovasi Indonesia terkendala oleh: kapasitas
inovasi nasional yang masih rendah (menempati peringkat ke 44);
kolaborasi antara universitas, litbang, dan industri yang masih perlu
dibangun (peringkat ke 43); dan penggunaan paten sebagai alat
perlindungan hak cipta penemu dan sekaligus alat untuk diseminasi
teknologi yang perlu dibangun lebih baik (peringkat ke 81).
Perkembangan di berbagai negara juga menunjukkan bahwa faktor-
faktor lokalitas semakin disadari sebagai faktor yang menentukan
keunggulan daya saing (Taufik, 2010). Hal ini juga sebenarnya sangat
relevan dengan kondisi Indonesia dan disadari oleh pemerintah dan
pemangku kepentingan lainnya. Otonomi daerah, ketersebaran
geografis, dan keanekaragaman sosial dan budaya Indonesia sudah
semestinya menjadi faktor penting bagi penguatan SIDa yang
merupakan pilar penting dalam penguatan SINas. Oleh karena itu,
dalam kerangka penguatan sistem inovasi, Taufik (2010) menekankan
bahwa faktor lokalitas kedaerahan sangat penting bagi efektivitas dan
efisiensi pengembangan kemitraan iptek di Indonesia.
118
Faktor lokalitas yang sangat menentukan ini juga dirasakan oleh DRN
dan Kementerian Riset dan Teknologi, dimana Adibroto (wawancara,
2011) menyatakan bahwa Kementerian Riset dan Teknologi yang
mempunyai tema penguatan SINas ini, juga harusnya nanti dapat
dijabarkan secara baik di daerah-daerah. Dalam hal ini, Adibroto
(wawancara, 2011) menyatakan bahwa yang penting adalah
bagaimana menyebarluaskan paradigma inovasi itu sampai ke daerah.
Salah satu caranya adalah penyediaan database hasil-hasil penelitian
maupun local knowlegde yang ada, dimana salah satunya yang dapat
dimanfaatkan adalah Open Method of Research Coordination (OMRC)
yang dikembangkan DRN. Berdasarkan database tersebut kemudian
dapat dikaitkan dengan kebutuhan daerah yang ada dan potensi yang
ada, maka setiap daerah dapat membuat rencana-rencana jangka
panjang dari produk-produk unggulan daerah (Adibroto, wawancara,
2011).
119
Dengan memperhatikan SINas dan SIDa ini, Taufik (2005)
mengungkapkan bahwa terdapat enam agenda strategis kebijakan
inovasi yang perlu dikembangkan di Indonesia ke depan, yaitu:
1. Mengembangkan (reformasi) kerangka umum yang kondusif bagi
perkembangan inovasi dan bisnis;
2. Memperkuat kelembagaan dan daya dukung litbang iptek dan
meningkatkan kemampuan absorpsi dunia usaha, khususnya
UKM;
3. Menumbuh kembangkan kolaborasi bagi inovasi dan
meningkatkan difusi inovasi, praktik baik/terbaik dan/atau hasil
litbangyasa;
4. Mendorong budaya kreatif – inovatif;
5. Menumbuhkembangkan dan memperkuat keterpaduan pemajuan
sistem inovasi dan klaster industri nasional dan daerah;
6. Penyelarasan dengan perkembangan global.
Kemitraan yang sinergis di daerah, antar daerah, kemitraan nasional
dan internasional semakin penting bagi penguatan sistem inovasi dan
karenanya perlu terus dikembangkan. Pada gilirannya, sistem inovasi
120
yang semakin kuat akan berkontribusi pada peningkatan daya saing
dan penguatan kohesi social (Taufik, 2010).
Secara lebih lanjut, keberadaan lembaga Dewan Riset di Indonesia,
yaitu DRN dan DRD, menuntut terbentuknya jaringan iptek yang
semakin luas dan kompleks dan dapat berperan lebih besar dalam
rangka mewujudkan iptek sebagai pendukung perkembangan
perekonomian, peningkatan daya saing dan kemajuan peradaban
bangsa.
Pada kenyataannya di lapangan, masih banyak DRD yang
mengeluhkan tidak adanya komitmen dari pemerintah daerah dalam
membangun SIDa di daerahnya. Sebagai contoh adalah
pernyataan dari sekretaris DRD NTT, Keron Petrus (wawancara,
2011) yang menyatakan bahwa dalam membangun SIDa maupun
mendesain Jakstrada yang komprehensif, DRD membutuhkan
dukungan pendanaan yang relatif tinggi. Namun, hal ini belum terlihat
mungkin karena belum adanya pemahaman yang baik di daerah
mengenai manfaat SIDa.
