pengukuran indeks etos belajar sisaw di daerah …

13
51 PENDAHULUAN Dalam beberapa tahun terakhir isu pendidikan yang paling menonjol adalah masalah pelayanan pendidikan. Seiring dengan berlakunya sistem politik demokrasi dan maraknya pemilihan langsung, hampir semua kandidat pemimpin pusat maupun daerah senantiasa mengangkat isu pelayanan pendidikan. Berbagai tawaran dilontarkan baik secara konseptual maupun janji-janji bantuan, seperti pendidikan gratis, kenaikan gaji guru, dan perbaikan infrastruktur. Semua politisi menjanjikan pelayanan pendidikan yang baik sesuai dengan kehendak masyarakat. Pemerintah sendiri terus mengupayakan peningkat- an kualitas pelayanan pendidikan sebagai bagian dari kewajiban konstitusionalnya. Sebagaimana amanat konstitusi yang tercantum dalam Pasal 31 UUD 1945, setiap warga negara pada prinsipnya harus mendapatkan pendidikan yang layak. Jadi PENGUKURAN INDEKS ETOS BELAJAR SISWA DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Sugeng Bayu Wahyono, Deni Hardianto, dan Estu Miyarso FIP Universitas Negeri Yogyakarta email: [email protected] Abstrak Tujuan penelitian ini adalah merumuskan dan memetakan indeks etos belajar siswa ditinjau dari asal daerah kabupaten/kota; mengetahui penyebab rendahnya etos belajar siswa; serta mengetahui komitmen sekolah dalam usaha mengatasi rendahnya etos belajar siswa. Metode yang digunakan adalah metode survai. Untuk mengumpulkan data-data primer dari pengalaman dan pendapat responden dilakukan melalui angket dan wawancara terbimbing. Analisis menggunakan model kuantitatif dengan menerapkan statistik deskriptif yang dikombinasi dengan analisis diskriptif kualitatif. Penelitian ini menemukan bahwa etos belajar siswa sekolah di daerah pinggiran masih dalam kategori sedang cenderung rendah, sementara untuk siswa sekolah di daerah pusat masuk dalam kategori sedang cenderung tinggi. Letak teritorial cenderung memiliki hubungan signifikan terhadap rendahnya etos belajar siswa di sekolah pinggiran. Kata kunci : pengukuran indeks etos belajar siswa, pemerataan, peningkatan kualitas pendidikan DIY MEASUREMENT OF STUDENTS’ LEARNING ETHOS IN THE SPECIAL PROVINCE OF YOGYAKARTA Abstract This study was aimed at defining and mapping students’ learning ethos seen from their places of origin, finding out the causes og low learning ethos, and finding out school committment in solving low learning ethos. The study used a survey technique, looking at respondents’ experiences and opinions through questionaires and guided interviews. The data analyses were descriptive quantitative and qualitative. The findings show that learning ethos was low in the suburban areas and high in urban areas. Thus territotial placements have significant relationship with the low learning ethos of students in the suburban areas. Keywords: learning ethos, suburban area, urban area

Upload: others

Post on 22-Nov-2021

15 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENGUKURAN INDEKS ETOS BELAJAR SISAW DI DAERAH …

51

PENDAHULUANDalam beberapa tahun terakhir isu

pendi dikan yang paling menonjol adalahmasa lah pelayanan pendidikan. Seiringdengan ber lakunya sistem politik demokrasidan ma rak nya pemilihan langsung,hampir se mua kandidat pemimpin pusatmaupun dae rah senantiasa mengangkat isupelayanan pendidikan. Berbagai tawarandilontarkan baik secara konsep tual maupunjanji-janji ban tu an, seperti pendidikan

gratis, kenaikan gaji guru, dan perbaikaninfra struktur. Se mua politisi menjanjikanpelayanan pendi dikan yang baik sesuaidengan kehendak masyarakat. Pemerintahsendiri terus mengu payakan peningkat-an kualitas pelayanan pendidikan sebagaibagian dari kewajiban kon stitusionalnya.

Sebagaimana amanat konstitusi yangtercantum dalam Pasal 31 UUD 1945,setiap warga negara pada prinsip nya harusmenda pat kan pendidikan yang layak. Jadi

PENGUKURAN INDEKS ETOS BELAJAR SISWADI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Sugeng Bayu Wahyono, Deni Hardianto, dan Estu MiyarsoFIP Universitas Negeri Yogyakarta

email: [email protected]

AbstrakTujuan penelitian ini adalah merumuskan dan memetakan indeks etos belajar siswa ditinjau

dari asal daerah kabupaten/kota; mengetahui penyebab rendahnya etos belajar siswa; sertamengetahui komitmen sekolah dalam usaha mengatasi rendahnya etos belajar siswa. Metode yangdigunakan adalah metode survai. Untuk mengumpulkan data-data primer dari pengalaman danpendapat responden dilakukan melalui angket dan wawancara terbimbing. Analisis menggunakanmodel kuantitatif dengan menerapkan statistik deskriptif yang dikombinasi dengan analisis diskriptifkualitatif. Penelitian ini menemukan bahwa etos belajar siswa sekolah di daerah pinggiran masihdalam kategori sedang cenderung rendah, sementara untuk siswa sekolah di daerah pusat masukdalam kategori sedang cenderung tinggi. Letak teritorial cenderung memiliki hubungan signifi kanterhadap rendahnya etos belajar siswa di sekolah pinggiran.

Kata kunci: pengukuran indeks etos belajar siswa, pemerataan, peningkatan kualitas pendidikan DIY

MEASUREMENT OF STUDENTS’ LEARNING ETHOS IN THE SPECIALPROVINCE OF YOGYAKARTA

AbstractThis study was aimed at defi ning and mapping students’ learning ethos seen from their places

of origin, fi nding out the causes og low learning ethos, and fi nding out school committment insolving low learning ethos. The study used a survey technique, looking at respondents’ experiencesand opinions through questionaires and guided interviews. The data analyses were descriptivequantitative and qualitative. The fi ndings show that learning ethos was low in the suburban areasand high in urban areas. Thus territotial placements have signifi cant relationship with the lowlearning ethos of students in the suburban areas.

