peran dan fungsi notaris dalam pembuatan kontrak …
TRANSCRIPT
Jurnal Hukum & Pembangunan Vol. 50 No. 1 (2020): 200-229
ISSN: 0125-9687 (Cetak) E-ISSN: 2503-1465 (Online)
Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id
DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol50.no1.2491
PERAN DAN FUNGSI NOTARIS DALAM PEMBUATAN
KONTRAK BAGI HASIL MINYAK DAN GAS BUMI DI INDONESIA
Zakia Vonna *, Sri Walny Rahayu **, M. Nur ***
* Mahasiswa Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
**,*** Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
Korespondensi: [email protected], [email protected], [email protected]
Naskah dikirim: 22 Mei 2019
Naskah diterima untuk diterbitkan: 12 Agustus 2019
Abstract
This article describes contract as one of the essential elements in commercial law, one
of which is the oil and gas sector. Therefore, in drafting the contract in the sector,
requirements set in prevailing laws and regulation need to be met. In practice,
notaries are often involved as public officials in the process of contract drafting in
accordance with Article 15 of Law No 2 of 2014 regarding the amendment for Law No
30 of 2004 regarding the Legal Constitution of Notary Public Profession, because they
are state officials who are authorized to draft and ratify contracts. This research was
aimed at explaining the role of a notary on the drafting and ratification of oil and gas
production sharing contract in Indonesia. This research was normative legal research
with a legal and philosophical approach, and the method was prescriptive analysis.
The technique adopted for the current research was library research by applying the
legal material analysis of secondary data.
Keywords: contract, oil and gas production sharing contract, notary.
Abstrak
Artikel ini membahas mengenai Kontrak sebagai salah satu instrumen penting dalam
hukum bisnis, salah satunya bisnis di bidang Migas. Oleh karena itu dalam
pembuatannya diperlukan syarat-syarat tertentu sehingga sesuai dengan aturan yang
berlaku. Dalam praktik, proses pembuatan kontrak bisnis sering melibatkan Notaris
sebagai pejabat umum sesuai dengan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris (UUJN) yang memiliki kewenangan di bidang penyusunan dan/atau
pengesahan kontrak-kontrak. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan
hukum serta peran dan fungsi Notaris dalam penyusunan dan/atau pengesahan Kontrak
Bagi Hasil Migas di Indonesia. Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif.
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan dan
filsafat dengan menggunakan metode analisa preskiptif. Dalam penelitian ini
digunakan teknik penelitian kepustakaan dengan menerapkan teknik pengolahan bahan
hukum melalui telaah kepustakaan yang diperoleh dari data sekunder. Kata Kunci: Kontrak, Kontrak Bagi Hasil Migas, Notaris.
Peran dan Fungsi Notaris, Zakia Vonna, Sri Walny Rahayu, M. Nur 201
I. PENDAHULUAN
Minyak dan Gas Bumi (Migas) merupakan sumber daya alam strategis tak
terbarukan yang dikuasai negara dan merupakan objek vital yang memegang peranan
penting dalam penyediaan bahan baku industri, pemenuhan kebutuhan energi dalam
negeri, dan penghasil devisa negara, maka pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal
mungkin agar dapat dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat.1 Oleh karena itu, di Indonesia, dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat
(2) dan ayat (3), ditegaskan bahwa “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara
dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Demikian pula
bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.”
Ketentuan lebih lanjut mengenai hak menguasai negara yang dikaitkan dengan tujuan
untuk memakmurkan dan mensejahterakan rakyat melalui pengelolaan sumber daya
alam termasuk Migas diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
Indonesia pernah menjadi salah satu negara dengan potensi Migas terbesar di
dunia2 memiliki cadangan minyak bumi baik yang telah terbukti maupun potensial
berjumlah 3,305.7 MMstb (Million Standard Tank Barrel) dan cadangan gas bumi
baik yang telah terbukti maupun potensial berjumlah 3,331.15 TSCF (Trilion Standard
Cubic Feet).3 Oleh karena itu Migas menjadi komoditas ekspor terpenting Indonesia
sejak tahun 1970-an. Selain itu, sebelum tahun 2006, Indonesia sempat menjadi
pengekspor LNG (Liquified Natural Gas) terbesar dunia selama hampir tiga dekade.4
Namun demikian, pada 2012 realisasi lifting minyak cenderung menurun dengan
lifting hanya 898.5 ribu barel rata-rata per hari. Kondisi ini telah menghasilkan
sentimen negatif tidak hanya pada pendapatan negara tetapi juga pada program
ketahanan energi Indonesia.5, 6
Kenaikan dan penurunan produksi Migas di Indonesia tidak terlepas dari
kebijakan dan regulasi yang diterapkan negara melalui Pemerintah baik melalui
peraturan perundang-undangan secara umum7 maupun kontrak yang secara khusus
mengikat Pemerintah dengan investor Migas.8 Di Indonesia, pengaturan mengenai
Migas diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi (UU Migas). UU Migas kemudian melahirkan PP No. 35 Tahun 2004 tentang
Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi sebagaimana diubah terakhir kali
1 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. 2 Muhammad Hatta Taliwang dan Salamuddin Daeng, Indonesiaku Tergadai, (Jakarta: Institute
Ekonomi Politik Soekarno Hatta, 2011), hal. 3. 3 Berdasarkan Laporan Tahunan SKK Migas 2015. <http://www.skkmigas.go.id/>, [diakses
25/08/2017]. 4 Hanan Nugroho, A Mosaic of Indonesian Energy Policy, (Bogor: IPB Press, 2011), hal. 14. 5 Haula Rosdiana, (et.al.), “Indonesia Property Tax Policy on Oil and Gas Upstream Business
Activities to Promote National Energy Security: Quo Vadis”, Jurnal Procedia Environmental Science,
Vol. 28, 2015, hlm. 342. 6 Ketahanan energi meliputi tiga aspek, yakni ketersediaan sumber energi, keterjangkauan
pasokan energi, dan kelanjutan pengembangan energi baru terbarukan. 7 Sebelum berlakunya UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, pengelolaan
Migas di Indonesia didasarkan pada UU No. 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan
Gas Bumi yang menghapus sistem konsesi sebagai bentuk kerjasama pengelolaan Migas di Indonesia
yang berlangsung sejak tahun 1910. Pada tahun 1899 Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan
Indische Mijnwet yang salah satunya mengatur mengenai pengelolaan Migas dilaksanakan dengan izin
konsesi oleh Gubernur Jenderal. 8 Naskah Akademik Rancangan Perubahan Undang-Undang Migas oleh Komisi VII Dewan
Perwakilan Rakyat Indonesia. hal. 4. <http://www.dpr.go.id/>, [diakses 16/01/2018].
202 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020
berdasarkan PP No. 55 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Pemerintah No. 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Kemudian pemerintah mengundangkan peraturan teknis mengenai bentuk kontrak bagi
hasil melalui PP No. 79 Tahun 2010 Tentang Biaya Operasi Yang Dapat
Dikembalikan Dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan
Gas Bumi (PP Cost Recovery) dan Permen ESDM No 52 Tahun 2017 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 08
Tahun 2017 Tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split (Permen ESDM Gross Split)
yang di dalamnya mengatur mengenai pedoman atas ketentuan pokok dalam Kontrak
Bagi Hasil Migas termasuk namun tidak terbatas mengenai besaran bagi hasil Migas
yang diterima oleh Pemerintah dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS),
pemanfaatan tenaga kerja, penggunaan tingkat kandungan dalam negeri, dan lain-lain.
Peraturan perundang-undnagan tersebut merupakan regulasi pemerintah sebagai
landasan disusunnya suatu kontrak bagi hasil Migas yang secara khusus dan terperinci
mengatur hak-hak dan kewajiban para pihak.
Kesepakatan Kontrak Bagi Hasil yang dilaksanakan antara Pemerintah Indonesia
dengan KKKS sebagaimana yang telah disebutkan di atas menjadi instrumen penting
dalam dunia usaha Migas sebagai nilai tawar pemerintah menggandeng investor
sebagai mitra untuk mengelola sumber daya Migas karena bisnis pada sektor Migas
merupakan bisnis yang padat modal, berisiko tinggi dan penuh ketidakpastian.9 Oleh
karena itu untuk melaksanakan proyek ini dibutuhkan investasi yang tinggi dan harus
mempunyai standar keselamatan yang tinggi pula,10 yang mana kesemua itu diatur
dalam suatu kontrak yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi pihak-
pihak yang terlibat di dalamnya. Pentingnya kontrak terkait pula dengan aspek-aspek
yang hendak dicapai oleh pihak-pihak yang membuatnya.
Mengingat pentingnya suatu kontrak dalam suatu transaksi bisnis seperti Migas,
maka dalam pembuatan kontrak diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu sehingga
kontrak tersebut tetap sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku, oleh
karena itu dalam praktik di Indonesia, proses pembuatan kontrak Migas, seperti halnya
juga kontrak bisnis lain, harusnya melibatkan Notaris sebagai pejabat umum yang
memiliki kewenangan di bidang penyusunan dan/atau pengesahan kontrak-kontrak
bisnis.11,12 Namun, dalam hal ini peran dan fungsi notaris dalam pembuatan kontrak
bagi hasil migas belum menjadi fokus penelitian di bidang hukum. Oleh karena itu,
penelitian ini menganalisis peraturan perundang-undangan yang mengatur baik
mengenai Migas maupun organisasi notaris dalam kaitannya dengan peran dan fungsi
yang dapat dilakukan oleh notaris dalam pembuatan kontrak bagi hasil Migas di
Indonesia.
II. METODE PENELITIAN
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada
metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu
9 Easo, Jubilee, Licences, Concessions, Production Sharing Agreements, and Service Contracts,
in Oil and Gas: A Practical Handbook, edited by Geoffrey Picton-Turbervill, UK: Globe Business
Publishing Ltd, 2009, hlm. 27. 10 Sulistiyono, “Analisa Kelayakan Penambahan Sumur Produksi Minyak dan Gas Bumi. (Studi
Kasus PT. Conoco Phillips Indonesia)”, Jurnal Ilmiah Magister Teknik Geofisika UPN “Veteran”, Vol.
4, No. 1, hlm. 1, (2011). 11 Kewenangan Notaris diatur dalam Pasal 15 UUJN. 12 Salim H. S., (et.al.), Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU), Cet.
5, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hlm. 24-25.
Peran dan Fungsi Notaris, Zakia Vonna, Sri Walny Rahayu, M. Nur 203
atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisisnya, 13 adapun jenis
penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, yaitu dengan meneliti bahan pustaka
berupa buku-buku, artikel dan kontrak bagi hasil Migas, namun di samping meneliti
data sekunder, dalam pembahasan artikel ini juga melibatkan wawancara ahli di
bidang Migas sebagai penunjang bahan-bahan hukum yang diperoleh. Pendekatan
penelitian yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan dan filsafat dengan
menggunakan metode analisis preskiptif.
Dalam penelitian ini digunakan teknik penelitian kepustakaan dengan
menerapkan teknik pengolahan bahan hukum melalui telaah kepustakaan yang
diperoleh dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.
III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
3.1. Konsep Hukum Kontrak di Indonesia
Indonesia sebagai Negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental (civil
law)14 dalam merujuk pada sumber hukum, lazim berasal dari hukum yang tertulis
(written code).15 Salah satu hukum tertulis yang digunakan sebagai sumber hukum
adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). KUHPerdata berasal
dari Burgerlijk Wetboek Belanda yang diberlakukan di Indonesia berdasarkan asas
konkordansi sejak tanggal 1 Mei 1848 (stb. 1848 No. 10) hingga saat ini. 16
KUHPerdata merupakan sumber hukum materil di bidang privat karena mengatur
hubungan antar orang perorangan serta badan hukum,17 bidang-bidang hukum yang
dicakup oleh hukum privat termasuk namun tidak terbatas pada Hukum Keluarga,
Hukum Kekayaan Intelektual and Hukum Bisnis.18
Salah satu persoalan hukum yang bersumber dan diatur dalam KUH Perdata
adalah mengenai Perikatan. Perikatan diatur dalam buku ketiga mulai dari Pasal 1233
sampai dengan Pasal 1864. Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan bahwa perikatan
lahir dari adanya suatu persetujuan atau undang-undang. Selanjutnya baik perikatan
yang lahir karena suatu persetujuan maupun karena undang-undang, keduanya
ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat
sesuatu.19
Istilah persetujuan dalam KUH Perdata berasal dari kata overeekomst dalam
Bahasa Belanda yang memiliki arti perjanjian, 20 oleh karena itu persetujuan
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata adalah perjanjian atau
kontrak. Berdasarkan definisi persetujuan, momentum hubungan hukum yang
terbentuk antara subjek hukum dalam suatu perjanjian tidak hanya ditentukan dengan
suatu kesepakatan tertulis, hal ini berbeda dengan definisi perjanjian yang memiliki
13 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1984,
hlm. 43. 14 Choky R. Ramadhan, “Konvergensi Civil Law dan Common Law di Indonesia dalam
Penemuan dan Pembentukan Hukum,” Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 30, No. 2, hlm. 214, (2018). 15 Mc Alinn, Gerald Paul dalam Choky R. Ramadhan, Ibid. 16 Riduan Syaharani, “Masalah Bunga dan Perubahan Nilai Mata Uang,” Jurnal Hukum dan
Pembangunan, Vol. 11 No. 4, hlm. 362, (1981). 17 Chrisstar Dhini, (et.al.), “Harmonisasi Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Dengan Convention on Contracts for the International Sales of Goods dan United Nation Commission
on International Trade Law Terhadap Kontrak Dagang Internasional,” Jurnal Privat Law Vol. 3, No 2,
hlm. 26, (2015). 18 Goldberg, John C. P., “Introduction: Pragmatism and Private Law", Harvard Law Review,
Vol. 125, hlm. 1640, (2012). 19 Pasal 1234 KUH Perdata 20 C. S. T. Kansil, Modul Hukum Perdata Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya
Paramita, 2006, hlm. 10.
204 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020
arti lebih sempit sebagaimana yang dikemukakan oleh R. Subekti, karena hanya
ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan tertulis.
Menurut Subekti suatu perjanjian yang dibuat dalam bentuk tertulis dapat
disebut kontrak, sedangkan yang dibuat secara lisan dapat disebut sebuah perjanjian
atau persetujuan. 21 Namun istilah kontrak atau perjanjian dalam sistem hukum
nasional memiliki pengertian yang sama, seperti halnya di Belanda yang tidak
membedakan antara pengertian contract dan overeenkomst,22 hal ini sejalan dengan
pendapat Munir Fuady dan Novina Sri Indiraharti bahwa kontrak dapat disebut pula
dengan perjanjian, yang merupakan terjemahan dari kata “agreement” dalam Bahasa
Inggris. 23 24 Jadi baik kontrak maupun perjanjian kedua-duanya memilik arti dan
makna yang sama. (untuk selanjutnya tulisan ini menggunakan istilah Kontrak).
