pengembangan wakaf ke arah ekonomi syari’ah

13
Jurnal Mustanir Volume 01, Nomor 02, Tahun 2020 M/1441 H. 53 PENGEMBANGAN WAKAF KE ARAH EKONOMI SYARI’AH An Ras Try Astuti Email: [email protected] Abstract Meski lembaga ekonomi syari‟ah sudah memulai gemanya, namun ketergantungan umat Islam terhadap bank konvensional hingga kini masih relatif banyak. Beberapa upaya untuk menguatkan perekonomian umat Islam melalui lembaga-lembaga mikro syari‟ah telah gencar dilakukan. Salahsatu yang belum banyak difikirkan dan disentuh oleh banyak kalangan adalah upaya pengembangan wakaf sebagai penguatan modal umat. Tulisan ini akan melacak ruang-ruang yang bisa dimasuki untuk mencapai keadilan ekonomi dalam bingkai rahmatan lil ‘alamin. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa pengelolaan dan pengembangan wakaf produktif di Indonesia perlu memikirkan Model-model pengembangan ke arah penguatan ekonomi masyarakat secara luas yang dapat dimulai oleh kelompok-kelompok atau komunitas pedagang kecil seperti Komunitas PKL (Pedagang Kaki Lima), Komunitas Pedagang Asongan, Komunitas Pedagang Koran atau Surat Kabar, Kelompok Petani dan Gabungan Kelompok Petani serta komunitas yang lain. Oleh karenanya peran pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama harus lebih giat lagi dalam mensosialisasikan dan mendampingi nadzir agar dapat memberikan manfaat yang luas kepada kesejahteraan sosial umat Islam di Indonesia. Kata Kunci : Wakaf, Pengembangan wakaf, Nazhir. Pendahuluan Kelesuhan ekonomi umat Islam banyak dipengaruhi oleh faktor eksternalnya dibanding faktor internal itu sendiri. Salahsatunnya adalah ketiadaan “jaminan hukum” dalam pengelolaan harta wakaf sebagai penguatan modal. Padahal, paradigma hukum Islam telah sangat jelas memposisikan diri sebagai solusi atas problematika umat sepanjang zaman. Persoalannya kemudian, umat Islam masih berpijak pada fiqh klasik yang berprinsip pada dogma-dogma teks

Upload: others

Post on 20-Oct-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENGEMBANGAN WAKAF KE ARAH EKONOMI SYARI’AH

Jurnal Mustanir Volume 01, Nomor 02, Tahun 2020 M/1441 H.

53

PENGEMBANGAN WAKAF KE ARAH EKONOMI SYARI’AH

An Ras Try Astuti

Email: [email protected]

Abstract

Meski lembaga ekonomi syari‟ah sudah memulai gemanya, namun ketergantungan umat Islam

terhadap bank konvensional hingga kini masih relatif banyak. Beberapa upaya untuk

menguatkan perekonomian umat Islam melalui lembaga-lembaga mikro syari‟ah telah gencar

dilakukan. Salahsatu yang belum banyak difikirkan dan disentuh oleh banyak kalangan adalah

upaya pengembangan wakaf sebagai penguatan modal umat.

Tulisan ini akan melacak ruang-ruang yang bisa dimasuki untuk mencapai keadilan ekonomi

dalam bingkai rahmatan lil ‘alamin.

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa pengelolaan dan pengembangan wakaf produktif di

Indonesia perlu memikirkan Model-model pengembangan ke arah penguatan ekonomi

masyarakat secara luas yang dapat dimulai oleh kelompok-kelompok atau komunitas pedagang

kecil seperti Komunitas PKL (Pedagang Kaki Lima), Komunitas Pedagang Asongan, Komunitas

Pedagang Koran atau Surat Kabar, Kelompok Petani dan Gabungan Kelompok Petani serta

komunitas yang lain. Oleh karenanya peran pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama harus

lebih giat lagi dalam mensosialisasikan dan mendampingi nadzir agar dapat memberikan

manfaat yang luas kepada kesejahteraan sosial umat Islam di Indonesia.

