peningkatan skill cpr

9
PENINGKATAN SKILL CPR (CARDIO PULMONARY RESUCITATION) BYSTANDER SEBAGAI UPAYA PENSUKSESAN CHAIN OF SURVIVAL June 4, 2013 loladespita Leave a comment Latar Belakang Cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara mendadak untuk mempertahankan sirkulasi normal darah dalam memberi suplai oksigen ke otak dan organ vital lainnya, yang ditandai dengan tidak terabanya denyut nadi akibat kegagalan jantung untuk berkontraksi secara efektif (Jameson et al, 2005; Neumar, et al, 2010). Cardiac arrest merupakan salah satu kegawatdaruratan yang paling mengancam nyawa jika tidak ditangani dengan baik dan cepat. OHCA (Out of Hospital Cardiac Arrest) merupakan kejadian henti jantung mekanis yang ditandai dengan tidak adanya tanda-tanda sirkulasi dan terjadi diluar rumah sakit. OHCA merupakan penyebab utama kematian dikalangan orang dewasa di Amerika serikat. Sekitar 300.000 kejadian OHCA terjadi setiap tahun di Amerika Serikat dan sekitar 92% orang meninggal karena OHCA (Bryant et al, 2011). Di Indonesia sendiri belum ada angka statististik yang pasti mengenai kejadian cardiac arrest diluar rumah sakit. OHCA membutuhkan bantuan yang cepat dan tepat dalam menanganinya agar tidak terjadi kematian. Sebagian besar pasien yang mengalami cardiac arrest di luar rumah sakit (OHCA), tidak mendapatkan pertolongan CPR atau intervensi lain yang tepat seperti defibrilasi, untuk meningkatkan kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu, selain petugas kesehatan, orang awam sekitar kita juga perlu mendapatkan pelatihan untuk dapat menangani henti jantung di luar rumah sakit. Kejadian cardiac arrest diluar rumah sakit harus cepat ditangani dan untuk meningkatkan kelangsungan hidup dari pasien berfokus pada pemberian penanganan oleh penolong dan personel EMS secara tepat dan efektif (Bryan et al, 2011).

Upload: king-don

Post on 19-Nov-2015

4 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

semoga

TRANSCRIPT

PENINGKATAN SKILL CPR (CARDIO PULMONARY RESUCITATION) BYSTANDER SEBAGAI UPAYA PENSUKSESAN CHAIN OFSURVIVALJune 4, 2013loladespita Leave a comment Latar BelakangCardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara mendadak untuk mempertahankan sirkulasi normal darah dalam memberi suplai oksigen ke otak dan organ vital lainnya, yang ditandai dengan tidak terabanya denyut nadi akibat kegagalan jantung untuk berkontraksi secara efektif (Jameson et al, 2005; Neumar, et al, 2010). Cardiac arrest merupakan salah satu kegawatdaruratan yang paling mengancam nyawa jika tidak ditangani dengan baik dan cepat.OHCA (Out of Hospital Cardiac Arrest) merupakan kejadian henti jantung mekanis yang ditandai dengan tidak adanya tanda-tanda sirkulasi dan terjadi diluar rumah sakit. OHCA merupakan penyebab utama kematian dikalangan orang dewasa di Amerika serikat. Sekitar 300.000 kejadian OHCA terjadi setiap tahun di Amerika Serikat dan sekitar 92% orang meninggal karena OHCA (Bryant et al, 2011). Di Indonesia sendiri belum ada angka statististik yang pasti mengenai kejadian cardiac arrest diluar rumah sakit. OHCA membutuhkan bantuan yang cepat dan tepat dalam menanganinya agar tidak terjadi kematian. Sebagian besar pasien yang mengalami cardiac arrest di luar rumah sakit (OHCA), tidak mendapatkan pertolongan CPR atau intervensi lain yang tepat seperti defibrilasi, untuk meningkatkan kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu, selain petugas kesehatan, orang awam sekitar kita juga perlu mendapatkan pelatihan untuk dapat menangani henti jantung di luar rumah sakit. Kejadian cardiac arrest diluar rumah sakit harus cepat ditangani dan untuk meningkatkan kelangsungan hidup dari pasien berfokus pada pemberian penanganan oleh penolong dan personel EMS secara tepat dan efektif (Bryan et al, 2011).Penanganan cardiac arrest menggunakan prinsip chains of survival yang dikeluarkan oleh AHA 2010, dan jika terjadi diluar rumah sakit penggunaannya dengan menggunakan