Secara umum Hukum Kontrak di Indonesia diatur dalam Pasal 1313 KUH
Perdata, Pasal 1313 KUH Perdata memberikan definisi kontrak sebagai suatu
perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau
lebih. Menurut Van Dunne, kontrak adalah hubungan hukum antara satu pihak atau
lebih yang didasarkan pada suatu kesepakatan untuk selanjutnya melahirkan hubungan
hukum.25 Lebih lanjut, definisi kontrak menurut Salim HS: “hubungan hukum antara
subjek hukum yang satu dengan subjek hukum yang lain dalam bidang harta
kekayaan, dimana subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek
hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang
telah disepakatinya.”26
Peraih Nobel Prize dalam bidang Hukum Kontrak dan Ekonomi sekaligus
pencetus teori kontrak, Oliver Hart dan Beng R. Holmstrom tidak secara eksplisit
mendefinisikan apa yang dimaksud dengan kontrak, hal tersebut karena kontrak
merupakan kebebasan berkehendak para pihak yang dituangkan dalam suatu dokumen
hukum yang berisi keputusan-keputusan dan persetujuan atas hal-hal yang belum
terjadi.27
Penjelasan bebas penulis mengenai definisi kontrak menurut Hart dan
Holmstrom adalah suatu teori ekonomi yang melibatkan cara bagaimana para pihak
dapat mengembangkan suatu kontrak dalam situasi yang di dalamnya terdapat
informasi-informasi yang tidak saling sama atau asimetris antar para pihak. Teori
kontrak menganalisis bagaimana para pemangku kepentingan dalam suatu kontrak
membuat keputusan dan menyepakati persyaratan tertentu jika terjadi hal yang tidak
terduga. Teori kontrak menerapkan prinsip-prinsip perilaku ekonomi dan keuangan
karena pihak-pihak yang terlibat di dalamnya termotivasi oleh hak-hak yang akan
diperolehnya untuk melakukan atau tidak untuk melakukan suatu tindakan tertentu.
Lebih lanjut, terhadap kontrak komersial yang diadakan lintas Negara,
Schmitthoff mendefinisikannya sebagai suatu bentuk aturan yang mengatur hubungan
komersial yang bersifat hukum privat yang melibatkan berbagai negara.28
21 R. Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 2010, hlm. 1. 22 Johannes Ibrahim dan Lindawati Sewu, Hukum Bisnis dalam Persepsi Manusia Modern,
Bandung: Refika Aditama, 2007, hlm. 43. 23 Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek Buku Ketiga, Op.cit., hlm. 9. 24 Novina Sri Indiraharti, “Aspek Keabsahan Perjanjian Dalam Hukum Kontrak (Suatu
Perbandingan Antara Indonesia dan Korea Selatan)”, Jurnal Hukum Prioris, Vol. 4 No. 1, hlm. 20,
(2014). 25 Van Dunne dalam Ibid., hlm. 20. 26 Salim H. S., (et.al.), Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU), Cet.
5, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hlm. 9. 27 Hart, Oliver, “Incomplete Contracts and Public Ownership: Remarks, and An Application To
Public-Private Partnerships,” The Economic Journal, Vol. 113, No. 486, hlm. 70, (2003). 28 Schmitthoff, Clive M. dalam Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta: Raja
Grafindo, 2006, hlm. 4.
Peran dan Fungsi Notaris, Zakia Vonna, Sri Walny Rahayu, M. Nur 205
Pengertian kontrak dalam Pasal 1313 KUH Perdata sebagaimana telah
dijabarkan sebelumnya melahirkan pengaturan lebih lanjut mengenai syarat sahnya
suatu kontrak. Pengaturan mengenai sahnya suatu kontrak diatur dalam Pasal 1320
KUH Perdata. Abdul Kadir Muhammad berpendapat bahwa suatu kontrak harus
memenuhi beberapa unsur yaitu ada pihak-pihak, ada tujuan yang akan dicapai, ada
kewajiban atau prestasi yang harus dilaksanakan, ada bentuk tertentu (lisan atau
tertulis), dan ada syarat-syarat tertentu.29 Adapun ke empat syarat tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya (konsensus);30
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;31
3. Suatu pokok persoalan tertentu;32 4. Suatu sebab yang tidak terlarang.33
Definisi-definisi kontrak yang dikemukakan di atas pada dasarnya bermuara
pada teori kontrak sosial yang dikemukakan oleh J. J. Rousseau, Thomas Hobbes, dan
John Locke. Rousseau dalam The Social Contract mengemukakan masyarakat yang
29 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Yogyakarta: Yudistia, 2004, hlm. 24. 30 Asas konsensus muncul dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Dalam hukum Jerman tidak
dikenal asas konsensus, tetapi yang dikenal adalah kontrak riil dan kontrak formal. kontrak riil adalah
suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata. Sedangkan yang disebut kontrak formal
adalah suatu kontrak yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta autentik maupun
akta di bawah tangan). Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan contractus
innominat, yang artinya bahwa terjadinya kontrak apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan,
(Rahmani Timorita Yulianti, “Asas-Asas Perjanjian (Akad) dalam Hukum Kontrak Syari’ah,” Jurnal
Ekonomi Islam La Riba, Vol. 2, No. 1, hlm. 100, (2008). 31 Kecakapan seseorang dalam melakukan perbuatan hukum di Indonesia didasarkan pada
konteks perbuatan hukum apa yang hendak dilakukan, (Agustinus Danan Suka Dharma, “Keberagaman
Pengaturan Batas Usia Dewasa Seseorang Untuk Melakukan Perbuatan Hukum Dalam Peraturan
Perundang-Undangan di Indonesia,” Jurnal Repertorium, Volume II No. 2 (2015), hlm. 168). Pasal 1329
KUHPerdata menyatakan bahwa pada dasarnya setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan.
Perbedaan batas usia cakap melakukan perbuatan hukum, dalam membuat suatu kontrak atau akta
apabila dikaitkan antara ketentuan dalam Pasal 330 KUH Perdata dengan Pasal 39 ayat (1) UUJN
sangat bertolak belakang, di satu sisi KUH Perdata mengatur batas kecakapan minimal 21 (dua puluh
satu) tahun sedangkan UUJN mengatur mereka yang menghadap Notaris untuk membuat kontrak atau
akta paling rendah berusia 18 tahun, (ibid, hlm 170-174). Perbedaan tersebut sangat kontras karena
kedua ketentuan perundang-undangan ini merupakan norma dasar yang mengatur perbuatan hukum
yang sama, yakni untuk melaksanakan suatu perikatan atau kontrak. Namun sebagai bentuk
penyelesaian hukum atas hal ini dapat digunakan asas preferensi hukum melalui cara melakukan
interpretasi ulang atas ketentuan batas usia dewasa dengan menerapkan asas lex specialis derogat legi
generalis (hukum khusus dapat mengenyampingkan hukum umum), (Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri
Djatmiati, Argumentasi Hukum, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2009, hlm. 31). Dalam hal
tidak terpenuhinya unsur cakap hukum ini, maka atas kontrak yang telah dibuat oleh para pihak dapat
dimintakan pembatalan ke Pengadilan, (Nindyo Pramono, “Problematika Putusan Hakim Dalam
Perkara Pembatalan Perjanjian.” Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 22, No. 2, hlm. 230, (2010). 32 Selain diperlukannya itikad baik oleh para pihak dalam membuat kontrak, suatu kontrak agar
terpenuhi syarat sahnya harus memiliki objek atau suatu pokok persoalan tertentu. Hal - hal yang dapat
menjadi objek suatu kontrak adalah benda bergerak seperti kendaraan, benda tidak bergerak seperti
tanah dan rumah, benda berwujud seperti barang-barang, dan benda tidak berwujud seperti jasa dan
piutang, (Fajar Sugianto, “Perancangan dan Analis Kontrak,” Jawa Timur: R.A. De Rozarie, 2018, hlm.
13.) Suatu kontrak yang tidak memenuhi syarat adanya persoalan tertentu maka kontrak tersebut batal
demi hukum (null and void) artinya posisi hukum para pihak menjadi kembali ke keadaan sebelum
kontrak tersebut ada dan segala perbuatan hukum yang pernah dilakukan dianggap tidak pernah ada,
Ifada Qurrata A’yun Amalia, “Akibat Hukum Pembatalan Perjanjian Dalam Putusan Nomor
1572K/PDT/2015 Berdasarkan Pasal 1320 dan 1338 KUH Perdata” Jurnal Hukum Bisnis Bonum
Commune, Vol. 1, No. 1, hlm. 64, (2018). 33 Pasal 1335 juncto 1337 KUH Perdata menyatakan, suatu sebab dibentuknya kontrak
dinyatakan terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
206 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020
hidup dalam suatu Negara mengadakan kontrak sosial berdasarkan kehendak bebas
individu-individu (free will) agar tercapai ketertiban, kestabilan dalam suatu Negara,
dan kepastian hukum di antara mereka.34
Kepastian hukum merupakan hakikat dari mengikatnya suatu kontrak antar para
pihak. Mengikatnya suatu kontrak dapat dilihat dari sudut pandang aliran dalam
filsafat hukum seperti aliran hukum alam oleh Grotius, yang mana kontrak adalah
kesepakatan timbal balik para pihak (mutual compact) yang memiliki daya mengikat
dari hukum alam, hal ini merupakan konsekuensi dari individu yang merupakan
makhluk lemah sehingga ia mengikatkan diri pada suatu masyarakat dimana ia tinggal
untuk memenuhi kebutuhannya.35
Hans Kelsen melalui mazhab Wiena berpendapat bahwa daya ikat suatu kontrak
berasal dari dua doktrin, yaitu transaksi hukum dan tindakan hukum. Transaksi hukum
dilihat sebagai tindakan untuk menciptakan hukum dan untuk menerapkan hukum oleh
individu yang diberi wewenang oleh hukum secara sah, dengan kata lain transaksi ini
menciptakan suatu hukum yang berbentuk kontrak. Tindakan transaksi hukum tidak
terlepas dari doktrin kedua, yaitu tindakan atau penerapan hukum yang merupakan
hasil dari adanya transaksi hukum, yang mana para pihak dalam hal ini mengatur
hubungan-hubungan hukum dalam kerangka hak dan kewajiban yang dijadikan norma
antara para pihak.36
Mark Zimmerman berpendapat bahwa kontrak berfungsi sebagai dokumen
hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pihak-pihak yang
terlibat di dalamnya. Apabila nantinya terjadi perselisihan mengenai pelaksanaan
kontrak, maka kontrak tersebut digunakan sebagai rujukan untuk menyelesaikan
perselisihan. Apabila perselisihan tidak dapat juga diselesaikan maka akan ditempuh
jalur litigasi dan isi kontrak itu akan dijadikan rujukan oleh hakim untuk
menyelesaikan perselisihan tersebut.37
Di samping fungsi, kontrak juga memiliki tujuan dibentuk oleh pihak-pihak.
Dilihat dari tujuan dibentuknya suatu kontrak, Gerald Fridman berpendapat, tujuan
utama dari hukum kontrak adalah untuk menegakkan janji para pihak. Agar kontrak
terbentuk, objek yang diperjanjikan harus ada dan para pihak harus atas kehendaknya
berniat untuk terikat secara hukum. Menurut Oliver Hart kontrak bertujuan sebagai
aturan mengenai mekanisme apabila terjadi sesuatu, kontrak juga mendorong
timbulnya penghargaan bagi mereka yang memberikan dan menerima prestasi, sejalan
hal tersebut, kontrak secara umum juga bertujuan menanggung risiko-risiko antara
mereka yang terlibat dalam suatu kontrak.38
3.2. Konsep Kontrak Bagi Hasil Migas di Indonesia
Sistem pengaturan kontrak di Indonesia sebagaimana ketentuan Pasal 1338
Perdata adalah sistem terbuka,39 artinya bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan
34 Idrus Ruslan, “Pemikiran “Kontrak Sosial” Jean Jacques Rousseau dan Masa Depan Umat
Beragama,” Jurnal Al-Adyan, Vol. 8, No. 2, hlm. 25 – 27, (2013). 35 Grotius, Hugo dalam Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Op.cit., hlm.
15. 36 Kelsen, Hans dalam Ibid, hlm. 16-17. 37 Mark Zimmerman dalam Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan
Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian (Credit Bank Indonesia), Jakarta: Institut Bankir
Indonesia, 1995 hlm. 131-132. 38 Hart, Oliver, “Contract Theory,” <https://www.nobelprize.org/uploads/2018/06/popular-
economicsciences2016.pdf,> [diakses 10/03/2019] 39 Kartika Dengah, “Eksistensi Serta Akibat Penerapan Sistem Terbuka Pada Hukum Perikatan,”
Jurnal Rechtidee, Vol. 12, No. 1, hlm. 143, (2017).
Peran dan Fungsi Notaris, Zakia Vonna, Sri Walny Rahayu, M. Nur 207
kontrak, baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur dalam undang-undang.40
Di Indonesia selain adanya kontrak yang diatur dalam KUH Perdata
(nominaat/kontrak bernama) dikenal pula adanya berbagai macam kontrak yang tidak
ditemukan dalam KUH Perdata.41 Bentuk-bentuk kontrak yang tidak ditemukan dalam
KUH Perdata dikategorikan ke dalam kontrak innominaat (kontrak tidak bernama),
yaitu kontrak yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam masyarakat setelah adanya
KUH Perdata.42 Salah satu bentuk kontrak innominaat adalah Kontrak Bagi Hasil
Migas.43
Menurut Achmad Madjedi Hasan keabsahan suatu kontrak terutama kontrak
yang bersifat obligatoir sangat penting untuk diatur secara terperinci karena hal
tersebut merupakan bagian dari penggerak ekonomi pasar yang bersifat transaksional
dalam menyerahkan dan menerima suatu prestasi oleh para pihak yang terlibat di
dalamnya. 44 Suatu kontrak sesuai dengan definsinya melahirkan perikatan, hal ini
sesuai dengan ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata. Perikatan yang dilahirkan oleh
kontrak dapat berupa untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau untuk tidak
berbuat sesuatu 45 . Kontrak Bagi Hasil Migas merupakan jenis Kontrak yang
melahirkan perikatan yang ditujukan untuk memberikan dan berbuat sesuatu, namun
pada saat KUH Perdata disusun, Kontrak Bagi Hasil Migas belum timbul sehingga
konsepnya tidak diatur dalam KUH Perdata, oleh karenanya pengaturan mengenai
Kontrak Bagi Hasil Migas secara khusus berpedoman pada peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai Migas (UU Migas, PP Migas, dan Peraturan
Menteri terkait).
