penjelasan mengenai puasa ‘arafah

21
1 Penjelasan Mengenai Puasa Arafah: Kapan Dilaksanakan?Muhammadiyah melalui Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majelis Tarjih dan Tajdid -- telah memutuskan bahwa tanggal 1 Dzulhijjah 1435 H. jatuh pada hari Kamis tanggal 25 September 2014 M., sehingga dari sini disimpulkan bahwa hari ‘Arafahnya akan jatuh pada hari Senin tanggal 3 Oktober 2014 M., dan Îd al-Adh-h â jatuh pada hari Selasa tanggal 4 Oktober 2014 M.. Tentang hari raya (Îd), bagi yang mengikuti pendapat Muhammadiyah, tidak ada permasalahan. Insya Allah mereka akan ikut berhari raya bersama Muhammadiyah. Yang mengukituo pendapat pemerintah (Kemenag) RI, mungkin yang masih mengganjal pada diri mereka adalah apakah puasa ’Arafah di Indonesia mengikuti wukuf jama’ah haji yang pelaksanaannya menurut pengumuman resmi dari pemerintah Saudi Arabia akan dilaksanakan pada tanggal 3 Oktober 2014 M.. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, ketika ditanya: “Apabila hari Arafah berbeda karena perbedaan masing-masing wilayah di dalam mathla’ (tempat terbit) hilal, maka apakah kita berpuasa mengikuti ru’yah negeri tempat kita berada ataukah kita berpuasa mengikuti ru’yah al- Haramain (Makkah dan Madinah)? Beliau pun menjawab: Perkara ini dibangun di atas ikhtilâf para ulama, apakah hilal itu satu saja untuk seluruh dunia atau berbeda sesuai mathla’nya (tempat terbit bulan). Dan yang benar bahwa penampakan hilal berbeda sesuai dengan perbedaan mathla’. Sebagai contoh: Apabila hilal telah nampak di Kota Makkah, dan sekarang adalah hari ke sembilan (di Makkah), hilal juga terlihat di negeri yang lain satu hari lebih lambat daripada Makkah sehingga hari kesembilan -- Arafah (di Makkah) -- adalah hari kedelapan bagi mereka. Maka mereka tidak boleh berpuasa 'Arafah, karena pada hari tersebut adalah tanggal 8 Dzulhijjah. Mereka seharusnya berpuasa pada hari

Upload: muhsin-hariyanto

Post on 19-Jun-2015

299 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Penjelasan mengenai puasa ‘arafah

1

Penjelasan Mengenai Puasa ‘Arafah: “Kapan Dilaksanakan?”

Muhammadiyah – melalui Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majelis Tarjih dan Tajdid -- telah memutuskan bahwa tanggal 1 Dzulhijjah 1435 H. jatuh pada hari Kamis tanggal 25 September 2014 M., sehingga dari sini disimpulkan bahwa hari ‘Arafahnya akan jatuh pada hari Senin tanggal 3 Oktober 2014 M., dan ‘Îd al-Adh-hâ jatuh pada hari Selasa tanggal 4 Oktober 2014 M..

Tentang hari raya (‘Îd), bagi yang mengikuti pendapat Muhammadiyah, tidak ada permasalahan. Insya Allah mereka akan ikut berhari raya bersama Muhammadiyah. Yang mengukituo pendapat pemerintah (Kemenag) RI, mungkin yang masih mengganjal pada diri mereka adalah apakah puasa ’Arafah di Indonesia mengikuti wukuf jama’ah haji yang pelaksanaannya – menurut pengumuman resmi dari pemerintah Saudi Arabia – akan dilaksanakan pada tanggal 3 Oktober 2014 M..

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, ketika ditanya: “Apabila hari Arafah berbeda karena perbedaan masing-masing wilayah di dalam mathla’ (tempat terbit) hilal, maka apakah kita berpuasa mengikuti ru’yah negeri tempat kita berada ataukah kita berpuasa mengikuti ru’yah al-Haramain (Makkah dan Madinah)? Beliau pun menjawab: Perkara ini dibangun di atas ikhtilâf para ulama, apakah hilal itu satu saja untuk seluruh dunia atau berbeda sesuai mathla’nya (tempat terbit bulan). Dan yang benar bahwa penampakan hilal berbeda sesuai dengan perbedaan mathla’.

