penyakit flu burung: riwayat alamiah dan...

Download Penyakit Flu Burung: Riwayat Alamiah dan Pencegahannyajurnalkeperawatan.stikes-aisyiyahbandung.ac.id/file/13. Penyakit... · kematian anak; (5) ... antara lain: “Penyakit misterius

If you can't read please download the document

Upload: lamkien

Post on 06-Feb-2018

240 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • Page 1

    Penyakit Flu Burung:

    Riwayat Alamiah dan

    Pencegahannya

    Penulis: Dr. Budiman, S.Pd., SKM., S.Kep., M.Kes

  • Page 2

    BAGIAN-1. FENOMENA LINGKUNGAN DAN PENYAKIT FLU BURUNG

    1.1. Interaksi Ekologi Manusia

    Bagi manusia, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan

    makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan

    dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya (Undang-undang RI, Nomor 23 Tahun 1997).

    Tidak ada satu pun di muka bumi ini yang berdiri sendiri, semuanya saling bergantung dan saling

    membutuhkan satu dengan yang lainnya. Secara alami manusia mempunyai misi mempertahankan

    keberadaannya di muka bumi ini dalam kondisi lingkungan yang seoptimal mungkin.

    Masalah lingkungan merupakan isu penting yang menyangkut kehidupan manusia di muka bumi

    ini yang apabila dibiarkan berlarut-larut akan mengakibatkan punahnya kehidupan di bumi. Isu tentang

    menipisnya lapisan ozon, hujan asam, peningkatan suhu bumi, dan berbagai isu lainnya cukup

    memprihatinkan bagi semua makhluk hidup yang mendiami bumi ini. Kerusakan lingkungan terus

    berlangsung akibat dari kecerobohan manusia pada saat mengeksploitasi sumber daya alam, baik yang

    terbarukan atau tidak terbarukan karena keinginan manusia yang tidak terbatas dan pola hidup mewah

    di negara-negara maju dan sebagian di negara berkembang.

    Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang ceroboh seperti disebutkan sebelumnya

    menimbulkan berbagai dampak lanjutan. Pertama yaitu terjadinya kemiskinan yang semakin

    memprihatinkan di banyak negara sedang berkembang, tidak saja karena sumber daya alamnya yang

    terkuras habis untuk membayar utang luar negerinya. Kemerosotan sumber daya alam yang membuat

    mereka semakin tidak mampu untuk meningkatkan kualitas kehidupannya. Tingkat pendidikan tetap

    rendah, karena tidak mampu membayar biaya pendidikan yang lebih baik bagi anak-anaknya. Kedua

    yaitu timbulnya berbagai penyakit yang terkait langsung dengan mutu kehidupan yang semakin

    menurun di satu pihak dan dampak dari berbagai pencemaran lingkungan hidup di pihak lain. Ketiga

    yaitu terjadi kehancuran sumber daya alam dan keanekaragaman hayati yang membawa pengaruh

    langsung bagi kehancuran budaya masyarakat di sekitarnya yang menggantungkan hidupnya pada

    kondisi sumber daya alam dan keanekaragaman hayati.

    Dewasa ini masyarakat dunia telah menyadari pentingnya memelihara lingkungan global,

    meningkatkan kualitas lingkungan fisik dan biologik serta tatanan sosio-budaya. Dalam dasawarsa 1970-

    an, setelah diadakannya Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup di Stockholm tahun 1972, telah

    dihasilkan beberapa resolusi tentang lingkungan hidup. Beranjak dari keyakinan bahwa baku hidup

  • Page 3

    dapat ditingkatkan tanpa perlu menguras habis sumber daya alam yang terbatas dan tanpa

    mengorbankan lingkungan hidup, maka telah dikembangkan konsep pembangunan berkelanjutan

    (sustainable development) yang mengandung arti bahwa pembangunan yang memenuhi kebutuhan

    masa kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang (WCED 1987

    dalam Soemarwoto 2004). Dalam konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan di Rio de

    Janeiro, Brasil tahun 1992 pembangunan berkelanjutan menjadi tema sentral dengan dihasilkannya: (1)

    Deklarasi Rio, (2) Konvensi tentang Perubahan Iklim, (3) Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati, (4)

    Prinsip tentang Hutan, dan (5) Agenda 21.

    Isu lingkungan sudah menjadi kepentingan global yang harus dilaksanakan dalam program aksi

    dan strategi untuk mempersiapkan dunia dalam menghadapi tantangan abad ke-21. Hal ini ditujukan

    agar kualitas hidup manusia terus meningkat dan pembangunan dapat berkelanjutan. Agenda 21 global

    pada dasarnya adalah untuk mengentaskan kemiskinan, kelaparan, penyakit dan buta huruf di seluruh

    dunia, di samping untuk menghentikan kerusakan ekosistem yang penting bagi kehidupan manusia.

    Hal yang sama berlaku bagi seluruh negara di dunia yang berjumlah 191 negara anggota PBB telah

    berkumpul menetapkan upaya pencapaian Millennium Development Goals (MDGs) dengan target pada

    tahun 2015 yaitu: (1) menanggulangi kemiskinan dan kelaparan; (2) mencapai pendidikan dasar untuk

    semua; (3) mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; (4) menurunkan angka

    kematian anak; (5) meningkatkan kesehatan ibu; (6) memerangi HIV/AIDs, dan penyakit menular

    lainnya; (7) memastikan kelestarian lingkungan hidup; (8) membangun kemitraan global.

    Dalam perspektif MDGs, isu lingkungan dan penyakit merupakan isu global yang perlu ditangani

    secara bersama karena akan mempengaruhi kualitas hidup manusia dan kualitas lingkungan global.

    Terjadinya kerusakan lingkungan akan berdampak pada status kesehatan masyarakat global sehingga

    kesejahteraan manusia di dunia tidak akan tercapai bahkan keselamatan manusia di dunia tidak akan

    terjamin.

    Hipocrates (460-377 SM), adalah tokoh di dunia yang pertama-tama berpendapat bahwa penyakit

    ada hubungan dengan fenomena alam dan lingkungannya. Rachel Carson (1962) dalam Soemarwoto

    (2004) bercerita tentang hari depan, antara lain: Penyakit misterius telah menyerang ayam; sapi dan

    domba sakit kemudian mati. Dimana-mana terdapat bayangan kematian. Para petani berbicara tentang

    banyaknya penyakit dalam keluarga mereka. Para dokter menghadapi teka-teki penyakit baru yang

    timbul di antara para pasiennya. Kematian sekonyong-konyong yang tidak dapat diterangkan masih

    terjadi di antara orang dewasa, dan di antara anak-anak yang tiba-tiba menjadi sakit waktu bermain dan

    meninggal dalam beberapa jam.

  • Page 4

    Masalah lingkungan global telah menciptakan pola penyebaran penyakit baru sebagai suatu

    evolusi penyakit di dunia. Secara nyata perkembangan alam membawa pengaruh pada berbagai jenis

    penyakit yang menyerang manusia. Jumlah penyakit di dunia ini bukannya berkurang justru bertambah

    secara terus menerus dengan berbagai jenis dan cara timbulnya penyakit yang semakin bervariasi dan

    kompleks.

    Penyakit yang bermunculan saat ini (emerging diseases) belum bisa diatasi secara menyeluruh

    seperti penyakit DHF (Dengue Haemorrhagic Fever), kusta, anthrak, leptospirosis, dan filariasis yang

    selalu menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) setiap tahunnya. Muncul pula penyakit-penyakit baru

    (new emerging diseases)yang tidak kalah ganasnya diantaranya penyakit HIV/AIDS(Acquired Immune

    Deficiency Sindrom)yang sampai saat ini belum ditemukan obatnya, kejadian insidens SARS (Severe

    Acute Respiratory Syndrome), dan timbulnya penyakit infeksi baru yaitu penyakit flu burung/avian

    influenza pada manusia.

    Dalam laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) tahun 2001 diperoleh bukti

    baru bahwa perubahan iklim diakibatkan oleh aktivitas-aktivitas manusia. Perubahan iklim yang

    disebabkan oleh pemanasan global dapat menimbulkan perubahan fungsi berbagai ekosistem yang ada

    didunia dan secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh bagi lingkungan dan kesehatan

    manusia. Pengaruh buruk perubahan iklim global bagi kesehatan adalah fluktuasi cuaca jangka pendek

    dimana cuaca panas atau dingin yang ekstrim dapat menimbulkan stress panas atau hyperthermia, di

    samping dapat meningkatkan laju kematian pada penderita penyakit jantung dan pernafasan.

    Perubahan iklim akan memperpanjang musim bagi penyebaran penyakit menular melalui vektor seperti

    malaria, demam berdarah, dan penyakit menular lainnya. Penyakit ini dapat masuk ke wilayah-wilayah

    geografis baru bahkan pada populasi yang tingkat kekebalannya rendah dan prasarana kesehatan publik

    yang tinggi.

    Menurut Masjhur dan Ridad (1998) dampak dari pemanasan global (meningkatnya suhu bumi)

    selain semakin luasnya penyebaran penyakit-penyakit yang dibawa oleh vektor yaitu nyamuk dan lalat

    akan timbul pula penyakit menular lainnya. Asumsinya dapat saja penyakit menular lainnya adalah

    penyakit flu burung karena berhubungan dengan masalah lingkungan baik lokal, regional maupun

    lingkungan global.

    Interaksi berbagai komponen lingkungan baik fisik, kimia, dan biologi telah menjadi penyebab

    timbulnya penyakit flu burung. Lingkungan biologis adalah semua mahluk hidup yang berada disekitar

    manusia yaitu flora dan fauna, termasuk manusia (Budiarto dan Anggraeni 2003). Komponen lingkungan

    biologi dan kimia yang berperan langsung terhadap timbulnya penyakit flu burung adalah golongan

  • Page 5

    virus influenza tipe A yang terdiri atas Hemaglutinin (H) dan Neuramidase (N). Berdasarkan sifat

    antigenesitas dari glikoprotein-glikoprotein virus influensa dikelompokkan ke dalam enambelas subtipe

    H (H1-H16) dan sembilan N (N1-N9). Bahkan secara kimiawi virus avian influenza juga dapat beradaptasi

    dengan obat maupun vaksin. Burung liar sebagai pejamu alami telah membawa virus H5N1 menjadi

    patogen bagi golongan unggas domestik yang menular ke manusia.

    Komponen lingkungan fisik diantaranya udara dan air berperan sebagai faktor risiko penularan

    dan penyebaran penyakif flu burung. Penyakit ini dapat menular melalui lingkungan udara yang

    tercemar virus avian influenza yang berasal dari kotoran atau sekreta unggas yang menderita flu burung

    (Depkes 2004). Penularan dari unggas ke manusia juga dapat terjadi jika manusia telah menghirup udara

    yang mengandung virus flu burung atau kontak langsung dengan unggas yang terinfeksi. Lingkungan air

    merupakan tempat hidup virus H5N1 juga bahkan dapat bertahan di air sampai 4 hari pada suhu 22 C

    dan lebih dari 30 hari pada 0 C (Depkes 2004).

    Munculnya KLB penyakit flu burung pada manusia tidak terlepas kaitannya dengan degradasi

    fungsi lingkungan diikuti gaya hidup tidak sehat serta masalah kemiskinan yang masih cukup tinggi

    (www.menlh.go.id). Sumber penularan flu burung yang sulit dikendalikan adalah burung liar yang

    bermigrasi secara bebas dan mampu menyebarkan virus antar negara

    (www.komnasfbpi.org/Renstra_AI_dan_PI). Pola penularan melalui burung liar yang bermigrasi kini

    terbukti dengan kesamaan virus H5N1 di Danau Qiangli Cina dan pada pasien di Turki yang meninggal

    (Aditama, 2007).