Keywords: learning ethos, suburban area, urban area

Page 2: PENGUKURAN INDEKS ETOS BELAJAR SISAW DI DAERAH …

52

setiap warga negara memiliki hak untukmen da patkan pelayanan pen didikan yangme ma dai, tidak terkecuali warga negara yangseca ra teritorial berada di daerah pinggiran,seperti di pedesaan, ataupun yang beradadi daerah pelosok serta terpencil.

Melalui serangkaian kebijakan yangber nuansa pemerataan pendidikan sepertipen ca nangan program Wajib Belajar 6dan 9 tahun. Bahkan, dalam waktu dekatwajib belajar menjadi 12 tahun. Hal inimerupakan bukti komit men pemerintahuntuk meningkatkan pelayanan pendidikankepada warga. De ngan kata lain, pemerintahtelah mem buka kesempatan belajar bagiwarga nya, minimal lulus SMP sederajat,dan bahkan SMA sederajat. PelaksanaanWajib Belajar 9 tahun ini terus ditingkat-kan, dan sekali gus dibarengi pemberiansubsidi pen didikan dengan me lun curkanprogram Bantuan Operasional Sekolah,atau yang populer dengan akronim BOS.Di bidang prasarana-sarana juga terusdiberikan baik dalam bentuk bangunan fi sikdan renovasi gedung sekolah, peralatanlaboratorium, alat peraga, buku paket, dansaranan penunjang lainnya. Ber samaandengan itu, monitoring dan evaluasiterhadap proses pembelajaran juga terusdilakukan untuk menjaga kualitas layananpembelajaran. Sumber Daya Manusia jugaterus dikembangkan dengan memberikanbeasiswa bagi guru untuk menempuhjenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Pencapaian target kuantitatif hinggakini sudah cukup menggembira kan.Pada saat ini 94,7% penduduk Indonesiaberhasil me nge nyam sekolah dasar, danangka ini terus mengalami pertumbuhanpositif. Na mun, angka partisipasi di tingkatSMP ha nya bergerak perlahan dari 41,9%pada ta hun 1990, saat ini hanya beradadi posisi 66,5% dari target 100% seluruhpenduduk mengenyam pendidikan hinggaSMP pada tahun 2015. Sebagaimana

ditetapkan dalam tujuan MiliniumDevelepment Goals (MDGs) ke-2, yakniketidaksetaraan akses pendidikan danlatihan, terdapat tiga indicator yang harusdicapai, yaitu partisipasi di tingkat SDdan SMP, proporsi murid yang bersekolahhingga kelas 5 dan tamat SD, dan melekhuruf usia 15-24 tahun. Secara umumgambar an angka partisipasi mumi (APM)di tingkat SD belum sungguh-sungguhmengalami progres yang terus positif,melainkan mengalami fl uktuasi dalam tigatahun terakhir.

Di wilayah Provinsi DIY, pergerakanpositif menuju target MDGs ini jugaterjadi, khususnya pada tingkat sekolahdasar, sedangkan pada tingkat SMPpergerakannya melambat. Kota Jogjadan Kabupaten Sle man APM mengalamikenaikan positif, sedangkan di KabupatenBantul mengalami trend naik turun.Kondisi serupa juga terjadi untuk angkapartisipasi mumi tingkat SMPIMTS (13-15 tahun). Angka APM SMP mengalamipeningkatan dengan tren fluk tuatif.Upaya keras masih

dibutuhkan untuk mencapai target100% seluruh penduduk Indonesiabersekolah hing ga jenjang SMP. Terlebihterkait par ti sipasi anak perempuan yangrasio parti si pasinya lebih kecil dari anaklaki-laki. Kon disi ini menunjukkan profi lpendidikan di Indonesia, dimana makintinggi jenjang pen didikan, makin rendahangka partisipasi pe rempuan.

Akan tetapi permasalahan pemerata-an pendidikan secara empirik masih tetapfenomenal, yang ditandai misalnya dengansemakin rendahnya kualitas pendidikandi daerah pinggiran. Ada kecenderunganbahwa prestasi siswa di sekolah-sekolah daerah pinggiran tidak sebaikpencapaian prestasi belajar di daerahpusat, yang kebanyakan di per kotaan.Meskipun tingkat kelulusan relatif tidak

JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 44, Nomor 1, Mei 2014, Halaman 51 - 63

Page 3: PENGUKURAN INDEKS ETOS BELAJAR SISAW DI DAERAH …

53

ada perbedaan signifi kan antara siswa disekolah pinggiran dengan yang di pusat,tetapi secara kualitatif tetap menyodorkanfakta bahwa tingkat pencapaian angka UNsiswa di daerah pinggiran misalnya, lebihrendah dari pada pencapaian UN siswa diperkotaan.

Salah satu sebab mengapa tingkatpen ca paian prestasi belajar siswa didaerah ping giran kurang memadai, antaralain adalah ren dahnya etos belajar siswadi pedesaan. Kondisi lingkungan sosialbudaya yang kurang menunjang semangatbelajar seperti kondisi kemiskinan danberkembangnya persepsi bahwa sekolahtidak mengubah nasib, menyebabkansiswa di daerah pinggiran kurang antusiasbelajar. Di samping itu, tingkat kompetisiyang rendah di antara siswa dalammencapai prestasi belajar, juga menjadikendala mengapa mereka rendah motivasibelajamya. Faktor struktural dan kulturalini berpotensi menjadi kendala bagisiswa di daerah pinggiran dalan usahanyameningkatkan etos belajar. Bahkan dapatdiduga bahwa aspek sosial budaya masihmenjadi penyebab tidak tumbuhnya etosbelajar siswa. Asumsi ini diperkuat ketikasarana, kurikulum, guru, dan saranapenunjang sudah relatif sama antara sekolahdi pinggiran dengan di perkotaan, makapenye bab rendahnya prestasi belajar dapatdisebabkan di luar faktor tersebut, yaituoleh rendahnya etos belajar siswa.

