pengembangan wakaf ke arah ekonomi syari’ah
TRANSCRIPT
Jurnal Mustanir Volume 01, Nomor 02, Tahun 2020 M/1441 H.
53
PENGEMBANGAN WAKAF KE ARAH EKONOMI SYARI’AH
An Ras Try Astuti
Email: [email protected]
Abstract
Meski lembaga ekonomi syari‟ah sudah memulai gemanya, namun ketergantungan umat Islam
terhadap bank konvensional hingga kini masih relatif banyak. Beberapa upaya untuk
menguatkan perekonomian umat Islam melalui lembaga-lembaga mikro syari‟ah telah gencar
dilakukan. Salahsatu yang belum banyak difikirkan dan disentuh oleh banyak kalangan adalah
upaya pengembangan wakaf sebagai penguatan modal umat.
Tulisan ini akan melacak ruang-ruang yang bisa dimasuki untuk mencapai keadilan ekonomi
dalam bingkai rahmatan lil ‘alamin.
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa pengelolaan dan pengembangan wakaf produktif di
Indonesia perlu memikirkan Model-model pengembangan ke arah penguatan ekonomi
masyarakat secara luas yang dapat dimulai oleh kelompok-kelompok atau komunitas pedagang
kecil seperti Komunitas PKL (Pedagang Kaki Lima), Komunitas Pedagang Asongan, Komunitas
Pedagang Koran atau Surat Kabar, Kelompok Petani dan Gabungan Kelompok Petani serta
komunitas yang lain. Oleh karenanya peran pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama harus
lebih giat lagi dalam mensosialisasikan dan mendampingi nadzir agar dapat memberikan
manfaat yang luas kepada kesejahteraan sosial umat Islam di Indonesia.
Kata Kunci : Wakaf, Pengembangan wakaf, Nazhir.
Pendahuluan
Kelesuhan ekonomi umat Islam banyak dipengaruhi oleh faktor eksternalnya dibanding
faktor internal itu sendiri. Salahsatunnya adalah ketiadaan “jaminan hukum” dalam pengelolaan
harta wakaf sebagai penguatan modal. Padahal, paradigma hukum Islam telah sangat jelas
memposisikan diri sebagai solusi atas problematika umat sepanjang zaman. Persoalannya
kemudian, umat Islam masih berpijak pada fiqh klasik yang berprinsip pada dogma-dogma teks
Jurnal Mustanir Volume 01, Nomor 02, Tahun 2020 M/1441 H.
54
yang statis. Sehingga pengelolaan dan pengembangan wakaf masih jauh dari peranannya dalam
mengawal ketimpangan sosial dan penguatan ekonomi umat.
Wakaf, sebagai harta benda harus memiliki dampak langsung ke umat. Jika ini dapat
dipahami bersama, maka kajian kemudian adalah dalam bidang apa saja wakaf dapat disalurkan
atau difungsikan?, dari segi teknisnya, apakah harta benda wakaf ini dapat dikelola secara
mandiri atau kerjasama?, jika sendiri, maka seperti apa kriteria individunya?, dan jika kerjasama,
maka lembaga apa saja yang memenuhi kriterianya?, dan lain-lain yang diancangkan
kebermanfaatan secara luas dan merata serta berkeadilan.
Setidaknya, ada empat prinsip yang dapat dijadikan acuan dalam pengelolaan dan
pengembangan wakaf menurut al-Qur‟an.
Pertama, Q.S. Al Baqarah ayat 262 yang berbunyi:
Artinya: “Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, Kemudian
mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan
menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan
si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. tidak
ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih
hati”.
Ayat ini memberikan mengajarkan tentang pentingnya memprioritaskan kemaslahatan
umum yang dibangun dari kepemilikan harta benda melalui pemanfaatan ke orang lain sehingga
ia akan menjadi pribadi yang mulia di sisi Allah swt. Pribadi-pribadi seperti inilah yang
diandaikan akan menjadi titik-titik penguatan ekonomi umat.
Jurnal Mustanir Volume 01, Nomor 02, Tahun 2020 M/1441 H.