Sebagai contoh: Apabila hilal telah nampak di Kota Makkah, dan sekarang adalah hari ke sembilan (di Makkah), hilal juga terlihat di negeri yang lain satu hari lebih lambat daripada Makkah sehingga hari kesembilan -- Arafah (di Makkah) -- adalah hari kedelapan bagi mereka. Maka mereka tidak boleh berpuasa 'Arafah, karena pada hari tersebut adalah tanggal 8 Dzulhijjah. Mereka seharusnya berpuasa pada hari

Page 2: Penjelasan mengenai puasa ‘arafah

2

berikutnya, karena puasa 'Arafah dilaksanakan 1 hari menjelang hari raya bagi mereka yang berbeda mathla' dengan Makkah (hari kesembilan (tanggal 9 Dzulhijjah) di tempat mereka, sementara di Makkah sudah di hari kesepuluh (tanggal 10 Dzulhijjah).

Demikian pula sebaliknya, jika di suatu negeri ru’yahnya lebih cepat daripada Makkah maka tanggal sembilan bulan Dzulhijjah di Makkah merupakan tanggal sepuluh Dzulhijjah bagi mereka. Maka mereka berpuasa pada hari ke sembilan (menurut negeri mereka) bersamaan dengan tanggal delapan di Makkah. Ini merupakan pendapat yang kuat. Karena Nabi s.a.w. bersabda:

“Jika kalian melihatnya (hilal) maka berpuasalah, dan apabila kalian melihatnya maka berbukalah, Apabila kalian terhalang oleh awan maka perkirakanlah waktunya” (Hadits Riwayat al-Bukhari dalam Kitab, juz III, hal. 33, haduts no. 1900 dan Muslim, juz III, hal 122, hadits no. 2556, dari Abdullah bin Umar).

Bagi orang-orang yang hilal itu tidak nampak dari arah (daerah) mereka berarti mereka tidaklah melihat hilal tersebut. Begitu juga manusia telah sepakat bahwa mereka menganggap terbitnya fajar dan terbenamnya matahari pada setiap wilayah disesuaikan dengan wilayah masing-masing. Maka demikian pulalah penetapan waktu bulan seperti penetapan waktu harian. Demikianlah fatwa dari Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.

Sebagai informasi tambahan, ada beberapa mahasiswa Indonesia di Makkah bertanya kepada Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi, Mufti Kerajaan Saudi Arabia Bagian Selatan

Page 3: Penjelasan mengenai puasa ‘arafah

3

tentang permasalahan ini, maka beliau menjawab bahwa puasa Arafah mengikuti ru’yah negerinya masing-masing.

Bagi Muhammadiyah – yang memakai metode hisab (dengan berpedoman pada wujûd al-hilâl) – semuanya sudah jelas, dan tidak perlu ada perdebatan lagi.

Perbincangan di Seputar Puasa ’Arafah

Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

“Puasa pada hari ‘Arafah, aku berharap kepada Allah agar menghapuskan (dengannya) dosa-dosa pada tahun lalu dan tahun yang akan datang”.1

1Diriwayatkan oleh Muslim no. 1162, ‘Abdurrazzâq no. 7826

& 7831 & 7865, Ibnu Abî Syaibah 3/78, Ahmad 5/297 & 308 & 310-311, Abû Dâwud no. 2425-2426, an-Nasâ’iy dalam Al-Kubrâ, no. 2826, Ibnu Mâjah no. 1730, Ibnu Khuzaimah no. 2087, Ibnu Hibbân no. 3631-3632, ath-Thahâwiy dalam Syarh Ma’ânil-Âtsâr, 2/72 & 77 dan dalam Syarh Musykilil-Âtsâr no. 2967-2968, al-Baihaqiy dalam al-Kubrâ, 4/286 & 300, Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid 21/162, dan al-Baghawiy no. 1789-1790, dari beberapa jalan dari Ghailân bin Jarîr, dari ‘Abdullah bin Ma’bad az-Zimmâniy, dari Abû Qatâdah al-Anshâriy secara marfu’.

Sebagian orang ada yang melemahkan hadits ini dengan alasan bahwa ‘Abdullâh bin Ma’bad tidak mendengar hadits dari Abû Qatâdah radliyallâhu ‘anhu berdasarkan perkataan al-Bukhariy rahimahullâh :

“Kami tidak mengetahui penyimakannya – yaitu ‘Abdullah bin Ma’bad – dari Abû Qatâdah”. [At-Târîkh al-Kabîr, 3/68 dan 5/198].