121
Namun, di beberapa daerah lainnya ditemukan bahwa Pemerintah
Daerah menyadari pentingnya inovasi ini. Dimana salah satunya
adalah sebagaimana dalam Retnaningsih (2011), salah satu Misi
Pembangunan Sumsel ke-5 adalah:
“Membangun dan menumbuhkembangkan pusat-pusat
inovasi yang berbasis pada perguruan tinggi dan lembaga
penelitian untuk meningkatkan nilai tambah dan produktivitas
sektor ekonomi berkelanjutan”
Dimana dalam hal ini, Kepala Badan Penelitian, Pengembangan dan
Inovasi Daerah Sumatera Selatan, Ibu Eko (wawancara, 2011)
mengharapkan adanya ide/gagasan DRD secara berkesinambungan
dapat disampaikan ke Pemerintah Daerah Sumatera Selatan
berkaitan dengan percepatan inovasi di Sumatera Selatan. Hal ini juga
ditanggapi baik oleh Sjarkowi (wawancara, 2011) selaku Ketua DRD
Sumatera Selatan yang menyatakan komitmennya bahwa memang
sejak awal menjadi Ketua DRD, beliau telah menyiapkan konsep SIDa.
122
Perhatian terhadap pengembangan SIDa ini juga ditunjukkan oleh
provinsi Jawa Tengah. Dalam hal ini, Suryono (wawancara, 2011)
selaku Kepala Balitbangda Jawa Tengah menyampaikan bahwa
kegiatan utama yang sedang dilakukan di Balitbang Jawa Tengah
adalah peningkatan SIDa berbasis klaster, dimana dalam hal ini dibagi
menjadi 35 klaster berdasarkan jumlah kabupaten di Jawa Tengah.
Setiap klaster ini mempunyai produk unggulan daerahnya masing-
masing. Konsep SIDa berbasiskan klaster di Jawa Tengah ini
ditunjukkan gambar berikut:
Source: Suryono (2011)
Gambar 6-1 Konsep SIDa Jawa Tengah
123
Dalam pengembangan SIDa ini, interaksi antara Balitbangda dan DRD
juga diperhatikan, sebagaimana kutipan wawancara dengan Kepala
Balitbangda berikut:
”Kita kerja sama dalam rangka pengembangan litbang Provinsi
Jawa Tengah dengan DRD sudah cukup bagus. Kita duduk
bersama DRD untuk menyamakan persepsi kebijakan-kebijakan
penelitian dalam rangka pengembangan sistem inovasi daerah,
khususnya kluster. Nah itu yang kita sangat disupport sekali oleh
DRD, karena juga DRD merasa bahwa dalam rangka
meningkatkan daya saing ini, bagaimana kompetensi daerah itu
dikembangkan dan pendekatannya itu melaui pendekatan
kluster, jadi pemikiran kita sama” (Suryono, wawancara, 2011)
Keberhasilan implementasi konsep SIDa di Jawa Tengah dan
Sumatera Selatan ini tidak terlepas dari system komunikasi yang baik
yang dibangun semua pihak, terutama DRD, Balitbangda, dan
Pemerintah Daerah. Sebagaimana Ruben & Stewart (1998)
menjelaskan bahwa salah satu fungsi utama komunikasi adalah dalam
mengerti dan memahami suatu keadaan dan melakukan hubungan
bermakna seperti melakukan perubahan sosial.
124
Dari berbagai contoh diatas dapat terlihat bahwa kondisi daerah
berbeda-beda. Namun, penyelenggaraan DRD yang baik dan juga
interaksi dengan para mitra yang dibangun dengan baik akan
mendukung penguatan khususnya SIDa di daerah dan secara
keseluruhan SINas di tataran nasional yang dirasa sangat mendesak
untuk segera terkoordinasi.