Penyebab lain adanya fenomenatidak meratanya kualitas sekolah yangberim pli kasi terhadap etos belajar siswa ituboleh jadi merupakan implikasi dari modelkekuasaan Jawa. Sudah sejak lama pilihanparadigma pembangunan di Indonesiamenggunakan pendekatan sen tralis tik yangsangat dipenga ruhi oleh konsep kekuasaanJawa. Model ini di terap kan secara efektifpada era kerajaan Mataram dengan kotaJogja sebagai pusat dan sekaligus titik

pemusat an kekuasaan. Anderson (1972)dalam tulisan nya berjudul The Idea ofPower in Javanese Culture meng gam barkanke kuasa an Jawa seperti daya pancaranlampu pijar. Asumsinya adalah: (1) Rajadan Keraton merupakan sumber cahayayang mengalir dan memancarkan kekuasa-an sehingga dapat memangku jagad rayadan negara atau menjadi paku jagadsemesta alam; (2) Kekuasaan raja Jawaseperti cahaya lampu pijar, makin dekatdengan bolam nya makin terang, makinjauh makin lemah cahayanya hinggamakin redup dan hilang sinar-sinar yangberasal dari bolam sumbemya.

Dalam memberikan layanan publikpun juga menggunakan cara pandangyang sama dengan daerah pedesaan ataupinggiran da lam posisi yang dipandangoleh pusat. Oleh karena daerah pinggir anmemang tidak perlu diperkuat, dan bahkandibiarkan lemah, maka pemberi an layananfasilitas publik pun sekehendak pemerintahpusat. Akibatnya se mua pelayanan publikseperti fasilitas pen didik an dan kesehatanpun mengikuti pola pancaran lampu pijar,makin jauh dari pusat makin minim danjelek.

Tingkat kualitas pendidikan di DIYyang mengikuti pola konsentris tersebutjuga tercermin dalam etos belajar siswa,da lam arti semakin ke daerah pinggiransemakin rendah tingkat etos belajamya.Minimnya fasilitas belajar, tidak meratanyasumber daya, dan makin rendahnyatingkat status sosial ekonomi wargamasyarakat di daerah pinggiran, merupa kanbeberapa faktor yang berkaitan denganrendahnya etos belajar siswa. Sementaraitu secara kultural, pandang an dunia wargamasyarakat pinggiran terhadap duniasekitamya juga mem beri kan pengaruhsignifi kan terhadap makna bersekolahdan makna belajar. Selama ini telahberkembang persepsi bahwa untuk apa

Sugeng B.W., Deni H., dan Estu M.: Pengukuran Indeks ...

Page 4: PENGUKURAN INDEKS ETOS BELAJAR SISAW DI DAERAH …

54

sekolah dan giat belajar, pada kenyataannyatidak mampu mengangkat status sosial.Mereka dengan menempuh pendidikan,tetap saja tidak keluar dari kondisi hidupyang terjerat kemiskinan. Warga daerahpinggiran, terutama di daerah pedesaanma sih didominasi cara berpikir fatalistik,mereka miskin karena memang ditakdir kanmenjadi orang miskin dan tertinggal. Olehkarena itu mereka beranggapan, untukapa giat belajar jika pada kenyataannyamereka tetap saja miskin. Kondisi hidupwarga pinggiran yang miskin berhubungandengan kemalasan belajar.

Berangkat dari isu dan per masalahanpendidikan di DIY tersebut, maka sebagaiupaya peningkatan kuali tas pendidikanse cara merata, perlu meningkatkan etosbela jar siswa. Usaha ini akan bermanfaatbagi upaya me nyusun pemetaan kualitaspendidikan, sehingga akan dapat digunakansebagai me nyusun kebijakan strategispemerintah dalam meningkatan pelayananpendidik an pada masyarakat.

Pertanyaan utama yang akan dijawabdalam penelitian ini adalah bagaimana etosbelajar siswa pada setiap sekolah jenjangSD-SMA/sederajat baik negeri maupunswas ta di daerah pinggiran DIY; faktor-fak tor apa saja yang berkaitan dengan ren-dahnya etos belajar siswa di sekolah ping-giran; dan bagaimana upaya sekolah untukmeningkatkan etos belajar siswa.

Etos itu sendiri mengandung penger-tian beragam. Etos berasal dari bahasayunani ethos yakni karakter, cara hidup,kebiasaan seseorang, motivasi atau tujuanmoral seseorang serta pan dang an duniamereka, yakni gambaran, cara bertindakataupun ga ga san yang paling komprehensifmengenai tatanan. Dengan kata lain etosadalah aspek eva luatif sebagai sikapmendasar ter hadap diri dan dunia merekayang direfl eksikan dalam kehidupannya(Khasanah, 2004: 8).

Menurut kamus Webster, etosdidefi ni si kan sebagai keyakinan yangberfungsi se ba gai panduan tingkah lakubagi seseorang, sekelompok, atau sebuahinstitusi (guiding beliefs of a person,group or institution). Sementara itumenurut Geertz (1982:3), etos adalahsikap yang mendasar terhadap diri dandunia yang dipancarkan hidup. Sikapdi sini digambarkan sebagai prinsipmasing-masing individu yang sudahmenjadi keyakinannya dalam mengambilkeputusan.

Sementara itu belajar mengandung pe-nger tian yang beragam juga. Berbagai ahlite lah mencoba merumuskan pengertianbela jar yang dilihat dari berbagai perspektif.Perspektif behaviorisme mengartikanbelajar sebagai sebuah proses organismmemperoleh bentuk perubahan perilakuyang cendrung terus mempengaruhi modelperilaku umum menuju pada sebuahpeningkatan. Perubahan perilaku tersebutterdiri dari berbagai proses modifi kasimenuju bentuk permanen, dan terjadidalam aspek perbuatan, berpikir, si kap,dan perasaan. Akhimya dapat dika takanbahwa belajar itu tiada lain adalahmem peroleh berbagai pengalaman baru(Kochhar, 1967: 27). Selanjutnya Kochharmenegaskan bahwa belajar akan suksesjika memenuhi persyaratan, yaitu: 1)Belajar merupakan sebuah kegiaan yangdibu tuhkan oleh siswa; yakni siswa merasaper lu akan belajar. Semakin kuat keinginansiswa untuk belajar, maka akan semakintinggi tingkat keberhasilannya; 2) Adakesiapan untuk belajar; yakni kesiapansiswa untuk memperoleh pengalaman baru,baik pengetahuan maupun keterampilan.Da lam mata pelajaran apa pun, apakahmata pelaja ran akademik, olahraga, bahkankete ram pilan membutuhkan kesiapanuntuk belajar. Kalau kesiapan belajamyatinggi, maka hasil belajamya pun akan

JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 44, Nomor 1, Mei 2014, Halaman 51 - 63

Page 5: PENGUKURAN INDEKS ETOS BELAJAR SISAW DI DAERAH …

55

baik, dan sebaliknya jika kesiapannyarendah, maka hasilnya akan rendah pula.

