pengertian asas legalitas

8
PERTENTANGAN ANTARA KEPASTIAN DAN KEADILAN HUKUM DALAM PRAKTEK PENEGAKAN HUKUM PIDANA HENDRI WIJAYA ( 12410206 )

Upload: hendri-wijaya

Post on 16-Sep-2015

12 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

hukum pidana

TRANSCRIPT

PERTENTANGAN ANTARA KEPASTIAN DAN KEADILAN HUKUM DALAM PRAKTEK PENEGAKAN HUKUM PIDANA

ASAS LEGALITASTelah dikatakan, bahwa dasar yang pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana adalah norma yang tidak tertulis : tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Dasar ini adalah mengenai pertanggungjawabannya seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya. Jadi mengenai criminal responbility atau criminal liability.Tetapi sebelum itu, mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan, yaitu mengenai perbuatan pidananya sendiri, mengenai criminal act, juga ada dasar pokok, yaitu azas legalitas ( principle of legality ), azas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentyukan terlebih dahulu dalam perundang undangan. Biasanya ini dikenal dalam bahasa Latin sebagai Nullum delictium nulla poena sine praevia lege. ( tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu ).Perumusan asas legalitas dari von Feurbach dalam bahasa Latin itu dikemukakan berhubungan dengan teorinya yang dikenal dengan nama teori vom psychologischen wang , yaitu yang menganjurkan supaya dalam menentukan perbuatan perbuatan yang didalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harus dituliskan dengan jelas, tetapi juga tentang macamnya pidana yang diancamkan. Dengan cara demikian ini, maka oleh orang yang akan melakukan perbuatan dilarang tadi lebih dahulu telah diketahui pidana apa yang akan dijatuhkan kepadanya jika nanti perbuatan itu dilakukan. Dengan demikian dalam batinnya, dalam psychennya, lalu diadakan tem atau tekanan untuk tidak berbuat. Dan kalau toh dia melakukan perbuatan tadi, maka hal dijatuhi pidana kepadanya itu bisa dipandang sebagai sudah disetujuinya sendri. Jadi pendirian Von Feuerbach mengenai pidana ialah pendirian yang tergolong absolut ( mutlak 0 . sama halnya dengan teori pembalasan ( retribution ).Biasanya asas legalitas ini dimaksud mengandung tiga pengertian, yaiitu :1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana untuk menentukan adanya perbuatan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan udang undang.2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi ( kiyas ).3. Aturan aturan hokum pidana tidak berlaku surut.Pengertian yang pertama, bahwa harus ada aturan undang undang jadi aturan hokum yang tertulis lebih dahulu, itu dengan jelas tampak dalam pasal 1 KUHP, dimana dalam teks Belanda disebutkan : wettelijke strafbepaling yaitu aturan pidana dalam perundangan. Tetapi dengan adanya ketentuan ini konsekuensinya adalah bahwa perbuatan perbuatan pidana menurut hokum adat lalu tidak dapat dipidana, sebab disitu tidak ditentukan dengan aturan yang tertulis. Padahal diatas telah diajukan bahwa hokum pidana adat itu masih berlaku, walaupun hanya untuk orang orang tertentu dan sementara saja. Agar supaya kejanggalan yang demikian tidak ada, maka dalam UUD sementara pasal 14 ayat 2 dahulu ditentukan : tidak seorang juapun boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi hukuman, kecuali karena suatu aturan hokum yang sudah ada dan berlaku terhadapnya. Karena yang dipakai disini adalah istilah aturan hokum, maka meliputi aturan yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dengan demikian, juga untuk berlakunya hokum pidana adat diberikan dasar yang kuat. Meskipun sekarang UUD Sementara tidak berlaku lagi, namun dari bunyinya pasal 5 ayat 3b Undang undang darurat 1951 no 1 yang diatas, kiranya tidak seorangpun yang akan menyanggah sahnya ketentuan tersebut berdasar tidak berlakunya pasal 14 ayat 2 UUD sementara tadi.Asas bahwa dalamn menentukan ada atau tidaknya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi ( kiyas ) pada umumnya masih dipakai untuk kebanyakan Negara Negara . di Indonesia dan juga Negara Belanda pada umumnya masih diakui prinsip ini.

PERTENTANGAN ANTARA KEPASTIAN HUKUM DAN KEADILAN HUKUMPersoalan antara penegakan asas legalitas formiil dan asas legalitas materiil merupakan persoalan dilematis yang cukup lama. Dilemanya terletak pada apakah kita akan menggunakan prinsip kepastian hukum atau prinsip keadilan. Kedua- duanya ada dalam konsepsi negara hukum. KUH Pidana kita sebagaimana terlihat dalam pasal 1 ayat (1) menggunakan prinsip kepastian hukum di bawah asas legalitas. Tetapi, sejak berlakunya UU No 14/1970, selain menerapkan bunyi UU, hakim harus menggali nilai-nilai keadilan di dalam masyarakat. Itu berarti, selain kepastian hukum, dunia peradilan menekankan pada rasa keadilan. Jadi, sekalipun asas legalitas dalam KUHP Indonesia memiliki latar belakang dari ide/nilai dasar "kepastian hukum", namun dalam realistanya kemudian asas legalitas ini kemudian mengalami berbagai perluasan yakni dalam hukum positif dan perkembangannya di Indonesia yakni melihat pada Undang Undang Dasar Sementara 1950, Undang Undang Darurat 1951, asas legalitas tidak semata-mata diartikan sebagai tidak semata-mata di lihat sebagai asas legalitas formal, tetapi juga legalitas material, yaitu dengan mengakui hukum pidana adat, hukum yang hidup atau hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum.Memang tujuan hukum adalah untuk keadilan dan kepastian hukum. Antara keduanya harus ada keseimbangan. Ketika hokum harus memilih, akan ada pilihan yang dipilih sedangkan yang lain dikesampingkan. Dalam kondisi ini, Gustaf Radbruch telah mengurai teori prioritasnya dalam mencapai tujuan hukum (keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum), bahwa jika terjadi benturan atau ketidakkonsistenan antara undang-undang dan keadilan dalam mencapai tujuan hukum, maka yang patut didahulukan adalah keadilan.Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologis. Kepastian hukum secara normative adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Jadi kepastian hukum adalah kepastian aturan hukum, bukan kepastian tindakan terhadap atau tindakan yang sesuai dengan aturan hukum. Dalam praktik hukum di Indonesia, seringkali para penegak hukum sudah menjalankan tugasnya sesuai dengan aturan main yang ada, dalam artian aturan main yang formal. Terhadap kasus tindak pidana korupsi misalnya, sesuai hukum yang berlaku, jaksa sudah melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan ke pengadilan. Pengacara sudah menjalankan fungsinya untuk membela dan mempertahankan hak-hak tersangka. Dan hakim sudah mendengar kedua belah pihak, sehingga turunlah putusan pengadilan. Semua aturan hukum yang relevan sudah dipertimbangkan dan sudah diterapkan. Akan tetapi mengapa terhadap penegakan hukum yang demikian masih banyak saja masyarakat yang tidak puas. Inilah masalahnya, yaitu tidak terpenuhinya nilai keadilan, terutama keadilan masyarakat (social justice). Hakim tidak dengan sungguh-sungguh menggali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat dengan alsan terikat dengan aturan hukum formal yang sebenarnya kaku bahkan dalam beberapa hal justru melenceng. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman sudah mewajibkan kepada para hakim untuk menggali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.DAFTAR PUSTAKAMoeljatno, Asas Asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1987Schaffmeiser, Keijzer dan Sutorius, Hukum Pidana, Yogyakarta : Liberty, 1995