pengukuran kemiskinan

13
Surjono/MK Kemiskinan September 13, 2013 Bab 1 Pengukuran Kemiskinan dan Analisisnya 1.1. Pendahuluan Pertama yang perlu dipahami dalam upaya dan perencanaan pengentasan kemiskinan adalah bahwasanya kemiskinan akan selalu berkaitan erat dengan ketimpangan dan kerentanan (3K). Hal ini menjadi penting kala pengambil keputusan membutuhkan informasi yang cukup dalam upayanya memonitor capaian dari upaya pengentasan kemiskinan serta dalam menetapkan kebijakan yang tepat. Cara mengukur yang tepat merupakan tugas tenaga ahli yang bertanggung jawab. Bab ini menguraikan alat untuk analisis serta informasi penting apa yang diperlukan dalam penetapan kebijakan serta bagaimana informasi tersebut dapat diperoleh. Mendefinisikan kemiskinan berarti pula harus memahami konsep yang ada terhadap makna ’makmur’. Oleh karena itu dalam mendefinisikan kemiskinan dapat dilihat dari tiga aspek (World Bank, 2002) yaitu: Pertama, dikaitkan dengan apa yang pada umumnya dimaknai sebagai miskin, baik individu maupun keluarga dimana mereka tidak memiliki cukup sumber daya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Konsep ini adalah dengan melakukan perbandingan terhadap pendapatan, konsumsi, pendidikan atau atribut lainnya dari ’si miskin’ dengan ambang batas yang telah didefinisikan, sehingga bisa dikategorikan bahwa yang bersangkutan miskin untuk atribut tertentu. Aspek kedua adalah terkait dengan ketimpangan dalam hal distribusi pendapatan, konsumsi, atau atribut lainnya yang ada dalam populasi. Aspek ini didasarkan pada premis bahwa posisi relatif seseorang/keluarga dalam masyarakat adalah merupakan aspek penting dari tingkat kemakmuran mereka. Selanjutnya tingkat ketimpangan dalam kelompok populasi, wilayah atau negara, baik dari dimensi moneter maupun non-moneter, mencerminkan ringkasan indikator dari tingkat kemakmuran kelompok tersebut. Aspek ketiga adalah dimensi kerentanan yang didefinisikan sebagai probabilitas atau resiko saat kini untuk menjadi miskin – atau justru jatuh ke tingkat kemiskinan yang lebih dalam pada suatu titik di masa mendatang. Kerentanan adalah kunci dimensi kemakmuran karena mempengaruhi perilaku individu (berkenaan dengan investasi, pola produksi, strategi) dan persepsi terhadap situasi mereka sendiri. Sesungguhnya konsep, pengukuran dan alat analisis yang ada bisa diaplikasikan pada berbagai dimensi terkait kemakmuran, seperti misalnya: pendapatan, konsumsi, kesehatan, kepemilikan asset, namun bab ini lebih difokuskan pada aspek pendapatan dan konsumsi dan untuk dimensi lain akan lebih sedikit disinggung, sehingga bab ini lebih menguraikan prinsip umum yang valid untuk berbagai seting,

Upload: siswanto-h-azwar

Post on 18-Jan-2016

38 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

fdgdfgfvvx

TRANSCRIPT

Page 1: Pengukuran Kemiskinan

Surjono/MK Kemiskinan September 13, 2013

Bab 1 Pengukuran Kemiskinan dan Analisisnya

1.1. Pendahuluan

Pertama yang perlu dipahami dalam upaya dan perencanaan pengentasan kemiskinan adalah bahwasanya kemiskinan akan selalu berkaitan erat dengan ketimpangan dan kerentanan (3K). Hal ini menjadi penting kala pengambil keputusan membutuhkan informasi yang cukup dalam upayanya memonitor capaian dari upaya pengentasan kemiskinan serta dalam menetapkan kebijakan yang tepat. Cara mengukur yang tepat merupakan tugas tenaga ahli yang bertanggung jawab. Bab ini menguraikan alat untuk analisis serta informasi penting apa yang diperlukan dalam penetapan kebijakan serta bagaimana informasi tersebut dapat diperoleh.