125
7. Penutup
7.1 Kesimpulan
Kementerian Riset dan Teknologi, sebagaimana tertuang dalam
Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Riset dan Teknologi (Ristek)
2010-2014, mempunyai arah kebijakan dalam
menumbuhkembangkan motivasi, memberikan stimulasi dan
fasilitasi, dan menciptakan iklim yang kondusif. Tujuan akhir dari arah
kebijakan ini disesuaikan dengan tema besar yang telah
didengungkan sejak Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Ristek
2008 di Palembang, yaitu Penguatan SINas dan SIDa. Oleh karena itu,
SINas dan SIDa dapat diwujudkan melalui beberapa hal, antara lain:
[1] Kelembagaan iptek yang efektif, [2] Sumberdaya iptek yang kuat,
[3] Jaringan antar kelembagaan iptek yang saling memperkuat
(mutualistik), [4] Relevansi dan produktivitas iptek yang tinggi, dan [5]
Pendayagunaan iptek yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Kelima faktor penguatan SIDa dan SINas tersebut tentunya tidak
terlepas dari peran Dewan Riset dalam memberikan arahan tentang
126
prioritas riset di tingkat nasional dan tingkat daerah (provinsi dan
kabupaten / kota). Arahan ini diterjemahkan dalam bentuk penelitian-
penelitian oleh institusi-institusi yang terkait dengan pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di setiap negara. Keberadaan
lembaga Dewan Riset di Indonesia di tingkat nasional, yaitu Dewan
Riset Nasional (DRN), menuntut terbentuknya jaringan iptek yang
semakin luas dan kompleks dan dapat berperan lebih besar dalam
rangka mewujudkan iptek sebagai pendukung perkembangan
perekonomian, peningkatan daya saing dan kemajuan peradaban
bangsa. Di tingkat daerah (provinsi dan kabupaten / kota), terdapat
lembaga Dewan Riset Daerah (DRD). Berdasarkan Undang-Undang
No 18 tahun 2002, tugas pokok DRD ada tiga hal yaitu:
a. memberikan masukan kepada Pemerintah daerah untuk
menyusun arah, prioritas, serta kerangka kebijakan Pemerintah
daerah di bidang iptek;
b. mendukung Pemerintah daerah melakukan koordinasi di bidang
iptek dengan daerah-daerah lain;
c. mewakili daerah di DRN ( Perpres No 16/2005 tentang DRN )
127
Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan responden, belum
semua DRD menjalankan ketiga amanat di atas. Hal ini sangat
dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satu yang dibahas pada kajian
ini yaitu mekanisme penyelenggaraan masing-masing DRD yang
berimbas kepada pola hubungan DRD tersebut dengan mitra-
mitranya termasuk dengan DRN. Di sisi lain, peneliti melihat adanya
faktor kepemimpinan yang mempengaruhi kinerja suatu DRD dalam
hal mekanisme penyelenggaraan DRD dan pola hubungan DRD
dengan mitra-mitra strategisnya di daerah masing-masing. Oleh
karena itu, diperlukan adanya arahan mekanisme penyelenggaraan
dan interaksi DRD dengan para mitranya.
Mitra DRD yang utama pada umumnya adalah Balitbangda dan
Bappeda karena erat kaitannya dengan kegiatan perencanaan
penelitian dan pengembangan (litbang) di daerah. Meski demikian,
DRD perlu juga membangun relasi dengan institusi dan organisasi lain,
baik lembaga pemerintah, sektor privat maupun organisasi non-
pemerintah. Sebagai contoh, studi ini mendapatkan bahwa DRD
Sumatera Selatan berkoordinasi dengan Bank Indonesia. Interaksi ini
128
akan berdampak positif terutama dalam masalah pendanaan yang
seringkali dikeluhkan oleh DRD-DRD lainnya.
Selain itu, koordinasi dan komunikasi antara DRD dengan mitra
utamanya di tingkat nasional, yaitu DRN, sangat penting dilakukan
secara berkesinambungan untuk dapat menyamakan persepsi, visi,
misi, serta strategi pembangunan iptek nasional. Melalui kedudukan
DRD di DRN, akses untuk koordinasi dan komunikasi dapat dilakukan
secara lebih sistematis. Untuk mendukung terjadinya koordinasi dan
komunikasi tersebut, DRN perlu membangun suatu arahan
mekanisme kerja yang jelas dan dapat dilaksanakan oleh seluruh DRD.
Secara lebih lanjut, dari sepuluh provinsi yang dikaji pada kajian ini,
juga ditemukan bahwa Agenda Riset Nasional (ARN) belum
sepenuhnya diacu oleh seluruh daerah. Hal ini erat kaitannya dengan
seberapa baik mekanisme penyelenggaraan DRD dan juga
interaksinya DRD tersebut dengan para mitranya. Contoh sukses
dapat ditemukan dari hasil di Sumatera Selatan, dimana DRD
Sumatera Selatan menjadikan ARN sebagai acuan dalam membuat
129
Agenda Riset Daerah (ARD). Selain itu, DRD Sumatera Selatan juga
berinteraksi dengan baik dengan mitranya, yaitu Balitbangda
Sumatera Selatan sebagaimana telah dijabarkan di bab sebelumnya.
Sehingga pada akhirnya contoh sukses Sumatera Selatan ini
menunjukkan bahwa posisi DRD yang kuat, konsistensi dalam
mengacu pada ARN, dan sistem interaksi yang baik ini dapat
meningkatkan kemampuan iptek di daerah tersebut.
