pengemudi : baik pengemudi kendaraan bermotor maupun tidak brepository.ub.ac.id/1870/3/10.skripsi...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Elemen-elemen Lalu Lintas
Berdasarkan Warpani (1999) dalam Fauziah (2008), unsur-unsur lalu lintas adalah
semua faktor yang berpengaruh terhadap pergerakan kendaraan. Unsur-unsur tersebut
terdiri dari empat bagian yaitu :
o Pemakai Jalan/manusia
o Kendaraan
o Jalan
o Lingkungan
2.1.1 Pemakai Jalan
Menuut Warpani (1999), pemakai jalan adalah semua orang yang menggunakan
fasilitas langsung dari suatu jalan, termasuk di dalamnya adalah :
o Pengemudi : baik pengemudi kendaraan bermotor maupun tidak bermotor (sepeda,
becak, pedati).
o Pemakai jalan yang lain : pejalan kaki, pedagang kaki lima, pekerja galian (kabel,
saluran).
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi sifat-sifat manusia sebagai pengemudi
menurut Warpani (1999) diantaranya adalah :
o Tujuan perjalanan
Berdasarkan tujuan perjalanan sifat-sifat manusia sebagai pengemudi akan berbeda
sehubungan dengan interaksinya dalam karakteristik lalu lintas.
o Kondisi cuaca
Pengemudi akan lebih berhati-hati dalam mengemudikan kendaraannya pada
kondisi cuaca buruk dan cenderung menurunkan kecepatannya.
8
o Umur dan jenis kelamin
Pada umumnya pengemudi yang berumur tua atau wanita akan lebih berhati-hati
dalam mengemudikan kendaraannya dibandingkan dengan pengemudi yang berusia
muda atau laki-laki.
o Kondisi kendaraan
Sifat-sifat pengemudi dipengaruhi oleh jenis model serta kekuatan mesin
kendaraan.
o Keadaan Lingkungan
Dalam hal ini lingkungan yang dimaksud adalah :
1. Keadaan medan di sekitar jalan: datar, pesisir pantai, dan pegunungan.
2. Penggunaan lahan di sepanjang jalan: pertokoan, sekolah, industri, perkantoran
atau terminal.
3. Keadaan arus lalu lintas: homogen, heterogen, lancar atau macet.
2.1.2 Jalan
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004 tentang
jalan, jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk
bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang
berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah
dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel.
2.1.3 Kendaraan
Menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan
jalan, kendaraan adalah suatu alat yang dapat bergerak di jalan, terdiri dari kendaraan
bermotor atau kendaraan tidak bermotor.
Menurut Warpani (1999), faktor-faktor yang sangat berperan dari kendaraan antara
lain:
o Desain kendaraan
o Cara penggunaan
o Perawatan
Berdasarkan tiga faktor tersebut maka jenis kendaraan yang ada dalam arus lalu
lintas mempunyai karakteristik gerak yang berbeda-beda misalnya bus, sedan, truk tunggal,
truk ganda, dan sepeda motor.
9
2.1.4 Lingkungan
Faktor lingkungan dalam elemen lalu lintas diidentifikasikan sebagai tata guna
lahan.
2.2 Karakteristik Sepeda
Sepeda adalah alat transportasi beroda dua, yang dijalankan dengan cara mengayuh
pedal (tidak bermotor) dan memiliki sebuah tempat duduk atau sadel bagi penggunanya
serta didesain sedemikian rupa sehingga mudah untuk dijalankan.
2.2.1 Bagian-Bagian Sepeda
Menurut Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tahun 1992 konstruksi
sepeda harus dibuat cukup kuat agar dapat dioperasikan dijalan sesuai dengan
peruntukannya. Sepeda harus dilengkapi dengan satu buah lampu dibagian depan yang
mengeluarkan cahayaputih atau kuning yang diarahkan ke depan bawah sehingga dapat
menerangi jalan di depannya sejauh 5 m. Bagian belakang sepeda juga harus dilengkapi
dengan lampu atau pemantul cahaya berwarna merah agar keberadaan sepeda dapat
diketahui oleh kendaraan di belakangnya. Selain itu, sepeda juga harus dilengkapi dengan
rem yang bekerja dengan baik serta tuter atau alat peringatan yang bunyinya dapat
didengar dari jarak minimum 15 m.
Dalam peraturan SNI 1049 : 2008 disebutkan, terdapat bagian-bagian pada sepeda.
Bagian-bagian tersebut antara lain :
Gambar 2.1 Bagian-bagian sepeda (SNI 1049 : 2008)
Keterangan Gambar :
1. Grip
2. Tuas rem
3. Bel
4. Batang Kemudi
5. Kabel rem
6. Lampu
15. Penutup rantai
16. Gir depan
17. Batang engkol
18. Pedal
19. Rantai
20. Velg
29. Boncengan
30. Rem
belakang
31. Sadel
32. Batang sadel
33. Rangka
10
7. Rem depan
8. Keranjang
9. Dynamo
10. Sepatu rem
11. As roda
12. Cagak keranjang
13. Garpu depan
14. Cagak fender
21. Rear derailleur
22. Pentil ban
23. Jeruji
24. Reflektor roda
25. Ban luar
26. Pelindung jeruji
27. Reflector belakang
28. Fender
34. Stang kemudi
35. Gir belakang
36. Expender
Bolt
2.2.2 Karakteristik Sosial Ekonomi Pengendara Sepeda
Dalam kajian ini pembahasan karakteristik sosial ekonomi pengguna sepeda adalah
meliputi usia, jenis kelamin, pendidikan, jenis pekerjaan, dan penghasilan.
2.2.3 Karakteristik Pergerakan Pengendara Sepeda
Pergerakan terbentuk akibat adanya aktifitas yang dilakukan bukan di tempat
tinggalnya. Artinya keterkaitan antar wilayah ruang sangatlah berperan dalam menciptakan
perjalanan dan pola sebaran tata guna lahan sangat mempengaruhi pola perjalanan orang
(Tamin,2000). Pola pergerakan dibagi menjadi dua, yaitu pergerakan spasial dan
pergerakan tidak spasial.
