penggunaan pendekatan kontekstual untuk · pdf filea. kerangka konseptual ... penulis mencoba...
TRANSCRIPT
PENGGUNAAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL UNTUK
MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMAKAI KAOS KAKI
PADA ANAK TUNAGRAHITA SEDANG DI SLB BINA
BHAKTI MANDIRI
(PTK di SDLB Kelas 1 C1 SLB Bina Bhakti Mandiri)
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Lomba Kreativitas Guru (LKG) Tingkat Provinsi Tahun 2014
Oleh :
ANNISA AYU LESTARI
SLB BINA BHAKTI MANDIRI
GUGUS XLVI Jl. Raya Sumedang Darmaraja KM 18 Dusun Dustan Rt 03 Rw 04 Desa
Situmekar Kec. Cisitu Kab. Sumedang Provinsi Jawa Barat 45371
2014
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Subhana wa Ta’ala atas
perkenan-Nya lah kami dapat menyelesaikan Laporan PTK (Penelitian Tindakan
Kelas) dengan judul Penggunaan Pendekatan Kontekstual Untuk Meningkatkan
Kemampuan Memakai Kaos Kaki Pada Anak Tunagrahita Sedang di SLB Bina
Bhakti Mandiri (PTK di SDLB Kelas 1 C1 SLB Bina Bhakti Mandiri).
Tidak lupa pula shalawat dan salam kami sampaikan kepada junjungan
kita Nabi Besar Muhammad SAW, keluarganya, para sahabatnya, serta semoga
kita semua termasuk umatnya yang selalu tunduk dan taat hingga hari kiamat.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada kepada seluruh pihak yang
telah berkontribusi dalam penyusunan Laporan ini. Penulis menyadari bahwa
dalam penulisan dan penyusunan Makalah ini masih jauh dari sempurna, sehingga
kritik, saran sangat kami harapkan.
Akhir kata mudah-mudahan Laporan ini dapat bermanfaat khususnya
bagi rekan-rekan guru Pendidikan Luar Biasa.
Sumedang, 30 Mei 2014
Penyusun
2
ABSTRAK
Pendekatan kontektual (Contextual Teaching and Learning) adalah salah satu
inovasi pendekatan dalam pembelajaran. Apakah pendekatan kontekstual dapat
digunakan untuk meningkatkan aktivitas dan kreativitas anak tunagrahita sedang
dalam pembelajaran bina diri? Dalam penelitian yang berjudul “Penggunaan
Pendekatan Kontekstual Untuk Meningkatkan Kemampuan Memakai Kaos Kaki
Pada Anak Tunagrahita Sedang di SLB Bina Bhakti Mandiri” (Penelitian
Tindakan Kelas di SDLB Kelas I C1 SLB Bina Bhakti Mandiri) akan ditemukan
jawaban pertanyaan tersebut. Proses pembelajaran bina diri yang hanya
menggunakan model pembelajaran yang hanya menggunakan metode peniruan,
kurang meningkatkan aktivitas dan kreativitas belajar anak tunagrahita sedang.
Untuk meningkatkan aktivitas dan kreativitas anak tunagrahita tersebut,
diperlukan langkah-langkah model pembelajaran dengan menggunakan
pendekatan kontekstual. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh data-data
bagaimana model pembelajaran bina diri dengan pendekatan kontekstual pada
anak tunagrahita sedang, dan bagaimana proses pembelarannya, serta bagaimana
pula hasil pembelajarannya. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode penelitian tindakan kelas (classroom action research). Teknik
pengumpulan datanya menggunakan studi literatur dan studi lapangan melalui
observasi, wawancara, tes hasil pembelajaran, dan studi dokumentasi. Lokasi
penelitian di SLB Bina Bhakti Mandiri Cisitu yang beralamatkan di Jalan Raya
Sumedang-Darmaraja KM 18 Dusun Dustan Rt03 Rw 04 Desa Situmekar Kec.
Cisitu Kab. Sumedang. Pelaksanaan penelitian model pembelajaran bina diri bagi
anak tunagrahita sedang melalui pendekatan kontekstual, dilakukan melalui uji
coba pelaksanaan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang telah
dipersiapkan oleh peneliti dan guru bina diri. Hasil dari uji coba itu diperoleh
data-data yang menunjukan ada peningkatan aktivitas dan kreativitas anak
tunagrahita sedang di SLB Bina Bhakti Mandiri Cisitu dalam pembelajaran bina
diri. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian dan pembahasan yang dipaparkan
pada bab IV. Kesimpulannya bahwa model pembelajaran bina diri pada anak
tunagrahita sedang melalui pendekatan kontekstual di SLB Bina Bhakti Mandiri,
dapat meningkatkan aktivitas dan kreativitas anak tersebut yang cukup berarti.
3
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................................... iii
ABSTRAK ..................................................................................................... iv
DAFTAR ISI .................................................................................................. vi
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................ 2
C. Tujuan Penelitian .......................................................................... 3
D. Manfaat Penelitian ........................................................................ 3
BAB II KAJIAN PUSTAKA ....................................................................... 4
A. Kerangka Konseptual .................................................................. 4
B. Hasil Penelitian/Jurnal yang Relevan ......................................... 14
C. Hipotesis Tindakan ..................................................................... 14
BAB III METODE ....................................................................................... 15
A. Pendekatan Penelitian ............................................................... 15
B. Waktu dan Tempat Penelitian ................................................... 16
C. Prosedur Siklus Tindakan ......................................................... 16
D. Analisis Data ............................................................................. 20
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................... 21
A. Hasil .......................................................................................... 21
B. Pembahasan ............................................................................... 23
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 29
A. Kesimpulan ................................................................................. 29
B. Saran ........................................................................................... 31
4
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 32
RIWAYAT HIDUP
LAMPIRAN
5
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan di Indonesia saat ini masih didominasi oleh kelas yang
berfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan, sehingga ceramah akan
pada menjadi pilihan utama dalam menentukan strategi belajar. Menurut Ibrahim,
muslimin dalam seminarnya mengembangkan multiple intelegence siswa dalam
pembelajaran bahwa keefektifan belajar ceramah hanya efektif 15 menit. Maka
dari itu metode ceramah jika lebih dari 15 menit akan membuat siswa bosan, pasif
dan tidak kondusif. Dengan adanya permasalahan seperti ini, maka tujuan
pendidikan di Indonesia tidaklah terwujud. Untuk itu permasalahan seperti ini
perlu untuk diselesaikan.
Berdasarkan pengamatan di SLB Bina Bhakti Mandiri terdapat banyak
kelas-kelas yang masih menggunakan strategi belajar dengan menggunakan
metode ceramah. Situasi kelas seperti ini dikarenakan guru sebagai pengendali
kelas kurang menguasai dan tahu akan kelebihan dan kekurangan dari beberapa
metode pembelajaran dengan baik, sehingga guru kurang mampu memilih dan
menerapkan metode pembelajaran yang efektif untuk mencapai suatu tujuan
pembelajaran yang telah ditetapkan dan akan berdampak negatif terhadap anak
berkebutuhan khusus yang ada di SLB Bina Bhakti Mandiri, terutama anak
tunagrahita karena anak tunagrahita merupakan anak yang memiliki kecerdasan
dibawah rata-rata normal, sehingga mereka kurang bisa menyesuaikan diri dengan
lingkungan sosialnya.
Metode pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar yang
membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia
nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota
keluarga dan masyarakat. (US Departement of Education, 2001). Dengan metode
pembelajaran kontekstual ini, siswa diarahkan untuk mengaitkan antara materi
yang diajarkan dengan pengetahuan yang dimilikinya dengan kehidupan mereka
6
sebagai anggota keluarga dan masyarakat yang disertai dengan Tanya jawab
antara guru dengan siswa yang berkaiitan dengan lingkungan sekitar.