Peningkatan kemampuan iptek secara garis besar diperlukan untuk
mendukung pembangunan nasional. Agar dukungan iptek terhadap
pembangunan nasional ini dapat berlangsung secara konsisten dan
berkelanjutan, maka berdasarkan arahan Menteri Riset dan
Teknologi, diperlukannya penguatan SINas dan SIDa sebagai wahana
pembangunan iptek melalui penguatan kelembagaan, sumberdaya,
dan jaringan iptek. Ketiga unsur ini (kelembagaan, sumberdaya, dan
jaringan) sebenarnya juga merupakan 3 hal yang ingin dikaji oleh
penelitian ini, yaitu kelembagaan DRD yang perlu diperkuat dalam
memberikan rekomendasi arah riset, sumberdaya iptek (DRD dan
para mitranya) yang harus selalu meningkatkan diri dalam
130
implementasi sistem yang efektif dan efisien, dan juga interaksi
antara DRD dengan pihak pusat (DRN), dan para mitra di daerah.
Sehingga, pada akhirnya kajian ini menemukan pola yang tepat dalam
penyelenggaraan DRN dan memberikan gambaran dinamika di setiap
daerah untuk selanjutnya dapat memberikan rekomendasi dalam
meningkatkan peran DRD dan pada akhirnya kemampuan iptek dapat
ditingkatkan di setiap daerah.
Dari kajian ini ditemukan juga bahwa mekanisme penyelenggaraan
DRD dan interaksi antara DRD dengan para mitranya mendukung
penguatan SIDa yang telah diinisiasi dengan baik. Meski belum
merata terlihat di semua DRD, upaya ini terutama dapat dilihat pada
dua provinsi, yaitu Sumatera Selatan dan Jawa Tengah yang dapat
dikatakan menjadi leader dalam
penerapan SIDa dan tentunya diharapkan dapat di contoh oleh
daerah-daerah lainnya. Oleh karena itu, institusi DRD yang berperan
kuat dan dapat bekerjasama dengan para mitranya dapat
membangun SIDa yang terkoordinasi, sehingga pada akhirnya akan
meningkatkan perekonomian di daerah masing-masing.
131
7.2 Rekomendasi Kebijakan
Terkait dengan penyelenggaraan DRD, beberapa rekomendasi
kebijakan dapat diusulkan. Rekomendasi tersebut dikelompokkan
menjadi level kebijakan mikro –yaitu ditujukan untuk internal DRD–
juga level kebijakan makro yang bertujuan pengembangan jejaring
riset dan iptek nasional.
Pada level mikro, DRD perlu melakukan pembenahan secara
kelembagaan. Dalam hal kepegawaian, DRD membutuhkan anggota-
anggota yang memiliki kompetensi akademis dan berkomitmen untuk
mengembangkan riset dan iptek di daerahnya. Selain itu komposisi
keanggotaan DRD yang terdiri dari 3 unsur ABG (Academics, Business,
Government) diharapkan dapat seimbang, terutama pihak swasta
(Business) yang selama ini dirasakan masih kurang perwakilannya di
keanggotaan DRD di daerah – daerah.
Selain itu, posisi Ketua DRD sebaiknya bukan merupakan Gubernur
yang sedang menjabat. Secara sekilas mungkin hal ini akan
memperkuat posisi DRD. Namun, hal ini akan menambah
132
permasalahan baru dimana DRD sebagai lembaga yang memberikan
saran kepada Gubernur tidak mungkin dipimpin oleh seorang
Gubernur. Pada aspek kepegawaian, DRD perlu memperjelas deskripsi
jabatan struktural dan fungsional anggota-anggotanya. Dalam hal
peran DRD dalam memberikan rekomendasi, diharapkan
rekomendasi – rekomendasi yang diusulkan banyak membahas
mengenai permasalahan – permasalahan aktual yang membumi dan
berupa problem solving permasalahan yang ada.
Pada level makro, khususnya di tingkat daerah, DRD hendaknya selalu
berperan aktif dalam berinteraksi dengan Balitbangda / Bappeda,
Pemerintah Daerah dalam memberikan rekomendasi atas seluruh
kegiatannya yang berkaitan dengan riset, dan juga membuat
indikator keberhasilan interaksi dengan Balitbangda / Bappeda,
Pemerintah Daerah. Contoh dari indikator keberhasilan ini adalah
jumlah rekomendasi yang diberikan kepada institusi – institusi
tersebut.
Selain itu, DRD juga harus memperluas jejaring relasi di daerahnya
masing - masing. Tidak hanya bekerja sama dengan lembaga
133
penelitian, namun juga dengan berbagai jenis institusi dan organisasi
seperti institusi keuangan yang dapat membantu pembiayaan
kegiatan, atau lembaga pemerintahan dan organisasi swasta yang
menunjang kegiatan DRD. Dalam hal pembiyaan, Peraturan Daerah di
masing-masing daerah memungkinkan DRD untuk mendapatkan
pendanaan dari sumber-sumber lain diluar Pemerintah Daerah yang
dimungkinkan oleh peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu,
DRD hendaknya melakukan terobosan-terobosan yang inovatif dalam
mencari sumber pendanaan ini. Selain itu, DRD juga perlu melakukan
pemetaan terhadap kompetensi daerahnya, yaitu keunggulan apa
yang menjadi nilai lebih daerah dan produk – produk unggulan daerah.
