pengembangan kawasan terpencil berbasis komunitas adat terpencil

27
Prosiding Seminar PENGEMBANGAN KAWASAN TERTINGGAL BERBASIS KOMUNITAS ADAT TERPENCIL Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal BAPPENAS

Upload: hilman-adriyanto

Post on 07-Aug-2015

913 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

BAPPENAS

TRANSCRIPT

Page 1: Pengembangan Kawasan Terpencil Berbasis Komunitas Adat Terpencil

Prosiding Seminar

PENGEMBANGAN

KAWASAN TERTINGGAL

BERBASIS KOMUNITAS

ADAT TERPENCIL

Direktorat

Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal

BAPPENAS

Page 2: Pengembangan Kawasan Terpencil Berbasis Komunitas Adat Terpencil

Prosiding Seminar

PENGEMBANGAN

KAWASAN TERTINGGAL

BERBASIS KOMUNITAS

ADAT TERPENCIL

Direktorat

Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal

BAPPENAS

Page 3: Pengembangan Kawasan Terpencil Berbasis Komunitas Adat Terpencil

Prosiding Seminar

PENGEMBANGAN

KAWASAN TERTINGGAL

BERBASIS KOMUNITAS

ADAT TERPENCIL

ISBN : 979-98653-2-8

Diterbitkan oleh:

Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal

BAPPENAS

Cetakan Pertama Agustus 2004

File isi buku ini dapat didownload dari situs www.kawasan.or.id

Page 4: Pengembangan Kawasan Terpencil Berbasis Komunitas Adat Terpencil

iii

DAFTAR ISI

KATA SAMBUTAN.............................................................................. iv

KATA PENGANTAR.......................................................................... v

KESIMPULAN SEMINAR................................................................. vi

PENANGANAN KOMUNITAS ADAT

TERPENCIL DI INDONESIA: METODE

DAN PENDEKATAN.......................................................................... 1

KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH

DALAM PENANGANAN KOMUNITAS

ADAT TERPENCIL: STUDI KASUS KAT

BADUY....................................................................................................... 7

UPAYA PENINGKATAN PARTISIPASI

KOMUNITAS ADAT TERPENCIL DALAM

PROSES PENGELOLAAN SUMBERDAYA

ALAM: STUDI KASUS KAT KASEPUHAN............................... 13

MEMAHAMI KOMUNITAS ADAT

TERPENCIL DALAM PENGEMBANGAN

WILAYAH................................................................................................. 34

KONSEP PENGEMBANGAN KAWASAN

TERTINGGAL BERBASIS KOMUNITAS

ADAT TERPENCIL.............................................................................. 38

DISKUSI.................................................................................................... 50

Page 5: Pengembangan Kawasan Terpencil Berbasis Komunitas Adat Terpencil

iv

KATA SAMBUTAN

Saya menyambut baik upaya yang dilakukan oleh Direktorat Pengembangan

Kawasan Khusus dan Tertinggal, Bappenas dalam menerbitkan buku Prosiding

Seminar Pengembangan Kawasan Tertinggal Berbasis Komunitas Adat Terpencil.

Informasi yang terkandung dalam buku ini sangat penting untuk diketahui oleh

semua pihak yang terkait dengan pembangunan daerah dan masyarakat Indonesia.

Seminar yang diselenggarakan pada bulan April 2004 ini bertujuan untuk

menggali informasi dari berbagai kalangan mengenai strategi yang efektif dalam

memberdayakan Komunitas Adat Terpencil. Pemikiran dan pengalaman para

pengambil kebijakan, peneliti dari perguruan tinggi dan LSM pendamping Komunitas

Adat Terpencil, serta para peserta Seminar yang berasal dari berbagai kalangan itu

sangat berarti untuk diketahui oleh masyarakat luas. Seminar ini menyimpulkan

ada berbagai tindakan penting yang perlu dilakukan untuk mempercepat proses

pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil yang junlahnya masih sangat banyak di

berbagai pelosok negeri.

Kepada para pembaca saya harapkan dapat menemukan pandangan baru

yang positif dengan membaca buku ini. Namun jika buku ini mengandung

ketidakbenaran, sudilah menyampaikannya kepada kami, untuk penyempurnaan

buku ini. Selanjutnya kepada berbagai pihak yang telah memberikan masukan selama

penyusunan kajian ini saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya.

Semoga buku ini bermanfaat bagi kemajuan bangsa Indonesia.

Tatag Wiranto

Deputi Bidang Otonomi Daerah dan Pengembangan Regional, Bappenas

Page 6: Pengembangan Kawasan Terpencil Berbasis Komunitas Adat Terpencil

v

KATA PENGANTAR

Sampai saat ini masih terdapat banyak kawasan yang relatif jauh tertinggal

dibandingkan dengan kawasan lain di Indonesia. Kawasan ini tersebar di pedalaman,

pulau-pulau kecil, di tengah-tengah hutan lindung, di perbatasan antar negara, dll.

Di antara kawasan-kawasan ini, banyak kawasan yang dihuni oleh Komunitas Adat

Terpencil (KAT). Mereka ini adalah masyarakat yang belum memasuki kehidupan

modern. Memang ada yang berpendapat bahwa mereka belum tentu tidak bahagia

dibandingkan masyarakat modern. Namun semua masyarakat di dunia menuju arah

yang sama, yaitu kehidupan yang modern, dengan segala dampak negatifnya.

Oleh sebab itu, Komunitas Adat Terpencil perlu disiapkan untuk memasuki

kehidupan modern sebagaimana masyarakat Indonesia lainnya dengan tetap

mempertahankan bahkan mengembangkan kearifan asli masing-masing masyarakat

adat. Bagaimana hal itu sebaiknya dilakukan, dikupas dalam buku ini.

Buku ini merupakan kumpulan makalah dan bahan presentasi yang disajikan

pada Seminar "Pengembangan Kawasan Tertinggal Berbasis Komunitas Adat

Terpencil" yang diselenggarakan di Bappenas pada tanggal 8 April 2004.

Kami berharap, buku ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, dapat menjadi

bahan pemikiran untuk membangun gagasan yang lebih maju, dan dapat dijadikan

bahan pertimbangan untuk pengambilan kebijakan dalam perencanaan atau

pelaksanaan progam dan kegiatan yang menyangkut pemberdayaan Komunitas Adat

Terpencil.

Herry Darwanto

Direktur Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal, Bappenas

Page 7: Pengembangan Kawasan Terpencil Berbasis Komunitas Adat Terpencil

vi

KESIMPULAN SEMINAR

1. Peraturan pelaksanaan UUD pasal 18 tentang hukum adat

perlu segera disusun. Departemen Sosial akan segera

mengambil inisiatif menyusun rancangan peraturan

pelaksanan ini.

2. Perlu kerjasama yang terencana antara instansi-instansi pusat

terkait untuk memberdayakan KAT secara bertahap.

3. Pemda perlu didorong untuk memberi perhatian yang lebih

besar kepada KAT.

4. Perlu diupayakan pengarusutamaan KAT dalam perencanaan

dan pembangunan nasional dalam periode 2005-2010.

5. LSM dan lembaga-lembaga internasional perlu didorong

untuk terlibat secara lebih intensif dalam pemberdayaan

KAT.

6. Perlu upaya-upaya lebih ekstensif untuk mensosialisasikan

keberadaan KAT.

7. Departemen Sosial akan mengkoordinasikan pihak-pihak

terkait (instansi pusat, pemda, LSM, dunia usaha) dalam

pemberdayaan KAT.

Jakarta, 8 April 2004

Page 8: Pengembangan Kawasan Terpencil Berbasis Komunitas Adat Terpencil

1

PENANGANAN KOMUNITASADAT TERPENCIL DI

INDONESIA: METODE DANPENDEKATAN

Oleh Natsir Abdullah

Direktorat KAT, Departemen Sosial

Bangsa Indonesia terkenal dengan kemajemukannya yang terdiri dari berbagai suku

bangsa dan hidup bersama dalam negara kesatuan RI dengan semboyan Bhineka Tunggal

Ika. Dalam keanekaragaman tersebut ada sekelompok masyarakat / suku bangsa yang secara

relatif sudah lebih dahulu maju. Tetapi ada juga yang belum maju dan malahan tertinggal

dengan masyarakat lainnya. Perubahan sosial dalam masyarakat baik secara vertikal maupun

horizontal juga dapat menimbulkan ketertinggalan dan keterpencilan pada sekelompok

masyarakat tertentu karena lokasi yang terpencil serta sulit mendapatkan akses pelayanan dari

luar. Kelompok masyarakat inilah yang kami kategorikan sebagai Komunitas Adat yang

masih hidup terpencil. Departemen Sosial memandang keterpencilan itu ada 2 (dua) aspek

yaitu secara eksternal: kenapa pihak luar belum atau sulit memberikan akses pelayanan sosial

dasar pada mereka. Secara internal: Kenapa mereka belum dan atau sulit mendapatkan akses

pelayanan sosial dasar. Untuk menjawabnya ini tugasnya tim peneliti.

