peran dan partisipasi masyarakat adat dalam...
TRANSCRIPT
Peran dan PartisipasiMasyarakat Adat dalam
Kebencanaan di IndonesiaExecutive Summary
Masyarakat adat merupakan kelompok rentan yang strategis untuk diprioritaskan ketika membicarakan perihal PRB dan kebencanaan secara umum. Berdasarkan peta risiko bencana dan peta indikatif masyarakat adat, sebagian besar masyarakat adat di Indonesia berkehidupan di kawasan dengan kelas kerawanan potensi bencana yang sedang dan besar. Berbagai peristiwa maupun isu global, seperti pemenuhan hak masyarakat adat, pengrusakan hutan, perubahan iklim, dan masalah-masalah lain yang dihadapi, menempatkan masyarakat adat sebagai kelompok dengan kerentanan yang berlipat ganda (multiple vulnerability).
Selain itu, perhatian pada keterlibatan masyarakat adat dalam program dan kegiatan terkait kebencanaan, masih sangat minim dan belum dilihat secara spesifik dengan mempertimbangkan identitas mereka sebagai “masyarakat adat” (indigenous peoples), yaitu komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul secara turun-temurun di atas satu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat. Partisipasi masyarakat adat dalam proses perumusan dan pengambilan keputusan kebijakan di bidang kebencanaan pun belum kuat dan terbuka secara penuh. Salah satu faktor kunci bagi penerapan konsep PRB yang berbasis pada aspek ekologi/lingkungan (eco-DRR), adalah penataan ruang wilayah adat, termasuk di dalamnya adalah pertimbangan terhadap pengakuan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 (MK 35). Sementara dengan melihat tata ruang sebagai salah satu pondasi kuat bagi perencanaan dan strategi PRB dalam suatu wilayah, masyarakat adat masih menunjukkan posisi yang lemah terkait dengan partisipasi politik ruang, padahal kebijakan tata ruang merupakan pula dasar dalam rencana pembangunan (RTRWP/RDTR).
Situasi UmumMasyarakat Adat
Terhadap Bencana
Namun, ketika selama ini perhatian terhadap masyarakat adat masih bisa dikatakan minim, masyarakat adat sesungguhnya telah menunjukkan kemampuan dirinya sebagai kelompok yang tangguh (resilient). Kehidupan masyarakat adat yang harmonis dengan lingkungan fisik dan non-fisik di sekitarnya ternyata terbukti mempunyai peluang yang besar untuk dikembangkan dan dimanfaatkan sebagai suatu solusi unik bagi penanggulangan bencana dan pengarusutamaan PRB di Indonesia dengan karakter keragaman budaya yang tinggi dan sebagai negara kepulauan. Masyarakat adat memiliki sistem kehidupan dan aktivitas (livelihood) serta pengetahuan (indigenous knowledge/local wisdom/local knowledge) yang sudah menunjukkan keterkaitan langsung terhadap praktek-praktek eco-DRR, misalnya pola perladangan yang dilakukan oleh masyarakat adat Mentawai secara turun-temurun sejak dulu.
Masyarakat adat Mentawai menerapkan serangkaian ritual dalam membuka ladang, menanam, hingga memanen hasil yang dipimpin oleh tokoh spiritual (rimata). Mereka memiliki pengetahuan tertentu terkait dengan tanaman-tanaman yang memiliki sifat untuk menyuburkan tanah serta dapat mengantisipasi longsor dengan aktivitas menanam pohon besar dan pohon tertentu di daerah curam dan sungai. Hak kelola atas ladang juga diberikan kepada perempuan (perempuan adat) dengan corak pengelolaan secara kolektif. Dalam proses penebangan pohon besar pada area perladangan, masyarakat tidak dapat langsung menebang pohon seketika, tetapi pohon yang hendak ditebang itu akan dikuliti dan secara perlahan akan tumbang seiring dengan tumbuhnya tanaman pengganti (bibit pohon yang ditanam sebagai pengganti pohon yang hendak ditebang). Kearifan dalam tata kelola SDA itu dipadukan secara unik dengan sistem nilai dan kepercayaan yang dikaitkan pada leluhur atau roh, seperti Taikaleleu sebagai “penghuni” hutan, sehingga tidak boleh menebang pohon sembarangan dan harus permisi. Hal yang sama juga berlaku untuk laut (Taikabagat), sehingga tidak boleh merusak terumbu karang dan permisi ketika menangkap ikan (musibbla). Begitu pun dengan sungai (Taikabagat Oinan), sehingga siapa pun tidak boleh membuang kotoran di sungai sebagai salah satu sumber penghidupan.