Ta’lîl ini dijawab sebagai berikut : Perkataan al-Bukhâriy di atas tidak secara sharîh (jelas)

meniadakan samaa’‘Abdullâh bin Ma’bad dari Abû Qatâdah. Hanya saja

Page 4: Penjelasan mengenai puasa ‘arafah

4

al-Bukhariy mengatakan bahwa ia tidak mengetahui penyimakannya dari Abû Qatâdah. Jika ia memastikan tidak adanya penyimakan, maka ia akan menggunakan lafadh: “Ia tidak mendengar darinya” atau “mursal” sebagaimana kebiasaan beliau dalam permasalahan ini. Adapun persyaratan Muslim dalam Shahîh-nya adalah mu’âsharah yang memungkinkan adanya pertemuan secara umum dari para perawi.

Ibnu Abî Hâtim (1/260) dan Ad-Dâruquthniy dalam Al-‘Ilal (6/152) saat mentarjih dua jalan sanad dari Ghailaan bin Jariir, mereka berdua tidak men-ta’lîl adanya inqithâ’ dan peniadaan samâ’ ‘Abdullâh bin Ma’bad dari Abû Qatâdah secara mutlak. Jika saja ini merupakan ‘illat, niscaya mereka menyebutkannya dan tidak men-tashhîh-nya.

Ibnu Hajar dan adz-Dzahabiy rahimahumallâh menguatkan kebersambungan sanad ‘Abdullah bin Ma’bad dari Abu Qatadah. Ibnu Hajar berkata :

“’Abdullâh bin Ma’bad az-Zimmâniy al-Bashriy. Ia meriwayatkan dari Abû Qatâdah, Abû Hurairah, dan ‘Abdullâh bin ‘Utbah bin Mas’ûd. Meriwayatkan secara mursal dari ‘Umar. Qatâdah, Ghailân bin Jarîr, Tsâbit al-Bunâniy, dan al-Hajjâj bin ‘Attâb al-‘Abdiy meriwayatkan darinya”. [At-Tahzîb, 6/36].

Di sini Ibnu Hajar hanya mengatakan mursal dalam riwayatnya dari ‘Umar, tidak pada Abû Qatâdah, Abû Hurairah, dan ‘Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’ûd.

Adz-Dzahabiy berkata :

“Al-Bukhâriy berkata: ‘Tidak diketahui penyimakannya dari Abu Qatadah’. Aku – (yaitu adz-Dzahabiy) – berkata : “Hal itu tidak memudharatkannya”. [Dîwân Adl-Dlu’afâ’, hal. 229].

Orang yang melemahkan hadits ini juga berhujjah bahwa ‘Abdullah bin Ma’bad ini seorang yang dha’îf dimana sebagian ulama al-jarh wat-ta’dîl memasukkannya dalam kitab Adl-Dhu’afâ’.

Dijawab : Sudah menjadi satu hal yang ma’rûf bahwa sebagian ulama al-

jarh wat-ta’diil memasukkan beberapa perawi dalam kitab Adl-Dlu’afâ’ orang-orang yang diperbincangkan, baik yang itu bersifat tercela/merusak ataupun tidak. Contoh dalam permasalahan ini banyak. Salah satunya contohnya adalah Ibnu ‘Adiy telah memasukkan ‘Aliy bin al-Madîniy dalam kitabnya adh-Dhu’afâ’.

Page 5: Penjelasan mengenai puasa ‘arafah

5

An-Nawawiy rahimahullâh berkata :

‘Abdullâh bin Ma’bad dalam hadits tersebut

mempunyai mutâba’ah dari Iyaas bin Harmalah. Diriwayatkan oleh ‘Abd bin Humaid no. 194, Ahmad 5/296 &

304, an-Nasâ’iy dalamAl-Kubraa 3/220-321, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubrâ, 4/283, serta Ibnu ‘Abdil-Barr dalam at-Tamhîd 21/162 dari beberapa jalan dari Iyâs bin Harmalah, dari Abû Qatâdah, dari Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam :

“Puasa ‘Âsyûrâ’ menghapuskan dosa tahun yang lalu dan puasa ‘Arafah menghapuskan dosa dua tahun, yaitu tahun yang lalu dan tahun depan”.

