pengembangan wilayah
TRANSCRIPT
Sejarah dan Pengertian Kota
Perkotaan berasal dari kata kota yang berarti pusat permukiman dan kegiatan
penduduk yang bercirikan oleh batasan administratif yang diatur dalam peraturan
perundangan serta didominasi oleh kegiatan produktif bukan pertanian, kota juga dapat
dikatakan sebagai leburan dari bangunan dan penduduk (Spiro Kostof:1991.) Perkotaan
dapat diartikan sebagai suatu permukiman bukan pedesaan yang berperan di dalam suatu
wilayah pengembang dan atau wilayah nasional sebagai simpul jasa, menurut pengamatan
tertentu.
Kota (city) adalah permukiman, berpenduduk relatif besar, luas areal terbatas, pada
umumnya bersifat non agraris, kepadatan penduduk relatif tinggi; tempat sekelompok
orang-orang dalam jumlah tertentu dan bertempat tinggal bersama dalam suatu wilayah
geografis tertentu , cenderung berpola hubungan rasional, ekonomis dan individualistis.
Beberapa Pengertia Kota:
1. Kota merupakan suatu wilayah yang sebagian besar arealnya merupakan hasil budaya
manusia, tempat pemusatan penduduk yang tinggi, dan sumber mata pencarian di luar
sektor pertanian. Dan disamping itu kota juga dicirikan oleh adanya prasarana perkotaan,
seperti bangunan pemerintahan, rumah sakit, sekolah, pasar, taman dan alun-alun yang
luas serta jalan aspal yang lebar.
2. Mayer melihat kota sebagai tepat bermukim penduduknya : baginya yang penting dengan
sendirinya bukan rumah tinggal, jalan raya, rumah ibadat, kantor, kanal dan sebagainya,
melainkan penghuni yang menciptakan segalanya itu.
3. Max Weber memandang suatu tempat itu kota, jika penghuninya sebagian besar telah
mampu memenuhi kebutuhannya lewat pasar setempat.
4. Haris dan Ullman melihat kota sebagai pusat untuk permukiman dan pemanfaatan bumi
oleh manusia.
5. Prof. Drs. R. Bintarto Kota adalah suatu sistem jaringan kehidupan manusia dengan
kepadatan penduduk yang tinggi, strata sosial ekonomi yang heterogen, dan corak
kehidupan yang materialistik.
6. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri RI No. 4 tahun 1980 menyebutkan bahwa
pengertian kota terdiri dari 2 macam yaitu:
a. Kota sebagai suatu wadah yang memiliki batasan administratif sebagaimana diatur
dalam perundang-undangan.
b. Kota sebagai suatu lingkungan kehidupan perkotaan yang mempunyai ciri non agraris,
misalnya ibu kota kabupaten, ibu kota kecamatan, serta berfungsi sebagai pusat
pertumbuhan dan permukiman.
Ciri-ciri kota :
1. Kota merupakan tempat bermukim, tempat bekerja, tempat kegiatan ekonomi, pusat
pemerintahan, dan pusat kegiatan lain yang telah mengalami banyak kemajuan
pembangunan fisik.
2. Kota yang telah berkembang maju mempunyai peranan yang lebih besar, antara lain:
sebagai pusat permukiman penduduk (tempat tinggal), pusat perputaran modal dan
keuangan, pusat kegiatan transportasi, pusat kegiatan konsumsi dan produksi, pusat
kegiatan pemasaran dan perdagangan, pusat perindustrian, pusat kegiatan sosial budaya,
pusat kegiatan kesenian, dan pusat pendidikan.
3. Pusat fasilitas-fasilitas masyarakat yang lain seperti kesehatan, lembaga-lembaga sosial
dan keahlian, kegiatan politik, dan administrasi pemerintahan juga berada di kota.
Masyarakat kota lebih mudah menyesuaikan diri terhadap perubahan sosial yang
disebabkan oleh adanya pengaruh keterbukaan dari daerah luar.
4. Masyarakat kota lebih bersifat individual, dimana kepentingan individu lebih menonjol,
jika dibandingkan dengan sikap solidaritas dan gotong royong. Setiap kota memiliki
dinamika pertumbuhan masing-masing. Ada kota yang lambat berkembang, tetapi ada
pula yang sangat pesat perkembangannya. Hal ini karena kota dipengaruhi oleh lokasi
dan keadaan morfologi dan bentuk lahannya.
5. Pusat-pusat kegiatan di kota sering mengalami perubahan daya tarik. Keramaian yang
ada di kota tergantung pada beberapa faktor yaitu:
a. Kemampuan daya tarik dari bangunan dan gedung-gedung sebagai tempat
menyalurkan kebutuhan hidup sehari-hari
b. Tingkat kemakmuran warga kota yang dilihat dari daya belinya
c. Tingkat pendidikan dan kebudayaan yang cukup baik
d. Sarana dan prasarana dalam kota yang memadai
e. Pemerintahan dan warga kota yang dinamis.
Pada mulanya, kota merupakan konsentrasi rumah tangga di pinggir-pinggir sungai
yang diorganisasi mengelilingi penguasa atau biasanya pemimpin agama atau pendeta
gereja yang kemudian diteruskan oleh kelompok pendeta yang menyelenggarakan
pengendalian yang sistimatis dan kontinyu terhadap panen, tenaga kerja dan lain-lain. Masih
dapat juga ditelusuri bahwa kota modern di barat pada abad pertengahan dan bahkan
sebelum revolusi industri umumnya masih tergantung dari sistem pertanian yang notebene
belum memakai alat mesin disamping beberapa kota yang sekaligus memang menjadi pusat
perdagangan Nasional dan Internasional. Keadaan tersebut menjadi sebab kota berkembang
sangat terbatas dan bila kota bertumbuh di luar batas kemampuan suplai hasil pertanian
(makanan) dari “hinterland” (daerah sekitarnya) maka kota tersebut akan mengalami
kesulitan makanan ; dan untuk mempertahankan eksistensi pertumbuhan tersebut sering
diperlakukan penaklukan daerah sekeliling atau daerah lain demi memperbesar suplai bahan
makanan. Keadaan inilah yang sering dilakukan oleh penguasa kota di Romawi dan Yunani
dahulu.
Setelah revolusi industri, kota di barat berkembang dengan sangat pesat dan
merupakan asal-usul urbanisasi yang paling berarti. Penduduk kota bertambah dengan
drastis dan penduduk desa, terutama yang dekat kota berkurang. Sebelum revolusi industri,
pertumbuhan dan perkembangan kota lambat dan bahkan konstan. Setelah revolusi industri
pertambahan penduduk bagaikan meledak hingga untuk pertama kalinya kota-kota di barat
melebihi kemampuan kota yang real, yaitu mulai dari penyediaan perumahan yang layak,
sarana pendidikan, lapangan kerja dan tempat rekreasi dan lain-lain.
Dari peninjauan sejarah perkembangan dan pertumbuhan kota secara spesifik
diperoleh gambaran mengenai hal-hal yang menyangkut : proses perkembangan dan
pertumbuhan kota, faktor-faktor penggerak perkembangan dan pertumbuhan kota, dan
kemungkinan-kemungkinan yang dapat dipakai didalam usaha pengarahan dan penyusunan
arah dan besarnya perkembangan dan pertumbuhan kota. Studi sejarah perkembangan dan
pertumbuhan kota yang spesifik ini jelas akan merupakan bagian yang penting didalam
penentuan kebijaksanaan dan pertimbangan didalam perencanaan untuk perkembangan kota
tersebut dimasa mendatang. Dari sejarah mengenai perkembangan dan pertumbuhan kota
dapat dianalisa apakah pola kecendrungan perkembangan dan pertumbuhan yang berlaku
sekarang itu mempunyai nilai yang negatif ataukah positip untuk perkembangan kota
selanjutnya. Apabila sifat dari pola dan kecenderungan perkembangan dan pertumbuhan
kota itu negatif maka didalam kebijaksanaan perencanaannya perlu pengarahan kearah lain
sedemikian rupa sehingga perkembangan dan pertumbuhannya dapat diarahkan kepada
usaha-usaha perbaikan.
Perkembangan kota secara umum menurut Branch (1995) sangat dipengaruhi oleh
stuasi dan kondisi internal yang menjadi unsur terpenting dalam perencanaan kota secara
komprehensif. Namun beberapa unsur eksternal yang menonjol juga dapat mempengaruhi
perkembangan kota. Beberapa faktor internal yang mempengaruhi perkembangan kota
adalah:
a. Keadaan geografis mempengaruhi fungsi dan bentuk fisik kota. Kota yang berfungsi
sebagai simpul distribusi, misalnya perlu terletak di simpul jalur transportasi,
dipertemuan jalur transportasi regional atau dekat pelabuhan laut. Kota pantai, misalnya
akan cenederung berbentuk setengah lingkaran, dengan pusat lingkaran adalah
pelabuhan laut.
b. Tapak (Site) merupakan faktor-faktor ke dua yang mempengaruhi perkembangan suatu
kota. Salah satu yang di pertimbangkan dalam kondisi tapak adalah topografi. Kota yang
berlokasi didataran yang rata akan mudah berkembang kesemua arah, sedangkan yang
berlokasi dipegunungan biasanya mempunyai kendala topografi. Kondisi tapak lainnya
berkaitan dengan kondisi geologi. Daerah patahan geologis biasanya dihindari oleh
perkembangan kota.
c. Fungsi kota juga merupakan faktor yang mempengaruhi perkembangan kota-kota yang
memiliki banyak fungsi, biasanya secara ekonomi akan lebih kuat dan akan berkembang
lebih pesat dari pada kota berfungsi tunggal, misalnya kota pertambangan, kota yang
berfungsi sebagai pusat perdagangan, biasanya juga berkembang lebih pesat dari pada
kota berfungsi lainnya;
d. Sejarah dan kebudayaan juga mempengaruhi karekteristik fisik dan sifat masyarakat
kota. Kota yang sejarahnya direncanakan sebagai ibu kota kerajaan akan berbeda dengan
perkembangan kota yang sejak awalnya tumbuh secara organisasi. Kepercayaan dan
kultur masyarakat juga mempengaruhi daya perkembangan kota. Terdapat tempat-tempat
tertentu yang karena kepercayaan dihindari untuk perkembangan tertentu.
e. Unsur-unsur umum seperti misalnya jaringan jalan, penyediaan air bersih berkaitan
dengan kebutuhan masyarakat luas, ketersediaan unsur-unsur umum akan menarik kota
kearah tertentu.
Struktur ruang kota
1. Teori Konsentris dari Ernest W. Burgess (1929), bahwa wilayah kota dibagi enam zona,
yaitu :
a. Zona Pusat Wilayah Kegiatan (Central Bussines Districts), didalamnya terdapat pusat
pertokoan besar, gedung perkantoran yang bertingkat, bank, hotel, restoran, dan
sebagainya.
b. Zona Peralihan atau zona transisi, zone peralihan merupakan konsentrasi penduduk
miskin. Sering ditemui wilayah kumuh (slum area).
c. Zona Pemukiman Kelas Proletar, didiami oleh para pekerja yang berpenghasilan kecil
atau buruh dan karyawan kelas bawah. Ditandai oleh adanya rumah susun sederhana.
d. Zona Pemukiman Kelas Menengah (Residental Zone) merupakan kompleks
perumahan karyawan kelas menengah yang memiliki keahlian tertentu.
e. Wilayah Tempat Tinggal Masyarakat Berpenghasilan Tinggi ditandai dengan kawasan
elit. Sebagian besar penduduknya merupakan kaum eksekutif.
f. Zona Penglaju (Commuters) merupakan wilayah yang memasuki wilayah belakang
(Hinterland) atau merupakan wilayah batas desa-kota. Penduduknya bekerja di kota
tetapi tinggal di pinggiran kota.
Keterangan model teori konsentrik menurut Teori Konsentris Dari Ernest W.
Burgess (1929):
Zona pusat wilayah kegiatan
Zona peralihan
Zona permukiman kelas proletar.
Zona permukiman kelas menengah.
Zona penglaju.
2. Teori Sektoral (Sector Theory) dari Homer Hoyt, bahwa kota tersusun sebagai berikut :
a. Pada lingkaran dalam terletak pusat kota (CBD) yang terdiri dari atas bangunan
kantor, hotel, bank, dan pusat perbelanjaan.
b. Pada sektor tertentu terdapat kawasan industri ringan dan perdagangan
Dekat pusat kota dan dekat sektor pada nomor 2, terdapat sektor murbawisma, yaitu
tempat tinggal kaum buruh.
c. Agak jauh dari pusat kota dan sektor industri serta perdagangan, terletak sektor
madyawisma, yaitu permukiman golongan menengah.
d. Lebih jauh lagi terdapat sektor adiwisma, yaitu kawasan tempat tinggal golongan atas.
Keterangan Teori Sektoral (Sector Theory) dari Homer Hoyt :
Zona 1: Zoona pusat wilayah kegiatan.
Zona 2: Zona dimana terdapat grossier dan manufactur.
Zona 3: Zona wilayah permukiman kelas rendah.
Zona 4: Zona permukiman kelas menengah.
Zona 5: Zona permukiman kelas tinggi.
3. Teori Inti Berganda (Multiple Nuclei) dari C. D. Harris dan E. L. Ullman (1945)
Strutur ruang kota meliputi:
Pusat kota (CBD),
Kawasan niaga dan industri ringan,
Kawasan murbawisma, tempat tinggal berkualitas rendah,
Kawasan madyawisma, tempat tinggal berkualitas menengah,
Kawasan adiwisma, tempat tinggal berkualitas tinggi,
Pusat niaga berat,
Pusat niaga/perbelanjaan lain di pinggiran,
Upakota (suburban), untuk kawasan madyawisma dan adiwisma,
Upakota (suburban), untuk kawasan industri.