Situasi UmumMasyarakat Adat
Terhadap Bencana
“Kami ingin aspal yangtak ganas menggilas mekar bunga-bunga.”
Namun, adanya intervensi pembangunan yang terus terjadi dan tidak melibatkan masyarakat adat Mentawai pada berbagai proses dan implementasinya, telah mendesak masyarakat adat untuk mengurangi, bahkan memaksa mereka untuk tidak dapat lagi melakukan praktek-praktek kearifan yang baik tersebut. Contoh nyata dari hal itu adalah dengan serangkaian kebijakan dan program pemerintah yang dipenuhi dengan persoalan pelanggaran hak dan kekerasan yang terjadi di masa lalu atas nama pembangunan, seperti penangkapan, pembakaran uma (rumah tradisional Mentawai), relokasi permukiman ke dalam konsep desa & dusun, transmigrasi, perampasan hutan adat, pemaksaan dalam beragama dan berkeyakinan (“kesepakatan tiga agama”), dan lain-lain yang bahkan masih terjadi hingga sekarang, terutama relokasi sepihak atas dalih sebagai zona merah bencana. Dalam hal ini, negara tidak atau belum secara penuh melibatkan masyarakat adat dalam kebencanaan dan belum melihat secara relevan bahwa sistem kehidupan dan aktivitas masyarakat adat dengan pengetahuan yang dimiliki sesungguhnya telah menunjukkan bukti nyata pada perilaku PRB maupun penanggulangan bencana. Intervensi pembangunan yang tidak melibatkan masyarakat adat Mentawai justru mengurangi kemampuan masyarakat adat untuk mempertahankan sikap dan perilaku PRB. Dengan belum adanya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat Mentawai, termasuk wilayah adatnya, maka masyarakat adat akan terus mengalami kerentanan untuk disingkirkan dari wilayah kelola dan menjalankan peran sebagai penerus kearifan/pengetahuan terkait kebencanaan yang telah dipraktekkan secara turun-temurun berdasarkan serangkaian peristiwa bencana dan pengetahuan di komunitas adatnya.
Situasi UmumMasyarakat Adat
Terhadap Bencana
Semakin tingginya intensitas potensi bencana dan variasi bencana
yang terjadi di Mentawai, mulai dari bencana alam (gempa bumi,
tsunami, kekeringan, dan lainnya), bencana non-alam, hingga
bencana sosial (konflik). Intensitas dan variasi potensi bencana
semakin meningkat seiring dengan melemahnya kemampuan
masyarakat adat dalam mengatasi bencana secara arif melalui
pengetahuan masyarakat adat (indigenous knowledge).
Keterbatasan akses-akses dan minimnya infrastruktur, seperti
sarana fisik jalan penghubung, transportasi, komunikasi (sinyal
telepon dan telepon seluler), serta infrastruktur maupun fasilitas
pelayanan publik lainnya di mana hal tersebut kemudian
berdampak pada sulitnya akses penanganan darurat bagi
masyarakat adat yang terdampak bencana.
Komunitas adat ada yang belum memiliki atau telah kehilanganmekanisme koordinasi secara tradisional yang penting terkait denganinformasi bencana. Belum adanya mekanisme komunikasi dan koordinasiterkait penanggulangan bencana, baik itu mekanisme di tingkatpemerintah daerah secara formal (setidaknya jika ada pun, hal ini belumdiketahui oleh masyarakat adat, tetapi diakui masyarakat adat tidak ada)maupun pada tingkat komunitas masyarakat adat sendiri.
