peran adaptif guru dalam pembelajaran di abad 21
DESCRIPTION
Artikel PendidikanTRANSCRIPT
PERAN ADAPTIF GURU DALAM PEMBELAJARAN DI ABAD 21
Nur Miftahul Fuad, S.Pd., M.PdSMP Negeri 2 Puncu Kediri
E-mail: [email protected]
Dunia telah memasuki abad 21 yang ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi dan pola pikir masyarakat. Globalisasi tak terbendung lagi menimbulkan iklim kompetisi global yang kian menguat.Anak-anak terlahir pada era digital yang tidak terjadi di era 20 tahunan yang silam. Bahkan saat itu, tidak terbayangkan perubahan teknologi akan terjadi secepat ini. Agar suatu bangsa dapat tetap eksis dan melaju maka diperlukan sumber daya manusia yang unggul sehingga mampu tampil di kancah dunia dalam iklim yang sehat, produktif, dan kolaboratif dengan bangsa lain. Jauh sebelumnya, hal ini sudah diantisipasi oleh PBB melalui UNESCO dengan menghadirkan 4 pilar pendidikan sebagai pijakannya, yaitu: learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together. Pendidikan sebagai indikator kualitas sebuah bangsa mempunyai peran strategis dalam menjawab tantangan abad 21. Pendidikan sebagai wahana untuk mencetak generasi yang mampu merespons perubahan zaman sudah selayaknya mempunyai formulasi khusus agar pendidikan tidak “usang” alias tertinggal zaman. Garda terdepan untuk memikul amanat mulia itu tidak lain adalah guru. Di sinilah tanggung jawab dan tantangan yang tidak ringan berada di pundak guru abad 21. Guru menjadi memiliki peran strategis karena guru yang berkualitas akan melahirkan siswa berkualitas dan siswa berkualitas akan menjadikan bangsa yang berkualitas (quality teachers – quality students – quality nation).
Perubahan zaman tentu menuntut perubahan paradigma dalam berbagai bidang yang menuntut skills khusus abad 21, antara lain: 1). critical thinking, problem solving, questioning, 2). accessing, analyzing, and synthesizing information, 3). communication, 5). innovation, creativity, curiosity, imagination, 6). ethical decision-making, 7). agility, adaptability, flexibility, 8). global citizenship, social and cross-cultural interaction, 9). collaboration, 10). initiative, self direction, enterpreneurialism, resourcefulness, 11). productivity and accountability, 12). leadership, 12). multi-disciplinary decision-making. Ketrampilan tersebut selayaknya dapat dihasilkan oleh dunia pendidikan. Para guru memiliki tantangan berat untuk mengemban misi ini. Tantangan tersebut antara lain mengajar: 1). mengkonstruksi makna, 2). pembelajaran aktif, 3). menggunakan teknologi, 4). dengan pandangan baru mengenai kemampuan, 4). secara akuntabilitas, 5). berfokus pada pembangunan karakter, 6) peduli perubahan iklim, 7). berpola pikir enterpreneur, 8). membangun komunitas belajar, 9). soft skills dan hard skills.
Untuk menjawab tantangan tersebut, maka seorang guru hendaknya memiliki 5 kecakapan, yaitu: 1).work ethic, 2). collaboration, 3). good communication 4). social responsibility, dan 5).critical thinking and problem solving. Di era yang serba digital, sebagai pendidik tentu kita tidak bisa lagi mengajar mereka dengan cara-cara seperti dulu. Kita selayaknya memahami apa yang mereka sukai saat ini.Guru diharapkan mampu mengatasi perbedaan yang terjadi antara dunia nyata dan dunia virtual (cyber) untuk menghasilkan lulusan yang berkompetensi sesuai bidangnya. Jangan sampai lulusannya nanti mempunyai kemampuan yang virtual saja. Yang tidak kalah pentingnya yaitu menciptakan model pembelajaran inovatif yang benar-benar adaptif dengan era digital. Pembelajaran yang adaptif tersebut bisa berupa: pemanfaatan e-mail sebagai alat bantu pengumpulan tugas sekolah, berbagi file-file materi pelajaran berbasis komputer dan mobile, pembuatan blog guru yang menyajikan aneka ragam materi yang disajikan secara menarik dan bisa diakses secara mudah oleh setiap siswa, mengoptimalkan facebook dan twitter sebagai wahana untuk berdiskusi secara online antara guru dengan para siswa, serta menciptakan software dan CD pembelajaran bagi siswa. Siswa pun hendaknya dituntut untuk mumpuni dalam mempresentasikan tugas dan karyanya menggunakan aplikasi serta piranti yang telah tersedia.
