penyelesaian perkara sengketa pilkada depok...
TRANSCRIPT
18
PENYELESAIAN PERKARA SENGKETA PILKADA DEPOK
(ANALISIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR
002/SKLN-IV/2006 TERKAIT SENGKETA KEWENANGAN
LEMBAGA NEGARA)
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
ISTIQOMAH
NIM : 105045201518
KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
19
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430H/2009 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis. Guna diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata 1
(S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang penulis gunakan dalam penulisan ini telah penulis
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli
penulis atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka
penulis bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 05 Oktober 2009
ISTIQOMAH
20
”Tidak ada yang menghambat anda terhadap perkara yang
anda putuskan hari ini kemudian anda tinjau kembali
karena terjadi kekeliruan (fahudîta li rusydika), bahwa
anda kembali kepada kebenaran. Kebenaran itu terdepan dan
tidak dibatalkan oleh apapun. Kembali kepada kebenaran
itu lebih baik daripada terus menerus dalam kebatilan.”
(Khalifah Umar bin Khathab)
21
“ sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan
Maka apabila kamu telah selesai dari suatu urusan
Kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain
Dan hanya kepada tuhanmu lah hendaknya kamu berharap”
(Q. S. Al insyirah,5-8)
22
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul PENYELESAIAN PERKARA SENGKETA PILKADA DEPOK
(ANALISIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR
002/SKLN-IV/2006 TERKAIT SENGKETA KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA) telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 5 Oktober 2009.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum
Islam (SHI) pada Program Studi Jinayah Siyasah, Konsentrasi Siyasah Syariyyah.
Jakarta, 5 Oktober 2009
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 195505051982031012
PANITIA UJIAN
1. Ketua : Dr. Asmawi, M.Ag (………………………)
NIP. 197210101997031008
2. Sekretaris : Sri Hidayati, M.Ag (………………………)
NIP. 197102151997032002
3. Pembimbing: Dr. Jaenal Aripin, M.Ag (………………………)
NIP. 197210161998031004
4. Penguji I : Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag (………………………)
NIP. 197112121995031001
5. Penguji II : Khamami Zada, MA (………………………)
NIP. 150326892
23
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah
SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada
Rasulullah SAW, serta keluarganya dan sahabatnya, serta kepada kita semua seluruh
umatnya, mudah-mudahan kita semua mendapatkan syafaat beliau di hari akhir nanti.
Amin.
Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi untuk mencapai gelar
sarjana Strata Satu (S1) di perguruan tinggi Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, adalah membuat karya ilmiah dalam bentuk skripsi. Dalam
rangka itu, penulis membuat skripsi ini dengan judul: PENYELESAIAN PERKARA
SENGKETA PILKADA DEPOK (Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 002/SKLN-IV/2006 Terkait Sengketa Kewenangan Lembaga Negara).
Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis
hadapi. Namun syukur alhamdulillah berkat bantuan dari berbagai pihak baik
langsung maupun tidak langsung, segala kesulitan serta hambatan dapat penulis atasi.
Oleh sebab itu, pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima
kasih yang sedalam-dalamnya kepada Yth:
24
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA. MM., Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Asmawi, M. Ag., dan ibu Sri Hidayati, M. Ag., selaku ketua program
studi dan sekretaris program studi Jinayah Siyasah Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. Jaenal Aripin, M. Ag., selaku Dosen pembimbing yang telah banyak
memberikan inspirasi, saran, dan arahannya dalam membimbing penulis untuk
dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Pimpinan Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, baik pimpinan
Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, Perpustakaan Utama UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Serta Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Perpustakaan Utama UI, Perpustakaan Mahkamah Agung Republik
Indonesia, dan Perpustakaan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Terima
kasih karena telah memberikan fasilitas kepada peneliti untuk mengadakan studi
kepustakaan.
5. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah memberikan ilmunya kepada penulis selama masa belajar dibangku kuliah.
6. Teristimewa ucapan terima kasih ini penulis haturkan untuk kedua orang tuaku;
Papah tersayang H. Aluwih dan Mamah tercinta Hj. Rohimah, kalianlah yang
tak henti-hentinya selalu memberikan dukungan moril, materil, dan doa. Serta
untuk saudaraku; Andri Sanjaya dan Asep Syaifuddin (Abang), Qurratul Aini
25
dan Uswatun Hasanah (Adik). Terimakasih karena telah mendukung penulis
dengan sepenuh hati dalam penyelesaian skripsi ini.
7. Seluruh Staf pegawai kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
yang telah banyak membantu dan memberikan arahan dengan sikap
keramahannya kepada penulis selama penelitian.
8. Bapak Yulman, SH., bagian staf Divisi Hukum Komisi Pemilihan Umum
(KPUD) Kota Depok, yang telah meluangkan waktunya untuk dapat di ajak
wawancara, tukar pikiran, dalam rangka melengkapi dari penyusunan skripsi
ini.
9. Untuk sahabat-sahabatku khususnya konsentrasi Siyasah Syariyyah angkatan
2005, Lia Hilyah, Arie Zakiah, Budi Utomo, Latif Amri, Lisa Astarina, Ria
Rizki, Rahma Sari, Afnanul Huda, Andi Sofyan, Hendri Eka Putra, Salman
Alfarisi,dll. Terima kasih banyak tuk kalian semua yang telah memberikan
saran, dorongan, serta intelektualitas guna menunjang skripsi penulis.
10. Untuk Sahabat-sahabatku; Lia Hilyah, Arie Zakiah, yang selalu memberi
dukungan, semangat, dan juga selalu menemani penulis dalam pencarian data
(Terima kasih banyak tuk kalian berdua). Serta untuk sahabat ILUNA; May
Sulastri, Novia Rahmawati, Nayla Masrusoh, I’ ll never forget nice you . . .
11. Teman-teman penulis dalam Facebookers, kalian kalian semua yang telah
banyak menemani waktu-waktu penyusunan skripsi. Trima kasih untuk
motivasi di saat penulis sedang down dan malas-malasan.
26
Semoga amal serta kebaikan berupa bantuan, bimbingan, dorongan, serta
perhatian yang diberikan, semoga senantiasa mendapat balasan pahala dari Allah
SWT.
Jakarta, 05 Oktober 2009
ISTIQOMAH
27
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………………..i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah………………………………………………1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……………………………..…..9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………………....11
D. Rewiew Studi Terdahulu …………………………...……………….12
E. Metode Penelitian ………………………………………………...…13
F. Sistematika Penulisan…………………………………………….….16
BAB II KPUD DEPOK DAN PROSES PEMILIHAN KEPALA DAERAH
A. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Pemilihan Umum
Daerah(KPUD……………………………………………………….18
1. Pengertian KPU dan KPUD…………………………………...…19
2. Karakteristik KPU dan KPUD………………………………...…24
B Tugas, Wewenang, dan Kewajiban KPUD………………………..…27
C. Tahap Penyelenggaraan PILKADA …………………………………32
1. Tahap Persiapan………………………………………………..…35
2. Tahap Pelaksanaan………………………………………………..36
a. Penetapan Daftar Pemilih…………………………………...…36
b. Pendaftaran dan Penetapan Calon Kepala Daerah……………..37
28
c. Kampanye……………………………………………………...40
d. Pemungutan dan Perhitungan Suara…………………………...42
e. Penetapan Pasangan Calon, Pengesahan, dan Pelantikan……...46
BAB III TINJAUAN UMUM MAHKAMAH KONSTITUSI R.I
A. Tinjauan Yuridis Mahkamah Konstitusi……………………………..52
1. Pengertian dan Sejarah Mahkamah Konstitusi …………………...52
2. Fungsi Mahkamah Konstitusi……………………………………..58
3. Tugas dan Wewenang Mahkamah Konstitusi…………………….61
4. Sumber Hukum Acara Mahkamah Konstitusi…………………….65
B. Hukum Acara Perkara Mahkamah Konstitusi………………………..66
C. Struktur Organisasi Mahkamah Konstitusi…………………………..78
BAB IV ANALISA PUTUSAN PERKARA NOMOR 002/SKLN-IV/2006
MENGENAI PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN KEPALA
DAERAH(PILKADA) KOTA DEPOK
A. Duduk Perkara Sengketa PILKADA Depok……………………….84
1. Kasus Posisi……………………………………………………...84
a. Gugatan Pasangan Badrul Kamal-Syihabiddin Ahmad Terhadap
KPUD Depok ke Pengadilan Tinggi Jawa Barat …………..87
b. Permohonan Peninjauan Kembali (PK) KPUD Depok atas
Putusan Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Barat kepada Mahkamah
Agung (MA)………………………………………………..
29
1. Dasar Hukum Pengajuan Peninjauan Kembali (PK)
a. Dasar Filosofis…………………………………………
b. Legalitas Upaya Hukum PK atau Dasar Yuridis……....
B. Proses Penyelesaian Akhir Sengketa Pilkada Depok di Mahkamah
Konstitusi…………………………………………………………
C. Analisis Terhadap Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi Tentang
Sengketa Pilkada Depok………………………………………….
D. Alasan Hukum Hakim Mahkamah Konstitusi……………………
BAB V PENUTUP
A Kesimpulan………………………………………………………...
B. Saran-saran…………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………..
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1: Surat Pemberitahuan Penelitian
Lampiran 2: Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kota Depok Nomor 18
Tahun 2005 Tentang Penetapan pasangan calon terpilih
Walikota dan Wakil Walikota Depok dalam Pilkada Depok
Tahun 2005
Lampiran 3: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/SKLN-IV/2006
mengenai Sengketa Kewenangan Lembaga Negara.
30
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara demokratis pada
tingkat pemerintahan daerah merupakan suatu proses politik bangsa Indonesia
menuju kehidupan politik yang lebih demokratis, transparan dan bertanggung jawab.
Oleh karena itu, untuk menjamin pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah yang berkualitas dan memenuhi derajat kompetisi yang sehat, maka
persyaratan dan tata cara pemilihan kepala daerah di tetapkan dalam perundang-
undangan, yaitu melalui Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan peraturan-peraturan di bawahnya.1
Undang-undang Nomor 32 tahun 20042 telah memilih penyelenggara pilkada
dengan menggunakan organisasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dibentuk
berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 20033 untuk menjadi penyelenggara
pilkada di setiap daerah yang bersangkutan sesuai dengan kepala daerah atau wakil
kepala daerah yang dipilih sejak Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
1 Philipus M. Hadjon, Pemilihan Kepala Daerah Berdsarkan Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004 dalam Sistem Pemilu menurut UUD 1945, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2005), h.
vi.
2 Republik Indonesia, Undang-undang Tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004.
3 Republik Indonesia, Undang-undang tentang Pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah, Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003.
1
31
Pemerintahan Daerah disahkan pada tanggal 15 Oktober 2004, ketentuan yang
berkaitan dengan pemilihan kepala daerah telah mengundang perdebatan publik.
Putusan Mahkamah Konstitusi mengatakan bahwa pilkada dalam rangka
pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945, bukan kategori rezim pemilu, akan tetapi
masuk pada rezim pemerintahan daerah. Di dalam tata cara pemilihan kepala daerah
secara langsung dipandang lebih baik jika dibandingkan dengan pemilihan kepala
daerah melalui Dewan Perwakilan Rakyat daerah (DPRD) sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 19994, namun pemilihan kepala daerah secara
langsung memiliki keragaman potensi sengketa. Menurut Mulyana W. Kusuma, ada
sejumlah titik rawan yang harus diwaspadai, mengingat persaingan dalam pilkada
langsung lebih tajam dibandingkan dalam pemilu Presiden.5
Sementara itu, menurut Syamsuddin Haris paling kurang ada lima sumber
konflik potensial dalam pilkada langsung, baik menjelang, saat penyelenggaraan,
maupun pengumuman hasil pilkada.6 Pertama, konflik yang bersumber dari mobilitas
politik atas nama etnik, agama, daerah, dan darah. Kedua, konflik yang bersumber
dari kampanye negatif antar pasangan calon kepala daerah. Ketiga, konflik yang
bersumber dari premanisme politik dan pemaksaan kehendak. Keempat, konflik yang
bersumber dari manipulasi dan kecurangan perhitungan suara hasil pilkada. Kelima,
4 Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. 5 Mulyana W. Kusuma, Ari Pradawati ed., Pilkada Langsung: Tradisi Baru Demokrasi Lokal,
(Surakarta: Kompip, 2005), h. 46.
6 Syamsuddin Haris, Masalah dan Strategi Mensukseskan Pilkada Langsung, ( Jakarta: Jurnal
Pamong Praja, 2005), Edisi 3, h. 74-75.
32
konflik yang bersumber dari perbedaan penafsiran terhadap aturan main
penyelenggaraan pilkada.
Dari undang-undang yang mengatur tentang pemilihan umum, seperti
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Legislatif dan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden tidak memberi batasan yang
jelas tentang sengketa pemilu. Demikian juga dalam Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak spesifik mendefinisikan tentang
sengketa pilkada. Dalam upaya penyelesaian senketa hasil pilkada diatur lebih lanjut
dalam pasal 106 ayat (1) yang menyatakan bahwa keberatan terhadap penetapan hasil
pilkada oleh Komosi Pemilihan Umum Daerah yang diajukan oleh pasangan calon
kepada Mahkamah Agung.7
Mahkamah Konstitusi berdiri sendiri serta terpisah dari Mahkamah Agung
secara duality of jurisdiction. Mahkamah Konstitusi berkedudukan setara dengan
Mahkamah Agung. Keduanya adalah penyelenggara tertinggi dari kekuasaan
kehakiman. Namun, ia hanya berkedudukan di ibu kota negara, tidak seperti halnya
Mahkamah Agung yang memiliki beberapa badan peradilan di bawahnya sampai
pada tingkat pertama Kabupaten atau Kota.8
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga tinggi negara yang keberadaan dan
wewenangnya diamanatkan oleh UUD 1945, dan lebih lanjut dalam Undang-Undang
7 Putusan Mahkamah Agung Nomor 01/PK/PILKADA/2005, yang diajukan oleh KPUD
Depok.
8 Jaenal Aripin, “ Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia”, (Jakarta:
Kencana, 2008), Cet. Ke-1, h. 195.
33
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi
memiliki empat wewenang dan satu kewajiban berdasarkan Pasal 24C ayat (1) dan
(2) UUD 1945. Empat wewenang Mahkamah Konstitusi adalah; (1) mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, (2) memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945,
(3) memutus pembubaran partai politik, dan (4) memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum. Sedangkan kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memberikan
putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan wakil
presiden menurut Undang-Undang Dasar 1945.9
Mahkamah Konstitusi mempunyai fungsi yang amat penting bagi negara,
yaitu mengatur hubungan pemerintahan dengan warga negara dan hubungan antara
lembaga pemerintahan yang satu dengan lembaga pemerintahan yang lain, sehingga
suatu konstitusi mengatur tiga hal penting yaitu yang pertama menentukan
pembatasan kekuasaan organ-organ negara, kedua mengatur hubungan antara
lembaga-lembaga negara yang satu dengan yang lain, dan yang ketiga mengatur
hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara dengan warga negara.10
Fungsi-
9 Tim Penyusun Buku Lima Tahun Menegakan Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal Dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008), Cet Ke-5. 10 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi dan
Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2004), Cet. Ke-1, h. 24.
34
fungsi konstitusi tersebut merupakan elemen yang fundamental dalam bentuk negara
demokrasi, karena merupakan suatu perwujudan kehendak masyarakat.
Sementara dalam hal kedudukannya dalam perkara ini, pemohon mengklaim
diri mereka sebagai lembaga negara. Klaim mereka didasarkan pada putusan
Pengadilan Tinggi Jawa Barat Nomor 01/Pilkada/2005/PT.Bdg yang memenangkan
gugatan mereka serta membatalkan kemenangan Nurmahmudi Ismail –Yuyun
Wirasaputra. Albert Sagala sebagai kuasa hukum dari pemohon mengatakan
berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat tersebut, maka pemohon otomatis
menjadi pemenang pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Depok.
Penjelasan Albert tentang kedudukan pemohon dan termohon dalam
kaitannya dengan persyaratan kualifikasi pemohon dalam Sengketa Kewenangan
Lembaga Negara (SKLN) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan Pasal 61 ayat (1), pemohon
dalam perkara SKLN adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
UUD 1945 yang memiliki kepentingan langsung dengan kewenangan yang
dipersengketakan.11
Adapun mengenai sengketa kewenangan lembaga negara, bahwa sengketa
penetapan hasil pemilihan kepala daerah yang pertama kalinya diajukan ke
Pengadilan Tinggi adalah sengketa hasil pemilihan kepala kota Depok. Setelah
Pengadilan Tinggi menjatuhkan putusan, justru telah lahir masalah baru lagi yang
11 http://www.hukumonline.com/detail. Berita, diakses pada 22 Juni 2009.
35
arahnya tertuju pada Majelis hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Menyusul
terbentuknya Komisi Yudisial, perkara majelis hakim ini pun memjadi tantangan
pertama bagi penilaian kinerja komisi ini. Demikian rekomendasi Komisi Yudisial
tidak ditindak lanjuti oleh Mahkamah Agung, melainkan justru membentuk tim panel
untuk merespon sengketa pilkada Depok menyusul diajukan Peninjauan kembali oleh
KPUD kota Depok kepada Mahkamah Agung.12
Setelah menjalani proses yang cukup
lama dan berbau politis, akhirnya putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung
mengabulkan permohonan pemohon.13
Menanggapi permohonan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN)
yang diajukan kubu Badrul Kamal, Ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD)
Depok Zulfadli mengatakan pernyataan pemohon yang mengklaim diri mereka
sebagai lembaga negara berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat tidak
dapat dibenarkan. Dia beralasan karena putusan Pengadilan Tinggi Jawa barat
tersebut telah dibatalkan oleh putusan Mahkamah Agung Nomor 01
PK/Pilkada/2005.
12 Memori Peninjauan Kembali yang diajukan KPUD ke Pengadilan Negeri Cibinong pada
tanggal 16 Agustus 2005 dan di teruskan ke Mahkamah Agung pada tanggal 23 Agustus 2005.
13 http:// hukumonline.com.“Sengketa Pilkada : MA kabulkan Peninjauan Kembali KPUD
Depok”.html. diakses pada 19 Desember 2005.
36
Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) dipilih secara demokratis. Definisi
demokratis berupa pemilihan langsung oleh rakyat ditegaskan dalam Undang-undang
Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.14
Pasal 24 ayat 5 yang berbunyi:
“Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat 92)
dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah
yang bersangkutan”.
Penegasan pemilihan secara langsung oleh rakyat juga diamanatkan oleh pasal
56 ayat (1) Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah, yaitu
“Kepala Daerah dan wakil Daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang
dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil”.
Penyelesaian sengketa penetapan hasil pilkada walikota kota Depok tersebut
dapat dijadikan cerminan bahwa penyelesaian sengketa penetapan hasil pilkada yang
ditangani Mahkamah Agung ternyata dapat dilakukan upaya hukum lain terhadap
putusan Pengadilan Tinggi yang sebelumnya mendapatkan delegasi wewenang dari
Mahkamah Agung. Dengan demikian putusan Mahkamah Konstitusi benar-benar
bersifat final dan mengikat.
Dalam putusan Mahkmah Konstitusi terkait sengketa pilkada Depok bahwa
pihak termohon ternyata tidak dapat menerima putusan hukum yang diputuskan oleh
Pengadilan Tinggi Jawa Barat dan tetap merasa pihaknya yang benar. Untuk itu pihak
termohon (dalam perkara ini KPUD Depok) membawa kasus tersebut ke mahkamah
Konstitusi untuk dimintakan putusannya menyangkut sengketa penetapan hasil
pilkada kota Depok ini melalui jalur pengajuan permohonan terkait sengketa
14 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
37
kewenangan lembaga ke Mahkamah Konstitusi. akan tetapi pada permohonannya,
bahwa Mahkamah Konstitusi menyatakan pada putusannya tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard).
Pilkada Depok mencatat sejarah demokrasi di Indonesia, karena dapat di
katakan sejak masa persiapan, kampanye, hingga pemungutan suara berlangsung
aman. Meski ada sejumlah ketegangan, khususnya terkait daftar pemilih dan tuduhan
adanya kecurangan yang dilancarkan sejumlah pihak dengan menolak rekapitulasi
dan menuntut pemungutan suara ulang, secara umum Pilkada di Depok berjalan tanpa
kekerasan dan hura-hura sebagaimana terjadi di tempat lain.15
Dengan demikian penulis menyimpulkan bahwa sengketa hasil pilkada
merupakan kewenangan Mahkamah Agung. Dalam sengketa hasil pilkada jika ada
pasangan calon yang tidak puas dengan penetapan hasil pilkada oleh Komisi
Pemilihan Umum Daerah (KPUD), maka pasangan calon tersebut dapat mengajukan
permohonan kepada Mahkamah Agung dengan menunjukan bukti-bukti bahwa
perhitungan suara yang dilakukan oleh KPUD tidak benar. Akan tetapi dalam
pelaksanaan Pilkada Depok bahwa pemohon dari Komisi Pemilihan Umum Daerah
(KPUD) Kota Depok memenangkan hasil putusan Mahkamah Agung dan pihaknya
benar dalam perhitungan suara.
Dalam masalah Pilkada Depok ini menarik untuk dikaji, karena adanya
putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat yang menyidangkan sengketa hasil pilkada
15 Topo Santoso, Kepala Daerah Pilihan Hakim, (Bandung: Harakatuna Publishing, 2005), h.
vii.
38
antara peraih urutan kedua pilkada yaitu Badrul Kamal-Syihabuddin Ahmad melawan
KPUD Depok. Berbeda dengan seluruh sengketa pilkada, baik yang disidangkan oleh
Mahkamah Agung maupun Pengadilan Tinggi yang seluruhnya memenangkan
permohonan termohon (KPUD), akan tetapi Pengadilan Tinggi Bandung (Jawa Barat)
justru memenangkan pemohon. Tentu saja yang paling terpukul bukan hanya KPUD,
melainkan juga pasangan yang dianggap menang yaitu Nurmahmudi Ismail-Yuyun
Wirasaputra. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi pada Putusan Nomor
022/SKLN-IV/2006 telah menyelesaikan perkara yang diajukan oleh pemohon.16
Beranjak dari beberapa persoalan di atas, maka penulis menuangkannya dalam skripsi
yang berjudul Penyelesaian Perkara Sengketa Pilkada Depok (Analisis Terhadap
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/SKLN-IV/2006 Terkait Sengketa
Kewenangan Lembaga Negara).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Penulis akan mencoba menjelaskan mengenai perselisihan dalam hasil pilkada
Depok yang berproses panjang mulai dari permohonan yang diajukan pemohon ke
Pengadilan Tinggi Jawa Barat dan juga pihak termohon yang mengajukan
permohonan ke Mahkamah Agung, hingga pada putusan akhir perselisihan tersebut
berahkir di Mahkamah Konstitusi. Penulis menganalisis perkara sengketa pilkada
Depok dalam putusan Mahkamah Konstitusi nomor 002/SKLN-IV/2006 yang pada
16 Pemohon dalam hal ini Pasangan Badrul Kamal dan Syihabuddin Ahmad terhadap KPUD
Depok atas putusan pengadilan Tinggi Bandung Nomor 01/PILKADA/2005/PT.Bdg.
39
putusan pokoknya mengenai sengketa kewenangan lembaga negara yaitu mengenai
pengujian kewenangan KPUD Kota Depok yang mengajukan permohonan
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung atas putusan Pengadilan Tinggi Negeri
Nomor 01/PILKADA/2005/PT.Bdg. Dalam penulisan skripsi ini perlu ditentukan
beberapa pembatasan masalah, antara lain yaitu:
1. Berdasarkan ketetapan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, oleh karena itu segala bentuk hukum beracara dalam
penyelesaian perkara yang penulis bahas berdasarkan ketentuan Undang-
undang tersebut.
2. Dalam pembahasan skripsi ini penulis menguraikan perkara Sengketa
kewenangan Lembaga Negara pada Putusan Nomor 002/SKLN-IV/2006
terkait PILKADA Depok, serta mengacu kepada UUD 1945 dan Undang-
undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
3. Mengenai Sengketa Pemilihan Kepala Daerah Kota Depok, penulis
menguraikan secara detail dan jelas mengenai proses penyelenggaraan
PILKADA tersebut.
Dan untuk lebih jelasnya, perlu dirumuskan beberapa masalah pokok sebagai
berikut:
1. Bagaimana mekanisme Mahkamah Konstitusi dalam memberi putusan
terhadap perkara sengketa Pilkada Depok?
2. Bagaimana putusan hakim Mahkamah Konstitusi terhadap kasus sengketa
Pilkada Depok?
40
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi permasalahan
dalam upaya mengetahui perseteruan akhir dari pemilihan Walikota dan Wakil
Walikota Depok terkait sengketa kewenangan lembaga negara yang beracara di
Mahkamah Konstitusi. Adapun spesifikasi tujuan-tujuan tersebut ialah:
1. Mengetahui mekanisme Mahkamah Konstitusi dalam memberi putusan
terhadap perkara sengketa Pilkada Depok
2. Mengetahui hasil akhir dari putusan Perkara Nomor 002/SKLN-IV/2006 terkait
sengketa Pilkada Depok yang di putuskan oleh Hakim Mahkamah Konstitusi.