Dari pemetaan ini, DRD dapat melakukan rekomendasi kebijakan
untuk mendukung dari sisi penguatan iptek yang memadai.
Di tingkat nasional, perlu adanya penguatan hubungan yang intensif
antara DRD dengan DRN. DRN dapat memberikan arahan langsung
mengenai Agenda Riset Nasional (ARN) kepada DRD untuk
diejawantahkan dalam Agenda Riset Daerah (ARD) dan rekomendasi
kebijakan - kebijakan daerah. Dengan adanya interaksi yang intensif
134
ini, DRD dapat berperan lebih besar dalam turut serta mendukung
kegiatan litbang nasional. Hubungan antara DRD dan DRN ini apabila
memungkinkan dapat dilakukan reposisi agar dapat lebih
memperkuat hubungan antara institusi Dewan Riset ini secara formal
dan berlandaskan peraturan perundangan yang berlaku. Namun,
Untuk mewujudkan reposisi DRD, diperlukan adanya Peraturan
Pemerintah yang menyatakan adanya keterikatan antara posisi DRN
di tingkat nasional dan DRD di tingkat daerah, dimana secara tugas
utama DRD tetap berperan memberikan rekomendasi kepada
Gubernur.
Secara lebih lanjut, sebaiknya segera dibentuk organisasi jejaring
antara Dewan Riset seluruh Indonesia, yang terdiri dari para anggota
DRN, DRD – DRD Provinsi, dan DRD – DRD Kabupaten / Kota.
Organisasi ini diharapkan menjadi wadah saling bertukar pikiran
antara anggota Dewan Riset dalam memajukan peran Dewan Riset di
Indonesia, terutama dalam meningkatkan Sistem Inovasi Nasional
(SINas) dan Sistem Inovasi Daerah (SIDa) di Indonesia.
135
8. Daftar Pustaka
Ball, D.F. & J. Rigby (2006) Disseminating research in management of technology: journals and authors. R&D Management, 36:205-215.
Benner, M. & U. Sandstrom (2000) Institutionalizing the triple helix: research funding and norms in the academic system. Research Policy, 29:291-301.
Bernstein, J.I. & M.I. Nadiri (1989) Research and development and intra-industry spillovers: an empirical application of dynamic duality. Review of Economic Studies, 56:249-269.
Bessant, J. & H. Rush (1995) Building bridges for innovation: the role of consultants in technology transfer. Research Policy, 24:97-114.
Bilton, C. (2007) Management and Creativity: From Creative Industries to Creative Management, Oxford: Blackwell Publishing.
Button, K. & F. Rossera (1990) Barriers to communication: A literature review. The Annuals of Regional Science, 24:337-357.
Carpenter, J. (2007) Communicating Research in Developing Countries. In M. Claessens (Ed.) Communicating European Research. Brussels.
Cooke, P., Uranga, M.G. & Etxebarria, G. (1997) Regional Innovation Systems: Institutional and Organisational Dimensions. Research Policy, 26: 475-491.
Cooke, P. (1998) Introduction: Origins of the Concept, Regional Innovation Systems, Available at SSRN: http://ssrn.com/abstract=1497770
Cooke, P. (2001) Knowledge economics: clusters, learning and co-operative advantage, London: Routledge.
Cousins, P., R. Lamming, et al. (2008). Strategic Supply Management. Essex: Prentice Hall.
136
Creswell, J.W. (1994) Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches. London: Sage Publication.
Doloreux, D. & Parto, S. (2005) Regional innovation systems: current discourse and unresolved issues. Technology in Society, 27: 133-153.
Dosi, G., C. Freeman, R.R. Nelson, G. Silverberg & L. Soete (1988) Technical Change and Economic Theory, London: Pinter Publisher.
DRN (Dewan Riset Nasional). (2002) Sistem Inovasi Nasional dan Daya Saing, Jakarta: Dewan Riset Nasional.
Duffy, M. (2000) The Internet as a research and dissemination resource. Health Promotion International, 15(4):349-353.
Edge, D. (1979) Quantitative measures of communication in science: A critical review. History of Science, 17:102-134.
Edquist, C. (1997) Systems of Innovation: Perspectives and Challenges. In J. Fagerberg , D.C. Mowery & R.R. Nelson (Eds.) The Oxford Handbook of Innovation. 181-208. Oxford: Oxford University Press.