Guru seharusnya mengurangi dalam mengajar dan mengajak siswa yang belajar lebih melalui teach less learn more (TLLM) dan lebih mengedepankan kualitas daripada sekedar kuantitas pembelajaran. keleluasan siswa untuk belajar secara hands-on dan minds-on activity, diharapkan pembelajaran menjadi semakin bermakna (meaningfull learning) sehingga akan tersimpan dalam memori jangka panjang siswa (long term memory) dalam jangka waktu yang lebih lama. Dengan demikian pembelajaran bukan sekedar mendengarkan yang selama ini diyakini membosankan (listening is boring). Di era digital sekarang ini, menjadi guru adaptif adalah suatu keharusan. Untuk itulah, kita harus mempersiapkan dan membekali diri kita dan generasi penerus kita menjadi pembelajar sepanjang hayat untuk dapat menciptakan inovasi baru dalam memberikan solusi bagi kehidupan masyarakat di masa mendatang. Muaranya adalah tercapainya cita-cita pendidikan nasional yang kita impikan.
ADAPTIVE ROLE OF TEACHERS IN LEARNING IN THE 21ST CENTURYNur Miftahul Fuad, S.Pd., M.Pd
SMP Negeri 2 Puncu KediriE-mail: [email protected]
The world has entered the 21st century is characterized by the rapidly of development of information technology and the mindset of the people. Globalization is unstoppable again causing climate is a growing global competition. The children born in the digital world in an era that did not happen 20 years ago. Even then, it is not unimaginable technological change will happen soon. In order for a nation to continue to exist and drove it requires a superior human resources so that they can perform on the world stage in a climate of healthy, productive, and collaborative with other nations. Much earlier, it was anticipated by the United Nations through UNESCO to bring four pillars of education as a footing, namely: learning to know, learning to do, learning to be and learning to live together. Education as an indicator of the quality of a nation has a strategic role in responding to the challenges of the 21st century. Education as a vehicle to print a generation able to respond to changing times already should have a special formulation that education is not "out of dated" or behind the times. Frontline to undertake noble is no other teacher. This is where responsibility and serious challenges in the 21st century teacher's shoulders. Teachers have a strategic role because qualified teachers and qualified students will bear the qualified students will make the nation a quality (quality teachers - quality students - quality nation).
Changing times would require a paradigm shift in the various fields that require specialized skills of the 21st century, such as: 1). critical thinking, problem solving, questioning, 2). accessing, analyzing, and synthesizing information, 3). communication, 5). innovation, creativity, curiosity, imagination, 6). ethical decision-making, 7). agility, adaptability, flexibility, 8). citizenship global, social and cross-cultural interaction, 9). collaboration, 10). initiative, self-direction, enterpreneurialism, resourcefulness, 11). productivity and accountability, 12). leadership, 12). multi-disciplinary decision-making. These skills should be generated by the world of education. The teachers have a tough challenge to take on this mission. These challenges include teaching: 1). constructing meaning, 2). active learning, 3). using technology, 4). with a new view of the capability, 4). the accountability, 5). focuses on character building, 6) matter of climate change, 7). minded entrepreneurs, 8). building a learning community, 9). soft skills and hard skills.
To answer these challenges, then a teacher should have 5 skills, namely: 1). work ethic, 2). collaboration, 3). good communication 4). social responsibility, and 5). critical thinking and problem solving. In an all-digital era, as educators we certainly can no longer teach them in a way like it used to. We should understand what they like when ini. Teachers expected to be able to overcome the differences that occur between the real world and the virtual world (cyber) to produce competent graduates according to their field. Do not let the graduates later has a virtual capacity only. Equally important is to create an innovative learning model that truly adaptive to the digital era. Adaptive learning can be: the use of e-mail as a tool for the collection of school work, share files of computer-based learning materials and mobile, creating a blog that presents a variety of teachers presented the material in an interesting and easily accessible by each student, optimize facebook and twitter as a vehicle for online discussion between teachers and students, as well as creating and CD learning software for students. Students also should be required to be competent in the present work tasks and use application and tools you have available.
Teachers should less in teaching and encourage students who learn better through teach less learn more (TLLM) and more priority to quality rather than quantity of learning. Provide students to learn hands-on and minds-on activity, is expected to become increasingly meaningful learning (meaningful learning) that are stored in long term memory of students within a longer period of time. Thus, learning is not just listening to what had been believed boring In today's digital age, being adaptive teacher is a must. For that, we must prepare and equip ourselves and our next generation become lifelong learners to be able to create new innovations in providing solutions to people's lives in the future. Finally the ideal educational goals that we dream of can be achieved.
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Pintu gerbang abad 21 telah kita masuki, sebagai penanda abad 21 adalah pesatnya teknologi
informasi dan komunikasi. Beberapa tahun belakangan ini arus teknologi dan informasi semakin tak
terkendali. Melalui telepon genggam dan internet, semua informasi di penjuru dunia dapat kita akses
dalam waktu yang teramat singkat dan tersaji lewat genggaman kita. Pesan SMS begitu cepat sampai
tujuan dalam hitungan detik. Hadirnya 3G mampu menampilkan komunikasi visual secara langsung
padahal beberapa tahun yang lalu hal ini masih sebatas impian yang hadir di dunia komik. Teknologi
seluler dan internet semakin merambah ke pelosok-pelosok negeri dan digunakan tanpa batasan usia.