Sedangkan hadits Abû Qatâdah mempunyai syawâhid dari beberapa orang shahabat, yaitu :

1. Sahl bin Sa’d radliyallâhu ‘anhumâ. Diriwayatkan oleh ‘Abd

bin Humaid no. 463, Ibnu Abî Syaibah 3/97, Abu Ya’lâ no. 7548, شth-Thabaraniy dalam Al-Kabîr, 6/179, dari Sahl bin Sa’d, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam :

“Barangsiapa yang berpuasa di hari ‘Arafah, niscaya ia akan diampuni (dari dosa-dosanya) dua tahun berturut-turut”.

Sanad hadits ini jayyid. Al-Haitsamiy berkata : “Diriwayatkan

oleh Abû Ya’lâ dan شth-Thabaraniy dalam Al-Kabîr. Rijâl Abu Ya’lâ adalah rijâl shahîh” [Majma’uz-Zawâid, 3/189].

2. Ibnu ‘Umar radliyallâhu ‘anhumâ. Diriwayatkan oleh ath-Thabaraniy dalam Al-Ausath (Majma’ul-Bahrain no. 1573) dari Sa’îd bin Jubair, ia berkata:

“Ada seorang laki-laki bertanya kepada ‘Abdullah bin ‘Umar tentang puasa hari ‘Arafah. Maka ia berkata : ‘Kami dulu pernah bersama Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dimana beliau menyamakannya dengan puasa selama dua tahun”.

Al-Haitsaimiy berkata : “Hadits tersebut hasan” [Majma’uz-Zawâid, 3/190].

Ada beberapa hadits dari jalan lain yang dha’îf. Secara keseluruhan, hadits tersebut adalah shahîh.

Page 6: Penjelasan mengenai puasa ‘arafah

6

:

“Sabda beliau (Nabi) shallallâhu ‘alaihi wa sallam: ‘Puasa pada hari ‘Arafah, aku berharap kepada Allah agar menghapuskan (dengannya) dosa-dosa pada tahun lalu dan tahun yang akan datang’; maknanya adalah menghapuskan dosa-dosa bagi orang yang berpuasa pada hari itu selama dua tahun. Mereka (para ulama) berkata: Maksudnya adalah menghapus dosa-dosa kecil”.2

2An-Nawawiy, Syarh Shahîh Muslim, VIII/50-51

Page 7: Penjelasan mengenai puasa ‘arafah

7

“Sabda beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengenai hari ‘Arafah: ‘dapat menghapus dosa-dosa tahun lalu dan tahun yang akan datang’; berkata al-Mâwardiy dalam al-Hâwiy bahwasannya hadits ini mempunyai dua penafsiran. Pertama, Allah ta’âla mengampuni dosa-dosanya selama dua tahun; Kedua, Allah ta’âla menjaganya untuk tidak berbuat dosa selama dua tahun. As-Sarkhasiy berkata: ‘Adapun tahun pertama, maka dosa-dosanya akan diampuni’. Ia melanjutkan: ‘Para ulama berbeda pendapat mengenai makna penghapusan dosa di tahun selanjutnya (tahun depan). Sebagian mereka mengatakan, maknanya adalah bila seseorang melakukan maksiat pada tahun itu, Allah ta’ala akan menjadikan puasa di hari ‘Arafah yang ia lakukan di tahun lalu sebagai penghapus, sebagaimana ia menjadi penghapus dosa di tahun sebelumnya. Sebagian ulama lain mengatakan bahwa maknanya adalah Allah Ta’ala menjaganya dari melakukan dosa di tahun depan”.3

Ash-Shan’aniy rahimahullâh berkata :

3An-Nawawiy, Al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab, VI/381

Page 8: Penjelasan mengenai puasa ‘arafah

8

.

“Sulit diterima penghapusan dosa yang belum terjadi, yaitu dosa tahun yang akan datang. Pendapat itu dibantah dengan alasan bahwa yang dimaksudkan adalah bahwa ia diberi taufiq pada tahun yang akan datang untuk tidak melakukan dosa. Hanya saja itu dinamai penghapusan untuk penyesuaian dengan istilah tahun lalu. Atau bahwa jika dia melakukan dosa tahun yang akan datang, maka ia diberi taufiq untuk melakukan sesuatu yang akan menghapuskannya”.4

Mengenai jenis dosa yang dihapuskan Allah ta’âla dari amalan puasa ‘Arafah, an-Nawawiy rahimahullâh berkata :

4Ash-Shan’aniy, Subul as-Salâm, II/461.