Kata Kunci : Wakaf, Pengembangan wakaf, Nazhir.

Pendahuluan

Kelesuhan ekonomi umat Islam banyak dipengaruhi oleh faktor eksternalnya dibanding

faktor internal itu sendiri. Salahsatunnya adalah ketiadaan “jaminan hukum” dalam pengelolaan

harta wakaf sebagai penguatan modal. Padahal, paradigma hukum Islam telah sangat jelas

memposisikan diri sebagai solusi atas problematika umat sepanjang zaman. Persoalannya

kemudian, umat Islam masih berpijak pada fiqh klasik yang berprinsip pada dogma-dogma teks

Page 2: PENGEMBANGAN WAKAF KE ARAH EKONOMI SYARI’AH

Jurnal Mustanir Volume 01, Nomor 02, Tahun 2020 M/1441 H.

54

yang statis. Sehingga pengelolaan dan pengembangan wakaf masih jauh dari peranannya dalam

mengawal ketimpangan sosial dan penguatan ekonomi umat.

Wakaf, sebagai harta benda harus memiliki dampak langsung ke umat. Jika ini dapat

dipahami bersama, maka kajian kemudian adalah dalam bidang apa saja wakaf dapat disalurkan

atau difungsikan?, dari segi teknisnya, apakah harta benda wakaf ini dapat dikelola secara

mandiri atau kerjasama?, jika sendiri, maka seperti apa kriteria individunya?, dan jika kerjasama,

maka lembaga apa saja yang memenuhi kriterianya?, dan lain-lain yang diancangkan

kebermanfaatan secara luas dan merata serta berkeadilan.

Setidaknya, ada empat prinsip yang dapat dijadikan acuan dalam pengelolaan dan

pengembangan wakaf menurut al-Qur‟an.

Pertama, Q.S. Al Baqarah ayat 262 yang berbunyi:

Artinya: “Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, Kemudian

mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan

menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan

si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. tidak

ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih

hati”.

Ayat ini memberikan mengajarkan tentang pentingnya memprioritaskan kemaslahatan

umum yang dibangun dari kepemilikan harta benda melalui pemanfaatan ke orang lain sehingga

ia akan menjadi pribadi yang mulia di sisi Allah swt. Pribadi-pribadi seperti inilah yang

diandaikan akan menjadi titik-titik penguatan ekonomi umat.

Page 3: PENGEMBANGAN WAKAF KE ARAH EKONOMI SYARI’AH

Jurnal Mustanir Volume 01, Nomor 02, Tahun 2020 M/1441 H.

55

Kedua, Q.S. Al Baqarah ayat 265, yang berbunyi:

Artinya: “Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya Karena

mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti

sebuah kebun yang terletak di dataran Tinggi yang disiram oleh hujan

lebat, Maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. jika hujan

lebat tidak menyiraminya, Maka hujan gerimis (pun memadai). dan

Allah Maha melihat apa yang kamu perbuat”.

Ayat di atas menggambarkan bentuk atau pola-pola syari‟ah dalam pengelolaan dan

pengembangan harta benda untuk kemajuan dan kesejahteraan bersama sehingga tidak ada lagi

monopoli ekonomi. Inilah prinsip ajaran keadilan dalam ekonomi Islam. Termasuk pula dalam

pengelolaan dan pengembangan wakaf.

Ketiga, Q.S. Al Isra‟ ayat 29, yang berbunyi:

Artinya: “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan

janganlah kamu terlalu mengulurkannya. Karena itu kamu menjadi

tercela dan menyesal”.

Ayat tersebut menegaskan bahwa harta benda bukanlah satu-satunya pijakan hidup,

melainkan harus didistribusikan kepada kesejahteraan masyarakat secara luas. Hal demikian,

Page 4: PENGEMBANGAN WAKAF KE ARAH EKONOMI SYARI’AH

Jurnal Mustanir Volume 01, Nomor 02, Tahun 2020 M/1441 H.

56

untuk mencegah kapitalisasi dalam masyarakat. Sebagaimana cita-cita Islam dalam membangun

kesetaraan dalam setiap dimensi kehidupan. Karena, Islam memandang bahwa manusia memiliki

porensi yang setara di hadapan Allah swt.

