penulis: muhammad reza zaini sumber: jurnal sosiologi...

26
Edisi Cetak Lepas Versi Digital ISSN: 0852-8489 Perjalanan Menjadi Cina Benteng: Studi Identitas Etnis di Desa Situgadung Penulis: Muhammad Reza Zaini Sumber: Jurnal Sosiologi MASYARAKAT, Vol. 19, No. 1, Januari 2014: 93-117 Dipublikasikan oleh: Pusat Kajian Sosiologi, LabSosio FISIP-UI Jurnal Sosiologi MASYARAKAT diterbitkan oleh LabSosio, Pusat Kajian Sosiologi Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia. Jurnal ini menjadi media informasi dan komunikasi dalam rangka pengembangan sosiologi di Indonesia. Redaksi MASYARAKAT mengundang para sosiolog, peminat sosiologi dan para mahasiswa sosiologi untuk berdiskusi dan menulis secara bebas dan kreatif demi pengembangan sosiologi di Indonesia. Email: [email protected] ; [email protected] Website: www.journal.ui.ac.id/jsm SK Dirjen Dikti Akreditasi Jurnal No. 80/DIKTI/Kep/2012 Untuk mengutip artikel ini: Zaini, Muhammad Reza. 2014. “Perjalanan Menjadi Cina Benteng: Studi Identitas Etnis di Desa Situgadung.” Jurnal Sosiologi MASYARAKAT, Vol. 19, No. 1, Januari 2014: 93-117.

Upload: vananh

Post on 03-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Edisi Cetak Lepas

Versi Digital ISSN: 0852-8489

Perjalanan Menjadi Cina Benteng: Studi Identitas Etnis di Desa Situgadung

Penulis: Muhammad Reza Zaini

Sumber: Jurnal Sosiologi MASYARAKAT, Vol. 19, No. 1, Januari 2014: 93-117

Dipublikasikan oleh: Pusat Kajian Sosiologi, LabSosio FISIP-UI

Jurnal Sosiologi MASYARAKAT diterbitkan oleh LabSosio, Pusat Kajian Sosiologi Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia. Jurnal ini menjadi media informasi dan komunikasi dalam rangka pengembangan sosiologi di Indonesia. Redaksi MASYARAKAT mengundang para sosiolog, peminat sosiologi dan para mahasiswa sosiologi untuk berdiskusi dan menulis secara bebas dan kreatif demi pengembangan sosiologi di Indonesia. Email: [email protected]; [email protected] Website: www.journal.ui.ac.id/jsm

SK Dirjen Dikti Akreditasi Jurnal No. 80/DIKTI/Kep/2012

Untuk mengutip artikel ini: Zaini, Muhammad Reza. 2014. “Perjalanan Menjadi Cina Benteng: Studi Identitas Etnis di Desa Situgadung.” Jurnal Sosiologi MASYARAKAT, Vol. 19, No. 1, Januari 2014: 93-117.

Perjalanan Menjadi Cina Benteng: Studi Identitas Etnis di Desa Situgadung

M u h a m m a d R e z a Z a i n iVeris Consulting

Email: [email protected]

Abstrak

Artikel ini memiliki argumen bahwa “ke-Tionghoa-an” merupakan sesuatu yang dapat dicapai oleh sekelompok individu yang pada dasarnya memiliki identitas yang dekat dengan etnis pribumi. Selama ini, identitas etnis didefinisikan sebagai entitas tunggal yang bersifat objektif. Namun, penelitian ini memberikan definisi baru mengenai identitas etnis. Identitas adalah sebuah proses mengidentifikasi kolektivitas yang menjadi acuannya, sedangkan etnisitas merupakan salah satu dari banyak kolektivitas. Identitas adalah suatu proses subyektif dimana individu berperan penting untuk menentukan kolektivitas mana yang merupakan alter ego-nya. Sedangkan etnisitas adalah proses obyektif, dimana kelompoklah yang menetapkan keanggotaan seorang individu. Hasil penelitian ini menunjukkan umumnya Cina Benteng dianggap sebagai seluruh Tionghoa “peranakan” yang menetap di daerah pinggiran Tangerang. Namun, beberapa anggotanya di Desa Situgadung pada awalnya menolak hal itu, dan mengaku sebagai orang “keturunan”, suatu istilah yang mendekatkan komunitas ini pada kelompok etnis pribumi. Melalui proses yang panjang, sebagai akibat dari perubahan sejarah, infrastruktur, demografis, dan ekonomi, mereka akhirnya mengaku dan bangga sebagai Cina Benteng, satu istilah yang mendekatkan mereka dengan etnis Tionghoa. Penelitian kualitatif ini dilakukan dengan mewawancarai tujuh informan dengan menggunakan pendekatan grounded, dimana peneliti berusaha membangun konsep dari data yang dihimpun di lapangan.

Abstract

This article argue that “Chinese-ness” is an achievable entity to a social group with indigenous cultural identity. Previous studies tend to define ethnic identity as a single and objective entity. This study offers a new understanding on ethnic identity. Identity is defined as a process to identify a certain collectivity in which an individual feels he/she belonged to, while ethnicity is one of the manifestations of collectivities. Thus, identity is a subjective process, where each individual plays a significant role in determining his/her collectivity as his/her alter-ego. While ethnicity is an objective process, in which the society determine an individual’s collectivity. This qualitative research is conducted by interviewing seven informants with grounded approach, in which the researcher tries to build concepts from the collected data. This study pinted out that Cina Benteng is the whole community of Peranakan Chinese living in the countryside of Tangerang. However, some of its communities rejected that notion, and identified themselves as “orang keturunan”, a term which bought them closer to the indigenous identity. Through a long process, as a result of historic, infrastructure,

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:93-118

94 | M U H A M M A D R E Z A Z A I N I

demographic, and economic change, they eventually identified themselves as Cina Benteng, a term which bought them closer to the Chinese identity.

Keywords: chinese-indonesians, cina benteng, identity, ethnicity

PE N DA H U LUA N

Etnis Tionghoa1 merupakan salah satu kelompok etnis yang paling beragam di Indonesia. Dengan jumlah 2.832.510 jiwa2, angka tersebut mengindikasikan keberagaman identitas kebudayaan yang kompleks, seperti yang dikemukakan oleh Suryadinata (2007) dan turut dilipatgandakan oleh kebudayaan lokal (Coppel 1994). Diantara kenanekaragamannya inilah, terdapat klasifikasi yang paling umum untuk membagi etnis Tionghoa, berdasarkan tingkat asimilasi dengan kebudayaan pribumi, antara lain “peranakan” dan “totok” (Suryadinata 1997). Peranakan mengacu pada keturunan Tionghoa yang telah banyak mengadopsi kebudayaan lokal dan sudah tidak berorientasi secara kuat dengan kebudayaan Tiongkok. Sementara Totok mengacu pada keturunan Tionghoa yang masih memegang teguh kebanyakan aspek kebudayaan Tionghoa. Diantara kategori Tionghoa Peranakan sendiri terdapat sebuah komunitas yang dikenal sebagai Cina Benteng. Secara kultural, Cina Benteng merupakan bagian kecil dari Tionghoa Peranakan, atau dapat dapat dikatakan sebagai sub kategori dari Tionghoa Peranakan itu sendiri (Lim dan Mead 2011). Secara definitif, Cina Benteng dikenal sebagai komunitas Tionghoa Peranakan yang secara historis menetap di daerah Tangerang dan sekitarnya (Witanto 2005). Seperti halnya dengan daerah pinggiran Tangerang, Desa Situgadung yang terletak di Kecamatan Pagedangan, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten, memiliki sebuah komunitas Cina Benteng yang telah menetap secara turun-temurun di desa tersebut. Secara historis, anggota komunitas ini mengidentifikasi diri mereka sebagai Cina Benteng. Namun, dalam

1 Sesuai dengan Keppres No. 12/2014 yang diterbitkan pada oleh Pemerintah RI, maka penggunaan Cina/China tidak dipakai lagi dalam kosakata Bahasa Indonesia yang baku. Oleh karena itu, mengikuti kebijakan Keppres No. 12/2014, peneliti menggunakan istilah Tionghoa untuk merujuk pada nama kelompok etnis dan kebudayaannya, dan Tiongkok untuk merujuk pada apa yang dahulu disebut sebagai daratan Cina.2 Berdasarkan publikasi data Badan Pusat Statistik Indonesia berjudul “Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-Hari Penduduk Indonesia” yang didasarkan Sensus Penduduk 2010.