    Isu utama perubahan iklim disebabkan fluktuasi secara alami dan banyak menunjukkan fluktuasi

    kesehatan secara musiman dan tahunan. Hal tersebut hanya menegaskan bahwa penyakit-penyakit

    memiliki kebergantungan pada musim dan perubahan iklim (IPCC, 2001). Pada musim dingin, burung-

    burung liar bermigrasi ke arah selatan melintasi Indonesia. Migrasi burung liar yang merupakan reservoir

    virus pada hewan-hewan domestik yang ada di jalur perjalanan mereka. Para ilmuwan menyakini bahwa

    burung-burung liar/burung air yang bermigrasi membawa virus H5N1 dalam bentuk HPAIV (High

    Pathogenic Avian Influenza Virus). Hal ini terbukti dengan KLB flu burung pada hewan di Asia Tenggara

    yang terjadi pada musim dingin 2003-2004. Saat itu, kepadatan burung-burung liar di Asia Tenggara

    berada pada puncaknya. Semakin banyak hewan peliharaan yang terinfeksi maka risiko penularan pada

    manusia semakin besar (Endarti dan Juwita, 2006).

    http://www.menlh.go.id/http://www.komnasfbpi.org/Renstra_AI_dan_PI

  • Page 6

    Penyakit flu burung pada manusia mempunyai tingkat keganasan (virulensi) yang membahayakan

    di antara penyakit infeksi menular lainnya (HIV/AIDS, Malaria, dan lain-lain). Tingkat kematian akibat

    penyakit flu burung mencapai 56% dan masa inkubasi penyakit flu burung pada manusia sangat cepat

    yaitu 1-10 hari.

    Penyakit flu burung telah menjadi isu global sehingga penanganan yang serius perlu segera

    diambil agar KLB flu burung tidak bermutasi menjadi flu yang menular dari manusia ke manusia dan

    menjadi wabah pandemi influenza. Menurut WHO, terdapat enam fase global pandemi influenza

    berdasarkan faktor epidemiologi pada manusia sebelum suatu pandemi ditetapkan. Flu burung

    berdasarkan data yang diperoleh dari WHO masuk pada fase ke-3 yaitu periode kewaspadaan terhadap

    pandemi.

    Data tahun 2003 hingga tanggal 27 Februari 2006, tercatat jumlah kasus Avian Influenza yang

    confirmed laboratorium mencapai 173 kasus dan 93 kasus (55%) di antaranya meninggal dunia. Negara

    dengan jumlah kasus Avian Influenza terbanyak adalah Vietnam (93 kasus) sekitar 53,8% dari total kasus

    di seluruh dunia dengan kematian 45,16%. Indonesia menempati urutan kedua kasus terbanyak di

    seluruh dunia dengan 28 kasus (15,6%) dan kematian 74,1%, setelah Thailand dengan 22 kasus (12,72%)

    dan kematian 63,6%. Area periode kewaspadaan terhadap pandemi penyakit flu burung di Asia

    Tenggara terlihat pada Gambar 1.1.

    Gambar 1. Area Periode Kewaspadaan Pandemik Flu Burung

    Indonesia sebagai bagian dari komunitas internasional juga berkewajiban melaksanakan

    penanganan flu burung secara berkelanjutan mengingat salah satu sumber penularan flu burung adalah

    burung liar yang bermigrasi secara bebas dan mampu menyebarkan virus antar negara. Meluasnya

  • Page 7

    penyakit flu burung mempengaruhi langsung segi kesehatan, segi sosial, dan tantangan di bidang

    ekonomi secara tidak langsung akan menimbulkan kekhawatiran di seluruh dunia.

    Situasi penyakit flu burung di Indonesia bulan Juni 2007 diperoleh data jumlah kasus konfirmasi

    adalah 100 orang penderita positif H5N1 (Depkes, 2007). Dari jumlah kasus tersebut terdapat 80 orang

    penderita yang meninggal (CFR = 80%). Secara terperinci dapat dilihat pada Tabel 1.

    Tabel 1.1. Distribusi Penemuan Kasus Konfirmasi Flu Burung Berdasarkan Propinsi di

    Indonesia Tahun 2007

    Propinsi Positif Flu Burung

    Jumlah Kasus Meninggal

    Jawa Barat 29 23

    DKI Jakarta 25 22

    Banten 12 10

    Sumatera Utara 8 7

    Jawa Tengah 9 8

    Jawa Timur 7 5

    Lampung 3 1

    Sulawesi Selatan 3 0

    Sumatera Barat 1 1

    Sumatera Selatan 1 1

    Riau 2 2

    Total 100 80 Sumber: Depkes RI (2007)

    Berdasarkan data yang diperoleh, diantara sebelas Propinsi di Indonesia ternyata Propinsi Jawa

    Barat menduduki peringkat ke-1 dengan jumlah kasus positif flu burung pada manusia mencapai 29

    penderita (29%), Angka Case Fatality Rate (CFR) adalah 79,3%. Selanjutnya Propinsi DKI Jakarta dengan

    jumlah kasus 25 penderita (25%) dan CFR adalah 88% sedangkan posisi ketiga adalah Propinsi Banten

    dengan jumlah kasus 12 penderita (12%) dan CFR adalah 83,3%. Angka kesakitan dan kematian penyakit

    flu burung pada manusia yang tinggi terutama di wilayah Propinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten

    akan menimbulkan risiko penularan dan penyebaran yang berbahaya karena wilayah propinsi tersebut

    merupakan wilayah padat populasi dengan jumlah penduduk yang besar di Indonesia.

    Padatnya populasi penduduk memerlukan tempat tinggal (area) yang makin luas dan memerlukan

    pemenuhan kebutuhan dasar hidup yang meningkat baik kebutuhan air, kebutuhan makanan, dan

    kebutuhan dasar hidup lainnya. Kondisi lingkungan tersebut akan menjadi faktor risiko terjadinya

    penyakit flu burung secara terus menerus pada saat tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan.

  • Page 8

    1.2. Problematika Penyakit Flu Burung

    Menjelang milenium ketiga, umat manusia dihadapkan pada berbagai perubahan lingkungan

    global yang langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kesehatan. Seringkali perubahan

    lingkungan yang tadinya berskala lokal dapat meluas menjadi regional bahkan global, karena sifat

    perubahan tersebut menjadikan negara-negara di muka bumi ini tidak mengenal batas lagi.

    Permasalahan lingkungan di suatu negara akan berdampak meluas ke negara lainnya yang berada di

    belahan dunia ini.

    Harus disadari secara alamiah manusia berinteraksi dengan lingkungannya. Manusia bernafas

    memerlukan udara sekitarnya setiap detik. Makanan manusia diambil dari sekitarnya, demikian pula

    minuman, pakaian, dan lain sebagainya. Bergantung taraf budayanya, manusia dapat sangat erat atau

    erat hubungannya dengan lingkungan hidupnya. Hubungan antara manusia dengan lingkungan hidupnya

    adalah sirkuler. Perubahan pada lingkungan itu pada gilirannya akan mempengaruhi kehidupan manusia

    termasuk masalah kesehatan manusia. Teori Gordon, dalam Anies (2006) menyatakan

    ketidakseimbangan terjadi akibat pergeseran faktor lingkungan akan mempengaruhi bibit penyakit

    (agent) menjadikannya lebih ganas atau lebih mudah masuk ke dalam tubuh manusia.

    Menurut Bloom (1974) dalam Suliha et al (2002) faktor yang paling dominan mempengaruhi

    derajat kesehatan manusia adalah faktor lingkungan (45%), faktor perilaku (30%), pelayanan kesehatan

    (20%), dan keturunan (5%). Penyakit-penyakit yang timbul saat ini baik penyakit degeneratif, penyakit

    tidak menular maupun penyakit menular tidak terlepas dari faktor lingkungan sebagai faktor risiko

    penyebab terjadinya penyakit termasuk mewabahnya penyakit flu burung di berbagai belahan dunia.

    Penyakit flu burung dalam waktu singkat sejak tahun 1997 pertama kali muncul di Hongkong

    menginfeksi manusia sebanyak 18 orang dengan jumlah kematian 6 orang (Siegel, 2006). Fakta yang

    melegakan bahwa setiap pasien ini menjadi terinfeksi akibat kontak langsung dengan unggas terinfeksi,

    bukan dengan orang yang terinfeksi. Munculnya penyakit flu burung tidak terlepas dari peranan masalah

    lingkungan sebagai faktor risiko terjadinya kasus kesakitan dan kematian yang meningkat secara

    progresif.

    Komponen lingkungan yang terlibat sebagai faktor risiko terjadinya penyakit flu burung mencakup

    lingkungan fisik, kimia, biologi, dan sosial ekonomi. Menurut Azwar (1999) lingkungan fisik adalah

    lingkungan alamiah yang terdapat di sekitar manusia mencakup cuaca, musim, keadaan geografis, dan

    struktur geologi. Lingkungan fisik terdiri atas benda-benda yang tidak hidup termasuk golongan udara,

    sinar matahari, tanah, air, perumahan, sampah, dan sebagainya (Entjang 1993).

  • Page 9

    Lingkungan fisik rumah yang memenuhi syarat kesehatan menurut Winslow dalam Entjang (1993)

    diantaranya 1) harus memenuhi kebutuhan fisiologis, 2) kebutuhan psikologis, 3) dapat menghindarkan

    terjadinya kecelakaan, dan 4) dapat menghindarkan terjadinya penyakit. Lingkungan fisik rumah

    merupakan faktor risiko terjadinya penyakit flu burung dilihat dari aspek-aspek tempat tinggal rumah,

    jarak rumah dengan kandang ternak, jarak rumah ke pasar unggas, jarak rumah ke tempat peternakan,

    dan posisi tempat tinggal. Lingkungan fisik lainnya sebagai faktor risiko penyakit flu burung adalah

    lingkungan air mencakup sumber air rumah tangga, saluran limbah rumah tangga, dan saluran air limbah

    kotoran unggas. Virus H5N1 dapat bertahan hidup di air sampai 4 hari pada suhu 22C dan lebih dari 30

    hari pada 0C (Depkes, 2004). Selain itu faktor lingkungan fisik lainnya adalah kebersihan kandang

    ternak dan kebersihan rumah yang dapat saja berhubungan dengan timbulnya penyakit flu burung.

    Lingkungan biologi terdiri atas organisme-organisme hidup yang berada di sekitar manusia baik

    yang merugikan maupun menguntungkan manusia. Lingkungan biologi bentuk mikroorganisme yang

    merugikan manusia adalah bibit penyakit golongan virus influenza A subtipe H5N1 yang beradaptasi

    pada unggas sebagai penyebab penyakit flu burung pada manusia. Keberadaaan virus H5N1 di

    lingkungan biologi yang merupakan faktor risiko mencakup keberadaan unggas liar, keberadaan kucing,

    dan burung peliharaan. Sedangkan lingkungan kimia sebagai faktor risiko timbulnya penyakit flu burung

    adalah penggunaan jenis pupuk yang dipakai.

    Faktor risiko lingkungan lainnya yang berhubungan dengan terjadinya penyakit flu burung pada

    manusia adalah lingkungan sosial ekonomi mencakup pendidikan, pekerjaan, jenis pekerjaan, tempat

    pekerjaan yang dicerminkan juga jabatan dalam pekerjaan, pekerjaan anggota keluarga, aktivitas

    kontak, jenis kontak, jumlah kontak, kontak erat, tempat kontak erat, kontak erat dengan unggas,

    aktivitas ke pantai. Lingkungan sosial ekonomi masyarakat tersebut berperan sebagai faktor risiko

    terhadap kejadian penyakit flu burung pada manusia. Kasus pertama kali ditemukan infeksi flu burung

    H5N1 pada manusia pada bulan Juli 2005 di Tangerang, yang berakhir pada kematian, dimana kasus ini

    unik karena korban tidak banyak berhubungan dengan unggas (Siegel, 2006).

    Berdasarkan hal tersebut diatas hampir semua lapisan masyarakat merupakan populasi yang

    berisiko tertular penyakit flu burung. Terjadinya penyakit pada manusia ditentukan pula oleh faktor

    manusia itu sendiri artinya bahwa dalam diri manusia terdapat faktor penyebab timbulnya penyakit.

    Pada penyakit flu burung yang menjadi faktor risiko dalam diri manusia mencakup umur, jenis kelamin,

    kebiasaan memasak daging unggas, kebiasaan memasak telur unggas, kebiasaan mencuci tangan

    sebelum dan sesudah memasak, riwayat kesehatan, tingkat stres dan status gizi.

  • Page 10

    Manusia yang terserang penyakit flu burung akan melewati masa inkubasi 1-3 hari, masa infeksi 1

    hari sebelum 3-5 hari sesudah timbul gejala sedangkan padan anak-anak sampai 21 hari (Depkes, 2004).

    Gejala klinik yang timbul pada manusia mencakup demam (suhu badan di atas 38C, batuk dan nyeri

    tenggorokan, radang saluran pernafasan, pneumonia, infeksi mata, dan nyeri otot. Apabila tidak

    dilakukan tatalaksana dengan baik dapat menyebabkan kematian. Terbukti bahwa angka kematian

    akibat penyakit flu burung pada manusia di Indonesia cukup tinggi terutama pada kasus konfirmasi

    mencapai 81,7%. Hal ini menandakan bahwa perjalanan riwayat alamiah penyakit hampir sebagian pada

    tahap akhir dengan kematian.