Etzkowitz, H. (2002) Incubation of incubators: innovation as a triple helix of university-industry-government networks. Science and Public Policy, 29(2):115-128.
________ (2003) Innovation in innovation: the Triple Helix of university-industry-government relations. Social Science Information. 293-337. London: Sage Publications.
Etzkowitz, H. & L. Leydesdorff (2000) The dynamics of innovation: from National Systems and "Mode 2" to a Triple Helix of University-Industry-Government Relations. Research Policy, 29:109-123.
Freeman, C. (1987) Technology and Economic Performance: Lessons from Japan, London: Pinter.
Fritsch, M. & G. Franke (2004) Innovation, regional knowledge spillovers and R&D Cooperation. Research Policy, 33:245-255.
Global Competitiveness Report (2010) The Global Competitiveness Report 2010–2011, Report: World Economic Forum.
137
Halpert, H.P. (1966) Communication as a Basic Tool in Promoting Utilization of Research Findings. Community Mental Health Journal, 2(3):231-236.
Hamelink, C. (1983) Cultural Autonomy in Global Communications, Longman: Harlow. Hameri, A.-P. (1996) Technology transfer between basic research and
industry. Technovation, 16(2):51-57. Higgs, P., S. Cunningham & H. Bakhshi (2008) Beyond creative industries:
mapping the creative economy in the United Kingdom. Report. London: NESTA.
Hovland, C., I. Janis & H. Kelley (1982) Communication and persuasion: psychological studies of opinion change, Connecticut: Greenwood Press.
Jensen, K.B. (2002) A Handbook of Media and Communication Research: Qualitative and Quantitative Methodologies, London: Routledge.
Katz, J.S. & B.R. Martin (1997) What is Research Collaboration? Research Policy, 26:1-18.
Kementerian Lingkungan Hidup. (2009). Rencana Strategis (Renstra) 2010-2014. Kementerian Lingkungan Hidup.
Kementerian Riset dan Teknologi (RISTEK). (2009). Sains dan Teknologi: Berbagai Ide untuk Menjawab Tantangaan dan Kebutuhan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kementerian Riset dan Teknologi dan Dewan Riset Nasional. (2010). Pedoman Insentif Riset. Jakarta: Kementerian Riset dan Teknologi dan Dewan Riset Nasional.
Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 188/327/KPTS/013/2010 tanggal 19 Juli 2010.
Kuusisto, J. & M. Meyer (2003) Insights into Services and Innovation in the Knowledge Intensive Economy. Report. Helsinki: Technology Review – National Technology Agency.
138
Lee, Y.S. (1996) 'Technological transfer' and the research university: a search for the boundaries of university-industry collaboration. Research Policy, 25:843-863.
Lundvall, B.-Å. (1992) National Innovation Systems: Towards a Theory of Innovation and Interactive Learning, London: Pinter.
________ (2007) National Innovation Systems—Analytical Concept and Development Tool. Industry and Innovation, 14(1):95-119.
Mantel, S.J. & G. Rosegger (1987) The role of third-parties in the diffusion of innovations: a survey. In R. Rothwell & J. Bessant (Eds.) Innovation: Adaptation and Growth. 123-134. Amsterdam: Elsevier.
Markusen, A., G.H. Wassall, D. DeNatale & R. Cohen (2008) Defining the creative economy: industry and occupational approches. Economic Development Quarterly, 22(1):24-45.
McGahan, A.M. & M.E. Porter (1997) How much does industry matter, really? Strategic Management Journal, 18(S1):15-30.
Miles, I. (2000) Services innovation: coming of age in the knowledge-based economy. International Journal of Innovation Management, 20:1133-1156.
________ (2005) Innovation in Services. In J. Fagerberg , D.C. Mowery & R.R. Nelson (Eds.) The Oxford Handbook of Innovation. 433-458. New York: Oxford University Press Inc.
Miles, I., N. Kastrinos, K. Flanagan, N. Bilderbeek, P. den Hertog, N. Huntink & M. Bouman (1995) Knowledge-Intensive Business Services: Users, Carriers, and Sources of Innovation. Report. Luxembourg: Directorate General for Telecommunications, Information Market and Exploitation of Research, Commission of the European Communities.
Motohashi, K. (2005) University-industry collaborations in Japan: The role of new technology-based firms in transforming the National Innovation System. Research Policy, 34:583-594.
Nasional, D.R. (2010) Agenda Riset Nasional 2010-2014, Jakarta: DRN.
139
Nelson, R.R. (1993) National Innovation Systems: A Comparative Analysis, Oxford: Oxford University Press.