Pada sekitar bulan Maret tahun 1999 LSM AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara)

menyelenggarakan seminar di Hotel Indonesia yang pesertanya dari tokoh masyarakat adat,

mengusulkan kiranya istilah masyarakat terasing perlu ditinjau kembali. Direktorat Bina

Masyarakat Terasing pada saat itu mengundang anggota Tim Pakar yang tergabung dalam

Forum Konsultasi Pembinaan Kesejahteraan Sosial Masyarakat Terasing untuk membahas

penggantian istilah masyarakat terasing. Tim Pakar pada saat itu yang terdiri dari Prof. Budi

Santoso, Prof DR. Sjafri Sairin, Prof. DR. Edhi Sedyawati, Dr. Muthia Edi Swasono, Anto

Ahadiat MA, dan lain-lain mengusulkan istilah KAT (Komunitas Adat Terpencil) sebagai

pengganti istilah Masyarakat Terasing. Selanjutnya istilah tersebut dikukuhkan dengan Surat

Keputusan Presiden No 111 tahun 1999. Dalam Surat keputusan Presiden tersebut disebutkan

bahwa Pengertian Komunitas Adat Terpencil adalah kelompok sosial budaya yang bersifat

lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi

Page 9: Pengembangan Kawasan Terpencil Berbasis Komunitas Adat Terpencil

2

maupun politik.

Berdasarkan pengertian tersebut, maka kelompok masyarakat tertentu dapat

dikategorikan sebagai Komunitas Adat Terpencil jika terdapat kriteria-kriteria umum yang

berlaku universal sebagai berikut:

· Berbentuk komunitas kecil, tertutup dan homogen

· Pranata sosial bertumpu pada hubungan kekerabatan

· Pada umumnya terpencil secara geografis dan relatif sulit dijangkau

· Pada umumnya masih hidup dengan sistem ekonomi sub sistem

· Peralatan teknologinya sederhana

· Ketergantungan pada lingkungan hidup dan sumber daya alam setempat relatif tinggi

· Terbatasnya akses pelayanan sosial, ekonomi, dan politik.

Dengan demikian maka berdasarkan kriteria tersebut Komunitas Adat Terpencil dapat

dikelompokkan berdasarkan habitat dan atau lokalitas sebagai berikut:

· Dataran tinggi / pegunungan;

· Dataran rendah;

· Daerah rawa;

· Daerah pantai/laut;

· Daerah pasca/rawan konflik;

· Daerah perbatasan;

· Kawasan industri;

· Daerah rawan bencana; dan

· Wilayah pemekaran.

Komunitas Adat Terpencil juga dapat dikategorikan orbitasinya sebagai berikut: Kelana,

Menetap Sementara, dan Menetap.

Memperhatikan pengertian, kriteria, habitat dan kategori maka jumlah KAT yang dikategorikan

terpencil di Indonesia dengan persebarannya adalah sebanyak 205.029 KK atau sekitar

1.025.000 jiwa (tabel terlampir) sedangkan jumlah yang sedang diberdayakan 8.338 KK/

lokasi dan jumlah yang sudah diberdayakan 51.398 KK/lokasi

Visi Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil adalah: kesejahteraan ssial Komunitas

Adat Terpencil yang mandiri di dalam berbagai aspek kehidupan dan penghidupan.

Misi Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil adalah:

· Meningkatkan harkat dan martabat Komunitas Adat Terpencil;

· Meningkatkan kualitas hidup Komunitas Adat Terpencil;

· Memperkuat pranata dalam jaringan sosial;

· Mengembangkan sistem kehidupan dan penghidupan yang berlaku pada Komunitas

Adat Terpencil;

· Meningkatkan peran serta dan tanggung jawab sosial masyarakat dalam proses

pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil.

Page 10: Pengembangan Kawasan Terpencil Berbasis Komunitas Adat Terpencil

3

Tujuan

Berdasarkan Visi dan Misi tersebut maka Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil

bertujuan untuk memberdayakan Komunitas Adat Terpencil dalam segala aspek kehidupan

dan penghidupan agar mereka dapat hidup secara wajar baik jasmani, rohani dan sosial

sehingga dapat berperan aktif dalam pembangunan, yang pelaksanaannya dilakukan dengan

memperhatikan adat istiadat setempat.

Tugas dan Kewenangan

Pada tingkat nasional tanggung jawab pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil

menjadi tugas Departemen Sosial. Kewenangan Departemen Sosial dalam Pemberdayaan

Komunitas Adat Terpencil meliputi:

· Menyusun kebijakan pokok, menyusun standar teknis, pedoman, prosedur, kriteria

dan nama dalam pelaksanaan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil

· Melakukan kajian kebijakan pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil

· Melakukan bimbingan teknis pemantapan, pengendalian umum, evaluasi dan koordinasi

dengan Pemerintah Daerah setempat dan instansi terkait.

Pelaksanaan Pemberdayaan KAT di daerah dengan dukungan dana dekonsentrasi

dilaksanakan oleh Dinas Sosial Propinsi dan Kabupaten bersama instansi terkait, Lembaga

Swadaya Masyarakat serta dukungan dunia usaha.

Kebijakan, Strategi dan Pokok-Pokok Program

Kebijakan umum pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil diarahkan pada upaya

pengembangan kemandirian komunitas adat terpencil untuk memenuhi kebutuhan hidupnya

dalam berbagai aspek kehidupan dan penghidupannya agar mampu menanggapi perubahan

sosial budaya dan lingkungan hidupnya.

Strategi

Strategi pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil adalah menciptakan kondisi

lingkungan yang mendukung Komunitas Adat Terpencil untuk dapat mengembangkan

keterampilan dan kemampuan adaptasi terhadap perubahan lingkungan sosial budaya,

ekonomi dan politik.

Pokok-Pokok Program Pemberdayaan KAT meliputi:

· Persiapan pemberdayaan meliputi pemetaan sosial, studi etnografis, penyusunan rencana

dan program, serta pemantapan kesiapan masyarakat guna menerima usaha-usaha

dan atau dukungan pelaksanaan pemberdayaan.

· Pemberdayaan Sumber Daya Manusia meliputi pendidikan, kesehatan, agama,

kesejahteraan sosial, penataan administrasi pemerintahan desa,dll.

· Pemberdayaan lingkungan sosial meliputi pertanian tanaman pangan, perkebunan

tanaman keras, perikanan, peternakan, penataan perumahan dan permukiman.

· Perlindungan KAT meliputi usaha-usaha konsultasi, advokasi, legislasi, dll

Page 11: Pengembangan Kawasan Terpencil Berbasis Komunitas Adat Terpencil

4

Metoda

Metode pemberdayaan KAT mengalami pergeseran paradigma dan sudah disesuaikan

dengan tuntutan reformasi. Untuk itu metode yang digunakan adalah

1. Pembangunan berbasiskan masyarakat (Community Base Development). Dalam penerapan

metode ini KAT tidak dijadikan sebagai objek tetapi sebagai subjek dengan demikian

mereka diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk menyusun dan merencanakan

sendiri apa saja yang menjadi kebutuhannya yang difasilitasi oleh Perguruan Tinggi

dan LSM pada waktu pelaksanaan studi etnografis. Selanjutnya hasil studi diseminarkan

lagi pada tingkat Kabupaten dan Propinsi sebagai bahan semiloka tingkat nasional.

2. Disamping itu, juga diterapkan model kerjasama antar stakeholder yang saling terkait

dan saling berkepentingan. Model ini juga masih ada kelemahannya maka

dikembangkan dan ditingkatkan lagi menjadi model kerjasama shareholder dimana

pihak-pihak yang berkepentingan sama-sama mempunyai akses dan kepemilikan

modal/saham.

Teknik Pendekatan

· Pemberdayaan yang mengandung makna untuk meningkatkan profesionalisme dan

kinerjanya, serta pemberian kepercayaan dan peluang kepada masyarakat, dunia usaha

dan Komunitas Adat Terpencil untuk mencegah dan mengatasi masalah yang ada di

lingkungannya.

· Kemitraan, yang mengandung makna adanya kerjasama sesuai dengan program,

kepedulian, kesetaraan, kebersamaan, kolaborasi dari jaringan kerja yang menumbuh

kembangkan kemanfaatan timbal balik antara pihak-pihak yang bermitra dengan

Komunitas Adat Terpencil.