    Jumlah kematian penyakit flu burung pada manusia cukup tinggi mengindikasikan bahwa di tahap

    pre-patogenesis faktor risiko lingkungan saat terjadi interaksi dengan manusia dan bibit penyakit tidak

    terkendalikan. Dampaknya penyakit flu burung pada manusia ditemukan sudah masuk pada tahap

    patogenesis (tahap klinik) dan sudah melewati masa inkubasi sehingga penemuan kasus terlambat yang

    akhirnya angka kematian menjadi dominan.

    Tingginya tahap kematian perjalanan riwayat alamiah penyakit flu burung melibatkan berbagai

    komponen lingkungan sebagai faktor risiko dominan. Pelibatan banyaknya faktor risiko lingkungan

    meningkatkan kerentanan manusia terhadap virulensi bibit penyakit (H5N1) sehingga identifikasi faktor

    risiko lingkungan dominan perlu dilakukan. Apalagi penyakit flu burung ini termasuk penyakit zoonosis.

    Penyakit zoonosis adalah suatu penyakit pada hewan (unggas) yang dapat menular kepada

    manusia. Pola penularan dari sumber utamanya (unggas) adalah kontak langsung dan lingkungan udara

    atau peralatan yang tercemar AI (Depkes RI, 2004). Penyakit ini sudah masuk pada tahap kewaspadaan

    pandemik. Pengendaliannya pun tentu saja melibatkan berbagai kelembagaan diantaranya Departemen

    Pertanian dan Departemen Kesehatan mulai dari tingkat Pusat sampai pada Unit Pelaksana Teknis

    terbawah (Puskesmas, Rumah Sakit, Dinas Peternakan Kabupaten/Kota, dan sebagainya).

    Fokus yang dilakukan diantaranya mencakup upaya intervensi pencegahan sesuai tingkatan

    primer, sekunder, dan tersier. Penekanan upaya intevensi pencegahan adalah pada paradigma sehat

    tidak pada paradigma sakit. Saat ini paradigma berpikir masyarakat masih ke arah yang bersifat kuratif

    (pengobatan) artinya masyarakat terdogmatis mempunyai pikiran kalau sakit mudah tinggal datang saja

    berobat ke dokter atau ke tempat pelayanan kesehatan (Rumah Sakit, Puskesmas, dan lainnya). Secara

    bertahap harus sudah mulai dibangun berpikir masyarakat ke arah yang bersifat preventif (pencegahan)

    artinya masyarakat sudah berpikir secara internal dalam dirinya supaya tidak terserang penyakit. Tujuan

    akhirnya segala upaya yang berhubungan dengan tindakan pencegahan penyakit (penyakit flu burung)

    dilaksanakan.

  • Page 11

    Bertitik tolak dari fenomena yang penulis temukan masalah penyakit flu burung pada manusia

    adalah sebagai berikut :

    Bagaimana pola perjalanan riwayat alamiah penyakit flu burung pada manusia mulai dari

    tahap peka, pragejala, klinik, dan tahap terminal pada kelompok kasus?

    Bagaimana model intervensi pencegahan berbasis interaksi faktor risiko lingkungan

    dalam menurunkan angka insidens penyakit flu burung pada manusia?

    1.3. Kebaruan Perkembangan Penyakit Flu Burung

    Dalam buku ini, yang menjadi novelty-nya, adalah penulis telah membuat kumpulan Status

    Health Folder(SHF) perjalanan riwayat alamiah khusus penyakit flu burung pada manusia. SHF

    dikembangkan oleh penulis berdasarkan riset yang dilakukan pada 31 penderita flu burung yang

    dinyatakan sebagai kasus konfirmasi. SHF menggambarkan pola perjalanan pasien yang menderita

    penyakit flu burung sesuai tahapan pre-patogenesa sampai pada tahap terminal.

    Pengembanga SHF penyakit flu burung pada manusia merupakan entry point dalan

    menemukanmodel upaya intervensi pencegahan penyakit flu burung pada manusia. Pembuatan model

    intervensi pencegahan penyakit flu burung pada manusia menggunakan model dinamik. Model ini dapat

    membuat prediksi jika faktor-faktor yang berhubungan dengan KLB penyakit flu burung diintervensi.

  • Page 12

    BAGIAN-2. KONSEP DASAR PENYAKIT FLU BURUNG

    2.1. Pengertian Penyakit Flu Burung

    Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di segala bidang semakin meningkat, termasuk

    bidang kesehatan secara umum. Kemajuan ilmu dan teknologi kesehatan telah mencapai taraf

    memuaskan dalam hal mengatasi penderitaan dan kematian penyakit tertentu. Masalah kesehatan bagi

    masyarakat umum masih sangat rawan. Pada beberapa tahun terakhir ini sejumlah penyakit menular

    tertentu sudah dapat diatasi. Di lain pihak timbul pula masalah baru dalam bidang kesehatan

    masyarakat adanya kejadian penyakit menular jenis baru salah satunya penyakit flu burung. Penyakit flu

    burung saat ini telah menjadi isu global yang sangat menakutkan dan mengancam populasi baik populasi

    unggas maupun populasi manusia di dunia.

    Menurut Dirjen P2PL Depkes RI (2005) Avian influenza merupakan penyakit menular pada

    hewan (unggas, babi, dan lain-lain) yang disebabkan oleh virus influenza tipe A dengan manifestasi

    beragam, mulai dari sakit ringan hingga kematian. Avian influenza (penyakit flu burung), yang ditularkan

    oleh unggas ternyata dapat menyerang manusia (Dirjen P2PL Depkes RI 2006). Dalam operasionalisasi

    penentuan definisi kasus penyakit flu burung di kelompokan menjadi tiga jenis yaitu:

    1) Kasus Suspekyaituadalah seseorang yang menderita ISPA dengan gejala demam (temperatur > 38C),

    batuk dan atau sakit tenggorokan dan atau ber-ingus serta dengan salah satu keadaan: (a) seminggu

    terakhir mengunjungi peternakan yang sedang berjangkit KLB flu burung, (b) kontak dengan kasus

    konfirmasi flu burung dalam masa penularan, (c) bekerja pada suatu laboratorium yang sedang

    memproses spesimen manusia atau binatang yang dicurigai menderita flu burung

    2) Kasus Probableyaitu kasus suspek disertai salah satu keadaan: (a) bukti laboratorium terbatas yang

    mengarah kepada virus influenza A (H5N1), misalnya: Test HI yang menggunakan antigen H5N1, (b)

    dalam waktu singkat berlanjut menjadi pneumonia gagal pernafasan/meninggal, (c) terbukti tidak

    terdapat penyebab lain

    3) Kasus Konfirmasi yaitu kasus suspek atau "probable" didukung oleh salah satu hasil pemeriksaan

    laboratorium; (a) kultur virus influenza H5N1 positif, (b) PCR influenza (H5) positif, (c) peningkatan

    titer antibodi H5 sebesar 4 kali

    2.2. Kejadian Luar Biasa (KLB) Penyakit Flu Burung

  • Page 13

    Penyakit menular menyerang masyarakat kadang kala tidak bisa diantisipasi sebelumnya.

    Tingginya angka kesakitan dan kematian yang mendadak bisa berdampak pada timbulnya kepanikan dan

    ketakutan di masyarakat diantaranya penyakit flu burung. Kondisi saat ini penyakit flu burung telah

    masuk sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB).

    Depkes RI (1994) menyatakan KLB adalah timbulnya suatu kejadian kesakitan/kematian dan atau

    meningkatnya suatu kejadian atau kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu

    kelompok penduduk dalam kurun waktu tertentu, termasuk kejadian kesakitan/kematian yang

    disebabkan oleh penyakit menular maupun tidak menular dan kejadian bencana alam yang disertai

    wabah penyakit. Suatu kejadian dapat disebut KLB bila memenuhi satu atau lebih indikator sebagai

    berikut:

    1) Kesakitan/kematian suatu penyakit menular di suatu daerah menunjukan kenaikan tiga kali atau

    lebih selama tiga kurun waktu berturut-turut atau lebih.

    2) Jumlah penderita baru dalam satu bulan dari suatu penyakit di suatu daerah, menunjukan kenaikan

    dua kali lipat atau lebih bila dibandingkan angka rata-rata per bulan pada tahun sebelumnya dari

    penyakit menular yang sama di suatu daerah tersebut.

    3) Case Fatality Rate dari suatu penyakit menular tertentu dalam satu bulan di satu daerah,

    menunjukan kenaikan 50% atau lebih, bila dibandingkan dengan CFR penyakit yang sama dalam

    bulan yang lalu di daerah tersebut itu.

    4) Apabila di daerah tersebut terdapat penyakit menular yang sebelumnya tidak ada/dikenal.

    Kejadian Luar Biasa (KLB) tergolong dalam letusan kejadian yang bersumber dari

    makanan/minuman dan air, yang lain berupa penyakit menular atau kejadian yang tidak diketahui

    sebab-sebabnya. Depkes RI (1994) menggolongkan KLB sebagai berikut:

    1) Menurut penyebabnya mencakup toksin, infeksi, toksin biologis, dan kimia

    2) Menurut sumbernya mencakup bersumber dari manusia dan bersumber dari kegiatan manusia

    3) Bersumber dari hewan

    4) Bersumber dari serangga

    5) Bersumber dari udara

    6) Bersumber dari permukaan benda-benda/alat-alat

    7) Bersumber dari makanan/minuman

    Flu burung di Indonesia, telah dinyatakan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) oleh Menteri

    Kesehatan RI melalui Surat Keputusan No. 1371/Menkes/Per/IX/2005 tentang Penetapan Flu Burung

    (Avian Influenza) sebagai penyakit yang dapat menimbulkan wabah serta pedoman penanggulangannya.

  • Page 14

    Penyaki flu burung telah ditetapkan termasuk kondisi kejadian luar biasa sesuai Surat Keputusan

    Menkes No. 1372/Menkes/Per/IX2005 tentang penetapan kondisi kejadian luar biasa (KLB) Flu Burung

    (Avian Influenza).

    2.2.1. Faktor Lingkungan

    Lingkungan adalah agregat dari semua kondisi dan pengaruh-pengaruh luar yang mempengaruhi

    kehidupan dan perkembangan suatu organisasi (Azwar, 1999). Faktor lingkungan dapat berupa

    lingkungan biologi, lingkungan fisik, dan lingkungan sosial ekonomi (Budiarto dan Anggraeni, 2003).

    Lingkungan Biologi

    Lingkungan biologi ialah semua mahluk hidup yang berada disekitar manusia yaitu flora dan

    fauna, termasuk manusia. Misalnya wilayah dengan flora yang berbeda akan mempunyai pola penyakit

    berbeda. Faktor lingkungan biologi ini selain bakteri dan virus patogen, ulah manusia juga mempunyai

    peranan penting dalam terjadinya penyakit. Bahkan dapat dikatakan penyakit timbul karena ulah

    manusia. Lingkungan biologi yang berhubungan dengan penyakit flu burung akan diuraikan secara rinci

    berikut ini.

    Virus Penyebab Penyakit Flu Burung

    Penyebab flu burung adalah virus influenza tipe A. Virus influenza termasuk famili

    Orthomyxoviridae. Virus inflenza tipe A dapat berubah-rubah bentuk (drif shift). Berdasarkan sub tipe

    virus terdiri atas hemaglutinin (H) dan neuramidase (N). Kedua huruf ini digunakan sebagai identifikasi

    kode sub tipe flu burung yang banyak jenisnya.

    Pada manusia hanya terdapat jenis H1N1, H2N2, H3N3, H5N1, H9N2, H1N2, H7N7. Di binatang H1-

    H5 dan N1-N9. Strain yang sangat virulen/ganas dan menyebabkan flu burung adalah dari subtipe A

    yaitu H5N1. Dalam perkembangan virus influenza A pada manusia mengalami evolusi (Siegel, 2006)

    seperti pada Tabel 2.1.