Nickell, SJ (1996) Competition and corporate performance. The Journal of Political Economy, 104(4): 724-746.
Noam, E. (2006) Reconnecting communications studies with communications policy. Journal of Communication, 43(3):199-206.
OECD (1997) National Innovation Systems. Report. Paris: Paris Cedex. Orr, L (1997) Globalisation and the universities: Towards the 'Market
University'? Social Dynamics, 23(1): 42-64. Peck, H. (2005). Drivers of supply chain vulnerability: an integrated
framework. International Journal Physics Distribution & Logistics Management, 35(4), 210-232.
Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Selatan Nomor 2 Tahun 2011. Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 50 Tahun 2010. Peraturan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 9 Tahun 2011. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2005. Pinto, M.B. & J.K. Pinto (1990) Project team communication and cross-
functional cooperation in new program development. Journal of Product Innovation Management, 7:200-212.
Porter, M. (1990) The Competitive Advantage of Nations. New York: Simon & Schuster.
Retnaningsih, Eko. (2011) Implementasi Sistem Inovasi Daerah (SIDa) di Sumatera Selatan. Disampaikan dalam Lokakarya “Penguatan SIDa Untuk Mendukung Daya Saing Produk Unggulan di Daerah” di Serpong, 15 Juni 2011. Lokakarya diselenggarakan oleh Dewan Riset Nasional.
Rogers, E. (1986) Communication Technology: The New Media in Society, New York: Free Press.
140
Ruben, B. & L. Stewart (1998) Communication and Human Behavior, Needham Heights: Allyn & Bacon.
Spence, A.M. (1984) Cost reduction, Competition and Industry Performance. Econometrica, 52:101-121.
Stark, S. & H. Torrance (2005) Case Study. In B. Somekh & C. Lewin (eds.). Research Methods in the Social Sciences. 33-40. London: Sage Publication.
Stone, D., S. Maxwell & M. Keating (2001) Bridging Research and Policy. Report. Warwick: UK Department for International Development.
Subotzky, G. (1999) Alternatives to the entrepreneurial university: New modes of knowledge production in community service programs. Higher Education, 38:401-440.
Surat Keputusan Gubenur Nusa Tenggara Timur Nomor 184 Tahun 2005. Suryono, Agus. (2011) Sistem Inovasi Daerah berbasis Klaster di Jawa Tengah.
Disampaikan dalam Presentasi “Sosialisasi SIDa Jawa Tengah Tahun 2011” di Semarang, 10 Juni 2011.
Taufik, Tatang A. (2005) Mendorong Kewirausahaan Teknologi (Technopreneurship) di Lingkungan Perguruan Tinggi: Peningkatan Peran dalam Membangun Daya Saing. Disampaikan sebagai Keynote Paper dalam “The 4th National Conference: Design and Application of Technology 2005” di Surabaya, 27th June 2005. Konferensi diselenggarakan oleh Universitas Widya Mandala – Surabaya
Taufik, Tatang & Pawennei, I. (2010) Kemitraan dalam Penguatan Sistem Inovasi Nasional, Jakarta: Dewan Riset Nasional - DRN
Tidd, J., J. Bessant & K. Pavitt (2005) Managing Innovation: Integrating Technological, Market and Organisational Change, Chichester and New York: J. Wiley.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2002. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004.
141
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004. UNIDO (2003) Strategies for Regional Innovation Systems: Learning Transfer
and Applications, Vienna: UNIDO West, R. & L. Turner (2001) Introducing Communication Theory: Analysis and
Application, New York: McGraw-Hill. Worral, R. (1972) Problems of collection and dissemination of population
information and knowledge in Asia. The Economic Commission for Asia and the Far East, Second Asian Population Conference. Tokyo.
Yin, R. K. (2003) Case study research, design and methods, 3rd ed, Newbury Park: Sage Publications
142
LAMPIRAN 1
Daftar Pertanyaan Dewan Riset Daerah (DRD)
Mekanisme Penyelenggaraan DRD
1. Kapankah DRD anda terbentuk? Bagaimana bentuk struktur
organisasi DRD? Tugas dan fungsi? Ada SK Gubernur tentang DRD?
2. Bagaimana penyelenggaraan DRD selama ini? Kegiatan apa telah
dilakukan? Perencanaan kegiatan di tahun ini dan tahun
mendatang?
3. Menurut Anda, hal-hal apakah yang perlu diperbaiki dalam
penyelenggaraan DRD?
Hubungan DRD dengan Mitra DRD
4. Bagaimana hubungan antara DRD dengan para mitra DRD selama
ini
Pertanyaan pendalaman:
Bagaimana DRD berhubungan (berkoordinasi, bekerja sama,
dan berinteraksi) dengan mitra tersebut? Apa yang mendasari
DRD melakukan hubungan dengan mitra? Apakah sesuai arahan
Gubernur atau hal-hal lainnya?