1. Pergerakan Tidak Spasial
a. Sebab Terjadinya pergerakan
Sebab terjadinya pergerakan dapat dikelompokan berdasarkan maksud perjalanan
biasanya maksud perjalanan dikelompokkan sesuai dengan ciri dasarnya yaitu
berkaitan dengan ekonomi, sosial budaya, pendidikan, agama. Secara umum sebab
terjadinya perjalanan dapat diperlihatkan pada tabel 2.1 berikut :
Tabel 2.1 Klasifikasi Pergerakan Orang di Perkotaan Berdasarkan Maksud Pergerakan
Aktivitas Klasifikasi Perjalanan Keterangan
1. Ekonomi
Mencari nafkah
Mendapatkan
barang dan
pelayanan
a. Ke dan dari tempat kerja
b. Yang berkaitan dengan
bekerja
c. Ke dan dari toko dan
keluar untuk keperluan
pribadi
Perjalanan yang berkaitan dengan
pekerjaan termasuk :
a. Pulang ke rumah
b. Mengangkut barang
c. Ke dan dari rapat
Pelayanan hiburan dan rekreasi
diklasifikasikan secara terpisah,
11
tetapi pelayanan medis, hukum
dan kesejahteraan termasuk di
sini.
2. Sosial
Menciptakan,
menjaga hubungan
pribadi
a. Ke dan dari rumah teman
b. Ke dan dari tempat
pertemuan bukan di rumah
Kebanyakan fasilitas terdapat
dalam lingkungan keluarga dan
tidak menghasilkan banyak
perjalanan.
3. Pendidikan a. Ke dan dari sekolah,
kampus dan lain-lain.
Hal ini terjadi pada sebagian
besar penduduk yang berusia 5 –
22 tahun. Di negara sedang
berkembang jumlahnya sekitar 85
% penduduk.
4. Rekreasi dan
Hiburan
a. Ke dan dari tempat rekreasi
b. Yang berkaitan dengan
perjalanan dan
berkendaraan untuk
rekreasi
Mengunjungi restoran, kunjungan
sosial, termasuk perjalanan pada
hari libur.
5. Kebudayaan a. Ke dan dari tempat ibadah
b. Perjalanan bukan hiburan
ke dan dari daerah budaya
serta pertemuan politik
Perjalanan kebudayaan dan
hiburan sangat sulit dibedakan
Sumber : LPM-ITB (1996,1997 ac) (Tamin,2000)
b. Waktu Terjadinya pergerakan
Waktu terjadi pergerakan sangat tergantung pada kapan seseorang melakukan
aktifitasnya sehari-hari.
c. Jenis Sarana Angkutan Yang Digunakan
Dalam menentukan pilihan jenis angkutan, orang memepertimbangkan berbagai
faktor, yaitu maksud perjalanan, jarak tempuh, biaya, dan tingkat kenyamanan.
2. Pergerakan Spasial
Ciri pergerakan spasial (dengan batas ruang) di dalam kota berkaitan dengan
distribusi spasial tata guna lahan yang terdapat di dalam suatu wilayah. Dalam hal ini,
konsep dasarnya adalah bahwa suatu perjalanan dilakukan untuk melakukan kegiatan
tertentu di lokasi yang dituju, dan lokasi tersebut ditentukan oleh tata guna lahan kota
tersebut.
12
a. Pola perjalanan orang
Dalam hal ini pola penyebaran spasial yang sangat berperan adalah sebaran spasial
dari daerah industri, perkantoran dan pemukiman. Tentu saja sebaran spasial untuk
pertokoan dan areal pendidikan juga berperan.
b. Pola perjalanan barang
Pola perjalanan barang sangat dipengaruhi oleh aktifitas produksi dan konsumsi,
yang sangat tergantung pada sebaran pola tata guna lahan pemukiman (konsumsi), serta
industri dan pertanian (produksi).
2.2.4 Karakteristik Perilaku Pengendara Sepeda
Gama et al (2010) menjelaskan bahwa karakteristik pengendara berdasarkan
perilakunya dibedakan menjadi:
a. Persiapan berkendara
Hal-hal yang berkaitan dengan persiapan berkendara menurut Departemen
Perhubungan Darat (2008) antara lain :
Rem
Melakukan pengecekan rem bagian depan dan belakang kendaraan adalah salah
satu persiapan sebelum berkendara. Selain itu, periksa juga tinggi permukaan minyak
rem dan jarak tuas rem
Ban/Roda
Ban yang dalam kondisi aus dan tekanan angin yang tidak sesuai dengan
persyaratan akan menyebabkan jarak pengereman semakin panjang dan pengendalian
menjadi tidak stabil saat menikung.
Instrumen Lampu
Instrumen lampu perlu dilakukan pengecekan agar semua instrument dapat
menyala sebagaimana mestinya. Pastikan lampu sein, lampu rem dan lampu depan
dapat menyala semua. Lampu sein dan lampu rem berguna untuk memberi tanda
kepada pengguna kendaraan lain mengenai tujuan yang akan dilakukan oleh
pengendara kendaraan bermotor maupun tidak bermotor.
Kaca Spion
Posisi kaca spion yang benar akan memberikan jarak pandang yang lebih luas.
Melihat kaca spion pada saat berkendara sangat penting guna memeriksa langsung
kondisi di sekitar pengendara.
13
b. Sikap dalam berkendara
Selama dalam berkendara, pengendara harus memperhatikan hal-hal berikut agar
terhindar dari kecelakaan (Departemen Perhubungan Darat, 2008) :
- Membiasakan melakukan pengereman dengan menggunakan rem depan dan
belakang secara bersamaan atau dengan rincian penekanan sebesar 75 % rem
depan dan 25 % rem belakang.