Page 9: Penjelasan mengenai puasa ‘arafah

9

“Aku katakan, hadits-hadits ini mempunyai dua penafsiran: Pertama, menghapus dosa-dosa kecil dengan syarat ia tidak melakukan dosa besar. Jika ada dosa besar, maka tidak akan menghapus apapun, baik dosa besar ataupun dosa kecil. Kedua, – dan ini adalah pendapat yang lebih shahih/benar lagi terpilih – ia menghapus setiap dosa kecil. Jadi pengetiannya adalah (Allah) mengampuni semua dosanya, kecuali dosa besar. Telah berkata al-Qâdliy ‘Iyâdl rahimahullâhu ta’âla: ‘Apa yang disebutkan dalam hadits-hadits ini berbicara tentang pengampunan terhadap dosa-dosa kecil, selain dosa besar. Inilah madzhab Ahlus-Sunnah, karena dosa besar hanya bisa dihapus dengan taubat atau rahmat Allah Ta’âla”.5

Disunnahkannya puasa ‘Arafah ini khusus bagi mereka yang tidak sedang melakukan wuquf di ‘Arafah. Adapun yang sedang wuquf di ‘Arafah, maka tidak disunnahkan.

5An-Nawawiy, Al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab, VI/382.

Page 10: Penjelasan mengenai puasa ‘arafah

10

“Dari Abu Najîh ia berkata : Ibnu ‘Umar pernah ditanya tentang puasa ‘Arafah, lalu ia menjawab: “Aku pernah berhaji bersama Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan beliau tidak berpuasa, bersama Abu Bakar dan ia tidak berpuasa, bersama ‘Umar dan ia tidak berpuasa, juga bersama ‘Utsmân dan ia tidak berpuasa. Adapun aku tidak berpuasa, tidak memerintahkannya, dan tidak pula melarangnya”.6

:

.

6Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, III/278,

hadits no. 751, Ahmad, Musnad Ahmad ibn Hanbal, II/47, hadits no. 5080 dan II/50, hadits no. 5117, Ad-Dârimiy, Sunan ad-Dârimiy, II/1106, hadits no. 1772, Abu Ya’lâ, Musnad Abî Ya’lâ, IX/445, hadits no. 5595, Ibnu Hibbân, Shahîh ibn Hibbân, VIII/639, hadits no. 3604, dan al-Baghawiy, Syarh as-Sunnah, VI/347, hadits no. 1792; shahih, dari . Sebagian ulama menggunakan riwayat ini sebagai dalil dimakruhkannya puasa ‘Arafah. Ini tidak benar, karena dalam riwayat tersebut Ibnu ‘Umar menceritakan keadaannya saat berhaji bersama Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsman radliyallâhu ‘anhum. Tentu saja ini pembicaraan ini dalam konteks wuquf di ‘Arafah bagi orang yang berhaji.

Page 11: Penjelasan mengenai puasa ‘arafah

11

“Dari Ummul-Fadhl binti al-Hârits: Bahwasannya orang-orang berdebat di sisinya pada hari ‘Arafah tentang puasa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Sebagian mereka berkata: “Beliau berpuasa”. Sebagian lain berkata: “Beliau tidak berpuasa”. Lalu aku (Ummul-Fadhl) mengirimkan pada beliau satu wadah yang berisi susu ketika beliau sedang wuquf di atas ontanya. Maka, beliau meminumnya”.7

.

“Dari Sa’îd bin Jubair, ia berkata: “Aku mendatangi Ibnu ‘Abbâs di ‘Arafah yang waktu itu sedang makan buah delima. Lalu ia berkata: ‘Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam berbuka di ‘Arafah. Ummul-Fadhl pernah mengirim susu, lalu beliau meminumnya”.8

Inilah pendapat shahih dari jumhur ulama.

At-Tirmidziy rahimahullâh berkata :

7Diriwayatkan oleh al-Bukhâriy, Shahîh al-Bukhâriy, III/55,

hadits no. no. 1988 dan Muslim, Shahîh Muslim, III/145, hadits no. 1123, dari Umm al-Fadhl binti al-Hârits.