Situs Google, Yahoo, Blog, dan Youtube semakin booming dan menjadi rujukan saat berselancar di dunia
maya. Facebook dan Twitter seakan menjadi kebutuhan primer sehari-hari bagi sebagian masyarakat kita,
bahkan anak-anak didik kita. Melalui akun Facebook dan Twitter seseorang dapat berbagi dan terhubung
dengan orang-orang di penjuru dunia. Warnet dan kafe-kafe berfasilitas hotspot area seakan menjadi
tempat yang paling diminati. Dari sanalah mereka berkenalan, berbincang, berdiskusi, serta membangun
jaringan sosial (Fuad, 2011)
Demikianlah potret digitalisasi yang tidak terjadi di era 20 tahunan yang silam. Bahkan saat itu,
tidak terbayangkan perubahan teknologi akan terjadi secepat ini. Generasi sekarang memang terlahir dan
hidup dalam era yang serba digital, dunia yang diadopsi sebagai bagian keseharian, gaya hidup, serta
interaksi sosial. Mereka menikmati foto dan musik secara digital, bermain-main pun secara online bahkan
tanpa dibatasi oleh ruang dan zona geografis. Mereka cenderung menyukai komputer, gambar, animasi,
video, daripada dokumen berbentuk teks dan buku. Dunia digital memang mempermudah dan membuat
hidup semakin praktis, asalkan menguasainya.
Berkaitan dengan dunia pendidikan, menurut Fuad (2010) pendidikan sebagai wahana untuk
mencetak generasi yang mampu merespons derasnya arus zaman yang kian tak terbendung, sudah
selayaknya mempunyai formulasi khusus agar pendidikan tidak “usang” alias tertinggal zaman. Garda
terdepan untuk memikul amanat mulia itu tidak lain adalah guru. Di sinilah tanggung jawab dan
tantangan yang tidak ringan berada di pundak guru abad 21. Lalu apa saja karakteristik abad 21? apa pula
tantangannya? bagaimana menghadapinya? serta bagaimana menjadi guru di abad 21? Untuk membahas
kajian ini lebih dalam, penulis mengangkat sebuah makalah berjudul “Peran Adaptif Guru dalam
Pembelajaran di Abad 21”
2. Masalah/Topik Bahasan
1) Bagaimanakah karakteristik abad 21?
2) Tantangan apa saja yang akan dihadapi oleh guru di abad 21 dan bagaimana menjawabnya?
3) Bagaimanakah pembelajaran yang adaptif untuk abad 21?
3. Tujuan Penulisan Makalah
Makalah ini disusun untuk menambah wawasan penulis dan pembaca berkaitan dengan hal-hal
berikut:
1) Karakteristik abad 21
2) Tantangan yang akan dihadapi oleh guru di abad 21
3) Pembelajaran adaptif untuk abad 21
B. PEMBAHASAN
1. Karakteristik Abad 21
Iklim kompetisi global abad 21 kian menguat, agar suatu bangsa dapat tetap eksis dan melaju
maka diperlukan sumber daya yang unggul sehingga mampu tampil di kancah dunia dalam iklim yang
sehat, produktif , dan kolaboratif dengan bangsa lain. Jauh sebelumnya, hal ini sudah diantisipasi oleh
PBB melalui UNESCO dengan menghadirkan 4 pilar pendidikan sebagai pijakannya, yaitu: learning to
know, learning to do, learning to be, dan learning to live together. Peran terdepan dalam mengemban
misi mulia tersebut ada di tangan guru, karena guru yang berkualitas akan melahirkan siswa berkualitas
dan siswa berkualitas akan menjadikan bangsa yang berkualitas (quality teachers – quality students –
quality nations). Pendidikan semakin penting bagi keberhasilan individu dan negara (Hammond 2006).
Abad ke-21 sangat berbeda dengan abad-abad sebelumnya. Perkembangan ilmu pengetahuan
yang luar biasa terjadi di segala bidang. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang cepat
membuat dunia ini semakin sempit. Komunikasi antar personal dapat dilakukan dengan mudah, murah,
kapan saja, dan di mana saja. Seiring dengan itu, permasalahan yang dihadapi manusia juga semakin
kompleks, mulai dari krisis ekonomi, free trade, terorisme, cyber crime, perdagangan obat terlarang,
pergeseran tata nilai, pornografi, global warming, trafficking, krisis karakter, hingga dekadensi moral.
Setiap masalah tersebut perlu segera dicarikan win solution agar tidak berlarut-larut dan menimbulkan
permasalahan baru dimasa mendatang.