Dengan demikian anak tunagrahita dengan diberikan pembelajaran dengan
menggunakan metode pembelajaran kontekstual dapat melatih keterampilan anak
tunagrahita di SLB Bina Bhakti Mandiri. Selain itu dengan anak dapat berbicara
maka proses pembelajaran dapat berjalan secara optimal dan dapat membantu
anak dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya.
Berdasarkan uraian tersebut, menjadi penting bagi guru-guru Sekolah Luar
Biasa dalam menyusun strategi pembelajaran yang tepat. Untuk merealisasikan
hal itu, penulis mencoba menulis makalah dengan judul :
“PENGGUNAAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL UNTUK
MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMAKAI KAOS KAKI PADA ANAK
TUNAGRAHITA SEDANG DI SLB BINA BHAKTI MANDIRI (PTK di SDLB
Kelas 1 C1 SLB Bina Bhakti Mandiri Cisitu)”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dibahas di atas, maka dapat
dirumuskan permasalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah cara mengajarkan kaos kaki bagian dalam ujung atas pada
anak tunagrahita sedang ?
2. Bagaimanakah cara mengajarkan kaos kaki bagian dalam ujung bawah
pada anak tunagrahita sedang ?
3. Bagaimanakah cara mengajarkan kaos kaki bagian depan ujung atas pada
anak tunagrahita sedang ?
4. Bagaimanakah cara mengajarkan kaos kaki bagian depan ujung bawah
pada anak tunagrahita sedang ?
5. Bagaimanakah cara mengajarkan kaos kaki bagian belakang ujung bawah
pada anak tunagrahita sedang ?
6. Bagaimana mengajarkan cara memakai kaos kaki yang baik dan benar ?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan
penelitian ini yaitu :
7
1. Anak dapat membedakan kaos kaki bagian dalam ujung atas
2. Anak dapat membedakan kaos kaki bagian dalam ujung bawah
3. Anak dapat membedakan kaos kaki bagian depan ujung atas
4. Anak dapat membedakan kaos kaki bagian depan ujung bawah
5. Anak dapat membedakan kaos kaki bagian belakang ujung bawah
6. Anak dapat memakai kaos kaki dengan baik dan benar
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang bisa diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Dengan pendekatan ini diharapkan anak dapat memakai kaos kaki sendiri
tanpa bantuan orangtua, guru atau orang lain.
2. Dengan penelitian ini diharapkan akan menambah informasi bagi guru
dalam pengembangan metode, model atau pendekatan pembelajaran yang
dapat meningkatkan aktifitas belajar siswa dalam pelajaran bina diri.
3. Bagi penulis adalah untuk mengetahui penerapan metode pembelajaran
kontekstual di SLB, sehingga dapat mengembangkan strategi pembelajaran
yang searah dan tepat sasaran.
4. Bagi Lembaga Pendidikan anak berkebutuhan khusus atau Sekolah Luar
Biasa, dalam peningkatan layanan pendidikan terutama dalam
pengembangan metode, model dan pendekatan pembelajaran agar lebih
aktif, efektif, variatif dan bermakna.
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kerangka Konseptual
1. Anak Tunagrahita
a. Pengertian
Tunagrahita (retardasi mental) adalah anak yang secara nyata
mengalami hambatan dan keterbelakangan perkembangan mental-
intelektual di bawah rata-rata, sehingga mengalami kesulitan dalam
menyelesaikan tugas-tugasnya. Mereka memerlukan layanan pendidikam
khusus.
Ketunagrahitaan mengacu pada intelektual umum yang secara
signifikan berada di bawah rata-rata. Para tunagrahita mengalami hambatan
dalam tingkah laku dan penyesuaian diri. Semua itu berlangsung atau terjadi
pada masa perkembangannya.
Seseorang dikatakan tunagrahita apabila memiliki tiga indikator, yaitu:
(1) Keterhambatan fungsi kecerdasan secara umum atau di bawah rata-rata,
(2) Ketidakmampuan dalam prilaku sosial/adaptif, dan (3) Hambatan
perilaku sosial/adaptif terjadi pada usia perkembangan yaitu sampai dengan
usia 18 tahun.
b. Karakteristik Anak Tungrahita
Menrut katakteristiknya, pengelompokan anak tunagrahita pada
umumnya berdasarkan atas taraf intellegensinya, yang terdiri dari
tunagrahita ringan, sedang dan berat. Pengelompokan tersebut dapat
diuraikan sebagai berikut :
1) Tunagrahita Ringan
Tunagrahita ringan disebut juga moron atau debil. Kelompok ini
memiliki IQ antara 68-52 menurut binet, sedangkan menurut skala
weschler (WISC) memiliki IQ 69-55. Mereka masih dapat belajar
membaca, menulis dan berhitung sederhana. dengan bimbingan dan
pendidikan yang baik anak tunagrahita ringan pada saatnya akan dapat
memperoleh penghasilan untuk dirinya sendiri.
9
Anak tunagrahita ringan dapat dididik menjadi tenaga kerja semi
skilled seperti pekerjaan laundry, pertanian, peternakan, pekerjaan rumah
tangga, bahkan jika dilatih dan dibimbing dengan baik anak tunagrahita
ringan dapat bekerja dipabrik-pabrik dengan sedikit pengawasan.
Namun demikian anak tunagrahita ringan tidak mampu melakukan
penyesuaian social secara independen. Ia akan membelanjakan uangnya
dengan tolol ,tidak dapat merencanakan masa depan dan bahkan suka
berbuat kesalahan
Pada umumnya anak tunu grahita pada umumnya tidak mengalami
gangguan fisik. Mereka secara fisik tampak seperti anak normal pada
umumnya. Oleh karena itu agak sukar membedakan secara fisik antara
anak tuna grahita ringan dengan anak normal.
2) Tunagrahita Sedang
Anak tunagrahita sedang disebut juga imbisil. Kelompok ini
memiliki IQ 51-36 berdasarkan skala binet sedangkan menurut skala
wsechler (WISC) memiliki IQ 54-40. Anak tuna grahita sedang bisa
mencapai perkembangan MAsampai kurang lebih 7 tahun. Mereka dapat
dapat dididik mengurus diri,melindungi diri sendiri dari bahaya seperti
menghindari kebakaran, berjalan dijalan raya, berlindung dari hujan,dan
sebagainya
Anak tuna grahita sedang sangat sulit bahkan tidak dapat
belajarsecara seperti belajar menulis, membaca dan berhitung, walaupun
mereka masih dapat menulis secara social misalnya menulis namanya
sendiri, alamatnya dan lain-lain, dapat dididik mengurus diri seperti mandi,
berpakaian, makan, minum, mengerjakan pekerjaan rumah tangga ringan
seperti menyapu,membersihkan perabot rumah tangga,dan sebagainya.
Dalam kehidupan sehari-hari membutuhkan pengawasan yang terus
menerus.
3) Tunagrahita Berat
Kelompok anak tuna grahita ringan disebut idiot. Kelompok ini
dapat dibedakan lagi antara anak tuna grahita berat dan sangat berat.
Tunagrahita berat (severe) memiliki IQ antara 32-20 menuru skala binet
dan antara 39-25 menurut skala wsechler (WISC). Tunagrahita sangat
10
berat (provound) memiliki IQ dibawah 19 menurut skala binet dan IQ
dibawah 24 menurut skala wsechler (WISC). Kemampuan mental
maksimal dapat dicapai kurang dari 3 tahun.
Tunagrahita berat memerlukan bantuan perawatan secara total dalam
hal berpakaian, mandi, makan dll. Bahkan mereka memerlukan
perlindungan dari bahaya sepanjang hidupnya.
Karakteristik belajar dalam pembicaraan ini adalah hal-hal yang
perlu diperhatikan dalam belajar anak tunagrahita yang harus disesuaikan
dengan keadaannya. Berhubung keadaan anak tunagrahita sedemikian
rupa, maka tentu saja dalam pembelajarannya harus memperhatikan ciri-
ciri yang berkaitan dengan situasi belajarnya.
c. Kebutuhan Pendidikan Bagi Tunagrahita
Anak tunagrahita sangat memerlukan pendidikan serta layanan khusus
yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Ada beberapa pendidikan
dan layanan khusus yang disediakan untuk anak tunagrahita, yaitu:
a. Kelas Transisi
Kelas ini diperuntukkan bagi anak yang memerlukan layanan khusus
termasuk anak tunagrahita. Kelas transisi sedapat mungkin berada
disekolah reguler, sehingga pada saat tertentu anak dapat bersosialisasi
dengan anak lain. Kelas transisi merupakan kelas persiapan dan
pengenalan pengajaran dengan acuan kurikulum SD dengan modifikasi
sesuai kebutuhan anak.
b. Sekolah Khusus (Sekolah Luar Biasa bagian C dan C1/SLB-C,C1)
Layanan pendidikan untuk anak tunagrahita model ini diberikan
pada Sekolah Luar Biasa. Dalam satu kelas maksimal 10 anak dengan
pembimbing/pengajar guru khusus dan teman sekelas yang dianggap
sama keampuannya (tunagrahita). Kegiatan belajar mengajar sepanjang
hari penuh di kelas khusus. Untuk anak tunagrahita ringan dapat
bersekolah di SLB-C, sedangkan anak tunagrahita sedang dapat
bersekolah di SLB-C1.
11
c. Pendidikan terpadu
Layanan pendidikan pada model ini diselenggarakan di sekolah
reguler. Anak tunagrahita belajar bersama-sama dengan anak reguler di
kelas yang sama dengan bimbingan guru reguler. Untuk matapelajaran
tertentu, jika anak mempunyai kesulitan, anak tunagrahita akan mendapat
bimbingan/remedial dari Guru Pembimbing Khusus (GPK) dari SLB
terdekat, pada ruang khusus atau ruang sumber. Biasanya anak yang
belajar di sekolah terpadu adalah anak yang tergolong tunagrahita ringan,
yang termasuk kedalam kategori borderline yang biasanya mempunyai
kesulitan-kesulitan dalam belajar (Learning Difficulties) atau disebut
dengan lamban belajar (Slow Learner).
d. Program sekolah di rumah
Progam ini diperuntukkan bagi anak tunagrahita yang tidak mampu
mengkuti pendidikan di sekolah khusus karena keterbatasannya,
misalnya: sakit. Proram dilaksanakan di rumah dengan cara
mendatangkan guru PLB (GPK) atau terapis. Hal ini dilaksanakan atas
kerjasama antara orangtua, sekolah, dan masyarakat.
e. Pendidikan inklusif
Sejalan dengan perkembangan layanan pendidikan untuk anak
berkebutuhan khusus, terdapat kecenderungan baru yaitu model
Pendidikan Inklusif. Model ini menekankan pada keterpaduan penuh,
menghilangkan labelisasi anak dengan prinsip “Education for All”.
Layanan pendidikan inklusif diselenggarakan pada sekolah reguler. Anak
tunagrahita belajar bersama-sama dengan anak reguler, pada kelas dan
guru/pembimbing yang sama. Pada kelas inklusi, siswa dibimbing oleh 2
(dua) orang guru, satu guru reguler dan satu lagu guru khusus. Guna guru
khusus untuk memberikan bantuan kepada siswa tunagrahita jika anak
tersebut mempunyai kesulitan di dalam kelas. Semua anak diberlakukan
dan mempunyai hak serta kewajiban yang sama. Tapi saat ini pelayanan
pendidikan inklusif masih dalam tahap rintisan.
12
2. Pendidikan Bina Diri
a. Pengertian
Bina diri merupakan serangkaian kegiatan pembinaan dan latihan yang
dilakukan oleh guru yang profesional dalam pendidikan khusus, secara
terencana dan terprogram terhadap individu yang membutuhkan layanan
khusus, yaitu individu yang mengalami gangguan koordinasi gerak-motorik,
sehingga mereka dapat melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari, dengan
tujuan meminimalisasi dan atau menghilangkan ketergantungan terhadap
bantuan orang lain dalam melakukan aktivitasnya.
Aktivitas kehidupan sehari-hari yang dimaksud adalah kemampuan dan
keterampilan sesorang dalam aktivitas kehidupan sehari-hari, mulai dari
aktivitas bangun tidur sampai tidur kembali.
Dengan adanya perubahan paradigma dalam pendidikan yaitu menuju
pendidikan Inklusif, maka siswa yang mengalami gangguan gerak-motorik
akan kita jumpai juga di sekolah-sekolah reguler.
Pelaksanaan layanan bina diri yang diberikan kepada siswa di SLB
bervariasi sesuai dengan hasil dari identivikasi dan asesmen, sehingga
program bina diri sifatnya individual. Bagi siswa yang mengikuti
pendidikan di sekolah reguler dapat bekerjasama dengan SLB terdekat
untuk mendapatkan bantuan tenaga dalam bidang bina-diri bagi anak-anak
yang mengalami gangguan koordinasi-motorik. Apabila ada tenaga
Okupasional Terapist dapat bekerjasama sehingga hasilnya dapat lebih
optimal. Kewenangan dalam penanganan bidang terapi okupasional (OT)
adalah profesi bidang para medis yaitu okupasional terapis, namun guru
pendidikan khusus dapat memderikan latihan atau pembinaan tersebut
melalui layanan bina diri.
b. Kemampuan Bina Diri
Terbagi menjadi tujuh macam,yaitu:
1) Kebutuhan Merawat Diri
Kebutuhan merawat diri meliputi kemampuan memelihara tubuh
seperti mandi, menggosok gigi,merawat rambut dan memelihara
kesehatan dan keselamatan diri seperti melindungi dari bahaya sekitar
ataupun mengatasi luka.
13
2) Kebutuhan Mengurus diri
Kebutuhan mengurus diri meliputi memelihara diri secara praktis,
mengurus kebutuhan yang bersifat pribadi seperti makan, minum,
menyuap makanan, berpakaian, pergi ke toilet, berdandan, serta
merawat kesehatan diri.
3) Kebutuhan menolong diri
Kebutuhan menolong diri meliputi memasak sederhana,mencuci
pakaian dan melakukan aktivitas rumah seperti menyapu dan lain
sebagainya.
4) Kebutuhan komunikasi
Kebutuhan komunikasi meliputi komunikatif ekspresif yaitu
menjawab nama dan identitas keluarga dan komunikasi resepti yaitu
mampu memahami apa yang disampaikan orang lain.
5) Kebutuhan Sosialisasi
Kebutuhan sosialisasi meliputi keterampilan bermain, berinteraksi.
partisipasi kelompok, ramah dalam bergaul, mampu menghargai
orang, bertanggung jawab pada diri sendiri serta mampu
mengendalikan emosi.
6) Kebutuhan Keterampilan Hidup
Kebutuhan Keterampilan hidup meliputi keterampilan menggunakan
uang, keterampilan berbelanja dan keterampilan dalam bekerja.
7) Kebutuhan Mengisi Waktu Luang
Kebutuhan mengisi waktu luang bagi anak tuna grahita dapat berupa
kegiatan kegiatan olahraga, seni dan keterampilan sederhana seperti
memelihara tanaman atau hewan.
3. Pendekatan Kontekstual
Pendekatan kontekstual adalah salah satu pembelajaran yang dapat
digunakan oleh guru untuk melaksanakan kegiatan proses pembelajaran.
Pendekatan pembelajaran merupakan jalan yang akan ditempuh oleh guru dan
siswa dalam upaya mencapai tujuan intruksional untuk suatu satuan
intruksional tertentu (Syarif Sagala, 2007:68). Dalam tulisan ini penulis akan
menguraikan pendekatan kontekstual, sesuai dengan judul sub bab ini, yang
14
akan memaparkan pengertian, tujuan, karakteristik dan strategi penerapan
pembelajaran kontekstual dan penerapan pembelajaran kontekstual di kelas.
a. Pengertian Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual dapat dikatakan sebagai sebuah pendekatan
pembelajaran yang mengakui dan menunjukan kondisi alamiah
pengetahuan. Melalui hubungan di dalam dan di luar ruang kelas, suatu
pendekatan pembelajaran kontekstual menjadikan pengalaman lebih relevan
dan berarti bagi siswa dalam membangun pengetahuan yang akan mereka
terapkan dalam pembelajaran seumur hidup. Pembelajaran kontekstual
menyajikan suatu konsep yang mengaitkan materi pelajaran yang dipelajari
siswa dengan konteks materi tersebut digunakan, serta hubungan bagaimana
seseorang belajar atau siswa belajar.
Dengan demikian, dalam kegiatan pembelajaran perlu adanya upaya
membuat belajar lebih mudah, sederhana, bermakna dan menyenangkan
agar siswa mudah meneriman ide, gagasan, mudah memahami
permasalahan dan pengetahuan serta dapat mengkonstruksi sendiri
pengetahuan barunya secara aktif, kreatif dan produktif. Untuk mencapai
usaha tersebut segala komponen pembelajaran harus dipertimbangkan
termasuk pendekatan kontekstual.
Depdiknas (2002), menyampaikan bahwa pendekatan kontekstual
adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang
diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam
kehidupan mereka sehari-hari. Selain itu pembelajaran kontekstual
merupakan suatu konsep tentang pembelajaran yang membantu guru-guru
untuk menghubungkan isi bahan ajar dengan situasi-situasi dunia nyata serta
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari sebagai anggota keluarga, warga
negara dan pekerjaan serta terlibat aktif dalam kegiatan belajar mengajar
yang dituntut dalam pelajaran.
Pada dasarnya pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang
membantu guru untuk mengaitkan materi yang dipelajari dengan kehidupan
nyata, dan memotivasi siswa untuk mengaitkan pengetahuan yang
didapatnya dengan kehidupan mereka sehari-hari. Nurhadi (2004: 13),
15
menyatakan bahwa pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar dimana
guru menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang
memotivasi siswa untuk menghubungkan antara pengetahuan yang
diperolehnya dari proses belajar dengan kehidupan mereka sehari-hari, yang
bermanfaat bagi mereka untuk memecahkan suatu masalah di lingkungan
sekitarnya. Sehingga pembelajaran yang diperoleh siswa lebih bermakna.
b. Tujuan model pembelajaran kontekstual
1) Model pembelajaran ini menekankan dalam belajar itu tidak hanya
sekedar menghafal tetapi perlu dengan adanya pemahaman
2) Model pembelajaran ini menekankan pada pengembangan minat
pengalaman siswa.
3) Model pembelajaran ini bertujuan untuk melatih siswa agar dapat
berfikir kritis dan terampil dalam memproses pengetahuan agar
dapat menemukan dan menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi
dirinya sendiri dan orang lain.
4) Agar pembelajaran lebih produktif dan bermakna.
5) Untuk mengajak anak pada suatu aktivitas yang mengkaitkan materi
akademik dengan konteks jehidupan sehari-hari.
6) Agar siswa secara individu dapat menemukan dan mentrasfer
informasi-informasi komplek dan siswa dapat menjadikan informasi
itu miliknya sendiri.
c. Karakteristik pembelajaran kontekstual
1) Pembelajaran dilaksanakan dalam konteks autentik, yaitu
pembelajaran yang diarahkan pada ketercapaian keterampilan dalam
konnteks kehidupan nyata atau pembelajaran yang dilaksanakan
dalam lingkungan yang alamiah (learning in real life setting).
2) Pembelajaran memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengerjakan tugas-tugas yang bermakna (meaningful learnig).
3) Pembelajaran dilaksanakan dengan meberikan pengalaman
bermakna kepada siswa (learning by doing).
16
4) Pembelajaran dilaksanakan melalui kerja kelompok, berdiskusi,
saling mengoreksi antarteman (learning in a group).
5) Pembelajaran memberikan kesempatan untuk menciptakan rasa
kebersamaan, bekerjasama, dan saling memahami antara satu dengan
yang lain secara mendalam (learning to know each other deeply).
6) Pembelajaran dilaksanakan secara aktif, kreatif, produktif, dan
mementingkan kerjasama (learning to ask, to inquiry, to work
together).
7) Pembelajaran dilaksanakan dalam situasi yang menyenangkan
(learning as an enjoy activity).
8) Pembelajaran yang kontekstual adalah belajar dalam rangka
memperoleh dan menambah pengetahuan baru.
9) Melakukan refleksi terhadap strategi pengembangan pengetahuan.
d. Strategi Penerapan Pembelajaran Kontekstual
Beberapa strategi pembelajaran yang perlu dikembangkan oleh guru
secara konstektual antara lain :
1) Pembelajaran berbasis masalah.
Dengan memunculkan problem yang dihadapi bersama, siswa
ditantang untuk berfikir kritis untuk memecahkan.
2) Menggunakan konteks yang beragam.
Dalam CTL guru membermaknakan pusparagam konteks sehingga
makna yang diperoleh siswa menjadi berkualitas.
3) Mempertimbangkan kebhinekaan siswa.
Guru mengayomi individu dan menyakini bahwa perbedaan
individual dan social seyogianya dibermaknakan menjadi mesin
penggerak untuk belajar saling menghormati dan toleransi untuk
mewujudkan ketrampilan interpersonal.
4) Memberdayakan siswa untuk belajar sendiri.
Pendidikan formal merupakan kawah candradimuka bagi siswa
untuk menguasai cara belajar untuk belajar mandiri dikemudian hari.
17
5) Belajar melalui kolaborasi
Dalam setiap kolaborasi selalu ada siswa yang menonjol
dibandingkan dengan koleganya dan sisiwa ini dapat dijadikan
sebagai fasilitator dalam kelompoknya.
6) Menggunakan penelitian autentik
Penilaian autentik menunjukkan bahwa belajar telah berlangsung
secara terpadu dan konstektual dan memberi kesempatan pada siswa
untuk dapat maju terus sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
7) Mengejar standar tinggi
Setiap sekolah seyogianya menentukan kompetensi kelulusan dari
waktu kewaktu terus ditingkatkan dan setiap sekolah hendaknya
melakukan Benchmarking dengan melakukan study banding
keberbagai sekolah dan luar negeri.
Berdasarkan Center for Occupational Research and
Development (CORD) Penerapan strategi pembelajaran konstektual
digambarkan sebagai berikut:
a. Relating
Belajar dikatakan dengan konteks dengan pengalaman nyata, konteks
merupakan kerangka kerja yang dirancang guru untuk membantu peserta
didik agar yang dipelajarinya bermakna.
b. Experiencing
Belajar adalah kegiatan “mengalami “peserta didik diproses secara aktif
dengan hal yang dipelajarinya dan berupaya melakukan eksplorasi
terhadap hal yang dikaji, berusaha menemukan dan menciptakan hal
yang baru dari apa yang dipelajarinya.
c. Applying
Belajar menekankan pada proses mendemonstrasikan pengetahuan yang
dimiliki dengan dalam konteks dan pemanfaatanya.
d. Cooperative
Belajar merupakan proses kolaboratif dan kooperatif melalui kegiatan
kelompok, komunikasi interpersonal atau hubunngan intersubjektif.
