penguatan peran masyarakat dalam proses perumusan kebijakan

Upload: afee07

Post on 20-Jul-2015

286 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PENGUATAN PERAN MASYARAKAT DALAM PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN PUBLIK January 27, 2009Filed under: Uncategorized ozidateno @ 11:54 PENGUATAN PERAN MASYARAKAT DALAM PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN PUBLIK KASUS PERUMUSAN PERDA KABUPATEN KOTA DI SUMATERA BARAT Oleh: Rozidateno Putri Hanida ABSTRAK Tulisan singkat ini adalah sebuah hasil kajian terhadap peran masyarakat dalam perumusan kebijakan publik pada level terendah di era otonomi daerah, yaitu perumusan peraturan daerah di Kabupaten-Kota. Selama ini dinilai bahwa keterlibatan masyarakat dalam perumusan kebijakan adalah bentuk keterlibatan yang semu, masyarakat hanya terlibat dalam kegiatan seremonial, sedangkan pada tahapan yang lebih tinggi, banyak kasus usulan kebijakan yang merupakan kepentingan dasar masyarakat hilang di tengah jalan, tanpa masyarakat mampu mengadvokasinya. Melalui usaha meningkatkan posisi tawar dari masyarakat dan usaha dari pemerintah dengan mempersiapkan diri dengan meningkatkan pengetahuan di bidang perundang-undangan dan kebijakan diharapkan peran masyarakat dalam perumusan kebijakan menjadi sesuatu hal yang nyata. Kata Kunci: Penguatan peran masyarakat, Perumusan Kebijakan Publik, Peraturan daerah PENDAHULUAN Jika di pelajari secara lebih seksama, sistem pemerintahan Daerah yang baru, tersirat bahwa dari UU No 22/1999, sebetulnya tersirat keinginan untuk membangun sistem pemerintahan yang lebih demokratis, dimana proses politik dan pemerintahan bekerja secara lebih efektif. Selain itu UU ini juga merupakan upaya perombakan total dari UU yang sebelumnya (UU No 5/1974) yang sangat sentralistik. Yang mana pada saat ini terlihat sedang berlangsung arus balik kakuasaan dari pusat ke daerah. Dengan redaksi yang lain dapat dikatakan bahwa pemerintahan daerah yang dirancang melalui UU No 22/1999 secara total ingin menggeser satu titik fokus ke titik fokus yang lainnya. Artinya, sistem pemerintahan daerah berdasarkan UU No 22 tahun 1999, mencoba mengganti konsep pemebangunan yang selama ini diterapkan pemerintah orde Baru, yaitu dari sentralisasi ke desntralisasi. Pemerintah di zaman Orde Baru, melakukan banyak sekali kesalahan dalam menjalankan roda kekeuasaannya. Salah satunya adalah terlalu banyaknya memebrikan perintah dan aba-aba tanpa memeperhatikan keinginan masyarakat yang di perintahnya. Seperti, seringnya pemerintah zaman Orde Baru memeperkirakan, mengasumsikan, atau juga merawak-rawak apa yang sebenarnya diinginkan oleh masyarakat. Sebuah negeri di perkirakan atau diasumsikan akan sangat terbantu perekonomiannya dengan menanam pohon pinus, maka dibuatlah kebijakan oleh pemerintah bahwa seluruh rakyat yang ada di wilayah negeri itu ditannami pohon pinu. Tanpa pernah kepada masyarakat diperkenalkan sifat pohon pinus yang menyerap air. Sebagai akaibat negeri itu kekurangan sumber air. Pertanyaan kemudian adalah benarkah masyarakat di wilayah

negeri itu memerlukan penanaman pohon pinus dilahannya atau masyarakat butuh sumber air yang dikelola dengan baik agar lahan itu bisa menjadi lebih produktif. Sehingga pada tahapan berikutnya, kebijakan pemerintah untuk menanam pohon pinus di lahan yang ada menuai protes dari masyarakat, bahkan tidak jarang protes dalam bentuk kekerasan, dimana masyarakat langsung menebang pohon pinus yang ada. Pada akhirnya dana yang dialokasikan untuk peningkatan perekonomian rakyat yang ada karena di rawak-rawak tersebut hanya menuai kerugian. Cerita ini hanya sebentuk kecil rasa sok tahu yang dimiliki oleh pemerintah. Pada hal yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah adalah bentindak sebagai fasilitator, yaitu berfungsi dan bertindak mengolah aspirasi masyarakat, guna terumuskannya kebijakan publik yang partisipatif. Hal yang kemudian harus disadari oleh pemerintah adalah bahwa penyelenggaraan pemerintah butuh dukungan semua pihak. Dalam konteks perumusan fisi dan misi dan rencana strategis Kota/Daerah masyarakat perlu diajak konsultasi, mau kemana kota dan daerah di arahkan. Bukan sejedar diinformasikan setelah visi dan strategi dirumuskan secara eksklusif. Misalnya dalam penentuan pajak dan retribusi, masyarakat perlu di dengar pendapatnya sebelum peraturan daerah tentang pajak dan retribusi itu ditetapkan. Dalam pengaturan retribusi pelayanan di bidang pertanahan masyarakat pemilik lahan perlu diajak konsultasi, dan masyarakat lainnya perlu didengar pendapatnya. Bukan diam-diam Perda ditetapkan, lalu disana-sini masyarakat pemilik lahan mengeluh dan protes dengan retribusi pelayanan yang diterapkan. Disatu sisi pemerintah berkeinginan untuk meningkatkan laju pembangunan, sedangka disisi lain, masyarakat sebagai subjek sekaligus sebagai objek dari kebijakan yang menginginkan kebijakan yang membumi, yang menyentuh dan yang memperhatikan kepentingan mereka. UU No 22/1999 yang menjadi ujung tombak pembuka kran kehidupan yang lebih demokratis. Hal lain kenapa peran masyarakat (partisipasi) harus didorong tinggi, adalah dalam usaha untuk mewujudkan good governance atau tata kepemerintahan yang baik. Di Sumatera Barat sebenarnya partisipasi (penguatan peran masyarakat) tidaklah hal yang asing. Budaya masyarakat Minangkabau mengutamakan sistim mambasuik dari bumi dalam setiap pengambilan kebijakan. Artinya kebijakan yang akan dirumuskan oleh pemerintah adalah harus merupakan aspirasi masyarakat bawah. Hanya saja realita yang sekarang ini kita lihat adalah bahwa segala keinginan dan aspirasi masyarakat terabaikan, dikarenakan oleh rasa sok tahu dari pemerintah, dan prilaku marawak-rawak seperti tadi dikemukakan di atas. Tulisan ini ingin mendiskusikan bagaimana proses perumusan peraturan daerah di Kabupaten- kota, dan bagaimana peran masyarakat, serta kendala dan usaha masyarakat Kabupaten-Kota untuk bisa berperan dalam perumusan peraturan daerah dengan mengambil kasus Perumusan Peraturan daerah di dua Kabupaten-Kota yang ada di Sumatera Barat yaitu Kabupaten Tanah Datar dan Kota Solok. KEBIJAKAN PUBLIK: PERATURAN DAERAH KABUPATEN-KOTA Thomas R. Dye dalam buku yang ditulis oleh Hegel Nagi S. Tangkikisan, 2003 memeberikan pengertian yang mengenai kebijakan publik yaitu sebagai apa yang tidak dilakukan maupun yang tidak dilakukan oleh pemerintah. Pengertian ini kemudian dikembangkan dan diperdebatkan oleh ilmuwan, yang berkecimpung di ilmu kebijakan publik sebagai penyempurnaan. Seperti yang di kemukakan oleh Anderson (1975) memberikan defenisi kebijakan publik sebagai kebijakankebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan penjabat-penjabat pemerintah, dimana implikasi dari kebijakan itu adalah: 1. Kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai tindakan-tindakan yang