Tanpa mengenyampingkan ketentuan khusus dalam peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai Migas, Kontrak Bagi Hasil Migas dalam
pelaksanaannya secara umum harus berpedoman pada ketentuan umum yang mengatur
mengenai Kontrak, yaitu Buku ke-III KUH Perdata. Pasal 1319 KUHPerdata telah
mengatur penundukan hukum tersebut sebagai berikut, “semua persetujuan, baik yang
mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu,
tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lain.”
Berdasarkan hal tersebut, Kontrak Bagi Hasil Migas menganut ketentuan hukum yang
bersifat khusus dan oleh sebabnya dapat berlaku asas lex specialis derogat legi
generali.46
Berdasarkan penjabaran di atas, Kontrak Bagi Hasil Migas ditinjau dari sifatnya
dapat dikategorikan sebagai kontrak campuran karena selain tunduk pada hukum
privat, Kontrak tersebut juga tunduk pada hukum publik. Pengkategorian ini juga
terkait dengan pengaruh kepentingan hukum yang mengaturnya, satu sisi mengatur
hubungan keperdataan antara SKK Migas dan KKKS sebagai subjek hukum perdata
dalam kontrak bisnis, sisi lainnya mengatur kepentingan publik yaitu pengelolaan
sumber daya Migas sebagai objek kontrak,47 walaupun pembagian jenis kontrak dalam
40 Arman Nefi (et.al.), “Implikasi Keberlakuan Kontrak Karya PT Freeport Indonesia Pasca
Undang-Undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,” Jurnal Hukum dan
Pembangunan, Vol. 48, No. 1, 137-163, (2018). 41 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Jakarta:
Rajawali Press, 2010, hlm. 83. 42 Salim H. S., (et.al.), Op.cit., hlm.18. 43 Azahery Insan Kamil, (et.al.), “Hukum Kontrak Dalam Perspektif Komparatif (Menyorot
Perjanjian Bernama Dengan Perjanjian Tidak Bernama),” Jurnal Serambi Hukum, Vol. 8, No. 2, hlm.
139, (2014). 44 Achmad Madjaedi Hasan, Op.cit., hlm. 103. 45 Pasal 1234 KUHPerdata 46 Achmad Madjedi Hasan dalam Muhammad Syahrir, Op.cit., hlm. 24. 47 Sanusi Bintang, “Pendekatan Sistem Terhadap Hukum Publik dalam Kontrak Penanaman
Modal Internasional,” Kanun Jurnal Ilmu Hukum, No. 66, Th. XVII, hlm. 404, (2015).
208 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020
sistem hukum Indonesia tidak secara jelas mengaktegorikan suatu kontrak masuk
dalam ranah publik atau ranah privat, pada dasarnya ketentuan umum mengenai
terbentuknya suatu kontrak apakah itu publik atau privat telah ditetapkan dalam
KUHPerdata.48
Menurut Herlien Budiono perbedaan antara kontrak yang tunduk pada ranah
privat dan publik adalah relatif, karena pada dasarnya semua ketentuan kontrak dalam
hukum perdata berlaku terhadap kontrak publik. Artinya badan hukum publik dapat
menggunakan instrumen hukum privat dan terikat dengan segala hak dan kewajiban
terkait, kecuali dalam hal yang dilarang peraturan perundang-undangan.49 Apa yang
terkandung dalam kontrak publik pada dasarnya adalah kemauan sepihak dari pembuat
kebijakan (pemerintah). Biasanya syarat-syarat dalam kontrak telah disiapkan secara
sepihak oleh pemerintah. Pihak KKKS hanya mempunyai dua pilihan, setuju atau
tidak, 50 namun tidak menutup kemungkinan untuk melakukan penawaran-penawaran
sepanjang hal tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
kesusilaan, dan kebiasaan.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi (UU Migas), pengelolaan Migas di Indonesia didasarkan pada Undang-
Undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi
yang menghapus sistem konsesi sebagai bentuk kerjasama pengelolaan Migas di
Indonesia yang berlangsung sejak tahun 1910 berdasarkan Indische Mijn Wet dalam
Staatblad No. 124, 1899, selanjutnya diubah pada tahun 1910 yang kemudian diikuti
oleh Wet Ordonantie (Staatblad No. 38, 1930) yang merupakan landasan hukum bagi
segala bentuk kegiatan pertambangan di Indonesia pada masa itu.51
Sejak berlakunya UU Migas, pengelolaan Migas berubah menggunakan sistem
Kontrak Kerja Sama (KKS). Sistem pengelolaan ini merupakan suatu sistem terbuka
(open system) yang dianut sejak kuasa pertambangan diserahkan kepada Pemerintah
melalui SKK Migas (sebelumnya BP Migas).52 Artinya siapa saja bagi mereka yang
memiliki kemampuan baik modal maupun sumber daya manusia dapat melakukan
pengelolaan Migas sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan Pemerintah.
Hubungan kontraktual pemerintah dengan swasta merupakan hubungan yang
didasarkan pada bentuk pengalihan risiko53 oleh karenanya Pemerintah menggandeng
investor dalam pengelolaan Migas. Hubungan ini juga sering diistilahkan dengan
Business-Government Relations (B to G)54. Hal ini ada kaitannya dengan teori kontrak
yang dikemukanan oleh Oliver Hart yang mengatur mana saja bidang atau objek yang
sebaiknya diserahkan kepada pihak swasta atau dilaksanakan sendiri oleh Pemerintah
berdasarkan pertimbangan politik, hukum, dan ekonomi. 55 Hubungan kontraktual
48 Deviana Yuanitasari, “The Role of Public Notary in Providing Legal Protection on Standard
Contracts for Indonesian Consumers,” Sriwijaya Law Review, Vol. 1, No. 2, hlm 186, (2017). 49 Herlien Budiono,. Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Kenotariatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2009, hlm. 25. 50 Faizal Kurniawan, “Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Kekayaan Minyak Dan Gas Bumi
Sebagai Aset Negara Melalui Instrumen Kontrak,” Jurnal Perspektif, Vol. 18, No. 2, hlm. 78, (2013). 51 Shofia Shobah, (et.al.), “Cost Recovery Dalam Kontrak Kerjasama Minyak dan Gas Bumi di
Indonesia Ditinjau Dari Hukum Kontrak Internasional,” Jurnal Hukum Universitas Brawijaya, (2015),
hlm. 2. 52 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 tentang Uji Materil UU Migas, hlm.
18-19. 53 Benny Lubiantara, Ekonomi Migas: Tinjauan Aspek Komersial Kontrak Migas, Jakarta:
Grasindo, 2012, hlm. 10-11. 54 Bach, David dan Unruch, Gregory C., Business-Government Relations in a Global Economy:
Broadening the Conceptual Map, Madrid: Instituto de Empresa, 2004, hlm. 2. 55 <https://www.nobelprize.org/prizes/economic-sciences/2016/hart/lecture/> [diakses,
15/03/2019].
Peran dan Fungsi Notaris, Zakia Vonna, Sri Walny Rahayu, M. Nur 209
antara pemerintah dengan sektor privat seperti KKKS dalam pengelolaan Migas
menurut pendapat Hart merupakan bentuk hubungan hukum yang ideal, hal ini karena
apabila pemerintah melakukan pengelolaan secara pribadi dinilai cenderung lebih
politis karena posisi pemerintah dalam masyarakat sangat unik.56
Sejalan dengan pendapat Hart, Kammarck berpendapat bahwa hubungan yang
dilakukan suatu pihak, baik Pemerintah atau pihak non-pemerintah lain dengan sektor
swasta dianggap lebih efisien daripada hanya hubungan dalam suatu struktur tata
kelola tradisional seperti yang dianut dalam Pemerintahan, 57 namun pendapat ahli
tersebut tidak sejalan dengan Vicky W. Knerl yang beranggapan bahwa hubungan
kontraktual antara pemerintah dengan swasta cenderung tidak efektif karena rumit dan
memiliki tata kelola yang tidak baik.58
Sornarajah dalam Huala Adolf mengkategorikan Kontrak Bagi Hasil Migas ke
dalam kontrak pembangunan ekonomi atau kontrak negara (state contract) karena
bentuk dari kontrak memuat ciri-ciri: (1) berjangka waktu cukup lama, 25 tahun
sampai 70 tahun; (2) nilai kontrak cukup besar; (3) objek kontrak tidak semata-mata
mencari keuntungan, namun memiliki tujuan untuk kepentingan sosial; (4) objek
kontrak tunduk pada monopoli pemerintah; (5) hukum yang berlaku dan dipilih adalah
hukum nasional negara tuan rumah; (6) adanya persyaratan administratif yang bersifat
publik; dan (7) objeknya menyangkut kepentingan rakyat banyak.59
Mariam Darus Badrulzaman mengkategorikan kontrak antara pemerintah dengan
badan usaha atau bentuk usaha tetap seperti Kontrak Bagi Hasil Migas sebagai kontrak
publik karena sebagian dari kontrak tersebut dikuasai oleh hukum publik seperti
subjek hukum yang salah satunya adalah Pemerintah.60Keterlibatan Pemerintah dalam
Kontrak Bagi Hasil Migas menunjukan tindakan pemerintah tersebut diklasifikasikan
dalam tindakan pemerintahan yang bersifat keperdataan. 61
Adanya unsur publik dalam Kontrak Bagi Hasil Migas tidak terlepas dari
kepentingan-kepentingan sosial sebagaimana tujuan dari pengelolaan Migas itu sendiri
sehingga terkadang makna keseimbangan dalam kontrak tersebut bergeser. Menurut
Mariam Darus Badrulzaman, asas keseimbangan memiliki makna sebagai
keseimbangan posisi para pihak yang melangsungkan kontrak, oleh karena itu, dalam
hal terjadi ketidakseimbangan posisi yang menimbulkan gangguan terhadap substansi
kontrak diperlukan adanya intervensi dari pihak-pihak tertentu yang berwenang seperti
halnya Pemerintah.62
Kedudukan yang tidak seimbang antara subjek Kontrak Bagi Hasi Migas,
dipisahkan oleh para ahli berdasarkan status negara sebagai suatu negara yang
berdaulat (jurio imperii) dan status negara yang melakukan tindakan komersial (jurii
gestionis). Berdasarkan prinsip jurii gestionis, negara dianggap telah menanggalkan
kedaulatannya sehubungan dengan tindakan negara di bidang bisnis, hal ini dilakukan
agar kedudukan para pihak dalam kontrak komersial dapat berada dalam kedudukan
56 Ibid. 57 Kamarck dalam Wang, Sijun dan Bunn, Michele D., “Government/Business Relationships:
Insights Into Contract Implementation,” Journal of Public Procurement, Vol. 4, Issue 1, hlm 91, (2004). 58 Knerl, Vicky W., “Contracting with the U.S. Government: A Small Business Perspective,”
Journal of Contract Management, hlm. 73, (2007). 59 Sornarajah dalam Huala Adolf, Op.cit., hlm. 126-127. 60 Mariam Darus Badrulzaman (et.al.), Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2001, hlm. 69. 61 Abdul Rokhim, “Hubungan Kontraktual Antara Pemerintah dan Kontraktor Swasta Dalam
Kontrak Pertambangan Minyak dan Gas Bumi,” Jurnal Rechtidee, Vol. 12, No. 1, hlm. 41, (2017). 62 Mariam Darus Badrulzaman dalam Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, Asas
Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Jakarta: Kencana, 2013, hlm. 79.
210 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020
seimbang (prinsip equality of the parties),63 namun keseimbangan di sini tidak hanya
diihat dari konteks keseimbangan yang dapat diperhitungkan, tetapi juga pada proses
dan mekanisme pertukaran hak dan kewajiban yang berlangsung secara adil.64
Salah seorang Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Harjono, dalam dissenting
opinion uji materil UU Migas berpendapat bahwa dalam kaitannya dengan posisi
Negara yang melakukan hubungan kontraktual yang telah melepaskan fungsi
kontrolnya kepada badan hukum publik (SKK Migas), Negara sebagai pembuat
aturan tidak dapat melepaskan diri dan tetap tidak dapat bertindak sewenang-wenang,
oleh karenanya apabila terjadi sengketa dikemudian hari, pihak swasta tetap bisa
menggugat Pemerintah dalam posisi bukan sebagai subjek hukum perdata biasa namun
sebagai suatu bentuk Pemerintahan.65
Lebih lanjut mengenai adanya unsur asing sebagai pihak dalam Kontrak Bagi
Hasil Migas memberikan definisi lebih luas terhadap Kontrak Bagi Hasil Migas itu
sendiri, namun hal tersebut tidak menjadikan suatu kontrak dianggap sebagai
perjanjian Interasional, hal ini sebagaimana pendapat Hikmahanto Juawana, bahwa
terkait dengan Kontrak Bagi Hasil Migas, merupakan kontrak perdata dan bukan suatu
perjanjian internasional yang tunduk pada rumpun hukum publik.66
Putusan MK tentang Uji Materil UU Migas telah membedakan secara lebih jelas
antara kontrak internasional dan traktat (perjanjian internasional). Hal ini dianggap
penting karena dalam peraturan perundang-undangan dan literatur di Indonesia tidak
secara jelas memisahkan makna keduanya. Inti dari pertimbangan putasan MK
tersebut bahwa Kontrak Bagi Hasil dan kontrak lain sejenisnya bukan merupakan
perjanjian internasional sebagaimana dimaksud Pasal 11 ayat (2) UUD 1945. Dengan
demikian, terhadap kontrak internasional tidak tunduk pada hukum traktat yang
merupakan bagian dari hukum publik, tetapi tunduk pada hukum kontrak yang
merupakan bagian dari hukum privat.67, 68
Perihal klasifikasi kontrak antar Pemerintah dengan swasta, sistem hukum
Indonesia belum secara jelas mengatur asas-asas dan peraturan yang harus berlaku
bagi kontrak yang sifatnya campuran ini yang mana sewaktu-waktu dapat mengubah
posisi swasta dan Pemerintah menjadi tidak seimbang layaknya kontrak bisnis pada
umumnya.69
Terkait dengan filosofinya, Kontrak Bagi Hasil di Indonesia nemiliki cara
tersendiri dalam mengatur pembagian hak dan kewajiban di antara para pihak.