    Tabel 2.1.Evolusi Influenza A Pada Manusia

    Tahun Galur Perkembangan

    1874 1890 1902 1918 1933 1947

    H3N8 H2N2 H3N2 H1N1 H1N1 H1N1

    Pandemi Flu Spanyol Galur-galur pertama diisolasi Varian terdeteksi

  • Page 15

    1957 1968 1997

    H2N2 H3N2 H5N1

    Flu Asia Flu Hongkong Kewaspadaan Pandemi

    Sumber: Siegel (2006)

    Penjamu Alami

    Burung-burung air yang liar, terutama yang termasuk dalam ordo Anserformis (bebek dan angsa)

    dan Charadiformis (burung camar dan burung-burung pantai), adalah pembawa (carier) semua varietas

    subtipe dari virus influenza A. Oleh karenanya, sangat mungkin merupakan penampung (reservoir) alami

    untuk semua spesies burung dianggap sebagai rentan terinfeksi, beberapa spesies unggas domestik-

    ayam, kalkun, balam. Puyuh dan merak diketahui terutama rentan terhadap sekuele (lanjutan) dari

    infeksi virus influenza.

    Virus-virus influenza A unggas biasanya tidak menimbulkan penyakit pada pejamu alami mereka.

    Sebaliknya virus-virus tersebut tetap dalam suatu keadaan statis yang evolusioner, yang secara

    molekuler ditandai dengan rendahnya rasio mutasi N/S (non synonymous vs synonymous) yang

    menunjukkan adanya evolusi pemurnian (Gorman, et al. 1992; Taubenberger, et al. 2005). Antara

    pejamu dengan virus agaknya terjadi saling toleransi yang seimbang, yang secara klinis ditunjukan

    dengan tidak adanya penyakit dan replikasi virus secara efiesien. Sejumlah besar virus sampai sebanyak

    10 8,7 x 50% dosis infektif (egg-infective dose) per gram tinja, dapat dikeluarkan (Webster 1978 dalam

    Mohamad 2006 ). Jika virus tersebut menular ke spesies unggas yang rentan, dapat timbul gejala-gejala

    sakit yang kalau ada hanya bersifat ringan. Virus dari fenotip seperti ini disebut sebagai berpatogenisitas

    rendah (LPAIV; Low Pathogenic Avian Influenza Virus). Pada umumnya, hanya mengakibatkan terjadinya

    penurunan produksi telur yang bersifat ringan dan sementara dalam unggas petelur, atau menurunkan

    penambahan berat badan dalam unggas pedaging (Capua and Minelli, 2001).

    Strain-strain dari subtipe H5 dan H7 berpotensi untuk mengalami mutasi menjadi bentuk yang

    sangat patogen setelah mengalami perpindahan dan adaptasi unggas terhadap pejamu baru. Kelahiran

    bentuk yang sangat patogen dari H5 dan H7 atau subtipe yang lain tidak pernah dijumpai pada unggas

    liar (Webster 1998). Oleh karena itu, orang dapat mengambil kesimpulan bahwa bentuk yang sangat

    patogen tersebut sebenarnya merupakan hasil perbuatan manusia juga, akibat kelakuan manusia yang

    mempengaruhi keseimbangan sistem alami.

    Sekali fenotip HPAIV tumbuh dalam unggas domestik, mereka akan dapat ditularkan secara

    horisontal dari unggas ternak kembali ke burung liar. Kerentanan burung liar terhadap penyakit yang

    ditimbulkan oleh HPAIV sangat bervariasi bergantung pada spesies dan umur unggas, serta strain

  • Page 16

    virusnya. Sampai pada munculnya virus ganas (HPAIV) garis H5N1 di Asia, limpahan dari HPAIV ke

    populasi burung liar hanya terjadi secara sporadik dan terbatas pada suatu daerah saja, kecuali satu

    yaitu pada kematian sekelompok sterna (sejenis camar) di Afrika Selatan pada tahun 1961 (Becker

    1996). Sebegitu jauh unggas liar secara epidemiologik tidak dianggap mempunyai peranan penting

    dalam penyebaran HPAIV. Pandangan ini kini berubah secara fundamental sejak awal 2005. Ketika

    terjadi wabah virus ganas (HPAIV) yang terkait dengan garis H5N1 Asia pada ribuan burung unggas di

    cagar alam Danau Qinghai di barat laut China (Chen et al, 2005).

    High Pathogenic Avian Influenza Virus (HPAIV)

    Patogenesis sebagai sifat umum virus dalam virus influenza A merupakan bakat filogenik dan

    sangat bergantung pada sebuah konstelasi gen yang optimal yang mempengaruhi antara lain tropisme

    (reaksi ke arah atau menjauhi stimulus) dari jaringan dan pejamu, efektivitas replikasi dan mekanisme

    penghindaran imunitas. Selain itu faktor spesifik pada tiap spesies berperanan juga terhadap hasil suatu

    infeksi, yang terjadi setelah penularan antar spesies, dan karenanya tidak dapat diduga sebelumnya.

    Proses timbulnya penyakit flu burung dalam perjalanan penyakit dipengaruhi oleh sifat-sifat

    mikroorganisme sebagai agen penyebab penyakit. High Pathogenic Avian Influenza (HPAI) adalah

    peningkatan kemampuan mikroorganisme (avian virus influenza) untuk menimbulkan penyakit flu

    burung pada manusia atau dalam kondisi virus influneza unggas yang sangat patogen yang sampai saat

    ini secara eksklusif ditimbulkan oleh subtipe H5 dan H7.

    Dalam kenyataannya hanya sebagian kecil subtipe H5 dan H7 yang menunjukan subtipe yang

    sangat patogen. Biasanya virus-virus H5 dan H7 bertahan stabil dalam pejamu alaminya dalam bentuk

    yang berpatogenesis rendah. Dari resevoir ini virus dapat ditularkan melalui berbagai jalan ke kawanan

    unggas ternak. Setelah masa sirkulasi yang bervariasi dan tidak pasti (dan barang kali juga beradaptasi)

    dalam populasi unggas yang rentan, virus-virus tersebut dapat secara melompat mengalami mutasi

    menjadi bentuk yang sangat patogen (Rohm, et al. 1995).

    Fenotipe HPAI di lapangan nampaknya merupakan hal yang jarang terjadi, dan selama jangka

    waktu lima puluh tahun terakhir di seluruh dunia hanya terjadi sebanyak 24 kali wabah HPAI primer

    yang diakibatkan oleh HPAIV, yang agaknya secara de novo muncul dengan cara demikian.

    Gambaran Reservoir

    Setelah masa tunas yang biasanya berlangsung selama beberapa hari (jarang sampai 21 hari),

    bergantung pada karakteristik isolat, dosis inokulum, spesies dan usia unggas, gambaran klinis influenza

  • Page 17

    unggas pada burung bervariasi dan gejalanya sering tidak spesifik (Elbers, et al. 2005). Oleh karena itu

    tidak mungkin untuk menegakkan diagnosis hanya berdasarkan gambaran klinis.

    Gejala-gejala yang terjadi setelah terinfeksi oleh avian influenza virus berpatogenesis rendah

    mungkin tidak terlalu jelas, seperti bulu-bulu yang kusut, produksi telur yang secara transien menurun

    atau berat badan menurun yang disertai sedikit gangguan pernafasan (Capua dan Mutineli, 2001).

    Dalam bentuknya yang patogen, penyakit yang terjadi pada ayam dan kalkun ditandai dengan

    serangan yang mendadak dengan gejala yang hebat serta kematian yang mendekati 100% dalam jangka

    waktu 48 jam. Penyebaran dalam kelompok bergantung pada pemeliharaan dalam kelompok yang

    dilepas di tempat yang kotor dan terjadi hubungan langsung serta percampuran dengan hewan lain,

    penyebaran infeksi berlangsung lebih cepat daripada yang dipelihara dalam kandang, tetapi masih juga

    diperlukan beberapa hari untuk terjadinya penularan yang sempurna (Capua, 2000). Seringkali hanya

    sebagian kandang saja yang terkena. Banyak unggas yang mati tanpa gejala-gejala awal sehingga

    kadang-kadang pada mulanya orang menduga telah terjadi keracunan (Nakatami, 2005).

    Di perusahaan ternak unggas yang besar, terjadinya penurunan konsumsi air dan makanan yang

    progresif dan dalam waktu singkat, dapat menjadi tanda akan adanya penyakit sistemik pada kawanan

    unggas ternak. Pada unggas petelur, terhentinya produksi telur sangat nyata. Secara individual, unggas

    yang terkena HPAI sering hanya menunjukan gejala apatis dan tidak banyak bergerak (Kwon, et al.

    2005). Pembengkakan nampak pada daerah kepala yang tidak ditumbuhi bulu, terjadi sianosis pada

    jengger, gelambir, dan kaki, diare dengan kotoran berwarna kehijauan dan nampak susah bernafas,

    dapat dijumpai meskipun tidak selalu (inkonsisten).

    Pada unggas petelur, mulanya telur yang dihasilkan berkulit lembek, tetapi kemudian produksi

    telur berhenti secara cepat sejalan dengan perkembangan penyakit (Elbers, 2005). Gejala-gejala sistem

    syaraf termasuk tremor, tortikolis, dan ataxia mendominasi gambaran klinis pada spesies yang tidak

    begitu rentan seperti bebek, angsa, dan jenis burung onta (Kwon, 2005).

    Virulensi Virus Avian influenza

    Influensa Unggas Patogenesis Rendah (Low Pathogenic Avian Influenza, LPAI)

    Kerusakan jaringan (lesio) yang terjadi bervariasi bergantung pada strain virus dan spesies serta

    umur pejamu. Pada umumnya, hanya kalkun dan ayam yang menunjukan terjadinya perubahan

  • Page 18

    mikroskopik yang besar terutama dengan strain yang sudah beradaptasi dengan penjamu ini (Capua dan

    Mutinelli, 2001).

    Pada kalkun terjadi sinusitis, trakheitis, meskipun kemungkinan ada juga peranan infeksi bakteri

    sekunder. Pernah juga dilaporkan terjadinya pankreatitis pada kalkun. Pada ayam yang paling sering

    dijumpai adalah radang ringan di saluran pernafasan. Selain itu, lesi juga terjadi pada organ reproduktif

    (ovarium, saluran telur, peritonitis kuning telur) dari unggas petelur.

    Influensa Unggas Patogenesis Tinggi (High Pathogenic Avian Influenza, HPAI)

    Perubahan patologik dan histopatologik yang hebat pada HPAI menunjukan kebergantungan

    serupa dengan yang nampak pada gambaran klinis. Ada empat kelas perubahan patologik yang

    dipostulasikan (Perkins dan Swayne, 2002) diantaranya adalah:

    (a) Bentuk perakut (kematian terjadi dalam waktu 24-36 jam setelah infeksi, terutama terlihat pada

    beberapa spesies galliformis) dan akut dari penyakit ini tidak menunjukkan terjadinya perubahan

    patologik yang besar. Pada bentuk perakut, terlihat hidroperikardium yang tidak jelas, kongesti usus

    yang ringan dan perdarahan petekhial pada selaput serosa mesenteri dan perikardium meskipun

    tidak selalu (Mutenelli, et al. 2003). Ayam yang terinfeksi oleh H5N1 garis Asia adakalanya

    menunjukan adanya bercak-bercak haemorrhagik disertai lendir di trakhea dalam jumlah yang nyata

    (Elbers, et al. 2005). Dapat juga dijumpai pembengkakan serosa (serous exudattion) dalam rongga-

    rongga tubuh dan paru-paru. Bintik-bintik perdarahan di mukosa proventrikulus, secara khusus

    dijumpai pada unggas yang terinfeksi H5N1 garis Asia (Elbers, et al. 2005). Berbagai lesio histologi

    bersama-sama dengan antigen virus dapat dideteksi di berbagai organ (Mo, 1997). Pertama-tama

    virus ditemukan di sel endotel. Berikutnya sel-sel yang terinfeksi oleh virus dijumpai di myokardium,

    kelenjar adrenal dan pankreas. Neuron dan juga sel glia di otak juga terinfeksi. Secara patogenesis,

    diduga perjalanan penyakitnya serupa dengan infeksi virus endoteliotropik lainnya, ketika aktivasi

    leukosit dan endotel mengakibatkan pelepasan sitotoksin secara sistematik dan tidak terkoordinasi

    dan menjadi predisposisi kegagalan jantung-paru dan kegagalan multiorgan (Klenk, 2005).