18
e. Transfering
Belajar menenkankan pada terwujudnya kemampuan memanfaatkan
pengetahuan dalam situasi atau konteks baru.
Ciri kelas yang menggunakan pendekatan konstektual : Pengalaman
nyata, kerja sama, saling menunjang, gembira, belajar dengan bergairah,
pembelajaran terintegrasi, menggunakan berbagai sumber, siswa aktif dan
kritis, menyenangkan, tidak membosankan, guru kreatif.
B. Hasil Penelitian yang Relevan
Sebagai bahan pembanding, peneliti melakukan kajian terhadap penelitian
terdahulu yang dianggap memiliki relevansi dengan penelitian yang sedang
dilaksanakan. Beberapa hasil penelitian terdahulu, antara lain sebagai berikut:
1. Isaris Arwianti (2011), dengan judul “Strategi Belajar Memakai Kaos
Dalam Bagi Anak Tunagrahita Sedang Kelas II SDLB Di SLB ABC
Kartini Wado”. Dari hasil penelitian yang telah dilakukannya tersebut
menyimpulkan bahwa Lembaga Formal dalam hal ini SLB ABC Kartini
Wado telah berhasil menerapkan startegi memakai kaos dalam yang baik
dan benar pada Anak Tunagrahita Sedang dengan menggunakan suatu
metode yakti metode pembelajaran kontekstual.
2. L. Kamalia (2009), dengan judul “Model Pembelajaran Seni Tari Bagi Anak
Tunagrahita Ringan Melalui Pendekatan Kontekstual di SLB-C Sukapura
Bandung”. Dari hasil penelitian yang telah dilakukannya tersebut
menyimpulkan bahwa model pembelajarak kontekstual dapat digunakan
untuk pembelajaran seni tari bagi anak tunagrahita ringan. Model
pembelajaran kontekstual sejalan dengan kurikulum SLB-C Sukapura
Bandung yang bersifat tematik.
C. Hipotesis Tindakan
Dengan menerapkan model pembelajaran bina diri melalui pendekatan
kontekstual, maka penguasaan konsep keterampilan siswa dalam memakai kaos
kaki akan meningkat.
19
BAB III
METODE
A. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan Penelitian
Tindakan Kelas (PTK). Arah dan tujuan tindakan kelas (classroom action
research) yang dilakukan oleh guru adalah demi kepentingan peserta didik dalam
memperoleh hasil belajar yang memuaskan.(Arikunto, 2008:2).
Rochiati Wiraatmadja (2006:36) mengemukakan bahwa Penelitian
Tindakan Kelas dapat memperkecil kesenjangan antara idealisme seorang guru
yang baik dengan tampilan sehari-hari agar guru bekerja lebih profesional.
Selanjutnya Rochiati W (2006:75) mengingatkan bahwa tujuan dasar Penelitian
Tindakan Kelas adalah memperbaiki pembelajaran guru di kelas, bukan untuk
menghasilkan pengetahuan atau teori.
Ada beberapa model Penelitian Tindakan Kelas, salah satu diantarnya
adalah model Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas yang dikemukakan oleh
Arikunto (2008:20) mencakup empat langkah , yaitu: (1) perencanaan, (2)
pelaksanaan, (3) pengamatan dan (4) refleksi (perenungan). Proses Penelitian
Tindakan Kelas itu oleh Mc Kernan dalam Depdikbud (1999:6), dijabarkan lagi
ke dalam tujuh langkah, yaitu:
1. Analisis situasi (reconnaissance) atau kenal medan.
2. Perumusan dan klarifikasi masalah.
3. Hipotesisi tindakan.
4. Perencanaan tindakan.
5. Implementasi tindakan dan monitoringnya.
6. Evaluasi hasil tindakan.
7. Refleksi hasil tindakan keputusan untuk pengembangan selanjutnya.
Ditinjau dari rumusan sederhana Arikunto, maka langkah (1), (2), (3) dan
(4) merupakan penjabaran dari langkah perencanaan. Langkah (5), (6) dan (7)
merupakan langkah pelaksanaa, pengamatan dan refleksi. Langkah-langkah
penelitian kelas yang digunakan peneliti adalah model Penelitian Tindakan Kelas
yang mencakup empat langkah sebagaimana dikemukakan di atas.
20
B. Waktu dan Lokasi Penelitian
Waktu penelitian dilakukan dari bulan Juli 2013 sampai dengan Desember
2013 dan dilakukan di SLB Bina Bhakti Mandiri yang terletak di Jalan Raya
Sumedang Darmaraja KM 18, Dusun Dustan RT 03 RW 04 Desa Situmekar
Kecamatan Cisitu Kabupaten Sumedang, dengan menggunakan sample penelitian
anak-anak tunagrahita sedang kelas 1 SDLB.
Penentuan lokasi SLB Bina Bhakti Mandiri ini lebih kepada pemilihan
berdasarkan kebutuhan proses aplikasi yang diinginkan, yaitu dalam penerapan
pendekatan kontekstual pada anak tunagrahita, dapat dijadikan sebagai studi kasus
dalam penelitian ini, sehingga dapat menjawab rumusan masalah yang menjadi
fokus penelitian. Dengan demikian pemilihan sample didasarkan atas purposive
sampling.
C. Proses/Siklus Penelitian
Model PTK yang akan digunakan adalah Model yang diperkenalkan oleh
Kurt Lewin (Depdiknas, 2003:16), yaitu bahwa satu siklus terdiri dari empat
langkah, yaitu: (1) perancanaan (planning), (2) aksi atau tindakan (action), (3)
observasi (observing), (4) refleksi (reflecting), hal tersebut dapat digambarkan
sebagai berikut:
Gambar 3.1
(Bagan diadopsi dari langkah-langkah Penelitian Tindakan Kelas)
Perencanaan
Observasi
Refleksi Aksi
21
Dalam penelitian ini akan menggunakan PTK eksferimentalis yang
ditujukan untuk mengetahui hubungan antara teknik maupun metode yang
berkaitan dengan penerapan pendekatan kontekstual learning yang dikhususkan
dalam pembelajaran Bina Diri. Teknik pengumpulan data yang digunakan berupa
observasi partisifasi langsung ke lapangan dengan menerapkan pendekatan
kontekstual learning, kemudian diadakan pengukuran untuk memperoleh fakta-
fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara
faktual dengan kondisi yang bersangkutan.
Siklus 1 Perencanaan Ide
Awal
Meningkatkan aktifitas belajar anak
tunagrahita dalam pembelajaran bina diri
Temuan Awal Selama ini sering ditemukan bahwa anak
tunagrahita kurang memahami konsep yang
abstrak, sehingga mempengaruhi proses dan
hasil pembelajaran yang kurang efektif dan
hasil belajar yang kurang optimal.
Untuk itu diperlukan adanya upaya dari pihak
guru untuk menggunakan pendekatan
pembelajaran yang dapat membawa anak
tunagrahita pada hal yang sifatnya kongkrit
dan langsung, agar proses dan hasil
pembelajaran sesuai dengan yang diharapkan.
Diagnosa
(hipotesis)
Dengan menggunakan pendekatan kontekstual
meningkatkan aktifitas belajar tunagrahita
dalam merawat dirinya sendiri dan akan
berdampak pada proses dan hasil dari
pembelajaran yang dilakukan.