Keempat, Q.S. An Nisa ayat 5, yang berbunyi:

Artinya:“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum

Sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang

dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan

Pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata

yang baik”.

Ayat ini hendak mengingatkan bahwa dalam aktivitas apapun harus dilandasi semangat

ibadah. Yaitu mengutamakan kemaslahatan atas kemafsadatan. Dalam kaitan ini, wakaf menjadi

media dalam mengejawantahkan kemaslahatan yang menyeluruh atas persoalan ekonomi

masyarakat.

Bangun pikir tersebut, kiranya dapat dijadikan ke arah pengelolaan dan pengembangan

wakaf yang selama ini kurang memiliki peranannya dalam mengurai jerat kapitalis Barat. Peran

utama yang mesti didahulukan adalah wakaf menjadi penguatan modal masyarakat kecil.

Mengingat mereka masih bertumpu pada lembaga keuangan atau perbankan-perbankan, baik

konvensional ataupun syari‟ah, yang tidak memiiliki komitmen dalam mensejahterakan umat.

Realitas yang penuh ketidakadilan ini harus dibongkar atau setidaknya diberi alternatif-

alternatif lain sebagai counter terhadap pelemahaman usaha masyarakat kecil. Salahsatunya

Page 5: PENGEMBANGAN WAKAF KE ARAH EKONOMI SYARI’AH

Jurnal Mustanir Volume 01, Nomor 02, Tahun 2020 M/1441 H.

57

dengan menggulirkan manfaat wakaf ke penguatan modal umat yang tidak menjerat baik secara

manajemen, ijin formal, dan jeratan-jeratan administrasi lainnya.

Diskusi

Praktek wakaf telah dicontohkan langsung oleh Rasulullah saw pada tahun ke-2 Hijriyah

dengan mewakafkan tanahnya untuk membangun masjid. Sedangkan pada tahun ke-3 Hijriyah

beliau mewakafkan tujuh kebun kurma di madinah. diantaranya kebon A‟raf, Shafiyah, Dalal,

Barqah dan kebun lainnya. Tradisi wakaf kemudian dicontoh oleh pada sahabat. Abu Thalhah

mewakafkan kebun kesayangannya “Bairaha”. Abu Bakar mewakafkan tanah di Mekkah bagi

anak keturunannya yang datang ke Mekkah. Mu‟ad bin Jabal mewakafkan rumahnya yang

populer dengan “Dar Al-Anshar”.

Fakta ini menegaskan pentingnya produktifitas wakaf. Bagaimana tanah diwakafkan

untuk bangunan masjid, kemudian, kebun kurma dimanfaatkan untuk kebutuhan masyarakat,

bahkan rumah pun diwakafkan untuk kepentingan pendidikan umat. Betapa Rasulullah saw telah

mencontoh distribusi wakaf sebagai solusi atas persoalan hidup umat Islam pada masa itu.

Dalam sejarah Islam era Klasik Daulah Abbasyiah dan Turki Usmani pun wakaf secara

nyata telah memberikan kontribusi signifikan dalam pengembangan sektor pendidikan, sosial,

ekonomi, kesehatan dan kebudayaan.

Tak heran, apabila wakaf pada saat itu menjadi filantropi Islam, meminjam istilah Irfan

Abu Bakar, yakni tindakan sukarela untuk kepentingan umum yaitu terwujudnya keadilan sosial

melalui model-model tertentu guna menyelesaikan ketidakadilan struktur sosial, mengobati akar

penyebab ketidakadilan dan memberikan advokasi.1 Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa Filantropi

1 Irfan Abu Bakar, Revitalisasi Filantropi Islam, editor Chaider S Bamualim, , Pusat Bahasa dan Budaya

UIN Syarif Hidayatullah, 2005 hlm 4-5.

Page 6: PENGEMBANGAN WAKAF KE ARAH EKONOMI SYARI’AH

Jurnal Mustanir Volume 01, Nomor 02, Tahun 2020 M/1441 H.