berorientasi pada tujuan 2. Kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah 3. Kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar di lakukan oleh pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan untuk dilakukan. 4. Kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tersebut atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu. 5. Kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif di dasarkan pada peraturan perundang-undangan yang bersifat mengikat dan memaksa. Sesuai dengan ketentuan pasal 69 Undang-Undang No 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian diganti dengan Undang-Undang No 32 tahun 2004 menyaakan bahwa Kepala Daerah menetapkan Peraturan Daerah atas persetujuan DPRD dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan juga penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tingggi. Dalam pasal 18 menyatakan bahwa DPRD mempunyai tugas dan wewenang antara lain, Bersama dengan Gubernur, Bupati dan Walikota membentuk Peraturan Daerah. Dalam pasal 19 ayat (1) huruf d, DPRD mempunyai hak mengadakan perubahan atas rancangan Peraturan Daerah. Dari ketiga peraturan tersebut menunjukan bahwa Pemerintah Daerah (Eksekutif) berperan dalam membentuk Peraturan Daerah, sedangkan DPRD mempunyai hak memberi persetujuan dan mempunyai hak mengadakan perubahan terhadap materi Peraturan Daerah. Sedangkan dalam pasal 19 ayat (1) huruf f menyatakan bahwa DPRD (legislatif) juga mempunyai hak mengajukan Rancangan Peraturan Daerah atau yang lebih dikenal dengan hak inisiatif DPRD. Hak inisiatif ini hanya terkadang dan sewaktu-waktu dipergunakan DPRD. Terkait dengan itu dalam penyelenggaraa pemerintahan yang demokratis, penyusunan Peraturan Daerah perlu mengikutsertakan masyarakat (berupa dengar pendapat) dengan tujuan agar dapat mengakomodir kepentingan masyarakat luas untuk dituangkan dalam Peraturan Daerah. Peran serta dari masyarakat itu tentu akan mempermudah sosialisasi dari penerapan substansi apabila Peraturan Daerah itu ditetapkan dan diundangkan. Sedangkan menurut Holl (1966) kebijakan publik adalah sejumlah aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah di masyarakat, baik secara langsung maupun berbagai lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Dalam pelaksanaan kebijakan publik terdapat tingkat pengaruh sebagai implikasi dari tindakan pemerintah yaitu: 1. Adanya pilihan kebijakan atau keputusan yang di buat oleh politisi, pegawai pemerintah atau yang lainya yang bertujuan menggunakan kekuatan publik untuk mempengaruhi kehidupan masyarakat 2. Adanya output kebijakan, dimana kebijakan yang diterapkan pada level ini menuntut pemerintah untuk melaksanakan peraturan, penyanggahan, pemebentukan personil dan membuat regulasi dalam bentuk program yang akan mempengaruhi kehidupan masyarakat. 3. Adanya dampak kebijakan yang merupakan efek pilihan kebijakan yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Jika pada dasarnya kebijakan publik berorientasi pada pemecahan masalah rill yang terjadi di tengah masyarakat. Yang kemudian kebijakan publik akan melahirkan produk-produk hukum. Peraturan daerah Kabupaten-Kota adalah peraturan yang ditetapkan oleh Kepala Daerah atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten-Kota. Dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah yang diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten-Kota sebagai pelaksanaan serta penjabaran peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, terutama sebagai

penjabaran pasal 11 ayat (2) Undang-Undang No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Sebagai contoh dapat penulis kisahkan kasus yang terjadi di Kabupaten Tanah Datar semenjak dilantiknya anggota legislatif hingga penelitian dilakukan (tahun 2005) sudah ada beberapa Peraturan Daerah yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Tanah Datar. Peraturan Daerah itu antaranya: Perda No. 1 tahun 2005 tentang Protokoler dan keuangan pimpinan dan anggota DPRD Kabupaten Tanah Datar. PERDA No. 2 tahun 2005 tentang Patisipasi dan Tarnsparansi, PERDA No 3 tahun 2005 tentang Retribusi Tanda Daftar Perusahaan dan Tanda Daftar Gudang, Perda No. 4 tahun 2005 tentang Retribusi Izin Usaha Perdagangan dan Industri, dan Perda No 5 tahun 2005 tentang Retribusi Izin Tempat Usaha. Bahwa dalam perumusan Peraturan Daerah itu telebih dahulu Pemerintah Daerah (eksekutif) membentuk tim teknis yang akan mempersiapkan rancangan Perda, barulah kemudian rancangan perda itu diajukan kepada DPRD. Hampir tidak beberbeda dengan apa yang ditemukan di Kotamadya Solok, semenjak awal tahun 2005 hingga penelitian ini dilakukan telah melahirkan 10(sepuluh) Peraturan Daerah, Yaitu : 1. Perda No. 1 tahun 2005 tentang kedudukan protokoler dan keuangan pimpinan dan anggota DPRD Kota Solok. 2. Perda No. 2 tahun 2005 tentang Prosedur Perencanaan Pembangunan Partisipatif 3. Perda No. 3 Tahun 2005 tentang Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor 4. Perda No. 4 Tahun 2005 tentang Retribusi Izin Usaha Angkutan 5. Perda No 5 Tahun 2005 tentang APBD Kota Solok tahun 2005 6. Perda No 6 Tahun 2005 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Maksiat di Kota Solok. 7. Perda No 7 tahun 2005 tentang Pengawasan Kualitas Air 8. Perda No 8 tahun 2005 tentang Dokumen Analisis Mengenai Dampak Upaya Pengelolaan dan Pemanfaatan Lingkungan 9. Perda No. 9 tahun 2005 tentang Retribusi Penyedotan Kakus 10. Perda No. 10 tahun 2005 tentang Perhitungan APBD tahun Anggaran 2004. Kasubag Perundang-Undangan Kota Solok menjelaskan bahwa untuk membuat sebuah perda, maka pemerintah terlebih dahulu memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat, dan mengundang masyarakat terkait untuk ikut bersama merumuskan rancangan Perda, setelah rancangan Perda itu dibahas dan diteliti selanjutnya rancangan itu diajukan kepada Walikota melalui bagian hukum. Dalam kasus ini ditemukan belum ada pedoman khusus dalam proses perumusan sebuah Perda. Seperti yang dijelaskan oleh salah seorang anggota dewan di Kabupaten Tanah Datar, Bahwa dalam menyusun sebuah Perda, Anggota dewan akan berpedoman pada TATIB yang berlaku di Dewan, yaitu bagi Ranperda yang masuk terlebih dahulu itulah yang akan dibahas bersama Pemerintah Daerah. Memang tidak ada standar baku, akan tetapi anggota dewan akan melaksanakan semua hak dan tanggung jwabnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan standar baku anggota dewan dalam perumusan itu adalah tata tertib DPRD yang disusun oleh anggota dewan sesuai dengan peraturan yang lebih tinggi. Hannya setiap akan menyusun perturan perundang-undangan baik anggota dewan maupun eksekutif harus menginngat beberapa peraturan perundang-undangan dan peraturan pemerintah, hal ini dilakukan menurut informan adalah untuk agar peraturan daerah yang akan dibuat tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Kemudian rancangan Perda yang sudah selesai dibahas sebelum ditetapkan akan dibawa kepada Gubernur terlebih dahulu, ini untuk menghindari pembatalan yang akan berimplikasi sangat luas terhadap kehidupan bermasyarakat.