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:93-118

M E N J A D I C I N A B E N T E N G | 95

sejarahnya mereka selanjutnya mengidentifikasi diri mereka sebagai sebagai “orang keturunan”, yang justru mendekatkan mereka dengan identitas kebudayaan pribumi.

Komunitas ini bahkan tidak mengakui diri mereka sebagai Cina Benteng, Tionghoa, atau istilah apapun yang berhubungan dengan “ke-Tionghoa-an”. Melalui proses panjang yang disebabkan oleh berbagai perubahan politik dan sosial, mereka memilih untuk mengidentifikasi diri, dan bahkan bangga sebagai Cina Benteng, suatu istilah yang mendekatkan mereka pada kebudayaan Tionghoa Peranakan (penilaian ini adalah berdasarkan subyektivitas informan). Maka, bagaimanakah fenomena ini dijelaskan dengan konsep identitas etnis? Sebab anggota komunitas ini seakan-akan diberhentikan dalam proses mereka menjadi pribumi, serta “di-Tionghoa-kan” dan “meng-Tionghoa-kan” diri mereka dengan adanya perubahan sosial yang terjadi di sekitarnya. Sehubungan dengan itu pula, bagaimanakah fenomena ini memberikan dampak pada konsep identitas etnis?

Banyak studi yang telah mendefinisikan identitas etnis. Salah satunya, Chandra (2006) yang berjudul What is Ethnic Identity and Does It Matter? memberikan gambaran akan konsep identitas etnis sebagai konsep tunggal. Studi ini merupakan salah satu studi yang menggambarkan bahwa selama ini, terdapat kecenderungan konvergensi antara konsep “identitas” dan “etnisitas”. Horowitz (1985:35 dalam Chandra 2006) mengatakan bahwa konsep tersebut merupakan sebuah konsep payung yang dapat membedakan setiap kelompok dari warna kulit, bahasa, ataupun agama. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa untuk berfungsi sebagai pembeda antar kelompok sosial, konsep ini mencakup “suku”, “ras”, “kebangsaan”, dan “kasta”. Dalam hal ini, Chandra berargumen bahwa mayoritas studi sejenis mendefinisikan identitas etnis dalam kerangka definsi Horowitz. Pada akhirnya, Chandra memberikan definisi identitas etnis yang menekankan bahwa syarat identitas etnis adalah kesamaan dan garis keturunan yang dimiliki secara obyektif. Dengan kata lain, Chandra menekankan bahwa identitas etnis merupakan konsep yang obyektif, serta sebuah konsep tunggal yang bersifat askriptif (turun-temurun), dan didasarkan atas kesamaan yang dimiliki secara obyektif.

Untuk mengkaji perubahan identifikasi kelompok etnis, peneliti menggunakan studi yang dilakukan oleh Ting dan Ling (2011). Dalam penelitiannya, Ting dan Ling mengutip Joshua A. Fishman (1977), mengenai perspektif fenomenologi. Dalam hal identitas etnis,

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:93-118

96 | M U H A M M A D R E Z A Z A I N I

perspektif ini mengungkapkan bahwa aspek apapun dapat menjadi simbol etnis, tidak hanya terbatas pada bahasa dan adat-istiadat. Studi yang dilakukan oleh Ting dan Ling memberikan  landasan analisis bagi fenomena “orang keturunan” yang awalnya lebih dekat dengan pribumi dapat mengidentifikasi menjadi Tionghoa. Sehubungan penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan grounded, maka penelitian ini akan memberikan penjelasan alternatif akan identitas etnis yang diberikan oleh Chandra. Dalam studi literatur yang digunakan, dapat disimpulkan bahwa identitas etnis didefiniskan sebagai sebuah konsep tunggal dan obyektif, dimana pengakuan atas identitas etnis tidak sejalan dengan penggunaan atribut kebudayaan etnis. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa “identitas” dan “etnis” adalah dua konsep yang berbeda, dimana hal tersebut memiliki andil dalam perbedaan pengakuan identitas etnis serta penggunaan atribut kebudayaan etnis.

Penelitian ini menggambarkan sebuah fakta bahwa menjadi seorang etnis Tionghoa, khususnya Cina Benteng, merupakan sebuah proses yang panjang. Cina Benteng bukanlah sebuah istilah yang bersifat given, namun merupakan sebuah istilah yang dapat diaktifkan dan dinon-aktifkan individu. Hal ini sesuai dengan konsep multiplicity identity, dimana dalam tatanan individual, seseorang dapat memiliki apa yang kurang lebih dikatakan sebagai pluralisme identitas (Spektorowski 2003). Artinya, individu memiliki banyak identitas diri yang sama-sama diakui oleh dirinya. Namun, individu dapat memilih untuk menggunakan identitas tertentu dan me-nonaktifkan yang lain. Sebab, istilah identitas yang mereka gunakan bersifat kontekstual, sebagai alat adaptasi atas fenomena sosial yang terjadi di sekitar mereka. Penelitian ini juga menemukan proses yang dilalui oleh komunitas Cina Benteng di Desa Situgadung untuk dapat mengidentifikasi diri mereka mulai dari “orang keturunan” hingga Cina Benteng. Dari pemaparan yang telah diberikan, peneliti dapat memberikan pernyataan bahwa fenomena perubahan identifikasi diri dari “orang keturunan” menjadi Cina Benteng tidak dapat dijelaskan dengan konsep idenitas etnis yang ada selama ini.

M E TODE PE N E L I T I A N

Pengumpulan data secara umum dilakukan dengan wawancara mendalam serta observasi partisipatoris di Desa Sampora dan

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:93-118

M E N J A D I C I N A B E N T E N G | 97

Situgadung, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Dalam memlilih informan, peneliti memulainya dengan membangun relasi dengan tokoh lokal, yang akan memberikan akses ke informan lainnya dengan pengetahuan yang lebih mendalam tentang isu yang diteliti. Hal ini adalah penerapan dari metode snowball sampling (Neuman 2006) sebagai implikasi dari penelitian yang bersifat grounded. Jumlah informan yang diwawancarai adalah tujuh orang. Ketujuh informan tersebut dikategorikan menjadi informan utama yang berjumlah empat orang dan informan sekunder yang berjumlah tiga orang. Informan utama adalah informan yang menjelaskan secara langsung fenomena yang diteliti, sementara informan sekunder adalah informan yang memberikan data pendukung. Selain data primer, data sekunder juga dikumpulkan secara intensif untuk memvalidasi data dari wawancara mendalam. Peneliti mendapatkan data sekunder berupa catatan dan dokumentasi dari Museum Benteng Heritage, data monografi kantor Desa Sampora, data monografi kantor Kecamatan Cisauk, serta informasi genealogis vihara.

Berdasarkan jenis data, baik data primer dan sekunder dapat dibagi menjadi dua kategori, yakni data kontemporer dan data historis. Data kontemporer adalah data yang menjelaskan fenomena atau peristiwa di masa kini. Sementara data historis mengacu pada penjelasan mendalam mengenai peristiwa atau fenomena masa lalu yang menjadi latar belakang atas peristiwa di masa kini. Kunjungan ke informan dan lokasi penelitian dilakukan antara Januari hingga Februari 2013 untuk membangun relasi. Namun, pengumpulan data baru dapat dilaksanakan antara Maret hingga Juli 2013. Dalam berbagai proses pengumpulan dan analisis data, hasil analisis digunakan kembali untuk divalidasi baik kepada informan yang bersangkutan, maupun informan lainnya (Somekh dan Lewin 2005). Berhubung penelitian ini adalah penelitian yang bersifat grounded, maka penulisan, pengumpulan data, revisi, dan validasi dilakukan secara bersama-sama antara kurun waktu tersebut. Data yang telah dihimpun menjadi laporan penelitian kemudian dianalisis secara teoretis antara Agustus hingga September 2013. Kesimpulan teoretis yang telah dicapai akan digunakan sebagai bahan revisi akhir penelitian, sehingga penelitian ini dapat diselesaikan pada Oktober 2013.