    (b) Pada hewan, gejala-gejala awal muncul sangat lambat dan penyakit berlangsung lama. Terlihat juga

    gejala neurologik dan secara histologik, terjadi lesi nonsupuratif di otak mendominasi gambaran

    klinis (Perkin dan Swayne, 2002; Kwon, 2005). Perjalanan penyakit semacam ini pernah diuraikan

    pada angsa, bebek, dan spesies lain yang secara eksperimental diinfeksi dengan HPAI strain H5N1

    garis Asia. Pada unggas petelur, peradangan dapat ditemukan di kandung telur, saluran telur, dan

    setelah folikel pecah, terjadi peradangan yang disebut sebagai peritonitis kuning telur.

  • Page 19

    (c) Pada bebek, burung camar, dan burung gereja, dijumpai replikasi virus yang terbatas. Unggas-

    unggas ini menunjukan terjadinya pneumonia interstisial yang ringan, radang kantung udara dan

    adakalanya miokarditis limfositik dan histiositik (Perkins dan Swayne 2002).

    (d) Dalam percobaan yang dilaporkan oleh Perkins dan Swayne (2003), burung dara dan walet terbukti

    kebal terhadap infeksi H5N1. Meskipun demikian, Werner et al (belum dipublikasikan) berhasil

    memicu terjadinya gangguan neurologik yang berkepanjangan akibat adanya ensefalitis non-

    supuratif (Klopfleisch, 2006). Sebaiknya sewaktu mengambil sampel dari burung yang diduga

    terkena HPAI, standar keamanan harus dipatuhi agar petugas tidak terpapar pada HPAIV yang

    berpotensi menular ke manusia (Bridges et al, 2002).

    Lingkungan Fisik

    Lingkungan fisik dapat berupa geografis dan keadaan musim. Misalnya, negara yang beriklim

    tropis mempunyai pola penyakit yang berbeda dengan negara yang beriklim dingin atau subtropis.

    Demikian pula antara negara maju dengan negara berkembang. Dalam satu negara pun dapat terjadi

    perbedaan pola penyakit, misalnya antara daerah pantai dan daerah pegunungan atau antara kota dan

    desa (Budiarto dan Anggareni 2003). Azwar (1999) menyatakan keadaan geografis dapat berupa letak

    wilayah, struktur tanah, curah hujan, sinar matahari, angin, kelembaban udara, suhu udara, dan lain

    sebagainya.

    Peranan lingkungan fisik sebagai tempat hidup virus H5N1 menentukan dalam penularan penyakit

    flu burung. Menurut Depkes RI (2004) virus H5N1 dapat bertahan hidup di air sampai 4 hari pada suhu

    22C dan lebih dari 30 hari pada 0C. Virus akan mati pada pemanasan 60C selama 30 menit atau 56C

    selama 3 jam dan dengan deterjen, desinfektan misalnya formalin serta cairan yang mengandung iodin.

    Lingkungan alam terutama di permukaan air, meskipun dalam morfologi nampak rapuh,

    merupakan media bagi virus influenza unggas dalam mempertahankan daya penularannya (Stalknecht,

    1990a+b, Lu, 2003). Selain menular melalui kontak langsung dari pejamu ke pejamu, air dan benda-

    benda lain yang tercemar virus merupakan jalur penularan tidak langsung yang juga penting. Ini berbeda

    dengan penularan virus influenza pada mamalia (manusia, babi, kuda) yang terutama terjadi melalui

    percikan droplet yang tersembur dari hidung dan mulut. Siklus infeksi antar unggas terjadi melalui rantai

    oral-fekal (mulut-tinja) melalui penghantar media udara.

    Air yang digunakan oleh burung liar, atau makan dan minum dari sumber yang tercemar kotoran

    burung liar pembawa virus merupakan faktor risiko penularan dari burung liar ke unggas peliharaan

    terutama terjadi kalau unggas peliharaan tersebut dibiarkan bebas berkeliaran (Capua, et al. 2003).

    Unggas juga dapat terinfeksi jika bersentuhan langsung dengan hewan pembawa virus, atau kotoran

  • Page 20

    hewan lain yang membawa virus, atau bersentuhan dengan benda-benda yang tercemar bahan

    mengandung virus. Sekali virus menginfeksi kawanan unggas, LPAIV tidak harus mengalami suatu fase

    adaptasi pada spesies unggas tersebut sebelum dikeluarkan lagi dalam jumlah yang cukup besar untuk

    dapat menular secara horisontal ke unggas lain, baik dalam kawanan sendiri atau ke kawanan yang lain.

    Demikian pula sekali HPAIV berkembang dari kawanan unggas yang terinfeksi LPAIV, virus juga dapat

    menular dengan cara yang sama.

    Lingkungan fisik lainnya yang merupakan faktor risiko penularan penyakit flu burung adalah

    pasar unggas. Menurut Bulaga et al, (2003), pasar unggas yang menjual unggas dalam jumlah besar dan

    ditempatkan secara saling berdesakan, merupakan multifaktor penyebaran penularan penyakit flu

    burung. Bahkan Yuen, et al (1998) menyatakan kasus-kasus yang pertama kali ditemukan adanya

    hubungan antara HPAIV H5N1 garis Asia dengan penyakit pernafasan pada manusia di Hongkong pada

    tahun 1997 yang secara epidemiologik berhubungan dengan kejadian wabah H5N1 yang sangat patogen

    di pasar unggas hidup.

    Virus HPAI H5N1 garis Asia dapat ditemukan di semua jaringan termasuk daging di tubuh

    bangkai. Beberapa kejadian serupa, di laporkan bahwa orang yang menyembelih atau mempersiapkan

    unggas yang sakit untuk di makan telah mengalami penyakit yang fatal, sementara anggota keluarga

    yang juga ikut makan daging unggas tersebut tidak mengalami hal serupa

    (http//www.who.ins/csr/don/2005_10_13/n/indek.html).

    Suatu strain H9N2 telah menyebabkan mirip influenza ringan pada dua orang anak dalam

    kejadian SAR di Hongkong di tahun 1999, dan seorang anak lagi dipertengahan bulan Desember 2003

    (Saito, 2001; Butt, 2005). Strain H9N2 yang beredar di dalam unggas ternak pada saat ini telah

    menimbulkan gejala-gejala dan angka kematian yang bermakna pada spesies yang rentan semisal kalkun

    dan ayam.

    Sampai hari ini, tidak ada bukti daging unggas yang dimasak secara baik dapat menjadi sumber

    penularan H5N1 garis Asia pada manusia. Sebagai pedoman umum, WHO menganjurkan agar daging di

    masak sampai matang benar, sehingga seluruh bagian daging mencapai suhu internal 70Celsius. Pada

    suhu ini virus infuenza dapat dimatikan sehingga membuat aman untuk di makan meskipun daging

    mentahnya telah tercemari virus H5N1 (WHO 2005).

    Dalam beberapa kejadian, virus influenza unggas sudah menular ke berbagai spesies mamalia.

    Golongan babi telah sering terlibat dalam perlintasan antar kelas semacam itu. Virus H1N1 di populasi

    babi yang serupa virus unggas banyak dijumpai (Heinen, 2002). Virus H1N2, yang merupakan virus re-

  • Page 21

    assortment unggas-manusia, pertama kali berhasil di isolasi di Inggris tahun 1992, kini makin mantap

    pertumbuhannya (Brown, et al. 1998). Di Amerika Serikat virus (H3N2) yang merupakan triple re-

    assortment antara H1N1 yang klasik, virus H3N2 manusia dan subtipe virus unggas kini mulai beredar

    (Olsen, 2005). Subtipe lain yang barangkali yang berasal dari unggas (misalnya H1N7, H4N6) beberapa

    kali di jumpai pada babi (Karasin, 2000). Virus H9N2 yang berasal dari unggas dalam prevalensi yang

    moderat dijumpai pada babi di China bagian Timur ( Xu, 2004). Selain babi, mamalia laut dan kuda juga

    sudah menunjukan tertulari virus influenza yang berasal dari unggas (Guo, 1992; Ito, 1999).

    Infeksi H5N1 secara alami juga pernah dijumpai pada harimau dan kucing besar lainnya di

    sebuah kebun binatang di Thailand setelah hewan-hewan itu diberi makan bangkai ayam yang diduga

    membawa virus (Aminosin dan Payungporn, 2005). Hewan-hewan tersebut kemudian menderita sakit

    berat dengan angka kematian yang tinggi. Nampaknya terjadi juga penularan dari kucing ke kucing di

    kebun binatang tersebut (Thanawongnuwech, et al. 2005). Kasus-kasus ini merupakan laporan pertama

    tentang terjadinya virus influenza pada golongan Felidae. Dalam suatu eksperimen, kucing rumah eropa

    berbulu pendek juga dapat ditulari virus H5N1 (Kuiken, 2004).

    Pada tahun 2004 sebanyak 3000 sampel serum yang diambil dari babi yang banyak berkeliaran

    di Vietnam telah di uji secara serologi untuk mengetahui seberapa jauh mereka telah terpapar oleh virus

    influenza H5N1 (Choi 2005). Nampaknya hasil penelitian menunjukan virus H5N1 ganas yang beredar di

    Asia dapat secara alami menginfeksi babi tetapi insiden penularan seperti ini masih rendah. Tidak satu

    pun virus H5N1 dari unggas dan manusia dalam uji coba tersebut sanggup menular diantara babi-babi

    dalam kondisi eksperiment ini (Choi, 2005).

    Dalam sebuah laporan singkat (Promed Mail 20050826), disampaikan sebuah kejadian infeksi

    mematikan oleh influenza H5N1 pada tiga ekor musang pemakan ikan yang lahir di tempat

    pemeliharaan di sebuah taman nasional Vietnam. Sumber penularan sampai saat ini belum diketahui

    dengan jelas. Sementara 20 ekor hewan sejenis yang tinggal di kandang sebelahnya tidak ada satupun

    yang sakit. Virus influenza unggas tidak ditemukan pada tikus, kelinci dan beberapa jenis hewan lainnya

    yang ada di pasar unggas hidup di Hongkong. Namun sebanyak 20% ayam yang dijual di sana ditemukan

    positif terinfeksi H5N1 garis Asia (Shortridge, 1998).

    Lingkungan Sosial Ekonomi

    Budiarto & Anggraeni (2003) menyatakan bahwa lingkungan sosial ekonomi mencakup

    pekerjaan, urbanisasi, perkembangan ekonomi, dan bencana alam. Lingkungan sosial ekonomi yang

    berhubungan dengan kejadian penyakit flu burung salah satunya adalah pekerjaan. Depkominfo (2005)

    menyebutkan bahwa pekerjaan yang beresiko tinggi tertular oleh penyakit flu burung adalah peternak,

  • Page 22

    pemotong ayam, penjual ayam, pemelihara ayam/burung/unggas lainnya, dan petugas laboratorium

    yang meneliti/memeriksa penyakit flu burung.

    Tingginya risiko jenis pekerjaan tersebut karena setiap saat bersentuhan atau kontak dengan

    sumber penularan penyakit flu burung. WHO (2005) menyatakan bahwa risiko penularan langsung dari

    unggas ke manusia terutama terjadi pada mereka yang telah bersentuhan/kontak dengan unggas ternak

    yang sudah terinfeksi, atau dengan permukaan benda-benda yang banyak tercemari kotoran unggas.

    Risiko terpapar diperkirakan cukup substantif sewaktu penyembelihan, pencabutan bulu, pemotongan

    dan persiapan unggas untuk di masak (http//www.who.int/csr/don/2005_08_18).

    Wabah influneza unggas yang patogen secara keseluruhan dapat mengakibatkan kehancuran

    bagi industri ternak unggas, apalagi bagi peternak individual, di wilayah terserang seperti pada Tabel 3.

    (Mohammad, 2006).