58

dapat dipetakan menjadi dua, pertama filantropi tradisional yaitu filantropi yang berbasis pada

cahritas atau pemberian secara individual sebagai bentuk pelayanan sosial atau tanggung jawab

sosial. Kedua filantropi untuk keadilan sosial yaitu model filantropi yang terorganisir dan

bersifat jangka panjang guna terjadinya transformasi sosial ekonomi.

Sayangnya, model pemberdayaan wakaf seperti itu pada masa kini belum mendapat

perhatian yang serius oleh para pemegang otoritas, baik pada lingkup negara atau pedesaan. Pada

umumnya, masyarakat kita memahami kemanfaatan wakaf secara statis atau kaku. Seperti wakaf

hanya diperuntukkan bagi lembaga-lembaga keagamaan misalnya pembangunan masjid dan

madrasah, bahkan acap kali wakaf dimanfaatkan untuk tanah pekuburan.

Dari uraian di atas, dapat dipertanyakan mengapa wakaf tidak diperuntukkan sebagai

sumber modal bagi pengembangan ekonomi umat, terutama masyarakat miskin kota dan desa?.

Inilah problem wakaf yang penting diurai secara tuntas guna menemukan titik masalah yang

sesungguhnya.

Mengurai Problem Pemahaman Wakaf yang Statis

Kata Wakaf berasal dari bahasa Arab, yaitu al-waqf yang berarti al-habs yaitu menahan.

Dalam kitab Al-Fiqh „Ala Mazahib al-Khamsah, Wakaf didefinisikan sebagai berikut:

“sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan

kepemilikan asal (tahbis al-asl) dan menjadikan manfaatnya berlaku umum.

Yang dimaksud tahbis al-asl adalah menahan barang yang diwakafkan agar tidak

diwariskan, dijual, dihibahkan, digadaikan, disewakan dipinjamkan dan lain-

lain”.2

2 Muhammad Jawab Mughniyyah, al-Fiqh ‘ala al-Madhahib al-Khamsah, pent. Masykur AB dkk,

Jakarta: PT Lentera, hlm. 635.

Page 7: PENGEMBANGAN WAKAF KE ARAH EKONOMI SYARI’AH

Jurnal Mustanir Volume 01, Nomor 02, Tahun 2020 M/1441 H.

59

Hal ini sama dengan definisi wakaf menurut jumhur ulama, yakni menahan suatu harta

yang dapat dimanfaatkan, baik secara abadi atau sementara, untuk diambil manfaatnya secara

berulang-ulang dengan mengekalkan bendanya demi ke pentingan umum maupun khusus untuk

tujuan mendekatkan di ri kepada Allah Ta'ala.

Hukum wakaf menurut jumhur ulama adalah sunat. Dalilnya adalah firman Allah dalam

surat Ali Imran,3: 92, yang berbunyi:

Artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum

kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang

kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya”.

Selain ayat al-Qur‟an, hadis yang dianggap sebagai sandaran syariat wakaf adalah hadis

Umar yang artinya sebagai berikut:

”Dari Ibn Umar katanya: Umar mendapat (harta rampasan perang berupa) tanah

di Khaibar. Dia mendatangi Nabi saw. untuk memohon petunjuk mengenainya

seraya berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mendapat tanah di Khaibar

yang belum pernah aku mendapatkan harta paling berharga bagiku darinya,

maka apakah perintahmu mengenainya? Jawab baginda: "Jika kamu

menghendaki, kamu tahan asalnya dan kamu sedekahkan (manfaat)nya". Kata

Ibn Umar: Maka Umar segera menyedekahkan (manfaat)nya, dengan ketentuan

asalnya tidak dijual belikan, tidak diwariskan dan tidak dihibahkan. Ibn Umar

melanjutkan: Umar menyedekahkan (manfaat)nya untuk kaum fakir, kerabat,

budak-budak, orang-orang yang di jalan Allah, Ibnu Sabil dan tamu. Dan tidak

ada dosa bagi orang yang mengelolanya untuk mengambil darinya sekedar yang

ma'ruf atau memberi makan orang yang berharta dengannya?" (HR. Muslim).