Pengaturan tersebut didasarkan pada konsep pengelolaan sumber daya alam
sebagaimana yang diamanatkan Pasal 33 UUD 1945, bahwa Migas adalah
milik bangsa Indonesia dan hanya dipergunakan untuk sebesar - besarnya
kemakmuran rakyat Indonesia. Pengaturan tersebut dituangkan dalam UU Migas
63 Huala Adolf, Op.cit., hlm. 56. 64 Agus Yudha Hernoko, Op.cit., hlm. 84. 65 Butt, Simon dan Fritz Edward Siregar, Analisis Kritik Terhadap Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012”, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 25, No. 1, hlm. 9, (2013). 66 Hikmahanto Juwana dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. No.36/PUU-X/2012 tentang
Uji Materil UU Migas, hlm. 83. 67 Sanusi Bintang, Op.cit., hlm. 860. 68 Lihat juga pendapat Hikmahanto Juwana dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
36/PUU-X/2012 tentang Uji Materil UU Migas. 69 Sunaryati Hartono, “Upaya Menyusun Hukum Ekonomi Indonesia Pasca Tahun 2003,”
Seminar Pembangunan Nasional VIII Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan
Berkelanjutan, diselenggarakan oleh: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan
Hak Asasi Manusia, Denpasar, 14-18 Juli 2003, hlm. 9.
Peran dan Fungsi Notaris, Zakia Vonna, Sri Walny Rahayu, M. Nur 211
secara umum sebagai pedoman penyusunan Kontrak Bagi Hasil yang kemudian
banyak ditiru oleh Negara-negara penghasil Migas lainnya.70
Batasan definisi Kontrak Bagi Hasil Migas diatur oleh Pasal 1 Angka 12
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan
dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (PP
tentang Cost Recovery), yaitu “Kontrak Bagi Hasil adalah suatu bentuk Kontrak Kerja
Sama dalam Kegiatan Usaha Hulu berdasarkan prinsip pembagian hasil produksi.”
Kontrak Bagi Hasil Migas yang saat ini dijalankan di Indonesia berbentuk
tertulis, yaitu dalam bentuk akta di bawah tangan dibuat antara SKK Migas dengan
badan usaha dan/atau badan usaha tetap untuk selanjutnya diberikan pemberitahuan
secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Kontrak ini dapat dilaksanakan
dalam dua konsep yaitu konsep Gross Spilt dan konsep Cost Recovery. Kontrak Bagi
Hasil Migas di Indonesia baik dalam konsep Gross Split maupun Cost Recovery
dilaksanakan oleh SKK Migas dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap
sebagaimana diatur oleh Pasal 6 ayat (1) juncto Pasal 11 ayat (1) UU Migas juncto
Pasal 24 ayat (1) PP Migas yang paling sedikit memuat persyaratan sebagai berikut:
a. Kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan pemerintah sampai pada titik
penyerahan;
b. Pengendalian manajemen operasi berada pada SKK Migas;
c. Modal dan risiko seluruhnya ditanggung oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha
Tetap;
d. Menteri ESDM menetapkan bentuk dan ketentuan pokok kontrak;
e. KKKS melalui SKK Migas dapat mengusulkan kepada Menteri ESDM
perubahan ketentuan dan persyaratan kontrak;
f. Ketentuan Teknis dan Umum lainnya sebagaimana klausula-klausula umum
pada suatu kontrak.
Di samping syarat sebagaimana disebutkan di atas, Kontrak Bagi Hasil Migas
juga wajib memuat ketentuan pokok atau klausula berdasarkan Pasal 26 PP Migas
sebagai berikut: (1) penerimaan negara; (2) Wilayah Kerja dan pengembaliannya; (3)
kewajiban pengeluaran dana; (4) perpindahan kepemilikan hasil produksi atas Migas;
(5) jangka waktu dan kondisi perpanjangan kontrak; (6) penyelesaian perselisihan; (7)
kewajiban pemasokan Migas untuk kebutuhan dalam negeri; (8) berakhirnya kontrak;
(9) kewajiban pasca operasi pertambangan; (10) keselamatan dan kesehatan kerja; (11)
pengelolaan lingkungan hidup; (12) pengalihan hak dan kewajiban; (13) pelaporan
yang diperlukan; (14) rencana pengembangan lapangan; (15) pengutamaan
pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri; (16) pengembangan masyarakat sekitarnya
dan jaminan hak-hak masyarakat adat; dan (17) pengutamaan penggunaan tenaga kerja
Indonesia. Terhadap jangka waktu Kontrak Bagi Hasil Migas dapat diberikan paling
lama untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun dan dapat diperpajangan dengan jangka
waktu perpanjangan paling lama 20 (dua puluh) tahun untuk setiap kali perpanjangan,
namun dalam ketentuan tidak disebutkan batasan berapa kali perpanjangan yang dapat
dilakukan.71
Kontrak Bagi Hasil Migas yang disusun oleh pemeritah dengan KKKS dimulai
dengan adanya penawaran Wilayah Kerja oleh Menteri ESDM kepada badan usaha
70 Negara-negara yang menggunakan sistem Kontrak Bagi Hasil lebih banyak didominasi oleh
negara berkembang seperti Indonesia, Aljazair, China, Kongo, Khazaktan, Malaysia, Peru dan Qatar.
<https://migas.esdm.go.id/post/read/Jenis-jenis-Kontrak-Pengusahaan-Perminyakan-di-Dunia >,
[diakses, 13/03/2019]. 71 Rinto A. Pudyantoro, Op.cit., hlm. 202.
212 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020
atau bentuk Usaha Tetap (BUT). Penawaran ini dapat dilakukan melalui tahapan
lelang ataupun penunjukan langsung kepada badan usaha atau bentuk usaha tetap.
Dalam teori kontrak, kedua tahapan ini masuk dalam tahap pra kontraktual, di mana
para pihak belum secara hukum terikat dalam kontrak. Tahapan pra kontraktual ini
merupakan tahapan bagi pemerintah untuk dapat memperoleh kontraktor yang
memiliki kualifikasi baik dari segi finansial maupun keahlian sebagai pengelola
kegiatan usaha hulu atas Wilayah Kerja yang ditawarkan72.
Kontrak Bagi Hasil dibuat dalam bentuk tertulis, yang dibuat antara SKK Migas
dengan Badan Usaha dan/atau Badan Usaha Tetap yang telah ditetapkan sebelumnya
dalam lelang Wilayah Kerja. Sesuai dengan ketentuan Pasal 37 PP Migas, Kontrak
Bagi Hasil dibuat dalam Bahasa Indonesia dan/atau Bahasa Inggris, apabila sewaktu-
waktu terdapat pertentangan makna atau interpretasi maka yang dipergunakan adalah
yang disepakati Para Pihak. Dalam penyusunan Kontrak Bagi Hasil, ketentuan
mengenai syarat kontrak pada umumnya tetap dicantumkan. Dalam kepala kontrak,
disebutkan judul kontrak bagi hasil produksi dan para pihak serta wilayah kerja.
Suharnoko berpendapat bahwa judul kontrak sebaiknya merepresentasikan maksud
dan tujuan para pihak membuat kontrak dan dibuat secara spesifik tertuju pada objek
yang hendak diperjanjikan. 73 Misalnya maksud para pihak hendak menyewa
kendaraan maka judul kontrak sebaiknya “Kontrak Sewa Menyewa Kendaraan”.
Begitupun dengan Kontrak Bagi Hasil Migas.
Selanjutnya, dalam pembukaan dan komparisi kontrak, diatur mengenai tanggal
dibuatnya kontrak, identitas para pihak, dan kedudukan hukum para pihak. Identitas
pihak yang berkontrak harus jelas karena menurut Pasal 1315 juncto Pasal 1340 KUH
Perdata bahwa suatu kontrak mengikat secara hukum hanya untuk pihak-pihak yang
terikat kontrak. Jika pihak-pihak yang berkontrak adalah badan hukum, penting untuk
menyebutkan secara spesifik klasifikasi badan hukum, seperti perseroan terbatas,
yayasan atau koperasi, dan juga jenis asosiasi seperti kemitraan, dan lainnya. Entitas
tersebut berkaitan dengan wewenang untuk mewakili badan hukum tersebut di dalam
dan di luar pengadilan, sesuai dengan hukum dan akta pendirian. 74 Setelah itu
dicantumkan latar belakang dibuatnya kontrak seperti konsideran menimbang dalam
suatu undang-undang. Selanjutnya pada badan kontrak, diatur pasal perpasal mengenai
definisi-definisi dan ruang lingkup isi kontrak.
Definsi dan ruang lingkup sebagaimana dimaksud bertujuan untuk membatasi
hal-hal yang diatur agar tidak diinterpretasikan berbeda oleh para pihak. Pasal 27
juncto Pasal 28 PP Migas mengatur jangka waktu kontrak bagi hasil migas dapat
diberikan untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun dan dapat diperpanjang
dengan jangka waktu perpanjangan paling lama 20 (dua puluh) tahun untuk setiap kali
perpanjangan. Namun dalam hal ini, ketentuan dalam Pasal tersebut tidak membatasi
perpanjangan yang dimaksud untuk berapa kali perpanjangan. Dalam hal KKKS
setelah mendapat persetujuan untuk pengembangan lapangan pertamanya tidak
memproduksikan secara komersial dalam waktu selama-lamanya 5 (lima) tahun
setelah berakhirnya masa eksplorasi, maka KKKS berkewajiban mengembalikan
daerah kontrak tersebut kepada Pemerintah.
Pilihan hukum dalam Kontrak Bagi Hasil Migas telah dibatasi oleh ketentuan
Pasal 38 PP Migas yaitu tunduk dan berlaku hukum Indonesia, walaupun terhadap
forum penyelesainnya dikembalikan pada kebebasan para pihak sebagai wujud
pelaksanaan asas kebebasan berkontrak. Kontrak Bagi Hasil Migas, baik yang
72 Sang Ayu Putu Rahayu, “Prinsip Hukum Dalam Kontrak Kerjasama Kegiatan Usaha Hulu
Minyak Dan Gas Bumi,” Jurnal Hukum Yuridika, Vol. 32, No. 2, hlm. 338, (2017) 73 Suharnoko, Op.cit., hlm. 130. 74 Ibid.
Peran dan Fungsi Notaris, Zakia Vonna, Sri Walny Rahayu, M. Nur 213
melibatkan badan hukum Indonesia maupun yang melibatkan pihak asing lazimnya
dicantumkan aspek penyelesaian sengketa, hal ini merupakan salah satu tujuan dari
disusunnya suatu kontrak antara para pihak, yaitu untuk menjamin perbuatan-
perbuatan yang mungkin akan timbul dikemudian hari seperti sengketa.75 Penyelesaian
sengketa atas Kontrak Bagi Hasil Migas, baik dalam UU Migas maupun PP Migas,
tidak ditemukan pasal yang mengatur tentang penyelesaian sengketa apabila terjadi
sengketa antara SKK Migas dengan badan usaha dan/atau bentuk usaha tetap. Dalam
praktiknya klausula penyelesaian sengketa dituangkan dalam Kontrak Bagi Hasil atas
dasar kesepakatan para pihak.
Oliver Hart dalam Incomplete Contract mengemukakan bahwa karena kontrak
pada dasarnya tidak mampu menampung seluruh keinginan para pihak, maka baik
untuk prestasi yang sedang dilaksanakan maupun untuk prestasi yang akan
dilaksanakan mendatang, dalam suatu kontrak perlu melibatkan sektor publik, dalam
hal ini lembaga yang memiliki kewenangan untuk nantinya menyelesaikan dan
memutuskan persoalan hukum.76 Dalam lembaga hukum dikenal ada dua cara dalam
menyelesaikan perselisihan atas hubungan hukum, yaitu melalui jalur litigasi dan non-
litigasi atau alternatif penyelesaian sengketa (APS).
Penyelesaian perselisihan yang ditempuh para pihak melalui jalur litigasi
merupakan sarana akhir (ultimum remidium) setelah alternatif penyelesaian sengketa
lain yang tidak mencapai kesepakatan. Menurut Suyud Margono litigasi adalah
“gugatan atas suatu konflik yang diritualisasikan untuk menggantikan konflik
sesungguhnya, dimana para pihak memberikan kepada pengambil keputusan dua
pilihan yang bertentangan.”77
Sebagai bentuk perhatian pemerintah terhadap kebutuhan bisnis yang bergerak
cepat dan mengurangi banyaknya kasus di peradilan perdata yang belum terselesaikan,
pemerintah membentuk institusi penyelesaian perselisihan di luar pengadilan (non-
litigasi) melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU APS). 78 Konsep penyelesaian perselisihan
melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa berakar dari sistem pengaturan sendiri (self-
governing system), 79 yang merupakan konsekuensi dari berlakunya hukum privat
dalam dunia bisnis yang merupakan satu rezim hukum yang memberikan kebebasan
bagi para pihak untuk menentukan sendiri penyelesaian sengketanya berdasarkan
konsep dan kepentingannya (prinsip kebebasan berkontrak). 80 , 81 Sebagai contoh,
kebebasan untuk memilih tenaga-tenaga ahli dalam bidang tertentu yang diangap
memiliki kompetensi untuk menyelesaikan perselisihan.
Erman Rajagukguk berpendapat bahwa pelaku bisnis lebih memilih
menyelesiakan sengketa melalui jalur non-litigasi. Preferensi pelaku bisnis untuk lebih
memilih jalur non-litigasi disebabkan karena penyelesaian sengketa bisnis dilakukan
secara tertutup, hakim memiliki kemampuan atau keahlian dalam bidang yang menjadi
75 Richard Burton Simatupang, Op.cit., hlm. 41. 76 Hart, Oliver, Op.cit. 77 Suyud Margono, ADR dan Arbitrase: Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Bogor: Ghalia
Indonesia, 2004, hlm. 23. 78 Sri Walny Rahayu, “Lembaga Penyelesaian Sengketa Adat Laut “Panglima Laôt” di Aceh
sebagai Bentuk Pengembangan Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Sistem Hukum di Indonesia,”
Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 1 No 3, hlm. 450, (2014). 79 Ibid. 80 Weinrib, Ernest J dalam Rahayu Prasetianingsih, “Konstitusionalisasi Hukum Privat: Beberapa
Pandangan yang Berkembang dalam Pengkajian Ilmu Hukum,” Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 1
No. 2, hlm. 371, (2014). 81 Munir Fuady dalam Bambang Sutiyoso, “Akibat Pemilihan Forum Dalam Kontrak Yang
Memuat Klausula Arbitrase,” Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 24, No. 1, hlm. 168, (2012).