Mendefinisikan kemiskinan berarti pula harus memahami konsep yang ada terhadap makna ’makmur’. Oleh karena itu dalam mendefinisikan kemiskinan dapat dilihat dari tiga aspek (World Bank, 2002) yaitu: Pertama, dikaitkan dengan apa yang pada umumnya dimaknai sebagai miskin, baik individu maupun keluarga dimana mereka tidak memiliki cukup sumber daya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Konsep ini adalah dengan melakukan perbandingan terhadap pendapatan, konsumsi, pendidikan atau atribut lainnya dari ’si miskin’ dengan ambang batas yang telah didefinisikan, sehingga bisa dikategorikan bahwa yang bersangkutan miskin untuk atribut tertentu. Aspek kedua adalah terkait dengan ketimpangan dalam hal distribusi pendapatan, konsumsi, atau atribut lainnya yang ada dalam populasi. Aspek ini didasarkan pada premis bahwa posisi relatif seseorang/keluarga dalam masyarakat adalah merupakan aspek penting dari tingkat kemakmuran mereka. Selanjutnya tingkat ketimpangan dalam kelompok populasi, wilayah atau negara, baik dari dimensi moneter maupun non-moneter, mencerminkan ringkasan indikator dari tingkat kemakmuran kelompok tersebut. Aspek ketiga adalah dimensi kerentanan yang didefinisikan sebagai probabilitas atau resiko saat kini untuk menjadi miskin – atau justru jatuh ke tingkat kemiskinan yang lebih dalam pada suatu titik di masa mendatang. Kerentanan adalah kunci dimensi kemakmuran karena mempengaruhi perilaku individu (berkenaan dengan investasi, pola produksi, strategi) dan persepsi terhadap situasi mereka sendiri.

Sesungguhnya konsep, pengukuran dan alat analisis yang ada bisa diaplikasikan pada berbagai dimensi terkait kemakmuran, seperti misalnya: pendapatan, konsumsi, kesehatan, kepemilikan asset, namun bab ini lebih difokuskan pada aspek pendapatan dan konsumsi dan untuk dimensi lain akan lebih sedikit disinggung, sehingga bab ini lebih menguraikan prinsip umum yang valid untuk berbagai seting, namun untuk metode analisisnya harus disesuaikan dengan kondisi karakteristik daerah/negara dan ketersediaan data.

Sesuai dengan tujuan instruksional yang disusun maka struktur pembahasan dalam bab ini terdiri dari: sub bab 1.2. pengukuran dan analisis kemiskinan yang secara umum penting untuk diketahui; sub bab 1.3. ketimpangan; dan sub bab 1.4. kerentanan. Untuk masing masing sub bab akan dibahas definisi beberapa konsep, indikator dan alat ukur yang bisa digunakan. Sub bab 1.5. menguraikan kajian terhadap sumber-sumber lain yang berbeda dan tipe data yang bisa digunakan. Pada akhir bab akan diberikan sumber referensi dan laman situs untuk kajian lebih lanjut yang bisa dipelajari secara mandiri oleh mahasiswa.

1.2. Pengukuran dan analisis kemiskinan

Sub bab ini memberikan pengenalan terhadap konsep dan pengukuran kemiskinan yang didefinisikan sebagai ketidakcukupan untuk saat ini terhadap beberapa dimensi kebutuhan dasar manusia. Pembahasan dimulai dari apa yang harus dilakukan untuk mengukur kemiskinan (sub bab 1.2.1) sebelum melakukan analisis yang dapat dilaksanakan dengan menggunakan alat ukur yang ditetapkan (sub bab 1.2.2).

Page 2: Pengukuran Kemiskinan

Surjono/MK Kemiskinan September 13, 2013

1.2.1 Konsep tentang kemiskinan dan pengukurannya

Terdapat tiga komponen dalam perhitungan untuk mengukur kemiskinan yaitu: pertama, harus ditetapkan terlebih dahulu dimensi dan indikator yang relevan yang akan diukur. Kedua, harus ditetapkan pula garis kemiskinan yang akan dipergunakan sebagai tolak ukur dimana seseorang atau keluarga bisa diklasifikasikan sebagai miskin. Yang terakhir, harus dipilih pengukuran kemiskinan yang akan digunakan untuk menggambarkan populasi secara keseluruhan atau suatu kelompok populasi tertentu saja.

Mendefinisikan indikator sejahtera/miskin

Bagian ini menitikberatkan pada dimensi moneter terhadap kondisi ‘sejahtera’, pendapatan dan konsumsi secara obyektif dan kuantitatif. Namun demikian bab ini juga sedikit menyinggung aspek subyektif dan kualitatif dari konsep sejahtera/miskin yang antara lain dilihat dari dimensi kesehatan, pendidikan dan asset.