Mayoritas ulama fiqh menggariskan syarat-syarat wakaf sebagai berikut:

1. Adanya wakif, yakni orang yang mewakafkan harta bendanya

Page 8: PENGEMBANGAN WAKAF KE ARAH EKONOMI SYARI’AH

Jurnal Mustanir Volume 01, Nomor 02, Tahun 2020 M/1441 H.

60

2. Adanya mauquf, yakni harta yang diwakafkan

3. Adanya mauquf‟alaih, yakni sasaran atau tujuan harta yang diwakafkan

4. Adanya ikrar wakaf.

Konsepsi wakaf secara syari‟ tersebut di atas, tampak seolah tidak ada persoalan. Namun

secara teknis, ada dua persoalan mendasar tentang pemahaman wakaf yang statis dan bahkan

merugikan bagi pengembangan perekonomian umat. Pertama, pemahaman bahwa wakaf hanya

terbatas pada benda-benda tetap yang tidak bergerak. Pemahaman ini menjadikan syari‟at Islam

tentang wakaf mandeg dan tidak pernah berkembang menjadi solusi kemiskinan umat. Kedua,

sistem pengelolaan yang tidak terarah dan tidak jelas pola manajemennya. Kondisi ini telah

menjadikan harta wakaf tidak berdaya guna bahkan mengalami pembengkakan pemeliharaannya

dan bersifat konsumtif.

Menurut laporan Tim Departemen Agama Di antara penyebab tidak optimalnya sasaran

harta wakaf dan pengelolaannya adalah, pertama, sempitnya pola pemahaman masyarakat

terhadap harta wakaf yaitu harta yang tidak bergerak dan hanya untuk aspek peribadatan semata-

mata. Kedua, pada umumnya wakif menyerahkan harta benda yang diwakafkan kepada orang

yang dianggap panutan dalam lingkup masyarakat tertentu, sementara realitas panutan tidak

selalu otomatis dapat berfungsi optimal sebagai nadhir. Ketiga, kurang memadainya kesadaran

budaya masyarakat untuk melegalkan harta wakaf semisal ke BPN dan belum

tersosialisasikannya perangkat hukum terkait wakaf.3

Kemudian, laporan Hamzah NA, 2004 terdapat 1.538.198.586 m2 di 362.471 berbagai

lokasi di Nusantara. Dari asset wakaf sebanyak itu sebagian besar masih terbengkalai.

3 Tim Depag, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia, Direktorat Jenderal

Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2003, hlm, 33-34

Page 9: PENGEMBANGAN WAKAF KE ARAH EKONOMI SYARI’AH

Jurnal Mustanir Volume 01, Nomor 02, Tahun 2020 M/1441 H.

61

Terbengkalainya asset itu kebanyak an dikarenakan ketiadaan model manajemen pendayagunaan

tanah wakaf secara proporsional.4

Kontras dari apa yang terjadi di negara-negara tetangga seperti yang dijelaskan Uswatun

Hasanah dalam Majalah Modal bahwa apabila dibandingkan dengan model pendayagunaan

wakaf di negara-negara seperti Malasyia, Bangladesh, Mesir, Kuwait, Yordania, pengelolaan dan

pengemban gan wakaf di negeri ini sangat jauh tertinggal. Mereka telah sangat maju dalam

pengembangan wakaf sehingga memberikan kontribusi yang besar bagi perekonomian bahkan

menopang perekonomian negara. 5

Pada konteks itulah perlu adanya rekontruksi pemahaman

tentang wakaf dan arah pengembangannya. Upaya ke arah rekonstruksi tersebut sebagai berikut.

Pertama, diperlukan adanya kriteria nadzir sebagai pemegang peran strategis dalam

pengelolaan dan pengembangan wakaf. Sebagai jawaban untuk hal ini, undang-undang Wakaf

No 41 tahun 2004 pasal 6 bagian ketiga, ditegaskan wakaf harus memenuhi unsur-unsurnya

meliputi; wakif, nadzir, harta benda wakaf, ikrar wakaf, peruntukan wakaf dan jangka waktu

wakaf. Kemudian pada bagian keempat pasal 7 ditegaskan bahwa wakif meliputi perseorangan,

organisasi atau badan hukum.