Sedangkan Burton mengatakanbahwa prinsip umum belajar dalamkonteks pem belajaran berpusat padakonsep diri dan penerimaan diri terhadapberbagai rumusan tujuan dan outcomedari sebuah proses pembelajaran yangdiindikasikan dengan berbagai hasil hasilbelajar (Burton, 1962: 18).

Berangkat dari pemahaman tentangetos dan belajar tersebut, maka etos belajardapat didefi nisikan sebagai aspek evaluatifsebagai sikap mendasar ter hadap diri dandunia mereka yang direfl eksikan dalamke hidupannya untuk memperoleh berbagaipengalaman baru.

Sementara itu indeks etos belajarber kaitan dengan aspek evaluasi belajardan pengukuran sebuah hasil belajar.Dalam aspek evaluasi ini biasanya guruakan mendapatkan kenyataan bahwadalam mata pelajarannya terdapat indeksperbedaan ke mam puan belajar siswa,baik dipengaruhi oleh faktor genetik,lingkungan belajar mau pun pengalamanbelajar sebelumnya (Rosyada, 2004: 125).Dalam konteks ini, Hunt mengatakanbahwa ada tiga faktor akademik yangperlu diuji pada siswa oleh setiap sekolah,karena ketiganya sangat mem pengaruhiproses belajar mereka, yaitu kecerdasanakademik, motivasi akademik, dan pengeta-huan yang telah diperoleh sebelummemasuki sekolah (Hunt, 1999: 26).

Indeks dari ketiga aspek tersebutamat penting untuk diketahui dalam rangkape ngem bangan perencanaan oleh guru.Siswa-siswa dengan tingkat kemampuanting gi memiliki permintaan perlakuanbelajar yang berbeda dari lainnya. Demikianpula, siswa dengan tingkat kemampuanrendah, yang me nuntut perlakuan berbeda,karena mereka pu nya hak yang sama untukmemperoleh kom petensi sesuai yang telah

disepakati melalui perumusan kurikulum.Mereka tidak boleh keluar dari sekolahdengan indeks nilai 8.00 (umpamanya)untuk semua mata pelajaran. Prinsip iniharus dikomunikasikan pada sis wa, danmereka harus menerima berbagai kebijakanperlakuan untuk mencapai indeks kompetisitersebut. Hunt menyimpulkan be berapakarakteristik siswa beretos belajar tinggisebagai berikut: mampu menye lesaikanperkerjaannya lebih cepat da ri pada teman-teman sekelasnya, memiliki la tar belakangkemampuan yang luas, mam pu menangkapberbagai pengalaman baru denganakumulasi yang relatif besar, memilikisejarah sukses akademik, penuh percayadiri, selalu hendak terlibat dalam tim baruuntuk mengembangkan pengalaman, bekerjabaik sesuai kemam puan nya, sering menjaditerbaik di kelasnya, senang menghadapiberbagai tantangan, sering berinteraksidengan kelompoknya, menyampaikanpertanya an yang kritis dan mendalam,menerima tanggungjawab, sela lu cenderunguntuk menyelesaikan tugas secara tuntas,selalu memiliki konsep diri yang positif,sering beramah-tamah dengan sesama.

Siswa dengan ciri tersebut ter-masuk dalam kategori berkemampuantinggi dan beretos belajar tinggi. Denganmengacu pada kriteria tersebut maka padadasamya setiap siswa baik dalam levelindividu maupun kelompok akan dapatdiukur melalui indeks etos belajar untukdipetakan tingkat kompetensi rata-ratanyapada setiap unit sekolah.

Di wilayah provinsi DIY, pergerakanpositif menuju target MDGs ini jugaterjadi, khususnya pada tingkat sekolahdasar, se dangkan pada tingkat SMPpergerakannya melambat. Kota Jogjadan Kabupaten Sleman APM mengalamikenaikan positif, sedangkan di KabupatenBantul mengalami trend naik turun.Kondisi serupa juga terjadi untuk angka

Sugeng B.W., Deni H., dan Estu M.: Pengukuran Indeks ...

Page 6: PENGUKURAN INDEKS ETOS BELAJAR SISAW DI DAERAH …

56

partisipasi mumi tingkat SMP/MTS (13-15 tahun). Angka APM SMP mengalamipeningkatan dengan trend fl uktuatif. Upayakeras masih dibutuhkan untuk mencapaitarget 100% seluruh penduduk Indonesiabersekolah hingga jenjang SMP. Terlebihterkait partisipasi anak perempuan yangrasio partisipasinya lebih kecil dari anaklaki-laki. Kondisi ini menunjukkan profi lpendidikan di Indonesia, dimana makintinggi jenjang pendidikan, makin rendahangka partisipasi perempuan.

Akan tetapi problem mendasar yangperlu segera mendapat solusi adalahbagaimana target kuantitatif tersebutmampu bergeser ke target kualitatif. Harusdiakui bahwa secara kualitatif mutu,pendidikan di Yogyakarta kurang merata,dan sepertinya makin ke ping gir an makinrendah mutunya. Jadi ber bagai lembagapendidikan dari jenjang SD hingga SMA/SMK yang berkualitas le bih terkonsentrasidi daerah perkotaan, se dangkan di daerahpedesaan jauh lebih ren dah kualitasnya.