    Tabel 2.2.Kejadian wabah influenza yang patogen di masa lalu di dunia

    Tahun Negara/Wilayah Unggas peliharaan yang terkena Strain

    (1) (2) (3) (4)

    1959 1963 1966

    Skotlandia Inggris Ontario (Kanada)

    2 kelompok ayam 29.000 ekor ternak kalkun 8.100 ekor ternak kalkun

    A/ayam/Skotlandia/59 (H5N1) A/kalkun/Inggris/63 (H7N3) A/kalkun/Ontario/7732/66 (H5N9)

    (1) (2) (3) (4)

    1976 1979 1979 1983-1985

    Victoria (Australia) Jerman Inggeris Pennsylvania

    25.000 ayam petelur, 17.000 ayam boriler, & 16.000 bebek 1 kelompok yang terdiri dari 600.000 ayam 3 perusahaan peternak kalkun (jumlah unggas yang terkena tidak dilaporkan) 17 juta unggas dalam 452 kelompok; sebagian besar ayam atau kalkun, dan beberapa burung puyuh dan burung liar

    A/ayam/Victoria/76 (H7N7) A/ayam/Jerman/79 (H7N7) A/kalkukn/Inggeris/199/79 (H7N7) A/ayam/Pennyisylvania?1370/83 (H5N2)

  • Page 23

    1983 1985 1991 1992 1994 1994-2005 1994 1997 1997 1997 1992-2000 2002-2005 2002-2003 2004 2004

    Irlandia Victoria Inggeris Victoria Australia Meksiko Pakistan Hongkong (China) New South Wales (Australia) Italia Italia Asia Tenggara Belanda Kanada Amerika Serikat

    800 kalkukn pedaging mati; 8640 kalkun, 28.020 ayam, 270.000 bebek dimusnahkan 24.000 perbenihan ayam broiler, 27.000 ayam petelur, 69.000 ayam broiler, 118.418 ayam dari berbagai jenis 8.000 kalkun 12.700 perbenihan broiler, 5.700 bebek 22.000 ayam petelur Data tentang jumlah unggas yang terkena tidak ada, 360 kelompok ayam dimusnahkan 3,2 juta ayam broiler dan perbenihan broiler 1,4 juta ayam dan sejumlah unggas peliharaan 128.000 benih ayam broiler, 261 ayam Sekitar 6.000 ayam, kalkun, bebek, merpati, dan berbagai unggas liar 413 peternakan, sekitar 14 juta unggas China, Hongkong, Indonesia, Jepang, Kampuchea, Korea, Thailand, Vietnam, diperkirakan 150 juta unggas Belanda; 255 peternakan, 30 juta unggas Belgia; 8 peternakan, 3 juta unggas Jerman; 1 peternakan, 80.000 ayam broiler 53 kelompok, 17 juta ayam 6.600 ayam broiler

    A/kalkun/Irlandia/1378/83 (H5N8) A/ayam/Victoria/85 (H7N7) A/kalkun/Inggeris/50-92/91 A/ayam/Victoria?85 (H7N7) A/ayam/Quensland/667-6/94 A/ayam/Puebla/8623-607/94 (H5N2) A/ayam/Pakistan/447/95 (H7N3) A/ayam/Hongkonh/220/97 (H5N1) A/ayam/New South Wales/1651/97 (H7N4) A/ayam/Italia/330/97 (H5N2) A/kalkun/Italia/99 (H7N1) A/ayam/Asia Timur/2003-2005 (H5N1) A/ayam/Belanda/2003 (H7N7) A/ayam/USA-TX/2004 (H5N2)

    2.2.2. Faktor Manusia

    Faktor manusia adalah semua faktor yang terdapat pada diri manusia yang dapat

    mempengaruhi timbulnya serta perjalanan suatu penyakit (Azwar, 1999). Penyakit flu burung yang

    terjadi saat ini erat kaitannya dengan faktor manusia yang terdiri dari umur, kebiasaan, dan faktor

    lainnya yang ada dalam manusia.

  • Page 24

    Penyakit flu burung lebih banyak menyerang kelompok anak-anak dan usia dewasa di banding

    usia balita walaupun tingkat kematian lebih banyak pada usia balita. Kelompok anak-anak dan usia

    dewasa muda mempunyai risiko terkena penyakit flu burung lebih tinggi akibat risiko terpapar oleh

    reservoir lebih tinggi di bandingkan balita karena aktivitas kehidupan dan interaksi dengan lingkungan

    sekitar lebih terbuka dan bebas. Namun untuk balita risiko kematian lebih tinggi terjadi akibat sistem

    kekebalan yang belum kuat atau juga penanganan kasus yang lambat karena gambaran klinis penyakit

    flu burung pada balita hampir sama dengan gejala pneumonia atau Infeksi Saluran Pernafasan Akut

    (ISPA) yang kadang kala tidak teridentikasi secara dini bahkan masa inkubasi pada anak bisa sampai 21

    hari.

    Secara umum gambaran klinis pada manusia yang tertular oleh virus H5NI secara nyata dapat di

    lihat melalui tanda dan gejala yang dikeluhkan. Gejala pada manusia diantaranya adanya demam dengan

    suhu badan diatas 38C, adanya batuk dan nyeri tenggorokan, radang saluran pernafasan atas,

    pneumonia, infeksi mata, dan nyeri otot. Penyakit flu burung pada manusia mengalami masa inkubasi

    yang relatif cukup cepat dibandingkan dengan penyakit menular lainnya. Masa inkubasi flu burung pada

    manusia yaitu 1-3 hari dengan masa infeksi 1 hari sebelum sampai 3-5 hari sesudah timbul gejala.

    Faktor manusia lainnya adalah gaya hidup atau kebiasaan sehari-hari yang tidak memperhatikan

    perilaku hidup bersih sehat dapat juga berisiko tertular H5NI. Salah satu kebiasaan tidak hidup sehat

    yaitu kebiasaan tidak mencuci tangan ini dapat mempercepat proses penularan H5N1 karena penularan

    dapat melalui kontak langsung lewat tangan yang menyentuh, memegang, atau bersinggungan dengan

    semua yang tercemar virus, termasuk saat berkontak dengan unggas atau telurnya (Djuwita & Endarti,

    2006).

    2.3. Upaya Pencegahan, Pengendalian, dan Penanggulangan Penyakit Flu Burung

    2.3.1. Upaya Pencegahan

    Upaya pencegahan dari penyakit flu burung dilakukan pada kelompok unggas dengan cara

    melakukan pemusnahan unggas/burung yang terinfeksi flu burung dan melakukan vaksinasi pada

    unggas yang sehat. Sedangkan pada manusia kelompok berisiko tinggi (pekerja peternakan dan

    pedagang) yaitu mencuci tangan dengan desinfektan dan mandi sehabis kerja, hindari kontak langsung

    dengan ayam atau unggas yang terinfeksi flu burung, menggunakan alat pelindung diri (contoh masker

    dan pakaian kerja), meninggalkan pakaian kerja di tempat kerja, membersihkan kotoran unggas setiap

    hari, dan imunisasi. Pada masyarakat umum dengan cara menjaga daya tahan tubuh dengan memakan

    makanan bergizi dan istirahat cukup, mengolah unggas dengan cara yang benar yaitu pilih unggas yang

  • Page 25

    sehat (tidak terdapat gejala-gejala penyakit pada tubuhnya) dan memasak daging ayam sampai dengan

    suhu kurang lebih 80 Celsius selama 1 menit dan pada telur sampai dengan suhu kurang lebih 64

    Celsius selama 4,5 menit.

    2.3.2. Upaya Pengendalian dan Penanggulangan

    Pemerintah Indonesia telah membuat kerangka rencanan strategis dalam upaya pengendalian

    penyakit flu burung yang bertujuan untuk mencegah perkembangan flu burung ke tahap berikutnya

    (pandemi), penanganan sebaik-baiknya pasien/korban flu burung pada manusia dan hewan,

    meminimalkan kerugian akibat perkembangan flu burung, pengelolaan pengendalian flu burung secara

    berkelanjutan, dan mengefektifkan kesiapsiagaan nasional menghadapi pandemi influenza.

    Pengendalian flu burung perlu dilakukan sesuai dengan standar internasional. Kepatuhan

    terhadap ketentuan/standar internasional ini sangat penting sehingga dampak terhadap kesehatan

    hewan, kemungkinan penularannya pada manusia dan penyebarannya ke daerah wilayah dan negara

    lain dapat dihindari. Dengan demikian langkah ini merupakan pertangungjawaban bangsa dan negara

    Indonesia sebagai bagian dari Asia dan dunia internasional. Berkaitan dengan ini, maka langkah

    pengendalian flu burung ini merupakan upaya bersama dan perlu ditangani secara terpadu yang

    tertuang dalam program suatu negara, suatu wilayah, dan dunia yang terkait satu sama lain. Strategi

    pengendalian yang dilakukan adalah:

    1) Pengendalian penyakit AI/flu burung pada hewan dengan kegiatan utama depopulasi daerah tertular

    dan vaksinasi emergency, stamping out pada daerah tertular baru, biosecurity dan monitoring,

    meningkatkan pengawasan karantina terhadap lalu lintas media pembawa HPAI dan penulusuran

    balik, penyediaan vaksin dan peningkatan cakupan vaksinasi pada hewan terutama sektor 3 dan 4

    yaitu daerah yang ditemukan adanya wabah flu burung pada hewan.

    2) Penatalaksanaan kasus pada manusia dengan kegiatan utama adalah pengadaan obat antiviral,

    pelaksanaan rujukan kasus, penyediaan sarana dan prasarana penanganan kasus di rumah sakit,

    penyusunan SOP penatalaksanaan kasus, dan pelatihan tenaga kesehatan.

    3) Perlindungan kelompok risiko tinggi dengan kegiatan utama adalah penyediaan alat pelindung diri

    (pada peternak, petugas kesehatan peternakan, rumah sakit, dan laboratorium), perbaikan sanitasi

    lingkungan peternakan dan pasar unggas serta RPA, penyuluhan dan peningkatan cara hidup sehat

    dengan unggas

    4) Surveilans epidemiologi pada hewan dan manusia dengan kegiatan utama adalah penyusunan dan

    pelaksanaan sistem surveilans terintegrasi termasuk surveilans kelompok risiko tinggi, penyusunan

    dan pelaksanaan sistem kewaspadaan dini (SKD), pengadaan saranan dan prasarana surveilans,

  • Page 26

    peningkatan kuantitas dan kualitas SDM surveilans, menyusun sistem surveilans menghadapi

    pandemi, pemantauan pasca vaksinasi, surveilans terhadap potensial reservoir AI hewan,

    pelaksanaan surveilans epidemiologi molekuler pada hewan dan manusia, pemantauan efektifitas

    homologus/heterologus vaksin pada peternakan dengan menggunakan metode sentinel birds,

    pemantauan efektivitas homologus vaksin pada peternakan dengan menggunakan metode DIVA,

    penyusunan dan pelaksanaan sistem penanggulangan AI dan PI dengan data based terintegrasi yang

    menggunakan teknologi sistem informasi geografi, dan pengembangan sistem informasi surveilans

    kesehatan hewan yang terintegrasi dari tingkat pusat sampai tingkat daerah, laboratorium, industri

    peternakan dan peternak.

    5) Restrukturisasi sistem industri perunggasan dengan kegiatan utama adalah pengkajian sistem usaha

    peternakan ungggas, penyusunan aturan penataan ulang sistem usaha peternakan unggas termasuk

    penataan rumah potong ayam hewan dan pasar unggas ternak, dan pelaksanaan sistem usaha

    perunggasan peternakan unggas yang ditetapkan.

    6) Komunikasi, informasi dan edukasi dengan kegiatan utama pengembangan komunikasi publik untuk

    mendiseminasikan cara pencegahan dan pengendalian flu burung, pembentukan organisasi

    peternak kecil dan menengah, penyuluhan dan pelatihan masyarakat dalam surveilans dan

    pencegahan flu burung, bina suasana terhadap kelompok khusus (legislatif, pelajar, pendidik, LSM,

    masyarakat perunggasan, tokoh masyarakat, komunitas kesehatan/veteriner trade community,

    komunitas ternak).

    7) Penguatan dukungan peraturan dengan kegiatan utama finalisasi revisi UU No. 6 tahun 1967.

    8) Peningkatan kapasitas dengan kegiatan utama pembentukan panel ahli (dokter hewan dan ahli

    kesehatan masyarakat) kelembagaan pengendalian AI/flu burung terpadu di tingkat nasional sampai

    sektoral dan regional tim respon cepat terpadu, peningkatan kapasitas otoriter veteriner,

    pembentukan tim surveilans integrasi di pusat dan daerah, pembangunan dan memfungsikan

    laboratorium BSL 3 untuk hewan dan manusia, melengkapi sarana dan prasarana termasuk sumber

    daya manusia laboratorium regional dan rujukan nasional, pembangunan 2 laboratorium kesehatan

    hewan tipe A dan melengkapi sarana dan prasarana termasuk sumber daya manusia pada 7

    laboratorium kesehatan hewan tipe A, melengkapi sarana dan prasarana termasuk sumber daya

    manusia pada 7 laboratorium kesehatan hewan tipe B, melengkapi sarana dan prasarana termasuk

    sumber daya manusia pada lembaga penelitian, melengkapi sarana dan prasarana termasuk sumber

    daya manusia pada lembaga produksi bahan biologi, melengkapi sarana dan prasarana termasuk

    sumber daya manusia pada lembaga penguji dan sertifikasi, melengkapi sarana dan prasarana

  • Page 27

    termasuk sumber daya manusia pada laboratorium karantina hewan, pertemuan berkala dan

    komunikasi intensif antar laboratorium, dan peningkatan peralatan dan SDM lab tipe C/poskeswan,

    rekruitmen tenaga veteriner dengan sistem kontrak lapangan, pelatihan/training sumber daya

    kesehatan (hewan, karantina, lembaga penelitian), akreditasi laboratorium veteriner, dan

    memperkuat fungsi puskesmas dalam surveilans, sosialisasi, penemuan kasus dan sistem rujukan

    AI/flu burung.