Semakin pudarnya tradisi dan budaya kearifan/pengetahuan
(serangkaian filosofi nilai, etika, cara, dan perilaku) masyarakat
adat Mentawai terkait langsung maupun tidak langsung dengan
tata kelola SDA dan kebencanaan.
1
2
3
4
Permasalahan Internal
Belum terorganisirnya secara optimal kelompok pemuda adat yang
diharapkan oleh masyarakat adat di Mentawai dapat menjadi garda
depan dalam upaya penanggulangan bencana bagi komunitas-
komunitas adat maupun desa (dalam proses memulai ke arah
sana).
5
Belum adanya rencana kontinjensi bencana untuk wilayah
Mentawai yang menyentuh pada perspektif masyarakat adat,
contohnya bagi kawasan yang sudah ada pola jalur evakuasi pun,
belum terbangun tempat singgah dan kebutuhannya. Proses
perencanaan juga belum mempertimbangkan pengetahuan
masyarakat adat.
6
Lembaga adat yang lemah dan bahkan di banyak komunitas telah
hilang. Saat ini AMAN Mentawai sedang mengupayakan untuk
membangkitkan dan menguatkan kembali lembaga adat.
7
Belum adanya peta risiko bencana dan masyarakat adat masih ada
yang belum paham terhadap pentingnya peta, baik kaitannya
dengan peta wilayah adat maupun peta risiko bencana sebagai alat
bantu bagi upaya pengelolaan bencana dan pengakuan hak
masyarakat adat.
8
Saat ini uma (rumah adat di Mentawai) sangat jarang sekali
ditemukan, sementara itu rumah-rumah beton yang ada sangat
tidak fleksibel pada gempa bumi yang sering terjadi.
9
Masalah pada pengelolaan informasi terkait peristiwa bencana
maupun dampak (korban dan kerusakan) bencana di kawasan
yang relatif tidak memiliki akses-akses, sehingga seringkali tidak
tersentuh bantuan karena tidak diketahui.
10
Permasalahan Eksternal
Belum diakuinya hak-hak masyarakat adat di Mentawai, sehingga
hal ini berdampak pada potensi bencana non-alam dan bencana
sosial, serta melemahkan masyarakat adat dalam mengelola
bencana alam (manajemen risiko & krisis kaitannya dengan tata
kelola wilayah/SDA). Saat ini Ranperda PPHMA Mentawai sudah
ada dan masuk dalam Prolegda tahun 2016.
1
Minim, bahkan hampir tidak adanya upaya-upaya peningkatan
kapasitas terhadap masyarakat adat di Mentawai terkait dengan
kebencanaan, baik itu kaitannya dengan upaya pengarus-utamaan
PRB, mitigasi, kesiapsiagaan, hingga penanganan darurat,
rehabilitasi, dan konstruksi (manajemen risiko dan manajemen
krisis).
2
Kebijakan relokasi oleh pemerintah. Pada awalnya, masyarakat
adat Mentawai bermukim di kawasan yang dekat dengan sungai.
Tetapi kemudian mereka direlokasi atas nama “pembangunan,”
termasuk ke pantai (dari dalam hutan), tetapi kemudian mengalami
relokasi kembali ketika terjadi bencana, seperti gempa dan tsunami.
3
Derasnya arus modernitas yang masuk ke dalam kehidupan
masyarakat adat di Mentawai yang tidak berimbang dan adil
(kaitannya dengan masyarakat adat dan kearifan terkiat bencana).
4
Stigma dan stereotipe negatif terhadap masyarakat adat yang
dikonotasikan dengan kuno, primitif, terbelakang, miskin, dan lain-
lain.