Fenomena itu boleh jadi merupakanimplikasi dari model kekuasa an Jawa.Sudah sejak lama pilihan paradigmapembangunan di Indonesia menggunakanpendekatan sen tralistik yang sangatdipengaruhi oleh konsep kekuasaan Jawa.Model ini diterap kan secara efektif padaera kerajaan Mataram dengan kota Jogjasebagai pusat dan sekaligus titik pemusatankekuasaan. Anderson (1972) dalamtulisannya berjudul The Idea of Powerin Javanese Culture menggambarkankekuasaan Jawa seperti daya pancaranlampu pijar. Asumsinya adalah Raja danKeraton merupakan sumber cahaya yangmengalir dan memancarkan kekuasaansehingga dapat memangku jagad raya dannegara atau menjadi paku jagad semestaalam; Kekuasaan raja Jawa seperti cahayalampu pijar, makin dekat dengan bolanyamakin terang, makin jauh makin lemah

cahayanya hingga makin redup danhilang sinar-sinar yang berasal dari bolamsumbemya.

Pola penyampaian isi pengajarandari guru yang dianggap serba tahukepada murid yang dianggap tidak tahuapa-apa, masih terasa sekali dalam prosesbelajar di sekolah-sekolah kita. Prosesbelajar semacam itu sadar atau tidakmengubah pribadi-pribadi kreatif menjadipenurut, akibatnya murid kurang beraniberpendapat lain daripada yang berkuasa,entah di sekolah, di lingkungan keluarga,dan akhimya pada lingkungan ke hi dupanpolitik bermasyarakat.

Situasi proses belajar semacam inimenurut Kartodirdjo (1993) membuatsistem pendidikan tidak adaptif terhadapdinamika perubahan masyarakat, melain-kan justru terlembagakan men dukungkondisi status quo dan konservatisme.

Sistem pendidikan demikian mengan-dung sifat konvensional. Pertama, senantiasaberorientasi pada target, maka sesuatu yangmelekat pada sistem pengajaran itu ialahsistem ujian. Pengajaran yang berorientasipada ujian, membentuk saluran-saluran yangsecara ketat mengarahkan dengan efektifsubstansi pelajaran dan cara pengajaran padatarget lulus. Dengan kata lain, adanya latihandan ujian semata-mata untuk menyiapkananak didik menguasai pengetahuan siappakai dalam ujian. Dengan demikian,pengajaran terbatas pada proses memorisasisaja, suatu proses yang artifi sial, tidak adakai tannya dengan pengetahuan yang relevanbagi kehidupan. Anak didik direduksimenjadi “mesin-mesin ingatan” dan sedikitdi be ri kesempatan berlatih berpikir kritis.

Kedua, telah terjadi tradisi kuat untukmenetapkan materi pelajaran yang stan dar.Sekali ditetapkan sukar diadakan penyesuaiandan perubahan, dengan textbook semakindilembagakan dalam sekolah. Situasi penge-ja ran klasikal dan penjadwalan ketat tidak

JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 44, Nomor 1, Mei 2014, Halaman 51 - 63

Page 7: PENGUKURAN INDEKS ETOS BELAJAR SISAW DI DAERAH …

57

memberi kesempatan pada otoaktivitas, ini-si atif, dan imajinasi, baik bagi guru maupunmurid. Rutinitas cara penyam paian bahanpe la jaran menyebabkan pengajaran se mkinbercap sekolah, dan akibatnya lepas puladari realitas kehidupan se hari-hari.

Melihat tuntutan yang berkembangdi ma sya rakat, agaknya sistem pengajarankonven sional semacam itu sulit diper-tahankan. Hasil-hasil dari proses pengajaranyang de mi kiant idak pemah akan bisaberdaya bila dihadapkan pada situasi dantantangan-tan tangan baru yang tidak terdugasebelumnya. Maka jika dibiarkan terusberlanjut akan melahir kan suatu krisis yangmuncul dalam bentuk ketidakberdayaan kitayang segera harus menghadapi tantanganglobal.

Sudah ada tanda-tanda bahwa duniaakan terus mengalami perubahan yang susul-me nyusul menuju masyarakat yang maju.Be be rapa ciri masyarakat yang maju, antaralain orientasi pada achievement, orientasipada rasionalitas yang menggantikanorientasi pada magi dan misteri, orientasipada pro duk tivitas, orientasi pada kreativitas,dan orientasi pada kewirausahaan.

METODEPenelitian ini menggunakan

metode survei dan penelitian kancah(fi eld research). Metode survei digunakanuntuk mengumpulkan data-data primerdari pengalaman dan pendapat respondenmelalui ang ket dan interview guide, dimanaanalisis meng gunakan model kuantitatifdengan menerapkan statistik deskriptifyang dikombinasi dengan analisis diskriptifkualitatif.

Lima kabupaten/kota yang ada diProvinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)seluruhnya dipilih menjadi wilayah sampelpenelitian ini, yakni Kota Yogyakarta,Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunungkidul,Ka bu paten Sleman, Kabupaten Kulonprogo.

Se tiap kabupaten/kota dipilih 6 sekolahyang memiliki salah satu kriteria sebagaiberi kut: sekolah negeri yang maju di daerahkecamatan pusat kota, sekolah swasta yangmaju di daerah kecamatan pusat kota,sekolah ne geri yang kurang maju di daerahpinggiran ka bupaten/kota, sekolah swastayang kurang maju di daerah pinggirankabupaten/kota.

Penelitian ini menetapkan populasiada lah seluruh siswa pada jenjang ting katSMA sederajat yang ada di wilayah ProvinsiDIY. Jumlah responden ditetap kan, setiapsekolah di masing-masing kabupaten/kotaterpilih diambil 100 responden, sehinggatotal terdapat 500 responden. Dari jumlahtersebut akan diidentifi kasi responden yangmasuk dalam kategori siswa beretos belajarrendah dan siswa beretos belajar tinggi.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANSebagaimana komitmen penelitian

ini, yaitu ingin mewujudkan tersusunyaindeks etos belajar siswa; peta indeks etosbelajar siswa di Provinsi DIY dilihat perkabupaten/kota; dan tersusun nya ranking(daftar pemeringkatan) indeks etos belajarsiswa antar ka bu paten/ kota di Provinsi DIY.Berikut akan diuraikan data hasil penelitianberkaitan dengan etos belajar. Salah satuper tanyaan penting yang diajukan dalamriset ini adalah bagaimana etos belajarsiswa sekolah di dae rah pinggiran maupundi pusat. Karena itu penelitian ini inginmenjawab bagaimana etos belajar siswasekolah daerah pinggiran maupun pusat diProvinsi DIY.