Dengan semakin kompleksnya permasalahan, maka dibutuhkan persiapan yang matang dan
mantap baik konsep maupun aplikasinya untuk membentuk sumber daya manusia (human resources)
yang unggul. Dan yang paling bertanggung jawab dalam menyiapkan sumber daya manusia yang unggul
adalah lembaga-lembaga pendidikan di mana guru sebagai “ujung tombaknya”. Menurut Kehoe (2008)
pada abad 21 ini akan membutuhkan keterampilan baru, kemampuan berintuisi, imajinasi, interpretasi,
visualisasi, kreativitas dan kemampuan menggunakan alat-alat modern. Sedangkan pada sisi siswa, maka
pada abad 21 mereka perlu untuk dipersiapkan sehingga memiliki kecakapan:
1. keterampilan komunikasi, dengan menggunakan berbagai pendekatan; keterampilan manajemen
informasi (pencarian dan pengingatan, evaluasi, analisis dan utilisasi)
2. penggunaan komunikasi modern dan teknologi informasi (ITC)
3. sosial (seperti tim/kelompok kerja, etika, dan pengakuan keberagaman)
4. keterampilan personal (manajemen waktu, tanggung jawab pribadi dan kemampuan untuk terus
belajar) (Fallows, 2003).
Kharbach (2012) mengemukakan ketrampilan yang dibutuhkan oleh siswa pada abad 21 adalah
sebagimana grafik berikut.
Multi-Disciplinary Decision-Making
Other
Leadership
Initiative, Slef Direction, Enterpreneurialism, Resourcefulness
Productivity and Accountability
Collaboration
Global Citienship, Social and Cross-Cultural Interaction
Agility, Adaptability, Flexibility
Innovation, Creativity, Curiosity, Imagination
Ethical Decision-Making
Communication
Accessing, Analyzing, and Synthesizing Information
Critical Thinking, Problem Solving, Questioning
5781010121517
2424
2937
64
Grafik Ketrampilan yang Dibutuhkan pada Abad 21
2. Guru Abad 21 dan Tantangannya
Guru abad 21 sepatutnya mampu beradaptasi dan memiliki “iritabilitas” terhadap perubahan
zaman. Dengan naluri alamiahnya, Ia sepatutnya mampu memposisikan dirinya ditengah-tengah siswanya
yang semakin “canggih”. Agar sejalan, maka seorang guru hendaknya melakukan revolusi dalam
pembelajarannya. Bila dulu pengetahuan siswa bersumber dari guru dan siswa dianggap sebagai gelas
kosong yang siap diisi. Maka dengan paradigma konstruktivisme, siswa dianggap memiliki pengetahuan
awal, dan tugas guru hanyalah mengkonstruksi pengetahuan yang lama tersebut menjadi pengetahuan
yang baru. Filosofinya, siswa diibaratkan sebagai benih yang sudah punya potensi untuk tumbuh dan
berkembang, sedangkan guru bertugas menyemaikan benih itu agar tumbuh dan berkembang dengan
baik. Akibatnya, peran guru berubah dari pengajar menjadi fasilitator dan partner bagi siswa. Dari
teacher centered menjadi student centered. Sehingga pendidikan bersifat memandirikan siswa dalam
mengeksplorasi rasa keingintahuannya (curiosity) dan memecahkan masalah (problem solving) yang
diberikan guru. Guru mengarahkan agar sampai ke tujuan dan biarkan siswa melangkahkan kakinya
sendiri.
Disisi lain, dunia sudah semakin go digital, melalui paman “google” dan om “yahoo”
perpustakaan digital (digital library) tercipta. Buku teks bergeser perannya menjadi buku elektonik (e-
book). Buku Sekolah Elektronik (BSE) menjadi santapan keseharian siswa. Sehingga, kalau para guru
tidak peka akan perubahan ini, pendidikan kita akan ketinggalan. Bahkan bisa saja terjadi, siswa lebih
pandai dari pada gurunya.
Menurut Susanto (2010), terdapat 7 tantangan guru di abad 21, yaitu:
1. Teaching in multicultural society, mengajar di masyarakat yang memiliki beragam budaya
dengan kompetensi multi bahasa.
2. Teaching for the construction of meaning, mengajar untuk mengkonstruksi makna (konsep)
3. Teaching for active learning, mengajar untuk pembelajaran aktif
4. Teaching and technology, mengajar dan teknologi
5. Teaching with new view about abilities, mengajar dengan pandangan baru mengenai
kemampuan
6. Teaching and choice, mengajar dan pilihan
7. Teaching and accountability, mengajar dan akuntabilitas.
Lebih lanjut, Yahya (2010) menambahkan tantangan guru di Abad 21 yaitu:
1. Pendidikan yang berfokus pada character building
2. Pendidikan yang peduli perubahan iklim
3. Enterprenual mindset
4. Membangun learning community
5. Kekuatan bersaing bukan lagi kepandaian tetapi kreativitas dan kecerdasan bertindak (hard
skills- soft skills)
Tantangan bagi guru dalam meramu pembelajaran diungkapkan oleh Kohler (2012) dalam
gambar berikut.