Indikator moneter dari kemiskinan

Ketika kita diminta untuk mengukur kemiskinan dari aspek financial/moneter maka kita harus pilih antara pendapatan atau pengeluaran. Banyak yang berpendapat bahwa untuk mengukur kemiskinan dari aspek finansial melalui survey rumah tangga pendekatan dari pertimbangan pengeluaran keluarga/individu lebih baik daripada mengukur pendapatan. Hal ini didasarkan pada beberapa pertimbangan:

Konsumsi merupakan indikator outcome yang lebih baik dari penghasilan. Konsumsi lebih menunjukkan tingkat kesejahteraan seseorang berdasar pada definisi bahwa sejahtera adalah kemampuan seseorang/keluarga untuk memenuhi kebutuhan dasar. Sedangkan penghasilan hanya merupakan salah satu komponen dalam hal kemampuan pemenuhan kebutuhan terhadap suatu benda, sehingga melewatkan aspek akses dan ketersediaan.

Konsumsi bisa diukur lebih baik daripada penghasilan. Di kawasan agraris, penghasilan masyarakat berfluktuasi sepanjang tahun tergantung dari musim panen. Sedangkan di kawasan perkotaan dengan banyak sektor informal, penghasilan mungkin menjadi akan sangat sulit untuk diukur, sehingga survey yang didasarkan pada tingkat penghasilan akan memberikan kualitas data yang tidak sempurna. Di samping itu seringkali kebutuhan bisa dipenuhi tanpa melibatkan aspek moneter sehingga pengukuran dari pendekatan konsumsi akan lebih dapat dipercaya (reliable).

Konsumsi bisa lebih merefleksikan standar hidup aktual dari keluarga dan kemampuan keluarga memenuhi kebutuhan dasarnya. Pengeluaran konsumsi tidak hanya mencerminkan barang dan pelayanan yang bisa diperoleh berdasarkan penghasilan mereka tapi juga akses terhadap pasar kredit dan simpanan keluarga saat penghasilan lagi turun bahkan negatif.

Namun penggunaan pendekatan tersebut di depan tidaklah harus dogmatis. Penggunaan penghasilan sebagai basis pengukuran kemiskinan mungkin lebih sesuai bila kita menghendaki perbandingan sumber sumber penghasilan atau pada situasi bilamana pengukuran konsumsi atau pengeluaran sulit dilakukan. Bila tersedia data konsumsi maupun penghasilan, analis bisa menggunakan keduanya dan membuat perbandingan hasilnya. Cara mudah untuk mengukur sensitivitas dari hasil pengukuran konsumsi dan penghasilan bisa dilakukan dengan menghitung matrik transisi. Untuk menyusun matrik transisi dilakukan dengan membagi populasi ke dalam beberapa grup, misalnya 10 bagian (deciles) masing masing merepresentasikan 10% populasi dari 10% termiskin sampai 10% terkaya. Setiap keluarga masuk ke dalam satu decile untuk tiap indikator, tapi suatu keluarga mungkin masuk dalam decile yang berbeda bila dilihat dari indikator konsumsi dan penghasilan, dimana mungkin banyak keluarga tidak akan berada pada diagonal dari matrik.

Page 3: Pengukuran Kemiskinan

Surjono/MK Kemiskinan September 13, 2013

Karena konsumsi maupun penghasilan mewakili aspek yang berbeda dari kemiskinan, maka matrik akan menunjukkan bahwa rangking keluarga dipengaruhi oleh definisi.

Baik pada pendekatan konsumsi maupun penghasilan, secara umum diperlukan pengukuran indikator informasi agregat yang penentuannya merupakan proses yang komplek. Diperlukan penyesuaian (adjustment) agar pengukuran yang dihasilkan mengarah pada keakurasian yang baik. Beberapa panduan untuk pengukuran indikator agregat antara lain:

Penyesuaian perbedaan kebutuhan antar keluarga dan intrakeluarga. Rumah tangga dengan ukuran dan komposisi yang berbeda memiliki kebutuhan berbeda pula. Pertama, keputusan harus diambil untuk menetapkan apakah perlu penyesuaian terhadap umur – dewasa dan anak-anak -, mungkin pula jender? Kedua, apakah rumah tangga dengan ukuran berbeda juga harus dipertimbangkan secara berbeda? Mengingat keluarga yang besar bisa membeli kebutuhan dalam volume yang lebih besar sehingga harga satuannya menjadi lebih murah.