· Partisipasi, yang mengandung makna adanya prakarsa dan peranan dari Komunitas

Adat Terpencil dan lingkungan sosialnya dalam pengambilan keputusan serta melakukan

pilihan terbaik untuk meningkatkan kesejahteraan sosialnya.

· Advokasi sosial, yang mengandung makna perlindungan terhadap berbagai sumber

daya yang dimiliki untuk meningkatkan harkat dan martabat serta kualitas hidup

Komunitas Adat Terpencil.

Lokasi Pemberdayaan yang sangat berhasil

Sekedar informasi bahwa Departemen Sosial dalam memberdayakan KAT terdapat

beberapa lokasi yang sangat berhasil antara lain:

· Lokasi Salulemo Kecamatan Baebunta kabupaten Luwu Utara, sebagai desa teladan

se-Sulawesi Selatan yang kepala desanya telah diundang menghadiri upacara HUT

kemerdekaan RI di Jakarta tahun 2003.

· Lokasi Trasnawang dan Lekak Paku yang berfungsi sebagai pusat produksi pertanian

dan perkebunan yang melayani kebutuhan masyarakat kota Tanjung Selor ibukota

kabupaten Bulungan.

· Desa Long Ngorah Kecamatan Long Bangun Kutai Barat sebagai desa wisata.

· Lokasi Kekurak Kabupaten Singkawang sebagai desa budaya dan terdapat rumah

betang sepanjang, 380 meteryang dibiayai dengan dana LOAN OECF.

· Lokasi Larantikala yang telah menjadi ibukota kecamatan di Kabupaten Donggala.

Page 12: Pengembangan Kawasan Terpencil Berbasis Komunitas Adat Terpencil

5

· Sebenarnya masih banyak lokasi-lokasi lain yang berhasil. Masyarakat umum banyak

yang belum mengetahui keberhasilan tersebut karena fungsi PR belum optimal.

Kendala yang dihadapi

· Sulitnya mencari lahan baru bagi pemberdayaan KAT secara eksitu development

· Pemberdayaan KAT belum menjadi prioritas utama bagi pemerintah daerah dalam

era otonomi daerah sekarang karena tidak menghasilkan PAD secara langsung.

· Secara geografis sulit dijangkau maka dukungan sektor terkait belum optimal.

Peluang yang ada sekarang

· Dalam amandemen UUD 1945 menyatakan bahwa Negara mengakui dan

menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak

tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat

dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam

Undang-Undang.

· Seharusnya peluang ini ditangkap oleh kita semua untuk dijadikan dasar penyusunan

legislasi dalam usaha Pemberdayaan dan Perlindungan masyarakat hukum adat

termasuk Komunitas Adat yang dikategorikan masih hidup terpencil.

· Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil telah mempunyai KAT Center

yang berfungsi sebagai; Pusat Artefak, Pusat Film KAT, Pusat Buku Etnografis

KAT, Pusat Data Persebaran KAT, dan Pusat Kegiatan Lokakarya dan Seminar,

dengan web portal: www. katcenter. info.

Saran / Rekomendasi

· Perlunya menciptakan model pemberdayaan dengan entry point atau celah masuk

terhadap sektor mana yang harus lebih dahulu masuk dan ada sehingga sektor yang

lain dapat menunjang.

· Model stakeholder perlu ditingkatkan menjadi model shareholder sehingga masyarakat

tidak sekedar bekerjasama tetapi juga memiliki akses dan kepemilikan modal guna

menjamin masa depan mereka.

· Perlunya menggeser paradigma dan pola pikir, bahwa memberdayakan masyarakat

di daerah terpencil harus ditujukan untuk memperkuat integrasi sosial dan integrasi

nasional tanpa dikaitkan dengan pemasukan PAD sehingga dapat mengurangi

kecemburuan, disparitas sosial budaya dan ekonomi antara kawasan pantai (industri

ekstratif) dan pedalaman (sektor pertanian dan agraris). Jika tidak diprioritaskan

maka dapat menimbulkan biaya sosial yang tinggi di kemudian hari.

· Pembangunan masyarakat di daerah pedalaman/perbatasan yang berbasiskan KAT

kiranya bisa menjadi prioritas dengan menciptakan entry point guna memperkuat

sabuk pengaman (security belt).

· Nilai-nilai kearifan lokal yang ada dalam kehidupan masyarakat, khususnya KAT

kiranya perlu dipertahankan dengan tetap menerima pengaruh-pengaruh dari luar

sehingga tidak terjadi benturan sistem nilai budaya

· Perlunya perlindungan terhadap hak cipta yang dimiliki KAT, seperti patung yang

dibuat oleh suku Asmat sekarang sudah banyak diproduksi di Bali.

· Jika ingin menerapkan konsep kata “Pemberdayaan” secara murni dalam kehidupan

Page 13: Pengembangan Kawasan Terpencil Berbasis Komunitas Adat Terpencil

6

masyarakat maka perlu ada kearifan dan perubahan sistem anggaran dari pola DIP

menjadi model Block Grant sehingga KAT dengan dana yang ada dapat mendisain

perencanaan, pelaksanaan serta mengevaluasi sendiri hasil kegiatan yang difasilitasi oleh

para pendamping.

—o0o—

Page 14: Pengembangan Kawasan Terpencil Berbasis Komunitas Adat Terpencil

7

KEBIJAKAN PEMERINTAHKABUPATEN LEBAK DALAMPENANGANAN KOMUNITAS

ADAT TERPENCIL BADUY

Oleh Aan Kusdinar

Kasubdin Pengelola Lingkungan Hidup dan Pengembangan SDM,

Kabupaten Lebak

1. Pendahuluan

Sebagai salah satu daerah otonom di Propinsi Banten, Kabupaten Lebak mempunyai

kewenangan tersendiri yang secara spesifik berbeda dengan kabupaten lain dalam pelaksanaan

roda pemerintahannya. Secara umum kewenangan pemerintah daerah diatur Undang-Undang

No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Salah satu kewenangan tersebut adalah

dalam penentuan dan penetapan kebijakan-kebijakan pembangunan yang tentunya diharapkan

dapat mempunyai dampak yang positif bagi pembangunan masyarakat pada umumnya.

Salah satu kebijakan tersebut adalah kebijakan dalam penanganan Komunitas Adat Terpencil.

Secara umum kebijakan penanganan Komunitas Adat Terpencil (KAT) bertujuan untuk

menggali potensi yang ada pada masyarakat dan ruang dimana masyarakat tersebut berada

sehingga terjadi proses peningkatan peran pembangunan dan peningkatan pemberdayaan

masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam sesuai kearifan tradisional setempat.

Kebijakan ini dianggap perlu walaupun pengertian tentang KAT belum disepakati secara

luas.

Di Kabupaten Lebak, KAT terdapat di Kecamatan Leuwidamar dan Kecamatan

Cibeber. Salah satu komunitas adat tersebut adalah Suku Baduy yang terdapat di wilayah

Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar. Masyarakat Baduy terdiri dari ‘Baduy Dalam” dan

‘Baduy Luar’. “Baduy Dalam” terdiri dari 3 kampung yaitu kampung Cikeusik, Kampung

Cikertawarna, Kampung Cibeo yang masing-masing dipimpin oleh seorang pimpinan adat

atau yang biasa disebut Pu’un. Sedangkan “Baduy Luar” tersebar di 51 kampung, antara lain

Kadu Ketug, Kadu Keter, dan Kadu Jangkung.

Page 15: Pengembangan Kawasan Terpencil Berbasis Komunitas Adat Terpencil

8

Adapun yang dimaksud dengan masyarakat Baduy adalah masyarakat yang bertempat

tinggal di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak yang mempunyai ciri

kebudayaan dan adat istiadat yang berbeda dengan masyarakat umum (pasal 11 angka 6

Perda No. 32 tahun 2001). Selain di wilayah Baduy, Komunitas Adat Terpencil terdapat pula

di wilayah lain, tepatnya di wilayah Lebak Selatan yaitu di Kecamatan Cibeber dimana terdapat

masyarakat yang patuh dan taat pada lembaga “kaolotan” seperti yang terdapat dalam

“kaolotan” Cisungsan, Citorek, Cisitu, Ciganas dan Bayah.