214 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020
objek sengketa, dan putusan yang dihasilkan melalui lembaga non-litigasi berorientasi
pada hasil kompromi bukan benar atau salah. 82 Selain hal tersebut, penyelesaian
sengketa di luar pengadilan relatif murah dan membutuhkan waktu yang singkat
dibanding penyelesaian secara litigasi.83
Pasal 38 PP Migas mengatur bahwa terhadap Kontrak Kerja Sama Bagi Hasil
Migas tunduk dan berlaku hukum Indonesia di dalamnya. Namun baik dalam
ketentuan PP Migas itu sendiri maupun ketetuan perundang-undangan terkait lainnya
tidak mengatur tentang tata cara atau mekanisme penyelesaian perselisihan. Ketiadaan
norma yang secara khusus menunjuk mekanisme penyelesaian perselisihan mana yang
harus digunakan para pihak merupakan ruang bagi para pihak dalam memilih cara
yang mereka gunakan dalam penyelesaian sengketa Kontrak Bagi Hasil Migas. hal ini
merupakan suatu bentuk implementasi dari asas kebebasan berkontrak yang dapat
dimanfaatkan para pihak untuk menentukan mekanisme yang terbaik dan
menguntungkan para pihak atau masing-masing pihak.
Kesepakatan memilih forum dalam penyelesaian perselisihan dapat dilakukan
melalui 2 (dua) cara yaitu, sebelum terjadinya perselisihan yang mana klausula
mengenai pilihan forum dicantumkan dalam kontrak utama (pactum de
compromittendo), atau setelah terjadinya perselisihan yang mana kontrak atau
kesepakatan mengenai penyelesaiannya dibuat secara terpisah dari kontrak utama (akta
kompromis).84
3.3. Kewenangan Notaris Dalam Pembuatan Kontrak
Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi setiap warga Negara. F.
J. Stahl mencirikan konsep negara hukum dengan empat unsur pokok yaitu : (1)
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia; (2) negara didasarkan
kepada teori trias politika; (3) pemerintahan dilaksanakan berdasarkan undang-undang
(wetmatig bestur); dan (4) adanya peradilan administrasi negara yang bertugas
menangani kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige
overheidsdaad).85
Salah satu cara Pemerintah mengimplementasi hal tersebut di atas yaitu dengan
membentuk organisasi Notaris sebagai pihak yang diberikan kewenangan untuk
menjembatani Pemerintah dengan masyarakat dalam menciptakan kepastian,
ketertiban, dan perlindungan hukum dan selanjutnya mendukung terciptanya tata
kelola pemerintahan yang baik. 86 Salah satu instrumen untuk mencapai kepastian
hukum adalah melalui alat bukti tertulis yang bersifat autentik mengenai perbuatan,
kontrak, penetapan, dan peristiwa hukum yang dibuat di hadapan atau oleh pejabat
yang berwenang lainnya.87
Kewenangan merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan
kepada suatu jabatan berdasarkan berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan
82 Erman Rajagukguk dalam Nevey Varida Ariani, Op.cit., hlm. 279. 83 Tuti Muryati dan B. Rini Heryanti, “ Pengaturan dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa
Nonlitigasi di Bidang Perdagangan,” Jurnal Dinamika Sosbud, Vol. 13, No. 1, hlm. 49, (2011). 84 Bambang Sutiyoso, Op.cit., hlm. 169. 85 Stahl, F. J. dalam Yoyon Mulyana Darusman, “Kedudukan Notaris Sebagai Pejabat Pembuat
Akta Otentik dan Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah,” Adil: Jurnal Hukum Vol. 7 No.1, hlm. 41,
(2016). 86 Hendy Sarmyendra, (et.al.), “Kekuatan Berlakunya Penggunaan Blanko Akta Tanah oleh
Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam Pengalihan Hak atas Tanah di Kabupaten Malinau
Kalimantan Utara.” Jurnal Beraja Niti, Vol. 4, No. 3, hlm. 25, (2014). 87 Dalam Konsideran Menimbang UUJN.
Peran dan Fungsi Notaris, Zakia Vonna, Sri Walny Rahayu, M. Nur 215
yang berlaku. 88 Kewenangan Notaris di Indonesia bersifat atribusi dan terbatas
pada aturan yang mengatur, yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
(UUJN).89
Notaris merupakan salah satu cabang profesi di bidang hukum yang tertua di
dunia, sejarah mencatat adanya Notaris pertama kali di Italia Utara pada abad ke XI
atau XII, di mana pada masa itu Italia Utara merupakan pusat perdagangan dan
lembaga Notariat yang dibentuk disebut sebagai latijnse notariaat.90
Jabatan notaris diadakan atas kehendak aturan hukum dengan maksud untuk
membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang
bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum.91 Oleh karenanya
Notaris tidak berarti apa-apa jika masyarakat tidak membutuhkannya.92
Notaris sebagai pejabat umum diangkat oleh negara, bekerja untuk kepentingan
negara, namun demikian notaris bukanlah pegawai sebagaimana yang dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 juncto Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999
tentang Pokok-pokok Kepegawaian, sebab Notaris tidak menerima gaji, namun hanya
menerima honor atau fee dari klien, oleh karenanya dapat dikatakan bahwa Notaris,
adalah pegawai pemerintah tanpa menerima suatu gaji dari pihak pemerintah, notaris
dipensiunkan oleh pemerintah, akan tetapi tidak menerima pensiun dari pemerintah.93
Karena tugas yang diemban notaris adalah tugas yang seharusnya merupakan tugas
pemerintah, maka hasil pekerjaan notaris mempunyai akibat hukum, notaris dibebani
sebagian kekuasaan negara dan memberikan pada aktenya kekuatan otentik dan
eksekutorial. 94 Melihat tugas utama notaris tersebut, maka dapat dikatakan bahwa
notaris mempunyai tugas yang berat, karena harus menempatkan pelayanan
masyarakat di atas segala-galanya. Oleh karena itu diperlukan tanggung jawab baik
individual maupun sosial terhadap norma-norma hukum positif dan kesediaan untuk
tunduk pada kode etik profesi.
Pasal 1 angka 1 UUJN membatasi pengertian Notaris sebagai pejabat umum
yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang atau berdasarkan undang-undang
lainnya. Pengertian Notaris tersebut menggambarkan fungsi Notaris secara sempit.
Adapun penjelasan bebas mengenai definisi Notaris menurut Black’s Law
Dictionary adalah Notaris sebagai pejabat publik yang memiliki fungsi untuk: (1)
membuat sumpah; (2) membuktikan (dan mengesahkan) dan memberi stempel resmi
beberapa jenis dokumen dalam hal pemberian kredit dan keaslian dalam yurisdiksi
asing; (3) menerima pengakuan perbuatan dan penyerahan hak lainnya dan
menyatakan salinan yang sama; dan (4) melakukan tindakan resmi tertentu, terutama
dalam hal komersial, seperti menyatakan catatan dan tagihan, mencatat konsep asing
dan sanggahan dibidang kelautan dalam kasus kehilangan dan kerusakan.95
88 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Jakarta: Citra
Aditya Bakti, 2007, hlm. 74. 89 Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2008, hlm. 77. 90 G. H. S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta: Erlangga, 1983, hlm. 3. 91 Secara substantif akta notaris dapat berupa: (1) suatu keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum
yang dikehendaki oleh para pihak agar dituangkan dalam bentuk akta otentik untuk dijadikan sebagai
alat bukti;(2) berdasarkan peraturan perundang-undangan bahwa tindakan hukum tertentu wajib dibuat
dalam bentuk akta otentik 92 Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik,
Bandung: Refika Aditama, 2008, hlm. 32. 93 Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 1994. hlm. 34. 94 Ibid, hlm. 35. 95 Black, Henry Campbell, Op.cit., hlm. 1209.
216 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020
Pengertian Notaris di atas menggambarkan bahwa selain fungsinya sebagai
administrator dokumen-dokumen penting, Notaris juga berfungsi membuat
kontrak-kontrak bisnis atau komersial. Lebih lanjut mengenai kewenangan-
kewenangan Notaris sebagai pejabat umum diatur dalam Pasal 15 UUJN yang
membagi kewenangan menjadi 3 (tiga) kategori, yaitu kewenangan umum,
kewenangan khusus, dan kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan.
1. Kewenangan Umum
Pasal 15 ayat (1) UUJN mengatur bahwa salah satu kewenangan Notaris
secara umum, yaitu membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan,
kontrak, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan
dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam
akta autentik untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi
kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi pihak yang
berkepentingan sekaligus, bagi masyarakat secara keseluruhan.
2. Kewenangan Khusus
Selanjutnya Pasal 15 ayat (2) UUJN, Notaris memiliki kewenangan khusus
untuk melakukan tindakan hukum tertentu, antara lain:
a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di
bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus (legalisasi);
b. membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku
khusus (waarmerken);
c. membuat salinan yang memuat uraian sebagaimana yang ditulis dalam asli
surat;
d. mencocokkan fotokopi dengan aslinya (legalisir), misalnya surat kuasa,
surat pernyataan, dan surat persetujuan.
3. Kewenangan lain
Sementara terhadap kewenangan Notaris lain berdasarkan Pasal 15 ayat
(3) UUJN ditentukan kemudian berdasarkan aturan hukum lain misalnya
kewenangan mensertifikasi transaksi, membuat akta pendirian koperasi,
partai politik, dan lain-lain. Selain kewenangan untuk melakukan hal-hal
yang telah diatur dalam UUJN, Notaris juga berkewajiban merahasiakan
isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan Notaris
kecuali oleh undang-undang ditentukan lain bahwa Notaris tidak wajib
merahasiakan dan memberikan keterangan yang diperlukan dan berkaitan
dengan akta tersebut.96
Pasal 15 ayat (1) UUJN mengatur bahwa salah satu kewenangan Notaris
secara umum, yaitu membuat akta. Pengertian akta sendiri menurut Tan Thong Kie
adalah suatu tulisan yang ditandatangani dan dibuat untuk digunakan sebagai
bukti.97
Kontrak tertulis dapat dibuat dalam bentuk akta autentik maupun akta di
bawah tangan. Akta di bawah tangan merupakan akta yang dibuat oleh para pihak
yang dapat dibagi menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu:
1) Akta di bawah tangan di mana para pihak menandatangani kontrak itu di atas
meterai (tanpa keterlibatan pejabat umum);
2) Akta di bawah tangan yang di daftar (waarmerken) oleh Notaris/pejabat
berwenang; dan
96 Supriadi, Op.cit., hlm. 33. 97 Tan Thong Kie, Op.cit., hlm. 154.
Peran dan Fungsi Notaris, Zakia Vonna, Sri Walny Rahayu, M. Nur 217
3) Akta di bawah tangan dan dilegalisasi oleh Notaris atau pejabat berwenang.98
Selanjutnya definisi akta autentik yaitu, akta mengenai semua perbuatan,
kontrak, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan
dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta
autentik untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban,
dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus, bagi masyarakat
secara keseluruhan. Akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan nilai
pembuktian:
a. Lahiriah (Uitwendige Bewijskracht)
Kemampuan lahiriah akta notaris merupakan kemampuan akta itu sendiri
untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta otentik.99 Jika dilihat dari luar
(lahiriah) sebagai akta otentik serta sesuai dengan aturan hukum yang sudah
ditentukan mengenai syarat otentik, mengingat sejak adanya niat dari pihak-
pihak yang berkepentingan untuk membuat atau melahirkan alat bukti, maka
sejak saat mempersiapkan terbitnya akta itu haruslah sesuai dan memenuhi
ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata dan UUJN. Oleh karenanya akta tersebut
berlaku sebagai akta otentik, sampai terbukti sebaliknya, artinya sampai ada
pembuktian yang membuktikan bahwa akta tersebut bukan akta otentik secara
lahiriah. Dalam hal ini beban pembuktian ada pada pihak yang menyangkal
keotentikan akta notaris. Parameter untuk menentukan akta Notaris sebagai
akta otentik, yaitu tanda tangan dari Notaris yang bersangkutan, baik yang ada
pada minuta dan salinan serta adanya Awal Akta (mulai dari judul) sampai
dengan akhir akta.100 Kemampuan atau kekuatan pembuktian lahirlah tidak ada
pada akta/surat dibawah tangan sebagaimana ketentuan Pasal 1875
KUHPerdata.101
b. Formal (Formele Bewijskracht)
Dengan kekuatan pembuktian formal, akta otentik dibuktikan dengan
menganggap bahwa pejabat yang bersangkutan telah menyatakan dalam tulisan
akta sebagaimana yang tercantum dalam akta itu dan selain dari itu kebenaran
dari apa yang diuraikan oleh pejabat dalam akta itu sebagai yang dilakukan dan
disaksikannya dalam menjalankan jabatannya. Dalam arti formal, sepanjang
mengenai akta pejabat (ambtelijke akte), akte itu membuktikan kebenaran dari
apa yang disaksikan, yakni yang dilihat, didengar, dan yang dilakukan sendiri
oleh notaris sebagai pejabat umum dalam menjalankan jabatannya sehingga
terjamin kebenaran dan kepastian tanggal, kebenaran tanda tangan yang
terdapat dalam akta, identitas dari orang-orang yang hadir (comparanten),
demikian juga tempat di mana akta itu dibuat. Terhadap akta partij, kekuatan
pembuktian formal berlaku apabila para pihak telah menerangkan seperti yang
diuraikan dalam akta tersebut, sedangkan kebenaran dari keterangan-
keterangan itu sendiri hanya dapat dipastikan oleh pihak-pihak itu sendiri.102
c. Materil (Materiele Bewijskracht)
98 Salim H. S., (et.al.), Op.cit., hlm. 16. 99 I Ketut Tjukup, (et.al), “Akta Notaris (Akta Otentik) Sebagai Alat Bukti Dalam Peristiwa
Hukum Perdata,” Jurnal Hukum Kenotariatan Acta Comitas, Vol. 2, No. 1, hlm. 186, (2016). 100 Laurensius Arliman S, Notaris dan Penegakan Hukum Oleh Hakim, Yogyakarta: Deepublish,
2015, hlm. 38. 101 I Ketut Tjukup, (et.al), Op.cit., hlm. 186. 102 G. H. S. Lumban Tobing, Op. cit., hlm. 57.