8Diriwayatkan oleh an-Nasâ’iy dari Sa’id bin Jubair, As-Sunan al-Kubrâ, III/225, hadits no. 2828 dengan sanad shahih

Page 12: Penjelasan mengenai puasa ‘arafah

12

“Para ulama menyenangi puasa di hari ‘Arafah, kecuali jika berada di ‘Arafah (melaksanakan wuquf haji)”.9

An-Nawawiy rahimahullâh berkata :

)

“Adapun bagi orang yang melaksanakan haji di ‘Arafah, berkata asy-Syâfi’iy dan murid-muridnya dalam al-Mukhtashar: ‘Disunnahkan baginya untuk berbuka berdasarkan hadits Ummul-Fadhl. Dan berkata sekelompok dari shahabat kami: Dimakruhkan baginya untuk berpuasa”.10

Ibnu Bâz rahimahullâh pernah ditanya: “Apa hukum puasa di hari kesembilan bulan Dzulhijjah?”. Maka beliau rahimahullâh menjawab:

9Hadits Riwayat at-Tirmidzi dari Abu Qatadah, Sunan at-

Tirmidziy, III/124, hadits no. 749. 10An-Nawawiy, Al-Majmû’, VI/380.

Page 13: Penjelasan mengenai puasa ‘arafah

13

.

“(Puasa di) hari kesembilan adalah sunnah. Hari ‘Arafah adalah sunnah bagi seluruh kaum muslimin untuk berpuasa di dalamnya. Nabi pernah ditanya mengenai hari ‘Arafah, maka beliau ‘alaihish-shalâtu was-salâm menjawab: ‘Allah mengampuni dengannya dosa-dosa pada tahun lalu dan tahun yang akan datang’. Oleh karena itu, pada hari ‘Arafah disunnahkan untuk berpuasa bagi laki-laki dan wanita kecuali bagi mereka yang melaksanakan haji, maka ia tidak berpuasa. Barangsiapa yang melaksanakan haji, maka pada hari ‘Arafah itu ia berbuka pada tahun ini. Adapun selain orang-orang yang berhaji, maka yang sunnah bagi mereka adalah berpuasa jika merasa ringan/mudah melaksanakannya”.11

Namun ada keterangan dari beberapa orang salaf yang tetap berpuasa walaupun mereka berada di ‘Arafah melakukan wuquf.

11sumber: http://www.ibnbaz.org.sa/mat/19016.

Page 14: Penjelasan mengenai puasa ‘arafah

14

“Dari Hisyaam bin ‘Urwah, dari ayahnya, ia berkata : “Tidaklah aku menyaksikan ayahku (‘Urwah bin Zubair) di ‘Arafah, kecuali ia sedang berpuasa”.12

“Dari Al-Qâsim bin Muhammad, ia berkata: “Aku pernah melihat ‘Aisyah pada waktu sore di ‘Arafah meninggalkan (memisahkan diri dari) imam (rombongan haji). Ia berhenti sebentar hingga orang-orang jauh darinya, lalu minta dibawakan minuman dan mulai berbuka puasa”.13

Hal itu sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Qudamah rahimahullâh :

12Diriwayatkan oleh ath-Thabariy dalam Tahdzîb al-Âtsâr,

II/89, hadits no. 1057; shahih. 13Diriwayatkan oleh ath-Thabariy dalam Tahdzîbul-Âtsâr, II/91,

hadits no. 1059; shahih.

Page 15: Penjelasan mengenai puasa ‘arafah

15

“Kebanyakan ulama menyenangi berbuka pada hari ‘Arafah ketika berada di ‘Arafah. Adalah ‘Aisyah dan Ibnu Zubair tetap berpuasa (saat di ‘Arafah). Qatâdah berkata : ‘Tidak mengapa dengannya jika tidak menyebabkan lemah untuk berdoa’. ‘Athâ’ berkata: ‘Aku berpuasa saat musim dingin, dan aku tidak berpuasa saat musim panas’. Kemakruhan berpuasa di waktu itu dikarenakan akan menyebabkan kelemahan untuk berdoa. Namun bila ia kuat melaksanakannya atau saat berada di musim dingin sehingga tidak membuat lemah, maka kemakruhan itu pun hilang”.14

Puasa ‘Arafah Menurut Negeri Masing-masing atau Menurut Saudi?

Permasalahan ini menjadi khilâf di kalangan ulama’. Sebagian ulama memahami bahwa ibadah ini (dan juga ‘Îd al-Adh-hâ)15 tergantung pada sebab terlihatnya bulan Dzulhijjah,

14An-Nawawiy, Al-Mughniy Syarh al-Muhadzdzab, III/58. 15Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullâh berkata :

“Sesungguhnya menyembelih di masyaair adalah pokok, dan penyembelihan di tempat lain adalah mengikuti Makkah. Oleh karena itu hari raya penyembelihan (‘Îdul-Adh-hâ) adalah hari raya yang besar. Hari penyembelihan adalah hari haji akbar…..” [Majmû’ al-Fatâwâ, 24/227].