    9) Penelitian kaji tindak dengan kegiatan utama adalah melakukan penelitian epidemiologi dan

    genotiping serta diagnosis, pengembangan vaksin untuk manusia dan uji coba, pembuatan antigen,

    pengembangan model jejaring laboratorium penelitian flu burung, melakukan penelitian efektivitas

    vaksin dan vaksinasi hewan yang berkualitas dan aman, penelitian dan pengembangan diagnostik

    reagensia dan kits, penelitian dan pengembangan vaksin pada unggas selain ayam dan itik.

    Sementara itu dalam upaya pengendalian Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)

    merekomendasikan penerapan stamping out untuk menangani wabah HPAI untuk menghindari risiko

    terjadinya penularan kepada manusia, karena HPAI bersifat zoonis. Hal tersebut juga organisasi

    Terrestrial Animal Code mengatakan bahwa negara dapat dinyatakan bebas dari HPAI jika setelah masa

    3 tahun dari kasus yang terakhir tidak terjadi kasus lagi atau setelah 6 bulan dari pemusnahan kasus

    terakhir tidak terjadi kasus lagi, bagi negara yang menerapkan kebijakan stamping out (pemusnahan

    masal) dengan atau tanpa vaksin.

    Negara Indonesia tidak mengambil kebijakan pemusnahan massal sebagai prioritas karena

    situasi peternakan unggas berbeda, dimana lokasi peternakan unggas di Indonesia tidak tersentralisasi,

    namun menyebar pada berbagai tempat ditambah lagi dengan ragam usaha peternakan yang bervariasi,

    peternakan ayam disekitar rumah, skala peternakan rakyat sampai skala industri. Situasi tersebut

    menyebabkan kesulitan untuk menerapkan kebijakan pemusnahan masal dalam menanggulangi wabah

    AI. Kenyataan lapangan yang menunjukkan bahwa penyakit telah menyebar secara luas pada sentra-

    sentra perunggasan dan minimnya persediaan kompensasi, maka kebijakan pemusnahan massal tidak

    mungkin dapat diterapkan di Indonesia untuk menanggulangi wabah HPAI yang sedang berjangkit,

    karena akan menimbulkan dampak psikologis, sosial, politik, dan ekonomi yang amat besar.

    Mempertimbangkan pola budidaya peternakan unggas dan penyebaran HPAI di Indonesia, maka

    pendekatan yang efektif untuk dilakukan guna menanggulangi wabah AI adalah menerapkan kebijakan

    depopulasi selektif, peningkatan biosecuriti yang diikuti dengan pelaksanaan vaksinasi dan pembatasan

    lalu lintas. Depopulasi selektif dibatasi pada pemusnahan ayam yang sekandang dengan ayam sakit.

    Semua ayam sakit dan ayam yang dimusnahkan ditanam sekurang-kurangnya dengan dalam 1,5 meter

  • Page 28

    atau dibakar setelah dimatikan lebih dulu. Ayam sakit atau ayam sekandang dengan ayam sakit tidak

    boleh dikeluarkan untuk tujuan dipasarkan. Kotoran ayam dari peternakan terinfeksi tidak boleh

    dikeluarkan untuk digunakan sebagai pupuk karena akan menjadi sumber penularan. Sementara itu

    kandang dan peralatan peternakan dibersihkan dan didesinfektan secara reguler untuk meningkatkan

    sanitasi dan higienis. Kendaraan pengangkut sarana produksi peternakan dibatasi untuk keluar dan

    masuk lokasi peternakan dan juga harus didesinfeksi.

    Standar Operasionl Prosedur (SOP)

    Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, secara umum prinsip-prinsip kerja yang

    higienis seperti mencuci tangan dengan sabun atau desinfektan lainnya dan menggunakan alat

    pelindung diri. Hal tersebut merupakan upaya yang harus dilakukan oleh mereka yang kontak dengan

    unggas, baik unggas hidup maupun unggas mati.

    WHO juga menyatakan bahwa dengan memasak bahan makanan asal unggas secara baik

    (merebus daging sampai 80C/sampai mendidih, merebus telur menjadi masak) maka virus akan mati.

    Juga perlu diperhatikan pada saat mengolah/memasak unggas dengan memakai perlindungan. Dan

    setelah itu mencuci tangan dengan sabun deterjen secara bersih.

    Khusus pada peternakan dan pemotongan hewan terdapat beberapa anjuran WHO yang dapat

    dilakukan (Depkominfo, 2005):

    1) Semua orang yang kontak dengan binatang yang telah terinfeksi harus sering-sering mencuci tangan

    dengan sabun. Mereka yang langsung memegang dan membawa binatang yang sakit sebaiknya

    menggunakan desinfektan untuk membersihkan tangannya

    2) Mereka yang memegang, membunuh, dan membawa atau memindahkan unggas yang sakit dan

    atau mati karena flu burung seyogianya melengkapi diri dengan baju pelindung, sarung tangan

    karet, masker, kacamata pelindung, dan juga sepatu bot.

    3) Ruangan kandang perlu selalu dibersihkan dengan prosedur yang baku dan memperhatikan faktor

    keamanan petugas

    4) Pekerja peternakan, pemotongan, dan keluarganya perlu diberitahu untuk melaporkan ke petugas

    kesehatan bila menghidap gejala-gejala pernafasan, seperti batuk, pilek, sakit tenggorokan, susah

    nafas, infeksi mata, dan gejala flu lainnya.

  • Page 29

    5) Dianjurkan juga agar petugas yang dicurigai punya potensi tertular ada dalam pengawasan petugas

    kesehatan secara ketat. Ada yang menganjurkan pemberian vaksin influenza, penyediaan obat

    antivirus, dan pengamatan perubahan kondisi pekerja.

    Standar Operasional Prosedur (SOP) lainnya adalah melaksanakan perilaku hidup sehat

    diantaranya melaksanakan kebiasaan mencuci tangan. Berikut ini adalah SOP mencuci tangan yang

    benar:

    1) Cucilah tangan anda dengan air mengalir, kalau bisa dengan air hangat karena air hangat lebih baik

    daripada air dingin untuk membunuh kuman,

    2) Gunakan sabun dan kemudian gosok tangan dengan sabun berbusa sampai sekitar 10 atau 15 detik.

    Pastikan daerah-daerah seperti sela-sela jari dan di bawah kuku juga ikut dibersihkan. Bersihkan

    sampai ke pergelangan tangan,

    3) Bilaslah tangan, kemudian keringkan dengan baik menggunakan handuk.

    Kebersihan lingkungan merupakan faktor risiko terbaik dalam pencegahan terhadap penularan

    penyakit. Untuk mencegah tertular oleh virus flu burung perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

    1) Bersihkan kandang secara rutin setiap hari,

    2) Buanglah kotoran unggas dengan cara ditimbun,

    3) Bersihkan makanan unggas yang tercecer di lantai sehingga tindak mengundang burung-burung liar

    ke kandang,

    4) Alirkan limbah cair yang berasal dari hasil pembersihan kandang ke saluran pembuangan kotoran

    yang tersedia (selokan),

    5) Jauhkan kandang-kandang unggas dari tempat tinggal,

    6) Apabila ada unggas (ayam, burung, bebek) yang mati gunakan sarung tangan pada saat membakar

    dan menimbun unggas tersebut,

    7) Bagi pekerja pada peternakan unggas seyogianya: a) menggunakan pakaian pelindung diri (topi,

    masker, sarung tangan, sepatu bot, pakaian khusus, b) cuci tangan dan kaki setelah keluar dari

    kandang, c) jangan merokok dan makan di dalam areal kandang,

    8) Apabila menggunakan pupuk kandang pada tanaman diharapkan menggunakan sarung tangan dan

    masker (tutup hidung),

    9) Apabila akan membersihkan ayam yang sudah dipotong diharapkan: a) membersihkan ayam

    tersebut dengan air mengalir, b) buanglah kotoran yang berasal dari jeroan dengan dibungkus

    plastik, c) cucilah telur sebelum disimpan, d) cuci tangan dengan sabun, atau deterjen setelah

    membersihkan ayam atau telur.

  • Page 30

    Pencegahan penyakit flu burung tentunya tidak hanya berorientasi pada pekerja peternakan

    saja ataupun pada masyarakat secara umum. Petugas kesehatan yang memberikan pelayanan

    perawatan dan pengobatan pada pasien dengan penyakit flu burung tentunya harus memenuhi standar

    operasional prosedur. Kewaspadaan universal standar bagi petugas rumah sakit adalah:

    1) Mencuci tangan yang dilakukan di bawah air mengalir dengan menggunakan sabun dan sikat selama

    kurang lebih 5 menit, yaitu menyikat seluruh permukaan telapak tangan maupun punggung tangan,

    2) Hal ini dilakukan sebelum dan sesudah memeriksa penderita,

    3) Pakaian yang digunakan adalah pakaian bedah atau pakaian sekali pakai,

    4) Memakai masker N95 atau minimal masker bedah,

    5) Menggunakan pelindung wajah/kaca mata goggle (bila diperlukan),

    6) Menggunakan apron/gaun pelindung,

    7) Menggunakan sarung tangan,

    8) Menggunakan pelindung kaki (sepatu boot).

    2.4. Hasil-hasil Penelitian yang Berkaitan dengan Penyakit Flu Burung

    1) Kasus lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita tetapi tingkat kematian lebih tinggi pada

    wanita. Untuk peubah umur kasus paling banyak terjadi pada usia dewasa muda (>18 tahun) dan

    paling sedikit pada balita sedangkan kematian tertinggi pada balita dan terendah pada anak usia

    sekolah. Kasus yang melakukan banyak kontak dengan unggas lebih besar dibandingkan dengan

    kasus yang sedikit kontak dengan unggas sedangkan kematian lebih banyak yang sedikit kontak

    daripada yang banyak kontak. Kasus yang mendapatkan tamiflu angka kematiannya lebih tinggi

    dibandingkan dengan kasus yang tidak mendapatkan tamiflu. Memasuki musim hujan pada bulan

    September 2005, terjadi peningkatan kasus 6 kali lipat dari pada bulan Juli 2005 selanjutnya sampai

    bulan Februari 2006 dilaporkan selalu ada kasus baru dengan jumlah yang berfluktuasi (Djuwita dan

    Endarti, 2006)

    2) Pada musim dingin, burung-burung liar bermigrasi kearah selatan melintasi Indonesia yang terletak

    pada 6 LU-11LS (Profil Indonesia, 2005)

    3) Migrasi burung liar yang merupakan reservoir virus H5N1 dimulai pada bulan Juli dan semakin lama

    semakin banyak (Soeroso, 2005)

    4) Migrasi tersebut akan menularkan virus pada hewan-hewan domestik yang ada di jalur perjalanan

    mereka (FAO, 2005)

  • Page 31

    5) Semakin banyak hewan peliharaan yang terinfeksi maka risiko penularan pada manusia semakin

    banyak (FAO, 2005)

    6) Suhu lingkungan yang relatif lebih rendah itu akan membuat virus bertahan lebih lama, karena dia

    mampu bertahan hidup di air pada suhu 22C sekitar empat hari (FAO, 2005)

    7) Peningkatan kasus pada musim dingin juga disebabkan oleh kebiasaan tinggal di dalam rumah dan

    kebiasaan membawa ternak mereka ke dalam rumah sehingga menyebabkan kontak yang lebih

    sering akibatnya risiko penularan antar hewan ataupun hewan ke manusia menjadi lebih besar

    (Wikipedia, 2005)

    8) Penelitian evolusi virus H5N1 yang dilakukan WHO di Asia, menunjukkan bahwa gen HA virus H5N1

    yang diisolasi dari spesimen manusia berhubungan erat dengan gen HA dari virus H5N1 yang secara

    alami berasal dari burung dengan perbedaan antara kedua gen HA tersebut terdapat pada 2-14

    nukleotida (penyimpangan

  • Page 32

    digunakan mengangkut pakan, kandang, atau bangkai unggas (21,3%), penularan secara tidak

    langsung karena pertukaran karyawan, alat-alat, dan sebagainya (9,4%) (Capua, 2003).