218 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020
Kepastian tentang materi suatu akta sangat penting, bahwa apa yang
tersebut dalam akta merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak
yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum,
kecuali ada pembuktian sebaliknya (tegenbewijs).
Keterangan atau pernyataan yang dituangkan atau dimuat dalam akta
pejabat (atau berita acara), atau keterangan para pihak yang diberikan di
hadapan Notaris dan para pihak harus dinilai benar. Perkataan yang kemudian
dituangkan dalam akta berlaku sebagai kebenaran atau setiap orang yang
datang menghadap Notaris yang kemudian keterangannya dituangkan dalam
akta harus dinilai secara benar telah berkata demikian. Jika ternyata keterangan
para penghadap tersebut menjadi tidak benar, maka hal tersebut tanggung
jawab para pihak sendiri dan notaris terlepas dari tanggung jawab hal tersebut.
Dengan demikian isi akta Notaris mempunyai kepastian sebagai yang
sebenarnya, menjadi bukti yang sah diantara para pihak dan para ahli waris
serta para penerima hak mereka.
Lebih lanjut mengenai Minuta akta yang merupakan asli akta notaris
pengertiannya adalah akta asli yang disimpan dalam protokol notaris. Dalam minuta
juga tercantum asli tanda tangan, paraf para penghadap atau cap jempol tangan kiri
dan kanan, para saksi dan notaris, renvooi, dan bukti-bukti lain yang mendukung akta
yang dilekatkan pada minuta akta tersebut. Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) huruf b dan
ayat (2) UUJN, Akta dalam bentuk minuta (in minuta) wajib disimpan oleh notaris.
Akta notaris ada yang dibuat dalam bentuk minuta dapat dibuatkan salinan yang
sama bunyinya atau isinya sesuai dengan permintaan para penghadap, orang yang
memperoleh hak atau para ahli warisnya, kecuali ditentukan lain oleh peraturan
perundang-undangan,103 diberi nomor bulanan dan dimasukan ke dalam buku daftar
akta notaris (repertorium) serta diberi nomor repertorium.
Protokol Notaris yang terdiri atas semua minut akta (minuut akta), daftar-daftar
(registers) dan daftar tahunan akta notaris (repertoria) merupakan kumpulan
dokumen-dokumen, baik merupakan akta ataupun surat-surat penting lainnya yang
berada dalam penguasaan dan pemeliharaan notaris. Kumpulan dokumen-dokumen ini
adalah arsip negara. Pengaturan protokol notaris dapat dilihat pada pasal 1 angka 13
dari UUJN, yaitu sebagai kumpulan dokumen yang merupakan arsip negara yang
harus disimpan dan dipelihara oleh notaris. Bagian terpenting dalam sebuah protokol
adalah berkas-berkas bulanan semua surat asli akta yang dibuat oleh seorang notaris.
Yang dimaksud dengan disimpan dalam protokol notaris adalah penyimpanan dalam
berkas surat asli akta. Protokol bukan milik notaris yang membuat akta-akta dan juga
tidak milik notaris yang ditugaskan oleh Kementerian Hukum dan HAM untuk
menyimpannya.104
Protokol adalah milik masyarakat dan berada di bawah pengawasan
Kementerian Hukum dan HAM. Seseorang yang menyimpan dokumen dalam protokol
seorang notaris pada umumnya mengetahui bahwa sebuah dokumen itu aman di
tangan seorang notaris. Masyarakat mempunyai kepercayaan besar, baik terhadap
notaris maupun lembaga notariat. Apabila notaris yang berkenaan pindah atau pensiun,
Kementerian Hukum dan HAM berdasarkan undang-undang menunjuk seorang notaris
103 Pasal 54 UUJN menegaskan Notaris hanya dapat memberikan, memperlihatkan, atau
memberitahukan isi akta, Grosse akta, Salinan akta atau Kutipan Akta, kepada orang yang
berkepentingan langsung pada akta, ahli waris, atau orang yang memperoleh hak, kecuali ditentukan
lain oleh peraturan perundang-undangan. 104 Cut Era Fitriyeni, “Tanggung Jawab Notaris Terhadap Penyimpanan Minuta Akta Sebagai
Bagian Dari Protokol Notaris,” Kanun Jurnal Ilmu Hukum, No. 58, Thn. XIV, hlm. 400, (2012).
Peran dan Fungsi Notaris, Zakia Vonna, Sri Walny Rahayu, M. Nur 219
lain yang berkedudukan di kota yang sama atau mengangkat seorang notaris baru
untuk memegang protokol notaris yang akan berhenti atau pindah. Dengan demikian
orang yang menyimpan suatu dokumen atau ahli-ahli warisnya selalu dapat meminta
salinan ataupun fotocopy dari dokumen itu.105
3.4. Kedudukan Hukum Notaris Sebagai Pejabat Umum Dalam Pembuatan
Kontrak Bagi Hasil Migas
Paradigma penyelenggaraan pemerintahan telah mengalami pergeseran dari rule
government menjadi good governance. Pemerintah dalam menyelenggarakan
pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik dalam perspektif tata kelola
Pemerintahan yang baik, tidak semata-mata menyerahkannya kepada Pemerintah atau
Negara saja, tetapi melibatkan seluruh komponen, yakni internal birokrasi maupun
masyarakat, 106 hal ini berkaitan pula dengan beragamnya urusan yang bersifat
keperdataan yang melibatkan warga Negara Indonesia yang tidak mungkin dilayani
sendiri oleh Negara, oleh karena itu Negara memberikan kewenangan secara atribusi
kepada pihak yang dianggap memiliki kapabilitas baik dari segi pendidikan,
pengetahuan, serta integritas, yaitu Notaris.
UUJN sebagai dasar hukum pemberian kewenangan dari Negara kepada Notaris
telah mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban Notaris dalam menjalankan
jabatannya. Jabatan Notaris merupakan simbol Negara, namun tidak dalam artian
simbol kenegaraan seperti Presiden atau Bendera Negara. Simbol Negara sebagaimana
dimaksud dapat dilihat dari kewenangan Notaris untuk menggunakan Lambang
Negara, yaitu Burung Garuda Pancasila dalam praktik jabatannya.
Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UUJN, salah satu kewenangan Notaris adalah
untuk membuat kontrak. Kontrak yang dimaksud dalam UUJN tidak dibatasi
pengertiannya atau jenis-jenis kontrak mana saja yang dapat dibuat atau tidak oleh
Notaris sepanjang pembuatan Akta itu tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada
pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
Sebagaimana penjabaran dalam bab terdahulu mengenai karakteristik dan
mekanisme Kontrak Bagi Hasil Migas, walaupun terdapat unsur publik yang mengatur
melalui UU Migas, Kontrak Bagi Hasil Migas tetap memiliki sifat perdata karena
dibuat oleh pihak-pihak yang tunduk pada ketentuan hukum privat. Kekosongan
norma dalam UU Migas yang tidak mengatur mengenai keterlibatan Notaris sebagai
pihak independen yang secara sah berdasarkan UUJN memiliki kewenangan atas hal
tersebut dapat ditafsirkan bahwa hadirnya Notaris dalam penyusunan Kontrak Bagi
Hasil Migas diperbolehkan secara hukum, baik pada tahap pra kontrak seperti
penawaran dan lelang, tahap penandatanganan Kontrak Bagi Hasil Migas, hingga
tahap pelaksanaan Kontak Bagi Hasil Migas.
Kekosongan norma lain terkait keterlibatan Notaris dalam pelaksanaan
penyusunan Kontrak Bagi Hasil Migas adalah mengenai bentuk kontrak tersebut,
apakah dibuat dalam bentuk Akta Notariil atau cukup akta di bawah tangan. Muh.
Ilham Arisaputra dalam penelitiannya mengemukakan bahwa sebaiknya kontrak
kerjasama antara pemerintah dengan pihak swasta dibuat dalam bentuk Akta
105 Dian Sutari Widiyani, “Pertanggungjawaban Notaris Atas Hilang Atau Rusaknya Minuta
Akta Yang Disimpan Akibat Bencana Alam (Studi Kasus Tsunami di Banda Aceh),” Tesis, Medan:
Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2011, hlm. 37. 106 Didik Sukriono, “Penguatan Budaya Hukum dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik
sebagai Upaya Penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia,” Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum,
Vol. 1, No 2, hlm. 229, (2014).
220 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020
Notariil,107 hal ini bertujuan agar Kontrak Bagi Hasil Migas yang dibuat mempunyai
kekuatan hukum yang sempurna baik bagi Pemerintah maupun KKKS.
Selain hal tersebut di atas, Notaris dalam melaksanakan praktik jabatannya juga
dibatasi oleh wilayah jabatan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (1) UUJN,
Notaris memiliki tempat kedudukan di daerah kabupaten atau kota. Kabupaten atau
kota yang dimaksud terbatas hanya pada satu kabupaten atau kota saja, artinya Notaris
tidak dapat membuka cabang kantor selain di daerah kabupaten atau kota yang telah
ditetapkan.
Terkait dengan cakupan kerja, Pasal 18 ayat (2) UUJN selanjutnya mengatur
bahwa Notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh provinsi dari tempat
kedudukanya. Baik ketetapan mengenai tempat kedudukan dan wilayah kerja,
keduanya ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia melalui suatu permohonan berdasarkan formasi jabatan Notaris yang
ditetapkan dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan
mempertimbangkan usul dari INI.
Permasalahan muncul apabila tempat kedudukan dan wilayah jabatan Notaris
dikaitkan dengan keterlibatan Notaris dalam pembuatan Kontrak Bagi Hasil Migas.
Hal tersebut dikarenakan Wilayah Kerja suatu blok atau lapangan Migas yang
cenderung luas dan terkadang terletak di lebih dari satu kabupaten atau kota
menimbulkan pertanyaan Notaris mana yang memiliki kewenangan untuk terlibat di
dalamnya, karena sesuai dengan ketentuan Pasal 18 UUJN bahwa Notaris mempunyai
tempat kedudukan di daerah kabupaten atau kota dan Notaris mempunyai wilayah
jabatan meliputi seluruh wilayah provinsi dari tempat kedudukannya, selanjutnya
dalam Pasal 19 Notaris wajib mempunyai hanya satu kantor, yaitu di tempat
kedudukannya dan Notaris tidak berwenang secara teratur menjalankan jabatan di luar
tempat kedudukannya. Begitupula dengan kewenangan Notaris terhadap penyusunan
Kontrak Bagi Hasil Migas yang Wilayah Kerjanya terletak di lepas pantai (offshore).
Kedua permasalahan ini juga merupakan bentuk dari kekosongan norma hukum yang
sepatutnya diperhatikan oleh Pemerintah sebagai bentuk tanggung jawab atas
pemberian kewenangan bagi para Notaris dan tanggung jawab atas kepastian hukum
bagi pihak-pihak yangterlibat dalam investasi Migas di Indonesia.
Berdasarkan hal-hal yang telah dijabarkan di atas, kedudukan seorang Notaris
baik dalam hal penyusunan maupun pengesahan suatu Kontrak Bagi Hasil Migas
sudah seharusnya diperlukan karena sebagaimana kewenangannya dalam UUJN,
Notaris merupakan pejabat umum yang berwenang membuat baik akta autentik
maupun akta di bawah tangan sejauh hal tersebut tidak dikhususkan bagi pejabat
umum lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau kehendak dari pihak
yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak terjamin dan
mendapat kepastian hukum.108
Pentingnya keterlibatan Notaris dalam penyusunan Kontrak Bagi Hasil Migas
juga sepatutnya menjadi perhatian Pemerintah untuk selanjutnya menyempurnakan
regulasi-regulasi terkait hal tersebut agar Notaris dalam menjalankan jabatannya
memiliki dasar hukum yang jelas.
3.5. Peran dan Fungsi Notaris Dalam Pembuatan Kontrak Bagi Hasil Migas
107 Muh. Ilham Arisaputra, “Analisis Hukum Build, Operate, and Transfer Pada perjanjian
Bangun, Guna, Serah pada Investasi PT. Tosan Permai Dalam Rangka Revitalisasi Lapangan
Karebosi”, Jurnal Penelitian Hukum, Vol. 1, No.1, hlm. 203, (2011). 108 Supriadi, Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Cet. 2, Jakarta: Sinar
Grafika, 2008, hlm. 29.
Peran dan Fungsi Notaris, Zakia Vonna, Sri Walny Rahayu, M. Nur 221
Dalam era globalisasi, kebutuhan akan jasa Notaris sangat tinggi,109 hal ini dapat
dilihat berdasarkan data dari Ikatan Notaris Indonesia (INI) mengenai pertumbuhan
jumlah lulusan Notaris oleh perguruan-perguruan tinggi baik negeri maupun swasta
yang meningkat sebesar 1.000 (seribu) sampai 1.500 (seribu lima ratus) per
tahunnya.110 Kebutuhan jasa Notaris tersebut mencakup namun tidak terbatas untuk
membuat akta atas transaksi-transaksi biasa, membuat akta kredit kepemilikan rumah,
dan membuat akta pendirian badan hukum serta badan usaha.
Notaris sebagai salah satu profesi hukum yang bebas111 namun tetap dibatasi
oleh UUJN memiliki kewenangan yang salah satunya memberikan kepastian hukum
melalui akta-akta dituntut untuk lebih eksis tidak hanya terbatas pada akta-akta atas
transaksi bisnis biasa, namun juga transaksi bisnis skala besar seperti Kontrak Bagi
Hasil Migas.
Akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris, bukan saja karena diharuskan
oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga karena dikehendaki oleh pihak yang
berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian,
ketertiban, dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus, bagi
masyarakat secara keseluruhan. 112 Huala Adolf dalam Natasha Yunita Sugiastuti
mengungkap fakta bahwa mayoritas pengusaha Indonesia (lebih-lebih pengusaha kecil
dan menengah) mereka tidak terlalu mempedulikan kontrak dengan seksama.
Umummya mereka menandatangani kontrak tanpa peduli terhadap bunyi klausul-
klausul dalam kontrak. Bagi mereka yang penting adalah transaksi bisnis dan
bagaimana melaksanakan transaksi tersebut.113
Terbukanya peluang Notaris dalam kedudukannya sebagai pejabat umum untuk
ikut dalam proses penyusunan Kontrak Bagi Hasil Migas sebagaimana yang telah
dijelaskan sebelumnya menuntut perlunya perhatian baik Notaris itu sendiri maupun
organisasi INI untuk memberikan peningkatan kemampuan atau kapabilitas Notaris
atas peran-peran yang akan dilakukan dalam melaksanakan fungsinya tersebut.