Gambar 1. Kerangka Pikir Technological, Pedagogical, and Content Knowledge (TPACK)(Sumber: http://tpack.org)
Tantangan di atas merupakan tantangan yang berat yang harus kita hadapi dengan kesiapan diri
dan menggunakan ramuan yang tepat. Ramuan ini tentunya berbeda dengan apa yang pernah kita
terapkan sebelumnya. Bila saja formulasi yang dipakai keliru, maka perubahan zaman justru akan
menjadi racun bagi generasi mendatang.
Mengingat tantangan guru di masa depan kian berat, maka strategi yang diperlukan
untukmenghadapinya. Ada lima kecakapan (five skills) yang harus dimiliki oleh setiap guru agar tetap
survive dan mampu menjawab tantangan tersebut. Lima kecakapan yang dimaksud adalah:
1. Work ethic, merupakan sebuah sistem prinsip prinsip dalam kinerja berupa aturan-aturan perilaku.
Work ethic di dunia kerja berupa kecakapan dalam menunaikan tugas dan ketaatan pada aturan-aturan
yang telah ditetapkan serta kecakapan menjaga etika dalam hubungan antar personal. Bagi guru,
aturan tersebut sudah tertuang jelas pada Undang-Undang Guru dan Dosen beserta perangkat lainnya
seperti Permendiknas yang bisa di unduh secara bebas via internet.
2. Collaboration, adalah kecakapan membangun jaringan kerjasama dengan orang lain. Karena, di masa
kini sehebat apapun seseorang tentu tidak aka nada artinya apa-apa bila tidak memiliki jaringan.
3. Good communication, adalah kecakapan berkomunikasi secara efektif dan efisien dengan orang lain
baik secara individu atau kelompok.
4. Social responsibility, adalah kecakapan untuk ikut memiliki rasa tanggung jawab sosial.
5. Critical thinking and problem solving, adalah kecakapan berfikir kritis dan kecakapan memecahkan
permasalahan.
3. Pembelajaran yang Adaptif di Abad 21
Gambaran abad 21 di atas tentu berbeda dengan era manakala kita (terutama para pendidik dan
orang tua saat ini) terlahir. Era digital belum menjamah kala itu, semuanya masih terkesan manual dan
tradisional. Kalaupun ada digital, hanyalah kaum tertentu yang dapat menikmatinya. Keberadaan siswa
dan anak kita sebagai komunitas asli atau “genuine community” dari dunia digital bukan berarti
membebaskan tanggung jawab dan kewajiban kita untuk terus membimbing mereka tentang manfaat
teknologi. Bahkan, saat melihat mereka lebih menguasai dalam penggunaan teknologi ketimbang kita
sebagai orang dewasa, mereka bukan tidak butuh perhatian dan pendampingan kita. Salah satu aspek yang
berkaitan langsung adalah pendidikan. Pendidikan dirumah, di sekolah, dan di lingkungan masyarakat
memiliki tanggung jawab besar terhadap mereka ke depan. Tentu antara ketiga pilar ini, perlu ada
sinergisasi langkah yang tepat agar digitalisasi dapat disikapi secara benar. Pada zona pendidikan di
sekolah, siswa-siswa kita sudah banyak yang mampu memanfaatkan internet dengan baik, memiliki
email, akun facebook dan sejenisnya, blog dan situs pribadi, serta beragam kemampuan yang lebih
canggih lainnya. Mereka terkadang mendownload sendiri materi-materi pelajaran mutakhir yang
terkadang kita belum mengetahuinya.
Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Peribahasa tersebut pas untuk di angkat
kembali sebagai wacana pembaharuan dalam pembelajaran. Era dahulu tentu berbeda dengan era yang
serba digital seperti sekarang ini, tentu pada ranah pendidikan di sekolah model pembelajaran pun sudah
sepatutnya ada perubahan. Manusia, secara biologis adalah makhluk adaptif, makhluk yang mampu eksis
dan bertahan pada kondisi lingkungan sekitar. Begitu juga dengan pembelajaran kita sudah selayaknya
adalah pembelajaran yang adaptif mengusung nilai-nilai digital agar tetap eksis dan tetap diminati.
Dalam pembelajaran, seharusnya kita berhenti mengajar dengan cara-cara yang lama. Di era yang
serba digital, sebagai pendidik tentu kita tidak bisa lagi mengajar mereka dengan cara-cara seperti dulu.