- Selalu waspada dengan kemunculan mendadak dari kendaraan yang datang dari
arah berlawanan
- Waspada terhadap rintangan yang ada di jalan seperti lumpur, lubang, oli,
genangan, batu/kerikil dan pasir yang dapat menyebabkan kendaraan tergelincir
dan jatuh.
- Meningkatkan kewaspadaan ketika berkendara pada malam hari.
- Patuhi rambu-rambu lalu lintas yang ada di jalan baik itu marka jalan, traffic
light maupun tanda yang ada di pinggir jalan.
c. Pengalaman berkendara
Menurut Jenkins (1979) dalam Gineung (2010) meningkatnya kecelakaan lalu lintas
yang melibatkan pengendara kendaraan di usia muda penyebabnya adalah sedikitnya
pengalaman mereka dalam mengemudikan kendaraan dan pengemudi yang baru
mempunyai pengalaman selama satu tahun.
d. Perawatan kendaraan
Perawatan dan perbaikan kendaraan bermotor atau tidak bermotor harus dilakukan agar
umur pakai kendaraan dapat lebih lama atau sama dengan umur pakai yang diprediksi dan
dirancak oleh produsen kendaraan tersebut.
e. Pengetahuan dalam berkendara
Jika pengetahuan pengemudi itu luas maka orang tersebut akan lebih sanggup untuk
memberikan sesuatu yang benar terhadap situasi dalam berbagai bentuk, baik situasi yang
berbahaya maupun tidak (Nurwanti, 2000).
2.3 Tinjauan Lalu Lintas
2.3.1 Volume Lalu Lintas
Berdasarkan MKJI 1997, Volume adalah jumlah kendaraan yang melewati satu
titik pengamatan selama periode waktu tertentu. Volume kendaraan dihitung berdasarkan
persamaan :
(2-1)
14
dengan : Q = volume (kend/jam)
N = jumlah kendaraan (kend)
T = waktu pengamatan (jam)
Menurut Hendarsin (2000) volume lalu lintas harian rata-rata (VLHR), adalah
prakiraan volume harian pada akhir tahun rencana lalu lintas dinyatakan dalam smp/hari.
(1) Satuan Mobil Penumpang (smp)
Satuan arus lalu lintas, dimana arus dari berbagai tipe kendaraan telah diubah
menjadi kendaraan ringan (termasuk mobil penumpang) dengan menggunakan emp.
(2) Ekivalensi Mobil Penumpang
Faktor konversi berbagai jenis kendaraan dibandingkan dengan mobil penumpang
atau kendaraan ringan lainnya sehubungan dengan dampaknya pada perilaku lalu lintas
(untuk mobil penumpang dan kendaraan ringan lainnya, emp = 1,0)
Tabel 2.2 Ekivalensi Mobil Penumpang
Sumber : Tata Cara PGJAK 1997 Dirjen Bina Marga (1997)
(3) Faktor F
Faktor F adalah variasi tingkat lalu lintas per 15 menit dalam satu jam.
(4) Faktor VLHR (K)
Faktor untuk mengubah volume yang dinyatakan dalam VLHR menjadi lalu lintas
jam sibuk.
(5) Volume Jam Rencana (VJR)
VJR, adalah prakiraan volume lalu lintas pada jam sibuk tahun rencana lalu lintas,
dinyatakan dalam smp/jam, dihitung dengan rumus.
(2-2)
VJR digunakan untuk menghitung jumlah lajur jalan dan fasilitas lalu lintas lainnya
yang diperlukan.
15
(6) Kapasiatas (C)
Volume lalu lintas maksimum (mantap) yang dapat dipertahankan (tetap) pada
suatu bagian jalan dalam kondisi tertentu. Biasanya dinyatakan dalam kend/jam atau
smp/jam.
(7) Derajat Kejenuhan (DS)
Rasio volume lalu lintas terhadap kapasitas, biasanya dihitung per jam
2.3.2 Kecepatan Rencana
VR, adalah kecepatan rencana pada suatu ruas jalan yang dipilih sebagai dasar
perencanaan geometrik jalan yang memungkinkan kendaraan-kendaraan bergerak dengan
aman dan nyaman dalam kondisi cuaca yang cerah, lalu lintas yang lengang, dan pengaruh
samping jalan yang tidak berarti.
Tabel 2.3 Kecepatan Rencana (VR), sesuai Klasifikasi Fungsi dan Klasifikasi Medan Jalan
Catatan: untuk kondisi medan yang sulit, VR suatu segmen jalan dapat
diturunkan dengan syarat bahwa penurunan tersebut tidak lebih
dari 20 km/jam.
Sumber: Tata Cara PGJAK 1997 Dirjen Bina Marga (1997)
2.4 Kecelakaan
2.4.1 Jenis-jenis kecelakaan
Berdasarkan Yuren (2002) dalam Fauziah (2008), kecelakaan dapat
diklasifikasikan berdasarkan berbagai kriteria, yaitu :
a. Berdasarkan korban kecelakaan, kecelakaan lalu lintas dibagi menjadi:
1. Kecelakaan fatal.
2. Kecelakaan berat.
3. Kecelakaan ringan.
4. Kecelakaan yang menimbulkan kerugian luka ringan.
16
b. Berdasarkan lokasi kecelakaan, kecelakaan lalu lintas dibagi menjadi:
1. Kecelakaan pada jalan lurus.
2. Kecelakaan pada tikungan jalan.
3. Kecelakaan pada persimpangan jalan.
4. Kecelakaan pada tanjakan, turunan, dataran, pegunungan, di luar kota maupun di
dalam kota.
c. Berdasarkan waktu terjadinya kecelakaan, kecelakaan lalu lintas dibagi menjadi:
1. Jenis hari
Hari kerja : Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat
Hari libur : Minggu dan hari-hari libur nasional
Akhir pekan : Sabtu
2. Waktu kejadian
Dini hari : 00.00 – 06.00 WIB
Pagi hari : 06.00 – 12.00 WIB
Siang hari : 12.00 – 18.00 WIB
Malam hari : 18.00 – 24.00 WIB
2.4.2 Penyebab kecelakaan
Berdasarkan Miaou et al (2003), sekurang-kurangnya terdapat lima faktor yang
saling berinteraksi yang menyebabkan sebuah peristiwa kecelakaan.