Pertimbangan hukum mengapa atas Kontrak Bagi Hasil Migas sebaiknya dibuat
di hadapan Notaris: pertama, agar kontrak tersebut secara subtansi benar-benar
memenuhi syarat subjektif dan objektif dalam kontrak. Pertimbangan ini ada kaitannya
baik terhadap kedudukan hukum (legal standing) Pemerintah melalui SKK Migas
maupun kedudukan hukum KKKS. Ernezt G. Lorenzen dalam Causa and
Consideration In The Law of Contracts berpendapat bahwa setiap negara pasti
mensyaratkan validitas atas kapasitas kontrak, niat untuk melaksanakan kontrak, dan
objek yang secara fisik dimungkinkan dan sah secara hukum. Secara umum, beberapa
negara memang tidak menuntut syarat lain selain hal ini, namun dalam sistem hukum
common law, suatu kontrak tidak memiliki kekuatan hukum jika hal tersebut tidak
terkandung dalam instrumen yang disegel atau didukung oleh pertimbangan yang
berharga.114
109 Deviana Yuanitasari, “The Role of Public Notary In Providing Legal Protection On Standard
Contracts For Indonesian Consumers”, Sriwijaya Law Review, Vol. 1, No. 2, Op.cit., hlm 186. 110 <https://www.ini.id/post/ikatan-notaris-indonesia-mulai-himpun-data-data-notaris-se-
indonesia >, [diakses, 01/04/2019]. 111 Joenadi Efendi dan Johnny Ibrahim, Metode penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Jakarta:
Prenada Media, 2016, hlm. 116-117. 112 Cut Era Fitriyeni, Op.cit., hlm. 394. 113 Natasya Yunita Sugiastuti, “Esensi Kontrak Sebagai Hukum Vs. Budaya Masyarakat
Indonesia Yang Non-Law Minded dan Berbasis Oral Tradition,” Jurnal Hukum Prioris, Vol. 5, No. 1,
hlm. 40-41, (2015). 114 Lorenzen, Ernezt G., “Causa and Consideration In The Law of Contracts,” Yale Law Jornal,
Vol. 28, No.7, hlm. 622, (1919).
222 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020
Sesuai dengan ketentuan Pasal 4 huruf b Permen ESDM No. 17 Tahun 2017
tentang Organisasi dan Tata Kerja Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha
Hulu Minyak dan Gas Bumi (Permen SKK Migas), salah satu fungsi SKK Migas
adalah untuk menandatangani Kontrak Kerja Sama. Melalui penafsiran hukum
otoritatif, kedudukan hukum SKK Migas sebagai badan hukum publik diakui secara
hukum memenuhi syarat subjektif dalam suatu kontrak.
Lebih lanjut, demi terpenuhinya syarat subjektif dalam suatu kontrak, Pasal 9
UU Migas menyatakan bahwa pihak-pihak yang dapat melakukan kegiatan usaha di
bidang Migas terbatas pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik
Daerah (BUMN), koperasi, usaha kecil, badan usaha swasta, dan Bentuk Usaha Tetap
(BUT) atau permanent establishment. Bentuk-bentuk usaha tersebut apabila didirikan
di Indonesia sudah tentu memiliki legalitas yang sesuai baik dari segi formalitas
maupun materialitas sebagaimana yang diatur oleh peraturan perundang-undangan
yang membidanginya, namun lain halnya dengan KKKS yang berbentuk BUT yang
merupakan badan usaha yang didirikan dan berbadan hukum di luar wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Selain dalam UU Migas, eksistensi BUT hanya dapat ditemukan dalam Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh), namun UU PPh tidak
menjelaskan lebih lanjut mengenai bagaimana legalitas suatu BUT diterima sebagai
suatu bentuk usaha di Indonesia, oleh karena itu dalam kaitan dengan diakuinya BUT
sebagai subjek dalam Kontrak Bagi Hasil Migas sudah selayaknya Notaris sebagai
pejabat umum dilibatkan untuk melakukan legal due diligence terhadap dokumen-
dokumen hukum yang dibawa oleh BUT dalam rangka melakukan investasi di
Indonesia. Hal ini dilakukan sebagai bentuk antisipasi Pemerintah terhadap
ketidakpastian status hukum BUT itu sendiri dan menjaga terlaksananya investasi
yang berlandaskan tata kelola yang baik di Indonesia.
Kedua, agar dengan dibuatnya Kontrak Bagi Hasil Migas tidak bertentangan
dengan asas-asas umum dalam berkontrak yang merupakan pedoman yang menjadi
rambu dalam mengatur dan membentuk suatu kontrak yang berlaku bagi para pihak
seperti asas personalitas, asas konsensualitas, asas kebebasan berkontrak, asas
keseimbangan, asas kepatutan, asas itikad baik, dan asas pacta sunt servanda. Asas
dalam hukum sangatlah penting, hal ini sebagaimana pendapat Bagir Manan bahwa
asas dan prinsip hukum merupakan subsistem terpenting dalam sistem hukum, karena
sifatnya yang lebih universal dan di dalamnya tercermin tata nilai dan pesan-pesan
budaya yang hendak diwujudkan oleh kaidah hukum maka asas dan prinsip hukum
berada pada peringkat lebih tinggi daripada sistem kaidah.115
Ketiga, agar Kontrak Bagi Hasil Migas yang merupakan produk hukum penting,
yang berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, minutanya
disimpan oleh pihak yang berwenang yang memiliki protokol sehingga terhindar dari
risiko kehilangan dan kerusakan yang dapat saja diakibatkan oleh masing-masing
pihak. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf b UUJN terkait salah
satu kewajiban Notaris dalam menjalankan jabatannya sebagai pejabat umum, yaitu
membuat akta dalam bentuk minuta akta dan menyimpannya sebagai bagian dari
Protokol Notaris.
Menurut Tan Thong Kie, seseorang yang menyimpan dokumen dalam protokol
seorang notaris pada umumnya mengetahui bahwa sebuah dokumen aman di tangan
seorang notaris. Masyarakat mempunyai kepercayaan besar, baik terhadap Notaris
maupun lembaga notariat. Apabila notaris yang berkenaan pindah atau pensiun,
115 Bagir Manan dalam Muhammad Alim, “Asas-Asas Hukum Modern Dalam Hukum Islam,”
Jurnal Media Hukum, Vol. 17 No 1, hlm. 151. (2010).
Peran dan Fungsi Notaris, Zakia Vonna, Sri Walny Rahayu, M. Nur 223
Menteri Hukum Hukum dan HAM berdasarkan undang-undang menunjuk notaris lain
yang berkedudukan di kota yang sama atau mengangkat seorang Notaris baru untuk
memegang protokol Notaris yang akan berhenti atau pindah. Dengan demikian orang
yang menyimpan suatu dokumen atau ahli-ahli warisnya selalu dapat meminta salinan
ataupun fotocopy dari dokumen itu.116
Keempat, agar terhindar dari format dan kontrak baku dari rancangan yang
dibuat Pemerintah yang kurang memberikan ruang memilih bagi KKKS. 117 , 118
Penggunaan kontrak baku walaupun dapat menghemat waktu dan mempercepat proses
terjadinya suatu kontrak, namun ditinjau dari aspek hukum, pengaplikasian kontrak
standar banyak pula menimbulkan masalah, terutama dalam pembuatan klausul dalam
kontrak yang cenderung mengutamakan pihak yang merancang, 119 oleh karena itu
pembuatan kontrak antara Pemerintah dengan swasta termasuk Kontrak Bagi Hasil
Migas sebaiknya tidak dibuat dalam bentuk kontrak baku.
Kelima, Pemaksimalan peran Notaris juga diharapkan dapat meningkatkan
pengetahuan hukum masyarakat dari sekedar pemahaman awam yang hanya melihat
gejala sosial tanpa mengetahui hakikat dan keberadaan menjadi masyarakat yang
berfikir filosofis dan kritis atas peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi di
sekitarnya.120,121 Hal tersebut sejalan dengan salah satau kewenangan Notaris yang
diatur dalam Pasal 15 ayat (2), yaitu untuk memberikan penyuluhan hukum
sehubungan dengan pembuatan akta kepada siapapun.
IV. PENUTUP
Berdasarkan hal tersebut di atas, UUJN tidak membatasi Notaris dalam
melaksanakan kewenangannya untuk membuat kontrak-kontrak, oleh karenanya
kedudukan seorang Notaris baik dalam hal penyusunan dan/atau pengesahan suatu
Kontrak Bagi Hasil Migas dapat saja diperlukan karena sebagaimana kewenangannya
dalam Pasal 15 UUJN Notaris merupakan pejabat umum yang berwenang membuat
baik Akta autentik maupun Akta di bawah tangan sejauh hal tersebut tidak
dikhususkan bagi pejabat umum lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan
atau kehendak dari pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban
para pihak terjamin dan mendapat kepastian hukum. Kepastian hukum dalam
kaitannya dengan asas kesetaraan dalam suatu kontrak menimbulkan konsekuensi hak
bagi para pihak untuk dapat mengajukan pihak di luar kontrak atau lembaga formal
lain seperti Notaris sebagai fungsi untuk menjamin hak dan kewajiban mereka dalam
kontrak tersebut.
Terkait dengan peran dan fungsi, Notaris dalam pembuatan Kontrak Bagi Hasil
Migas diperlukan karena; pertama, agar kontrak tersebut secara subtansi benar-benar
memenuhi syarat subjektif dan objektif dalam kontrak, Kedua, agar dengan dibuatnya
Kontrak Bagi Hasil Migas tidak bertentangan dengan asas-asas dalam hukum kontrak,
116 Tan Thong Kie dalam Cut Era Fitriyeni, Op.cit., hlm. 397. 117 Bambang Poerdiyatmono, “Asas Kebebasan Berkontrak (Contractvrijheid Beginselen) dan
Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van Omstanddigheden) pada Kontrak Jasa Konstruksi”, Jurnal
Tehnik Sipil, Vol. 6 No.1, hlm 48, (2005). 118 Nanda Amalia, “Kontrak Baku dan Badan Penyelesaian Sengketa dalam Kontrak Bisnis
Internasional”, Suloh: Jurnal Penelitian dan Pengkajian Hukum, Vol. 3, No.1, hlm. 76, (2005). 119 Hendra Tanu Atmadja, “Dinamika Hukum Perjanjian Yang Dikaitkan dengan Perjanjian
Standar”, Jurnal Supremasi Hukum, Vol. 5, No.1, hlm. 1, (2012). 120 Muhammad Afet Budi, “Peranan Notaris Dalam Pendidikan Hukum Bagi Masyarakat,”
Jurnal Advokasi Vol.6, No.2, hlm. 278, (2016). 121 Berger dan Luckman dalam Yesmil Anwar, Pengantar Sosiologi Hukum, Jakarta: Grasindo,
2011, hlm. 202.
224 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020
Ketiga, agar minutanya disimpan oleh pihak yang berwenang yang memiliki protokol
sehingga terhindar dari risiko kehilangan dan kerusakan yang dapat saja diakibatkan
oleh masing-masing pihak, Keempat, agar terhindar dari format dan kontrak baku dari
rancangan yang dibuat Pemerintah yang kurang memberikan ruang memilih bagi
KKKS, Kelima, agar dapat meningkatkan pengetahuan hukum masyarakat dari
sekedar pemahaman awam tanpa mengetahui hakikat hukum menjadi masyarakat yang
berfikir kritis atas peristiwa hukum yang terjadi di sekitarnya.
Pemerintah dalam melalukan revisi UU Migas sebaiknya membuka ruang bagi
keterlibatan Notaris sebagai pejabat umum yang memiliki kewenangan membuat
kontrak-kontrak komersial di bidang Migas. Salah satu tujuannya agar membantu
Pemerintah dalam mengawal legalitas investor-investor asing demi tercapainya
kepastian hukum dalam pengelolaan Migas di Indonesia. Pemerintah juga perlu segera
menerbitkan peraturan pemerintah sebagai pelaksana UUJN yang salah satu normanya
mengatur hal tersebut, Bagi organisasi Notaris sendiri hendaknya lebih meningkatkan
kemampuan dan keahlian dalam bidang pembuatan kontrak-kontrak komersial seperti
Kontrak Bagi Hasil Migas dengan cara melalukan seminar dan upgrading. Bagi
institusi perguruan tinggi diharapkan dapat menambah kurikulum mengenai teknik
pembuatan Kontrak-Kontrak Bisnis, tidak hanya sebatas pembuatan akta-akta baku
yang ketentuannya sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan seperti Akta
Jual Beli, Akta Fidusia, Akta Pendirian Badan Usaha, dan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Yogyakarta: Yudistia, 2004.
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, Asas Proporsionalitas dalam Kontrak
Komersial, Jakarta: Kencana, 2013.
Bach, David dan Gregory C. Unruch, Business-Government Relations in a Global
Economy: Broadening the Conceptual Map, Madrid: Instituto de Empresa, 2004.
Benny Lubiantara, Ekonomi Migas: Tinjauan Aspek Komersial Kontrak Migas,
Jakarta: Grasindo, 2012.
Easo, Jubilee, Licences, Concessions, Production Sharing Agreements, and Service
Contracts, in Oil and Gas: A Practical Handbook, edited by Geoffrey Picton-
Turbervill, UK: Globe Business Publishing Ltd, 2009.
Fajar Sugianto, “Perancangan dan Analis Kontrak,” Jawa Timur: R.A. De Rozarie,
2018.
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2008.
--------------, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat
Publik, Bandung: Refika Aditama, 2008.
Hanan Nugroho, A Mosaic of Indonesian Energy Policy, Bogor: IPB Press, 2011.
Mariam Darus Badrulzaman (et.al.), Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2001.
Herlien Boediono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Kenotariatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2009.
Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Jakarta: Raja Grafindo, 2006,
---------------, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Cet. 2, Bandung: Refika
Aditama, 2008.
Johannes Ibrahim dan Lindawati Sewu, Hukum Bisnis dalam Persepsi Manusia
Modern, Bandung: Refika Aditama, 2007.
Peran dan Fungsi Notaris, Zakia Vonna, Sri Walny Rahayu, M. Nur 225
Kansil, C. S. T., Modul Hukum Perdata Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata, Jakarta:
Pradnya Paramita, 2006.
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian,
Jakarta: Rajawali Press, 2010.
Laurensius Arliman S, Notaris dan Penegakan Hukum Oleh Hakim, Yogyakarta:
Deepublish, 2015.
Lubis, Suhrawardi K., Etika Profesi Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 1994.
Mariam Darus Badrulzaman, (et.al), Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2001.