Berkaitan dengan pertanyaan bagai-mana Indeks pengukuran etos belajar,penelitian menawarkan formulasi yangsekiranya dapat digunakan sebagai instrumenpengukuran etos belajar. Merujuk teori yangdikemukakan oleh Hunt (1999) dengan limabe las indikator etos belajar, penelitian inimena warkan formulasi pengukuran indeks

Sugeng B.W., Deni H., dan Estu M.: Pengukuran Indeks ...

Page 8: PENGUKURAN INDEKS ETOS BELAJAR SISAW DI DAERAH …

58

JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 44, Nomor 1, Mei 2014, Halaman 51 - 63

Indikator Item IndikatorSkala

Penilaian

Minat Baca - Alokasi waktu membaca per hari- Frekuensi mengunjungi perpustakaan- Frekuensi mengunjungi toko buku- Sikap terhadap aktivitas membaca

1-5

TanggungJawab Belajar

- Komitmen waktu menyelesaikan tugas- Komitmen waktu memahami pengetahuan baru- Ketuntasan mengerjakan tugas

1-5

KemandirianBelajar

- Kemampuan menyusun agenda belajar- Percaya kepada kemampuan diri- Tidak tergantung pada orang lain

1-5

KeberanianMenghadapiTantangan

- Antusiasme mengerjakan tugas- Tertarikan terhadap risiko tinggi- Tertarikan terhadap kompetisi- Keingintahuan tinggi- Keberanian bertanya tinggi

1-5

Tabel 1. Matrik Pengukuran Indeks Etos Belajar

etos belajar dengan menetapkan empatindikator utama. Secara lebih ringkat dapatdilihat dalam Tabel 1.

Berdasarkan matrik indeks etos belajartersebut dapat digunakan untuk mengukurtinggi rendahnya etos belajar siswa melaluiinstrumen angket yang merujuk pada itemindikatomya. Tinggi rendahnya tingkatetos belajar diukur melalui penetapan sekoryang meng guna kan skala lingket denganren tang bobot 1-5. Rentangan ini akanmemberi bobot kualitas jawaban respondensecara berurutan menuju ke arah menurun.Artinya, kualitas jawaban yang memilikibobot kualitas tertinggi mendapat skor 5 danbegitu seterusnya disusun secara urut dalamobsi jawaban responden.

Menggunakan instrumen pengukuranin deks etos belajar tersebut pada aktivitasbelajar siswa di wilayah Provinsi DIY,memberikan gambaran bagaimana tingkatindeks etos belajar siswa sekolah daerah

pinggiran mau pun yang berada di pusat dekatibukota ka bu paten maupun provinsi.Setelah mela ku kan pengolahan datalapangan, riset ini mem peroleh informasidata sebagaimana Gambar 1.

Gambar 1 menginformasi kan bahwa etosbelajar siswa sekolah di daerah pinggiransecara umum dapat dikatakan rendah, ataujika dikuantifi kasi angkanya mencapai39,1% rendah, 48,9% kategori sedang, danhanya 12% yang masuk kategori beretostinggi. Sedangkan etos belajar siswa sekolahdi daerah pusat secara umum dapat dikatakanlebih tinggi jika dibandingkan dengan yangdi daerah pinggiran. persentasenya meliputi:19% ka te gori rendah, 49% sedang, dan yangber etos tinggi mencapai 32%.

Kuantifi kasi itu merupakan uraian daribeberapa indikator etos belajar, yang meliputiminat baca, tanggung jawab, kemandirian,dan keberanian menghadapi tantangan dalamproses belajar.

Page 9: PENGUKURAN INDEKS ETOS BELAJAR SISAW DI DAERAH …

59

Gambar 1. Etos Belajar Siswa

Minat baca ini diukura dari alokasiwaktu membaca per hari, frekuensimengunjungi perpustakaan, dan frekuensimengunjungi toko buku. Penelitian inimemperoleh data bahwa ketiga indikatortersebut semuanya masih masuk dalamkategori rendah baik sis wa sekolah di daerahpinggiran maupun di daerah pusat. Memanguntuk siswa di daerah pusat lebih tinggitingkat minat bacanya diban dingkan siswa didaerah pinggiran, te ta pi secara umum minatbaca masih rendah.

Ketika ditanya kegiatan apa yangpaling menyita waktu di luar sekolahhanya 23,9% yang mengaku membacadan mengerjakan pekerjaan rumah (PR)

sekolah. Sementara yang mengaku ber maindengan teman 28,3%, menonton televisi17,4%, dan membantu pekerjaan orangtuamencari nafkah sebesar 26,1%. Untukaktivitas terakhir itu memang mengan dungmuatan pendidikan, karena bagai ma na punkegiatan membantu pekerjaan orang tuamencari nafkah adalah baik secara eduka tif.Akan tetapi kondisi sosial ekonomi wargamasyarakat pinggiran seperti itu sedikitbanyak tentu berpenga ruh terhadap semangatbelajamya.

Sementara itu, rendahnya etos belajarjuga dapat dilihat pada seberapa besar sikapbertanggung jawab terhadap tugas yangdiberikan oleh sekolah. Tanggung jawab inidilihat dari tingkat kecepatan mengerjakantugas yang berkaitan dengan pelajaran denganwaktu 1 jam; tingkat kecepatan pe ma hamanterhadap pengetahuan baru; dan sikap yangberkembang ketika menda pat penugas an diseputar pelajaran sekolah. Tingkat tanggung-jawab siswa sekolah pinggiran temyata dapatdikatakan cenderung sedang bergerak kerendah, yaitu 32,6% kategori rendah, 47,8%kategori tinggi, dan sementara hanya 19,6 %kategori tinggi.