5
Masuknya program-program pemerintah yang berdampak pada pelemahan masyarakat adat dalam
mengelola bencana, yaitu relokasi permukiman di mana masyarakat adat dijauhkan dari sumber
kehidupan dan penghidupannya dalam berladang serta memicu konflik kaitannya dengan klaim
tanah, wilayah, dan hutan adat; sawah irigasi (di sebagian tempat terdapat potensi sumber mata air
yang kering akibat hadirnya sawah irigasi serta merusak pola kedaulatan pangan masyarakat adat
Mentawai terhadap sumber karbohidrat lokal: sagu, keladi, dan beragam jenis umbi-umbian);
transmigrasi (memicu konflik tenurial terkait wilayah adat yang dirampas); taman nasional dan HPH
(memaksa masyarakat adat untuk direlokasi dan memicu konflik hutan adat sebagai sumber
penghidupan masyarakat adat).
6
Rendahnya (bahkan hampir tidak dilibatkan) partisipasi/keterwakilan masyarakat adat dalam proses
kebencanaan, baik itu kebijakan maupun upaya penanggulangan bencana di Mentawai, sehingga
kebutuhan tidak sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat adat, misalnya kebijakan/keputusan
relokasi, pembuatan plang evakuasi yang tak sesuai, bantuan bencana yang tak tepat sasaran/tak
sesuai keperluan, dan lainnya.
7
Pencemaran sungai yang diakibatkan oleh adanya praktek meracun ikan di sungai dan kerusakan
hutan. Bagi masyarakat adat, sungai adalah sumber penghidupan kaitannya dengan upaya
ketahanan dan kedaulatan pangan di mana masyarakat adat menyimpan cadangan sagu, keladi
(sumber karbohidrat), dan lauk pauk/sumber protein (ikan dan ulat pohon) di sungai untuk jangka
waktu yang cukup lama (misalnya penyimpanan sagu dengan merendamnya di sungai selama
setengah tahun akan dapat mencukupi kebutuhan pangan satu kelompok masyarakat adat/sub-suku
Mentawai dalam satu uma yang dihuni beberapa keluarga).
8
Kebijakan zonasi dan relokasi. Ketidakjelasan zonasi (kaitannya dengan “zona merah” atau potensi
terkena tsunami, hutan adat, dan lainnya).9
Ketidakjelasan penyaluran bantuan bencana (mekanisme koordinasi serta transparansi bantuan),
bahkan tidak ada sama sekali. Misalnya saja ada peristiwa di mana logistik bantuan bencana
tertahan sampai berbulan-bulan di kantor pemerintahan karena urusan birokrasi, sehingga logistik
terlambat, menjadi rusak, dan rentan disalahgunakan oleh oknum. Ada pula kasus mereka yang
luka malah semakin parah dan meninggal karena terlambat atau tidak mendapat bantuan kesehatan.
10
Optimalisasi pada kemandirian
komunitas adat.
Prinsip Kontijensi
Pada tahap ini,
masyarakat telah
memiliki kesadaran
untuk meningkatkan
ketangguhan ...
FPIC (free, prior, informed consent) atau
persetujuan di awal atas dasar tanpa
paksaan sebagai prasyarat utama
Berbasis pada kearifan masyarakat adat
1
2
Hak atas kelola tanah/wilayah dan sumber
dayanya3
Musyawarah dan Gotong Royong 4
6
Teknologi yang ramah masyarakat
adat7
Partisipasi masyarakat adat dalam
seluruh proses8
Pertimbangan pada peran dan
fungsi lembaga adat9
Masyarakat adat telah belajar dari peristiwa bencana yang dihadapi selama puluhan dan bahkan ratusan tahun yang menghasilkan kearifan masyarakat adat terkait kebencanaan secara langsung maupun tidak langsung. Sebagian kalangan menyebutnya sebagai kearifan lokal atau pengetahuan lokal. Namun pada konteks masyarakat adat, menjadi jauh lebih tepat untuk menyebutnya sebagai kearifan/pengetahuan masyarakat adat (indigenous knowledge/wisdom).