1. Pemakai Jalan
Berdasarkan Warpani (1999), faktor pemakai jalan dapat dibagi dalam dua golongan,
yakni pengemudi dan pejalan.
a. Pengemudi
o Kondisi kesehatan
o Emosi
o Kelelahan
o Kemampuan teknis mengemudi
b. Pejalan
Kecelakaan para pejalan kaki pada umumnya karena kelengahan, ketidakpatuhan
pada peraturan Perundang-undangan dan mengabaikan sopan santun berlalu lintas.
2. Lalu lintas
Semakin tinggi arus lalu lintas, kecepatan dan komposisi jenis kendaraan semakin
beragam, maka potensi terjadi kecelakaan semakin besar. (Taylor et al, 2002).
17
Besarnya volume atau arus lalu lintas diperlukan untuk menentukan jumlah dan lebar lajur
pada satu jalur jalan dalam penentuan karakteristik geometrik, sedangkan jenis kendaraan
akan menentukan kelas beban atau MST (Muatan Sumbu Terberat) yang berpengaruh
langsung pada perencanaan konstruksi perkerasaan.
3. Jalan
Kerusakan pada permukaan jalan (misalnya terdapat lubang yang sulit dilihat oleh
pengemudi).
Konstruksi bagian jalan yang rusak atau tidak sempurna (misalnya bila posisi
permukaan bahu jalan terlalu rendah terhadap permukaan keras lainnya).
Geometrik jalan yang kurang sempurna, misalnya derajat kemiringan (superelevasi)
yang terlalu kecil atau terlalu besar pada belokan, pandangan bebas yang terlalu
sempit dan sebagainya.
4. Kendaraan
Kondisi teknis yang tidak layak jalan, misalnya rem blong, mesin tiba-tiba mati,
ban pecah, kemudi tidak berfungsi dengan baik, as atau kopel lepas, lampu mati
khususnya di malam hari, dan lain sebagainya.
Penggunaan kendaraan yang tidak sesuai dengan ketentuan antara lain bila dimuati
secara berlebihan (overload).
5. Lingkungan
Faktor lingkungan baik lingkungan alam maupun lingkungan binaan, yakni hasil karya
rekayasa manusia sangat berpengaruh bagi keselamatan lalu lintas.
2.4.3 Daerah rawan kecelakaan
Menurut Latief (1995) dalam Fauziah (2008), daerah rawan kecelakaan adalah
daerah yang mempunyai angka kecelakaan tinggi, resiko dan potensi kecelakaan yang
tinggi pada suatu ruas jalan.
Lokasi rawan kecelakaan dapat diidentifikasikan pada lokasi jalan tertentu (black
spot) maupun pada ruas jalan tertentu (black site), atau pada wilayah tertentu (black area).
2.4.4 Tingkat kecelakaan
Tingkat kecelakaan menurut Pedoman Penanganan Lokasi Rawan Kecelakaan Lalu
Lintas yang dikeluarkan oleh Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Tahun
2004, tingkat kecelakaan adalah angka kecelakaan lalu lintas yang dibandingkan dengan
volume lalu lintas dan panjang ruas jalan. Berdasarkan PP RI No. 43 tahun 1993 tentang
18
prasarana dan lalu lintas jalan, jenis korban dalam kecelakaan terdiri dari Luka Ringan,
Luka Berat, dan Meninggal Dunia.
2.4.5 Karakteristik data kecelakaan
Analisis data dilakukan dengan pendekatan “5W + 1H”, yaitu:
1. Why: Faktor penyebab kecelakaan (modus operandi)
a. Pelanggaran terhadap rambu lalu lintas,
b. Tidak memberi tanda kepada kendaraan lain, dsb.
2. What: Tipe tabrakan
a. Menabrak orang (pejalan kaki),
b. Tabrak depan,
c. Tabrak belakang,
d. Tabrak samping,
e. Kecelakaan sendiri / lepas kendali.
3. Who: Keterlibatan pengguna jalan
a. Pejalan kaki,
b. Mobil penumpang umum,
c. Bus,
d. Sepeda motor,
e. Kendaraan tak bermotor (sepeda, becak, kereta dorong, dan sebagainya)
4. Where: Lokasi kejadian
a. Lingkungan permukiman,
b. Lingkungan perkantoran atau sekolah,
c. Lingkungan tempat perbelanjaan,
5. When: Waktu kejadian kecelakaan
a. Ditinjau dari kondisi penerangan.
b. Ditinjau dari jam kejadian mengacu kepada periode waktu yang terdapat pada
formulir data kecelakaan.
6. How: Kejadian kecelakaan
Suatu kecelakaan lalu lintas terjadi pada dasarnya didahului oleh suatu maneuver
pergerakan tertentu, antara lain:
a. Memotong atau menyiap kendaraan lain,
b. Berbelok (kiri atau kanan),
c. Berputar arah, berhenti (mendadak, menaik-turunkan penumpang), dsb.
19
2.5 Geometrik Jalan dan Pengaruh Terhadap Kecelakaan
Sistem jaringan jalan terdiri atas: Sistem jaringan jalan primer merupakan sistem
jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan
semua wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi
yang berwujud pusat-pusat kegiatan. Sedangkan sistem jaringan jalan sekunder merupakan
sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk
masyarakat di dalam kawasan perkotaan.