PARTISIPASI: PENGUATAN PERAN MASYARAKAT Partisipasi adalah persoalan relasi kekuasaan, atau relasi ekonomi politik, yang dianjurkan oleh demokrasi. Partisipasi warga masyarakat berada dalam konteks governance, yakni korelasi antara negara (pemerintah) dan rakyat. Negara adalah pusat kekuasaan kewenngan dan kebijaksanaan yang mengatur (mengelola) alokasi barang-barang (sumber daya) publik pada masyarakat. Sedangkan di dalam masyarakat terdapat hak sipil dan hak politik, kekuatan masa dan kebutuhan hidup, dll. Dengan demikian partisipasi adalah jembatan penghubung antara negara dan masyarakat agar pengelolaan barang-barang publik membuahkan kesejahteraan dan human well being. Dari sudut pandang negara, demokrasi mengajarkan partisipasi sangat dibutuhkan untuk membangun pemerintahan yang akuntabel, transparan dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Tiadanya partisipasi menabur pemerintahan yang otoriter dan korup, dari sisi masyarakat, partisipasi adalah kunci pemberdayaan, atau penguatan peran. Partisipasi memberikan ruang dan kapasitas masyarakat untuk kebutuhan dan hak-hak mereka, mengembangkan potensi dan prakarsa lokal, mengefektifkan peran masyarakat serta membangun kemandirian masyarakat. Dalam konteks governance, partisipasi menempatkan pada posisi yang sebenarnya (Sutoro Eko: 2003) Pertama; masyarakat bukanlah hamba (client) melainkan sebagai waraga negara (citizen). Jika hamba memperlihatkan kepatuhan secara total, maka konsep warga negara menganggap bahwa setiap individu adalah pribadi yang utuh dan mempunyai hak penuh untuk memiliki. Kedua; masyarakat bukan dalam posisi yang diperintah tetapi sebagai partner pemerintah dalam mengelola pemerintahan dan pembangunan. Ketiga: partisipasi bukanlah pemeberian pemerintah tetapi sebagai hak warga negara. Keempat: masyarakat bukan sebagai sekedar objek pasif penerima manfaat kebijakan pemerintah, tetapi sebagai aktor atau subjek yang aktif menentukan kebijakan. Makna subtantif yang berikutnya adalah kontrol warga masyarakat terhadap lingkungan komunitasnya maupun proses politik yang terkait dengan pemerintah. Kita mengenal kontrol internal (self-control) dan kontrol eksternal. Artinya kontrol bukan saja menyangkut kapasitas masyarakat melakukan pengawasan (pemantauan) terhadap kebijakan (implementasi dan resiko) dan tindakan pemerintah, tetapi juga kemampuan masyarakat melakukan penilaian secara kritis dan reflektif terhadap resiko-resiko atas tindakan mereka. Dalam kasus ini ditemukan bahwa peran masyarakat dalam perumusan Peraturan Daerah sudah cukup baik. Bentuk keterlibatan ini sangat bermacam-macam. Di Kabupaten Tanah Datar ditemukan keterlibatan masyarakat dalam perumusan kebijakan publik biasanya terjadi pada tahapan sebelum pembahasan legal drafting. Rancangan Peraturan Daerah yang sudah disiapkan oleh eksekutif dan diajukan kepada DPRD, oleh sekretaris dewan draft rancangan di copy dan dibagikan kepada masyarakat melalui peerintahan nagari atau cukup ditempel di papan pengumuman nagari, dengan harapan nantinya akan ada masyarakat yang akan tertarik dan akan mengkritisi ran perda. Atau cara lain yang dilakukan oleh Pementtah Kabupaten Tanah Datar dengan mendatangi langsung masyarakat. Kasusnya di Kota Solok, memperlihatkan bahwa partisipasi masyarakat Kota Solok dalam merumuskan Perda dirasakan sangat kurang, hal dalam temuan di lapangan disebabkan karena masyarakat acuh terhadap sebuah Perda dan merasakan Perda sebagai sebuah peraturan yang mengekang bagi kelompok tetentu. Walaupun bagi pemerintah Kota Solok partispasi masyarakat dirasakan kurang, namun pemerintah sendiri menyadari pentingnya partispasi masyarakat dalam

perumusan sebuah Perda. Pemerintah Kota Solok mencoba membuka ruang yang lebih untuk masyarakat berpartispasi, bahkan dalam sebuah peraturan Daerah yang dimiliki oleh Kota Solok yaitu Perda No. 2 Tahun 2005 di dalamnya diatur tentang prosedur perencanaan pembangunan yang melibatkan komponen masyarakat. Dalam pembuatan Perturan daerah partisipasi masyarakat diberikan pada saat perumusan rancangan, dimana pemerintah meminta pendapat masyarakat melalui kelompok-kelompok tertentu tentang permasalahan-permasalahan sehingga diberlakukannya sebuah Perda. Selain itu peran masyarakat juga ada ketika memberikan tanggapan tentang rancangan perda tersebut. Dan ketika sebuah perda sudah ditetapkan, masih sangat penting peran masyarakat, yaitu saat dilakukan sosialisasi, agar masyarakat mengerti maksud dari sebuah Perda. Tim sosialisasi di Kota Solok juga melibatkan masyarakat dalam mensosialisasikan sebuah Perda, selain yang terlibat adalah kelompok pemuda, juga turut dilibatkan aparat Polres, Satpol PP dan elemenelemen masyarakat yang lainnya. Namun hal yang cukup mengakhawatirkan dalam kasus ini ditemukan bahwa masyarakat sendiri masih menyadari bahwa keterlibatan masyarakat dalam perumusan Peraturan Daerah itu masih semu, karena masyarakat merasa tidak pada semua tahapan perumusan perda masyarakat merasa terlibat, masyarakat hanya terlibat pada tahapan-tahapan tertentu, dan tidak jarang keterlibatan masyarakat di Kabupaten Tanah Datar dan Kota Solok, hanya terjadi melalui obrolan yang berlangsung di warung dan di lapau-lapau. Walaupun ada kesadaran bahwa tidak pada semua perumusan Perda peran masyarakat akan sama tingginya. Misal, pada perda-perda yang menyangkut langsung pengaturan kehidupan masyarakat seharusnya partipasi atau peran masyarakat tinggi, dan ada perda yang menyangkut kebutuhan dasar masyarakat, masyarakat lebih banyak menerima, artinya peran masyarakat tidak begitu tinggi. Peran masyarakat dalam perumusan perda di Kabupaten Tanah Datar dan di Kota Solok, biasanya dilakukn dalam bentuk dialog-dialog, baik yang bersifat formal ataupun yang besifat informal, dan bentuk lainya seperti yang dilakukan oleh kelompok mahasiswa di kota Solok keterlibatan mereka di wujudkan dengan melakukan kegiatan investigasi dan advokasi pemikiran, yaitu dengan melakukan dialog yang intens agar tercipta titik temu dari aspirasi masyarakat akan kebutuhannya yang terumuskan dalam sebuah Perda. KENDALA DAN USAHA YANG DILAKUKAN MASYARAKAT KABUPATEN-KOTA GUNA MENINGKATKAN PERANNYA DALAM PROSES PERUMUSAN PERATURAN DAERAH Mengenai kendala yang dihadapi masyarakat dalam meningkatkan perannya dalam proses perumusan Peraturan Daerah adalah dengan jenjang sub ordinat antara tim perumus Perda Pemerintah Daerah dengan kelompok masyarakat dalam kegiatan perumusan. Di Kota Solok dan dikabupaten Tanah Datar di temukan bahwa menurut masyarakat partisipasi yang mereka berikan terkendala pada sistem penjaringan aspirasi. Ketika penjaringan aspirasi dilakukan, masyarakat dikumpulkan oleh camat, masyarakat di undang, tapi bagi masyarakat inilah kendalanya karena biasanya yang diundang dalam jaring aspirasi itu bersifat elitis, dan terkesan seremonial. Dan ini dekelompokan sebagai kendala ekstenrnal sebagai akibat dari sistem yang ada. Karena yang hadir dalam forum jaring aspirasi itu adalah wali nagari dan perangkatnya, dan masyarakat yang dinilai dan diposisikan sebagai tokoh dalam masyarakat. Untuk kendala yang seperti itu bagi masyarakat di Kabupaten Tanah Datar dan Kota Solok dalam meningkatkan perannya dalam perumusan Perda adalah dengan terus melakukan