Pengembangan Kearifan Masyarakat Adat
Tuddukat adalah alat komunikasi yang menjadi tradisi di Mentawai. Alat yang digunakan dengan cara dipukul tersebut berfungsi untuk menyebarluaskan informasi dengan nada tertentu terkait kabar mengenai adanya upacara/pesta/perayaan adat, kelahiran/kematian di uma dan ladang, bencana, dan lainnya. Pada uma, tuddukan umumnya ditaruh pada atap teras rumah. Saat ini, tuddukat yang berada di Uma AMAN Mentawai telah berusia 450 tahun. Namun, generasi muda Mentawai belum sepenuhnya menggali dan memahami tata cara penggunaannya (cara membunyikan dan membedakan jumlah pukulan untuk kabar tertentu).
Sejak dulu gempa telah menjadi keseharian masyarakat Mentawai. Uma adalah rumah tradisional masyarakat adat Mentawai dengan pondasi utama berupa kayu dari pohon utuh yang ditancapkan sekitar 2 meter ke bawah tanah. Ketika gempa terjadi, pasak tersebut akan memberi tanda dan bergoyang. Jika gempa begitu besar, maka rumah umumnya tidak rubuh, tetapi hanya miring dan dapat dikembalikan pada posisi semula di mana keluarga dan tetangga secara gotong royong membantu menegakkan rumah kembali. Sayangnya, uma kini sangat jarang ditemukan karena dahulu pernah terjadi pembakaran massal terhadap uma bersamaan dengan pemaksaan masyarakat adat untuk memilih 3 agama (Protestan, Katolik, Islam). Baik itu uma maupun perkakas tradisional ikut dimusnahkan karena diasosiasikan dengan kepercayaan/agama masyarakat adat Mentawai: Sabulungan.
“Beragam kearifan di Mentawaimemiliki keterkaitan yang erat hubungannya dengan
tuhan/leluhur/roh, sesamamanusia, dan alam.”
Komunitas adat mengidentifikasi bahwa pihak-pihak
terkait bencana di dalam komunitas mencakup banyak
pihak. Di sini mereka menggarisbawahi bahwa bukan
hanya pemerintah desa, sekolah, dan pusat layanan
kesehatan saja yang penting dicatat, melainkan pula
ada lembaga adat (tokoh adat), ormas terkait (dalam
hal ini adalah AMAN), dan institusi agama (gereja dan
masjid) yang memiliki peran sangat signifikan. Siapa
pun dapat mengabarkan berita atau informasi bencana
di dalam komunitas.
Pemuda adat memiliki fungsi yang strategis sebagai
komunikator dalam melakukan aksi dalam
penyebarluasan informasi di mana hal itu tak perlu
dibatasi pada mekanisme formal pada pemerintah desa.
Secara cepat, masyarakat adat perlu mengoptimalkan
peran masing-masing aktor di dalam komunitas dan
memanfaatkan infrastruktur yang dimiliki. Maka proses
penyebarluasan informasi memiliki kanal yang berbeda
da unik. Di Komunitas Adat Goisooinan yang terdiri dari
masyarakat beragama Kristen dan Islam, lonceng
gereja dan pengeras suara elektronik pada masjid
dianggap penting. Di sana ada pula kearifan bernama
tolokokoukou atau kentongan yang terbuat dari bambu
yang biasa digunakan oleh masyarakat adat untuk
memberi tanda atau peringatan (loloklok di Siberut).
Sementara di Saureinu, tak ada masjid (hampir seluruh
masyarakat beragama Kristen), sehingga selain gereja,
ada pula radio komunitas yang menjadi modal utama
dalam penyebarluasan informasi.