Ibnu Rajab al-Hanbaliy rahimahullâh berkata :

“Dan pelaksanaan shalat ‘Îdul-Adh-hâ disesuaikan dengan sampainya orang-orang (yang melaksanakan ibadah haji) dari Muzdalifah menuju Mina, melempar jumrah mereka, dan penyembelihan mereka – hal ini dinyatakan oleh Ahmad dalam riwayat Hanbal – . Dan orang-orang yang ada di tempat lain,

Page 16: Penjelasan mengenai puasa ‘arafah

16

sebagaimana hal yang sama untuk permulaan Ramadhan dan Syawal. Sementara itu ulama lain berpendapat bahwa ibadah ini mengikuti ibadah haji di tanah Haram yang merupakan bentuk solidaritas (para) hujjâj. Dan dalam hal ini, kami mengikuti tarjîh ulama pada pendapat kedua. Hal itu didasari oleh beberapa alasan berikut :

1. Telah berlalu penjelasan bahwasannya puasa ‘Arafah disunnahkan hanya bagi mereka yang tidak melaksanakan wuquf di ‘Arafah. Ini mengandung pengertian bahwa puasa ‘Arafah ini terkait dengan pelaksanaan ibadah haji/wuquf. Jika (para) hujjâj telah wuquf, maka pada waktu itulah disyari’atkannya melaksanakan puasa ‘Arafah bagi mereka yang tidak melaksanakan haji.

2. Dalam nash-nash tidak pernah disebutkan puasa di hari kesembilan, namun hanya disebutkan puasa ‘Arafah. Berbeda halnya dengan puasa ‘Âsyûrâ’ yang disebutkan tanggalnya secara spesifik:

hendaknya mengikuti orang-orang yang berhaji dalam hal tersebut. Sesungguhnya waktu pelemparan jumrah oleh orang-orang yang melaksanakan haji di Muzdalifah, maka waktu itu adalah waktu pelaksanaan shalat ‘Îd bagi orang-orang yang ada di tempat lain”. [Fathul-Bâriy].

Page 17: Penjelasan mengenai puasa ‘arafah

17

“Dari ‘Abdullah bin ‘Abbaas radliyallâhu ‘anhumâ, ia berkata: “Ketika Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam berpuasa di hari ‘Âsyûrâ’ dan memerintahkannya, para shahabat berkata : ‘Sesungguhnya ia adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani’. Maka beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Tahun depan, insyâ Allah, kita akan berpuasa di hari kesembilan”. Ibnu ‘Abbas berkata: “Sebelum tiba tahun depan, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam telah wafat”.16

”Dari Ibnu ‘Abbâs ia berkata tentang (puasa) hari ‘Âsyûrâ’: “Selisihilah” orang-orang Yahudi dan berpuasalah di hari kesembilan dan kesepuluh”.17

Adapun perintah berpuasa ‘Arafah adalah :

16Diriwayatkan oleh Muslim, Shahîh Muslim, III/151, hadits no. 1134.

17Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy, Syarh Ma’âniy al-Ātsâr, II/78 dari Abdullah bin Abbas.

Page 18: Penjelasan mengenai puasa ‘arafah

18

“Puasa pada hari ‘Arafah, aku berharap kepada Allah agar menghapuskan (dengannya) dosa-dosa pada tahun lalu dan tahun yang akan datang”.18

Jadi jelas perbedaannya bahwa puasa ‘Arafah tidak tergantung pada urutan hari dalam bulan Dzulhijjah, namun pada pelaksanaan wuquf di ‘Arafah.

3. Telah bersabda Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam :

“Berbuka kalian adalah hari kalian berbuka dan penyembelihan kalian adalah hari kalian menyembelih”.19

“Berbuka kalian adalah di hari kalian berbuka, penyembelihan kalian adalah di hari kalian menyembelih, dan ‘Arafah kalian adalah di hari kalian melakukan wuquf di ‘Arafah”.20

18Hadits Riwayat Muslim dari ‘Umar ibn al-Khaththab, Shahîh

Muslim, III/167, hadits no. 2803. 19Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dari Abu Hurairah, As-Sunan

al-Kubrâ, IV/251, hadits no. 4865. 20Diriwayatkan oleh asy-Syâfi’iy dalam al-Umm 1/230.