    15) Sejak akhir 2003, di Asia telah dijumpai beberapa virus H5N1 yang sangat patogen pada ayam tetapi

    tidak pada bebek (Strum-Ramirez, 2005)

    16) Risiko penularan langsung dari unggas ke manusia terutama terjadi pada mereka yang telah

    bersentuhan dengan unggas ternak yang sudah terinfeksi, atau dengan permukaan benda-benda

    yang banyak tercemar kotoran unggas. Risiko terpapar diperkirakan cukup substantif sewaktu

    penyembelihan, pencabutan bulu, pemotongan dan persiapan unggas untuk dimasak (WHO, 2005).

    17) Virus HPAI H5N1 garis Asia dapat ditemukan di semua jaringan termasuk daging di tubuh bangkai.

    Dalam beberapa kejadian serupa, dilaporkan bahwa orang yang menyembelih atau mempersiapkan

    unggas yang sakit untuk dimakan telah mengalami penyakit yang fatal, sementara anggota

    keluarganya yang juga ikut makan daging unggas tersebut tidak mengalami hal serupa (WHO, 2005)

    18) Dampak dari penyakit avian influenza (AI) paling dirasakan oleh peternakan poultry dan industri

    terkait. Biaya dari penyakit AI dianalisis untuk mengidentifikasi urgensi dan pentingnya strategi

    pencegahan dan pengendalian AI secara terpadu. Hasil penelitian apabila terjadi wabah AI di Bali

    akibat tidak adanya strategi pencegahan, maka estimasi biaya yang harus ditanggung oleh seluruh

    pemangku kepentingan hampir mencapai Rp. 7 milyar. Kalkulasi penghitungan tersebut dilakukan

    terhadap biaya langsung maupun tidak langsung dari penyakit AI. Kerugian ini bisa dicegah dengan

    menerapkan kegiatan pencegahan wabah AI, dimana total biaya pencegahan tersebut jauh lebih

    kecil dari pada biaya akibat wabah AI ( Trisna, 2006)

    19) Penyakit flu burung bersifat zoonosis (menular kepada manusia) dan virus penyebabnya memiliki

    tingkat mutasi yang sangat tinggi, maka penyakit ini memiliki dampak sosial, ekonomi dan politik

    cukup besar. Oleh sebab itu pengendalian penyakit ini memerlukan perhatian tersendiri agar dapat

    dilaksanakan secara efektif dan efisien. Meskipun strategi pengendalian yang ideal untuk penyakit

    ini menurut WHO adalah pemusnahan massal namun situasi dan kondisi peternakan Indonesia tidak

    cocok sehingga alternatifnya dalam pengendalian penyakit flu burung adalah depopulasi selektif,

    peningkatan biosekuriti, pembatasan transportasi dan pelaksanaan program vaksin yang diikuti

    secara paralel dengan kegiatan monitoring dan surveilans (Darminto, 2007).

  • Page 33

    BAGIAN-3. RIWAYAT ALAMIAH PENYAKIT FLU BURUNG PADA MANUSIA

    3.1. Konsep Dasar Riwayat Alamiah Penyakit

    Proses terjadinya penyakit memang komplek sehingga diperlukan pemahaman terhadap

    multidisiplin ilmu diantaranya anatomi, fisiologi, histologi, biokimia, mikrobiologi dan tentunya ilmu

    lingkungan. Dasarnya bahwa penyakit merupakan suatu konsep yang sulit untuk dipahami dan tidak

    jelas serta memiliki definisi yang berlainan baik secara sosial, budaya, maupun secara ilmu pengetahuan.

    Sehingga pendefinisian penyakit lebih difokuskan pada disfungsional organ tubuh.

  • Page 34

    Menurut Timmreck (2005), penyakit didefinisikan sebagai suatu pola respons yang diberikan

    oleh organisme hidup terhadap beberapa bentuk invasi benda asing atau terhadap cedera, yang

    mengakibatkan berubahnya fungsi normal organisme tersebut. Lebih jauh lagi didefinisikan sebagai

    suatu keadaan abnormal saat tubuh tidak dapat merespon atau menjalankan fungsi normalnya. Maka

    penyakit timbul sebenarnya akibat dari beroperasinya berbagai faktor baik dari agen, induk semang, dan

    lingkungan.

    Setiap penyakit memiliki perjalanan alamiahnya sendiri jika tidak diganggu dengan intervensi

    medis atau jika penyakit dibiarkan sampai melengkapi perjalanannya. Proses suatu penyakit dimulai dari

    seorang yang rentan terhadap penyakit dan diserang oleh agent patogen yang cukup virulen untuk

    menimbulkan penyakit.

    Perjalanan alamiah penyakit dimulai dari pajanan seseorang yang rentan pada suatu patogen.

    Kuman patogen akan memperbanyak dirinya dan kemudian menyebar di dalam tubuh pejamu. Setiap

    penyakit, setiap patogen, dan setiap pejamu memiliki perbedaan dalam hal respon pada penyakit, cara

    penyakit menyebar, dan pengaruh penyakit pada tubuh.

    Perkembangan suatu penyakit dapat dihentikan di titik manapun, baik oleh kekuatan respon

    yang diberikan oleh imun alami tubuh atau melalui intervensi yang menggunakan antibiotik, terapeutik,

    atau intervensi medis lainnya. Tubuh pertama kali akan merespon perubahan yang tidak terdeteksi dan

    tidak dirasakan.

    Di dalam tubuh penyakit akan memberikan reaksi yang sebenarnya ganjil bagi penyakit itu

    sendiri. Kemudian, tubuh akan merespon dan penderita pada umumnya mulai sembuh dan semakin

    membaik, atau sebaliknya semakin sakit. Jika sakit memburuk, pada akhirnya akan menguasai tubuh,

    dan penderita menjadi semakin lemah atau bahkan meninggal dunia.

    Begitu pula dengan perjalanan alamiah penyakit flu burung pada manusia, sebagian besar

    seseorang yang terinfeksi H5N1 meninggal dunia (angka kematian akibat penyakit flu burung di Propinsi

    Jawa Barat adalah 83,9%). Menunjukan bahwa virus yang masuk dalam tubuh manusia mempunyai

    tingkat virulensi yang tinggi.

    Setiap individu mengalami kondisi sakit ada keterkaitan dengan faktor internal sebagai bentuk

    respon tubuh terhadap agent penyakit. Respon tubuh merupakan aktivitas adaptasi tubuh yang

    dipengaruhi oleh berbagai kemampuan internal diantaranya umur individu, jenis kelamin, dan

    sebagainya. Pada penyakit profil manusia dapat pula berpotensi sebagai salah satu faktor risiko

    terjadinya penyakit flu burung. Pada bagian ini tujuan penelitiannya adalah menerangkan perjalanan

  • Page 35

    alamiah penyakit flu burung pada manusia dan mendeskripsikan kejadian penyakit flu burung menurut

    profil manusia.

    3.2. Metode Penemuan Riwayat Alamiah Penyakit Flu Burung

    3.2.1. Disain

    Disain penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus yaitu melakukan kajian secara

    komprehensif terhadap individu yang menderita positif penyakit flu burung. Studi kasus individu

    dilakukan dengan mengidentifikasi pertama kali terkena pajanan sumber penyakit (virus H5N1), sampai

    tubuh memberikan respon penyakit berdasarkan gejala awal klinis, dan berakhir pada tahap terminasi

    penyakit.

    Disain penelitian studi kasus penderita positif penyakit flu burung difokuskan kepada tahapan

    riwayat alamiah penyakit mencakup tahap pre-patogenesis dan patogenesis. Disain studi kasus ini

    dilakukan untuk menemukan perilaku respon atau gejala penyakit flu burung pada tiap-tiap individu.

    Maka akan teridentifikasi setiap gejala atau respon tubuh manusia terhadap bibit penyakit yang masuk

    ke dalam tubuh.

    3.2.2. Peubah

    Peubah penelitian ini mencakup tahapan perjalanan riwayat alamiah penyakit flu burung pada

    manusia. Tiap-tiap peubah penelitian diungkap dan diidentifikasi secara empirik setiap kasusnya. Secara

    lengkap peubah penelitian ini dapat di lihat pada Tabel 3.1.

    Tabel 3.1. Peubah Penelitian Tahapan Riwayat Alamiah Penyakit Flu Burung

    Peubah Penelitian Definisi Konseptual Definisi Operasional

    Tahap Pre-patogenesis

    Tahap ini meliputi orang-orang yang sehat, tetapi mempunyai faktor risiko atau predisposisi untuk terkena penyakit. Faktor risiko tersebut meliputi faktor orang, penyebab, dan lingkungan. Faktor tersebut dapat berdiri sendiri atau kombinasi beberapa faktor untuk menimbulkan penyakit (Budiarto & Anggraeni 2003)

    Riwayat awal penderita pada saat masih dalam kondisi sehat tetapi dengan faktor risiko dan faktor lingkungan yang menunjukan penderita tersebut sebenarnya sudah interaksi dengan H5N1 dan faktor risikonya.

    Tahap Inkubasi Tahap ini telah terjadi infeksi, tetapi belum menunjukkan gejala dan masih belum terjadi gangguan fungsi organ (masa inkubasi). Tahap pragejala ini mempunyai ciri-ciri adanya perubahan akibat infeksi atau

    Penderita belum menunjukan gejala obyektif tetapi telah menunjukan terjadinya tingkat perubahan patologi yang siap untuk dideteksi tanda dan gejalanya

  • Page 36

    pemaparan oleh agen penyebab penyakit masih belum tampak dan pada penyakit infeksi terjadi perkembangbiakan mikroorganisme patogen. Sebenarnya tahap ini sulit untuk diagnosis secara klinis (Budiarto & Anggraeni 2003)

    Tahap Klinis Kondisi ketika telah terjadi fungsi organ yang terkena dan menimbulkan gejala (Budiarto & Anggraeni 2003)

    Penderita mulai menunjukan gejala-gejala klinis penyakit flu burung yaitu adanya demam kurang lebih 38C, batuk, sakit tenggorokan, beringus.

    Tahap Terminal Tahap ini dimana mulai terlihat akibat dari penyakit (Murti 1997)

    Penderita meninggal, cacat, ataupun sembuh

    3.3. Studi Kasus: Riwayat Alamiah Penyakit Flu Burung

    Berdasarkan hasil penelitian melalui status health folder penderita penyakit flu burung yang

    dibuat sendiri oleh peneliti terlihat secara jelas tahapan perjalanan riwayat alamiah penyakit flu burung.

    Seseorang yang sehat kemudian menjadi sakit akan mengalami perubahan-perubahan patologis didalam

    tubuhnya. Lamanya perubahan patologis hingga orang tersebut kelihatan sakit bervariasi antara satu

    penyakit dengan penyakit lainnya termasuk pada penyakit flu burung.

    Demikian pula akibat yang dialami seseorang setelah ia sakit bervariasi antara satu penyakit

    dengan penyakit lainnya. Ada yang sembuh dengan sendirinya, ada yang cacat, ada yang meninggal.

    Begitu pula pada seseorang yang terkena penyakit flu burung. Bagian ini akan melakukan pembahasan

    secara mendalam tentang tahapan riwayat alamiah perjalanan penyakit flu burung pada manusia

    menurut status health folder penderita, yaitu:

    3.3.1. Tahap Pre-Patogenesis Penyakit Flu Burung pada Manusia

    Tahap pre-patogenesis merupakan tahap berlangsungnya proses etiologis, dimana faktor

    penyebab pertama kalinya bertemu dengan pejamu. Faktor penyebab pertama belum menimbulkan

    penyakit, tetapi telah mulai meletakkan dasar-dasar bagi berkembangnya penyakit nantinya (Murti,

    1997). Tahap pre-patogenesis penyakit flu burung terjadi karena seseorang interaksi dengan unggas.

    Interaksi terjadi tidak disengaja, tidak disadari, dan terjadi karena kebetulan. Interaksi antara manusia

    dengan sumber penularan (unggas) secara dominan terjadi di lingkungan sekitar rumah.

  • Page 37

    Interaksi sebagai manifestasi kon