Penyesuaian perbedaan harga lintas daerah pada waktu yang berbeda. Harga kebutuhan pokok sangat mungkin berbeda pada wilayah yang berbeda. Data nominal terkait konsumsi maupun penghasilan perlu dibandingkan secara spasial dengan melakukan penyesuaian tingkat harga (indek harga wilayah)yang berbeda untuk wilayah yang berbeda dalam suatu negara. Semakin luas wilayah suatu Negara maka semakin penting untuk dilakukan penyesuaian. Bila indek-indek harga regional dan tingkat inflasi tersedia datanya, maka penyesuaian dapat dilakukan dengan cara: 1) gunakan deflator spasial dan waktu untuk penghasilan atau konsumsi untuk tiap rumah tangga dan bandingkan datanya dengan garis kemiskinan tunggal yang ditetapkan. 2) hitung garis kemiskinan untuk setiap daerah/wilayah sesuai dengan waktu pengukurannya.

Keluarkan data input dan pengeluaran untuk investasi. Pengeluaran untuk input jangan diperhitungkan sebagai bagian dari produksi rumah tangga seperti misalnya pengeluaran untuk membeli peralatan produksi, pupuk, air atau benih untuk sektor agraris. Bila dimasukkan dalam perhitungan maka data yang diperoleh bisa overestimasi.

Perkirakan data untuk harga dan informasi kuantitas lain yang penting yang tidak tersedia. Tidak semua rumah-tangga memberikan informasi yang dibutuhkan dalam survey. Bila informasi tentang barang dan harga yang dikonsumsi tidak tersedia maka kekosongan data ini harus diprediksi (imputasi).

Rasionalisasi. Ketika menyusun agregat konsumsi, kita harus ingat bahwa pasar dapat dirasionalkan. Misal, harga yang dibayarkan warga lebih murah daripada pemanfaatan yang diperoleh. Untuk kondisi ini yang diperhitungkan adalah yang kedua (pemanfaatan riil).

Cek ada tidaknya laporan yang tidak akurat (underreporting).

Indikator non-moneter

Kemiskinan juga bisa dilihat dari dimensi lain. Kemiskinan tidak selalu hanya terkait pada penghasilan atau konsumsi yang tidak cukup namun juga dapat dilihat dari ketidakcukupan outcome yang terkait dengan kesehatan, nutrisi, dan pendidikan serta kekurangan dalam hubungan sosial, ketidakamanan, harga diri yang rendah dan ketidakberdayaan (powerless). Untuk beberapa kasus perhitungan untuk pendekatan moneter dapat dilakukan pula untuk indikator non-moneter. Dalam hal ini diperlukan pula tolak ukur berupa ambang ‘garis kemiskinan’ yang dikaitkan dengan pemenuhan kebutuhan dasar.

Beberapa dimensi kapabilitas dimana teknik pengukuran dan analisis kemiskinan biasa dilakukan antara lain:

Kesehatan dan nutrisi. Status kesehatan anggota keluarga dapat dipakai sebagai indikator penting dari tingkat kesejahteraan (well-being). Analisis dapat difokuskan

Page 4: Pengukuran Kemiskinan

Surjono/MK Kemiskinan September 13, 2013

pada kesehatan anak, penyebaran penyakit tertentu (diare, malaria, demam berdarah, gangguan pernafasan) atau umur harapan hidup dari kelompok yang berbeda dalam populasi. Bila data tersebut tidak ada, input proxy dapat dipakai misalnya jumlah kunjungan dari individu ke rumah sakit atau puskesmas, akses ke pelayanan kesehatan khusus (pre and post natal care), atau tingkat pelayanan dalam vaksinasi kepada anak.

Pendidikan. Dalam bidang pendidikan tingkat literasi dapat dipergunakan untuk mengukur garis kemiskinan. Pada negara dimana pendidikan sudah sangat baik, dapat pula dilakukan pengukuran melalui skor tes khusus di sekolah untuk membedakan tingkat literasi antar kelompok dalam populasi. Alternatif lain adalah dengan membandingkan lama pendidikan yang diperoleh penduduk dengan lama pendidikan yang diharapkan bisa ditempuh.

Indek kesejahteraan komposit. Sebagai alternatif, selain penggunaan dimensi kemiskinan tuggal, bisa dilakukan penghitungan komposit dari kombinasi berbagai aspek kemiskinan. Salah satu kemungkinannya adalah dengan membuat pengukuran yang mengkombinasikan penghasilan, kesehatan, asset dan pendidikan.