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:93-118

98 | M U H A M M A D R E Z A Z A I N I

I DE N T I TA S E T N IS SEBAG A I KOL EK T I V I TA S SOSI A L

Penelitian ini secara umum membahas mengenai konsep identitas etnis sebagai salah satu bentuk kolektivitas sosial. Definisi identitas etnis secara khusus dibahas dalam Trimble dan Dickson (2010). Konsep identitas etnis merupakan konsep yang bersifat sentral dalam penelitian ini. Berdasarkan Trimble dan Dickson, pada dasarnya identitas terdiri atas dua yang memiliki akar bahasa, baik dari bahasa Latin dan Yunani. Berikut adalah penjabaran etimologisnya:

a. Identitas: Berasal dari kata identitas (Bahasa Latin), yang memiliki akar kata idem. Dalam Bahasa Latin, idem dapat diartikan sebagai “sama”

b. Etnis: Berasal dari kata ethnicus/ethnikas (Bahasa Yunani), yang berarti bangsa. Kata ethnicus/ethnikas memiliki akar kata ethos, yang memiliki arti “adat”.

Oleh karena itu, etnis didefinisikan sebagai sekelompok bangsa yang hidup bersama karena adanya kesamaan adat yang dimiliki secara bersama-sama. Secara spesifik, identitas mengacu pada “bentuk kesamaan seorang individu atau sesuatu dalam segala macam situasi; yakni suatu kondisi dimana seseorang atau sesuatu bukan merupakan kelompok lain”. Dengan kata lain, identitas etnis adalah dua kata yang dijadikan sebagai satu konsep. Bila kedua istilah tersebut digabungkan, maka identitas etnis dapat diartikan sebagai suatu bentuk ciri-ciri bersama sebagai sebuah pembeda bagi kelompok lain.

Bila berbicara mengenai identitas etnis sebagai pembeda dan pemberi petunjuk akan keanggotaan, maka identitas etnis dalam penelitian ini adalah sebuah kolektivitas sosial. Jurnal yang ditulis oleh Veronika Koller (2012), berjudul How to Analyze Collective Identity in Discourse–Textual and Contextual Parameters secara khusus memberikan gambaran akan kolektivitas sebagai bagian dalam penunjuk jati diri individu dalam masyarakat. Kolektivitas sosial sebagai bagian kehidupan bermasyarakat, adalah sebuah usaha untuk mengidentifikasi diri sebagai bagian dari sebuah kelompok sosial dalam masyarakat yang didasarkan atas kesamaan, serta memiliki norma yang sama. Oleh karena itu, Koller mengatakan dalam artikelnya bahwa masyarakat dibentuk oleh kolektivitas sosial dalam berbagai tatanan, mulai dari yang mikro hingga makro. Selain itu, kolektivitas sosial akan senantiasa dikonstruksikan, dinegosiasikan, dan dirubah lewat interaksi baik antar kelompok maupun sesama anggota kelompok. Hal ini merupakan

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:93-118

M E N J A D I C I N A B E N T E N G | 99

implikasi kolektivitas sosial sebagai sebuah entitas dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam konteks tertentu, Koller juga menyatakan bahwa kolektivitas sosial merupakan entitas yang dinamis dan fleksibel serta dapat berubah-ubah. Dalam arti kolektivitas sosial bukan hanya sebatas konsepsi individual saja, namun sebuah hasil konstruksi sosial hasil interaksi dengan individu lainnya. Dalam kehidupan bermasyarakat, kolektivitas sosial akan memiliki berbagai basis yang berbeda-beda, seperti gender, politik, agama, dan lain-lain. Berdasarkan definisi ini, maka identitas etnis juga merupakan salah satu kolektivitas dalam masyarakat. Maka, dapat dikatakan bahwa identitas etnis merupakan salah satu manifestasi dari kolektivitas sosial.

JEJA K PE R A NA K A N T IONGHOA DI K A M PU NG SU N DA

Lokasi penelitian, baik wilayah Tangerang secara umum maupun Desa Situgadung secara khusus merupakan peninggalan dari kebudayaan Cina Benteng. Meski berada di wilayah bahasa dan kebudayaan Sunda, nama Tangerang diyakini berasal dari kata Tang-Lan dari dialek Hokkien. Tang adalah sebutan bagi suku-suku yang berada di bagian selatan Tiongkok, untuk membedakan dengan suku Han yang berasal dari sebelah utara negeri tersebut. Sebab, pendatang Tionghoa di Tangerang—seperti halnya di Indonesia secara umum—kebanyakan datang dari daerah Selatan Tiongkok, terutama Provinsi Fujian (Pan 1998). Sementara itu, jika Lan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia adalah “orang”, maka nama Tangerang kurang lebih merujuk kepada sekelompok pendatang Tionghoa yang berasal dari wilayah Selatan negeri tersebut. Bukti sejarah menunjukkan bahwa kedatangan pemukim Tionghoa di Tangerang dan Banten dapat dirunut hingga abad ke-16, bahkan jauh sebelumnya. Sebagai contoh, Cornelis de Houtman, penjelajah Belanda pertama yang mendarat di Jawa pada tahun 1595, sudah menemukan permukiman tua Tionghoa di sekitar Banten (Witanto 2005). Namun, catatan sejarah belum menunjukkan adanya kedatangan massal pendatang Tionghoa yang bekerja sebagai buruh atau petani pada abad ke-17. Kedatangan buruh Tionghoa tersebut didatangkan oleh pemerintah kolonial Belanda, dimana VOC pada saat itu memiliki berbagai perkebunan di Tangerang. Namun, pemerintah kolonial melakukan sebuah kebijakan yang berbeda pengenai permukiman Tionghoa jika dibandingkan dengan penguasa Banten sebelumnya. Pemerintah

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:93-118

10 0 | M U H A M M A D R E Z A Z A I N I

kolonial, sebagai bagian dari kebijakan pemetaan permukiman berdasarkan etnis, membuat permukiman khusus migran Tionghoa ini di sekitar Tangerang, khususnya di sekitar Tegal Pasir, tepi Sungai Cisadane. Hingga akhirnya menyebar ke berbagai wilayah di sekitar Tangerang.

Hampir tidak adanya perempuan di sekitar membuat pendatang Tionghoa ini menikah dengan perempuan pribumi. Disinilah asal-usul Cina Benteng di Tangerang. Meskipun belum pernah ada sensus secara khusus, jumlah Cina Benteng secara historis turut bertambah akibat mengungsinya penduduk Tionghoa Batavia dari Batavia Massace (pembantaian penduduk Tionghoa oleh VOC) tahun 1740 (Setiono 2003). Cina Benteng pun menyebar ke daerah-daerah sekitar Tangerang, salah satunya adalah Desa Situgadung. Desa Situgadung berasal dari Bahasa Sunda, yakni Situ dan Gadung. Situ adalah sebutan bagi kubangan air, sementara Gadung merujuk pada sejenis tumbuhan umbi-umbian lokal. Namun, Situgadung baru dipakai sebagai nama desa yang bersangkutan setelah kemerdekaan Indonesia di tahun 1945. Sebelumnya, desa ini lebih dikenal dengan sebutan Kampung Amoy. Nama Amoy memiliki akar Bahasa Tionghoa, atau lebih spesifiknya, dialek Hokkien. Dalam dialek Hokkien, Amoy adalah sebutan bagi gadis muda yang masih perawan. Dengan kata lain, desa ini dahulu memiliki nama yang memiliki asal-muasal kebudayaan Tionghoa. Menurut salah seorang tokoh desa, nama “Kampung Amoy” pertama kali disebutkan setidaknya ratusan tahun sebelum kemerdekaan Indonesia, oleh seorang juru ukur tanah keturunan Tionghoa. Ia menambahkan, konon ketika sedang melakukan pengukuran tanah, pengukur tanah Tionghoa itu melihat seorang gadis muda yang menarik perhatiannya. Gadis yang juga beretnis Tionghoa tersebut tinggal pada desa yang sekarang dikenal sebagai Situgadung. Oleh karena itulah, juru ukur Tionghoa dalam kisah ini menamai wilayah itu sebagai Kampung Amoy. Terlepas dari akurasinya, sejarah ini setidaknya mengindikasikan warga Tionghoa sudah lama bermukim di Desa Situgadung pada periode waktu yang lama. Bukti lain akan kedatangan penduduk Tionghoa yang sudah sangat lama di Tangerang dapat dilihat dari silsilah keluarga penduduk pribumi di pedesaan. Dengan kata lain, penduduk pribumi di sekitar desa yang diteliti memiliki beberapa nenek moyang Tionghoa, meski pada dasarnya mereka adalah pribumi Sunda.