Keterangan:
Zona 1: Zona pusat wilayah kegiatan,
Zona 2: Zona wilayah terdapa
Zona 3: Zona wilayah permukiman kelas rendah,
Zona 4: Zona permukiman kelas me
Zona 5: Zona permukiman kelas tinggi,
Zona 6: Zona manufactur berat,
Zona 7: Zona wilayah di luar pusat wilayah Kegiatan (PWK),
Zona 8: Zona wilayah permukiman suburb,
Zona 9: Zona wilayah industri suburb
Teori Kota, Perumahan dan Permukiman Kota
a. Teori Eco Housing
Eco housing merupakan rumah yang berwawasan lingkungan yang hemat energi
dengan senantiasa memperhatikan potensi lingkungan yang ada pada suatu daerah
dimana rumah itu dibangun. Konsep
memiliki beberapa tujuan utama antara lain untuk mengurangi penggunaan energi yang
berlebihan sebagai usaha untuk mengurangi isu
misalnya pemanasan global, melindungi kesehatan penghuniny
lingkungan dan terbilang ekonomis dari pembangun sampai digunakan sebagai hunian.
1: Zona pusat wilayah kegiatan,
Zona 2: Zona wilayah terdapat para grossier dan manufactur,
ilayah permukiman kelas rendah,
Zona permukiman kelas menengah,
: Zona permukiman kelas tinggi,
Zona 6: Zona manufactur berat,
ar pusat wilayah Kegiatan (PWK),
Zona wilayah permukiman suburb,
Zona 9: Zona wilayah industri suburb.
Perumahan dan Permukiman Kota
merupakan rumah yang berwawasan lingkungan yang hemat energi
dengan senantiasa memperhatikan potensi lingkungan yang ada pada suatu daerah
dimana rumah itu dibangun. Konsep eco housing atau sering disebut rumah hijau
memiliki beberapa tujuan utama antara lain untuk mengurangi penggunaan energi yang
berlebihan sebagai usaha untuk mengurangi isu-isu lingkungan yang berkembang saat
misalnya pemanasan global, melindungi kesehatan penghuninya, mengurangi kerusakan
lingkungan dan terbilang ekonomis dari pembangun sampai digunakan sebagai hunian.
merupakan rumah yang berwawasan lingkungan yang hemat energi
dengan senantiasa memperhatikan potensi lingkungan yang ada pada suatu daerah
atau sering disebut rumah hijau
memiliki beberapa tujuan utama antara lain untuk mengurangi penggunaan energi yang
isu lingkungan yang berkembang saat
a, mengurangi kerusakan
lingkungan dan terbilang ekonomis dari pembangun sampai digunakan sebagai hunian.
Dengan menerapkan konsep eco housing pada bangunan tempat tinggal ataupun
kawasan perumahan kita akan dapat menghemat penggunaan energi listrik, dan
kenyamanan yang didapatkan pun akan lebih baik. Selain itu dengan konsep eco housing
maka penataan suatu kawasan akan lebih rapi, indah dan asri.
Penghematan energi dengan menggunakan konsep dari eco housing misalnya
dengan mengoptimalkan bukaan-bukaan dan lubang-lubang ventilasi pada bangunan
rumah yang bertujuan untuk mengurangi penggunaan energi listrik yang digunakan
untuk penerangan dan sirkulasi udara. Selain itu, dengan bentuk bangunan yang
cenderung terbuka dan menyatu dengan alam ini kita akan memperoleh kualitas hunian
yang sehat tentunya. Selain itu pengaplikasian eco housing dapat kita lihat pula pada
penggunaan roof garden dan green roof.
b. Roof Garden & Green Roof
Green roof adalah layer atau lapisan struktur konstruksi hijau yang terdiri dari
media pertumbuhan/tanah dan media Tanaman diatas sebuah bangunan. Green Roof
menutupi bidang atap dengan tanaman dimana atap dilapisi dengan bahan yang dapat
menyerap air untuk pertumbuhan tanaman. Green Roof ini berfungsi sebagai atap yang
berupa tanaman dengan berbagai manfaatnya antara lain mengurangi penggunaan AC
sebab roof garden dapat mengurangi panas yang dipancarkan sinar matahari serta dapat
menyerap air saat terjadi hujan.
Roof garden merupakan area publik dalam bentuk Taman yang memiliki fungsi
sebagai penutup/penghalang dari sinar matahari terhadap bangunan secara langsung.
Roof garden dapat menciptakan lingkungan yang sehat, nyaman, ramah lingkungan bagi
masyarakat disekitarnya. Roof Garden ini dapat berupa taman yang ditanami dengan
berbagai macam tumbuhan yang berada diatas bangunan.
Perumahan adalah kumpulan rumah sedangkan permukiman adalah kumpulan rumah
ditambah dengan sarana dan prasarana. Prasarana yang dimaksud adalah kelengkapan dasar
fisik lingkungan yang memungkinkan lingkungan tersebut dapat berfungsi sebagaimana
mestinya, dan sarana lingkungan adalah berupa fasilitas penunjang yang dapat digunakan
untuk menyelenggarakan dan mengembangkan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya.
Dalam pengertian lebih lanjut permukiman adalah suatu lingkungan hidup (misalnya
perkotaan ataupun pedesaan) yang berada di luar kawasan lindung yang berfungsi sebagai
lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung
perikehidupan dan penghidupan dimana permukiman lebih memberi kesan terhadap bentuk
bukan fisik yaitu manusianya(human) beserta sikap prilakunya, sedangkan pengertian
perumahan sendiri adalah kumpulan dari rumah yang memiliki fungsi sebagai tempat
tinggal atau lingkungan hunian yang telah dilengkapi dengan prasarana dan sarana
lingkungan, dimana perumahan lebih menitik beratkan pada bentuk fisik atau benda mati
yaitu house and land settlement.
Permukiman merupakan sebuah kawasan tertentu yang berfungsi sebagai tempat
tinggal/hunian dari manusia. Manusia biasa membangun perumahan – perumahan yang
berdekatan satu sama lain, hal ini dikarenakan karena pola dari interaksi manusia sebagai
makhluk sosial. Pola permukiman biasanya tergantung dari kondisi geografis suatu wilayah,
namun secara umum, pola permukiman dibagi menjadi 3 yaitu:
a. Pola Memanjang (Linier)
Pola permukiman penduduk dikatakan linier bila rumah - rumah yang dibangun
membentuk pola yang berderet memanjang. Pola ini biasanya ditemukan pada kawasan
sepanjang jalan raya, tepi sungai, maupun garis pantai. Pola ini dapat terbentuk karena
memungkinkan kawasan tersebut memakai pola tersebut, karena jalan raya, pantai, dan
sungai bersifat memanjang sehingga masyarakat akan membangun rumah memanjang di
sekitar kawasan tersebut.
b. Pola Terpusat (Nucleated)
Pola terpusat merupakan pola permukiman penduduk dimana rumah-rumah yang
dibangun memusat pada satu titik. Pola ini dapat ditemukan di daerah pegunungan
dimana penduduknya hanya memusat pada satu kawasan tertentu.
c. Pola Tersebar (Dispersed)
Dalam pola ini perumahan dibangun di kawasan luas dan bertanah kering yang
menyebar sehingga satu rumah dengan rumah yang lain memiliki interval. Pola ini
biasanya ditemukan di kawasan yang luas dan kering. Pola ini dapat terbentuk karena
penduduk mencoba membangun rumah di kawasan – kawasan bermukim yang dekat
dengan sumber air, terutama air tanah.
Pola linier di sepanjang jalan raya merupakan dampak dari perkembangan zaman
dimana jalan merupakan transportasi yang cepat dan praktis. Jalan raya yang ramai akan
memacu pertumbuhan ekonomi penduduk yang tinggal di sekitarnya sehingga penduduk
membangun perumahan–perumahan di sepanjang jalan guna meningkatkan perekonomian
dari penduduk sekitar. Kemudian pola linier di sepanjang tepi sungai terbentuk karena air
merupakan suatu kebutuhan yang sangat berharga bagi manusia. Air selain digunakan
sebagai sarana transportasi juga digunakan sebagai pemenuhan kebutuhan hidup seperti air
bersih, mandi cuci kakus (MCK), dan sebagainya.
Pengertian Perkembangan Kota
Menurut Ilhami (1988) sebagian besar terjadinya kota adalah berawal dari dari desa
yang mengalami perkembangan yang pasti. Faktor yang mendorong perkembangan desa
menjadi kota adalah karena desa berhasil menjadi pusat kegiatan tertentu, misalnya desa
menjadi pusat pemerintahan, pusat perdagangan, pusat pertambangan, pusat pergantian
transportasi, seperti menjadi pelabuhan, pusat persilangan/pemberhentian kereta api,
terminal bus dan sebagainya.
Pengertian kota menurut Dickinson (dalam Jayadinata, 1999) adalah suatu
pemukiman yang bangunan rumahnya rapat dan penduduknya bernafkah bukan pertanian.
Suatu kota umumnya selalu mempunyai rumah-rumah yang mengelompok atau merupakan
pemukiman terpusat. Suatu kota yang tidak terencana berkembang dipengaruhi oleh
keadaan fisik sosial.
Pola-Pola Perkembangan Kota
Sesuai dengan perkembangan penduduk perkotaan yang senantiasa mengalami
peningkatan, maka tuntutan akan kebutuhan kehidupan dalam aspek ekonomi, sosial,
budaya, politik dan teknologi juga terus mengalami peningkatan, yang semuanya itu
mengakibatkan meningkatnya kebutuhan akan ruang perkotaan yang lebih besar. Oleh
karena ketersediaan ruang di dalam kota tetap dan terbatas, maka meningkatnya kebutuhan
ruang untuk tempat tinggal dan kedudukan fungsi-fungsi selalu akan mengambil ruang di
daerah pinggiran kota (fringe area). Gejala penjalaran areal kota ini disebut sebagai
“invasion” dan proses perembetan kenampakan fisik kota ke arah luar disebut sebagai
“urban sprawl” (Northam dalam Yunus, 1994).
Secara garis besar menurut Northam dalam Yunus (1994) penjalaran fisik kota
dibedakan menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut :
a. Penjalaran fisik kota yang mempunyai sifat rata pada bagian luar, cenderung lambat dan
menunjukkan morfologi kota yang kompak disebut sebagai perkembangan konsentris
(concentric development).
b. Penjalaran fisik kota yang mengikuti pola jaringan jalan dan menunjukkan penjalaran
yang tidak sama pada setiap bagian perkembangan kota disebut dengan perkembangan
fisik memanjang/linier (ribbon/linear/axial development).
c. Penjalaran fisik kota yang tidak mengikuti pola tertentu disebut sebagai perkembangan
yang meloncat (leap frog/checher board development).
Jenis penjalaran fisik memanjang/linier yang dikemukakan oleh Northam sama
dengan Teori Poros yang dikemukakan oleh Babcock dalam Yunus (1994), yaitu
menjelaskan daerah di sepanjang jalur transportasi memiliki mobilitas yang tinggi, sehingga
perkembangan fisiknya akan lebih pesat dibandingkan daerah-daerah di antara jalur
transportasi.
Pola pemekaran atau ekspansi kota mengikuti jalur transportasi juga dikemukakan
oleh Hoyt dalam Daldjoeni (1998), secara lengkap pola pemekaran atau ekspansi kota
menurut Hoyt, antara lain, sebagai berikut :
a. Perluasan mengikuti pertumbuhan sumbu atau dengan kata lain perluasannya akan
mengikuti jalur jalan transportasi ke daerah-daerah perbatasan kota. Dengan demikian
polanya akan berbentuk bintang atau “star shape”.
b. Daerah-daerah hinterland di luar kota semakin lama semakin berkembang dan akhirnya
menggabung pada kota yang lebih besar.
c. Menggabungkan kota inti dengan kota-kota kecil yang berada di luar kota inti atau
disebut dengan konurbasi.
Senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh Northam dalam Yunus (1994),
mengenai perkembangan fisik kota secara konsentris, Branch (1995) mengemukakan enam
pola perkembangan fisik kota, secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut :
Selanjutnya berdasarkan pada kenampakan morfologi kota serta jenis penjalaran areal
kota yang ada, menurut Hudson dalam Yunus (1994) mengemukakan beberapa model
bentuk kota, yaitu sebagai berikut :
a. Bentuk satelit dan pusat-pusat baru. Bentuk ini menggambarkan kota utama yang ada
dengan kota-kota kecil di sekitarnya terjalin sedemikian rupa, sehingga pertalian
fungsional lebih efektif dan lebih efisien.
b. Bentuk stellar atau radial. Bentuk kota ini untuk kota yang perkembangan kotanya
didominasi oleh ”ribbon development”.
c. Bentuk cincin, terdiri dari beberapa kota yang berkembang di sepanjang jalan utama
yang melingkar.
d. Bentuk linier bermanik, pertumbuhan areal-areal kota hanya terbatas di sepanjang jalan
utama dan pola umumnya linier. Pada pola ini ada kesempatan untuk berkembang ke
arah samping tanpa kendala fisikal.
e. Bentuk inti/kompak, merupakan bentuk perkembangan areal kota yang biasanya
didominasi oleh perkembangan vertikal.
f. Bentuk memencar, merupakan bentuk dengan kesatuan morfologi yang besar dan
kompak dengan beberapa ”urban centers”, namun masing-masing pusat mempunyai
grup fungsi-fungsi yang khusus dan berbeda satu sama lain.