Selanjutnya, pada pasal 9 bagian kelima ditegaskan nadzir meliputi perseorangan,

organisasi atau badan hukum. Yang dimaksud wakif organisasi atau badan hukum adalah

organisasi yang mewakafkan harta benda milik organisasi atau badan hukum sesuai anggaran

dasar organisasi atau badan hukum yang bersangkutan. (pasal 8 ayat 2 dan 3). Demikian pula

nadzir dapat berupa organisasi atau badan hukum . (pasal 10). Adapun tugas nadzir diatur dalam

pasal 11 yaitu melakukan pengadminisrasian harta benda wakaf, mengelola dan mengembangkan

4 Lukman Fauroni, ”Undang-Undang Wakaf”, artikel pada Kedaulatan Rakyat 8 Desember 2004

5 Uswatun Hasanah, dalam “Majalah Modal” tahun 2003

Page 10: PENGEMBANGAN WAKAF KE ARAH EKONOMI SYARI’AH

Jurnal Mustanir Volume 01, Nomor 02, Tahun 2020 M/1441 H.

62

harta benda wakaf sesuai dengan tujuan fungsi, menga wasi dan melindungi harta benda wakaf

dan peruntukan wakaf dan melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.

Meski demikian, laporan tentang potret nadzir menurut survei CRSC memperlihatkan

hanya 16 % yang mengelola wakaf secara full time sedangkan mayoritas nadhir yaitu 86 %

mengakui tugas sebagai nadhir merupakan pekerjaan sampingan. Dari aspek profesi utam a,

nadhir terdiri dari PNS 33% petani/ nelayan 26 %, guru/ dosen 16 % usahawan 10 % pengurus

mesjid 6 % karyawan BUMN 6 % dan politisi, Polri/ TNI dan karyawan swasta masing-masing

1%.6

Dalam UU No. 41 tahun 2004 ditegaskan harta wakaf terdiri atas benda tidak bergerak

dan benda bergerak. Harta tidak bergerak meliputi hak atas tanah, bangunan, tanaman, hak milik

atas satuan rumah susun, dan lain-lain. Sedangkan benda bergerak adalah benda yang tidak bisa

habis karena dikonsumsi meliputi; uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas

kekayaan intelektual, hak sewa dan benda bergerak lain sesuai ketentuan syari‟ah.7

Adapun pendayagunaan harta wakaf bergerak berupa uang dapat dilakukan melalui

lembaga keuangan syari‟ah yang ditunjuk oleh Menteri.8 Ditegaskan, fungsi harta benda wakaf

disamping untuk sarana ibadah, pendidikan, kesehatan, bantuan fakir miskin, bea siswa, juga

untuk kemajuan dan pengingkatan ekonomi umat dan atau kemajuan kesejahteraan umum

lainnya yang tidak bertentangan dengan syari‟ah dan perundangan-undangan.9 Demikian pula

dalam pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf harus dilakukan secara produktif,

6 Tuti A Najib dan Ridwan al-Makassari, Wakaf Tuhan dan Agenda Kemanusiaan, Jakarta: CRSC, 2006, hlm. 96-97

7 UU Wakaf no 41 tahun 2004 pasal 16 ayat 2 dan 3.

8 UU Wakaf no 41 tahun 2004 pasal 28

9 UU Wakaf no 41 tahun 2004 pasal 22

Page 11: PENGEMBANGAN WAKAF KE ARAH EKONOMI SYARI’AH

Jurnal Mustanir Volume 01, Nomor 02, Tahun 2020 M/1441 H.

63

bahkan apabila diperlukan penjamin untuk menjaga resiko misalnya, digunakan lembaga

penjamin syari‟a.10

Dengan demikian, pemanfaatan tanah wakaf untuk kegiatan ekonomi bernilai tinggi, atau

diinvestasikan untuk menciptakan lapangan kerja mi salnya, bukan lagi merupakan hal yang

mustahil. Dengan perangkat hukum yang kuat demikian, maka persoalan kemudian adalah

bagaimana mengejawantahkan peraturan perundang-undangan tersebut agar dapat

terimplementasi secara baik dan konsisten.