3. Untuk memberikan gambaran tentang tahap penyelenggaraan pilkada Depok
yang dianggap semakin memperpanjang konflik di seputar pemilihan
Walikota dan Wakil Walikota Depok.
Adapun manfaat penelitian yang juga akan sangat berguna setidaknya jika
dilihat dalam dua hal, yaitu:
1. Secara Teoritis; dapat meningkatkan atau menambah pengetahuan dan juga
wawasan dalam bidang hukum, serta dapat menambah khazanah ilmu
pengetahuan pada umumnya, dan dapat menjadi acuan Komisi Pemilihan
Umum Daerah (KPUD) dalam kapasitas sebagai penyelenggara pemilihan
Kepala Daerah secara langsung pada khususnya.
2. Secara Praktis; dapat dijadikan pedoman dan bacaan yang bermanfaat bagi
para praktisi dan penegak hukum yang terkait dengan penyelesaian sengketa
pemilihan kepala daerah atau walikota, khusus dalam hal beracara di
41
Mahkamah Konstitusi. Penelitian ini pun dapat berguna bagi kalangan
masyarakat secara umum.
D. Review Studi Terdahulu
Untuk mempermudah dalam pembahasan skripsi ini, penulis ingin
memberikan gambaran mengenai tema-tema yang di dalamnya terdapat materi-materi
yang khusus mengenai pembahasan tentang judul skripsi yang penulis ingin bahas.
Adapun sumber-sumbernya berasal dari buku-buku dan jurnal-jurnal, serta karya
akademik.
Pertama, Buku “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”,
oleh Maruarar Siahaan, Konstitusi Press, 2005. Dalam buku tersebut ia membahas
mengenai hukum acara yang berlaku di Mahkamah Konstitusi ini mulai dari bentuk
peraturan mengenai persidangan, permohonan, fungsi, tugas dan wewenang, serta
pembuktian. Akan tetapi dalam pembahasannya tidak menjelaskan proses penjatuhan
putusan yang di lakukan oleh hakim Konstitusi dalam persidangan.
Kedua, Tesis “Sengketa hasil pemilihan kepala daerah langsung : Studi
Kasus Sengketa Hasil Pilkada di Kabupaten Melawi Propinsi Kalimantan Barat”,
oleh Syam Radian, mahasiswa Program Magister Hukum Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2005. Dalam Tesisnya membahas tentang uraian atau analisis
tentang sengketa hasil pemilihan kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh
masyarakat khusus di Kabupaten Melawi Kalimantan Barat. Dalam tesisnya juga
42
membahas tentang bagaimana proses dalam pilkada dan hukum acaranya. Akan tetapi
tesis tersebut tidak menjelaskan sengketa hingga ke Mahkamah Konstitusi.
Ketiga, Tesis “Penyelesaian Sengketa Penetapan Hasil Pemilihan Kepala
Daerah”, oleh Andharinalti, Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
2008. Dalam tesis ini membahas mengenai gambaran sistem demokrasi dan
pemilihan kepala daerah ditinjau dari pilkada di berbagai kota yaitu Nanggroe Aceh
Darussalam, Provinsi Papua, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Berbeda dengan
skripsi yang penulis bahas, yaitu dalam proses penyelesaian sengketa pilkada Depok
yang berproses hingga pada tahap pengajuan ke Pengadilan Negeri, Mahkamah
Agung, hingga sampai diputus di Mahkamah Konstitusi.
Keempat, Skripsi “Kedudukan Hukum (Legal Standing) dalam Hukum Acara
Pengujian Undang-undang pada Mahkamah Konstitusi”, oleh Ahmad Siddiq,
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Dalam salah satu babnya menguraikan
mengenai konsep Mahkamah Konstitusi legal standing dalam hukum acara pengujian
perundang-undangan di Mahkamah Konstitusi, serta menguraikan contoh putusan
perkara yang memenuhi syarat legal standing. Dalam skripsi tersebut tidak
menjelaskan penyelesaian sengketa kewenangan lembaga negara, akan tetapi hanya
pada masalah pengujian undang-undang.
E. Metode Penelitian
Untuk sampai pada rumusan yang tepat mengenai kajian tersebut, metodologi
yang digunakan adalah:
43
1. Jenis Penelitian Data
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah melalui
pendekatan penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif yang
mengkombinasikan pendekatan normatif dan empiris.
2. Teknik Pengumpulan Data
Mengenai teknik pengumpulan data, penulis akan memperoleh data dengan
metode penelitian menggunakan studi kepustakaan (library research), yaitu
melakukan pengumpulan data-data yang dibutuhkan dari buku-buku, tulisan-tulisan
dari berbagai sumber referensi, dan mengumpulkan, meneliti, menelaah serta
mengkaji data dan informasi dari berbagai media yang relevan dan obyektif. Penulis
juga melakukan studi lapangan (field research), berupa wawancara mendalam
(interview) tehadap anggota Komisi Pemilihan Umum serta kepada Sekretariat
Jenderal Mahkamah Konstitusi, yang bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang
subyek studi yang tidak ditemukan secara tertulis dalam literatur dan data sekunder
lainnya, atau sekali pun ada, demikian tidak dijelaskan secara lengkap.
3. Sumber Data
a. Data primer, yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi beserta penjelasannya, Undang-
undang Nomor 32 Tahun 2003 tentang Pemerintah Daereh, serta Berkas
Putusan Perkara Nomor 002/SKLN-IV/2006, Nomor 001/PUU-IV/2006.
Nomor 01/PILKADA/2005, Nomor 01 PK/PILKADA/2005 dan yang pokok
yaitu dari buku-buku hukum mengenai bahasan dari judul skripsi ini.
44
b. Data sekunder, penulis mencari dan memperolah data dalam penyusunan
skripsi ini yaitu dari literature yang berasal dari Kantor Komisi Pemilihan
Umum Daerah (KPUD) Depok, Arsip Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi,
Jurnal, Internaet, kamus, dan buku-buku pengetahuan lainnya yang berkaitan
dengan obyek kajian.
4. Teknik Analisis Data
Dalam penyajian skripsi ini menggunakan metode analisis yuridis. Melalui
pendekatan Conten Analisis, yaitu penulis mencoba melakukan analisis dari data
putusan-putusan dari badan peradilan tentang perseteruan sengketa Pilkada Depok,
hingga memperoleh data-data yang terkumpul dalam penelitian ini. Seluruh data yang
diperoleh akan diklasifikasikan dari bentuk yang bersifat umum, kemudian di kaji dan
diteliti, selanjutnya ditarik kesimpulan yang mampu memberikan gambaran spesifik
dan relevan mengenai data tersebut.
5. Teknik Penulisan Skripsi
Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku “Pedoman
Penulisan Skripsi” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri, Jakarta, 2007. Dengan menggunakan Ejaan Yang Disempurnakan
(EYD) dan dengan beberapa pengecualian, adapun kutipan ayat dari pasal-pasal
dalam Undang-undang diketik satu spasi dan dicetak miring.
45
F. Sistematika Penulisan
Dalam proposal skripsi ini, penulis membagi pembahasan kedalam 5 bab,
dimana masing-masing bab mempunyai penekanan pembahasan mengenai topik-
topik tertentu, yaitu:
BAB I Pendahuluan, dalam bab ini penulis menjelaskan Latar Belakang Masalah,
Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian,
Review Studi Terdahulu, Metode Penelitian, serta Sistematika Penulisan.
BAB II KPUD Depok dan proses Pemilihan kepala daerah, yang membahas
mengenai Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Pemilihan Umum
Daerah (KPUD,pengertian KPU dan KPUD, dan juga masalah
karakteristik KPU dan KPUD. Selanjutnya membahas mengenai Tugas,
Wewenang, dan Kewajiban KPUD, serta tahap penyelenggaraan
PILKADA, ada tahap persiapan, dan tahap pelaksanaan; Penetapan Daftar
Pemilih, Pendaftaran dan Penetapan Calon Kepala Daerah, Kampanye,
Pemungutan dan Perhitungan Suara, serta Penetapan Pasangan Calon,
Pengesahan, dan Pelantikan calon walikota.
BAB III Gambaran Umum Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, membahas
mengenai tinjauan yuridis Mahkamah Konstitusi ditinjau dari pengertian
dan sejarah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Fungsi Mahkamah
Konstitusi, Tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi, sumber hukum
acara Mahkamah Konstitusi, hukum acara perkara Mahkamah Konstitusi,
dan juga struktur organisasi Mahkamah Konstitusi
46
BAB IV Analisa putusan perkara nomor 002/SKLN-IV/2006 mengenai perselisihan
hasil pemilihan kepala daerah (PILKADA) kota Depok, ditijau dari duduk
perkara sengketa PILKADA Depok menjabarkan Kasus Posisi; gugatan
Pasangan Badrul Kamal-Syihabiddin Ahmad terhadap KPUD Depok ke
Pengadilan Tinggi Jawa Barat, dan permohonan peninjauan kembali (PK)
KPUD Depok atas Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat kepada
Mahkamah Agung, meliputi bahasan dasar hukum pengajuan PK, dari dua
sisi yaitu, dasar filosofis, dan dasar yuridis. Adapun membahas masalah
proses penyelesaian akhir sengketa hasil Pilkada Depok di Mahkamah
Konstitusi, analisis terhadap putusan hakim Mahkamah Konstitusi tentang
sengketa pilkada Depok dan alasan hukum hakim Mahkamah Konstitusi.
BAB V Merupakan bab penutup, yang berisi kesimpulan dari seluruh penelitian dan
saran-saran mengenai permasalahan yang di uraikan dalam skripsi ini,
Serta di akhiri dengan daftar pustaka dan lampiran-lampiran.
47
BAB II
KPUD DEPOK DAN PROSES PEMILIHAN KEPALA DAERAH
A. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Pemilihan Umum Derah
(KPUD)
Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada) Provinsi maupun
Kabupaten atau Kota diperlukan adanya suatu lembaga yang independen dan
imparsial. Pembentukan dapat dilakukan melalui dua (2) cara, yaitu (1) membentuk
lembaga baru di setiap daerah pemilihan; atau (2) memanfaatkan keberadaan Komisi
Pemilihan Umum (KPU) Provinsi dan Kabupaten atau Kota yang telah
berpengalaman dalam menyelenggarakan pemilihan umum anggota legislatif dan
pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden17
Dengan alasan efisiensi biaya dan kelengkapan sarana dan prasarana serta
kelayakan kemampuan yang telah dibuktikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU)
dan KPU Provinsi maupun Kabupaten atau Kota sebagai penyelenggara pemilihan
umum anggota legislatif dan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, maka
penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dibebankan kepada lembaga Komisi
Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang organ-organnya merupakan Komisi
17 Zain Badjeber, “Komentar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah”, (Jakarta: Forum Indonesia Baru, 2005), h. 246.
18
18
Pemilihan Umum (KPU) Provinsi, Kabupaten, dan Kota yang di beri wewenang
khusus oleh Undang-Undang dalam menyelenggarakan pemilihan kepala daerah.18
1. Pengertian Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Pemilihan Umum
Daerah (KPUD)
Undang Undang Dasar 1945 tidak merumuskan lembaga penyelenggara
pilkada, namun demikian penyelenggara pemilihan kepala daerah disebutkan dalam
pasal 57 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah, yang menyatakan:
“ Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh
Komisi Pemilihan umum Daerah (KPUD) yang bertanggung jawab kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)”.19
Komisi Pemiliha Umum Daerah (KPUD)
sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah, kemudian ditegaskan lagi dalam
pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan
Kepala Daerah, yang menyatakan:
(1) Pemilihan di selenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah(KPUD)
(2) Dalam penyelenggaraan pemilihan Gubernur dan wakil Gubernur, KPUD
Provinsi menetapkan KPUD Kabupaten atau Kota sebagai bagian pelaksana tahapan
penyelenggaraan pemilihan.20
18 Badjeber, “Komentar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah”, h. 247. 19 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU/III/2005.
20 Op. Cit., Pasal 4 ayat 1 dan 2.
19
Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang diberikan tugas sebagai
penyelenggara pemilihan kepala daerah, menurut pasal 1 angka 21 Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah Komisi Pemilihan
Umum yang selanjutnya disebut KPUD Provinsi atau Kabupaten atau kota
sebagaimana di maksud dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 200321
yang diberi
wewenang khusus oleh Undang-undang ini untuk menyelenggarakan pemilihan
kepala daerah (Pilkada) dan wakil kepala daerah di setiap Provinsi dan Kabupaten
atau Kota.
Sekarang yang menjadi permasalahan adalah samakah KPUD sebagaimana di
maksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
dengan KPU berdasarkan Undang-undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. KPU terdapat dalam Pasal 22E Undang
Undang Dasar 1945 dalam bab VII B pemilihan umum, yang merupakan hasil
perubahan ketiga tahun 2001. Pasal 22E ayat 5 Undang-Undang Dasar 1945
menyatakan “Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum
yang bersifat nasional, tetap dan mandiri”.
Dalam pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi atas putusan perkara
Nomor 072-073/PUU/II/2004 tentang Pengujian Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar 1945
menyatakan:
21 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum
anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
20
“ Maksud pembuat undang-undang menetapkan Komisi Pemilihan Umum
(KPU) Provinsi maupun Kabupaten atau Kota berfungsi sebagai pelaksana tugas
Komisi Pemilihan Umum Daerah, apabila anak kalimat tersebut dinyatakan tidak
mempunyai hukum mengikat, maka bunyi pasal angka 21 akan menjadi “ Komisi
Pemilihan Umum Daerah yang selanjutnya disebut KPUD adalah KPU Provinsi atau
Kabupaten, atau Kota”. Yang artinya dengan rumusan tersebut penyelenggara
pemilihan kepala daerah langsung adalah KPU Provinsi, Kabupaten atau Kota,
sebagai bagian dari KPU yang di maksudkan pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945.
dengan demikian penyelenggara pemilihan kepala daerah (Pilkada), KPU menjadi
regulator dan pengawas pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan oleh
KPU Provinsi, Kabupaten, atau Kota, padahal pengertian yang demikian bukanlah
yang di maksudkan oleh pembuat undang-undang. Walaupun demikian dalam hal
kewenangan yang berkaitan dengan masalah internal KPU dan KPU Provinsi,
Kabupaten, atau Kota tetap ada secara hierarkis, sehingga KPU tetap wajib
melakukan tugas-tugas koordinasi dan supervisi untuk lebih memberdayakan kinerja
KPU Provinsi, kabupaten atau Kota”.22
Menyikapi amar putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, di satu sisi Mahkamah
Konstitusi ingin mengatakan secara formal, bahwa KPUD itu berada dengan KPU
Provinsi, Kabupaten atau Kota, sungguh keduanya memiliki organ yang sama.
22 Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara nomor 072-073/PUU/II/2004 tentang pengujian
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar
1945, h. 112.
21
Pandangan ini dapat dipahami jika dianalogikan dengan jabatan Gubernur atau
Bupati. Sebagai Gubernur ia adalah aparat pusat yang ada di daerah, di sisi lain ada
juga dengan kepala daerah, ia adalah aparat daerah yang bersama-sama dengan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) melaksanakan pemerintahan di daerah.23
Dengan konstruksi pikiran seperti ini, memberikan beberapa implikasi;
pertama, secara substansi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi, Kabupaten atau
Kota berbeda dengan KPUD, kedua, KPU masih mempunyai kewenangan
pengawasan dan memberikan advis kepada KPU Provinsi, Kabupaten atau Kota,
ketiga, pengaturan proses pencalonan seperti penjadwalan pemilihan, penetapan
pasangan calon kepala daerah menjadi kewenangan KPUD, dan keempat, anggota
KPUD sebagai aparat KPU di daerah, secara struktural tetap harus memperlihatkan
kebijakan atasannya (KPU).
Keberadaan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) sebagai penyelenggara
pemilihan kepala daerah (PILKADA) kembali di tegaskan dalam konsideran
penjelasan umum angka 4 penjelasan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, yang menjelaskan sebagai berikut: “ Melalui Undang-undang
ini Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Provinsi, Kabupaten atau Kota di
berikan kewenangan sebagai penyelenggara Pilkada. Komisi Pemilihan Umum
Daerah yang di maksud dalam undang-undang ini adalah KPUD sebagaimana di
maksud Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum anggota
23 Sahuri Taufiqurrahman, “Anatomi Putusan mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”,
(Jakarta: makalah seminar putusan Mahkamah Konstitusi /PUU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah, 2005), h. 6 .
22
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah. Untuk itu, tidak perlu di bentuk dan di tetapkan KPUD dan
keanggotaannya yang baru.24
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka jelaslah bahwa penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah adalah Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). KPUD di
maksud adalah KPU Provinsi, Kabupaten atau Kota. KPU ini diberi wewenang
sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah. KPUD yang dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah KPU
sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang
Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
Pertimbangan di pilihnya KPU Provinsi, Kabupaten, dan Kota yang bernama
Komisi Pemilihan Umum Daerah sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah
dengan tidak membentuk lembaga baru dengan keanggotaan baru adalah untuk
efisiensi waktu, tenaga, dan biaya. Pertimbangan ini didasari karena perangkat,
sarana, dan prasarana KPU Provinsi, Kabupaten, dan Kotamadya sudan terbentuk di
seluruh Indonesia.
Dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, peran Komisi Pemilihan
Umum di sini hanya sebatas menjadi acuan bagi Komisi Pemilihan Umum Daerah
dalam membuat berbagai peraturan yang selama ini sudah ada. Dalam pasal 29 butir
24 Republik Indonesia, Undang-undang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004, penjelasan umum angka 4.
23
9 dan pasal 32 butir g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 dinyatakan bahwa
Komisi Pemilihan Umum Provinsi, maupun Komisi Pemilihan Umum Kabupaten
atau Kota melaksanakan kewajiban lain yang diatur dalam Undang-undang. Dengan
demikian ada kewenangan Undang-undang untuk memberikan kewajiban lain kepada
Komisi Pemilihan Umum Provinsi, Kabupaten atau Kota.
Ada 3 (tiga) kewajiban lain yang di berikan oleh Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah kepada Komisi Pemilihan Umum
Provinsi, Kabupaten atau Kota, yaitu; (1) penyelenggaraan pemilihan kepala daerah,
(2) pertanggung jawaban pemilihan kepala daerah kepada publik, dan (3) melaporkan
pelaksanaan pilkada kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Selanjutnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 memang tidak memberi
kewajiban atau wewenang khusus kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU), namun
hal ini sesungguhnya tidak berarti KPU kehilangan peran sama sekali, KPU tetap
menjaga berfungsinya organisasi secara baik dan benar di tingkat Provinsi,
Kabupaten atau Kota.
2. Karakteristik Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Pemilihan Umum
Daerah (KPUD)
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 21 Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, dinyatakan bahwa Komisi Pemilihan Umum
Daerah yang selanjutnya disebut KPUD adalah KPU Provinsi, Kabupaten, atau Kota.
Sebagaimana dimaksud Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 yang diberi
wewenang khusus oleh Undang-undang ini untuk menyelenggarakan pemilihan
24
kepala daerah dan wakil kepala daerah di setiap Provinsi dan Kabupaten atau Kota.
Dengan demikian semua sifat yang terkandung dalam Komisi Pemilihan Umum
Provinsi, Kabupaten atau Kota juga di miliki oleh KPUD.
Bertolak dari penafsiran Mahkamah Konstitusi dan pembuat Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa pemilihan kepala daerah
tidak termasuk kategori pemilu, maka manajemen pemilihan kepala daerah tidak di
lakukan oleh Komisi pemilihan Umum (KPU) tetapi oleh pemerintah, bukan
keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagaimana yeng berlaku untuk
pemilihan umum legislatif dan pemilihan Presiden.
Menurut Mahkamah Konstitusi tidak ada alasan kuat bahwa pemilihan kepala
daerah tidak masuk ke dalam pengertian pemilihan umumn Pasal 22E Undang-
Undang Dasar 1945, maka pengaturan pemilihan kepala daerah menjadi kewenangan
pemerintah. Meskipun demikian, Komisi Pemilihan Umum Daerah sebagai lembaga
Independen harus bebas dari intervensi lembaga negara manapun dalam
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah langsung, yaitu harus berdasarkan asas-
asas pemilihan umum, yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Pesan demikian yang ingin di sampaikan dalam putusan Mahkamah Konstitusi
yang mengabulkan permohonan para pemohon mengenai aturan hukum yang
mengharuskan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) bertanggung jawab kepada
25
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Konsideran putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut menyatakan;25
“Menimbang bahwa pembuat Undang-Undang telah menetapkan Komisi
Pemilihan Umum Daerah (KPUD) sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah
langsung, yang mana Mahkamah Konstitusi berpendapat hal tersebut menjadi
wewenang dari pembuat undang-undang. Walaupun demikian, KPUD harus di jamin
independensinya dalam menyelenggarakan pemilihan kepala daerah, dan apabila
independensi KPUD tidak dijamin, maka hal ini akan mengganggu pelaksanaan hak
rakyat sebagai pemegang kedaulatan yang ditentukan dalam pasal 1 ayat (2) Undang-
Undang Dasar 1945, bertentangan dengan jaminan perlindungan dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum yang di muat dalam
pasal 28D Undang-Undang Dasar 1945”.
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memiliki implikasi ; (1) dalam
pemilihan kepala daerah Komisi Pemilihan Umum Daerah tidak bertanggung jawab
kepada DPRD, (2) DPRD tidak berwenang meminta pertanggung jawaban atas
KPUD, (3) KPUD tidak berkewajiban mempertanggung jawabkan penggunaan
anggaran pemilihan kepala daerah ,dan (4) pembatalan calon kepala daerah yang
terbukti melakukan palanggaran berdasarkan putusan pengadilan yang telah
25 Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara nomor 072-073/PUU/II/2004 tentang pengujian
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar
1945, h. 110.
26
mempunyai kekuatan hukum tetap tidak lagi di lakukan oleh DPRD.26
Ketentuan
tersebut cukup logis dengan memandang bahwa amat sulit mempunyai tujuan
tersebut, apabila KPUD harus mempertanggung jawabkan kepada lembaga lain,
seperti DPRD. Sebab DPRD merupakan unsur-unsur partai politik yang menjadi
pelaku dalam kompetisi pemilihan kepala daerah.
B. Tugas, Wewenang, dan Kewajiban Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD)
Komisi Pemilihan Umum Daerah merupakan lembaga yang bertanggung jawab
terhadap berbagai bidang dan aspek perencanaan, penyelenggaraan, dan pengendalian
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah langsung. Tata cara pelaksanaan masa
persiapan dan tahap pelaksanaan diatur oleh KPUD dengan berpedoman pada
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005.27
Secara sederhana, Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) kota Depok
berperan sebagai penyelenggara Pemilihan Umum (pemilu)28
. Dan Pemilihan Kepala
Daerah (Pilkada) dalam batasan entitas kewilayahan menurut yurisdiksi kota Depok.
Inilah yang kemudian menjadi wilayah pemilihan dalam pemilihan kepala daerah
tahun 2005.
26 Lihat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-III/2005, h. 112-113.
27 Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan,
dan Pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun
2005.
28 Lihat pasal 57 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Bab III Pasal 4 Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005.
27
Tugas dan kewenangan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) inilah yang
akan diawasi pelaksanaannya oleh Panitia Pengawas Daerah (panwasda) dalam
wilayah kerjanya, begitu pula dengan masyarakat yang amat berkepentingan dengan
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah.
Dalam rangka penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah, maka tugas dan wewenang Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD)
sebagaimana di atur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005, meliputi:
a. Merencanakan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah;
b. Menetapkan tata cara pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah sesuai dengan tahapan yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan;
c. Mengoordinasikan, menyelenggarakan dan mengendalikan semua tahapan
pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah;
d. Menetapkan tanggal dan tata cara pelaksanaan kampanye, serta pemungutan
suara kepala daerah dan wakil kepala daerah ;
e. Memeliti persyaratan partai politik atau gabungan partai politik serta
persyaratan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mengusulkan
calon;
f. Menetapkan pasangan calon yang telah memenuhi persyaratan;
g. Menerima pendaftaran dan mengumumkan tim kampanye, dan
mengumumkan sumbangan dana kampanye;
28
h. Mengumumkan hasil rekapitulasi perhitungan suara dan mengumumkan hasil
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah;29
Di samping tugas dan wewenang tersebut di atas, Komisi Pemilihan Umum
Daerah (KPUD) juga mempunyai beberapa kewajiban, yaitu:
a. Memperlakukan pasangan calon secara adil dan setara;
b. Menetapkan standarisasi serta kebutuhan barang dan jasa; yang berkaitan
dengan penyelenggaran pemilihan kepala daerah dan wakil berdasarkan
peraturan perundang-undangan;
c. Menyampaikan laporan kepada DPRD untuk setiap tahapan pelaksanaan
pemilihan dan penyampaian informasi kegiatan kepada masyarakat;
d. Memelihara arsip dan dokumen pemilihan, serta mengelola barang inventaris
milik KPUD berdsarkan peraturan perundang-undangan;
e. Mempertanggung jawabkan penggunaan anggaran kepada DPRD, serta
f. Melaksanakan semua tahapan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah.30
Pemberian kewenangan mengatur semua tahapan pemilihan kepala daerah
kepada Komisi Pemilihan Umum Daerah. dengan berpedoman kepada Peraturan
Pemerintah, dapat menimbulkan 3 (tiga) persoalan hukum;31
pertama, ketentuan
29 Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara
Langsung, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), Cetakan pertama h.57. 30 Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan,
dan Pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah, Pasal 6.