Kita selayaknya memahami apa yang mereka sukai saat ini. Dari berbagai pengalaman nyata, banyak
anak didik kita yang memiliki sifat cenderung pendiam di sekolah, namun memiliki blog pribadi di
internet yang berisi tulisan ekpresif yang sangat mengesankan. Ada pula yang mampu menghadirkan
uraian materi yang jelas yang terkadang dijadikan bahan rujukan siswa dari sekolah-sekolah yang lain.
Hanya saja, ekspresi itu tidak ia tampilkan pada dunia nyata sehingga tidaklah banyak guru yang tahu
akan kemampuan siswanya tersebut. Dengan asumsi untuk mencapai hasil belajar maksimal, guru harus
mengenali dan menyelami cara mereka belajar saat ini. Mereka adalah komunitas asli dari dunia digital
yang sangat mementingkan peran digital tecnology dalam proses pembelajarannya. Namun yang perlu
digarisbawahi bahwa teknologi tidak selalu mutlak dikaitkan dengan mata ajaran TIK (Teknologi
Informasi dan Komunikasi). Sebaliknya, mata pelajaran apapun dapat terintegrasi dengan penggunaan
TIK, selama guru mau mengembangkan kurikulum dan media pembelajaran secara maksimal.
Pada pembelajaran era digital, guru dituntut untuk mampu berkomunikasi dengan mereka,
membimbing mereka yang cenderung menyukai dunia maya dan menghadirkannya di dunia nyata, begitu
juga sebaliknya. Guru diharapkan mampu mengatasi perbedaan yang terjadi antara dunia nyata dan dunia
virtual (cyber) untuk menghasilkan lulusan yang berkompetensi sesuai bidangnya. Jangan sampai
lulusannya nanti mempunyai kemampuan yang virtual saja. Yang tidak kalah pentingnya yaitu
menciptakan model pembelajaran inovatif yang benar-benar adaptif dengan era digital. Menurut Susilo
(2011) guru dapat menerapkan blended learning atau hybrid learning yaitu pembelajaran yang
memadukan pembelajaran tatap muka di kelas dengan pembelajaran on-line Pembelajaran yang adaptif
tersebut bisa berupa: pemanfaatan e-mail sebagai alat bantu pengumpulan tugas sekolah, berbagi file-file
materi pelajaran berbasis komputer dan mobile, pembuatan blog guru yang menyajikan aneka ragam
materi yang disajikan secara menarik dan bisa diakses secara mudah oleh setiap siswa, mengoptimalkan
facebook dan twitter sebagai wahana untuk berdiskusi secara online antara guru dengan para siswa, serta
menciptakan software dan CD pembelajaran bagi siswa. Siswa pun hendaknya dituntut untuk mumpuni
dalam mempresentasikan tugas dan karyanya menggunakan apliklasi serta piranti yang telah tersedia.
Nantinya siswa tak perlu lagi membawa buku tulis ke sekolah. Tak perlu pula membeli seabrek buku
paket dengan harga yang pastinya tidak murah. Di mana pun, kapan pun, siswa bisa belajar materi apa
pun sesuai dengan kemampuan dan keinginannya. Dengan kreativitas guru dalam menyikapi perubahan
teknologi, diharapkan siswa akan tertarik dan senantiasa termotivasi untuk senantiasa mengikuti
pembelajaran yang kita sajikan tanpa mengalami kebosanan. Dengan modal itu, tujuan pembelajaran akan
benar-benar dapat dicapai secara optimal.
Lebih jauh, agar pembelajaran adaptif di era digital dapat berjalan dengan langkah yang selaras,
tentu sekolah juga perlu memberikan fasilitas yang mendukung. Sistem “digital school” layak diapresiasi
dan diciptakan. Fasilitas hotspot area dengan kemudahan dan kelancaran akses diharapkan menjadikan
siswa nyaman dan betah untuk tetap tinggal di sekolah. E-book dan cd pembelajaran layak dihadirkan di
perpustakaan sekolah. Bagi guru, program sagusala “satu guru satu laptop” hendaknya benar-benar dapat
diterima dan dijalankan dengan baik. Namun, agar programnya tidak berjalan pincang hendaknya piranti-
piranti tersebut juga diimbangi dengan kemampuan kita untuk mengoperasikannya. Untuk itu, pihak
sekolah diharapkan untuk memberikan bimbingan dan pelatihan khusus bagi guru.