Berdasarkan pendapat para ahli yang dikemukakan di atas, tentang pola-pola
perkembangan fisik kota, pada dasarnya memiliki banyak persamaan. Namun secara umum
pola perkembangan fisik kota dapat dibedakan menjadi perkembangan memusat,
perkembangan memanjang mengikuti pola jaringan jalan dan perkembangan meloncat
membentuk pusat-pusat pertumbuhan baru.
Dalam mengkaji perkembangan fisik suatu kota, menurut Hagget (1970) dapat
mengacu pada teori difusi atau teori penyebaran/penjalaran yang mempunyai dua model
yang masing-masing memiliki maksud yang berbeda. Model-model tersebut adalah model
difusi ekspansi dan model difusi relokasi, dengan penjelasan berikut ini :
a. Model difusi ekspansi (expansion diffusion) adalah suatu proses penyebaran informasi,
material dan sebagainya yang menjalar melalui suatu populasi dari suatu daerah ke
daerah lain. Dalam proses difusi ekspansi ini informasi atau material yang didifusikan
tetap ada dan kadang-kadang menjadi lebih intensif di tempat asalnya. Salah satu contoh
proses difusi ekspansi adalah terjadinya pertambahan jumlah penduduk dalam kurun
waktu tertentu yang dibedakan dalam dua periode waktu. Dengan demikian dalam
ekspansi ruang terdapat pertumbuhan jumlah penduduk, material dan ruang hunian baru.
b. Model difusi yang lainnya adalah difusi relokasi (relocation diffusion) adalah suatu
proses yang penyebaran keruangan, yaitu informasi atau material yang didifusikan
meninggalkan daerah asal dan berpindah ke daerah yang baru.
Faktor-Faktor Penyebab Perkembangan Kota
Menurut Sujarto (1989) faktor-faktor perkembangan dan pertumbuhan yang bekerja
pada suatu kota dapat mengembangkan dan menumbuhkan kota pada suatu arah tertentu.
Ada tiga faktor utama yang sangat menentukan pola perkembangan dan pertumbuhan kota :
a. Faktor manusia, yaitu menyangkut segi-segi perkembangan penduduk kota baik karena
kelahiran maupun karena migrasi ke kota. Segi-segi perkembangan tenaga kerja,
perkembangan status sosial dan perkembangan kemampuan pengetahuan dan teknologi.
b. Faktor kegiatan manusia, yaitu menyangkut segi-segi kegiatan kerja, kegiatan fungsional,
kegiatan perekonomian kota dan kegiatan hubungan regional yang lebih luas.
c. Faktor pola pergerakan, yaitu sebagai akibat dari perkembangan yang disebabkan oleh
kedua faktor perkembangan penduduk yang disertai dengan perkembangan fungsi
kegiatannya akan menuntut pola perhubungan antara pusat-pusat kegiatan tersebut.
Pengembangan Wilayah - Alternatif Bentuk Kota
Wilayah (region) dalam pengertian geografi menurut Jayadinata (2000:13),
merupakan kesatuan alam, yaitu alam yang serba sama atau homogen atau seragam dan
kesatuan manusia, yaitu masyarakat serta kebudayaannya yang serba sama yang mempunyai
ciri yang khas, sehingga wilayah tersebut dibedakan dari wilayah lain. Wilayah geografi
dapat mengandung wilayah geologi (geological region), wilayah tubuh tanah (soil region),
wilayah ekonomi (economic region) dan sebagainya. Batas wilayah geografi ini tidak
berimpit, sehingga batsnya dapat dibuat dengan tepat. Wilayah geografi ini sering disebut
sebagai wilayah formal (formal region).
Gambar Beberapa Alternatif Bentuk Kota
Sumber : Yunus, 2001:133-141
Selain istilah wilayah formal terdapat istilah wilayah fungsional (functional region),
yang didefinisikan sebagai suatu bagian dari permukaan bumi, di mana beberapa keadaan
alam yang berlawanan memungkinkan timbulnya bermacam-macam kegiatan, yang
hasilnya berbeda dan saling mengisi dalam keperluan kehidupan penduduk. Kadang-kadang
wilayah seperti ini sering disebut wilayah organik, misalnya pada suatu pegunungan,
penduduk dari suatu gunung hidup dari kehutanan, di lerengnya dari perkebunan dan
pertambangan, di kakinya dari pertanian dan peternakan dan di dataran dari perdagangan,
industri dan pelayanan, sehingga masing-masing penduduk wilayah tersebut dapat saling
mengisi kebutuhan hidupnya.
Belum ada kesamaan pandangan para ahli tentang perbedaan pengertian wilayah dan
kota, namun pengertiannya akan lebih jelas jika dilihat dari karakteristik fungsional dari
wilayah dan kota itu sendiri. Kota lebih dicirikan oleh penduduknya yang heterogen dengan
dominasi mata pencaharian pada sektor non pertanian, sedangkan wilayah lebih dilihat dari
unit fungsionalnya yang bersifat homogen, misalnya wilayah perkotaan, yang di dalamnya
termasuk kota itu sendiri dengan wilayah hinterlandnya, wilayah pertanian dan sebagainya.
Perencanaan dan pengembangan suatu wilayah biasanya berkaitan dengan
pertumbuhan perekonomian wilayah tersebut, ini menurut teori resource endowment
(Perloff, 1960). Dalam teori ini dinyatakan bahwa pengembangan ekonomi wilayah
tergantung pada sumber daya alam yang dimiliki dan permintaan terhadap komoditas yang
dihasilkan dari sumber daya itu, yang dalam jangka pendek merupakan asset untuk
memproduksi barang dan jasa.
Menurut North (1955), pertumbuhan wilayah dalam jangka panjang bergantung pada
kegiatan industri ekspornya, sedangkan menurut Myrdal (1957), terdapat dua kekuatan yang
bekerja pada pertumbuhan ekonomi, yaitu backwash effect dan spread effect. Kekuatan efek
penyebaran (spread effect) mencakup penyebaran pasar hasil produksi bagi wilayah yang
belum berkembang, kekuatan efek balik negatif (backwash effect) biasanya melampaui efek
penyebaran dengan ketidakseimbangan aliran modal dan tenaga kerja dari daerah tidak
berkembang ke daerah berkembang.
Berdasarkan teori pengembangan wilayah, ada dua pendekatan yang umum dipakai,
yaitu konsep pengembangan wilayah dari atas (development from above) dan konsep
pengembangan dari bawah (development from below). Konsep pengembangan dari atas
paling banyak digunakan, baik secara ekonomis maupun praktek. Tujuan dari strategi ini
adalah pembangunan pada sektor-sektor utama (terpilih) pada lokasi tertentu, sehingga akan
menyebarkan kemajuan ke seluruh bagian wilayah.
Konsep Pengembangan dari Bawah adalah suatu proses pembangunan yang
menyeluruh dari berbagai kesempatan yang ada untuk individu, kelompok sosial dan
kelompok masyarakat secara teritorial pada skala menengah dan kecil, memobilisasi
sepenuhnya kemampuan dan sumber daya yang ada untuk memperoleh keuntungan bersama
dalam ekonomi, sosial dan politik. Konsep ini merupakan kebalikan dari konsep
pengembangan dari atas.
Keterkaitan antara pusat dan hinterland terdapat hubungan simbiosis dan mempunyai
fungsi yang spesifik, sehingga keduanya tergantung secara internal. Pusat berfungsi sebagai
pusat permukiman, pelayanan, industri dan perdagangan, sedangkan wilayah hinterland
berfungsi sebagai penyedia barang dasar, daerah pemasaran dan pusat pertanian. Wilayah
tersebut mempunyai hierarkhi berdasarkan jumlah penduduk, jumlah fasilitas dan
pelayanan.
Tujuan Penataan Ruang Wilayah Kota
Penataan ruang kota merupakan proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang,
dan pengendalian pemanfaatan ruang. Tata ruang sendiri adalah wujud struktural dan pola
pemanfaatan ruang wilayah nasional, ruang wilayah kabupaten/kotamadia, yang mencakup
perkotaan dan perdesaan, baik direncanakan maupun tidak yang menunjukkan adanya
hirarki dan keterkaitan pemanfaatan ruang. Secara umum prinsip -prinsip penataan ruang
BWK adalah sebagai berikut:
1. Azas penataan ruang:
a. Pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna, serasi,
selaras, seimbang dan berkelanjutan;
b. Keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum.
2. Tujuan penataan ruang:
a. Meningkatkan peran kota dalam pelayanan yang lebih luas agar mampu berfungsi
sebagai pusat pembangunan dalam suatu pengembangan wilayah;
b. Memberikan kejelasan pemanfaatan ruang yang lebih akurat dan berkualitas;
c. Mempercepat pembangunan secara tertib dan terkendali;
d. Terselenggaranya peraturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan
budidaya;
e. Tercapainya pemanfaatan ruang yang akurat dan berkualitas untuk:
Mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya
buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia;
Meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya buatan secara
berdaya guna, berhasil guna, dan tepat guna untuk meningkatkan kualitas sumber
daya manusia;
Mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas, berbudi luhur dab sejahtera;
Mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi
dampak negatif terhadap lingkungan;
Mewujudkan keseimbangan kepentingan kesejahteraan dan keamanan.
Secara khusus konsep struktur tata ruang kota menunjukkan hal-hal sebagai berikut:
a. Penetapan tingkat pengembangan masing-masing wilayah secara proporsional
kecenderungan pengembangan fungsional yang sedang berlangsung.
b. Mengatur hirarki fungsi dalam bentuk pembagian intensitas fisik, dan mengatur
pengembangan wilayah secara merata dan proporsional, agar tidak terjadi akumulasi
kegiatan yang melebihi batas daya dukungnya.
c. Memberikan pedoman dalam pola pemanfaatan lahan terutama dalam penyediaan
fasilitas sosial dan utilitas yang dibutuhkan.
Konsep peruntukan lahan pada dasarnya merupakan usaha untuk menampung
berbagai kegiatan/fungsi yang telah, sedang dan akan berkembang di bagian wilayah kota
tersebut. Berbagai fungsi/kegiatan tersebut adalah:
1. Permukiman perkotaan
2. Perkantoran
3. Perdagangan dan Jasa
4. Pendidikan
5. Konservasi
6. Jaringan prasarana dan utilitas
Dari berbagai jenis dan macam kegiatan masing-masing memiliki persyaratan tertentu
untuk pemilihan lokasi, baik untuk kepentingannya sendiri maupun hubungan dengan
fungsi lain (antar fungsi). Persyaratan tersebut antara lain:
1. Permukiman
Daerah permukiman cenderung memilih daerah datar dan dekat dengan jaringan jalan
dan transportasi umum serta fasilitas pelayanan kota.
2. Perkantoran
Daerah perkantoran pada lahan relatif datar, bebas genangan, dekat akses jalan utama
dan cenderung berada ditengah kegiatan lainnya yang berkaitan.
3. Perdagangan dan Jasa
Lahan relatif datar, dekat dengan akses ke jalan–jalan utama kota dan luar kota, sehingga
menjamin arus keluar masuk barang dan dekat dengan fungsi-fungsi lain yang berkaitan,
seperti pergudangan, terminal/ stasiun.
4. Pendidikan
Berada pada kawasan yang tenang dan jauh dari gangguan kegiatan yang dapat
mengurangi semangat maupun mangganggu proses kegiatan belajar-mengajar.
5. Daerah Lindung/Konservasi
Daerah lindung ini meliputi lindung setempat dan lindung karena daerah di bawahnya,
yang meliputi garing sempadan sungai, daerah rawan bencana dan daerah dengan
kelerengan di atas 40%.
6. Jaringan Prasarana dan Utilitas
Membentuk jaringan transportasi yang menguhubungkan berbagai daerah fungsional dan
bebas genangan banjir. Untuk terminal tipe B dan tipe C berada dimungkinkan berada
ditengah-tengah permukiman, sedangkan untuk terminal tipe A diharapkan berada di
pinggir kota sehingga mudah dicapai dari luar kota dan dalam kota.
Terdapat beberapa perbedaan bentuk dan cara penggunaan lahan di pedesaan dan
perkotaan. Ciri-ciri lahan pedesaan sebagai berikut:
a. Areal lahan cukup luas
b. Lahan masih bersifat alami
c. Lahan belum banyak dikemas dengan teknologi
d. Penggunaan lahan pedesaan, antara lain untuk perkebunan, peternakan, perhutanan,
tempat wisata alam, dan perikanan.
Ciri-ciri lahan perkotaan sebagai berikut:
a. Areal lahan perkotaan relatif sempit
b. Lahan sudah banyak diubah
c. Lahan sudah dikemas dengan kemajuan teknologi
d. Penggunaan lahan perkotaan, antara lain untuk permukiman, perkantoran, perdagangan,
industri, dan jasa.
Pembangunan yang cepat membawa perubahan situasi lingkungan perkotaan. Di
beberapa tempat dijumpai gedung-gedung baru yang akan dibangun tanpa mengindahkan
rencana peruntukan lahan. Kawasan yang seharusnya digunakan bagi kegiatan permukiman
kini banyak berubah menjadi kawasan perkantoran, pendidikan, industri, dan perdagangan.
Akibatnya, timbul beberapa masalah lingkungan, seperti kebisingan, makin berkurangnya
ruang terbuka, kemacetan lalu lintas, dan meningkatnya kadar pencemaran udara.
Perubahan penggunaan lahan juga terjadi di wilayah non urban. Akibat tekanan
penduduk kota yang tinggi, banyak area pertanian yang subur di pedesaan berubah fungsi
menjadi pemukiman baru, kawasan industri, prasarana jalan, dan bendungan.
Dalam mencari dan memilih tempat tinggal manusia pasti akan memilih lokasi dan
kondisi lingkungan yang baik dan dianggapnya sesuai. Permukiman penduduk sangat
tergantung pada keadaan alamnya sehingga persebarannya di permukaan bumi berbeda-
beda.
Dilihat dari bentuknya, pola atau peta persebaran permukiman menurut Bintarto dapat
dibedakan sebagai berikut.
a. Bentuk Pemukiman Mengelilingi Fasilitas Tertentu
Bentuk pemukiman ini berada di dataran, mengolah dan memiliki fasilitas umum berupa
mata air, waduk, danau, dan lain-lain.
b. Bentuk Permukiman Memanjang Mengikuti Alur Sungai
Bentuk permukiman ini umumnya terdapat di daerah/plain yang susunan desanya
mengikuti jalur-jalur arah sungai.
c. Bentuk Permukiman Memanjang Mengikuti Jalur Jalan Raya
Penyebaran permukimannya di kanan kiri jalur jalan raya. Pada masa kini manusia lebih
senang memilih pola mengikuti jalan raya.
d. Bentuk Permukiman Memanjang Mengikuti Garis Pantai
Permukiman ini umumnya berada di pesisir laut. Penduduk di daerah ini sebagian besar
bermata pencaharian di sektor perikanan.
e. Bentuk Permukiman Terpusat
Bentuk permukiman yang memusat umumnya terdapat di desa, yaitu pada wilayah
pegunungan dan dihuni oleh penduduk yang berasal dari satu keturunan yang sama.
Biasanya semua warga masyarakat di daerah itu adalah keluarga atau kerabat. Dusun-
dusun yang terdapat di desa yang bentuknya terpusat biasanya sedikit, yaitu sekitar 40
rumah.
Persebaran Lokasi Pemukiman Kota
Kota merupakan tempat berlangsungnya semua kegiatan sehingga diperlukan sarana
dan prasarana yang memadai. Akan tetapi, karena adanya ketimpangan antara kebutuhan
sarana dan prasarana dengan bertambahnya penduduk maka timbul berbagai masalah sosial,
ekonomi, dan budaya.
Dalam membahas pengertian kota, ada beberapa istilah yang berhubungan dengan
kota, antara lain sebagai berikut.
a. Urban adalah suatu bentuk yang memiliki suasana kehidupan dan penghidupan yang
modern.
b. City adalah pusat wilayah kota.
c. Bown adalah kota kabupaten atau pemerintah kota.
d. Bown skip adalah kota kecamatan atau kota kawedanan.
Kota dapat dibedakan menjadi beberapa jenis berikut.
a. Kota wisata, merupakan kawasan pariwisata.
b. Kota pelajar, merupakan kota kawasan pelajar karena banyak berdiri sekolah-sekolah.
c. Kota industri, merupakan daerah kota kawasan industri yang banyak pabrik-pabriknya.
d. Kota satelit, yaitu kota yang letaknya dekat dengan kota besar, warganya mendapat
penghidupan wilayah hukum kota kecil tersebut.
e. Kota perdagangan, yaitu kota yang terletak pada kawasan perdagangan. Di Amerika
Serikat, kota pusat-pusat perdagangannya disebut CDB (Central Business District),
sedangkan di Inggris pusat kota perdagangan disebut Central Area.
Adapun pola pemekaran kota dibedakan menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut:
a. Pola Konsensus
Pola ini awalnya berasal dari suatu tempat karena makin padat penghuninya lalu
berkembang ke daerah tepi atau pinggiran. Perkembangan tersebut sebagai akibat
semakin maraknya kegiatan di tempat tersebut. Akhirnya, lokasi awal tersebut menjadi
pusat bisnis dan wilayah sekitarnya menjadi wilayah pendukung.
b. Pola Sektoral
Pola ini berkembang dari sektor kegiatan yang menjadi bagian dari suatu kota yang akan
berkembang. Perkembangan setiap sector tersebut akan membawa dampak terhadap pola
keruangan di kota.
c. Pola Pusat Kegiatan Ganda
Pola seperti ini berkembang dari kondisi lingkungan yang berbeda. Masing-masing
lingkungan berkembang dan menjadi pusat kegiatan. Kota yang berkembang dengan pola
seperti ini biasanya kota yang berada di tepi pantai.
Kota sebagai tata ruang harus merupakan lingkungan yang dinamis sehingga
membutuhkan daya dukung bagi penghuninya. Oleh sebab itu, timbul sifat-sifat yang
berbeda dengan permukiman pedesaan. Sifat-sifat tersebut, antara lain sebagai berikut:
a. Penduduk kota adalah anonim, artinya satu dengan yang lain tidak saling mengenal.
b. Sifat tidak peduli terhadap orang lain.
Persyaratan yang harus dipenuhi bagi kelangsungan kehidupan kota adalah:
a. Adanya suasana dan rasa aman pada warga kota;
b. Adanya suasana tertib setiap warga masyarakat sehingga mampu menempatkan dirinya
masing-masing; dan
c. Adanya usaha untuk membina suasana sehat dan bebas dari segala penyakit menular.
Persebaran Lokasi Permukiman Desa
Pemilihan tempat tinggal pasti mencari lokasi yang baik, strategis, aman, bebas banjir,
warganya rukun, dan lain-lain. Seorang ahli sosiologi pedesaan bernama Pane H. Landis
mengemukakan tipe persebaran lokasi pemukiman (desa) yang dibedakan sebagai berikut:
a. The Arranged Isolated Farm Type
Tipe desa yang penduduknya bermukim di sepanjang jalan utama desa yang terpusat
pada pusat perdagangan dan lahan pertanian berada di sekitar permukiman. Masing-
masing unit keluarga terisolasi. Jarak antara satu rumah dengan rumah yang lain tidak
terlalu jauh. Pola permukiman di sepanjang sungai dan pantai merupakan contoh desa
tipe ini.
b. The Pure Isolated Type
Tipe desa yang penduduknya tinggal tersebar secara terpisah dengan lahan pertanian dan
masing-masing berpusat pada suatu pusat perdagangan. Tipe ini terjadi di daerah yang
tanahnya memiliki tingkat kesuburan tidak sama.
c. The Nebulous Farm Tupe
Tipe desa yang sebagian besar penduduknya tinggal bersama di suatu tempat dengan
lahan pertanian di sekitarnya. Sebagian kecil penduduk tersebar di luar permukiman
pokok. Sebenarnya the nebulous farm sama dengan tipe the farm village, tetapi karena
terlalu padatnya permukiman itu, ada beberapa penduduk yang terkumpul di luar
permukiman pokok.
Alasan Penduduk Bermukim di Berbagai Bentang Lahan
Penyebaran pemukiman penduduk menempati berbagai macam bentang lahan.
Manusia mempunyai alasan bermukim di tiap bentang lahan yang berbeda karena setiap
bentang lahan memiliki ciri khas berbeda yang berpengaruh bagi kehidupan manusia. Untuk
itu penyebaran pemukiman merupakan wujud adaptasi menusia terhadap lingkungan.
Adapun berbagai alasan penduduk memilih bermukim di berbagai bentang alam diuraikan
sebagai berikut:
1. Permukiman Penduduk di Daerah Pegunungan
Daerah sekitar pegunungan mempunyai keunggulan tanah yang subur, udara sejuk
dan panorama indah, dan seringkali dijadikan kawasan objek wisata. Dengan demikian,
pola pemukiman yang terbentuk mengelompok di sekitarnya. Tanah di daerah
pegunungan yang subur cocok untuk usaha pertanian dan perkebunan sehingga banyak
penduduk yang berminat tinggal di daerah tersebut. Permukiman penduduk di daerah
pegunungan juga tersebar di kanan kiri jalan raya, berkaitan dengan kemudahan dalam
prasarana transportasi.
2. Permukiman Penduduk di Daerah Dataran Rendah
Dataran rendah banyak diminati sebagai kawasan tempat tinggal karena berbagai
alasan berikut:
a. Pesatnya pembangunan fisik di daerah datarah rendah karena wilayahnya yang datar.
b. Merupakan daerah yang subur sebagai lahan pertanian dengan cadangan air yang
cukup banyak.
c. Dataran rendah merupakan kawasan industri dan perdagangan.
d. Dataran rendah biasanya merupakan kota-kota besar yang lengkap dengan prasaran
jalan, gedung, dan industri.
3. Permukiman Penduduk di Daerah Pantai
Daerah pantai adalah daerah batas antara daratan dan lautan. Mata pencaharian
penduduk daerah pantai pada umumnya menggantungkan pada usaha eksploitasi laut,
seperti nelayan, usaha tambak atau membuat garam. Pada zaman sekarang beberapa
daerah pantai merupakan daerah maju karena banyak yang berkembang menjadi kota
besar seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya.
Berbagai alasan penduduk bermukim di daerah pantai sebagai berikut:
a. Daerah pantai merupakan tanah kelahiran dan tanah leluhur, artinya penduduk sudah
tinggal di lokasi tersebut turun temurun. Dengan demikian mempunyai ikatan
emosional (batin) yang kuat dengan daerah tersebut.
b. Ada keterkaitan dengan mata pencaharian (pekerjaan).
c. Daerah pantai kaya sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan.
d. Daerah pantai yang merupakan objek wisata banyak diminati karena panoramanya
yang indah dan iklimnya sesuai.
Kepadatan penduduk atau densitas penduduk ialah perbandingan rata-rata antara
jumlah penduduk di suatu daerah dengan luasnya daerah tersebut dihitung setiap km2,
sedangkan kepadatan penduduk agraris, yang dihitung hanya penduduk petaninya saja dan
tanah yang dihitung hanya tanah yang produktif. Jadi, lahan tidur, lapangan udara, dan
sungai tidak dihitung.
Beberapa pengertian tentang kepadatan penduduk sebagai berikut.
a. Kepadatan penduduk absolut atau mutlak, ialah keadaan negara/daerah yang sebagian
besar penduduknya masih sulit mencukupi kebutuhan pokoknya, biasanya melanda
negara yang sedang berkembang dan negara miskin.
b. Kekurangan penduduk, terjadi bila suatu negara jumlah penduduk sedemikian kecilnya
sehingga sulit untuk mengolah kekayaan alam guna mencukupi kebutuhan hidupnya.
Jadi, baik kepadatan penduduk dan kekurangan penduduk sama-sama kurang
menguntungkan bagi negara.
c. Kepadatan penduduk optimum, yaitu kepadatan penduduk yang sebaikbaiknya. Jumlah
penduduk yang ada di negara itu cukup untuk meng olah kekayaan alam yang ada di
negaranya guna mencukupi kebutuhan hidup.
Teori Pusat Pertumbuhan
Pusat pertumbuhan dapat terbentuk di suatu wilayah. Terbentuknya pusat
pertumbuhan dapat terjadi secara alami atau dengan perencanaan. Beberapa teori mengenai
pusat pertumbuhan atau perkembangan wilayah berikut:
1. Teori Polarisasi Ekonomi
Teori polarisasi ekonomi dikemukakan oleh Gunar Myrdal. Menurut Myrdal,
setiap daerah mempunyai pusat pertumbuhan yang menjadi daya tarik bagi tenaga buruh
dari pinggiran. Pusat pertumbuhan tersebut juga mempunyai daya tarik terhadap tenaga
terampil, modal, dan barang-barang dagangan yang menunjang pertumbuhan suatu
lokasi. Demikian terus-menerus akan terjadi pertumbuhan yang makin lama makin pesat
atau akan terjadi polarisasi pertumbuhan ekonomi (polarization of economic growth).
Teori polarisasi ekonomi Myrdal ini menggunakan konsep pusat-pinggiran
(coreperiphery). Konsep pusat-pinggiran merugikan daerah pinggiran, sehingga perlu
diatasi dengan membatasi migrasi (urbanisasi), mencegah keluarnya modal dari daerah
pinggiran, membangun daerah pinggiran, dan membangun wilayah pedesaan.
Adanya pusat pertumbuhan akan berpengaruh terhadap daerah di sekitarnya.
Pengaruh tersebut dapat berupa pengaruh positif dan negatif. Pengaruh positif terhadap
perkembangan daerah sekitarnya disebut spread effect. Contohnya adalah terbukanya
kesempatan kerja, banyaknya investasi yang masuk, upah buruk semakin tinggi, serta
penduduk dapat memasarkan bahan mentah. Sedangkan pengaruh negatifnya disebut
backwash effect, contohnya adalah adanya ketimpangan wilayah, meningkatnya
kriminalitas, kerusakan lingkungan, dan lain sebagainya.
2. Teori Kutub Pertumbuhan
Konsep kutub pertumbuhan (growth pole concept) dikemukakan oleh Perroux,
seorang ahli ekonomi Prancis (1950). Menurut Perroux, kutub pertumbuhan adalah
pusat-pusat dalam arti keruangan yang abstrak, sebagai tempat memancarnya
kekuatankekuatan sentrifugal dan tertariknya kekuatan-kekuatan sentripetal.
Pembangunan tidak terjadi secara serentak, melainkan muncul di tempat-tempat tertentu
dengan kecepatan dan intensitas yang berbeda. Kutub pertumbuhan bukanlah kota atau
wilayah, melainkan suatu kegiatan ekonomi yang dinamis. Hubungan kekuatan ekonomi
yang dinamis tercipta di dalam dan di antara sektor-sektor ekonomi.
3. Teori Pusat Pertumbuhan
Teori pusat pertumbuhan dikemukakan oleh Boudeville. Menurut Boudeville (ahli
ekonomi Prancis), pusat pertumbuhan adalah sekumpulan fenomena geografis dari
semua kegiatan yang ada di permukaan Bumi. Suatu kota atau wilayah kota yang
mempunyai industri populasi yang kompleks, dapat dikatakan sebagai pusat
pertumbuhan. Industri populasi merupakan industri yang mempunyai pengaruh yang
besar (baik langsung maupun tidak langsung) terhadap kegiatan lainnya.
4. Teori Tempat Sentral
Teori tempat sentral dikemukakan oleh Walter Christaller (1933), seorang ahli
geografi dari Jerman. Teori ini didasarkan pada lokasi dan pola persebaran permukiman
dalam ruang. Dalam suatu ruang kadang ditemukan persebaran pola permukiman desa
dan kota yang berbeda ukuran luasnya. Teori pusat pertumbuhan dari Christaller ini
diperkuat oleh pendapat August Losch (1945) seorang ahli ekonomi Jerman.
Keduanya berkesimpulan, bahwa cara yang baik untuk menyediakan pelayanan
berdasarkan aspek keruangan dengan menempatkan aktivitas yang dimaksud pada
hierarki permukiman yang luasnya meningkat dan lokasinya ada pada simpul-simpul
jaringan heksagonal. Lokasi ini terdapat pada tempat sentral yang memungkinkan
partisipasi manusia dengan jumlah maksimum, baik mereka yang terlibat dalam aktivitas
pelayanan maupun yang menjadi konsumen dari barang-barang yang dihasilkannya.
Tempat-tempat tersebut diasumsikan sebagai titik simpul dari suatu bentuk
geometrik berdiagonal yang memiliki pengaruh terhadap daerah di sekitarnya. Hubungan
antara suatu tempat sentral dengan tempat sentral yang lain di sekitarnya membentuk
jaringan sarang lebah seperti yang kamu lihat pada gambar samping.
Menurut Walter Christaller, suatu tempat sentral mempunyai batas-batas pengaruh yang melingkar dan komplementer terhadap tempat sentral tersebut. Daerah atau wilayah yang komplementer ini adalah daerah yang dilayani oleh tempat sentral. Lingkaran batas yang ada pada kawasan pengaruh tempat-tempat sentral itu disebut batas ambang(threshold level).
Konsep dasar dari teori tempat sentral sebagai berikut:
1. Population threshold, yaitu jumlah minimal penduduk yang diperlukan untuk
melancarkan dan kesinambungan dari unit pelayanan.
2. Range (jangkauan), yaitu jarak maksimum yang perlu ditempuh penduduk untuk
mendapatkan barang atau jasa yang dibutuhkannya dari tempat pusat. Hal-hal yang
perlu diperhatikan adalah:
a. Range selalu lebih besar dibanding daerah tempat population threshold.
b. Inner limit (batas dalam) adalah batas wilayah yang didiami population threshold.
c. Outer limit (batas luar) adalah batas wilayah yang mendapatkan pelayanan terbaik,
sehingga di luar batas itu penduduk akan mencari atau pergi ke pusat lain.
Perhatikan gambar berikut:
Tempat sentral memiliki batas-batas pengaruh. Batasbatas itu melingkar dan
komplementer dengan tempat sentral tersebut. Suatu tempat sentral dapat berupa kota-
kota besar, pusat perbelanjaan, rumah sakit, ibu kota provinsi, dan kota kabupaten.
Masing-masing tempat sentral tersebut menarik penduduk yang tinggal di sekitarnya
dengan daya jangkau yang berbeda-beda.
Teori Walter Christaller dapat diterapkan secara baik di suatu wilayah dengan
syarat-syarat sebagai berikut:
1. Topografi dari wilayah tersebut relatif seragam, sehingga tidak ada bagian yang
mendapat pengaruh lereng atau pengaruh alam lainnya dalam hubungannya dengan
jalur angkutan.
2. Kehidupan atau tingkat ekonomi penduduk relatif homogeny dan tidak
memungkinkan adanya produksi primer yang menghasilkan padi-padian, kayu, atau
batu bara.
Tiga asas tempat sentral menurut Christaller sebagai berikut:
a. Tempat Sentral Menurut Asas Pasar (K3)
Merupakan pusat pelayanan berupa pasar yang responsif terhadap ketersediaan
barang dan jasa atau sering disebut dengan kasus pasar optimal. Para konsumen di
tempat-tempat yang lebih kecil terbagi menjadi tiga kelompok yang sama besarnya,
jika berbelanja ke tiga tempat lebih besar yang letaknya terdekat.
b. Tempat Sentral Menurut Asas Transportasi (K4)
Tempat sentral memberikan kemungkinan jalur lalu lintas yang paling efisien
kepada daerah sekitarnya. Para konsumen di tempat-tempat yang lebih kecil terbagi
menjadi dua kelompok yang sama, jika berbelanja ke dua tempat lebih besar yang
terdekat.
c. Tempat Sentral Menurut Administrasi (K7)
Tempat sentral ini memengaruhi seluruh bagian wilayah sekitarnya dan wilayah
itu sendiri. Pembangunan tempat sentral ini tidak berorientasi pada sektor ekonomi,
tetapi pada sektor sosial dan politik. Contohnya kota pusat pemerintah. Para
konsumen di tempat-tempat yang lebih kecil berbelanja ke tempat-tempat yang lebih
besar yang letaknya terdekat.
Pengertian dan Faktor Pusat Pertumbuhan
Setiap wilayah mempunyai potensi untuk dapat tumbuh dan berkembang.
Perkembangan suatu wilayah menjadi pusat pertumbuhan terjadi karena beberapa faktor.
Pusat-pusat pertumbuhan yang muncul telah melahirkan teori pusat pertumbuhan wilayah.
Selain itu, pusat pertumbuhan yang dibangun di Indonesia, seperti kawasan pengembangan
ekonomi terpadu (KAPET) misalnya, diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan
penduduknya.
Perkembangan wilayah diawali dengan munculnya pusat pertumbuhan. Pusat
pertumbuhan merupakan suatu wilayah yang berkembang secara pesat khususnya kegiatan
ekonomi sehingga menjadi pusat pembangunan daerah. Pusat pertumbuhan akan
mendorong perkembangan wilayah sekitarnya. Pusat pertumbuhan yang muncul di suatu
wilayah dipengaruhi oleh karakteristik wilayahnya. Perkembangan pusat pertumbuhan di
suatu wilayah ditentukan oleh faktor-faktor sebagai berikut.
a. Sumber Daya Alam
Daerah yang mempunyai kekayaan sumber daya alam berpotensi menjadi pusat
pertumbuhan. Sebagai contoh, penambangan bahan tambang yang bernilai ekonomi
tinggi di suatu wilayah merangsang kegiatan ekonomi, memberikan kesempatan kerja,
dan meningkatkan pendapatan daerah serta berpengaruh terhadap munculnya kegiatan
ekonomi penunjang.
b. Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia sangat berperan dalam pembentukan pusat pertumbuhan di
suatu wilayah. Tenaga kerja yang ahli, terampil, andal, kapabel, dan profesional
dibutuhkan untuk mengelola sumber daya alam. Pusat pertumbuhan akan berkembang
dan pembangunan berjalan lancar apabila tersedia sumber daya manusia yang andal.
c. Kondisi Fisiografi/Lokasi
Kondisi fisiografi/lokasi memengaruhi perkembangan pusat pertumbuhan. Lokasi
yang strategis memudahkan transportasi dan angkutan barang, sehingga pusat
pertumbuhan berkembang cepat. Sebagai contoh, daerah dataran rendah yang berelief
rata memungkinkan pusat pertumbuhan berkembang lebih cepat dibanding daerah
pedalaman yang berelief kasar atau berpegunungan.
d. Fasilitas Penunjang
Pusat pertumbuhan akan lebih berkembang apabila didukung oleh fasilitas
penunjang yang memadai. Beberapa fasilitas penunjang antara lain jalan, jaringan listrik,
jaringan telepon, pelabuhan laut dan udara, fasilitas air bersih, penyediaan bahan bakar,
serta prasarana kebersihan.
Batas Wilayah Pertumbuhan
Batas wilayah pertumbuhan merupakan batas pengaruh terluar suatu wilayah yang
mengalami pertumbuhan. Suatu wilayah yang sedang tumbuh memiliki batas-batas
pengaruh yang berbeda-beda.
1. Penentuan Batas Wilayah Pertumbuhan
Sebuah pusat pertumbuhan memiliki daerah pengaruh yang jumlahnya lebih dari
satu. Hal ini disebabkan pusat pertumbuhan menawarkan berbagai jenis barang dan
pelayanan. Pengaruh pusat pertumbuhan terhadap daerah sekitarnya berkurang seiring
dengan jarak. Semakin jauh jaraknya maka semakin kecil pengaruhnya dan semakin
rendah tingkat pelayanannya.
Di Inggris, untuk mengetahui sejauh mana pengaruh kota terhadap daerah
sekitarnya dilakukan dengan menyusun indeks. Indeks tersebut menunjukkan keterkaitan
kota dengan daerah di sekelilingnya. Indeks tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut.
a. Distribusi surat kabar lokal dengan daerah sekitarnya.
b. Pelayanan transportasi umum.
c. Penjualan barang dengan eceran di kecamatan oleh pedagang besar di kota.
d. Persebaran sekolah-sekolah tertentu.
e. Banyaknya pelajar dan jauh dekatnya jarak asal para pelajar tersebut.
f. Wilayah cakupan pelayanan dari rumah sakit pusat.
g. Wilayah persebaran berita atau hiburan lewat siaran radio.
Selain berdasarkan indeks di atas, untuk menentukan batas wilayah pertumbuhan
dapat dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif.
a. Secara Kualitatif
Penentuan batas wilayah pertumbuhan secara kualitatif, antara lain dilakukan
dengan melakukan survei langsung atau kunjungan. Dengan begitu akan mengetahui
secara langsung batas-batas pertumbuhan wilayah. Misalnya dengan mengunjungi
perbatasan kota, desa, atau provinsi.
Selain itu, penentuan batas pertumbuhan secara kualitatif juga dapat dilakukan
dengan interpretasi foto udara atau citra satelit. Penentuan batas pertumbuhan
didasarkan pada warna, rona, tekstur, dan pola yang ada dalam foto udara atau citra
satelit.
b. Secara Kuantitatif
Penentuan batas wilayah pertumbuhan secara kuantitatif, merupakan cara
penentuan batas wilayah berdasarkan ukuranukuran dari variabel tertentu. Penentuan
ini dapat dilakukan dengan perhitungan matematis, antara lain dengan rumus teori
titik henti.
Model ini dikemukakan oleh William J. Reilly. Teori ini dapat digunakan untuk
menentukan lokasi unit usaha ekonomi, sarana kesehatan, atau sarana pendidikan.
Rumus model titik henti:
2. Interaksi Wilayah Pertumbuhan
Berdasarkan data empiris (pengamatan di lapangan), apabila dua wilayah
pertumbuhan saling berinteraksi maka salah satunya mempunyai pengaruh yang lebih
kuat. Interaksi yang terjadi antarwilayah pertumbuhan dapat dilihat dari beberapa aspek.
Interaksi antarwilayah pertumbuhan dapat dilihat dari tiga aspek sebagai berikut:
a. Aspek Ekonomi
Jaringan jalan yang menghubungkan dua wilayah pertumbuhan menjadikan
transportasi lancar, sehingga merangsang kegiatan ekonomi di kedua wilayah itu.
Wilayah pertumbuhan A menjadi produsen barang-barang yang dibutuhkan di
wilayah pertumbuhan B, sehingga barangbarang dari A dikirim ke B.
Lalu lintas yang lancar antarwilayah pertumbuhan akan menekan harga kebutuhan
di kedua wilayah.
Wilayah pertumbuhan A dapat menjadi pasar bagi barangbarang yang diproduksi
di wilayah pertumbuhan B dan sebaliknya.
b. Aspek Sosial
Mobilitas dari berbagai latar belakang sosial ekonomi dan berbagai tujuan yang
berbeda terjadi antarwilayah pertumbuhan.
Tenaga kerja dari luar wilayah pertumbuhan yang bekerja dan mencari nafkah di
suatu wilayah.
Kepadatan penduduk yang tinggi menyebabkan penduduk bermigrasi ke wilayah
pertumbuhan lain.
Kebutuhan bahan baku dan hasil industri menyebabkan terjadinya interaksi
antarwilayah pertumbuhan.
c. Aspek Budaya
Mode pakaian dan gaya berpakaian dari salah satu wilayah pertumbuhan banyak
ditiru di wilayah lain.
Penyebaran seni dan budaya melalui media komunikasi ke wilayah pertumbuhan
lainnya.
Budaya konsumtif dari suatu wilayah pertumbuhan mudah menular ke wilayah
lain.
Penemuan bidang teknologi dari suatu wilayah pertumbuhan dapat diterapkan
untuk kemajuan wilayah lainnya.
Dari aspek-aspek di atas tampak bahwa pengaruh yang disebabkan oleh interaksi
antarwilayah pertumbuhan dapat memberikan pengaruh positif maupun negatif bagi
masing-masing wilayah.