31 Ramlan Subakti, “Bebarapa pertanyaan tentang sistem pemilihan kepala daerah secara
langsung”, (Jakarta: Jurnal Pamong Praja, 2005), ed. 3, h. 55.
29
seperti ini bertentangan dengan prinsip kemandirian yang melekat tidak hanya kepada
Komisi Pemilihan Umum, tetapi juga kepada KPUD sebagai aparatnya di daerah,
karena menempatkan KPUD di bawah pengarahan pemerintah. KPU atau KPUD
yang mandiri berarti tidak berada di bawah golongan, partai politik, ataupun
pemerintah, melainkan melaksanakan pemilihan umum sepenuhnya menurut Undang-
undang.
Dengan kewenangan Komisi Pemilihan Umum Daerah menetapkan ketentuan
teknis, semua tahapan pemilihan kepala daerah berdasarkan peraturan pemerintah,
maka KPUD menerima pengarahan dan supervisi dari pemerintah atau setidaknya
jika ada permasalahan dalam menyelenggarakan pemilihan kepala daerah harus
bertanya dan berkonsultasi, menunggu pengarahan dari pemerintah tentang
pengaturan tahap pemilihan kepala daerah.
Kedua, ketentuan tersebut tidak taat asas dengan Undang-undang Nomor 12
tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah yang sama sekali tidak memberikan kewenangan
kepada pemerintah untuk membuat peraturan pelaksanaan pemilihan umum, dengan
alasan untuk menghindari perbuatan peraturan pemilihan umum oleh peserta
pemilu.32
Dan ketiga, pemberian kewenangan pengaturan teknis tahap persiapan dan
pelaksanaan tahap pemilihan kepala daerah kepada KPUD bertentangan dengan asas
32 Cetro,” Urgensi revisi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan
daerah sebelum penyelenggaraan pemilihan kepala daerah”, ( http://www.cetro.or.id), diakses pada
18 Juli 2005.
30
eksternalitas dan efisiensi yang diatur dalam pasal 11 ayat (1) Undang-undang Nomor
32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah itu sendiri.
Urusan yang bersifat atau berlaku lintas daerah harus ditangani oleh instansi
yang berlingkup luas, dikatakan demikian karena pengaturan teknis setiap tahapan
tersebut merupakan penjabaran asas-asas pemilihan umum yang demokratis, yaitu
langsung, umum, bebas, rahasia (Luber) serta jujur dan adil (Jurdil).
Penjabaran asas-asas pemilihan umum ini berlaku di seluruh Indonesia, bahkan
berlaku universal, sehingga tidak dapat di desentralisasikan kepada KPUD. Di sebut
tidak efisien yaitu karena bila pemilihan kepala daerah diselenggarakan di 226 daerah
(Provinsi, Kabupaten dan Kota), maka harus di buat 226 Surat keputusan (SK) untuk
setiap tahapan pemilihan kepala daerah yang isinya sama. Pengaturan teknis
pemilihan kepala daerah seharusnya diserahkan kepada KPU, tetapi perencanaan dan
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah di serahkan sepenuhnya kepada KPUD.33
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU-III/2005,
maka KPUD di dalam menyelenggarakan Pilkada, tidak lagi bertanggung jawab
kepada DPRD, baik tanggung jawab pelaksanaan tugas-tugas KPUD maupun
tanggung jawab penggunaan anggaran Pilkada. Mengenai pelaksanaan tugas-tugas
penyelenggaraan tahapan Pilkada, KPUD bertanggung jawab kepada pemerintah
daerah masing-masing. Di samping itu DPRD tidak lagi berwenang membatalkan
pasangan calon yang dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, karena melakukan “politik uang”. Karena itu,
33 Cetro, Kesimpulan Putusan perkara Mahkamah Konstitusi Nomor 072/PUU-II/2004.
31
sekarang beralih kepada KPUD. Hal ini semua didasarkan pada pertimbangan demi
menjaga independensi KPUD dalam penyelenggaraan Pilkada, dan kemungkinan
adanya intervensi dari pihak DPRD.
C. Tahap Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA)
Dalam rangka mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat, sesuai tuntutan
reformasi dan amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, bahwa Provinsi, Kabupaten dan Kota merupakan daerah otonom, maka kini
sudah saatnya untuk mengemban sistem pemilihan kepala daerah secara langsung dan
mulai menerapkan. Upaya ini menjadi lebih mendesak karena tuntutan dari berbagai
daerah untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung menjadi
semakin gencar.34
Undang-undang ini menganut sistem pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah secara langsung dengan memilih calon secara berpasangan. Calon di usulkan
oleh partai politik atau gabungan partai politik. Asas yang digunakan dalam
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sama dengan asas pemilu35
sebagaimana di atur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang
34 Agung Djojosoekarto, Rudi Hauter, “Pemilihan Langsung Kepala Daerah: Transformasi
menuju Demokrasi Lokal”, Kerjasama Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia dan Koniad Adenauer
Stiftung, h. 6. 35 Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara
Langsung, h. 56.
32
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, yaitu asas langsung, umum, bebas
dan rahasia (luber), serta jujur dan adil (jurdil).
Sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah,
undang-undang ini menugaskan KPUD di masing-masing daerah. KPUD yang
dimaksud dalam hal ini adalah KPUD sebagaimana diatur dalam Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2003. Dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah, KPUD bertanggung jawab kepada DPRD
yang bersangkutan. Namun, secara organisatoris KPUD tetap bertanggung jawab
kepada KPU pusat. Walaupun tidak diatur dalam undang-undang ini, secara
organisatoris KPU tetap dapat melakukan tugas-tugas koordinasi dan supervisi
terhadap KPUD dan demikian juga KPUD provinsi terhadap KPUD Kabupaten/Kota,
dalam pemilihan Bupati/Walikota.
Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) Depok yang di selenggarakan pada Juni
2005 dengan jumlah pemilih sebanyak 908.890 jiwa, telah melahirkan sejumlah
keputusan kontroversial. Tidak konsistennya pemerintah pusat melalui Pengadilan
Tinggi (PT) hingga Mahkamah Agung (MA) dalam menentukan Walikota terpilih
membuat daerah pemukiman ini menjadi sorotan dari berbagai pihak, tetapi, justru
hal inilah yang membuat pilkada Depok memiliki daya tarik tersendiri jika di
bandingkan dengan pemilihan Kepala Daerah (pilkada) di daerah-daerah lain.
Keseriusan pemerintah pusat dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah
33
(Pilkada), diwujudkan dengan membentuk desk Pilkada di Departemen Dalam
Negeri.36
Dalam kaitan dengan penyelenggaraan pilkada langsung tersebut, sekurang-
kurangnya ada dua hal besar yang harus dilihat sebagai konteks. Pertama, bahwa
lahirnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
khususnya yang menyangkut Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
telah melahirkan kontroversi yang cukup serius. Banyak yang menilai bahwa
berbagai ketentuan tentang penyelenggaraan Pilkada langsung tersebut kurang
didukung oleh kerangka berpikir yang tepat. Buntutnya adalah pengajuan judicial
review oleh beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Peduli Pemilu dan
beberapa KPU Provinsi. Tentu berbagai kontroversi ini akan mempengaruhi kesiapan
KPU Daerah (dan juga pihak-pihak lainnya) di dalam persiapan
penyelenggaraannya.37
Hal yang pertama adalah konstruksi kewenangan penyelenggaraan. Berbeda
dengan pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden yang memposisikan
Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri- sebagai
pemegang mandat tunggal penyelenggaraan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah membagi kewenangan penyelenggaraan pilkada
36 Desk pilkada memiliki peran signifikan dalam upaya mengambil langkah-langkah dan
antisipasi mengenai keadaan pemerintah, keamanan, serta memberikan fasilitasi pada setiap tahap
penyelenggaraan pilkada agar dalam pelaksanaannya berjalan tertib, aman, dan terkendali).
37 http://www.suaramerdeka.com/harian, “ Antisipasi masalah dalam Pilkada, Perlu perincian
kewenangan penyelenggara”, diakses pada Agustus 2009.
34
kepada tiga institusi, yakni pemerintah, KPUD dan DPRD, dengan porsi masing-
masing yang diatur oleh UU.
Proses pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (PILKADA) di
laksanakan dalam 2 (dua) tahap, yakni tahap persiapan dan tahap pelaksanaan.38
1. Tahap Persiapan
Persiapan pemilihan merupakan proses awal dalam pemilihan kepala daerah
sebelum pelaksanaan pemilihan itu sendiri dilaksanakan. Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah tidak mengatur mengenai masa persiapan
proses pemilihan kepala daerah. Namun, hal tersebut diatur secara rinci dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang pemilihan kepala daerah,
pengesahan, pengangkatan, dan pemberhentian kepala daerah.
Dalam pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2005, di sebutkan bahwa
masa persiapan pemilihan kepala daerah, meliputi;39
a. Pemberitahuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kepada Kepala
Daerah mengenai berakhirnya masa jabatan;
b. Pemberitahuan DPRD kepada KPUD mengenai berakhirnya masa jabatan
Kepala Daerah;
38 Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 65 ayat (1).
39 Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Pemilihan, Pengangkatan dan
Pemberhentian Kepala Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Pasal 2.
35
c. Perencanaan penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara dan jadwal
tahapan pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah;
d. Pembentukan kepanitiaan pengawas, PPK dan KPPS;
e. Pembentukan dan pendaftaran pemantau oleh KPUD.
2. Tahap Pelaksanaan
Dalam tahap pelaksanaan ini meliputi 5 (lima) kegiatan, yang masing-masing
merupakan satu rangkaian yang saling terkait, meliputi;40
a. Penetapan Daftar Pemilih
Warga negara yang berhak memilih dalam pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah adalah Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sudah berumur tujuh belas tahun
atau sudah pernah menikah. Dalam undang-undang ini tidak dijelaskan, warga negara
Indonesia yang mana yang berhak yang menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah. kemungkinan pertama adalah warga negara
Indonesia yang terdaftar sebagai penduduk (memiliki kartu tanda penduduk) di
daerah yang bersangkutan.
Secara prosedural, untuk dapat terdaftar sebagai pemilih, seseorang setidak-
tidaknya harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:41
40 Ibid., Pasal 65 ayat (3).
41 Lihat pasal 68-69 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo pasal 15-16 Peraturan
Pemerintah Nomor Tahun 2005 jo Pasal 2 dan 3 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Daerah Kota
36
1. Orang yang bersangkutan merupakan Warga Negara Indonesia (WNI);
2. Menjadi penduduk kota Depok yang pada hari dan tanggal pemungutan
suara pemilihan telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah menikah;
3. Secara nyata tidak sedang terganggu jiwa atau ingatannya;
4. Tidak di cabut hak pilihnya berdsarkan putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap;
5. Berdomisili di daerah pemilihan, yakni wilayah kota Depok, sekurang-
kurangnya enam bulan sebelum di tetapkannya daftar pemilih sementara
(DPS) yang di buktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau bukti
identitas kependudukan lainnya yang sah.
Untuk dapat menggunakan hak pilih, seorang Warga Negara Indonesia harus
terdaftar sebagai pemilih. Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat didaftar
sebagai pemilih adalah keadaan fisiknya harus dalam keadaan sadar atau tidak sedang
terganggu jiwa, tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh hukum tetap. Seorang warga negara Indonesia yang telah
terdaftar dalam daftar pemilih, kemudian kemudian ternyata tidak lagi memenuhi
kedua syarat tersebut, maka tidak dapat menggunakan hak pilihnya.
b. Pendaftaran dan Penetapan Calon Kepala Daerah
Dalam proses pendaftaran pemilih untuk pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah, daftar pemilih pada saat pelaksanaan pemilihan terakhir di daerah,
Depok Nomor 2 Tahun 2005 tentang tata cara pelaksanaan pendaftaran pemilih dalam rangka
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil kepala Daerah kota Depok Tahun 2005.
37
digunakan sebagai daftar pemilih untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah. Seorang pemilih hanya di daftar satu kali dalam daftar pemilih. Pemilih yang
mempunyai satu tempat tinggal harus menentukan salah satu di antaranya untuk di
tetapkan sebagai tempat tinggal yang di cantumkan dalam daftar pemilih. Sebagai
tanda bukti telah terdaftar sebagai pemilih, pemilih diberikan tanda bukti pendaftaran,
kemudian di tukarkan dengan kartu pemilih.42
Adapun mengenai penetapan pasangan calon kepala daerah, partai politik atau
gabungan partai politik peserta pemilu, yang tidak memiliki kursi di DPRD dapat
mengusulkan pasangan calon kepala daerah dalam Pilkada. Partai politik atau
gabungan partai politik yang dapat mengusulkan pasangan calon kepala daerah dan
wakil kepala daerah, yaitu harus memenuhi syarat; memiliki sekurang-kurangnya
telah memperoleh lima belas persen kursi di DPRD, atau memiliki lima belas persen
akumulasi perolehan suara sah dalam daerah pemilihan yang bersangkutan.
Idealnya proses pencalonan dilakukan melalui sistem dua pintu. Pintu pertama
melalui partai politik, sedangkan pintu kedua melalui usulan dari masyarakat.
Pasangan calon yang diusulkan oleh masyarakat ini, umpamanya disyaratkan harus
mendapat dukungan minimal satu persen dari jumlah pemilih terdaftar. Adapun
42 Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara
Langsung, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), Cetakan pertama, h. 66.
38
syarat-syarat untuk dapat diusulkan sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala
daerah adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat:43
1. Bertakwa kepada tuhan Yang Maha Esa dan setia kepada Pancasila;
2. Berpendidikan sekurang-kurangnya Sekolah Lanjutan Tingkat Atas atau
sederajat;
3. Berusia sekurang-kurangnya tiga puluh tahun;
4. Sehat jasmani dan rohani berdasarkan pemeriksaan dari tim dokter;
5. Tidak pernah di jatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan;
6. Memiliki hak pilihnya dan mengenal daerahnya serta telah di kenal oleh
masyarakat;
7. Menyerahkan daftar riwayat hidup secara lengkap;
8. Belum pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah
selama dua kali masa jabatan yang sama;
9. Tidak dalam status sebagai pejabat kepala daerah.
Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dalam melakukan penelitian
terhadap persyaratan administrasi para calon, maka perlu melakukan klarifikasi
kepada instansi pemerintah yang berwenang dan menerima masukan dari
masyarakat.44
Hasil penelitian tersebut dalam jangka waktu paling lama tujuh hari,
terhitung sejak tanggal penutupan pendaftaran, diberitahukan secara tertulis kepada
43 Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara
Langsung, h. 70. 44 ibid, h. 74.
39
pimpinan partai politik yang mengusulkan calon bersangkutan. Apabila pasangan
calon, berdasarkan berdasarkan hasil penelitian yang di lakukan KPUD ternyata
belum memenuhi syarat, maka partai politik diberi kesempatan buat melengkapi atau
memperbaiki surat percalonan, beserta persyaratan pasangan calon, maka paling
lambat tujuh hari sejak saat pemberitahuan hasil penelitian tersebut paling lambat
tujuh hari kepada pimpinan partai politik yang mengusulkan.
Pasangan calon yang sudah ditetapkan oleh KPUD di umumkan secara luas
paling lambat tujuh hari sejak selesainya penelitian. Kemudian dilakukan undian
secara terbuka, dalam arti wajib dihadiri oleh pasangan calon, wakil partai politik,
pers dan wakil masyarakat, terhadap pasangan calon yang sudah ditetapkan atau di
umumkan untuk menentukan nomor urut pasangan calon. Berdasarkan ketentuan
pasal 61 ayat (4) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah, penetapan dan pengumuman pasangan calon oleh KPUD bersifat final dan
mengikat. Dalam hal ini berarti tidak ada lagi upaya, baik secara politis maupun
secara hukum yang dapat dilakukan untuk membatalkan penetapan pasangan calon
tersebut.
c. Kampanye
Kampanye adalah merupakan suatu kegiatan yang di laksanakan dalam rangka
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Kampanye di
lakukan selama empat belas hari dan harus telah berakhir pada saat memasuki masa
tenang, yaitu tiga hari menjelang pemungutan suara di laksanakan.
40
Kampanye di selenggarakan oleh tim kampanye yang dibentuk oleh pasangan
calon bersama-sama partai politik yang mengusulkan pasangan calon. Tim kampanye
harus di daftarkan kepada KPUD, bersamaan dengan pendaftaran pasangan calon.
Kampanye di lakukan secara bersama-sama atau secra terpisah oleh pasangan calon
atau tim kampanye. Penanggung jawab kampanye adalah pasangan calon, dan dalam
pelaksanaannya pertanggung jawaban dilakukan oleh tim kampanye.
Bentuk kampanye sering dikategorikan antara monologis dan dialogis.
Kampanye monologis di identifikasikan sebagai paradigma lama dan dialogis sebagai
paradigma baru suatu kampanye. Bentuk-bentuk kampanye monologis dalam
pemilihan kepala daerah cukup dominan.45
Adapun bentuk kampanye dialogis adalah
berupa tatap muka dan dialog serta debat publik atau debat terbuka antar calon.46
Kampanye dalam komunikasi politik adalah semua kegiatan yang bertujuan
untuk memberikan informasi dalam bentuk citra tentang seseorang atau kebijakan
(publik) tertentu yang disampaikan dengan tujuan untuk mempengaruhi calon pemilih
untuk mendukung kandidat atau kebijakan tertentu tersebut.47
Dalam kegiatan kampanye pasangan calon wajib menyampaikan visi, misi,
dan program secara lisan maupun tertulis kepada masyarakat. Penyampaian materi
45 Bentuk-bentuk kampanye monologis adalah pertemuan yang sifatnya terbatas, penyebaran
melalui media cetak dan media elektronik, penyiaran melalui radio dan televisi, penyebaran bahan
kampanye kepada umum dan rapat umum.
46 Lihat Pasal 76 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah,
Kampanye dialogis ini adalah seperti kampanye yang sekarang diterapkan dalam pemilihan Presiden
2009-20014.
47 Effendi Gazali, “ Strategis Kampanye PILKADA”, ( Jakarta: Jurnal Pamong Praja, 2005),
ed. 3., h. 79-79.
41
kampanye di lakukan dengan cara yang sopan, tertib, dan bersifat edukatif. Untuk
penyusunan bahan kampanye, calon kepala daerah dan wakil kepala daerah berhak
mendapatkan informasi atau data dari Pemerintah Daerah, sesuai ketentuan
perundang-undangan.
Selama masa kampanye,48
Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD)
membentuk tim monitoring kegiatan-kegiatan kampanye, yang terdiri atas dua orang
pegawai sekretariat Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) untuk masing-masing
pasangan calon yang diterjunkan ke lapangan dan memantau langsung jalannya
kegiatan kampanye oleh kontestan pilkada. Namun, praktek yang terjadi di lapangan,
para petugas monitoring tersebut cenderung hanya memenuhi kewajiban minimal
mereka dengan mengisi form kosong yang di isi sekadarnya dan pengamatan yang di
lakukan tidak secara penuh dan menyeluruh. Dengan di isinya form kosong tersebut,
petugas monitoring kembali ke kantor atau ke tempat lain. Hal ini berakibat pada
pengisian form laporan monitoring kegiatan kampanye menggunakan laporan
berulang (jiplakan).49
d. Pemungutan dan Perhitungan Suara
Tahapan yang paling menetukan dalam proses pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah, adalah tahapan pemungutan suara. Pemungutan suara dilakukan
48 Kampanye pemilihan walikota dan wakil walikota Depok adalah kegiatan dalam rangka
meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program yang di lakukan dengan cara
yang sopan, tertib, dan bersifat edukatif atau mendidik. Lihat lampiran peraturan KPUD kota Depok
No.8 Tahun 2005 tentang petunjuk teknis pelaksanaan kampanye dalam rangka pemilihan walikota
dan wakil walikota Depok Tahun 2005.
49 Lihat, Bundel laporan kegiatan kampanye hasil monitoring pegawai sekretariat KPUD Kota
Depok.
42
paling lambat satu bulan sebelum masa jabatan kepala daerah berakhir. Pemungutan
suara di laksanakan pada hari libur atau hari yang di liburkan, pemungutan suara di
lakukan dengan cara memberikan melalui surat suara, yeng berisi nomor urut, foto,
dan nama pasangan calon. Jumlah surat suara dicetak sama dengan jumlah pemilih di
tambah 2.5% dari jumlah pemilih.50
Kejelasan status pemilih tergantung kondisi terdaftarnya ia dalam daftar pemilih
yang dalam kegiatan pemungutan suara menggunakan kartu pemilih selaku instrumen
penunjuk identitas. Dapat dipahami bahwa kata putus mengenai sah atau tidaknya
seorang warga yang memiliki hak pilih dalam kegiatan pemungutan suara ,
tergantung muatan dalam daftar pemilihan umum, bukan di sertakan atau tidaknya
kartu pemilih yang berperan sebagai instrumen, terlebih Pasal 34 ayat (2) tidak
menyebutkan sanksi atau implikasi lain atas kelalaian dalam pelaksanaannya.
Pada hari dan tanggal pemungutan suara, Komisi Pemilihan Umum Daerah
(KPUD) melakukan pembagian tugas yang di laksnakan para anggota KPUD dan
pegawai sekretarian KPUD secara internal dan eksternal. Pembagian tugas internal
dengan komposisi personalia tertentu meliputi penyiapan ruang media center beserta
halaman kantor sekreteriat KPUD, dan publikasi hasil perhitungan sementara dengan
menggunakan teknologi informasi yang ada. Publikasi di dalam ruang media center
menggunakan proyektor LCD yang tampilan gambarnya di arahkan ke salah satu
50 Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara
Langsung, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), Cetakan pertama, h. 84.
43
dinding ruang (dinding dalam hal ini berfungsi sebagai pengganti layar) yang di
peruntukan bagi para tamu Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD).
Sementara bagi masyarakat umum, yang hendak mengikuti jalannya
perkembangan perhitungan suara disegenap tempat perhitungan suara secara real time
dapat menyaksikannya melalui layar televisi di halaman kantor sekretariat Komisi
Pemilihan Umum Daerah yang telah di sambungkan ke komputer pengolahan hasil
perhitungan suara.
Proses pemungutan suara pada pemilihgan kepala daerah kota Depok cukup
menarik perhatian dari berbagai kalangan. Beberapa pejabat yang terlihat adalah
sekretaris jenderal Departemen Dalam Negeri progo Nurjaman yang di dampingi oleh
Gubernur Jawa Barat Dani Setiawan, serta anggota komisi II DPR RI Ferry Mursidan
Baldan, di tempat lain, ada pula rombongan peninjau lain yang terdiri dari anggota
KPU Pusat Chusnul Mariyah, serta para anggota KPUD Banjar, Jepara, Sukabumi,
Indramayu, Bandung, dan kabupaten Subang.51
Apabila ada pemilih tuna netra, tuna daksa, atau yang mempunyai halangan
fisik lain pada saat pemberian suara, maka dapat di bantu petugas Kelompok
Pelaksanaan Pemungutan Suara (KPPS) atau orang lain atas permintaan pemilih yang
bersangkutan. Petugas KPPS atau orang lain yang membantu pemilih wajib
merahasiakan pilihan pemilih yang di bantunya. Mengenai ketentuan pemberian
51 Dalam kunjungan ini hanya di sambut oleh ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah Kota
Depok Dzulfadhli beserta staf dan sebagian pegawai sekretariatan KPUD, karena anggota KPUD yang
lain beserta sebagian pegawai sekretariat KPUD masih bertugas memonitoring terhadap pelaksanaan
pemungutan suara di sejumlah titik wilayah pemilihan.
44
bantuan kepada pemilih, sebagaimana di maksud di atas, lebih lanjut akan di atur
dalam Peraturan Pemerintah.
Perhitungan suara harus di lakukan dan di selesaikan di Tempat Pemungutan
Suara (TPS) yang bersangkutan dan dapat dihadiri oleh sanksi pasangan calon,
panitia pengawas, pemantau dan warga masyarakat. Sanksi pasangan calon karus
membawa surat mandat dari tim kampanye yang bersangkutan dan menyerahkan
kepada ketua KPPS.