“Empat Hal Penting dalamMenyusun Rencana Kontijensi
di Tingkat Komunitas”
Pertama
Kedua
Melalui peta wilayah adat, masyarakat adat pun
menjadi jauh lebih mudah memahami wilayahnya,
termasuk menyadari kerentanan terhadap bencana dan
mengelola bencana. Komunitas adat dapat menandai
titik-titik penting yang ada di komunitas atau dusun dan
desanya di mana mereka dapat mempertimbangkan
sendiri di mana letak jalur evakuasi dan titik kumpul
yang pernah dan potensial untuk ditetapkan. Hal inilah
yang kemudian membuka kembali pengetahuan pada
pengalaman bencana gempa di Komunitas Adat Rokot
tahun 2004, 2007, dan 2009. Mereka mengingat area
perbukitan di Bukit Suddut dan Leleu Tunangkaliau
yang pernah dijadikan tempat evakuasi dan
pengungsian sementara. Selain asalan geografis
bahwa kedua area itu memiliki kondisi fisik yang relatif
aman dan mudah dijangkau, alasan lain adalah bahwa
titik tersebut berada dekat dengan sumber air dan
pangan mereka, yaitu ladang sagu, keladi, dan pisang
di mana mereka dapat bertahan hidup secara mandiri
dengan kondisi di mana komunitas masih menghadapi
kendala pada keterbatasan/ketiadaan akses informasi
(sinyal komunikasi) dan infrastruktur jalan untuk
menyalurkan bantuan.
Pembelajaran untuk kondisi lokal pada komunitas adat
di Mentawai adalah dengan mempertimbangan situasi
dan kondisi yang ada. Rencana kontinjensi secara
sederhana dapat disusun dengan pendekatan yang
partisipatif. Berdasarkan pengalaman pada peristiwa
gempa dan tsunami di Mentawai beberapa tahun lalu,
tantangan pada rencana kontinjensi yang perlu
dipertimbangkan, yaitu dengan optimalisasi sistem
analog ketimbang memaksakan pada teknologi digital
di mana masyarakat dan infrastruktur fisik belum
memiliki kesiapan yang memadai.
“Empat Hal Penting dalamMenyusun Rencana Kontijensi
di Tingkat Komunitas”
Ketiga Keempat
Dokumentasi, analisis, dan upaya pengarus-utamaanPRB dan bencana, mencakup kegiatan terhadappenguatan pendokumentasian dan pendataan datakondisi iklim di Mentawai, data bahaya dan risikobencana, analisa kebutuhan, dan rencana kebutuhandan strategi.
Tata ruang wilayah adat untuk eco-DRR, yaitu denganmenginisiasi kegiatan pelatihan pemetaan dan tataruang, pemetaan wilayah adat mencakup aspekpotensi ekonomi dan sosial, perencanaan tata ruang(perspektif wilayah adat), dan workshop denganpemerintah tentang tata ruang wilayah adat.
Intervensi pada penguatan ekonomi/sumberpenghidupan melalui upaya pengintegrasian sistemperingatan dini dan pengarusutamaan PRB padapeningkatan keberlangsungan sumber-sumberpenghidupan/mata pencaharian masyarakat adat,misalnya inisiatif pada pembentukkan kelompokmaupun permodalan kelompok usaha.
Advokasi kebijakan dan kampanye, meliputipenguatan kapasitas terhadap lobi dan advokasi,kegiatan lobi dan advokasi, pembentukkanjariangan/aliansi, dan penyusunan strategi kampanyedan pembuatan material kampanye secara kreatif.
Penguatan informasi dan media menjadi hal yangsangat krusial dalam mendukung penguatanmasyarakat adat terkait bencana secara langsungmaupun tidak langsung. Memastikan jalur informasitersampaikan secara optimal dan menguatkan medialokal dapat dilakukan dengan berbagai upaya terkaitpeningkatan kapasitas melalui pelatihan jurnalismebagi masyarakat adat (terutama pemuda adat),inisiasi membuat media atau penguatan terhadapmedia yang ada, dan dorongan untuk bermitra danberjejaring dengan media pada level lokal, nasional,dan internasional, baik itu media cetak, elektronik,maupun online
Pertama
Kedua
Ketiga
Keempat
Rekomendasi dalam Menguatkan Ketangguhan & Daya
Lenting Masyarakat Adat
We cannot stop natural disasters, but
we can arm ourselves with knowledge:
so many lives wouldn’t have to be
lost if there was enough disaster preparedness.Petra Nemcova
Kelima
Suara dari Mentawai
Suara dari Mentawai
The real man smiles in trouble, gathers strength from distress, and grows brave by reflection.
Thomas Paine