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:93-118

M E N J A D I C I N A B E N T E N G | 101

Desa Situgadung yang secara administratif termasuk dalam Kecamatan Cisauk, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten inilah yang akan dijadikan fokus penelitian. Meski penelitian ini juga turut menyinggung Desa Sampora, namun inti dari kajian ini ada pada Desa Situgadung, dengan latar mengenai Desa Sampora juga akan dipaparkan secara terbatas. Hal ini didasari atas dua alasan, pertama, identitas Cina Benteng versi Desa Situgadung memiliki hubungan dengan Desa Sampora. Kedua, sebelum menjadi Cina Benteng, penduduk keturunan Tionghoa pada Desa Situgadung dianggap memiliki identitas yang sama dengan penduduk keturunan Tionghoa pada Desa Sampora.

SEJA R A H GE DOR A N

Peristiwa Gedoran (1948) memiliki peran yang signifikan dalam sejarah penduduk Tionghoa di Desa Situgadung. Sebab Peristiwa Gedoran secara khusus memiliki signifikansi yang paling besar dalam membentuk proses identifikasi. Berbagai literatur mengenai sejarah Tangerang memaparkan Gedoran sebagai peristiwa pembantaian penduduk keturunan Cina di Tangerang. Peristiwa tersebut menandakan titik awal proses perubahan identitas dari “orang keturunan” menjadi Cina Benteng. Proses ini dimulai di Era Pendudukan Jepang di tahun 1942. Saat itu, Jepang membangun sebuah barak (camp) militer di Desa Lengkong, tak jauh dari Desa Sampora dan Situgadung. Perlakuan pasukan pendudukan Jepang terhadap penduduk lokal memicu kebencian penduduk terhadap mereka. Pasukan yang dikerahkan oleh Jepang dikenal oleh penduduk lokal sebagai Pasukan Santu, atau pasukan relawan Tionghoa yang direkrut oleh Jepang. Dalam literatur, Pasukan Santu secara formal memliki nama Takasago Giyutai, yang beranggotakan pribumi Pulau Taiwan3. Meski secara etnis bukan merupakan etnis Tionghoa, namun pasukan tersebut kerap disebut sebagai “Pasukan Cina” oleh penduduk lokal karena asal-usul mereka dari Republik Tiongkok. Perlakuan pasukan pendudukan Jepang membuat masyarakat lokal melakukan pemberontakan saat berakhirnya masa pendudukan Jepang (Saleh 1995).

Setelah perang, sebagian masyarakat lokal yang juga memiliki kebencian dengan Relawan Takasago mulai melihat penduduk

3 Taiwan dalam Era Perang Dunia II masih merupakan bagian dari Republik Tiongkok.

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:93-118

102 | M U H A M M A D R E Z A Z A I N I

Tionghoa lokal dengan cara pendang negatif. Ditambah dengan isu lain yang berupa penurunan bendera Indonesia di Tangerang oleh penduduk Tionghoa, terjadilah pembantaian terhadap penduduk Cina di Tangerang, termasuk komunitas “orang keturunan”. Seorang tokoh Perkumpulan Keagamaan dan Sosial Vihara Boen Tek Bio menjelaskan bahwa terdapat sebuah isu yang mengindikasikan penduduk Tionghoa setempat tidak memiliki kesetiaan terhadap Indonesia. Isu ini pada akhirnya menyulut aksi kebencian Tentara Rakyat di daerah Tangerang, yang membalas “ketidaksetiaan” penduduk Tionghoa lokal dengan aksi penyerangan massal. Aksi penyerangan ini dikenal sebagai Peristiwa Gedoran, yang berasal dari kata “gedor”. Sebab, Tentara Keamanan Rakyat kerap menggedor pintu dari rumah penduduk Tionghoa sebelum melakukan penyerangan. Kerusuhan ini memberikan dampak pada penduduk keturunan Tionghoa di Desa Sampora dan Situgadung, dimana pada awalnya, penduduk keturunan Tionghoa di kedua desa tetangga ini merupakan satu komunitas yang sama.

Saat pembantaian, penduduk “orang keturunan” pada Desa Sampora dan Situgadung berlindung kepada masing-masing tetua marga mereka, karena adanya apa yang disebut oleh Informan A sebagai kekerabatan seh (marga). Mereka cenderung untuk berkumpul bersama keluarga dan kerabat mereka di wilayah tetua marga masing-masing, karena adanya rasa saling terikat sesama marga. Tabel berikut menunjukkan daftar nama marga dan domisili tetua marga mereka.

Tabel 1. Daftar Nama Marga “Orang Keturunan” di Kedua Desa

PinyinRomanisasi Indonesia

Pelafalan Mandarin

Arti Asal Desa

李 Lie Li Secara harafiah berarti “pohon prem.”

Situgadung

王 Ong Wáng Secara harafiah berarti “raja.” Sampora 沈 Sim Shén Nama tersebut berasal

dari nama daerah kuno di Tiongkok.

Sampora

陳 Tan Chén Menunjukkan keturunan dari Kaisar Shun (sekitar abad ke-23 dan 22 SM).

Situgadung

鄭 The Zhèng Nama tersebut berasal dari nama sebuah daerah kuno di Provinsi Henan.

Situgadung

葉 Yap Yè Secara harafiah berarti “daun.” Sampora Sumber: wawancara mendalam dengan informan (data diolah kembali)

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:93-118

M E N J A D I C I N A B E N T E N G | 103

Dengan kata lain, oleh karena tetua marga Sim dan Yap berada di Desa Sampora, maka anggota kerabat yang berada di Desa Situgadung berpindah ke Desa Sampora. Anggota kerabat marga Tan dan Lie yang berada di Desa Sampora berpindah ke Desa Situgadung tempat kerabat mereka dan tetua marga berkumpul. Marga Tan dan Lie di Sampora mengikuti kerabat mereka yang akan ditawan oleh Belanda di Desa Situgadung. Begitupun sebaliknya, marga Sim dan Ong di Situgadung saat Peristiwa Gedoran, mereka berlindung di sekitar tetua marga mereka. Namun, secara bersamaan Desa Sampora memiliki seorang pemimpin pribumi yang mengayomi dan melindungi penduduk Tionghoa dari pembantaian, yakni Abah Nasihun. Akibat perlindungan Abah Nasihun, tentara NICA tidak sempat merelokasi “orang keturunan” pada Desa Sampora ke kamp tahanan, seperti yang telah dilakukan di Desa Situgadung. Sebab semua “orang keturunan” di Desa Sampora telah diselamatkan oleh Abah Nasihun. Sementara itu, upaya penyelamatan oleh tokoh pribumi pada Desa Situgadung tidak ada, sehingga pasukan NICA dari Belanda mengungsikan mereka ke kamp tahanan di Jakarta. Bukan hanya melindungi mereka, Abah Nasihun juga bahkan mendidik “orang keturunan” yang telah diungsikannya untuk dapat berbaur dengan pribumi. Dengan begitu, “orang keturunan” pada Desa Sampora menjadi dekat dengan pribumi. Sehingga mereka pun dapat berinteraksi dengan intensif dalam segala aspek. Hal ini membuat kekerabatan sesama marga yang tinggal pada desa yang sama secara tidak langsung semakin dipererat. Mereka akhirnya memiliki sebuah modal sosial yang dikembangkan dengan penduduk pribumi dan Islam. Dengan memasuki agama Islam, “orang keturunan” tersebut melepaskan kebudayaan Tionghoa mereka, termasuk nama marga/seh mereka. Terdapat sebuah pepatah yang beredar di desa tersebut sejak lama yang berbunyi “Masuk agama, buang bangsa”.