Penghitungan suara pasca pemilihan kepala daerah di Kota Depok berangsur
kisruh, Pendukung salah satu calon wali kota mendesak Komisi Pemilihan Umum
Depok dan Panitia Pemungutan Suara menghentikan proses penghitungan suara
tersebut. Meski KPU Depok harus melanjutkan proses penghitungan, para anggota
Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) menghentikan penghitungan karena diintimidasi
sekelompok massa.52
Guna mencegah terjadinya kecurangan dalam bentuk manipulasi angka
perhitungan suara, perhitungan suara harus dilakukan dengan cara yang
memungkinkan saksi pasangan calon, panitia pengawas, pemantau dan warga
masyarakat yang hadir dapat menyaksikan dengan jelas proses perhitungan suara.
Pasangan calon dan warga masyarakat melalui pasangan calon yang hadir, dapat
mengajukan keberetan terhadap jalannya perhitungan suara oleh KPPS apabila
terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
52 http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel/politik/artikel_cetak, “Perhitungan suara pilkada
Depok kisruh” sumber: kompas, diakses pada 29 Juni 2009.
45
berlaku. Jika keberatan yang dilakukan oleh saksi pasangan calon atau warga
masyarakat dapat di terima, maka KPPS seketika itu juga melakukan pembetulan.
Setelah selesai perhitungan suara, KPPS segera membuat berita acara dan
sertifikat hasil perhitungan suara yang ditanda tangani oleh ketua KPPS, dan dapat
pula ikut ditanda tangani oleh para saksi pasangan calon. Kemudian satu eksamplar
salinan berita acara dan sertifikat hasil perhitungan suara, di berikan kepada masing-
masing saksi pasangan calon dan satu eksemplar lagi di tempel ditempat umum yang
bisa dilihat oleh warga masyarakat.
e. Penetapan Pasangan Calon, Pengesahan, dan Pelantikan
Berdasarkan berita acara dan sertifikat hasil perhitungan suara, KPU provinsi
atau KPU kabupaten kota, melalui rapat pleno menetapkan calon terpilih dengan
ketentuan sebagai berikut;
a. Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh
suara lebih dari 50% dari jumlah suara sah ditetapkan sebagai pasangan
calon terpilih;
b. Apabila tidak ada pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50%
dari jumlah suara sah, pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari
25% dari jumlah suara sah pasangan calon yang perolehan suaranya
terbesar, di antara yang memperoleh suara 25%, dinyatakan sebagai
pasangan calon terpilih;
46
c. Apabila terdapat lebih dari satu pasangan calon yang perolehan suaranya
sama dan di atas 25% dari suara sah, penentuan pasangan calon terpilih di
lakukan berdasarkan wilayah perolehan suara yang lebih luas.
Jika pasangan calon terpilih yang berhalangan tetap, partai politik yang
pasangan calonnya memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua di bawah
pasangan calon terpilih, mengusulkan pasangan calon kepada DPRD untuk di pilih
menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah selambat-lambatnya dalam waktu
enam puluh hari. Demikian juga halnya dalam pemilihan kepala daerah sebagai
pengganti wakil kepala daerah yang berhalangan tetap harus di lakukan selambat-
lambatnya dalam waktu enam puluh hari.
Setelah pasangan calon terpilih di tetapkan oleh KPUD yang bersangkutan, di
teruskan ke DPRD untuk selanjutnya di usulkan kepada presiden melalui menteri
dalam negeri bagi pasangan calon guberbur dan wakil gubernur dan kepada menteri
dalam negeri melalui gubernur bagi pasangan calon bupati atau wali kota dan wakil
wali kota, untuk mendapatkan pengesahan dan pengangkatan.
Sebelum memangku jabatan, kepala daerah dan wakil kepala daerah di lantik
dengan mengucapkan sumpah atau janji yang di pandu oleh pejabat yang melantik
dengan sumpah atau janji sebagai berikut;
“Demi allah (Tuhan) saya bersumpah atau berjanji akan memenuhi kewajiban
saya sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah dengan sebaik-baiknya dan
nseadil-adilnya, memegang teguh Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya
dengan selurus-lurusnya, serta berbakti kepada masyarakat, nusa dan bangsa.”
47
Dalam pelaksanaan perhitungan suara dan rekapitulasi finalnya hasil penetapan
pasangan calon oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Depok, telah
ada interupsi yang berasal dari tim pasangan calon Badrul Kamal dan Syihabuddin
Ahmad yang dinyatakan kalah dan di tetepkan sebagai pemenang urutan kedua oleh
Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) tersebut mempersoalkan tiga hal
berkenaan dengan perhitungan suara dan rekapitulasi yang telah dan tengah
berlangsung.53
Pertama, rekapitulasi final terhadap perolehan suara yang tengah di laksanakan
oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Depok menjurus pada statusnya
yang ilegal mengingat rekapitulasi yang telah di lakukan oleh Panitia Pemungutan
Suara (PPS) dan Panitia pemilihan Kecamatan (PPK) se kota Depok dengan sujumlah
kecacatan di dalamnya. Kecacatan tersebut berkenaan dengan proses pemungutan
suara.
Kedua, adanya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh tim kampanye
pasangan calon Nurmahmudi Ismail dan Yuyun Wirasaputra beserta pendukungnya
merupakan catatan tersendiri sehingga menjadikan pasangan calon ini diragukan
legitimasinya dan tidak layak ditetapkan sebagai pemenang dalam rekapitulasi
dengan perolehan suara dengan asumsi bahwa perolehan suaranya diwarnai
kecurangan dan tidak sah.
53 Keterangan ini di peroleh dari kesaksian H.M.T. Hutoyo Gunardi sebagai saksi dari KPUD
Kota Depok dan saksi-saksi dari kubu Badrul kamal-Syihabuddin Ahmad; Lihat. Salinan Putusan
Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Barat. Nomor 01/PILKADA/2005/PT.Bdg., h. 25.
48
Ketiga, menganggap bahwa tidak selayaknya Komisi Pemilihan Umum Daerah
Kota Depok membuat berita acara dan rapat pleno dalam pembuatan surat keputusan
(SK) yang berisi rekapitulasi akhir dan penetapan pasangan calon Walikota dan wakil
Walikota terpilih tanpa melibatkan terlebih dulu pada pihak-pihak terkait, seperti
Panitia Pengawas pilkada (panwasda) kota Depok, DPRD kota Depok, dan KPUD
Profinsi Jawa Barat.
Gubernur dan wakil gubernur dilantik oleh menteri dalam negeri atas nama
presiden, sedangkan bupati atau wali kota dan wakil wali kota dilantik oleh gubernur
atas nama menteri dalam negeri. Pelantikan di maksud di laksanakan dalam rapat
paripurna DPRD.54
Tabel 1
Peroleha Suara Sah Para pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota Depok55
No.
Urut
Nama Calon Walikota dan Wakil
Walikota Depok
Jumlah Suara Final Prosentase
1. H. Abdul Wahab Abidin dan
M. Ilham Wijaya
32.461 6,13%
2. Drs. H. Harun Heryana dan
Drs. H. Farkhan A.R
23.859 4,50%
3. Drs. H. Badrul Kamal, M.M. dan
K.H. Syihabuddin Ahmad
206.781 39,03%
4. Drs. Yus Ruswandi dan
H. M. Soetandi Dipowongso, S.H
43.096 6,44%
5. Dr. Ir. H. Nurmahmudi Ismail dan
Drs. H. Yuyun Wirasaputra
232.610 43,90%
Sumber: SK KPUD Nomor18 Tahun 200556
54 Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara
Langsung, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), Cetakan pertama, h. 98. 55 Rincian Perolehan sah di setiap kecamatan dapat di lihat dalam lampiran tabel 1.1.
49
Melihat hasil tersebut, sedikitnya terdapat 40 % (empat puluh persen) pemilih
terdaftar yang tidak ikut memilih. Menurut Andrinof Chaniago pengamat politik dari
Universitas Indonesia (UI), dengan persentase sebanyak itu, proses pilkada cenderung
hanya sebagai tontonan publik saja. Warga Depok belum mampu memaknai pilkada
sebagai proses pembuatan kebijakan publik yang akan berpengaruh langsung kepada
mereka sendiri.57
Semua alur penyampaian hasil penetapan Walikota dan Wakil Walikota terpilih
untuk kemudian dilaksanakan pelantikan terhadapnya, mengharuskan Komisi
Pemilihan Umum Daerah Kota Depok menempuh jalur melalui DPRD Kota Depok
kepada menteri dalam negeri melalui Gubernur Jawa Barat.58
Diikut sertakannya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Depok
dalam jalur penyampaian hasil pilkada ini membuka peluang terhadap keputusan
penetapan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Depok yang masih
berlangsung di DPRD. Namun, terbitnya Surat Edaran Mentri Dalam Negeri (SE
Mendagri) yang menjelaskan mekanisme tersebut sedikit menepis kemungkinan
tersebut.
56 Iberamsjah MS, SK KPUD No.18 tahun 2005, Pilkada Kota Depok Tahun 2005, (Depok:
Sekretariat Walikota Depok, 2006), h. 78.
57 Lihat http://www.kompas.com “Pilkada Depok dan sikap apatis”, diakses pada 8
November, 2006.
58 Pasal 99 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005. Lih. Pula ketentuan
sebelumnya yang terkait dalam pasal 87 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005.
50
Akhirnya pada hari tanggal 16 Juli 2005 melalui Surat Keputusan Komisi
Pemilihan Umum Daerah (SK KPUD) Nomor 18 Tahun 2005, ditetapkan bahwa Dr.
Ir. H. Nurmahmudi Ismail dan Drs. H. Yuyun Wirasaputra resmi menjadi Walikota
dan Wakil Walikota Depok yang baru.
Setelah melalui perjalanan panjang, bahkan Mahkamah Agung (MA) dan
Mahkamah Konstitusi (MK) sampai perlu untuk turun tangan dalam menyelesaikan
kasus ini, dan pada akhirnya Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Depok yang
resmi memenangkan Dr. Ir. H. Nurmahmudi Ismail dan Drs. H. Yuyun Wirasaputra
resmi di lantik menjadi Walikota dan Wakil Walikota Depok tepat tanggal 26 Januari
2006 dalam sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyar Daerah (DPRD) Kota
Depok.
51
BAB II
KPUD DEPOK DAN PROSES PEMILIHAN KEPALA DAERAH
A. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Pemilihan Umum Derah
(KPUD)
Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada) Provinsi maupun
Kabupaten atau Kota diperlukan adanya suatu lembaga yang independen dan
imparsial. Pembentukan dapat dilakukan melalui dua (2) cara, yaitu (1) membentuk
lembaga baru di setiap daerah pemilihan; atau (2) memanfaatkan keberadaan Komisi
Pemilihan Umum (KPU) Provinsi dan Kabupaten atau Kota yang telah
berpengalaman dalam menyelenggarakan pemilihan umum anggota legislatif dan
pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden59
Dengan alasan efisiensi biaya dan kelengkapan sarana dan prasarana serta
kelayakan kemampuan yang telah dibuktikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU)
dan KPU Provinsi maupun Kabupaten atau Kota sebagai penyelenggara pemilihan
umum anggota legislatif dan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, maka
penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dibebankan kepada lembaga Komisi
Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang organ-organnya merupakan Komisi
59 Zain Badjeber, “Komentar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah”, (Jakarta: Forum Indonesia Baru, 2005), h. 246.
18
55
Pemilihan Umum (KPU) Provinsi, Kabupaten, dan Kota yang di beri wewenang khusus
oleh Undang-Undang dalam menyelenggarakan pemilihan kepala daerah.60
1. Pengertian Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Pemilihan Umum
Daerah (KPUD)
Undang Undang Dasar 1945 tidak merumuskan lembaga penyelenggara pilkada,
namun demikian penyelenggara pemilihan kepala daerah disebutkan dalam pasal 57 ayat
(1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang
menyatakan:
“ Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh Komisi
Pemilihan umum Daerah (KPUD) yang bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD)”.61
Komisi Pemiliha Umum Daerah (KPUD) sebagai
penyelenggara pemilihan kepala daerah, kemudian ditegaskan lagi dalam pasal 4 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan Kepala Daerah, yang
menyatakan:
(1) Pemilihan di selenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah(KPUD)
(2) Dalam penyelenggaraan pemilihan Gubernur dan wakil Gubernur, KPUD
Provinsi menetapkan KPUD Kabupaten atau Kota sebagai bagian pelaksana tahapan
penyelenggaraan pemilihan.62
Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang diberikan tugas sebagai
penyelenggara pemilihan kepala daerah, menurut pasal 1 angka 21 Undang-undang
60 Badjeber, “Komentar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah”,
h. 247. 61 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah,
berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU/III/2005.
62 Op. Cit., Pasal 4 ayat 1 dan 2.
56
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah Komisi Pemilihan Umum
yang selanjutnya disebut KPUD Provinsi atau Kabupaten atau kota sebagaimana di
maksud dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 200363
yang diberi wewenang khusus
oleh Undang-undang ini untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) dan
wakil kepala daerah di setiap Provinsi dan Kabupaten atau Kota.
Sekarang yang menjadi permasalahan adalah samakah KPUD sebagaimana di
maksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
dengan KPU berdasarkan Undang-undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan
Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. KPU terdapat dalam Pasal 22E Undang Undang
Dasar 1945 dalam bab VII B pemilihan umum, yang merupakan hasil perubahan ketiga
tahun 2001. Pasal 22E ayat 5 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan “Pemilihan
Umum diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap
dan mandiri”.
Dalam pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi atas putusan perkara Nomor
072-073/PUU/II/2004 tentang Pengujian Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan:
“ Maksud pembuat undang-undang menetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Provinsi maupun Kabupaten atau Kota berfungsi sebagai pelaksana tugas Komisi
Pemilihan Umum Daerah, apabila anak kalimat tersebut dinyatakan tidak mempunyai
hukum mengikat, maka bunyi pasal angka 21 akan menjadi “ Komisi Pemilihan Umum
Daerah yang selanjutnya disebut KPUD adalah KPU Provinsi atau Kabupaten, atau
Kota”. Yang artinya dengan rumusan tersebut penyelenggara pemilihan kepala daerah
63 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
57
langsung adalah KPU Provinsi, Kabupaten atau Kota, sebagai bagian dari KPU yang di
maksudkan pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945. dengan demikian penyelenggara
pemilihan kepala daerah (Pilkada), KPU menjadi regulator dan pengawas pelaksanaan
pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan oleh KPU Provinsi, Kabupaten, atau Kota,
padahal pengertian yang demikian bukanlah yang di maksudkan oleh pembuat undang-
undang. Walaupun demikian dalam hal kewenangan yang berkaitan dengan masalah
internal KPU dan KPU Provinsi, Kabupaten, atau Kota tetap ada secara hierarkis,
sehingga KPU tetap wajib melakukan tugas-tugas koordinasi dan supervisi untuk lebih
memberdayakan kinerja KPU Provinsi, kabupaten atau Kota”.64
Menyikapi amar putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, di satu sisi Mahkamah
Konstitusi ingin mengatakan secara formal, bahwa KPUD itu berada dengan KPU
Provinsi, Kabupaten atau Kota, sungguh keduanya memiliki organ yang sama.
Pandangan ini dapat dipahami jika dianalogikan dengan jabatan Gubernur atau Bupati.
Sebagai Gubernur ia adalah aparat pusat yang ada di daerah, di sisi lain ada juga dengan
kepala daerah, ia adalah aparat daerah yang bersama-sama dengan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) melaksanakan pemerintahan di daerah.65
Dengan konstruksi pikiran seperti ini, memberikan beberapa implikasi; pertama,
secara substansi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi, Kabupaten atau Kota berbeda
dengan KPUD, kedua, KPU masih mempunyai kewenangan pengawasan dan
memberikan advis kepada KPU Provinsi, Kabupaten atau Kota, ketiga, pengaturan proses
64 Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara nomor 072-073/PUU/II/2004 tentang pengujian
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar 1945, h. 112.
65 Sahuri Taufiqurrahman, “Anatomi Putusan mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”,
(Jakarta: makalah seminar putusan Mahkamah Konstitusi /PUU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah, 2005), h. 6 .
58
pencalonan seperti penjadwalan pemilihan, penetapan pasangan calon kepala daerah
menjadi kewenangan KPUD, dan keempat, anggota KPUD sebagai aparat KPU di daerah,
secara struktural tetap harus memperlihatkan kebijakan atasannya (KPU).
Keberadaan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) sebagai penyelenggara
pemilihan kepala daerah (PILKADA) kembali di tegaskan dalam konsideran penjelasan
umum angka 4 penjelasan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, yang menjelaskan sebagai berikut: “ Melalui Undang-undang ini Komisi
Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Provinsi, Kabupaten atau Kota di berikan kewenangan
sebagai penyelenggara Pilkada. Komisi Pemilihan Umum Daerah yang di maksud dalam
undang-undang ini adalah KPUD sebagaimana di maksud Undang-undang Nomor 12
Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Untuk itu, tidak perlu di
bentuk dan di tetapkan KPUD dan keanggotaannya yang baru.66
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka jelaslah bahwa penyelenggaraan pemilihan
kepala daerah adalah Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). KPUD di maksud
adalah KPU Provinsi, Kabupaten atau Kota. KPU ini diberi wewenang sebagai
penyelenggara pemilihan kepala daerah. KPUD yang dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah KPU sebagaimana
dimaksudkan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
66 Republik Indonesia, Undang-undang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004, penjelasan umum angka 4.
59
Pertimbangan di pilihnya KPU Provinsi, Kabupaten, dan Kota yang bernama
Komisi Pemilihan Umum Daerah sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah dengan
tidak membentuk lembaga baru dengan keanggotaan baru adalah untuk efisiensi waktu,
tenaga, dan biaya. Pertimbangan ini didasari karena perangkat, sarana, dan prasarana
KPU Provinsi, Kabupaten, dan Kotamadya sudan terbentuk di seluruh Indonesia.
Dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, peran Komisi Pemilihan Umum
di sini hanya sebatas menjadi acuan bagi Komisi Pemilihan Umum Daerah dalam
membuat berbagai peraturan yang selama ini sudah ada. Dalam pasal 29 butir 9 dan pasal
32 butir g Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 dinyatakan bahwa Komisi Pemilihan
Umum Provinsi, maupun Komisi Pemilihan Umum Kabupaten atau Kota melaksanakan
kewajiban lain yang diatur dalam Undang-undang. Dengan demikian ada kewenangan
Undang-undang untuk memberikan kewajiban lain kepada Komisi Pemilihan Umum
Provinsi, Kabupaten atau Kota.
Ada 3 (tiga) kewajiban lain yang di berikan oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah kepada Komisi Pemilihan Umum Provinsi,
Kabupaten atau Kota, yaitu; (1) penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, (2)
pertanggung jawaban pemilihan kepala daerah kepada publik, dan (3) melaporkan
pelaksanaan pilkada kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Selanjutnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 memang tidak memberi
kewajiban atau wewenang khusus kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU), namun hal
ini sesungguhnya tidak berarti KPU kehilangan peran sama sekali, KPU tetap menjaga
berfungsinya organisasi secara baik dan benar di tingkat Provinsi, Kabupaten atau Kota.
60
2. Karakteristik Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Pemilihan Umum
Daerah (KPUD)
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 21 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, dinyatakan bahwa Komisi Pemilihan Umum Daerah yang
selanjutnya disebut KPUD adalah KPU Provinsi, Kabupaten, atau Kota. Sebagaimana
dimaksud Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 yang diberi wewenang khusus oleh
Undang-undang ini untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah di setiap Provinsi dan Kabupaten atau Kota. Dengan demikian semua sifat yang
terkandung dalam Komisi Pemilihan Umum Provinsi, Kabupaten atau Kota juga di miliki
oleh KPUD.
Bertolak dari penafsiran Mahkamah Konstitusi dan pembuat Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa pemilihan kepala daerah
tidak termasuk kategori pemilu, maka manajemen pemilihan kepala daerah tidak di
lakukan oleh Komisi pemilihan Umum (KPU) tetapi oleh pemerintah, bukan keputusan
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagaimana yeng berlaku untuk pemilihan umum
legislatif dan pemilihan Presiden.
Menurut Mahkamah Konstitusi tidak ada alasan kuat bahwa pemilihan kepala
daerah tidak masuk ke dalam pengertian pemilihan umumn Pasal 22E Undang-Undang
Dasar 1945, maka pengaturan pemilihan kepala daerah menjadi kewenangan pemerintah.
Meskipun demikian, Komisi Pemilihan Umum Daerah sebagai lembaga Independen
harus bebas dari intervensi lembaga negara manapun dalam penyelenggaraan pemilihan
kepala daerah langsung, yaitu harus berdasarkan asas-asas pemilihan umum, yakni
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
61
Pesan demikian yang ingin di sampaikan dalam putusan Mahkamah Konstitusi
yang mengabulkan permohonan para pemohon mengenai aturan hukum yang
mengharuskan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) bertanggung jawab kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Konsideran putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut menyatakan;67
“Menimbang bahwa pembuat Undang-Undang telah menetapkan Komisi Pemilihan
Umum Daerah (KPUD) sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah langsung, yang
mana Mahkamah Konstitusi berpendapat hal tersebut menjadi wewenang dari pembuat
undang-undang. Walaupun demikian, KPUD harus di jamin independensinya dalam
menyelenggarakan pemilihan kepala daerah, dan apabila independensi KPUD tidak
dijamin, maka hal ini akan mengganggu pelaksanaan hak rakyat sebagai pemegang
kedaulatan yang ditentukan dalam pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945,
bertentangan dengan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum yang di muat dalam pasal 28D Undang-Undang
Dasar 1945”.
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memiliki implikasi ; (1) dalam pemilihan
kepala daerah Komisi Pemilihan Umum Daerah tidak bertanggung jawab kepada DPRD,
(2) DPRD tidak berwenang meminta pertanggung jawaban atas KPUD, (3) KPUD tidak
berkewajiban mempertanggung jawabkan penggunaan anggaran pemilihan kepala daerah
,dan (4) pembatalan calon kepala daerah yang terbukti melakukan palanggaran
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tidak lagi
67 Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara nomor 072-073/PUU/II/2004 tentang pengujian
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-Undang Dasar
1945, h. 110.
62
di lakukan oleh DPRD.68
Ketentuan tersebut cukup logis dengan memandang bahwa amat
sulit mempunyai tujuan tersebut, apabila KPUD harus mempertanggung jawabkan
kepada lembaga lain, seperti DPRD. Sebab DPRD merupakan unsur-unsur partai politik
yang menjadi pelaku dalam kompetisi pemilihan kepala daerah.
B. Tugas, Wewenang, dan Kewajiban Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD)
Komisi Pemilihan Umum Daerah merupakan lembaga yang bertanggung jawab
terhadap berbagai bidang dan aspek perencanaan, penyelenggaraan, dan pengendalian
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah langsung. Tata cara pelaksanaan masa
persiapan dan tahap pelaksanaan diatur oleh KPUD dengan berpedoman pada Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005.69
Secara sederhana, Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) kota Depok berperan
sebagai penyelenggara Pemilihan Umum (pemilu)70
. Dan Pemilihan Kepala Daerah
(Pilkada) dalam batasan entitas kewilayahan menurut yurisdiksi kota Depok. Inilah yang
kemudian menjadi wilayah pemilihan dalam pemilihan kepala daerah tahun 2005.
Tugas dan kewenangan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) inilah yang
akan diawasi pelaksanaannya oleh Panitia Pengawas Daerah (panwasda) dalam wilayah
kerjanya, begitu pula dengan masyarakat yang amat berkepentingan dengan
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah.
68 Lihat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-III/2005, h. 112-113.
69 Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan
Pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005.
70 Lihat pasal 57 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Bab III Pasal 4 Peraturan Pemerintah
Nomor 6 Tahun 2005.
63
Dalam rangka penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah,
maka tugas dan wewenang Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) sebagaimana di
atur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005, meliputi:
i. Merencanakan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah;
j. Menetapkan tata cara pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah sesuai dengan tahapan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan;
k. Mengoordinasikan, menyelenggarakan dan mengendalikan semua tahapan
pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah;
l. Menetapkan tanggal dan tata cara pelaksanaan kampanye, serta pemungutan suara
kepala daerah dan wakil kepala daerah ;
m. Memeliti persyaratan partai politik atau gabungan partai politik serta persyaratan
calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mengusulkan calon;
n. Menetapkan pasangan calon yang telah memenuhi persyaratan;
o. Menerima pendaftaran dan mengumumkan tim kampanye, dan mengumumkan
sumbangan dana kampanye;
p. Mengumumkan hasil rekapitulasi perhitungan suara dan mengumumkan hasil
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah;71
Di samping tugas dan wewenang tersebut di atas, Komisi Pemilihan Umum Daerah
(KPUD) juga mempunyai beberapa kewajiban, yaitu:
g. Memperlakukan pasangan calon secara adil dan setara;
71 Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara
Langsung, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), Cetakan pertama h.57.
64
h. Menetapkan standarisasi serta kebutuhan barang dan jasa; yang berkaitan dengan
penyelenggaran pemilihan kepala daerah dan wakil berdasarkan peraturan
perundang-undangan;
i. Menyampaikan laporan kepada DPRD untuk setiap tahapan pelaksanaan
pemilihan dan penyampaian informasi kegiatan kepada masyarakat;
j. Memelihara arsip dan dokumen pemilihan, serta mengelola barang inventaris
milik KPUD berdsarkan peraturan perundang-undangan;
k. Mempertanggung jawabkan penggunaan anggaran kepada DPRD, serta
l. Melaksanakan semua tahapan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah.72
Pemberian kewenangan mengatur semua tahapan pemilihan kepala daerah kepada
Komisi Pemilihan Umum Daerah. dengan berpedoman kepada Peraturan Pemerintah,
dapat menimbulkan 3 (tiga) persoalan hukum;73
pertama, ketentuan seperti ini
bertentangan dengan prinsip kemandirian yang melekat tidak hanya kepada Komisi
Pemilihan Umum, tetapi juga kepada KPUD sebagai aparatnya di daerah, karena
menempatkan KPUD di bawah pengarahan pemerintah. KPU atau KPUD yang mandiri
berarti tidak berada di bawah golongan, partai politik, ataupun pemerintah, melainkan
melaksanakan pemilihan umum sepenuhnya menurut Undang-undang.
Dengan kewenangan Komisi Pemilihan Umum Daerah menetapkan ketentuan
teknis, semua tahapan pemilihan kepala daerah berdasarkan peraturan pemerintah, maka
72 Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan
Pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah, Pasal 6.
73 Ramlan Subakti, “Bebarapa pertanyaan tentang sistem pemilihan kepala daerah secara
langsung”, (Jakarta: Jurnal Pamong Praja, 2005), ed. 3, h. 55.
65
KPUD menerima pengarahan dan supervisi dari pemerintah atau setidaknya jika ada
permasalahan dalam menyelenggarakan pemilihan kepala daerah harus bertanya dan
berkonsultasi, menunggu pengarahan dari pemerintah tentang pengaturan tahap
pemilihan kepala daerah.
Kedua, ketentuan tersebut tidak taat asas dengan Undang-undang Nomor 12 tahun
2003 Tentang Pemilihan Umum dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah yang sama sekali tidak memberikan kewenangan kepada
pemerintah untuk membuat peraturan pelaksanaan pemilihan umum, dengan alasan untuk
menghindari perbuatan peraturan pemilihan umum oleh peserta pemilu.74
Dan ketiga,
pemberian kewenangan pengaturan teknis tahap persiapan dan pelaksanaan tahap
pemilihan kepala daerah kepada KPUD bertentangan dengan asas eksternalitas dan
efisiensi yang diatur dalam pasal 11 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah itu sendiri.
Urusan yang bersifat atau berlaku lintas daerah harus ditangani oleh instansi yang
berlingkup luas, dikatakan demikian karena pengaturan teknis setiap tahapan tersebut
merupakan penjabaran asas-asas pemilihan umum yang demokratis, yaitu langsung,
umum, bebas, rahasia (Luber) serta jujur dan adil (Jurdil).
Penjabaran asas-asas pemilihan umum ini berlaku di seluruh Indonesia, bahkan
berlaku universal, sehingga tidak dapat di desentralisasikan kepada KPUD. Di sebut tidak
efisien yaitu karena bila pemilihan kepala daerah diselenggarakan di 226 daerah
(Provinsi, Kabupaten dan Kota), maka harus di buat 226 Surat keputusan (SK) untuk
setiap tahapan pemilihan kepala daerah yang isinya sama. Pengaturan teknis pemilihan
74 Cetro,” Urgensi revisi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah
sebelum penyelenggaraan pemilihan kepala daerah”, ( http://www.cetro.or.id), diakses pada 18 Juli 2005.
66
kepala daerah seharusnya diserahkan kepada KPU, tetapi perencanaan dan
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah di serahkan sepenuhnya kepada KPUD.75
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU-III/2005,
maka KPUD di dalam menyelenggarakan Pilkada, tidak lagi bertanggung jawab kepada
DPRD, baik tanggung jawab pelaksanaan tugas-tugas KPUD maupun tanggung jawab
penggunaan anggaran Pilkada. Mengenai pelaksanaan tugas-tugas penyelenggaraan
tahapan Pilkada, KPUD bertanggung jawab kepada pemerintah daerah masing-masing.
Di samping itu DPRD tidak lagi berwenang membatalkan pasangan calon yang
dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap, karena melakukan “politik uang”. Karena itu, sekarang beralih kepada
KPUD. Hal ini semua didasarkan pada pertimbangan demi menjaga independensi KPUD
dalam penyelenggaraan Pilkada, dan kemungkinan adanya intervensi dari pihak DPRD.
C. Tahap Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA)
Dalam rangka mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat, sesuai tuntutan
reformasi dan amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, bahwa Provinsi, Kabupaten dan Kota merupakan daerah otonom, maka kini sudah
saatnya untuk mengemban sistem pemilihan kepala daerah secara langsung dan mulai
menerapkan. Upaya ini menjadi lebih mendesak karena tuntutan dari berbagai daerah
untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung menjadi semakin gencar.76
75 Cetro, Kesimpulan Putusan perkara Mahkamah Konstitusi Nomor 072/PUU-II/2004. 76 Agung Djojosoekarto, Rudi Hauter, “Pemilihan Langsung Kepala Daerah: Transformasi
menuju Demokrasi Lokal”, Kerjasama Asosiasi DPRD Kota Seluruh Indonesia dan Koniad Adenauer
Stiftung, h. 6.
67
Undang-undang ini menganut sistem pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah secara langsung dengan memilih calon secara berpasangan. Calon di usulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik. Asas yang digunakan dalam pemilihan kepala
daerah dan wakil kepala daerah sama dengan asas pemilu77
sebagaimana di atur dalam
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden, yaitu asas langsung, umum, bebas dan rahasia (luber), serta jujur dan adil
(jurdil).
Sebagai penyelenggara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, undang-
undang ini menugaskan KPUD di masing-masing daerah. KPUD yang dimaksud dalam
hal ini adalah KPUD sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003.
Dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah, KPUD bertanggung jawab kepada DPRD yang bersangkutan. Namun, secara
organisatoris KPUD tetap bertanggung jawab kepada KPU pusat. Walaupun tidak diatur
dalam undang-undang ini, secara organisatoris KPU tetap dapat melakukan tugas-tugas
koordinasi dan supervisi terhadap KPUD dan demikian juga KPUD provinsi terhadap
KPUD Kabupaten/Kota, dalam pemilihan Bupati/Walikota.
Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) Depok yang di selenggarakan pada Juni 2005
dengan jumlah pemilih sebanyak 908.890 jiwa, telah melahirkan sejumlah keputusan
kontroversial. Tidak konsistennya pemerintah pusat melalui Pengadilan Tinggi (PT)
hingga Mahkamah Agung (MA) dalam menentukan Walikota terpilih membuat daerah
pemukiman ini menjadi sorotan dari berbagai pihak, tetapi, justru hal inilah yang
membuat pilkada Depok memiliki daya tarik tersendiri jika di bandingkan dengan
77 Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, h.
56.
68
pemilihan Kepala Daerah (pilkada) di daerah-daerah lain. Keseriusan pemerintah pusat
dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), diwujudkan dengan
membentuk desk Pilkada di Departemen Dalam Negeri.78
Dalam kaitan dengan penyelenggaraan pilkada langsung tersebut, sekurang-
kurangnya ada dua hal besar yang harus dilihat sebagai konteks. Pertama, bahwa lahirnya
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya yang
menyangkut Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah telah melahirkan
kontroversi yang cukup serius. Banyak yang menilai bahwa berbagai ketentuan tentang
penyelenggaraan Pilkada langsung tersebut kurang didukung oleh kerangka berpikir yang
tepat. Buntutnya adalah pengajuan judicial review oleh beberapa Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) Peduli Pemilu dan beberapa KPU Provinsi. Tentu berbagai
kontroversi ini akan mempengaruhi kesiapan KPU Daerah (dan juga pihak-pihak lainnya)
di dalam persiapan penyelenggaraannya.79
Hal yang pertama adalah konstruksi kewenangan penyelenggaraan. Berbeda
dengan pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden yang memposisikan
Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri- sebagai pemegang
mandat tunggal penyelenggaraan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah membagi kewenangan penyelenggaraan pilkada kepada tiga
institusi, yakni pemerintah, KPUD dan DPRD, dengan porsi masing-masing yang diatur
oleh UU.
78 Desk pilkada memiliki peran signifikan dalam upaya mengambil langkah-langkah dan antisipasi
mengenai keadaan pemerintah, keamanan, serta memberikan fasilitasi pada setiap tahap penyelenggaraan pilkada agar dalam pelaksanaannya berjalan tertib, aman, dan terkendali).
79 http://www.suaramerdeka.com/harian, “ Antisipasi masalah dalam Pilkada, Perlu perincian
kewenangan penyelenggara”, diakses pada Agustus 2009.
69
Proses pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (PILKADA) di
laksanakan dalam 2 (dua) tahap, yakni tahap persiapan dan tahap pelaksanaan.80
1. Tahap Persiapan
Persiapan pemilihan merupakan proses awal dalam pemilihan kepala daerah
sebelum pelaksanaan pemilihan itu sendiri dilaksanakan. Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah tidak mengatur mengenai masa persiapan
proses pemilihan kepala daerah. Namun, hal tersebut diatur secara rinci dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang pemilihan kepala daerah, pengesahan,
pengangkatan, dan pemberhentian kepala daerah.
Dalam pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2005, di sebutkan bahwa masa
persiapan pemilihan kepala daerah, meliputi;81
a. Pemberitahuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kepada Kepala
Daerah mengenai berakhirnya masa jabatan;
b. Pemberitahuan DPRD kepada KPUD mengenai berakhirnya masa jabatan
Kepala Daerah;
c. Perencanaan penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan
pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah;
d. Pembentukan kepanitiaan pengawas, PPK dan KPPS;
e. Pembentukan dan pendaftaran pemantau oleh KPUD.
80 Republik Indonesia, Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 Pasal 65 ayat (1).
81 Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Pemilihan, Pengangkatan dan
Pemberhentian Kepala Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Pasal 2.
70
2. Tahap Pelaksanaan
Dalam tahap pelaksanaan ini meliputi 5 (lima) kegiatan, yang masing-masing
merupakan satu rangkaian yang saling terkait, meliputi;82
a. Penetapan Daftar Pemilih
Warga negara yang berhak memilih dalam pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah adalah Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sudah berumur tujuh belas tahun atau
sudah pernah menikah. Dalam undang-undang ini tidak dijelaskan, warga negara
Indonesia yang mana yang berhak yang menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah. kemungkinan pertama adalah warga negara
Indonesia yang terdaftar sebagai penduduk (memiliki kartu tanda penduduk) di daerah
yang bersangkutan.
Secara prosedural, untuk dapat terdaftar sebagai pemilih, seseorang setidak-
tidaknya harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:83
1. Orang yang bersangkutan merupakan Warga Negara Indonesia (WNI);
2. Menjadi penduduk kota Depok yang pada hari dan tanggal pemungutan suara
pemilihan telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah menikah;
3. Secara nyata tidak sedang terganggu jiwa atau ingatannya;
4. Tidak di cabut hak pilihnya berdsarkan putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap;
82 Ibid., Pasal 65 ayat (3). 83 Lihat pasal 68-69 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo pasal 15-16 Peraturan Pemerintah
Nomor Tahun 2005 jo Pasal 2 dan 3 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Daerah Kota Depok Nomor 2
Tahun 2005 tentang tata cara pelaksanaan pendaftaran pemilih dalam rangka Pemilihan Kepala Daerah dan
Wakil kepala Daerah kota Depok Tahun 2005.
71
5. Berdomisili di daerah pemilihan, yakni wilayah kota Depok, sekurang-
kurangnya enam bulan sebelum di tetapkannya daftar pemilih sementara
(DPS) yang di buktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau bukti
identitas kependudukan lainnya yang sah.
Untuk dapat menggunakan hak pilih, seorang Warga Negara Indonesia harus
terdaftar sebagai pemilih. Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat didaftar sebagai
pemilih adalah keadaan fisiknya harus dalam keadaan sadar atau tidak sedang terganggu
jiwa, tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh hukum tetap. Seorang warga negara Indonesia yang telah terdaftar dalam
daftar pemilih, kemudian kemudian ternyata tidak lagi memenuhi kedua syarat tersebut,
maka tidak dapat menggunakan hak pilihnya.
b. Pendaftaran dan Penetapan Calon Kepala Daerah
Dalam proses pendaftaran pemilih untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah, daftar pemilih pada saat pelaksanaan pemilihan terakhir di daerah, digunakan
sebagai daftar pemilih untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Seorang
pemilih hanya di daftar satu kali dalam daftar pemilih. Pemilih yang mempunyai satu
tempat tinggal harus menentukan salah satu di antaranya untuk di tetapkan sebagai
tempat tinggal yang di cantumkan dalam daftar pemilih. Sebagai tanda bukti telah
terdaftar sebagai pemilih, pemilih diberikan tanda bukti pendaftaran, kemudian di
tukarkan dengan kartu pemilih.84
Adapun mengenai penetapan pasangan calon kepala daerah, partai politik atau
gabungan partai politik peserta pemilu, yang tidak memiliki kursi di DPRD dapat
84 Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara
Langsung, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), Cetakan pertama, h. 66.
72
mengusulkan pasangan calon kepala daerah dalam Pilkada. Partai politik atau gabungan
partai politik yang dapat mengusulkan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala
daerah, yaitu harus memenuhi syarat; memiliki sekurang-kurangnya telah memperoleh
lima belas persen kursi di DPRD, atau memiliki lima belas persen akumulasi perolehan
suara sah dalam daerah pemilihan yang bersangkutan.
Idealnya proses pencalonan dilakukan melalui sistem dua pintu. Pintu pertama
melalui partai politik, sedangkan pintu kedua melalui usulan dari masyarakat. Pasangan
calon yang diusulkan oleh masyarakat ini, umpamanya disyaratkan harus mendapat
dukungan minimal satu persen dari jumlah pemilih terdaftar. Adapun syarat-syarat untuk
dapat diusulkan sebagai calon kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah warga
negara Indonesia yang memenuhi syarat:85
10. Bertakwa kepada tuhan Yang Maha Esa dan setia kepada Pancasila;
11. Berpendidikan sekurang-kurangnya Sekolah Lanjutan Tingkat Atas atau
sederajat;
12. Berusia sekurang-kurangnya tiga puluh tahun;
13. Sehat jasmani dan rohani berdasarkan pemeriksaan dari tim dokter;
14. Tidak pernah di jatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan;
15. Memiliki hak pilihnya dan mengenal daerahnya serta telah di kenal oleh
masyarakat;
16. Menyerahkan daftar riwayat hidup secara lengkap;
17. Belum pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah selama
dua kali masa jabatan yang sama;
85 Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, h.
70.
73
18. Tidak dalam status sebagai pejabat kepala daerah.
Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dalam melakukan penelitian terhadap
persyaratan administrasi para calon, maka perlu melakukan klarifikasi kepada instansi
pemerintah yang berwenang dan menerima masukan dari masyarakat.86
Hasil penelitian
tersebut dalam jangka waktu paling lama tujuh hari, terhitung sejak tanggal penutupan
pendaftaran, diberitahukan secara tertulis kepada pimpinan partai politik yang
mengusulkan calon bersangkutan. Apabila pasangan calon, berdasarkan berdasarkan hasil
penelitian yang di lakukan KPUD ternyata belum memenuhi syarat, maka partai politik
diberi kesempatan buat melengkapi atau memperbaiki surat percalonan, beserta
persyaratan pasangan calon, maka paling lambat tujuh hari sejak saat pemberitahuan hasil
penelitian tersebut paling lambat tujuh hari kepada pimpinan partai politik yang
mengusulkan.
Pasangan calon yang sudah ditetapkan oleh KPUD di umumkan secara luas paling
lambat tujuh hari sejak selesainya penelitian. Kemudian dilakukan undian secara terbuka,
dalam arti wajib dihadiri oleh pasangan calon, wakil partai politik, pers dan wakil
masyarakat, terhadap pasangan calon yang sudah ditetapkan atau di umumkan untuk
menentukan nomor urut pasangan calon. Berdasarkan ketentuan pasal 61 ayat (4)
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, penetapan dan
pengumuman pasangan calon oleh KPUD bersifat final dan mengikat. Dalam hal ini
berarti tidak ada lagi upaya, baik secara politis maupun secara hukum yang dapat
dilakukan untuk membatalkan penetapan pasangan calon tersebut.
c. Kampanye
86 ibid, h. 74.
74
Kampanye adalah merupakan suatu kegiatan yang di laksanakan dalam rangka
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Kampanye di
lakukan selama empat belas hari dan harus telah berakhir pada saat memasuki masa
tenang, yaitu tiga hari menjelang pemungutan suara di laksanakan.
Kampanye di selenggarakan oleh tim kampanye yang dibentuk oleh pasangan
calon bersama-sama partai politik yang mengusulkan pasangan calon. Tim kampanye
harus di daftarkan kepada KPUD, bersamaan dengan pendaftaran pasangan calon.
Kampanye di lakukan secara bersama-sama atau secra terpisah oleh pasangan calon atau
tim kampanye. Penanggung jawab kampanye adalah pasangan calon, dan dalam
pelaksanaannya pertanggung jawaban dilakukan oleh tim kampanye.
Bentuk kampanye sering dikategorikan antara monologis dan dialogis. Kampanye
monologis di identifikasikan sebagai paradigma lama dan dialogis sebagai paradigma
baru suatu kampanye. Bentuk-bentuk kampanye monologis dalam pemilihan kepala
daerah cukup dominan.87
Adapun bentuk kampanye dialogis adalah berupa tatap muka
dan dialog serta debat publik atau debat terbuka antar calon.88
Kampanye dalam komunikasi politik adalah semua kegiatan yang bertujuan untuk
memberikan informasi dalam bentuk citra tentang seseorang atau kebijakan (publik)
87 Bentuk-bentuk kampanye monologis adalah pertemuan yang sifatnya terbatas, penyebaran
melalui media cetak dan media elektronik, penyiaran melalui radio dan televisi, penyebaran bahan
kampanye kepada umum dan rapat umum. 88 Lihat Pasal 76 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah,
Kampanye dialogis ini adalah seperti kampanye yang sekarang diterapkan dalam pemilihan Presiden 2009-
20014.
75
tertentu yang disampaikan dengan tujuan untuk mempengaruhi calon pemilih untuk
mendukung kandidat atau kebijakan tertentu tersebut.89
Dalam kegiatan kampanye pasangan calon wajib menyampaikan visi, misi, dan
program secara lisan maupun tertulis kepada masyarakat. Penyampaian materi kampanye
di lakukan dengan cara yang sopan, tertib, dan bersifat edukatif. Untuk penyusunan
bahan kampanye, calon kepala daerah dan wakil kepala daerah berhak mendapatkan
informasi atau data dari Pemerintah Daerah, sesuai ketentuan perundang-undangan.
Selama masa kampanye,90
Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) membentuk
tim monitoring kegiatan-kegiatan kampanye, yang terdiri atas dua orang pegawai
sekretariat Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) untuk masing-masing pasangan
calon yang diterjunkan ke lapangan dan memantau langsung jalannya kegiatan kampanye
oleh kontestan pilkada. Namun, praktek yang terjadi di lapangan, para petugas
monitoring tersebut cenderung hanya memenuhi kewajiban minimal mereka dengan
mengisi form kosong yang di isi sekadarnya dan pengamatan yang di lakukan tidak
secara penuh dan menyeluruh. Dengan di isinya form kosong tersebut, petugas
monitoring kembali ke kantor atau ke tempat lain. Hal ini berakibat pada pengisian form
laporan monitoring kegiatan kampanye menggunakan laporan berulang (jiplakan).91
d. Pemungutan dan Perhitungan Suara
89 Effendi Gazali, “ Strategis Kampanye PILKADA”, ( Jakarta: Jurnal Pamong Praja, 2005), ed. 3.,
h. 79-79. 90 Kampanye pemilihan walikota dan wakil walikota Depok adalah kegiatan dalam rangka
meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program yang di lakukan dengan cara yang
sopan, tertib, dan bersifat edukatif atau mendidik. Lihat lampiran peraturan KPUD kota Depok No.8 Tahun 2005 tentang petunjuk teknis pelaksanaan kampanye dalam rangka pemilihan walikota dan wakil walikota
Depok Tahun 2005.
91 Lihat, Bundel laporan kegiatan kampanye hasil monitoring pegawai sekretariat KPUD Kota
Depok.
76
Tahapan yang paling menetukan dalam proses pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah, adalah tahapan pemungutan suara. Pemungutan suara dilakukan paling
lambat satu bulan sebelum masa jabatan kepala daerah berakhir. Pemungutan suara di
laksanakan pada hari libur atau hari yang di liburkan, pemungutan suara di lakukan
dengan cara memberikan melalui surat suara, yeng berisi nomor urut, foto, dan nama
pasangan calon. Jumlah surat suara dicetak sama dengan jumlah pemilih di tambah 2.5%
dari jumlah pemilih.92
Kejelasan status pemilih tergantung kondisi terdaftarnya ia dalam daftar pemilih
yang dalam kegiatan pemungutan suara menggunakan kartu pemilih selaku instrumen
penunjuk identitas. Dapat dipahami bahwa kata putus mengenai sah atau tidaknya
seorang warga yang memiliki hak pilih dalam kegiatan pemungutan suara , tergantung
muatan dalam daftar pemilihan umum, bukan di sertakan atau tidaknya kartu pemilih
yang berperan sebagai instrumen, terlebih Pasal 34 ayat (2) tidak menyebutkan sanksi
atau implikasi lain atas kelalaian dalam pelaksanaannya.
Pada hari dan tanggal pemungutan suara, Komisi Pemilihan Umum Daerah
(KPUD) melakukan pembagian tugas yang di laksnakan para anggota KPUD dan
pegawai sekretarian KPUD secara internal dan eksternal. Pembagian tugas internal
dengan komposisi personalia tertentu meliputi penyiapan ruang media center beserta
halaman kantor sekreteriat KPUD, dan publikasi hasil perhitungan sementara dengan
menggunakan teknologi informasi yang ada. Publikasi di dalam ruang media center
menggunakan proyektor LCD yang tampilan gambarnya di arahkan ke salah satu dinding
92 Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara
Langsung, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), Cetakan pertama, h. 84.
77
ruang (dinding dalam hal ini berfungsi sebagai pengganti layar) yang di peruntukan bagi
para tamu Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD).
Sementara bagi masyarakat umum, yang hendak mengikuti jalannya perkembangan
perhitungan suara disegenap tempat perhitungan suara secara real time dapat
menyaksikannya melalui layar televisi di halaman kantor sekretariat Komisi Pemilihan
Umum Daerah yang telah di sambungkan ke komputer pengolahan hasil perhitungan
suara.
Proses pemungutan suara pada pemilihgan kepala daerah kota Depok cukup
menarik perhatian dari berbagai kalangan. Beberapa pejabat yang terlihat adalah
sekretaris jenderal Departemen Dalam Negeri progo Nurjaman yang di dampingi oleh
Gubernur Jawa Barat Dani Setiawan, serta anggota komisi II DPR RI Ferry Mursidan
Baldan, di tempat lain, ada pula rombongan peninjau lain yang terdiri dari anggota KPU
Pusat Chusnul Mariyah, serta para anggota KPUD Banjar, Jepara, Sukabumi, Indramayu,
Bandung, dan kabupaten Subang.93
Apabila ada pemilih tuna netra, tuna daksa, atau yang mempunyai halangan fisik
lain pada saat pemberian suara, maka dapat di bantu petugas Kelompok Pelaksanaan
Pemungutan Suara (KPPS) atau orang lain atas permintaan pemilih yang bersangkutan.
Petugas KPPS atau orang lain yang membantu pemilih wajib merahasiakan pilihan
pemilih yang di bantunya. Mengenai ketentuan pemberian bantuan kepada pemilih,
sebagaimana di maksud di atas, lebih lanjut akan di atur dalam Peraturan Pemerintah.
93 Dalam kunjungan ini hanya di sambut oleh ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah Kota Depok
Dzulfadhli beserta staf dan sebagian pegawai sekretariatan KPUD, karena anggota KPUD yang lain beserta
sebagian pegawai sekretariat KPUD masih bertugas memonitoring terhadap pelaksanaan pemungutan suara
di sejumlah titik wilayah pemilihan.
78
Perhitungan suara harus di lakukan dan di selesaikan di Tempat Pemungutan Suara
(TPS) yang bersangkutan dan dapat dihadiri oleh sanksi pasangan calon, panitia
pengawas, pemantau dan warga masyarakat. Sanksi pasangan calon karus membawa
surat mandat dari tim kampanye yang bersangkutan dan menyerahkan kepada ketua
KPPS.
Penghitungan suara pasca pemilihan kepala daerah di Kota Depok berangsur kisruh,
Pendukung salah satu calon wali kota mendesak Komisi Pemilihan Umum Depok dan
Panitia Pemungutan Suara menghentikan proses penghitungan suara tersebut. Meski KPU
Depok harus melanjutkan proses penghitungan, para anggota Panitia Pemilihan
Kecamatan (PPK) menghentikan penghitungan karena diintimidasi sekelompok massa.94
Guna mencegah terjadinya kecurangan dalam bentuk manipulasi angka
perhitungan suara, perhitungan suara harus dilakukan dengan cara yang memungkinkan
saksi pasangan calon, panitia pengawas, pemantau dan warga masyarakat yang hadir
dapat menyaksikan dengan jelas proses perhitungan suara. Pasangan calon dan warga
masyarakat melalui pasangan calon yang hadir, dapat mengajukan keberetan terhadap
jalannya perhitungan suara oleh KPPS apabila terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika keberatan yang dilakukan oleh saksi
pasangan calon atau warga masyarakat dapat di terima, maka KPPS seketika itu juga
melakukan pembetulan.
Setelah selesai perhitungan suara, KPPS segera membuat berita acara dan sertifikat
hasil perhitungan suara yang ditanda tangani oleh ketua KPPS, dan dapat pula ikut
ditanda tangani oleh para saksi pasangan calon. Kemudian satu eksamplar salinan berita
94 http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel/politik/artikel_cetak, “Perhitungan suara pilkada Depok
kisruh” sumber: kompas, diakses pada 29 Juni 2009.
79
acara dan sertifikat hasil perhitungan suara, di berikan kepada masing-masing saksi
pasangan calon dan satu eksemplar lagi di tempel ditempat umum yang bisa dilihat oleh
warga masyarakat.
e. Penetapan Pasangan Calon, Pengesahan, dan Pelantikan
Berdasarkan berita acara dan sertifikat hasil perhitungan suara, KPU provinsi atau
KPU kabupaten kota, melalui rapat pleno menetapkan calon terpilih dengan ketentuan
sebagai berikut;
a. Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara
lebih dari 50% dari jumlah suara sah ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih;
b. Apabila tidak ada pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50% dari
jumlah suara sah, pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 25% dari
jumlah suara sah pasangan calon yang perolehan suaranya terbesar, di antara
yang memperoleh suara 25%, dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih;
c. Apabila terdapat lebih dari satu pasangan calon yang perolehan suaranya sama
dan di atas 25% dari suara sah, penentuan pasangan calon terpilih di lakukan
berdasarkan wilayah perolehan suara yang lebih luas.
Jika pasangan calon terpilih yang berhalangan tetap, partai politik yang pasangan
calonnya memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua di bawah pasangan calon
terpilih, mengusulkan pasangan calon kepada DPRD untuk di pilih menjadi kepala daerah
dan wakil kepala daerah selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari. Demikian
juga halnya dalam pemilihan kepala daerah sebagai pengganti wakil kepala daerah yang
berhalangan tetap harus di lakukan selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari.
80
Setelah pasangan calon terpilih di tetapkan oleh KPUD yang bersangkutan, di
teruskan ke DPRD untuk selanjutnya di usulkan kepada presiden melalui menteri dalam
negeri bagi pasangan calon guberbur dan wakil gubernur dan kepada menteri dalam
negeri melalui gubernur bagi pasangan calon bupati atau wali kota dan wakil wali kota,
untuk mendapatkan pengesahan dan pengangkatan.
Sebelum memangku jabatan, kepala daerah dan wakil kepala daerah di lantik
dengan mengucapkan sumpah atau janji yang di pandu oleh pejabat yang melantik
dengan sumpah atau janji sebagai berikut;
“Demi allah (Tuhan) saya bersumpah atau berjanji akan memenuhi kewajiban
saya sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah dengan sebaik-baiknya dan
nseadil-adilnya, memegang teguh Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-
lurusnya, serta berbakti kepada masyarakat, nusa dan bangsa.”
Dalam pelaksanaan perhitungan suara dan rekapitulasi finalnya hasil penetapan
pasangan calon oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Depok, telah ada
interupsi yang berasal dari tim pasangan calon Badrul Kamal dan Syihabuddin Ahmad
yang dinyatakan kalah dan di tetepkan sebagai pemenang urutan kedua oleh Komisi
Pemilihan Umum Daerah (KPUD) tersebut mempersoalkan tiga hal berkenaan dengan
perhitungan suara dan rekapitulasi yang telah dan tengah berlangsung.95
Pertama, rekapitulasi final terhadap perolehan suara yang tengah di laksanakan
oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Depok menjurus pada statusnya
yang ilegal mengingat rekapitulasi yang telah di lakukan oleh Panitia Pemungutan Suara
(PPS) dan Panitia pemilihan Kecamatan (PPK) se kota Depok dengan sujumlah
kecacatan di dalamnya. Kecacatan tersebut berkenaan dengan proses pemungutan suara.
95 Keterangan ini di peroleh dari kesaksian H.M.T. Hutoyo Gunardi sebagai saksi dari KPUD Kota
Depok dan saksi-saksi dari kubu Badrul kamal-Syihabuddin Ahmad; Lihat. Salinan Putusan Pengadilan
Tinggi (PT) Jawa Barat. Nomor 01/PILKADA/2005/PT.Bdg., h. 25.
81
Kedua, adanya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh tim kampanye
pasangan calon Nurmahmudi Ismail dan Yuyun Wirasaputra beserta pendukungnya
merupakan catatan tersendiri sehingga menjadikan pasangan calon ini diragukan
legitimasinya dan tidak layak ditetapkan sebagai pemenang dalam rekapitulasi dengan
perolehan suara dengan asumsi bahwa perolehan suaranya diwarnai kecurangan dan tidak
sah.
Ketiga, menganggap bahwa tidak selayaknya Komisi Pemilihan Umum Daerah
Kota Depok membuat berita acara dan rapat pleno dalam pembuatan surat keputusan
(SK) yang berisi rekapitulasi akhir dan penetapan pasangan calon Walikota dan wakil
Walikota terpilih tanpa melibatkan terlebih dulu pada pihak-pihak terkait, seperti Panitia
Pengawas pilkada (panwasda) kota Depok, DPRD kota Depok, dan KPUD Profinsi Jawa
Barat.
Gubernur dan wakil gubernur dilantik oleh menteri dalam negeri atas nama
presiden, sedangkan bupati atau wali kota dan wakil wali kota dilantik oleh gubernur atas
nama menteri dalam negeri. Pelantikan di maksud di laksanakan dalam rapat paripurna
DPRD.96
Tabel 1
Peroleha Suara Sah Para pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota Depok97
No.
Urut
Nama Calon Walikota dan Wakil
Walikota Depok
Jumlah Suara Final Prosentase
1. H. Abdul Wahab Abidin dan
M. Ilham Wijaya
32.461 6,13%
2. Drs. H. Harun Heryana dan
Drs. H. Farkhan A.R
23.859 4,50%
3. Drs. H. Badrul Kamal, M.M. dan 206.781 39,03%
96 Rozali Abdullah, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara
Langsung, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), Cetakan pertama, h. 98. 97 Rincian Perolehan sah di setiap kecamatan dapat di lihat dalam lampiran tabel 1.1.
82
K.H. Syihabuddin Ahmad
4. Drs. Yus Ruswandi dan
H. M. Soetandi Dipowongso, S.H
43.096 6,44%
5. Dr. Ir. H. Nurmahmudi Ismail dan
Drs. H. Yuyun Wirasaputra
232.610 43,90%
Sumber: SK KPUD Nomor18 Tahun 200598
Melihat hasil tersebut, sedikitnya terdapat 40 % (empat puluh persen) pemilih
terdaftar yang tidak ikut memilih. Menurut Andrinof Chaniago pengamat politik dari
Universitas Indonesia (UI), dengan persentase sebanyak itu, proses pilkada cenderung
hanya sebagai tontonan publik saja. Warga Depok belum mampu memaknai pilkada
sebagai proses pembuatan kebijakan publik yang akan berpengaruh langsung kepada
mereka sendiri.99
Semua alur penyampaian hasil penetapan Walikota dan Wakil Walikota terpilih
untuk kemudian dilaksanakan pelantikan terhadapnya, mengharuskan Komisi Pemilihan
Umum Daerah Kota Depok menempuh jalur melalui DPRD Kota Depok kepada menteri
dalam negeri melalui Gubernur Jawa Barat.100
Diikut sertakannya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Depok dalam
jalur penyampaian hasil pilkada ini membuka peluang terhadap keputusan penetapan
Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Depok yang masih berlangsung di
DPRD. Namun, terbitnya Surat Edaran Mentri Dalam Negeri (SE Mendagri) yang
menjelaskan mekanisme tersebut sedikit menepis kemungkinan tersebut.
98 Iberamsjah MS, SK KPUD No.18 tahun 2005, Pilkada Kota Depok Tahun 2005, (Depok:
Sekretariat Walikota Depok, 2006), h. 78.
99 Lihat http://www.kompas.com “Pilkada Depok dan sikap apatis”, diakses pada 8 November,
2006.
100 Pasal 99 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005. Lih. Pula ketentuan sebelumnya
yang terkait dalam pasal 87 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005.
83
Akhirnya pada hari tanggal 16 Juli 2005 melalui Surat Keputusan Komisi Pemilihan
Umum Daerah (SK KPUD) Nomor 18 Tahun 2005, ditetapkan bahwa Dr. Ir. H.
Nurmahmudi Ismail dan Drs. H. Yuyun Wirasaputra resmi menjadi Walikota dan Wakil
Walikota Depok yang baru.
Setelah melalui perjalanan panjang, bahkan Mahkamah Agung (MA) dan
Mahkamah Konstitusi (MK) sampai perlu untuk turun tangan dalam menyelesaikan kasus
ini, dan pada akhirnya Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Depok yang resmi
memenangkan Dr. Ir. H. Nurmahmudi Ismail dan Drs. H. Yuyun Wirasaputra resmi di
lantik menjadi Walikota dan Wakil Walikota Depok tepat tanggal 26 Januari 2006 dalam
sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyar Daerah (DPRD) Kota Depok.
84
BAB IV
ANALISA PUTUSAN PERKARA NOMOR 002/SKLN-IV/2006 MENGENAI
PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN KEPALA DAERAH KOTA DEPOK
A. Duduk Perkara Sengketa PILKADA Depok
1. Kasus Posisi
Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Depok pada tanggal 16 Juli 2005
telah menetapkan hasil pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Depok dalam keputusan
KPU Kota Depok Nomor 18 Tahun 2005 tentang penetapan pasangan calon terpilih
Walikota dan Wakil Walikota Depok dalam Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) Kota
Depok tahun 2005, yang menyatakan pasangan calon Dr. Ir. H. Nurmahmudi Ismail,
M.Sc dengan Drs. H. Yuyun Wirasaputra dengan Nomor urut calon 5 sebagai calon
terpilih.
Keputusan tersebut didasarkan pada hasil perolehan suara setiap pasangan calon
sebagaimana dinyatakan dalam keputusan KPUD Kota Depok Nomor 18 Tahun 2005
tentang penetapan dan pengumuman rekapitulasi hasil perhitungan suara pemilihan
Walikota dan Wakil Walikota Depok 2005. Hasil perolehan suara yang telah di tetapkan
tersebut yaitu:
No.
Urut
Nama Calon Walikota dan Wakil
Walikota Depok
Jumlah Suara Final Prosentase
1. H. Abdul Wahab Abidin dan
M. Ilham Wijaya
32.461 6,13%
2. Drs. H. Harun Heryana dan
Drs. H. Farkhan A.R
23.859 4,50%
3. Drs. H. Badrul Kamal, M.M. dan
K.H. Syihabuddin Ahmad
206.781 39,03%
4. Drs. Yus Ruswandi dan
H. M. Soetandi Dipowongso, S.H
43.096 6,44%
85
5. Dr. Ir. H. Nurmahmudi Ismail dan
Drs. H. Yuyun Wirasaputra
232.610 43,90%
Dari hasil perolehan suara tersebut bahwa pasangan calon Nomor 3, Drs. H. Badrul
Kamal, MM dengan KH. Syihabuddin Ahmad, BA, tidak dapat menerima hasil yang
telah ditetapkan oleh KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) Kota Depok, dan
mengajukan permohonan keberatan kepada Pengadilan Tinggi Bandung melalui
Pengadilan Negeri Cibinong. Permohonan di terima dan di registrasi oleh Pengadilan
Tinggi Bandung pada tanggal 12 Juli 2005 dengan Nomor Perkara 01/PILKADA/2005
PT. Bdg.
Pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota peserta Pemilihan Kepala Daerah
Kota Depok Tahun 2005 yang telah divonis menang oleh Pengadilan Tinggi Jawa Barat
di Bandung dalam putusan Nomor 01/PILKADA/2005/PT. Bgd. Berdasarkan undang-
undang Nomor 32 Tahun 2004, khususnya pasal 106 yang menyatakan vonis Pengadilan
Tinggi final dan mengikat. Dan di dalam penjelasan ayat (7) dinyatakan final dan
mengikat, berarti tidak ada lagi upaya hukum perlawanan terhadap vonis itu.101
Oleh karena pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota Depok pasangan Badrul
Kamal dan Syihabuddin Ahmad merasa bahwa putusan Pengadilan Tinggi Bandung
tersebut bersifat final, dan merasa bahwa dialah yang memenangkan dalam pemilihan
kepala daerah tersebut. Maka, Komisi Pemilihan Umum Daerah merasa keberatan dan
telah mengajukan keberatan ke Mahkamah Agung dengan putusan Nomor 01
PK/Pilkada/2005.
101 Mahkamah Konstitusi, Putusan perkara Nomor 001/PUU-IV/2006, “ Pengujian Undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945” (Jakarta: Mahakamah Konstitusi, 2006), h. 3.
86
Pasangan calon Nomor 3 (tiga) atas nama Badrul Kamal dan Syihabuddin Ahmad
merasa keberatan dengan putusan Mahakamah Agung Nomor 01 PK/Pilkada/2005
tersebut, oleh karena putusan Nomor 01 PK/Pilkada/2005 bertentangan dengan Undang-
undang Nomor 32 Tahun 2004 jo. Petaruran Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 jo.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2005.
Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004102
tersebut telah di atur secara tegas
dalam ayat (6) yang menyatakan;
“Mahkamah Agung dalam melaksanakan kewenangannya sebagaimana di maksud pada
ayat (1) dapat mendelegasikan kepada Pengadilan Tinggi untuk memutus sengketa hasil
perhitungan suara pemilihan kepala daerah kabupaten dan kota”. Selanjutnya dalam
ayat (7) menyatakan “Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana di maksud pada ayat (6)
bersifat final”.
Penjelasan ayat (7) menyatakan;
“Putusan Pengadilan Tinggi yang bersifat final103
dalam ketentuan ini adalah Putusan
Pengadilan tinggi yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan tidak bisa lagi di
tempuh upaya hukum”.
Hal ini dipertegas lagi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 pada Pasal 94
ayat (7) yang berbunyi “Putusan Pengadilan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
bersifat final dan mengikat.
Bahwa dengan dikeluarkannya putusan Mahkamah Agung Nomor 01
PK/Pilkada/2005 yang membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat di Bandung
Nomor 01/Pilkada/2005/PT.Bdg., maka pasangan calon nomor urut 3 merasa sangat
dirugikan sebagai pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota yang seharusnya sudah
dilantik jadi Walikota dan Wakil Walikota Depok setelah di menangkan oleh Pengadilan
102 Indonesia, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 106 Ayat 6 dan 7.
103 Bersifat final yaitu tidak bisa lagi ditempuh upaya hukum.
87
Tinggi Jawa Barat. Karena dengan di keluarkannya putusan Mahkamah Agung Nomor 01
PK/Pilkada/2005 yang membatalkan putusan Pengadilan Tinggi yang sudah bersifat final
dan mengikat tersebut, maka beralasan tidak dapat diterima (quod non) jika pasangan
Badrul Kamal dan Syihabuddin Ahmad tidak jadi dilantik.104
Berikut adalah duduk
perkara dari perselisihan hasil sengketa Pemilihan Kepala Daerah Kota Depok Tahun
2005;
a. Gugatan Pasangan Badrul Kamal-Syihabuddin Ahmad Terhadap KPUD
Depok ke Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Barat
Pengadilan Tinggi105
Jawa Barat di Bandung sebagai lembaga yang memeriksa dan
mengadili perkara106
permohonan keberatan dalam tingkat pertama dan terakhir.
Permohonan keberatan yang diajukan ke Pengadilan Tinggi Bandung adalah didasari
pada hasil prolehan suara sebagaimana dinyatakan dalam keputusan Komisi Pemilihan
Umum Kota Depok Nomor 17 Tahun 2005 tentang penetapan dan pengumuman
rekapitulasi hasil perhitungan suara pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Depok.
Pasangan calon Walikota atau Wakil Walikota Depok peserta Pemilihan Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah Depok Tahun 2005 yang terdaftar di Komisi Pemilihan
Umum Daerah Kota Depok yaitu pasangan Nomor urut 3 (tiga)107
, tentang penetapan
104 Mahkamah Konstitusi, Putusan perkara Nomor 001/PUU-IV/2006, “ Pengujian Undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945” (Jakarta: Mahakamah Konstitusi, 2006), h. 4 105 Pengadilan Tinggi merupakan sebuah lembaga peradilan dilingkungan Peradilan Umum yang
berkedudukan di ibu kota Provinsi sebagai Pengadilan Tingkat Banding terhadap perkara-perkara yang
diputus oleh Pengadilan Negeri. 106 Kepaniteraan Pengadilan Tinggi Bandung Jawa Barat terdaftar di bawah register Nomor:
01/Pilkada/2005/PT.Bdg. melalui Pengadilan Negeri Cibinong. 107 Pemohon yaitu pasangan Badrul Kamal dan Syihabuddin Ahmad merasa keberatan terhadap
penetapan Komisi Pemilihan Umum Kota Depok Nomor 18 Tahun 2005, tanggal 16 Juli 2005. tentang
penetapan calon terpilih Walikota dan Wakil Walikota Depok Tahun 2005.
88
pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota 2005. Hasil perolehan suara yang telah
ditetapkan tersebut telah memenangkan pasangan calon Nurmahmudi Ismail.108
Pasangan nomor urut 3 berpendapat bahwa hasil perhitungan suara tersebut terdapat
kesalahan, sehingga merugikan pemohon yang mengakibatkan tidak masuk sebagai
pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota terpilih. Oleh karenanya, pasangan Badrul
Kamal dan Syihabuddin Ahmad melalui kuasa hukumnya menggugat keberatan tersebut
ke Pengadilan Tinggi Bandung agar memeriksa dan memutus.
Pemohon berpendapat bahwa hasil perhitungan suara yang benar untuk perolehan
suara pemohon adalah sebanyak 269.531 suara, dan perolehan suara untuk calon nomor
5 (lima) atas nama Nurmahmudi Ismail dan Yuyun Wirasaputra adalah sebanyak 195.353
suara, sehingga pemohonan menempati urutan pertama dalam perolehan suara pada
pemilihan kepala daerah Kota Depok. Pemohon mendapatka pernyataan dari masyarakat
yang menyatakan bahwa terdapat penggelembungan jumlah pemilih sebanyak 9.471
untuk calon nomor 5 (lima).
Dengan kejadian tersebut di atas maka pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah tidak dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur dan adil. Sebagai akbat dari kecurangan seperti tersebut diatas, maka di
tetapkan hasil perhitungan suara yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya
sebagaimana tertera dalam penetapan keputusan Komisi Pemilihan Umum Daerah Kota
Depok.
Permohonan yang di ajukan ke Pengadilan Tinggi Bandung bukanlah semata-mata
tertuju untuk kemenangan salah satu calon atau hanya dengan hasil akhir terpilihnya
108 Lihat Tabel 1 pada bab II tentang Perolehan Suara Sah Para pasangan Calon Walikota dan
Wakil Walikota Depok, h. 49.
89
seorang Walikota dan Wakil Walikota. akan tetapi, jauh lebih dalam maknanya dari pada
itu, yaitu membangun tatanan demokrasi yang akan mempengaruhi pembentukan
karakter bangsa (Nation Character Building) dan membangun tatanan pemerintahan yang
baik dan bersih (Good ang clean Governance).
Maka berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, pemohon mohon kepada
Pengadilan tinggi Bandung untuk menjatuhkan putusan sebagai berikut;
1. Mengabulkan permohonan pemohon;
2. Menyatakan batal atas jeputusan Komisi Pemilihan Umum Daerah Kota Depok
Nomor 18 tahun 2005 tentang penetapan hasil perhitungan suara untuk pasangan
Walikota dan Wakil Walikota Depok;
3. Menetapkan hasil perhitungan suara yang benar untuk calon nomor urut 3 atas
nama Badrul Kamal dan Syihabuddin Ahmad dengan jumlah perolehan suara 269.
531 suara, atau jika Pengadilan Tinggi berpebdapat lain, mohon di nyatakan
pasangan calon dengan nomor urut 5 di nyatakan tidak memenuhi syarat atau
diskualifikasi.
Adapun tentang hukumnya yang diajukan pemohon (Badrul Kamal dan
Syihabuddin Ahmad), adalah bahwa Majelis Pengadilan Tinggi berpendapat, karena yang
diperiksa sesuai dengan wewenang Mahkamah Agung atau Pengadilan Tinggi109
, maka
hanya memeriksa berkenaan dengan hasil akhir perhitungan suara yang mempengaruhi
terpilihnya pasangan calon, bukan tentang pelanggaran-pelanggaran dalam pelaksanaan
Pilkada, maka tidak merupakan keharusan untuk menarik pihak panwasda sebagai pihak,
oleh karena itu maka eksepsi ini pun harus dinyatakan di tolak.
109 Pasal 3 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2005.
90
Bahwa Majelis Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Jawa Barat yang dibentuk
berdasarkan penetapan ketua Pengadilan Tinggi Jawa Barat yang mulai menyidangkan
perkara Nomor 01/Pilkada/2005/PT.Bdg., yang berdasarkan pasal 3 ayat (1) dari
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2005, hanya berwenang memeriksa
perselisihan atas perbedaan hasil akhir perhitungan suara yang di umumkan oleh KPUD
dengan hasil perhitungan yang dilakukan oleh pemohon, dimana perbedaan perhitungan
tersebut harus dibuktikan oleh pemohon baik panggembosan, maupun penggelembungan
(mark up) jumlah pemilih.
Oleh karena pemohon merasa terdapat kecurangan ataupun kesalahan dalam hal
penetapan jumlah pemilih, maka Badrul Kamal telah mengemukakan bukti-bukti di
dalam persidangan. Pertama, masalah adanya daftar pemilih yang tidak memenuhi syarat
dalam pemilihan, seperti warga yang hanya mengontrak atau kos dipaksa untuk memilih
pasangan calon nomor urut 5. Kedua, terdapat laporan pada Polres Depok yaitu adanya
pemalsuan dokumen kartu pemilih dan telah terjadi politik uang (money politic). Ketiga,
diakui oleh beberapa warga pendukung pasangan nomor urut 3, bahwa telah dihalang-
halangi untuk menggunakan hak pilihnya.110
Dengan kejadian tersebut di atas, hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat beralasan
bahwa dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak di laksanakan secara
demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Demi
tegaknya dan berlangsungnya pilkada yang demokratis, maka calon yang tidak mematuhi
aturan main dan melanggar aturan, tidak layak menjadi pemimpin sebagai panutan
masyarakat. Karena di dalam proses pemilihan terdapat kesalahan aparatur pelaksana
110 Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 01/PILKADA/2005/PT.B.dg, h. 9.
91
pemilihan walikota dan wakil walikota, oleh karenanya harus dinyatakan gugur demi
hukum atau diskualifikasi.
Menimbang bahwa benar terdapat penggembosan suara untuk pasangan nomor urut
3 sudah terbukti sejumlah 62.770 suara, dan jumlah penggelembungan untuk pasangan
nomor urut 5 adalah 27.782 suara. Maka majelis berpendapat bahwa perolehan suara
yang benar untuk pasangan nomor urut 3 adalah 269.551 suara sedangkan untuk nomor
urut 5 adalah 204.828 suara, oleh karena permohonan pemohon cukup terbukti 111
dan
permohonan dapat dikabulkan.
Pengadilan Tinggi Bandung pada putusannya MENGADILI bahwa menolak
eksepsi termohon112
, mengabulakan permohonan dari pemohon113
, menyatakan batal
akan hasil perhitungan suara akhir yang di umumkan oleh KPUD Depok tanggal 6 Juli
2005, menyatakan jumlah perhitungan suara yang benar adalah; untuk pasangan calon
nomor 3 perolehan suara menjadi 269.551 suara, dan untuk calon pasangan nomor 5
perolehan suara menjadi 204.828 suara.
b. Permohonan Peninjauan Kembali (PK) KPUD Depok atas Putusan Pengadilan
Tinggi (PT) Jawa Barat kepada Mahkamah Agung
1.Dasar hukum Pengajuan Peninjauan Kembali (PK)
a. Dasar Filosofis
Bahwa pemohon Peninjauan Kembali sangat keberatan dan tidak dapat menereima
putusan a quo, karena di dalamnya terdapat kekeliruan yang nyata yang melanggar asas-
111 Berdasarkan alasan tersebut, oleh karenanya hakim majelis Pengadilan Tinggi Bandung Jawa
Barat telah terjadi kekeliruan dalam putusannya.
112 Termohon adalah Komisi Pemilihan Umum Kota Depok dalam eksepsi tertulis yang di ajukan
kepada hakim Pengadilan Tinggi melalui kuasa hukumnya, pada tanggal 21 Juli 2005.
113 Pemohon adalah pasangan Drs. H. Badrul Kamal, MM dan KH. Syihabuddin Ahmad, BA.
Dalam putusan Nomor 01?Pilkada/2005/Pt.Bdg
92
asas terpenting dalam penyelenggaraan Pilkada dan pemilu pada umumnya. Jika putusan
seperti itu dibenarkan dan menjadi preseden, maka bukan hanya Pilkada di Kota Depok
yang akan dicederai, melainkan juga akan mengancam kepastian bagi setiap
penyelenggara Pilkada di seluruh Indonesia.
Adalah berlebihan bilamana terdapat Putusan Pengadilan Tinggi Bandung tersebut
di tafsirkan sebagai upaya hukum terakhir yang menutup koreksi, karena bertentangan
dengan doktrin yang berlaku umum, yaitu tujuan hukum adalah keadilan.
b. Legalitas Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK) atau Dasar Yuridis
Sebagaimana diketahui ketentuan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945,
yang menyatakan;
“ Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakan hukum dan keadilan”114
Ketentuan tersebut di atas dengan jelas menegaskan bahwa penyelenggaraan
peradilan berfungsi untuk menegakan hukum dan keadilan. Penyelenggaraan peradilan
yang justru menimbulkan keadaan yang sebaliknya, yaitu diabaikannya hukum dan
dilecehkannya rasa keadilan merupakan hal yang sangat tidak di harapkan, namun hal itu
praktis mungkin saja terjadi. Oleh karena itu, hukum dan perundang-undangan
menyediakan lembaga korektif115
untuk meluruskan kembali putusan-putusan badan
peradilan yang bertentangan dengan hukum dan keadilan.
Penggunaan upaya korektif (upaya hukum peninjauan kembali) ini tidak terbatas
terhadap putusan-putusan yang belum mempunyai hukum tetap, melainkan dalam hal-hal
yang sangat terbatas. Dapat pula diajukan terhadap putusan-putusan yang telah
114 Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara republik Indonesia 1945, Pasal 24 ayat (1).
115 Lembaga Korektif dalam hal ini adalah Mahkamah Agung.
93
berkekuatan hukum tetap. Hal ini ditegaskan dalam ketentuan pasal 23 ayat (1) Undang-
undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan kehakiman yang menyatakan116
;
“Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pihak-
pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah
Agung. Apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang di tentukan dalam Undang-
undang.”
Peninjauan Kembali merupakan upaya hukum luar biasa yang dapat dan terkadang
perlu di gunakan untuk melakukan koreksi terhadap putusan-putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap. Ketentuan di atas merupakan ketentuan umum yang berlaku
bagi setiap jenis perkara. Pengecualian atas ketentuan umum ini harus di dasarkan pada
norma yang jelas, tegas dan tidak memuat keraguan.117
Mengenai kekeliruan Pengadilan Tinggi Bandung dalam mengadili sengketa
pemilihan kepala daerah (pilkada) Depok, yaitu berdasarkan penerapan ketentuan pasal
106 ayat (1)jo ayat (2) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 jo. Pasal 94 ayat (1) jo.
Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 jo. Pasal 3 ayat (1) Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2005. yang menegaskan bahwa ketentuan pasal 106
ayat (1) jo. Ayat (2) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, yang menyatakan;
“(1) keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah hanya dapat di ajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam
waktu paling lama 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah. (2) Keberatan sebagaimana di maksud pada ayat (1) hanya
berkenaan dengan hasil perhitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan
calon.118
116 Kekuasaan kehakiman, Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
Pasal 23 ayat (1). 117 Mahkamah Konstitusi, Putusan perkara Nomor 001/PUU-IV/2006, “ Pengujian Undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945” (Jakarta: Mahakamah Konstitusi, 2006), h. 14 118 Pasal 106 Ayat (1) jo. Ayat (2) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah
94
Kemudian ketentuan pasal 94 ayat (1) jo. Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 6
Tahun 2005 di nyatakan;
“Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan hanya dapt di ajukan oleh pasangan
calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah
penetapan hasil pemilihan. Keberatan sebagaimana di maksud pada ayat (1) hanya
berkenaan dengan hasil perhitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan
calon”.119
Selanjutnya di dalam ketentuan pasal 3 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 2 Tahun 2005, di nyatakan secara tegas;
“(1) Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah (Pilkada) dan wakil
kepala daerah propinsi atau kabupaten kota hanya dapat di ajukan berkenaan dengan
hasil perhitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon”.120
Mengartikan upaya hukum dalam penjelasan pasal 106 ayat (7) Undang-undang
Nomor 32 tahun 2004 dalam arti luas sehingga tercakup ke dalamnya upaya hukum luar
biasa, yang berarti menutup peluang dilakukannya upaya korektif terhadap putusan
pengadilan. Membatasi kemungkinan pengajuan Peninjauan Kembali untuk sengketa
yang menyangkut kepentingan publik dan hak politik rakyat serta proses demokrasi di
sebuah daerah seperti halnya kota Depok dengan memaksakan interpretasi tertentu atas
makna penjelasan satu ketentuan undang-undang.
Argumentasi tersebut di atas, secara sistematik didasarkan pada ketentuan pasal 21
jo. Pasal 22 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman sebagai
payung hukum sistem peradilan di Indonesia di anut proses pemeriksaan perkara dengan
3 (tiga) tingkatan, masing-masing yaitu tingkat pertama, tingkat banding, dan tingkat
kasasi, kesemuanya di kualifikasikan sebagai upaya hukum biasa, yang billamana telah
119 Pasal 94 Ayat (1) jo. Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2005
120 Pasal 3 Ayat (1), Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2005.
95
sampai pada putusan kasasi atau para pihak tidak mengajukan upaya hukum selanjutnya,
maka dikualifikasi sebagai putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap
atau final ( in kracht van gewedsjede).121
Bahwa dengan demikian, makna upaya hukum dalam ketentuan pasal 106 ayat (7)
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 haruslah di tafsirkan secara sistematis sebagai
upaya hukum biasa, artinya terhadap Putusan Pengadilan Tinggi tersebut hanya tertutup
untuk upaya banding maupun kasasi. Konsekuensi hukumnya, maka terhadap putusan a
quo masih terbuka untuk diuji melalui upaya hukum luar biasa in casu peninjauan
Kembali. Sebagaimana dinyatakan secara tegas dalam ketentuan Pasal 23 ayat (1)
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dengan demikian alasan hukum yang diajukan tersebut di atas mempunyai alasan
hukum yang sah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagaimana
telah dengan tepat di pertimbangkan oleh Majelis Hakim dalam perkara nomor 01
PK/PILKADA/2005 dalam putusannya122
.
Bahwa dengan demikian dalil pemohon123
seolah-olah terhadap putusan Pengadilan
Tinggi Bandung Nomor 01/PILKADA/2005/PT.Bdg., sudah bersifat final dan tidak ada
121 Mahkamah Konstitusi, Putusan perkara Nomor 001/PUU-IV/2006, “ Pengujian Undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945” (Jakarta: Mahakamah Konstitusi, 2006), h.15. 122 Putusan Nomor 01 PK/PILKADA/2005 hal. 16 Nomor 6 “ Bahwa Mahkamah Agung
berpendapat putusan yang bersifat final dan mengikat sebagaimana di maksud dalam pasal 106 ayat (5)
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Pasal 94 ayat (7) PP Nomor 6 Tahun 2005 dan Pasal 4 ayat (6)
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2005 dapat di tafsirkan sebagai putusan
Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sebagaimana di maksud dalam pasal 342 HIR, sehingga oleh
karena itu untuk menjaga supaya hukum di laksanakan secara wajar tepat dan adil., adalah beralasan
menurut hukum apabila di beri kesempatan kepada pihak yang keberatan tergadap putusan Mahkamah
Agung atau putusan Pengadilan Tinggi dalam kedudukannya sebagai penerima delegasi dari Mahkamah
Agung untuk dapat mengajukan permohonan Peninjauan Kembali sesuai dengan Pasal 34 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 jo. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang perubahan atas Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. ”.
123 Pemohon adalah Komisi Pemilihan Umum Kota Depok terhadap putusan Pengadilan Tinggi
bandung tertanggal 04 Agustus 2005.
96
upaya hukum lain, dan seolah-olah putusan Mahkamah Agung di dalam perkara Nomor
01 PK/PILKADA/2005 telah melanggar peraturan perundang-undanganyang berlaku,
termasuk peraturan yang di buatnya sendiri, in casu peraturan Mahkamah Agung Nomor
2 Tahun 2005 adalah keliru dan tidak berdasar, sehingga karenanya adalah beralasan
hukum untuk di tolak setidak-tidaknya dikesampingkan.
Apabila terdapat keberatan terhadap penitipan hasil pemilihan kepala daerah,
keberatan tersebut dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung, dalam
waktu paling lambat tiga hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah. Keberatan
yang dapat diajukan kepada Mahkamah Agung hanya berkenaan dengan hasil
perhitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon. Pengajuan keberatan
kepada Mahkamah Agung disampaikan melalui Pengadilan Tinggi untuk pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi dan kepada Pengadilan Negeri untuk
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupten atau kota.
Berdasarkan surat putusan Nomor 01/PILKADA/2005 yang diajukan oleh Komisi
Pemilihan Umum Kota Depok (Pemohon PK)124
melawan Badrul Kamal dan
Syihabuddin Ahmad (Termohon PK) terhadap putusan Pengadilan Tinggi Bandung yang
telah berkekuatan hukum tetap. Dengan ini pemohon keberatan hasil pilkaka dengan
duduk perkara seperti di atas pada pengajuan yang dilakukan oleh Badrul Kamal dan
Syihabuddin Ahmad ke Pengadilan Tinggi Bandung.
124 Pemohon adalah pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota Depok peserta Pemilihan
Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah Kota Depok Tahun 2005 yang terdaftar di KPUD Kota Depok
97
Bahwa sesudah putusan yang bersifat final dan mengikat tersebut125
, pemohon
Peninjauan Kembali (PK) yang semula adalah termohon telah mengajukan permohonan
Peninjauan Kembali secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Tinggi tanggal 16
Agustus 2005 Nomor 01/Pilkada/2005/PT.Bdg. Kemudian disusul dengan memori
alasan-alasannya yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut pada hari
yang bersamaan.
Terlebih dahulu akan dipertimbangkan apakah terhadap putusan Pengadilan Tinggi
dalam perkara sengketa Pilkada sebagai penerima delegasi dari Mahkamah Agung dapat
diajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, sebagaimana diatur dalam pasal 34 Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1985 jo. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004, mengingat
putusan a quo bersifat final dan mengikat.
Hakim Mahkamah Agung menimbang sehubungan dengan alasan tersebut; bahwa
dalam hubungan ini tidak berkelebihan untuk dikemukakan terlebih dahulu bahwa Pasal
16 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan
bahwa;
“Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara yang dia ajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”126
Sedangkan pasal 28 ayat (1) Undang-undang tersebut menentukan;
“Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat”
125 Dalam hal ini Putusan Pengadilan Tinggi Bandung tanggal 4 Agustus 2005 Nomor
01/Pilkada/2005/PT.Bdg. 126 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan kehakiman Pasal 16.
98
Dan pasal 79 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 jo. Undang-undang Nomor 5 Tahun
2004 Tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung.
“Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang di perlukan bagi
kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup di
atur dalam undang-undang ini”.
Bahwa Mahkamah Agung berpendapat putusan yang bersifat final dan mengikat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat 5 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 94 ayat 7, Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun
2005 dan pasal 4 ayat 6 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2005 dapat
ditafsirkan sebagai putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sebagaimana
dimaksud dalam pasal 342 HIR, sehingga oleh karena itu untuk menjaga hukum di
laksanakan secara wajar tepat dan adil, adalah beralasan menurut hukum.127
Dengan demikian, dalil permohonan pemohon atau termohon Peninjauan Kembali,
baik tentang penggembosan maupun penggelembungan suara merupakan dalil yang
secara hukum tidak mungkin dibuktikan di muka sidang Hakim Mahkmah Agung, oleh
karena kebenaran ataupun ketidak benaran dalil tersebut berada di luar jangkauan
kewenangan Hakim untuk menilainya.
Mahkamah Agung dalam putusannya Nomor 01 PK/PILKADA/2005 yang di
ajukan oleh pemohon Peninjauan Kembali (KPUD Kota Depok) melawan Badrul Kamal
dan Syihabuddin Ahmad atas putusan Pengadilan Tinggi ke Mahkamah Agung. Bahwa
tentang keberatan yang diajukan pemohon, Mahkamah Agung berpendapat dapat di
127 Yaitu Apabila di berikan kesempatan kepada pihak yang keberatan terhadap putusan Mahkamah
Agung, atau putusan Pengadilan Tinggi dalam kedudukannya sebagai penerima delegasi dari Mahkamah
Agung untuk dapat mengajukan permohonan Peninjauan Kembali sesuai dengan pasal 34 Undang-undang
Nomor 14 tahun 1985 jo. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang perubahan atas Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
99
benarkan, karena Pengadilan Tinggi telah melakukan kekeliruan dalam menerapkan
hukum, berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:
1. Bahwa yang menjadi wewenang Mahkamah Agung atau Pengadilan Tinggi sebagai
penerima delegasi Mahkamah Agung dalam memeriksa dan mengadili sengketa
Pilkada adalah hanya terhadap penetapan hasil pemilihan Kepala daerah dan Wakil
Kepala Daerah propinsi atau kabupaten kota yang berkenaan dengan hasil
perhitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.128
2. Konsekuensi diajukan keberatan dalam sengketa hasil Pilkada tersebut adalah
kewajiban dari pemohon untuk membuktikan adanya kehilangan suara pemohon
yang dapat mempengaruhi terpilihnya pasangan termohon, yang tentunya
pembuktian tersebut harus berdasarkan alat bukti yang sah menurut hukum acara
perdata,129
bukan berdasarkan pada dugaan atau asumsi yang tidak dapat merupakan
alat bukti yang sempurna. Untuk pembuktian yang dapat di akui secara yuridis,
misalnya dengan membandingkan formulir hasil rekapitulasi suara yang di miliki
oleh para saksi pasangan calon.
3. Alat bukti yang diajukan oleh termohon Peninjauan Kembali menurut pendapat
Mahkamah Agung selain tidak ada yang dapat mempengaruhi penetapan hasil
perhitungan suara yang signifikan yang dapat mempengaruhi penetapan hasil
perhitungan suara tahap akhir dari Komisi pemilihan Umum Daerah (KPUD)
tentang Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kota Depok, lagi pula
alat bukti tersebut hanya berkenaan dengan teknis dalm penyelenggaraan pemilihan,
128 Lihat Pasal 106 ayat (2) Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 jo. Pasal 94 ayat 2 PP Nomor 6
Tahun 2005 dan Pasal 2 PERMA Nomor 02 Tahun 2005.
129 Pasal 164 HIR menentukan alat bukti yang sah adalah surat, bukti saksi, sangkaan, pengakuan
dan sumpah.
100
yang untuk memeriksa dan memutusnya bukan menjadi wewenang Mahkamah
Agung maupun Pengadilan Tinggi sebagai penerima delegasi wewenang untuk
memeriksa dan mengadili sengketa Pilkada.
Dalam putusan Hakim Mahkamah Agung Nomor 01 PK/PILKADA/2005,
berdasarkan pertimbangan dari bukti-bukti yang ada atas pertimbangannya, tanpa
mempertimbangkan keberatan atau alasan Peninjauan Kembali selebihnya, menurut
pendapat Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan
Peninjauan Kembali yang dilakukan oleh pemohon, yaitu adalah KOMISI PEMILIHAN
UMUM KOTA DEPOK dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Bandung tanggal 4
Agustus 2005 Nomor 01/Pilkada/2005/PT.Bdg. dan sekaligus membatalkan keberatan
dari permohonan pemohon keberatan Pilkada Depok, yaitu Drs. H. Badrul Kamal, MM
dan KH. Syihabuddin Ahmad, BA.Serta Mahkamah Agung akan mengadili kembali
perkara ini dengan amar, membatalkan keberatan dari permohonan pemohon keberatan
Pilkada Depok, yaitu Drs. H. Badrul Kamal, MM dan KH. Syihabuddin Ahmad, BA.
B. Proses Penyelesaian Akhir Sengketa Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA)
Depok di Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi dalam salah satu kewenangannya adalah memutus sengketa
kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar 1945. Oleh karena itu, dalam putusan perkara Nomor 002/SKLN-IV/2006 terkait
sengketa kewenangan lembaga negara yang diajukan oleh Badrul Kamal dan
Syihabuddin Ahmad (pemohon) terhadap Komisi Pemilihan Umum Daerah Kota Depok
(Termohon).
101
Pemohon telah mengajukan permohonan sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya di berikan terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
Tahun 1945. dalam hal ini pemohon atas nama Badrul Kamal dan Syihabuddin Ahmad
adalah pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota peserta pemilihan kepala daerah
Kota Depok Tahun 2005 yang telah di vonnis menang atau terpilih oleh Pengadilan
Tinggi Jawa Barat di Bandung dalam putusan nomor 01/Pilkada/2005/PT.Bdg.
berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 khususnya pasal 106 ayat (7) yang
menyatakan vonnis Pengadilan Tinggi final.
Oleh karena telah diputuskan memperoleh suara terbanyak atau terpilih oleh
Pengadilan Tinggi Jawa Barat, maka pemohon menang dan terpilih dalam pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam hal ini Walikota dan Wakil Walikota
Depok, sehingga pemohon dapat dikategorikan sebagai Lembaga Negara (Pemerintahan
Daerah).130
Adapun kedudukan termohon (KPUD Kota Depok) selaku penyelenggara
pemilihan kepala daerah yang diberi tugas secara khusus131
dan mempunyai kewenangan
serta kewajiban yang telah diatur secara tegas dalam Pasal 5 dan 6 Peraturan Pemerintah
Nomor 6 Tahun 2005, sehingga Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) telah
melaksanakan sebuah tugas Lembaga Negara yaitu Pemilihan Kepala Daerah secara
demokratis sesuai amanat Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu,
Komisi Pemilihan Umum Daerah Kota Depok yang dalam menjalankan perintah
130 Pasal 61 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi atau
“yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang di persengketakan”
131 Berdasarkan Pasal 57 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah sebagai pelaksanaan Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945
102
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 57 dapat
dikategorikan sebagai Lembaga Negara.
Dengan demikian, pemohon berhak mengajukan Komisi Pemilihan Umum Daerah
(KPUD) sebagai “termohon” untuk penyelesaian Sengketa Kewenangan Lembaga
Negara kepada Mahkamah Konstitusi sesuai dengan pasal 30 huruf (b) Undang-undang
Nomor 24 Tahun 2003. Pemohon keberatan terhadap putusan Mahkamah Agung Nomor
01 PK/Pilkada/2005 tersebut, oleh karena putusan Mahkamah Agung Nomor 01
PK/Pilkada 2005 dikeluarkan berdasarkan surat yang diberi judul: Memori Peninjauan
Kembali132
oleh KPUD (Termohon) yang tidak di kenal dan bertentangan dengan
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, jo. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005,
jo. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2005.
Bahwa berdasarkan pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 jo. Pasal
57 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 jo pasal 18 ayat (1) Undang-Undang
dasar 1945, tidak ada wewenang ataupun tugas KPUD (termohon) untuk mengajukan
permohonan Peninjauan Kembali atas suatu putusan pengadilan yang bersifat final dan
mengikat, sebagaimana layaknya kejaksaan yang berfungsi sebagai pengacara negara,
atau seperti salah satu pihak yang berkepentingan langsung terhadap suatunputusan
pengadilan selain dari pada kewajiban untuk melaksanakan putusan yang bersangkutan.
Bahwa oleh karena pembuat undang-undang telah mengatur secara tegas dan jelas
tentang wewenang Komisi Pemilihan Umum Daerah Kota Depok dan kedudukan suatu
putusan pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung. Maka KPUD itu, tidak berwenang
132 Memori Peninjauan Kembali di ajukan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah Kota Depok
terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 01/PILKADA/2005?PT.Bdg tanggal 04 agustus
2005, kepada Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui ketua Pengadilan Tinggi Bandung
103
mengajukan Peninjauan Kembali ke mahkamah Agung atas putusan Pengadilan Tinggi
Jawa Barat yang oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah pasal 106 ayat (7) telah dinyatakan final. Karena KPUD telah mendapat
kewenangan untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah,
juga bersumber dari Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 itu.
Perbuatan Komisi Pemilihan Umu Daerah Kota Depok a quo133
yang mengajukan
surat yang berjudul: Memori Peninjauan Kembali terhadap putusan Pengadilan Tinggi
Jawa Barat Nomor 01/Pilkada/2005/PT.Bdg., berdasarkan Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dapat di bandingkan dengan mengajukan
peninjauan Kembali atas putusan Mahkamah Konstitusi berdasarkan pasal 10 ayat (1)
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan
putusan bersifat final.
Undang-undang yang berlaku untuk penyelenggaraan dan penyelesaian sengketa
pemilihan kepala daerah (pilkada) adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Sedangkan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah yang ditentukan oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah itu adalah Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), dalam hal ini
adalah KPUD Kota Depok.
Bahwa di hubungkan dengan ketentuan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah Pasal 106 ayat (7) maka dengan dikeluarkannya putusan
Mahkamah Agung Nomor 01 PK/Pilkada/2005 yang membatalkan putusan Pengadilan
133 Pasal 10 a quo di tegaskan “putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final yakni putusan
Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya
hukum yang dapat di tempuh”
104
Tinggi Jawa Barat di Bandung Nomor 01/Pilkada/2005/PT.Bdg. adalah suatu
pengingkaran dan pelanggaran terhadap Undang-Undang dasar 1945 c/q Undang-
undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai peraturan pelaksanaannya.
Bahwa pemohon nomor urut 3 pada pemilihan kepala daerah Kota Depok (Badrul
kamal dan Syihabuddin Ahmad) merasa sangat dirugikan sebagai pasangan calon
Walikota dan Wakil Walikota Depok setelah dimenangkan atau terpilih oleh Pengadilan
Tinggi Jawa Barat di Bandung tersebut. Karena, dengan di keluarkannya putusan
Mahkamah Agung Nomor 01 PK/Pilkada/2005 yang membatalkan putusan Pengadilan
Tinggi yang sudah bersifat final dan mengikat tersebut, maka pemohon terancam batal
dilantik jadi Walikota dan walikota Depok berdasarkan hasil pemilihan kepala daerah
yang diputus oleh Pengadilan Tinggi Jawa Barat di Bandung.
Dengan dimohonkannya Peninjauan Kembali di luar sistem hukum positif yakni
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentant Pemilihan Kepala Daerah oleh KPUD,
maka Komisi Pemilihan Umum Daerah Kota Depok telah melampui kewenangan yang
diperolehnya dari amanat undang-undangan quo, sekaligus telah mencaplok kewenangan
pembuat undang-undang yang diberi wewenang oleh Undang-Undang Dasar 1945.
C. Analisis Terhadap Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi Tentang Sengketa
Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA)
Dalam pasal 61 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 di jelaskan lebih lanjut
syarat pokok untuk mengajukan sengketa kewenangan antar lembaga negara ke
Mahkamah Konstitusi, yaitu;
105
1. Pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang
Dasar 1945 yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang
dipersengketakan [Pasal 61 ayat (1)]; dan
2. Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang
kepentingan langsung pemohon dan menguraikan kewenangan yang di
persengketakan serta menyebutkan dengan jelas lembaga negara yang menjadi
termohon [Pasal 61 ayat (2)]
Bahwa berdasarkan ketentuan di atas, jelas dalil pemohon yang mendalilkan
seolah-oleh pemohon adalah lembaga negara dengan dalih telah dinyatakan memperoleh
suara terbanyak dalam pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Depok oleh putusan
Pengadilan Tinggi Bandung dalam putusannya Nomor 01/Pilkada/2005/PT.Bdg., tidak
dapat dibenarkan dan karenanya harus di tolak. Hal ini berdasarkan pada alasan hukum,
sebagai berikut:
1. Putusan Pengadilan Tinggi Bandung tersebut telah dibatalkan oleh Putusan
Mahkamah Agung Nomor 01 PK/Pilkada/2005 tanggal 16 Desember 2005,
sehingga karenanya berdasarkan prinsip mengenai kekuatan suatu putusan dalam
arti positif apa yang telah di putus oleh hakim harus dianggap benar “Res judicata
pro veritate habetur”134
. Putusan Pengadilan Tinggi Bandung a quo tidak berlaku
lagi, dan yang berlaku adalah putusan Mahkamah Agung Nomor 01
PK/Pilkada/2005 tenggal 16 Desember 2005.