pengawalan dalam berbagai tahapan kegiatan perumusan Peraturan daerah. Serta juga masyarakat di kabupaten Tanah Datar dan Kota Solok terus meningkatkan posisi tawar yang masyarakat miliki dengan Pemerintah Daerah. Hal lain tentang kendala bagi masyarakat dalam berpartisipasi yang ditemukan dalam kasus ini adalah masih ada dikalangan masyarakat yang sama sekati tidak peduli dengan peran mereka dalam merumuskan kebijakan publik (perda), ini dikelompokan menjadi kendala intenal masyarakat. Masyarakat terlalu disibukan dengan urusan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Bagi masyarakat dalam kondisi ini mereka hanya berupaya atau tepatnya berharap agar dalam perumusan kebijakan publik (perda) pemerintah tidak menambah beban masyarakat. Seperti kondisi yang terjadi di Kota Solok, ketika Pemerinta Kota ingin mengatur keberadaan becak motor yang memang sudah sangat berkembang di kota ini, masyarakat tidak memperlihatkan peran yang sangat signifikan, padahal masalah yang akan diatur sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat. Bagi masyarakat, bukannya mereka tidak mau mengambil peran untuk bisa mempengaruhi arah kebijakan yang akan disusun dalam rancangan kebijakan perda tersebut, tetapi bagi masyarakat dari pada mereka harus mengahabiskan waktunya untuk hadir dalam perumusan itu, lebih baik mereka melakukan kegiatan yang jelas-jelas menguntungkan secara ekonomi, yaitu dengan menjalankan becak motor yang mereka punya. Kalaupun nanti keputusan pemerintah adalah dengan mengatur di Perda bahwa becak motor tidak boleh lagi beroperasi, maka itu bagi masyarakat akan dipikirkan nanti, ketika semua kekhwatiran masyrakat itu sudah dituangkan dalam perda. Walau bagi sebuah prosedur dalam sistem perumusan kebijakan publik, akan dinilai terlambat. KESIMPULAN Untuk mendukung terwujudnya pelaksanaan otonomi daerah, perancang Peraturan Daerah (baik dari eksekutif maupun legislatif) harus mempersiapkan diri dengan memperdalam pengetahuan bidang perundang-undangan dan kebijakan publik, sehingga proses penyusunan dan pembahasan bisa berjalan dengan efektif. Dalam penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis, penyususan Peraturan Daerah perlu mengikutserakan masyarakat (berupa dengar pendapat) dengan tujuan agar dapat mengakomodir kepentingan masyarakat luas untuk dituang kan dalam kebijakan berupa Peraturan Daerah. Peran serta masyarakat tentunya mempermudah sosialisasi dan penerapan substansi apabila peraturan daerah itu ditetapkan dan diundangkan. Untuk bisa meningkatkan peran masyarakat dalam perumusan kebijakan publik selain dengan harus proaktifnya pemerintah daerah dalam menjaring aspirasi masyarkat, masyarakat juga harus meningkatkan posisi tawarnya terhadap pemerintah. Sehingga ide-ide dan masukan-masukan yang disampaikan dapat benar-benar bisa lahir menjadi Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) dan Peraturan Daerah (Perda). Selainnya masyarakat juga harus melakukan pengawalan penuh terhadap usulan mereka, sehingga tidak lagi terjadi usulan yang hilang ditengah jalan atau hannya menjadi angin lalu bagi pemerintah dalam merumuskan kebijakan publik. -@@@@@By: Teno DAFTAR PUSTAKA

Afadlal (ed). 2003.Dinamika Birokrasi Lokal Era Otonomi Daerah. Jakarta: Pusat Penelitian Politik LIPI. Amirin, M. Tatang, (1995), Menyusun Rencana Penelitian, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Arikunto, Suharsimi, (1993), Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta. Brata Kusuma, Deddy Supriadi, 2001, Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama Cheema,GS and Rondinelli (eds). 1983, Decentralization and Development Policy Implementation in Developing Countries. Beverly Hills: Sage Publications. Dwiyanto, Agus, Penilaian Kinerja Organisasi Pelayanan Publik, Seminar Kinerja Organisasi Sektor Publik, Kebijakan dan Penerapannya, Jurusan Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 20 Mei 1995 Gomes, Faustino Cardoso, (1995), Manajemen Sumber Daya Manusia, Andi Offiset, Yogyakarta. Hadi, Sutrisno, (1984), Pengantar Metodologi Research II, Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kaho, Josef Riwu, (1998), Prosfek Otonomi Daerah di Negara Indonesia, Rajawali, Jakarta. Kaho, Josef Rihu. 2000, Prospek Otonomi Daerah di Negara kesatuan Republik Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Karim, Abdul Gaffar (ed). 2003.Kompleksitas persoalan Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar-Jurusan Ilmu Pemerintah UGM. Kartohadikoesoemo, Soetardjo, (1984), Desa, Balai Pustaka, Jakarta. Kumorotomo, Wahyudi dan Subando Agus Margono, (1998), Sistem Informasi Manajemen dalam Organisasi Publik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Manan, Imran, (1995), Birokrasi Modern dan Otoritas Tradisional di Minangkabau (Nagari dan Desa di Minangkabau), Yayasan Pengkajian Kebudayaan Minangkabau (YPKM), Padang. Mariun, (1988), Azas-Azas Ilmu Pemerintahan, Seksi Penerbitan Fisipol Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Moleong, Lexy J., (1990), Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung. Navis, AA., (1984) Alam Takambang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau, Grafiti Poers, Jakarta. Nawawi, Hadari, (1990), Metode Penelitian Bidang Sosial, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Ndraha, Taliziduhu, (1987), Desain Riset dan Teknik Penyusunan Karya Tulis Ilmiah, Bina Aksara, Jakarta. Prakoso, Djoko, (1985), Proses Pembuatan Peraturan Daerah dan Beberapa Usaha Penyempurnaannya, Ghalia Indonesia, Jakarta. Saparin, Sumber, (1979), Tata Pemerintahan dan Administrasi Pemerintahan Desa, Ghalia Indonesia, Jakarta. Suhartono, (2000), Parlemen Desa, DPR Kelurahan dan DPRK Gotong Royong, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta. Surachman, Winarno, (1985) Dasar-Dasar dan Teknik Research; Pengantar Metodologi Ilmiah, Tarsito, Bandung. Syaukani, HR dan Affan Gaffar, Ryas Rasyid. 2003, Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Syamsi, Ibnu, (1994), Pokok-Pokok Organisasi dan Manajemen, Rineka Cipta, Jakarta. Thoha, Miftah, (1989), Pembinaan Organisasi: Proses Diagnosa dan Intervensi, Rajawali, Jakarta. Wahab, Solichin Abdul, (1997), Analisa Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara, Bumi Aksara, Jakarta. Peraturan Perundang-undangan : Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Peraturan Daerah Tingkat I Sumatera Barat Nomor 13 Tahun 1983 tentang Nagari sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Barat. Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat Nomor 9 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari. Peraturan Daerah Kabupaten Solok Nomor 4 Tahun 2001 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari. Jurnal /Surat Kabar/Majalah : Jurnal Prisma No 4 April 1995 (tahun XXII). Dilema Otonomi dan Ketergantungan. Jakarta: LP3ES Jurnal Wacana (edisi 7). Krisis dan Bencana Pembangunan: Kritik dan Alternatif. Yogyakarta: Insist Press Damsar, (1999), Membangun Nagari, Tagak Banagari: Konsep dan Aplikasi, Harian Singgalang Edisi 30 April 1999, Padang. Maschab, Mashuri, Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah Makalah Seminar Depdagri dan Otonomi Daerah, tanpa tahun.