Pengelompokan klasifikasi jalan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26
Tahun 1985 tentang jalan, membagi jalan sebagai berikut:
Berdasarkan fungsinya jalan dikelompokkan menjadi empat yaitu:
1. Jalan arteri.
2. Jalan kolektor.
3. Jalan lokal.
4. Jalan lingkungan.
Dari penjelasan diatas, yang termasuk dalam penampang melintang jalan adalah
sebagai berikut:
1. Jalur lalu lintas
Menurut pandangan Sukirman (1994) jalur lalu lintas adalah keseluruhan bagian
perkerasan jalan yang diperuntukkan untuk lalu lintas kendaraan.
2. Lajur
Lajur adalah bagian jalur lalu lintas yang memanjang, dibatasi oleh marka lajur
jalan, memiliki lebar yang cukup untuk dilewati suatu kendaraan bermotor sesuai
kendaraan rencana.
Tabel 2.4 Lebar Lajur
Kelas Jalan Lebar Lajur (m)
Disarankan Minimum
I 3,60 3,50
II 3,60 3,00
IIIA 3,60 2,75
IIIB 3,60 2,75
IIIC 3,60 *)
Keterangan: *)= jalan 1-jalur-2-arah, lebar 4,50 m
Sumber: Pedoman Perencanaan Geometrik Jalan Perkotaan (RSNI T-14-2004)
20
3. Bahu jalan
Menurut Sukirman (1994) fungsi bahu jalan adalah sebagai berikut:
o Tempat untuk berhenti sementara dari kendaraan yang mengalami gangguan
teknis, istirahat.
o Merupakan ruangan pembantu pada waktu mengadakan pekerjaan
perbaikan atau pemeliharaan jalan.
o Tempat pemasangan rambu-rambu lalu lintas, penanaman pohon,
pemasangan rail-rail pengamanan dan patok-patok penunjuk.
o Tempat untuk lewat para pejalan kaki dan kendaraan tak bermotor lainnya.
4. Pemisah lalu lintas
Pemisah lalu lintas pada umunya disebut median. Kegunaan dari median adalah:
o Menyediakan daerah netral yang cukup lebar sehingga pengemudi masih
dapat mengontrol kendaraannya pada saat darurat.
o Menyediakan jarak yang diperlukan untuk membatasi/mengurangi kesilauan
terhadap lampu besar kendaraan yang berlawanan arah.
Lebar median tidak mempunyai ketentuan khusus, pada umumnya sesuai dengan
fungsinya. Lebar median ditampilkan pada Tabel 2.11.
Tabel 2.5 Lebar Minimum Median
Bentuk median Lebar minimum ( m )
Median ditinggikan 2,0
Median direndahkan 7,0
Sumber: Tata Cara PGJAK 1997 Dirjen Bina Marga (1997)
Lebar median pada jalan utama sangat bervariasi, umumnya cukup lebar pada
persimpangan dan agak sempit pada bagian antara persimpangan.
Pengaruh Karakteristik Geometrik dan Lalu Lintas terhadap Kecelakaan
Faktor yang berpengaruh terhadap karakteristik geometrik diantaranya jumlah lajur,
lebar lajur, lebar bahu, ketersiediaan median, dan kemiringan. Sedangkan faktor yang
berpengaruh terhadap karakteristik lalu lintas yaitu kecepatan dan jumlah kendaraan.
Menurut Bauer dan Harwood (2000) dalam penelitian Departemen Perhubungan
(2008) menyatakan bahwa penambahan lebar lajur sebesar 1 ft dapat mengurangi
kecelakaan sampai 10%, 5%, dan 4%, berturut-turut pada simpang tak bersinyal 4-kaki,
simpang bersinyal 4-kaki dan simpang tak bersinyal 3-kaki. Ditemukan juga bahwa
21
semakin banyak lajur, diprediksi jumlah kecelakaan akan berkurang. Simpang tak
bersinyal dengan 4 lajur atau lebih, tingkat kecelakaannya 27,5% lebih rendah
dibandingkan pada simpang yang sama dengan 3 lajur atau kurang. Sedangkan
ketersediaan bahu jalan juga berpengaruh terhadap terjadinya suatu kecelakaan.
Penambahan lebar bahu sebesar 1 ft dapat mengurangi jumlah kecelakaan sebesar 1,7%
pada simpang tak bersinyal 3-kaki di wilayah luar kota, dan sebesar 2% pada simpang
bersinyal 4-kaki di wilayah perkotaan.
Mountain et al (1998) menyatakan bahwa pada sebuah persimpangan, meningkatnya
volume kendaraan pada pendekat mayor sebanyak dua kali lipat diprediksi akan
menambah potensi kecelakaan sebesar 46%, dan peningkatan volume kendaraan pada
pendekat minor sebanyak dua kali lipat diprediksi akan memperbesar potensi kecelakaan
sampai 13%. Rodriguez dan Sayed (1999) menyatakan bahwa peningkatan volume
kendaraan sebesar dua kali lipat pada simpang tak bersinyal 3-kaki diprediksi
meningkatkan kecelakaan sebesar 37% pada pendekat mayor dan 49% pada pendekat
minor. Berdasarkan studi empiris Taylor, dimana perubahan angka kecelakaan untuk
penambahan kecepatan 1 km/h berkisar antara 1% sampai 4% untuk jalan perkotaan dan
2,5% sampai 5,5% untuk jalan luar kota, dengan penilaian yang lebih rendah untuk jalan
mayor dan penilaian yang lebih tinggi untuk jalan minor.
2.6 Kecelakaan yang Melibatkan Sepeda
Keselamatan transportasi jalan merupakan permasalahan yang serius pada saat ini
lebih dari setengah juta dari per satu juta penduduk meninggal dunia akibat kecelakaan lalu
lintas dan beberapa yang mengalami luka-luka. Salah satu penyebabnya adalah kendaraan
bermotor. Di Shanghai, didominasi oleh kendaraan tak bermotor, lebih dari 95% meningal
dunia dan hamper 75% semua terdaftar sebagai korban luka-luka yang diakibatkan oleh
kendaraan tak bermotor. Hal ini terjadi pada negara berkembang, sebagian besar luka-luka
diderita oleh pejalan kaki dan pengendara sepeda. Di India, hanya 5% yang meninggal
dunia atau luka berat yang diakibatkan kecelakaan kendaraan bermotor.