Sedangkan tingkat tanggung jawasiswa di daerah pusat berada dalam kategorisedang cenderung tinggi, yaitu 31,50%tinggi, 48,20% sedang, dan 20,30% beradadalam ka tegori rendah. Akan tetapi secaraumum ba ik siswa di daerah pinggiranmaupun di dae rah pusat, tingkat tanggungjawabnya terha dap proses belajar masihdalam kategori sedang cenderung rendah.

Dalam kaitannya dengan sikap danpan dangan terhadap tantangan, secarau mum siswa sekolah pinggiran kurangmenyukai tantangan belajar. Beberapa itemyang menunjukkan kurangnya menyukaitan ta ngan antara lain yang berkaitan dengandorongan mencari pengalaman baru,antusias me mengerja kan tugas di depankelas, ketertarikan terhadap tugas yang

Sugeng B.W., Deni H., dan Estu M.: Pengukuran Indeks ...

Page 10: PENGUKURAN INDEKS ETOS BELAJAR SISAW DI DAERAH …

60

berisiko tinggi, keberanian bertanya padaguru dalam kelas, dan ketertarikan terhadapaktivitas kontestatif.

Ketika ditanya apakah suka men caripengalaman baru rata-rata siswa mengakukadang rata-rata menjawab hanya kadang-kadang. Sangat sedikit yang mengaku bahwamenjadi siswa harus mendapat pengalamanbaru. Bahkan ada yang mengaku kurangtertarik mencari pengalaman baru, yangpenting belajar hanya mengikuti kegiatanbegitu saja secara rutin. Ketika diberi tugasoleh guru di depan kelas rata-rata kurangpercaya diri. Siswa sekolah pinggirankebanyakan mengaku grogi dan munculperasaan takut, sementara yang mengakusangat an tusias dan ber semangat hanyasedikit. Sis wa pinggir an juga kurang kurangtertarik ter ha dap tugas yang sulit danberisiko tinggi. Bo leh jadi ini merupakanimplikasi logis dari kul tur agraris-tradisionalyang kurang berani mengambil risiko karenahanya ingin sesuatu yang sudah pasti,sekalipun itu hanya soal keuntungan yangminimal.

Satu indikator lain ketidaksukaanterhadap tantangan pada kalangan siswadi se kolah pinggiran juga tercerminpada kebiasaan bertanya dalam kelas.Kebanyakan siswa me ngaku hanya kadang-kadang mengajukan pertanyaan, dan bahkancenderung jarang sekali me ngaju kanpertanyaan, serta ada pula yang mengakusama sekali tidak pemah ber tanya jikamengikuti pelajaran di kelas. Keenggananbertanya itu berbanding lurus dengan “kulturdiam” yang berkembang dalam masyarakatpedesaan yang merupakan masyarakatpinggiran.

Karakter mandiri belajar adalah sikappenting yang mesti dimiliki oleh siswa,jika ingin antusiasme belajar tetap terjaga.Antusiasme adalah kondisi konstan spiritbelajar yang terus menyala-nyala dalam dirisiswa. Jika siswa memiliki antusiasme dalam

belajar maka ia akan terus memiliki semangatbelajar tinggi dan rasa keingintahuan yangtiada henti. Hasrat belajar dan keingintahuanabadi adalah roh dan jiwa yang tumbuhterpelihara dalam diri siswa yang beretosbelajar tinggi. Sayang nya siswa di sekolahpinggiran kurang memiliki karakter inisebagaimana tampak dalam Gambar 2.

Gambar 2. Kemandirian Belajar Siswa

Memperhatikan muatan yang ter-kandung dalam informasi Gambar 2 di atasmem perlihatkan bahwa tingkat kemandiriansis wa sekolah di daerah pinggiran lebihdominan berada dalam kategori sedang-sedang saja, atau persentasenya 91,3%.Se dang kan kategori tinggi hanya 6,5%,

JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 44, Nomor 1, Mei 2014, Halaman 51 - 63

Page 11: PENGUKURAN INDEKS ETOS BELAJAR SISAW DI DAERAH …

61

sementara kategori rendah 2,2%. Sikapmereka ketika mendapatkan masalah ataupersoalan belajar yang sulit dipecahkan rata-rata mereka meminta bantuan pada oranglain. Secara rinci gambaran ini tercermin padajawaban mereka atas sejumlah pertanyaanyang berkaitan dengan kesulitan mengahdapipersoalan sulit dalam proses belajar. Hanya4,3% yang mengaku selalu mengatasi sendiriketika menghadapi kesulitan dalam belajar.Sementara itu sebanyak 91,3% mengakumeminta bantuan pada orang lain ketikameng hadapi masalah belajar. Sedang kanyang mengaku meminta orang lain yangmengerjakan dan juga sama sekali tidakmenger jakan, terdapat 4,4%.

Dengan demikian tidaklah mengheran-kan apabila di kalangan siswa daerahpinggiran tingkat kemandirian belajarnyaren dah, karena merupakan manifestasi darikarakter kultur komunalis me. Keadaanjuga bisa dije las kan mengapa ketika UNpencapaiannya lebih tinggi di daerahpedesaan dari pada di daerah perkotaan. Akantetapi apakah ka dar representasivitasnyadapat dipertang gung jawabkan? Apabilamempertimbang kan faktor sosio-kultural,pastilah ada yang tidak beres dengan hasilUN tersebut.

Hasil analisis tabulasi silangmenginformasi kan gejala menarik di seputarisu pendidikan sekolah daerah pinggiran.Bebe rapa asumsi yang di bangun sebelumnyaterbukti benar adanya, meskipun ada pulaasumsi yang kurang sesuai dengan faktadi lapangan. Sebagai ilustrasi misalnya,bahwa etos belajar siswa pada sekolahpinggiran relatif rendah, sebagian besar datamenunjukkan dukungan terhadap asumsiter sebut. Sebagaimana ditunjukkan dalamha sil penelitian ini, rata-rata tingkat etosbe la jar siswa di sekolah pinggiran terbuktiren dah atau cenderung sedang. Ketikadipersi langkan dengan variabel asal daerah,ha sil nya menunjukkan bahwa siswa yang

ting gal di daerah pinggiran terbukti memilikietos belajar pada tingkat sedang cenderungren dah.