Muhammad Hatta Taliwang dan Salamuddin Daeng, Indonesiaku Tergadai, Jakarta:
Institute Ekonomi Politik Soekarno Hatta, 2011.
Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek Buku Ketiga, Cet.2, Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2002.
Philipus M. Hadjon, (et.al), Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2002.
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2009.
Purwosutjipto, H. M. N., Pengertian Hukum Dagang Indonesia Bagian 2: Hukum
Persekutuan Perusahaan, Jakarta: Djambatan, 1980.
Raden Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia: Suatu Penjelasan, Cet.
2, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993.
Rinto A. Pudyantoro, A to Z Bisnis Hulu Migas, Jakarta: Petromindo, 2013.
Salim H. S., Hukum Pertambangan di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2010.
Salim H. S., (et.al), Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding
(MoU), Cet. 5, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Simatupang, Richard Burton, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Jakarta: Rineka Cipta,
1996.
Smith, Stephen A., Atiyah’s Introduction to The Law of Contract, 6th Edition, Oxford:
Clarendon Press, 2005.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia Press,
1984.
Subekti, R, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 2010.
Subekti, R. dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta:
Pradnya Paramita, 1984.
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Jakarta:
Citra Aditya Bakti, 2007.
Supriadi, Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Cet. 2, Jakarta: Sinar
Grafika, 2008.
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi
Para Pihak Dalam Perjanjian (Credit Bank Indonesia), Jakarta: Institut Bankir
Indonesia, 1995.
Suyud Margono, ADR dan Arbitrase: Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Bogor:
Ghalia Indonesia, 2004.
Tan Thong Kie, Studi Notariat dan Serba Serbi Praktek Notaris, Cet.2, Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve, 2000.
Tobing, G. H. S. Lumban, Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta: Erlangga, 1983.
Tesis, Jurnal, Makalah
226 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020
Abdul Rokhim, “Hubungan Kontraktual Antara Pemerintah dan Kontraktor Swasta
Dalam Kontrak Pertambangan Minyak dan Gas Bumi,” Jurnal Rechtidee, Vol.
12, No. 1, (2017).
Agus Yudha Hernoko, “Asas Proporsionalitas Sebagai Landasan Pertukaran Hak dan
Kewajiban Para Pihak Dalam Kontrak Komersial,” Jurnal Hukum dan
Peradilan, Vol. 5, No. 3, (2016).
Agustinus Danan Suka Dharma, “Keberagaman Pengaturan Batas Usia Dewasa
Seseorang Untuk Melakukan Perbuatan Hukum Dalam Peraturan Perundang-
Undangan di Indonesia,” Jurnal Repertorium, Vol. 2, No. 2, (2015).
Arman Nefi (et.al.), “Implikasi Keberlakuan Kontrak Karya PT Freeport Indonesia
Pasca Undang-Undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara,” Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol. 48, No. 1, (2018).
Azahery Insan Kamil, (et.al.), “Hukum Kontrak Dalam Perspektif Komparatif
(Menyorot Perjanjian Bernama Dengan Perjanjian Tidak Bernama),” Jurnal
Serambi Hukum, Vol. 8, No. 2, (2014).
Bambang Sutiyoso, “Akibat Pemilihan Forum Dalam Kontrak Yang Memuat Klausula
Arbitrase,” Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 24, No. 1, (2012).
Bambang Poerdiyatmono, “Asas Kebebasan Berkontrak (Contractvrijheid Beginselen)
dan Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van Omstanddigheden) pada Kontrak
Jasa Konstruksi”, Jurnal Tehnik Sipil, Vol. 6 No.1, (2005).
Buletin SKK Migas (BUMI), “Membuka Harapan Baru Dari Skema Gross Split”,
Artikel, Volume 46, (2017).
Butt, Simon dan Fritz Edward Siregar, “Analisis Kritik Terhadap Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012”, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 25, No. 1,
(2013).
Choky R. Ramadhan, “Konvergensi Civil Law dan Common Law di Indonesia dalam
Penemuan dan Pembentukan Hukum,” Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 30, No. 2,
(2018).
Chrisstar Dhini, (et.al.), “Harmonisasi Buku III Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata Dengan Convention on Contracts for the International Sales of Goods
dan United Nation Commission on International Trade Law Terhadap Kontrak
Dagang Internasional,” Jurnal Privat Law Vol. 3, No 2, (2015).
Cut Era Fitriyeni, “Tanggung Jawab Notaris Terhadap Penyimpanan Minuta Akta
Sebagai Bagian Dari Protokol Notaris,” Kanun Jurnal Ilmu Hukum, No. 58, Thn.
XIV, (2012).
Deviana Yuanitasari, “The Role of Public Notary in Providing Legal Protection on
Standard Contracts for Indonesian Consumers,” Sriwijaya Law Review, Vol. 1,
No. 2, (2017).
Dewi Tuti Muryati dan B. Rini Heryanti, “Pengaturan dan Mekanisme Penyelesaian
Sengketa Nonlitigasi di Bidang Perdagangan,” Jurnal Dinamika Sosbud, Vol.
13, No. 1, (2011).
Dian Sutari Widiyani, “Pertanggungjawaban Notaris Atas Hilang Atau Rusaknya
Minuta Akta Yang Disimpan Akibat Bencana Alam (Studi Kasus Tsunami di
Banda Aceh),” Tesis, Medan: Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, 2011.
Didik Sukriono, “Penguatan Budaya Hukum dalam Penyelenggaraan Pelayanan
Publik sebagai Upaya Penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia,”
Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 1, No 2, (2014).
Faizal Kurniawan, “Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Kekayaan Minyak Dan
Gas Bumi Sebagai Aset Negara Melalui Instrumen Kontrak,” Jurnal Perspektif,
Vol. 18, No. 2, (2013).
Peran dan Fungsi Notaris, Zakia Vonna, Sri Walny Rahayu, M. Nur 227
Goldberg, John C. P., “Introduction: Pragmatism and Private Law", Harvard Law
Review, Vol. 125, (2012).
Hart, Oliver, “Incomplete Contracts and Public Ownership: Remarks, and An
Application To Public-Private Partnerships,” The Economic Journal, Vol. 113,
No. 486, (2003).
-------------, “Incomplete Contracts and Control,” American Economic Review, Vol.
107, No. 7, (2017).
Haula Rosdiana, (et.al), “Indonesia Property Tax Policy on Oil and Gas Upstream
Business Activities to Promote National Energy Security: Quo Vadis”, Jurnal
Procedia Environmental Science 28, Universitas Indonesia, Depok, (2015).
Hendra Tanu Atmadja, “Dinamika Hukum Perjanjian Yang Dikaitkan dengan
Perjanjian Standar”, Jurnal Supremasi Hukum, Vol. 5, No.1, (2012).
Hendy Sarmyendra, (et.al.), “Kekuatan Berlakunya Penggunaan Blanko Akta Tanah
oleh Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam Pengalihan Hak atas Tanah di
Kabupaten Malinau Kalimantan Utara.” Jurnal Beraja Niti, Vol. 4, No. 3, (2014).
I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, “Kedaulatan Sumber Daya Alam di Indonesia
sebagai Aktualisasi Nilai-Nilai Pancasila”, Jurnal Hukum Yustisia, Edisi 88,
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, (2014).
I Ketut Tjukup, (et.al), “Akta Notaris (Akta Otentik) Sebagai Alat Bukti Dalam
Peristiwa Hukum Perdata,” Jurnal Hukum Kenotariatan Acta Comitas, Vol. 2,
No. 1, (2016).
Idrus Ruslan, “Pemikiran “Kontrak Sosial” Jean Jacques Rousseau dan Masa Depan
Umat Beragama,” Jurnal Al-Adyan, Vol. 8, No. 2, (2013).
Ifada Qurrata A’yun Amalia, “Akibat Hukum Pembatalan Perjanjian Dalam Putusan
Nomor 1572K/PDT/2015 Berdasarkan Pasal 1320 dan 1338 KUH Perdata”
Jurnal Hukum Bisnis Bonum Commune, Vol. 1, No. 1, (2018).
Ilham Arisaputra, Muh., “Analisis Hukum Build, Operate, and Transfer Pada
perjanjian Bangun, Guna, Serah pada Investasi PT. Tosan Permai Dalam Rangka
Revitalisasi Lapangan Karebosi”, Jurnal Penelitian Hukum, Vol. 1, No.1,
(2011).
Kartika Dengah, “Eksistensi Serta Akibat Penerapan Sistem Terbuka Pada Hukum
Perikatan,” Jurnal Rechtidee, Vol. 12, No. 1, (2017).
Knerl, Vicky W., “Contracting with the U.S. Government: A Small Business
Perspective,” Journal of Contract Management, (2007).
Lorenzen, Ernezt G., “Causa and Consideration In The Law of Contracts,” Yale Law
Jornal, Vol. 28, No.7, (1919).
Muhammad Alim, “Asas-Asas Hukum Modern Dalam Hukum Islam,” Jurnal Media
Hukum, Vol. 17 No 1. (2010).
Natasya Yunita Sugiastuti, “Esensi Kontrak Sebagai Hukum Vs. Budaya Masyarakat
Indonesia Yang Non-Law Minded dan Berbasis Oral Tradition,” Jurnal Hukum
Prioris, Vol. 5, No. 1, (2015).
Nevey Varida Ariani, “Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis di Luar Pengadilan,”
Jurnal Rechtsvinding, Vol. 1, No. 2, (2012).
Nindyo Pramono, “Problematika Putusan Hakim Dalam Perkara Pembatalan
Perjanjian.” Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 22, No. 2, (2010).
Novina Sri Indiraharti, “Aspek Keabsahan Perjanjian Dalam Hukum Kontrak (Suatu
Perbandingan Antara Indonesia dan Korea Selatan)”, Jurnal Hukum Prioris,
Vol. 4 No. 1, (2014).
Pereira, Ricardo dan Orla Gough, ”Permanent Sovereignty Over Natural Resources”,
Melbourne Journal of International Law, (2013).
228 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020
Rahayu Prasetianingsih, “Konstitusionalisasi Hukum Privat: Beberapa Pandangan
yang Berkembang dalam Pengkajian Ilmu Hukum,” Padjadjaran Jurnal Ilmu
Hukum, Vol. 1 No. 2, (2014).
Rahmani Timorita Yulianti, “Asas-Asas Perjanjian (Akad) dalam Hukum Kontrak
Syari’ah,” Jurnal Ekonomi Islam La Riba, Vol. 2, No. 1, (2008).
Riduan Syaharani, “Masalah Bunga dan Perubahan Nilai Mata Uang,” Jurnal Hukum
dan Pembangunan, Vol. 11 No. 4, (1981).
Robin A. dan Agita M. Ulfa, “Teori Kontrak dan Implikasinya Terhadap Regulasi
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah,” Jurnal Pengadaan, Vol. 3 No. 3, (2013).
Sang Ayu Putu Rahayu, “Prinsip Hukum Dalam Kontrak Kerjasama Kegiatan Usaha
Hulu Minyak Dan Gas Bumi,” Jurnal Hukum Yuridika, Vol. 32, No. 2, (2017)
Sanusi Bintang, “Pendekatan Sistem Terhadap Hukum Publik dalam Kontrak
Penanaman Modal Internasional,” Kanun Jurnal Ilmu Hukum, No. 66, Th. XVII,
(2015).
------------, “Daerah sebagai Pihak dalam Kontrak Penanaman Modal Internasional
(Studi Kasus Provinsi Aceh)”, Jurnal Konstitusi, Vol. 13, No. 4, (2016).
Shofia Shobah, (et.al), “Cost Recovery Dalam Kontrak Kerjasama Minyak dan Gas
Bumi di Indonesia Ditinjau Dari Hukum Kontrak Internasional,” Jurnal Hukum
Universitas Brawijaya, (2015).
Sri Walny Rahayu, “Lembaga Penyelesaian Sengketa Adat Laut “Panglima Laôt” di
Aceh sebagai Bentuk Pengembangan Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam
Sistem Hukum di Indonesia,” Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 1 No 3,
(2014).
Sulistiyono, “Analisa Kelayakan Penambahan Sumur Produksi Minyak dan Gas Bumi.
(Studi Kasus PT. Conoco Phillips Indonesia)”, Jurnal Ilmiah Magister Teknik
Geofisika UPN “Veteran”, Vol. 4, No. 1, (2011).
Sunaryati Hartono, “Upaya Menyusun Hukum Ekonomi Indonesia Pasca Tahun 2003”,
Seminar Pembangunan Nasional VIII Tema Penegakan Hukum Dalam Era
Pembangunan Berkelanjutan Diselenggarakan Oleh Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Denpasar, (14-18
Juli 2003).
Wang, Sijun dan Michele D. Bunn, “Government/Business Relationships: Insights
Into Contract Implementation,” Journal of Public Procurement, Vol. 4, Issue 1,
(2004).
Yoyon Mulyana Darusman, “Kedudukan Notaris Sebagai Pejabat Pembuat Akta
Otentik dan Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah,” Adil: Jurnal Hukum Vol. 7
No.1, (2016).
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas PP No.
35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2012 tentang Pengalihan Pelaksanaan Tugas dan
Fungsi Kegiatan Usaha Hulu Migas.
Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan
Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Peran dan Fungsi Notaris, Zakia Vonna, Sri Walny Rahayu, M. Nur 229
Sumber-Sumber Lain
a) Sumber Website
Achmad Madjedi Hasan, “Potensi Masalah Skema Kontrak Bagi Hasil Gross Split,” Opini,
Katadata, Edisi 2 Desember 2012, <https://katadata.co.id/ >, [diakses 15/03/2018]
Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi. <http://www.esdm.go.id/>, [diakses
25/04/2017].
Direktorat Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral,
Rencana Kerja Tahunan 2018, hlm 44. <https://www.migas.esdm.go.id/>,
diakses [10/04/2019].
Hart, Oliver, “Contract Theory,” <https://www.nobelprize.org/> [diakses 10/03/2019].
Hukumonline, <http://www.hukumonline.com>, diakses [13/04/2019].
Ikatan Notaris Indonesia, <https://www.ini.id/post/>, [diakses, 01/04/2019].
Laporan Tahunan SKK Migas 2015. <http://www.skkmigas.go.id/>, [diakses
25/03/2017].
Naskah Akademik Rancangan Perubahan Undang-Undang Migas oleh Komisi VII
Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia <http://www.dpr.go.id/>, [diakses
16/01/2018].
b) Sumber Kamus
Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, 4th Edition, USA: West Publishing
Company, 1968.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. [Online]. Tersedia di
<https://kbbi.kemdikbud.go.id/>.