Untuk mengukur kemiskinan di Indonesia, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic need approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Dengan kata lain, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun non makanan yang bersifat mendasar. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Pengukuran kemiskinan dengan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic need approach) tidak hanya digunakan oleh BPS tetapi juga oleh negara-negara lain, seperti Armenia, Senegal, Pakistan, Bangladesh, Vietnam, Sierra Leone, dan Gambia.

Secara umum alat pengukuran kemiskinan secara global bisa digunakan standar Bank Dunia. Melalui alat ini bisa dibandingkan kondisi secara umum di berbagai negara, namun diperlukan konversi terlebih dahulu standar yang digunakan per negara ke dalam standar Bank Dunia ini. World Bank membuat garis kemiskinan absolut US$ 1 dan US$ 2 PPP (purchasing power parity/paritas daya beli) per hari (bukan nilai tukar US$ resmi) dengan tujuan untuk membandingkan angka kemiskinan antar negara/wilayah dan perkembangannya menurut waktu untuk menilai kemajuan yang dicapai dalam memerangi kemiskinan di tingkat global /internasional.

Angka konversi PPP di Indonesia adalah banyaknya rupiah yang dikeluarkan untuk membeli sejumlah kebutuhan barang dan jasa dimana jumlah yang sama tersebut dapat dibeli sebesar US$ 1 di Amerika Serikat. Angka konversi ini dihitung berdasarkan harga dan kuantitas di masing-masing negara yang dikumpulkan dalam suatu survei yang biasanya dilakukan setiap lima tahun. Chen dan Ravallion (2001) membuat suatu penyesuaian angka kemiskinan dunia dengan menggunakan garis kemiskinan US$ 1 perhari. Garis kemiskinan PPP disesuaikan antar waktu dengan angka inflasi relatif, yaitu menggunakan angka indeks harga konsumen. Pada tahun 2006, garis kemiskinan US$ 1 PPP ekuivalen dengan RP.97.218,- per orang per bulan dan garis kemiskinan US$ 2 PPP ekuivalen dengan RP.194.439,- per orang per bulan. Perbandingan garis kemiskinan dan persentase penduduk miskin di Indonesia tahun 2006 menurut BPS dan World Bank adalah sebagai berikut:

Tabel 1.1Garis Kemiskinan dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Tahun 2006

Page 5: Pengukuran Kemiskinan

Surjono/MK Kemiskinan September 13, 2013

sumber Garis Kemiskinan (Per Hari)

Garis Kemiskinan (Per

Bulan)

Penduduk Miskin (%)

BPS Rp. 5.066,57,- ≈ US$ 1,55 PPP

Rp. 151.997,- 17,80

World Bank USS 1 PPP ≈ Rp. 3.240,60,- Rp. 97.218,- 7,40USS 2 PPP ≈ Rp. 6.841,30,- Rp. 194.439,- 49,00

Sumber: BPS dan World Bank

Menetapkan dan mengestimasi garis kemiskinan

Bila agregat data konsumsi, penghasilan atau data non-moneter sudah didapatkan, maka langkah berikutnya adalah dengan menetapkan satu atau lebih garis kemiskinan (poverty line). Garis kemiskinan adalah titik pemisah antara miskin dan tidak miskin, bisa berupa indikator moneter, misal tingkat konsumsi tertentu, atau non-moneter, misal tingkat literasi. Penggunaan garis kemiskinan ganda dapat membantu membedakan tingkat kemiskinan. Yang umum dipergunakan adalah garis kemiskinan relatif dan garis kemiskinan absolut.

Garis kemiskinan relatif. Didefinisikan dalam hubungannya dengan distribusi pendapatan atau konsumsi secara keseluruhan dalam suatu negara, misal, garis kemiskinan ditetapkan pada 50% dari mean pendapatan atau konsumsi dari suatu negara.

Garis kemiskinan absolut. Didasarkan pada standar absolut di mana suatu keluarga mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Untuk pendekatan moneter, bisa dilakukan dengan mengukur harga untuk kebutuhan dasar akan pangan, yaitu harga dari beberapa nutrisi tertentu minimal yang diperlukan agar keluarga sehat. Untuk kasus negara sedang berkembang, garis absolut ini kemungkingan lebih relevan.

Penghitungan garis kemiskinan (GK) di Indonesia dilakukan dengan mengkompilasi dua komponen pokok yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM). Penghitungan Garis Kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan pedesaan.