Perencanaan - merencanakan program pembelajaran
- mempersiapkan silabus
- menyusun Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran
- menyiapkan format observasi
- meyiapkan format evaluasi
- menyiapkan alat bantu pembelajaran
- menyiapkan media pengiring
- menata kelas
Tindakan - mengajak para siswa untuk melihat siswa
lain memakai kaos kaki
- memulai pembelajaran dengan appersepsi
- penyampaian materi pembelajaran dengan
menggunakan media, alat bantu atau alat
peraga
- pemberian tugas dan evaluasi
22
Observasi
(pengamatan)
- mengamati proses pembelajaran terutama
cara belajar siswa memakai kaos kaki
- menilai hasil tindakan dengan
menggunakan format Lembar Kerja Siswa
Refleksi - melakukan evaluasi tindakan yang telah
dilakukan, meliputi evaluasi: perhatian,
konsentrasi, cara menggunakan alat,
pemahaman cara menggunakan kaos kaki
saat pembelajaran berlangsung
- memperbaiki pelaksanaan sesuai hasil
evaluasi, untuk digunakan dalam siklus
berikutnya
Siklus 2 Perencanaan - merencanakan program pembelajaran
- menyusun Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran
- menyiapkan format evaluasi
- menyiapkan format observasi
- menyiapkan alat bantu pembelajaran
- menyiapkan media
Tindakan - memulai pembelajaran dengan appersepsi
- menyampaikan pembelajaran dengan model
pembelajaran yang berpusat pada aktifitas
siswa
- penyampaian materi pembelajaran dengan
menggunakan media, alat bantu atau alat
peraga
- pemberian tugas dan evaluasi
Observasi
(pengamatan)
- mengamati proses pembelajaran terutama
cara siswa belajar memakai kaos kaki
dengan menggunakan format observasi
- menilai hasil tindakan dengan
menggunakan format Lembar Kerja Siswa
Refleksi - melakukan evaluasi tindakan yang telah
dilakukan, meliputi evaluasi: perhatian,
konsentrasi, cara menggunakan alat,
pemahaman cara menggunakan kaos kaki
saat pembelajaran berlangsung
- melakukan pertemuan untuk membahas
hasil evaluasi tentang tindakan yang telah
dilakukan
- memperbaiki pelaksanaan sesuai dengan
hasil evaluasi, untuk digunakan pada siklus
berikutnya
Tabel 3.1
Tahapan Siklus Penelitian
23
Untuk jelasnya Tahapan Siklus Penelitian dapat dilihat dari skema gambar
berikut :
Bagan 3.1
Tahap Penelitian
RANCANGAN
PROGRAM I
Observasi dan
Pengumpulan Data
Revisi
Program
TINDAKAN I
KBM dengan membawa
anak ke halaman sekolah
Refleksi
(Perenungan)
TINDAKAN II
KBM dengan mengenalkan
bagian kaos kaki
Masalah
24
D. Analisis Data
Pada dasarnya analisis data merupakan suatu proses penyusunan data agar
mudah diinterpretasi oleh peneliti. Semua data yang terkumpul direduksi dengan
memperhatikan keakuratan data dengan mengklasifikasikan dan mengeliminasi
data-data yang tidak perlu, sehingga diperoleh data yang benar-benar akurat.
Peneliti melakukan analisis data sejak awal tindakan pada setiap kegiatan
tindakan. Analisis data hasil observasi dapat dilakukan langsung oleh peneliti
bersamaan dengan kegiatan proses pembelajaran. Dengan demikian aktifitas
belajar anak yang diteliti benar-benar dapat diamati dengan jelas dan langsung
dapat diinterpretasi dan dikategorikan ke dalam aktifitas belajar yang: baik, cukup
atau kurang.
25
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Pelaksanaan PTK dengan menerapkan pendekatan kontekstual dalam
pembelajaran memberikan kritik dan saran difasilitasi oleh penulis pada siswa
kelas I SDLB C1 di SLB Bina Bhakti Mandiri yang dilaksanakan pada hari
Selasa sampai Sabtu sebelum KBM dimulai. Observer dalam pembelajaran ini
adalah guru kelas.
Pelaksanaan pembelajaran ini berpedoman pada rencana pelaksanaan
pembelajaran yang telah disusun dalam fase perencanaan.
1. Hasil Observasi
Aktivitas siswa pada siklus pertama adalah setiap siswa memperhatiakn
demonstrasi guru tentang bagian-bagian kaos kaki. Setiap siswa secara
bergiliran menunjukan bagian-bagian kaos kaki. Kegiatan siswa diarahkan
untuk bekerjasama saling menghargai, mempercayai, dan membantu,
memotivasi disertai dengan komunikasi.
2. Hasil Refleksi
Refleksi dilakukan dengan tujuan untuk menggali dan menemukan
kegiatan-kegiatan yang perlu diperbaiki serta menetapkan solusinya. Hasil
refleksi dideskripsikan sebagai berikut:
Setelah setiap siswa melakukan perintah guru, mereka mencoba sendiri-
sendiri menunjukan bagian-bagian kaos kaki. Hal itu terjadi karena siswa
menyangka bahwa mereka ditugasi untuk melakukan tugas tersebut secara
perorangan seperti kegiatan yang biasa dilakukan sehari-hari. Solusi untuk
mengatasi masalah tersebut diputuskan sebagai berikut. Penulis perlu
memberikan penjelasan ulang dengan penekanan bahwa pembelajaran ini
merupakan pembelajaran yang dilakukan secara aktif, inovatif, kreatif, efektif
dan menyenangkan. Dalam pendekatan kontekstual tersebut harus terjalin
saling menghargai, mempercayai, dan membantu yang disertai dengan
komunikasi yang baik.
26
Pemahaman dalam memakai kaos kaki dengan benar akan terjadi apabila
setiap siswa merasakan situasi pembelajaran yang menyenangkan dengan
benda yang nyata. Untuk menciptakan situasi tersebut, maka setiap siswa
hanya diberi satu pasang kaos kaki yang harus dipakai dengan baik. Dengan
cara demikian, diharapkan setiap siswa bergairah dalam mengikuti pelajaran.
Setiap siswa menyadari akan kelebihan dan kekurangannya. Setiap siswa
akan menempatkan dirinya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
Pembagian tugas pun akan berjalan secara proporsional. Siapa sebagai apa
akan muncul sesuai dengan kemampuannya. Dengan cara tersebut, maka
motivasi belajar siswa akan meningkat. Setiap siswa akan serius dan
semangat dalam proses belajar mengajar yang berlangsung secara efektif.
3. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Penggunaan
Pendekatan Kontekstual Untuk Meningkatkan Kemampuan Memakai Kaos
Kaki Pada Anak Tunagrahita Sedang di SLB Bina Bhakti Mandiri. Proses
pembelajaran memberikan kesan menyenangkan dan mudah dipahami
khususnya bagi anak-anak tunagrahita. Menerapkan teknik pada siklus kedua
harus dimulai dengan diberikannya penjelasan bagian-bagian kaos kaki secara
kongkrit dan latihan-latihan yang terus menerus, agar setiap siswa dalam
prakteknya paham cara memakai kaos kaki yang baik dan benar kelompok
merasa saling ketergantungan dan munculnya kebutuhan akan bekerjasama dan
berkomunikasi yang baik.
Pemaparan hasil penelitian ini merupakan hasil dari observasi dan analisis
pelaksanaan proses pembelajaran memakai kaos kaki sebelum dan sesudah
menggunakan pendekatan kontekstual, yang dilaksanakan oleh peneliti di SLB
Bina Bhakti Mandiri.
Mengobservasi dan menganalisis pelaksanaan proses pembelajaran bina diri
sebelum menerapkan pendekatan kontekstual dan sesudah melaksanakan
pendekatan kontekstual oleh peneliti.
Mendeskripsikan penemuan-penemuan data hasil pelaksanaan proses
pembelajaran, khususnya mengenai kemampuan dan hasil belajar siswa
27
sebelum menggunakan pendekatan kontekstual dan sesudah menggunakan
pendekatan kontekstual pada pelajaran bina diri.
Semua data itu dianalisis, diklasifikasi dan diinterpretasi serta disimpulkan
yang didasarkan pada tujuan penelitian.
Pemaparan data-data tersebut diklasifikasikan pada kelompok kualitatif.
Data kualitatif menggambarkan hasil observasi selama penelitian tindakan kelas
dan rekaman prestasi hasil belajar siswa.
B. Pembahasan
1. Proses Pembelajaran Memakai Kaos Kaki dengan Menggunakan
Pendekatan Kontekstual di SLB Bina Bhakti Mandiri
Pemaparan pelaksanaan proses pembelajaran memakai kaos kaki dengan
pendekatan kontekstual, akan memaparkan gambaran kondisi guru, siswa, alat
bantu pendukung sarana pembelajaran. Paparan ini merupakan data yang
dikumpulkan dari pendataan awal sampai akhir kegiatan penelitian, dengan
menggunakan teknik pengumpulan data observasi. Semua data yang terkumpul
direduksi, diklasifikasi, dianalisis, ditafsirkan (diinterpretasi) yang akhirnya
disimpulkan.
a. Kondisi Guru
Komposisi guru di SLB Bina Bhakti Mandiri Cisitu berjumlah 10 orang
terdiri dari: 1 orang guru yang berstatus Pegawai Negeri Sipil yaitu Kepala
Sekolah dan 9 orang lainnya merupakan guru sukarelawan. Hanya sebagian
guru yang memiliki latar belakang pendidikan S1 sedangkan guru lainnya
masih menempuh pendidikan S1 jurusan Pendidikan Luar Biasa. Guru
sukarelawan mendapatkan Surat Keputusan (SK) dari Ketua Yayasan Bina
Bhakti Mandiri untuk masa kerja satu tahun ajaran. Dan setiap awal tahun
ajaran SK tersebut diperpanjang lagi, apabila masih dibutuhkan.
b. Kondisi Siswa
SLB Bina Bhakti Mandiri yang berdiri sejak tahun 2013, saat ini
memiliki siswa yang berjumlah 33 orang. Sebagian besar merupakan
penyandang tunagrahita dan sebagian ada pula penyandang tunarungu dan
autistik. Anak tunagrahita dari SD sampai SMA ada yang termasuk
tunagrahita ringan dan tunagrahita sedang.
28
Berdasarkan hasil observasi dalam proses pembelajaran dari pertemuan
pertama sampai dengan pertemuan terakhir ditemukan beberapa kendala
sebagai berikut:
1) Pada saat mengamati teman lain menggunakan kaos kaki, para
siswa kurang mampu melakukan pengamatan, bertanya dan
meyimpulkan suatu temuan secara optimal. Namun meskipun
demikian aktivitas belajar siswa menunjukkan peningkatan yang
berarti.
2) Tingkat ketergantungan kepada guru memang cukup besar, namun
dengan dorongan dari guru untuk bekerja sama dengan sesama
teman sekelompoknya ada kecenderungan meningkat.
3) Pada saat guru mengikutsertakan refleksi, para siswa nampak ada
sikap responsif menanggapinya dengan ungkapan bahasa, sikap dan
gerak yang sederhana.
4) Diakhir pembelajaran para siswa mampu mengikuti tes lisan untuk
ukur pengetahuaannya, selanjutnya mengikuti tes perbuatan untuk
diukur prestasi pemahaman cara memakai kaos kaki, baik
perorangan maupun kelompok dan prestasinya cukup memuaskan.
c. Kondisi Alat Bantu Pembelajaran Bina Diri
SLB Bina Bhakti Mandiri yang baru berusia 1 tahun masih memiliki
sarana prasarana yang cukup minim. Sampai saat ini yayasan dan sekolah
masih terus menambah sarana dan prasarana yang diperlukan guna
menunjang kegiatan akademik sekolah. Skala prioritas sarana dan prasarana
masih pada penambahan ruang kelas beserta kelengkapannya. Sarana
penunjang untuk mata pelajaran secara spesifik merupakan prioritas
berikutnya. Maka dari itu sarana pendukung pendidikan Bina Diri belum
lengkap. Adapun alat/media pendukung yang ada ialah bermacam kaos kaki
dan gambar kaos kaki.
2. Aplikasi Pendekatan Kontekstual di SLB Bina Bhakti Mandiri
Pendekatan kontekstual dalam pembelajaran Bina Diri adalah untuk
meningkatkan aktifitas siswa dalam proses pembelajaran Bina Diri. Karena
dengan pembelajaran kontekstual proses pembelajaran Bina Diri, siswa terlibat
aktif dalam proses pembelajaran Bina Diri.
29
Kondisi siswa tunagrahita dengan keterbatasan kemampuannya ditambah
dengan bakat minat yang hetorogen diperlukan pendekatan pembelajaran Bina
Diri yang tepat yang berorientasi kepada siswa yang didukung media dan
komponen pembelajaran lainnya.
a. Perencanaan Pembelajaran Bina Diri dengan Menerapkan
Pendekatan Kontekstual
Penelitian Tindakan Kelas dimulai dengan penyusunan rencana
pembelajaran Bina Diri. Materi atau bahan ajarnya mengambill tema
merawat diri sendiri yang diterapkan kepada cara memakai kaok kaki.
Metode yang digunakan ialah metode pemodelan, simulasi, demonstrasi dan
tugas resitasi yang digunakan secara variatif. Pendekatan pembelajarannya
adalah pendekatan kontekstual sebagaimana yang telah dipaparkan
deskripsinya pada bab sebelumnya. Adapun gambaran model pembelajaran
kontekstual Bina Diri adalah sebagai berikut:
30
Pertemuan I
Pengamatan Objek di luar Kelas (Memperkenalkan Bagian-bagian Kaos Kaki)
Bagan 4.2
Mengkonstruksi melalui pengamatan terhadap
aktivitas/demonstrasi guru tentang bagian-bagian kaos kaki
Penemuan (inkuiri) dengan Tanya Jawab mengenai
bagian-bagian kaos kaki
Diskusi ringan tentang bagian-bagian dari kaos kaki
Guru mendemonstrasikan cara memakai kaos kaki
Bersama-sama melakukan cara berkaos kaki dengan
menirukan guru
Mengadakan perenungan (refleksi) terhadap kegiatan
pembelajaran yang baru diikuti
Pengumpulan data hasil pengamatan/penilaian dalam
proses dan penilaian hasil belajar, dengan menggunakan
beberapa sumber dan cara
31
Pertemuan II
Penerapan hasil pengamatan bagian-bagian kaos kaki ke dalam praktek memakai
kaos kaki dengan baik dan benar
Bagan 4.3
Rekontruksi cara memakai kaos kaki yang
diperagakan oleh guru
Mencoba menemukan cara yang mudah untuk
siswa memakai kaos kaki
Tanya jawab antara guru dan siswa mengenai cara
memakai kaos kaki
Aktif bekerjasama berlatih memakai kaos kaki
dengan baik dan benar
Beberapa orang siswa dicoba untuk tampil menjadi
model
Mengadakan perenungan (refleksi) terhadap
semua tata cara memakai kaos kaki yang baru
dipelajari
Semua data yang diperoleh dari hasil
pengamatan/penilaian dalam proses dan akhir
belajar, dijadikan dasar penentuan
32
Pertemuan III
Menjelaskan cara berkaos kaki dengan menggunakan alat bantu
Revisi cara memakai kaos kaki yang diperagakan
oleh guru
Mencoba menemukan cara yang lebih mudah
untuk siswa memakai kaos kaki
Tanya jawab mengenai semua cara memakai kaos
kaki yang telah dipelajari
Berlatih bersama memakai kaos kaki dengan baik
dan benar
Beberapa orang siswa dicoba untuk tampil menjadi
model
Mengadakan perenungan (refleksi) terhadap
semua tata cara memakai kaos kaki yang baru
dipelajari
Semua data yang diperoleh dari hasil
pengamatan/penilaian dalam proses dan akhir
belajar, dijadikan dasar penentuan
33
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Bab V ini merupakan hasil kesimpulan dari hasil penelitian dan
menyampaikan saran-saran kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Berdasarkan penelitian awal, menurut penjelasan guru Bina Diri bahwa
pembelajaran Bina Diri di SLB pada umumnya sering menggunakan metode
ceramah dan peniruan, sehingga pembelajaran bina diri hasil belajarnya kurang
optimal dan kurang bermakna bagi kehidupan siswa. Hasil belajar siswa hanya
terbatas meniru, menghapal dan mengingat apa yang diajarkan guru. Kreativitas,
aktivitas dan sikap apresiatif siswa terhadap mata pelajaran kurang diperhatikan.