pendekatan EMS. Chains of survival terdiri dari mengenal secara dini korban henti jantung, segera menghubungi ambulans (early acces), melakukan CPR (early CPR), memberikan defibrilasi secepat mungkin (early defibrillation), memberikan bantuan hidup lanjut yang efektif dan memberikan perawatan pasca henti jantung yang terintegrasi (early advance care) (Travers, et al, 2010). Cardio Pulmonary Resuscitation (CPR) merupakan tindakan utama yang harus dilakukan untuk mengembalikan fungsi jantung yang terhenti (Neumar et al, 2010). Menurut Faferman (2007), sejumlah penelitian sekarang mengkonfirmasi kesempatan terbaik untuk bertahan hidup tergantung pada dua faktor yaitu bystander CPR (cardiopulmonary resuscitation) dan defibrilasi. Cardiopulmonary resusitasi (CPR) adalah link penting yang masih lemah dalam chain of survival untuk serangan jantung diluar rumah sakit (OHCA) (Vaillancourt, Stiell, Wells, 2008). Bystander CPR dapat meningkatkan kelangsungan hidup, tapi dari laporan yang diperoleh menunjukkan bahwa kebanyakan bystander tidak memiliki keterampilan atau pengetahuan untuk memulai CPR. Namun, studi baru-baru ini memberikan beberapa pembenaran untuk melakukan pertolongan pada pasien henti jantung hanya resusitasi. Kejadian cardiac arrest yang diluar rumah sakit, pemberian CPR akan dilakukan oleh penolong yang pertama kali menjumpai pasien. Untuk itu perlu peningkatan dalam bystander CPR ini (Fafeman, 2007). Pemberian CPR oleh penolong yang pertama kali dapat meningkatkan survival rate pasien. Hasil survey yang dilakukan oleh Anna et al (2011), pada pasien cardiac arrest yang terjadi diluar rumah sakit yang ada di Swedia dari tahun dari tahun 1990 sampai tahun 2009, terhadap 7187 pasien didapatkan hasil terdapat peningkatan angka kehidupan oleh penolong yang pertama kali melakukan CPR dari 46% sampai 73% atau sebanyak 1060-1081 pertahunnya.Peningkatan bystander CPR dapat dilakukan dengan melakukan pelatihan CPR yang mengacu pada prinsip chain of survival. Penolong pertama atau orang awam adalah orang yang berperan sangat penting terhadap kelangsungan hidup korban dengan henti jantung, untuk itu perlu dilakukannya peningkatan keahlian CPR untuk orang awam. Pemberian resusitasi pada menit awal dapat meningkatkan kelangsungan hidup pasien (Faferman, 2007). Pelatihan CPR merupakan pelatihan untuk melatih pengetahuan dan keterampilan peserta baik orang awam maupun tenaga kesehatan didalam melakukan CPR pada keadaan kegawatdaruratan jantung, yang mengalami henti jantung sehingga dapat meningkatkan survival rate. Pelatihan CPR pada orang awam sangat penting, mengingat banyaknya kejadian henti jantung yang terjadi diluar rumah sakit yang orang awamlah yang akan menjadi bystander CPR sampai bantuan EMS datang.Pelatihan CPR dibagi menjadi dua yaitu Basic Life Support (BLS) dan Advanced Life Support (ALS). Peningkatan penegathaun dan keterampilan CPR termasuk kedalam pelatihan BLS. Kejadian henti jantung banyak terjadi dirumah sakit, untuk itu perlu dilakukannya peningkatan keahlian CPR pada orang awam agar dapat meningkatkan rantai kehidupan pasien dengan henti jantung.Literatur ReviewCardiopulmonary Resuscitation (CPR) adalah serangkaian tindakan untuk menyelamatkan nyawa tindakan yang meningkatkan kesempatan untuk bertahan hidup pada penderita cardiac arrest (Travers et al, 2010). Basic Life Support mencakup tentang mengetahui tanda-tanda dari serangan cardiac arrest, serangan jantung dan sumbatan jalan napas. BLS mencakup CPR dan defibrillation. Prinsip utama dari CPR mengacu pada chain of survival. Chains of survival terdiri dari mengenal secara dini korban henti jantung, segera menghubungi ambulans (early acces), melakukan CPR (early CPR), memberikan defibrilasi secepat mungkin (early defibrillation), memberikan bantuan hidup lanjut yang efektif dan memberikan perawatan pasca henti jantung yang terintegrasi (early advance care) (Travers, et al, 2010). Semua rantai kehidupan (chain of survival ) saling kait mengait, rantai selalu berkelanjutan.Tahapan chains of survival yang harus dilakukan menurut Travers et al (2010) adalah yang pertama mengenal korban henti jantung secara cepat dan menghubungi ambulans (early acces). Kecepatan mengenali tanda-tanda henti jantung dan segera menghubungi ambulans (EMS) adalah faktor penentu pertama kesuksesan resusitasi dan defibrilasi pasien henti jantung (Suharsono dan Ningsih, 2009). Penolong harus mengetahui informasi mengenai tanda pasien henti jantung seperti korban tidak sadar dan tidak bernapas atau bernapas tetapi tidak normal. Setelah menentukan bahwa korban tersebut dalam kondisi henti jantung selanjutnya menghubungi ambulans (Travers, et al., 2010). Kemudian rantai kedua adalah cardiopulmonary resuscitation (Early CPR) dengan penekanan pada kompresi. CPR merupakan aspek fundamental dari tindakan resusitasi pada korban henti jantung. CPR harus dilakukan oleh semua penolong tanpa memperhatikan tingkat kemampuan penolong, karakteristik korban dan sumber daya yang tersedia karena yang terpenting adalah korban mendapatkan tindakan resusitasi. CPR yang seharusnya diberikan kepada korban henti jantung adalah CPR yang berkualitas tinggi (Travers, et al., 2010).Rantai ketiga adalah pemberian defibrilator secepat mungkin (Rapid Defibrilator) Defibrilasi merupakan faktor penting dalam menentukan keberhasilan penanganan henti jantung karena defibrilasi diberikan dengan tujuan untuk mengembalikan ritme jantung ke kondisi normal. Pentinganya defibrilasi dini diberikan pada korban henti jantung karena 85% kasus terjadi di luar rumah sakit. Rantai keempat adalah bantuan hidup lanjut yang efektif (Advanced Life Support) dan yang terakhir adalah perawatan pasca henti jantung (post cardiac arrest care). Semua rantai kehidupan ini (chain of survival) saling ketergantungan.Banyak cara untuk meningkatan pengetahuan dan keahlian CPR, salah satunya adalah melalui pelatihan CPR yang merupakan suatu cara untuk meningkatkan keterampilan bystander CPR. Metode pelatihan CPR ini ada yang secara konvensional (tradisional) dan ada yang berbasis komputer. Pada pelatihan CPR secara tradisional, pelatihannya dilakukan di kelas oleh instruktur dan peserta bisa melakukan praktek langsung untuk melakukan CPR tehadap korban atau boneka manekin (Rehberg, Diaz & Middlemas, 2009). Pelatihan CPR berbasis komputer merupakan pelatihan yang menggunakan media komputer dan internet tapi dalam pelaksanaannya peserta tidak dapat melakukan praktek secara langsung untuk melakukan CPR. Pada tahun 2000, National Safety Council (NSC) merupakan lembaga yang pertama kali meluncurkan program pelatihan computer-based cardiopulmonary resuscitation (CPR). (Rehberg, Diaz & Middlemas, 2009).Pembahasan Chain of survival adalah rantai kelangsungan hidup manusia yang mengarah kepada pasien yang tidak sadar atau henti jantung sehingga menjadi survive yang lebih baik. Pedoman pelaksanaannya berpedoman pada AHA 2010, yang mana dalam pelaksanaannya sekarang menggunakan CAB (circulation, airway dan Breathing) (Universitas Brawijaya, 2013). Menurut Travers et al (2010), chain of survival terdiri dari segera mengenali tanda henti jantung dan mengaktifkan bantuan gawat darurat, early CPR, rapid defibrillation, advanced life support, dan post cardiac arrest care. Gambar : Chain of Survival (Travers et al, 2007)Mata rantai dalam chain of survival saling bergantungan satu sama lain. Semakin kuat mata rantai, semakin tinggi kemungkinan nyawa pasien bisa diselamatkan. CPR merupakan salah satu rangkaian tindakan penyelamatan nyawa utnuk meningktakan angka kelangsungan hidup pasien mengalami henti jantung. Resusitasi menjadi faktor penentu untuk kelangsungan hidup korban dengan cardiac arrest untuk meningkatkan survival rate pada prinsip chain of survival. Fafeman (2007) menjelaskan untuk mempertahankan kelangsungan hidup pasien dengan cardiac arrest hanya dengan melakukan