Berbeda dengan Desa Sampora, penduduk keturunan Tionghoa pada Desa Situgadung menjadi semakin “terpisahkan” dengan pribumi. Sesudah Belanda memisahkan “orang keturunan” di Desa Situgadung ke kamp tahanan di Jakarta, pemerintah Indonesia berkali-kali mengeluarkan kebijakan yang cenderung mempertajam perpisahan yang sudah ada, seperti penyediaan kapal khusus untuk mengangkut penduduk pada Desa Situgadung dan sekitarnya ke Republik Rakyat Tiongkok, hingga peristiwa G/30S/PKI. Hal ini membuat penduduk keturunan Tionghoa di Desa Situgadung semakin “dipisahkan” dari

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:93-118

104 | M U H A M M A D R E Z A Z A I N I

pribumi. Beberapa penduduk, terutama mereka yang berasal generasi pasca Gedoran, melihat penduduk Tionghoa di Desa Sampora dapat memiliki pengaruh besar akibat kedekatan mereka dengan pribumi Desa Sampora, hingga salah satu penduduk keturunan Tionghoa pernah menjadi Ketua Desa. Penduduk keturunan Tionghoa di Desa Situgadung pun pada akhirnya mencari kelompok masyarakat yang dapat “berperan” selayaknya pribumi bagi penduduk keturunan Tionghoa di Desa Sampora.

DI NA M I K A IS T I L A H I DE N T I TA S T IONGHOA

Akibat perubahan yang terjadi di sekitar mereka, penduduk Tionghoa lokal memiliki istilah-istilah yang digunakan secara bergantian, sesuai dengan konteks sosial yang ada. Berikut adalah penjabaran dari istilah-istilah yang ditemui di desa untuk identifikasi proses perubahan dari “orang keturunan” menjadi Cina Benteng. Dalam praktiknya, istilah tersebut diaktifkan dan dinonaktifkan sedemikian rupa. Sehingga dalam prosesnya, individu akan mengidentifikasi dirinya melalui tahapan istilah yang saling berhubungan. Seperti yang sudah dijelaskan dalam bagian tentang perisitiwa Gedoran, istilah orang Selam hanya ditemukan di Desa Sampora, dan Cina Benteng di Desa Situgadug. Berikut adalah penjabaran dari istilah-istilah yang ditemui di desa untuk identifikasi proses perubahan dari “orang keturunan” menjadi Cina Benteng.

Tabel 2. Berbagai Istilah Identitas di Kedua Desa

Istilah Identitas KeteranganCina Benteng Penduduk keturunan Tionghoa yang telah beragama Kristen

Pantekosta dan bermata pencaharian sebagai pedagang Kebanyakan ditemui di Desa Situgadung.

Cina Udik Sebutan yang diberikan penduduk Tionghoa di perkotaan Jakarta bagi penduduk keturunan Tionghoa dari pedesaan

Orang Keturunan Istilah khas desa yang merujuk bagi penduduk keturunan Tionghoa lokal

Orang Selam Penduduk keturunan Tionghoa yang telah beragama Islam Kebanyakan ditemui di Desa Sampora

Sumber: wawancara mendalam dengan informan (data diolah kembali)

Hall (1996:10) menyatakan bahwa untuk menelaah identitas etnis perantauan, diperlukan konteks kolonialisme yang spesifik agar dapat

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:93-118

M E N J A D I C I N A B E N T E N G | 105

mengetahui pembentukan identitas etnis yang bersangkutan di masa kini. Dalam mendefinisikan diri mereka, etnis Tionghoa di Indonesia selalu dipengaruhi oleh berubah-ubahnya kondisi politik dan sosial di Indonesia (Freedman 2000:89). Penulis telah mengidentifikasi bahwa setidaknya terdapat delapan peristiwa sejarah yang memicu perubahan identifikasi penduduk Tionghoa lokal.

Tabel 3. Daftar Peristiwa yang Melatarbelakangi Perubahan Identifikasi

Fenomena TahunPendudukan Jepang (relawan Takasago) 1942-1945Agresi Militer Belanda II 1948Peristiwa Gedoran 1948Orde Lama (peristiwa repatriasi penduduk keturunan Tionghoa) 1959Orde Baru (G/30S/PKI) 1965Pembangunan Bumi Serpong Damai 1984-sekarangMisionari Gereja Pantekosta 1984-sekarangBermukimnya penduduk Tionghoa dari daerah perkotaan di Bumi Serpong Damai.

1984-sekarang

Sumber: Santosa (2012), Witanto (2005), dan wawancara mendalam dengan informan (data diolah kembali)

Apa yang ditunjukkan oleh Tabel 3 mengindikasikan bahwa proses perubahan ini merupakan fenomena yang relatif kini, yakni dimulai pada Era Pendudukan Jepang (1942-1945). Selanjutnya peristiwa ini diikuti oleh berbagai perubahan lain, sehingga menciptakan proses yang khas dimana berbagai istilah digunakan silih berganti untuk merujuk penduduk keturunan Tionghoa di Desa Situgadung.

DA R I OR A NG K E T U RU NA N M E N JA DI CI NA BE N T E NG

Berdasarkan berbagai macam aspek, komunitas keturunan Tionghoa di Desa Situgadung memiliki kecenderungan untuk menjadi semakin dekat dengan kebudayaan Tionghoa atau yang dalam penelitian ini juga disebut sebagai “semakin dekat dengan ke-Tionghoa-an”. Merujuk pada apa yang dipaparkan Suparlan (2005), penggunaan kolektivitas sosial sebagai sebuah jati diri merupakan hal yang penting dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat. Maka, menjadi “Tionghoa” diperlukan komunitas keturunan Tionghoa di Desa Situgadung dalam beradaptasi dengan berbagai fenomena yang dijelaskan dalam Tabel 3. Berbagai macam istilah, mulai dari

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:93-118

106 | M U H A M M A D R E Z A Z A I N I

“yang paling Tionghoa” hingga “yang paling pribumi” diaktifkan dan dinonaktifkan sedemikian rupa, sehingga individu—seperti yang ditunjukkan oleh salah seorang informan dalam tulisan ini—memiliki jenjang identitas. Bagian ini akan menganalisis proses perubahan tersebut dimulai berdasarkan pengalaman informan, yang kemudian akan dianalisis berdasarkan teori yang relevan.

Temuan ini diperlihatkan oleh salah satu contoh berdasarkan kehidupan Informan A. Informan A adalah seorang pendeta dan pengusaha kecil di Desa Situgadung. Ia adalah seorang keturunan Cina Benteng. Penduduk keturunan Tionghoa di Desa Situgadung, dari “orang keturunan” menjadi Cina Benteng. Sebelum mengetahui alasan bagi “orang keturunan” di Desa Situgadung untuk merubah diri mereka menjadi Cina Benteng, berikut akan dijabarkan alur perubahan istilah “orang keturunan” hingga Cina Benteng. Skema ini didasarkan pada pemaparan Informan A, guna memberikan gambaran akan ciri-ciri dan proses yang dilalui dalam berbagai tahapan.

1. Lahir pada tahun 1963 dan dibesarkan di Desa Situgadung dari keluarga yang mengidentifikasikan dirinya sebagai “orang keturunan”. Keluarganya merupakan keluarga petani yang menganut ajaran Budha Tri Dharma.

2. Memulai pendidikan di SD Negeri setempat hingga SMA, pertama kali mendengar istilah Cina, namun ia tidak merasa bagian darinya.

3. Pada awal 1980-an, beberapa kerabatnya masuk Agama Kristen, dan mengalami perubahan hidup secara ekonomi dan sosial, sehingga informan A merasa tidak cocok lagi dengan “orang keturunan”, ia pun menjadi penganut Agama Kristen Pantekosta.

4. Perumahan Bumi Serpong Damai selesai dibangun, dan pemukim Cina dari daerah perkotaan mulai menetap dan berhubungan dengan penduduk Cina di Desa Situgadung. Informan A merantau ke Jakarta untuk mencari kerja, berkat bantuan kerabat Kristen-nya dan misionari. Di Jakarta, ia mendapatkan istilah Cina Udik.

5. Informan A kembali ke Situgadung tahun 1996, ia sekarang berdagang dengan penduduk Cina di Perumahan Bumi Serpong Damai. Ia mulai mengidentifikasi dirinya sebagai Cina.

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:93-118

M E N J A D I C I N A B E N T E N G | 107

6. Setelah Reformasi, informan A menjadi misionari Pantekosta di Desa Situgadung dan tetap menjalankan    usahanya yang bergantung dengan penduduk Cina di Bumi Serpong Damai. Ia sudah bangga disebut sebagai Cina Benteng.

Sehingga bila dijabarkan, proses yang dilalui oleh informan A dan kerabat di sekitarnya dapat dirangkum oleh grafik berikut.

Gambar 1. Grafik Perubahan Identifikasi dari “orang keturunan” Menjadi Cina Benteng

Skema yang telah diberikan merupakan konvergensi atas bermacam-macam aspek dalam proses perubahan menuju Cina Benteng. Bila dijadikan sebuah agregat dalam bentuk gradasi, maka keseluruhan proses perubahan dapat digambarkan secara lebih sederhana sebagai berikut.

Gambar 2 Gradasi Tingkat “Ke-Tionghoa-an” Identitas

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:93-118

108 | M U H A M M A D R E Z A Z A I N I

Keseluruhan proses yang dijalani “orang keturunan” untuk menjadi Cina Benteng di Desa Situgadung sudah terangkum dalam gradasi batang yang telah diberikan. Namun, berdasarkan gambar tersebut, kita dapat melihat adanya peningkatan intensitas “ke-Tionghoa-an” berdasarkan masing-masing istilah. Dengan kata lain, komunitas keturunan Tionghoa di Desa Situgadung memiliki kecenderungan untuk menjadi semakin dekat dengan kebudayaan Tionghoa, atau yang dalam penelitian ini juga disebut sebagai “semakin dekat dengan ke-Tionghoa-an”. Gradasi tersebut tentu berpedoman pada berbagai ciri-ciri yang sudah dipaparkan dalam penjelasan mengenai berbagai istilah Tionghoa yang ada di desa dan pemaparan kisah Informan A.

I DE N T I FI K A SI KOL EK T I V I TA S SOSI A L

Fenomena ini menunjukkan sebuah perpindahan dari suatu kelompok sosial kepada kelompok lainnya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa fenomena perubahan “orang keturunan” menjadi Cina Benteng merupakan sebuah dinamika identifikasi dari satu kolektivitas sosial kepada kolektivitas sosial lainnya. Koller (2012)secara khusus memberikan gambaran akan kolektivitas sebagai bagian dalam penunjuk jati diri individu dalam masyarakat. Kolektivitas sosial sebagai bagian kehidupan bermasyarakat adalah sebuah usaha untuk mengidentifikasi diri sebagai bagian dari sebuah kelompok sosial dalam masyarakat yang didasarkan atas kesamaan, serta memiliki norma yang sama. Selain diidentifikasi oleh setiap individu, kolektivitas sosial merupakan entitas yang heterogen dalam suatu masyarakat, dan tidak hanya sebatas etnisitas saja. Pada level masyarakat, individu memiliki kebebasan untuk mengidentifikasi kolektivitas mana yang akan dipilihnya berdasarkan kategori-kategori yang ada, baik berdasarkan agama, gender, suku, dan lain-lain.

Perubahan “orang keturunan” menuju Cina Benteng, merupakan sebuah transisi dari kolektivitas dalam skala yang lebih kecil menuju skala yang lebih besar. Pada awalnya, individu mengidentifikasi secara subyektif bahwa dirinya tergolong pada kolektivitas “orang keturunan”, yang hanya mengacu pada komunitas keturunan Tionghoa di sekitar desa mereka. Lalu naik ke tingkatan-tingkatan yang lebih luas cakupannya, seperti Cina Udik, Tionghoa, Cina, dan lain-lain, hingga akhirnya menjadi Cina Benteng, seperti yang ditunjukkan oleh gambar berikut:

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:93-118

M E N J A D I C I N A B E N T E N G | 109

Gambar 3. Skema Transisi Kolektivitas Mikro ke Makro di Desa Situgadung

Secara kebetulan, transisi kolektivitas ini juga sejalan lurus dengan tingkat “ke-Tionghoa-an” masing-masing identitas. Oleh karena itu, dapat diketahui bahwa khusus dalam konteks penelitian ini, perubahan kolektivitas “orang keturunan” menuju Cina Benteng adalah perubahan kolektivitas dari yang paling mikro ke makro, serta dari yang paling “tidak Tionghoa” hingga “sangat Tionghoa”. Berdasarkan temuan ini, peneliti mengasumsikan bahwa kolektivitas sosial memiliki beberapa asumsi mendasar. Pertama, penamaan kolektivitas sosial yang berbeda menunjukkan keanggotaan yang berbeda pula. Kedua, kolektivitas sosial dalam tatanan level yang berbeda, akan menunjukkan tingkat ke-“Tionghoa”-an yang berbeda pula. Sebab, menurut kerangka berpikir informan, alur perubahan identifikasi dari “orang keturunan” menuju Cina Benteng merupakan sebuah alur yang membawa ia menjadi semakin Tionghoa, dan membawanya ke kolektivitas sosial dalam tatanan yang lebih makro. Dalam konteks ini, anggota komunitas keturunan Tionghoa di Desa Situgadung berusaha menjadi Cina Benteng untuk membedakan diri mereka dengan “orang keturunan” yang telah mereka anggap sebagai identitas yang inferior. Bila diabstraksikan, setidaknya tiga buah faktor yang justru mendasari mereka untuk memaknai identitas Cina Benteng sebagai identitas yang menguntungkan bagi mereka. Faktor-faktor inilah yang menjadi dasar atas alasan informan A serta warga Cina Benteng lainnya. Ketiga faktor dari hasil abstraksi tersebut bila diindetifikasi antara lain sosialisasi, afiliasi, dan signifikansi. Berikut adalah penjelasan masing-masing faktor berdasarkan urutan kronologisnya.

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:93-118

110 | M U H A M M A D R E Z A Z A I N I

Tabel 4. Faktor-Faktor yang Mendasari Pemilihan Identitas Cina Benteng

Faktor PenjelasanSosialisasi Penanaman nilai-nilai sosial terhadap komunitas “orang keturunan”

yang membentuk persepsi mereka dalam melihat identitas Cina Benteng. Dalam konteks ini, penanaman nilai tersebut dilakukan oleh banyak pihak. Seperti penanaman nilai kebudayaan “orang keturunan” yang khas. Penanaman persepsi bahwa agama Kristen merupakan sarana perubahan kehidupan ke arah yang positif. Penanaman nilai-nilai kebudayaan Tionghoa dilakukan oleh penduduk keturunan Tionghoa di sekitar perumahan Bumi Serpong Damai, hingga misionari yang dilakukan oleh Gereja Pantekosta Indonesia cabang Serpong

Afiliasi Keterbukaan/ketertutupan suatu komunitas terhadap masyarakat Cina Benteng. Aspek ini juga mencakup kedekatan komunitas Cina Benteng terhadap masyarakat lain, baik secara sosial, kultural, maupun ekonomi. Dalam fenomena ini, terdapat beberapa komunitas yang bersifat tertutup ataupun terbuka bagi masyarakat Cina Benteng. Hal ini dibentuk oleh sosialisasi kebudayaan yang didapatkan oleh masyarakat Cina Benteng di Desa Situgadung