Akan tetapi penelitian inimenemu kan data menarik di seputarpandangan terhadap aktivitas belajar. Secaraumum res pon den memiliki pandang an yangpositif terhadap aktivitas belajar. Hampirsemua res ponden atau sebanyak 93,5% me-nga takan bahwa bersekolah karena ingin me-raih cita-cita hidup yang lebih baik. Se men -tara itu, pandangan mereka terha dap be la jarjuga positif, yaitu 56,5% meng aku bahwabelajar merupakan suatu aktivitas yangmenyenangkan, clan yang mengaku belajaradalah aktivitas belajar menyenang kantetapi terasa berat 39,1%. Hanya 2,2% yangmemandang bahwa belajar merupakan suatuyang berat dan membebani hidup. Juga ketikamereka ditanya tentang aktivitas membaca,mereka yang mengakup bahwa membacamerupakan suatu yang me nyenangkan54,3%; suatu yang me nye nangkan tetapiterasa berat sebanyak 26,1 pcrsen. Merekayang mengaku bahwa membaca merupakanaktivitas yang kurang menyenangkan 15,2%;dan 4,3% yang mengaku bahwa membacamerupakan beban hidup.

Ironisnya, persepsi terhadap aktivitasbelajar yang positif itu tidak berbandinglurus dengan upaya yang dilakukan dalampraksis belajamya. Gambaran paradoksal inidapat dilihat dalam Gambar 3.

Dalam Gambar 3 terlihat hubunganparadoksal antara persepsi akvitas belajarterhadap etos belajar. Artinya, tidak adahubungan yang bersifat pararel atauliniaritas antara persepsi positif terhadapbe lajar dengan tingginya etos belajar.Seba gai mana tampak dalam tabel di atas,responden yang memiliki persepsi positifatau tinggi, ternyata etos belajamyarendah, yaitu 48,3%; kategori etos belajarsc.lang 41,4%; dan yang beretos belajartinggi ha nya 10,3%. Sedangkan persepsi

Sugeng B.W., Deni H., dan Estu M.: Pengukuran Indeks ...

Page 12: PENGUKURAN INDEKS ETOS BELAJAR SISAW DI DAERAH …

62

ter hadap belajar kategori sedang, tetapiberetos belajar rendah mencapai 26,7%;kate gori sedang 66,7%; dan beretos belajartinggi hanya 6,7%. Total hubungan an tarapersepsi terhadap belajar dengan etosbelajar menunnjukkan kategori rendah39,1%; etos belajar kategori sedang 48,9%;dan hanya 12% kategori tinggi.

SIMPULANEtos belajar siswa sekolah di daerah

ping giran temyata masih dalam kategorise dang cenderung rendah, sementarauntuk sis wa sekolah di daerah pusatmasuk dalam ka tegori sedang ccnderungtinggi. Letak te ri torial cen derung memilikihubungan sig ni fi kan terhadap rendahnyaetos belajar sis wa di sekolah pinggiran.SMA di daerah Ka bu paten Kulon Progodan Gunung Kidul cen derung memilikietos belajar lebih rendah daripada yangdi Bantul, dan Sleman, dan apalagi yangberada di kota Yogyakarta, karena duadaerah tersebut memiliki jarak lebih jauh

terhadap pusat kota Yogyakarta. Faktaini membuktikan bahwa tesis semakin kepinggir semakin rendah etos belajamyarelatif terbukti, yang sekaligus mem bukti-kan bahwa tingkat pelayanan pendidikanoleh pemerintah juga kurang merata baikdilihat dari sarana-prasarana maupundistribusi sumber dayanya.

Berangkat dari kesimpulan tersebutma ka penelitian ini menyarankan kepadape merintah agar menerapkan modelpelayanan pen didikan yang memprioritas-kan pada se kolah di daerah pinggiran. Salahsatu al ter natif yang dapat dipertimbangkanada lah model centering the margine, yaitupe layanan pendidikan yang bergerak dariping gir ke pusat. Artinya, pemerintahmulai me ngurangi pendekatan sentralistikse bagai mana yang dilakukan oleh parapengambil kebijakan selama ini.

FTAR PUSTAKAAnderson, B 1970. ’The Idea of Power in

Java”, dalam: Claire Holt & James T.

JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 44, Nomor 1, Mei 2014, Halaman 51 - 63

Gambar 3. Hubungan Persepsi terhadap Aktivitas Belajar dan Etos Belajar Siswa

Page 13: PENGUKURAN INDEKS ETOS BELAJAR SISAW DI DAERAH …

63

Kartodirdjo, S. 1993. Pendekatan IlmuSosial dalam Metodologi Sejarah.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Khasanah, U. 2004. Etos Kerja ArenaMenuju Puncak Prestasi. Yogyakarta:Harum Group.

Kochhar, S.K. 1967. Methods andTechniques of Teaching. New Delhi:Sterling Publishers.

Rosyada, D. 2004. Paradigma PendidikanDemokratis: Sebuah PelibatanMasyarakat dalam Pe nye lenggaraPendidikan. Jakarta: Prenada Media.

Sugeng B.W., Deni H., dan Estu M.: Pengukuran Indeks ...

Siegel (eds.) Cultures and Politics inIndonesia. Ithaca: Comell UniversityPress.

Burton, W.H. 1962. The Guidance ofLeaming Activities. New York:Appleton Century Crofts.

Geertz, C. 1982. Islam yang Saya Amati:Perkembangan di Maroko danIndonesia. Terj. Hasan Basari.Jakarta: Yayasan Ilmu-ilmu Sosial.

Hunt, G.H., Touzel, Timothy J., Wiseman,Dennis G. 1999. Effec tive Teaching,Preparation and Imple mentation.Illinois: Thomas Publi cation.