Kebijakan dalam penanganan KAT yang diambil adalah dalam upaya pencapaian visi

Kabupaten Lebak yakni “Kabupaten Lebak menghasilkan produk pertanian yang optimal

dan tersedianya pelayanan dasar yang memadai, serta peran aktif masyarakat dengan dukungan

pemerintahan yang bersih pada tahun 2010”. Untuk itu kebijakan penanganan KAT yang

diambil merupakan bagian integral dalam segala kebijakan bidang pembangunan lain seperti

bidang hukum, bidang pertanian, bidang kehutanan dan perkebunan, bidang kependudukan,

bidang kesehatan, bidang pertanahan dan bidang pariwisata.

2. Kebijakan Pemerintah Kabupaten Lebak dalam Penanganan Komunitas Adat

Baduy

Kebijakan penanganan KAT tediri dari (1) kebijakan yang terintegrasi dalam kegiatan

rutin yang merupakan bagian dari program suatu Dinas Instansi (2) Kebijakan yang secara

khusus mengatur dan menempatkan KAT sebagai arah kebijakan yang lebih spesifik.

Berikut adalah beberapa kebijakan yang ada baik secara khusus atau secara umum membahas

tentang KAT.

2.1. Bidang Hukum

Pembangunan dalam bidang hukum ditujukan dalam rangka penegakan supremasi

hukum dan penegakan Martabat dan Hak Azasi Manusia. Untuk itu produk hukum yang

diputuskan oleh Pemerintah Kabupaten Lebak yang menyangkut Komunitas Adat Terpencil

Baduy adalah dalam rangka pengakuan hak, persamaan serta kesetaraan Hak Masyarakat

Adat Baduy dalam Hukum dan hak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan hidup

bermasyarakat dan bernegara. Beberapa produk hukum yang telah dikeluarkan oleh

Pemerintah Kabupaten Lebak yarg secara langsung mempengaruhi hajat hidup masyarakat

adat Baduy adalah:

2.1.1. Perda No. 13 Tahun 1990 tentang Pembinaan dan Pengembangan Lembaga Adat

Masyarakat Baduy di Kabupaten Lebak.

2.1.2. Perda No. 31 Tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lebak.

2.1.3. Perda No. 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy.

2.1.4. Keputusan Bupati Lebak No. 590 / Kep. 233 / Huk / 2002 tentang Penetapan

Batas-Batas Detail Tanah Ulayat Masyarakat Adat Baduy di Desa Kanekes Kecamatan

Leuwidamar Kabupaten Lebak.

Kebijakan dalam bidang penegakan hukum ini selain sebagai alat dalam

memperjuangkan dan melindungi wilayah Baduy, juga mempunyai multiplier effect terhadap

bidang pembangunan lainnya.

Page 16: Pengembangan Kawasan Terpencil Berbasis Komunitas Adat Terpencil

9

2.2. Bidang Administrasi Pemerintah

Dalam bidang ini, semua urusan yang berhubungan dengan penyelenggaraan

pemerintahan desa dilakukan melalui masyarakat Baduy Luar yang memiliki hubungan secara

adat dan formal dengan Baduy dalam. Kebijakan dalam penetapan Kepala desa (jaro

pamarentah) yang ditunjuk dan ditentukan oleh pimpinan adat (puun) adalah sesuai dengan

dengan hubungan fungsional antara Baduy Luar dan Baduy dalam dimana setiap urusan

yang berkaitan dengan masalah yang ada di luar wilayah Baduy adalah merupakan tugas

kepala desa sebagai perantara urusan luar dengan daerah Baduy dalam selama masalah atau

urusan tersebut tidak bertentangan dengan hukum adat yang berlaku di daerah Baduy Dalam.

Kebijakan pemerintah Kabupaten Lebak untuk hal seperti di atas adalah memberikan

perlindungan hukum sehingga nilai-nilai dan kaidah-kaidah pelaksanaan administrasi

pemerintah seperti halnya penunjukan kepala desa oleh puun mempunyai legitimasi hukum.

Seperti dalam pasal I huruf d. Peraturan daerah No. 13 tahun 1990 tentang Pembinaan dan

Pengembangan Lembaga Adat Masyarakat Baduy mengatakan bahwa “Adat-istiadat

masyarakat Baduy “ adalah merupakan nilai-nilai dan kaidah-kaidah serta kepercayaan Sosial

Masyarakat Baduy di Desa Kanekes yang hidup serta dipertahankan di dalam hidup sehari-hari

masyarakat Baduy yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

1945.

2.3. Bidang Pertanian

Pada sektor pertanian, kebijakan yang diambil adalah peningkatan produksi pertanian

tanaman pangan jenis padi ladang dengan intensifikasi pengunaan lahan sehingga potensi

pembukaan hutan pada sistem ladang berpindah yang tidak sesuai dengan adat masyarakat

Baduy yang sangat menjaga keseimbangan alam dapat dihindari. Kebijakan ini diambil karena

seperti diketahui bahwa pada saat ini untuk jenis padi ladang, wilayah Baduy merupakan

salah satu penghasil padi ladang di Desa Kanekes yang merupakan desa dengan potensi

ekspor untuk jenis tanaman padi ladang dengan nilai Location Quotient >1 yang menunjukkan

bahwa daerah tersebut mengalami surplus produksi/potensial.

Kebijakan lain yang berkaitan dengan peningkatan bidang pertanian yang juga

berhubungan dengan bidang pariwisata adalah berupa upaya memasukan upacara “Seba”

(persembahan sebagian hasil bumi kepada Bupati dan Gubernur) ke dalam kalender Pariwisata

Pemerintah Kabupaten Lebak. Upaya “Seba” menurut budaya dan falsafah KAT Baduy

dan Banten Selatan adalah sebagai sidang istimewa evaluasi hasil pertanian dan rencana pertanian

setahun yang akan datang dimana dalam upacara ini Olot atau pun Puun bertindak sebagai

pemutus perkara dan semua petani patuh pada putusan yang diambil baik yang berkaitan

dengan saat mulai menggarap sawah atau ladang, menebar benih dan memanen. Semua

diputuskan ‘olot’ atau pun puun setelah mendengar saran dari para aparat dinas teknis.

2.4. Bidang Kehutanan dan Perkebunan

Masyarakat Baduy merupakan contoh komunitas masyarakat yang selalu menjaga tata

keseimbangan alam, sehingga hutan bagi mereka merupakan kawasan teramat penting yang

harus dijaga kelestariannya. Pengertian hutan bagi masyarakat Baduy adalah “hutan titipan”

dan bersifat agamawi yakni berfungsi sebagai sarana utama dalam melaksanakan

kewajiban-kewajiban dan upacara keagamaan. Selanjutnya “hutan titipan” dikatakan sebagai

Page 17: Pengembangan Kawasan Terpencil Berbasis Komunitas Adat Terpencil

10

hutan adat. Luas hutan adat yang dikelola oleh masyarakat Baduy adalah seluas 5.105,85

hektar. Untuk tetap terpeliharanya hutan adat ini Pemerintah Kabupaten Lebak telah membuat

Perda No. 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy . Sedangkan

untuk menjamin kepastian hukum terhadap keberadaan hak ulayat tersebut bagi kepentingan

persekutuan Masyarakat Baduy diatur dalam Keputusan Bupati Lebak No. 590 / Kep. 233

/ Huk / 2002 tentang Penetapan Batas-Batas Detail Tanah Ulayat Masyarakat Adat Baduy

di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak.

2.5. Bidang Kependudukan

Pada sektor kependudukan, kebijakan pengaturan kelahiran dengan sistem penteladanan

telah dilakukan di bawah koordinasi BKKBN Kabupaten Lebak. Keberadaan Sarmedi

(warga Baduy Luar) yang dijadikan public figure dalam pembangunan keluarga sejahtera adalah

salah satu contoh dari kebijakan ini. Arah dari kebijakan ini adalah untuk mengendalikan

populasi penduduk di sekitar hutan sehingga diharapkan dapat mengendalikan pemanfaatan

hasil hutan sebagai salah satu sumber penunjang kebutuhan sandang, pangan dan papan.

Upaya ini mendukung nilai yang terdapat dalam KAT Baduy yang dalam kesehariannya

bergantung pada kemurahan alam.

2.6. Bidang Budaya dan Pariwisata

Di bidang pariwisata, upaya yang dilakukan adalah mengklasifikasikan daerah wisata

menjadi beberapa klasifikasi seperti wisata alam dan wisata karya manusia. Lebih jauh kedua

klasifikasi wisata itu dibedakan lagi ke dalam wisata pantai, air panas, berburu, purbakala,

budaya, museum, peristiwa, pertambangan dan gua. Pengembangan pariwisata daerah Baduy

adalah merupakan pengembangan wisata karya manusia jenis budaya. Obyek wisata seperti

ini adalah masyarakat Baduy dengan daya tarik utama kehidupan unik masyarakat Baduy

seperti yang terdapat dalam penataan rumah adat Baduy. Kebijakan ini sangat sesuai dengan

adat setempat yang mempunyai pola arsitektur tradisional yang unik.