Fungsi, Konsep dan Pengaruh Wilayah Pusat Pertumbuhan Di Indonesia
1. Fungsi Pusat Pertumbuhan
Bagian-bagian dari wilayah di permukaan bumi itu tidak tumbuh bersama-sama
secara teratur, tetapi disengaja atau tidak disengaja ada bagian-bagian yang tumbuh dan
maju atau berkembang lebih cepat dari bagian lain. Cepatnya pertumbuhan di tempat ini
dapat menjadi pendorong bagi bagian lain yang tingkat pertumbuhannya kurang cepat.
Secara umum fungsi pusat pertumbuhan, yaitu sebagai berikut.
a. Memudahkan koordinasi dan pembinaan.
b. Melihat perkembangan wilayah maju atau mundur.
c. Meratakan pembangunan di seluruh wilayah.
2. Konsep Dasar Wilayah Pusat Pertumbuhan
Istilah pertumbuhan dalam geografi yang dimaksud, yaitu pertumbuhan
pembangunan, baik pembangunan fisik wilayah maupun pembangunan sosial budaya.
Dalam kerangka pendekatan perwakilan, Indonesia dapat dibagi menjadi beberapa
wilayah pembangunan. Setiap wilayah pemba ngunan mempunyai sebuah kota yang
menjadi pusat pertumbuhan yang disebut juga kutub pertumbuhan (growth pole).
Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya wilayah pusat pertumbuhan antara
lain sebagai berikut.
a. Faktor alam: pegunungan, dataran tinggi, dataran rendah, cuaca, iklim, rawa-rawa,
dan kesuburan tanah.
b. Faktor ekonomi: perbedaan kebutuhan antara tempat yang satu dengan yang lain.
c. Faktor industri: kebutuhan tenaga kerja, tempat tinggal, dan peralatan rumah.
d. Faktor sosial: pendidikan, pendapatan, dan kesehatan.
e. Faktor lalu lintas: jenis transport, kondisi jalan, dan fasilitas lalu lintas.
3. Kaitan Wilayah Pusat Pertumbuhan dan Pengaruh Pusat Pertumbuhan
Pengaruh Pusat-pusat Wilayah Pertumbuhan Terhadap Pemusatan dan Persebaran
Sumber Daya. Kemunculan pusat pertumbuhan akan menarik jumlah tenaga kerja yang
banyak, dapat dilihat dari arus mobilitas dan migrasi penduduk dari desa ke kota maupun
antarprovinsi. Arus migrasi penduduk dari pedesaan menuju kota besar maupun kota
kecil di Indonesia, menunjukkan angka yang terus meningkat sejalan dengan pesatnya
pertumbuhan kota.
Konsep-Konsep Pengembangan Wilayah
a. Pusat-Pusat Pertumbuhan
b. Pengembangan Ekonomi Lokal
c. Strategi Pengembangan Ekonomi
Location Quotient Analysis (LQ)
Shift-Share Analysis
d. Pembangunan Ekonomi Berbasis Wilayah
e. Pengembangan Wilayah Berbasis Kompetisi
Strategi pengembangan pusat-pusat pertumbuhan merupakan strategi yang didasarkan
pada pertumbuhan ekonomi yang tidak seimbang/merata. Dalam konteks pengembangan
wilayah, pendekatan berdasarkan strategi ini paling banyak digunakan baik secara ekonomis
maupun praktek. Tujuan dari strategi ini adalah pembangunan pada sektor-sektor utama
pada lokasi-lokasi tertentu, sehingga akan menyebarkan kemajuan ke seluruh wilayah.
Ada beberapa strategi pengembangan wilayah dengan konsep pusat-pusat
pertumbuhan ini (Parr, 1999), yaitu:
a. Membangkitkan kembali daerah terbelakang (depressed area)
Daerah terbelakang dipandang sebagai daerah yang memiliki karakteristik
tingginya tingkat pengangguran, pendapatan perkapita rendah, kesejahteraan penduduk
di bawah rata-rata, serta rendahnya tingkat pelayanan fasilitas dan utilitas yang ada.
Strategi ini dilakukan untuk menciptakan struktur ruang wilayah yang lebih kompetitif.
Pendekatan yang dilakukan adalah dengan mengkombinasikan antara pergerakan modal
secara inter-regional. Tujuannya adalah mencegah modal ke luar wilayah, serta
mencegah tingginya populasi di daerah tersebut. Hasil yang kemudian diharapkan adalah
berupa transformasi struktur ruang ekonominya.
b. Mendorong dekonsentrasi wilayah
Strategi ini dilakukan guna menekan tingkat konsentrasi wilayah, serta bertujuan
untuk membentuk struktur ruang yang tepat, khususnya pada beberapa bagian dari
wilayah non-metropolitan. Artinya, pengembangan yang dilakukan adalah pada wilayah
non-metropolitan, untuk menekan perannya yang sudah terlalu besar. Hal yang perlu
diperhatikan di sini adalah perlunya mempertimbangkan faktor lokasi pengembangan,
bahwa tidak semua lokasi layak dijadikan sebagai pusat pertumbuhan.
c. Memodifikasi sistem kota-kota
Tujuan strategi ini adalah untuk mengontrol urbanisasi menuju pusat-pusat
pertumbuhan, yaitu dengan adanya pengaturan sistem perkotaan yang memiliki hierarkhi
yang terstruktur dengan baik dan diharapkan akan dapat mengurangi migrasi penduduk
ke kota besar.
d. Pencapaian terhadap keseimbangan wilayah
Strategi ini muncul akibat kurang memuaskannya struktur ekonomi inter-regional
yang biasanya dengan mempertimbangkan tingkat kesejahteraan, serta yang
berhubungan dengan belum dimanfaatkannya sumber daya alam pada beberapa daerah.
Selanjutnya ia mengungkapkan beberapa karakteristik dari strategi pusat-pusat
pertumbuhan tersebut, yaitu sebagai berikut :
a. Mendorong pertumbuhan lapangan kerja dan populasi dalam suatu wilayah pada
sebagian lokasi atau pusat yang telah direncanakan pada satu periode tertentu,
b. Dibutuhkan pembatasan jumlah lokasi-lokasi atau pusat-pusat yang dirancang sebagai
pusat,
c. Diperlukan seleksi/diskriminasi keruangan di antara lokasi-lokasi yang ada,
d. Modifikasi struktur keruangan terhadap lapangan pekerjaan dan populasi dalam wilayah.
Selanjutnya terdapat beberapa kerangka batasan dalam pembuatan keputusan dalam
kaitannya dengan perencanaan ekonomi wilayah, batasan-batasan tersebut adalah sebagai
berikut (ibid) :
a. Diagnosis yang harus hati-hati terhadap permasalahan wilayah serta artikulasi yang
jernih terhadap konsistensi tujuan berdasarkan perencanaan yang realistis, juga
berdasarkan pada keterbatasan yang menyangkut kelayakan ekonomi dan teknis,
ketersediaan sumber daya dan penerimaan secara politik,
b. Mengetahui secara mendalam tentang aktivitas ekonomi dalam wilayah, termasuk
mengetahui sejauh mana struktur hubungan antara sektor ekonomi dengan struktur ruang
wilayahnya,
c. Apresiasi terhadap pertumbuhan eksisting serta antisipasi terhadap penyebaran
pertumbuhan, apakah itu di antara wilayah dalam lingkup nasional, antara kawasan
dengan wilayah atau dalam suatu sistem kota,
d. Identifikasi yang memadai terhadap instrumen kebijakan yang ada, termasuk kapasitas
dari struktur administrasi,
e. Penelitian yang hati-hati terhadap resiko dan kemungkinan kesuksesan yang
berhubungan dengan aspek sektoral dan keruangan,
f. Pengertian terhadap operasional dari keterkaitan dan interaksi di antara beberapa elemen
yang terkait.
Kemudian ada 3 (tiga) dasar rasional yang mempengaruhi kinerja pusat pertumbuhan
secara keseluruhan :
1. Konsentrasi prasarana kota pada pusat pertumbuhan
Pemusatan prasarana kota pada pusat-pusat pertumbuhan didefinisikan dalam
konteks yang luas yang dimaksudkan untuk mendukung tujuan utama ekonomi dan
tujuan sosial. Dalam konteks belanja publik ada sebuah justifikasi terhadap hal tersebut,
yaitu tipe prasarana yang dibatasi pada fasilitas yang memiliki skala pelayanan yang
luas. Untuk prasarana transportasi termasuk di dalamnya pembangunan baru dan
peningkatan jalan dengan fokus pada pusat pertumbuhan yang telah direncanakan, atau
dengan kata lain yang menghubungkan pusat pertumbuhan dengan daerah-daerah
belakangnya. Prasarana yang berskala luas ini akan menimbulkan eksternalitas, sehingga
akan membuat daerah menjadi lebih atraktif bagi perusahaan dalam konteks lokasi dan
menstimulasi masuknya investasi ke dalam pusat pertumbuhan. Untuk melengkapi
prasarana tersebut harus didukung oleh kebijakan pembangunan yang dikeluasrkan oleh
pemerintah daerahnya.
2. Konsentrasi aktivitas perekonomian (aglomerasi)
Konsentrasi / aglomerasi aktivitas perekonomian di pusat pertumbuhan terutama
industri yang memiliki keterkaitan ke depan (forwad linkage) dan kaitan ke belakang
(backward linkage). Hal ini akan dipengaruhi oleh aliran investasi yang masuk langsung
ke dalam pusat pertumbuhan dan dikaitkan dengan eksploitasi aglomerasi ekonomi.
Konsentrasi aktivitas ekonomi ini sangat bergantung pada kelengkapan prasarana kota.
3. Kutub yang direncanakan berdasarkan keunggulan komperatifnya
Hal ini terutama didasarkan pada kebijakan spasial untuk mengembangkan pusat
pertumbuhan dengan melihat aspek keunggulan komperatif daerah, kependudukan dan
kinerja ekonomi daerah. Bagaimanapun juga rasionalitas dari strategi pusat pertumbuhan
memunculkan dua pola yang berbeda, pertama adalah struktur ruang wilayah mengalami
perubahan yang radikal dengan pertumbuhan pada kutub yang direncanakan yang
disertai oleh redistribusi utama dari populasi dan pekerja dengan gaji murah (low-cost
labor) ke dalam pusat dan dengan menimbulkan efek ke sektor lainnya, yaitu
perdagangan dan jasa. Semua itu akan mendorong masuknya investasi ke dalam pusat
pertumbuhan dan meningkatkan kinerja ekonomi wilayahnya.
Pengertian dan Fungsi Rumah
Menurut John F.C. Turner (1976:151), rumah memiliki dua arti, yaitu sebagai kata
benda (produk/komoditi) dan sebagai kata kerja (proses/aktivitas). Rumah sebagai kata
benda menunjukan bahwa tempat tinggal (rumah dan lahan) sebagai suatu bentuk hasil
produksi atau komoditi, sedangkan sebagai kata kerja menunjukan suatu proses dan
akttifitas manusia yang terjadi dalam pembangunan maupun selama proses menghuninya.
Pengertian rumah sebagai produk atau komoditi lebih diarahkan pada kriteria
pengukuran standar-standar fisik rumah sedangkan dalam pengertian rumah sebagai proses
aktivitas kriteria pengukurannya adalah faktor kepuasan. Kemudian Turner (1976, 212-
213), juga mengidentifikasikan tiga fungsi utama rumah sebagai tempat bermukim, yaitu :
a. Rumah sebagai penunjang identitas keluarga, yang diwujudkan pada kualitas hunian atau
perlindungan yang diberikan oleh rumah (the quality of shelter provide by housing).
Kebutuhan akan tempat tinggal dimaksudkan agar penghuni dapat memiliki tempat
berlindung/berteduh agar terlindung dari iklim setempat.
b. Rumah sebagai penunjang kesempatan (opportunity) keluarga untuk berkembang dalam
kehidupan sosial, budaya dan ekonomi atau fungsi pengaman keluarga. Fungsi ini
diwujudkan dalam lokasi tempat rumah itu didirikan. Kebutuhan berupa akses ini
diterjemahkan dalam pemenuhan kebutuhan sosial dan kemudahan ke tempat kerja guna
mendapatkan sumber penghasilan.
c. Rumah sebagai penunjang rasa aman dalam arti terjaminnya keadaan keluarga di masa
depan setelah mendapatkan rumah. Jaminan keamanan atas lingkungan perumahan yang
ditempati serta jaminan berupa kepemilikan rumah dan lahan (the form of tenure).
Fungsi ketiganya berbeda sesuai dengan tingkat penghasilan, bagi golongan
berpenghasilan tinggi atau menengah keatas faktor identity menjadi tuntutan utama,
sedangkan pada masyarakat golongan menengah faktor security yang diprioritaskan, pada
golongan berpenghasilan rendah atau menengah kebawah faktor opportunity merupakan
yang terpenting.
Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar (basic need) manusia, sesudah pangan
dan sandang. (Budihardjo, 1994:57) menguraikan tingkat intensitas dan arti penting dari
kebutuhan manusia terhadap rumah berdasarkan hirarki kebutuhan dari Maslow, dimulai
dari yang terbawah sebagai berikut :
a. Rumah memberikan perlindungan terhadap gangguan alam dan binatang, berfungsi
sebagai tempat istirahat, tidur, dan pemenuhan fungsi badani.
b. Rumah harus bisa menciptakan rasa aman, sebagai tempat menjalankan kegiatan ritual,
penyimpanan harta milik yang berharga, menjamin hak pribadi.
c. Rumah memberikan peluang untuk interaksi dan aktivitas komunikasi yang akrab dengan
lingkungan sekitar : teman, tetangga, keluarga.
d. Rumah memberikan peluang untuk tumbuhnya harga diri, yang disebut Pedro Arrupe
sebagai : “Status Conferring Function”, kesuksesan seseorang tercermin dari rumah dan
lingkungan tempat huniannya.
e. Rumah sebagai aktualisasi diri yang “diejawantahkan” dalam bentuk pewadahan
kreativitas dan pemberian makna bagi kehidupan yang pribadi.