Signifikansi Perhitungan untung rugi yang dilakukan ketika akan mengganti identitas menjadi Cina Benteng. Dalam konteks ini, anggota komunitas “orang keturunan” yang telah menjalani proses pergantian identitas menuju Cina Benteng karena sosialisasi yang mereka dapatkan dan keterbukaan komunitas di sekitar mereka, berusaha memperhitungkan keuntungan dan kerugian yang akan mereka a lami ket ika menjadi Cina Benteng

Sumber: analisis teoretik penelitian (data diolah kembali)

Berdasarkan pemaparan sebelumnya, identitas etnis merupakan hal yang bersifat kontekstual dan dapat diaktifkan serta dinonaktifkan sesuai keperluan individu. Hal ini dilakukan oleh individu yang bersangkutan untuk beradaptasi dengan kondisi sosial yang ada, atau mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari penggunaan identitas etnis tertentu. Dalam konteks tertentu, dapat dikatakan bahwa identitas etnis merupakan sarana untuk mendapatkan keuntungan atau sumber daya (Malesevic 2004). Hal lain yang patut untuk dibahas secara teoretik adalah fenomena dinamika istilah identitas etnis. Dalam hal ini, terdapat komunitas yang secara fisik dan beberapa aspek kebudayaan mirip dengan Cina Benteng, dan dapat dikatakan sebagai bagian dari Cina Benteng yang didefinisikan secara obyektif. Namun, mereka menolak disebut sebagai Cina Benteng, bahkan memiliki istilah tersendiri. Sebagai contoh, salah seorang informan penelitian, dalam hal ini adalah informan A. Secara

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:93-118

M E N J A D I C I N A B E N T E N G | 111

obyektif, informan A pada dasarnya merupakan seorang Cina Benteng. Sebab, definisi Cina Benteng adalah penduduk Tionghoa hasil kawin campur dengan perempuan pribumi, yang menetap di Tangerang. Pertama, Cina Benteng adalah penduduk Tionghoa di Tangerang yang sudah tidak tahu akan sejarah mereka. Ditambah lagi dengan penjelasan bahwa Cina Benteng merupakan hasil kawin campur antara Tionghoa-pribumi. Keseluruh definisi serta ciri-ciri akan Cina Benteng nampak dengan jelas pada komunitas “orang keturunan”. Maka, peneliti merasa perlu untuk memberikan pembedaan antara konsep identitas dan etnisitas.

I M PL I K A SI CI NA BE N T E NG T E R H A DA P KONSE P I DE N T I TA S E T N IS

Berdasarkan semua pemaparan yang telah diberikan, terdapat sebuah permasalahan yang tidak dapat dijelaskan oleh teori-teori menyangkut identitas etnis selama ini. Sebab, terdapat komunitas yang secara fisik dan beberapa aspek kebudayaan mirip dengan Cina Benteng dan dapat dikatakan sebagai bagian dari Cina Benteng yang didefinisikan secara obyektif. Namun, mereka menolak disebut sebagai Cina Benteng, bahkan memiliki istilah tersendiri. Lebih jauh, Cina Benteng dalam kasus di Desa Situgadung merupakan ascribed status. Dengan kata lain, pertanyaan yang diajukan, apakah ini merupakan sebuah perubahan identitas etnis? Dari penjelasan yang ada, nampak bahwa fenomena ini tidak sesederhana teori yang ada selama ini. Ini merupakan sebuah problematika atas konsep identitas etnis yang dikemukakan oleh Chandra (2006), sebagai sebuah konsep tunggal. Barth (1969) memapatkan bahwa kelompok etnis didasarkan batas yang diciptakan. Dengan kata lain, Barth tidak mengatakan bahwa kelompok etnis diciptakan hanya atas kesamaan dan pengakuan obyektif.  Bila mengacu kepada penjelasan Barth (1969) akan kelompok etnis, lalu apakah fenomena ini dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk perubahan kelompok etnis?

Berdasarkan hemat peneliti, analisis fenomena ini menunjukkan perlunya pembedaan antara konsep identitas dan etnisitas. Pembedaan antara identitas dan etnisitas merupakan sebuah teori yang dapat menjelaskan fenomena perubahan “orang keturunan” ke Cina Benteng. Banyak studi-studi ilmiah yang belum menyadari pentingnya pembedaan kedua istilah tersebut. Terdapat hal yang paling mendasar

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:93-118

112 | M U H A M M A D R E Z A Z A I N I

dalam pembedaan kedua konsep ini. Jika kita melihat dari sisi etnisitas, kolektivitas etnis seseorang itu dilihat secara obyektif. Namun, ketika pihak dari dalam atau individu sendiri yang menentukan kolektivitasnya secara subyektif, maka hal tersebut adalah definisi akan cara pandang identitas. Oleh karena itu, Cina Benteng merupakan sebuah istilah yang kontekstual. Dalam konteks tertentu, sebuah konsep seperti Cina Benteng, dapat dijadikan identitas, namun dalam konteks lainnya, Cina Benteng dapat dijadikan sebuah etnisitas. Ini berarti Cina Benteng dapat dijadikan sebuah etnisitas dalam konteks sosial tertentu, sementara itu, Cina Benteng dapat pula menjadi sebuah identitas dalam konteks sosial lainnya. Sehubungan dengan itu, peneliti hendak menunjukkan dalam bagian selanjutnya bahwa identitas dan etnisitas sebenarnya adalah terpisah. Bagian ini juga akan dilengkapi dengan definisi akan identitas dan etnisitas yang dapat peneliti berikan. Namun, keterpisahan antara identitas dan etnisitas memiliki sebuah arti. Keterpisahan itu memiliki fungsi sebagai penghubung diantara dua konsep yang tidak dapat dipisahkan tersebut.

Gambar 4. Skema Peranan Identitas dan Etnisitas

Bulatan hitam dengan tanda khusus merupakan representasi akan individu. Dalam kehidupan sosialnya, individu akan digolongkan ke dalam kolektivitas-kolektivitas tertentu, seperti yang ditunjukkan bulatan dengan huruf K (Kolektivitas) pada skema di atas. Namun, seperti yang menjadi dasar perspektif interaksionisme-simbolik Weber,

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:93-118

M E N J A D I C I N A B E N T E N G | 113

individu memiliki kebebasan untuk memaknai dan mengidentifikasi kolektivitas yang akan dipilihnya. Pemaknaan individu akan kolektivitas tertentu yang dipilihnya bisa saja dimaknai secara subyektif oleh individu yang bersangkutan. Inilah yang merupakan pengakuan subyektif individu akan kolektivitasnya, seperti yang ditunjukkan oleh anak panah patah-patah pada skema di atas. Sebagai contoh, individu dapat memaknai Kolektivitas 3 (K3) secara subyektif. Di sisi lain, masyarakat sebagai sebuah fakta sosial dapat memberikan definisi akan kolektivitas secara obyektif yang sudah ada dari sananya, atau meminjam istilah Durkheim sebagai fakta sosial yang unik (sui generis). Artinya, bila individu memaknai Kolektivitas 3 secara subyektif, namun sejatinya, Kolektivitas 3 sudah memiliki definisi obyektif seacara eksternal. Hal ini dapat terlihat dalam konteks Cina Benteng di Desa Situgadung.

Individu dapat saja memaknai kolektivitas etnisnya sebagai Cina Benteng versi lokal. Namun, berdasarkan definisi secara obyektif, mereka sebenarnya merupakan bagian dari Cina Benteng secara obyektif, bukan versi lokal. Seperti yang ditujukkan oleh simbol matematika pada salah satu anak panah, Kolektivitas Subyektif ≈ Kolektivitas Obyektif, yang berarti “Kolektivitas Subyektif hampir sama dengan Kolektivitas Obyektif”. Dalam konteks Desa Situgadung, individu memaknai kolektivitas etnisnya sebagai Cina Benteng, yang sedikit berbeda dan tidak sama persis dengan Cina Benteng versi obyektif. Skema tersebut menggambarkan kemungkinan terjadinya pertentangan antara pengakuan subyektif individu akan kolektivitas serta pengakuan obyektif terhadap kolektivitas.