Pengembangan wisata yang lainnya yang masih berkaitan dengan pemberdayaan

masyarakat terpencil Baduy adalah kebijakan Pemerintah Daerah yang memasukan upacara

adat “Seba” ke dalam kalender pariwisata Kabupaten Lebak sebagai obyek wisata karya

manusia jenis peristiwa dergan daya tarik utama upacara tradisional. Upacara adat “Seba”

yang dilakukan selain menjadi ajang untuk evaluasi kegiatan pembangunan bagi masyarakat

Baduy, juga merupakan wujud syukur atas keberhasilan panen Masyarakat Baduy dan ucapan

terima kasih kepada Bupati Lebak dan Gubernur Banten yang telah memberikan perlindungan

kepada mereka. Adapun hasil pertanian yang dibawa pada upacara ‘Seba’ berupa gula aren,

pisang dan hasil bumi lainnya. Kebijakan tersebut ditujukan pula dalam mendukung dan

secara integral merupakan upaya pemerintah Kabupaten Lebak di bidang pertanian.

Selain itu kebijakan Pemerintah Kabupaten Lebak terhadap KAT ini diarahkan pada

upaya pelestarian kebudayaan dan adat istiadat masyarakat Baduy sebagai aset dan komponen

yang dapat menambah khasanah budaya bangsa seperti yang dimaksudkan dalam pasal 4

angka (1) bahwa Pemerintah Daerah pada semua tingkatan mempunyai kewajiban untuk

menjaga, melindungi dan membina kebudayaan dan adat istiadat masyarakat Baduy sesuai

dengan aslinya yang bermanfaat dan menunjang dalam pembangunan nasional.

Page 18: Pengembangan Kawasan Terpencil Berbasis Komunitas Adat Terpencil

11

Di antara kebijakan-kebijakan seperti di atas, terdapat satu kebijakan yang mempunyai

multiplier effect terhadap arah kebijakan yang lain. Kebijakan tersebut adalah tentang Perlindungan

Atas Tanah Ulayat Masyarakat Baduy. Kebijakan tersebut diundangkan sebagai Peraturan

Daerah Nomor 32 tahun 2001.

3. Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001

Peraturan ini mengatur tentang perlindungan dari perbuatan yang mengganggu dan

merusak, penggunaan, serta batas wilayah yang berkaitan dengan hak ulayat masyarakat adat

Baduy. Ketentuan lain yang diatur dalam Perda ini, adalah ketentuan pidana dan ketentuan

penyidikan bagi pelaku pelanggaran hak ulayat masyarakat Baduy.

Multiplier effect dari penetapan hak ulayat masyarakat Baduy ini dapat dirasakan pada

bidang lingkungan hidup. Hal ini tercermin dalam penjelasan Perda tersebut yang menyatakan

bahwa terhadap masalah yang menyangkut tanah, masyarakat Baduy tidak mengaku tanah

sebagai hak milik pribadi, mereka mendapat titipan tugas “ngasuh ratu, ngajaga menak” sehingga

mereka tetap setiap kepada yang berkuasa dan dibuktikan dengan acara “Seba” kepada Bupati

dan Gubernur.

Upaya hukum seperti tersebut diatas sesuai dengan kebijakan rintisan sebelumnya

seperti pada tahun 1968 telah dikeluarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat

I Jawa Barat Nomor 203/b.V/Pem/SK/1968 tentang penetapan status Hutan “Larangan”

Desa Kanekes Daerah Baduy sebagai “Hutan Lindung Mutlak” dalam Kawasan Hak Ulayat

Adat Propinsi Jawa Barat. Selain itu Perda 32 tahun 2001 pun sangat menunjang kebijakan

bidang pertanahan nasional dalam hal penyelesaian sengketa atas hak ulayat seperti yang

tercantum dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Pertanahan Nasional Nomor 5

tahun 1999.

Implikasi positif yang lainnya dari Perda No. 32 tahun 2001 ini adalah adanya

perlindungan terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas

manusia. Hal tersebut terdapat dalam Penjelasan pasal 9 ayat 1 Perda No. 32 tahun 2001

menyatakan bahwa “yang dimaksud dengan” perbuatan mengganggu, merusak dan

menggunakan lahan adalah tindakan-tindakan yang dianggap tabu / larangan oleh masyarakat

Baduy seperti menggembalakan hewan / ternak berkaki empat kecuali anjing dan kucing,

meracuni sungai untuk menangkap ikan, mengeksploitasi tanah ulayat masyarakat Baduy

seperti melakukan penggalian pasir dan batu serta mengambil daun aren di tanah ulayat

masyarakat Baduy adalah termasuk dalam kategori pelanggaran pidana. Kebijakan ini juga

sangat relevan dengan kebijakan bidang peternakan dimana sistem gembala dari hewan

ternak adalah kurang efektif dalam perawatan dan pemeliharaan ternak dibandingkan sistem

kandang.

4. Peran Tokoh Masyarakat Baduy dalam Pembangunan KAT

Yang dimaksud dengan peran tokoh masyarakat Baduy ini adalah peran yang dilakukan

oleh tokoh informal yang berasal dari masyarakat Baduy (Baduy Luar) yang berperan sebagai

fasilitator pembangunan Komunitas Adat Terpencil Baduy baik dalam bidang ekonomi,

Page 19: Pengembangan Kawasan Terpencil Berbasis Komunitas Adat Terpencil

12

pembangunan sarana dan prasarana, pemerintahan, pertanian serta bidang lain dalam

pelaksanaan kegiatan pembangunan di wilayah Baduy, bahkan bidang politik dan sosial budaya.

Peran tokoh ini sangatlah penting ketika mereka mampu menjadi mediator dan sekaligus

fasilitator dalam mendatangkan sumber dana dari masyarakat di luar Baduy Luar Kabupaten

Lebak, bahkan sampai beberapa LSM dalam dan luar negeri yang bersedia memberikan

kontribusi terhadap pembangunan KAT. Terdapat satu orang tokoh, sebut saja sebagai

Tokoh ”X” yang merupakan warga Baduy Luar yang mempunyai hubungan yang sangat

luas dengan berbagai fihak dan sangat berperan dalam hampir setiap bidang pembangunan

yang ada dan masuk ke wilayah.

5. Penutup

Pada hakekatnya hak otonomi adalah hak pribadi yang perlu dilindungi oleh

undang-undang. Hal ini sebagai upaya dalam penegakan supremasi hukum dalam setiap

kegiatan bermasyarakat termasuk pembangunan bernegara pada umumnya. Penetapan

peraturan-peraturan yang tumbuh subur pada era otonomi daerah ini adalah hal yang baik

bagi pengembangan kualitas pelaksanaan bernegara. Seyogyanya setiap perundangan dapat

menyentuh setiap golongan baik yang berada dalam wilayah ibu kota suatu daerah ataupun

bagi golongan atau masyarakat yang terpenciI sekalipun. Penetapan dan perkembangan

kebijakan yang mengatur masyarakat terpencil perlu mendapat perhatian khusus. Hal ini

berkaitan dengan peningkatan harkat dan martabat suatu golongan disamping merupakan

upaya dalam pemanfaatan dan penggalian potensi sumber daya yang semakin hari semakin

berkurang.

—o0o—

Page 20: Pengembangan Kawasan Terpencil Berbasis Komunitas Adat Terpencil

13

UPAYA PENINGKATANPARTISIPASI KOMUNITAS ADAT

TERPENCIL (KAT) DALAMPENGELOLAAN SUMBER DAYA

ALAMSebuah Pengalaman Belajar Bersama dengan Masyarakat/Masyarakat

Adat Kasepuhan di Kawasan Ekosistem Halimun

oleh Latipah Hendarti

RMI the Indonesian Institute for Forest and Environment1

A. Kawasan Ekosistem Halimun: Tumpukan Persoalan Yang Mengemuka

Dari “Sebuah Kawasan Tertinggal”

Kawasan Ekosistem Halimun yang membentang menurut batasan administrasi di 3

Kabupaten yaitu Bogor, Sukabumi dan Lebak dari 2 propinsi bagian barat jawa yaitu Jawa

Barat dan Banten, merupakan kawasan ekosistem yang kaya dengan kandungan sumberdaya

alam, baik dari segi tambang, sumberdaya hutan dan pertanian, serta keanekaragaman hayati

lainnya. Disisi lain keberadaan masyarakat adat Kasepuhan dan Baduy merupakan aset

kekayaan sosial dan budaya yang tak ternilai dan menjadi sumber kearifan pengetahuan

tradisional khususnya dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan pertanian secara turun –

temurun, dari generasi ke generasi.