GK=GKM+GKNM

dimanaGKM = nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan

2.100 kilokalori perkapita per hari. GKNM = kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan.

Patokan GKM mengacu pada hasil Widyakarya Pangan dan Gizi 1978. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll). Ke-52 jenis komoditi ini merupakan komoditi-komoditi yang paling banyak dikonsumsi oleh penduduk miskin. Jumlah pengeluaran untuk 52 komoditi ini sekitar 70 persen dari total pengeluaran orang miskin. Sedangkan patokan untuk GKNM didasarkan pada paket komoditi yang diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan.

Teknik penghitungan garis kemiskinan

Tahap pertama adalah menentukan penduduk referensi, yaitu 20 persen penduduk yang berada di atas Garis Kemiskinan Sementara, yaitu garis kemiskinan periode lalu yang di-inflate dengan inflasi umum (IHK). Dari penduduk referensi ini kemudian dihitung Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM).

Garis Kemiskinan Makanan adalah jumlah nilai pengeluaran dari 52 komoditi dasar

Page 6: Pengukuran Kemiskinan

Surjono/MK Kemiskinan September 13, 2013

makanan yang riil dikonsumdi penduduk referensi dan kemudian disetarakan dengan nilai energi 2.100 kilokalori  perkapita per hari. Penyetaraan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan dilakukan dengan menghitung harga rata-rata kalori dari ke-52 komoditi tersebut. Selanjutnya GKM tersebut disetarakan dengan 2.100 kilokalori dengan cara mengalikan 2.100 terhadap harga implisit rata-rata kalori.

Formula dasar dalam menghitung Garis Kemiskinan Makanan (GKM) adalah:

GKM j=∑k−1

52

P jk .Q jk=∑k−1

52

V jk

Dimana :GKMj = Gris Kemiskinan Makanan daerah j (sebelum disetarakan menjadi 2100 kilokalori).Pjk = Harga komoditi k di daerah j.Qjk = Rata-rata kuantitas komoditi k yang dikonsumsi di daerah j.Vjk = Nilai pengeluaran untuk konsumsi komoditi k di daerah j.j = Daerah (perkotaan atau pedesaan) Selanjutnya GKMj tersebut disetarakan dengan 2100 kilokalori dengan mengalikan 2100 terhadap harga implisit rata-rata kalori menurut daerah j dari penduduk referensi, sehingga:

HKj=∑k−1

52

V jk

∑k−1

52

K JK

Dimana :Kjk = Kalori dari komoditi k di daerah j

HKj = Harga rata-rata kalori di daerah j

F j=HK j x 2100

Dimana :Fj = Kebutuhan minimum makanan di daerah j, yaitu yang menghasilkan energi setara dengan 2100 kilokalori/kapita/hari.

Garis Kemiskinan Non-Makanan merupakan penjumlahan nilai kebutuhan minimum dari komoditi-komoditi non-makanan terpilih yang meliputi perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Nilai kebutuhan minimum per komoditi/sub-kelompok non-makanan dihitung dengan menggunakan suatu rasio pengeluaran komoditi /sub-kelompok tersebut terhadap total pengeluaran komoditi/sub-kelompok yang tercatat dalan data Susenas modul konsumsi. Rasio tersebut dihitung dari hasil Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar (SPKKD), yang dilakukan untuk mengumpulkan data pengeluaran konsumsi rumahtangga per komoditi non-makanan yang lebih rinci dibandingkan data Susenas modul konsumsi. Nilai kebutuhan minimum non makanan secara matematis dapat diformulasikan sebagai berikut :

NFP=∑i=1

n

r1 xV i

Dimana:

Page 7: Pengukuran Kemiskinan

Surjono/MK Kemiskinan September 13, 2013

NFp = Pengeluaran minimun non-makanan atau garis kemiskinan non makanan daerah p (GKNMp).

Vi = Nilai pengeluaran per komoditi/sub-kelompok non-makanan daerah p (dari Susenas modul konsumsi).

ri = Rasio pengeluaran komoditi/sub-kelompok non-makanan menurut daerah (hasil SPPKD 2004).

i = Jenis komoditi non-makanan terpilih di daerah p.p = Daerah (perkotaan atau pedesaan).

Garis Kemiskinan merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan dan Garis Kemiskinan Non-Makanan. Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin.