Page 19: Penjelasan mengenai puasa ‘arafah

19

“Hari ‘Arafah, hari penyembelihan (‘Îdul-Adh-hâ), dan hari-hari tasyrîq adalah hari raya kita orang-orang Islam. Ia adalah hari-hari makan dan minum”.21

Makna ’ penyembelihan kalian adalah hari kalian menyembelih’ dan ‘Arafah kalian adalah di hari kalian melakukan wuquf di ‘Arafah’ adalah mengikuti dan menyesuaiakan pelaksanakaan hari menyembelih dan pelaksanaan wuquf orang-orang yang melaksanakan haji di Makkah.

An-Nawawiy rahimahullâh berkata:

“Telah berkata shahabat-shahabat kami (fuqahâ’ Syafi’iyyah) : Tidaklah hari berbuka (‘Îdul-Fithri) itu (mempunyai pengertian) hari pertama bulan Syawal secara muthlaq. Ia adalah hari (saat) orang-orang berbuka padanya dengan dalil hadits sebelumnya (yaitu: ‘Berbuka kalian di hari kalian berbuka’). Begitu pula dengan hari penyembelihan (Yaumun-Nahr/’Îdul-Adh-hâ). Begitu pula dengan hari ‘Arafah, ia adalah hari yang nampak bagi orang-orang

21Diriwayatkan At-Tirmidziy, Sunan at-Tirmidziy, III/143,

hadits no. 773; shahih.

Page 20: Penjelasan mengenai puasa ‘arafah

20

bahwasannya hari itu adalah hari ‘Arafah. Sama saja apakah itu hari kesembilan atau hari kesepuluh. Asy-Syaafi’iy berkata dalam Al-Umm saat berkomentar tentang hadits ini : Maka dengan inilah kami berpendapat…..”.22

Hari yang nampak sebagai hari ‘Arafah adalah hari ketika orang-orang yang melaksanakan ibadah haji wuquf di ‘Arafah.

4. Husain bin al-Harts al-Jadaliy pernah berkata :

“Bahwasanya Amîr kota Makkah pernah berkhutbah, lalu berkata: ‘Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam telah berpesan kepada kami agar kami (mulai) menyembelih berdasarkan ru’yah. Jika kami tidak melihatnya, namun dua orang saksi ‘adil menyaksikan (hilal telah tampak), maka kami mulai menyembelih berdasarkan persaksian mereka berdua….”.23

Âtsâr di atas menunjukkan ru’yah hilal yang dianggap/dipakai untuk melaksanakan ibadah penyembelihan (dan semua hal yang terkait dengan haji) adalah ru’yah hilal penduduk Makkah, bukan yang lain. Dengan demikian, maka hadits tersebut menunjukkan bahwa pada masa itu Amir Makkah-lah yang menetapkan

22An-Nawawiy, Al-Majmû Suarh al-Muhadzdzab, V/26. 23Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Husain bin al-Harits al-

Jadaliy, Sunan Abî Dâwud, II/301, no. 2338; shahih.

Page 21: Penjelasan mengenai puasa ‘arafah

21

pelaksanaan manasik haji, mulai dari wuquf di ‘Arafah, Thawaf Ifâdhah, bermalam di Muzdalifah, melempar Jumrah, dan seterusnya. Atau dengan kata lain, penguasa yang menguasai kota Makkah saat ini berhak menentukan wukuf di Arafah (9 Dzulhijjah), pelaksanaan penyembelihan hewan kurban (10 Dzulhijjah), dan rangkaian manasik haji lainnya. Hal itu berarti negeri-negeri Islam lainnya harus mengikuti penetapan hari wukuf di Arafah, yaumun nahar (hari penyembelihan hewan kurban pada tanggal 10 Dzulhijjah) berdasarkan keputusan Amir Makkah, atau penguasa yang saat ini mengelola kota Makkah.24

Wallâhu A’lam.

Itu saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.

(Dikutip dan diselaraskan dari tulisan Abul-Jauzâ, Perumahan Ciomas Permai, Ciapus, Ciomas, Bogor, dalam http://abul-jauzaa.blogspot.com, yang bersumber dari http://aljaami.wordpress.com/2011/11/28/puasa-arafah/)

24Dalam poin ini, saya mengambil pendapat dari al-Akh Abu

Hannan di: http://salafyitb.wordpress.com/2007/01/24/al-imam-ibnu-utsaimin-shaum-arafah-tidak-mengikuti-saudi/ — komentar tanggal 22 Pebruari 2007.