PENGUATAN PERAN MASYARAKAT DALAM PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN PUBLIK January 27, 2009Filed under: Uncategorized ozidateno @ 11:54 PENGUATAN PERAN MASYARAKAT DALAM PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN PUBLIK KASUS PERUMUSAN PERDA KABUPATEN KOTA DI SUMATERA BARAT Oleh: Rozidateno Putri Hanida ABSTRAK Tulisan singkat ini adalah sebuah hasil kajian terhadap peran masyarakat dalam perumusan kebijakan publik pada level terendah di era otonomi daerah, yaitu perumusan peraturan daerah di Kabupaten-Kota. Selama ini dinilai bahwa keterlibatan masyarakat dalam perumusan kebijakan adalah bentuk keterlibatan yang semu, masyarakat hanya terlibat dalam kegiatan seremonial, sedangkan pada tahapan yang lebih tinggi, banyak kasus usulan kebijakan yang merupakan kepentingan dasar masyarakat hilang di tengah jalan, tanpa masyarakat mampu

mengadvokasinya. Melalui usaha meningkatkan posisi tawar dari masyarakat dan usaha dari pemerintah dengan mempersiapkan diri dengan meningkatkan pengetahuan di bidang perundang-undangan dan kebijakan diharapkan peran masyarakat dalam perumusan kebijakan menjadi sesuatu hal yang nyata. Kata Kunci: Penguatan peran masyarakat, Perumusan Kebijakan Publik, Peraturan daerah PENDAHULUAN Jika di pelajari secara lebih seksama, sistem pemerintahan Daerah yang baru, tersirat bahwa dari UU No 22/1999, sebetulnya tersirat keinginan untuk membangun sistem pemerintahan yang lebih demokratis, dimana proses politik dan pemerintahan bekerja secara lebih efektif. Selain itu UU ini juga merupakan upaya perombakan total dari UU yang sebelumnya (UU No 5/1974) yang sangat sentralistik. Yang mana pada saat ini terlihat sedang berlangsung arus balik kakuasaan dari pusat ke daerah. Dengan redaksi yang lain dapat dikatakan bahwa pemerintahan daerah yang dirancang melalui UU No 22/1999 secara total ingin menggeser satu titik fokus ke titik fokus yang lainnya. Artinya, sistem pemerintahan daerah berdasarkan UU No 22 tahun 1999, mencoba mengganti konsep pemebangunan yang selama ini diterapkan pemerintah orde Baru, yaitu dari sentralisasi ke desntralisasi. Pemerintah di zaman Orde Baru, melakukan banyak sekali kesalahan dalam menjalankan roda kekeuasaannya. Salah satunya adalah terlalu banyaknya memebrikan perintah dan aba-aba tanpa memeperhatikan keinginan masyarakat yang di perintahnya. Seperti, seringnya pemerintah zaman Orde Baru memeperkirakan, mengasumsikan, atau juga merawak-rawak apa yang sebenarnya diinginkan oleh masyarakat. Sebuah negeri di perkirakan atau diasumsikan akan sangat terbantu perekonomiannya dengan menanam pohon pinus, maka dibuatlah kebijakan oleh pemerintah bahwa seluruh rakyat yang ada di wilayah negeri itu ditannami pohon pinu. Tanpa pernah kepada masyarakat diperkenalkan sifat pohon pinus yang menyerap air. Sebagai akaibat negeri itu kekurangan sumber air. Pertanyaan kemudian adalah benarkah masyarakat di wilayah negeri itu memerlukan penanaman pohon pinus dilahannya atau masyarakat butuh sumber air yang dikelola dengan baik agar lahan itu bisa menjadi lebih produktif. Sehingga pada tahapan berikutnya, kebijakan pemerintah untuk menanam pohon pinus di lahan yang ada menuai protes dari masyarakat, bahkan tidak jarang protes dalam bentuk kekerasan, dimana masyarakat langsung menebang pohon pinus yang ada. Pada akhirnya dana yang dialokasikan untuk peningkatan perekonomian rakyat yang ada karena di rawak-rawak tersebut hanya menuai kerugian. Cerita ini hanya sebentuk kecil rasa sok tahu yang dimiliki oleh pemerintah. Pada hal yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah adalah bentindak sebagai fasilitator, yaitu berfungsi dan bertindak mengolah aspirasi masyarakat, guna terumuskannya kebijakan publik yang partisipatif. Hal yang kemudian harus disadari oleh pemerintah adalah bahwa penyelenggaraan pemerintah butuh dukungan semua pihak. Dalam konteks perumusan fisi dan misi dan rencana strategis Kota/Daerah masyarakat perlu diajak konsultasi, mau kemana kota dan daerah di arahkan. Bukan sejedar diinformasikan setelah visi dan strategi dirumuskan secara eksklusif. Misalnya dalam penentuan pajak dan retribusi, masyarakat perlu di dengar pendapatnya sebelum peraturan daerah tentang pajak dan retribusi itu ditetapkan. Dalam pengaturan retribusi pelayanan di bidang pertanahan masyarakat pemilik lahan perlu diajak konsultasi, dan masyarakat lainnya perlu didengar pendapatnya. Bukan diam-diam Perda ditetapkan, lalu disana-sini masyarakat pemilik

lahan mengeluh dan protes dengan retribusi pelayanan yang diterapkan. Disatu sisi pemerintah berkeinginan untuk meningkatkan laju pembangunan, sedangka disisi lain, masyarakat sebagai subjek sekaligus sebagai objek dari kebijakan yang menginginkan kebijakan yang membumi, yang menyentuh dan yang memperhatikan kepentingan mereka. UU No 22/1999 yang menjadi ujung tombak pembuka kran kehidupan yang lebih demokratis. Hal lain kenapa peran masyarakat (partisipasi) harus didorong tinggi, adalah dalam usaha untuk mewujudkan good governance atau tata kepemerintahan yang baik. Di Sumatera Barat sebenarnya partisipasi (penguatan peran masyarakat) tidaklah hal yang asing. Budaya masyarakat Minangkabau mengutamakan sistim mambasuik dari bumi dalam setiap pengambilan kebijakan. Artinya kebijakan yang akan dirumuskan oleh pemerintah adalah harus merupakan aspirasi masyarakat bawah. Hanya saja realita yang sekarang ini kita lihat adalah bahwa segala keinginan dan aspirasi masyarakat terabaikan, dikarenakan oleh rasa sok tahu dari pemerintah, dan prilaku marawak-rawak seperti tadi dikemukakan di atas. Tulisan ini ingin mendiskusikan bagaimana proses perumusan peraturan daerah di Kabupaten- kota, dan bagaimana peran masyarakat, serta kendala dan usaha masyarakat Kabupaten-Kota untuk bisa berperan dalam perumusan peraturan daerah dengan mengambil kasus Perumusan Peraturan daerah di dua Kabupaten-Kota yang ada di Sumatera Barat yaitu Kabupaten Tanah Datar dan Kota Solok. KEBIJAKAN PUBLIK: PERATURAN DAERAH KABUPATEN-KOTA Thomas R. Dye dalam buku yang ditulis oleh Hegel Nagi S. Tangkikisan, 2003 memeberikan pengertian yang mengenai kebijakan publik yaitu sebagai apa yang tidak dilakukan maupun yang tidak dilakukan oleh pemerintah. Pengertian ini kemudian dikembangkan dan diperdebatkan oleh ilmuwan, yang berkecimpung di ilmu kebijakan publik sebagai penyempurnaan. Seperti yang di kemukakan oleh Anderson (1975) memberikan defenisi kebijakan publik sebagai kebijakankebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan penjabat-penjabat pemerintah, dimana implikasi dari kebijakan itu adalah: 1. Kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan 2. Kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah 3. Kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar di lakukan oleh pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan untuk dilakukan. 4. Kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tersebut atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu. 5. Kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif di dasarkan pada peraturan perundang-undangan yang bersifat mengikat dan memaksa. Sesuai dengan ketentuan pasal 69 Undang-Undang No 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian diganti dengan Undang-Undang No 32 tahun 2004 menyaakan bahwa Kepala Daerah menetapkan Peraturan Daerah atas persetujuan DPRD dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan juga penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tingggi. Dalam pasal 18 menyatakan bahwa DPRD mempunyai tugas dan wewenang antara lain, Bersama dengan Gubernur, Bupati dan Walikota membentuk Peraturan Daerah. Dalam pasal 19 ayat (1) huruf d, DPRD mempunyai hak mengadakan perubahan atas rancangan Peraturan Daerah. Dari ketiga peraturan tersebut menunjukan bahwa Pemerintah Daerah (Eksekutif) berperan dalam membentuk Peraturan Daerah, sedangkan DPRD mempunyai hak