Memilih dan mengestimasi alat ukur kemiskinan

Ukuran kemiskinan adalah suatu fungsi statistik yang menterjemahkan perbandingan indikator kesejahteraan keluarga dan garis kemiskinan kedalam satu angka agregat dari populasi secara keseluruhan atau sub-populasi. Banyak alternatif ukuran yang bisa digunakan:

Indek headcount (incidence of poverty) (HCI-P0). Persentase penduduk di bawah garis kemiskinan (GK). Merupakan besaran angka penduduk yang penghasilannya atau konsumsinya di bawah garis kemiskinan, yaitu kelompok populasi yang tidak mampu membeli satu paket bahan kebutuhan pokok. Seorang analis bisa menggunakan beberapa garis kemiskinan, misal, satu untuk kategori ‘miskin’ dan untuk kategori ‘sangat miskin’. Hal yang sama juga bisa dilakukan untuk kategori miskin dari tinjauan non-moneter. Sumber data utama yang dipakai adalah data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas).

Pα=1n∑i=1

q [ z− y iz ]α

Dimana:α = 0z = garis kemiskinan.yi = Rata-rata pengeluaran per kapita sebulan penduduk yang berada

dibawah garis kemiskinan (i=1, 2, 3, ...., q), yi< zq = Banyaknya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.n = jumlah penduduk.

Indek Kedalaman kemiskinan (kesenjangan/poverty gap indek – P1). Indikator ini menyampaikan informasi terkait jarak antara kemampuan suatu keluarga dengan garis kemiskinan. Indikator ini mengukur pendapatan atau konsumsi agregat rata-rata (mean) relatif di bawah garis kemiskinan. Sumber data utama yang dipakai adalah data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas).

Pα=1n∑i=1

q [ z− y iz ]α

Dimana :α = 1z = garis kemiskinan.yi = Rata-rata pengeluaran per kapita sebulan penduduk yang berada di bawah

garis kemiskinan (i=1, 2, 3, ...., q), yi< z

Page 8: Pengukuran Kemiskinan

Surjono/MK Kemiskinan September 13, 2013

q = Banyaknya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.n = jumlah penduduk.

Keparahan kemiskinan (poverty severity/squared poverty gap). Ukuran ini tidak hanya memperhitungkan jarak antara si miskin dengan garis kemiskinan (poverty gap), namun juga ketidaksetimbangan (inequality) di antara populasi yang diukur tersebut. Bobot yang lebih tinggi ditempatkan pada mereka yang jaraknya lebih jauh dari garis kemiskinan.

Pα=1n∑i=1

q [ z− y iz ]α

Dimana:α = 2z = garis kemiskinan.yi = Rata-rata pengeluaran per kapita sebulan penduduk yang berada di bawah

garis kemiskinan (i=1, 2, 3, ...., q), yi< zq = Banyaknya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.n = jumlah penduduk.

Semua ukuran tersebut di depan dapat dihitung untuk level rumah tangga (KK). Namun lebih baik dilakukan pengukuran berbasis populasi – dalam hal ini individual – sehingga akan dipertimbangkan jumlah individu dalam tiap KK. Pengukuran poverty gap dan squared poverty gap adalah indikator komplementer yang menunjukkan tingkat kemiskinan. Dua alat ukur ini penting untuk alat evaluasi program dan kebijakan yang dilaksanakan. Contoh data BPS terkait dua indikator ini terdapat pada table 1.2.

Tabel 1.2Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Indonesia

Menurut Daerah Maret 2011–Maret 2012

Indeks/tahun kota desa Kota + desaIndeks Kedalaman Kemiskinan (P1)Maret 2011 1,52 2,63 2,08Maret 2012 1,40 2,36 1,88Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)Maret 2011 0,39 0,70 0,55Maret 2012 0,36 0,59 0,47Sumber: Diolah dari data Susenas Panel Maret 2011 dan Maret 2012

Suatu program mungkin sangat efektif mengurangi jumlah penduduk miskin (incidence of poverty/headcount index), tapi mungkin hanya terjadi pada mereka yang berhimpit / terdekat dengan garis kemiskinan, sehingga bisa dikatakan dampaknya kecil terhadap pengurangan kesenjangan (poverty gap). Kebijakan lain mungkin lebih diarahkan kepada mereka yang sangat miskin sehingga memberikan dampak kecil terhadap pengurangan headcount index (mendekatkan ke garis kemiskinan tapi belum melampaui garis).