2.7 Analisis Statistik Deskriptif
Analisis statistik deskriptif dapat diartikan sebagai pemecahan masalah yang
diselidiki dengan menggambarkan/melukiskan keadaan subjek/objek penelitian (seseorang,
lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang
tampak atau sebagaimana adanya
22
Ciri-ciri analisis statistik deskriprif (Hasan dkk, 1998) adalah:
a. Memusatkan perhatian pada masalah-masalah yang ada pada saat penelitian
dilakukan (saat sekarang) atau masalah-masalah yang bersifat aktual.
b. Menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana
adanya
2.8 Metode Survei Lalu Lintas
Survei lalu lintas dilakukan dengan cara menghitung jumlah lalu lintas kendaraan
yang lewat di depan suatu pos survei pada ruas jalan yang ditetapkan. Perhitungan dapat
dilakukan dengan cara manual (mencatat dengan tangan) dan dapat juga menggunakan
berbagai peralatan otomatis seperti alat penghitung lalu lintas (traffic counting), detektor,
atau peralatan listrik lain yang kesemuanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-
masing. Objek yang disurvei dalam perhitungan lalu lintas meliputi:
a. Jumlah kendaraan yang lewat (volume) dalam satuan waktu (menit, jam, hari dan
seterusnya).
b. Kecepatan kendaraan baik kecepatan sesaat (spot speed) atau kecepatan perjalanan,
kecepatan gerak atau kecepatan rata-rata.
c. Kepadatan arus lalu lintas (traffic density).
d. Waktu antara (headway), waktu ruang dan waktu rata-rata.
Pengambilan data jumlah volume dilakukan pada jam sibuk (peak hour) pada hari-
hari yang mewakili volume lalu lintas dalam seminggu. Sedangkan untuk data waktu
tempuh kendaraan di lapangan dilakukan dengan metode kecepatan setempat dengan
mengukur waktu perjalanan bergerak. (Asmoro, 1990).
2.8.1 Metode survei jumlah kendaraan
1. Manual count
Manual count adalah pencatatan jumlah kendaraan yang paling sederhana dengan
menggunakan tenaga manusia. Pencatatan dilakukan pada kertas formulir, tiap kali
sebuah kendaraan lewat dicatat pada kertas formulir. Pencatatan juga dapat dilakukan
dengan alat counter.
2. Detector
Detector adalah alat yang dapat mendeteksi adanya kendaraan yang lewat dan memberi
isyarat dalam bentuk tertentu. Detector biasanya bekerja dengan sentuhan dari gilasan
roda kendaraan, induksi pada gulungan kabel yang ditanam di jalan menyebabkan
pemutusan sinar dalam waktu sesaat/sebentar.
23
3. Automatic count
Automatic count adalah peralatan perhitungan secara otomatis yang dapat dilakukan
selama 12 atau 24 jam.
2.8.2 Metode survei waktu tempuh kendaraan
Dalam survei waktu tempuh kendaraan dikenal 3 (tiga) jenis kecepatan yaitu
kecepatan seketika/sesaat (spot speed), kecepatan rata-rata kendaraan selama bergerak
(running speed) dan kecepatan rata-rata kendaraan yang dihitung dari dari jarak tempuh
dibagi dengan waktu tempuh (journey speed) jadi termasuk waktu kendaraan berhenti
(misalnya berhenti pada lampu lalu lintas) (Asmoro, 1990).
Perhitungan kecepatan kendaraan dapat dilakukan dengan beberapa metode, antara
lain:
1. Manual count
Manual count merupakan pencatatan waktu tempuh kendaraan contoh yang melewati
segmen/penggal jalan pengamatan. Pencatatan waktu tempuh ini dilakukan dengan
menghidupkan stopwatch saat roda depan kendaraan contoh melewati garis injak
pertama, seterusnya mengikuti lajur kendaraan, dan stopwatch dimatikan tepat pada
saat roda kendaraan tersebut melewati garis injak kedua.
2. Enescope
Enescope adalah kotak cermin yang berbentuk L yang dileyakkan di pinggir jalan
untuk membelokkan garis pandangan ke arah tegak lurus jalan. Dalam pengukuran
waktu tempuh digunakan stopwatch yang dimulai pada saat kendaraan melewati
pengamat dan dihentikan pada saat kendaraan melewati enescope.
3. Radar meter
Radar meter bekerja menurut prinsip efek Doppler, yang mana kecepatan pergerakan
proporsional dengan perubahan frekuensi di antara dua radio transmisi target dan radio
pemantul.
4. Pemotretan
Dalam metode ini, kamera foto mengambil gambar pada interval waktu yang
ditetapkan. Gambar-gambar yang diperoleh dari hasil survei diproyeksikan dengan
menggunakan alat proyektor ke suatu layar yang sudah mempunyai pembagian skala.
24
2.9 Model Prediksi Kecelakaan
2.9.1 Model Prediksi Kecelakaan Lalu Lintas
Model prediksi kecelakaan (accident prediction models, APMs) digunakan untuk
mengestimasi frekwensi kecelakaan lalu lintas. Selain itu, juga dapat digunakan untuk
mengidentifikasi dan mengetahui hubungan diantara faktor-faktor yang mempengaruhinya,
seperti geometrik, lingkungan dan operasional dari persimpangan tersebut (Nambuusi BB.,
2008; Reurings dkk., 2005; Abdel-Aty dan Keller, 2005).