Karena proses pembelajarannya hanya dilaksanakan diruang kelas dengan metode
mengajar yang kurang menumbuhkembang ranah afektif siswa. Akibatnya
pengetahuan siswa tentang keterkaitan materi bina diri dengan kehidupan nyata
yang ada dilingkungan hidupnya kurang mendapat perhatian pendekatan
akademis. Hasil pembelajaran bina diri hanya terbatas untuk mendapatkan nilai
akademis mata pelajaran bina diri. Lebih jauhnya paling sekedar anak hanya bisa
memakai kaos kaki tetapi tidak dengan baik dan benar.
Dalam pembelajaran bina diri peneliti mencoba melaksanakan
pembelajaran bina diri dengan menggunakan pendekatan kontekstual pada anak
tunagrahita sedang di SLB Bina Bhakti Mandiri. Dari peneltian diuji coba model
pembelajaran tersebut, peneliti menemukan data-data mengenai proses
pembelajaran, data hasil pembelajaran, sebagai dampak positif dari model
pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kontekstual.
Model pembelajaran dengan pendekatan kontekstual ternyata dapat
digunakan pada pembelajaran bina diri bagi anak tunagrahita sedang. Model
pembelajaran kontekstual sejalan dengan kurikulum SLB C1 (Tunagrahita
Sedang) yang bersifat tematik ditinjau dari sisi karakteristik anak tunagrahita
mengalami kesulitan dalam pembelajaran yang bersifat abstrak maka, ada
kesesuaian dengan model pembelajaran kontekstual yang memilki karakteristik
yang tematik dan kongkrit. Pendekatan kontekstual sangat dianjurkan oleh
34
Departemen Pendidikan Nasional untuk digunakan guru dalam melaksanakan
tugasnya sesuai dengan tuntutan kurikulum yang berlaku.
Tahapan-tahapan pembelajaran kontekstual pada pembelajaran bina diri
ternyata mampu menumbuhkembangkan kreatifitas belajar anak tunagrahita
sedang. Hal ini dapat dilihat dari data hasil pengamatan (observasi) selama proses
pembelajaran berlangsung seperti dalam merespon objek yang diamati, menjawab
dan bertanya, melaksanakan tugas dari guru, kerjasama dalam kelompok, dan
merespon kegiatan perenungan (refleksi). Suasana pembelajaran menunjukan
pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan serta bermakna.
Pembelajaran tidak monoton tetapi berfariasi sebab pemebelajaran tidak hanya
berlangsung di dalam kelas tetapi juga dapat di luar kelas, bahkan di alam terbuka
di luar lingkungan sekolah.
Hasil pembelajaran bina diri pada anak tunagrahita sedang sebagai dampak
positif dari model pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kontekstual,
menunjukan hasil yang cukup signifikan. Dari pertemuan pertama sampai dengan
pertemuan terakhir, baik secara kelompok maupun perorangan menunjukan
peningkatan.
Dengan berdasarkan hasil penelitian di SLB Bina Bhakti Mandiri, peneliti
akhirnya sampai pada satu kesimpulan bahwa pendekatan kontekstual dalam
pembelajaran bina diri pada anak tunagrahita sedang dapat meningkatkan
aktifitas dan kreatifitas mereka. Dengan meningkatnya aktifitas dan kretifitas
belajar bina diri, maka motivasi belajar pun bisa meningkat dan sekaligus akan
meningkat pula hasil belajarnya. Tujuan pembelajaran yang telah ditentukan
dalam program pembelajaran bina diri dapat tercapai. Peningkatan aktifitas dan
kreativitas pembelajaran siswa sebagai hasil model pembelajaran bina diri dengan
menggunakan pendekatan kontekstual, dapat menjadi motivator untuk mengikuti
pembelajaran selanjutnya.
35
B. Saran-saran
Pembelajaran bina diri dengan menggunakan pendekatan kontekstual
dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi guru-guru di SLB Bina Bhakti
Mandiri sebagai alternatif pendekatan pembelajaran, untuk diterapkan dalam
pembelajaran bina diri dan pembelajaran mata pelajaran lainnya. Pendekatan
kontekstual dalam pembelajaran bina diri sudah selayaknya dipertimbangka oleh
guru-guru untuk digunakan, apalagi di SLB C yang kemampuan berfikir terhadap
hal-hal yang abstrak, mereka lemah sekali. Pendekatan kontekstual memberikan
jalan keluar bagi anak tunagrahita dengan mengaitkan materi atau bahan ajar pada
hal-hal yang kongkrit (nyata).
Harapan peneliti sekaligus mengajukan saran kepada kepala sekolah
hendaknya dengan sikap yang bijak ada upaya dengan penuh pengabdian
memberikan motivasi kepada guru-guru untuk menerapkan pendekatan kontektual
dalam pembelajaran bina diri, dengan ditunjang sarana pendukungnya.
Pendekatan kontekstual perlu didukung berbagai faktor, seperti faktor
profesionalisme guru, kebijakan kepala sekolah, motivasi belajar siswa yang
tinggi dan faktor-faktor lain yang terkait dengan keberhasilan pembelajaran bina
diri.
Bagi pihak-pihak yang tertarik untuk melakukan penelitian yang lebih
mendalam tentang obyek penelitian yang sama penelitian ini, diharapkan hasil
penelitian ini dapat dijadikan salah satu masukan dalam penelitian selanjutnya.
36
DAFTAR PUSTAKA
Mulyasa, E. (2008). Manajemen Berbasis Sekolah, Konsep, Strategi dan
Implementasi. Bandung : Remaja Rosda Karya
Kamalia, L. (2019). Model Pembelajaran Seni Tari Bagi Anak Tunagrahita
Ringan, tersedia : http://repository.upi.edu/id/1353 (diakses 22 Mei 2014)
Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama. (2002). Pendekatan Kontekstual (CTL).
Jakarta: Depdiknas
Pratiwi Ika, U. (2010). Pembelajaran Bina Diri Anak Tunagrahita (PLB B 2010 –
PLB FIP UNJ), tersedia:
http://unimyspecialworld.blogspot.com/2013/02/bina-diri-
tunagrahita.html (diakses 22 Mei 2014)