K E SI M PU L A N

Pada dasarnya, identitas dan etnisitas merupakan dua hal yang saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Sehingga, keterhubungan mereka memiliki fungsi, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Dalam hal ini, fungsi identitas dapat digambarkan sebagai proses untuk mengidentifikasi kolektivitas. Namun, penting untuk diketahui bahwa kolektivitas itu memiliki banyak manifestasi. Kolektivitas tidak hanya dimanifestasikan dengan kolektivitas etnis saja. Dengan kata lain, etnisitas hanya merupakan bagian kecil dari sebuah identitas. Dalam konteks kehidupan nyata, ketika seseorang ditanya mengenai identitasnya, ia tidak hanya dapat menjawab dari

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:93-118

114 | M U H A M M A D R E Z A Z A I N I

segi etnis saja, namun dapat dijawab berdasarkan agama, gender, dan lain-lain. Dengan kata lain, identitas merupakan entitas yang lebih bersifat makro ketimbang etnisitas. Sebagaimana dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 5. Posisi Etnisitas yang Tergabung dalam Identitas

Namun, dalam konteks kasus di Desa Situgadung, identitas tidak akan memiliki makna khusus ketika ia berdiri sendiri, atau dengan kata lain, bersifat terpisah dengan etnisitas, seperti yang ditunjukkan Gambar 6.

Gambar 6 Posisi Etnisitas yang Terpisah dengan Identitas

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:93-118

M E N J A D I C I N A B E N T E N G | 115

Seorang individu dapat mengidentifikasi identitasnya dengan identitas etnis karena sedang berbicara dalam konteks etnisitas. Seperti dalam kasus Cina Benteng di Desa Situgadung, ketika Informan A berbicara mengenai perubahan identitasnya dalam konteks etnisitas. Bila konteks etnisitas dikesampingkan, maka identitas akan memiliki makna yang berbeda. Konsep identitas etnis menjadi tidak bermakna, karena individu dapat mengidentifikasi dirinya berdasarkan kolektivitas lainnya, entah itu agama, gender, dan lain-lain.

Identitas didefinisikan sebagai aspek subyektif suatu kelompok untuk memilih suatu kolektivitas sosial, berdasarkan subyektivitas individu yang dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi masyarakat yang bersangkutan. Selain itu, etnisitas didefinisikan sebagai jati diri obyektif suatu komunitas yang bersifat obyektif oleh karena definisi dari masyarakat sebagai sebuah fakta sosial. Maka, kesimpulan teori yang dapat peneliti ajukan kepada ilmu sosial, yakni berbagai macam identitas etnis dapat dibedakan baik ke dalam konteks identitas maupun etnisitas, tergantung dari perspektif yang bersangkutan—apakah dilihat berdasarkan subyektivitas individu atau berdasarkan obyektivitas definisi sebagai fakta sosial.

Berdasarkan temuan lapangan dan kisah informan, penduduk keturunan Tionghoa di Desa Situgadung melihat “orang keturunan” sebagai sebuah identitas kultural yang identik dengan kemiskinan. Untuk merubahnya, beberapa diantara mereka mulai melakukan kontak dengan penduduk Tionghoa dari daerah perkotaan yang menetap sebagai penduduk baru Bumi Serpong Damai. Secara bersamaan, mayoritas pemukim Tionghoa yang menetap di kota mandiri tersebut beragama Kristen. Kedatangan mereka bersifat konstan mulai dari tahun 1980-an hingga kini. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, maka timbul gerakan misionari terhadap penduduk sekitar. Fenomena ini memperkenalkan penduduk Desa Situgadung pada ajaran Agama Kristen, terutama Pantekosta. Alhasil, “orang keturunan” pada Desa Situgadung yang telah memeluk Kristen pada akhirnya memaknai bahwa agama tersebut merupakan sebuah sarana yang mempererat kekerabatan mereka dan merubah kehidupan mereka ke arah yang lebih baik. Ketika ditanya mengenai makna menjadi seorang Cina Benteng, anggota komunitas Tionghoa di Desa Situgadung akan mendefinisikannya sebagai “Keturunan Cina yang kabur demi kehidupan yang lebih baik”. Komunitas Cina Benteng pada Desa Situgadung juga mulai menganggap diri mereka sebagai

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:93-118

116 | M U H A M M A D R E Z A Z A I N I

lebih Cina, dan bukan “orang keturunan”. Temuan teoretik penelitian ini telah mendefinisikan bahwa identitas adalah proses identifikasi atas keanggotaan suatu kolektivitas yang f leksibel dan dinamis berubah-ubah menurut nama, skala, dan intensitas. Maka, teori yang dibangun dalam penelitian ini dapat memberikan pemetaan bagi masing-masing ciri identitas etnis, untuk dikategorikan sebagai identitas atau etnisitas. Oleh karena itu, istilah Cina Benteng dapat bersifat kontekstual. Pada suatu konteks sosial, Cina Benteng dapat dilihat sebagai identitas, seperti pada Desa Situgadung dan identifikasi mereka sebagai “orang keturunan”. Namun, dalam konteks sosial yang lain, Cina Benteng dapat pula dilihat sebagai etnisitas, seperti Cina Benteng yang didefinisikan secara obyektif.

DA F TA R PUS TA K A

Barth, Frederik. 1969. Ethnic Groups and Boundaries. Boston: Little, Brown, and Companies.

Chandra, Kanchan. 2006. “What is Ethnic Identity and Does It Matter?” Annual Review of Political Science Vol. 9: 397-424.

Coppel, Charles. 1994. Tionghoa Indonesia dalam Krisis. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Freedman, Amy L. 2000. Political Participation and Ethnic Minorities. New York City: Routledge.

Hall, Stuart. 1996. Critical Dialogues in Cultural Studies. New York City: Routledge.

Koller, Veronika. 2012. “How to Analyze Collective Identity in Discourse – Textual and Contextual Parameters.” Critical Approaches to Discourse Analysis across Disciplines Vol. 5 (2): 19-38.

Lim, Hermanto dan David Mead. 2011. Chinese in Indonesia: A Background Study. Dallas: SIL International.

Malesevic, Sinisa. 2004. The Sociology of Ethnicity. London: SAGE Publications Ltd.

Neuman, W. Lawrence. 2006. Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. Boston: Allyn and Bacon.

Pan, Lynn. 1998. The Encyclopedia of the Chinese Overseas. Singapura: Archipelago Books.

Saleh, R.H.A. 1995. Akademi Militer Tangerang dan Peristiwa Lengkong. Jakarta: Yayasan Pustaka Utama-Sebelas Maret University Press.

M ASYA R AK AT Jurna l Sosiolog i Vol. 19, No. 1, Januar i 2014:93-118

M E N J A D I C I N A B E N T E N G | 117

Santosa, Iwan. 2012. Peranakan Tionghoa di Nusantara. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Setiono, Benny G. 2003. Tionghoa dalam Pusaran Politik. Jakarta: ELKASA.

Somekh, Bridget dan Cathy Lewin. 2005. Research Methods in Social Science. London: Sage Publication Ltd.

Spektorowski, Alberto. 2003. “Ethnoregionalism.” The Global Review of Ethnopolitics Vol. 2 (3): 55-70.

Suryadinata, Leo. 1997. Ethnic Chinese as Southeast Asians. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies.

Suryadinata, Leo. 2007. Understanding the Ethnic Chinese in Southeast Asia. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies.

Suparlan, Parsudi. 2005. Suku Bangsa dan Hubungan Antar-Suku Bangsa. Jakarta: YPKIK.

Ting Su-Hie dan Ling Teck Yee. 2011. “Ethnic Identity of Young Malaysian Adolescents in Sarawak.” Malaysian Journal of Youth Studies: 165-175.

Trimble, Joseph E. dan Ryan Dickson. 2010. “Ethnic Identity.” Applied Developmental Science: An Encyclopedia of Research, Policies, and Programs: 75-83.

Witanto, Eddy Prabowo. 2005. Akulturasi Budaya Cina Benteng. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.