Pendekatan Generalized Linear Models (GLMs) digunakan dalam pembentukan
model prediksi kecelakaan lalu lintas, dimana pada pendekatan ini data kecelakaan lalu
lintas seringkali digunakan distribusi poisson dan distribusi binomial negatif (Radin, dkk.,
1995, 2000, 2001; Harnen S. dkk., 2003, 2004, 2006, 2010; Sobri A. dkk., 2010, 2011;
Polus dan Cohen, 2011). Distribusi Poisson dan distribusi binomial negatif telah digunakan
oleh Shankar et al. (1995) dalam pemodelan kecelakaan lalu lintas pada jalan bebas
hambatan terkait dengan faktor geometri jalan dan lingkungan.
Metode GLMs dengan asumsi distribusi tersebut mampu menggambarkan kejadian
secara random, diskrit, dan nonnegative, yang merupakan karakteristik dari kecelakaan lalu
lintas, tetapi metode yang cukup populer ini dinilai masih memiliki keterbatasan. Apabila
hubungan variabel prediktif dengan beberapa variabel penjelas pada data kecelakaan lalu
lintas berpola non-linier, tetapi diasumsikan linier, maka nilai signifikansi dari hasil
analisisnya tentu akan berkurang sehingga model prediksi yang dihasilkan menjadi kurang
realistis (Xie dan Zhang, 2008; Li, Lord, & Zhang, 2011).
2.9.2 GLMs dalam Prediksi Kecelakaan Lalu Lintas
Metode Generalized Linear Models (GLMs) merupakan pengembangan dari model
linier yang mengandung komponen acak, komponen sistemik dan fungsi penghubung.
Model GLMs ini dikembangkan untuk mengatasi ketidakhomogenan ragam atau tidak
terdistribusi secara normal (Mc Cullagh dan Nelder, 1989).
Menurut Hastie & Tibshirani (1990), GLM dibentuk atas tiga komponen. Pertama,
pada GLM terdapat sebuah perangkat yang handal untuk pemodelan statistik. Hal ini
memberikan kemampuan kepada user untuk mencocokkan model-model statistik pada data
yang digunakan, menyelesaikan goodness of fit (GoF) dan menampilkan estimasi, standar
error dan nilai perkiraan dari model. Kedua, GLM dapat digunakan untuk data eksplorasi,
dalam tabulasi dan pemilihan data, dalam menggambarkan pola-pola untuk melihat
kecenderungan data yang digunakan, atau untuk memeriksa kembali secara visual
25
keberadaan pencilan (outliers). Ketiga, GLM dapat digunakan sebagai alat hitung yang
sangat handal untuk evaluasi aritmatik yang rumit, atau sebagai bahasa program untuk
membentuk manipulasi data yang luas.
GLMs digunakan untuk menentukan koefisien model dan kualitas kesesuaian
statistik terhadap data keselamatan. Hasil dari teknik regresi GLM dapat menghasilkan
koefisien variabel yang tidak menyimpang dengan standar error seminimal mungkin.
Aplikasi GLM dalam model kecelakaan lalu lintas pada dekade terakhir
menunjukkan bahwa bentuk persamaan yang sederhana dari kumpulan variabel
eksplanatori memberikan hasil yang memuaskan, sehingga bentuk persamaan yang
kompleks tidak diperlukan (Taylor et al., 2000). Persamaannya berupa:
Persamaan pangkat.....................
Persamaan eksponensial..............
dimana X dan Y adalah variabel eksplanatori.
Sehinga apabila FK adalah frekwensi kecelakaan lalu lintas yang akan diprediksi, serta Xi
dan Yj adalah variabel-varabel eksplanatori (i=1,2,3,....; j=1,2,3,...), maka persamaan
kecelakaan lalu lintas adalah sebagai berikut:
FK = k ............................................................pers.(2.3)
atau
ln(FK) = ln k + ln …………………...pers.(2.4)
Persamaan multiaplikatif dapat dirangkum sebagai berikut:
Fk = k (kecepatan) (arus) (geometri) (lingkungan) (Lain-Lain)
dimana:
Fk = Perkiraan frekwensi kecelakaan lalu lintas
k = Konstanta regresi
Kecepatan = Kumpulan variabel kecepatan (mis: rata-rata, maksimum, minimum)
Flow = Kumpulan variabel arus lalu lintas (mis: volume)
Geometri = Kumpulan variabel geometri jalan (mis: lebar lajur, lajur dan bahu
jalan)
Lingkungan = Kumpulan variabel lingkungan (mis: cuaca, waktu kejadian
kecelakaan)
Lain-lain = Kumpulan variabel lain-lain (mis: karakteristik pengemudi dan
kendaraan)
2.10 Penelitian Terdahulu
Tabel 2.6 Referensi Penelitian Terdahulu
No Nama Judul Tahun Tipe Metode Atribut yang
Ditinjau
Kesimpulan Rencana Kajian
Survei Analisa
1 Sobri
Abusini
Model Kecelakaan
Sepeda Motor
Pada Ruas Jalan
Dengan
Menggunakan
Pendekatan Glm
2010 Jurnal
Rekayasa
Teknik Sipil
UB
Generalized
Linier Model
(GLM)
- Aspek
Sosial
Ekonomi
- Aspek
Pergerakan
- Aspek
Perilaku
a.Jumlah kecelakaan
sepeda motor dipengaruhi
oleh arus lalu lintas,
ketersediaan bahu jalan,
serta arus dan kecepatan
lalu lintas.
b. Ketersediaan bahu
jalan berpotensi
mengurangi terjadinya
kecelakaan sepeda motor.
c. Arus dan kecepatan lalu
lintas, yang pada studi ini
diwakili oleh persentile
ke-80 kecepatan lalu
lintas, berpotensi
meningkatkan jumlah
kecelakaan sepeda motor
di ruas-ruas jalan di Kota
Batu.
Menggunakan
Metode
Analisis
Deskriptif
Frekuensi dan
Generalized
Linier Model
dengan data
geometrik jalan
26
2 Aji Suraji Model Kecelakaan
Sepeda Motor
Pada Suatu Ruas
Jalan
2010 Jurnal
Transportasi
Vol. 10 No.