Wilayah Ekosistem Halimun yang dipahami oleh masyarakat dan dibantu diartikulasikan

bersama RMI-The Indonesian Institute for Forest and Environment dengan mempertimbangkan

faktor sebaran masyarakat Kasepuhan, batas administrasi negara, aliran sungai, dan ketinggian

tempat serta overlap berbagai peta, maka Kawasan Ekosistem Halimun mencakup area

seluas 211.463,691 ha yang meliputi 141 Desa dari 16 kecamatan tersebar di Kabupaten

Bogor, Sukabumi dan Lebak, dengan jumlah penduduk di areal kawasan tersebut 734.845

jiwa. Data tersebut menunjukkan sekitar 10 % dari jumlah penduduk di 3 Kabupaten

Bogor-Sukabumi dan Lebak yang kehidupannya langsung terkait dengan kawasan ini2 .

Page 21: Pengembangan Kawasan Terpencil Berbasis Komunitas Adat Terpencil

14

A.1. Masyarakat Adat Kasepuhan Dan Sistem Pengelolaan

Sumberdaya Alamnya

Sepuluh kelompok Masyarakat Kasepuhan (Ciptagelar; Urug, Citorek, Cisitu, Bayah,

Cicarucub, Cisungsang, Cicariang, Ciptamulya dan Sirnaresmi) merupakan salah satu kekayaan

budaya dan sosial di Kawasan Ekosistem Halimun yang secara administrasi di 3 kabupaten

tersebut, khususnya di kecamatan Bayah; Kecamatan Jasinga; Cigudeg; dan Kecamatan

Cisolok. Secara geografis wilayah tersebut terhampar di areal perbukitan dan pegunungan

dengan puncak tertinggi Gunung Sanggabuana (1.918 m dpl), dengan bentang alam

penggunungan tersebut, masyarakat Kasepuhan bermukim dan mengelola sumberdaya

alamnya dari generasi ke generasi. Untuk menjangkau masyarakat Kasepuhan dari masing-

masing Ibukota Kabupaten, dapat ditempuh dengan kendaraan umum yang terbatas dari

segi jumlah dan waktu layanannnya, serta harus disambung dengan ojek atau berjalan kaki

bila kondisi hujan.

Komunitas Kasepuhan yang bermukim di Kawasan Halimun telah mengenal sistem

pengelolaan hutan dengan mengelompokkan hutan (leuweung) menjadi tiga kategori, yaitu:

(1) Leuweung Titipan, (2) Leuweung Tutupan, dan (3) Leuweung Garapan. Kategori ini

merupakan konsep konservasi yang sangat efektif bagi masyarakat halimun untuk

keberlanjutan kehidupan generasi incu-putu mereka.

¨ Leuweung Titipan adalah kawasan hutan yang sama sekali tidak boleh diganggu oleh

manusia. Kata titipan merupakan amanat dari para leluhur (karuhun) dan juga Tuhan

(Gusti Nu Kawasa) untuk dijaga keutuhannya dan dipertahankan dari segala usaha

dan ancaman dari pihak – pihak luar. Leuweung Titipan ini biasanya berada di daerah

atas pegunungan atau puncak. Bagi masyarakat kasepuhan, Leuweung Titipan bukan

hanya sebagai hutan lindung, tetapi juga merupakan hutan perlindungan alam mutlak

yang tidak boleh diganggu gugat dari awal sampai akhir. Hutan perlindungan alam

mutlak menunjukkan keanekaragaman hayati yang tinggi, berfungsi sebagai daerah

resapan air (Leuweung Sirah Cai’) dan sebagai pusat keseimbangan ekosistem.

Keberadaan Leuweung Titipan ini ditandai dengan adanya “larangan untuk masuk ke

dalamnya”, karena manusia bukan termasuk mahluk hidup di dalamnya.

¨ Leuweung Tutupan adalah kawasan hutan cadangan untuk suatu saat nantinya akan

digunakan jika memang perlu (tanah awisan), karena pengertian Tutupan berarti dapat

diolah, dibuka, dan ditutup, ibarat seperti pintu yang bisa dibuka dan ditutup. Di

dalam awisan ini terdapat istilah kabendon (kualat). Leuweung Tutupan berada pada

bagian tengah. Manusia diperbolehkan masuk hanya dengan tujuan pengambilan

hasil hutan kayu dan non kayunya untuk pemenuhan kebutuhan subsisten (tidak untuk

exploitasi), seperti kayu bakar, kayu untuk bangunan, rotan, damar, buah-buahan,

umbi-umbian, obat-obatan, serat, dll. Setiap penebangan satu batang pohon, harus

segera diganti dengan pohon yang baru.

¨ Leuweung Garapan adalah kawasan hutan yang telah dibuka menjadi lahan yang dapat

diusahakan oleh masyarakat, baik untuk bersawah, berhuma/ladang atau kebun.

Pengaturan lokasi garapan (apakah di bagian timur, Barat, Utara atau Selatan) ditentukan

oleh Abah (Abah merupakan sebutan untuk pemimpin masyarakat Adat Kasepuhan).

Pengusahaan huma/ladang dilakukan secara rotasi atau gilir balik minimal 3 tahun

sekali. Untuk daerah – daerah tertentu, penanaman padi padi sawah atau padi huma/

Page 22: Pengembangan Kawasan Terpencil Berbasis Komunitas Adat Terpencil

15

ladang tidak boleh dilakukan pada tempat yang sama untuk kedua kalinya, seperti

pada Huma Serang (suci).

A.2. Kilasan Sejarah Pengelolaan Kawasan Ekosistem Halimun

Ditinjau dari sisi sejarah pengelolaan Kawasan Ekosistem Halimun merupakan kawasan

yang banyak dilirik oleh berbagai pihak, bahkan sejak masa periode pemerintahan kolonial

Belanda sampai saat ini berbagai kebijakan yang didasari berbagai kepentingan turut mewarnai

pengelolaan Kawasan Ekosistem Halimun. Di masa pemerintahan kolonial Belanda, tahun

1924 sebagian kawasan ini ditetapkan menjadi kawasan Hutan Lindung seluas 39,941 Ha.

Setelah Indonesia Merdeka (1945), kawasan Hutan Lindung tetap dipertahankan di bawah

pengelolaan Dinas Kehutanan Propinsi Jawa Barat. Pada saat PERHUTANI (Perusahaan

Hutan Negara Indonesia – Forest State Company) diberi kekuasaan untuk mengelola hutan

negara melalui Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 1978 tentang pendirian Perusahaan Umum

PERHUTANI (PERUM PERHUTANI ) Unit III Jawa Barat maka kawasan hutan lindung

tersebut berada dibawah kewenangan Perhutani.

Selanjutnya tahun 1979, melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 40/Kpts/

Um-I/1979 kawasan tersebut diubah statusnya menjadi Cagar Alam dengan perluasan areal

menjadi 40.000 Ha dibawah pengelolaan Direktorat Perlindungan dan Pelestarian Alam.

Masih dijaman Orde Baru kawasan ini kemudian berubah kembali statusnya menjadi Taman

Nasional Gunung Halimun yang dikukuhkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan

No. 282/Kpts-II/1992 dengan luas 40.000 Ha. Kemudian di tahun 2003, dengan alasan

perlindungan flora dan fauna hutan dataran rendah di Kawasan Ekosistem Halimun,

Departemen Kehutanan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/

2003 memutuskan perluasan areal taman nasional menjadi 113,357 ha dengan nama Taman

Nasional Gunung Halimun Salak.

A.3. Kawasan Ekosistem Halimun dalam Kacamata Pembangunan

Dengan kekayaan biofisik dan sosial-budaya di Kawasan Ekosistem Halimun menjadi

lirikan berbagai pihak yang bermaksud memanfaatkan bahkan mengeksploitasi kawasan ini

sejak awal. Kondisi ini ditunjang dengan perkembangan pembangunan di Indonesia yang

berorientasi pada sektor ekonomi salah satunya melalui langkah-langkah pengembangan

industri dengan sistem modernisasi. Tabel 1, mencoba menggambarkan data ekstraksi

sumberdaya alam dari Kawasan Halimun oleh berbagai pihak yang berhasil dihimpun selama

ini.