memberi persetujuan dan mempunyai hak mengadakan perubahan terhadap materi Peraturan Daerah. Sedangkan dalam pasal 19 ayat (1) huruf f menyatakan bahwa DPRD (legislatif) juga mempunyai hak mengajukan Rancangan Peraturan Daerah atau yang lebih dikenal dengan hak inisiatif DPRD. Hak inisiatif ini hanya terkadang dan sewaktu-waktu dipergunakan DPRD. Terkait dengan itu dalam penyelenggaraa pemerintahan yang demokratis, penyusunan Peraturan Daerah perlu mengikutsertakan masyarakat (berupa dengar pendapat) dengan tujuan agar dapat mengakomodir kepentingan masyarakat luas untuk dituangkan dalam Peraturan Daerah. Peran serta dari masyarakat itu tentu akan mempermudah sosialisasi dari penerapan substansi apabila Peraturan Daerah itu ditetapkan dan diundangkan. Sedangkan menurut Holl (1966) kebijakan publik adalah sejumlah aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah di masyarakat, baik secara langsung maupun berbagai lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Dalam pelaksanaan kebijakan publik terdapat tingkat pengaruh sebagai implikasi dari tindakan pemerintah yaitu: 1. Adanya pilihan kebijakan atau keputusan yang di buat oleh politisi, pegawai pemerintah atau yang lainya yang bertujuan menggunakan kekuatan publik untuk mempengaruhi kehidupan masyarakat 2. Adanya output kebijakan, dimana kebijakan yang diterapkan pada level ini menuntut pemerintah untuk melaksanakan peraturan, penyanggahan, pemebentukan personil dan membuat regulasi dalam bentuk program yang akan mempengaruhi kehidupan masyarakat. 3. Adanya dampak kebijakan yang merupakan efek pilihan kebijakan yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Jika pada dasarnya kebijakan publik berorientasi pada pemecahan masalah rill yang terjadi di tengah masyarakat. Yang kemudian kebijakan publik akan melahirkan produk-produk hukum. Peraturan daerah Kabupaten-Kota adalah peraturan yang ditetapkan oleh Kepala Daerah atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten-Kota. Dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah yang diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten-Kota sebagai pelaksanaan serta penjabaran peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, terutama sebagai penjabaran pasal 11 ayat (2) Undang-Undang No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Sebagai contoh dapat penulis kisahkan kasus yang terjadi di Kabupaten Tanah Datar semenjak dilantiknya anggota legislatif hingga penelitian dilakukan (tahun 2005) sudah ada beberapa Peraturan Daerah yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Tanah Datar. Peraturan Daerah itu antaranya: Perda No. 1 tahun 2005 tentang Protokoler dan keuangan pimpinan dan anggota DPRD Kabupaten Tanah Datar. PERDA No. 2 tahun 2005 tentang Patisipasi dan Tarnsparansi, PERDA No 3 tahun 2005 tentang Retribusi Tanda Daftar Perusahaan dan Tanda Daftar Gudang, Perda No. 4 tahun 2005 tentang Retribusi Izin Usaha Perdagangan dan Industri, dan Perda No 5 tahun 2005 tentang Retribusi Izin Tempat Usaha. Bahwa dalam perumusan Peraturan Daerah itu telebih dahulu Pemerintah Daerah (eksekutif) membentuk tim teknis yang akan mempersiapkan rancangan Perda, barulah kemudian rancangan perda itu diajukan kepada DPRD. Hampir tidak beberbeda dengan apa yang ditemukan di Kotamadya Solok, semenjak awal tahun 2005 hingga penelitian ini dilakukan telah melahirkan 10(sepuluh) Peraturan Daerah, Yaitu : 1. Perda No. 1 tahun 2005 tentang kedudukan protokoler dan keuangan pimpinan dan anggota DPRD Kota Solok. 2. Perda No. 2 tahun 2005 tentang Prosedur Perencanaan Pembangunan Partisipatif 3. Perda No. 3 Tahun 2005 tentang Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor

4. Perda No. 4 Tahun 2005 tentang Retribusi Izin Usaha Angkutan 5. Perda No 5 Tahun 2005 tentang APBD Kota Solok tahun 2005 6. Perda No 6 Tahun 2005 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Maksiat di Kota Solok. 7. Perda No 7 tahun 2005 tentang Pengawasan Kualitas Air 8. Perda No 8 tahun 2005 tentang Dokumen Analisis Mengenai Dampak Upaya Pengelolaan dan Pemanfaatan Lingkungan 9. Perda No. 9 tahun 2005 tentang Retribusi Penyedotan Kakus 10. Perda No. 10 tahun 2005 tentang Perhitungan APBD tahun Anggaran 2004. Kasubag Perundang-Undangan Kota Solok menjelaskan bahwa untuk membuat sebuah perda, maka pemerintah terlebih dahulu memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat, dan mengundang masyarakat terkait untuk ikut bersama merumuskan rancangan Perda, setelah rancangan Perda itu dibahas dan diteliti selanjutnya rancangan itu diajukan kepada Walikota melalui bagian hukum. Dalam kasus ini ditemukan belum ada pedoman khusus dalam proses perumusan sebuah Perda. Seperti yang dijelaskan oleh salah seorang anggota dewan di Kabupaten Tanah Datar, Bahwa dalam menyusun sebuah Perda, Anggota dewan akan berpedoman pada TATIB yang berlaku di Dewan, yaitu bagi Ranperda yang masuk terlebih dahulu itulah yang akan dibahas bersama Pemerintah Daerah. Memang tidak ada standar baku, akan tetapi anggota dewan akan melaksanakan semua hak dan tanggung jwabnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan standar baku anggota dewan dalam perumusan itu adalah tata tertib DPRD yang disusun oleh anggota dewan sesuai dengan peraturan yang lebih tinggi. Hannya setiap akan menyusun perturan perundang-undangan baik anggota dewan maupun eksekutif harus menginngat beberapa peraturan perundang-undangan dan peraturan pemerintah, hal ini dilakukan menurut informan adalah untuk agar peraturan daerah yang akan dibuat tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Kemudian rancangan Perda yang sudah selesai dibahas sebelum ditetapkan akan dibawa kepada Gubernur terlebih dahulu, ini untuk menghindari pembatalan yang akan berimplikasi sangat luas terhadap kehidupan bermasyarakat. PARTISIPASI: PENGUATAN PERAN MASYARAKAT Partisipasi adalah persoalan relasi kekuasaan, atau relasi ekonomi politik, yang dianjurkan oleh demokrasi. Partisipasi warga masyarakat berada dalam konteks governance, yakni korelasi antara negara (pemerintah) dan rakyat. Negara adalah pusat kekuasaan kewenngan dan kebijaksanaan yang mengatur (mengelola) alokasi barang-barang (sumber daya) publik pada masyarakat. Sedangkan di dalam masyarakat terdapat hak sipil dan hak politik, kekuatan masa dan kebutuhan hidup, dll. Dengan demikian partisipasi adalah jembatan penghubung antara negara dan masyarakat agar pengelolaan barang-barang publik membuahkan kesejahteraan dan human well being. Dari sudut pandang negara, demokrasi mengajarkan partisipasi sangat dibutuhkan untuk membangun pemerintahan yang akuntabel, transparan dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Tiadanya partisipasi menabur pemerintahan yang otoriter dan korup, dari sisi masyarakat, partisipasi adalah kunci pemberdayaan, atau penguatan peran. Partisipasi memberikan ruang dan kapasitas masyarakat untuk kebutuhan dan hak-hak mereka, mengembangkan potensi dan prakarsa lokal, mengefektifkan peran masyarakat serta membangun kemandirian masyarakat.

Dalam konteks governance, partisipasi menempatkan pada posisi yang sebenarnya (Sutoro Eko: 2003) Pertama; masyarakat bukanlah hamba (client) melainkan sebagai waraga negara (citizen). Jika hamba memperlihatkan kepatuhan secara total, maka konsep warga negara menganggap bahwa setiap individu adalah pribadi yang utuh dan mempunyai hak penuh untuk memiliki. Kedua; masyarakat bukan dalam posisi yang diperintah tetapi sebagai partner pemerintah dalam mengelola pemerintahan dan pembangunan. Ketiga: partisipasi bukanlah pemeberian pemerintah tetapi sebagai hak warga negara. Keempat: masyarakat bukan sebagai sekedar objek pasif penerima manfaat kebijakan pemerintah, tetapi sebagai aktor atau subjek yang aktif menentukan kebijakan. Makna subtantif yang berikutnya adalah kontrol warga masyarakat terhadap lingkungan komunitasnya maupun proses politik yang terkait dengan pemerintah. Kita mengenal kontrol internal (self-control) dan kontrol eksternal. Artinya kontrol bukan saja menyangkut kapasitas masyarakat melakukan pengawasan (pemantauan) terhadap kebijakan (implementasi dan resiko) dan tindakan pemerintah, tetapi juga kemampuan masyarakat melakukan penilaian secara kritis dan reflektif terhadap resiko-resiko atas tindakan mereka. Dalam kasus ini ditemukan bahwa peran masyarakat dalam perumusan Peraturan Daerah sudah cukup baik. Bentuk keterlibatan ini sangat bermacam-macam. Di Kabupaten Tanah Datar ditemukan keterlibatan masyarakat dalam perumusan kebijakan publik biasanya terjadi pada tahapan sebelum pembahasan legal drafting. Rancangan Peraturan Daerah yang sudah disiapkan oleh eksekutif dan diajukan kepada DPRD, oleh sekretaris dewan draft rancangan di copy dan dibagikan kepada masyarakat melalui peerintahan nagari atau cukup ditempel di papan pengumuman nagari, dengan harapan nantinya akan ada masyarakat yang akan tertarik dan akan mengkritisi ran perda. Atau cara lain yang dilakukan oleh Pementtah Kabupaten Tanah Datar dengan mendatangi langsung masyarakat. Kasusnya di Kota Solok, memperlihatkan bahwa partisipasi masyarakat Kota Solok dalam merumuskan Perda dirasakan sangat kurang, hal dalam temuan di lapangan disebabkan karena masyarakat acuh terhadap sebuah Perda dan merasakan Perda sebagai sebuah peraturan yang mengekang bagi kelompok tetentu. Walaupun bagi pemerintah Kota Solok partispasi masyarakat dirasakan kurang, namun pemerintah sendiri menyadari pentingnya partispasi masyarakat dalam perumusan sebuah Perda. Pemerintah Kota Solok mencoba membuka ruang yang lebih untuk masyarakat berpartispasi, bahkan dalam sebuah peraturan Daerah yang dimiliki oleh Kota Solok yaitu Perda No. 2 Tahun 2005 di dalamnya diatur tentang prosedur perencanaan pembangunan yang melibatkan komponen masyarakat. Dalam pembuatan Perturan daerah partisipasi masyarakat diberikan pada saat perumusan rancangan, dimana pemerintah meminta pendapat masyarakat melalui kelompok-kelompok tertentu tentang permasalahan-permasalahan sehingga diberlakukannya sebuah Perda. Selain itu peran masyarakat juga ada ketika memberikan tanggapan tentang rancangan perda tersebut. Dan ketika sebuah perda sudah ditetapkan, masih sangat penting peran masyarakat, yaitu saat dilakukan sosialisasi, agar masyarakat mengerti maksud dari sebuah Perda. Tim sosialisasi di Kota Solok juga melibatkan masyarakat dalam mensosialisasikan sebuah Perda, selain yang terlibat adalah kelompok pemuda, juga turut dilibatkan aparat Polres, Satpol PP dan elemenelemen masyarakat yang lainnya. Namun hal yang cukup mengakhawatirkan dalam kasus ini ditemukan bahwa masyarakat sendiri masih menyadari bahwa keterlibatan masyarakat dalam perumusan Peraturan Daerah itu masih semu, karena masyarakat merasa tidak pada semua tahapan perumusan perda masyarakat merasa terlibat, masyarakat hanya terlibat pada tahapan-tahapan tertentu, dan tidak jarang keterlibatan

masyarakat di Kabupaten Tanah Datar dan Kota Solok, hanya terjadi melalui obrolan yang berlangsung di warung dan di lapau-lapau. Walaupun ada kesadaran bahwa tidak pada semua perumusan Perda peran masyarakat akan sama tingginya. Misal, pada perda-perda yang menyangkut langsung pengaturan kehidupan masyarakat seharusnya partipasi atau peran masyarakat tinggi, dan ada perda yang menyangkut kebutuhan dasar masyarakat, masyarakat lebih banyak menerima, artinya peran masyarakat tidak begitu tinggi. Peran masyarakat dalam perumusan perda di Kabupaten Tanah Datar dan di Kota Solok, biasanya dilakukn dalam bentuk dialog-dialog, baik yang bersifat formal ataupun yang besifat informal, dan bentuk lainya seperti yang dilakukan oleh kelompok mahasiswa di kota Solok keterlibatan mereka di wujudkan dengan melakukan kegiatan investigasi dan advokasi pemikiran, yaitu dengan melakukan dialog yang intens agar tercipta titik temu dari aspirasi masyarakat akan kebutuhannya yang terumuskan dalam sebuah Perda. KENDALA DAN USAHA YANG DILAKUKAN MASYARAKAT KABUPATEN-KOTA GUNA MENINGKATKAN PERANNYA DALAM PROSES PERUMUSAN PERATURAN DAERAH Mengenai kendala yang dihadapi masyarakat dalam meningkatkan perannya dalam proses perumusan Peraturan Daerah adalah dengan jenjang sub ordinat antara tim perumus Perda Pemerintah Daerah dengan kelompok masyarakat dalam kegiatan perumusan. Di Kota Solok dan dikabupaten Tanah Datar di temukan bahwa menurut masyarakat partisipasi yang mereka berikan terkendala pada sistem penjaringan aspirasi. Ketika penjaringan aspirasi dilakukan, masyarakat dikumpulkan oleh camat, masyarakat di undang, tapi bagi masyarakat inilah kendalanya karena biasanya yang diundang dalam jaring aspirasi itu bersifat elitis, dan terkesan seremonial. Dan ini dekelompokan sebagai kendala ekstenrnal sebagai akibat dari sistem yang ada. Karena yang hadir dalam forum jaring aspirasi itu adalah wali nagari dan perangkatnya, dan masyarakat yang dinilai dan diposisikan sebagai tokoh dalam masyarakat. Untuk kendala yang seperti itu bagi masyarakat di Kabupaten Tanah Datar dan Kota Solok dalam meningkatkan perannya dalam perumusan Perda adalah dengan terus melakukan pengawalan dalam berbagai tahapan kegiatan perumusan Peraturan daerah. Serta juga masyarakat di kabupaten Tanah Datar dan Kota Solok terus meningkatkan posisi tawar yang masyarakat miliki dengan Pemerintah Daerah. Hal lain tentang kendala bagi masyarakat dalam berpartisipasi yang ditemukan dalam kasus ini adalah masih ada dikalangan masyarakat yang sama sekati tidak peduli dengan peran mereka dalam merumuskan kebijakan publik (perda), ini dikelompokan menjadi kendala intenal masyarakat. Masyarakat terlalu disibukan dengan urusan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Bagi masyarakat dalam kondisi ini mereka hanya berupaya atau tepatnya berharap agar dalam perumusan kebijakan publik (perda) pemerintah tidak menambah beban masyarakat. Seperti kondisi yang terjadi di Kota Solok, ketika Pemerinta Kota ingin mengatur keberadaan becak motor yang memang sudah sangat berkembang di kota ini, masyarakat tidak memperlihatkan peran yang sangat signifikan, padahal masalah yang akan diatur sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat. Bagi masyarakat, bukannya mereka tidak mau mengambil peran untuk bisa mempengaruhi arah kebijakan yang akan disusun dalam rancangan kebijakan perda tersebut, tetapi bagi masyarakat dari pada mereka harus mengahabiskan waktunya untuk hadir dalam perumusan itu, lebih baik mereka melakukan kegiatan yang jelas-jelas menguntungkan secara

ekonomi, yaitu dengan menjalankan becak motor yang mereka punya. Kalaupun nanti keputusan pemerintah adalah dengan mengatur di Perda bahwa becak motor tidak boleh lagi beroperasi, maka itu bagi masyarakat akan dipikirkan nanti, ketika semua kekhwatiran masyrakat itu sudah dituangkan dalam perda. Walau bagi sebuah prosedur dalam sistem perumusan kebijakan publik, akan dinilai terlambat. KESIMPULAN Untuk mendukung terwujudnya pelaksanaan otonomi daerah, perancang Peraturan Daerah (baik dari eksekutif maupun legislatif) harus mempersiapkan diri dengan memperdalam pengetahuan bidang perundang-undangan dan kebijakan publik, sehingga proses penyusunan dan pembahasan bisa berjalan dengan efektif. Dalam penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis, penyususan Peraturan Daerah perlu mengikutserakan masyarakat (berupa dengar pendapat) dengan tujuan agar dapat mengakomodir kepentingan masyarakat luas untuk dituang kan dalam kebijakan berupa Peraturan Daerah. Peran serta masyarakat tentunya mempermudah sosialisasi dan penerapan substansi apabila peraturan daerah itu ditetapkan dan diundangkan. Untuk bisa meningkatkan peran masyarakat dalam perumusan kebijakan publik selain dengan harus proaktifnya pemerintah daerah dalam menjaring aspirasi masyarkat, masyarakat juga harus meningkatkan posisi tawarnya terhadap pemerintah. Sehingga ide-ide dan masukan-masukan yang disampaikan dapat benar-benar bisa lahir menjadi Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) dan Peraturan Daerah (Perda). Selainnya masyarakat juga harus melakukan pengawalan penuh terhadap usulan mereka, sehingga tidak lagi terjadi usulan yang hilang ditengah jalan atau hannya menjadi angin lalu bagi pemerintah dalam merumuskan kebijakan publik. -@@@@@By: Teno DAFTAR PUSTAKA Afadlal (ed). 2003.Dinamika Birokrasi Lokal Era Otonomi Daerah. Jakarta: Pusat Penelitian Politik LIPI. Amirin, M. Tatang, (1995), Menyusun Rencana Penelitian, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Arikunto, Suharsimi, (1993), Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta. Brata Kusuma, Deddy Supriadi, 2001, Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama Cheema,GS and Rondinelli (eds). 1983, Decentralization and Development Policy Implementation in Developing Countries. Beverly Hills: Sage Publications. Dwiyanto, Agus, Penilaian Kinerja Organisasi Pelayanan Publik, Seminar Kinerja Organisasi Sektor Publik, Kebijakan dan Penerapannya, Jurusan Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 20 Mei 1995 Gomes, Faustino Cardoso, (1995), Manajemen Sumber Daya Manusia, Andi Offiset, Yogyakarta. Hadi, Sutrisno, (1984), Pengantar Metodologi Research II, Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kaho, Josef Riwu, (1998), Prosfek Otonomi Daerah di Negara Indonesia, Rajawali, Jakarta.

Kaho, Josef Rihu. 2000, Prospek Otonomi Daerah di Negara kesatuan Republik Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Karim, Abdul Gaffar (ed). 2003.Kompleksitas persoalan Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar-Jurusan Ilmu Pemerintah UGM. Kartohadikoesoemo, Soetardjo, (1984), Desa, Balai Pustaka, Jakarta. Kumorotomo, Wahyudi dan Subando Agus Margono, (1998), Sistem Informasi Manajemen dalam Organisasi Publik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Manan, Imran, (1995), Birokrasi Modern dan Otoritas Tradisional di Minangkabau (Nagari dan Desa di Minangkabau), Yayasan Pengkajian Kebudayaan Minangkabau (YPKM), Padang. Mariun, (1988), Azas-Azas Ilmu Pemerintahan, Seksi Penerbitan Fisipol Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Moleong, Lexy J., (1990), Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung. Navis, AA., (1984) Alam Takambang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau, Grafiti Poers, Jakarta. Nawawi, Hadari, (1990), Metode Penelitian Bidang Sosial, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Ndraha, Taliziduhu, (1987), Desain Riset dan Teknik Penyusunan Karya Tulis Ilmiah, Bina Aksara, Jakarta. Prakoso, Djoko, (1985), Proses Pembuatan Peraturan Daerah dan Beberapa Usaha Penyempurnaannya, Ghalia Indonesia, Jakarta. Saparin, Sumber, (1979), Tata Pemerintahan dan Administrasi Pemerintahan Desa, Ghalia Indonesia, Jakarta. Suhartono, (2000), Parlemen Desa, DPR Kelurahan dan DPRK Gotong Royong, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta. Surachman, Winarno, (1985) Dasar-Dasar dan Teknik Research; Pengantar Metodologi Ilmiah, Tarsito, Bandung. Syaukani, HR dan Affan Gaffar, Ryas Rasyid. 2003, Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Syamsi, Ibnu, (1994), Pokok-Pokok Organisasi dan Manajemen, Rineka Cipta, Jakarta. Thoha, Miftah, (1989), Pembinaan Organisasi: Proses Diagnosa dan Intervensi, Rajawali, Jakarta. Wahab, Solichin Abdul, (1997), Analisa Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan Negara, Bumi Aksara, Jakarta. Peraturan Perundang-undangan : Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Peraturan Daerah Tingkat I Sumatera Barat Nomor 13 Tahun 1983 tentang Nagari sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Barat. Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat Nomor 9 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari. Peraturan Daerah Kabupaten Solok Nomor 4 Tahun 2001 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari. Jurnal /Surat Kabar/Majalah :

Jurnal Prisma No 4 April 1995 (tahun XXII). Dilema Otonomi dan Ketergantungan. Jakarta: LP3ES Jurnal Wacana (edisi 7). Krisis dan Bencana Pembangunan: Kritik dan Alternatif. Yogyakarta: Insist Press Damsar, (1999), Membangun Nagari, Tagak Banagari: Konsep dan Aplikasi, Harian Singgalang Edisi 30 April 1999, Padang. Maschab, Mashuri, Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah Makalah Seminar Depdagri dan Otonomi Daerah, tanpa tahun.