143
Berapa banyak Mitra DRD (balitbangda, bappeda, pemda
universitas, dan institusi-institusi lain) yang menjadi mitra anda
selama ini? Sebutkan institusi-institusi tersebut!
Bagaimana frekwensi hubungan DRD dengan mitra?
5. Bagaimana manfaat DRD bagi mitra?
Pertanyaan pendalaman:
Apa yang bisa ditingkatkan / diperbaiki dari hubungan dengan
mitra tersebut?
Harapan terhadap Kementerian terkait, Pemda, Bappeda,
Balitbangda dan universitas untuk meningkatkan hubungan
dengan mitra tersebut?
Hubungan DRD dengan DRN
6. Bagaimana hubungan antara DRD dan DRN?
Pertanyaan pendalaman:
Apakah DRD mendapatkan masukan dari DRN dalam
penyelenggaraan kegiatannya?
Apakah DRD mengkomunikasikan perencanaan dan hasil
kegiatannya kepada DRN?
7. Mekanisme seperti apa yang diharapkan dalam meningkatkan
hubungan antara DRD dan DRN?
144
LAMPIRAN 2
Daftar Pertanyaan Mitra Dewan Riset Daerah (DRD)
Hubungan mitra dengan DRD
1. Bagaimanakah hubungan kerja (dukungan terhadap) dengan DRD
selama ini?
Pertanyaan pendalaman:
Bagaimana institusi Anda berhubungan (berkoordinasi, bekerja
sama, dan berinteraksi) dengan DRD? Apa yang mendasari
institusi Anda melakukan hubungan dengan DRD?
Bagaimana frekwensi hubungan institusi Anda dengan DRD?
2. Apa harapan terhadap DRD sudah tercapai? Apakah hubungan
tersebut meningkatkan kinerja institusi Anda? Apakah sesuai
dengan aturan yang ada?
3. Apakah yang dapat ditingkatkan/diperbaiki dari hubungan dengan
DRD?
145
LAMPIRAN 3
Daftar Pertanyaan Dewan Riset Nasional (DRN)
Hubungan DRN dengan DRD
1. Bagaimana hubungan antara DRD dan DRN?
2. Apakah DRN memberikan masukan kepada DRD dalam
penyelenggaraan kegiatannya?
3. Apakah DRD mengkomunikasikan perencanaan dan hasil
kegiatannya kepada DRN?
4. Apa yang bisa ditingkatkan/diperbaiki dari hubungan dengan
DRD?
146
LAMPIRAN 4
Daftar Pertanyaan Pakar Independen
Hubungan mitra dengan DRD
1. Menurut pengalaman / pengamatan Bapak/Ibu, bagaimana
hubungan kerja (dukungan terhadap) DRD dengan DRN dan
para mitra DRD?
2. Apa yang bisa ditingkatkan/diperbaiki dari hubungan DRD
dengan DRN dan para mitra DRD?
147
LAMPIRAN 5
Daftar Responden Wawancara
No Nama Institusi
1 Hervian Tahier DRD Sumatera Utara
2 Iwan Balitbangda Sumatera Utara
3 Prof. Dr. Fachrurrozie Sjarkowi DRD Sumatera Selatan
4 Eko Retnaningsih Balitbangda Sumatera Selatan
5 Ir. Ery Chayaridipura DRD DKI Jakarta
6 Ir. Tuty Kusumawati, MM Bappeda DKI Jakarta
7 Dr. Daniel Kameo DRD Jawa Tengah
8 Drs. Agus Suryono, MM Balitbangda Jawa Tengah
9 Prof. Sunyono DRD Jawa Timur
10 Didik Arif Budiono Bappeda Jawa Timur
11 Bambang S. Lautt DRD Kalimantan Tengah
12 Ardewi, MT Bappeda Kalimantan Tengah
13 Binsar Simangunsong DRD Kalimantan Timur
14 M. Nasir Bappeda Kalimantan Timur
15 Prof. Wasir Thalib DRD Sulawesi Selatan
16 Ir. Rajendra Balitbangda Sulawesi Selatan
17 Dr. Keron A. Petrus DRD Nusa Tenggara Timur
18 Dr. Marius Bappeda Nusa Tenggara Timur
19 Augy Sahailatua, PhD DRD Maluku
20 Joisangadji Bappeda Maluku
21 Dr. Tusy A. Adibroto DRN
22 Ir. Atang Sulaeman, Msi Pakar independen
148
TIM PENDUKUNG SEKRETARIAT :
Pengarah : Tusy A. Adibroto
Koordinator : Hartaya
Desain sampul dan Tata Letak : Syarif Budiman