Namun, lazimnya dalam sebuah undang-undang baru, persoalan yang mucul kemudian

adalah kesulitan dalam implementasinya disebabkan oleh berbagai faktor. Karenanya, perlu

pengejawantahan peraturan-perarutan di bawah UU, sosialisasi, pelaksanaan dan pengawasan

dan lain sebagainya.

Kedua, Di samping mengupayakan nadzir yang proporsional, penting pula adanya sikap

proaktif masyarakat terutama melalui organisasi-organisasi yang fokus dalam bidangnya masing-

masing kiranya dapat menjadi pemecah kebekuan dalam rangka implementasi model-model

pengembangan wakaf dan seterusnya sesuai kebutuhan masyarakat sekitar. Sebut saja semisal

Dompet-dompet Peduli Dhuafa, PKPU, DSUQ, Tabung Wakaf Indonesia (TWI) dan lain-lain

adalah organisasi-organisasi nirlaba yang telah melakukan model pengembangan, termasuk

dalam bidang wakaf.

Penutup

Meski secara syar‟i level perintah wakaf bersifat anjuran, namun keberadaan dan

kemanfaatannya sangat vital bagi kehidupan, baik dalam keberagamaan maupun sosial.

Pengelolaan wakaf yang tidak terintegrasi dengan sasaran akan mengurangi bahkan

10

UU Wakaf no 41 tahun 2004 pasal 43 ayat 1,2 dan 3

Page 12: PENGEMBANGAN WAKAF KE ARAH EKONOMI SYARI’AH

Jurnal Mustanir Volume 01, Nomor 02, Tahun 2020 M/1441 H.

64

mnghilangkan kemanfaatan wakaf. Karenanya, pengembangan yang memegang teguh prinsip-

prinsip kemaslahatan umum menjadi penting untuk dilakukan.

Model-model pengembangan ke arah penguatan ekonomi masyarakat secara luas dapat

dimulai oleh kelompok-kelompok atau komunitas pedagang kecil seperti Komunitas PKL

(Pedagang Kaki Lima), Komunitas Pedagang Asongan, Komunitas Pedagang Koran atau Surat

Kabar, Kelompok Petani dan Gabungan Kelompok Petani serta komunitas yang lain.

Andai pengelolaan dan pengembangan wakaf seperti yang diurai dalam tulisan ini, bukan

tidak mungkin wakaf menjadi aset masyarakat dan sekaligus aset negara yang saat ini sedang

memerlukan penguatan di berbagai sektor. Jika demikian, rahmatan lil „alamin yang sejak dulu

disematkan Nabi saw dalam da‟wahnya tidak hanya pemanis jargon dalam mimbar khutbah atau

majlis-majlis ta‟lim melainkan memakan satu nafas dengan ajaran dan amaliyah umat Islam.

Semoga.

Daftar Pustaka

Abu Bakar, Irfan, 2005, Revitalisasi Filantropi Islam, editor Chaider S Bamualim, , Pusat

Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah.

Departemen Agama RI, 2004, “Undang-undang Wakaf no 41 tahun 2004:, Direktorat

Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji,

Fauroni, Lukman, ”Undang-Undang Wakaf”, artikel pada Kedaulatan Rakyat 8 Desember

2004

Hasanah, Uswatun, 2003, “Majalah Modal” .

Mughniyyah, Muhammad Jawab, al-Fiqh ‘ala al-Madhahib al-Khamsah, pent. Masykur

AB dkk, Jakarta: PT Lentera, hlm. 635.

Page 13: PENGEMBANGAN WAKAF KE ARAH EKONOMI SYARI’AH

Jurnal Mustanir Volume 01, Nomor 02, Tahun 2020 M/1441 H.

65

Najib, Tuti A dan Ridwan al-Makassari, Wakaf Tuhan dan Agenda Kemanusiaan, Jakarta:

CRSC, 2006, hlm. 96-97

Tim Depag, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia,

Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2003, hlm, 33-34