Kawasan Halimun boleh dibilang merupakan kawasan yang tidak jelas orientasi

pengelolaannya, ibarat mata uang yang memiliki dua sisi. Di satu sisi merupakan kawasan

yang kelola untuk tujuan konservasi namun disisi lain menjadi kawasan eksploitasi. Tabel 1

dan peta (lampiran 1) secara umum menunjukkan tumpang tindih Kawasan Halimun dengan

berbagai kepentingan dan melahirkan konflik lahan yang tak berkesudahan.

Disisi lain dalam proses pembangunan selama ini, pihak masyarakat yang secara

turun-temurun mendiami dan menggantungkan hidupnya dari kawasan ini hanya menjadi

obyek. Posisi masyarakat semakin terpinggirkan (termajinalisasi), bahkan pelabelan yang

Page 23: Pengembangan Kawasan Terpencil Berbasis Komunitas Adat Terpencil

16

Tabel 1. Data Ekstraksi di Kawasan Halimun Menurut Para Pihak

Perusahaan Tahun

Beroperasi Luas Areal Jenis Produk

Produksi (per Tahun)

(PERHUTANI) (BKPH

1978-sekarang Kayu Pinus Kayu Mahagoni Kayu Meranti Getah Pinus

PT Ciangsana 1972 – 1992 The

PT Nirmala 1992 – sekarang

971.22 Teh Hijau Teh H itam

150 ton 3.000 ton

PTPN VIII 1980-an Getah karet (Latex)

PT Aneka Tambang (Gunung Pongkor, Bogor, Jawa Barat)

1992 – sekarang

13,533.940 Emas Perak

1.123.627,25 kg 13.069.032,00 kg

PT Sari Gunung Indah (SGI)

1983 – sekarang

Bentonit

PT UNOCAL Gas Alam

Sumber: Kompilasi sementara data sekunder dari berbagai sumber (RMI, 2003).

bersifat negatif disematkan untuk masyarakat yang tinggal di Kawasan Ekosistem Halimun

dengan tidak adil, sering dipopulerkan kata perambah hutan, peladang liar, penebang kayu

illegal yang identik pelakunya dituduhkan pada masyarakat yang hidup dan tinggal di kawasan

konservasi. Bahkan pemerintah sendiri cenderung memberikan nama untuk suatu kegiatan

atau program dengan istilah dan tujuan yang memojokkan masyarakat; contoh kegiatan

pemberian bantuan kambing untuk masyarakat sekitar hutan sebagai salah satu program

yang ditujukan untuk mengurangi perambahan hutan di Kawasan Halimun.

Persoalan yang juga mengemuka di Kawasan Halimun adalah akses dan hak

masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam di kawasan ini semakin dibatasi dan

dihilangkan. Hasil pemetaan partisipatif yang dilakukan oleh masyarakat di 3 desa di

Kawasan Halimun dengan difasilitasi RMI dan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)

menunjukkan bahwa lahan yang bisa diakses dan dikelola oleh masyarakat hanya sekitar 4.20

– 18.58 % dari luas areal yang dialokasikan secara administrasi oleh pemerintah (Tabel 2).

Sementara dari sisi masyarakat, wilayah pemukiman dan areal sumber hidup

masyarakat yang telah puluhan tahun dan turun temurun diberikan label areal perambahan

oleh masyarakat – encroachment area. Kasus ini salah satunya terjadi di Kampung Hanjawar,

Desa Malasari, dimana hampir 40 KK menempati areal kurang dari 15 Ha dan telah

bermukim disitu sejak tahun 1942, dengan jumlah rumah dari tahun 1942 – 2003 tidak lebih

dari 27 rumah atau dengan istilah sunda “27 suhunan”. Dari persoalan tersebut terlihat

bahwa dari mulai perencanaan pembangunan, maupun dalam pelaksanaan kebijakan, masih

belum banyak upaya pelibatan masyarakat dan bagaimana sebuah kawasan ekosistem dikelola

dengan berbasis pada pengetahuan dan kearifan lokal.

Permasalahan yang mengemuka ditingkat internal masyarakat yang sebetulnya

merupakan dampak dari kebijakan sektoral dan eksploitatif yang meminggirkan masyarakat

adat/lokal sehingga berdampak pada kelembagaan lokal/adat yang melemah. Masyarakat

Page 24: Pengembangan Kawasan Terpencil Berbasis Komunitas Adat Terpencil

17

Kasepuhan yang memiliki tugas untuk tetap menjaga keturunannya sampai akhir zaman,

rupanya tekanan yang muncul dari dalam sebagai akibat kebijakan antara lain adalah mulai

terkikisnya kejatidirian masyarakat adat – masyarakat adat tidak moderen, kolot dan masyarakat

pinggiran .

Tabel 2. Tata Guna Lahan Di Lokasi Belajar Penguatan Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam di Desa Malasari, Desa Sirnaresmi dan Desa Mekarsari, Kawasan

Ekosistem Halimun

No. Malasari (Ha)

Persentase (%)

Sirnaresmi (Ha)

Persentase (%)

Mekarsari (Ha)

Persentase (%)

1 Jumlah Penduduk 6,269 4,378 4,231

2 Luas Areal 4,756.40a 4,906.04 3,691.90

2.1. Taman Nasional Gunung Halimun

1,787.00 37.57 1,000.00 20.38 -

2.2. Perum Perhutani 1,590.00b 33.43 3,700.00 75.42 455.00 12.32

2.3. Perusahaan Lain 971.00 20.42 61.00 1.65

2.4. Lain-lain (pertambangan, dll.)

125.00 2.63 2,469.00 67.53

2.5. Areal yang dapat diakses dan dikontrol masyarakat

283.00c 5.95 206.04 4.20 686.00 18.56

Sumber: Buku Tumbuh of Malasari, Sirnaresmi and Mekarsari Villages (RMI, 2001)

B. Gantar Kakaitan: Berbagi Peran Dalam Proses Belajar Dengan Bersama

Masyarakat Adat Kasepuhan Menuju Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis

Rakyat

Sejak akhir tahun 1997, dengan menelaah situasi dan kondisi Kawasan Ekosistem

Halimun seperti diuraikan di atas, RMI-the Indonesian Institute for Forest and Environment menyadari

bahwa pengelolaan Kawasan Ekosistem Halimun yang bersifat sektoral dan hanya untuk

kepentingan ekonomi semata dengan tanpa melibatkan peran serta masyarakat akan sangat

mengancam keberlanjutan ekosistem kawasan ini.

Melalui program payung yang dimaksudkan untuk memperkuat peran serta masyarakat

adat dan masyarakat lokal dalam pengelolaan Kawasan Ekosistem Halimun sebagai salah

satu kawasan penyangga di Propinsi Jawa Barat dan Banten, serta meningkatkan penghargaan

dan penghormatan, perlindungan dan pengakuan terhadap sistem pengelolaan sumberdaya

alam khususnya sumberdaya hutan oleh masyarakat, maka RMI merancang beberapa kegiatan

dengan tujuan:

a. Meningkatkan akses dan kontrol Masyarakat Adat dan masyarakat lokal setempat

Page 25: Pengembangan Kawasan Terpencil Berbasis Komunitas Adat Terpencil

18

dalam pengelolaan sumberdaya hutan di Kawasan Ekosistem Halimun

b. Meningkatkan pemahaman kalangan pengambil kebijakan di tingkat lokal, regional

dan nasional tentang peran Masyarakat Adat dan masyarakat lokal setempat dalam

pengelolaan sumberdaya hutan

c. Meningkatkan dukungan publik terhadap sistem pengelolaan sumberdaya hutan oleh

Masyarakat Adat dan masyarakat setempat yang berperan penting dalam melestarikan

Kawasan Halimun

B.1. Gantar Kakaitan

Untuk mewujudkan kerja bersama RMI dengan masyarakat adat, sudah selayaknya

perlu dilakukan peran yang jelas dan disepakati bersama dan sesuai dengan kapasitas setiap

pihak, mempertimbangkan kapasitas serta kebutuhan yang muncul dari masyarakat adat

dan bukan adat di kawasan ekosistem, dari masyarakat adat sendiri (khususnya di Sirnaresmi)

sejak tahun 1999 menyampaikan bahwa RMI adalah Gantar kakaitan yang artinya fasilitator

dalam proses memperkuat dan mewujudkan pengelelolaan sumberdaya alam yang berbasis

rakyat di Halimun.