55
Kedua, Q.S. Al Baqarah ayat 265, yang berbunyi:
Artinya: “Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya Karena
mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti
sebuah kebun yang terletak di dataran Tinggi yang disiram oleh hujan
lebat, Maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. jika hujan
lebat tidak menyiraminya, Maka hujan gerimis (pun memadai). dan
Allah Maha melihat apa yang kamu perbuat”.
Ayat di atas menggambarkan bentuk atau pola-pola syari‟ah dalam pengelolaan dan
pengembangan harta benda untuk kemajuan dan kesejahteraan bersama sehingga tidak ada lagi
monopoli ekonomi. Inilah prinsip ajaran keadilan dalam ekonomi Islam. Termasuk pula dalam
pengelolaan dan pengembangan wakaf.
Ketiga, Q.S. Al Isra‟ ayat 29, yang berbunyi:
Artinya: “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan
janganlah kamu terlalu mengulurkannya. Karena itu kamu menjadi
tercela dan menyesal”.
Ayat tersebut menegaskan bahwa harta benda bukanlah satu-satunya pijakan hidup,
melainkan harus didistribusikan kepada kesejahteraan masyarakat secara luas. Hal demikian,
Jurnal Mustanir Volume 01, Nomor 02, Tahun 2020 M/1441 H.
56
untuk mencegah kapitalisasi dalam masyarakat. Sebagaimana cita-cita Islam dalam membangun
kesetaraan dalam setiap dimensi kehidupan. Karena, Islam memandang bahwa manusia memiliki
porensi yang setara di hadapan Allah swt.
Keempat, Q.S. An Nisa ayat 5, yang berbunyi:
Artinya:“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum
Sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang
dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan
Pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata
yang baik”.
Ayat ini hendak mengingatkan bahwa dalam aktivitas apapun harus dilandasi semangat
ibadah. Yaitu mengutamakan kemaslahatan atas kemafsadatan. Dalam kaitan ini, wakaf menjadi
media dalam mengejawantahkan kemaslahatan yang menyeluruh atas persoalan ekonomi
masyarakat.
Bangun pikir tersebut, kiranya dapat dijadikan ke arah pengelolaan dan pengembangan
wakaf yang selama ini kurang memiliki peranannya dalam mengurai jerat kapitalis Barat. Peran
utama yang mesti didahulukan adalah wakaf menjadi penguatan modal masyarakat kecil.
Mengingat mereka masih bertumpu pada lembaga keuangan atau perbankan-perbankan, baik
konvensional ataupun syari‟ah, yang tidak memiiliki komitmen dalam mensejahterakan umat.
Realitas yang penuh ketidakadilan ini harus dibongkar atau setidaknya diberi alternatif-
alternatif lain sebagai counter terhadap pelemahaman usaha masyarakat kecil. Salahsatunya
Jurnal Mustanir Volume 01, Nomor 02, Tahun 2020 M/1441 H.
57
dengan menggulirkan manfaat wakaf ke penguatan modal umat yang tidak menjerat baik secara
manajemen, ijin formal, dan jeratan-jeratan administrasi lainnya.
Diskusi
Praktek wakaf telah dicontohkan langsung oleh Rasulullah saw pada tahun ke-2 Hijriyah
dengan mewakafkan tanahnya untuk membangun masjid. Sedangkan pada tahun ke-3 Hijriyah
beliau mewakafkan tujuh kebun kurma di madinah. diantaranya kebon A‟raf, Shafiyah, Dalal,
Barqah dan kebun lainnya. Tradisi wakaf kemudian dicontoh oleh pada sahabat. Abu Thalhah
mewakafkan kebun kesayangannya “Bairaha”. Abu Bakar mewakafkan tanah di Mekkah bagi
anak keturunannya yang datang ke Mekkah. Mu‟ad bin Jabal mewakafkan rumahnya yang
populer dengan “Dar Al-Anshar”.
Fakta ini menegaskan pentingnya produktifitas wakaf. Bagaimana tanah diwakafkan
untuk bangunan masjid, kemudian, kebun kurma dimanfaatkan untuk kebutuhan masyarakat,
bahkan rumah pun diwakafkan untuk kepentingan pendidikan umat. Betapa Rasulullah saw telah
mencontoh distribusi wakaf sebagai solusi atas persoalan hidup umat Islam pada masa itu.
Dalam sejarah Islam era Klasik Daulah Abbasyiah dan Turki Usmani pun wakaf secara
nyata telah memberikan kontribusi signifikan dalam pengembangan sektor pendidikan, sosial,
ekonomi, kesehatan dan kebudayaan.
Tak heran, apabila wakaf pada saat itu menjadi filantropi Islam, meminjam istilah Irfan
Abu Bakar, yakni tindakan sukarela untuk kepentingan umum yaitu terwujudnya keadilan sosial
melalui model-model tertentu guna menyelesaikan ketidakadilan struktur sosial, mengobati akar
penyebab ketidakadilan dan memberikan advokasi.1 Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa Filantropi
1 Irfan Abu Bakar, Revitalisasi Filantropi Islam, editor Chaider S Bamualim, , Pusat Bahasa dan Budaya
UIN Syarif Hidayatullah, 2005 hlm 4-5.
Jurnal Mustanir Volume 01, Nomor 02, Tahun 2020 M/1441 H.
58
dapat dipetakan menjadi dua, pertama filantropi tradisional yaitu filantropi yang berbasis pada
cahritas atau pemberian secara individual sebagai bentuk pelayanan sosial atau tanggung jawab
sosial. Kedua filantropi untuk keadilan sosial yaitu model filantropi yang terorganisir dan
bersifat jangka panjang guna terjadinya transformasi sosial ekonomi.
Sayangnya, model pemberdayaan wakaf seperti itu pada masa kini belum mendapat
perhatian yang serius oleh para pemegang otoritas, baik pada lingkup negara atau pedesaan. Pada
umumnya, masyarakat kita memahami kemanfaatan wakaf secara statis atau kaku. Seperti wakaf
hanya diperuntukkan bagi lembaga-lembaga keagamaan misalnya pembangunan masjid dan
madrasah, bahkan acap kali wakaf dimanfaatkan untuk tanah pekuburan.
Dari uraian di atas, dapat dipertanyakan mengapa wakaf tidak diperuntukkan sebagai
sumber modal bagi pengembangan ekonomi umat, terutama masyarakat miskin kota dan desa?.
Inilah problem wakaf yang penting diurai secara tuntas guna menemukan titik masalah yang
sesungguhnya.
Mengurai Problem Pemahaman Wakaf yang Statis
Kata Wakaf berasal dari bahasa Arab, yaitu al-waqf yang berarti al-habs yaitu menahan.
Dalam kitab Al-Fiqh „Ala Mazahib al-Khamsah, Wakaf didefinisikan sebagai berikut:
“sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan
kepemilikan asal (tahbis al-asl) dan menjadikan manfaatnya berlaku umum.
Yang dimaksud tahbis al-asl adalah menahan barang yang diwakafkan agar tidak
diwariskan, dijual, dihibahkan, digadaikan, disewakan dipinjamkan dan lain-
lain”.2
2 Muhammad Jawab Mughniyyah, al-Fiqh ‘ala al-Madhahib al-Khamsah, pent. Masykur AB dkk,
Jakarta: PT Lentera, hlm. 635.
Jurnal Mustanir Volume 01, Nomor 02, Tahun 2020 M/1441 H.
59
Hal ini sama dengan definisi wakaf menurut jumhur ulama, yakni menahan suatu harta
yang dapat dimanfaatkan, baik secara abadi atau sementara, untuk diambil manfaatnya secara
berulang-ulang dengan mengekalkan bendanya demi ke pentingan umum maupun khusus untuk
tujuan mendekatkan di ri kepada Allah Ta'ala.
Hukum wakaf menurut jumhur ulama adalah sunat. Dalilnya adalah firman Allah dalam
surat Ali Imran,3: 92, yang berbunyi:
Artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum
kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang
kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya”.
Selain ayat al-Qur‟an, hadis yang dianggap sebagai sandaran syariat wakaf adalah hadis
Umar yang artinya sebagai berikut:
”Dari Ibn Umar katanya: Umar mendapat (harta rampasan perang berupa) tanah
di Khaibar. Dia mendatangi Nabi saw. untuk memohon petunjuk mengenainya
seraya berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mendapat tanah di Khaibar
yang belum pernah aku mendapatkan harta paling berharga bagiku darinya,
maka apakah perintahmu mengenainya? Jawab baginda: "Jika kamu
menghendaki, kamu tahan asalnya dan kamu sedekahkan (manfaat)nya". Kata
Ibn Umar: Maka Umar segera menyedekahkan (manfaat)nya, dengan ketentuan
asalnya tidak dijual belikan, tidak diwariskan dan tidak dihibahkan. Ibn Umar
melanjutkan: Umar menyedekahkan (manfaat)nya untuk kaum fakir, kerabat,
budak-budak, orang-orang yang di jalan Allah, Ibnu Sabil dan tamu. Dan tidak
ada dosa bagi orang yang mengelolanya untuk mengambil darinya sekedar yang
ma'ruf atau memberi makan orang yang berharta dengannya?" (HR. Muslim).
Mayoritas ulama fiqh menggariskan syarat-syarat wakaf sebagai berikut:
1. Adanya wakif, yakni orang yang mewakafkan harta bendanya
Jurnal Mustanir Volume 01, Nomor 02, Tahun 2020 M/1441 H.
60
2. Adanya mauquf, yakni harta yang diwakafkan
3. Adanya mauquf‟alaih, yakni sasaran atau tujuan harta yang diwakafkan
4. Adanya ikrar wakaf.
Konsepsi wakaf secara syari‟ tersebut di atas, tampak seolah tidak ada persoalan. Namun
secara teknis, ada dua persoalan mendasar tentang pemahaman wakaf yang statis dan bahkan
merugikan bagi pengembangan perekonomian umat. Pertama, pemahaman bahwa wakaf hanya
terbatas pada benda-benda tetap yang tidak bergerak. Pemahaman ini menjadikan syari‟at Islam
tentang wakaf mandeg dan tidak pernah berkembang menjadi solusi kemiskinan umat. Kedua,
sistem pengelolaan yang tidak terarah dan tidak jelas pola manajemennya. Kondisi ini telah
menjadikan harta wakaf tidak berdaya guna bahkan mengalami pembengkakan pemeliharaannya
dan bersifat konsumtif.
Menurut laporan Tim Departemen Agama Di antara penyebab tidak optimalnya sasaran
harta wakaf dan pengelolaannya adalah, pertama, sempitnya pola pemahaman masyarakat
terhadap harta wakaf yaitu harta yang tidak bergerak dan hanya untuk aspek peribadatan semata-
mata. Kedua, pada umumnya wakif menyerahkan harta benda yang diwakafkan kepada orang
yang dianggap panutan dalam lingkup masyarakat tertentu, sementara realitas panutan tidak
selalu otomatis dapat berfungsi optimal sebagai nadhir. Ketiga, kurang memadainya kesadaran
budaya masyarakat untuk melegalkan harta wakaf semisal ke BPN dan belum
tersosialisasikannya perangkat hukum terkait wakaf.3
Kemudian, laporan Hamzah NA, 2004 terdapat 1.538.198.586 m2 di 362.471 berbagai
lokasi di Nusantara. Dari asset wakaf sebanyak itu sebagian besar masih terbengkalai.
3 Tim Depag, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia, Direktorat Jenderal
Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2003, hlm, 33-34
Jurnal Mustanir Volume 01, Nomor 02, Tahun 2020 M/1441 H.
61
Terbengkalainya asset itu kebanyak an dikarenakan ketiadaan model manajemen pendayagunaan
tanah wakaf secara proporsional.4
Kontras dari apa yang terjadi di negara-negara tetangga seperti yang dijelaskan Uswatun
Hasanah dalam Majalah Modal bahwa apabila dibandingkan dengan model pendayagunaan
wakaf di negara-negara seperti Malasyia, Bangladesh, Mesir, Kuwait, Yordania, pengelolaan dan
pengemban gan wakaf di negeri ini sangat jauh tertinggal. Mereka telah sangat maju dalam
pengembangan wakaf sehingga memberikan kontribusi yang besar bagi perekonomian bahkan
menopang perekonomian negara. 5
Pada konteks itulah perlu adanya rekontruksi pemahaman
tentang wakaf dan arah pengembangannya. Upaya ke arah rekonstruksi tersebut sebagai berikut.
Pertama, diperlukan adanya kriteria nadzir sebagai pemegang peran strategis dalam
pengelolaan dan pengembangan wakaf. Sebagai jawaban untuk hal ini, undang-undang Wakaf
No 41 tahun 2004 pasal 6 bagian ketiga, ditegaskan wakaf harus memenuhi unsur-unsurnya
meliputi; wakif, nadzir, harta benda wakaf, ikrar wakaf, peruntukan wakaf dan jangka waktu
wakaf. Kemudian pada bagian keempat pasal 7 ditegaskan bahwa wakif meliputi perseorangan,
organisasi atau badan hukum.
Selanjutnya, pada pasal 9 bagian kelima ditegaskan nadzir meliputi perseorangan,
organisasi atau badan hukum. Yang dimaksud wakif organisasi atau badan hukum adalah
organisasi yang mewakafkan harta benda milik organisasi atau badan hukum sesuai anggaran
dasar organisasi atau badan hukum yang bersangkutan. (pasal 8 ayat 2 dan 3). Demikian pula
nadzir dapat berupa organisasi atau badan hukum . (pasal 10). Adapun tugas nadzir diatur dalam
pasal 11 yaitu melakukan pengadminisrasian harta benda wakaf, mengelola dan mengembangkan
4 Lukman Fauroni, ”Undang-Undang Wakaf”, artikel pada Kedaulatan Rakyat 8 Desember 2004
5 Uswatun Hasanah, dalam “Majalah Modal” tahun 2003
Jurnal Mustanir Volume 01, Nomor 02, Tahun 2020 M/1441 H.
62
harta benda wakaf sesuai dengan tujuan fungsi, menga wasi dan melindungi harta benda wakaf
dan peruntukan wakaf dan melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.
Meski demikian, laporan tentang potret nadzir menurut survei CRSC memperlihatkan
hanya 16 % yang mengelola wakaf secara full time sedangkan mayoritas nadhir yaitu 86 %
mengakui tugas sebagai nadhir merupakan pekerjaan sampingan. Dari aspek profesi utam a,
nadhir terdiri dari PNS 33% petani/ nelayan 26 %, guru/ dosen 16 % usahawan 10 % pengurus
mesjid 6 % karyawan BUMN 6 % dan politisi, Polri/ TNI dan karyawan swasta masing-masing
1%.6
Dalam UU No. 41 tahun 2004 ditegaskan harta wakaf terdiri atas benda tidak bergerak
dan benda bergerak. Harta tidak bergerak meliputi hak atas tanah, bangunan, tanaman, hak milik
atas satuan rumah susun, dan lain-lain. Sedangkan benda bergerak adalah benda yang tidak bisa
habis karena dikonsumsi meliputi; uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas
kekayaan intelektual, hak sewa dan benda bergerak lain sesuai ketentuan syari‟ah.7
Adapun pendayagunaan harta wakaf bergerak berupa uang dapat dilakukan melalui
lembaga keuangan syari‟ah yang ditunjuk oleh Menteri.8 Ditegaskan, fungsi harta benda wakaf
disamping untuk sarana ibadah, pendidikan, kesehatan, bantuan fakir miskin, bea siswa, juga
untuk kemajuan dan pengingkatan ekonomi umat dan atau kemajuan kesejahteraan umum
lainnya yang tidak bertentangan dengan syari‟ah dan perundangan-undangan.9 Demikian pula
dalam pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf harus dilakukan secara produktif,
6 Tuti A Najib dan Ridwan al-Makassari, Wakaf Tuhan dan Agenda Kemanusiaan, Jakarta: CRSC, 2006, hlm. 96-97
7 UU Wakaf no 41 tahun 2004 pasal 16 ayat 2 dan 3.
8 UU Wakaf no 41 tahun 2004 pasal 28
9 UU Wakaf no 41 tahun 2004 pasal 22
Jurnal Mustanir Volume 01, Nomor 02, Tahun 2020 M/1441 H.
63
bahkan apabila diperlukan penjamin untuk menjaga resiko misalnya, digunakan lembaga
penjamin syari‟a.10
Dengan demikian, pemanfaatan tanah wakaf untuk kegiatan ekonomi bernilai tinggi, atau
diinvestasikan untuk menciptakan lapangan kerja mi salnya, bukan lagi merupakan hal yang
mustahil. Dengan perangkat hukum yang kuat demikian, maka persoalan kemudian adalah
bagaimana mengejawantahkan peraturan perundang-undangan tersebut agar dapat
terimplementasi secara baik dan konsisten.
Namun, lazimnya dalam sebuah undang-undang baru, persoalan yang mucul kemudian
adalah kesulitan dalam implementasinya disebabkan oleh berbagai faktor. Karenanya, perlu
pengejawantahan peraturan-perarutan di bawah UU, sosialisasi, pelaksanaan dan pengawasan
dan lain sebagainya.
Kedua, Di samping mengupayakan nadzir yang proporsional, penting pula adanya sikap
proaktif masyarakat terutama melalui organisasi-organisasi yang fokus dalam bidangnya masing-
masing kiranya dapat menjadi pemecah kebekuan dalam rangka implementasi model-model
pengembangan wakaf dan seterusnya sesuai kebutuhan masyarakat sekitar. Sebut saja semisal
Dompet-dompet Peduli Dhuafa, PKPU, DSUQ, Tabung Wakaf Indonesia (TWI) dan lain-lain
adalah organisasi-organisasi nirlaba yang telah melakukan model pengembangan, termasuk
dalam bidang wakaf.
Penutup
Meski secara syar‟i level perintah wakaf bersifat anjuran, namun keberadaan dan
kemanfaatannya sangat vital bagi kehidupan, baik dalam keberagamaan maupun sosial.
Pengelolaan wakaf yang tidak terintegrasi dengan sasaran akan mengurangi bahkan
10
UU Wakaf no 41 tahun 2004 pasal 43 ayat 1,2 dan 3
Jurnal Mustanir Volume 01, Nomor 02, Tahun 2020 M/1441 H.
64
mnghilangkan kemanfaatan wakaf. Karenanya, pengembangan yang memegang teguh prinsip-
prinsip kemaslahatan umum menjadi penting untuk dilakukan.
Model-model pengembangan ke arah penguatan ekonomi masyarakat secara luas dapat
dimulai oleh kelompok-kelompok atau komunitas pedagang kecil seperti Komunitas PKL
(Pedagang Kaki Lima), Komunitas Pedagang Asongan, Komunitas Pedagang Koran atau Surat
Kabar, Kelompok Petani dan Gabungan Kelompok Petani serta komunitas yang lain.
Andai pengelolaan dan pengembangan wakaf seperti yang diurai dalam tulisan ini, bukan
tidak mungkin wakaf menjadi aset masyarakat dan sekaligus aset negara yang saat ini sedang
memerlukan penguatan di berbagai sektor. Jika demikian, rahmatan lil „alamin yang sejak dulu
disematkan Nabi saw dalam da‟wahnya tidak hanya pemanis jargon dalam mimbar khutbah atau
majlis-majlis ta‟lim melainkan memakan satu nafas dengan ajaran dan amaliyah umat Islam.
Semoga.
Daftar Pustaka
Abu Bakar, Irfan, 2005, Revitalisasi Filantropi Islam, editor Chaider S Bamualim, , Pusat
Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah.
Departemen Agama RI, 2004, “Undang-undang Wakaf no 41 tahun 2004:, Direktorat
Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji,
Fauroni, Lukman, ”Undang-Undang Wakaf”, artikel pada Kedaulatan Rakyat 8 Desember
2004
Hasanah, Uswatun, 2003, “Majalah Modal” .
Mughniyyah, Muhammad Jawab, al-Fiqh ‘ala al-Madhahib al-Khamsah, pent. Masykur
AB dkk, Jakarta: PT Lentera, hlm. 635.
Jurnal Mustanir Volume 01, Nomor 02, Tahun 2020 M/1441 H.
65
Najib, Tuti A dan Ridwan al-Makassari, Wakaf Tuhan dan Agenda Kemanusiaan, Jakarta:
CRSC, 2006, hlm. 96-97
Tim Depag, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia,
Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2003, hlm, 33-34