Menurut Undang-Undang RI No. 4 tahun 1992, tentang perumahan dan permukiman,
arti rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana
pembinaan keluarga.
Perumahan adalah hal yang langsung menyangkut berbagai aspek kehidupan dan
harkat hidup manusia. Beberapa faktor yang berpengaruh pada pembangunan perumahan
saat ini adalah : kependudukan, pertanahan, daya beli masyarakat, perkembangan teknologi
dan industri jasa konstruksi, kelembagaan, peraturan dan perundang-undangan, swadaya
dan swakarsa serta peran serta masyarakat dalam pembangunan perumahan (Yudhohusodo,
1991:85-96).
Faktor perubahan nilai-nilai budaya masyarakat juga sangat berpengaruh pada
pembangunan perumahan, hal ini jelas terlihat pada masyarakat perkotaan, karena sifatnya
yang dinamis dan pluralistis, masyarakat kota mempunyai ciri budaya yang beraneka ragam.
Dalam membuat keputusan tentang rumah, manusia akan memperhitungkan antara
nilai rumah yang ada dengan kebutuhan masing-masing individu, meliputi : prosedur,
barang dan pelayanan. Hal yang paling penting adalah tentang lokasi dan akses kepada
masyarakat dan tempat-tempat lain, biaya sewa dan kemudahan untuk dipindah tangankan,
serta privasi dan kenyamanan (Turner, 1976 : 64).
Kriteria Pembangunan Perumahan
Berdasarkan petunjuk Rencana Kawasan Perumahan Kota yang disusun oleh
Departemen Pekerjaan Umum tahun 1997, suatu kawasan perumahan selayaknya
memenuhi persyaratan dasar untuk pengembangan kota, yakni :
a. Aksesibilitas, yakni kemungkinan pencapaian dari dan ke kawasan perumahan dalam
bentuk jalan dan transportasi.
b. Kompatibilitas, yakni keserasian dan keterpaduan antara kawasan yang menjadi
lingkungannya.
c. Fleksibilitas, yakni kemungkinan pertumbuhan fisik/pemekaran kawasan perumahan
dikaitkan dengan kondisi fisik lingkungan dan keterpaduan prasarana.
d. Ekologi, yakni keterpaduan antara tata kegiatan alam yang mewadahinya.
Sedangkan prasarana dan sarana yang perlu disediakan adalah :
Prasarana Sarana
Air bersih dan listrik.
Pembuangan air hujan dan air kotor (limbah)
Jalan lingkungan.
Pembuangan sampah
Pendidikan, mulai dari TK, SD, SMP dan SMA
Kesehatan, seperti : Balai pengobatan, RS Bersalin
(BKIA), Puskesmas, praktek dokter dan apotik.
Perniaagaan dan industri.
Pemerintahan dan pelayanan umum
Kebudayaan dan rekreasi.
Peribadatan
Olahraga dan taman
Sumber: Dep. PU: Standar-standar Rencana Perkampungan, 1984 dan Pedoman Perencanaan
Lingkungan, 1983.
Identifikasi Faktor dalam Menentukan Lokasi Perumahan
Perumahan mempunyai fungsi dan peranan yang penting, Rees dalam Yeates dan
Garner (1980:291) berpendapat bahwa terdapat tiga elemen yang mempengaruhi keputusan
seseorang atau sebuah keluarga dalam menentukan pilihan lokasi tempat tinggal, yaitu:
a. Posisi keluarga dalam lingkup sosial, mencakup status sosial ekonomi (pendidikan,
pekerjaan dan penghasilan).
b. Lingkup perumahan, mencakup: nilai, kualitas dan tipe rumah.
c. Lingkup komunitas.
d. Lingkup fisik atau lokasi rumah.
Hubungan antara perilaku manusia di dalam area perkotaan dengan ruang sosial di
perkotaan telah banyak diteliti, sampai saat ini para ahli geografi telah mengidentifikasikan
bahwa gaya hidup, status sosial, dan tingkat kehidupan sangat berpengaruh di dalam
hubungan antar tingkah laku individu dengan lingkungan spasial. (Golledge & Stimson,
1990:267).
Perpindahan manusia dari satu lokasi ke lokasi lain di perkotaan memegang peranan
penting dalam membentuk area sosial perkotaan. Penilaian lokasi perumahan antara
individu pasti berbeda, hal ini disebabkan latar belakang tingkat kebutuhan dan kepentingan
yang berbeda-beda. (Knox, 1989:171-173).
Pengetahuan tentang lokasi perumahan diperoleh dari interaksi antar individu, setelah
berproses, informasi yang diperoleh tersebut akan mempengaruhi pandangan tentang
populasi dan pendapat/persepsi tempat tinggalnya. Individu tersebut akan membentuk
kelompok yang membentuk variasi kluster. Kluster dari individu-individu yang mempunyai
persamaan di dalam ekonomi, sosial dan politik akan mempunyai referensi yang sama
tentang lokasi tempat tinggal. Kerangka dari referensi ini merupakan hasil dari beberapa
faktor termasuk usia, latar belakang sosial, kepercayaan (agama) dan latar belakang etnis.
Menurut H.R. Koestoer (1997:24), bahwa faktor sosial dan fisik sangat menentukan
dalam pilihan terhadap lokasi tempat tinggal. Dalam studi pengambilan keputusan keluarga
terhadap pilihan daerah, ditemukan bahwa faktor aksesibilitas merupakan pengaruh utama
dalam pemilihan lokasi tempat tinggal, yaitu kemudahan transportasi dan kedekatan jarak.
Faktor lain seperti kaitan tali kekeluargaan (kinship), juga turut mempengaruhi pengambilan
keputusan pemilihan tempat tinggal.
Sementara itu para ahli geografi mengembangkan model-model tingkah laku rumah
tangga dalam memilih lokasi rumahnya, yang diklasifikasikan menjadi dua kategori:
a. Asumsi pertama adalah pilihan lokasi tempat tinggal dapat dijelaskan di dalam
pengertian “trade off” antara biaya transportasi dan harga rumah.
b. Asumsi kedua adalah model perilaku makro, aksesibilitas bukan syarat utama tetapi
kenyamanan lingkungan, sosial ekonomi, psikologi dan waktu adalah syarat utama untuk
memilih lokasi tempat tinggal.
1. Faktor Karakteristik Keluarga
Analisa mengenai kepuasan terhadap tempat tinggal terpusat pada “kepuasan”
sebagai konsekuensi dari karakteristik keluarga, namun hal ini bukan satu-satunya
variabel yang memberi efek rasa puas terhadap tempat tinggal, akan tetapi faktor fisik
lingkungan juga turut berpengaruh terhadap rasa puas. Faktor-faktor yang menjadi latar
belakang rasa puas terhadap tempat tinggal (Morris & Winter, 1978:156-157):
a. Faktor demografi dan sosial ekonomi, meliputi: tingkat kehidupan, status sosial
ekonomi dan struktur keluarga.
b. Ketidakpuasan terhadap tempat tinggal yang lama.
c. Pengaruh dari kondisi perumahan.
Hubungan dari ketiga faktor tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Faktor demografi dan sosial ekonomis dipengaruhi oleh tingkat kehidupan, status
sosial dan struktur keluarga, maksudnya adalah semakin tinggi tingkat kehidupan
seseorang, dengan sendirinya akan mempengaruhi status sosial ekonominya, sehingga
individu tersebut akan melalukan penyesuaian perumahan untuk mencocokan dengan
status sosial ekonominya. Penyesuaian ini bisa juga dipengaruhi oleh struktur keluarga
maksudnya adalah semakin bertambah anggota keluarga maka individu akan
menyesuaikan kondisi perumahannya. Penyesuaian juga akan dilakukan apabila individu
tersebut merasa tidak puas dengan tempat tinggal yang lama atau bisa juga karena
pengaruh dari kondisi disekeliling perumahan.
2. Faktor Karakteristik Lingkungan
Kualitas lingkungan mencerminkan kualitas hidup manusia yang ada di dalamnya.
Menurut Amos Rapoport (1977:60-61) komponen kualitas lingkungan dapat dibagi
menjadi:
a. Variabel lokasi: jarak ke pusat pelayanan, iklim dan topografi.
b. Variabel fisik: organisasi ruang yang jelas, udara bersih dan tenang.
c. Variabel psikologis: kepadatan penduduk dan kemewahan.
d. Variabel sosial ekonomi: suku, status sosial, tingkat kriminalitas dan sistem
pendidikan.
Faktor lokasi rumah yang dekat dengan daerah industri juga menjadi pertimbangan,
karena masyarakat lebih menyukai tinggal di daerah yang jauh dari daerah industri.
Selain itu menurut Drabkin (1980:68) ada juga beberapa faktor yang berpengaruh
terhadap pemilihan lokasi perumahan, yang secara individu berbeda satu sama lain,
yaitu:
a. Aksesibilitas, yang terdiri dari kemudahan transportasi dan jarak ke pusat kota.
b. Lingkungan, dalam hal ini terdiri dari lingkungan sosial dan fisik seperti kebisingan,
polusi dan lingkungan yang nyaman.
c. Peluang kerja yang tersedia, yaitu kemudahan seseorang dalam mencari pekerjaan
untuk kelangsungan hidupnya.
d. Tingkat pelayanan, lokasi yang dipilih merupakan lokasi yang memiliki pelayanan
yang baik dalam hal sarana dan prasarana dan lain-lain.
Faktor lingkungan yang juga menjadi pertimbangan di dalam memilih lokasi
perumahan menurut (Bourne,1975:205) adalah:
a. Aksesibilitas ke pusat kota: jalan raya utama, sekolah dan tempat rekreasi.
b. Karakteristik fisik dan lingkungan permukiman: kondisi jalan, pedestrian, pola jalan
dan ketenangan.
c. Fasilitas dan pelayanan: kualitas dari utilitas, sekolah, polisi dan pemadam kebakaran.
d. Lingkungan sosial: permukiman bergengsi, komposisi sosial ekonomi, etnis dan
demografi.
e. Karakteristik site rumah: luas tanah, luas bangunan, jumlah kamar dan biaya
pemeliharaan.
Berkaitan dengan pemilihan lokasi, Luhst (1997:128) menyebutkan bahwa kualitas
kehidupan yang berupa kenyamanan, keamanan dari suatu rumah sangat ditentukan oleh
lokasinya. Daya tarik dari suatu lokasi ditentukan oleh dua hal yaitu aksesibilitas dan
lingkungan. Aksesibilitas merupakan daya tarik ditentukan oleh kemudahan dalam
pencapaian ke berbagai pusat kegiatan seperti pusat perdagangan, pusat pendidikan,
daerah industri, jasa pelayanan perbankan, tempat rekreasi, pelayanan pemerintahan, jasa
profesional dan bahkan merupakan perpaduan antara semua kegiatan tersebut.
Perkembangan Kota dan Penentuan Lokasi Perumahan
a. Perkembangan Kota
Kota adalah kawasan permukiman yang jumlah dan kepadatan penduduk yang
relatif tinggi, memiliki luas areal terbatas, pada umumnya bersifat non agraris, tempat
sekelompok orang-orang dalam jumlah tertentu dan bertempat tinggal bersama dalam
suatu wilayah geografis tertentu, cenderung berpola hubungan rasional, ekonomis dan
individualistis (Kamus Tata Ruang, 1997 : 52).
Menurut Budihardjo (1996:11) kota merupakan hasil cipta, karsa dan karya
manusia yang paling rumit dan muskil sepanjang sejarah Dari definisi tersebut dapat
dipahami bahwa begitu banyak masalah bermunculan silih berganti di perkotaan, akibat
pertarungan kepentingan berbagai pihak yang latar belakang visi, misi dan motivasinya
berbeda satu sama lain. Kota merupakan suatu permukiman yang relatif besar, padat dan
permanen, dengan penduduk yang heterogen kedudukan sosialnya (Daljoeni, 1998 : 28).
Secara teoritis terdapat tiga cara perkembangan kota, (Zahnd, 1994:24) yairu :
Perkembangan horisontal, artinya daerah bertambah sedangkan ketinggian bangunan
dan intensitas lahan terbangun (coverage) tetap sama.
Perkembangan vertikal, artinya daerah pembangunan dan kualitas lahan terbangun
sama, sedangkan ketinggian bertambah.
Perkembangan interstial, artinya daerah dan ketinggian bangunan-bangunan rata tetap
sama, sedangkan kuantitas lahan terbangun (coverage) bertambah.
Perkembangan kota pada umumnya terdiri dari dua faktor yaitu faktor eksternal
dan faktor internal. Faktor eksternal merupakan suatu kekuatan yang terbentuk akibat
kedudukan kota dalam kontelasi regional atau wilayah yang lebih luas, sehingga
memiliki kemampuan untuk menarik perkembangan dari daerah sekitarnya yang
selanjutnya diakomodasikan dalam kekuatan ekonomi kota. Faktor internal adalah
kekuatan suatu kota untuk berrkembang dan ditentukan oleh keuntungan geografis, letak,
fungsi kota. (Branch, 1996:40).
Daldjoeni (1998:203) juga mengemukakan bahwa proses berekspansinya kota dan
berubahnya struktur tata guna lahan sebagian besar disebabkan oleh adanya daya
sentrifugal dan data sentripetal pada kota. Yang pertama mendorong gerak ke luar dari
penduduk dan berbagai usahanya, lalu terjadi dispersi kegiatan manusia dan relokasi
sektor-sektor dan zone-zone kota, yang kedua mendorong gerak ke dalam dari penduduk
dan berbagai usahanya sehingga terjadilah pemusatan (konsentrasi) kegiatan manusia.
Sujarto (1996:81), mengatakan bahwa perkembangan kota dan pertumbuhan kota
sangat dipengaruhi oleh faktor manusia, faktor kegiatan manusia dan faktor pola
pergerakan manusia antar pusat kegiatan.
Kota merupakan pusat perkembangan dalam suatu wilayah dimana pusat kota
tumbuh dan berkembang lebih pesat dibandingkan dengan daerah sekelilingnya. (Edger,
M. Hoover, 1977:85). Pada umumnya suatu kota tumbuh dan berkembang karena
kegiatan penduduknya, perkembangan kota dapat ditinjau dari beberapa aspek yang
dapat menentukan pertumbuhan dan perkembangan suatu kota, yaitu :
Perkembangan penduduk perkotaan menunjukan pertumbuhan dan intensitas kegiatan
kota.
Kelengakapan fasilitas yang disediakan oleh kota dapat menunjukan adanya tingkat
pelayanan bagi masyarakatnya.
Tingkat investasi kota dimana hasilnya dapat menunjukan tingkat pertumbuhan kota
yang dapat tercapai dengan tingkat ekonomi yang tinggi.
Perkembangan kota juga dapat ditinjau dari peningkatan aktivitas kegiatan sosial
ekonomi dan pergerakan arus mobilitas penduduk kota yang pada gilirannya menuntut
kebutuhan ruang bagi permukima, karena dalam lingkungan perkotaan, perumahan
menempati presentasi penggunaan lahan terbesar dibandingkan dengan penggunaan
lainnya, sehingga merupakan komponen utama dalam pembentukan struktur suatu kota.
Menurut Horton dan Reynold dalam Bourne (1982:159), perkembangan kota selain
dilihat dari perkembangan geografis, dapat juga dilihat dari sisi “Behavior approach”
artinya melihat dari sisi pengambil keputusan, yang dimaksud dalam permasalahan ini
adalah pengembang. Dalam hal memilih lokasi untuk perumahannya pengembang lebih
menekankan pada unsur mencari keuntungan, tanpa memikirkan akibat yang terjadi di
kemudian, sehingga perkembangan kota dapat saja mengikuti kemauan pengembang.
b. Penentuan Lokasi Perumahan
Persepsi perumahan lebih banyak dikaitkan dengan tingkat pendapatan dan lokasi
perumahan menurut masyarakat. Menurut teori struktur internal perkotaan dari Burgess,
dijelaskan bahwa faktor lokasi sangat penting bagi tingkat penghasilan. Pilihan lokasi
akan hunian umumnya akan berusaha mendekati lokasi aktivitasnya, namun dalam
perkembangan penggunaan lahan di perkotan lebih dititik beratkan pada segi ekonomis
lahan.
Karena semakin dekat dengan pusat aktivitas maka semakin tinggi tingkat
aksesibilitas lokasi, guna lahan yang berkembang diatasnya juga akan semakin intensif,
yang akibatnya sangat mempengaruhi peruntukan lahan bagi perumahan.
Setiap kegiatan manusia memerlukan ruang tertentu, seseorang yang ingin
memiliki lahan yang baik dan kondisi lingkungan yang baik serta dekat dengan tempat
yang lain untuk kepentingan tertentu, sangat bergantung kepada harga lahan, harga lahan
menentukan permintaan atas lahan serta mempengaruhi intensitas persaingan untuk
mendapatkan lahan.
c. Aktor Pembangunan Perumahan
Selama ini yang dianggap sebagai pemeran utaama pembangunan perumahan
adalah tiga besar, yaitu pemerintah swasta dan masyarakat. Menurut Menurut Budihardjo
(1998:45), pembangunan perumahan dilaksanakan oleh dua sektor yaitu sektor formal
dalam hal ini pemerintah, swasta dan hibrida, dan sektor informal yaitu masyarakat dan
hibrida, sedangkan aktor-aktor yang terkait dalam pembangunan perumahan adalah
seperti tabel dibawah ini:
Dari tabel diatas terlihat bahwa sektor swasta kurang banyak terlibat dalam
pembangunan perumaahan untuk kelompok berpenghasilan rendah dan sangat rendah,
namun pembangunan perumahan telah dilakukan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
perumahan seluruh lapisan masyarakat dari kelas atas sampai kelas paling rendah.
Sampai saat ini belum jelas apa kriteria dan persyaratan pembangunan perumahan
oleh real estate, dalam praktek begitu banyak kejanggalan seolah-olah real estate hanya
memberi prioritas bagi warga yang berduit, memberi keuntungan berlipat ganda bagi
para spekulan tanah secara langsung dan tidak langsung “menggusur rakyat kecil dari
permukiman semula (Marbun, 1990:80), sedangkan menurut Gallion (1992-153) bahwa
dalam prakteknya, real estate menganggap tanah sebagai suatu komoditi untuk dibeli
dengan harga rendah dan dijual dengan harga tinggi.
Menurut Budihardjo (1997:24), bila lahan dibiarkan sebagai komoditi ekonomi
yang ditarungkan secara bebas, maka mayoritas masyarakat berpenghasilan rendah di
perkotaan akan semakin terpuruk dan semakin tidak mampu menjangkau atau memiliki
rumah yang layak, yang dibangun oleh pihak swasta, dan jika hal tersebut dibiarkan
maka pembangunan perumahan dan permukiman dalam skala besar di perkotaan selalu
dihadapkan pada masalah tanah yang makin mahal dan langka serta perlu dikendalikan.
(Lukita, 1992).
Dalam pemilihan tempat untuk lokasi perumahan, developer/pengembang akan
mencari lokasi bangunan yang sesuai dengan cara menyeleksi beberapa tempat. Dari
banyak kriteria yang mempengaruhi pemilihan tempat, menurut Catanese (1996:296)
yang paling utama adalah :
Hukum dan lingkungan, akankah hukum yang berlaku mengijinkan didirikannya
gedung dengan ukuran tertentu, persyaratan tempat parkir, tinggi maksimum gedung,
batasan-batasan kemunduran dan berbagai kendala lain yang berkaitan.
Sarana, suatu proyek membutuhkan pemasangan air, gas, listrik, telepon, tanda
bahaya (alaram), jaringan drainase.
Faktor teknis, artinya bagaimana keadaan tanah, topografi dan drainase yang
mempengaruhi desain tempat atau desain bangunan.
Lokasi, yang dipertimbangkan adalah pemasarannya, aksesibilitas, dilewati kendaraan
umum dan dilewati banyak pejalan kaki.
Estetika, yang dipertimbangkan adalah view yang menarik.
Masyarakat, yang dipertimbangkan adalah dampak pembangunan real estate tersebut
terhadap masyarakat sekitar, kemacetan lalu lintas dan kebisingan.
Fasilitas pelayanan, yang dipertimbangkan adalah aparat kepolisian, pemadam
kebakaran, pembuangan sampah, dan sekolah.
Biaya, yang dimaksud dengan biaya adalah harga tanah yang murah.
DAFTAR PUSTAKA
Branch, Melville, 1955. Perencanaan kota Komprehensif, pengantar dan penjelasan
(terjemahan)
Bourne, L.S., Internal Structure of the City - Readings on Space and Environment, Oxford
University Press. Inc., Oxford, 1975
Bourne, L.S., Internal Structure of the City - Readings on Urban Growth and Policy, Oxford
University Press. Inc., Oxford, 1982
Budihardjo, Eko, Percikan Masalah Arsitektur Perumahan Perkotaan, Gajah Mada
University Press, Yogyakarta, 1998
Budihardjo, Eko, Tata Ruang Perkotaan, Penerbit Alumni, Bandung, 1997
Catanese, Anthony J. Snyder. James. C 1992. Perencanaan kota. Penerbit erlangga. Jakarta.
Chapin. F. Stuart. Jr. and Kaiser. Edward. J. 1979, urban land use planning, University of
illionis Press.
Daldjoeni, 1992. Geografi baru, organisasi keruangan dalam teori dan praktek. Penerbit
Alumni, bandung.
Daldjoeni, N. 1998, Geografi Kota dan Desa. Penerbit Alumni, Bandung.
Drabkin, Haim Darin, Land Policy and Urban Growth, Great Britain, Pergamen Press, 1980
Fitri Susanti, Faktor Penyebab Terjadinya Perbedaan Karakteristik Perkembangan Kota Air
Molek, Pematang Reba Dan Rengat (Magister Perencanaan Kota dan Daerah
(MPKD-UGM Tahun 2003), Tesis
Gallion, Arthur, B. & Simon Eisher, Pengantar Perancangan Kota, Erlangga, Jakarta, 1992
Golledge, Reginald George & Stimson Robert J., Analytical Behavioral Geography.
Routledge, 1990
Hagget, Peter. 1970, Geography, A Modern Synthesis. 3rd Edition, Harper and Row
Publisher, London.
Hoover, Edgar, An In Introduction to Regional Economics, Second Edition, Alfret A., 1977
Ilhami. 1990, Strategi Pembangunan Perkotaan di Indonesia. Penerbit Usaha Nasional,
Surabaya
Jayadinata, Johara T. 1992, Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Kota dan Wilayah.
Penerbit ITB, Bandung
Jayadinata, Johara T, 1999. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Perdesaan, Perkotaan dan
Wilayah, ITB Bandung
Koestoer, Raldi Hendro, Dimensi Keruangan Kota, Teori dan Kasus, UI Press, Jakarta,
2001
Knox, Paul, Urban Social Geography, Longman Scientific & Technical, 1989
Luhst. K. M., Real Estate Evaluation, Principles Aplication Press,USA, 1997
Lukita Enggartiasto, Sistem Penyediaan Perumahan Di Perkotaan – Khususnya Jakarta,
Makalah Seminar Nasional Information On Urban Housing Jurusan Arsitektur dan
Program Studi Real Estate Universitas Tarumanegara, Jakarta, 1992
Marbun. B. N., Kota Indonesia Masa Depan, Masalah dan Prospek, Erlangga, Jakarta 1990
Morris Earl W. & Winter Mary, Housing, Family and Society, Jhon Willley & Sons Inc.
1978
Myrdal, Gunnar, Economic Theory In Underdeveloped Regions, Duckworth London, 1957
Nawanir, Hanif (2003), Studi Pengembangan Ekonomi dan Keruangan Kota Sawahlunto
Pascatambang, Tesis Program Pascasarjana Universitas Diponegoro (2003)
Parr, John B, Growth Pole Strategies in Regional Economic Planning : A Retrospective
View, Carfax Publishing 1999.
Perlof, HS, ES Dunn, EE Lampard and RF Muth, Regions, Resources and Economic
Growth, Resources of The Future Inc. John Hopkins Press, Baltimore 1960.
R. Nuzulina Ilmiaty Ismail, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pemilihan Lokasi
Perumahan Di Jakarta Selatan (Magister Perencanaan Pembangunan Wilayah Dan
Kota Universitas Diponegoro Semarang), Tesis
Rapoport, Amos, Human Aspects Of Urban Form, Pergamon Press, 1977
S. Djoko. Penduduk dan Perkembangan Kota Yogyakarta 1900-1990. Tesis
Sujarto, Djoko, Penataan Ruang Dalam Pengembangan Kota Baru, BPPT, Jakarta, 1996
Sujarto, Djoko. 1989, Faktor Sejarah Perkembangan Kota Dalam Perencanaan
Perkembangan Kota. Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan ITB, Bandung
Sujarto, Djoko. 1992, Perkembangan Perencanaan Tata Ruang Kota di Indonesia. Fakultas
Teknik Sipil dan Perencanaan ITB, Bandung
Turner, John F., Housing By People - Towards Autonomy In Building Environments,
Marion Boyars Publishers Ltd, London, 1976
Yeates, Maurice & Garner Barry, The North American City, Harper & Row Publisher,
New York. 1980
Yunus, Hadi Sabari. 1994, Teori dan Model Struktur Keruangan Kota. Fakultas Geografi
UGM, Yogyakarta
Yunus, Hadi Sabari. 2000, Struktur Tata Ruang Kota. Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Yudohusodo, Siswono, Rumah Untuk Seluruh Rakyat, Yayasan Padamu Negeri, Jakarta.
1991
Zahnd, Markus, Perancangan Kota Secara Terpadu, Kanisius, Yogyakarta, 1999
Kebijakan dan Peraturan
Petunjuk Perencanaan Kawasan Perumahan Kota, Dep. PU, Jakarta, 1977
Undang-Undang RI No. 4 Tahun 1992, Tentang Perumahan Dan Permukiman.
Kamus Tata Ruang, Dirjen Cipta karya, Dep. PU dan IAP, Jakarta. 1977
Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta 2010
Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta 1985-2005
Jakarta Planing Atlas, Dinas Tata Kota DKI Jakarta, 1995
Jakarta Selatan Dalam Angka, BPS, 2001
RP4D Jakarta Selatan, Dinas Perumahan DKI Jakarta, 2002
http://ssbelajar.blogspot.com/2012/12/pengertian-pusat-pertumbuhan.html