1.2.2 Analisis Kemiskinan

Jika garis kemiskinan dan pengukuran telah ditetapkan, berbagai karakteristik kelompok yang berbeda (miskin dan sangat miskin) dapat dibandingkan untuk melihat korelasi kemiskinan. Dapat pula dibandingkan ukuran kemiskinan kelompok kelompok keluarga miskin dari karakteristik yang berbeda dalam kurun waktu tertentu. Contoh penyajian data untuk analisis kemiskinan seperti pada tabel 1.3.

Tabel 1.3Klasifikasi kemiskinan berdasarkan kelompok sosial ekonomi

Page 9: Pengukuran Kemiskinan

Surjono/MK Kemiskinan September 13, 2013

Kelompok sosial ekonomi

Head count ranking kesenjangan ranking keparahan ranking

Petani kecil 81.6 1 41.0 1 24.6 1Petani besar 77.0 2 34.6 2 19.0 2Buruh kasar 62.7 3 25.5 4 14.0 5Nelayan 61.4 4 27.9 3 16.1 3Pensiunan/penyandang cacat

50.6 5 23.6 5 14.1 4

Sumber: World Bank 1996 – Madagascar 1994Dalam melakukan analisis harus diingat bahwa perbedaan karakteristik di antara kelompok berbeda, atau perbedaan persentase penduduk miskin di antara kelompok yang berbeda atau kurun waktunya haruslah secara statistik signifikan.

Karakteristik individual dan KK dalam kelompok miskin yang berbedaLangkah pertama dalam menyusun profil kemiskinan adalah dengan mengangalisis karakteristik dari kelompok sosial ekonomi yang berbeda ditinjau dari penghasilan atau konsumsinya. Data ini akan memberikan pemahaman siapa yang miskin dan apa perbedaan antara yang miskin dan tidak miskin. Ketika melakukan analisis akan lebih baik jika memisahkan data pada tabel yang diharapkan bisa bisa menunjukkan perbedaan yang nyata. Seperti pada tabel 1.4 yang menunjukkan informasi tentang indikator yang ada di desa dan kota.

Tabel 1.4Persentase penduduk miskin menurut propinsi, 2011

Propinsi Persentase penduduk miskin

Garis kemiskinan (Rp) P1 (%) P2 (%)

Kota Desa Kota+ desa

Kota Desa Kota +desa

Kota Desa Kota+ desa

Kota Desa Kota+des

aNAD 13.,69 21,87 19,57 333355 292085 30369

2`2,78 3,78 3,50 0,84 0,98 0,94

Sumatera Utara 10,75

11,89 11,33 271713 222226 246560

1,84 1,85 1,84 0,53 0,49 0,51

Sumatera Barat 7,42 10,07 9,04 293018 241924 261719

1,25 1,42 1,36 0,35 0,36 0,35

Riau 6,37 9,83 9,47 306504 267007 282479

0,77 1,48 1,21 0,16 0,37 0,29

Jambi 11,19

7,53 8,65 284522 210144 242272

1,31 0,81 0,96 0,26 0,14 0,18

dst

Sumber: BPS 2012

Tabel tersebut di depan menunjukkan bahwa kemiskinan di Indonesia lebih dalam terjadi di perdesaan daripada area perkotaan, bukan hanya persentase, namun juga tingkat kesenjangan dan keparahannya. Cara lain menyajikan informasi adalah dengan menunjukkan sebaran secara lebih merata, bukan hanya miskin dan tidak miskin, namun dengan menampilkan data decile (per sepuluh bagian) dan quintile (per lima bagian) sebagaimana ditunjukkan pada tabel 1.5.

Tabel 1.5Perbedaan sosial ekonomi dalam bidang kesehatan (studi kasus Senegal)

Indikator Persentase penduduk miskin

Garis kemiskinan (Rp) P1 (%)

P2 (%)

termisk

in

kedua Tengah tengah

keempat

terkaya Rata-rata

populasi

Rasio termiskin/terkaya

Desa Kota+ desa

Kota Desa Kota+des

a

NAD 13.,69 21,87 19,57 333355 292085 303692`

2,78 3,78 3,50 0,84 0,98 0,94

Sumatera Utara 10,75

11,89 11,33 271713 222226 246560

1,84 1,85 1,84 0,53 0,49 0,51

Sumatera Barat 7,42 10,07 9,04 293018 241924 261719

1,25 1,42 1,36 0,35 0,36 0,35

Riau 6,37 9,83 9,47 306504 267007 282479

0,77 1,48 1,21 0,16 0,37 0,29

Jambi 11,19

7,53 8,65 284522 210144 242272

1,31 0,81 0,96 0,26 0,14 0,18

dst

Sumber: BPS 2012