2. Kedudukan Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah (Gubernur dan Wakil
Gubernur, Walikota dan Wakil Walikota) beserta segala kewenangannya baru
134 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: LIBERTY, 2002) Ed
ke-6, h. 27.
106
memiliki legalitas setelah mengucapkan sumpah atau janji jabatan, sebagaimana
dinyatakan secara eksplisit dalam ketentuan Pasal 110 Undang-undang Nomor 32
tahun 2004135
tentang Pemerintahan Daerah.
3. Dari ketentuan pasal dan ayat dalam Undang-undang tersebut, terbukti bahwa
merupakan fakta hukum pelamtikan yang di dalamnya di ucapkan sumpah atau janji
jabatan merupakan peristiwa hukum yang harus dipenuhi untuk di perolehnya status
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Dengan demikian pemohon nukanlah
lembaga negara, sehingga tidak memenuhi syarat yang telah ditetapkan dalam pasal
61 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dengan
kata lain bahwa pemohon dalam pengajuan perkaranya ke Mahkamah Konstitusi
tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) dan tidak dapat dikatakan
sebagai Lembaga negara.
Dalam permohonan pemohon mempersoalkan dan menyatakan bahwa termohon
KPUD Kota Depok tidak berwenang mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK)
terhadap putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 01/Pilkada/2005/PT.Bdg, yang
telah melahirkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 01 PK/Pilkada/2005. Bahwa sudah
barang tentu dalil pemohon a quo adalah sangat keliru dan tidak berdasar dan setidak-
tidaknya dikesampingkan.
Hal ini didasarkan kepada argumentasi atau pertimbangan hukum, sebagai
berikut136
:
135 Pasal 110 ayat (1-3) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. 136 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, putusan perkara Nomor 002/SKLN-IV/2006
“Sengketa Kewenangan Lembaga Negara Antara Drs. H. Badrul Kamal, MM, dkkDengan Komisi
Pemilihan Umum daerah Kota Depok” (Jakarta: 25 Januari 2006), h. 13.
107
1. Peninjauan Kembali adalah upaya hukum yang merupakan hak setiap subyek
hukum, termasuk Lembaga Negara, yang terlibat dalam suatu perkara. Hak untuk
mengajukan PK oleh suatu lembaga negara bukan dan tidak dapat di pandang dan di
tempatkan dalam konteks kewenangan lembaga negara. Berwenang tidaknya suatu
lembaga negara yang terlibat dalam suatu perkara pengajuan PK bukan masalah
kewenangan yang dapat dipersengketakan dalam peradilan di Mahkamah
Konstitusi, sebagaimana secara tegas dinyatakan dalam ketentuan pasal 23 Undang-
undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
2. Tepat tidaknya atau benar tidaknya suatu permohonan Peninjauan Kembali tidaknya
subyek hukum yang mengajukannya merupakan wewenang dari Mahkamah Agung
untuk menilainya. Dalam kaitannya dua hal perlu di kemukakan: Pertama,
Mahkamah Agung berwenang untuk menafsirkan dan memberikan makna atas
suatu ketentuan Undang-undang137
. Kedua, menurut ketentuan Pasal 65 Undang-
undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung
tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara pada
Mahkamah Konstitusi.
Dengan demikian, maka mempermasalahkan terpilih tidaknya pemohon dalam
Pemilihan Kepala Daerah Kota Depok merupakan sengketa mengenai kepentingan
pemohon sebagai Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota Depok, dan bukan serta
tidak bisa di paksakan menjadi sengketa antar lembaga negara.
Oleh karena itu, termohon mohon dengan hormat kiranya Mahkamah Konstitusi
berwenang untuk menjatuhkan putusan sebagai berikut:
137 Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, h. 14.
108
“Menyatakan Mahkamah Konstitusi tidak berwenang untuk mengadili dan memutus
perkara permohonan pengujian Sengketa Kewenangan Lembaga Negaramyang di
berikan oleh Undang-Undang Dasar 1945 ini yang di ajukan oleh Badrul Kamal dan
Syihabuddin Ahmad, dan karenanya harus di nyatakan tidak dapat di terima”.
Memaparkan beberapa persoalan khususnya menyangkut tentang putusan
Mahkamah Konstitusi dan implikasinya terhadap pencari keadilan (justiciabellen). Secara
garis besar persoalan yang munculkan adalah pengaturan mengenai Putusan Mahkamah
Konstitusi, isi dan karakteristik putusan, rekapitulasi putusan Mahkamah Konstitusi
terakhir, beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang penting, serta tentang finalnya
putusan Mahkamah Konstitusi sehingga upaya hukum terhadap putusan tidak dikenal.138
Membahas mengenai tata cara dan bentuk-bentuk pelaksanaan putusan serta
problematikanya di lingkungan Mahkamah Konstitusi. Seperti diketahui, pelaksanaan
putusan Mahkamah Konstitusi berbeda sebagaimana yang diatur di lingkungan Peradilan
Umum. Putusan Mahkamah konstitusi bersifat erga omnes, sehingga daya ikatnya tidak
hanya kepada para pihak yang berperkara saja, tetapi mengikat juga kepada pihak lain,
misalnya dalam putusan judicial review terhadap suatu Undang-undang yang dianggap
bertentangan dengan konstitusi.
D. Alasan Hukum Hakim Mahkamah Konstitusi
Berdsarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PMK/2004, secara tegas
bahwa peradilan dalam perselisihan hasil pemilu itu bersifat cepat139
dan sederhana.140
138 http://id.shvoong.com/law-and-politics/1902464-tata-cara-penyelesaian-sengketa, “Tata Cara
Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkamah Konstitusi”. Diakses pada September 2006. 139 Dalam hal ini cepatnya sifat peradilan dalam perselisihan hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi
selain di artikan cepat dalam proses beracaranya juga cepat dalam melahirkan putusan yang di tandai
dengan batasan-batasan waktu yang telah di tentukan oleh pembuat undang-undang dan tidak adanya upaya
hukum lain terhadap putusan Mahkamah Konstitusi.
109
Proses cepat dan sederhana sebagai konsekuensi logis dari sistem pengadilan di
Mahkamah Konstitusi yang tidak memiliki tingkatan atau dengan kata lain, pengadilan di
Mahkamah Konstitusi merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir. Konsekuensi
logis lainnya adalah bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan tidak
memiliki upaya hukum lain.
Tidak seperti dalam undang-undang tentang Pemerintah Daerah. Undang-undang
Pemerintah Daerah menyatakan bahwa putusan Mahkamah Agung dalam menyelesaikan
sengketa penetapan hasil pemilihan kepala daerah (Pilkada) adalah final dan mengikat.
Sedangkan putusan Pengadilan Tinggi yang mendapat kewenangan delegasi dari
Mahkamah Agung untuk memutus sengketa penetapan hasil pilkada kabupaten atau kota
adalah bersifat final.
Perkara sengketa penetapan hasil pemilihan kepala daerah (Pilkada) Kota Depok
yang diajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung merupakan salah satu contoh
yang tidak tetap dipungkiri bahwa penyelesaian sengketa penerapan hasil pilkada tidak
dapat menjadikan pasangan Walikota dan Wakil Walikota terpilih untuk segera
menduduki jabatannya, karena putusan Pengadilan Tinggi Bandung yang telah
menganulir kemenangan mereka.141
Bahkan pasangan calon Walikota dan Wakil
Walikota terpilih harus sabar menanti sampai dijatuhkannya putusan Mahkamah
Konstitusi.142
140 Pasal 2 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PMK/2004. 141 Memori Peninjauan Kembali, terhadap putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor
01/PILKADA/2005/PT.Bdg, Agustus, 2005 antara Badrul Kamal dan Syihabuddin Ahmad (semula pemohon, kini termohon) dengan Komisi Pemilihan Umum Kota Depok ( semula termohon, kini pemohon
Peninjauan Kembali (PK)).
142 Kubu pasangan Badrul Kamal-Syihabuddin Ahmad (yang telah di menangkan oleh Pengadilan
Tinggi Bandung, kini dapat di kalahkan oleh Peninjauan Kembali Mahkamah Agung) berusaha menyatakan
110
Dalam pertimbangan hukum Hakim Mahkamah Konstitusi menimbang bahwa
maksud dan tujuan pemohon adalah sebagaimana terurai di atas; maka Mahkamah
Konstitusi mempertimbangkan lebih lanjut mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi
dan kedudukan hukum (legal standing) pemohon dalam permohonan a quo,. Bahwa
kewenangan konstitusional Mahkamah menurut Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) adalah
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final antara lain,
untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya di berikan
oleh Undang-Undang Dasar 1945.143
Bahwa permohonan pemohon sesuai dengan judul pokok permohonan adalah
“Permohonan Pengujian Kewenangan Lembaga Negara yang diberikan oleh Undang-
Undang Dasar 1945”.144
Adapun dalil-dalil pokok yang diajukan pemohon adalah;
a. Bahwa pemohon adalah pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota terpilih
berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat a quo, sehinnga dapat di
kategorikan sebagai Lembaga Negara;
bahwa dirinyalah yang benar. Oleh karenanya, Badrul Kamal-Syihabuddin Ahmad mengajukan sengketa
penetapan hasil pilkada tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK). Meskipun tidak melalui mekanisme atau
jalur penyelesaian perselisihan hasil pemilu, melainkan jalur SKLN dan PUU. Lihat Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia (MKRI) perkara Nmor 001/PUU-IV/2006 mengenai Pengujian undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar 1945. dan juga Nomor 002/SKLN-IV/2006 btentang sengketa kewenangan
lembaga negara.
143 Lihat lebih Lanjut dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstiutusi (selanjutnya di sebut UUMK), dan Undang-undang Nomor
4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman).
144 Isi permohonannya adalah memohon Mahkamah Konstitusi menguji kewenangan suatu
lembaga negara yakni menguji kewenangan KPU Kota Depok (Termohon) yang mengajukan permohonan
PK kepada Mahkamah Agung atas putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat Nomor 01/Pilkada/2005/PT.Bdg,
tanggal 4 Agustus 2005. serta menguji putusan Mahkamah Agung RI mengenai PK terhadap putusan
Pengadilan tinggi a quo.
111
b. Bahwa Komisi Pemilihan Umum daerah Kota Depok dalam menjalankan perintah
pasal 57 Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(selanjutnya di sebut UU Pemda) dapat dikategorikan sebagai Lembaga Negara;
c. Bahwa dengan mengajukan permohonan Peninjauan Kembali terhadap putusan
Pengadilan Tinggi Jawa Barat Nomor 01/Pilkada/2005/PT.Bdg, yang dilakukan
oleh KPUD Kota Depok telah melampui kewenangan yang diberikan oleh Undang-
undang Pemerintahan Daerah maupun Undang-Undang Dasar 1945.
Adapun untuk menentukan apakah Mahkamah berwenang dalam memeriksa,
mengadili, dan memutus permohonan a quo berkaitan dengan kedudukan hukum (legal
standing) pemohon. Maka Mahkamah Konstitusi mempertimbangkan sebagai berikut;
a. Bahwa permohonan pemohon mengenai kewenangan KPUD Kota Depok
mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat,
bukanlah termasuk Sengketa Kewenangan Konstitusional yang dimaksudkan dalam
Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf b
UUMK, melainkan hak yang timbul karena adanya kewenangan sebagaimana di
maksud Pasal 66 ayat (1) Undang-undang Pemerintahan daerah yang memuat tugas
dan wewenang Komisi Pemilihan Umum Daerah dalam pemilihan kepala daerah
dan wakil kepala daerah, dengan demikian objek sengketa bukanlah objek sengketa
kewenangan konstitusional antar lembaga negara sebagaimana di tentukan dalam
Pasal 61 Undang-undang Mahkamah Konstutusi (UUMK).
112
b. Kepala Daerah dalam hal ini Walikota dan Wakil Walikota terpilih,145
masih
mempersyaratkan pengesahan pengangkatan oleh menteri Dalam Negeri atas nama
Presiden dan pelantikan oleh Gubernur atas nama Presiden.146
Dengan demikian,
pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota terpilih belum manjadi kepala
daerah.
c. Komisi Pemilihan Umum daerah (KPUD) Kota Depok merupakan KPUD yang
kewenangannya di berikan oleh Undang-undang dalam hal ini undang-undang
pemda. Dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada), menurut Undang-undang Pemda
dan sebagaimana juga di akui oleh pemohon, bahwa Komisi Pemilihan Umum
daerah bukanlah bagian dari KPU yang di maksud dalam pasal 22E Undang-
Undang Dasar 1945. dengan demikian, meskipun KPUD adalah Lembaga Negara,
namun dalam penyelenggaraan Pemilihan kepala daerah (pilkada) kewenangannya
bukanlah kewenangan yang di berikan oleh Undang-Undang Dasar, sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi.
Selanjutnya dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/SKLN-IV/2006
tentang Sengketa Kewenangan lembaga Negara, bahwa Hakim Mahkamah Konstitusi
berdasarkan seluruh penjelasan alasan hukumnya tersebut di atas, baik dari segi subjek
pemohon dan termohonnya, maka permohonan a quo bukanlah termasuk lingkup perkara
Sengketa Kewenangan Konstitusional Antar Lembaga Negara, sebagaimana dimaksud
145 Pasal 109 ayat (2) UU Pemda dan Pasal 100 ayat(2) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun
2005 tentang Pemilihan, pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah (selanjutnya di sebut PP Nomor 6 Tahun 2005).
146 Pasal 110 ayat (1) dan Pasal 111 ayat (2) Undang-undang Pemerintahan daerah, dan pasal 102
ayat (2) Peraturan Pemerintahan Nomor 6 Tahun 2005.
113
dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang dasar 1945 dan pasal 10 ayat (1) huruf b
joncto Pasal 61 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, permohonan
pemohon harus dinyatakan “tidak dapat diterima” (niet ontvankelijk verklaard).
114
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian dan pembahasan bab-bab sebelumnya, dan memberi jawaban atas
pertanyaan pada perumusan masalah penulisan skripsi ini, maka dapat di ambil
kesimpulan bahwa:
1. Mekanisme dari putusan Mahkamah Konstitusi terkait Sengketa hasil pemilihan
Walikota dan Wakil Walikota Depok merupakan salah satu contoh upaya
penyelesaian sengketa pilkada yang menjadi sejarah demokrasi Indonesia. Dalam
artian bahwa sengketa tersebut tidak menimbulkan anarki di tingkat massa seperti di
daerah lain, namun dapat diselesaikan dengan damai melalui jalur Pengadilan.
Kasus sengketa pilkada Depok tersebut berawal dari gugatan pasangan Badrul
Kamal dan Syihabuddin Ahmad kepada Pengadilan Negeri Cibinong Jawa Barat
terhadap KPUD Kota Depok, yang menetapkan pasangan Nurmahmudi Ismail dan
Yuyun Wirasaputra sebagai pasangan yang memperoleh suara terbanyak dan di
tetapkan sebagai pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota Depok. Gugatan
pasangan Badrul Kamal dan Syihabuddin Ahmad dikabulkan oleh Majelis Hakim
Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Kemudian, KPUD Kota Depok mengajukan upaya
Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia.upaya
Peninjauan Kembali (PK) ini ditempuh karena menurut Undang-undang Nomor 32
Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005, putusan Pengadilan
115
Tinggi Jawa Barat dengan pertimbangan hukumnya bahwa Majelis kasasi
menemukan adanya kesalahan dalam putusan Pengadilan Tinggi Bandung Jawa
Barat, yang hanya didasarkan pada asumsi, bukan fakta. Majelis kasasi pun
membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Bandung, mengadili sendiri, menolak
keberatan Badrul Kamal, dan membenarkan keputusan KPUD Kota Depok.
2. Putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi terkait dengan
kewenangannya, khususnya dalam putusan Nomor 002/SKLN-IV/2006 terkait
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar 1945 adalah bersifat final. Karena Mahkamah Konstitusi
memiliki kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir. Dalam
perselisihan hasil penetapan terpilihnya kepala daerah dan wakil kepala daerah
secara langsung yang berangsur cukup lama. Maka, pada putusan hakim Mahkamah
Konstitusi pada putusan Nomor 002/SKLN-IV/2006 itu bahwa pada
permohonannya tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) Karena
perkara tersebut bukanlah termasuk kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia. Oleh karena itu, bahwa putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final
tersebut diartikan sebagai putusan yang langsung memperoleh kekuatan hukum.
B. Saran-saran
1. Usaha untuk mencari keadilan dan kebenaran ditubuh Peradilan, sesunguhnya
merupakan perjuangan yang tiada mengenal kata berhenti. Hal tersebut merupakan
116
sebuah ideologi untuk membangun seluruh komponen bangsa atau masyarakat ke
arah yang lebih baik, oleh karena itu independensi kekuasaan kehakiman tergantung
kepada faktor-faktor internal lembaga Peradilan dan (Political sphare) di
sekilingnya.
2. Untuk terciptanya check and balances, tiap lembaga negara harus menggunakan
pendekatan legal konstitusional untuk melaksanakan mekanisme kontrol kekuasaan
antara legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Agar pengawasan terhadap lembaga
eksekutif oleh lembaga legislatif haruslah diberi koridor untuk menegakan nilai
keadilan dan tidak hanya sekedar pertarungan elit politik semata. Apabila proses ini
terjadi, maka sistem politik yang lebih sehat akan tercipta dan membawa
kesejahteraan masyarakat. Dengan memegang kuat prinsip check and balances
tersebut, maka lembaga negara akan dapat menjalankan tugasnya dengan lebih
efektif dan lebih demokratis.
3. Kemandirian Mahkamah Konstitusi akan menentukan keberhasilan pelaksanaan
fungsi dan wewenang dalam kontrol kekuasaan. Untuk menciptakan Mahkamah
Konstitusi yang independen, maka tata cara pemilihan dan persyaratan calon hakim
merupakan hal yang paling utama.
4. Sebagai konsekuensi bahwa pilkada sebagai rezim pemilu, maka sengketa hasil
pilkada dapat diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi atau Peradilan ad hock
pemilu dibawah Mahkamah Konstitusi. Pembentukan Peradilan ad hock pemilu ini
penting untuk mengantisipasi sengketa yang jangka waktunya sudah limitatif dan
sebagai antisipasi banyaknya daerah yang melaksanakan pilkada.
117
DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU
Abdullah, Rozali, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara
Langsung, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2005, Cetakan pertama.
Amirudin, Bisri, Zaini, ed, Pilkada Langsung Problem dan Prospek sketsa singkat
perjalanan pilkada 2005, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Aripin, Jaenal, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta:
Kencana, 2008, Cet. Ke-1.
Asshiddiqie, Jimly, Konstitusi dan Konstitualisme, Jakarta: Mahkamah Konstitusi dan
Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2004, Cet. Ke-1.
Badjeber, Zain, Komentar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, Jakarta: Forum Indonesia Baru, 2005.
Fadjar, Abdul Mukti, Hukum Konstitusi Dan mahkamah Konstitusi, Jakarta: Konstitusi
Press, 2006, Cet. Ke-1.
Fatkhurohman et. Al. Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia,
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004, Cet. Ke-1.
Gazali, Effendi, Strategis Kampanye PILKADA, Jakarta: Jurnal Pamong Praja, 2005, ed.
3.
Iberamsjah MS, SK KPUD No.18 tahun 2005, Pilkada Kota Depok Tahun 2005, Depok:
Sekretariat Walikota Depok, 2006.
Loqman, Loebby, S.H., M.H., Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta: Departemen
Kehakiman Republik Indonesia, 1996-1999.
Nadir, Ahmad, Pilkada Langsung dan masa depan demokrasi: studi atas artikulasi
politik nahdliyyin dan dinamika politik dalam Pilkada langsung di Kabupaten
Gresik Jawa Timur, Malang, Avveroes, 2005.
Narang, Agustin Teras, Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung dan Pengaturan
Pemerintahan Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintah Daerah, Jakarta: Penerbit, 2004.
118
Parluhutan Daulay, Ihksan Rosyada, Mahkamah Konstitusi Memahami Keberadaannya
Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta: PT Rineka Cipta,
2006, Cet. Ke-1.
Santoso, Topo, Kepala Daerah Pilihan Hakim, Bandung: Harakatuna Publishing, 2005.
Sarunjang, Pilkada Langsung Problem dan Prospek, Jakarta: Kata Hasta Pustaka, 2005.
Siahaan, Maruarar, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta:
Konstitusi Press, 2005. Cet. Ke-1.
Subakti, Ramlan, Bebarapa pertanyaan tentang sistem pemilihan kepala daerah secara
langsung, (Jakarta: Jurnal Pamong Praja, 2005)ed. 3.
Soedarsono, Mahkamah Konstitusi Sebagai Pengawal Demokrasi: Penyelesaian sengketa
penetapan hasil pemilu 2004, Jakarta: Sekretaris jendral dan kepaniteraan
MKRI, 2005). Cet, Ke-1.
Supriadi, Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika,
2006, Cet. Ke-1.
Susanto, Agung, Hukum Acara Perkara Konstitusi, Prosedur Berperkara pada
Mahkamah Konstitusi, Bandung: Mandar Maju, 2006, Cet. Ke-1.
Sutioso, Bambang, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Bandung:
Citra Aditya Baktiu, 2006, Cet Pertama.
Sutioso, Bambang dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-aspek Perkembangan Kekuasaan
Kehakiman Di Indonesia, Yogyakarta: VIII-Press.
Syahrizal, Ahmad, Peradilan Konstitusi; Suatu Studi tentang Adjudikasi konstitusional
sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif, Jakarta: PT. Paradnya
Paramita, 2006, Cet. Ke-1.
Tasrif, Suardi, Menegakan Rule Of Law di Bawah Orde Baru, Bandung: Mizan, 1971.
Tim Penyusun Cetak Biru Mahkamah Konstitusi, Cetak biru membangun mahkamah
Konstitusi sebagai institusi peradilan konstitusi yang modern dan terpercaya,
Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2004.
Tutik, Titik Tri wulan, Pemilihan Kepala Daerah berdasarkan undang-undang nomor 32
Tahun 2004 dalam Sistem Pemilu Menurut Undang-Undang Dasar 1945,
Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2006.
UNDANG-UNDANG
119
Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta:
Sekretariat Jenderal MPR RI, 2002.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum.
Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman.
PUTUSAN
------Putusan MKRI Nomor 001/PUU-IV/2006 Mengenai pengujian Undang-undang
terhadap UUD RI 1945.
------Putusan MKRI Nomor 002/SKLN-IV/2006 Mengenai Sengketa Kewenangan
Lembaga Negara yang kewenangannya di berikan UUD RI 1945.
------Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 01/PK/PILKADA/2005.
------Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 01/PILKADA/2005.
------Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 072-073/PUU/II/2004 tentang
pengujian Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.
------Peraturan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kota Depok No.1-20 tahun
2005.
INTERNET
http://www.cetro.or.id, “ Urgensi revisi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan daerah sebelum penyelenggaraan pemilihan kepala daerah”,
diakses pada July, 2009.
http:// hukumonline.com./“Sengketa Pilkada : MA kabulkan Peninjauan Kembali KPUD
Depok”.html. diakses pada Mei 2009.
120
http://id.wikisource.org/wiki/Mekanisme_Impeachment_&_Hukum_Acara_Mahkamah_
Konstitusi, diakses pada November, 2008.
http://jurnalhukum.blogspot.com/ 2006/09/ mahkamah-konstitusi-ri.html, “ Mahkamah
Konstitusi: The Guardian and the Interpreter Of The Constitution” diakses pada
September, 2006.
http://www.kanalpemilu.com. “mk-mulai-sidangkan-perselisihan-hasil pemilu” diakses
pada Mei, 2009.
http://www.kompas.com “Pilkada Depok dan sikap apatis”, diakses pada November,
2006.
http;//www.kompas.com, “Struktur Organisasi Mahkamah Konstitusi”, diakses pada Juni
2006.
http://www.suaramerdeka.com/harian, “ Antisipasi masalah dalam Pilkada, Perlu
perincian kewenangan penyelenggara”, diakses pada Agustus, 2009.
http://ramadiandri10.blogspot.com/2009/01/tugas-dan-wewenang-mk.html, “Tugas dan
Wewenang Mahkamah Konstitusi”, diakses pada Januari, 2009.
http://taufiqnugroho.blogspot.com /2009/02/ mahkamah-konstitusi-dalam-struktur.html,
“Mahkamah Konstitusi Dalam Struktut Ketatanegaraan Indonesia”, diakses
pada Februari, 2009.
121