resusitasi.CPR yang dilakukan oleh bystander CPR sebelum kedatangan tim penyelamat telah terbukti dapat meningkatkan kelangsungan hidup setelah serangan jantung diluar rumah sakit (out-of-hospital). Survei yang dilakukan oleh Hertlizt et al (2005) terhadap pasien serangan jantung diluar rumah sakit yang ada di Swedia sebanyak 29.711 pasien, 36% di antaranya menerima CPR dari orang awam sebelum kedatangan tim penyelamat. CPR yang dilakukan oleh orang awam sebelum kedatangan tim kesehatan dapat meningkatkan kelangsungan hidup pasien dengan henti jantungDalam melakukan CPR, bystander dan korban telah terintegrasi antara kompresi dada dan mempertahankan pernapasan dengan tujuan mengoptimalkan sirkulasi dan oksigenasi. Karakteristik penolong dan korban dapat mempengaruhi aplikasi yang optimal dari komponen CPR. Bystander CPR bisa menjadi penyelamat untuk menyelamatkan nyawa korban yang mengalami serangan jantung. Keterampilan CPR dan penerapannya tergantung pada penolong, pelatihan, pengalaman, dan keyakinan. Kompresi dada merupakan dasar dari CPR. Semua penyelamat, terlepas dari pelatihan, harus memberikan kompresi dada untuk semua korban henti jantung, kompresi dada merupakan tindakan awal CPR untuk semua korban tanpa memandang usia. Tim penyelamat yang mampu harus menambahkan ventilasi setelah kompresi. Penyelamat terlatih bekerja sama harus mengkoordinasikan perawatan mereka dan melakukan penekanan dada serta ventilasi dalam pendekatan berbasis tim (Travers et al, 2007).Keahlian dalam melakukan CPR yang dilakukan oleh bystander pada pasien henti jantung diluar rumah sakit (OHCA) merupakan penentu untuk meningkatkan survival rate pasien. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan melalui pelatihan CPR yang ditujukan untuk orang awam dapat meningkatkan keahlian dalam melakukan CPR. Pelaksanaan rantai kehidupan saling ketergantungan, jika mata rantai semakin kuat maka akan semakin tinggi survival rate korban.Universal Adult Basic Life Support (BLS) algoritma merupakan kerangka konseptual yang dikeluarkan AHA 2010, yang dijadikan pedoman oleh bystander dalam memberikan pertolongan. Komponen utama menekankan bahwa setiap penolong harus melakukan pertolongan ketika menghadapi korban dengan henti jantung. Penolong harus mengetahui bahwa korban telah mengalami serangan jantung, berdasarkan unresponsiveness dan pernapasannya tidak normal. Setelah itu penolong harus segera mengaktifkan tanggap darurat sistem, mengambil defibrilator, jika tersedia, dan memulai CPR dengan melakukan kompresi dada. Jika AED tidak dekat, penolong harus melanjutkan langsung ke CPR. Jika penolong lain yang hadir, penolong pertama harus mengarahkan mereka untuk mengaktifkan sistem tanggap darurat dan dan mendapatkan defibrilator, penyelamat pertama harus mulai CPR segera (Travers et al, 2010). Pemberian CPR yang berkualitas oleh penolong dapat meningkatkan kelangsungan hidup pasien. CPR yang berkualitas adalah kecepatan minimal 100x/menit, kedalaman 5 cm/2 inchi (dewasa) atau 2 cm(bayi), memberi kesempatan kepada dada untuk mengembang kembali sebelum kompresi berikutnya dan meminimalknan interupsi (berhenti sementara) pada saat kompresi (Travers et al, 2010). Pemberian CPR yang berkualitas tinggi oleh bystander yang terlatih dapat meningkatkan kelangsungan hidup pasien dengan cardiac arrest (Javaid & Salman, 2012).Semua itu dapat dilakukan dengan mningkatkan pengetahuan dan kerampilan CPR orang awam atau bystander CPR melalui pelatihan. Pengetahuan dan keterampilan dalam melakukan CPR oleh orang awam dapat meningkatkan survival rate korban dan memaksimalkan pelaksanaan rantai kehidupan. Di Indonesia sendiri, pelaksanaan pelatihan CPR masih belum maksimal atau hampir dibilang belum ada. Untuk menjalankan rantai chain of survival secara sempurna masih belum dapat kita lakukan. Dikarenakan nomor untuk mengaktifkan personel EMS sampai sekarang masih abu-abu di Indonesia. Yang bisa kita lakukan hanya meningkatkan keahlian pada rantai CPR kepada orang awam. Padahal rantai chain of survival ini sangat penting untuk diketahui oleh orang awam dalam menolong korban dengan henti jantung.Pelatihan CPR dapat kita lakukan secara tradisional dan berbasis komputer. Dari penelitian yang dilakukan Rehberg, Diaz & Middlemas (2009), pelatihan CPR dapat meningkatkan keahlian CPR penolong, dan pelatihan yang berbasis komputer dapat menjadi sarana untuk pelatihan penolong awam. Peningkatan bystander CPR melalui pelatihan terbukti dapat meningkatkan keahlian CPR bystander karena bisa mengetahui dan memahami rantai kehidupan sehingga survival rate dapat ditingkatkan. Pelatihan CPR berbasis komputer merupakan suatu metode pelatihan yang dapat digunakan untuk mendidik orang-orang awam yang mungkin tidak bisa mengikuti pelatihan tradisional (Rehberg, Diaz & Middlemas, 2009) sehingga tetap bisa meningkatkan pengetahuan tentang CPR dan rantai kehidupan .Di Indonesia sendiri kita juga bisa melakukan peningkatan pengetahuan dan keterampilan skill CPR bystander untuk peningkatan survival rate di Indonesia dengan melakukan pelatihan CPR atau First Aid di tempat kerja untuk karyawan. Salah satu regulasi terbaru terkait dengan K3 adalah dikeluarkannya Peraturan Menteri Tenaga Kerja & Transmigrasi RI No. PER15/MEN/VIII/2008 tentang Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K) di tempat kerja yang salah satunya berisi skill dalam melakukan CPR (Dodi, 2012). Pemberian pelatihan CPR kepada tenaga kerja yang ada dikantor dapat meningkatkan pengetahuan dan keahlian CPR bystander sehingga dapat meningkatkan survival rate di Indonesia dan dapat mensukseskan chain of survival. Di Indonesia sendiri pelatihan untuk orang awam di komunitas belum ada, yang baru ada tempat pelatihan yang yang di tujukan untuk pekerja seperti ORD Training Safety, Sigma Emergency Training yang mana itu hanya diperuntukan untuk karyawan yang bekerja di LK3 atau floor warden (komando lantai). Sejalan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, kita juga bisa melakukan pelatihan CPR dengan berbasis komputer terhadap orang awam, yang tidak ada waktu untuk melakukan pelatihan secara tradisional sehingga pensuksesan chain of survival dapat kita lakukan dan dapat meningkatkan survival rate di Indonesia. Selain itu kita juga bisa melakukan peningkatan pengetahuan dan keterampilan CPR bystander dengan memasukannya sebagai kurikulum pembelajaran di sekolah sehingga murid dan mahasiswa mendapat pengetahuan dan ketrampilan tentang CPR sehingga mereka bisa menjadi bystander ketika menghadapi atau menemukan korban henti jantung diluar rumah sakit.Kesimpulan OHCA (Out of Hospital Cardiac Arrest) adalah kejadian henti jantung mekanis yang ditandai dengan tidak adanya tanda-tanda sirkulasi dan itu terjadi diluar rumah sakit. Penanganan OHCA dengan melakukan resusitasi yang mengacu pada prinsip chain of survival. Chain of survival terdiri dari mengenal secara dini korban henti jantung, segera menghubungi ambulans (early acces), melakukan CPR (early CPR), memberikan defibrilasi secepat mungkin (early defibrillation), memberikan bantuan hidup lanjut yang efektif dan memberikan perawatan pasca henti jantung yang terintegrasi (early advance care). Bystander merupakan orang pertama yang akan melakukan CPR pada korban dengan henti jantung. Penolong harus meningkatkan pengetahuan dan keahliannya dalam melakukan CPR agar dapat meningkatkan survival rate sehingga dapat mensuskseskan chain of survival. Peningkatan keahlian CPR dapat dilakukan dengan mengadakan pelatihan CPR terhadap orang awam termasuk pekerja, memasukan kedalam kurikulum sekolah sehingga dapat meningkatakan pengetahuan dan keahlian bystander dalam melakukan pertolongan pada korban yang henting jantung yang terjadi diluar rumah sakit dan dapat meningkatkan keahlian dalam melakukan high quality CPR sehingga bisa mensukseskan chain of survival dan dapat meningkatkan survival rate.