Sebagaimana yang tertuang dalam UUGD No. 14 Tahun 2005 Pasal 1, Guru adalah pendidik
profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai,
dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan
dasar, dan pendidikan menengah. Jadi, tugas guru tidak hanya mampu mendesain pembelajaran, tetapi juga
melaksanakan dan mengevaluasi pembelajaran sesuai dengan apa yang telah didesainnya. Di sisi lain, Ia
juga dituntut agar mampu mentransformasikan lima kecakapan tersebut ke dalam diri siswa melalui
proses pembelajarannya secara mantap, terarah, efektif, dan efisien. Inilah amanat Undang-Undang bagi
guru dalam menghadapi tantangan pendidikan abad ke-21 ini. Secara spesifik, tantangan ini akan mampu
dijawab oleh guru profesional yang memiliki kualifikasi akademik dan memiliki kompetensi profesional,
kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial yang memadai. Muaranya adalah
mempersiapkan anak-anak bangsa agar siap menghadapi abad ke-21. Untuk itu, upaya peningkatan
profesionalisme guru dari waktu ke waktu harus ditingkatkan dalam rangka mencapai pendidikan yang
berkualitas. Pendidikan yang berkualitas diharapkan akan menghasilkan outcome yang memiliki
kemampuan untuk menghadapi era abad ke-21 yang serba kompetitif, sebuah abad yang diliputi oleh
ketidakpastian, serta permasalahan-permasalahan kompleks.
Untuk itulah, guru selayaknya belajar untuk mengimplementasikan apa yang disampaikan oleh
John Holt yaitu kaidah “teach less learn more” (sedikit mengajar, banyak membelajarkan) atau TLLM,
sebagai ciri dari pendidik modern. Guru harus memperlakukan siswa sebagai subjek bukan sebagai objek
dalam pembelajaran. Guru sebagai fasilitator yang menerapkan pembelajaran interaktif dan inkuiri
dengan memanfaatkan laboratorium agar seimbang antara teori dan praktek. Secara bahasa TLLM ini
bermakna bahwa guru seharusnya mengurangi dalam mengajar dan mengajak siswa yang belajar lebih.
TLLM merupakan inti dari pembelajaran dan memfokuskan pada mengapa, apa, dan bagaimana kita
mengajar. Lebih mengedepankan kualitas daripada sekedar kuantitas pembelajaran. Ada beberapa
pertanyaan yang dapat diajukan manakala seorang guru menerapkan TLLM di kelasnya. Diantara
pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah: Apakah siswa saya termotivasi? Bila siswa termotivasi, dapatkah
saya menjaga agar mereka senantiasa termotivasi? Dapatkah saya mengelola kelas dengan baik?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut sebagai refleksi diri seorang pendidik guna meningkatkan kualitas
pembelajarannya. Mungkin ini bukanlah hal baru bagi sebagian guru, namun, tidak setiap guru bisa
menjadi guru yang baik. Untuk itulah, marilah kita memperbaiki kualitas kita melalui TLLM.
Konsep TLLM menempatkan siswa sebagai pusat pembelajaran. Bukan guru yang tampil di
depan sebagai penyampai materi layaknya sumber ilmu dan siswa sebagai gelas yang kosong yang siap
menerima materi. Dengan paradigma baru ini diharapkan siswa menjadi lebih mandiri, memiliki
kecakapan hidup (life skills), dan tidak bersifat hafalan belaka. berdasarkan penelitian, para ahli meyakini
bahwa pembelajaran yang menuntut hafalan siswa melalui drill menyebabkan berkembangnya otak reptil
yang bertanggung jawab survival dan pertahanan diri seseorang. Ceramah hanya berhasil untuk
menghafal jangka pendek tapi tidak mempersiapkan siswa hidup jangka panjang. Lebih dari sekedar
hafalan, TLLM diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan mengkonstruksi pengetahuan (tidak
hanya transfer pengetahuan), pedagogi (tidak hanya sekedar aktivitas dalam KBM biasa), dan belajar
sosial (tidak hanya belajar individual), belajar secara mandiri (bukan guru intruksi dari guru), penilaian
formatif dan penilaian diri “self evaluation” (bukan hanya nilai sumatif), dan belajar tentang belajar (tidak
hanya belajar tentang materi pelajaran). Fallows (2003) menyatakan bentu evaluasi yang tepat antara lain,
ujian tertulis tak terlihat, menulis tugas atau esai, laboratorium / laporan praktis/fieldtrip, laporan proyek
dan perangkat lunak yang dikembangkan, portofolio dan rencana pengembangan pribadi, poster
presentasi, dan presentasi lisan.
Dengan pemberian banyak waktu buat siswa, TLLM ini menjadikan pembelajaran yang
membosankan menjadi menyenangkan (joyfull learning) sehingga siswa mendapatkan kebebasan untuk
berekspresi diri. Kita tidak perlu mengajar banyak-banyak, karena siwa-siswa kita sudah punya segudang
“curiosity”. Berikan siswa kita untuk belajar sesuai dengan gaya belajarnya sebanyak-banyaknya.
Adanya keleluasan siswa untuk belajar secara hands-on dan minds-on activity , maka pembelajaran
menjadi semakin bermakna (meaningfull learning) sehingga akan tersimpan dalam memori jangka
panjang siswa (long term memory) dalam jangka waktu yang lebih lama. Dengan demikian pembelajaran
bukan sekedar mendengarkan yang selama ini diyakini membosankan (listening is boring).