1 April
2010: 53-64
Generalized
Linier Model
(GLM)
- Aspek
Sosial
Ekonomi
- Aspek
Pergerakan
- Aspek
Perilaku
1. Pemodelan kecelakaan
sepeda motor pada ruas
jalan yang dihasilkan
dapat dipergunakan untuk
menjelaskan kondisi yang
ada, yaitu kecelakaan
sepeda motor pada ruas
jalan dipengaruhi oleh
volume lalu lintas,
kecepatan kendaraan,
lebar lajur, jumlah lajur,
dan bahu jalan.
2. Peningkatan volume
lalu lintas dan kecepatan
kendaraan meningkatkan
risiko kecelakaan sepeda
motor pada ruas jalan.
3. Penambahan lebar
lajur, jumlah lajur, dan
bahu jalan menurunkan
penurunan risiko
kecelakaan sepeda motor
pada ruas jalan.
Menggunakan
Metode
Analisis
Deskriptif
Frekuensi dan
Generalized
Linier Model
dengan data
geometrik jalan
27
28
3
Margareth
E. Bolla
Pemodelan
Kecelakaan
Sepeda Motor
Pada Ruas Jalan
Di Kota Atambua
2014 Jurnal
Teknik Sipil
Vol. III,
FST
UNDANA
Survei
Kuesioner
dan Survei
Wawancara
-Generalized
Linier Model
(GLM)
-Analisis
Deskriptif
Frekuensi
- Aspek
Sosial
Ekonomi
- Aspek
Pergerakan
- Aspek
Perilaku
1. Setelah dilakukan
analisa dengan alat bantu
program Genstat Release
9.2, diperoleh model
prediksi kecelakaan
sebagai berikut: MCA =
0.002902 exp[-0.986 LbLajur -
0.674 LbBahu Jalan + 0.1761
Kecepatan]
2. Kecelakaan paling
sering terjadi pada
pengendara laki-
laki,Pengendara dengan
rentang usia 18,
pengendara swasta,pada
rentang waktu pukul
12.00, pada jenis tabrakan
Tabrak Pejalan Kaki,
pada tingkat keparahan
Luka Berat
Menggunakan
Metode
Analisis
Deskriptif
Frekuensi dan
Generalized
Linier Model
dengan data
geometrik jalan
28
4
Machsus
Pengembangan
Model Prediksi
Kecelakaan
Sepeda Motor
pada Ruas Jalan
dan Persimpangan
di Perkotaan
2014 Disertasi
Teknik Sipil
UB
-Generalized
Linier Model
(GLM)
- GAMs
(Generalized
Additive
Models)
1. Model pada ruas jalan
perkotaan, dengan
R2(adj)=0.992 :
McA = 0.0007071
Z= (0.01774 AP+0.066832 SPEED - 0.017544 RW+0.051891 LN+0.207733 CN+s(FLOW))
2. Aplikasi Generalized
Additive Model (GAMs)
lebih baik dibanding
Generalized Linear
Model (GLMs).
3. Volume Lalu Lintas,
panjang ruas jalan, jumlah
bukaan kecepatan. Jumlah
lajur, tipe jalan dan lebar
jalan merupakan variabel
yang berpengaruh
terhadap model prediksi
kecelakaan sepeda motor
ruas jalan.
Menggunakan
Metode
Analisis
Deskriptif
Frekuensi dan
Generalized
Linier Model
dengan data
geometrik jalan
29
30
Tabel 2.7 Rencana Kajian
No Nama Judul Tahun Tipe Metode Atribut yang
Ditinjau
Kesimpulan Rencana Kajian
Survei Analisa
1 Melyona
Febriani
Napitupulu
&
Khalid
Lazuardi
Model
Kecelakaan
Pengguna Sepeda
berdasarkan
Fungsi Jalan di
Kota Malang dan
Kota Blitar, Jawa
Timur
2017 Skripsi Kuisioner
Wawancara
Analisis
Deskriptif
Frekuensi
Generalized
Linier Model
(GLM)
- Aspek
Sosial
Ekonomi
- Aspek
Pergerakan
- Aspek
Perilaku
Menggunakan
Metode Analisis
Deskriptif
Frekuensi dan
Generalized
Linier Model
dengan data
geometrik jalan
30
a. Kerangka Teori
Kecelakaan
Sulistio et all, 2010
UU Nomor 22, 2009
Jumlah dan kondisi korban (Luka ringan,
luka berat, meninggal, material)
Lokasi Kejadian (jalan lurus, tikungan, persimpangan)
Jenis tabrakan (dari
samping, depan,
belakang)
Elemen Lalu Lintas
Warpani, 1999
Khisty & Lall, 2003
Pemakai Jalan
Kendaraan
Lingkungan
Jalan
Karakteristik Sepeda
Dirjen Penataan Ruang, 2013
UU Lalin, 1992
Karakteristik Jalur
Sepeda
Bagian-Bagian
Sepeda
Karakteristik
Pengendara Sepeda
Tamin, 2000
Khisty & Lall, 2003
Karakteristik Sosial Ekonomi
Karakteristik
Pergerakan
Tinjauan Lalu Lintas
Hendarsin, 2000
Dirjen Binamarga, 1997
MKJI 1997
Hendarsin, 2000
Volume Lalu Lintas
Kecepatan
Rata-Rata
Analisis Statistik Deskriptif (Analisis Frekuensi)
Hasan dkk, 1998
Generalized Linear Model
BA = k Flow EXP ( Speed + β LWidth + λ LNumber + θ Shoulder)
McCullagh & Nelder, 1989
Suraji, 2010
Geometrik Jalan
Tamin, 2000
Sukirman, 1994
Dirjen Binamarga, 1997
PP Nomor 26, 1985
Karakteristik
Perilaku
32
(Halaman Ini Sengaja Dikosongkan)