B.2. Pengorganisasian Rakyat

Pengorganisasian rakyat yang dilakukan RMI di empat desa diawali dengan membangun

tali silaturahmi dan rasa saling percaya (trust building), dilanjutkan dengan proses melakukan

kajian potensi yang ada di masyarakat (kelembagaan lokal yang ada) dan lingkungannya

(sumberdaya alam yang ada) serta analisis persoalan secara bersama-sama, mengkaji kebutuhan

bersama dalam proses mengembangkan perencanaan pengelolaan sumberdaya alam di desa

Akar permasalahan yang berkecamuk di Kawasan Ekosistem

Halimun adalah disebabkan oleh persepsi (pandangan dan pemahaman)

yang berbeda tentang Kawasan Halimun di antara masyarakat serta

pihak-pihak lain (negara/pemerintah dan perusahaan) yang kemudian

dimanifestasikan dalam kebijakan yang juga masih tumpangtindih dan

bersifat sektoral sehingga memunculkan berbagai konflik salah satunya

konflik lahan. Sebagai coontoh seperti disebutkan pada bagian tulisan

ini bahwa Kawasan Halimun ditetapkan menjadi Taman Nasional

Gunung Halimun sejak tahun 1992 seluas 40.000 Ha dan di perluas

menjadi 113.375 Ha pada tahun 2003, kenyataan di lapangan

kenyataannya menunjukkan bahwa dalam kawasan yang telah

ditetapkan menjadi kawasan konservasi ternyata masih dialokasikan

juga untuk areal eksploitasi tambang emas, perak dan bentonit; areal

perkebunan teh PT Nirmala atau yang sebelumnya PT Ciangsana dan

hutan produksi yang dikelola PERHUTANI dengan tanaman pinus.

Page 26: Pengembangan Kawasan Terpencil Berbasis Komunitas Adat Terpencil

19

masing-masing secara bersama-sama. Melalui proses ini muncul alternatif-alternatif yang

memperkuat sistem pengelolaan sumberdaya alam yang sudah ada di masyarakat seperti

sistem wanatani (agroforestry), konsep pengelolaan kawasan hutan yang telah dimiliki oleh

masyarakat adat Kasepuhan, dll. Dalam proses penggorganisasian RMI menggunakan

alat/metoda antara lain PRA (Participatory Rural Appresial), Pemetaan Partisipatif, metoda

analisis sosial lainnya seperti analisis gender. Proses penggorganisasian dilakukan di kelompok

basis (petani), dengan pendekatan di tingkat kampung. Proses pengorganisasan selanjutnya

menguatkan kelembagaan ditingkat lokal.

Prinsip dasar yang diterapkan dalam proses pengorganisasian yang dilakukan oleh

RMI antara lain partisipasi (saling berbagi, saling memahami kebutuhan satu sama lain tidak

hanya dalam wilayah geografis yang sama tapi juga yang memiliki kebutuhan yang sama,

dalam proses ini saling membangun mekanisme yang disepakati bersama untuk memenuhi

kebutuhan bersama, melakukan proses kesetaraan); mengesampingkan egoisme; keadilan,

tanggungjawab, komitmen, keterbukaan, dll.

Proses pengorganisasian rakyat yang dilakukan RMI di tingkat masyarakat di Kawasan

Halimun tingkat ketercapaiannya dapat dicirikan dengan adanya organisasi rakyat yang

representatif dan dapat dipertanggungjawabkan dengan indikator:

· ·OR berbasis masa jelas (ada anggota dari semua kelompok masyarakat – laki-laki

dan perempuan)

· Memiliki struktur organisasi yang jelas dan disepakati,

· Memiliki aturan main (hukum termasuk sanksi yang jelas),

· Memiliki program kerja yang dapat dilaksanakan,

· Memiliki sistem monitoring dan evaluasi

B.3. Strategi

Kepercayaan masyarakat adat kepada RMI untuk memfasilitasi proses-proses

penguatan dan mendorong lahirnya pengakuan atas masyarakat adat dalam mengelola

sumberdaya alamnya mendorong RMI merumuskan strategi mempercepat penguatan

masyarakat baik ada maupun non adat. Strategi yang dikembangkan selama ini antara lain:

B.3.1. Mengepung Halimun dari Utara – Selatan - Barat

Mengingat Kawasan Ekosistem Halimun cukup luas dengan jumlah desa sekitar 141

desa dan lebih dari 300 kampung, maka sangatlah tidak mungkin bagi RMI untuk melakukan

proses mendorong peningkatan partispasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam

secara intensif. Dengan mempertimbangkan posisi geografis-biofisik, administratif dan

penyebaran masyarakat adat kasepuhan, serta kesiapan masyarakat dan juga kapasitas yang

dimiliki RMI sebagai sebuah lembaga, maka strategi yang diterapkan adalah “Mengepung

Halimun dari 3 arah Utara-Selatan-Barat-”. Strategi ini diterapkan bahwa RMI mencoba

belajar dan bekerja bersama dengan masyarakat secara intensif di satu atau dua desa yang

berada di wilayah:

· Utara Kawasan Halimun yaitu Desa Malasari yang dirintis sejak tahun 1998; Desa

Page 27: Pengembangan Kawasan Terpencil Berbasis Komunitas Adat Terpencil

20

Kiarasari (2002), merupakan dampak dari proses fasilitasi Desa Malasari, mengingat

Desa Kiarasari merupakan tetangga Desa Malasari. Pertimbangan Desa Malasari

adalah sebagian besar masyarakat desa ini masih mempertahankan sistem pertanian

tradisional (dengan menanam padi lokal, dan mempertahankan sistem talun – traditional

agroforestry system); menghadapi banyak tekanan dari berbagai pihak yang ada dari

perusahaan – PT Aneka Tambang (perusahaan yang mengeksploitasi emas dan perak),

PT Nirmala (perusahaan perkebunan teh), PERHUTANI (perusahaan negara yang

mengelola hutan di Jawa), serta Taman Nasional Gunung Halimun.

· Bagian Selatan yaitu: Desa Sirnaresmi dimulai akhir tahun 1999 adalah desa dimana

pusat pimpinan Masyarakat Kasepuhan berada, merupakan pilihan strategis untuk

mendorong proses partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam,

mengingat mereka secara tradisi sudah memiliki konsep pengelolaan sumberdaya alam

secara turun-temurun yang dapat menjadi contoh nyata bagi pihak lain. Disamping di

Desa Sirnaresmi juga sama halnya dengan desa lain mengalami tekanan dari berbagai

pihak antara lain keberadaan PERHUTANI, Taman Nasional dan perkebunan yang

tumpang tindih dan mengancam keberlangsungan konsep tradisi Kasepuhan dalam

menjaga dan memanfaatkan sumberdaya hutan mereka. Dan Desa Mekarsari yang

memiliki sistem agroforesty tradisional yang dapat dijadikan contoh bagi wilayah lainnya

yang dikenal dengan Kebon Kayu

· Bagian Barat: Desa Citorek yang masyarakatnya meminta langsung bantuan RMI untuk

difasilitasi pada akhir tahun 2002, setelah mendengar dari warga Kasepuhan dan

masyarakat lokal di Desa Malasari, Kiarasari dan Mekarsari tentang proses fasilitasi

untuk mendorong dan mendukung pelibatan peran masyarakat dalam pengelolaan

sumberdaya alam di Kawasan Halimun.

Proses pendekatan yang dilakukan secara menyebar dibeberapa wilayah yang dapat

mendukung dengan kampung sebagai unit terkecil suatu proses penguatan masyarakat,

diharapkan gerakan tingkat kampung akan berlanjut ke tingkat berikutnya yaitu desa dan

selanjutnya menjadi gerakan partisipasi rakyat satu Kawasan Ekosistem Halimun dalam bentuk

jaringan rakyat yang memiliki kekuatan untuk melakukan posisi tawar (bargaining position)

dengan berbagai pihak dalam pengelolaan sumberdaya alam yang ada di Kawasan Halimun

(Gambar 1. )

B.3.2. Gerakan Di tingkat Basis (Incu Putu) dan Elit/Tokoh Adat (Pengurus

Adat/Sepuh)

Disadari proses pelibatan peran serta masyarakat tidak akan berhasil apabila hanya

melibatkan kelompok tertentu dalam masyarakat, proses yang dilakukan RMI adalah mencoba

melakukan proses fasilitasi ditingkat basis, di Kasepuhan dikenal dengan Incu Putu (Pengikut

Adat) melalui kegiatan pengorganisasian rakyat untuk memperkuat kelembagaan lokal

(kelompok KSM, Kelompok Perempuan, Kelompok Tani). Ditingkat elit yaitu kalangan

tokoh masyarakat, tokoh adat/pengurus adat (di Kasepuhan dikenal dengan Sabaki), tokoh

agama dan kalangan pemerintah desa diperkuat mengingat kaum elit merupakan kunci dalam

menjembatani kebijakan ditingkat lokal ke tingkat nasional.