TLLM berkaitan erat dengan pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered learning).
Pada dasarnya itu bertujuan bagi guru untuk mengajar yang lebih baik dengan melibatkan siswa dan
mempersiapkan mereka untuk hidup, bukan hanya mengajar hanya untuk tes dan ujian. Pada student
centered, siswa diharapkan menjadi pebelajar aktif, dan guru memberikan ruang yang cukup untuk itu.
Guru diharapkan dapat mendorong siswa melakukan pembelajaran melalui penemuan (discovery),
melalui pencarian (inquiry), pemecahan masalah (problem based learning), pembelajaran seumur hidup
(long life education), pembelajaran kooperatif (cooperative learning), pembentukan karakter (character
building), dan strategi inovatif lainnya. TTLM sebagai paradigma baru dalam pembelajaran yang
memberikan pesan kepada para guru agar mengurangi ceramahnya dan menambah aktivitas siswa melalui
serangkaian kegiatan. Melalui TLLM guru diharapkan dapat mengecek kembali bagaimana mengajarnya,
merefleksi diri tentang cara mengajar dan mempertimbangkan cara mengajar guna perbaikan kualitas
pembelajaran. Muaranya tujuan pendidikan yakni memanusiakan manusia dapat dicapai dengan baik
C. PENUTUP
1. Simpulan
1) Abad 21 bercirikan perkembangan informasi yang semakin pesat, perubahan paradigma dalam
masyarakat, dan globalisasi yang kian menguat.
2) Tantangan guru abad 21 semakin berat, dalam menyiapkan generasi yang unggul dengan skills
yang mumpuni dengan memadukan teknologi, content, dan pembelajaran. Untuk
menjawabnya, guru abad 21 selayaknya memiliki 5 kecakapan guru abad 21.
3) Guru sebagai agen perubahan (agent of change) dan memikul tanggung jawab dalam
penyiapan sumber daya manusia yang unggul, senantiasa dituntut untuk menyiapkan diri
meningkatkan kompetensi, inovasi, dan kreatifitasnya dalam pembelajaran. Dengan bekal itu,
guru diharapkan mampu mentransformasikan pola pikir kepada diri siswa melalui
pembelajaran yang adaptif, inovatif, dan kreatif selaras dengan perkembangan zaman.
2. Saran
Sebuah perubahan yang baik perlu diselaraskan dengan cara pandang yang baik pula. Kita tak
lagi dapat menolak dari pesatnya perkembangan teknologi dan informasi yang kian deras. Banyak aspek
kehidupan yang belum lahir 20 tahun yang lalu, kini hadir di tengah-tengah kita. Perubahan akan terus
berlanjut, namun paradigma kita, khususnya guru hendaknya mampu menyesuaikan diri secara positif.
Kita harus siap menghadapi tantangan dan peluang ini karena kita tidak akan pernah tahu
perubahan apalagi yang akan terjadi 20 tahun lagi. Di era digital sekarang ini, menjadi guru adaptif adalah
suatu keharusan. Untuk itulah, kita harus mempersiapkan dan membekali diri kita dan generasi penerus
kita menjadi pembelajar sepanjang hayat untuk dapat menciptakan inovasi baru dalam memberikan solusi
bagi kehidupan masyarakat di masa mendatang. Muaranya adalah tercapainya cita-cita pendidikan
nasional yang kita impikan.
Daftar Pustaka
Fallows, Stephen. 2003. Teaching and Learning in Higher Education. Glasglow UK: Bell & Bain
Limited
Fuad, Nur Miftahul. 2010. Pembelajaran Adaptif Era Digital. Jakarta: IGI Media
Fuad, Nur Miftahul. 2011. 21 Century Teacher. Surabaya: Media Pendidikan Jatim
Fuad, Nur Miftahul. 2013. Inovasi Baru dalam Pembelajaran: Teach Less Learn More (TLLM).
Surabaya. Media Pendidikan Jatim
Hammond, Linda Darling. 2006. Constructing 21st-Century Teacher Education. Journal of
Teacher Education, Vol. 57, No. XX, XXX/XXX 2006
Kehoe, John. 2008. Mind Power Into the 21st Century. West Vancouver BC: Zeotic
Kharbach, Mohamed. 2012. The 21st Century skills Teachers and Student Need to Have. Halifax.
Creative Commons Attribution Mount Saint Vincent University
Susanto, Pudyo. 2010. Pembelajaran Abad 21. Makalah disampaikan pada Workshop Guru di
Kediri pada Desember 2010
Susilo, Herawati. 2011. Blended Learning untuk Menyiapkan Siswa Hidup di Abad 21. Makalah
disajikan dalam Seminar Blended Learning tanggal 13 November 2011 di Universitas
Negeri Malang
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen