pengelolaan zakat berbasis masjid perkotaan...
TRANSCRIPT
PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN
Pemahaman Fikih dan Hukum Positif
Tesis
Disusun oleh:
Luthfi Mafatihu Rizqia
NIM: 21171200000044
Konsentrasi: Syariah
Pembimbing
Prof. Amelia Fauzia, MA., P.hD.
SEKOLAH PASCASARJANA
PROGAM MAGISTER PENGKAJIAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020
PERNYATAAN PERBAIKAN SETELAH VERIFIKASI
Yang bertanda tangan di bawah ini:
nama : Luthfi Mafatihu Rizqia
nim : 21171200000044
judul tesis : Pengelolaan Zakat Berbasis Masjid
Perkotaan: Pemahaman Fikih dan
Hukum Positif
menyatakan bahwa proposal tesis ini telah diverifikasi oleh Arif Zamhari,
M.Ag., Ph.D. pada tanggal 15 Januari 2020.
Proposal Tesis ini telah diperbaiki sesuai saran verifikasi meliputi:
1. Lengkapi lampiran yang disyaratkan
Demikian surat pernyataan ini dibuat agar dapat dijadikan
pertimbangan untuk menempuh ujian Pendahuluan.
Jakarta, 16 Januari 2020
Saya yang membuat pernyataan,
(Luthfi Mafatihu Rizqia)
ii
Kata Pengantar
Bismilla>hirrahma>nirrahi>m
Segala puji hanya bagi Allah yang telah memberikan nikmat, rahmat, dan
anugerah kekuatan lahir dan batin kepada penulis sehingga dengan izin-Nya tesis ini
bisa penulis selesaikan. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Nabi
Muhammad saw. yang telah mengajarkan arti kehidupan yang seimbang dalam
berbagi melalui syariat zakat.
Melalui tesisi ini penulis pada dasarnya menginginkan adanya perhatian
terhadap eksistensi pengelolaan zakat yang masif di masyarakat perkotaan tetapi
tidak didasari pemahaman fikih dan hukum positif yang komprehensif sehingga
tidak pernah ada perbaikan dan evaluasi mekanisme atas praktik ini. Penulis
memandang praktik pengelolaan zakat di masjid yang dianggap lumrah ini sebagai
masalah yang tidak sederhana, karena banyak aspek dan pihak terkait yang terlibat,
dan juga harus melibatkan mereka untuk melakukan evaluasi yang mendasar untuk
memperbaiki kualitas pengelolaan zakat di masjid.
Tesis ini memaparkan tentang pemahaman Dewan Kemakmuran Masjid
(DKM) terhadap fikih zakat dan hukum positif tentang pengelolaan zakat di
Indonesia yang penulis peroleh melalui wawancara pihak-pihak terkait sehingga
menyimpulkan bahwa pemahaman DKM terhadap fikih dan hukum positif masih
belum selaras dan komprehensif dalam mempraktikkan pengelolaan zakat di masjid.
Sebagaimana banyak pihak yang terkait dalam eksistensi praktik
pengelolaan zakat di masjid, tesis ini pun pada hakikatnya tidak hanya diselesaikan
oleh penulis, tetapi ada banyak pihak yang telah berperan untuk mendukung proses
penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada para pihak-pihak
yang secara langsung atau pun tidak telah terlibat yaitu Prof Dr. Amany
Burhanuddin Umar Lubis, MA. selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Jamhari, MA selaku Direktur Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr Hamka Hasan, Lc. MA.
selaku Wakil Direktur, Prof. Dr. Didin Saepuddin, MA. selaku Ketua Jurusan
Program Doktor Pengkajian Islam, Arif Zamhari, M.Ag., Ph.D. selaku Ketua
Jurusan Program Magister Pengkajian Islam, seluruh staf, pustakawan, dan civitas
akademika Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Penulis berterima kasih secara khusus kepada Dr. Amelia Fauzia, MA.
selaku pembimbing yang telah memberikan banyak arahan, masukan, dan kritik
yang secara konsisten dan membangun kepada penulis dalam proses penulisan dan
penyelesaian tesis ini. Selama penulis mengenyam pendidikan di Sekolah
Pascasarjana ini, penulis juga mendapatkan banyak ilmu dari guru besar dan tim
dosen pegampu mata kuliah di Sekolah Pascasarjana seperti Prof. Dr. Azyumardi
Azra, MA., Prof. Dr. Said Aqil Munawwar, Prof. Dr. Salman Harun, Prof. Dr.
Hasanuddin AF, MA., Prof. Dr. M. Atho Mudzhar, Prof. Dr. Zulkifli, MA., Prof Dr.
Masykuri Abdillah, MA., Prof. Dr. Huzaemah T Yanggo, Prof. Dr. Bahtiar Effendy,
Prof. Dr. Fathurrahman Djamil, MA., Prof Dr. M. Iksan Tanggok, Prof. Dr. Ridwan
Lubis, MA. dan dosen-dosen lainnya.
iii
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada para Dewan Kemakmuran
Masjid di Kecamatan Pancoran yang penulis wawancarai, Kantor Urusan Agama
Kecamatan Pancoran, Kantor Kementerian Agama Kota Administrasi Jakarta
Selatan, BAZNAS, Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf dan Subdit
Kemasjidan Kementerian Agama Republik Indonesia yang telah bersedia
memberikan data dan informasi dalam penelitian ini
Kehidupan perkuliahan memang tidak secara langsung berkaitan dengan
kehidupan keluarga, tetapi intensitas komunikasi dan dukungan moral keluarga
sangat membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Bapak ibu tersayang;
Bapak Drs. H. Masudin dan Ibu Dra. Hj. Ai Muflihah, saudara-saudara penulis;
Fahmi Azka Masudin S.Pd., Hazmi Fathan Kariema, Fadhli Azizan Syamila dan
istri serta putra tercinta; Indah Dewi Jayanti dan Akrim Fawatih Ilmi yang telah
menjadi semangat tersendiri bagi penulis dalam menyelesaikan pendidikan tingkat
magister ini.
Semangat penulis juga didorong faktor-faktor eksternal lain, seperti yang
datang dari almamater pesantren Al-Nahdlah Depok yang merupakan tempat penulis
dididik selama 6 tahun melalui para para ustad dan alumni yang terus menjalin
silaturahim juga almamater Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA)
Jakarta. Tak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada kawan-kawan
seperjuangan angkatan 2017 Magister Pengkajian Islam Sekolah Pascasarjana yang
membuat kondisi yang kondusif untuk berdiskusi dan berkompetisi menjadikan
penulis terus berusaha memberikan yang terbaik karena terpacu melalui prestasi dan
pencapaian mereka selama masa studi.
Akhirnya penulis ucapkan selamat membaca penelitian tentang pengelolaan
zakat di masjid wilayah perkotaan ini, meskipun lokasinya di kecamatan Pancoran,
tetapi penulis berkeyakinan bahwa ada substansi mendasar yang bisa ditemukan dan
didapati dalam penelitian ini yang bisa diterapkan juga di setiap pengelolaan zakat
yang dilakukan masjid di manapun berada. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi
semua dan menjadi sebuah karya yang bernilai ibadah di sisi Allah swt. Amin.
Walla>hul Muwaffiq ila> Aqwami al-T{ari>q
Wassala>mu’alaikum Warohmatulla>hi Wabaroka>tuh
Jakarta, 12 Januari 2020
Luthfi Mafatihu Rizqia
iv
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Luthfi Mafatihu Rizqia
NIM : 21171200000044
No Kontak : 085715844668
menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Pengelolaan Zakat Berbasis Masjid
Perkotaan: Pemahaman Fikih dan Hukum Positif” adalah hasil karya saya
sendiri. Ide/gagasan orang lain yang ada dalam karya saya ini saya sebutkan sumber
pengambilannya. Apabila di kemudian hari terdapat hasil plagiarisme maka saya
bersedia menerima sanksi yang ditetapkan dan sanggup mengembalikan gelar dan
ijazah yang saya peroleh sebagaimana peraturan yang berlaku.
Jakarta, 12 Januari 2020
Yang menyatakan
Luthfi Mafatihu Rizqia
v
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
Tesis yang berjudul “Pengelolaan Zakat Berbasis Masjid Perkotaan:
Pemahaman Fikih dan Hukum Positif” ditulis oleh Luthfi Mafatihu Rizqia NIM:
21171200000044 telah melalui pembimbingan dan Work in Progress sebagaimana
ditetapkan Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sehingga layak
diajukan untuk Ujian Tesis.
Jakarta, 26 Desember 2019
Pembimbing
Prof. Amelia Fauzia, MA., P.hD.
vi
PERSETUJUAN PENGUJI
Tesis yang berjudul “Pengelolaan Zakat Berbasis Masjid Perkotaan:
Pemahaman Fikih dan Hukum Positif” ditulis oleh Luthfi Mafatihu Rizqia NIM:
21171200000044 telah dinyatakan lulus dalam ujian tesis yang diselenggarakan
pada Rabu, 29 Januari 2020 dan telah selesai diperbaiki sesuai dengan saran dan
rekomendasi dari tim penguji.
Jakarta, 05 Februari 2020
vii
Abstrak
Penelitian ini membuktikan bahwa pengelolaan zakat oleh masjid perkotaan
masih eksis di bulan Ramadan, terutama penghimpunan zakat fitrah. Dari praktik
yang dilakukan ini dapat disimpulkan bahwasanya pengelolaan zakat yang
dilakukan di masjid lebih didasari pada pemahaman fikih zakat saja tidak dengan
aturan hukum positif, meskipun masjid berada di wilayah perkotaan, ternyata tidak
berdampak signifikan terhadap ketaatan hukum yang ada. Di antara faktor yang
menyebabkan hal ini terjadi adalah tidak maskimalnya sosialisasi, tidak adanya
penegakan hukum, faktor lingkungan dan sikap masyarakat.
Pemahaman fikih zakat Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) masih
terbilang tradisional dan erat dengan kebiasaan yang telah dilakukan bertahun tahun,
sedangkan pemahaman mereka terkait aturan hukum tentang pengelolaan zakat
masih belum komprehensif dan cenderung belum teraplikasikan secara riil dalam
pengelolaan zakat yang dilakukan. Pola penghimpunan zakat yang dilakukan hanya
bersifat pasif yaitu menunggu muzaki yang membayar zakat kepada DKM
sementara pola pendistribusiannya dilakukan hanya pada kegiatan komsumtif
tradisional berupa pemberian beras dan nominal uang tertentu atau dalam bentuk
makanan pokok lainnya.
Penelitian ini sependapat dengan Miftah (2007) yang menyelaraskan zakat
dalam dimensi agama dan negara; yaitu bahwa zakat harus dijalankan sesuai
perintah agama dan juga sejalan dengan tuntutan hukum yang berlaku sehingga para
pengelola zakat yang belum menyesuaikan harus segera ditertibkan, seperti halnya
masjid-masjid. Begitu pula dengan hasil penelitian Wijayanto (2019) yang
mengungkapkan bahwa masjid-masjid yang mengelola zakat dapat dikatakan belum
mematuhi Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat selama
mereka belum menyesuaikan diri untuk menjadi UPZ sesuai dengan penelitian yang
penulis lakukan.
Di sisi lain, tesis ini untuk sebagian hasilnya tidak sejalan dengan penelitian
Harninta dan Prihartini (2013). Mereka berpendapat bahwa hanya BAZNAS serta
LAZ yang berwenang mengelola zakat, padahal amil zakat perorangan atau
tradisional (termasuk di dalamnya adalah masjid-masjid) boleh juga melakukan
pengelolaan zakat dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.
Penelitian ini adalah jenis penelitian hukum normatif-empiris yang
memadukan penjelasan yuridis-normatif mengenai peraturan-peraturan zakat serta
dilengkapi penggambaran implementasi empiriknya di masjid-masjid dengan
pendekatan studi kasus. Sumber data yang digunakan adalah data primer yang
berupa hasil wawancara dan data sekunder yang berupa peraturan-peraturan tentang
zakat dan masjid yang diolah dengan metode analisis kualitatif.
Kata Kunci: Pengelolaan Zakat oleh Masjid, Fikih Zakat, Kesadaran dan Ketaatan
Hukum, Amil Zakat.
viii
Abstract
This research proved that the management of zakat by urban mosques still
exists in Ramadan, especially for the collection of zakat fitrah. From this practice, it
can be concluded that the zakat management in urban mosque is more based on
understanding the fiqh of zakat, not with the positive legal rules. Although the
mosques are located in urban region, in fact it did not influece significantly to their
law compliance. The factors that cause this condition are the lack of socialization,
absence of law enforcement, environmental factors and society attitudes.
The understanding about fiqh zakat that understood by Mosque Board is
still fairly traditional and closely related to the tradition that have been carried out
for many years, while their understanding of the legal rules regarding the
management of zakat is still not comprehensive and tends not to be applied in real
terms in the management of zakat. Mosques collected zakat in passive way, means
that they just wait for muzakki to pay their zakat to them, while distribution manner
of zakat is only limited to traditional consumptive activities in the form of giving
rice and certain nominal money or other staple foods.
This research is agree with Miftah (2007) who unite zakat in the dimensions
of religion and state; that zakat must be carried out according to religious orders and
also in line with applicable law so that zakat managers who are not appropriate must
be put in order immediately, such as mosques. Likewise with the results of
Wijayanto's research (2019) which revealed that the mosques which manage zakat
can be said to have not complied with Law No. 23 of 2011 about Management of
Zakat as long as they have not adapted themselves to become UPZ is as same as
what author found in this research.
On the other hand, this thesis for some results is not in line with the research
of Harninta and Prihartini (2013). They argue that only BAZNAS and LAZ are
authorized to manage zakat, even though individual or traditional amil zakat
(including mosques) may also manage zakat on the terms and conditions.
This research is a type of normative-empirical legal research that combines
juridical-normative explanations regarding the rules of zakat with a description of its
empirical implementation in mosques by a case study approach. The data source that
is used are primary data from the interviews and secondary data in form of
regulations on zakat and mosques which is analized using qualitative analysis
methods.
Keywords: Management of Zakat by the Mosque, Zakat Islamic Jurisprudence,
Legal Awareness dan Compliance, Amil Zakat.
ix
ملخص البحثيثبت ىذا البحث بأن إدارة الزكاة التي تديرىا المساجد في الولاية المدنية لا تزال موجودة
، وخاصة جمع زكاة الفطر. من ىذه الممارسة يمكن الاستنتاج أن إدارة الزكاة التي يتم في شهر رمضان مهما الموجودة. وضعيةكاة وحده لا على القوانن التنفيذىا في المساجد تعتمد على فهم فقو الز
و العوامل التي فعالة على امتثالهم للقانون.تؤثر كانت المساجد تقع في الولاية المدنية، ولكنها لم تؤثر على ىذه الحالة ىي عدم وجود التنشئة الاجتماعية وعدم وجود إنفاذ القانون ، والعوامل البيئية
والمواقف المجتمعيةتم تقليدي ويرتبط ارتباطا وثيقا بالعادات التي عن الزكاةمنظمة المسجد لا يزال فهم الفقو لــ
كاملا و لم للقواعد القانونية المتعلقة بإدارة الزكاة لم يكن سنوات ماضية ، مع أن فهمهم تنفيذىاجمعت المساجد الزكاة بطريقة غن نشطة بمعنى أنهم ينتظرون المزكي لزكاة.ل تهميطبق بالفعل في إدار فقط على الأنشطة الاستهلاكية منظمة المسجدها تالذي وزع توزيع الزكاة ليدفع الزكاة إليهم و
.رة إعطاء الأرز وبعض النقود أوغذية أساسية أخرىالتقليدية في صو الذي ينسق الزكاة من ناحية دينية Miftah(2007)يطابق ىذا البحث بـحث مفتاح
ودولية ؛ أي أن الزكاة يجب أن تتم إدارتها وفقا للأوامر الدينية وأيضا متبعا القوانن القضائية المعمول لوا بهما، لا سيما المساجد. و ىذا البحث أيضا يوافق نتائج بها حتى لا بد على منظمي الزكاة ليعد
الذي وجد أن المساجد التي تدير الزكاة يمكن القول أنها لم Wijayanto (2019) بحث ويـجاينتووفقا للبحث UPZ عن إدارة الزكاة طالما أنها لم تتكيف لتصبح 3122لسنة 34تمتثل للقانون رقم الذي أجراه المؤلف
بريهاتيني ىارنينتا و لبعض النتائج لا توافق بحثا البحث ناحية أخرى ، فإن ىذمن Harninta وPrihatini (2013) فقط رأيهما أن في BAZNASو LAZ المصرح لهم بإدارة
على الرغم من أن عاملن على الزكاة بشكل فردي أو تقليدي )بما في ذلك المساجد( يمكنها الزكاة الزكاة وفقا للشروط والقوانن .أيضا أن تدير البحث القانوني التجريبي الذي يجمع بن المفاىيم القانونية فيما يتعلق بتنظيم الزكاة ىو ىذا
و بوصف تنفيذه العملي في المساجد بمنهج دراسة الحالة. مصدر البيانات المستخدمة ىي البيانات الزكاة والمساجد والتي تمت معالجتها عن القواننالأولية في شكل مقابلات والبيانات الثانوية وىي
.باستخدام أساليب التحليل النوعي
القانوني ، والامتثال الكلمات المفتاحية: إدارة الزكاة في المسجد ، فقو الزكاة ، الوعي العاملون على الزكاة
x
Pedoman Transliterasi Arab-Latin
Ala-Lc Romanization Tables
1. Konsonan
No Arab Latin
No Arab Latin
Tidak ا 1
disimbolkan {t ط 16
{z ظ B 17 ب 2
‘ ع t 18 ت 3
gh غ th 19 ث 4
f ؼ J 20 ج 5
q ؽ h} 21 ح 6
k ؾ kh 22 خ 7
l ؿ d 23 د 8
m ـ dh 24 ذ 9
n ف r 25 ر 10
w و Z 26 ز 11
h هػ S 27 س 12
' ء sh 28 ش 13
y ي s} 29 ص 41
{d ض 41
2. Vokal Pendek 3. Vokal Panjang
a أ ر ق ـ = qara'a a> ق ال = qa>la
i ب ت ك = kutiba i> ق يل = qi>la
u ب ى ذ ي = yadhabu u> ي ـق ول = yaqu>lu
xi
DAFTAR ISI
Pernyataan Perbaikan Setelah Verifikasi...............................................................ii
Kata Pengantar .................................................................................................... iii
Pernyataan Bebas Plagiarisme ............................................................................... v
Lembar Persetujuan Hasil Ujian Pendahuluan Tesis ............................................ vi
Lembar Persetujuan Pembimbing ........................................................................vii
Abstrak ................................................................................................................ viii
Pedoman Transliterasi ......................................................................................... xi
Daftar Isi ...............................................................................................................xii
Daftar Tabel dan Skema ...................................................................................... xiv
Daftar Singkatan ................................................................................................... xv
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1
B. Permasalahan ................................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian .............................................................................. 7
D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian ................................................. 8
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan .................................................. 8
F. Metodologi Penelitian ...................................................................... 14
G. Sistematika Penulisan ...................................................................... 19
BAB II :KONSEP FIKIH ZAKAT DAN KESADARAN HUKUM
MASYARAKAT PERKOTAAN
A. Kewenangan Mengelola Zakat.......................................................... 20
B. Amil Zakat ........................................................................................ 23
C. Prinsip Pengelolaan Zakat ................................................................ 27
D. Kesadaran Hukum ............................................................................. 29
E. Sosiologi Masyarakat Perkotaan ....................................................... 35
BAB III : PENGELOLAAN ZAKAT OLEH MASJID
A. Tipologi Masjid di Indonesia ............................................................ 39
B. Dewan Masjid Indonesia ................................................................... 44
C. Masjid dalam Regulasi Pengelolaan Zakat di Indonesia................... 46
1. Undang-Undang No. 23 tahun 2011 .......................................... 46
2. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 86/PUU-X/2012 ................ 47
3. Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2014 ................................ 48
xii
4. Peraturan Menteri Agama No.5 Tahun 2016 ............................ 50
5. Peraturan BAZNAS No. 2 Tahun 2016 ..................................... 50
D. Struktur Hirarki Pengelola Zakat ...................................................... 52
E. Pengelolaan Zakat di Masjid Kecamatan Pancoran .......................... 64
1. Masjid Jami At-Taubah ............................................................. 65
2. Masjid al-Muawanah ................................................................. 67
3. Masjid Arrohmanurrohim ......................................................... 68
4. Masjid Jami an-Nur ................................................................... 69
5. Masjid al-Munawwar ................................................................ 70
6. Masjid Nurullah......................................................................... 72
BAB IV : ANALISIS PEMAHAMAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF
PENGELOLAAN ZAKAT DI MASJID
A. Pemahaman DKM terhadap Fikih Zakat ......................................... 75
B. Pemahaman DKM terhadap Hukum Positif
Pengelolaan Zakat ............................................................................ 88
C. DKM dan Kepatuhan Hukum Pengelolaan Zakat ............................. 93
D. Pola Penghimpunan dan Pendistribusian Zakat oleh DKM ............ 105
E. Implikasi Kepatuhan Hukum DKM terhadap
Pengelolaan Zakat..... .................................................................... 107
F. Paradigma Pengelolaan Zakat di Masjid .......................................... 113
G. Distingsi Wilayah Perkotaan dalam Pengelolaan Zakat
di Masjid .......................................................................................... 115
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................................... 118
B. Saran ................................................................................................ 119
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 120
GLOSARIUM .................................................................................................... 128
INDEKS.............................................................................................................. 130
LAMPIRAN ....................................................................................................... 136
xiii
DAFTAR TABEL DAN SKEMA
Hal
Tabel 1. : Konstruksi Undang-Undang No. 23 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat .......................................................... 46
Tabel 2. : Konstruksi Peraturan Pemerintah N0. 14 Tahun 2014
tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 23 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat .......................................................... 49
Tabel 3. : Konstruksi Peraturan BAZNAS No. 2 Tahun 2016
tentang Pembentukan dan Tata Kerja
Unit Pengumpul Zakat ................................................................ 51
Tabel 4. : Struktur Hierarki Pengelola Zakat di Indonesia .......................... 53
Tabel 5. : Jumlah LAZ Nasional Berdasarkan Wilayah Kantor
Kedudukannya ............................................................................. 55
Tabel 6. : Jenis UPZ sesuai Tugasnya menurut BAZNAS .......................... 61
Tabel 7. : Hak Amil sesuai Jenis UPZ ......................................................... 63
Tabel 8. : Pemahaman DKM terhadap Fikih Zakat .................................... 73
Tabel 9. : Pengelola Zakat di Indonesia yang sesuai Undang-Undang
Pengelolaan Zakat ....................................................................... 79
Tabel 10. : Fungsi Stakeholders Zakat di Indonesia .................................... 112
Skema 1. : Alur Kerja UPZ ........................................................................... 64
xiv
DAFTAR SINGKATAN
BAZIS : Badan Amil Zakat Infaq dan Shadaqah
BAZNAS : Badan Amil Zakat Nasional
BOTI : Bantuan Operasional Tempat Ibadah
BPS : Badan Pusat Statistik
DKM : Dewan Kemakmuran Masjid
DMI : Dewan Masjid Indonesia
GK : Garis Kemiskinan
GKM : Garis Kemiskinan Makanan
GKNM : Garis Kemiskinan non Makanan
KUA : Kantor Urusan Agama
LAZ : Lembaga Amil Zakat
MAIN : Majlis Agama Islam Negeri
MENA : Middle East and North Africa; Negara-negara Timur Tengah dan
Afrika Utara
MK : Mahkamah Konstitusi
MUI : Majelis Ulama Indonesia
MUIS : Majelis Ugama Islam Singapura
NPWZ : Nomor Pokok Wajib Zakat
RKAT : Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan
RT/RW : Rukun Tetangga/ Rukun Warga
UPZ : Unit Pengumpul Zakat
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diberlakukannya suatu hukum pada dasarnya bertujuan untuk ditaati agar
terciptanya situasi yang diharapkan dengan mengacu pada ketertiban umum. Hukum
sering diproyeksikan sebagai Social Engineering1 yaitu alat merekayasa kondisi
sosial, dengannya kondisi masyarakat dapat diarahkan dan dibentuk sedemikian rupa
tentunya hanya jika perturan-peraturan dalam hukum tersebut dapat efektif
diimplementasikan di masyarakat. Di sisi lain, tidak jarang suatu hukum yang dibuat
tidak dapat berfungsi secara efektif di masyarakat yang disebabkan satu dan lain hal.
Di antara kondisi yang sering menyebabkan ketidakefektifan suatu hukum adalah
perbedaan nilai dan norma yang digagas hukum tersebut dengan apa yang telah
hidup dan berkembang di masyarakat dan telah menjadi sebuah sistem hukum.
Sistem hukum menurut Josep Raz selalu tersusun dari beberapa hal yang
akan menjadi solusi untuk empat permasalahan utama yaitu tentang eksistensi,
identitas, struktur, dan konten hukum2. Sistem hukum yang digagas John Austin
secara implist termanifestasikan dalam definisi hukum yang ia jelaskan sebagai
general command of a sovereign addressed to his subjects3 yang berarti bahwasanya
hukum adalah perintah umum yang dikeluarkan oleh seorang yang berkuasa kepada
rakyatnya. Konsep ini sangat erat kaitannya dengan siapa yang berkuasa, dan seperti
apa kekuasaan yang bisa menciptakan hukum. Lain halnya dengan sistem hukum
menurut Hart yang menyamakan sistem hukum dengan hukum itu sendiri dengan
kumpulan peraturan yang terdiri atas Primary Rules dan Secondary Rules.
Primary Rules menurut Hart adalah peraturan-peraturan yang wajib dan mengikat
kepada semua individu sebagaimana halnya hukuman bagi tindak kriminal yang
berlaku kepada seluruh orang ketika ia melakukan pelanggaran tersebut. Aturan ini
lebih terkonsentrasi pada perilaku yang harus dan tidak harus dilakukan oleh
seseorang (that individuals must do or must not do) sedangkan Secondary Rules
adalah aturan yang lebih bersifat komplementer pelengkap dan penjelas teknis dari
primary rules seperti aturan tentang kontrak perjanjian, pernikahan, kekuasaan
peradilan, dan sebagainya4.
Adapun konsep sistem hukum menurut Friedman terdiri dari tiga komponen
utama yaitu Legal Structure, Legal Substance, dan Legal Culture5. Ketiga komponen
1 Roscoe Pound, An Introduction to The Philosophy of Law (New Haven: Yale University
Press, 1930), 235. Lihat juga William L. Grossman, “The Legal Philosophy of Roscoe
Pound” Yale Law Journal 44, no.4 (1935): 605-618. 2 Joseph Raz, The Concept of Legal System- An Introduction to The Theory of Legal System
Edisi Kedua (New York: Oxford University Press, 1980), 1. 3 Joseph Raz, The Concept of Legal System (Oxford: Clarendon, 1970), 26-43
4 Herbert Lionel Adolphus Hart dan Leslie Green, The Concept of law. (New York: Oxford
University Press, 2012) 5 Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Approach (New York: Russel
Sage Foundation, 1975), 11-16
2
ini saling berkaitan dalam pengimplementasian suatu hukum sehingga dapat
mencapai tujuannya. Legal Structure berarti struktur hukum yang mencakup institusi
yang mengeluarkan hukum, mengawasi hukum, serta memberikan sanksi terhadap
pelangggaran hukum, sedangkan legal substance adalah substansi hukum yang
biasanya tertuang dalam undang-undang atau peraturan tertulis lainnya. Adapun
legal culture adalah budaya hukum yang hidup dan ada di masyarakat yang
dipraktikkan dalam kehidupan dan interaksi sehari-hari. Hukum pada dasarnya
menurut teori klasik Barat bertujuan untuk mencapai tiga hal, yaitu keadilan (teori
etis), kemanfaatan (teori utilistis), serta kepastian hukum (teori legalistik)6.
Terkadang, faktor budaya dan kondisi sosial masyarakat bisa menjadi
penghambat keefektifan suatu hukum untuk diberlakukan, karena masyarakat
cenderung sulit untuk meninggalkan rutinitas dan kebiasaan yang telah lama
dipraktikkan dan telah menjadi sebuah tradisi seperti halnya tradisi filantropi7 di
masyarakat muslim Indonesia.
Pada umumnya, kegiatan filantropi adalah menggalang dana, lalu
menyalurkannya untuk tujuan-tujuan sosial kemanusiaan8. Sumber dana filantropi
Islam sangatlah beragam, mulai berupa infak, sedekah, dan zakat serta wakaf. Salah
satu lembaga filantropi yang sedari dulu telah eksis dan aktif berperan di masyarakat
adalah masjid. Zakat sebagai salah satu ibadah umat Islam tentu memiliki
keterikatan dengan masjid yang juga merupakan tempat ibadah umat Islam. Masjid
sedari dulu difungsikan tidak hanya sebagai tempat salat, tetapi bisa menjadi tempat
berbagai kegiatan mulai dari pendidikan, perkumpulan, musyawarah, ekonomi, dan
pusat kegiatan-kegiatan keagamaan salah satunya sebagai tempat pengelolaan zakat.
Banyak masjid yang didirikan di atas tanah pribadi yang diwakafkan, artinya
masyarakat turut andil dalam membangun peradaban yang dimulai dari masjid,
hingga tak heran jika hingga kini masjid pun masih menjadi referensi masyarakat
untuk menunaikan zakatnya.
Dalam sejarahnya, pada zaman Rasululah saw. dan kekhalifahan sahabat,
zakat memang menjadi urusan strategis negara dalam menjaga stabilitas di internal
umat Islam9. Pengelompokkan zakat mal ke dalam dua jenis pada masa kekhalifahan
„Uthma>n bin ‘Affa>n telah memulai perubahan pola pembayaran zakat, yang tadinya
semua zakat ditunaikan kepada pemerintah, tetapi mulai saat itu ada jenis harta yang
zakatnya bisa ditunaikan sekehendak pemilik harta10
. Perspektif ini terus terwarisi
6 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum & Teori Peradilan (Jakarta: Kencana, 2009), 171.
7 Filantropi adalah suatu bentuk kegiatan sosial kemasyarakatan yang dilaksanakan atas asas
nirlaba dan non-komersil untuk tujuan kemanusiaan. Dalam ungkapan lebih sederhana,
Payton mendefinisikannya dengan “voluntary action for the public good” dalam Robert L.
Payton, Philanthropy: Voluntary Action for the Public Good (New York: American Council
on Education/Macmillan, 1988). 8 Lihat juga Robert L. Payton dan Michael P. Moody, Understanding Philanthropy: Its
Meaning and Mission (Bloomington: Indiana University Press, 2008). 6. 9 Amelia Fauzia, Faith and the State : A History of Islamic Philanthropy in Indonesia.
(Leiden: Koninklijke Brill NV, 2013), 44-54. 10
Al-amwa>l al-Z{a>hirah dan al-amwa>l al-Ba>t}inah. Pembayaran zakat atas al-amwa>l al-
z}a>hirah (harta terlihat seperti binatang ternak, tumbuhan dan buah-buahan) ditunaikan
kepada amil zakat pemerintah (negara) sedangkan pembayaran zakat atas al-amwa>l al-
3
secara turun menurun dari generasi ke generasi sehingga zakat dipandang dalam dua
aspek yaitu sebagai salah satu urusan negara dan juga murni ibadah personal, begitu
juga halnya kondisi zakat dalam konteks negara-bangsa (nation-state) yang tidak
terlepas dari dikotomi perspektif ini, sebagaimana yang terjadi di Indonesia.
Dalam konteks filantropi, masjid bagi masyarakat Indonesia secara umum
merupakan lembaga keagamaan yang mendapatkan kepercayaan besar dari
masyarakat muslim di sekitarnya untuk menjadi pengelola dana zakat, menghimpun
serta menyalurkannya kepada yang berhak. Kepercayaan masyarakat muslim
terhadap masjid tersebut tetap ada sekalipun keberadaan pengelolaan zakat di masjid
belum sesuai hukum dan peraturan yang berlaku11
.
Dikeluarkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan
zakat menandai upaya pemerintah untuk mengatur sedemikian ketat praktik
pengelolaan zakat di Indonesia sehingga tidak semua orang atau pihak tertentu dapat
menjadi amil zakat dan melakukan pengelolaan zakat, kecuali telah memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan. Hal ini berkonsekuensi secara langsung kepada para
pengelola zakat yang telah lama beroperasi di masjid-masjid untuk mengumpulkan
serta menyalurkan dana zakat. Pada dasarnya individu atau perkumpulan tertentu
bisa melakukan pengelolaan zakat dengan syarat memberitahukan kegiatan
pengelolaan zakat tersebut secara tertulis kepada kantor urusan agama setempat12
.
Hal menarik yang menjadi pengamatan penulis adalah sikap para pengurus
masjid yang tetap melakukan praktik pengelolaan zakat meskipun tidak
memberitahukan kegiatannya kepada kantor urusan agama setempat, sebagaimana
yang telah penulis temukan di Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan13
.
Fenomena ini memang bukanlah hal yang baru, kondisi serupa pasti dapat
ditemukan di banyak masjid di Indonenesia, bahkan di mushola sekalipun khusunya
pada bulan Ramadan. Sesuatu yang membuat fenomena ini menarik untuk diteliti
adalah kompleksitas yang terjadi di tataran implementasi peraturan zakat di
lapangan, khususnya yang menyangkut alasan dan dasar yang digunakan terutama
pemahamam fikih zakat para DKM yang terimplementasi dalam pengelolaan zakat.
ba>t}inah (harta tidak terlihat seperti emas dan perak serta barang dagangan) muzaki diberikan
kewenangan untuk menunaikannya masing-masing. Hal yang serupa telah dijelaskan dalam
Abu> ‘Ubayd al-Qa>sim, Kita>b al-Amwa>l (Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1986), 535. 11
Abubakar, Irfan dan Chaider S. Bamualim (ed) Filantropi Islam dan Keadilan Sosial:
Studi tentang Potensi, Tradisi, dan Pemanfaatan Filantropi Islam di Indonesia (Jakarta:
CSRC UIN Syarif Hidayatullah, 2006), 218. 12
Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No.5 Tahun 2016 tentang
tata cara pengenaan sanksi administratif dalam pengelolaan zakat. Ketentuan ini sesuai
dengan hasil dari putusan Mahkamah Konstitusi tentang uji materiil Undang-Undang No. 23
tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. 13
Hasil wawancara dengan Drs. Pahruroji selaku Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan
(KUA) Pancoran pada tanggal 11 April 2018 pukul 10.45 WIB di KUA Kecamatan
Pancoran. Pahruroji mengungkapkan bahwa selama dia menjabat sebagai kepala KUA di
Kecamatan Pancoran sejak 3 tahun lalu, belum pernah ada laporan dari DKM se-kecamatan
Pancoran tentang pengelolaan zakat di masjid mereka sedangkan di lapangan ditemui banyak
masjid yang melakukan pengumpulan zakat.
4
Dalam sejarahnya, perhatian pemerintah terhadap zakat semakin
menggembirakan dan keseriusannya berujung kepada pembentukan undang-undang
pengelolaan zakat untuk pertama kalinya yaitu Undang-Undang N0. 38 Tahun 1999
tentang pengelolaan zakat14
. Meskipun dalam undang-undang tersebut tidak ada satu
pasal pun yang berisi ketentuan mewajibkan zakat kepada setiap muslim yang sudah
terpenuhi syarat wajib untuk berzakat, tetapi setidaknya dasar aturan tentang zakat di
lingkup hukum positif ini memberikan kesan yang baik bagi perkembangan hukum
Islam di Indonesia.
Pembentukan undang-undang zakat menegaskan bahwasanya zakat bukan
lagi sekedar ibadah personal yang pelaksanaannya diserahkan kepada masing-
masing individu sebagai impelementasi kebebasan beragama dan menjalankan
ajaran agama sesuai dengan pasal 28 E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945,
tetapi kini zakat juga telah menjadi hukum positif yang pengelolaannya diatur oleh
negara sehingga bukan lagi mau atau tidak mau mengelola zakat akan tetapi sesuai
hukum atau tidak pengelolaan zakat itu dilakukan. Keberhasilan legislasi hukum
zakat ini merupakan hasil perjuangan tokoh muslim Modernis dan Revivalis sejak
1950an15
. Terkait hal ini, Miftah menyebutnya dengan keberanjakan zakat dari
dimensi hukum diya>ni> ke dimensi hukum qad{a>i>16
.
Sesuai isi undang-undang pengelolaan zakat tersebut, BAZNAS lah yang
berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat, mulai dari perencanaan,
pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan serta pelaporan zakat secara
nasional17
. Adapun posisi LAZ dalam undang-undang ini disebutkan hanya untuk
membantu BAZNAS dalam pengelolaan zakat sebagaimana tertera dalam pasal 17.
Tidak akan ditemukan ketentuan tentang pengelola zakat tradisional yang biasanya
dilakukan oleh perseorangan atau kelompok tertentu seperti DKM karena undang-
undang ini menghendaki pengelola zakat berbentuk lembaga berbadan hukum bukan
individu ataupun organisasi biasa, itu artinya melalui undang-undang ini pemerintah
menginginkan pengelolaan zakat dilakukan secara profesional.
Tiga tahun berselang, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah
No.14 Tahun 2014 tentang pelaksanaan Undang-Undang Zakat No.23 Tahun 2011.
Peraturan ini berisi hal-hal yang lebih teknis dan barulah dalam peraturan ini
ketentuan tentang amil zakat perseorangan atau kelompok bisa ditemukan. Terdapat
2 ayat yang menjelaskan tentang hal tersebut, hanya jika di suatu komunitas atau
wilayah tertentu belum terjangkau oleh BAZNAS atau LAZ maka kegiatan
pengeloaan zakat dapat dilakukan oleh perkumpulan orang, perseorangan tokoh
umat Islam (Alim Ulama), atau pengurus /takir masjid/mushola sebagai amil zakat.
14
Arskal Salim, The Shift in Zakat Practice in Indonesia (From Piety to an Islamic
socio-political-economic System. (Chiang Mai: Silkworm Books, 2008), 45. 15
Amelia Fauzia, Faith and The State : A History of Islamic Philanthropy in Indonesia.
(Leiden: Koninklijke Brill NV, 2013), 220. 16
A.A. Miftah, Zakat antara Tuntunan Agama dan Tuntutan Hukum (Jambi: Sultan Thaha
Press, 2007). Lihat pula Zia Gokalp, Turkish Nationalism and Western Civilization, (New
York: Columbia University Press, 1959) dan Must}afa> Muh{ammad al-Zarqa> dalam
al-Madkhal al-Fiqhi> al-‘<Am, (Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1967). 17
Pasal 6 dan 7 Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
5
Kegiatan pengelolaan zakat yang dimaksud dalam kondisi seperti di atas dilakukan
dengan memberitahukan secara tertulis kepada kepala Kantor Urusan Agama (KUA)
kecamatan setempat18
.
Meskipun ada klausul “wilayah yang belum terjangkau oleh BAZNAS dan
LAZ” juga “memberitahukan secara tertulis kepada KUA kecamatan setempat”
nyatanya wilayah-wilayah yang dapat dijangkau oleh BAZNAS juga LAZ- seperti
wilayah perkotaan- masih tetap melakukan pengelolaan zakat misalnya di masjid-
masjid setiap bulan Ramadan, dan kegiatan tersebut pun tidak diberitahukan secara
tertulis maupun lisan pada KUA19
.
Panduan aturan bagi amil zakat perseorangan atau kelompok -dalam hal ini
masjid- tidak dapat terlaksana dengan baik, karena tidak adanya keterikatan antara
masjid-masjid tersebut dengan aturan yang berlaku, tidak ada pengawasan yang
dilakukan pihak berwenang dalam hal ini adalah KUA kepada masjid-masjid
pengelola zakat, juga tidak adanya sanksi yang diberikan pada masjid-masjid yang
tidak mengikuti ketentuan aturan tersebut, sehingga praktik pengelolaan zakat di
masjid akan tetap ditemukan dari tahun ke tahun baik di masyarakat desa maupun
kota.
Di wilayah perkotaan yang lingkup kawasannya secara geografis dekat
dengan berbagai akses terhadap informasi, pusat-pusat pemerintahan, dan kondisi
masyarakatnya yang lebih responsif terhadap modernisasi akan menarik untuk
diteliti aspek ketaatan masjid-masjid yang ada di dalamnya terhadap aturan
pengelolaan zakat yang ada. Indikasi yang penulis temukan di penelitian awal adalah
bahwasanya masjid di wilayah perkotaan belum menyesuaikan diri dengan aturan
hukum pengelolaan zakat yang ada.
Kondisi yang tidak selaras antara apa yang diatur tentang pengelolaan zakat
dan praktik yang dilakukan masjid menjadi hal yang menarik bagi penulis untuk
diteliti. Sebagaimana diungkapkan sebelumnya bahwasanya kawasan Kecamatan
Pancoran penulis pilih sebagai tempat penelitian. Jakarta Selatan merupakan salah
satu kota dengan hasil penghimpunan zakat, infak, dan sedekah terbanyak di
Provinsi DKI Jakarta20
, sehingga Kecamatan Pancoran penulis pilih karena selain
letaknya memang di wilayah perkotaan Jakarta Selatan juga potensi zakat dari
masyarakat di sekitar masjid yang mayoritas pelaku usaha dianggap berpengaruh
dalam pengelolaan zakat.
Untuk mengetahui penyebab hal tersebut, penulis melakukan penelitian
tentang pemahaman DKM terhadap fikih zakat dan hukum positif pengelolaan
zakat di Indonesia juga pola penghimpunan dan pendistribusiannya melalui tesis
berjudul PENGELOLAAN ZAKAT BERBASIS MASJID PERKOTAAN:
Pemahaman Fikih dan Hukum Positif.
18
Pasal 66 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Zakat No.23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. 19
Hasil wawancara dengan Drs. Pahruroji selaku Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan
(KUA) Pancoran pada tanggal 11 April 2018 pukul 10.45 WIB di KUA Kecamatan
Pancoran. 20
Diakses melalui laman https://baznasbazisdki.id/ pada 26 Desember 2019 pukul 10.00
WIB.
6
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis mengidentifikasi
beberapa permasalahan yang ada yaitu:
a. Pengelolaan zakat sejatinya dilakukan oleh amil zakat sebagaimana
fungsinya, tetapi kewenangan menjadi amil merupakan hal yang
diperdebatkan antara porsi pemerintah dan masyarakat muslim pada
umumnya.
b. Undang-undang pengelolaan zakat yang baru secara tidak langsung
menimbulkan kontestasi antara BAZNAS dan LAZ karena sama-sama
memainkan fungsi operator.
c. Pengelolaan zakat yang telah lama berlangsung sebelum adanya
Undang-Undang tidak cepat beradaptasi dengan ketentuan peraturan
tersebut.
d. Sentralisasi dan desentralisasi pengelolaan zakat menimbulkan
masalahnya masing-masing. Ketika pengelolaan zakat mulai
disentralkan oleh pemerintah maka banyak pihak yang akan terkena
pengaruhnya salah satunya DKM, tetapi jika pengelolaan zakat
dibiarkan begitu saja akan banyak bermunculan amil-amil zakat yang
kinerjanya sangat mungkin di bawah standar pengelolaan zakat yang
baik dan benar.
e. Pemerintah telah mengeluarkan perangkat peraturan sebagai penjelas
Undang-Undang No. 23 Tahun 2011, tetapi pemberian sanksi bagi
praktik amil zakat yang tidak menyesuaikan aturan belum dilakukan.
f. Ketidakpatuhan pihak yang menjalankan praktik pengelolaan zakat
dengan aturan yang ada masih diperdebatkan apakah hal itu layak
dipidana atau tidak, karena pemidanaan yang dimaksud telah dianggap
sebagai kriminalisasi amil zakat.
2. Perumusan Masalah
Rumusan masalah dalam tesis ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana pemahaman para pengelola zakat di masjid perkotaan
mengenai fikih dan hukum positif pengelolaan zakat?
b. Bagaimana pola penghimpunan dan pendistribusian zakat yang
dilakukan pengelola zakat di masjid perkotaan?
Masjid perkotaan yang diteliti terletak di kecamatan Pancoran Jakarta
Selatan (selanjutnya akan dijelaskan di pembatasan masalah)
3. Pembatasan Masalah
Dalam penelitian ini yang penulis maksud dengan fikih zakat adalah tidak
semua aturan-aturan zakat dalam Islam, tetapi hanya beberapa aspek yang
7
menyangkut pengelolanya yaitu yang ada kaitannya dengan kewenangan mengelola
zakat, konsep amil zakat, tugas dan hak amil, serta pola penghimpunan dan
pendistribusian yang dilakukan. Aspek ini dipilih karena penulis ingin menjelaskan
bagaimana pemahaman para DKM tentang kewenangan, tugas, dan hak mereka
dalam bingkai hukum Islam dan hukum positif atau aturan yang berlaku.
Adapun hukum positif yang dimaksud adalah aturan hukum pengelolaan
zakat yang berlaku di Indonesia mulai dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2011
hingga aturan-aturan turunannya.
Penelitian ini membatasi kajian pada praktik pengelolaan zakat oleh DKM
se-kecamatan Pancoran di tahun 2018-2019. Dari total 61 masjid yang ada21
, penulis
mengambil 6 masjid yang mengelola zakat, karena terbatasnya waktu dan biaya.
Masjid-masjid yang penulis pilih merupakan hasil seleksi dari beberapa kategori
yaitu, masjid UPZ atau non-UPZ, masjid berpaham keagamaan berbasis Nahdlatul
Ulama, Muhammadiyah, atau Salafi, serta kapasitas jamaah masjid. Beberapa
masjid yang ada di Pancoran turut melibatkan unsur pemerintahan seperti masjid-
masjid instansi pemerintah, tetapi masjid yang dipilih dalam penelitian ini
merupakan masjid yang murni dikelola masyarakat, yang secara tipologi termasuk
masjid Jami yang ada di tingkat kelurahan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui
pemahaman dan sikap serta inisiatif masyarakat untuk mematuhi hukum positif yang
berlaku.
Kecamatan Pancoran dipilih sebagai jangkauan tempat penelitian karena
penulis menemukan bahwasanya di kecamatan ini didominasi kalangan pedagang,
masjid-masjid yang diteliti pun sangat dekat dengan pusat usaha sehingga
diperkirakan zakat yang dihimpun juga tinggi.
Selain itu, letak geografis yang strategis memungkinkan kecamatan ini
untuk mengakses informasi dan program-program pemerintah tentang pengelolaan
zakat karena tidak jauh dari pusat-pusat pemerintahan22
. Penduduk yang heterogen
juga turut menyumbangkan dinamika pengelolaan zakat, karena masyarakatnya
sudah bercampur antara penduduk asli dan imigran23
sehingga sangat menarik
menemukan keterkaitan itu semua dengan pengelolaan zakat di masjid-masjid.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini melalui pembahasannya bertujuan sebagaimana berikut:
a. Menjelaskan pemahaman para pengelola zakat di masjid perkotaan
mengenai fikih dan hukum positif pengelolaan zakat.
b. Menganalisis pola penghimpunan dan pendistribusian zakat yang
dilakukan pengelola zakat di masjid perkotaan.
21
KUA Kecamatan Pancoran, Rekapitulasi Data Sarana Ibadah di Kecamatan Pancoran,
2018 22
Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan dalam Angka Tahun 2017, Publikasi BPS Jakarta
Selatan 23
Kecamatan Pancoran merupakan salah satu kecamatan yang banyak ditinggali pendatang
baru (imigran) dari daerah di Tahun 2018. Informasi diakses melalui laman
https://metro.sindonews.com/read/1340360/171/ratusan-pendatang-di-jakarta-selatan-
dibuatkan-domisili-sementara-1537591945
8
D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian
a. Penelitian ini diharapkan dapat menyumbang aspek teoritis dalam
khazanah pengetahuan tentang pengumpulan zakat yang dilakukan oleh
DKM dalam bingkai hukum positif di Indonesia.
b. Hasil analisis dari pemahaman fikih zakat dan aturan pengelolaan zakat
para DKM bisa disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan
dengan pengelolaan zakat secara hukum sebagai masukan dan saran
yang membangun.
c. Penelitian ini diharapkan dapat menawarkan solusi dalam tataran praktis
bagi pemerintah dalam hal ini BAZNAS guna memperbaiki mekanisme
manajemen pengumpulan zakat di Indonesia dan membantu sosialisasi
peraturan pengelolaan zakat kepada pihak praktisi zakat di masyarakat
khususnya DKM.
E. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Penelitian tentang zakat telah banyak dilakukan, mulai dari analisis undang-
undangnya hingga praktik pengelolaannya. Pengelolaan zakat menjadi menarik
dikaji karena tidak semua negara menerapkan model yang sama, sebagaimana hasil
penelitian Ibrahim yang menggambarkan potret studi perbandingan pengelolaan
zakat di beberapa negara muslim (2015) yang menegaskan bahwa negara muslim
sepakat bahwa zakat harus dikelola oleh lembaga amil zakat yang profesional dan
penelitian tersebut memilih Malaysia, Sudan, dan Kuwait sebagai kajiannya24
. Hal
tersebut juga diungkapkan dalam hasil penelitian Powell (2010) yang menampilkan
data tentang sistem pengelolaan zakat di negara-negara mayoritas muslim di dunia.
Dari total 16 negara mayoritas muslim di MENA (Middle East and North Africa)
hanya 4 yang menegaskan bahwasanya zakat bagi warga negaranya adalah hal yang
mandatory dan diatur oleh negara yaitu Libya, Arab Saudi, Sudan, dan Yaman.
Sedangkan di negara non-MENA hanya ada Malaysia dan Pakistan yang
memandatkan kewajiban zakat dan dikelola negara, selebihnya kewajiban zakat di
negara-negara mayoritas muslim lainnya masih bersifat voluntary secara sukarela,
termasuk Indonesia25
.
Selama kurun waktu antara tahun 2006 hingga tahun 2017 ada 152 publikasi
penelitian tentang zakat yang dapat dilacak online melalui Google Scholar baik
berbentuk seminar paper, artikel jurnal, dan penelitian ilmiah sebagaimana
ditemukan oleh Tanjung dan Hakim26
(2017). Hasil ini meningkat dibandingkan
24
Sherrif Muhammad Ibrahim, Comparative Study on Contemporary Zakat Distribution: A
Practical Experience of Some Selected Muslim States (Malaysia: Universiti Sains Islam
Malaysa, 2015) 25 Russell Powell, Zakat: Drawing Insights for Legal Theory and Economic Policy From
Islamic Jurisprudence. University of Pittsburgh Tax Review 7 (2010): 43-101. 26
Hendri Tanjung dan Nurman Hakim, A Review on Literatures of Zakat between 2016 and
2017 (Bogor: Universitas Ibnu Khaldun, 2017) dipresentasikan pada World Zakat Forum
Conference 2017
9
penelitian zakat di antara tahun 2003-2013 yaitu sejumlah 108 publikasi yang fokus
penelitiannya berkisar pada manajemen zakat, pengumpulan zakat, pendistribusian
zakat, serta relasi zakat dan kemiskinan yang dikumpulkan oleh Johari, Aziz, dan
Ali27
(2014).
Kajian penelitian ini akan sangat berkaitan dengan tema zakat dan hukum
positif serta sosial, sebagaimana yang telah diteliti oleh Susetyo tentang kontestasi
amil zakat pemerintah dan non-pemerintah di Indonesia (2015) dengan
menggunakan analisis teori Joel S. Migdal tentang State in Society. Susetyo
menyimpulkan bahwasanya Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang
pengelolaan zakat menimbulkan beragam reaksi penolakan karena isinya yang
memarjinalkan pihak-pihak pengelola zakat non-pemerintah sehingga timbullah
kontestasi dan persaingan dalam pengelolaan zakat28
. Susetyo mengandalkan
pengumpulan data melalui literatur dan wawancara, tetapi tidak melakukan
observasi dan data lapangan sehingga tidak mengeksplor pratik riil pengelolaan
zakat di masyarakat.
Hal tersebut telah dibuktikan pula oleh Harninta, Hasanah, dan Prihatini
(2013) yang mengkaji kedudukan amil zakat dalam Undang Undang-Undang No. 23
Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat. Mereka membuktikan bahwa amil zakat
versi undang-undang tersebut terdiri atas BAZNAS yang menjadi lembaga resmi
pemerintah nonstruktural dan LAZ yang merupakan lembaga amil zakat dikelola
masyarakat. Kajian mereka bertumpu pada analisis pasal-pasal Undang Undang-
Undang No. 23 Tahun 2011 serta hasil putusan Mahkamah Konstitusi tentang
pengujian pasal undang-undang zakat yang dianggap bertentangan dengan UUD
1945. Penelitian mereka termasuk ke dalam jenis penelitian kulitatif dengan
menggunakan pendekatan yuridis-normatif dan metode penelitian hukum
kepustakaan29
. Kedudukan lembaga amil zakat yang diteliti Harninta, Hasanah, dan
Prihatini ini dikuatkan dengan penelitian Saidurrahman (2013) yang mengkaji lebih
mendalam tentang kedudukan amil zakat. Dia menyimpulkan bahwasanya ada tensi
antara BAZ dan LAZ dalam manajemen zakat dan hal itu perlu segera didudukkan
bersama dengan peraturan yang bisa merangkul kedua lembaga untuk saling
bersinergi dalam pengelolaan zakat di Indonesia30
.
Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat banyak
dijadikan kajian analisis sebagai sebuah penelitian hukum, salah satunya seperti
yang dilakukan Hakim (2015) yang menganalisisnya dari aspek hukum Islam.
Analisis yang dilakukan Hakim menyimpulkan bahwa ada aspek aspek penting
dalam kajian hukum Islam yang ditemukan dalam undang-undang zakat terbaru itu,
yaitu aspek otoritas keterlibatan negara dalam pengelolaan zakat, aspek ketiadaan
27
Fuadah Johari; dkk. "A Review on Literatures of Zakat between 2003-2013" Library
Philosophy and Practice (e-journal), 1175 (2014): 1-15. 28
Heru Susetyo, “Contestation Between State And Non-State Actors in Zakah Management
In Indonesia” Shariah Journal 23, no. 3 (2015): 517-546. 29
Cynthia Idhe Harninta, dkk. Kedudukan Amil Zakat dalam Undang Undang Nomor 23
Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat (Depok: Universitas Indonesia, 2013) 30
Saidurrahman, “The Politic of Zakat Management in Indonesia: The Tension between
BAZ dan LAZ”. Jurnal of Indonesian Islam 7, no.2 (December 2013) : 366-382.
10
sanksi bagi muzaki yang tidak menunaikan zakat, aspek pembaharuan paradigma
subjek dan objek zakat serta bidang tasarrufnya, dan relasi zakat dan pajak31
.
Penelitian Mutiara Dwi Sari, dkk (2013) merangkum beberapa fakta tentang
menajemen pengelolaan zakat di Indonesia disertai pembahasan mengenai tantangan
dan rintangan yang dihadapi. Penelitian mereka menyoroti peran beberapa lembaga
pengelola zakat di Indonesia, mulai dari lembaga resmi pemerintah yaitu BAZNAS,
lembaga masyarakat yang telah resmi berizin yaitu LAZNAS, bahkan lembaga-
lembaga tradisional seperti masjid dan pesantren yang masih belum menyesuaikan
aturan untuk bisa disahkan sebagai pengelola zakat. Di samping itu penelitian ini
juga menyoroti kebiasaan muslim Indonesia yang menunaikan zakatnya secara
langsung kepada mustahik, tidak melalui amil32
.
Mengenai peran masjid yang dikemukakan dalam penelitian tersebut tidak
dapat dipisahkan dari aspek historisnya. Praktek pengelolaan zakat di Indonesia
memang berawal dari masjid dan dikelola secara swadaya oleh masyarakat muslim,
sehingga kepercayaan yang sedari dulu terbangun di kalangan masyarakat muslim
Indonesia adalah bahwasanya masjid dipercaya sebagai salah satu lembaga
pengelola zakat tepat untuk menyalurkannya kepada mustahiq yang berhak. Fakta
historis ini juga dibuktikan dengan penelitian PIRAC (2008) yang menampilkan data
bahwasanya hanya 7,2% muzaki yang mempercayakan zakatnya dikelola oleh
lembaga; baik BAZNAS ataupun LAZNAS, sedangkan ada 60% muzaki yang
memilih masjid sebagai pengelola dana zakat mereka. Meskipun demikian,
penelitian tersebut juga menyadari bahwa cara-cara pengelolaan zakat yang masih
tradisional menjadikan zakat kurang efektif dikelola dan potensinya tidak maksimal.
Peran masjid dalam pengelolaan zakat di Indonesia berbeda dengan negara-
negara lain, misalnya di Malaysia. Penelitian yang dilakukan Rahman, dkk (2012)
menjelaskan bahwa institusi pengelola zakat di Malaysia terdiri dari 4 macam
bentuk. Pertama, lembaga yang resmi dibentuk berlandaskan perundang-undangan
zakat, seperti Jabatan Zakat Negeri Kedah. Kedua, lembaga yang dibentuk
berlandaskan aturan administrasi undang-undang tentang hukum Islam, seperti
Lembaga Zakat Selangor. Ketiga, lembaga yang dibentuk atas undang-undang atau
aturan khusus tentang hukum Islam yang tugasnya hanya untuk mengumpulkan
zakat seperti Pusat Zakat Melaka. Keempat, adalah lembaga zakat yang menjadi
sentral penghimpunan, pengelolaan, dan pendistribusian di Malaysia, yaitu Majlis
Agama Islam Negeri (MAIN) yang memiliki banyak cabang di tingkat daerah
seperti Majlis Agama Islam Johor, Majlis Agama Islam dan Adat Istiadat Melayu
Kelantan, dan lain sebagainya.
Masjid dalam pengelolaan zakat di Malaysia tidak masuk dalam lembaga-
lembaga resmi pengelola zakat seperti yang telah dipaparkan, tapi dalam sejarahnya
31
Budi Rahmat Hakim, “Analisis Terhadap Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat (Perspektif Hukum Islam)” SYARIAH Jurnal Ilmu Hukum 15, no. 2
(2015): 155-166
32 Mutiara Dwi Sari, Zakaria Bahari dan Zahari Mamat, “Review on Indonesian Zakah
Management and Obstacles” Social Sciences 2, no 2 (2013): 76-89.
11
pemuka agama di daerah pernah melakukan penghimpunan zakat, meskipun hasil
penghimpunannya tetap diserahkan kepada MAIN33
.
Singapura juga bisa dijadikan salah satu lokasi kajian menarik tentang zakat
dan masjid, karena umat Islam yang tidak dominan di sana, fungsi masjid amatlah
penting untuk kegiatan dan kepentingan umat Islam, salah satunya penunaian zakat.
Sebagaimana penelitian yang dilakukan Ali Jaya (2017) pengelolaan zakat di
Singapura ternyata terpusat pada Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS) yang
merupakan badan khusus yang dibentuk pemerintah untuk mengurusi hal ihwal umat
Islam Singapura. Peran masjid dalam pengelolaan zakat di Singapura tidak
independen karena semua masjid di Singapura ada di bawah koordinasi MUIS,
masjid-masjid yang ditunjuk MUIS di setiap wilayah di Singapura hanya bertugas
menerima penunaian zakat dan menghimpunnya dari muzaki, selanjutnya
diserahkan kepada MUIS untuk dikelola dan didistribusikan kepada mustahiq serta
didayagunakan sesuai program yang telah ditetapkan34
.
Penelitian lain yang memiliki tema terkait zakat dan masjid pernah diteliti
oleh Amir Mu‟allim (2012) yang mengkaji pengelolaan dan pendayagunaan zakat
berbasis masjid. Arah penelitian ini lebih banyak digunakan untuk menilai kinerja
masjid yang menyelenggarakan pengelolaan zakat35
sehingga dalam kesimpulannya
dia menyebutkan beberapa masjid yang telah mengelola zakat secara profesional dan
lainnya belum dikelola secara profesional. Hal serupa juga pernah diteliti oleh
Achmad Saifudin (2013) yang melakukan studi kasus di salah satu masjid di
Salatiga. Saifudin menemukan banyak masjid yang masih melakukan pengelolaan
zakat meskipun belum memiliki izin sebagaimana yang diatur dalam undang-
undang36
. Kedua penelitian ini dilakukan pasca diundangkannya undang-undang
zakat satu sampai dua tahun setelah tahun 2011, artinya pada penelitian ini belum
memakai sumber-sumber peraturan yang muncul di tahun 2014 dan 2016 sehingga
hasil penelitiannya harus dikaji ulang sesuai peraturan-peraturan tambahan yang ada.
Penelitian tentang zakat dan masjid pernah juga dilakukan oleh M. Husni Arafat,
dkk. (2017) yang mengungkapkan kesediaan masjid menjadi agen atau UPZ dari
BAZNAS serta potensi sumber daya manusia pada DKM tersebut. Lokasi penelitian
mereka adalah masjid-masjid di Kabupaten Jepara, mereka mengambil sampel
sebanyak 40 masjid yang diminta untuk mengisi kuisioner. Hasil penelitian mereka
menunjukkan adanya minat dan keinginan yang tinggi dari para pengurus masjid
untuk menjadi bagian dari pengelolaan zakat di Indonesia, khususnya sebagai UPZ
BAZNAS. Sebanyak 71,7% DKM bersedia menjadi agen atau UPZ BAZNAS,
33
Azman Ab Rahman, Mohammad Haji Alias, dan Syed Mohd Najid Syed Omar, “Zakat
Institution in Malaysia: Problems and Issues” GJAT 2, no1 (Juni 2012): 35-41. 34
Ali Jaya, Strategi Penghimpunan Dana Zakat di Singapura (Jakarta: Universitas Islam
Negeri Jakarta, 2017) 82. 35
Amir Mu‟allim. “Pengelolaan dan Pendayagunaan Zakat Berbasis Masjid di
Yogyakarta”,Artikel, Hasil Penelitian kelompok Pusat Studi Hukum Islam (PSHI),
Pascasarjana FIAI-UII dengan DPPM UII. Tahun 2012. 36
Achmad Saifudin, Urgensi Ta‟mir Masjid Dalam Pengelolaan Zakat Pasca Terbitnya
Undang-Undang No 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaa Zakat (Salatiga: Sekolah Tinggi
Agama Islam Negeri Salatiga, 2013).
12
sedangkan 28,3 % tidak bersedian dengan alasan keputusan tersebut harus
dimuyawarahkan dengan seluruh anggota DKM37
.
Penelitian mengenai peran masjid dalam konteks pengelolaan zakat juga
dilakukan oleh Budiman dan Mairijani (2016). Penelitian mereka memang tidak
terfokus pada peran masjid dalam pengelolaan zakat saja, tetapi lebih umum karena
penelitian mereka berjudul Peran Masjid dalam Pengembangan Ekonomi Syariah di
Kota Banjarmasin, meskipun demikian variabel pengelolaan zakat menjadi salah
satu yang diteliti. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan
survei dan kuesioner sebagai teknik pengumpulan data. Sampel yang digunakan
penelitian ini adalah 25 masjid dari total populasi 191 masjid di Kota Banjarmasin.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa masjid-masjid yang diteliti tersebut belum
sepenuhnya profesional dalam pengelolaan zakat38
.
Penelitian mengenai zakat dan masjid di wilayah perkotaan juga pernah
dilakukan, seperti penelitian Fitria (2016) yang berjudul Pengelolaan Zakat pada
Masjid di Kota Palembang Ditinjau dari Ekonomi Islam yang meneliti empat masjid
di Kota Palembang yaitu Masjid Darul Jannah, Masjid al-Jihad, Masjid Darussalam,
dan Masjid al-Amaliyah. Penelitian tersebut mendeskripsikan aspek perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan pada pengelolaan zakat yang
dilakukan di masjid. Penelitian yang menggunakan metode kualitatif dan data
primernya bersumber dari wawancara pengurus masjid ini menghasilkan beberapa
temuan di antaranya bahwasanya masjid hanya melakukan pengelolaan zakat di
bulan Ramadan setiap tahunnya, mereka bekerjasama dengan RT setempat untuk
mendata mustahiq kemudian mendistribusikan zakat melalui kupon yang telah
dibagikan, pada kesimpulannya pengelolaan zakat di masjid-masjid tersebut
menurut Fitria telah sesuai dengan prinsip ekonomi Islam39
.
Penelitian tentang zakat dan masjid juga dilakukan oleh Muhammad Nizar
(2016) yang berjudul Model Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat melalui
Pengelolaan Zakat, Infaq dan Shadaqah (ZIS) di Masjid Besar Syarif Hidayatullah
Karangploso Malang40
. Penelitian ini sesuai judulnya, hanya dilakukan di Masjid
Besar Syarif Hidayatullah Karangploso Malang, dengan metode penelitian kualitatif
dan teknik pengumpulan data melalui wawancara pengurus masjid. Kajian penelitian
ini fokus kepada model dan bentuk-bentuk pemberdayaan ekonomi masyarakat yang
dananya terhimpun melalui zakat, infaq, dan sedekah. Penelitian ini menyimpulkan
bahwa pemberdayaan ekonomi masyarakat yang dilakukan oleh pengurus masjid
melalui dana zis terbagi menjadi 2 model, yaitu model distribusi konsumtif dan
model pendayagunaan produktif. Model distribusi konsumtif sebagaimana yang
37
M. Husni Arafat, dkk. “Masjid sebagai Agen BAZNAS: Analisa Potensi SDM Ta‟mir
Masjid di Kabupaten Jepara”. Ulul Albab: Jurnal Studi dan Pendidikan Hukum Islam 1, no1
(November 2017): 58-72. 38
Mochammad Arif Budiman dan Mairijani, “Peran Masjid dalam Pengembangan Ekonomi
Syariah di Kota Banjarmasin” Prosiding Seminar Nasional ASBSI (2016): 187-194. 39
Fitria, “Pengelolaan Zakat pada Masjid di Kota Palembang Ditinjau dari Ekonomi Islam”.
Intelektualita 5, no 2 (Desember 2016): 175-188. 40
Muhammad Nizar, “Model Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat melalui Pengelolaan
Zakat, Infaq dan Shadaqah (ZIS) di Masjid Besar Syarif Hidayatullah Karangploso Malang”.
Malia 8, no 1 (Desember 2016): 41-60.
13
ditemukan dalam penelitian ini berupa penyaluran dana zis secara langsung kepada
mustahiq (yang bersifat tradisional), atau pun model konsumtif yang kreatif yaitu
dengan cara pemberian dana pendidikan kepada anak-anak jalanan, anak-anak
terlantar, dan anak yatim piatu. Sedangkan model pendayagunaan produktif
dilakukan dengan pemberian aset barang produktif alat transportasi dalam hal ini
adalah becak, dan juga pemberian modal usaha kepada para mustahiq selain tukang
becak. Penelitian lain dilakukan oleh Ahmad Rido dan Rizqi Anfanni Fahmi
(2017) yang berjudul Pengelolaan Zakat Berbasis Masjid di sekitar Universitas
Islam Indonesia (UII)41
. Mereka meneliti 3 masjid sebagai objek kajian yaitu Masjid
al-Mauidhatul Hasanah, Masjid as-Sa‟adah, dan Masjid Baiturrohman, ketiganya
dipilih karena jaraknya yang dekat dengan UII yaitu sekitar radius 1,5 KM.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan
data melalui wawancara para pengurus masjid. Penelitian ini mengasumsikan bahwa
dekatnya jarak masjid dengan lokasi universitas yang literasi tentang pengelolaan
zakatnya cukup mumpuni, diduga pengelolaan zakat yang dilakukan oleh masjid-
masjid di sekitarnya pun terpengaruh oleh hal tersebut. Penelitian ini fokus pada
deskripsi manajemen sumber daya manusia dalam pengelolaan zakat oleh masjid,
model pengumpulan, distribusi zakat, golongan mustahiq, dan pendayagunaan zakat
yang terkumpul. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa pengelolaan zakat di ketiga
masjid tersebut hanya dilakukan pada bulan Ramadan dengan membentuk
kepanitiaan yang bersifat sementara, dan tidak ada keterkaitan pihak UII baik dari
civitas akademika maupun mahasiswanya dalam proses pengelolaan zakat di masjid
tersebut, sehingga pengelolaannya dijalankan secara mandiri oleh para pengurus
masjid.
Penelitian lain yang juga masih dilakukan civitas akademika UII adalah
penelitian Pusparini (2017) yang merupakan dosen studi Islam UII, yang mengkaji
masjid pengelola zakat infaq dan sedekah di Sleman dari sisi manajemennya42
.
Penelitiannya menggunakan metode penelitian kualitatif dan wawancara sebagai
teknik utama dalam mendapatkan sumber primer dari para pengurus masjid. Ada 10
masjid yang dijadikan sampel penelitian dari total 39 masjid jami‟ yang ada di
Sleman. Pemilihan ke-10 masjid tersebut didasarkan kepada pembatasan peneliti
yang hanya memilih masjid dengan jumlah jamaah sekitar 100 orang per harinya.
Hasil dari penelitian tersebut adalah bahwa sebagian besar masjid yang diteliti hanya
melakukan pengelolaan zakat fitrah yang dilakukan di bulan Ramadan, hanya 3
masjid yang melakukan pengelolaan zakat fitrah juga zakat mal. Salah satu masjid
yang diteliti bahkan melakukan penghimpunan zakat dari rumah ke rumah.
Penulis menemukan penelitian yang juga mengaitkan masjid dengan
peraturan zakat yaitu yang dilakukan Wijayanto dalam meneliti implementasi
Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat di beberapa masjid
41
Ahmad Rido dan Rizqi Anfanni Fahmi, “Pengelolaan Zakat Berbasis Masjid di Sekitar
Universitas Islam Indonesia”. Working Paper Keuangan Publik Islam 2, seri 1 (2018): 1-12 42
Martini Dwi Pusparini, “Mosque-Based Zakah Infaq and Shadaqah Management (A Study
at Great Mosque in Sleman, Yogyakarta)”. Prosiding Seminar Nasional seri 7 “Menuju
Masyarakat Madani dan Lestari” (November 2017): 277-293.
14
di Kota Tangerang Selatan. Penelitian ini fokus pada aspek kepatuhan hukum yang
dijalankan masjid dalam kaitannya dengan implementasi peraturan pengelolaan
zakat yang mengidealkan masjid sebagai UPZ BAZNAS Kota Tangerang Selatan43
.
Terkait tema kepatuhan hukum zakat, ada penelitian Ummulkhayr, dkk
(2017) yang mengungkapkan beberapa faktor yang mempengaruhi kepatuhan
masyarakat muslim untuk menunaikan zakat, meski berada di bawah pemerintahan
non-muslim. Mereka memilih negara bagian Kogi di Nigeria. Penelitian ini
menghasilkan 2 temuan utama sebagai faktor dasar yang mempengaruhi kepatuhan
masyarakat muslim dalam menunaikan zakat di wilayah pemerintahan non-muslim,
yaitu ketidaktahuan orang kaya terhadap kewajiban zakat dan tidak adanya
manajemen zakat yang baik yang dapat melayani pembayaran zakat44
.
Berangkat dari beberapa penelitian yang penulis temukan yang memiliki
tema penelitian serupa, maka penulis yakin bahwa penelitian yang akan penulis
lakukan dalam konteks pengelolaan zakat oleh masjid di masyarakat berbeda dengan
penelitian lainnya meskipun masih mengkaji tentang amil zakat menurut Undang-
Undang No. 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat, hanya saja penulis akan
fokus pada aspek pemahaman fikih dan hukum positif dari beberapa DKM di
Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan dalam melakukan pengelolaan zakat sebagai
implementasi peraturan pengelolaan zakat tersebut.
Penulis memilih desain penelitian studi kasus agar dapat mendeskripsikan
secara holistik serta mengeksplor lebih detail dan komprehensif objek penelitian
melalui berbagai macam sumber seperti observasi, wawancara, dan dokumen.
F. Metodologi Penelitian
Penelitian ini akan mengungkap sisi kepatuhan hukum pengelolaan zakat
yang dilakukan di beberapa masjid di Kecamatan Pancoran sebagai implementasi
undang-undang No. 23 tahun 2011, dilengkapi kajian mengenai maslahat dalam
pengelolaan zakat yang dilakuukan. Adapun hal-hal yang berkaitan dengan metode
penelitian akan dijelaskan dalam pembahasan berikut:
1. Desain Penelitian
Penelitian ini termasuk ke dalam jenis penelitian hukum normatif-empiris
(applied law research) yaitu gabungan antara dua jenis penelitian hukum yang
menjadikannya sebagai sebuah penelitian hukum terapan. Penelitian jenis ini
berusaha mengkaji implementasi ketentuan hukum positif di masyarakat. Penelitian
43
Edi Wijayanto, Kepatuhan Masjid-Masjid di Tangerang Selatan terhadap Undang-
Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (Jakarta:Tesis Magister FSH UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019) 44
Adamu Ummulkhayr, dkk “Determinants of Zakat Compliance Behavior among Muslim
Living under Non-Islamic Goverments” International Journal of Zakat 2, no.1 (2017) 95-
108.
15
ini memiliki dua tahapan. Pertama, kajian mengenai hukum normatif yang berlaku
dan kedua, penerapannya pada peristiwa hukum yang terjadi di masyarakat45
.
Dalam penelitian ini penulis fokus pada implementasi undang-undang yang
bersifat normatif, kemudian dilengkapi penelitian lapangan tentang pengelolaan
zakat di masjid yang bersifat empirik.
2. Sifat Penelitian
Penelitian hukum normatif-empiris ini bersifat deskriptif (descriptive legal
study) karena pada dasarnya memaparkan kajian tentang hukum normatif mengenai
undang-undang tentang pengelolaan zakat serta implementasinya oleh masjid-masjid
yang masih mengelola zakat.
Penelitian hukum deskriptif bertujuan untuk memperoleh gambaran
(deskripsi) lengkap tentang keadaan dan kondisi hukum yang berlaku di tempat pada
suatu daerah dan waktu tertentu atau mengenai gejala yuridis tertentu yang terjadi di
masyarakat.
3. Pendekatan Penelitian
Pada penelitian tesis ini, penulis menggunakan pendekatan studi kasus yaitu
menjadikan pengelolaan zakat oleh masjid-masjid sebagai kasus (objek kajian
utama) dipandang dari segi implementasi undang-undang pengelolaan zakat. Kasus
yang diteliti adalah praktik masjid perkotaan yang mengelola zakat tetapi tidak
menyesuaikan dengan hukum positif yang ada.
4. Jenis Data dalam Penelitian Hukum
Dalam penelitian hukum ada dua jenis data yang bisa digunakan oleh
peneliti yaitu data primer dan sekunder.
Data primer adalah data yang diperoleh peneliti melalui penelitian langsung,
Sedangkan data sekunder adalah data yang sudah siap pakai dan biasanya berupa
dokumen-dokumen terkait penelitian46
.
5. Teknik Pengumpulan Data dan Informan
a. Teknik Pengumpulan Data Primer
Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan 2 teknik pengumpulan data
primer, yaitu observasi dan wawancara.
45
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
2004), 52. 46
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
2004), 40.
16
Wawancara yang digunakan adalah wawancara terstruktur, penulis telah
menentukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat terbuka, lalu narasumber dengan
leluasa bisa menjawab dengan penjabaran dan penjelasannya masing-masing.
Menurut Singarimbun wawancara adalah salah satu teknik pengumpulan
data yang terpenting dalam kaitannya dengan penelitian yang melibatkan pihak-
pihak utama sebagai sumber data yang memberikan informasi tentang penelitian dan
hal tersebut hanya mungkin didapatkan melalui proses wawancara47
b. Narasumber Penelitian
Pihak-pihak yang nantinya penulis wawancarai untuk memberikan
informasi terkait penelitian ini penulis anggap mampu menguasai dan memahami
data, informasi, ataupun fakta dari suatu objek penelitian.
Dalam menentukan narasumber, penulis mempertimbangkan keterikatan
informan terhadap aturan-aturan yang ada tentang zakat dan masjid, sehingga
kombinasi informasi yang penulis dapatkan akan tersaji dalam beberapa sudat
pandang narasumber menanggapi pengelolaan zakat oleh masjid-masjid yang
notabene belum memenuhi aturan yang ada.
Narasumber dalam penelitian ini adalah pihak-pihak berikut:
1) Beberapa DKM di Kecamatan Pancoran:
a) Masjid Jami at-Taubah di Kelurahan Pancoran
b) Masjid Jami an-Nur di Kelurahan Durentiga
c) Masjid al-Munawwar di Kelurahan Pancoran
d) Masjid al-Muawanah di Kelurahan Pancoran
e) Masjid Arrohmaanurrohim di Kelurahan Pancoran
f) Masjid Nurullah di Kelurahan Rawajati
2) Kepala bagian UPZ BAZNAS.
3) Dewan Masjid Indonesia Kecamatan Pancoran,
4) Kepala KUA Kecamatan Pancoran,
5) Bimas Islam dan Penyelenggara Syariah Kementerian Agama Kota
Jakarta Selatan,
6) Kasubdit Kelembagaan dan Informasi Zakat dan Wakaf Dirjen
Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama, dan
7) Kasubdit Kemasjidan Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam
Kementerian Agama.
c. Teknik Pengumpulan Data Sekunder
Penelitian ini adalah gabungan dari penelitian hukum normatif dan hukum
empiris yang juga butuh data sekunder selain data primer. Dalam teknik
pengumpulan data sekunder penulis menggunakan studi kepustakaan. Studi
kepustakaan dilakukan dengan mengkaji informasi tertulis dari sumbernya yang
dapat berupa undang-undang, hasil putusan hakim pengadilan (yurisprudensi),
47
Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metodologi Penelitian Survei (Jakarta: Pustaka
LP3ES, 2008), 192.
17
laporan penelitian hukum, buku ilmu huku, serta tinjauan hukum48
. Informasi tertulis
dari sumber ini disebut bahan hukum.
Data sekunder yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
yang ditetapkan pada tanggal 25 November 2011;
2) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 86/PUU-X/2012 tentang
Pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat terhadap Undang-Undang Dasar
NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945 yang ditetapkan pada
tanggal 28 Februari 2013;
3) Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
yang ditetapkan pada tanggal 14 Februari 2014;
4) Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2014 tentang Optimalisasi
Pengumpulan Zakat di Kementerian/Lembaga, Sekretaris Jenderal
Lembaga Negara, Sekretariat Jenderal Komisi Negara, Pemerintah
Daerah, Badan Usaha Milik Negara,dan Badan Usaha Milik
Daerah melalui Badan Amil Zakat Nasional yang ditetapkan pada
tanggal 23 April 2014;
5) Keputusan Menteri Agama No. 333 Tahun 2015 tentang Pedoman
Pemberian Izin Pembentukan Lembaga Amil Zakat yang
ditetapkan pada tanggal 06 November 2015;
6) Peraturan Menteri Agama No. 52 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Pengenaan Sanksi Administratif dalam Pengelolaan Zakat yang
ditetapkan pada tanggal 29 Januari 2016;
7) Peraturan Menteri Agama No. 34 Tahun 2016 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Kantor Urusan Agama Kecataman yang ditetapkan
pada tanggal 26 Agustus 2016;
8) Peraturan Badan Amil Zakat Nasional No. 2 Tahun 2016 tentang
Pembentukan dan Tata Kerja Unit Pengumpul Zakat yang
ditetapkan pada tanggal 15 November 2016;
9) Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam No.
DJ.II/802 Tahun 2014 tentang Standar Pembinaan Manajemen
Masjid yang ditetapkan pada tanggal 02 Desember 2014.
6. Teknik Analisis Data
Data yang telah terkumpul lalu dianalisis dengan cara menyederhanakan
data agar mudah dibaca dan dipahami serta diinterpretasikan. Interpretasi dilakukan
dengan cara membandingkan hasil analisis dengan kesimpulan peneliti lain dan
48
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
2004), 82.
18
menghubungkan lagi hasilnya dengan teori49
. Penulis menggunakan analisis data
kualitatif dalam penelitian ini karena sifatnya yang sama dengan penelitian hukum
normatif-empiris.
a. Analisis Data Kualitatif
Jenis analisis ini sudah mulai diterapkan semenjak peneliti belum memasuki
lapangan, selama berada di lapangan, dan pasca penelitian di lapangan. Miles dan
Huberman sebagaimana yang dikutip oleh Sugiyono mengemukakan bahwasanya
proses analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung terus
menerus hingga selesai, sampai datanya jenuh50
.
Penelitian ini menggunakan teknik analisis data yang dikembangkan oleh Miles dan
Huberman, yaitu data reduction, data display, dan conclusion drawing/verivication.
1) Reduksi Data
Proses reduksi data adalah proses berpikir sensitif yang
membutuhkan kecerdasan serta wawasan yang tinggi. Dalam proses
reduksi data, setiap peneliti diarahkan untuk mencapai tujuan
penelitiannya, yaitu menemukan temuan pada penelitian
kualitatif.51
.
2) Penyajian Data
Ketika reduksi data telah selesai dilakukan, maka langkah
selanjutnya adalah mendisplay data. Penelitian kualitatif
menampilkan data dengan cara penyajian dalam bentuk uraian
singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya.
Miles dan Huberman sebagaimana yang dikutip oleh Sugiyono
mengatakan bahwa penyajian data dalam bentuk teks naratif paling
sering digunakan oleh peneliti dalam penelitian kualitatif52
.
3) Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi
Setelah reduksi data dan penyajian data selesai dilakukan, langkah
berikutnya yang harus dilakukan dalam analisis data oleh setiap
peneliti adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi sebagaimana
dijelaskan Miles dan Hubeman. Kesimpulan yang akan diambil
pada tahap ini masih bersifat sementara dan dapat berubah jika
kemudian ditemukan bukti-bukti kuat yang mendukung pada tahap
pengumpulan data, tetapi jika kesimpulan awal didukung oleh data-
data yang valid maka kesimpulan yang dikemukakan adalah
kesimpulan yang kredibel. Pengambilan kesimpulan dan verifikasi
49
Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metodologi Penelitian Survei (Jakarta: Pustaka
LP3ES, 2008), 263-264. 50
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2009),
246. 51
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2009),
247. 52
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2009),
249.
19
disajikan dalam bentuk deskripsi dengan pemahaman interpretasi
logis53
.
G. Sistematika Penulisan
Tesis ini akan memuat beberapa hal yang lebih jelasnya akan dijabarkan
secara umum dalam sitematika penulisan berikut:
Bab I Pendahuluan, dalam bab awal ini penulis akan menyajikan latar
belakang, permasalah, tujuan dan kegunaan penelitian, penelitian terdahulu yang
relevan, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II berisi kerangka teori tentang pembahasan konsep fikih zakat yang
menyangkut pengelolanya, yaitu kewenangan mengelola zakat, amil zakat, tugas
dan kewajiban amil zakat, serta hak amil zakat. Di akhir bab ada pembahasan
tentang kesadaran hukum sebagai landasan penting dalam memahami implementasi
dan pemberlakuan hukum atau peraturan dalam masyarakat serta sosiologi
masyarakat perkotaan yang menggambarkan bagaimana keadaan sosial penduduk di
wilayah perkotaan serta ciri dan klasifikasinya.
Bab III berisi tentang regulasi pengelolaan zakat di Indonesia yang
menjelaskan tentang aturan legal dari undang-undang pengelolaan zakat dan
turunannya, khususnya mengenai posisi masjid dalam hal pengelolaan zakat. Bab ini
memuat pembahasan inti yaitu deskripsi praktik pengelolaan zakat yang dilakukan
oleh beberapa masjid di Kecamatan Pancoran.
Bab IV berisi tentang analisis pemahaman para pengelola zakat dari DKM
terhadap aspek-aspek fikih zakat yang dipaparkan dalam bab 2, juga terhadap
hukum positif pengelolaan zakat.
Bab V adalah penutup yang di dalamnya mencakup kesimpulan dan hasil
penelitian sebagai jawaban rumusan masalah yang diajukan serta saran-saran yang
direkomendasikan penulis untuk pihak-pihak yang berkepentingan dengan tema
penelitian ini.
53 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2009),
245-246.
20
BAB II
KONSEP FIKIH ZAKAT DAN KESADARAN HUKUM
MASYARAKAT PERKOTAAN
Bagian ini akan menjelaskan tentang konsepsi fikih zakat mengenai aspek-
asek yang berkaitan dengan praktik pengelolaan zakat di masjid di antaranya
mengenai kewenangan mengelola zakat, tugas dan hak amil, serta prinsip
pengelolaan zakat. Di akhir bab ini penulis menyertakan juga pembahasan mengenai
kesadaran hukum sebagai konsepsi mengenai proses implementasi suatu peraturan
di masyarakat.
A. Kewenangan Mengelola Zakat
Zakat merupakan ibadah wajib umat Islam yang merupakan salah satu rukun
Islam. Ibadah zakat adalah salah satu ibadah multidimensi yang berkaitan dengan
banyak hal, selain sebagai bentuk penghambaan manusia kepada Allah swt. zakat
pun memiliki peran penting di masyarakat, yaitu sebagai sarana menciptakan
keadilan sosial dan pembangunan ekonomi umat.
Kata zakat berasal dari bahasa Arab yang artinya bersih, suci, baik, tumbuh,
dan berkembang54
. Makna itu sesuai dengan tujuan dan hikmah syariat zakat, yaitu
sebagai cara membersihkan dan menyucikan diri serta harta seorang muslim,
mengeluarkan sebagian harta sebagai hak orang lain agar menumbuhkan kebaikan,
dan agar harta zakat berkembang dengan kemanfaatan-kemanfaatan yang luas.
Pengelolaan zakat dalam sejarah Islam mengalami pergeseran kewenangan.
Setidaknya ada 2 persepsi yang berkembang mengenai kewenangan mengelola zakat
ini, yaitu kewenangan pemerintahan Islam dan masyarkaat muslim pada umumnya.
Di masa awal Islam, zakat dikelola langsung oleh Rasulullah saw ataupun
melalui petugas yang beliau tunjuk55
. Praktik pengelolaan zakat pada masa awal ini
terkonsep dari isi ayat Alquran surat al-Taubah ayat 103 yang menjelaskan secara
eksplisit bahwasanya Nabi diperintahkan untuk “mengambil” sedekah wajib yaitu
zakat dari harta kaum muslimin.
54
Jama>luddi>n ibn al-Manz{u>r, Lisa>n al-‘Arab (Beiru<t: Da>r S{a>dir, 1993) juz 14, 358. Lihat
juga Majduddi>n al-Fairu>za>ba>di>, al-Qa>mu>s al-Muh}i>t} (Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 2005)
1292. 55
Hal tersebut bisa diketahui dari beberapa hadis yang menjelaskan bahwa ada sahabat yang
diutus Nabi pada daerah tertentu khusus untuk mengumpulkan zakat dari umat muslim.
Seperti Hadi Mu‟adh bin Jabal yang diutus ke Yaman untuk mengumpulkan zakat hewan
ternak. Lihat Ah{mad ibn H{anbal, Musnad al-Ima>m Ah{mad bin H{anbal (Beirut: Muassasah
al-Risa>lah, 2001), no hadis 22129. Abu> Bakr al-Baihaqi>, al-Sunan al-Kubra> (Beirut: Da>r
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003), no hadis 7827 dan 18664.
21
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah
Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (QS. Al-Taubah: 103)
Imam al-T{abari> (w. 310H/ 923M) dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat
ini pada awalnya turun sebagai respon terhadap beberapa sahabat Nabi yang telah
melakukan kesalahan karena tidak ikut dalam perang Tabuk. Sebagai bentuk
penyesalan mereka atas hal tersebut, mereka mengikat diri di tiang-tiang masjid
serta membawa harta mereka seraya meminta Rasulullah untuk bersedekah
dengannya kemudian mendoakan dan memintakan mereka ampunan kepada Allah
swt. Rasulullah tidak serta merta mengabulkan permintaan mereka, karena belum
ada perintah yang ditunjukkan kepada beliau hingga akhirnya turunlah ayat tersebut
sebagai jawaban atas permintaan para sahabat tersebut56
.
Dalam tafsir Ibnu Abbas, dijelaskan bahwa konteks ayat zakat ini dimulai
dari ayat ke-100 surat al-Taubah hingga ayat ke-106 yang menceritakan mengenai
sebagian perlakuan orang munafiq Madinah57
yang tidak ingin ikut pergi berjihad
dalam perang Tabuk pada bulan Rajab tahun ke-9 Hijriah58
. Di antara perilaku
khianat yang dilakukan itu ada beberapa sahabat yang akhirnya menyesali
perbuatannya dan bertaubat59
sedangkan lainnya tidak60
.
Ayat-ayat tersebut meskipun sebabnya khusus, tetapi hukumnya menjadi
umum61
bahwa setiap muslim wajib diambil sebagian hartanya sebagai zakat untuk
membersihkan dosa-dosa mereka dan mensucikan jiwa mereka. Memaknai frasa
“ambillah” mengindikasikan bahwasanya zakat memang sejatinya diambil dari
orang-orang muslim -yang sudah memenuhi syarat- oleh petugas yang telah tertentu,
dalam hal ini adalah al-Amil.
Makna berzakat bisa lebih mendalam jika dikaitkan dengan peristiwa yang
melatarbelakangi ayat zakat ini, bahwasanya zakat ditunaikan sebagai sebuah
pengakuan hamba atas dosa-dosa yang telah diperbuat dan dapat membedakan
kualitas iman seorang muslim yang sejati dengan orang yang terdapat kemunafikan
dalam dirinya.
56
Abu> Ja’far Muh{ammad ibn Jari>r al-T{abari>, Ja>mi’ al-Baya>n Fi> Ta’wi>l al-Qur’a>n (Beirut:
Muassasah al-Risa>lah, 2000) juz 14, 456. 57
Salah satu pemimpinnya adalah Abdulla>h ibn Ubay. 58
Abd al-Ma>lik ibn Hisha>m, Al-Si>rah al-Nabawiyyah Li ibn Hisha>m (Kairo: Sharikah
Maktabah wa Mat}ba’ah Must}afa> al-H{albi> wa Aula>duhu, 1955) juz 2, 515. 59
Mereka adalah Wadi>’ah ibn Jadha>m al-Ans}a>ri>, Abu> Luba>bah ibn Abd al-Mundhir al-
Ans}a>ri>, dan Abu> Tha’labah. Pengakuan salah dan pertaubatan mereka ada dalam Alquran
surat al-Taubah ayat 102. Lihat Majduddi>n al-Fairu>za>ba>di, Tanwi>r al-Miqba>s min Tafsi>r Ibn ‘Abba>s (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun), 165. 60
Mereka adalah Ka’b ibn Ma>lik, Mara>rah ibn al-Rabi>’, dan Hila>l ibn Umayyah. Lihat
Majduddi>n al-Fairu>za>ba>di, Tanwi>r al-Miqba>s min Tafsi>r Ibn ‘Abba>s (Bairut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun), 166. 61
Dalam kaidah tafsir dikenal dengan al-‘Ibratu bi ‘Umu>m al-Lafz} La> bi Khus}u>s} al-Sabab.
Jala>luddi>n al-Suyu>t}i>, al-Itqa>n Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Kairo: al-Hai’ah al-Mis{riyyah al-
‘A<mmah Li al-Kita>b, 1974) juz 1, 110; Manna>’ ibn Khali>l al-Qat}t}a>n, Maba>hith Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Riya>d{:Maktabah al-Ma‘a>rif, 2000), 82-83.
22
Praktik zakat yang tersentral ini terus berlangsung pada masa al-Khulafa>’ al-
Ra>shidi>n, khususnya di bawah kepemimpinan khalifah Abu> Bakr al-S{iddi>q dan
„Umar ibn al-Khat}t{a>b. Tantangan zakat di masa keduanya berbeda, Abu Bakr
disibukkan dengan memberantas paham-paham yang mulai menyimpang dari Islam,
membasmi kemurtadan seperti nabi palsu dan penolakan atas wajibnya membayar
zakat, sedangkan pada masa Umar ibn Khattab suasana internal umat Islam sudah
kondusif dan stabil bahkan kekuasaan Islam telah menjangkau beberapa wilayah di
luar jazirah Arab.
Meskipun demikian, pengelolaan zakat di masa kedua khalifah tersebut
masih terpusat pada pemerintahan Islam, tidak ada pihak lain yang melakukan
pengelolaan zakat, dan semua orang Islam wajib menunaikan zakatnya kepada
pemerintahan khalifah. Apalagi pada masa Umar, banyak dibentuk lembaga-
lembaga baru yang salah satunya adalah Bait al-Mal sebagai lembaga yang
mengurusi keuangan dan dana-dana pemasukan pemerintahan Islam.
Perspektif pelaksanaan zakat mulai berubah ketika kaum muslim berada di
bawah kepemimpinan Uthma>n ibn ‘Affa>n. Pada periode ini ada keputusan penting
yang melatarbelakangi munculnya dualisme kewenangan pengelolaan zakat, yaitu
dibedakannya cara penunaian antara zakat al-Amwa>l al-Z{a>hirah dan al-Amwa<>l al-
Ba>t}inah62
.
Harta-harta zakat yang termasuk ke dalam jenis al-Amwa>l al-Z{a>hirah harus
ditunaikan kepada pemerintahan Islam, sedangkan harta zakat berbentuk al-Amwa<>l
al-Ba>t}inah diserahkan kepada masing-masing muzaki untuk memilih penunaiannya,
bisa melalui amil pemerintahan Islam yang ada atau pun langsung diserahkan
kepada orang-orang yang berhak63
.
Peran negara (dalam hal ini pemerintahan Islam) yang mengelola zakat terus
berlanjut pada masa-masa berikutnya, terutama di dua dinasti kekuasaan Islam
pertama, Dinasti Umawiyyah dan „Abba>siyah. Masih dengan perspektif pengelolaan
zakat yang sama, kaum muslim saat itu memiliki pilihan ke pada siapa mereka
menunaikan zakatnya, kepada pemerintahan khalifah atau langsung kepada orang-
orang yang membutuhkan.
Para Fuqaha64
memerankan fungsi penting dalam legitimasi penunaian zakat
melalui amil pemerintah yang adil misalnya pendapat Fuqaha Hanafiyah65
yang
mewajibkan pembayaran zakat al-Amwa>l al-Z{a>hirah hanya kepada penguasa, atau
62
Istilah al-Amwa>l al-Z{a>hirah adalah untuk harta-harta zakat yang terlihat seperti hewan
ternak dan buah serta sayuran, sedangkan al-Amwa>l al-Ba>t}inah adalah jenis harta zakat
yang tidak terlihat atau tersembunyi, seperti emas, perak, dan barang dagangan. 63
Abu> Zakariyya> Muhyiddi>n al-Nawawi>, al-Majmu>’ Sharh} al-Muhadhdhab (Jeddah:
Maktabah al-Irshad, tanpa tahun) juz 6, 162. 64
Wahbah Must}afa> al-Zuhaili>, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (Damaskus: Dar al-Fikr,
1997), juz 3, 1973-1974. 65
Mazhab H{anafi> didirikan oleh Abu> H{ani>fah al-Nu’ma>n ibn Tha>bit (w. 150H/767 M) di
kota Kuffah Irak di akhir masa pemerintahan dinasti Umawiyyah dan awal „Abba>siyyah.
Mazhab ini penyebarannya paling luas karena dipraktikkan oleh kekaisaran Turki Uthma>ni>
dan Moghul. Mazhab ini dikenal rasionalis dalam pandangan-pandangan fikihnya.
23
amil pemerintah Islam. Menurut pendapat ulama Malikiyyah66
kaum muslim dapat
memilih untuk pembayaran zakat al-Amwa<>l al-Ba>t}inah, bisa kepada penguasa
ataupun langsung kepada mustahik, tetapi mereka menyarankan bahwa zakat al-
Amwa>l al-Z{a>hirah ditunaikan melalui amil pemerintah hanya jika penguasa itu adil.
Pendapatan dua kelompok ulama lainnya lebih fleksibel dalam kaitannya
mengenai al-Amwa>l al-Z{a>hirah dan al-Amwa<>l al-Ba>t}inah. Ulama Shafiiyyah67
membolehkan zakat al-Amwa>l al-Z{a>hirah ataupun al-Amwa<>l al-Ba>t}inah untuk
didistribusikan langsung oleh Muzaki, sementara pendapat ulama Hanabilah
menganjurkan kaum muslim untuk menunaikan semua zakatnya langsung oleh
mereka sendiri, serta boleh juga melalui amil penguasa.
Dalam fikih Shafii penunaian zakat tidak akan terlepas dari salah satu ketiga
cara yang ada, yaitu 1) muzaki langsung menunaikan zakatnya kepada mustahik, 2)
muzaki membayarkan zakatnya kepada penguasa, dan 3) mustahik membayarkan
zakatnya kepada amil zakat yang ditunjuk penguasa68
.
Kepercayaan masyarakat muslim mulai menurun pada amil zakat penguasa
yang ditenggarai akibat praktik penguasa yang korup dan tidak adil69
. Kondisi ini
pada akhirnya berimplikasi pada keputusan umat Islam untuk menunaikan zakat
mereka secara langsung tanpa melalui penguasa. Dengan dinamika yang terus
berubah, pembayaran zakat pada akhirnya dipahami oleh sebagian kalangan muslim
sebagai praktik yang voluntari; sebagai ibadah personal yang berkaitan langsung
antara dia dan Allah swt. Pada tahap ini, ketika penguasa atau pemerintah tidak
terlibat dalam praktik pengelolaan zakat, kaum muslim membayarkan zakatnya
kepada tokoh masyarakat, ulama, dan mustahik zakat secara langsung, begitupun
yang terjadi di Indonesia70
.
B. Amil Zakat
Kata Amil adalah bentuk isim fa‟il yang berasal dari akar kata amila-
ya‟malu-amalan, yang memiliki arti orang yang berkerja. Kata amila memiliki
komposisi huruf yang sama dengan kata alima-ya‟lamu-„ilman, yang artinya
mengetahui. Dalam filosofi bahasa Arab, akar-akar kata yang tersusun dari huruf-
huruf yang sama memiliki arti yang serumpun dan berkorelasi. Oleh karenanya, amil
66
Mazhab Ma>liki didirikan di kota Madinah oleh Ma>lik ibn Anas (w. 179H/ 795M) yang
hidup di masa dua dinasti Umawiyyah dan ‘Abba>siyah. Mazhab ini dikenal dengan prinsip
‘Amalu Ahli Madi>nah yang berorientasi tekstualis. 67
Mazhab Shafi‟i didirikan oleh Muh{ammad ibn Idri>s al-Sha>fi’i> (w. 204H/820M). Pada
masanya, Imam al-Sha>fi’i> pernah berpindah tempat dari Kairo ke Baghdad yang kemudian
merubah beberapa pandangan fikihnya dan melahirkan istilah Qaul Qadim dan Qaul Jadid.
Beliau pernah belajar di Makkah dan Madinah, berguru langsung kepada Imam Ma>lik ibn
Anas. 68
Abu> al-H{asan ‘Ali> ibn Muh{ammad al-Ma>wardi>, al-H{a>wi> al-Kabi>r (Beirut: Da>r al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1999), juz 8, 484. 69
M.A. Shaban, Islamic History: A New Interpretation (Cambridge: Cambridge University
Press, 1971), 17. 70
Amelia Fauzia, Faith and the State : A History of Islamic Philanthropy in Indonesia.
(Leiden: Koninklijke Brill NV, 2013), 53-54.
24
bisa dikembangkan maknanya tidak hanya diartikan sebagai orang yang bekerja,
namun juga disertai ilmu dan pengetahuan serta kecakapan atau keahlian.
Kata Amil yang disandarkan pada zakat berarti lebih spesifik lagi, yaitu
orang-orang yang bekerja untuk kepentingan pengelolaan zakat; atau petugas zakat.
Frase Amil Zakat dalam Alquran dapat ditemukan dalam surat al-Taubah ayat 60
yang menjelaskan tentang golongan-golongan orang yang berhak menerima zakat
(mustahiq) dalam bentuk jamak yaitu al-amilin.
Dalam fikih klasik, amil zakat sering diartikan sebagai orang yang
ditugaskan oleh imam (pemimpin pemerintahan atau negara) untuk mengumpulkan
dan mendistribusikan harta zakat71
. Sejalan dengan definisi tersebut, Yu>suf al-
Qarad{a>wi> juga mendefinisikan amil zakat sebagai orang yang bekerja dalam tata
kelola urusan zakat, baik tugasnya sebagai penghimpun dana, penjaga harta,
pencatat dan penghitung yang mendata muzaki maupun mustahik, serta yang
mendistribusikannya kepada mustahik zakat72
. Qaradawi juga menegaskan
bahwasanya penguasa; suatu pemerintah Islam atau negara wajib mengutus dan
menugaskan para amil untuk mengelola zakat di wilayahnya agar terkoordinasi
dengan baik73
.
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-
orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana” (al-Taubah: 60).
Penyebutan mustahik zakat ini berurutan sesuai dengan prioritas keberhakan
mereka terhadap zakat. Zakat dalam perspektif ekonomi adalah salah satu sarana
pemerataan kekayaan dan kesejahteraan sosial, maka dengannya; seharusnya orang
yang kaya tidak semakin kaya, di saat yang miskin pun semakin sengsara.
Kaum fakir dan miskin adalah penerima manfaat utama dari zakat karena
mereka yang paling membutuhkan, setelah itu, amil zakat yang disebutkan. Hal ini
mengindikasikan bahwasanya Amil pun berhak atas zakat, karena pada prinsip
dasarnya zakat dikumpulkan oleh amil, dikelola, dan didistribusikan kepada
mustahik, atas tugas itulah Amil berhak mendapatkan bagian zakat sebagai upah atas
kerjanya. Oleh karenya, jika seorang amil kaya pun tetap mendapatkan sebagian
dana zakat atas kinerjanya74
.
71
Muh{ammad ibn Qa>sim, Fath{ al-Qari>b al-Muji>b Fi> Sharh} Alfa>dh al-Taqri>b (Beirut: Da>r ibn
H{azm, 2005), 133. 72
Yu>suf al-Qarad{a>wi>, Fiqh al-Zaka>h: Dira>sah Muqa>ranah Li Ah}ka>miha wa Filsafatiha> Fi> D{au’ al-Qur’a>n wa al-Sunnah (Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1973), 579. 73
Yu>suf al-Qarad{a>wi>, Fiqh al-Zaka>h: Dira>sah Muqa>ranah Li Ah}ka>miha wa Filsafatiha> Fi>
D{au’ al-Qur’a>n wa al-Sunnah (Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1973), 580. 74
Wahbah Must}afa> al-Zuhaili>, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (Damaskus: Da>r al-Fikr,
1997), juz 3, 1955.
25
1. Syarat-syarat Amil Zakat
Petugas-petugas yang menjadi Amil zakat ditunjuk dan diangkat oleh
penguasa atau pemerintah Islam dalam konteks kehidupan saat ini adalah negara.
Ada beberapa kriteria dan syarat untuk menjadi Amil Zakat, di antaranya:
a. Muslim. Seorang Amil zakat disyaratkan beragama Islam, karena
pengelolaan zakat merupakan wila>yah kaum muslimin. Al-wila>yah
artinya perwalian atau perwakilan bagi orang-orang muslim yang
menunaikan zakat, oleh sebab itu amil zakat menjadi walinya muzaki
dalam menyampaikan zakat mereka kepada mustahik, dan orang yang
menangani hal semacam ini disyaratkan beragama Islam. Meskipun
demikian, menurut salah satu riwayat Imam Ahmad75
, orang kafir juga
diperbolehkan diangkat menjadi amil zakat karena keumuman lafad “al-
A<mili>na alaiha>” maka muslim dan kafir pun bisa termasuk. Selain itu,
bagian zakat yang didapatkan amil merupakan sebuah upah atas
kerjanya, sehingga tidak ada penghalang bagi kafir untuk mendapatkan
upah tersebut selama dia bekerja dengan sesuai. Ada pula pendapat yang
merincinya, yaitu syarat Islam bagi Amil hanyalah yang bertugas
mengambil zakat dan membagikannya, selain amil yang bertugas pada
dua hal tersebut, maka kafir pun diperbolehkan menjadi amil zakat76
.
b. Mukallaf, yaitu orang yang sudah baligh dan berakal. Syarat yang logis
bagi siapapun yang berkutat dengan pekerjaan, apalagi dalam mengurus
harta zazkat.
c. Jujur dan Amanah. Kedua sifat ini wajib dimiliki oleh Amil Zakat,
karena harta zakat yang dikumpulkan haruslah dicatat, dikelola,
dibagikan, dan dilaporkan secara jujur dan amanah. Tidak boleh ada
sedikitpun dana zakat yang diselewengkan, yang digunakan tidak
sebagaimana mestinya.
d. Mengetahui Fikih Zakat. Ilmu yang wajib dimiliki oleh amil zakat
adalah fikih zakat, ketentuan-ketentuan dasar tentang zakat seperti jenis
zakat, harta-harta yang wajib dizakati, syarat-syarat wajib zakat seperti
nisab dan haul, kadar zakat yang dikeluarkan, serta mampu memastikan
mustahik zakat.
e. Memiliki kekuatan77
. Keharusan seorang amil zakat beragama Islam
Kekuatan yang dimaksud dalam syarat amil zakat ini bisa diartikan
75
Ibnu Qudda>mah al-Maqdisi, Al-Mughni> Li ibn Qudda>mah (Kairo: Maktabah al-Qa>hirah,
1968), juz 2, 653. 76
Abu> Zakariyya> Muhyiddi>n al-Nawawi>, al-Majmu>’ Sharh} al-Muhadhdhab (Jeddah:
Maktabah al-Irshad, tanpa tahun) juz 6, 138. 77
Hanif Luthfi, Siapakah Amil Zakat? (Jakarta: Rumah Fiqh Publishing, 2018), 22-25.
26
kekuatan dari sisi lahiriah yaitu bahwa amil yang bertugas menghimpun,
mendata, membagikan zakat haruslah kuat fisik dan memiliki mobilitas
tinggi. Kekuatan juga dimaksudkan dari segi kekuatan hukum, artinya
petugas-petugas yang mengelola zakat idealnya dibentuk dan disahkan
oleh penguasa -dalam hal ini pemerintah negara- sehingga memiliki
kewenangan yang sah secara hukum dalam pengelolaannya. Kekuatan
hukum pada zaman modern ini sangat diperlukan karena urusan zakat
sudah menyangkut hajat publik dan kaum muslimin secara umum.
Amil di zaman modern ini berbentuk lembaga atau kesatuan manajemen
khusus yang mengelola zakat. Syarat-syarat dasar bagi amil tentu harus dimiliki,
selain itu, yang paling penting juga untuk diperhatikan lembaga amil adalah
membangun dan menciptakan good governance dalam pengelaan zakat mereka78
.
2. Tugas dan Kewajiban Amil Zakat
Amil zakat memiliki perbedaan yang mendasar dengan golongan mustahik
lainnya, karena amil zakat selain menjadi mustahik juga menjadi petugas dan
pengelola zakat sebagai bentuk atas kewajiban dan haknya. Ketika kewajiban-
kewajiban dan tugas amil zakat telah dilaksanakan, barulah mereka berhak
mendapatkan bagian dari zakat yang dikumpulkan, tentunya setelah bagian zakat
untuk fakir dan miskin dibagikan.
Hal yang harus kita pahami dengan benar adalah bahwasanya amil zakat
tidak hanya terdiri dari satu atau dua orang saja, melainkan satu kesatuan kelompok
dan tim yang khusus menangani pengelolaan zakat dan hal-hal yang berkaitan
dengannya. Setiap anggota amil zakat pasti memiliki tugas dan fungsinya masing-
masing, misalkan sebagai penghimpun zakat, pembagi atau pendistribusi zakat,
penghitung zakat, dan penjaga harta zakat.
Tugas dan kewajiban utama amil zakat sederhananya hanya mencakup 2 hal,
yaitu: menghimpun dana zakat dari muzaki dan mendistribusikan dana zakat kepada
mustahik, akan tetapi banyak fungsi pendukung yang juga harus dilakukan sebagai
tugas amil seperti fungsi pendataan, pencatatan, dan pelaporan kegiatan pengelolaan
zakat79
.
Selain itu, amil zakat juga wajib untuk mendoakan muzaki ketika
menunaikan zakatnya. Dengan kapabilitas ilmu pengetahuan tentang fikih zakat
yang dimiliki amil, dia bisa menuntun muzaki dalam proses penunaian zakat,
misalnya dengan mengingatkan lagi niat berzakat, memastikan perhitungan zakatnya
sesuai, menentukan zakat atas orang tertentu dalam zakat fitrah, dan lain sebagainya.
78
Ahmad Fadil, “Good Governance Zakat di Indonesia” Al-Iqtishadi 2 no. 1 (2015): 81-98. 79
Yu>suf al-Qarad{a>wi>, Fiqh al-Zaka>h: Dira>sah Muqa>ranah Li Ah}ka>miha wa Filsafatiha> Fi>
D{au’ al-Qur’a>n wa al-Sunnah (Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1973), 580-581.
27
3. Hak Amil atas Zakat
Sebagaimana yang telah ditentukan dalam surat al-Taubah ayat 60 yang
menyebutkan 8 golongan penerima zakat atau mustahik, amil adalah salah satunya.
Oleh karenanya, amil pun berhak menerima bagian dari dana zakat.
Mengenai bagian-bagian yang didapatkan oleh para mustahik zakat para
ulama berbeda pandangan. Imam Sha>fi‘i> berpendapat bahwa zakat harus
ditasarufkan atau dibagikan kepada semua mustahik80
artinya setiap golongan
mendapatkan jumlah yang sama yaitu 1/8 bagian. Atas dasar adanya kesamaan
bagian para mustahik zakat, amil zakat pun berhak mendapatkan bagian yang sama
yaitu sebanyak 1/8. Jika amil zakat tersebut digaji lebih dari 1/8, maka harus diambil
dari sumber dana lain, misalkan baitul mal.
Jumhur ulama (H{anafiyyah, Ma>likiyyah, H{ana>bilah) berpendapat bahwa
zakat boleh dibagikan kepada 1 golongan saja, bahkan kepada 1 orang dari golongan
tersebut81
. Meskipun demikian, skala prioritas tetap digunakan, yaitu mendahulukan
zakat bagi golongan mustahik yang paling membutuhkan; fakir dan miskin.
C. Prinsip Pengelolaan Zakat
Pengelolaan zakat adalah satu kesatuan proses yang terjadi dalam kegiatan
zakat, mulai dari penghimpunan dana, pencatatan, pendistribusian, dan
pendayagunaan. Zakat dikelola dengan berpedoman pada prinsip-prinsip yaitu:
1. Sesuai dengan Syariat Islam
Zakat yang dikelola haruslah sesuai dengan syariat Islam. Ketentuan-
ketentuan yang telah ada dalam Alquran dan hadis yang menerangkan zakat harus
dilaksanakan. Tidak hanya itu, penting juga untuk memastikan bahwasanya
pengelolaan zakat yang dilakukan benar-benar bertujuan untuk kemaslahatan umat,
karena setiap ibadah pasti memiliki tujuan dan maksud yang ditetapkan syari
(pemberi syariat; Allah swt. dan Rasul-Nya) atau yang sering dikenal dengan istilah
Maqa>s}id al-Shari>‘ah82
.
80
Burha>n al-Di>n Ibra>hi>m ibn Muh}ammad Abu> Ish{a>q, al-Mubdi‘ Sharh} al-Muqni‘ (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997) juz 2, 417. 81
Wahbah Must}afa> al-Zuhaili>, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (Damaskus: Da>r al-Fikr,
1997), juz 3, 1950. 82 Eksistensi Maqa>s}id al-Shari>‘ah telah ditemukan sedari zaman Rasulullah saw. karena
memang terkandung dalam ayat Alquran dan hadis, kemudian berlanjut ke zaman sahabat
dengan menetapkan beberapa keputusan baru yang belum ada ketentuannya, misalkan
pengumpulan ayat-ayat Alquran pada zaman Abu Bakar (sesuai dengan hifz al-din dengan
upaya menjaga sumber agama). Perkembangan ilmu Maqa>s}id al-Shari>‘ah terus berlangsung
di periode berikutnya, hingga beberapa ulama menulis karya khusus mengenainya, di antara
kitab pionir Maqa>s}id al-Shari>‘ah adalah Mah{a>sin al-Shari>‘ah karya Abu> Bakr Muh}ammad
bin ‘Ali> bin Isma>’i>l al-Sha>shi> (w. 365H/976M), al-Burha>n Fi> Us}u>l al-Fiqh karya Abd
al-Malik bin ‘Abdulla>h bin Yu>suf al-Juwaini> (w. 478/1085M), al-Mustas}fa> min ‘Ilmi al-Us}u>l karya Abu> H{a>mid Muh{ammad al-Ghaza>li (w. 505H/1111H), al-Mah}s}u>l Fi ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh
28
2. Maslahat dalam Pendayagunaan
Zakat dikelola dengan selalu mempertimbangkan maslahat umat, karena
salah satu fungsi zakat adalah sebagai tiang ekonomi umat Islam. Dana zakat yang
dihimpun berasal dari umat Islam, maka maslahat yang timbul dari pengelolaan dan
zakat tersebut harus pula kembali kepada umat Islam, khususnya bagi para mustahik
yang memang membutuhkan.
Harta zakat tidak boleh disia-siakan seperti halnya disimpan saja, tetapi jika
harta zakat ingin dikembangkan dengan model-model pendayagunaan yang
produktif maka tentu saja hal ini merupakan ijtihad yang baik dilakukan dalam
memaksimalkan nilai dan kemanfaatan harta zakat bagi para mustahik.
3. Keadilan dan Pemerataan
Zakat harus dikelola dengan adil dan dibagikan secara merata kepada
mustahik. Adil yang dimaksud adalah proporsional dalam pengelolaan juga
pendistribusian. Golongan mustahik dari fakir dan miskin harus diutamakan dalam
pendistribusian zakat, karena kebutuhan mereka mendesak untuk keberlangsungan
hidup sehari-hari.
Pemerataan distribusi zakat juga harus dipastikan, jangan sampai zakat
dibagikan ke segelintir orang saja sedangkan masih ada fakir miskin yang belum
mendapatkan haknya atas zakat tersebut. Bahkan tidak boleh memindahkan
pendistribusian zakat ke wilayah lain selama masih ada mustahik zakat di wilayah
tersebut83
, hal ini tentu untuk memastikan pemerataan distribusi zakat.
4. Akuntabilitas
Pegelolaan zakat harus akuntabel, terpercaya, dan transparan. Prinsip ini
penting terutama di zaman yang sudah modern dan sangat menuntut keterbukaan
informasi. Tata kelola yang akuntabel banyak dinilai dari transparansi informasi
pengelolaan zakat tersebut. Misalnya, dari siapa saja dana zakat dihimpun, kepada
karya Muh{ammad bin ‘Umar bin al-H{usain Fakhruddi>n al-Ra>zi> (w. 606H/1210M), al-Ih{ka>m Fi> Us}u>l al-Ah}ka>m karya Abu> al-H{asan Sayf al-Di>n al-A<midi> (w. 631H/1233M), Qawa>’id al-Ah}ka>m Fi> Mas{a>lih} al-Ana>m karya ‘Izzuddi>n ‘abd al-Sala>m (w. 660H/1262M), al-Furu>q : Anwa>r al-Buru>q Fi> Anwa>’ al-Furu>q karya Shiha>b al-Di>n Abu> ‘Abba>s Ah{mad bin Idri>s al-
Qara>fi> (w. 684H/1285M), al-Ta’yi>n Fi> Sharh{ al-Arba’i>n karya Najmuddi>n Sulaima>n bin
‘Abd al-Qawi> al-T{u>fi> (w. 716H/1316M), sampai pada kitab al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>l al-Shari>’ah karya Abu> Ish{a>q al-Sha>t}ibi> (w. 790H/1388M) yang merupakan kitab yang
komprehensif dan otoritatif pertama tentang pembahasan Maqa>s}id al-Shari>‘ah yang
menjadikannya cabang ilmu tersendiri. Ulama kontemporer juga mengarang beberapa kitab
mengenai Maqa>s}id al-Shari>‘ah yang mengembangkan pemikiran-pemikiran pendahulunya,
di antaranya Maqa>s}id al-Shari>’ah al-Isla>miyyah karya Muh{ammad al-T{a>hir bin ‘A<shu>r (w.
1394H/1973M), Maqa>s}id al-Shari>‘ah wa Maka>rimuha > karya Muh{ammad ‘Ala>l al-Fa>si> (w.
1350H/1974M) Naz}ariyyatu al-Maqa>s}id ‘inda al-Ima>m al-Sha>t}ibi> karya Ahmad Al-Raisuni. 83
Jumhur Ulama dari 4 mazhab tidak memperbolehkannya. Lihat Wahbah Must}afa> al-
Zuhaili>, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1997), juz 3, 1977.
29
siapa saja zakat itu dibagikan, data-data tersebut akan lebih terpercaya jika
didokumentasikan dalam bentuk laporan-laporan tertulis.
Kepercayaan muzaki kepada amil zakat tentu berbanding lurus dengan
tingkat akuntabilitas pengelolaan zakat yang dilakukan. Semakin kinerja pengelola
zakat akuntabe dan terpercaya serta transparan, maka kepercayaan muzaki pun akan
meningkat kepada pengelola zakat tersebut. Hal sederhana yang sering kali luput
dari pengelolaan zakat adalah memberikan laporan pada muzaki bahwasanya
zakatnya sudah didistribusikan ke mustahik, padahal hal semacam ini tentu berkesan
kepada muzaki dan juga meningkatkan akuntabilitas pengelola zakat itu sendiri.
D. Kesadaran Hukum
Dalam perspektif ilmu hukum, suatu peraturan dikatakan efektif jika nilai-
nilai yang dikandungnya sejalan dengan nilai intrinsik yang dianut oleh masyarakat
sebagai kelompok yang menjalankan peraturan tersebut. Kesesuaian nilai-nilai
tersebut akan terimplementasi dalam internalisasi perilaku hukum yang sesuai
aturan, dengan demikian hukum tersebut telah efektif terlaksana oleh masyarakat.
Sadar secara bahasa berarti insyaf, merasa tahu, dan mengerti. Menyadari
sesuatu berarti mengetahui dan mengerti, oleh karenanya kesadaran juga berarti
keinsyafan, keadaan mengerti dan mengetahui. Kesadaran hukum secara makna
sempit dapat diartikan sebagai apa yang diketahui orang tentang apa yang harus
dilakukan demi hukum, dan apa yang tidak harus dilakukan. Basis kesadarannya
adalah hukum, biasanya yang dimaksud hukum adalah hukum tertulis yang tertuang
dalam peraturan-peraturan84
.
Kesadaran hukum dapat berbeda aktualisasinya dalam bidang spiritual dan
non-spiritual. Pada bidang spiritual; keyakinan menjalankan ajaran agama,
kesadaran hukum cenderung lebih berperan, sedangkan pada bidang non-spiritual
atau netral, ada kecenderungan kuat bahwasanya kesadaran hukum harus dibentuk
oleh kalangan hukum melalui aturan dan perundang-undangan85
.
Kesadaran hukum akan sulit untuk timbul manakala nilai-nilai yang tertulis
pada hukum atau suatu peraturan merupakan nilai-nilai baru yang tidak sama dengan
apa yang telah dipraktekkan masyarakat. Ini adalah konsekuensi logis yang bisa
terjadi, karena salah satu tujuan hukum adalah sebagai alat rekayasa sosial (social
engineering tool) yang mengarahkan masyarakat kepada norma dan nilai yang
dikehendaki sebagai wujud implementasi dari peraturan dan hukum yang tertulis.
Hal ini tidak bisa dilepaskan dari kehendak pemerintah untuk menjalankan dan
memberlakukan kebijakan-kebijakannya melalui peraturan-peraturan yang
diundangkan, sehingga sangat mungkin terjadinya kondisi-kondisi baru untuk
merubah sesuatu yang telah ada di masyarakat86
.
84
Puji Wulandari Kuncorowati, “Menurunnya Tingkat Kesadaran Hukum Masyarakat
Indonesia” Jurnal Civics 6, no.1 (2009): 60-75. 85
Soerjono Soekanto, "Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum." Jurnal Hukum &
Pembangunan 7. no. 6 (1977): 462-470. 86
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Pembaruan Sosial, (Bandung: Alumni, 1979), 144.
30
Dalam tataran praktisnya, hukum yang mengusung pembaruan nilai-nilai
tidak serta merta akan mudah dipatuhi, apalagi hukum tersebut tidak sesuai dengan
nilai yang sudah tumbuh di masyarakat. Anggota masyarakat akan lebih mudah
menjalankan kesadaran hukum yang ia yakini, apa yang dikehendaki oleh aturan-
aturan baru nampaknya tidak mudah diwujudkan. Lain halnya jika peraturan yang
dibuat bertujuan untuk memberikan dasar hukum atas nilai-nilai yang telah
dipraktekkan oleh masyarakat, tentu dalam kondisi ini kesadaran hukum masyarakat
tidak akan bermasalah, karena sedari awal isi-isi aturan hukum tersebut telah
menyatu dengan masyarakat87
.
Menurut Kutchinsky yang dikutip oleh Soekanto, ada empat (4) faktor yang
mempengaruhi kesadaran hukum. Keempat hal ini memiliki andil penting dalam
mewujudkan kesadaan hukum secara bertahap, yaitu: pengetahuan tentang
peraturan-peraturan hukum (law awareness), pengetahuan tentang isi peraturan-
peraturan huku (law acquaintance), sikap terhadap peraturan-peratuan hukum (legal
attitude), dan pola perilaku hukum (legal behaviour)88
.
1. Pengetahuan tentang Peraturan (Law Awareness)
Pengetahuan tentang peraturan hukum bisa dianggap sebagai hal dasar yang
dapat melandasi kesadaran hukum. Secara logis, seseorang tidak mungkin akan
sadar terhadap sesuatu yang tidak dia ketahui, begitu pula terhadap hukum.
Meskipun pengetahuan hukum itu menjadi dasar atas kesadaran hukum,
kenyataannya belum tentu kesadaran hukum itu mengantarkan individu kepada
sikap menaati dan mematuhi hukum dan peraturan tertentu. Hanya sebatas tahu,
tidak menjamin kepatuhan dan ketaatan terhadap hukum.
2. Pengetahuan tentang Isi Peraturan (Law Acquaintance)
Tingkat kesadaran hukum akan lebih matang jika dilandasi pula oleh
pengetahuan tentang isi peraturan-peraturan hukum. Satu tingkat lebih dalam,
tahapan ini telah masuk pada pengetahuan esensi-esensi dan nilai serta norma yang
dimuat dalam peraturan-peraturan hukum. Sebagaimana kita tidak bisa menilai isi
buku hanya dari sampulnya saja, isi peraturan hukum pun perlu diketahui untuk
dapat dipahami secara benar dan kemudian dipraktekkan sehingga terciptalah
kepatuhan hukum.
Isi peraturan-peraturan hukum ini tidak akan diketahui masyarakat jika tidak
ada media dan sarana yang mendorong mereka untuk mencari tahu hal tersebut.
Masyarakat yang pernah terlibat langsung dalam implementasi peraturan tertentu
pasti memiliki pengetahuan tentang isi peraturan tersebut, maka dari itu sosialiasasi
peraturan adalah hal yang penting dan harus dilakukan untuk mendukung ke arah
87
Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebagai Telaah Sosiologis (Semarang: Suryadaru Utama,
2005), 113. 88
Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia (Jakarta: PT Raja
Grafindo, 2003), 320-321.
31
efektivitas hukum. Di antara cara memahamkan masyarakat tentang peraturan
adalah mengadvokasi mereka dan memberikan penyuluhan hukum89
.
3. Sikap terhadap Peratuan Hukum (Legal Attitude)
Pengetahuan dan pemahaman terhadap isi peraturan terkadang tidak selalu
selaras dengan sikap yang dibangun terhadap peraturan tersebut. Ketidakselarasan
hal ini sangat dipengaruhi oleh perspektif individu, setiap orang dapat berbeda sikap
dalam menanggapi suatu hal, meskipun pada intinya peraturan berusaha
menyeragamkan. Sikap terhadap peraturan-peratuan hukum dapat berupa sikap
positif; penerimaan atau sikap negatif; penolakan atas isi peraturan tersebut.
Sikap positif terhadap peraturan-peraturan telah mengandung kesadaran
hukum dan terbukti juga menyebabkan kepatuhan terhadap peraturan, sebagaimana
hasil penelitian yang dilakukan Seokanto (1977) mengenai kepatuhan hukum
peraturan lalu lintas dan angkutan jalan raya90
.
4. Pola Perilaku Hukum (Legal Behaviour)
Pada akhirnya, tahapan-tahapan itu akan terimplementasi dalam tingkah
laku dan kebiasaan yang didasari dan dibangun atas kesadaran hukum, yang disebut
pola perilaku hukum (legal behaviour). Pola yang akan muncul setidaknya ada 2,
sebagai hasil dari penerimaan ataupun penolakan, yaitu pola perilaku yang
mematuhi isi peraturan, dan pola perilaku yang tidak mematuhi atau melanggar isi
peraturan.
Dengan demikian, meskipun kesadaran hukum dimiliki masyarakat ternyata
tidak serta merta akan mengantarkan mereka pada kepatuhan hukum, karena
beberapa hal yang berbeda menyangkut individu tertentu. Meskipun begitu,
kesadaran hukum masih tetap menjadi dasar penting dalam sebuah perilaku yang
patuh dan taat pada hukum.
Dalam diskusi lanjutan mengenai kesadaran hukum, ada hal penting lainnya
yang menjadikan kesadaran lebih konkrit terimplementasi dalam tataran praktik,
yaitu kepatuhan atau ketaatan hukum. Patuh dan taat hukum memang harus melalui
proses sadar akan hukum, tetapi tidak otomatis kesadaran hukum mengantarkan
seseorang kepada kepatuhan hukum.
Taat dan patuh secara etimologi berarti suka menurut perintah. Dalam
konteks peraturan, makna ketaatan hukum mengacu kepada sikap dan perilaku
hukum yang merespon peraturan tersebut. Kajian mengenai ketaatan hukum oleh
Parker dan Nilsen (2011) dibedakan menjadi 2 pendekatan, yaitu Objectivist dan
Interpretivist.
Pendekatan Objectivist berusaha mengidentifikasi dan menjelaskan
bagaimana, mengapa, dan dalam kondisi seperti apa individu akan mematuhi
89
Muhadi Zainuddin, “Peran Sosialisasi UU Advokat dalam Pemberdayaan Kesadaran
Hukum Masyarakat” Al-Mawardi Journal of Islamic Law 12, no.11 (2004): 91-109. 90
Soerjono Soekanto, "Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum." Jurnal Hukum &
Pembangunan 7. no. 6 (1977): 462-470.
32
peraturan ataupun tidak. Makna utama kepatuhan dalam pendekatan ini adalah
perilaku yang taat dan patuh terhadap peraturan-peraturan. Selain itu, dengan
pendekatan ini kepatuhan juga dibahas dari segi niat individu dalam mematuhi atau
melanggar peraturan. Sementara itu pendekatan Interpretivist berupaya menjelaskan
kepatuhan dalam bentuk yang lebih kompleks, proses transformasi aturan-aturan ke
dalam hal yang nyata dalam realita kehidupan keseharian sesuai interpretasi,
implementasi, dan negosiasi masyarakat yang diatur dalam peraturan tersebut.
Menurut pendekatan kedua ini, kepatuhan dapat diartikan sebagai sebuah makna,
interpretasi, kebiasaan sosial, praktik, interaksi, dan komunikasi antara beberapa
aktor yang terkait dalam proses implementasi peraturan tersebut91
.
Ketaatan hukum dalam kaitannya dengan kesejahteraan sosial sering
diasosiasikan dengan konsep utilitarian, yaitu peraturan akan dilaksanakan ketika
akumulasi keuntungan dan kemanfaatan yang didapatkan individu-individu yang
dikenai aturan tersebut lebih banyak dari pada kerugian atau ketidakmanfaatannya92
.
Dalam perspektif lain, ketaatan hukum dapat diteliti dengan pendekatan
motivasi, sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh May (2004) yang
menjelaskan motivasi kepatuhan terhadap hukum berbasiskan sikap motivasi
Affirmative dan Negative. Motivasi Affirmative berasal dari niat baik dan kesadaran
diri untuk menjalankan kewajiban sesuai aturan hukum sehingga timbul sikap
menyetujui, mematuhi, menaati, dan dapat menjalankan kegiatan tertentu sesuai
regulasi yang ada. Adapun motivasi Negative muncul dari rasa takut akan sanksi
dan konsekuensi yang didapatkan ketika diketahui melanggar hukum atau aturan
yang ada sehingga mau tidak mau mereka akhirnya menaati aturan tersebut93
.
Ada beberapa faktor determinan yang mempengaruhi ketataan pada hukum
dan aturan yaitu lingkungan (environment), sikap masyarakat (citizen attitude),
kepentingan pribadi (self-interest), tekanan kawan (peer pressure), dan penegakan
hukum (enforcement)94
.
Lingkungan menjadi salah satu faktor penting dalam kepatuhan hukum
sebab hukum yang hidup di masyarakat tidak lagi sebatas aturan tertulis, tetapi juga
sebagai norma yang dipraktekkan di masyarakat. Lingkungan yang patuh terhadap
hukum dan aturan tertentu akan menciptakan kondisi yang mendukung
implementasi aturan hukum tersebut, karena setiap individu yang menjadi anggota
masyarakat akan mengaitkan dirinya kepada pandangan masyarakat di lingkungan
tersebut, sehingga ketaatan dan kepatuhannya terhadap hukum juga dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan sekitar.
Dalam kaitannya dengan penelitian ini, masjid di lingkungan perkotaan
yang dipilih sebagai objek penelitian tepatnya di daerah kecamatan Pancoran Jakarta
Selatan. Pembedaan antara lingkungan perkotaan dan perdesaan dalam hal ketaatan
91
Christine Parker dan Vibeke Lehmann Nielsen dalam Peter Drahos (ed), Regulatory
Theory (Canberra:ANU Press, 2017), 218. 92
Steven Shavell, “When is Compliance with the Law Socially Desirable?” The Journal of
Legal Studies 14, no. 1 (2012): 1-36. 93
Peter J. May, “Compliance Motivations: Affirmative and Negative Bases” Law & Society
Review 38, no. 1 (2004): 41-68. 94
Kenneth J. Meier dan David R. Morgan, “Citizen Compliance with Public Policy: The
National Maximum Speed Law” The Western Political Quarterly 35, no. 2 (1982): 258-273
33
dan kepatuhan terhadap hukum adalah kajian tersendiri yang bisa dibahas
mendalam. Ada budaya yang berbeda antara masyarakat yang tinggal di lingkungan
kota dengan masyarakat yang ada di desa.
Perbedaan tersebut akan mudah dipahami jika dijelaskan dengan perspektif
ilmu-ilmu dan teori sosial yang menjadikan masyarakat sebagai lokus utama
kajiannya. Lingkungan tempat tinggal masyarakat memiliki pengaruh yang
signifikan, apalagi jika telah tumbuh budaya hukum yang diilhami oleh masyarakat
itu dan diterapkan dalam keseharian mereka. Masyarakat desa diasosiasikan dengan
masyarakat yang kehidupannya masih tradisional, berorientasi kolektif lebih
mendahulukan kepentingan bersama, berpikir sederhana, memiliki aturan dan norma
yang kebanyakan tidak tertulis tetapi benar-benar dijaga, tidak terbiasa dengan
pembagian tugas yang jelas. Sedangkan masyarakat kota dicirikan dengan
masyarakat yang modern, berorientasi individual tidak bergantung kepada orang
lain, berpikir rasional dan kompleks, sangat terbiasa dengan pembagian tugas yang
jelas. Perbedaan ini tentu berdampak pada ketaatan masyarakat terhadap hukum95
.
Hal yang juga membedakan sikap masyarakat desa dan kota terhadap
hukum adalah bentuk solidaritas sosialnya sebagaimana pendapat Sosiolog; Emile
Durkheim. Masyarakat desa memiliki pola solidaritas mekanik yaitu peran serta
masyarakat sangat tinggi dalam memberikan sanksi dan hukuman terhadap suatu
pelanggaran norma sosial, sementara solidaritas masyarakat kota adalah jenis
solidaritas organik yang tidak didominasi peran masyarakat ketika terjadi suatu
pelanggaran karena mereka berpikir sudah ada badan tertentu yang bertanggung
jawab atas hal itu96
.
Faktor penentu ketaatan hukum berikutnya adalah sikap masyarakat. Dalam
hal ini, kepercayaan masyarakat kepada pemerintah sebagai pembuat undang-
undang dan peraturan mempengaruhi sikap mereka ketaatan mereka. Ketika
masyarakat sudah percaya dan menaruh harapan kepada pemerintah untuk
menjalankan kebijakan-kebijakan yang baik dan bermanfaat bagi mereka, maka
sikap mereka akan bisa selaras dengan peraturan yang dibuat untuk tujuan tersebut.
Berbeda halnya jika masyakarat sudah tidak lagi memiliki kepercayaan kepada
pemerintah ataupun penegak hukum misalnya, maka mereka lebih memilih untuk
mengikuti apa yang mereka yakini dan biasa lakukan, meskipun perbuatan itu tidak
sesuai atau tidak mematuhi peraturan yang ada.
Faktor ini juga bisa dilihat sebagai konsensus masyarakat untuk menerima
atau menolak peraturan dengan sikap mereka. Contoh yang paling sering terjadi
adalah tentang uji coba penutupan jalur lalu lintas. Masyarakat pengguna jalan yang
sudah lama dan terbiasa menggunakan jalur tertentu ketika tiba-tiba jalur itu ditutup
dan harus mencari alternatif jalur lainnya, tentu akan bereaksi dan mengambil sikap.
Apalagi jika ternyata penutupan jalur tersebut alih-alih bertujuan untuk mengurai
kemacetan, malah menimbulkan kemacetan yang lebih parah di titik lainnya, tentu
dalam hal ini pengguna jalan dirugikan dengan makin bertambah lamanya waktu
95
Mifdal Zusron Alfaqi, “Memahami Indonesia melalui Prespektif Nasionalisme, Politik
Identitas, serta Solidaritas” Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan 28, no.2
(2015): 111-116. 96
Emile Durkheim, The Division of Labour in Society (London: Macmillan Press, 1984), 31.
34
tempuh, dan sudah pasti uji coba peraturan ini akan gagal dan tidak dipatuhi oleh
pengguna jalan97
.
Lain dengan sikap kompulan orang, kepentingan pribadi (self-interest)
adalah faktor khusus yang mempengaruhi kepatuhan individu tertentu dalam
kaitannya dengan peraturan. Perspektif kepentingan dalam konteks ini adalah
perkiraan akumulasi selisih keuntungan dari kerugian yang diperhitungkan individu
sebagai konsekuensi jika harus mematuhi peraturan tertentu. Setiap orang tentu
memiliki kepentingan yang berbeda-beda, sehingga kepatuhan terhadap hukumnya
pun bervariasi.
Bagi individu yang eksis dalam sebuah komunitas atau kelompok dan
perkumpulan dalam masyarakat tertentu, keberadaannya tentu memiliki keterkaitan
dengan kelompok tersebut, sehingga sikap dan perilaku yang akan dia putuskan juga
mempertimbangkan respon seperti apa yang sekiranya ditimbulkan oleh kawannya
sebagai anggota kelompok tersebut. Bagi kelompok yang sering melanggar
peraturan, anggotanya secara tidak langsung juga terpengaruh dan ikut melanggar
peraturan, jika salah seorang dari mereka ingin menaati peraturan, artinya
melakukan sesuatu yang lain dengan apa yang biasa kelompok itu lakukan, maka
kawan lainnya pun bisa merespon bahkan memaksa serta menekan sikap dan
perilaku anggota yan tidak sama dengan mereka.
Kepatuhan hukum yang dimiliki individu dalam sebuah kelompok yang
tidak patuh hukum akan tertahan pada konsepsi kesadaran hukumnya saja, tidak
sampai mengantarkannya pada perilaku patuh dan taat hukum karena adanya
tekanan dari teman sejawatnya.
Upaya penegakan hukum adalah salah satu rangkaian dari proses penerapan
hukum yang semestinya dapat berjalan selaras dengan kesadaran hukum masyarakat.
Penegakan hukum pada dasarnya tidak terlepas dari faktor-faktor yang
mempengaruhinya yaitu materi hukum (peraturan/perundang-undangan), aparatur
penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, advokat, dan lembaga pemasyarakatan),
sarana dan prasarana hukum, dan budaya hukum (legal culture)98
Dalam nalar hukum, peraturan dibuat untuk dipatuhi, jika peraturan itu
dilanggar maka pelanggarnya akan dikenai sanksi dan hukuman. Sanksi dan
hukuman ini adalah aspek utama dalam penegakan hukum, selain juga faktor
penegak hukum yang memainkan peran pemutus perkara dalam proses litigasi.
Beberapa orang akan mematuhi aturan karena takut akan sanksi dan
hukuman yang diterima ketika melanggar. Kepatuhan hukum dalam kaitannya
dalam penegakan hukum, dibagi ke dalam 2 perspektif, yaitu perspektif instrumental
dan normatif99
. Perspektif instrumental mengungkapkan bahwa kepatuhan
tergantung pada kemampuan hukum untuk membentuk perilaku patuh itu sendiri
97
Misalnya yang terjadi pada penutupan tiga persimpangan jalan di Mampang Prapatan,
https://megapolitan.kompas.com/read/2018/05/20/14265751/uji-coba-dihentikan-beton-
pembatas-tiga-simpang-di-mampang-prapatan diakses pada 28 Februari 2019 pukul 09.16
WIB. 98
Yohanes Suhardin, “Fenomena Mengabaikan Keadilan dalam Penegakan Hukum” Mimbar
Hukum 21, no.2 (2009):341-354. 99
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum Perkembangan Metode & Pilihan Masalah,
(Jogjakarta : Genta Publishing, 2010), 208.
35
dan hal itu berhubungan dengan adanya insentif dan adanya hukuman. Maka
meningkatkan berat sanksi dianggap cara yang efektif untuk menurunkan angka
pelanggaran dan kejahatan.
Adapun perspektif normatif berhubungan dengan keyakinan rakyat akan
adanya keadilan dan moral yang termuat dalam hukum sehingga penegakan hukum
tidak berperan aktif dalam menciptakan kepatuhan hukum di masyarakat, kendati
hal itu bertentangan dengan kepentingannya sendiri. Maka apabila hukum dirasakan
adil, rakyat akan sukarela mematuhinya, kendatipun mengorbankan kepentingannya.
Rakyat juga menjunjung suatu pemerintahan, apabila diyakini bahwa pemerintahan
itu memiliki hak moral untuk mengatur rakyatnya.
Penegakan hukum dalam perspektif ilmu sosial adalah cara terakhir yang
dilakukan dalam proses pengendalian sosial. Penyimpangan dan pelanggaran yang
terjadi di masyarakat dapat diselesaikan dengan berbagai macam cara dan tahapan.
ada yang bisa selesai dengan cara damai kekeluargaan tetapi ada pula yang harus
menempuh serangkaian jalur hukum. Masyarakat yang cenderung menggunakan
jalur hukum melalui proses pengadilan dalam penyelesaian konflik atas
penyimpangan ataupun pelanggaran disebut masyarakat litigatif, sementara yang
memilih jalan penyelesaian di luar pengadilan disebut masyarakat antilitigasi100
.
E. Sosiologi Masyarakat Perkotaan
Kajian-kajian yang bertemakan sosial sangat mungkin untuk dibahas dengan
pendekatan disiplin ilmu Sosiologi sebagai salah satu sudut pandang dan
analisisnya, begitu pun dengan tesis ini yang memaparkan pemahaman para praktisi
zakat berbasis masjid di wilayah perkotaan terhadap konsep-konsep fikih dan hukum
positif.
Asal-usul kata “kota” berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu “kotta” yang
berarti kubu atau perbentengan (stronghold)101
. Dalam literatur berbahasa Inggris,
ada 2 istilah yang digunakan untuk menyebut kota, yaitu town dan city. Dalam
bahasa Indonesia, town cenderung dipadankan artinya sebagai kota kecil, sedangkan
city kota besar102
.
Jika dibandingkan antara kota dan desa, town merupakan bentuk tengah di
antara keduanya. Penduduk yang tinggal di town masih saling mengenal dengan
akrab. Perilaku sosial masyarakat di dalam wilayah town lebih mirip dengan pola
perdesaan apabila dibandingkan dengan pola di kota besar (city) atau
metropolitan103
.
100
Contohnya budaya masyarakat Jepang mempersepsikan bahwa penyelesaian masalah
melalui jalur pengadilan adalah hal yang tidak baik, sehingga mereka cenderung
menghindari proses litigasi ini. Berbeda halnya dengan masyarakat Amerika misalnya, yang
dikenal sangat litigatif dalam hal penyelesaian perkara. Lihat Achmad Ali dan Wiwie
Heryani, Menjelajahi Kajian Empiris terhadap Hukum (Jakarta: Prenada Media, 2017), 92. 101
Eko A. Meinarno, Manusia dalam Kebudayaan dan Masyarakat (Jakarta: Salemba
Humanika, 2011), 221. 102
S. Menno dan Mustamin Alwi, Antropologi Perkotaan (Jakarta: Rajawali Press,1992), 26. 103
Adon Nasrullah Jamaluddin, Sosiologi Perkotaan: Memahami Masyarakat Kota dan
Problematikanya (Bandung: CV Pustaka Setia, 2017), 35.
36
Banyak pengertian tentang kota yang bisa dirujuk, salah satunya adalah
seperti yang dikemukakan Wirth bahwa kota merupakan sebuah permukiman yang
penduduknya relatif besar, padat, permanen, dan dihuni oleh berbagai macam orang
yang heterogen104
.
Jamaluddin mencoba mengklasifikasikan pengertian kota ditinjau dari tiga
aspek utama, yaitu segi fisik, jumlah penduduk, dan demografis105
. Dari segi fisik,
kota didefinisikan sebagai sebuah permukiman penduduk yang memiliki bangunan-
bangunan tempat tinggal yang berjarak relatif padat, memiliki berbagai sarana dan
prasarana umum, serta fasilitas yang memadai dalam rangka memenuhi kebutuhan
hidup penduduknya.
Dari segi jumlah penduduknya dan demografisnya, kota dipahami
berdasarkan kesepakatan mengenai jumlah minimum populasi yang digunakan
untuk pengklasifikasian permukiman tertentu sebagai suatu kota. Kesepakatan
tentang kuantitas yang baku tentang jumlah penduduk kota sulit dicapai, oleh
karenanya kota bisa juga dipahami dari ciri-cirinya yaitu: 1) Sektor industri dan jasa
memainkan peran yang dominan dalam kehidupan ekonomi penduduknya, 2) jumlah
penduduk yang relatif besar, 3) heterogenitas susunan penduduknya, 4) kepadatan
penduduk yang relatif besar.
Terlepas mengeani perbedaan pengertian mengenai kota, penulis menggaris
bawahi “wilayah perkotaan” sebagai stressing point yang menjadi pembeda dengan
wilayah lainnya, perdesaan misalnya. Secara kenampakan alam, wilayah kota dan
desa pasti berbeda, semakin wilayah itu tidak banyak mengandalkan alam, semakin
jauh dari kategori wilayah desa, begitu pula sebaliknya penggunaan sumber daya
alam secara langsung di wilayah kota tergantikan dengan produk-produk instan hasil
kerja mesin. Secara kualitatif, kita bisa menemukan banyak perbedaan yang kasat
mata dapat diamati dari wilayah kota dan desa.
Badan Pusat Statistik (BPS) dengan pendekatan aspek kuantitatifnya
mendefinisikan wilayah perkotaan sebagai wilayah yang telah memenuhi beberapa
indikator perkotaan, yaitu kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian,
dan keberadaan atau akses menuju fasilitas perkotaan di antaranya Sekolah Taman
Kanak-Kanak (TK), Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Umum, Pasar,
Pertokoan, Bioskop, Rumah Sakit, Hotel/Bilyar/Diskotek/Panti Pijat/Salon,
Persentase rumah tangga yang menggunakan telepon, dan persentase rumah tangga
yang menggunakan listrik106
.
Mengacu pada penentuan klasifikasi wilayah perkotaan dan perdesaan BPS
tersebut, 100 % wilayah penelitian tesis ini termasuk wilayah perkotaan yaitu
Kecamatan Pancoran Kota Administrasi Jakarta Selatan. DKI Jakarta adalah satu-
satunya provinsi di Indonesia yang tidak memiliki wilayah berkategori perdesaan.
Meskipun demikian, dalam sudut pandang Sosiologi, penentuan
karakteristik wilayah perkotaan dan perdesaan lebih ditekankan kepada klasifikasi
104
Safari Imam Asy‟ari, Sosiologi Kota dan Desa (Surabaya: Usaha Nasional, 1993), 19. 105
Adon Nasrullah Jamaluddin, Sosiologi Perkotaan: Memahami Masyarakat Kota dan
Problematikanya (Bandung: CV Pustaka Setia, 2017), 40-41. 106
Pasal 2 Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 37 Tahun 2010 tentang Klasifikasi
Perkotaan dan Perdesaan di Indonesia
37
dan tipologi masyarakatnya. Kriteria wilayah perkotaan yang ditentukan BPS hanya
terkait dengan hal-hal fisik berupa fasilitas dan sarana umum, tetapi tidak sama
sekali menyentuh esensi yang lebih abstrak dalam aspek sosial dan kultral seperti
budaya, tradisi, pola interaksi dan komunikasi, serta solidaritas sosial.
Ada beberapa tipologi masyarakat yang sering diklasifikasikan dalam
perspektif Sosiologi, di antaranya seperti yang dijelaskan Soekanto107
mengenai
perkembangan tahapan masyarakat di Indonesia yaitu:
1. Masyarakat Sederhana
Masyarakat sederhana adalah masyarakat yang mengalami perkembangan
yang lambat dibandingkan dengan masyarakat lainnya. Masyarakat tipe ini mewarisi
hubungan kekeluargaan yang erat, menjalankan organisasi sosial secara turun
menurun sesuai tradisi dan adat istiadat. Kegiatan perekonomian dan sosial masih
dilakukan dengan cara gotong royong yang memerlukan kerja sama dan melibatkan
banyak orang dengan tidak adanya sistem hubungan buruh dan majikan.
2. Masyarakat Madya
Tipe masyarakat yang kedua ini lebih berkembang dari tipe sebelumnya,
masih memiliki hubungan yang kuat dengan keluarga, akan tetapi hubungan antar
anggota masyarakat mulai mengendur dan mulai didasarkan pada kepentingan untuk
memenuhi untung-rugi atas dasar kepentingan ekonomi. Adat istiadat yang berlaku
di masyarakat masih dihormati, tapi mulai membuka diri dengan adanya pengaruh
dari luar. Nilai gotong royong masih dipraktikkan hanya pada keluarga besar atau
tetangga terdekat, sedangkan dalam pembangunan prasarana dan saran umum sudah
didasarkan pada upah yang memperhitungkan nilai komersil.
3. Masyarakat Modern
Kelompok masyarakat ini telah mengalami kemajuan akibat intensifnya
interaksi dan komunikasi dengan masyarakat lainnya dan banyak menerima
informasi dari media elektronik. Hubungan antar masyarakat dalam kelompok ini
didasarkan atas kepentingan pribadi dan kebutuhan individu, kerjasama yang
dilakukan adalah ikatan kerja yang formal dengan tugas dan fungsi yang jelas,
penduduknya terdiri dari berbagai macam profesi dan kualifikasi pendidikannya
tinggi sehingga inisiatif untuk gotong royong dalam pembangunan-pembangunan
fasilitas umum sudah tidak lagi digunakan, semuanya dilaksanakan dengan sistem
kerja yang profesional.
Dalam memahami masyarakat kota, kita tidak akan pernah terlepas dengan
karakter masyarakat industri yang khas dengan wilayah ini. Berbeda dengan wilayah
desa yang masyarakatnya masih bersifat agraris; mengandalkan sumber daya alam
sebagai mata pencaharian, masyarakat industri yang bertempat tinggal di kota tidak
lagi bergantung pada alam, akan tetapi mereka berpenghasilan dari sektor-sektor
industri seperti pegawai pabrik, sektor jasa seperti pekerja kantoran dan pekerja
profesional, serta sektor perdagangan.
107
Soerjono Soekanto, Antropologi Hukum: Pengembangan Ilmu Hukum Adat (Jakarta:
Rajawali Press, 1984), 49-51.
38
Perubahan yang terjadi pada masyarakat agraris (tradisional) ke masyarakat
industri (modern) adalah salah satu akibat nyata dari gencarnya proses modernisasi
dengan berbagai nilai dan kemajuan teknologi yang ada108
. Modernisasi yang terjadi
memang membawa dampak yang begitu signifikan dalam perubahan hampir di
semua aspek kehidupan sosial kemasyarakatan, termasuk di dalamnya
industrialisasi, urbanisasi, diferensiasi, sekularisasi, sentralisasi, dan lain
sebagainya109
. Dengan kata lain, modernisasi merupakan faktor utama perubahan
yang mentransformasi nilai-nilai masyarakat agraris menjadi nilai-nilai masyarakat
modern.
Perubahan yang terjadi di masyarakat pasca-industrialisasi merupakan
sebuah keniscayaan, meskipun demikian dampak yang ditimbulkan oleh
modernisasi tidak selalu negatif, ada beberapa dampak positif yang dirasakan oleh
masyarakat akibat terjadinya modernisasi, di antara dampak yang paling signifikan
adalah perkembangan tingkat pertumbuhan pendapatan masyarakatnya. Masyarakat
yang telah terpengaruh modernisasi umumnya akan berpikir lebih terbuka dan
realistis serta logis, sehingga berkemauan tinggi dan memilih jalur modern dari pada
cara-cara tradisional dalam mencari penghidupan, salah satu jalannya adalah melalui
pendidikan.
Pendidikan merupakan aspek penting yang diperjuangkan oleh masyarakat
modern, karena persaingan kerja yang ketat akan menuntut kualifikasi pendidikan
dan keahlian yang cukup agar bisa bersaing. Alur pendidikan ini akan mengantarkan
seseorang kepada pekerjaan yang modern, tentunya dengan tawaran penghasilan
yang tinggi dibandingkan dengan pekerjaan tradisional yang umumnya ada di desa.
Meningkatnya tingkat pendapatan dan penghasilan ini berbanding lurus dengan
membudayanya perilaku dan gaya hidup yang konsumtif110
.
Masyarakat modern umumnya tidak ingin repot dan cenderung berpikir
instan dalam hal konsumsi sehari-hari, karena kesibukannya di dunia kerja, maka
mereka tidak lagi sempat untuk memenuhi kebutuhan makanan dan minumnya
secara pribadi. Oleh karenanya membeli makanan dan minuman siap saji adalah
solusi instan yang mereka pilih. Pola hidup semacam ini terus berkembang dan
membudaya di masyarakat modern apalagi didukung dengan kemudahan-
kemudahan teknologi yang memungkinkan konsumen untuk memesan makanan atau
minuman hanya melalui aplikasi di smartphone.
Dalam konteks penelitian ini, kawasan kecamatan Pancoran memang
merupakan wilayah perkotaan. Meski demikian, kondisi sosial masyarakatnya belum
sepenuhnya mencerminkan masyarakat modern (bisa disebut sub-urban), karena
masih ditemui ciri masyarakat madya, seperti kultur masyarakat yang dipengaruhi
ikatan kekeluargaan antara masyarakat, komunikasi yang yang terjalin pun masih
intens dengan kegiatan-kegiatan sosial yang ada, juga akibat homogenitas penduduk
Betawi nya yang masih kuat.
108
Munandar Soelaiman, Dinamika Masyarakat Transisi (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 1998),
93 109
Suwarsono, Perubahan Sosial dan Pembangunan (Jakarta: LP3ES, 2006), 23 110
Adon Nasrullah Jamaluddin, Sosiologi Perkotaan: Memahami Masyarakat Kota dan
Problematikanya (Bandung: CV Pustaka Setia, 2017), 216.
39
BAB III
PENGELOLAAN ZAKAT OLEH MASJID
Bab ini diawali dengan pemaparan masjid dalam berbagai aspek, di
antaranya tipologi dan karakteristik masjid di Indonesia, Dewan Masjid Indonesia
(DMI), masjid dalam regulasi peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan
zakat di Indonesia, serta praktik riil pengelolaan zakat yang dilakukan oleh masjid
yang penulis teliti di kecamatan Pancoran.
A. Tipologi Masjid di Indonesia
Masjid merupakan tempat ibadah umat Islam yang secara bahasa berarti
tempat sujud. Rasulullah bahkan pernah menyatakan bahwa seluruh permukaan
bumi adalah masjid111
, tempat sujud yang suci, sehingga setiap muslim dapat
melaksanakan salat di mana saja kecuali di tempat-tempat yang memang telah
dilarang seperti tempat yang kotor dan najis, kuburan, dan kamar mandi/wc112
.
Di Indonesia, tempat ibadah umat Islam yang dapat diakses secara umum
biasanya dibedakan menjadi masjid, musala atau langgar. Perbedaan mendasar
antara keduanya adalah dari segi fungsinya sebagai tempat pelaksanaan salat
Jumat113
. Salat Jumat tentu bisa dilaksanakan di masjid, akan tetapi tidak dengan
musolla yang hanya digunakan untuk pelaksanaan salat fardu atau sunnah.
Hal serupa bisa juga ditemukan dalam eksistensi masjid di Mesir misalnya.
Klasifikasi tempat ibadah umat Islam di Mesir dibagi menjadi 3 macam, yaitu Jami‟,
Masjid, dan Zawiya. Konsep pembagian ini sama seperti yang ditemui di Indonesia
hanya penggunaan istilahnya saja yang berbeda, Jami di Mesir seperti halnya masjid
di Indonesia yaitu tempat ibadah salat 5 waktu yang juga dipakai untuk pelaksanaan
ibadah salah Jumat, sedangkan Masjid di Mesir layaknya musala di Indonesia, ia
hanya memungkinkan untuk menjadi tempat pelaksanaan salat 5 waktu tetapi tidak
untuk salat Jumat. Adapun Zawiya di Mesir adalah tempat ibadah yang khusus
untuk majelis atau perkumpulan keagamaan tertentu yang kapasitasnya kecil dan
terbatas114
.
Masjid sedari dulu telah multifungsi, tidak hanya terbatas sebagai tempat
pelaksanaan ibadah semata, tetapi bisa juga difungsikan sebagai tempat
111
Muslim ibn H{ajja>j al-Naysa>bu>riy, S}ah}i>h} Muslim (Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>th al-‘Arabi>,
1955) nomor hadis 811. Dalam S{ah{i>h{ al-Bukha>ri> nomor hadis 419. 112
Kementerian Agama, Tipologi Masjid (Jakarta: Direktorat Urusan Agama Islam dan
Pembinaan Syariah, 2008), 5-7. 113
Istilah Musala yang dipahami muslim di Indonesia tidak ditemukan di negara-negara
mayoritas penduduk muslim lainnya. Terkait perbedaan ini, masjid memiliki beberapa
ketentuan yang tidak dimiliki musala, misalnya tentang keutamaan salat sunnah Tahiyyatul
Masjid 2 rakaat, yang dianjurkan untuk dilakukan ketika seorang muslim memasuki masjid
sebelum duduk. Lihat S{ah{i>h{ al-Bukha>ri> hadis nomor 444 dan S{ah{i>h{ Muslim hadis nomor
715. 114
Damas Addeh dan Sayida Fuad, The Legal Framework of Mosque Building and Muslim
Religious Affairs in Egypt: Towards a Strengthening of State Control. (tp.2011)
40
bermusyawarah, tepat pendidikan dan pembelajaran, dakwah, bahkan sebagai
tempat kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat muslim115
.
Jumlah masjid di Indonesia yang merupakan wilayah negara dengan
penduduk muslim terbanyak di dunia pastilah tidak sedikit. Kita bisa dengan mudah
menemukan masjid di wilayah Indonesia, apalagi di kawasan yang penduduknya
mayoritas muslim. Jumlah masjid di Indonesia menurut data terbaru yang
ditampilkan Kementerian Agama dalam Sistem Informasi Masjid (SIMAS) terdata
sebanyak 253.299 (dua ratus lim puluh tiga ribu dua ratus sembilan puluh sembilan)
masjid116
.
Ratusan ribu masjid tersebut terdiri dari 1 Masjid Negara, 33 Masjid Raya,
399 Masjid Agung, 4.419 Masjid Besar, 208.257 Masjid Jami, dan 40.190 masjid di
tempat publik. Dalam tampilan SIMAS tersebut, ada 873 masjid yang dikategorikan
sebagai masjid bersejarah. Masjid dengan jumlah sebanyak ini tersebar di seluruh
wilayah Indonesia dengan klasifikasi nama sesuai letak dan skalanya.
Berikut ini pengkalsifikasian (tipologi) masjid menurut aturan terbaru117
1. Masjid Negara
Masjid Negara adalah masjid yang berlokasi di Ibukota Negara
Indonesia dan menjadi pusat kegiatan keagamaan tingkat kenegaraan.
Masjid Negara di Indonesia hanya ada satu, yaitu Masjid Istiqlal yang
terletak di Jakarta Pusat.
Masjid Negara memiliki beberapa kriteria di antaranya yaitu: Kegiatan
masjid ini didanai dari subsidi Negara melalui APBN dan APBD serta
bantuan masyarakat; menjadi pembina masjid-masjid di wiliyah provinsi,
kepengurusannya ditetapkan dan dilantik oleh Menteri Agama.
2. Masjid Nasional
Masjid Nasional adalah masjid yang terletak di Ibukota Provinsi yang
ditetapkan oleh Menteri Agama sebagai Masjid Nasional118
, contoh masjid
ini misalnya Masjid Nasional al-Akbar Surabaya.
Masjid ini menjadi tempat pusat kegiatan keagamaan di tingkat
Pemerintahan Provinsi. Dana kegiatan Masjid Nasional bersumber dari
APBD Pemerintah Provinsi dan bantuan masyarakat, masjid ini menjadi
pembina Masjid Agung dan Masjid Raya yang ada di wilayah provinsi
tersebut. Kepengurusannya ditetapkan oleh Gubernur atas rekomendasi
Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam berdasarkan usulan Kepala
115
Zakaryya Mohamed Abdel-Hady, The Masjid, Yesterday and Today (Qatar: Center for
International and Regional Studies of Georgertown University School of Foreign Service in
Qatar, 2010), 5-6. 116
Diakses melalui laman simas.kemenag.go.id pada 06 Juli 2019 pukul 14.50 WIB. 117
Keputusan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Nomor DJ. II/802 Tahun 2014
tentang Standar Pembinaan Manajemen Masjid 118
Keputusan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Nomor DJ. II/802 Tahun 2014
tentang Standar Pembinaan Manajemen Masjid
41
Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi dengan mempertimbangkan
saran dan pendapat masyarakat.
3. Masjid Raya
Masjid Raya adalah masjid yang berada di Ibukota Provinsi, ditetapkan
oleh Gubernur atas rekomendasi Kepala Kantor wilayah Kementerian
Agama Provinsi sebagai Masjid Raya dan menjadi pusat kegiatan
keagamaan di tingkat Pemerintahan Provinsi, contohnya Masjid Jakarta
Islamic Center di Provinsi DKI Jakarta.
Masjid ini memiliki kriteria di antaranya: Dibiayai oleh Pemerintah
Provinsi melalui APBD dan dana masyarakat, berfungsi sebagai pembina
Masjid Agung yang ada di wilayah provinsi, kepengurusannya ditetapkan
oleh Gubernur atas rekomendasi Kepala Kantor Wilayah Kementerian
Agama Provinsi berdasarkan usulan jamaah atau masyarakat.
4. Masjid Agung
Masjid Agung adalah masjid yang terletak di Ibukota Pemerintahan
Kabupaten/Kota yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota atas rekomendasi
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Kabupaten/Kota, menjadi
pusat kegiatan sosial keagamaan yang dihadiri atau dilaksanakan oleh
pejabat Pemerintahan Kabupaten/Kota, contohnya Masjid Sunda Kelapa
Menteng di wilayah pemerintahan Kota Administasi Jakarta Pusat.
Ciri masjid ini adalah sebagai berikut: Dana kegiatannya disubsidi oleh
Pemerintah Kabupaten/Kota dan swadaya masyarakat muslim, menjadi
pusat kegiatan keagamaan Pemerintahan Kabupaten/Kota atau masyarakat
muslim di wilayah Kabupaten/Kota, kepengurusan masjid ditetapkan oleh
Bupati/Walikota atas rekomendasi Kepala Kantor Kementerian Agama
Kabupaten/Kota berdasarkan usulan KUA Kecamatan dan lembaga
masyarakat.
5. Masjid Besar
Masjid Besar adalah masjid yang berada di kecamatan dan ditetapkan
oleh Camat atas rekomendasi Kepala KUA Kecamatan sebagai Masjid
Besar yang menjadi pusat kegiatan sosial keagamaan yang dihadiri Camat,
pejabat dan tokoh masyarakat tingkat kecamatan.
Masjid ini disubsidi oleh Pemerintah Kecamatan atau organisasi
kemasyarakatan, kepengurusannya dipilih oleh jamaah dan dikuatkan oleh
Camat atas usul Kepala KUA Kecamatan. Penggunaan nama Masjid Besar
nampaknya tidak begitu familiar dibandingkan nama Masjid Jami, hanya
masjid-masjid tertentu saja yang menyertakan nama Masjid Besar untuk
penamaannya.
6. Masjid Jami
Masjid Jami adalah masjid yang terletak di pusat permukiman di
wilayah kelurahan pada umumnya. Masjid tipe ini biasanya berada di pusat
desa/kelurahan atau permukiman warga, dibiayai oleh Pemerintah Desa dan
42
atau sumbangan sukarela masyaarakat, menjadi pusat kegiatan keagamaan
Pemerintah Desa/Kelurahan dan warga, menjadi pembina masjid dan musala
serta majelis taklim yang ada di wilayah Desa/Kelurahan. Kepengurusan
masjid dipilih oleh jamaah dan ditetapkan oleh pemerintah setingkat
Desa/Kelurahan atau rekomendasi Kepala KUA Kecamatan.
7. Masjid di Tempat Publik
Sejalan dengan perkembangan zaman, semakin hari masyarakat muslim
Indonesia semakin bertambah jumlahnya, adalah hal yang wajar jika
perkembangan jumlah masjid dari tahun ke tahun terus mengalami
peningkatan, karena beberapa faktor seperti adanya permukiman baru, daya
tampung masjid yang ada yang sudah tidak memadai, kegiatan dan mobilitas
masyarakat yang dinamis, kebutuhan tempat ibadah di fasilitas umum, dan
bahkan bisa juga masjid baru lahir karena dilatarbelakangi oleh semangat
dakwah yang inklusif. Oleh karenanya, banyak masjid baru yang dibangun
di tempat-tempat publik sebagai fasilitas ibadah umat Islam secara umum.
Masjid kategori ini biasanya dibangun di kawasan tertentu seperti
perkantoran, pabrik, kampus/sekolah/madrasah/pondok pesantren, rumah
sakit, hotel, bandar udara, pelabuhan, terminal, stasiun, pusat perbelanjaan
seperti mall/plaza, Rest Area jalur tol, serta kawasan publik lainnya. Dana
operasional kegiatan masjid ini biasanya ditanggung oleh anggaran instansi
yang menaunginya bisa dari pemerintah, perusahanan, atau instansi terkait
serta partisipasi pihak swasta atau masyarakat.
Dari beberapa tipe masjid di atas, ada pola kriteria yang sama yang bisa
ditemukan dalam pengertian tiap jenis masjid, yaitu adanya rekomendasi dari
pejabat pemerintahan tingkat tertentu untuk menetapkan atau mengukuhkan
kepengurusan masjid. Penulis melihat bahwa rekomendasi itu hanyalah bersifat
normatif yang seharusnya dilakukan, akan tetapi yang terjadi di lapangan adalah
tidak demikian, khususnya masjid-masjid jami yang berada tingkat desa/kelurahan.
Rekomendasi yang benar-benar dibutuhkan dan dilaksanakan adalah
rekomendasi untuk kepengurusan masjid di tingkat Negara, Nasional, hingga
Kabupaten/Kota karena hal itu berkenaan dengan kepastian hukum yang salah satu
implikasinya adalah keberhakkan para pengurus masjid terhadap subsidi yang
diberikan dari pemerintah. Meskipun di Indonesia, pengurus masjid bukanlah
jabatan yang prestisius seperti Aparatur Sipil Negara pada umumnya sehingga
pemilihan pengurus bukanlah agenda yang terbuka dan tidak transparan. Para
pengurus masjid lebih tepatnya adalah orang-orang pilihan pejabat yang berwenang
atas usulan dan rekomendasi rekan serta relasi yang dimiliki para pengurus masjid.
Mengenai karakteristik masjid, pada Tahun 2008 Kementerian Agama
melalui Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah juga
mengkategorisasikan masjid berdasarkan kegiatan dan aktivitasnya119
, yaitu:
119
Kementerian Agama, Tipologi Masjid (Jakarta: Direktorat Urusan Agama Islam dan
Pembinaan Syariah, 2008), 55-60
43
1. Masjid Statis
Kata stastis tidak sepenuhnya berkonotasi negatif, tetapi jenis masjid ini
sepertinya memang tidak menunjukkan perkembangan dari dahulu hingga
saat ini. Para pengurus masjid hanya menjalankan rutinitas ibadah fardu
pada umumnya, tidak ada pembinaan khusus yang dilakukan pengurus
kepada jamaah masjidnya. Hubungan antara pengurus dan jamaah hanya
sebatas imam dan makmum dalam salat jamaah, di luar itu mereka tidak
terlibat intens dalam kegiatan tertentu.
Masjid seperti ini biasanya dikelola oleh keluarga yang mendirikan
masjid, tanpa adanya manajemen. Masjid dikelola sebagaimana para
pendahulu keluarga mereka mengelola. Tidak adanya kegiatan selain ibadah
salat berjamaah inilah yang disebut statis, pengurus masjid tidak melakukan
langkah-langkah terobosan yang stategis atau juga karena jamaah masjid nya
yang cenderung pasif sehingga tidak ada proses komunikasi yang konstruktif
untuk lebih memakmurkan masjid. Keadaan statis juga bisa diakibatkan
fungsi masjid yang hanya digunakan di waktu-waktu tertentu, misalnya
masjid di wilayah perkantoran, maka ketika libur hari kerja masjid tidak
digunakan.
2. Masjid Aktif
Kegiatan masjid tipe ini tidak sekedar menjalankan rutinitas ibadah
salat fardu berjamaah, akan tetapi mulai mengelola jamaah dengan
melibatkan mereka pada kegiatan-kegiatan tertentu yang dilakukan di
masjid, misalnya pengajian rutin mingguan atau bulanan, perayaan hari-hari
besar Islam, dan lain sebagainya120
.
Pengurus masjid tipe ini sudah memiliki kesadaran dan tanggung jawab
serta semangat untuk memakmurkan masjid sekalipun belum menjalankan
pengelolaan yang profesional. Meski demikian, upaya pengurus masjid
seperti ini umumnya mendapatkan respon yang baik oleh masyarakat di
sekelilingnya, apalagi kegiatannya juga terus digalakan, tidak hanya yang
bersifat amaliyah ibadah, tetapi amal-amal sosial kemasyarakatan.
3. Masjid Profesional
Masjid tipe ketiga ini adalah masjid ideal yang bisa dijadikan contoh
serta pedoman untuk masjid-masjid lain dalam memakmurkan masjid.
Pengurus masjid tipe ini memiliki tata kelola yang jelas, struktur organisasi
dan tugas-tugasnya, perencanaan progam serta kegiatan yang telah
ditentukan untuk minimal setahun ke depan, transparan dalam laporan
keuangan, serta telah melakukan tahapan pemberdayaan masyarakat di
sekelilingnya.
Masjid yang profesional biasanya mempekerjakan pengurusnya dengan
profesional juga, dalam arti bahwa tugas dan fungsi yang dijalankan
120
Kementerian Agama, Tipologi Masjid (Jakarta: Direktorat Urusan Agama Islam dan
Pembinaan Syariah, 2008), 57.
44
pengurus masjid telah disepakati dalam ikatan pekerjaan yang jelas,
kewajiban dan hak nya diatur dengan jelas, sehingga proses ini menuntut
profesionalitas para pengurusnya dalam mengelola masjid. Masjid tiipe ini
umumnya memiliki kondisi finansial yang sehat, dicatat dan dilaporkan
berkala dengan prinsip-prinsip akuntansi yang baik dan transparan, bisa
diakses oleh seluruh jamaahnya bahkan masyarakat umum.
Mengikuti tren perkembangan teknologi, tentu tolok ukur masjid yang
profesional tidak juga luput dari penggunaan teknologinya yang modern dan
mutakhir, misalkan dalam hal infornasi, masjid memiliki situs resmi yang
dapat diakses secara online, alamat surat elektronik, akun-akun media sosial
yang juga dikelola oleh tim tersendiri yang aktif memperbarui konten-
konten informasi mengenai masjid tersebut.
Pengelolaan masjid yang profesional semacam ini biasanya ditemukan
di masjid-masjid yang dikelola pemerintah seperti Masjid Negara, Masjid
Nasional, Masjid Raya, dan Masjid Agung, atau masjid-masjid besar yang
dikelola pihak swasta profesional.
Selain tipologi, masjid sering bersinggungan dengan hal-ihwal landasan
hukum bangunan serta tanahnya. Sebagaimana kita ketahui, kepemilikan tanah serta
bangunan masjid di Indonesia paling tidak terbagi ke dalam 2 macam, yaitu wakaf
atau pun non-wakaf. Masjid yang dibangun di atas wakaf tentu memiliki implikasi
hukum yang berbeda dengan masjid yang dibangun di atas tanah non-wakaf seperti
tanah milik pribadi, atau milik pemerintah.
Keadaan yang paling aman bagi kelangsungan masjid dalam jangka panjang
adalah, tanahnya merupakan wakaf yang tercatat dan bersertifikat. Hal ini
menguatkan posisi yuridis masjid sehingga tidak bisa diambil alih paksa untuk
dirobohkan dan dibangun bangunan lain atau dijual jika status tanahnya non-wakaf
atau pun wakaf tetapi bermasalah; tidak memiliki legalitas.
B. Dewan Masjid Indonesia
Masjid-masjid di Indonesia terkumpul dalam beberapa forum, salah satunya
adalah Dewan Masjid Indonesia (DMI) yang pada periode saat ini (2017-2022)
diketuai oleh Muhammad Jusuf Kalla. DMI adalah organisasi masyarakat Islam
tingkat nasional yang menjadi koordinator masjid-masjid seluruh Indonesia.
DMI didirikan pada 22 Juni 1972 yang bertujuan untuk mewujudkan fungsi
masjid sebagai pusat ibadah, pengembangan masyarakat, dan persatuan umat.
Kepengurusan DMI tersebar di seluruh Indonesia di berbabagi tingkatan, mulai dari
DMI Pusat, DMI Provinsi, DMI Kabupaten/Kota, hingga DMI Kecamatan.
Pimpinan pusatnya dipilih secara demokratis setiap 5 tahun sekali melalui muktamar
nasional121
.
Penulis menganggap pembahasan DMI memiliki korelasi yang sangat erat
dengan objek penelitian yang terkait masjid yang mengelola zakat. DMI menjadi
salah satu organisasi perkumpulan masjid yang berpengaruh di Indonesia dan
121
Diakses melalui laman dmi.or.id
45
memiliki potensi yang strategis dalam mengembangkan masjid-masjid di Indonesia
yang menjadi anggotanya.
Dalam beberapa kesempatan, DMI pusat mengungkapkan 10 porgram
utamanya dalam kepengurusan saat ini, yaitu:
1. Perbaikan akustik masjid (sound system),
2. Penerapan aplikasi masjid dan media digital
3. Masjid bersih dan sehat
4. Pemberdayaan ekonomi berbasis masjid
5. Manajemen kemasjidan
6. Sertifikasi tanah/wakaf
7. Arsitektur masjid
8. Pendidikan dan dakwah
9. Wisati religi berbasis masjid
10. Pembangunan gedung DMI
Mengamati kesepuluh program utama tersebut, DMI tentu sangat potensial
untuk dijadikan mitra dalam hal pengelolaan zakat berbasis masjid, karena salah satu
program pemberdayaan ekonomi bisa bisa berasal dari dana zakat, khususnya zakat
mal. Tentu banyak pihak yang bisa diajak bekerjasama untuk merealisasikan
porgam-porgam unggulan DMI tersebut, sebagaimana yang telah dilakukan dengan
instansi pemerintah terkait.
Misalnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam hal ini Bank DKI telah
menandatangani perjanjian kerjasama dengan pihak DMI Provinsi DKI Jakarta
untuk penyaluran dana bantuan operasional bagi masjid dan musala di wilayah
Provinsi DKI Jakarta dengan nama program Bantuan Operasional Tempat Ibadah
(BOTI)122
. Adanya organisasi perkumpulan masjid semacam ini tentunya dapat
memudahkan koordinasi dan sosialisasi untuk program-program yang bertujuan
memajukan masjid.
Di Jawa Barat, program kredit Mesjid Sejahtera (Mesra) telah diluncurkan
pada November 2018 oleh Pemerintah Daerah Jawa Barat sebagai program
keumatan Gubernur Provinsi Jawa Barat. Program ini merupakan suatu terobosan
baru dalam upaya memudahkan dan memfasilitasi masyarakat untuk mengakses
dana pinjaman atau kredit permodalan. Pinjaman ini diberikan tanpa bunga dan
agunan yang pastinya memudahkan masyarakat untuk mendapatkan pembiayaan
usaha mikro dari pada harus terjerat dalam sistem pinjaman rentenir yang bunganya
terkadang sangat tinggi dan tidak manusiawi. Terkait program Mesra ini, DMI
menyambut baik dan siap mengadopsinya untuk diaplikasikan secara nasional
melalui jejaring masjid yang ada di bawah koordinasi DMI123
.
DMI bisa dijadikan mitra strategis oleh para pihak yang memiliki
kewenangan terhadap zakat, khususnya untuk membangun basis pengelolaan zakat
di masyarakat melalui masjid-masjid. Selama ini, potensi zakat yang dikelola masjid
122
Berita diakses melalui laman https://www.beritasatu.com/megapolitan/548749/uus-bank-
dki-salurkan-bantuan-operasional-tempat-ibadah pada 29 Agustus 2019. 123
Berita diakses melalui laman http://bappeda.jabarprov.go.id/program-kredit-mesra-akan-
diterapkan-di-seluruh-indonesia/ pada 29 Agustus 2019.
46
-disadari atau tidak- luput dari kebijakan dan progam pengelolaan zakat nasional.
Praktik yang selama ini selalu dilaporkan kinerjanya dan terus dikembangkan adalah
pengelolaan zakat oleh lembaga-lembaga resmi saja, padahal hasil zakat yang
dihimpun oleh masjid selama bulan Ramadan di tiap tahunnya tidaklah sedikit
apalagi jika dikalikan dengan jumlah masjid yang melakukan hal tersebut di seluruh
Indonesia.
C. Masjid dalam Regulasi Pengelolaan Zakat di Indonesia
Dalam penelitian ini acuan legalitas pengelolaaan zakat dalam sebuah aturan
hukum menjadi penting karena dari substansi itulah penelitian ini akan banyak
bertumpu. Ada 5 peraturan utama yang penulis pilih untuk mengetahui bagaimana
sebenarnya posisi masjid dalam regulasi tentang pegelolaan zakat. Aturan-aturan
tersebut diurutkan secara periodik mulai dari yang yang paling umum ke yang paling
khusus.
1. Undang-Undang No. 23 Tahun 2011
Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang
ditetapkan pada tanggal 25 November 2011 berisi 10 bab. Secara kuantitas, undang-
undang ini lebih banyak memuat pasal dan ketentuan mengenai Badan Amil Zakat
Nasional (BAZNAS).
Pasal-pasal mengenai kewenangan BAZNAS secara khusus terdapat dalam
Bab II, yaitu sebanyak 16 pasal dari total 47 pasal undang-undang ini. Bab-bab
lainnya rata-rata hanya berisi 2 sampai 3 pasal. Selain penguatan BAZNAS yang
mencolok, ada salah satu hal baru dalam undang-undang pengelolaan zakat ini yaitu
ketentuan pidana bagi pengelola zakat yang tidak sesuai dengan aturan, yang oleh
sebagian praktisi zakat kemudian dianggap sebagai upaya kriminalisasi amil zakat
tradisional.
Tabel 1.
Konstruksi Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
BAB Judul Umum BAB Pasal
I Ketentuan Umum 1-4
II Badan Amil Zakat Nasional 5-20
III Pengumpulan, Pendistribusian, Pendayagunaan, dan Pelaporan 21-29
IV Pembiayaan 30-33
V Pembinaan dan Pengawasan 34
VI Peran Serta Masyarakat 35
VII Sanksi Administratif 36
VIII Larangan 37-38
IX Ketentuan Pidana 39-42
X Ketentuan Peralihan 43
XI Penutup 44-47
Pembagian peran antara pengelola zakat dari pemerintah dan masyarakat
telah jelas dalam undang-undang ini, pemerintah diwakili oleh BAZNAS dan
47
masyarakat terepresentasikan dalam Lembaga Amil Zakat (LAZ). Dalam bagian ini
penulis akan memaparkan aturan-aturan yang terkait langsung dengan pengelola
zakat dari kalangan masyarakat, karena pada dasarnya penelitian ini akan
memaparkan pemahaman pengelola zakat terhadap fikih zakat juga aturan dan
regulasi yang berlaku, penulis memfokuskannya di level yang paling rendah dan
yang langsung bersinggungan dengan masyarakat, yaitu masjid-masjid.
Masjid tidak disebutkan secara eksplisit dalam isi undang-undang
pengelolaan zakat, meskipun ada bab khusus (Bab VI) yang menjelaskan
keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan zakat. Bab yang hanya berisi 1 pasal
beserta 3 ayat ini menyatakan bahwa peran serta masyarakat yang dapat dilakukan
adalah dalam hal pembinaan dan pengawasan terhadap kinerja BAZNAS maupun
LAZ.
Pembinaan yang dimaksud bertujuan untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat dalam menunaikan zakat mereka melalui BAZNAS dan LAZ, juga
memberikan saran untuk peningkatan kinerja BAZNAS serta LAZ, sedangkan
pegawasan oleh masyarakat dapat dilakukan dalam bentuk akses terhadap informasi
tentang pengelolaan zakat yang dilakukan BAZNAS maupun LAZ dan penyampaian
informasi apabila terjadi penyimpangan dalam pengelolaan zakat yang dilakukan
oleh BAZNAS dan LAZ124
.
Keberadaan masjid yang telah melakukan pengelolaan zakat di masyarakat
justru berpotensi masuk dalam ketentuan pasal di bab Larangan dan Pidana.
Sebagaimana larangan yang tertera pada pasal 38 yaitu:
“Setiap orang dilarang dengan sengaja bertindak selaku amil zakat
melakukan pengumpulan, pendistribusian, atau pendayagunaan zakat tanpa
izin pejabat yang berwenang.”
Meskipun tidak digolongkan kepada tindak kejahatan, menyalahi ketentuan
pasal 38 adalah suatu bentuk pelanggaran dan dalam undang-undang ini juga telah
diatur sanksinya yaitu sebagaimana isi pasal 41
“Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).”
2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 86/PUU-X/2012
Setelah Undang-Undang Pengelolaan Zakat diterbitkan, ada respon dari
praktisi zakat yang menganggap beberapa poin dalam undang-undang tersebut
bertentangan dengan substansi Undang-Undang Dasar 1945 sehingga perlu diuji di
Mahkamah Konstitusi (MK).
Putusan MK yang ditetapkan pada tanggal 28 Februari 2013 telah melalui
proses persidangan yang panjang, yang pada akhirnya ada permohonan yang
dikabulkan dan ada yang ditolak. Salah satu permohonan yang dikabulkan adalah
124
Pasal 35 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan
Zakat
48
berkaitan dengan kriminalisasi pengelola zakat di masyarakat yang telah eksis, baik
berupa amil zakat perseorangan, ataupun perkumpulan orang..
Frasa, “Setiap orang” dalam Pasal 38 dan Pasal 41 Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang dimohon untuk diuji karena
dianggap sebagai upaya kriminalisasi amil tradisional yang sudah eksis dan
mempraktikkan pengelolaan zakat di masyarakat dikabulkan oleh MK.
Putusan MK ini tidak membatalkan pasal terkait yang dimohonkan
pemohon, tetapi memberikan pengecualian dan batas cakupan yang jelas, yaitu
setiap orang yang disebut dalam pasal 38 dan 41 tidak termasuk perkumpulan orang,
perseorangan tokoh umat Islam (alim ulama), atau pengurus/takmir masjid/musholla
di suatu komunitas dan wilayah yang belum terjangkau oleh BAZ dan LAZ, dan
telah memberitahukan kegiatan pengelolaan zakat dimaksud kepada pejabat yang
berwenang125
”
Pembatasan tersebut diambil karena mempertimbangkan kondisi jika
kegiatan amil zakat dilarang akibat tidak memiliki izin dari pejabat berwenang,
sementara pelayanan BAZNAS ataupun LAZ belum menjangkau seluruh pelosok
negeri, maka akan ada kekosongan pelayanan zakat di masyarakat sehingga warga
negara yang beragama Islam kesulitan dalam menjalankan ibadah zakat mereka.
Menurut MK terhalangnya warga negara untuk menunaikan kewajiban maupun
tuntunan agamanya adalah bertentangan dengan UUD 1945 terutama Pasal 28E ayat
(2) dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945126
.
3. Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2014
Peraturan pemerintah ini merupakan aturan lanjutan tentang pemberlakuan
Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Sebelum peraturan
ini dibuat, para pegiat zakat telah melakukan uji materiil mengenai pasal-pasal
dalam undang-undang pengelolaan zakat, sehingga ada beberapa poin yang
diperbaiki, di antaranya mengenai eksistensi pengelola zakat yang dalam wilayah
yang tidak terjangkau oleh BAZNAS maupun LAZ.
Penyebutan masjid secara jelas dalam konteks pengelolaan zakat dapat
ditelusuri dalam Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Dalam Peraturan
Pemerintah tersebut menjelaskan bahwa masjid bisa menjadi pengelola zakat dengan
berbentuk Unit Pengumpul Zakat (UPZ) dari BAZNAS, baik masjid yang berada di
lingkup pemerintahan seperti masjid negara, masjid raya provinsi, dan masjid dalam
instansi pemerintah maupun masjid yang dikelola masyarakat pada umumnya. Hal
ini didukung dengan Instruksi Presiden yang bertujuan untuk mengoptimalkan
penghimpunan zakat di instansi pemerintahan127
.
125
Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 86/PUU-X/2012 halaman 109. 126 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 86/PUU-X/2012 halaman 106. 127
Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2014 tentang Optimalisasi Pengumpulan Zakat di
Kementerian/Lembaga, Sekretaris Jenderal Lembaga Negara, Sekretariat Jenderal Komisi
Negara, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara,dan Badan Usaha Milik Daerah
melalui Badan Amil Zakat Nasional. Ditetapkan pada tanggal 23 April 2014.
49
Ketentuan yang lebih jelas mengenai posisi hukum masjid (yang dikelola
oleh masyarakat muslim, non-pemerintah) sebagai pengelola zakat disebutkan dalam
pasal 66 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2014 bahwasanya
dalam kondisi ketika suatu wilayah belum terjangkau oleh BAZNAS maupun LAZ
maka kegiatan pengelolaan zakat dapat dilakukan oleh perkumpulan orang,
perseorangan tokoh umat Islam („a>lim ‘ulama>’), atau pengurus/takmir
masjid/musala. Kegiatan pengelolaan zakat dalam kondisi demikian pun seharusnya
memberitahukan secara tertulis kepada kantor urusan agama (KUA) kecamatan
setempat.
Sebagaimana dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2011, dalam Peraturan
Pemerintah No. 14 Tahun 2014 ini pun memuat ketentuan tentang sanksi yang
ditujukan kepada BAZNAS, LAZ, maupun amil zakat perseorangan dan
perkumpulan. Pengelolaan zakat oleh DKM Masjid masuk dalam kategori Amil
Zakat perkumpulan orang dalam kondisi wilayah yang belum terjangkau BAZNAS
serta LAZ. Sanksi administratif diberikan jika DKM Masjid yang melakukan
pengelolaan zakat tidak memberitahukan kepada kepala KUA Kecamatan, tidak
melakukan pencatatan dan pembukuan pengelolaan zakat, serta tidak
mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan syariat Islam dan tidak
dilakukan sesuai dengan peruntukan yang diikrarkan128
.
Sanksi administratif yang diberikan berupa teguran tertulis, jika dilakukan
kedua kalinya setelah ada teguran maka sanksi berupa penghentian sementara
pengelolaan zakat, jika masih melakukan pelanggaran maka diberikan sanksi berupa
penghentian dari kegiatan pengelolaan zakat129
. Mengenai sanksi administratif ini
dijelaskan lebih detail dan rinci pada Peraturan Menteri Agama No. 5 Tahun 2016.
Tabel 2.
Konstruksi Peraturan Pemerintah N0. 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
BAB Judul Umum BAB Pasal
I Ketentuan Umum 1
II Kedudukan, Tugas, dan Fungsi BAZNAS 2-4
III Keanggotaan BAZNAS 5-30
Bagian Kesatu : Umum 5
Bagian Kedua : Tata Cara Pengangkatan 6-13
Bagian Ketiga : Tata Cara Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua BAZNAS 14-17
Bagian Keempat : Tata Cara Pemberhentian 18-29
Bagian Kelima : Anggota BAZNAS Pengganti 30
IV Organisasi dan Tata Kerja BAZNAS 31-46
Bagian Kesatu : BAZNAS 31
Bagian Kedua : BAZNAS Provinsi 32-38
Bagian Ketiga : BAZNAS Kabupaten/Kota 39-45
Bagian Keempat : Unit Pengumpul Zakat (UPZ) 46
128
Pasal 78 Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. 129
Pasal 83 Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
50
V Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat BAZNAS 47-52
VI Lingkup Kewenangan Pengumpul Zakat 53-55
VII Persyaratan Organisasi, Mekanisme Perizinan, dan Pembentukan
Perwakilan LAZ
56-66
Bagian Kesatu : Persyaratan Organisasi 56-57
Bagian Kedua : Mekanisme Perizinan 58-61
Bagian Ketiga : Pembentukan Perwakilan LAZ 62-65
Bagian Keempat : Amil Zakat Perseorangan atau Perkumpulan Orang
dalam Masyarakat
66
VIII Pembiayaan BAZNAS dan Penggunaan Hak Amil 67-70
IX Pelaporan dan Pertanggungjawaban BAZNAS dan LAZ 71-76
X Sanksi Administratif 77-84
XI Ketentuan Penutup 85-86
4. Peraturan Menteri Agama No. 5 Tahun 2016
Dua tahun berselang, pemerintah melalui kementerian yang menaungi
pengelolaan zakat di Indonesia yaitu Kementerian Agama, mengeluarkan Peraturan
Menteri Agama (PMA) yang fokus pada pengenaan sanksi bagi para pengelola zakat
yang melanggar ketentuan-ketentuan dan aturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengelola zakat yang dimaksud dalam PMA ini meliputi BAZNAS, LAZ,
serta amil zakat perseorangan atau perkumpulan. Masjid yang mengelola zakat
masuk pada kategori amil zakat perkumpulan orang.
Pengenaan sanksi administratif yang dimaksud tidak semudah yang
dibayangkan, karena harus melalui berbagai macam proses yang diatur dalam
Peraturan Menteri Agama No. 5 Tahun 2016. Dalam konteks sanksi adminstratif
yang diberikan kepada amil perkumpulan orang (DKM masjid), sebelum diberikan
sanksi, harus ada pelaporan dugaan pelanggaran terlebih dahulu kepada Kepala
Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota sebagai pejabat yang berwenang
menetapkan sanksi. Setelah ada laporan masuk, maka dilakukan pemeriksaan berupa
verifikasi, klarifikasi, dan investigasi yang dilakukan selambat-lambatnya 15 hari
kerja setelah laporan diterima. Jika dalam proses pemeriksaan tersebut ditemukan
adanya pelanggaran yang dilakukan oleh DKM Masjid dalam pengelolaan zakat
dengan disertai bukti-bukti, maka barulah sanksi itu diberikan kepada DKM
Masjid130
.
5. Peraturan BAZNAS No. 2 Tahun 2016
Meski dalam undang-undang pengelolaan zakat, masjid tidak disebutkan
secara eksplisit sebagai institusi yang dapat mengelola zakat, tetapi fakta historis-
sosiologis tentang fungsi masjid di masyarakat yang juga melakukan pengelolaan
zakat (meskipun di waktu tertentu misalnya bulan Ramadan) tidak bisa
130
Peraturan Menteri Agama No.5 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi
Administratif dalam Pengelolaan Zakat.
51
dikesampingkan begitu saja oleh BAZNAS dalam hal sebagai regulator pengelolaan
zakat di Indonesia.
Berdasarkan undang-undang131
, BAZNAS diberikan kewenangan untuk
membentuk Unit Pengumpul Zakat (UPZ) di berbagai instansi pemerintah maupun
swasta di tiap tingkatannya, yaitu BAZNAS untuk UPZ tingkat nasional, BAZNAS
Provinsi untuk UPZ di tingkat daerah provinsi, dan BAZNAS Kabupaten/Kota di
tingkat kotamadya sampai kecamatan, kelurahan dan tingkat satuan daerah yang
paling kecil.
Dalam peraturan BAZNAS ini, masjid sangat dimungkinkan -justru
didorong- untuk masuk dalam jaringan dan koordinasi pengelola zakat yang resmi
dengan menjadi UPZ, karena hanya dengan mekanisme itu lah, pengelolaan zakat
yang dilakukan oleh masjid-masjid tersebut bisa dikatakan legal secara undang-
undang yang berlaku. Kalaupun para pengurus masjid tidak menjadikan aspek izin
dan legalistik sebagai tolok ukur yang penting dalam pengelolaan zakat, tetapi
masjid yang telah bergabung dengan jaringan BAZNAS, cepat atau lambat
manajemen dan tata kerja pengelolaan zakat yang dilakukannya pun akan mengikuti
standar yang ditentukan oleh BAZNAS, proses pengelolaannya diawasi, serta
diberikan pelatihan dan bimbingan sehingga kualitas pengelolaannya menjadi lebih
baik.
Tabel 3.
Konstruksi Peraturan BAZNAS No. 2 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Tata Kerja
Unit Pengumpul Zakat
BAB Judul Umum BAB Pasal
I Ketentuan Umum 1
II Kedudukan, Tugas, dan Fungsi 2-9
III Organisasi UPZ 10-26
IV Tata Cara Pembentukan UPZ 27-31
V Sosialisasi, Edukasi, dan Layanan Muzaki 32-34
VI Mekanisme Kerja UPZ 35-41
VII Perencanaan 42-47
VIII Pelaporan 48-52
IX Keuangan 53-55
X Sanksi 56-59
XI Ketentuan Peralihan 60
XII Ketentuan Penutup 61-62
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwasanya posisi masjid dalam
pengelolaan zakat di Indonesia pada dasarnya hanya diproyeksikan menjadi UPZ,
tidak sebagai lembaga amil zakat yang independen. Selain itu, masjid yang
dikatakan legal untuk mengelola zakat hanya yang menjadi UPZ BAZNAS ataupun
yang bermitra dengan LAZ.
Meskipun ada kondisi di mana masjid dan amil zakat perseorangan atau
kelompok boleh mengelola zakat, ketika mereka berada di wilayah yang belum
terjangkau oleh BAZNAS ataupun LAZ dan melaporkan kegiatan pengelolaannya
131
Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
52
kepada KUA setempat, tetapi syarat tersebut tentu tidak lagi berlaku bagi masjid di
wilayah perkotaan yang jelas sudah terjangkau oleh BAZNAS juga LAZ.
D. Struktur Hierarki Pengelola Zakat
Salah satu cita-cita undang-undang zakat adalah menjadikan pengelolaannya
rapi dalam struktur yang jelas, sehingga adanya pembagian wewenangan antar para
instansi pengelola zakat di berbagai tingkatan wilayah. Struktur pengelola zakat ini
tidak terlepas dari bentuk struktur pemerintahan di Indonesia mulai dari tingkat
Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, Keluarahan, hingga Rukun Warga
(RW) dan Rukun Tetangga (RT).
Struktur pengelola zakat dalam sejarahnya mengalami perubahan yang
signifikan, terutama ketika undang-undang tentang pengelolaan zakat diamandemen
pada tahun 2011. Mengacu pada undang-undang pengelolaan zakat yang pertama
yaitu Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, struktur
pengelola zakat yang dibentuk pemerintah dibagi menjadi beberapa tingkatan yaitu
Badan Amil Zakat tingkat Nasional, Badan Amil Zakat tingkat Daerah Provinsi,
Badan Amil Zakat tingkat Daerah Kabupaten/Kota, dan Badan Amil Zakat tingkat
Kecamatan.
Badan Amil Zakat menurut Undang-Undang Pengelolaan Zakat Tahun 1999
hanya dibentuk sampai tingkat Kecamatan. Adapun di tingkat kelurahan,
dimungkinkan untuk dibentuk Unit Pengumpul Zakat oleh Badan Amil Zakat
tingkat Kecamatan.
Amandemen yang dilakukan terhadap Undang-Undang No. 38 Tahun 1999
menjadi Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 turut mengubah bentuk struktur
pengelola zakat. Perubahan tersebut mulai dari penggunaan nama baku hingga
penghilangan struktur pengelola zakat di tingkat Kecamatan.
Instansi pengelola zakat yang dibentuk pemerintah haruslah menggunakan
nama resmi dan baku yaitu Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS). Tidak ada lagi
penggunaan istilah Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA), tetapi berubah menjadi
BAZNAS Provinsi dan BAZNAS Kabupaten/Kota. Meskipun demikian, ada
pengecualian yang diberikan kepada institusi pengelola zakat di Provinsi Aceh,
mereka diperbolehkan menggunakan nama selain BAZNAS, yaitu Baitul Mal132
Penggunaan nama resmi dan baku bagi instansi pengelola zakat di Indonesia
bukan menjadi hal yang sepele. Buktinya nama instansi pengelola zakat di Provinsi
DKI Jakarta terus dipermasalahkan oleh BAZNAS karena dianggap tidak
menyesuaikan diri dengan undang-undang pengelolaan zakat yang ada. Selain juga
132
Penjelasan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat Pasal 15
ayat (1). Hal tersebut juga dilandasi oleh aturan hukum yang jelas yaitu Undang-Undang No.
11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam Undang-undang tersebut setidaknya ada
2 pasal yang menegaskan posisi hukum Baitul Mal sebagai BAZNAS-nya Provinsi Aceh,
yaitu pasal 180 ayat (1) huruf d, “Zakat merupakan salah satu penerimaan daerah Aceh dan
Penerimaan Daerah Kabupaten Kota” dan pasal 191, “Zakat, Harta Wakaf dan Harta Agama
lainnya dikelola oleh Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal Kabupaten/Kota yang diatur dengan
Qanun”.
53
karena terpisahnya jalur koordinasi antara BAZNAS dengan instansi pengelola zakat
di Ibukota tersebut.
Provinsi DKI Jakarta memang telah lebih dahulu memiliki instansi
pengelola zakat yang dinamakan Badan Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah (BAZIS)
sebelum dibentuknya BAZNAS pada tahun 2001. BAZIS DKI Jakarta dibentuk
berdasarkan Surat Keputusan Gubernur (ketika dijabat oleh Ali Sadikin) No Cb.
14/8/18/68 tertanggal 5 Desember 1968 tentang Pembentukan Badan Amil Zakat,
berdasarkan syariat Islam dalam wilayah DKI Jakarta di Tahun 1968.
Setelah sekian lama beroperasi BAZIS DKI akhirnya dituntut untuk
menyesuaikan diri terhadap Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 yang menegaskan
BAZNAS sebagai badan pemerintah non-struktural yang resmi dibentuk dan
diberikan wewenang untuk melaksanakan pengelolaan zakat di Indonesia. Dualisme
BAZIS dan BAZNAS selalu terjadi pasca diundangkannya peraturan zakat tersebut,
hingga akhirnya BAZIS DKI Jakarta bersedia meleburkan diri ke dalam BAZNAS
di Tahun 2019133
.
Dengan meleburnya BAZIS DKI Jakarta ke dalam struktur dan jalur
koordinasi BAZNAS, maka tidak ada lagi dualisme instansi pengelola zakat
pemerintah, semuanya berada di bawah payung BAZNAS, sehingga kini struktur
hierarki pengelola zakat di Indonesia adalah sebagai berikut: Tabel 4.
Struktur Hierarki Pengelola Zakat di Indonesia
No
Instansi
Cakupan Wilayah Pemerintah
Unit
Pengumpul Swasta/Masyarakat
1 BAZNAS UPZ BAZNAS LAZ skala Nasional Nasional
2
BAZNAS Provinsi,
Baitul Mal Aceh
UPZ BAZNAS
Provinsi
Perwakilan/Cabang
LAZNAS, LAZ
skala Provinsi
Daerah Provinsi
3.
BAZNAS
Kabupaten/Kota,
Baitul Mal
Kabupaten/Kota di
Aceh
UPZ BAZNAS
Kabupaten/
Kota
LAZ skala
Kabupaten/Kota
Daerah
Kabupaten/Kota,
Kecamatan,
Kelurahan, RW, RT
Sumber: Diolah penulis dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2011
Masyarakat yang juga berpartisipasi dalam pengelolaan zakat bisa
diposisikan sejajar dengan BAZNAS di tiap tingkatnya, yaitu dengan membentuk
Lembaga Amil Zakat (LAZ) sesuai skala yang diizinkan. Pemerintah melalui
Kementerian Agama tidak main-main dalam memberikan izin operasional bagi
masyarakat yang ingin menjadi LAZ, karena ada banyak syarat yang harus dipenuhi
untuk mendapatkan izin tersebut. Di antara syarat tersebut adalah kesanggupan
untuk menghimpun dana zakat dengan nominal tertentu dalam tiap tahunnya.
133
Mekanisme berakhirnya BAZIS dan transisi menjadi BAZNAS diatur dalam Peraturan
Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 3 Tahun 2019 tentang Penyelesaian
Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Badan Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Jakarta
54
LAZ berskala nasional diharuskan menyanggupi target penghimpunan dana
zakat sebesar Rp. 50.000.000.000 (lima puluh milyar rupiah) per tahun, LAZ
berskala Provinsi sebesar Rp. 20.000.000.000 (dua puluh milyar rupiah) per tahun,
dan LAZ berskala Kabupaten/Kota sebesar Rp. 3.000.000.000 (tiga milyar rupiah)
per tahun134
. Nominal yang tidak kecil tersebut ditetapkan sebagai cara untuk
mengoptimalkan kinerja LAZ sehingga bisa memberikan dampak yang signifikan
tentu dalam efektivitas dan efesiensi pendistribusiannya.
Di sisi lain, ketatnya perizinan untuk menjadi LAZ adalah salah satu bentuk
politik kebijakan pemerintah dalam membatasi kemunculan LAZ-LAZ yang tidak
kompeten dan profesional demi menjaga dan meningkatkan kualitas pengelolaan
zakat yang dilakukan.
1. BAZNAS dan LAZ skala Nasional
BAZNAS adalah pusat pengelola zakat yang beroperasi secara nasional,
berkedudukan di Ibukota Negara Indonesia. Dalam hal pengelolaan zakat, BAZNAS
memiliki 2 fungsi, yaitu sebagai regulator yang mengatur dan mengeluarkan regulasi
terkait pengelolaan zakat di Indonesia dan juga operator yaitu turut melakukan
penghimpunan dana zakat serta pendistribusian dan pendayagunaan sebagaimana
lembaga zakat pada umumnya. Fungsi ganda ini oleh sebagian pengamat filantropi
Islam di Indonesia dianggap menjadi salah satu sumber kendala dan masalah dalam
proses penghimpunan dana zakat.
Menurut Azyumardi Azra misalnya135
, pemerintah (dalam hal ini BAZNAS)
seharusnya cukup menjalankan fungsi regulasi dan pengawasan, tidak perlu ikut
beroperasi menghimpun dana zakat, sehingga kesan persaingan dan kontestasi
penggalangan dana sosial keagamaan di Indonesia antara yang dilakukan pemerintah
dan swasta tidak lagi terlihat. Jika pun memang ada persaingan, pihak pemerintah
pastinya memiliki kewenangan yang cukup kuat untuk meregulasi aturan-aturan
zakat yang mendukung kinerja BAZNAS. Hal itu terbukti dengan dikeluarkannya
Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2014 tentang Optimalisasi Pengumpulan Zakat di
Kementerian/Lembaga, Sekretaris Jenderal Lembaga Negara, Sekretariat Jenderal
Komisi Negara, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara,dan Badan Usaha
Milik Daerah melalui Badan Amil Zakat Nasional.
Sebagai regulator, BAZNAS memiliki kewenangan untuk mengatur hal-hal
yang berkenaan dengan pengelolaan zakat. Di saat yang sama BAZNAS juga
mengawasi dan meminta laporan seluruh kegiatan pengelolaan zakat yang dilakukan
oleh para pengelola zakat di seluruh Indonesia dalam rangka memantau
perkembangan kinerja tiap instansi.
Selain BAZNAS, di tingkat nasional ada juga institusi pengelola zakat yang
berasal dari masyarakat, yang disebut LAZ. Ada 25 LAZ yang telah resmi
134
Persyaratan lainnya telah ditentukan dalam Keputusan Menteri Agama No. 333 Tahun
2015 tentang Pedoman Pemberian Izin Pembentukan Lembaga Amil Zakat. 135
Diakses melalui laman https://www.uinjkt.ac.id/id/negara-dan-pengelolaan-zakat/ pada 10
Juli 2019 pukul 08.51 WIB.
55
direkomendasikan BAZNAS dan mengantongi izin dari Kementerian Agama (1
LAZ sedang proses perizinan) untuk mengelola zakat secara nasional136
, yaitu:
1) LAZ Rumah Zakat Indonesia
2) LAZ Daarut Tauhid
3) LAZ Baitul Maal Hidayatullah
4) LAZ Dompet Dhuafa Republika
5) LAZ Nurul Hayat
6) LAZ Inisiatif Zakat Indonesia
7) LAZ Yatim Mandiri Surabaya
8) LAZ Lembaga Manajemen Infak Ukhuwah Islamiyah
9) LAZ Dana Sosial Al Falah Surabaya
10) LAZ Pesantren Islam Al Azhar
11) LAZ Baitulmaal Muamalat
12) LAZ Lembaga Amil Zakat Infak dan Shadaqah Nahdlatul Ulama
(LAZIS NU)
13) LAZ Global Zakat
14) LAZ Muhammadiyah
15) LAZ Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia
16) LAZ Perkumpulan Persatuan Islam
17) LAZ Rumah Yatim Ar-Rohman Indonesia 18) LAZ Yayasan Kesejahteraan Madani
19) LAZ Yayasan Griya Yatim & Dhuafa
20) LAZ Yayasan Daarul Qur‟an Nusantara (PPPA)
21) LAZ Yayasan Baitul Ummah Banten
22) LAZ Yayasan Pusat Peradaban Islam (AQL)
23) LAZ Yayasan Mizan Amanah
24) LAZ Panti Yatim Indonesia Al-Fajr
25) LAZ Wahdah Islamiyah (sedang dalam proses perizinan di Kementerian
Agama) Secara geografis, ke-25 LAZ tersebut banyak berkedudukan di pulau Jawa
tepatnya di Provinsi DKI Jakarta, berikut ringkasannya dalam tabel Tabel 5.
Jumlah LAZ Nasional Berdasarkan Wilayah Kantor Kedudukannya
No. Provinsi Jumlah
LAZ Nasional
1 DKI Jakarta 11
2 Banten 4
3 Jawa Barat 5
4 Jawa Timur 4
5 Sulawesi Selatan 1
Total 25
Sumber: Data diolah penulis
136
Diakses melalui laman https://pid.baznas.go.id/laz-nasional/ pada 07 Juli 2019 Pukul
17.20 WIB. Daftar rekapitulasi LAZ ini adalah yang terupdate sesuai yang termuat di laman
resmi BAZNAS.
56
Jika kita perhatikan daftar daftar LAZ berskala Nasional di atas, tidak
satupun yang berbentuk instansi masjid, hal ini menandakan bahwasanya kapasitas
LAZ memang dituntut untuk memiliki pengelolaan yang profesional sehingga
mampu menjalankan program zakatnya secara nasional setiap waktu, sedangkan
masjid dalam hal mengelola zakat nampaknya tidak diproyeksikan untuk menjadi
LAZ yang menghimpun dan mendistribusikan zakat ke berbagai wilayah di
Indonesia, tetapi eksistensi pengelolaan zakat mereka bersifat lokal dan temporal.
Dari tabel di atas juga kita bisa lihat bahwasanya LAZ berskala nasional ini
banyak terkonsentrasi di DKI Jakarta yang menandakan potensi zakat yang ada di
kota ini besar di berbagai sektor, karena secara komposisi masyarakat pun kota-kota
di Jakarta berpenghasilan menengah ke atas sehingga sangat strategis jika kantor
sekretariat LAZ ini berpusat di Jakarta.
2. BAZNAS Provinsi dan LAZ skala Provinsi
BAZNAS Provinsi berkedudukan di setiap provinsi di Indonesia, BAZNAS
Provinsi berjumlah 34 yang berkantor di tiap Ibukota Provinsi137
. Khusus di DKI
Jakarta, BAZNAS Provinsi baru saja dibentuk melanjutkan perjuangan BAZIS
dalam mengelola zakat warga Ibukota dengan tidak menghilangkan nama BAZIS di
belakang nama BAZNAS. Hal tersebut dikarenakan masyarakat sudah sangat
familiar dan mengenal baik nama BAZIS sehingga diharapkan tidak mengurangi
kepercayaan yang telah dibangun di masyarakat. Ketika nama BAZIS sepenuhnya
dihilangkan dan tidak digunakan lagi, dikhawatirkan adanya kebingungan di
masyarakat yang menganggap ada lembaga zakat baru di Jakarta selain BAZIS138
.
Jika ditelusuri dalam sumber online, nama website yang dipakai masih
menggunakan www.bazisjakarta.id tidak seperti laman website BAZNAS Provinsi
pada umumnya yang hanya menggabungkan nama BAZNAS dengan nama Provinsi.
Meskipun demikian, nama resmi BAZNAS yang digunakan di Provinsi DKI Jakarta
adalah BAZNAS (BAZIS) Provinsi DKI Jakarta. Nama BAZIS berada di dalam
kurung setelah BAZNAS. Gubernur Provinsi DKI Jakarta menyebutkan bahwa
BAZNAS (BAZIS) Provinsi DKI Jakarta adalah nama satu-satunya yang dipakai
oleh BAZNAS Provinsi, hal itu karena BAZNAS pun memahami dan menyadari
bahwasanya perubahan nama ini merupakan bagian dari sejarah pengelolaan zakat
yang panjang139
.
Menanggapi hal tersebut, penulis tidak terlalu mempermasalahkan nama
yang dipakai BAZNAS (BAZIS) Provinsi DKI Jakarta, karena hal yang mendasar
adalah telah bergabungnya pengelola zakat Provinsi DKI Jakarta ke dalam satu
137
Diakses melalui laman https://pid.baznas.go.id/baznas-provinsi/ pada 10 Juli 2019 pukul
07.14 WIB 138
Diakses pada 08 Juli 2019 pukul 10.50 WIB. di laman
https://megapolitan.kompas.com/read/2018/06/07/13545661/ikuti-baznas-pemprov-dki-
tetap-pertahankan-nama-bazis 139
Diakses pada 08 Juli 2019 pukul 11.08 WIB di laman https://www.msn.com/id-
id/berita/nasional/anies-ajak-warga-dki-salurkan-zis-melalui-bazis-dki/ar-AAC5uII
57
koordinasi nasional pengelolaan zakat di bawah naungan BAZNAS sesuai kehendak
undang-undang yang berlaku. Gubernur DKI Jakarta; Anies Baswedan bahkan telah
melantik anggota BAZNAS (BAZIS) Provinsi DKI Jakarta periode 2019-2024 pada
29 April 2019 di Balairung Balaikota Jakarta140
. Apapun nama lembaga zakatnya,
yang diharapkan adalah program serta kegiatan yang baik dalam menghimpunan
zakat dan memanfaatkannya untuk kesejahteraan masyarakat muslim Ibukota yang
membutuhkan sehingga bisa membantu pemerintah dalam mengurangi tingkat
kemiskinan di Indonesia.
Sementara itu jumlah LAZ skala Provinsi yang telah diberikan rekomendasi
BAZNAS dan mendapatkan izin Kementerian Agama (1 LAZ sedang dalam proses
perizinan) berjumlah 9 LAZ, yaitu:
1) LAZ Baitul Maal FKAM di wilayah Provinsi Jawa Tengah
2) LAZ Semai Sinergi Umat di wilayah Provinsi Jawa Barat
3) LAZ Dompet Amal Sejahtera Ibnu Abbas (DASI) di wilayah Provinsi
Nusa Tenggara Barat
4) LAZ Dompet Sosial Madani (DSM) di wilayah Provinsi Bali 5) LAZ Harapan Dhuafa Banten di wilayah Provinsi Banten 6) LAZ Solo Peduli Umat di wilayah Provinsi Jawa Tengah 7) LAZ Dana Peduli Umat Kalimantan Timur di wilayah Provinsi
Kalimantan Timur 8) LAZ Al-Ihsan Jawa Tengah di wilayah Provinsi Jawa Tengah 9) LAZ Yayasan Nurul Fikri Palangkaraya di wilayah Provinsi
Palangkaraya (sedang dalam proses perizinan di Kememterian Agama)
3. BAZNAS Kabupaten/Kota dan LAZ skala Kabupaten/Kota
BAZNAS Kabupaten/Kota merupakan pengelola zakat resmi bentukan
pemerintah yang berkedudukan di Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia dan
berwenang untuk melakukan pengelolaan zakat mulai dari penghimpunan,
pendistribusian, dan pendayagunaan dana zakat di wilayah tingkat Kabupaten/Kota.
Belum semua Kabupaten/Kota di Indonesia memiliki BAZNAS
Kabupaten/Kota. Jumlah resmi BAZNAS Kabupaten/Kota yang telah mendapatkan
pertimbangan BAZNAS ada 448141
dari total 514 Kabupaten/Kota di Indonesia.
Sementara itu jumlah LAZ skala Kabupaten/Kota yang telah diberikan rekomendasi
BAZNAS dan mendapatkan izin Kementerian Agama (3 LAZ sedang dalam proses
perizinan) berjumlah 25 LAZ, yaitu:
1) LAZ Swadaya Ummah di wilayah Kota Pekanbaru
2) LAZ Ibadurrahman di wilayah Kabupaten Bengkalis
3) LAZ Abdurrahman Bin Auf di wilayah Kota Jakarta Timur
140
Diakses pada 08 Juli 2019 pukul 11.10 WIB di laman
http://www.beritajakarta.id/read/68429/anies-lantik-pengurus-baznas-bazis-
dki#.XSK6IhNEnIU 141
Diakses melalui laman https://pid.baznas.go.id/baznas-kab-kota/ pada 10 Juli 2019 pukul
01.13 WIB.
58
4) LAZ Komunitas Mata Air Jakarta di wilayah Jakarta Selatan
5) LAZ Baitul Mal Madinatul Iman di wilayah Jakarta Pusat
6) LAZ Bina Insan Madani Dumai di wilayah Kota Dumai
7) LAZ DSNI Amanah Batam di wilayah Kota Batam
8) LAZ Rumah Peduli Umat Bandung Barat di wilayah Kabupaten
Bandung Barat
9) LAZ Ummul Quro‟ Jombang di wilayah Kabupaten Jombang
10) LAZ Dompet Amanah Umat Sedati Sidoarjo di wilayah Kabupaten
Sidoarjo
11) LAZ Zakatku Bakti Persada di wilayah Kota Bandung
12) LAZ Indonesia Berbagi di wilayah Kota Bandung
13) LAZ Amal Madani Indonesia di wilayah Kabupaten Cimahi
14) LAZ Insan Masyarakat Madani di wilayah Kabupaten Bekasi
15) LAZ Al Bunyan Bogor di wilayah Kota Bogor
16) LAZ Yayasan Amal Sosial As-Shohwah Malang di wilayah Kota
Malang
17) LAZ Yayasan Zakat Sukses di wilayah Kota Depok
18) LAZ Yayasan Baitul Maal Barakatul Ummah di wilayah Kota Bontang
19) LAZ Yayasan Al-Irysad Al-Islamiyyah Purwokerto di wilayah
Kabupaten Banyumas
20) LAZ Yayasan Lembaga Pengembangan Infaq Mojokerto di wilayah
Kota Mojokerto
21) LAZ Yayasan Ulil Albab di wilayah Kota Medan
22) LAZ Yayasan Nahwa Nur di wilayah Kabupaten Bogor
23) LAZ Yayasan Dana Kemanusiaan Dhuafa Magelang di wilayah Kota
Magelang (sedang dalam proses perizinan di Kementerian Agama)
24) LAZ Gema Indonesia Sejahtera di wilayah Kota Bekasi (sedang dalam
proses perizinan di Kementerian Agama)
25) LAZ Yayasan Rumah Itqon Zakat dan Infak di wilayah Kabupaten
Jember (sedang dalam proses perizinan di Kementerian Agama)
4. Unit Pengumpul Zakat
Unit Pengumpul Zakat (UPZ) merupakan satuan organisasi yang dibentuk
oleh BAZNAS, BAZNAS Provinsi, dan BAZNAS Kabupaten/Kota untuk
membantu mengumpulkan zakat.
UPZ ini bertugas membantu BAZNAS, BAZNAS Provinsi, dan BAZNAS
Kabupaten/Kota dalam hal pengumpulan zakat. Jika diperlukan bahkan BAZNAS,
BAZNAS Provinsi, dan BAZNAS Kabupaten/Kota bisa memberikan wewenang
kepada UPZ untuk membantu pendistribusian dan pendayagunaan zakat.
59
Perlu dipahami, bahwasanya terminologi UPZ dikhususkan untuk satuan
organisasi yang dibentuk BAZNAS, BAZNAS Provinsi, dan BAZNAS
Kabupaten/Kota sesuai amanat undang-undang, sehingga tidaklah tepat penggunaan
nama UPZ bagi mitra dari LAZ. Lembaga Amil Zakat dapat membentuk perwakilan
LAZ di setiap provinsi dan Kabupaten/Kota, ataupun mereka bisa menggandeng
masjid atau institusi lainnya sebagai mitra, dan hal ini tidak masuk dalam aturan
UPZ.
Mengenai aturan pembentukan UPZ dan tata kelolanya, BAZNAS telah
mengeluarkan aturan rinci yaitu Peraturan BAZNAS No. 2 Tahun 2016. Dalam
peraturan tersebut, pembentukan UPZ bisa dilakukan di berbagai instansi di
antaranya142
:
a. lembaga negara,
b. kementerian/lembaga pemerintah non kementerian,
c. badan usaha milik negara,
d. perusahaan swasta nasional dan asing,
e. perwakilan Republik Indonesia di luar negeri,
f. kantor-kantor perwakilan negara asing/lembaga asing,
g. masjid negara,
h. kantor institusi vertikal,
i. kantor satuan kerja perangkat daerah/ lembaga daerah provinsi,
j. badan usaha miliki daerah provinsi,
k. perusahan swasta skala provinsi,
l. perguruan tinggi,
m. masjid raya,
n. kantor satuan kerja lembaga daerah/ lembaga daerah kabupaten/kota,
o. kantor institusi vertikal tingkat kabupaten/kota,
p. badan usaha milik daerah kabupaten/kota,
q. perusahan swasta skala kabupaten/kota,
r. masjid, musala, langgar, surau, atau nama lainnya,
s. sekolah/madrasah dan lembaga pendidikan lain, dan
t. kecamatan atau nama lainnya.
Sesuai yang disebutkan sebelumnya, UPZ ini dibentuk berdasarkan
tingkatan BAZNAS yang ada. Pada dasarnya, cara pembetukan UPZ bisa dilakukan
melalui 2 jalur, pertama BAZNAS/BAZNAS Provinsi/BAZNAS Kabupaten/Kota
mengusulkan instansi tertentu untuk membentuk UPZ, dan jalur kedua pimpinan
instansi tertentu mengusulkan kepada BAZNAS/BAZNAS Provinsi/BAZNAS
Kabupaten/Kota untuk dibentuk UPZ. Jadi inisiatif pembentukan UPZ bisa juga
dilakukan oleh masyarakat tidak harus menunggu usulan BAZNAS/BAZNAS
Provinsi/BAZNAS Kabupaten/Kota.
Dalam konteks UPZ adalah sebuah masjid, maka kewenangan
pembentukannya sebagai berikut:
142
Ketentuan Umum, pasal 1 Peraturan poin ke-19 Peraturan BAZNAS No.2 Tahun 2016
tentang Pembentukan dan Tata Kerja Unit Pengumpul Zakat
60
a. UPZ Masjid di tingkat Nasional
UPZ masjid di tingkat Nasional ditetapkan oleh Keputusan Ketua
BAZNAS. Sebagaimana BAZNAS adalah suatu institusi pusat pengelola
zakat, dan masjid Negara hanya ada satu, maka BAZNAS hanya memiliki 1
UPZ masjid yaitu UPZ BAZNAS Masjid Istiqlal143
.
Format penamaan UPZ telah ditentukan, yaitu UPZ + BAZNAS +
Institusi. Selain masjid, BAZNAS telah memiliki banyak UPZ di
kementerian dan lembaga negara.
b. UPZ Masjid di tingkat Provinsi
BAZNAS Provinsi dapat membentuk UPZ di instansi yang berada
dalam wilayahnya. Jika instansi itu berupa masjid, maka masjid-masjid di
tingkat provinsi bisa dibantuk UPZ nya.
Pembentukan UPZ di tingkat BAZNAS Provinsi ditetapkan melalui
Keputusan Ketua BAZNAS Provinsi.
c. UPZ Masjid di tingkat Kabupaten/Kota
Masjid yang berada di tingkat Kabupaten/Kota atau di skala yang lebih
bawah (kecamatan, kelurahan, dan umum) bisa dijadikan sebagai UPZ oleh
BAZNAS Kabupaten/Kota atau mengusulkan diri secara langsung kepada
BAZNAS Kabupaten/Kota untuk dibentuk UPZ. Tidak hanya masjid,
bahkan musala juga bisa dibentuk UPZ.
UPZ masjid di tingkat ini dibentuk melalui Keputusan Ketua BAZNAS
Kabupaten/Kota.
BAZNAS sebagai lembaga zakat yang dijalankan secara profesional
mengatur tata kerja UPZ juga dengan organisasi yang profesional, hal tersebut
terlihat dalam struktur kerja alat kelengkapan (divisi-divisi di bawah UPZ) yang
diatur dalam membantu UPZ menjalankan tugas dan fungsinya, di antaranya adalah
a. Divisi Pengumpulan
b. Divisi Tugas Pembantuan Penyaluran
c. Divisi Perencanaan, Keuangan, dan Pelaporan
d. Divisi SDM, Administrasi, dan Umum
Empat bidang inilah yang utama bagi UPZ dalam menjalankan tugas dan
fungsinya baik di aspek pengumpulan maupun pendistribusian dan pendayagunaan.
Organisasi yang dijalankan secara profesional tentulah memiliki struktur yang jelas,
tugas dan kewajibannya telah ditentukan sehingga setiap bagian akan bekerja
dengan sinergis untuk mencapai tujuan bersama.
Tipe UPZ jika didasarkan atas tugasnya ada 2 macam, yaitu UPZ yang
hanya melakukan pengumpulan zakat dan UPZ yang melakukan pengumpulan juga
pendistribusian serta pendayagunaan. Struktur kelengkapan organisasi yang
143
UPZ BAZNAS Masjid Istiqlal dibentuk dan diresmikan BAZNAS pada tanggal 17 Mei
2018.
61
dibutuhkan kedua jenis UPZ tersebut sedikit berbeda, seperti tertera pada tabel
berikut:
Tabel 6.
Jenis UPZ sesuai Tugasnya menurut BAZNAS
Jenis UPZ
Divisi
Pengumpulan
Divisi Tugas
Pembantuan
Penyaluran
Divisi
Perencanaan,
Keuangan, dan
Pelaporan
Divisi SDM,
Administrasi,
dan Umum
UPZ
Pengumpulan Harus ada Tidak ada Harus ada Harus ada
UPZ
Pengumpulan
dan Tugas
Pembantuan
Penyaluran
Harus ada Harus ada Harus ada Harus ada
Sumber: Pedoman Pengelolaan Unit Pengumpul Zakat BAZNAS
Semua UPZ yang dibentuk BAZNAS/ BAZNAS Provinsi/ BAZNAS
Kabupaten/Kota memiliki fungsi yang jelas sesuai yang telah diatur dalam Peraturan
BAZNAS No. 2 Tahun 2016 yaitu:
a. Melakukan sosialisasi dan edukasi zakat pada masing-masing institusi
yang menaungi UPZ
b. Mengumpulkan zakat pada masing-masing institusi yang menaungi UPZ
c. Mendata dan melayani muzaki pada masing-masing institusi yang
menaungi UPZ
d. Menyerahkan Nomor Pokok Wajib Zakat (NPWZ) dan Bukti Setor
Zakat yang diterbitkan oleh BAZNAS, atau BAZNAS Provinsi, atau
BAZNAS Kabupaten/Kota kepada muzaki di institusi masing-masing.
e. Menyusun Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) UPZ untuk
program pengumpulan dan tugas peembantuan pendistribusian dan
pendayagunaan zakat BAZNAS, atau BAZNAS Provinsi, atau
BAZNAS Kabupaten/Kota.
f. Menyusun laporan kegiatan pengumpulan dan tugas peembantuan
pendistribusian dan pendayagunaan zakat BAZNAS, atau BAZNAS
Provinsi, atau BAZNAS Kabupaten/Kota.
Khusus UPZ institusi masjid, dibenarkan secara aturan untuk
mengumpulkan zakat dari masyarakat, tidak seperti institusi lain yang hanya terbatas
menghimpun zakat pegawai yang bekerja pada institusi tersebut144
. Dalam
praktiknya, masjid -sebagaimana yang kita ketahui- tidak hanya mengumpulkan
144
Pasal 9 Peraturan BAZNAS No.2 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Tata Kerja Unit
Pengumpul Zakat.
62
dana zakat, akan tetapi ada juga dana yang bukan zakat, seperti infak, sedekah,
fidyah, nazar, dan dana sosial keagamaan lainnya.
Fungsi utama UPZ adalah mengumpulkan zakat, sesuai namanya. UPZ bisa
kita sebut konter-konter BAZNAS di lapangan atau tempat tertentu untuk
memfasilitasi para muzaki yang ingin menunaikan zakatnya. Jadi dana zakat yang
dikumpulkan melalui UPZ akan disetorkan ke BAZNAS pembentuknya dengan
mekanisme tertentu.
Susunan organisasi internal UPZ lebih sederhana dibandingkan LAZ, karena
dalam aturannya minimal cukup dengan 2 struktur utama, yaitu Penasehat dan
Pengurus UPZ. Penasehat UPZ merupakan pimpinan dari institusi masing-masing
UPZ itu bernaung yang tugasnya memberikan pertimbangan dalam menetapkan
RKAT dan pelaksanaan pengumpulan zakat, mengawasi dan membantu pengurus
UPZ dalam menjalankan tugas dan fungsi UPZ.
Sedangkan pengurus UPZ, minimal beranggotakan 3 orang, yang masing-
masing bertindak sebagai ketua, sekretaris, dan bendahara. Pengurus UPZ berasal
dari pejabat, pegawai, pekerja, anggota, atau jamaah dari institusi yang menaungi
UPZ. Pengurus UPZ ini disyaratkan beragama Islam, minimal berusia 25 tahun dan
maksimal 70 tahun, serta tidak tergabung dalam partai politik manapun145
.
Pengurus UPZ dapat membentuk satuan-satuan kerja di bawah mereka,
-dalam aturan BAZNAS disebut alat kelengkapan organisasi sebagaimana yang
telah disebutkan sebelumnya- yang berfungsi membantu pengurus dalam
menjalankan tugas-tugasnya sebagai berikut:
a. Menetapkan RKAT UPZ setelah mendapat pertimbangan penasehat;
b. Melakukan evaluasi atas pelaksanaan tugas dan fungsi UPZ;
c. Menyusun perencanaan pengumpulan zakat;
d. Melaksanakan pengumpulan zakat
e. Melaksanakan pengelolaan data muzaki;
f. Melaksanakan sosialisasi dan edukasi zakat;
g. Memberikan layanan konsultasi zakat;
h. Menyerahkan hasil pengumpulan zakat ke BAZNAS sesuai dengan
tingkatannya.
Dalam aturannya, anggota UPZ juga mendapatkan hak seiring dengan
penunaian kewajiban mereka, ada 2 hak utama yang didapatkan anggota UPZ sesuai
peraturan BAZNAS No. 2 yaitu: Pengurus UPZ berhak mendapatkan pelatihan
sertifikasi Amil dari BAZNAS146
serta mendapatkan bagian hak amil paling banyak
12,5% (dua belas koma lima persen) dari realisasi tugas pembantuan pendistribusian
145
Selain syarat itu, dalam pasal 11 ayat 5 Peraturan BAZNAS No.2 Tahun 2016 disebutkan
juga syarat-syarat berikut: warga negara Indonesia, bertaqwa kepada Allah swt, sehat
jasmani dan rohani, memiliki kompetensi teknis sesuai dengan bidang yang ditugaskan, dan
tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan. 146
Pasal 12 Peraturan BAZNAS No. 2 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Tata Kerja
Unit Pengumpul Zakat.
63
dan pendayagunaan zakat147
. Sedangkan UPZ pengumpulan hanya mendapat 5%
dari total dana yang berhasil dihimpun148
.
Jika dibandingingkan antara UPZ pengumpulan dan UPZ pengumpulan-
tugas perbantuan penyaluran, BAZNAS membedakan hak amil yang diperoleh
keduanya sesuai tugasnya masing-masing. Secara sederhana perbedaan itu dapat
digambarkan dalam tabel berikut:
Tabel 7.
Hak Amil sesuai Jenis UPZ menurut BAZNAS
No Jenis UPZ Hak Amil Sumber
1. UPZ Pengumpulan
5 % Dana yang
dihimpun UPZ
2. UPZ Pengumpulan
dan Tugas
Pembantuan
Penyaluran
12,5 % Tugas pembantuan
penyaluran
Sumber: Pedoman Pengelolaan Unit Pengumpul Zakat BAZNAS
Alur kerja UPZ telah ditentukan oleh BAZNAS149
sehingga tahapan dan
mekanisme kerja UPZ sama di setiap tingkatannya, yaitu:
a. UPZ melaksanakan mandat pengumpulan zakat dari BAZNAS sesuai
tingkatannya dan mulai mengumpulkan zakat dari muzaki di lingkup
wilayah UPZ.
b. Dana zakat yang telah dikumpulkan UPZ wajib disetorkan kepada
BAZNAS sesuai tingkatannya.
c. Jika diperlukan, UPZ dapat melakukan tugas tambahan selain
mengumpulkan zakat, yaitu membantu pendistribusian dan
pendayagunaan zakat. Besarnya dana zakat yang diperkenankan untuk
didistribusikan dan didayagunakan oleh UPZ maksimal 70% dari total
dana yang dikumpulkan.
d. Dalam hal UPZ adalah sebuah institusi masjid, maka dana zakat yang
dapat didistribusikan dan didayagunakan maksimal 100 %, artinya dana
zakat yang dihimpun UPZ masjid disetorkan ke BAZNAS sesuai
tingkatannya, lalu diserahkan lagi ke UPZ untuk didistribusikan dan
didayagunakan seluruhnya. Penyaluran dana zakat ke UPZ ini paling
lambat dilakukan 5 hari kerja setelah dana pengumpulan zakat UPZ
diterima di rekening BAZNAS sesuai tingkatannya.
e. Jika dalam hal tugas pembantuan pendistribusian dan pendayagunaan
zakat tidak dapat terlaksana secara penuh dalam waktu 1 tahun anggaran,
147
Pasal 35 ayat 8 Peraturan BAZNAS No. 2 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Tata
Kerja Unit Pengumpul Zakat. 148
Pasal 35 ayat 10 Peraturan BAZNAS No. 2 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Tata
Kerja Unit Pengumpul Zakat 149
Dijadikan dalam bab tersendiri tentang Mekenisme Kerja UPZ dalam Peraturan BAZNAS
No. 2 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Tata Kerja Unit Pengumpul Zakat, yaitu Bab VI
pasal 35.
64
maka seluruh sisa dana zakat tersebut harus diserahkan kembali kepada
BAZNAS sesuai dengan tingkatannya.
f. UPZ yang hanya melakukan tugas pengumpulan zakat dapat
menggunakan dana pengumpulan zakat maksimal sebesar 5% dari hasil
pengumpulan untuk operasional UPZ
Skema 1.
Alur Kerja UPZ
Sumber: Diolah penulis dari Pedoman Pengelolaan Unit Pengumpul Zakat BAZNAS
E. Pengelolaan Zakat oleh Masjid di Kecamatan Pancoran
Pancoran merupakan salah satu kecamatan di wilayah Kota Administrasi
Jakarta Selatan yang letaknya cukup stategis untuk dijadikan lokasi hunian bagi
warga yang bekerja atau beraktivitas di Jakarta terutama dalam hal akses terhadap
moda transportasi umum seperti Kereta Api Listrik (KRL) Commuter Line150
.
Kecamatan yang memiliki luas total 8,53 Km2 terdiri dari 6 Kelurahan, yaitu :
150
Stasiun KRL yang ada di Kecamatan Pancoran adalah Stasiun Duren Kalibata dan Stasiun
Pasar Minggu Baru. Keduanya merupakan stasiun KRL yang berada di jalur Bogor-Jakarta
Kota atau Bogor-Jatinegara yang selalu dipadati penumpang, khususnya di jam berangkat
dan pulang kerja kantor.
-1-
UPZ mengumpulkan
zakat
-2-
UPZ menyetorkan zakat yang terkumpul ke
rekening BAZNAS sesuai tingkatannya
-3-
BAZNAS menyalurkan zakat
dari UPZ
-4-
UPZ yang diperlukan untuk membantu penyaluran dan pendayagunaan zakat akan
mendapatkan dana zakat dari BAZNAS
-5-
UPZ mendistribusikan dan mendayagunakan dana zakat
65
Kalibata, Rawajati, Durentiga, Pancoran, Pengadegan, dan Cikoko yang
keseluruhannya terdiri dari 46 RW dan 499 RT151
.
Populasi penduduk di Kecamatan Pancoran menurut data BPS tahun 2017
berjumlah 163.235 jiwa dengan kepadatan penduduk lebih dari 19 ribu jiwa per
kilometer persegi152
. Menurut data BPS ini, Kota Administrasi Jakarta Selatan
merupakan kota dengan kepadatan penduduk tertinggi ketiga setelah Kota
Administrasi Jakarta Pusat dan Kota Administrasi Jakarta Barat di wilayah Provinsi
DKI Jakarta.
Penduduk muslim di Kecamatan Pancoran berjumlah 149.580 jiwa atau
sebesar 91,8% dari total jumlah penduduk. Untuk memfasilitasi masyarakat muslim
dalam beribadah, ada 56 masjid dan 98 musala yang tersebar di wilayah kecamatan
ini. Meskipun Kecamatan Pancoran termasuk dalam wilayah perkotaan,
masyarakatnya belum benar-benar menjadi modern secara kultur dan komunikasi,
masyarakat muslim di kecamatan ini masih tergolong dalam tipe masyarakat madya
yang masih terkait erat dengan ikatan kekeluargaan, adat istiadat, serta kebiasaan
yang tumbuh di masyarakat.
Penulis telah menentukan beberapa sampel masjid yang dijadikan objek
penelitian. Pengelolaan zakat yang dilakukan oleh masjid di kecamatan Pancoran ini
hanya dilaksanakan pada bulan Ramadan, penulis mengobservasi masjid-masjid
yang melakukan praktik tersebut di bulan Ramadan tahun 2018 dan 2019 dan juga
melakukan wawancara dengan DKM masjid terkait.
1. Masjid Jami at-Taubah
Masjid yang terletak di Jalan Pancoran Barat VIII ini dibangun tahun 1988
di atas tanah seluas 500m2 yang merupakan tanah wakaf
153. Masjid at-Taubah
tergolong ke dalam tipologi masjid Jami di tingkat kelurahan. Lingkungan sekitar
masjid banyak ditemui tempat usaha seperti warung makan, tempat photocopy, toko
pakaian dan lainnya. Lokasi sekitar masjid ini memang strategis untuk dijadikan
tempat usaha karena letaknya persis di sisi jalan Pancoran Barat VIII yang ramai
dengan lalu lalang kendaraan.
Setiap tahunnya, masjid ini melakukan pengelolaan zakat pada bulan
Ramadan. Zakat yang dikumpulkan adalah zakat fitrah juga zakat mal, selain itu
infak sedekah juga diterima tetapi dialokasikan langsung untuk pembangunan sarana
masjid di tahun 2018-2019.
Pengelolaan zakat dimulai dengan persiapan panitia yang telah dibentuk
DKM. Persiapan meliputi pembuatan seragam panitia zakat, nametag atau tanda
pengenal panitia, membuat banner dan stand penerimaan, sampai membagikan
kantong plastik kepada 9 RT yang ada di wilayah sekitar masjid. Setiap RT
151
Koordinator Statistik Kecamatan Pancoran, Kecamatan Pancoran dalam Angka 2017
(Jakarta: BPS Kota Jakarta Selatan, 2017) 3. 152
Kepadatan penduduk adalah hasil dari jumlah penduduk di suatu wilayah dibagi dengan
jumlah luas daerahnya dalam jangka waktu tertentu. 153
Diakses melalui laman http://simas.kemenag.go.id/index.php/profil/masjid/19675/ pada
23 Oktober 2019.
66
menerima 80 kantong plastik ukuran besar untuk kemudian dibagikan ke rumah-
rumah warga yang ada di kawasan RT tersebut. Kantong plastik tersebut digunakan
untuk tempat beras yang akan ditunaikan sebagai zakat fitrah kepada masjid Jami at-
Taubah154
.
Menurut keterangan Farhat, stand penerimaan zakat masjid Jami at-Taubah
baru dibuka pada H-10 Idul Fitri atau selama 10 hari terakhir Ramadan. Panitia
menerima zakat berupa beras maupun uang tunai. Beras untuk zakat fitrah seberat
2,5 Kg sedangkan zakat fitrah dengan uang tunai ditetapkan sebesar Rp. 40.000
(Empat Puluh Ribu Rupiah). Zakat fitrah berupa beras hanya diterima oleh panitia
hingga H-3 lebaran untuk kemudian didistribusikan kepada mustahik pada hari itu
juga dan mulai H-3 panitia hanya menerima zakat fitrah berupa uang tunai hingga
akhir Ramadan.
Panitia zakat yang dibentuk DKM selain ada yang bertugas menjadi
penerima zakat, ada pula yang bertugas sebagai koordinator lapangan. Bagian ini
bertugas terkait hal-hal yang dibutuhkan aksi langsung di lapangan, seperti
menjemput zakat fitrah berupa beras yang kantong plastiknya sudah disebar ke
rumah-rumah penduduk sekitar masjid dan berkoordinasi dengan RT setempat untuk
mengumpulkan data mustahik yang ada di wilayah RT masing-masing yang
nantinya akan dijadikan sebagai penerima zakat yang dihimpun masjid at-Taubah.
Pembayaran zakat telah dijalankan dengan prosedur yang sudah ditentukan
panitia. Diawali dengan menginput -dengan menggunakan laptop- data dan identitas
muzaki terkait nama, alamat, dan jenis pembayaran yang akan dilakukan apakah
zakat fitrah, zakat mal, infak, sedekah atau lainnya. Setelah itu barulah melakukan
ijab qabul penerimaan zakat dan terakhir muzaki diberikan kuitansi bukti
pembayaran yang telah diformat secara khusus oleh panitia.
Amil zakat yang dipahami oleh DKM masjid Jami at-Taubah adalah petugas
yang dibentuk secara khusus untuk mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan
pengelolaan zakat, meskipun petugas itu dibentuk oleh DKM tetap saja mereka
ditugaskan untuk mengelola zakat meskipun hanya di lingkup masjid, maka petugas
tersebut tetap disebut Amil Zakat dan berhak atas bagian zakat yang dihimpun.
Panitia zakat masjid at-Taubah yang diangkat oleh DKM menjadi amil
zakat berjumlah 9 orang yang bertugas mengumpulkan zakat baik yang menjaga
stand penerimaan zakat di masjid atau mengambil langsung zakat fitrah berupa
beras dari rumah warga, mencatat, dan membuat laporan pengelolaan zakat baik dari
pengumpulan dan pendistribusiannya.
Penerimaan zakat fitrah, mal, dan infak sedekah selama penghimpunan di
bulan Ramadan tahun 2018 yang dilakukan masjid Jami at-Taubah berjumlah Rp.
79.000.000 (uang tunai) dan sekitar 2 Ton beras. Dari hasil penghimpunan tersebut
9 amil mendapatkan bagian masing-masing 1 Juta rupiah155
. Mengenai bagian amil,
ketua DKM masjid Jami at-Taubah juga mengkonfirmasi bahwa bagian tersebut
154
Hasil wawancara penulis dengan Muhammad Farhat (salah satu panitia zakat di Masjid
Jami at-Taubah Kelurahan Pancoran) pada 03 April 2019. 155
Hasil wawancara penulis dengan Muhammad Farhat (salah satu panitia zakat di Masjid
Jami at-Taubah Kelurahan Pancoran) pada 03 April 2019.
67
dihitung dari 1/8 bagian zakat yang dihimpun kemudian dibagi lagi dengan jumlah
amil yang dibentuk DKM156
.
Zakat yang dikumpulkan masjid Jami at-Taubah didistribusikan kepada
fakir miskin, janda tua, dan jamaah aktif. Seluruh uang dan beras yang dihimpun
dibagikan habis kepada mustahik. Sebagaimana yang telah disebutkan, data-data
mustahik diperoleh dari RT setempat terutama terkait fakir miskin dan janda-janda
tua. Jamaah aktif yang dimaksud adalah warga sekitar masjid yang selalu hadir
untuk salat berjamaah, mengikuti kajian, dan kegiatan yang diadakan oleh masjid.
Jamaah aktif ini umumnya adalah orang tua yang sudah berusia lanjut.
Terkait dengan aspek hukum positif pengelolaan zakat, panitia dan DKM
telah mengetahui adanya undang-undang khusus tentang pengelolaan zakat dan
mengakui bahwa pengelolaan zakat yang mereka lakukan termasuk yang dilarang
jika didasarkan pada aturan tersebut karena belum berbentuk LAZ. Keinginan DKM
untuk bergabung dengan lembaga resmi pengelola zakat terkendala karena
kurangnya informasi terkait syarat dan mekanisme yang ada. Mereka menganggap
birokrasi dan persyaratan untuk hal tersebut ribet dan menyulitkan DKM, bahkan
ada kesalahan informasi yang dipahami terkait aturan tersebut yaitu jika ingin
menjadi lembaga zakat harus dapat menghimpun dana minimal 2 Milyar rupiah.
DKM tidak mengetahui bahwa ada mekanisme tersendiri untuk bergabung menjadi
UPZ dari BAZNAS.
2. Masjid al-Muawanah
Masjid yang terletak di jalan Duren Tiga Raya No. 38 ini dibangun di atas
tanah wakaf seluas 373 m2
. Dalam jajaran pengurusnya, DKM membentuk seksi
sosial yang memiliki program antara lain adalah mengumpulkan zakat di bulan
Ramadan, penyantunan anak yatim, dan menyalurkan hewan kurban.
Amil zakat yang dipahami DKM masjid ini adalah orang-orang yang
ditugaskan untuk menerima dan menyalurkan zakat. Pada tahun 2018, DKM
menugaskan 10 orang sebagai amil zakat, memulai penghimpunan zakat H-7 Idul
fitri hingga malam takbir. Muzaki yang menunaikan zakatnya di masjid ini notabene
penduduk sekitar atau pengguna jalan yang sedang singgah untuk beribadah di
masjid. Petugas zakat yang DKM sebut sebagai amil mendapatkan 12,5% dari total
penghimpunan zakat yang diperoleh berupa uang dan beras.
Data mustahik dikumpulkan dari RT setempat, selain itu masjid juga
memiliki majelis pengajian ibu-ibu yang pesertanya kebanyakan janda-janda tua,
mereka juga diberikan zakat dari masjid ini. Panitia zakat menerima zakat fitrah
berupa beras seberat 3,5 Liter ataupun uang tunai seharga beras yang biasa
dikonsumsi muzaki, jika harganya bisa lebih tinggi tentu akan lebih baik.
DKM Masjid al-Muawanah ingin terus mengelola zakat secara mandiri.
Zakat yang dikelola langsung oleh masjid tidak diserahkan ke lembaga zakat
pemerintah atau lembaga zakat masyarakat tetapi langsung didistribusikan kepada
156
Hasil wawancara penulis dengan H.Syamsudin Abdul Karim, Ketua DKM Jami at-
Taubah Kelurahan Pancoran pada 03 April 2019.
68
orang-orang yang membutuhkan di sekitar masjid yang harus diprioritaskan, karena
yang berzakat pun masyarakat sekitar masjid.
Terkait aspek hukum pengelolaan zakat DKM telah mengetahui adanya
undang-undang dan aturan khusus, tetapi pengelolaan zakat yang dilakukan DKM
hanya didasarkan kepada pemahaman fikih tidak diselaraskan dengan hukum positif
yang ada, karena menurut DKM pemahaman fikih sudah cukup untuk melaksanakan
kegiatan pengelolaan zakat157
.
Menurut DKM, pemerintah cukup memberikan pelatihan dan sosialisasi
mengenai pengelolaan zakat, adapun penghimpunan dan penyalurannya tetap
dilakukan oleh masjid-masjid karena lebih tahu orang-orang yang membutuhkan di
lingkungan sekitar.
3. Masjid Arrohmaanurrohim
Terletak di samping jalan Pancoran Barat yang dipadati tempat usaha,
masjid ini dibangun tahun 1996 di atas tanah wakaf seluas 600 m2,
mampu
menampung sekitar 300 jamaah158
. Setiap tahunnya masjid ini juga melakukan
pengelolaan zakat pada Ramadan.
Zakat yang dikumpulkan di masjid Arrohmaanurrohim umumnya zakat
fitrah, tapi mereka juga menerima zakat mal, infak sedekah, dan dana keagamaan
lainnya. DKM membentuk petugas khusus yang menangani semua hal yang terkait
dengan pengelolaan zakat di masjid selama bulan Ramadan. Petugas atau panitia
tersebut disebut juga amil zakat menurut DKM159
.
Amil zakat tersebut mengerjakan 2 tugas pokok, yaitu penerimaan atau
pengumpulan dan pendistribusian zakat. Terkait pengelolaan zakat di masjid, DKM
mengungkapkan bahwa kegiatan ini berlandaskan fikih zakat sebagaimana yang
telah dipraktikkan bertahun-tahun. Adapun mengenai penyesuaian dengan undang-
undang atau aturan pengelolaan zakat yang ada, DKM tidak menganggap hal itu
sebagai suatu keharusan, karena selama ini DKM hanya mengelola zakat secara
mandiri di bulan Ramadan, di luar waktu itu DKM tidak melaksanakannya.
DKM mengakui masyarakat sekitar banyak yang menunaikan zakatnya
melalui masjid dan zakat yang dikumpulkan pun memang didistribusikan kepada
mustahik sekitar lingkungan masjid. Adapun data mustahik yang ditentukan petugas
zakat diperoleh dari RT setempat, jumlahnya disesuaikan dengan perolehan zakat
sehingga mempertimbangkan kelayakan kuantitas zakat yang akan diterima
mustahik.
Zakat fitrah yang dikumpulkan di masjid ini berupa beras juga uang tunai
yang kemudian didistribusikan kepada mustahik yang berada di lingkungan sekitar
157 Hasil wawancara penulis dengan H. Abdul Aziz Musahab, ketua DKM Masjid Al-
Muawanah pada tanggal 03 April 2019. 158 Diakses melalui laman http://simas.kemenag.go.id/index.php/profil/masjid/195816/ pada
30 Oktober 2019. 159
Hasil wawancara penulis dengan H. Ubaidillah, ketua DKM Masjid Arrohmaanurrohim
pada tanggal 03 April 2019.
69
masjid. Pendistribusian zakat yang dilakukan masjid ini hanya bersifat konsumtif
tradisional yang habis digunakan untuk kebutuhan harian.
Beberapa hal yang dipahami DKM terkait undang-undang dan aturan
pengelolaan zakat sudah tepat seperti keharusan mengurus izin operasional melalui
Kemenag dan BAZNAS bagi lembaga yang ingin mengelola zakat. Hanya saja,
DKM memahami keharusan itu dikhususkan untuk lembaga yang memang ingin
melakukan pengelolaan zakat sepanjang waktu, bukan untuk masjid-masjid yang
hanya mengelola zakat di Ramadan saja. Jika pun ada aturan yang mengatakan
bahwa masjid juga harus melapor atau mendapatkan izin ketika mengelola zakat,
tetapi pihak DKM tidak pernah mendapatkan sosialisasi apapun terkait hal tersebut
juga tidak pernah ada pengawasan dari KUA sehingga praktik pengelolaan zakat ini
berlangsung seperti biasa.
4. Masjid Jami an-Nur
Masjid jami an-Nur Durentiga didirikan sejak tahun 1981 di atas tanah
wakaf seluas 1.300 m2 terletak di jalan Mampang Prapatan XVC
160. DKM masjid
Jami an-Nur melakukan pengelolaan zakat setiap Ramadan yang dioordinir oleh
Amil zakat. Menurut DKM, amil zakat adalah beberapa orang yang ditunjuk untuk
menangani pengelolaan zakat, biasanya masjid menunjuk 3 orang.
Mustahik zakat berasal dari nama-nama yang diajukan oleh masing-masing
RT, akan tetapi tidak semua nama yang disetorkan RT akan dipilih. Petugas zakat
akan melakukan proses pengecekan secara langsung ke lapangan untuk mengetahui
dan mempertimbangkan pemilihan mustahik yang benar-benar tepat dan
membutuhkan. Kuantitas mustahik juga dipertimbangkan dari banyaknya dana zakat
yang berhasil dihimpun masjid, semakin banyak zakat yang dikumpulkan maka
semakin banyak juga jumlah mustahik yang akan mendapatkan zakat.
Panitia zakat menerima zakat fitrah dalam bentuk beras maupun uang tunai,
tetapi jumlah muzaki yang membayar zakat fitrah dengan uang tunai lebih banyak
dari pada yang menyerahkan beras.
Penyaluran zakat hanya menjangkau 2 RT di sekitar masjid, hal itu sebagai
cara mengantisipasi agar tidak ada mustahik yang mendapat zakat dua kali atau
lebih, karena ada masjid lain juga yang melakukan pengelolaan yang letaknya tidak
berjauhan. Ini menandakan belum adanya koordinasi yang solid antara masjid-
masjid yang mengelola zakat dalam hal database mustahik di lingkungan mereka.
Mengenai bagian zakat yang diberikan kepada petugas zakat atau yang
DKM sebut sebagai amil, Faris mengakui bahwasanya bagian yang diterima amil ini
sangatlah kecil, tidak sebanding dengan 1/8 zakat. Hal tersebut selama ini tidak
dipermasalahkan oleh petugas zakat, karena memang mereka secara pribadi
berkomitmen dan ingin membantu mengelola zakat. Nominal uang yang diterima
160
Diakses melalui laman http://simas.kemenag.go.id/index.php/profil/masjid/198271/ pada
23 Oktober 2019.
70
petugas ini tidak diambil dari dana zakat, tetapi dari uang kas masjid mulai dari
Rp. 100.000 hingga Rp. 150.000 per petugas161
.
Laporan penyaluran penghimpunan dan penyaluran zakat disampaikan
menjelang pelaksanaan salat Idul Fitri baik secara lisan maupun berupa print out
yang ditempel di papan pengumuman masjid.
Masjid mengetahui telah ada undang-undang dan aturan khusus tentang
pengelolaan zakat, tetapi belum menjadikannya sebagai landasan atau acuan dalam
hal pengelolaan zakat. Selama ini pengelolaan zakat yang dilakukan DKM hanya
didasari pemahakam fikih saja yang telah dipraktikkan bertahun-bertahun.
DKM masjid Jami an-Nur memandang bahwasanya tugas lembaga milik
pemerintah maupun swasta yang terkait dalam pengelolaan zakat adalah mengajak
dan merangkul pengurus-pengurusnya masjid, sehingga tradisi pengelolaan zakat di
masjid yang telah mengakar di masyarakat muslim Indonesia bisa terus ada akan
tetapi mengalami perbaikan-perbaikan terutama jika memang harus menyesuaikan
dengan aturan yang berlaku.
5. Masjid al-Munawwar
Secara tipologi merupakan masjid setingkat masjid Jami terletak di Jalan
Raya Pasar Minggu, ruas jalan arah Tebet yang merupakan jalur utama kendaraan
dari kota penyangga seperti Depok menuju Jakarta. Masjid yang didirikan sejak
tahun 1945 ini memiliki luas tanah 2500 m2 dan luas bangunan 1500 m
2. Selain
sebagai sarana Ibadah masjid ini menjadi tempat pengajian Majelis Rasulullah yang
digelar setiap hari Senin malam selepas Isya162
.
DKM menyadari bahwa pengelolaan zakat di masjid tidak berjalan
maksimal karena tidak adanya pengawas, sehingga tidak terkontrol dan terevaluasi
dari tahun ke tahun. Tidak adanya pengawas juga membuat DKM melakukan
pengelolaan semaunya dan apa adanya, tidak ada standar mekanisme tertentu yang
diikuti.
H. Zainuddin melanjutkan bahwasanya pelatihan-pelatihan yang diadakan
oleh lembaga masyarakat biasanya berbayar cukup mahal sehingga minat DKM
untuk mengikuti pelatihan tersebut sangat minim, ditambah juga komposisi
pengurus DKM yang didominiasi orang tua.
Sekretaris DKM masjid al-Munawwar ini mengetahui banyak hal terkait
praktik pengelolaan zakat profesional, karena memang pernah berpengalaman
menjadi pengurus BAZIS DKI. Meskipun demikian, tidak serta merta pengalaman
mengelola zakat secara profesional tersebut bisa diterapkan di masjid yang ia urus,
karena ada faktor-faktor yang belum mendukung ke arah itu.
Pemahaman mengenai makna amil zakat sebagaimana yang dijelaskan H.
Zainuddin adalah sebuah istilah atau sebutan bahasa Arab yang dalam bahasa
161
Hasil wawancara penulis dengan Iqbal Ali Faris, pengurus DKM Masjid Jami an-Nur
Durentiga pada tanggal 24 Mei 2019. 162
Diakses melalui laman https://dkm.or.id/dkm/49523/masjid-al-munawar-pancoran-kota-
adm-jakarta-selatan.html pada 23 Oktober 2019.
71
Indonesia berarti panitia zakat atau petugas yang dibentuk untuk mengumpulkan dan
menyalurkan zakat. Mengenai konsep penyaluran zakat, DKM telah membedakan
mekanisme antara ketentuan pendistribusian zakat fitrah dan zakat mal. Zakat fitrah
harus diselesaikan penyalurannya maksimal sebelum pelaksanaan salat Idul fitri,
sedangkan penyaluran zakat mal bisa dilakukan kapan saja.
Panitia zakat DKM masjid al-Munawwar menerima zakat berupa uang tunai
dan beras, tetapi zakat yang berupa uang tunai sebagian besar akan dibelikan beras
dan disalurkan kepada mustahik berupa beras dan uang tunai alakadarnya.
Penyaluran zakat yang bersifat konsumtif ini diakui oleh H Zainuddin sebagai
sebuah kelemahan pengelolaan zakat di masjid, karena manfaat yang dirasakan
penerima tidak berkelanjutan.
H. Zainuddin terinspirasi oleh pemikiran dan konsep penyaluran zakat yang
digagas (alm) K.H. Ahmad Sahal Mahfudz, yaitu penyaluran zakat yang produktif
dimana zakat dibagikan hanya kepada orang terbatas, tetapi bisa memberikan
dampak yang signifikan dan berkelanjutan, misalnya zakat untuk tukang becak.
Dana zakat digunakan untuk membeli beberapa becak kemudian disewakan kepada
tukang becak dan dia harus memberikan setoran harian untuk biaya sewa, sehingga
dalam beberapa bulan tukang becak bisa melunasi biaya sewa (seharga pembelian
awal becak) dan dia mendapatkan modal berupa becak yang bisa digunakan terus
untuk mencari penghasilan. Di satu sisi, tukang becak terbantu dengan bantuan
modal berupa becak, di sisi lain masjid pun mendapatkan dana setoran tukang becak
sebagai pemasukan yang bisa digulirkan kembali dalam pembiayaan-pembiayaan
produktif sehingga bisa menjangkau lebih banyak penerima manfaat.163
Selain kepada fakir miskin, zakat yang dihimpun masjid al-Munawwar juga
diberikan kepada panitia zakat sebesar 10%-12,5%. Panitia zakat yang dibentuk
masjid al-Munawwar sejumlah 7 orang
Data mustahik didapatkan melalui koordinasi dengan RT di sekitar masjid
yang biasanya terdiri dari fakir, miskin, anak-anak yatim. Selain itu, zakat fitrah
yang dihimpun masjid al-Munawwar juga dialokasikan untuk petugas-petugas
bagian ibadah Ramadan yaitu imam, khotib, muazin, dan bilal.
Masjid al-Munawwar hanya melakukan pengelolaan zakat di Ramadan,
utamanya zakat fitrah, tetapi menerima juga pembayaran zakat mal, infak sedekah
dan dana sosial keagamaan lainnya.
Secara pribadi, H. Zainuddin mengungkapkan keinginannya untuk membuat
lembaga amil zakat khusus di masjid al-Munawwar sehingga bisa mengelola zakat
sepanjang tahun (tidak hanya di Ramadan) dan dilakukan secara profesional, tetapi
dia pun menyadari jikalau pengurus masjid lainnya pasti tidak akan setuju, karena
dianggap hal yang mengada-ada dan tidak ada prioritas untuk hal itu. Pasalnya,
pengelolaan zakat yang telah sedari dulu dilakukan di masjid ini selama bertahun-
tahun memang hanya dilakukan saat bulan Ramadan.
Pemahaman DKM masjid al-Munawwar terkait hukum positif pengelolaan
zakat di Indonesia sangat minim, hanya sebatas pemahaman yang sama dengan
konsep fikih zakat, seperti kadar zakat 2,5%, bagian amil seperdelapan dan lainnya.
163
Hasil wawancara penulis dengan H. Zainuddin, sekretaris DKM Masjid Al-Munawwar
pada tanggal 04 April 2019.
72
Terkait dengan bukti setoran zakat atau tanda terima pembayaran zakat, DKM sudah
menyediakan kuitansi khusus yang didesain oleh panitia zakat sebagai bukti
pembayaran. Menurut H.Zainuddin kondisi tidak dipahaminya hukum positif
pengelolaan zakat secara utuh karena kurangnya sosialisasi dari pemerintah terkait
aturan-aturan tersebut secara langsung kepada para pengurus masjid.
6. Masjid Nurullah
Masjid yang terletak di kawasan permukiman apartemen Kalibata City ini
didirikan tahun 2006164
yang awalnya di atas tanah sertifikat hak milik, tetapi kini
sudah menjadi wakaf. Daya tampung jamaah sekitar 1000 orang, terletak di
basement tower Cendana, masjid ini selalu dipadati ketika pelaksanaan salat jumat,
baik oleh penghuni apartemen ataupun pengunjung yang sedang berada di Kalibata
City.
Berbeda dengan 5 masjid yang sebelumnya yang tidak bergabung menjadi
UPZ, masjid Nurullah ini justru satu-satunya masjid di kecamatan Pancoran yang
telah menjadi UPZ dari BAZIS Jakarta Selatan sejak Tahun 2017. Menurut
informasi yang penulis dapatkan dari DKM165
, ada peran KUA kecamatan Pancoran
yang melatarbelakangi bergabungnya pihak DKM masjid untuk menjadi UPZ. KUA
juga lah yang menjembatani komunikasi antara masjid dengan BAZIS Jakarta
Selatan.
Muhammad Mada mengungkapkan bahwa bergabungnya masjid Nurullah
menjadi UPZ tidak lebih dari sekedar formalitas untuk memenuhi legalitas dan
kesesuaian hukum pengelolaan zakat yang ada, karena setelah bergabung menjadi
UPZ dan di-SK-kan di Tahun 2017, pihak BAZIS Jakarta Selatan maupun KUA
kecamatan Pancoran tidak pernah melakukan komunikasi baik berupa pemantauan,
supervisi atau arahan terkait pengelolaan zakat yang dilakukan masjid166
.
Tujuan utama pembentukan UPZ adalah agar pengelolaan zakat yang
dilakukan di masjid bisa terlaporkan, tetapi nyatanya tidak terwujud, sebab tidak
adanya komunikasi yang berlanjut selepas acara seremonial pemberian SK UPZ.
Laporan-laporan pengelolaan zakat berkala pun tidak diminta oleh BAZIS Jakarta
Selatan sehingga nampak jelas bahwas legalitas UPZ hanyalah sebagai formalitas.
Penulis perlu membedakan BAZIS Jakarta Selatan dengan BAZNAS,
karena pada tahun 2017 memang BAZIS di Jakarta belum bergabung ke dalam
BAZNAS, sehingga mekanisme dan tatakerja UPZ yang ditetapkan BAZIS mungkin
berbeda dengan BAZNAS. Dalam penelitian ini, penulis merujuk kepada peraturan
dan pedoman kerja UPZ yang ditetapkan BAZNAS.
164
Diakses melalui laman http://simas.kemenag.go.id/index.php/profil/masjid/242223/ pada
23 Oktober 2019. 165
Hasil wawancara penulis dengan Muhammad Mada, Koordinator Bagian Humas dan
Sosial DKM Masjid Nurullah pada tanggal 22 November 2019. 166
Hasil wawancara penulis dengan Muhammad Mada, Koordinator Bagian Humas dan
Sosial DKM Masjid Nurullah pada tanggal 22 November 2019.
73
Amil zakat yang dipahami DKM sama seperti apa yang dipahami masjid-
masjid sebelumnya, yaitu setiap petugas yang menerima dan menyalurkan zakat.
DKM menjelaskan bahwa mereka tidak melakukan pengumpulan zakat secara aktif
yaitu dengan mendatangi muzaki di lingkungannya, sehingga kata yang dipilih
hanya “menerima” setiap muzaki yang ingin menunaikan zakatnya melalui masjid
Nurullah.
Masjid melakukan penerimaan zakat fitrah di setiap Ramadan, juga zakat
maal setiap saat. Zakat fitrah yang diterima berupa beras maupun uang tunai, tetapi
nantinya uang tersebut akan dikonversikan dengan beras, jadi semua zakat fitrah
yang dibagikan ke mustahik berupa beras dalam kemasan 5 Kg. Mustahik zakat
masjid Nurullah adalah para pekerja kasar di lingkungan Kalibata City seperti
petugas kebersihan, keamanan, dan parkir juga masyarakat fakir miskin di kelurahan
Rawajati.
Adapun untuk penyaluran zakat maal, DKM mengungkapkan bahwa secara
umum masih bersifat konsumtif berupa bantuan uang tunai nominal tertentu, tetapi
DKM pernah juga menyalurkan zakat secara produktif yaitu memberikan modal
usaha kepada mustahik dan saat ini usahanya telah mendapatkan keuntungan.
Tabel 8.
Pemahaman DKM terhadap Fikih Zakat
Aspek
DKM Amil Zakat Tugas Amil Hak Amil
Masjid Jami at-Taubah
Petugas zakat
yang dibentuk
DKM
Mengumpulkan
zakat dari
muzaki dan
menyalurkannya
ke mustahik
10% dari total
penghimpunan,
lalu dibagi dengan
sejumlah amil
Masjid al-Muawanah
Orang-orang
yang ditugaskan
untuk menerima
dan
menyalurkan
zakat
Mengumpulkan
zakat dari
muzaki dan
menyalurkannya
ke mustahik
12,5 % dari total
pengumpulan
zakat, baik berupa
beras atau uang
tunai
Masjid
Arrohmaanurrohim
Petugas zakat
yang dibentuk
DKM
Mengumpulkan
zakat dari
muzaki dan
menyalurkannya
ke mustahik
1/8 dari total zakat
yang dihimpun
Masjid Jami an-Nur
Beberapa orang
yang ditunjuk
untuk
menangani
urusan zakat
Mengumpulkan
zakat dari
muzaki dan
menyalurkannya
ke mustahik
Diambil dari
operasional masjid
74
Masjid al-Munawwar
Amil Zakat itu
bahasa Arab,
istilah di
Indonesia
adalah petugas
yang dibentuk
untuk
mengumpukan
dan
menyalurkan
zakat
Mengumpulkan
zakat dari
muzaki dan
menyalurkannya
ke mustahik
10%-12,5% dari
dana zakat dengan
penyesuaian hasil
pengumpulan
Masjid Nurullah
Petugas-petugas
zakat yang
melakukan
penerimaan
hingga
pendistribusian
Mengumpulkan
zakat dari
muzaki dan
menyalurkannya
ke mustahik
Meskipun
memahami amil
zakat termasuk
mustahik, tetapi
DKM tidak
mengambil bagian
sama sekali Sumber: Hasil wawancara yang diolah penulis
Di bab IV ini, kita telah mendapatkan informasi dan gambaran tentang
masjid dalam aspek pengelolaan zakat. Dalam hal kesesuaian dengan hukum positif,
kita bisa katakan bahwa 5 dari 6 masjid yang diteliti belum menyesuaikan diri
karena aspek legalitasnya belum terpenuhi, sementara 1 masjid telah menjadi UPZ
tetapi sangat disayangkan bahwa ternyata tidak ada keuntungan lebih yang
didapatkan masjid UPZ kecuali legalitas saja.
Pada bab berikutnya, penulis akan analisis pemahaman DKM terkait fikih
zakat dan hukum positif sehingga nantinya dapat diketahui faktor-faktor apa saja
yang mempengaruhi kepatuhan masjid-masjid perkotaan ini terhadap hukum positif
pengelolaan zakat di Indonesia.
75
BAB IV
ANALISIS PEMAHAMAN FIKIH DAN HUKUM POSITIF
PENGELOLAAN ZAKAT DI MASJID
Bab ini memaparkan analisis penulis terhadap temuan-temuan penelitian
tentang praktik pengelolaan zakat yang dilakukan oleh Dewan Kemakmuran Masjid
(DKM) melalui petugas yang mereka bentuk di masjid-masjid di kecamatan
Pancoran dari aspek pemahaman fikih dan hukum positif yang berlaku serta terkait
pola penghimpunan dan pendistribusian zakat yang mereka lakukan.
A. Pemahaman DKM terhadap Fikih Zakat
Menganggap pengelolaan zakat di masjid sebagai sebuah fenomena biasa
dan lumrah bukanlah hal yang tepat, karena faktanya banyak hal yang harus
disesuaikan agar mampu mencapai tujuan utama zakat di negeri ini yaitu sebagai
salah satu sarana mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan
kemiskikan167
. Penyesuaian tersebut penting mengingat sangat banyak masjid yang
mengelola zakat secara mandiri dengan cara yang tradisional, tidak terencana
dengan baik, hanya melanjutkan tradisi yang telah berlangsung bertahun-tahun
meskipun harus diakui tujuannya mulia.
Muslim Indonesia dalam menunaikan zakatnya setidaknya memiliki 3
pilihan yaitu: 1) berzakat melalui lembaga pengelola zakat resmi, 2) lembaga
keislaman seperti masjid, pesantren, dan tokoh agama, bahkan 3) langsung kepada
mustahik. Sayangnya, zakat yang ditunaikan melalui cara ke-2 dan ke-3 umumnya
tidak disalurkan dalam program-program yang produktif, kebanyakan dana zakat
akan habis untuk bantuan-bantuan langsung yang bersifat konsumtif, sehingga
dampak yang ditimbulkan bagi mustahik tidaklah berjangka panjang, bahkan sangat
sulit untuk meyakini suatu hari mereka akan tersejahterakan oleh manfaat zakat
yang diterima.
Dalam konteks masjid sebagai pengelola zakat (setidaknya penyalur zakat
fitrah) tidak akan terlepas dari pemahaman para pengurus DKM akan fungsi masjid
yang mereka kelola. Secara umum, memang masjid dulu kala hingga saat ini
berperan multifungsi, tidak hanya sebagai tempat berkumpul untuk melaksanakan
ibadah salat, pengajian, musyawarah, masjid kini sering juga menjadi tempat
kegiatan sosial kemasyarakatan seperti bakti sosial, resepsi pernikahan, pembagian
daging kurban, juga penerimaan dan penyaluran zakat.
Harus kita akui bersama, fungsi masjid dalam pengelolaan zakat tidak
terlepas dari tradisi yang turun temurun hingga menjadi budaya yang lekat pada
masyarakat muslim Indonesia ketika ingin menunaikan zakat, memilih masjid
sebagai penyalur zakat mereka. Inisiatif pengumpulan dan penyaluran zakat yang
dilakukan masjid bagaimanapun telah memberikan kemanfaatan bagi masyarakat
muslim yang menjadi mustahik di lingkungannya. Selain itu, adanya pengumpulan
dan penyaluran zakat yang dilakukan masjid memudahkan masyarakat muslim
167
Pasal 3 Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
76
sekitarnya dalam menunaikan zakatnya sebagai salah satu referensi yang bisa
dipilih.
Secara aturan mengenai fungsi masjid, sangat dimungkinkan untuk
mengelola zakat masyarakat muslim di sekitarnya, bahkan hal itu merupakan
inisiatif yang baik untuk menggalang dana zakat dan menyalurkannya kepada yang
berhak. Hanya saja, di sisi yang lain, masjid harus membuka diri dan berusaha
mengikuti regulasi yang berlaku dalam hal pengelolaan zakat, karena telah diatur
dalam undang-undang tersendiri serta peraturan-peraturan turunannya168
.
Seiring berkembangnya zaman, kita tidak bisa menutup mata dan harus
menyadari bahwa pengelolaan zakat yang dilakukan secara tradisional seperti yang
dilakukan di masjid-masjid haruslah bertransformasi secara bertahap untuk berupaya
menyesuaikan praktiknya dengan regulasi yang ada, yang menghendaki pengelolaan
zakat dilakukan secara tepat sesuai syariat Islam, profesional, amanah, akuntabel,
memiliki kepastian hukum, juga terintegritas169
guna mencapai tujuan dalam
meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat.
Hasil temuan yang penulis dapatkan di lapangan ketika mengobservasi dan
mewawancarai langsung para DKM yang melakukan penerimaan dan penyaluran
zakat di wilayah kecamatan Pancoran ada beberapa aspek fikih yang perlu analisis
lebih jauh, karena selama ini diyakini para DKM konsep fikih zakat yang mereka
pahami adalah sesuatu yang rigid dan harus dilaksanakan seperti itu adanya
sehingga cenderung stagnan dan tidak mengalami perkembangan dalam memberikan
dampak serta manfaat bagi para penerima zakat170
.
Penulis akan uraikan satu persatu aspek pemahaman fikih zakat para DKM
yang akan dianalisis sebagai berikut:
1. Memahami Hakikat Amil Zakat
Para DKM yang penulis wawancarai semuanya menjawab hal yang serupa
ketika ditanya siapakah amil zakat. Menurut pemahaman sederhana mereka, amil
zakat adalah petugas khusus yang dibentuk untuk menangani seluruh rangkaian
pengelolaan zakat. Mereka tidak secara detail membedakan, siapa yang harus
membentuk atau mengangkat amil zakat tersebut, sehingga mereka mudah saja
mengatakan bahwasanya amil zakat pun adalah petugas yang dibentuk atau dipilih
DKM untuk mengelola zakat di masjid mereka171
.
168
Hasil wawancara penulis dengan Zamroni; Kepala Seksi Kemakmuran Masjid
Kementerian Agama Republik Indonesia pada 08 Juli 2019. 169
Sebagaimana diatur dalam pasal 2 Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat yang menyebutkan bahwa pengelolaan zakat di Indonesia harus
berasaskan syariat Islam, amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, terintegritas, dan
akuntabilitas. 170
Hasil wawancara penulis dengan DKM Masjid Jami at-Taubah, Masjid al-Muawanah,
Masjid Arrohmaanurrohim, Masjid Jami an-Nur, Masjid al-Munawwar, dan Masjid
Nurullah. 171
Hasil wawancara penulis dengan DKM Masjid Jami at-Taubah, Masjid al-Muawanah,
Masjid Arrohmaanurrohim, Masjid Jami an-Nur, Masjid al-Munawwar, dan Masjid
Nurullah.
77
Pemahaman semacam itu tidaklah keliru jika yang menjadi fokusnya adalah
fungsi dan tugas amil dalam pengelolaan zakat, tetapi menjadi hal yang kurang tepat
dan tidak kuat jika dihadapkan kepada nilai-nilai hukum posistif yang berlaku di
Indonesia yang bersumber dari peraturan perundang-undangan serta turunanya.
Mengacu pada literatur fikih, yang dimaksud dengan amil zakat secara
umum adalah petugas khusus yang mengelola zakat mulai dari pendataan,
pengimpunan, pengambilan, pencatatan, pendistribusian, pendayagunaan, serta
pelaporan. Akan tetapi, pada beberapa pengertian, disertakan juga pembatasan
kewenangan pembentukan amil yaitu oleh pemerintahan Islam (dalam fikih klasik
sering disebut Imam atau Sult}a>n), jadi tidak semua pihak dapat menunjuk dan
menugaskan beberapa orang sebagai amil zakat, tetapi melalui kewenangan
pemerintahan lah mandat amil zakat itu dilaksanakan, dalam konteks saat ini negara
yang mengambil peranan tersebut melalui presiden ataupun pejabat yang ditunjuk.
Berikut adalah beberapa pengertian amil zakat dalam literatur Islam
السعي في جمع الصدقات وكل من يصرف من و أما العامل فهو الرجل الذي يستنيبو الإمام في عون لا يستغنى عنو فهو من العاملين
“Amil adalah orang yang ditugaskan oleh Imam untuk menggantikannya dalam
upaya pengumpulan zakat, dan setiap orang yang bekerja dalam membantu amil
yang pasti dibutuhkannya, maka statusnya juga termasuk amil172
.”
و العامل من استعملو الإمام على أخذ الصدقات و دفعها إلى مستحقها“Amil adalah orang yang ditugaskan oleh Imam untuk mengambil zakat dan
mendistribusikannya kepada orang yang berhak (mustahik)173
”
Frasa al-„amilin „alaiha (amil zakat) yang juga merupakan ayat Alquran
ditafsirkan oleh Mutawalli> al-Sha’ra>wi> (w. 1998) sebagai berikut:
والعامل على جمع الصدقة إنما يعمل لصالح الدولة الإيمانية، فهو يجمع الصدقات ويعطيها للحاكم أو الوالي الذي يوزعها. وفي ىذا مصلحة لمجتمع المسلمين كلو.
Amil yang mengumpulkan sedekah (amil zakat) hanyalah melaksanakan tugas untuk
kemaslahatan sebuah negara yang penduduknya beriman, dia mengumpulkan zakat
dan memberikannya kepada hakim atau wali (pemerintah) yang membagikannya,
dalam hal ini terdapat kemaslahatan bagi masyarakat muslim secara umum174
.
Pengertian amil zakat yang lebih komprehensif diungkapkan juga oleh
ulama kontemporer seperti Wahbah al-Zuhayli>175
(w. 2015) yaitu:
172
„Abd al-H{aq ibn Gha>lib al-Andalu>si>, al-Muh}arrar al-Waji>z Fi> Tafsi>r al-Kita>b al-‘Azi>z
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001) jilid 3, 49. 173173
Muh{ammad ibn Qa>sim, Fath{ al-Qari>b al-Muji>b Fi> Sharh} Alfa>z} al-Taqri>b (Beirut: Da>r
ibn H{azm, 2005), 133. 174
Muh}ammad Mutawalli> al-Sha’ra>wi>, Al-Tafsi>r al-Sha’ra>wi> (Kairo: Mat}a>bi’ Akhba>r Al-
Yaum, 1997), Juz 9, 5222. 175
Wahbah al-Zuhayli (1932-2015) merupakan ulama Islam kontemporer sunni bermazhab
sha>fi’i> berasal dari Suriah. Beliau menguasai banyak disiplin ilmu seperti fikih
78
أو العاملون على الزكاة: ىم كل من يعينهم أولياء الأمور في الدول الإسلامية أو يرخصون لهم تختارىم الهيئات المعترف بها من السلطة أو من المجتمعات الإسلامية للقيام بجمع الزكاة وتوزيعها
وما يتعلق بذلك من توعية بأحكام الزكاة وتعريف بأرباب الأموال وبالمستحقين ونقل وتخزين وحفظ وتنمية واستثمار ضمن الضوابط والقيود
Al-‘a>milu>n ‘ala> al-Zaka>h adalah setiap orang yang telah ditentukan oleh ulul amri
(pemerintah) dalam negara Isla>miyyah atau mereka yang diberi izin, atau dipilih
oleh lembaga yang berwenang atau lembaga Islam untuk menjalankan tugas dalam
rangka menghimpun zakat, mendistribusikannya, dan segala sesuatu yang terkait
dengan tugas tersebut seperti menjalankan hukum-hukum zakat, menentukan
sumber-sumber dana zakat serta para mustahik, memindahkan dana zakat ke
wilayah lain, menyimpan dan menjaga dana zakat, serta mengembangkannya dalam
investasi yang sesuai dengan batasan-batasan yang telah diatur176
.
Pengertian senada juga bisa ditemukan pada fatwa MUI No. 8 Tahun 2011
tentang amil zakat yang mendefinisikannya dalam dua poin, yaitu:
a. Seseorang atau sekelompok orang yang diangkat oleh Pemerintah untuk
mengelola pelaksanaan ibadah zakat; atau
b. Seseorang atau sekelompok orang yang dibentuk oleh masyarakat dan
disahkan oleh Pemerintah untuk mengelola pelaksanaan ibadah zakat.
Kedua poin fatwa MUI tentang amil zakat tersebut sama-sama memiliki titik
penegasan pada peran “pemerintah” dalam kaitannya dengan pengangkatan serta
pengesahan amil zakat177
.
Beberapa pengertian tersebut mengindikasikan secara kuat bahwasanya
peran pemerintah memang diperlukan dalam pengelolaan zakat untuk aspek legalitas
pengelolaan zakat guna memastikan posisi yuridis yang jelas dan berkekuatan
hukum sebagai konsekuensi kehadiran undang-undang tentang pengelolaan zakat di
Indonesia.
Beberapa kelompok masyarakat muslim yang konsen terhadap aspek
legalitas fikih seperti Nahdlatul Ulama (NU) telah menyadari dan membedakan
secara jelas bahwa amil zakat tidaklah sama dengan panitia/petugas zakat. Beberapa
hasil bahsul masail NU mengungkapkan hal tersebut lengkap dengan implikasi
hukum fikih yang akan timbul ketika zakat ditunaikan melalui amil ataupun
disalurkan melalui panitai/petugas zakat seperti yang dilaksanakan oleh Pengurus
Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur tahun 2014 maupun dalam acara
perbandingan, usul al-fiqh dan tafsir, yang beliau tulis dalam karya-karya di bidang tersebut
seperti al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu: al-Sha>mil Li al-Adillah al-Shar’iyyah wa al-A<ra> al-
Madhhabiyyah wa Ahamm al-Naz}ariyya>t al-Fiqhiyyah wa Tah}qi>q al-Ah}a>di>th al-
Nabawiyyah wa Takhri>-juha>, al-Waji>z Fi> Us{u>l al-Fiqh, al-Tafsi>r al-Wasi>t}, al-Tafsi>r al-
Muni>r, dan lain sebagainya. 176
Wahbah al-Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu (Damaskus: Da>r al-Fikr, 2006), jilid
10, 7943. 177
Fatwa MUI No. 8 Tahun 2011 tentang Amil Zakat
79
bahsul masail Musyarawah Nasional (Munas) dan Konfrensi Besar (Konbes)
Nahdlatul Ulama di Lombok pada 23-25 November 2017.
Amil zakat yang sesuai dengan syariat dan perundang-undangan di
Indonesia paling tidak ada 3 kelompok, yaitu 1) BAZNAS/BAZNAS
Provinsi/BAZNAS Kabupaten/Kota yang masing-masing diangkat oleh Presiden,
Gubernur, dan Bupati/Walikota, 2) LAZ tingkat Nasional/Provinsi/Kabupaten/Kota
yang masing-masing diberi izin oleh Menteri Agama, Direktur Jendral, dan Kepala
Kantor Wilayah Kementerian Agama, serta 3) Amil zakat perseorangan juga
perkumpulan orang yang berada di wilayah yang belum dijangkau oleh BAZNAS
atau LAZ, maka mereka diakui sebagai amil dengan syarat memberitahukan secara
tertulis pengelolaan zakat yang dilakukan kepada Kantor Urusan Agama (KUA)
setempat.
Tabel 9.
Pengelola Zakat di Indonesia yang sesuai Undang-Undang Pengelolaan Zakat178
Amil Zakat
Pemerintah Diangkat
oleh
Amil Zakat
Masyarakat Diberi izin
oleh
Amil Zakat
Tradisional Diakui
BAZNAS Presiden
atas usul
Menteri
LAZ skala
Nasional
Menteri
Agama
Amil Zakat
Perseorangan
atau
Perkumpulan
Orang dalam
Masyarakat
Di tempat
yang belum
dijangkau
BAZNAS
maupun LAZ,
dan
Memberitahu-
kan secara
tertulis kepada
KUA
Kecamatan
setempat
BAZNAS
Provinsi
Gubernur LAZ skala
Provinsi
Direktur
Jendral Zakat
BAZNAS
Kabupaten/
Kota
Bupati/
Walikota
LAZ skala
Kabupaten/
Kota
Kepala
Kantor
Wilayah
Kementerian
Agama
Provinsi
Kelompok pertama dan kedua sama-sama bisa menurunkan legalitas
pengumpul zakat yang dibentuk di bawah koordinasinya, misalkan
BAZNAS/BAZNAS Provinsi/BAZNAS Kabupaten/Kota dapat membentuk UPZ
dengan Surat Keputusan (SK) Ketua BAZNAS di masing-masing tingkatan maka
UPZ tersebut juga termasuk ke dalam golongan amil zakat. Begitu juga LAZ tingkat
Nasional/Provinsi/Kabupaten/Kota bisa menggandeng mitra atau jaringan
pengumpul zakat yang kemudian diberikan SK jelas pengangkatannya, maka
mereka juga masuk dalam kategori amil zakat yang syar‟i.
Berbeda dengan kelompok ketiga yang tidak memiliki kewenangan untuk
membentuk satuan lain, karena statusnya pun hanya diakui. Pengakuan ini penting
secara yuridis karena jika tidak maka masyarakat muslim yang ada di wilayah
kategori tersebut sulit untuk menunaikan zakatnya. Pembatasan hak warga negara
178
Diolah dari sumber utama; Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2014 pasal 5 ayat (2),
pasal 36 ayat (1), pasal 43 ayat (1), pasal 59, dan pasal 66.
80
dalam melaksanakan ajaran agamanya, dalam hal ini adalah zakat, merupakan
tindakan yang melawan konstitusi179
.
Amil tipe ketiga ini sebenarnya tidak dikehendaki oleh undang-undang,
karena pengelolaan zakat yang dicita-citakan adalah pengelolaan yang profesional
yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga zakat resmi baik dari pemerintah maupun
masyarakat muslim Indonesia. Pengakuan eksistensi amil semacam ini muncul
mengingat kondisi geografis di tempat tertentu masih memungkinkan kekosongan
peran BAZNAS atau LAZ sehingga untuk tetap menjaga nilai konstitusi yang
menjamin hak setiap warga negara untuk menjalankan ajaran agamanya, mau tidak
mau harus ada upaya pengakuan yang ditegaskan dalam peraturan.
Nilai kesesuian amil yang syar‟i tidak terlepas dari 2 hal, yaitu sesuai secara
syariat juga sesuai secara aturan hukum yang berlaku di Indonesia, sehingga ketika
keduanya atau salah satunya tidak terpenuhi, belum bisa dikategorikan sebagai amil
zakat yang sesungguhnya seperti halnya yang marak dipraktikkan oleh pihak-pihak
tertentu, masjid misalnya.
Mengacu kepada dua hal di atas, harus penulis akui bahwa pengelolaan
zakat yang dilakukan oleh masjid-masjid yang tidak berada dalam koordinasi atau
naungan lembaga amil zakat yang resmi, belum bisa dikatakan sesuai dengan aturan.
hukum, meskipun nilai ibadah zakatnya tetap sah secara fikih, akan tetapi ada
beberapa catatan bagi para pengelola zakat tersebut yang harus diperhatikan.
Secara fikih, amil yang belum syar‟i berbeda ketentuannya dengan amil
yang syar‟i (secara syariat Islam dan aturan hukum), di antara perbedaan yang
substansial adalah sebagai berikut:
a. Amil yang syar‟i statusnya sebagai naib (pengganti) mustahik, seperti
halnya jika ditunaikan melalui Imam, sehingga jika ada penyelewengan
yang dilakukan atas zakat tersebut, kewajiban muzaki tetap gugur dan
dianggap selesai dengan hanya menyerahkan zakatnya kepada amil
tersebut. Berbeda kondisinya jika zakat ditunaikan melalui amil yang
belum syar‟i, seperti petugas atau panitia zakat yang dalam hal ini
statusnya sebagai wakil dari muzaki, sehingga jika terjadi
penyalahgunaan dalam pengelolaannya, maka kewajiban zakat muzaki
belum gugur.
b. Amil syar‟i berhak mengambil sebagian harta zakat sebagai biaya
operasional bila dibutuhkan, sedangkan amil yang belum syar‟i tidak
berhak.
c. Amil syar‟i berhak mendapatkan bagian zakat atas nama amil zakat,
sementara amil yang belum syar‟i tidak berhak.
Ketentuan tersebut disarikan dari pendapat salah satu mujtahid mazhab
Syafi‟i yaitu Imam Nawawi180
(w. 1277) yang redaksinya sebagai berikut:
179
Klausul ini muncul setelah Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan
Zakat diuji materiil di Mahkamah Konstitusi sehingga putusannya kemudian menambahkan
poin tersendiri tentang pengakuan amil zakat perseorangan ataupun perkumpulan orang
dalam Peraturan Pemerintah No. 14 tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No, 23
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
81
وكيل بلا خلاف لأنو على ث قة من في ب يان الأفضل قال أصحاب نا ت فريقو بن فسو أفضل من الت لاف الوكيل وعلى ت قدير خيانة الو كيل لا يسقط الفرض عن المالك لأن يده كيده ت فريقو ب
مام فإن لاف دفعها إلى الإ ة المالك ب رأ ذم ين لا ت ب و بجرد فما ل يصل المال إلى المستحق ق بضو تسقط الزكاة عن المالك
Penulis meyakini meskipun pemahaman DKM terhadap makna amil zakat
belum komprehensif, praktik pengelolaan zakat yang telah berlangsung di
masyarakat tetap memegang teguh amanah dalam menghimpun dan menyalurkan
zakat kepada yang berhak, sehingga jika dikaitkan dengan amil yang belum syar‟i
karena statusnya sebagai wakil dari muzaki, akad wakalahnya pun ditunaikan
dengan benar dan disampaikan zakatnya sesuai syariat, sehingga kewajiban zakatnya
pun tetap terlaksana dengan sah.
Terlepas dari adanya pembedaan amil syari‟i dan yang belum syar‟i seperti
di atas, dalam praktiknya para panitia zakat di masjid tetap mendapatkan bagian dari
zakat yang dihimpun karena mereka dianggap sebagai amil oleh DKM. Penulis
dalam hal ini menemukan 2 metode pemberian hak amil yang dilakukan oleh DKM
yaitu:
a. Diberikan 1/8 dari total zakat yang dihimpun
b. Diberikan nominal tertentu yang diambil dari dana operasional masjid
Penulis lebih cenderung berpendapat bahwasanya petugas zakat -yang
secara syariat dan hukum positif belum memenuhi syarat- mendapatkan haknya
berupa upah atas pekerjaan yang dilakukan yaitu berupa nominal tertentu yang
diambil dari kas masjid, bukan dari dana zakat yang terkumpul. Hal itu dikarenakan,
tugas yang dijalankan panitia/petugas zakat di masjid tidak menggambarkan
kompleksitas tugas dan kewajiban amil zakat yang sesungguhnya, meskipun fungsi
utama petugas penerima dan penyalur memang dilakukan.
2. Penentuan Mustahik yang Tepat
Memastikan penerima zakat adalah mustahik yang benar-benar berhak
adalah suatu hal yang tidak boleh dilupakan bagi muzaki maupun amil zakat.
Ketepatan sasaran penerima manfaat zakat berkaitan langsung tidak hanya secara
keabsahan penyaluran zakat yang penerimanya telah ditentukan oleh syariat, tetapi
juga dengan keadilan sosial untuk memberikan sesuatu kepada orang yang memang
berhak mendapatkannya.
Penerima zakat sebagaimana telah kita ketahui bersama terdiri dari 8
golongan181
, 1 golongan tidak lagi ditemukan eksistensinya di zaman saat ini yaitu
Riqab, jadilah tersisa 7 golongan. Sesuai urutan penyebutan mustahik yang ada
180
Abu> Zakariyya> Muhyiddi>n Yah{ya ibn Sharaf al-Nawawi. Al-Majmu>’ Sharh{ al-Muhadhdhab (Beirut: Da>r al-Fikr,1996 ) jilid 6, 165. 181
Alquran Surat al-Taubah ayat 60.
82
dalam nash Alquran, kita dapati bahwa golongan fakir dan miskin ada di urutan awal
yang menandakan prioritas keberhakkan mereka atas zakat182
.
Zakat yang terkumpul di masjid, umumnya hanya didistribusikan kepada 3
golongan mustahik, yaitu fakir, miskin, dan petugas zakat yang mereka sebut amil
zakat. Penulis menemukan mekanisme yang sama ketika DKM menentukan
mustahik untuk membagikan zakat yang telah mereka kumpulkan, yaitu
berkoordinasi dengan ketua RT setempat. Biasanya ketua RT akan mengajukan
nama-nama tertentu yang menurutnya layak dan berhak mendapatkan zakat karena
termasuk fakir atau miskin. Tidak semua nama-nama yang diajukan diterima, tetapi
ada proses pemilahan lebih lanjut, bahkan ada yang mensurvei secara langsung ke
rumah nama-nama yang bersangkutan untuk memastikan kebenaran kondisi fakir
atau miskinnya183
.
Dalam menentukan fakir dan miskin, jika mengacu kepada pengertian
fuqaha, akan ditemukan berbagai macam definisi. Menurut Abu Yusuf dari Mazhab
Hanafi, miskin lebih sulit keadaannya dan lebih membutuhkan dari pada fakir
karena miskin meminta-minta tapi fakir tidak, sedangkan menurut Qatadah, fakir
adalah orang yang kelaparan atau terkena musibah dan sangat membutuhkan dan
miskin adalah orang yang membutuhkan tidak dalam kondisi kelaparan atau
musibah, oleh karenanya fakir lebih membutuhkan dari pada miskin184
.
Meskipun ada perbedaan definisi secara bahasa, pada hakikatnya kedua kata
tersebut memiliki makna yang sama, yaitu seseorang yang membutuhkan bantuan
untuk kelangsungan hidupnya sehingga keduanya benar-benar menjadi prioritas
dalam menerima zakat185
.
Semakin berkembangnya zaman, ada beberapa kondisi yang menuntut kita
untuk objektif dalam menilai sesuatu yang definitif. Penjelasan atau pengertian yang
sifatnya kualitatif kurang menjadi acuan yang definitif dalam menentukan suatu hal,
lalu ukuran kuantitatif yang tergambarkan melalui angka-angka dipandang menjadi
pilihan yang lebih objektif dan dapat diukur untuk mendapatkan kesamaan definisi.
Maka berbagai macam cara kini dilakukan untuk mengkuantifikasi hal-hal yang
pada dasarnya bersifat kualitatif, salah satunya yang berkaitan dengan zakat adalah
kondisi fakir dan miskin.
182
Ibn Qudda>mah al-Maqdisi>, al-Mughni> Li ibn Qudda>mah (Kairo: Maktabah al-Qa>hirah,
1968), Jilid 6, 469. Penggunaan huruf Lam pada kata Fakir kemudian disambung ke 3
golongan berikutnya dalam pembahasan gramatika bahasa Arab berbeda dengan penggunaan
huruf Fi dalam penyebutan 4 golongan sisanya. Lam dalam ayat tersebut berfaidah untuk
menjelaskan al-tamli>k bahwasanya zakat memang milik orang fakir miskin dan seterusnya.
Lihat Najmuddi>n Ra>ji>. H{arf al-La>m wa Istikhda>ma>tuhu Fi al-Qur’a>n al-Kari>m (Kairo:
Shams Li al-Nashr wa al-Tauzi>‘,2007), 16. 183
Hasil wawancara penulis dengan DKM Masjid Jami at-Taubah, Masjid al-Muawanah,
Masjid Arrohmaanurrohim, Masjid Jami an-Nur, Masjid al-Munawwar, dan Masjid
Nurullah. 184
Ala>’uddi>n al-Kassa>ni>, Bada>’i al-S}ana>i’ Fi> Tarti>b al-Shara>i’ (Beirut: Da>r al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 1986) jilid 2, 43. 185
Abu> al-Wali>d Ibn Rushd, Bida>yah al-Mujtahid Wa Niha>yah al-Muqtas}id (Kairo: Da>r al-
Hadi>th, 2004), jilid 2, 38.
83
Definisi kuantitatif sebenarnya telah dipakai juga dalam syariah zakat untuk
menentukan batas-batas minimal harta yang telah wajib dizakati yang dalam
terminologi fikih disebut nis}a>b, misalkan nis}a>b emas dimulai ketika mencapai 85
gram186
, kemudian kadar pengeluaran zakat juga sudah ditentukan besarannya
berdasarkan hadis-hadis Rasulullah yang bersifat qat}’i> dan nilainya tetap sepanjang
waktu; dua koma lima persen (2,5 %)187
untuk zakat emas dan perak, dan zakat
perniagaan, sepuluh persen (10 %) untuk zakat pertanian yang hanya mengandalkan
air hujan atau aliran sungai tanpa pengeluaran khusus dan lima persen (5 %) untuk
zakat pertanian yang pengairannya membutuhkan biaya untuk irigasi khusus188
.
Angka-angka semacam ini tidak dijelaskan oleh nabi dalam hadisnya ketika
menentukan kriteria fakir atau miskin, karena belum dibutuhkan ukuran-ukuran
kuantitatif saat itu. Mengukur kefakiran atau kemiskinan ketika itu banyak bertumpu
pada penggambaran kualitas hidup yang salah satu cirinya adalah tidak bisa
mencukupi keperluan sehari-hari. Pengukuran semacam ini terus menerus dipakai
sehingga saat ini. Di sisi lain, menentukan fakir atau miskin yang hanya
mengandalkan penilaian kualitatif, tidak dapat menghindarkan kita dari
ketidakseragaman kriteria fakir dan miskin, sehingga kondisi ini menuntut
penetapan standar yang jelas untuk menilai kefakiran atau kemiskinan seseorang.
Di Indonesia, ada satu badan khusus yang menangani segala urusan yang
berkaitan dengan data-data yang disajikan dalam angka (statistik), yaitu Badan Pusat
Statistik (BPS). Data kemiskinan masyarakat di Indonesia dikumpulkan oleh BPS
melalui program Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang terfokus pada
konsumsi dan pengeluaran. BPS menggunakan pendekatan konsep kebutuhan dasar
(basic needs approach) dalam mengukur kemiskinan, sehingga kemiskinan
dipandang sebagai ketidakmampunan secara ekonomi untuk memenuhi kebutuhan
dasar makanan dan bukan makanan yang diukur menurut garis kemiskinan.
Garis kemiskinan (GK) yang BPS tentukan merupakan akumulasi dari Garis
Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan non-Makanan (GKNM). GKM
adalah nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yaitu setara dengan 2100
kilo kalori per kapita per hari, sedangkan GKNM adalah nilai minimum pengeluaran
untuk perumahan, sandang, pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan pokok bukan
makanan lainnya. Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per
bulan di bawah garis kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin.
BPS menetapkan GKM sebesar Rp. 313.232 (Tiga Ratus Tiga Belas Ribu
Dua Ratus Tiga Puluh Dua Rupiah) yaitu sebesar 73,66% dan GKNM sebesar Rp.
112.018 (Seratus Dua Belas Ribu Delapan Belas Rupiah) yaitu sebesar 26,34 %.
186
Satuan yang disebutkan dalam hadis tentang nisab zakat emas adalah 20 Dinar lihat dalam
Abu> Da>wu>d Sulayma>n al-Sijista>ni. Sunan Abi> Da>wu>d (Beirut: al-Maktabah al-„As}riyyah, )
hadis no. 1573 dan Abu> ‘Abdulla>h Muh{ammad ibn Yazi>d Ibn Ma>jah. Sunan Ibn Ma>jah (Da>r
Ih{ya> al-Kutub al-‘Arabiyyah) hadis no.1791. 187
Dalam redaksi hadis disebutkan Rub‟ al-Ushr yaitu seperempat dari sepersepuluh yaitu
sama dengan 2,5 % seperti yang disebutkan dalam S{ah{i>h{ al-Bukha>ri> hadis no. 1454. 188
Kadar zakat yang dikeluarkan untuk zakat pertanian seperti yang disebutkan dalam hadis
S{ah{i>h{ Muslim no. 981 adalah al-‘Ushr dan Nis}f al-‘Ushr.
84
Sehingga Garis Kemiskinan per Maret 2019 berada di angka Rp. 425.250 (Empat
Ratus Dua Puluh Lima Ribu Dua Ratus Lima Puluh Rupiah)/kapita/bulan189
.
Secara rata-rata 1 rumah tangga miskin di Indonesia memiliki 4,68 anggota
rumah tangga, sehingga suatu rumah tangga dianggap masuk dalam kategori miskin
jika pengeluaran minimumnya berada di bawah Rp. 1.990.170 (Satu Juta Sembilan
Ratus Sembilan Puluh Ribu Seratus Tujuh Puluh Rupiah)/rumah tangga
miskin/bulan190
. Pengeluaran minimum yang dimaksud adalah ketidakmampuan
memenuhi kebutuhan hidup baik yang berupa makanan maupun non makanan,
bukan karena pola hidup berhemat dan sederhana yang dilakukan suatu rumah
tangga, karena bisa dimungkinkan pengeluaran bulanannya berada di bawah garis
kemiskinan tetapi tabungan uang atau rekening yang dimiliki bisa mencukupi
bahkan lebih untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selama sebulan.
Standar penentuan kemiskinan seseorang atau rumah tangga yang mengacu
pada nilai-nilai pasti semacam ini haruslah dipahami oleh pengelola zakat dalam
mendistribusikan zakat yang dikumpulkan, hal demikian dapat membantu mereka
dalam memastikan keberhakkan mustahik terhadap zakat, sehingga zakat benar-
benar diberikan dan disalurkan kepada yang berhak.
3. Zakat Fitrah menggunakan Nominal Uang
Masjid-masjid perkotaan yang penulis teliti dalam hal penerimaan zakat
fitrah lebih fleksibel, jika muzaki berzakat dengan menggunakan beras mereka
terima, atau pun jika zakatnya berupa uang tunai DKM tidak menolak. Itu artinya
mereka tidak mempermasalahkan bentuk zakat fitrah, meskipun pada masjid
Nurullah pada akhirnya uang tunai sebagai zakat fitrah tersebut akan dibelikan
beras, sehingga pendistribusian zakat fitrahnya berupa beras seluruhnya. Sementara
di 5 masjid lainnya, uang tunai tetap dibagikan sebagai zakat fitrah, jadi mustahik
menerima beras dan uang tunai dengan nilai tertentu191
.
Zakat Fitrah merupakan jenis zakat yang diwajibkan kepada seluruh muslim
baik laki-laki maupun perempuan, anak kecil hingga orang tua, yang masih hidup di
hari terakhir bulan Ramadan (terhitung 1 syawal setelah mata hari tenggelam)
dengan mengeluarkan zakat berupa makanan pokok sebesar 1 sha>’192
. Sebagaimana
hadis sahih yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar193
189
Badan Pusat Statistik, Berita Resmi Statistik -Edisi 15 Juli 2019- (Jakarta: BPS Pusat,
2019), 38. 190
Diperoleh dari perkalian nilai Garis Kemiskinan dengan jumlah rata-rata anggota rumah
tangga miskin. 191
Hasil wawancara penulis dengan DKM Masjid Jami at-Taubah, Masjid al-Muawanah,
Masjid Arrohmaanurrohim, Masjid Jami an-Nur, Masjid al-Munawwar, dan Masjid
Nurullah. 192
Definisi S{a>‘ yang dikenal pada zaman Nabi adalah sama dengan 4 mud. Adapun 1 Mud
setara dengan isi cakupan penuh dua telapak tangan orang dewasa. Ukuran mud yang tidak
definitif ini menyebabkan perbedaan dalam penentuan kadar zakat fitrah di antara mazhab
fikih, karena setiap mazhab punya dasar perhitungannya masing-masing. 193
Muslim ibn H{ajja>j al-Naisa>bu>riy. S{ah}i>h{ Muslim (Beirut: Da>r Ih}ya> al-Tura<>th al-‘Arabi>,
1955) No Hadis 925.
85
، عن ابن عمر: أن رسول الله صلى الله عليو وسلم ف رض زكاة الفطر من رمضان على الناس المسلمين صاعا من تر، أو صاعا من شعير، على كل حر أو عبد، ذكر أو أن ثى، من
Makanan pokok bangsa Arab ketika itu adalah kurma, gandung, tetapi di
Indonesia makanan pokoknya adalah beras. Makanan pokok dijadikan syarat untuk
pengeluaran zakat fitrah sebenarnya untuk memastikan kebutuhan pokok berupa
makanan mampu dicukupi oleh mustahik untuk juga merayakan hari raya Idul Fitri.
Sedari dahulu telah ditemukan ulama yang mengandaikan jika zakat fitrah
dikeluarkan tidak dalam bentuk makanan pokok, melainkan dengan nominal
harganya (qi>mah) dalam mata uang.
Di antara pendapat yang membolehkan pembayaran zakat fitrah dalam
bentuk nominal uang adalah mazhab Hanafi. Mereka berdalil bahwa Nabi saw. tidak
pernah sekalipun mengharamkan penunaian zakat fitrah dengan uang, sehingga hal
tersebut diperbolehkan. Hakikat kewajiban zakat fitrah menurut mazhab Hanafi
adalah dalam rangka ighna>’194
(mencukupkan) orang-orang fakir miskin pada hari
raya Idul Fitri, maka zakat fitrah dalam bentuk nominal uang juga bisa memberi
kecukupan yang dimaksud selain dengan makanan pokok, bahkan lebih mudah dan
bermanfaat untuk ditasarrufkan kembali oleh penerima zakat sesuai
kebutuhannya195
.
Sesungguhnya Nabi Muhammad ketika bersabda tentang kewajiban zakat
fitrah, beliau menyebutkan beberapa makanan pokok saat itu yang menjadi pilihan
untuk dikeluarkan sebagai zakat fitrah, sebagaimana hadis berikut196
ر كنا نرجها على عهد رسول الله صلى الله عليو وسلم صاعا من طعام، وكان طعامنا التم ر والزبيب والأقط عي والش
“Pada masa Rasul shallallahu ala’ihi wasallam, kami mengeluarkan zakat fitrah
sebanyak satu S{a>‘ makanan, dan pada waktu itu makanan kami berupa kurma,
gandum, anggur, dan keju.”
Penyebutan makanan tersebut sesungguhnya untuk memudahkan muzaki
dalam menunaikan kewajiban zakat fitrah. Peredaran uang logam berupa dinar dan
dirham kala itu sangat terbatas, hanya dimiliki orang-orang kaya, tidak semua
muslim memilikinya. Di sisi lain, golongan fakir miskin pada masa itu lebih
membutuhkan makanan berupa gandung, kurma, bahkan keju (susu yang
dikeringkan) dari pada dinar atau dirham karena bisa langsung dikonsumsi. Jika
kewajiban zakat fitrah ditunaikan harus dengan uang hal itu tentu memberatkan dan
194
Tujuan yang dimaksud ada dalam hadis أغنوىم في ىذا اليوم lihat Abu> al-H{asan ‘Ali> ibn
‘Umar al-Da>ruqut}ni>, Sunan al-Da>ruqut}ni> (Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 2004), jilid 3, no
hadis 2133. 195
Ala>uddi>n Abu> Bakr al-Ka>sa>ni>, Bada>i’ al-S{a>na>i’ Fi> Tarti>b al-Shara>i’ (Beirut: Da>r al-
Kutub al-‘Ilmiyyah, 1986) jlid 2, 72-73. 196
Muslim ibn H{ajja>j al-Naisa>bu>riy. S{ah}i>h{ Muslim (Beirut: Da>r Ih}ya> al-Tura<>th al-‘Arabi>,
1955) No Hadis 985.
86
menyulitkan, sementara tidak semua orang muslim memilikinya, namun semuanya
berkewajiban untuk menunaikan zakat fitrah.
Oleh karena hal demikian, zakat fitrah berupa makanan lebih memudahkan
bagi muzaki dan juga lebih bermanfaat bagi mustahik kala itu. Bahkan menjadikan
keju (al-Aqut}) sebagai bentuk zakat fitrah bagi para pemilik ternak diperbolehkan,
karena memudahkan mereka yang memiliki susu dari ternaknya untuk dijadikan
keju sebagai salah satu makanan pokok juga.
Menurut Yusuf al-Qaradawi197
alasan lain mengapa zakat fitrah tidak
disyariatkan dengan berupa uang adalah bahwa nilai mata uang akan berubah seiring
berkembangnya zaman, bisa naik dan turun, makanan tertentu akan lebih mahal
harganya di masa mendatang atau bisa jadi lebih murah, sehingga ukuran mata uang
untuk zakat fitrah yang diwajibkan setiap tahun tidaklah tepat. Maka dari itu,
Rasulullah menetapkan ukuran yang pasti dan tidak berubah, yaitu Sha‟ untuk
makanan pokok, meskipun menafsirkan S{a>‘ ulama berbeda pendapat, tapi
setidaknya kadar itu tidak banyak berubah dari masa ke masa.
Pendapat kebolehan menuaikan zakat fitrah jikalau diambil sebagai upaya
mengikuti ijtihad ulama mazhab (taqli>d) seharusnya dilaksanakan dengan konsisten
merujuk kepada ketentuan zakat dalam mazhab Hanafi secara menyeluruh. Apabila
hanya dipraktikkan secara setengah-setengah maka yang terjadi adalah talfi>q yaitu
mencapuradukkan pendapat-pendapat mazhab yang berbeda.
Praktik talfi>q yang dilakukan dalam konteks zakat yang ditemukan di
banyak tempat di Indonesia (tidak hanya di masjid) adalah mengambil pendapat
kebolehan berzakat fitrah dengan uang tunai, tetapi tidak mengacu kepada ketentuan
kadar zakat yang ditetapkan oleh mazhab Hanafi, sebagai mazhab yang
memperbolehkannya, melainkan menggunakan kadar zakat yang diatur dalam
mazhab Sha>fi’i> yang secara kuantitas lebih sedikit jumlahnya.
Hal yang disepakati oleh para ulama mazhab adalah bahwasanya zakat fitrah
wajib dikeluarkan dengan kadar 1 S{a>‘ dari makanan pokok suatu negeri. akan tetapi
tidak ada standar ukuran S{a>‘ yang disepakati oleh mazhab-mazhab tersebut,
sehingga masing-masing mazhab punya ukuran tersendiri. S{a>‘ adalah suatu ukuran
takaran (mikya>l) bukan timbangan (wazn) yang dinisbatkan pada penduduk
Madinah, karena Nabi pernah bersabda yang diriwayatkan oleh Ibnu „Umar
bahwasanya setiap ukuran takaran yang dimaksud adalah takaran menurut penduduk
Madinah, sedangkan ukuran timbangan yang dimaksud adalah timbangan menurut
penduduk Makkah198
.
Satu S{a>‘ yang dimaksud adalah takaran 4 Mud Nabi, karena Mud
merupakan takaran (mikya>l) yang sulit dipindakan ke wilayah lain dalam menakar
sesuatu, maka para ulama berijtihad untuk mengkonversikan Mud dalam berat
timbangan (wazn) yaitu Rit}l. Rit}l merupakan ukuran timbangan yang merujuk pada
penduduk Baghdad, dan mayoritas Fuqaha> menentukan ukuran 1 Mud Nabi setara
197
Diakses melalui laman resmi https://www.al-qaradawi.net/node/4131 pada tanggal 15
Agustus 2019. 198
Lihat Hadis riwayat Imam Abu Dawud no. 3340 dan Imam al-Nasai no. 2520.
87
dengan Rit}l wa Thuluth (1,3 Rtil)199
sedangkan menurut Mazhab Hanafi 1 Mud
sama dengan 2 Rit}l.
Perbedaan pendapat dalam menentukan kuantitas Mud ini lah menjadi asal
muasal berbedanya kadar 1 S{a>‘. Menurut mazhab Hanafi 1 S{a>‘ sama dengan 8 Ritl
dan berai 1 Ritl sama dengan berat 130 Dirham yang setara dengan 3800 Gram atau
3,8 Kilogram200
. Adapun menurut Jumhu>r Fuqaha> berpedapat bahwasanya 1 S{a>‘
sama dengan 5 1/3 Ritl Iraq yang setara dengan 2176 Gram atau dibulatkan 2,2
Kilogram.
Dalam praktiknya, banyak yang menggabungkan pendapat mazhab dalam
kadar zakat fitrah ini seperti memperbolehkan membayar zakat dengan uang
sebagaimana pendapat mazhab Hanafi tetapi besaran uangnya mengikuti harga dari
kadar zakat mazhab Shafii yaitu membayar Rp. 25.000 (beras 2,5 Kg).
Seharusnya penunaian zakat fitrah dengan uang tunai konsisten dengan
pendapat yang dipilih, jika menunaikannya dengan beras silakan mengikuti kadar
zakat 2,2 Kg jika ingin menunaikannya dengan uang tunai maka sesuaikan dengan
harga beras 3,8 Kg.
Mengutip ketetapan BAZNAS201
tentang kadar zakat fitrah dengan uang
tunai senilai Rp. 40.000 sudahlah tepat dengan memperkirakan harga beras
Rp. 10.000/Kg dan menggunakan kadar 3,8 Kg.
4. Syiar Zakat oleh DKM
Pemahaman fikih zakat seyogyanya tidak hanya diperlukan oleh para
petugas zakat, tetapi semua muslim secara umum terutama muzaki yang telah
memenuhi syarat wajib berzakat. Masjid adalah tempat strategis yang dapat
mengumpulkan banyak jamaah dalam tiap pekannya secara rutin, yaitu ketika
pelaksanaan salat Jumat. Ada korelasi yang kuat antara masjid sebagai sarana
edukasi dan pemahaman tentang zakat bagi muzaki.
Bagi masjid, momen salat Jumat adalah salah satu agenda penting
mingguan, selain sebagai ajang memberikan kenyamanan dan pelayanan yang
maksimal untuk jamaah, DKM yang aktif juga pastinya menggalang dana infak
sedekah melalui berbagai macam cara; bisa melalui kotak infak keliling, ada juga
beberapa petugas keliling yang membawa sebuah kain mengitari seluruh shaf
jamaah sebagaimana yang ditemukan di banyak masjid yang penulis teliti.
Edukasi dan syiar tentang zakat tidak banyak dilakukan oleh masjid selain
di bulan Ramadan, karena memang pada dasarnya mereka tidak melakukan
pengelolaan zakat secara berkelanjutan, hanya di bulan Ramadan saja. Padahal
199
Abu ‘Umar Yu >suf ibn Abdilla>h, al-Ka>fi> Fi> Fiqh Ahl al-Madi>nah (Riya>d}: Maktabah al-
Riya>d} al-Hadi>thah, 1980)103. 200
Wahbah al-Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu (Damaskus: Da>r al-Fikr, 2006), jilid
3, 2044. Lihat juga di kitab mazhab Hanafi, Ala>uddi>n Abu> Bakr al-Ka>sa>ni>, Bada>i’ al-S{a>na>i’ Fi> Tarti>b al-Shara>i’ (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1986) jlid 2, 72. 201
Diakses melalui laman https://baznas.go.id/id/zakat-fitrah dan berita yang dirilis di media
www.jawapos.com/nasional/15/05/2019/baznas-tetapkan-zakat-fitrah-rp-40-ribu/%3famp
pada 18 Oktober 2019.
88
seharusnya fungsi masjid bisa menjadi sangat efektif untuk sarana dakwah dan syiar
tentang zakat kepada masyarakat.
Sebagaimana yang diungkapkan Faisal Qosim202
, materi-materi tentang
zakat jarang sekali diangkat sebagai bahan khutbah Jumat ataupun kajian rutin di
masjid-masjid, sehingga pemahaman masyarakat muslim awam pada umumnya
terhadap syariat zakat tidak komprehensif. Hal tersebut tentu berpengaruh pada
pelaksanaan penunaian zakat muzaki, bagi yang tidak tercerahkan bahwa zakat
seyogyanya ditunaikan melalui amil zakat resmi, mereka akan terus
menyerahkannya langsung kepada mustahik. Meskipun secara fikih, praktik
semacam ini tetap sah, hanya saja tidak sejalan dengan semangat pengelolaan zakat
nasional yang konsen dengan catatan dan laporan penghimpunan zakat, karena hal
ini pula lah data tentang potensi zakat nasional selalu jauh dari nilai realisasinya
karena praktik berzakat langsung kepada mustahik tidak terekam dan tercatat dalam
laporan penghimpunan zakat nasional.
Menanggapi hal tersebut, pihak DKM selama ini memang tidak merinci atau
menentukan tema-tema khutbah Jumat yang akan disampaikan, karena biasanya
diserahkan kepada khotib masing-masing. Adapun dalam kajian rutin mingguan
biasanya DKM membahas kitab tentang aqidah dan akhlak.203
Sementara DKM
Masjid al-Munawwar telah menjadi tempat penyelenggaraan pengajian rutin Majelis
Rasulullah setiap Senin malam yang disebut Jalsatul Ithnayn mengkaji kitab syair
Maulid Nabi, al-Diya al-Lami tentang sirah nabi204
.
Adapun materi kajian tentang kitab fikih, DKM memilih bab ibadah yang
sering dipraktikkan dalam keseharian, seperti salat dan puasa.
B. Pemahaman DKM terhadap Hukum Positif Pengelolaan Zakat
Dalam aspek pemahaman hukum positif pengelolaan zakat, asumsi penulis
yang dibangun sejak awal penelitian mendapatkan pembuktian nyata di lapangan.
Asumsi itu penulis awali dari tidak adanya sinergi dan koordinasi antara masjid-
masjid dan KUA Kecamatan Pancoran dalam hal pengelolaan zakat yang dilakukan,
sehingga ketidaksesuain antara apa yang ditentukan dalam aturan dengan apa yang
ditemukan di lapangan, secara sederhana mengindikasikan belum adanya
pemahaman yang komprehensif dari DKM masjid yang mengelola zakat tentang
hukum positif yang berlaku.
Wilayah perkotaan yang penulis perkirakan akan memunculkan kesesuaian
dengan aturan hukum nyatanya tidak terbukti, karena tidak semata-mata keberadaan
masjid di wilayah kota akan berbanding lurus dengan tingkat kesesuaian mereka
terhadap aturan hukum yang berlaku. Ada beberapa hal yang akan penulis analisis
202
Hasil wawancara penulis dengan Faisal Qosim; Kepala Divisi Layanan Unit Pengumpul
Zakat Nasional Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) pada 27 Juni 2019. 203
Hasil wawancara penulis dengan H. Ubaidillah, ketua DKM Masjid Arrohmaanurrohim
pada tanggal 03 April 2019. 204
Hasil wawancara penulis dengan H. Zainuddin, sekretaris DKM Masjid Al-Munawwar
pada tanggal 04 April 2019.
89
atas temuan-temuan penelitian ini sebagai pendalaman untuk memahami aspek
pemahaman DKM terhadap hukum positif pengelolaan zakat di Indonesia.
Berikut penulis paparkan beberapa aspek aturan hukum yang dipahami oleh
DKM dalam praktik pengelolaan zakat di masjid.
1. Kewajiban Pengelola Zakat
Penulis telah melakukan wawancara dengan pengurus DKM yang memiliki
kewenangan dalam mengambil keputusan di lingkungan internal masjid, seperti
halnya membentuk panitia untuk melakukan tugas pengelolaan zakat selama
Ramadan. Wawancara ini dilakukan untuk mengetahui pemahaman DKM terkait
hukum positif pengelolaan zakat di Indnoesia
Mengenai aspek kewajiban pengelola zakat yang diatur dalam undang-
undang, DKM telah memahami dan mempraktikkan substansi hukum yang juga
sesuai dengan syariat zakat, tetapi tidak dengan hal-hal yang bersifat lebih teknis. Di
antara substansi kewajiban pengelola zakat yang dipahami dan dilaksanakan oleh
DKM dalam mengelola zakat di masjid adalah sebagai berikut:
a. Memberikan Bukti Setoran Zakat (Pasal 23 UU 23/2011)
Sebagai sebuah ibadah yang erat kaitannya dengan pemindahan
kepemilakan harta, bukti tetulis mengenai setoran zakat sangatlah diperlukan untuk
menjadi acuan dalam melaporkan dana yang dikelola, baik masuk maupun keluar.
Hal demikian juga bisa menumbuhkan rasa kepercayaan muzaki kepada pengelola
zakat bahwa dana zakat yang disetorkan dapat dipertanggungjawabkan lebih lanjut.
Bukti setoran zakat yang dipahami DKM berbeda dengan ketentuan bukti
setoran zakat yang diatur dalam undang-undang. Pengelola zakat di masjid memang
benar telah memberikan bukti setoran zakat, tapi hanya berupa kuitansi penerimaan
berstempel DKM yang telah disiapkan oleh panitia untuk diberikan kepada muzaki.
Bukti kuitansi semacam ini tidak memiliki fungsi lebih selain sebagai bukti bahwa
muzaki benar-benar telah menunaikan zakatnya ke masjid tertentu.
Lain halnya dengan bukti setor zakat yang dimaksud dalam undang-undang,
selain sebagai bukti bahwa muzaki telah menunaikan zakatnya, bukti setoran zakat
tersebut bisa digunakan untuk mengurangi penghasilan kena pajak205
. Bukti setoran
zakat semacam ini hanya dikeluarkan oleh BAZNAS (di semua tingkatan beserta
UPZ nya) ataupun LAZ yang telah resmi memiliki izin operasional pengelolaan
zakat.
Bukti setoran zakat yang dapat digunakan untuk mengurangi nominal pajak
atas penghasilan merupakan sebuah langkah integrasi antara pajak dan zakat bagi
warga negara Indonesia yang beragama Islam agar menghindari pembayaran ganda.
Meskipun demikian, wajib pajak yang beragama Islam banyak yang tidak
menggunakan cara ini karena ada pandangan yang berkembang di masyarakat
tentang pajak dan zakat, bahwa pajak adalah kewajiban warga negara terhadap
205
Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
90
negaranya dan zakat adalah kewajiban seorang muslim dalam agamanya, selain
karena tidak adanya informasi ataupun mekanisme pengurangannya yang sulit206
.
Integrasi pajak dan zakat semacam ini banyak digunakan oleh Aparatur Sipil
Negara, tetapi tidak akan dimanfaatkan oleh masyarakat yang penghasilannya tidak
pernah dikenai pajak. Itu artinya kemanfaatan pengurangan pajak ini tidak dirasakan
oleh semua golonan masyarakat, sehingga mereka tidak memiliki pertimbangan
khusus terkait bukti setoran zakat dari pengelola zakat yang akan mereka pilih untuk
menyalurkan zakat mereka, itulah salah satu faktor mengapa pengelola atau panitia
zakat di masjid masih tetap dipilih oleh kebanyakan masyarakat muslim Indonesia
dalam menunaikan zakat mereka.
b. Mendistribusikan Zakat (Pasal 25 UU 23/2011)
Amil Zakat pada hakikatnya memiliki 2 fungsi dasar yang harus dijalankan
yaitu mengumpulkan zakat lalu mendistribusikannya kepada para mustahik. Fungsi
pengumpulan yang melekat pada Amil Zakat bisa bermakna aktif maupun pasif.
Fungsi pengumpulan aktif berarti Amil Zakat langsung menarik dan mendatangi
para muzaki untuk diambil zakatnya, sedangkan fungsi pengumpulan pasif berarti
Amil Zakat hanya menunggu dan menerima penyaluran atau pembayaran zakat oleh
muzaki. Fungsi pengumpulan aktif dalam sejarah Amil Zakat pernah dilakukan di
masa-masa Rasulullah dan sahabat, seiring perkembangan zaman fungsi ini berganti
dengan pengumpulan pasif, karena beberapa faktor utamanya adalah berubahnya
kelembagaan pemerintahan Islam menjadi sebuah negara bangsa.
Amil Zakat di Indonesia pun hanya melakukan fungsi pengumpulan pasif,
yaitu tidak bisa melampaui kewenangannya untuk bertindak lebih jauh dalam
mengumpulkan zakat dari muzaki. Hingga saat ini, pengumpulan zakat yang
dilakukan Amil di Indonesia masih bersifat pasif, meskipun demikian telah banyak
langkah-langkah persuasif dan inistaif yang dilakukan untuk menarik simpati dan
kesadaran muzaki agar menunaikan zakatnya di lembaga-lembaga pengelola zakat
yang resmi. Upaya-upaya yang dilakukan dalam rangka mengaktifkan fungsi
pengumpulan melalui mekanisme penarikan langsung oleh institusi terkait terhadap
zakat pegawainya terbukti mendapat beragam respon penolakan karena dianggap
memaksa dan tidak tepat sasaran207
.
Selain fungsi pengumpulan, Amil Zakat wajib melaksanakan fungsi
pendistribusian atau penyaluran. Jika fungsi pengumpulan bersinggungan langsung
dengan muzaki, maka fungsi pendistribusian akan sangat terkait dengan mustahik
sebagai penerima utama dari zakat yang telah dikumpulkan. Beberapa muzaki
memasrahkan penyaluran zakat mereka kepada Amil Zakat, tetapi ada juga yang
meminta agar zakatnya diperuntukkan secara khusus kepada golongan yang muzaki
tentukan bahkan secara spesifik individunya sebagaimana yang diikrarkan muzaki.
206
Sudirman, “Goverment Policy on Zakat and Tax in Indonesia” Ahkam Jurnal Ilmu
Syariah 15 no. 1 (2015): 1-14 207
Heru Susetyo, “Contestation Between State And Non-State Actors In Zakah Management
In Indonesia” Shariah Journal 23, no. 3 (2015): 517-546.
91
Dalam konteks pengelola zakat di masjid, semua DKM yang penulis
wawancarai memahami dengan penuh keyakinan bahwa zakat yang mereka
kumpulkan di masjid wajib disalurkan kepada mustahik. Kewajiban tersebut mereka
pahami dari fikih zakat maupun undang-undang pengelolaan zakat yang ada. Dalam
aspek ini, pendistribusian zakat yang dilakukan diakui oleh DKM meningkat
kuantitasnya dari tahun ke tahun, hanya saja memang belum ada peningkatan atau
inovasi penyaluran dari sisi kualitasnya; zakat selalu didistribusikan secara
konsumtif tradisional.
c. Melaporkan Kegiatan Pengelolaan Zakat (Pasal 29 UU 23/2011)
Aspek pencatatan merupakan salah satu fungsi yang juga harus dilakukan
oleh Amil Zakat sebagai upaya evaluasi berkelanjutan untuk mengukur keberhasilan
pengelolaan zakat yang dilakukan. Berbeda dengan aspek pencatatan, pelaporan
merupakan hal lain yang jarang diperhatikan oleh pengelola zakat di masjid.
Secara regulasi, lembaga-lembaga yang telah resmi mendapatkan izin
operasional dalam melakukan pengelolaan zakat akan terikat dengan kewajiban-
kewajiban yang telah diatur dalam undang-undang pengelolaan zakat. Salah satu
poin kewajiban itu adalah melaporkan kegiatan pengelolaan zakat ke BAZNAS
sesuai tingkatannya.
Pengelola zakat di masjid yang belum bergabung menjadi UPZ atau mitra
LAZ masuk dalam kategori amil zakat perkumpulan orang yang sebenarnya secara
ketentuan hanya untuk wilayah yang belum dijangkau oleh BAZNAS maupun LAZ.
Dalam kondisi seperti tersebut, amil perkumpulan orang juga harus melaporkan
kegiatan pengelolaan zakatnya kepada Kantor Urusan Agama di kecamatan
setempat.
Menurut hasil wawancara peneliti kepada DKM masjid yang melakukan
pengelolaan zakat208
, mereka tidak sama sekali berkoordinasi dengan pihak eksternal
masjid, terutama KUA yang sebenarnya ditugaskan untuk menerima laporan
pengelolaan yang dilakukan amil zakat perorangan atau perkumpulan orang.
Pada dasarnya fungsi dari pelaporan atau pemberitahuan tentang kegiatan
pengelolaan zakat yang dilakukan di masjid kepada KUA setempat adalah untuk
kepentingan administrasi dan data yang akan direkapitulasi kemudian menjadi entri
data penghimpunan zakat secara nasional yang dilakukan BAZNAS ataupun
Kementerian Agama. Sebanyak apapun dana zakat yang berhasil dihimpun oleh
masjid-masjid di Indonesia selama Ramadan, jika laporannya tidak disampaikan
kepada pihak yang berwenang, maka realisasi dana zakat yang dihimpun akan selalu
ditemukan ketimpangan dengan kalkulasi potensi dana zakat yang ada di masyarakat
muslim Indonesia.
208
DKM Masjid Jami at-Taubah, Masjid Al-Muawanah, Masjid Arrohmaanurrohim,
Masjid Al-Munawwar, dan Masjid Jami an-Nur Durentiga.
92
2. Aspek Legalitas
Semua DKM yang penulis wawancarai mengaku mengetahui telah adanya
undang-undang tentang pengelolaan zakat, tetapi secara implisit mereka tidak
merasa harus mengikuti dan mematuhi isi undang-undang ataupun peraturan terkait
tentang pengelolaan zakat. Hal ini dilatarbelakangi pemahaman mereka yang
menganggap bahwasanya aturan-aturan tersebut hanya berlaku dan mengikat bagi
pengelola zakat yang diangkat atau disahkan pemerintah, sedangkan mereka tidak209
.
Tidak adanya pengesahan ataupun pengangkatan resmi sebagai amil zakat
dari pihak pemerintah kepada DKM dalam pengelolaan zakat di masjid, menjadikan
mereka tidak merasa harus mematuhi aturan-aturan yang ada, karena tidak ada
kontribusi apapun yang mereka terima dari pihak pemerintahan dalam hal
pengelolaan zakat. Unsur pemerintahan yang terkait dalam hal ini adalah Kantor
Urusan Agama Kecamatan Pancoran.
Ungkapan para DKM ini menggambarkan tidak padunya koordinasi dan
komunikasi antara KUA dan masjid di lapangan dalam hal pengelolaan zakat.
Penyuluh yang ada di KUA Kecamatan Pancoran selama ini banyak memberikan
penyuluhan kepada masyarakat mengenai hal-hal yang terkait mewujudkan dan
membina keluarga sakinah. Penulis juga telah memastikan bahwasanya pihak KUA
tidak melakukan koordinasi khusus dalam hal pengelolaan zakat dengan masjid-
masjid, mereka mengungkapkan tidak ingin mengintervensi kegiatan-kegiatan yang
sudah menjadi tradisi baik di masyarakat. Adapun jika ada pihak masjid yang ingin
dibantu untuk mengurus izin menjadi UPZ resmi, pihak KUA siap melayani210
.
3. Peran Pemerintah
Ketika penulis mewawancarai DKM mengenai peran pemerintah dalam
aturan hukum pengelolaan zakat, mereka menjawab bahwasanya pemerintah
memang memiliki kewenangan mengatur dan mengeluarkan regulasi tentang
pengelolaan zakat hanya saja pemerintah harus sadar bahwa memberlakukan
peraturan yang baru harus melibatkan banyak pihak, apalagi aturan tersebut terkait
langsung dengan tradisi keagamaan masyarakat yang telah lama dipraktikkan.
Masyarakat harusnya diposisikan sebagai pihak yang dinaungi dan diperhatikan
bukan disalahkan atau dikenai sanksi tanpa adanya sosialisasi yang maksimal211
.
Menurut pengakuan H. Zainuddin salah satu pengurus DKM Masjid al-
Munawwar dan juga pernah menjabat jajaran pengurus BAZIS DKI, memang
masjid-masjid pada umumnya dikelola oleh kaum tua yang tidak dinamis, lebih
fokus dalam rutinitas praktik ibadah, dan tidak terbiasa dengan inovasi, sehingga
209
DKM Masjid Jami at-Taubah, Masjid Al-Muawanah, Masjid Arrohmaanurrohim, Masjid
Al-Munawwar, dan Masjid Jami an-Nur Durentiga. 210
Hasil wawancara penulis dengan Pahruroji Kepala Kantor Urusan Agama (KUA)
Kecamatan Pancoran pada 11 April 2018. 211
Hasil wawancara penulis dengan H. Zainuddin, sekretaris DKM Masjid Al-Munawwar
pada tanggal 04 April 2019.
93
pengelolaan zakat pun dilakukan hanya sebatas rutinitas dan agenda tahunan selama
bulan Ramadan.
H. Zainuddin menambahkan bahwa kondisi ini harusnya dipahami betul
oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan zakat, apalagi jika ingin
menertibkan pengelola-pengelola zakat yang belum sesuai dengan hukum positif.
BAZNAS dan jajarannya serta stakeholder lainnya harus serius dan proaktif
membuka ruang komunikasi dan diskusi yang langsung melibatkan pengurus DKM
terkait pengelolaan zakat di masjid untuk perbaikan mekanisme dan evaluasi
mendasar agar pengelolaan zakat tersebut.
Dengan adanya pelibatan pengurus DKM secara langsung dalam proses
penertiban pengelolaan zakat ini, niscaya pemahaman DKM terkait hukum positif
pun akan sejalan dengan apa yang dipahami dan dikehendaki oleh pemerintah.
C. DKM dan Kepatuhan Hukum Pengelolaan Zakat
Dalam bagian ini, pemahaman terhadap aturan hukum memiliki keterkaitan
erat dengan kesadaran dan kepatuhan akan aturan tersebut yang dalam kenyataannya
belum dapat terealisasi di lapangan oleh para DKM. Tentu hal ini disebabkan oleh
beberapa faktor sehingga belum efektifnya pemberlakuan aturan tersebut oleh para
praktisi zakat di masyarakat grass root yaitu masjid-masjid.
Penulis menganalisis faktor-faktor tersebut dengan mengacu pada pendapat
Rodgers dan Bullock212
. Dalam studi mereka menetapkan 8 faktor yang
mempengaruhi kepatuhan terhadap hukum yaitu: 1) the clarity of the law, 2)
certainty and severity of punishment, 3) perceived legetimacy of the law, 4) demands
for enforcement, 5) agreement with the policy, 6) ability to measure the compliance,
7) extent of monitoring, dan 8) the exsistence of an enforcement.
Penulis memandang bahwa 8 faktor yang diungkapkan Rodgers dan
Bullocks sudah komprehensif dalam menjelaskan kepatuhan hukum yang ada di
masyarakat, karena faktor-faktor tersebut punya pengaruh yang signifikan dan
sangat faktual dengan apa yang terjadi di masyarakat khususnya dalam konteks
implementasi aturan pengelolaan zakat yang masih belum dipatuhi oleh masjid-
masjid yang mengelola zakat.
Penulis mengelompokkan kembali faktor-faktor tersebut ke dalam 4 aspek
utama, yaitu faktor lingkungan, sikap masyarakat, sosialisasi aturan, dan penegakan
hukum.
1. Faktor Lingkungan
Lingkungan masyarakat masjid -dalam hal ini adalah para pengurusnya-
punya potensi yang tinggi untuk membawa pengaruh pada kegiatan-kegiatan yang
dilakukan di masjid. Selama ini yang banyak ditemui di masjid-masjid adalah
pengurus yang berusia lanjut, artinya sumber daya manusia yang mengelola masjid
didominasi oleh para orang tua. Di satu sisi, orang tua dianggap memiiliki kesadaran
212
Harrel R. Rodgers dan Charles S. Bullock, Coercion to Compliance (Lexington Mass:
Lexington Books, 1976)
94
religius yang tingggi sehingga pantas untuk didajikan panutan di masjid, tetapi
kualitas pengelolaan masjid tidak memiliki keterkaitan yang siginifikan dengan
kesalehan pengurus, akan tetapi sangat erat kaitannya dengan kualitas manajerial
yang dijalankan oleh pengurus masjid tersebut213
.
Faktor latar belakang pendidikan pengurus DKM serta ideologi
keberagamaan di masjid meskipun tidak secara signifikan terkait dengan kepatuhan
hukum, kedua hal ini bisa mempengaruhi kebiasaan dan pola pengelolaan zakat
yang dilakukan. Penulis menemukan meskipun ada pengurus DKM yang berasal
dari lulusan perguruan tinggi negeri di Indonesia, tetapi tidak serta merta membuat
pengelolaan zakatnya sesuai dengan hukum positif. Ideologi keberagamaan
semacam ormas Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, ataupun Salafi juga tidak secara
langsung mempengaruhi kepatuhan hukum pengelolaan zakat di masjid.
Banyak pengurus masjid yang tidak mengikuti perkembangan hukum positif
yang terkait dengan kegiatan yang mereka lakukan di masjid, seperti halnya
pengelolaan zakat. Hal tersebut terjadi karena mereka tidak mengakses informasi
terkait, atau juga karena tidak ada informasi yang datang kepada mereka. Jangankan
untuk menyesuaikan dan menjalankan aturan, untuk sekedar mengetahui aturan saja,
pengurus masjid masih belum melakukan itu.
Lingkungan masjid bisa dimaknai secara lebih luas, yaitu tidak hanya
lingkungan internal pengurus DKM, akan tetapi lingkungan relasi yang dimiliki oleh
DKM. Jaringan atau relasi yang masjid miliki membuka komunikasi yang dinamis
untuk terus mengikuti perkembangan, terutama terkait hukum positif yang berkaitan
dengan aktivitas atau kegiatan yang masjid lakukan. Menjadi bagian dari organisasi
perkumpulan masjid adalah salah satu cara yang bisa dilakukan untuk membuka
akses informasi dan komunikasi yang lebih intens terhadap isu-isu hukum, karena
memang hal semacam ini tidak banyak dibahas kecuali di forum-forum diskusi atau
melalui sosialisasi.
Masjid yang tidak berinisiatif mengakses informasi terkait ketentuan-
ketentuan hukum yang berlaku tentu tidak akan responsif terhadap isu-isu kepatuhan
hukum semacam ini. Kondisi ini sesuai dengan kenyataan di lapangan, para DKM
memang merasa perlu diberikan sosialisasi tentang hal-hal semacam itu dari pihak-
pihak yang memiliki kewenangan dan kebijakan dalam pemberlakuan aturan hukum
tentang zakat, selama belum ada sosialisasi langsung yang DKM dapatkan, maka
mengharapkan kesadaran mereka untuk mematuhi hukum positif merupakan hal
yang sulit terwujud.
Di antara faktor lingkungan yang menjadi salah satu penyebab DKM tidak
mengindahkan hukum positif tentang pengelolan zakat adalah perasaan terikat
dengan hukum dan kemampuan untuk mematuhinya.
a. Keterikatan dengan Legitimasi Hukum
Faktor ini secara sederhana penulis ilustrasikan dengan sebuah aturan yang
dibuat dalam sebuah perkumpulan, kelompok, atau organisasi sebagai norma
213
Sebagaimana yang diungkapkan H. Zainuddin, sekretaris DKM Masjid Al-Munawwar
dalam wawancara tanggal 04 April 2019.
95
pengikat bagi anggota-anggota yang berada di dalamnya. Ketika ada orang dari luar
anggota yang melanggar aturan dalam kelompok tersebut, maka tidaklah berlaku
ketentuan-ketentuan apapun karena dirinya tidak merasa terikat dalam aturan yang
dibuat untuk kepentingan kelompok tersebut.
Seperti itulah faktor ini mempengaruhi kepatuhan hukum, sifatnya sangat
mendasar dan urgen dipahami karena hukum punya subjeknya masing-masing,
keberlakuannya terkadang terbatas oleh ruang lingkup kelompok tertentu sehingga
secara otomatis individu di luar kelompok itu tidak terikat dengan legitimasi hukum
yang ada.
Dalam konteks aturan pengelolaan zakat, subjek hukum yang paling banyak
terkait dengan regulasi adalah BAZNAS/BAZNAS Provinsi/BAZNAS Kabupaten
Kota, LAZ tingkat nasional, LAZ tingkat Provinsi, LAZ tingkat Kabupaten/Kota,
serta pihak-pihak yang dengan sadar melakukan pengelolaan zakat. Lembaga-
lembaga zakat resmi sudah pasti terikat dengan aturan tersebut, karena untuk
disahkan dan diberi izin operasional lembaga-lembaga itu tentu menempuh jalur dan
prosedur yang juga bagian dari regulasi pengelolaan zakat.
Individu yang wajib zakat ataupun yang berzakat (muzaki) sama sekali tidak
terikat dalam aturan tersebut, sehingga logika hukumnya jika seorang warga negara
Indonesia yang muslim dan telah wajib berzakat tetapi tidak menunaikannya tidak
akan ada ketentuan sanksi apapun yang diberikan kepadanya, karena muzaki bukan
menjadi subjek hukum dari aturan pengelolaan zakat di Indonesia. Begitu juga
mustahik, dia tidak masuk dalam lingkaran ikatan hukum positif pengelolaan zakat,
sehingga jika dia menggunakan dana zakat tidak sesuai peruntukannya tidak akan
juga dikenai hukuman, karena tidak ada ketentuan yang mengatur hal tersebut.
Jadi keterikatan aturan pengelolaan zakat hanya untuk para pengelola zakat,
dengan ungkapan lain, ketika suatu pihak atau individu ingin melakukan
pengelolaan zakat maka ia akan terikat dengan aturan pengelolaan zakat yang ada
untuk memastikan kepatuhannya terhadap hukum yang berlaku.
Lalu bagaimana dengan masjid-masjid yang melakukan pengelolaan zakat,
apakah mereka terikat dengan perturan pengelolaan zakat atau tidak?214
Seharusnya
terikat, karena Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat
mengatur pengelolaannya, mulai dari pihak yang mengelola, standar-standar
pengelolaan mencakup perencanaan, pelaksanaan, pengendalian hingga pelaporan
terkait penghimpunan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, akan tetapi
kenyataan yang ditemukan di lapangan, masjid-masjid yang melakukan pengelolaan
zakat tidak merasa terikat dengan peraturan pengelolaan zakat yang ada sehingga
sulit pula lah kepatuhan hukum itu terwujud.
214
Posisi hukum masjid dalam pengelolaan zakat telah dijelaskan dalam Bab kedua yang
pembahasannya didasarkan kepada peraturan-peraturan tentang pengelolaan zakat yang ada
mulai dari Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Agama, hingga
Peraturan BAZNAS.
96
b. Kemampuan untuk Mengukur Kepatuhan
Faktor lainnya yang mempengaruhi kepatuhan hukum adalah kemampuan
mengukur kepatuhan, yaitu apa instrumen dan sarana yang digunakan untuk
memastikan suatu peraturan hukum itu telah dipatuhi215
. Kemampuan untuk
mengukur dan menentukan kepatuhan ini haruslah ada sehingga bisa dipantau dan
diikuti perkembangannya, bagaimana kepatuhan hukum di masyarakat dari waktu ke
waktu.
Pengukuran yang tepat tentunya akan menghasilkan data yang akurat
tentang kepatuhan hukum di masyarakat. Cara sederhana untuk menyatakan apakah
suatu undang-undang atau peraturan telah dipatuhi masyarakat adalah melihat secara
langsung pengaplikasian aspek-aspek hukum yang diatur di masyarakat, jika masih
ada aspek-aspek yang masih tidak sesuai dengan aturan, maka kepatuhan hukum
masih belum secara penuh terwujud.
Dalam konteks pengelolan zakat, cara yang digunakan selama ini dalam
mengukur kepatuhan adalah dengan memeriksa laporan pengelolaan zakat yang
telah dilakukan setiap pengelola zakat yang biasanya dilaporkan minimal setiap
tahun sekali. Laporan yang begitu vital adalah laporan keuangan yang
mengharuskan untuk diaudit terlebih dahulu oleh akuntan publik yang terpercaya.
Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf; Fuad Nasar mengungkapkan
bahwasanya pengawasan yang dilakukan dalam pengelolaan zakat untuk
memastikan kepatuhan hukum mereka terhadap undang-undang yang berlaku adalah
dengan terus melakukan pengecekan dari laporan-laporan pengelolaan zakat yang
diberikan oleh para pengelola zakat kepada Direktorat Pemberdayaan Zakat dan
Wakaf Kementerian Agama216
.
2. Sikap Masyarakat
,
Masyarakat dalam konteks pengelolaan zakat punya peran yang penting
terutama muzaki yang merupakan satu-satunya pihak yang membayarkan zakat.
Sikap masyarakat terhadap pelaksanaan zakat memberikan dampak yang signifikan
dalam perkembangannya. Sebagaimana laporan BAZNAS bahwasanya
penghimpunan dana zakat setiap tahunnya selalu bertambah, memberikan trend
yang positif, kurang lebih mengalami peningkatan rata-rata 35,84% pertahun217
.
Kesadaran masyarakat muslim Indonesia untuk berzakat di lembaga zakat
resmi terus meningkat, tetapi kecenderungan untuk menunaikan zakat kepada selain
lembaga misalnya ke pengelola zakat di masjid, tokoh agama, bahkan mustahik
secara langsung, masih banyak ditemukan di masyarakat muslim Indonesia. Salah
satu alasan hal itu adalah tidak tersedianya informasi dan sosialisasi kepada muzaki
215
José E Alvarez, "Measuring Compliance." Proceedings of the Annual Meeting (American
Society of International Law) 96 (2002): 209-213. http://www.jstor.org/stable/25659777. 216
Hasil wawancara penulis dengan Fuad Nasar; Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf
Kementerian Agama pada 24 Juli 2019. 217
Total penghimpunan zakat selama tahun 2002-2016. Lihat BAZNAS. Outlook Zakat
Indonesia 2018 (Jakarta: PUSKAS BAZNAS, 2018), 18.
97
tentang manfaat zakat yang dikelola lembaga lebih besar dari pada yang dibayarkan
langsung218
.
Sikap masyarakat yang menunaikan zakat secara langsung maupun melalui
pengelola zakat di masjid tidak terlepas dari pengaruh tradisi dan kebiasaan yang
telah berlangsung turun temurun. Praktik semacam ini secara fikih memang
diperbolehkan dan sah, tetapi untuk pengelolaan zakat yang berkelanjutan, tentu
praktik semacam ini harus segera diubah karena tidak dapat membawa kemanfaatan
yang lebih besar untuk penerima yang lebih banyak dan lebih luas.
a. Kesepakatan terhadap Kebijakan
Pada dasarnya, proses legislasi yang dijalankan di negara demokrasi seperti
Indonesia ini merupakan pengejawentahan dari sistem perwakilan rakyat yang ada
melalui lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) baik di tingkat Provinsi maupun
Kabupaten/Kota, serta Dewan Perwakilan Daearah (DPD). Semua dewan yang
mengatasnamakan rakyat ini adalah wakil rakyat yang membawa aspirasi rakyat
untuk melembagakan kepentingan mereka dalam undang-undang yang dikeluarkan
nantinya oleh dewan ini.
Dalam kerangka negara hukum sebagaimana yang banyak digambarkan
kepada Indonesia, menurut Seotandyo Wignjosoebroto dalam Ilham F. Putuhena
mengemukakan bahwasanya ada 3 karakteristik yang melekat pada konsep
rechtsstaat yaitu: pertama, bahwa yang disebut dengan „hukum‟ dalam negara
hukum adalah sifat hukum yang positif, yang berarti telah diundangkan dan berlaku
sebagai hukum nasional sebagai sebuah kepastian hukum. Kedua, yang disebut
hukum yang telah menjadi undang-undang haruslah merupakan hasil dari proses
kesepakatan kontraktual antara golongan-golongan partisan dalam suatu negeri
ataupun melalui wakil-wakilnya dalam sebuah proses yang disebut proses legislasi.
Ketiga, hukum yang telah diwujudkan dalam bentuk undang-undang yang
kontraktual itu akan mengikat seluruh bangsa secara mutlak, mengalahkan aturan-
aturan normatif yang dipahami di beberapa kelompok atau kalangan tertentu219
.
Aspek kesepakatan ini penting dalam kerangka negara hukum, karena jika
sebuah hukum mengabaikan asas kesepakatan dalam proses pembentukannya,
niscaya akan menyulitkan pemberlakuannya di masyarakat, karena bagaimanapun
sebenaranya rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara demokrasi,
sehingga keterlibatan mereka dalam setiap kepentingan dan kebijakan sebuah
pemerintahan tidak bisa dianggap sebagai formalitas semata, tetapi memang
dihadirkan dalam rangka memperkuat perkembangan hukum di masyarakat juga
sebagai salah satu cara efektif dalam menciptakan kepatuhan hukum.
218
Nadilla Ambarfauziah Ruliad, dkk. “Analisis Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Muzaki
Dalam Memilih Organisasi Pengelola Zakat (OPZ): Studi Kasus di Badan Amil Zakat
Nasional Kota Bogor” Jurnal Al-Muzara’ah 3, no. 1 (2013): 20-33. 219
M. Ilham F. Putuhena, “Politik Hukum Perundang-Undangan: Mempertegas Reformasi
Legislasi yang Progresif” Jurnal Rechts Vinding Media Pembinaan Hukum Nasional 2, no.3
(2013): 375-395
98
Dalam kaitannya dengan undang-undang atau peraturan tentang pengelolaan
zakat di Indonesia, memang masyarakat tidak secara langsung dilibatkan dalam
proses pembentukannya, sehingga aspek kesepakatan masyarakat yang
sesungguhnya tidak terwujud, kecuali jika kesepakatan masyarakat yang dimaksud
adalah kesepakatan para elit wakil rakyat yang ada di Komisi VIII DPR-RI yang
konsen pada legislasi di bidang agama dan sosial ataupun mitra-mitra pemerintah
yang juga terkait dengan kepentingan di Komisi VIII tersebut, seperti Kementerian
Agama, Kementerian Sosial, dan Badan Amil Zakat Nasional220
.
b. Doktrin Agama
Dalam Islam, ada konsep ikhlas yang dipahami sebagai cara seorang hamba
melaksanakan segala sesuatu dengan hanya mengharap keridhoan dari Allah swt.
Dalam hal ini, tidak ada bedanya apakah kegiatan yang dilakukan bersifat duniawi
seperti pemberian-pemberian umum ataukah yang berniai ibadah ukhrowi, seorang
muslim dianjurkan untuk senantiasa mengaplikasikan konsep ikhlas dalam segala
perbuatannya.
Di sisi yang lain, konsep ikhlas yang awalnya bertujuan baik, agar tidak
mengharap imbalan ataupun pemberian dari orang lain atas apa yang telah
dilakukan, menjadi tidak sejalan dengan semangat transparansi pengelolaan zakat.
Pasalnya, zakat pada dasarnya memiliki perbedaan mendasar dari jenis pemberian
lain, sedekah dan infak misalnya. Zakat merupakan kewajiban setiap muslim yang
kemudian menjadi dana publik umat Islam, khususnya golongan mustahik zakat.
Pengelolaan dana publik tentu harus dilakukan secara transparan dan
akuntabel, bisa diakses laporan penggunaannya serta dapat dipertanggungjawabkan,
akan tetapi masyarakat muslim yang bertindak sebagai muzaki cenderung tidak
bersifat kritis terhadap pengelolaan zakat yang mereka tunaikan melalui amil zakat,
padahal sikap kritis ini perlu bagi amil zakat yang belum menjalankan
pengelolaannya secara profesional, seperti halnya petugas zakat di masjid-masjid.
Pengelolaan zakat yang belum dijalankan secara profesional oleh masjid,
terutama dalam aspek pelaporan ditambah sikap masyarakat yang tidak kritis
terhadap dana zakat akan terus membuat pengelolaan zakat di masjid tidak
berkembang, karena tidak adanya dorongan untuk evaluasi baik dari internal
pengurus masjid maupun pihak eksternal yaitu masyarakat yang berzakat kepada
masjid.
Selain aspek pelaporan, muzaki yang menunaikan zakatnya di masjid
nyatanya tidak mempermasalahkan aspek legalitas pengelola, karena bagi mereka
yang terpenting adalah kewajiban zakat telah ditunaikan dan mereka percaya bahwa
zakat mereka selalu didistribusikan oleh DKM atau petugas zakat di masjid kepada
mustahik yang berada di sekitar wilayah masjid221
.
220
Puji Kurniawan, “Legislasi Undang-Undang Zakat” Jurnal Al Risalah 13, no.1 (2013):
99-118. 221
Sebagaimana pengakuan Haikal; muzaki di masjid Jami at-Taubah, Arif; muzaki di
masjid al-Muawanah, Supanco; muzaki di masjid Jami An-Nur, dan Zainuddin muzaki di
masjid Al-Munawwar.
99
3. Sosialisasi Aturan
Alasan yang sering diutarakan DKM terkait mengapa mereka belum
menyesuaikan diri dengan hukum positif adalah tentang sosialisai aturan.
Sebagaimana hasil wawancara penulis dengan DKM masjid, mereka mengakui
bahwasanya mereka tidak pernah diberikan sosialisasi atau himbauan tertentu terkait
aturan pengelolaan zakat yang ada, entah itu dari pihak KUA yang mewakili
Kementerian Agama, ataupun dari BAZNAS222
.
Sesuai dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan
Zakat, ada 2 pihak utama yang bertugas untuk melakukan sosialisasi terkait hukum
positif pengelolaan zakat, yaitu Kementerian Agama (Kemenag) dan Pemerintah
Daerah (Pemda). Menteri Agama dan Gubernur serta Bupati/Walikota jelas
disebutkan memiliki fungsi pengawasan dan pembinaan yang tertuang dalam pasal
84 Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Pembinaan yang
dimaksud meliputi fasilitasi, sosialisasi, dan edukasi terkait pengelolaan zakat.
BAZNAS melalui anggota-anggotanya sebenarnya juga diberi tugas untuk
melakukan sosialisasi dan kampanye zakat ke masyarakat sebagaimana yang diatur
dalam pasal 9 Peraturan Menteri Agama No.6 Tahun 2016 tentang Tugas, Fungsi
dan Tatakerja Anggota Badan Amil Zakat Nasional.
Sesuai dengan apa yang penulis temukan di lapangan, ketiga instansi ini
tidak memiliki koordinasi yang baik dalam hal sosialisasi pengelolaan zakat ke
masyarakat, terutama masjid-masjid. Padahal sebenarnya mereka masing-masing
memiliki kantor perwakilan di setiap tingkatan, baik di pusat, provinsi, maupun
kabupaten/kota, bahkan Kemenag memiliki kantor hingga di tingkat kecamatan,
yaitu KUA. Sosialisasi ini idealnya dilakukan bersama-sama oleh ketiga instansi
tersebut, harus ada komunikasi dan koordinasi yang terjalin.
Sosialisasi yang diharapkan masjid-masjid bukanlah hanya sebatas diberi
surat atau himbauan tertulis, tetapi mereka berharap dilibatkan dalam komunikasi
secara langsung dalam forum silaturahim, diskusi, serta pembinaan223
. Cara-cara
dengan pendekatan semacam ini kemungkinan besar lebih mudah diterima oleh
masjid-masjid karena adanya dialog, tidak dengan sosialisasi model pendekatan
kekuasaan, mandat, perintah dan sebagainya.
Dalam konteks sosialisasi aturan pengelolaan zakat, jika kita pehatikan
secara mendasar tentang substansi hukumnya ada ketidakjelasan dalam ketentuan
kewajiban seorang muslim di Indonesia dalam menunaikan zakat menurut Undang-
Undang. Di awal legislasi undang-undang zakat yang disahkan dalam dalam
Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat ketentuan
kewajiban tersebut dijelaskan dalam pasal khusus yang menegaskan bahwasanya
setiap warga negara Indonesia yang beragama Islam dan mampu atau badan usaha
222 Hasil wawancara penulis dengan DKM Masjid Jami at-Taubah, Masjid al-Muawanah,
Masjid Arrohmaanurrohim, Masjid Jami an-Nur, Masjid al-Munawwar, dan Masjid
Nurullah. 223
Sebagaimana yang disampaikan H. Zainuddin, sekretaris DKM Masjid Al-Munawwar
dalam wawancara pada tanggal 04 April 2019.
100
yang dimiliki oleh orang Islam berkewajiban menunaikan zakat224
, akan tetapi
ketentuan tersebut tidak lagi ditemukan dalam aturan pengelolaan zakat yang terbaru
yaitu Undang-Undang No. 23 Tahun 2011. Ketidakjelasan terkait poin utama ini
oleh sebagian kalangan akhirnya dipahami bahwa zakat di Indonesia merupakan
voluntary virtue yaitu kebajikan yang sifatnya sukarela225
.
Konsekuensi ini harus diambil pemerintah karena ingin benar-benar
membatasi kewenangannya untuk tidak terlibat lebih jauh dalam ikut campur
persoalan ajaran agama warga negara Indonesia yang muslim. Hal tersebut
merupakan upaya yang konsisten untuk megimplementasikan fungsi fasilitasi dan
perlindungan serta penjaminan kebebasan warga negara untuk menjalankan ajaran
agama yang dianut sesuai dengan konstitusi Undang-Undang Dasar 1945226
.
Faktor kejelasan ketentuan hukum ini akan terus berimbas pada faktor-
faktor kepatuhan hukum lainnya, karena ini adalah dasar utama sebuah
pemberlakuan hukum, yaitu hukum itu sendiri. Ketika hukum tidak
termanifestasikan dalam kalimat hukum yang jelas maka sulit untuk menegaskan
maksud dan tujuan utama hukum tersebut.
Selain kejelasan, hukum pun harus masuk akal dan memungkinkan untuk
dilaksanakan. Terkait hal ini, penulis menyoroti salah satu aturan yang ada di
Peraturan BAZNAS No. 2 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Tata Kerja Unit
Pengumpul Zakat mengenai keharusan untuk mentransfer dana zakat yang dihimpun
oleh UPZ kepada BAZNAS. Dalam pasal 35 ayat 2 menjelaskan bahwa UPZ wajib
menyetorkan seluruh dana hasil pengumpulannya kepada BAZNAS sesuai
tingkatannya.
Dalam pasal tersebut tidak disebutkan secara spesifik dana apa saja yang
disetorkan ke BAZNAS, apakah hanya zakat saja atau semua hasil pengumpulan
dana seperti infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya. Penjelasan rincinya
dapat ditemukan di Keputusan Ketua BAZNAS baik tentang dana apa saja yang
harus disetor, cara penyetoran, dan batas waktu penyetoran.
Dana yang harus disetor UPZ kepada BAZNAS yang membentuknya adalah
semua jenis dana yang dihimpun oleh UPZ baik berbentuk zakat, infak, sedekah,
maupun dana sosial keagamaan lainnya227
. Adapun penyetoran dana tersebut
224
Pasal 2 Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Undang-Undang
ini telah diamandemen dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan
Zakat sehingga sudah tidak lagi berlaku. 225
Pemahaman tentang konsep Voluntary dan Mandatory tentang zakat adalah sifat
penunaian zakat oleh para wajib zakat (muzaki). Negara-negara berpenduduk muslim yang
melakukan pengelolaan zakat ada yang telah menetapkan zakat sebagai sebuah mandat dan
kewajiban yang ditegaskan dalam aturan khusus di negara itu sehingga warga negara tersebut
wajib menunaikan zakatnya pada negara, tetapi di negara berpenduduk muslim yang lain
zakat tidak ditetapkan sebagai mandat, tetapi hanya bersifat sukarela yang artinya warga
negara tidak diwajibkan secara hukum negara untuk menunaikan zakatnya ke negara. Lihat
Russell Powell, Zakat: Drawing Insights for Legal Theory and Economic Policy From
Islamic Jurisprudence. University of Pittsburgh Tax Review 7 (2010): 43-101. 226
Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 227
Keputusan Ketua BAZNAS No. 25 Tahun 2018 tentang Pedoman Pengelolaan Unit
Pengumpul Zakat Badan Amil Zakat Nasional.
101
dilakukan dengan cara Bank Transfer ke rekening BAZNAS setiap bulan paling
lambat tanggal 5 di bulan berikutnya. Misalnya UPZ lembaga X telah memulai
pengumpulan di awal Agustus, maka hasil pengumpulan bulan Agustus tersebut
paling lambat disetorkan ke BAZNAS pada tanggal 5 September. Penyetoran dana
ini dimaksudkan sebagai laporan riil penghimpunan dana sekaligus cara BAZNAS
untuk memastikan validitas dana yang dihimpun UPZ selain juga untuk kepentingan
administrasi pelaporan kinerja. Dana yang disetor tersebut akan dikembalikan lagi
kepada UPZ paling lambat 5 hari kerja setelah dananya diterima di rekening
BAZNAS.
Dana yang disetorkan ke BAZNAS akan kembali lagi ke UPZ yang
mendapatkan tugas perbantuan penyaluran zakat itu pun hanya sejumlah 70%,
sisanya disalurkan oleh BAZNAS. Akan tetapi bagi UPZ yang hanya melakukan
tugas pengumpulan, maka dana yang disetor akan sepenuhnya disalurkan oleh
BAZNAS. Berbeda dengan UPZ yang berbasis masjid, dana zakat yang disetorkan
ke rekening BAZNAS akan disetorkan kembali seluruhnya ke rekening UPZ masjid
dan dapat melakukan penyaluran zakat 100% dari dana tersebut228
.
Mekanisme semacam ini menurut penulis tidaklah efektif dan efesien
sekaligus menyulitkan UPZ dan tidak mandiri apalagi bagi masjid-masjid yang
belum tentu bisa melaksanakan mekanisme semacam ini. Ketentuan ini jelas hanya
menjadikan UPZ sebagai kepanjangan tangan BAZNAS semata tanpa kewenangan
lebih, padahal yang dibutuhkan masyarakat pengelola zakat khususnya di masjid
adalah pembinaan dan bimbingan mengenai pengelolaan zakat terlebih tentang cara
mengembangkan pendistribusian dan pemberdayaan melalui kegiatan-kegiatan
produktif agar berdampak jangka panjang bagi mustahik agar terlepas dari lingkaran
kemiskinan. Selain itu, dana yang bolak-balik rekening BAZNAS dan UPZ
memakan waktu dan tidak mungkin dilakukan khususnya dalam penyaluran zakat
fitrah yang waktunya terbatas. Mekanisme semacam itu jelas hanya menyulitkan
UPZ masjid dalam penyaluran zakat kepada mustahik.
4. Penegakan Hukum
Secara mekanisme hukum, aspek ini memainkan peranan yang penting agar
aturan bisa dilaksanakan dan diimplementasikan. Pihak-pihak yang menyalahi dan
tidak menyesuaikan diri dengan aturan yang berlaku perlu ditertibkan. Di antara
aspek penegakan hukum yang menjadi faktor tidak diindahkannya hukum positif
pengelolaan zakat oleh DKM adalah sebagai berikut:
a. Sanksi yang Pasti dan Tegas
Dalam Black Law Dictionary229
sanksi (sanction) didefinisikan sebagai “a
penalty or other means of enforcement used to provide incentives for obedience with
228
Keputusan Ketua BAZNAS No. 25 Tahun 2018 tentang Pedoman Pengelolaan Unit
Pengumpul Zakat Badan Amil Zakat Nasional lebih tepatnya pada lampiran mengenai Tugas
Perbantuan Penyaluran Zakat. 229
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary (St. Paul: West Publishing, 1990), 1341.
102
the law, or with rules and regulations” yaitu sebuah hukuman atau bentuk yang lain
yang digunakan dalam proses penegakan hukum yang bertujuan untuk
menimbulkam kepatuhan terhadap hukum, aturan, atau regulasi.
Aturan dan sanksi merupakan dua hal yang saling melengkapi untuk
memastikan efektivitas hukum, yaitu hukum telah terlaksana dan dipatuhi oleh
masyarakat yang diatur dengan hukum tersebut. Logika hukum yang menggunakan
sanksi sebagai alat untuk mencapai kepatuhan hukum merupakan asas legalitas,
ketika suatu tindakan tidak sesuai dengan ketentuan hukum, maka hal tersebut
dinilai sebagai pelanggaran dan setiap pelanggaran akan dikenai sanksi yang
tujuannya untuk memberikan efek jera bagi pelanggar tersebut agar tidak
mengulangi pelanggaran230
.
Sanksi yang dimaksud dalam Undang-Undang Pengelolaan Zakat ditujukan
kepada para pihak yang melakukan pengelolaan zakat dan sengaja melawan hukum
dengan melanggar pasal-pasal ketentuan yang ada.
Dalam konteks aturan pengelolaan zakat, memang terdapat sanksi yang
diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 maupun aturan turunannya, tetapi
pemberlakukan sanksi tersebut sangat berbeda dengan ketentuan sanksi pada tindak
pidana pada umumnya. Sanksi yang ditetapkan adalah sanksi administratif berupa
teguran tertulis, pemberhentian sementara dari kegiatan, dan atau pencabutan izin
operasional231
ketika pengelola zakat tidak melaksanakan kewajibannya seperti
memberikan bukti setor zakat kepada muzaki, tidak melakukan pendistribusian dan
pendayagunaan zakat sesuai syariat Islam serta peruntukannya sebagaimana yang
telah diatur dalam undang-undang pengelolaan zakat232
.
b. Permintaan untuk Penegakan Hukum
Dalam hukum pidana ada istilah yang dikenal dengan delik, yaitu perbuatan
yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran atau tindak pidana
yang kemudian menjadi alasan diprosesnya tindak pidana tersebut ke tingkat
penegakan hukum melalui serangkaian proses pengadilan.
Ada delik formil dan delik materil atau juga delik aduan dan delik biasa.
Delik formil adalah tindakan yang dilarang tanpa memperhatikan akibat yang terjadi
dari tindakan itu, sedangkan delik materil adalah selain telah dilakukannya tindakan
yang melanggar hukum, tetapi masih harus dipastikan dengan juga terjadinya
dampak serta akibat yang ditimbulkan dari tindakan tersebut sehingga bisa benar-
benar dikatakan bahwa tindak pidana benar-benar telah terjadi sepenuhnya233
.
230
Whang, Taehee, Elena V. McLean, dan Douglas W. Kuberski. "Coercion, Information,
and The Success of Sanction Threats." American Journal of Political Science 57, no 1
(2013): 65-81. 231
Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Ketentuan lebih lanjut tentang sanksi ini telah diatur dalam Peraturan Menteri Agama No. 5
Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dalam Pengelolaan Zakat. 232
Pasal 23 dan 25 Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. 233
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya
(Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982), 237.
103
Adapun delik aduan adalah tindak pidana yang hanya dapat dituntut apabila
telah dilakukan pengaduan oleh pihak yang merasa dirugikan, sedangkan delik biasa
adalah tindakan pidana yang dapat dituntut tanpa diperlukan pengaduan terlebih
dahulu234
.
Demand for Enforcement berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang
memiliki delik aduan, sehingga fungsi permintaan atau pengaduan untuk
dilakukannya penegakan hukum sangat diperlukan. Jika tidak ada permintaan atau
pengaduan atau pelaporan terhadap tindakan yang melanggar hukum tersebut, dalam
arti tidak ada pihak yang dirugikan ataupun pihak yang dirugikan tidak
melaporkannya ke pihak yang berwenang, maka tindakan pelanggaran tersebut tidak
akan diproses dan sanksi yang telah ditentukan tidak akan bisa dikenakan kepada
pelaku. Itulah mengapa, faktor ini penting dalam perkara-perkara yang memiliki
delik materil juga delik aduan, hal demikian dapat ditemukan dalam aturan
pengelolaan zakat di Indonesia
Dalam konteks aturan pengelolaan zakat telah diatur bagaimana proses
penegakan hukum itu dijalankan. Misalnya ada sebuah pengelola zakat yang telah
menyalahi ketentuan dalam peraturan pengelolaan zakat seperti tidak melakukan
pelaporan penghimpunan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang telah
diaudit kepada BAZNAS235
, maka berlakulah proses sanksi administratif yang diatur
dalam Peraturan Menteri Agama No. 5 Tahun 2016.
Sebagaimana proses pada kasus yang memiliki delik aduan, maka
pelanggaran yang terjadi dalam konteks pengelolaan zakat pun demikian. Proses
pemberian sanksi administratif akan dilakukan dengan catatan bahwa unsur-unsur
persyaratannya harus dipenuhi terlebih dahulu, yaitu adanya pengaduan atau laporan
dugaan pelanggaran secara tertulis yang dapat dibuat oleh individu perseorangan,
kelompok, maupun instansi. Setelah ada laporan yang masuk, maka dilanjutkan
dengan proses pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran tersebut, dalam hal ini
yang bertindak sebagai pemeriksa adalah pihak Kementerian Agama atau BAZNAS.
Tahap berikutnya adalah investigasi yang dilakukan terhadap dugaan pelanggaran
untuk mengumpulkan bukti-bukti berupa surat-surat atau dokumen-dokumen,
keterangan saksi, keterangan ahli, hingga pengakuan terlapor. Jika dalam proses
investigasi ini membuktikan bahwa pelanggaran telah terjadi maka sanksi akan
diberikan, jika tidak ditemukan pelanggaran maka kasus dianggap selesai236
.
Serangkaian proses yang panjang dalam pengenaan sanksi administratif bagi
pihak pengelola zakat yang melakukan pelanggaran tidak akan dilakukan jika tidak
adanya laporan yang dibuat. Laporan ini lah yang disebut dengan demand atau
permintaan untuk dilakukannya penegakan hukum, jika stimulus ini tidak ada maka
tidak akan ada penegakan hukum yang terjadi, itu artinya kalau pun ada pelanggaran
yang terjadi tidak akan ada sanksi apapun yang diterima oleh pihak yang melanggar
234
P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1997), 217-218. 235
Melanggar pasal 19 Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. 236
Ketentuan lebih lengkap tentang prosedur ini dalam dilihat dalam Peraturan Menteri
Agama No. 5 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dalam
Pengelolaan Zakat.
104
yang pada intinya tidak ada kepatuhan hukum yang terjadi akibat tidak berjalannya
skema sanksi dalam aturan pengelolaan zakat.
c. Pengawasan yang Luas
Pengawasan dilakukan dengan tujuan check and balance sebagai
mekanisme untuk mengendalikan sesuatu sesuai prosedur yang telah ditetapkan.
Pengawasan juga bisa dilakukan untuk memantau jika terjadi suatu pelanggaran atau
penyelewengan.
Dalam konteks pengelolaan zakat di Indonesia, pengawasan sejatinya
dilakukan oleh Kementerian Agama sebagai pihak yang mengeluarkan regulasi juga
yang mengawasi berjalanya regulasi tersebut. Di sisi lain, masyarakat pun
sebenarnya diberikan hak untuk turut berpartisipasi dalam pengawasan terhadap
pengelolaan zakat yang dilakukan BAZNAS, LAZ. Pengawasan yang dilakukan
masyarakat dapat berbentuk akses terhadap informasi tentang pengelolaan zakat
yang dilakukan BAZNAS dan LAZ juga penyampaian informasi jika mendapati
penyimpangan dalam pengelolaan zakat yang dilakukan mereka237
.
Pengawasan yang dijelaskan dalam peraturan pengelolaan zakat masih
terbatas kepada BAZNAS dan LAZ, belum diperluas kepada seluruh pihak yang
mengelola zakat. Perluasan pengawasan ini perlu untuk memastikan pihak-pihak
pengelola yang belum masuk dalam koordinasi pengelola zakat juga telah
melaksanakan pengelolaan zakatnya dengan benar.
d. Penegakan Hukum yang Riil
Eksistensi penegakan hukum merupakan fakor penting dalam memastikan
sebuah peraturan dipatuhi, karena jika tidak dipatuhi maka secara tidak langsung
telah ada pelanggaran yang dilakukan akibat ketidakpatuhan terhadap peraturan
tersebut. Dalam kondisi seperti inilah sangat perlu adanya penegak hukum yang
berfungsi untuk menegakkan hukum melalui prosedur yang telah ditentukan.
Jika eksistensi penegak hukum tidak ada, mustahil akan kita temui
penegakan hukum di lapangan akibat ketidakpatuhan hukum yang terjadi. Itulah
mengapa faktor eksistensi penegakan hukum sangat terkait dengan penegak hukum
itu sendiri karena hakikatnya mereka adalah satu hal yang saling berkonsekuensi
terhadap eksistensi masing-masing. Penegakan hukum ada karena eksisnya penegak
hukum seperti halnya penegak hukum dibentuk atau ditugaskan untuk melakukan
penegakan hukum.
Kepatuhan masyarakat kita terhadap hukum masih sangat bergantung pada
penegakan hukum yang dilakukan terkait ketidaksesuaian dan ketidakpatuhan yang
terjadi dalam aturan yang telah ditetapkan. Secara umum faktor ini bisa diterapkan
dalam menganalisis ketidakpatuhan terhadap aturan-aturan yang ada terutama yang
mengandung unsur pidana, tetapi terkhusus pada konteks aturan pengelolaan zakat,
penanganannya berbeda.
237
Pasal 35 ayat (3) Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
105
Secara konten, aturan pengelolaan zakat berisi banyak ketentuan yang lebih
bersifat strategi dan standar atau pedoman pengelolaan zakat yang baik dan benar,
yang sasarannya adalah para pengelola zakat, bukan muzaki atau mustahik. Hal ini
menandakan bahwa jika pun ada yang melanggar peraturan tentang undang-undang
pengelolaan zakat, maka mereka adalah para pengelolanya.
Muzaki sebagai pihak yang berzakat tidak dikenai ketentuan apapun dalam
hal pengelolaan zakat. Muzaki diberikan kebebasan untuk memilih dengan cara
seperti apa zakatnya ditunaikan, itu sangat bergantung kepada keyakinan,
kenyamanan, dan kepercayaan yang dimiliki. Begitu pula mustahik, mereka tidak
secara langsung terkait dalam aturan pengelolaan zakat -meskipun seharusnya aturan
ini menjadi salah satu sarana memperjuangkan kesejahteraan mereka- tetapi
mekanisme yang ada dari dulu hingga saat ini, mustahik diposisikan sebagai pihak
yang pasif, yang hanya menunggu untuk disantuni dan diberikan bantuan atau
diberdayakan melalui dana zakat. Padahal sesungguhnya, mereka punya hak
terhadap dana zakat tersebut, mereka punya hak untuk diberdayakan dan
disejahterakan melalui dana wajib keagamaan tersebut.
Mengenai penegakan hukum, dalam konteks aturan pengelolaan zakat tidak
ditegaskan secara gamblang dan juga tidak ditemui paktiknya di lapangan.
Logikanya, penegakan hukum akan berjalan ketika ada pelanggaran terhadap aturan
yang telah ditetapkan. Dalam hal ini, ada beberapa hal terkait yang harus ada dalam
rangka penegakan hukum, yaitu pengawasan dan keterikatan subjek hukum terhadap
aturan.
Selama ini, pengelola zakat (subjek hukum) yang berada di masyarakat tidak
merasa terikat pada aturan pengelolaan zakat yang ada, sehingga mereka tidak
terlalu peduli terhadap ketentuan-ketentuan yang harusnya dilaksanakan ketika
mengelola zakat. Kondisi ini didukung dengan tidak adanya pengawasan yang
dilakukan oleh pihak yang berwenang, sehingga pengelola zakat bisa tetap
beroperasi walau tidak sesuai aturan karena tidak adanya pengawasan di lapangan.
Dalam hal ini, Kementerian Agama lah yang bertindak sebagai pengawas
Pengawasan yang dilakukan selama ini hanya ditujukan kepada para
pengelola yang telah resmi mendaftar dan mendapatkan izin operasional dari
Kementerian Agama, tentunya mereka adalah lembaga pengelola zakat yang telah
menjalankan program dan kegiatannya secara profesional. Pengawasan yang
dilakukan mengacu pada laporan-laporan kinerja pengelolaan zakat berkala yang
wajib dilaporkan kepada Kementerian Agama tiap tahun, selain itu laporan
keuangan yang telah diaudit juga menjadi salah satu aspek yang diawasi.
D. Pola Penghimpunan dan Pendistribusian Zakat oleh DKM
Model penghimpunan dan pendistribusian yang penulis temui dalam
penelitian ini hanyalah berupa penerimaan yang pasif serta penyaluran konsumtif
tradisional. Masjid-masjid hanya melakukan pengumpulan dengan menunggu
muzaki yang akan menunaikan zakatnya kepada mereka lalu mendistribusikannya
secara konsumtif, semua harta zakat yang mereka kumpulkan baik uang tunai
maupun beras, maka semuanya itu akan habis dibagikan kepada mustahik yang telah
mereka tentukan. Setelah Ramadan selesai, maka selesai pula lah tugas panitia zakat
106
yang dibentuk DKM, biasanya diakhiri dengan pelaporan hasil penghimpunan dan
pendistirbusian zakat yang disampaikan baik secara lisan sebelum salat Idul Fitri,
ataupun berupa laporan tertulis yang ditempel di papan pengumuman masjid238
.
Harta zakat yang dikumpulkan benar-benar habis didistribusikan secara
konsumtif, sehingga pihak yang menyalurkan pun tidak bisa mengharapkan banyak
perubahan yang akan dirasakan oleh mustahik. Mustahik sebagai penerima zakat
tentu akan menerima apapun bentuk zakat yang diberikan kepada mereka, karena
mereka tidak dalam posisi yang bisa memilih bahkan menuntut untuk diberikan
pemberdayaan secara ekonomi yang diharapkan bisa memperbaiki kualitas hidup
mereka, hal itu hanya bisa diwujudkan melalui penyaluran zakat dalam bentuk
program produktif.
Dalam konteks sistem distribusi zakat, sebagaimana yang dikemukakan
Rosadi dan Athoilah (2015), bahwasanya pendistribusian zakat di Indonesia lebih
cocok menggunakan sistem desentralisasi. Desentralisasi ini berarti bahwa
kewenangan dalam mendistribusikan dana zakat diserahkan kepada masing-masing
wilayah atau lembaga yang mengelola zakat, di mana zakat itu dihimpun maka di
situlah zakat didistribusikan239
. Konsep ini pun sesuai dengan pendapat Fuqaha,
bahwasanya zakat sejatinya didistribusikan di wilayah pengumpulannya, tidak boleh
dipindahkan ke wilayah lain jika memang masih ada mustahik di wilayah tersebut240
.
Pengelolaan zakat di masjid-masjid harus didorong untuk mulai melakukan
terobosan dalam hal pendistribusian dan pendayagunaan zakat yang mereka
kumpulkan. Inisiatif dan praktik pengelolaan zakat yang telah lama berlangsung
secara turun temurun di masjid-masjid harus tetap eksis, tetapi juga harus didorong
untuk segera menyesuaikan dengan aturan hukum yang berlaku241
.
Banyak model pemberdayaan yang bisa dilakukan untuk memaksimalkan
dana zakat atau dana sosial keagamaan lainnya yang dikelola di masjid. Program
pemberdayaan ini seyogyanya disesuaikan dengan potensi yang ada di masyarakat
dan keadaan lingkungan sekitar, seperti misalnya masyarakat sekitar masjid banyak
yang kegiatannya bercocok tanam, maka pemberdayaan yang dilakukan bisa dengan
pemberian bantuan bibit tanaman misalnya hingga akses ke penjualan hasilnya,
238 Hasil wawancara penulis dengan DKM Masjid Jami at-Taubah, Masjid al-Muawanah,
Masjid Arrohmaanurrohim, Masjid Jami an-Nur, Masjid al-Munawwar, dan Masjid
Nurullah. 239
Aden Rosadi dan Mohammad Anton Athoillah, “Distribusi Zakat di Indonesia: Antara
Sentralisasi dan Desentralisasi” Ijtihad, Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan 15,
no 2. (2015): 237-256. 240
Mazhab Hanafi menghukumi Makruh Tanzih memindahkan distribusi zakat ke daerah
lain, mazhab Shafii tidak membolehkannya kecuali memang tidak ditemukan lagi mustahik,
mazhab Maliki dan mzahab Hambali juga tidak membolehkan tetapi keduanya memberikan
batasan jarak qasar sebagai ukuran jauh atau dekatnya zakat tersebut dipindahkan, maka
boleh memindahkan pendistribusian zakat ke daerah yang masih tidak melewati batas 89 km
(masa>fah al-qas}r). Lihat Wahbah al-Zuhayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu (Damaskus:
Da>r al-Fikr, 2006), jilid 3, 1976-1978. 241
Sebagaimana yang diungkapkan Fuad Nasar; Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf
Kementerian Agama saat diwawancarai pada 24 Juli 2019.
107
begitu pula jika masyarakat sekitar adalah para nelayan, membuka akses penjualan
yang lebih baik bagi mereka bisa juga dilakukan.
Pendistribusian zakat secara konsumtif yang selama ini dilakukan DKM
tidak memberikan manfaat jangka panjang dan tidak berkelanjutan karena akan
habis digunakan, meskipun demikian dalam proses penelitian ini penulis menemui
masjid yang telah memahami dan berkeinginan mengubah pola pendistribusian
zakat mereka yaitu DKM Masjid Jami al-Nur. Menurut Faris, pendistribusian zakat
di masjid akan diupayakan untuk dialihkan dari pembagian secara konsumtif ke
progam pemberdayaan mustahik secara ekonomi. Tentu akan ada hal yang berbeda,
misalkan dari sisi kuantitas mustahik yang mendapatkan zakat akan berkurang tetapi
mustahik-mustahik tertentu yang dipilih untuk diberdayakan diharapkan bisa
terbantu dan ke depannya dapat mandiri untuk memenuhi kebutuhan ekonominya242
.
Faris mencontohkan bahwa di sekitar masjid banyak janda-janda tua yang
dulunya pernah berjualan nasi uduk dan nasi ulam. Mereka saat ini tidak lagi
berjualan karena terkendala modal sehingga tidak ada pemasukan lain untuk
memenuhi kebutuhan keluarga. Mereka bisa diberdayakan dengan harta zakat yang
dihimpun masjid berupa pemberian modal usaha agar bisa menjalankan kembali
penjualan nasi uduk dan nasi ulam sehingga roda perekonomian keluarga bisa
berputar kembali. Selain pemberian modal usaha, mustahik juga perlu diberikan
pembinaan dan pendampingan, minimal tentang bagaimana memisahkan aset usaha
dengan aset rumah tangga dengan pencatatan dan pembukuan aset tersendiri atau
laporan alur kas pengeluaran dan pemasukan usaha agar kinerja usahanya bisa terus
dipantau dan dievaluasi243
.
Masjid-masjid yang mengelola zakat di masyarakat tentu tidak bisa
berkembang tanpa ada masukan dan kritik yang membangun dari pihak eksternal
untuk memperbaiki kualitas pengelolaan zakatnya. Perlu koordinasi dan kolaborasi
dengan berbagai pihak agar zakat yang dikelola masjid lebih bermanfaat bagi
mustahik di sekitar lingkungannya. Sikap semacam ini nampaknya sulit terwujud
jika hanya menunggu dan mengharapkan DKM secara mandiri melakukan
perubahan yang signifikan dalam pengelolaan zakat. padahal banyak lembaga zakat
yang mumpuni dan bisa memfasilitasi dalam mengajarkan dan melatih tatacara
manajemen zakat yang profesional, apalagi masjid-masjid tersebut terletak di
kawasan perkotaan, aksesnya tentu lebih mudah dalam menjangkau pihak-pihak
yang dapat diajak bekerjasama.
E. Implikasi Kepatuhan Hukum DKM terhadap Pengelolaan Zakat
Pengelolaan zakat yang dilakukan oleh DKM di masjid selama ini berjalan
mandiri tanpa melibatkan pihak-pihak eksternal. Kemandirian DKM dalam konteks
ini tidak menggambarkan hal yang bagus, karena tidak memaksimalkan koordinasi
yang bisa memberikan perbaikan-perbaikan pada pengelolaan zakat yang dilakukan.
242
Hasil wawancara penulis dengan Iqbal Ali Faris, pengurus DKM Masjid Jami an-Nur
Durentiga pada tanggal 24 Mei 2019. 243
Hasil wawancara penulis dengan Iqbal Ali Faris, pengurus DKM Masjid Jami an-Nur
Durentiga pada tanggal 24 Mei 2019.
108
Hal tersebut terjadi karena ada aspek legalitas yang belum terpenuhi, sehingga tidak
terjadi ruang interaksi dan komunikasi yang baik.
Jika dari pihak masjid berupaya untuk menyesuaikan diri dengan peraturan
yang ada, maka mereka pun pasti akan mendatangi KUA setempat untuk
berkoordinasi terkait pengelolaan zakat yang dilakukan, sekaligus membuka peluang
kerjasama yang mungkin bisa dilakukan.
Perlu dipahami, pengelolaan zakat di Indonesia melibatkan banyak sektor,
ada yang bertugas sebagai regulator, pengawas, pelaksana atau operator, hingga
rekanan atau mitra pengelola zakat. Ketika semua pihak yang terkait melakukan
tugas dan fungsinya secara baik, bahkan berkoordinasi dan bersinergi dalam
kegiatan yang saling mendukung perbaikan pengelolaan zakat nasional, maka
kuantitas penghimpunan zakat juga kualitas pendistirbusian dan pendayagunaannya
akan terlaksana dengan baik.
Setelah penulis melakukan wawancara kepada beberapa pihak terkait,
penulis berkesimpulan bahwa koordinasi dan sinergi yang diharapkan tersebut
belum sepenuhnya terlaksana. Ada beberapa sektor potensial yang belum bersinergi
dalam hajat pengelolaan zakat, dengan alasan aspek pengelolaan zakat bukan
wilayah tugas dan kewenangan mereka.
Berikut penjelasan rinci tentang pihak-pihak yang memiliki kewenangan
dan kebijakan serta peran penting dalam menjalankan pengelolaan zakat di
Indonesia.
1. Kementerian Agama
Seperti yang kita ketahui, representasi pemerintah dalam pengelolaan zakat
ada di Kementerian Agama, sebagai kementerian yang mengurusi kegiatan-kegiatan
umat beragama, dalam hal ini umat Islam. Kementerian Agama memiliki beberapa
Direktorat Jendral. Dalam kaitannya dengan zakat, urusannya ada di Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (BIMAS Islam), lalu lebih spesifik lagi ada
Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf sebagai satuan khusus yang menangani
berbagai macam hal yang berkaitan dengan zakat dan wakaf di Indonesia.
Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf tersebut memiliki 4 sub-
direktorat (subdit), yaitu Subdit Kelembagaan dan Informasi Zakat dan Wakaf,
Subdit Edukasi, Inovasi, dan Kerjasama Zakat dan Wakaf, Subdit Akreditasi dan
Audit Lembaga Zakat, dan Subdit Pengamanan Aset Wakaf. Keempat subdit
tersebut masing-masing memiliki seksi khusus yang menangani program yang lebih
spesifik tentang zakat dan wakaf.
Kementerian Agama di level Provinsi atau Kantor Wilayah Kementerian
Agama Provinsi juga memiliki satuan khusus untuk mengurusi pengelolaan zakat,
yaitu Seksi Pemberdayaan Zakat yang berada di bawah naungan Bidang Penerangan
Agama Islam, Zakat, dan Wakaf244
.
Kementerian Agama di tingkat Kabupaten/Kota memiliki seksi Bimbingan
Masyarakat Islam juga Penyelangara Syariah yang memiliki keterkaitan dengan hal
244
Diakses melalui laman https://dki.kemenag.go.id/struktur-organisasi
109
pelaksanaan pengelolaan zakat. Menurut Yunus, seksi yang dia tangani sebenarnya
memang mengurusi juga tentang pelaksanaan zakat, tetapi pihaknya tidak ingin
melakukan hal terlalu jauh melampaui kewenangan dalam hal zakat, karena sudah
ada BAZNAS yang memiliki tugas dan fungsi itu. Nasruddin mengungkapkan
bahwa Kementerian Agama punya petugas khusus yang langsung terjun ke
masyarakat dalam melayani pembinaan-pembinaan yang terkait dengan syariat
Islam, seperti halnya juga zakat. Petugas itu adalah penyuluh agama di KUA.
Penyuluh ini lah yang tugasnya langsung bersinggungan dengan masyarakat secara
intens245
.
Yunus menambahkan, bahwa program yang dijalankan di kantor
pemerintahan pada dasarnya berbasis pada alokasi anggaran, sehingga program yang
tidak dianggarkan maka secara otomatis tidak akan terealisasi. Meskipun tidak
secara langsung melakukan pembinaan atau pengawasan dalam hal pengelolaan
zakat di masyarakat, Kementerian Agama Kota Jakarta Selatan mengkoordinir
penghimpunan zakat internal pegawai dan instansi terkait di bawah naungannya lalu
menyerahkannya langsung ke Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi DKI
Jakarta246
.
Representasi Kementerian Agama di tingkat yang paling rendah adalah
Kantor Urusan Agama (KUA) yang berada di setiap Kecamatan. Fungsi dan tugas
KUA yang selama ini dikenal di masyarakat hanyalah tentang urusan pernikahan,
tetapi sebenarnya KUA juga mengurusi berbagai macam hal urusan umat Islam.
Dalam aturannya, KUA menyelenggarakan 9 (sembilan) fungsi utama247
,
yaitu:
a. Melaksanakan pelayanan, pengawasan, pencatatan, dan pelaporan nikah
dan rujuk;
b. Menyusun statistik layanan dan bimbingan masyarakat Islam;
c. Mengelola dokumentasi dan sistem informasi manejemen KUA
Kecamatan;
d. Melayani bimbingan keluarga sakinah;
e. Melayani bimbingan kemasjidan;
f. Melayani bimbingan hisab-rukyat dan pembinaan syariah;
g. Melayani bimbingan dan penerangan agama Islam;
h. Melayani bimbingan zakat dan wakaf, dan
i. Melaksanakan ketatausahaan dan kerumahtanggaan KUA Kecamatan.
Selain melaksanakan fungsi-fungsi di atas, KUA juga dapat melayani
bimbingan manasik haji bagi jamaa haji reguler.
Poin penting dari fungsi utama KUA yang memiliki keterikatan dengan
pengelolaan zakat adalah fungsi pada huruf (h) yang menyebutkan bahwa KUA juga
melayani bimbingan zakat dan wakaf. Jika dikaitkan dengan peraturan tentang
245
Hasil wawancara penulis dengan Nasruddin; Kepala Seksi Bimbingan Masyarakat Islam
Kementerian Agama Kota Jakarta Selatan pada 20 Juni 2019. 246
Hasil wawancara penulis dengan Yunus Hasyim; Kepala Seksi Penyelenggara Syariah
Kementerian Agama Kota Jakarta Selatan pada 20 Juni 2019. 247
Pasal 3 Peraturan Menteri Agama No. 34 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tatakerja
Kantor Urusan Agama Kecamatan.
110
pengelolaan zakat yang lain, fungsi KUA dalam hal bimbingan zakat juga sesuai
dengan tugas mereka dalam menerima laporan atau pemberitahuan secara tertulis
yang dilakukan oleh amil zakat perseorangan atau perkumpulan orang yang
mengelola zakat di wilayah yang belum terjangkau layanan BAZNAS atau LAZ248
.
Hal ini menandakan bahwasanya KUA memiliki peran yang penting dalam
membantu koordinasi pelaksanaan pengelolaan zakat di tingkat kecamatan hingga di
level RT-RW, karena KUA adalah satu-satunya kantor resmi yang mewakili
Kementerian Agama dalam melayani segala macam urusan umat Islam di level
wilayah tersebut. Pengelolaan zakat di level kecamatan hingga masjid-masjid
mencakup RT-RW selama ini laporannya memang belum terekam secara nasional,
karena fungsi KUA dalam hal zakat ini tidak dilaksanakan, juga tidak diketahui
masyarakat muslim pada umumnya. Itulah mengapa, data potensi zakat selalu jauh
dari hasil realisasi penghimpunan di lapangan, karena salah satunya banyak
pengelolaan zakat yang tidak terpublikasi laporannya terutama yang belum
terkoordinasi dalam jaringan pengelola zakat resmi, seperti halnya yang dilakukan di
masjid-masjid ataupun zakat yang langsung disalurkan kepada mustahik.
Penulis mendapati bahwa KUA Kecamatan Pancoran seperti halnya dengan
KUA-KUA lain masih terfokus pada fungsi pelayanan, pengawasan, pencatatan, dan
pelaporan nikah dan rujuk. Harus ada intensifikasi fungsi bimbingan zakat yang ada
di KUA sehingga masyarakat bisa terfasilitasi untuk mengakses isu-isu terkait
hukum positif pengelolaan zakat.
2. BAZNAS dan LAZ
BAZNAS dan LAZ adalah pengelola zakat resmi yang telah diberikan
kewenangan untuk mengelola zakat di Indonesia. Posisi BAZNAS dalam
pengelolaan zakat di Indonesia sangatlah penting, karena BAZNAS lah satu-satunya
badan resmi yang dibentuk pemerintah untuk melakukan seluruh rangkaian
pengelolaan zakat secara nasional mulai dari perencanaan, penghimpunan,
pendistribusian, pendayagunaan, dan pelaporan zakat secara kontinyu. BAZNAS
sesuai tingkatannya telah memiiliki tugas dan fungsinya masing-masing baik di
tingkat nasional, provinsi, hingga kabupaten/kota. Tata cara kerja mereka tentunya
telah ditentukan secara jelas sehingga tidak menimbulkan tumpang tindih antar
BAZNAS di setiap tingkatannya. Begitu pula dengan LAZ, lembaga zakat yang
dibentuk masyarakat ini telah mendapatkan izin operasional karena telah memenuhi
syarat yang telah ditentukan dalam aturan pengelolaan zakat. Posisi LAZ sama
pentingnya dalam mengelola zakat di Indonesia, umumnya LAZ juga telah
menerapkan model pengelolaan zakat dengan manajemen yang profesional,
akuntabel, dan transparan.
Penulis menilai, bahwasanya selama ini BAZNAS masih terfokus pada
fungsinya sebagai pengelola zakat (operator) dan koordinator para pengelola zakat
di Indonesia, sehingga kinerja yang dilaporkan adalah hasil penghimpunan,
pendistibusian, dan pendayagunaan zakat yang mereka lakukan. Ada peran penting
yang masih belum dimaksimalkan oleh BAZNAS yaitu mendorong dan
248
Pasal 66 Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
111
mengedukasi serta merangkul para pengelola zakat yang masih berada di luar
koordinasi mereka.
Dalam menjalankan fungsi tersebut BAZNAS harus menghindari
penggunaan pendekatan kekuasaan mengatasnamakan mandat dan amanah
konstitusi, apalagi mengancam dengan sanksi-sanksi. Pihak-pihak yang terkait tentu
akan kehilangan antusias dan simpati untuk turut ikut dalam suatu koordinasi
pengelolaan zakat yang terintegrasi secara nasional. Menurut penulis, pendekatan
kultural yang lebih mengedepankan ajakan bermitra dan bekerjasama akan lebih
mudah diterima oleh para pengelola zakat yang masih berada di luar koordinasi
BAZNAS.
LAZ pun demikian, lebih fokus pada penghimpunan zakat melalui
programnya masing-masing. Jaringan LAZ belum terkonsentrasi di banyak daerah
atau cabang-cabang jaringan lainnya, kecuali LAZ yang berbasis organisasi
masyarakat Islam, seperti LAZISNU yang ada di bawah naungan Nahdlatul Ulama
ataupun LAZISMU milik Muhammadiyah.
Menariknya, LAZ yang yang bernaung di bawah organisasi kemasyarakatan
Islam telah memiliki jejaring yang kuat di daerah hingga ke masyarakat bawah
sehingga sangat dengan koordinasi yang baik, jejaring tersebut bisa dimaksimalkan
untuk turut menjadi bagian dari pengelola zakat yang resmi juga profesional.
Jejaring LAZ ini sifatnya sama seperti UPZ yang dibentuk BAZNAS, yaitu sebagai
unit penghimpunan zakat juga pendistribusian dan pemberdayaan yang langsung
bisa dilakukan di masyarakat sekitarnya.
Jejaring LAZ, sebagaimana UPZ BAZNAS bisa dibentuk di berbagai
macam tingkatan dari banyak instansi kemayarakatan Islam, misalnya masjid-
masjid, majelis taklim, madrasah, pesantren dan lainnya, tetapi hal ini belum
dilakukan secara maksimal oleh LAZ, apalagi LAZ yang tidak bernaung pada
sebuah organisasi masyarakat berbasis Islam.
3. Majelis Ulama Indonesia
Zakat yang merupakan syariat umat Islam tentu sangat terkait dengan pihak-
pihak lain yang juga mengurusi berbagai macam masalah umat Islam, di Indonesia
ada Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai wadah perkumpulan ulama dan
cendekiawan muslim yang punya pengaruh cukup signifikan bagi masyarakat
muslim Indonesia. Salah satu fungsi MUI yang bisa menjadi acuan masyarakat
muslim Indonesia adalah al-Ifta>’ yaitu memberikan fatwa terhadap berbagai
persoalan agama Islam, terutama yang bersinggungan langsung dengan kehidupan
berbangsa dan bernegara di Indonesia.
MUI di tingkat pusat memiliki 12 komisi yang masing-masing fokus dalam
tiap sektornya, yaitu:
1. Komisi Fatwa,
2. Komisi Informasi dan Komunikasi
3. Komisi Hukum dan Perundang-undangan,
4. Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat
5. Komisi Pendidikan dan Kaderisasi
112
6. Komisi Pengkajian dan Penelitian
7. Komisi Perempuan, Remaja, dan Keluarga
8. Komisi Ukhuwah Islamiyah
9. Komisi Kerukunan Antar Umat Beragama
10. Komisi Pembinaan Seni Budaya Islam
11. Komisi Pemberdayaan Ekonomi Umat
12. Komisi Luar Negeri dan Hubungan Internasional
Dengan komisi sebanyak itu, MUI tentunya bisa banyak terlibat dalam
berbagai program yang bermanfaat untuk umat Islam Indonesia khususnya dan
bangsa Indonesia pada umumnya. Peran MUI yang paling signifikan dan banyak
dinantikan masyarakat muslim Indonesia adalah hasil kinerja Komisi Fatwa. Komisi
ini memang tugasnya khusus menangani berbagai macam persoalan agama Islam
khususnya yang kontemporer yang berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan
bernegara. Di antara fatwa-fatwa yang dikeluarkan MUI banyak yang secara
langsung berkaitan dengan zakat.
Fatwa tentang zakat yang dikeluarkan MUI tentu dibutuhkan sebagai
legitimasi kajian hukum menurut agama Islam yang saling menguatkan dengan
undang-undang pengelolaan zakat yang ada.. Komisi fatwa MUI telah mengeluarkan
10 fatwa terkait zakat mulai dari tahun 1982 hingga tahun 2011249
. Semua fatwa
zakat tersebut banyak dijadikan rujukan oleh masyarakat muslim Indonesia
termasuk pemerintah, khususnya Salah satu fatwa MUI dalam hal zakat yang isinya
menguatkan peran pemerintah dalam ketentuan undang-undang pengelolaan zakat
adalah fatwa no. 8 Tahun 2011 tentang Amil Zakat.
Peran MUI pusat memang memiliki pengaruh kuat untuk dijadikan salah
satu rujukan dalam berbagai permasalahan agama dan kebangsaaan, meskipun
demikian secara kelembagaan MUI di daerah-daerah juga memiliki pengaruh, hanya
saja tingkat signifikannya yang berbeda-beda. Menyandang kata ulama, tentu
lembaga ini memiliki martabat dan kharisma yang besar di lingkup masyarakat
beragama, khususnya masyarakat muslim, karena lembaga ini diisi oleh para tokoh
agama, kyai, dan cendikiawan yang punya pengaruh di lingkungannya.
Dalam kaitannya dengan zakat, MUI tentu sangat tepat untuk dijadikan
mitra oleh para pegiat zakat, terutama dalam hal sosialisasi dan pelaksanaan
program. Semakin banyak elemen masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan
zakat, semakin masyarakat akan tersadarkan bahwasanya pengelolaan zakat
bukanlah kepentingan BAZNAS atau LAZ semata, tetapi kepentingan umat Islam
secara umum.
Informasi yang penulis dapatkan di lapangan, belum adanya program rutin
yang dijalankan oleh para stakeholder zakat di masyarakat, di antaranya pengelola
zakat, masjid, MUI, sampai KUA250
. Belum terciptanya sinergi dan koordinasi yang
solid dalam mengerakkan seluruh potensi untuk pengelolaan zakat yang lebih baik
249
Widi Nopiardo. “Perkembangan Fatwa MUI tentang Masalah Zakat” Jurnal Ilmiah
Syari’ah 16, no. 1 (2017): 89-109. 250
Hasil wawancara penulis dengan H. Zainuddin, sekretaris DKM Masjid Al-Munawwar
pada tanggal 04 April 2019.
113
menjadi tantangan umat Islam ke depannya, karena kebijakan zakat tidak bisa hanya
dijalankan oleh satu pihak saja, melainkan harus melibatkan banyak pihak, termasuk
juga masyarakat secara umum.
4. Organisasi Masyarakat Perkumpulan Masjid
Banyaknya jumlah masjid di Indonesia tentu merupakan hal yang positif
dalam konteks syiar dan dakwah Islam, tetapi jika masjid-masjid tersebut tidak dapat
dimaksimalkan potensinya, maka menjadi hal yang sangat ironi bagi masyarakat
muslim Indonesia.
Organisasi memang berfungsi untuk menjadikan hal-hal sulit menjadi
mudah dengan menerapkan manajemen yang baik, khususnya terkait
pengkoordinasian sesuatu dalam unit yang besar, termasuk masjid di Indonesia yang
jumlahnya ribuan251
. Kehadiran organisasi perkumpulan masjid harus disambut
positif oleh masyarakat muslim Indonesia, terutama para pengurus masjid yang
nantinya masuk dalam koordinasi organisasi tersebut.
Tabel 10.
Fungsi Stakeholders Zakat di Indonesia
No. Stakeholders Fungsi
1 Kementerian Agama Mengawasi dan menertibkan izin
operasional pengelola zakat
2. BAZNAS dan LAZ Selain sebagai operator, lembaga ini
harus menjalankan fungsi edukasi
kepada masyarakat dengan cara-cara
persuasif dan merangkul pengelola-
pengelola zakat tradisional untuk
menjadi bagian mereka berupa UPZ
atau mitra.
3. MUI Mengawal dan berkoordinasi dalam
hal edukasi dan dakwah keagamaan
tentang zakat kepada masyarakat
4. Ormas Perkumpulan Masjid Mengkoordinir masjid-masjid untuk
mengupayakan diri bergabung dalam
pengelola zakat yang resmi Sumber: Data diolah Penulis
F. Paradigma Pengelolaan Zakat di Masjid
251
Menurut data yang penulis dapatkan secara online di laman http://simas.kemenag.go ada
sebanyak 253.299 masjid di Indonesia yang telah terdata di sistem ini.
114
Pengelolaan zakat di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sejarah
keterlibatan langsung masyarakat di akar rumput yang telah melakukan aktivitas
pengelolaan secara berkelanjutan sebelum akhirnya diatur dalam Undang-Undang
yang menandakan keseriusan pemerintah untuk terlibat dalam agenda strategis ini.
Paradigma pengelolaan zakat bottom-up merupakan satu cara mengaktualisasi nilai
ibadah zakat untuk mencapai tujuannya, dimulai dari bawah kemudian berlanjut ke
atas, dari lingkungan-lingkungan kecil masyarakat untuk menjangkau lingkungan
masyarakat yang lebih luas252
.
Semenjak diundangkannya Undang-Undang Pengelolaan Zakat baik di
tahun 1999 maupun 2011, paradigma pengelolaan zakat yang terjadi telah bergeser,
yang mulanya bottom-up, menjadi top-down. Pergeseran paradigma ini adalah
keniscayaan dari sifat hukum yang tersentral dari pembuat kebijakan, sehingga
aspek legalitas dan regulasi menjadi hal utama yang harus dipatuhi seluruh subjek
hukum yang terkait untuk memastikan kesesuaian mereka dengan aturan dan
ketentuan hukum zakat yang berlaku dalam rangka mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
Keterlibatan pemerintah dalam regulasi pengelolaan zakat mutlak
dibutuhkan untuk melegitimasi praktik ini agar menjadi hukum publik atau hukum
positif yang keberadaannya dilandasi peraturan yang berkekuatan hukum. Semua
regulasi yang dikeluarkan pemerintah secara struktural akan berdampak kepada
penyesuaian top-down pada instansi-instansi terkait, akan tetapi peraturan yang
berkaitan langsung dengan masyarakat apalagi menjadi salah satu hajat besar
mereka tidak cukup hanya menggunakan paradigma top-down.
Masyarakat pada umumnya tidak bisa disamakan dengan aparatur sipil
negara yang akan mematuhi kebijakan pusat sesuai arahan dan instruksi yang ada.
Masyarakat grass root adalah kumpulan orang yang konsen dengan masalah-
masalah lingkungan mereka sehingga diperlukan penanganan dan solusi yang cepat
dan efektif untuk menyelesaikannya. Oleh karena itu mereka akan lebih responsif
dengan melakukan inisiasi dan inovasi yang dianggap memiliki dampak positif
untuk lingkungan masyarakat mereka. Masyarakat tidak seharusnya didikte secara
kaku untuk menerapkan suatu peraturan, akan tetapi diberikan pemahaman dan
pembinaan serta arahan yang persuasif agar tergerak untuk mematuhi peraturan yang
ada.
Paradigma bottom-up dalam pengelolaan zakat akan tetap eksis selama
masyarakat bisa bertahan dengan kemandirian mereka, terutama mandiri dalam
finansial dan pembiayaan keuangan lembaga. Kemandirian ini penting karena
menjadi salah satu kekuatan dan daya tawar civil society yang dapat mengimbangi
peran pemerintah. Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwasanya program-
program pemerintah dijalankan berdasarkan anggaran, baik Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN), ataupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD). Lain halnya dengan lembaga zakat yang tidak sepenuhnya mengandalkan
APBN atau APBD, karena dana zakat serta infak, sedekah, wakaf, dan dana sosial
keagamaan lainnya tersebar luas di seluruh masyarakat muslim Indonesia. Potensi
252
M. Fuad Nasar, Zakat di Ranah Agama dan Negara (Jakarta: Rafikatama, 2018), 227.
115
dana-dana tersebut yang selama ini dijadikan sumber keuangan lembaga-lembaga
Islam yang juga mengelola zakat.
Langkah pemerintah yang mengakomodir praktik zakat dan mengaturnya
dalam sebuah Undang-Undang telah tepat, tetapi tidak hanya berhenti pada regulasi
semata, harus ada upaya untuk menyatukan visi semua pihak dan stakeholder zakat
tanah air untuk mencapai tujuan bersama dari pengelolaan zakat yang sama-sama
dilakukan. Paradigma top-down akan tetap dibutuhkan sebagai kontrol dan
pengawasan yang sistematis agar para pengelola zakat bisa berkinerja secara
maksimal dan profesional, sementara dalam hal pelaksanaan pengelolaan zakat bisa
digunakan paradigma bottom-up yang semangatnya menyebar dari seluruh lapisan
masyarakat di level yang paling bawah, masjid-masjid tentu sangat strategis untuk
dijadikan basis pengelolaan zakat di masyarakat.
Hal demikian dianggap penting karena pengelolaan zakat di masjid telah
berlangsung secara bertahun-tahun dan menjadi tradisi setiap tahunnya di bulan
Ramadan, alangkah baiknya bila tradisi tersebut terus dipertahankan dan diperkuat
dengan aspek legalitas pengelolaan zakat untuk didorong menjadi UPZ atau mitra
lembaga resmi pengelola zakat lainnya agar pengelolaan zakat bisa dilakukan
dengan terkoordinasi, terencana, dan dijalankan secara profesional sepanjang waktu.
Dana zakatnya pun tidak hanya habis didistribusikan secara konsumtif, tetapi bisa
lebih bernilai guna dan memberikan manfaat jangka panjang untuk memberdayakan
mustahik di masyarakat sekitar masjid tersebut, bahkan dengan harapan bisa
memperbaiki taraf dan kualitas hidup mustahik hingga bisa berubah menjadi muzaki
kelak.
Selain sisi positif dari model bottom-up di atas, model pengelolaan zakat
semacam ini juga berpotensi menimbulkan hal yang negatif terkait kepatuhan
hukum. Pengelolaan zakat di masjid yang bottom-up sementara pemberlakuan
hukum yang top-down tentu berbeda, sehingga jika kedua paradigma ini terus
dibiarkan bersebrangan, maka akan menjadi masalah, yaitu tidak patuhnya pengelola
zakat di level masyarakat terhadap hukum yang dibuat. Perlu ada perlakuan-
perlakuan khusus untuk menemukan kedua paradigma pengelolaan zakat ini, tidak
melalui pendekatan sanksi ataupun kekuasaan, tetapi pendekatan sosiologis dan
kemasyarakatan.
G. Distingsi Wilayah Perkotaan dalam Pengelolaan Zakat di Masjid
Wilayah perkotaan setidaknya memiliki pembeda yang signifikan dalam hal
pengelolaan zakat yang dilakukan di wilayah perdesaan misalnya. Di wilayah
perkotaan, masjid-masjid sudah menjalankan fungsi organisasi dengan baik
contohnya dalam pembagian tugas DKM sehingga masing-masing masjid memiliki
struktur pengurus beserta tugas-tugasnya dengan jelas. Ketertiban fungsi organisasi
juga terlihat dari sisi pengadministrasian keuangan masjid yang rapi, memiliki
pembukuan tersendiri yang setidaknya berisi informasi arus kas masuk dan keluar
serta sumber dan peruntukannya.
Di balik hal tersebut, ada beberapa faktor yang menyebabkan bisa
berfungsinya tatakelola masjid yang terorganisir, misalnya tingkat pendidikan dan
pengalaman berorganisasi para pengurusnya, interaksi yang aktif dan konstruktif
116
serta kritis antara pengurus dan para jamaah, komposisi heterogenitas jamaah dan
penduduk sekitar masjid turut memberikan dinamika yang kondusif dan dinamis
dalam keberlangsungan tatakelola masjid di perkotaan.
Masjid di wilayah perkotaan secara mandiri telah melakukan pembukuan
kas yang diterima dari infak dan sedekah jamaah, khususnya melalui kotak amal
yang ada di masjid, baik kotak amal keliling di waktu salat Jumat maupun kotak
amal lainnya. Pembukuan kas masjid ini sangat dibutuhkan untuk memisahkan
sumber-sumber dana yang dihimpun oleh masjid, apalagi bagi masjid yang
melakukan pengelolaan dana keagamaan seperti zakat fitrah dan atau zakat mal yang
peruntukannya sudah tertentu kepada golongan mustahik.
Infak-sedekah dan zakat masing-masing memiliki ketentuannya bahkan
banyak perbedaan mendasar yang menjadi konsekuensi hukum penggunaannya.
Sebagaimana yang banyak dipahami masyarakat muslim kita bahwa infak dan
sedekah hukumnya sunnah253
, pelakunya disebut munfiq atau mutas}addiq
penggunaanya tidak dibatasi pada hal-hal tertentu, karena secara kepemilikan, dana
infak maupun sedekah ketika telah diinfakkan atau disedekahkan maka menjadi
milik pihak penerima, oleh sebab itu pentasarufannya pun telah menjadi hak si
penerima. Sedangkan zakat hukumnya wajib, baik zakat fitrah yang ditunaikan atas
setiap jiwa di setiap tahunnya, ataupun zakat mal yang ditunaikan atas harta-harta
tertentu ketika telah mencapai nis}a>b dan h{aul. Penerimanya telah ditentukan oleh
Alquran, terbatas pada 8 golongan yang disebut mustahik yang keberhakkannya
sesuai dengan urutan penyebutan, mulai dari fakir, miskin, dan seterusnya.
Dengan adanya kas masjid yang sumber pemasukannya tidak terbatas
waktu, sebagian masjid di perkotaan memanfaatkan dana kas tersebut untuk
mengupah petugas-petugas atau panitia zakat yang mengelola zakat jamaah di bulan
Ramadan sehingga dana zakat yang terkumpul seluruhnya bisa didistribusikan
kepada mustahik tanpa potongan apapun. Hal ini merupakan salah satu pembeda
dalam aspek pengelolaan zakat yang dilakukan oleh masjid di wilayah perkotaan.
Sementara itu kebanyakan masjid di wilayah perdesaan dikelola secara
kekeluargaan, tidak memiliki pembukuan kas masjid, sehingga ketika masjid juga
mengelola zakat, upah bagi panitia zakat diambil juga dari dana zakat yang mereka
anggap sebagai bagian hak amil254
. Sebagai contoh masjid di kecamatan Mauk yang
masuk dalam kategori wilayah perdesaan, pencatatan keuangan masjid tidak begitu
baik, tidak ada susunan pengurus dan tugas-tugas yang jelas, bahkan di beberapa
253
Secara etimologi kata infak termasuk dalam hal yang umum yang berarti mengeluarkan
harta (s{arf al-ma>l), lalu kemudian infak bisa digolongkan kepada 2 macam; ada infak yang
sifatnya wajib ada yang mustah{abb atau sunah. Infak yang wajib seperti infak kepada istri
dan anak atau orang yang berada di bawah tanggungan (nafaqah), infak kepada orang tua
yang membutuhkan, bahkan zakat pun bisa dikategorikan dalam infak wajib. Adapun infak
yang sunnah atau mustahabb (dianjurkan) misalnya sedekah dan pemberian lain secara ikhlas
dalam hal kebaikan. 254
Penulis mengambil contoh di kecamatan Mauk yang termasuk wilayah perdesaan di
Kabupaten Tangerang. Mengacu pada data di simas.kemenag.go.id dari 13 masjid yang ada
di kecamatan Mauk, hanya 7 yang memiliki kegiatan pengelolaan zakat.
117
desa praktik berzakat lebih sering dibayarkan ke tokoh agama setempat, seperti guru
ngaji dari pada dikumpulkan di masjid255
.
Praktik mengambil sebagian dana zakat untuk petugas zakat yang dibentuk
DKM banyak ditemukan di masjid di berbagai wilayah Indonesia, tidak hanya di
perdesaan, di wilayah perkotaan pun masih ada yang melakukannya. Hal demikian
terjadi karena pemahaman DKM tentang hakikat siapa sesungguhnya amil zakat
masih belum sinkron dengan pengertian amil zakat yang ada pada peraturan
perundang-undangan256
ataupun pemahaman fikih secara lebih detail.
Selain perbedaan akibat aspek tatakelola keuangan masjid yang terorganisir,
hal penting dalam tesis ini yang penulis teliti adalah kepatuhan DKM masjid
perkotaan terhadap hukum positif pengelolaan zakat di Indonesia. Setelah penulis
lakukan penelitian ternyata letak masjid di wilayah perkotaan tidak berkaitan secara
langsung dengan kepatuhan terhadap aturan hukum pengelolaan zakat.
Masjid-masjid yang penulis teliti meskipun secara geografis termasuk dalam
wilayah perkotaan, tetapi kultur masyarakatnya belum modern, cenderung homogen
(didominasi penduduk asli setempat; suku Betawi) belum banyak bercampur dengan
berbagai masyarakat dari lain latar belakang, serta pengelolaan zakat yang dilakukan
pun masih konvensional.
Aspek legalitas dan hukum positif pengelolaan zakat tidak disadari oleh
DKM sebagai hal yang fundamental bagi masjid sehingga selama mereka
melakukan kebiasaan atau tradisi yang baik, tuntunan agama juga, jelas memberikan
manfaat kepada penerima zakat, tidak ada teguran atau himbauan dari pihak
berwenang, maka pengelolaan zakat yang dilakukan di masjid akan tetap ada dan
terus dilanjutkan.
BAB V
255
Hasil wawancara penulis dengan K.H. Asmawi; tokoh masyarakat Kecamatan Mauk pada
29 Desember 2019. 256
Lihat di awal bab IV tentang pemahaman mengenai hakikat amil zakat.
118
PENUTUP
Bagian ini menyajikan kesimpulan dan saran penulis dalam penelitian yang
dilakukan terkait pemahaman fikih dan hukum positif pengelolaan zakat yang
dipraktikkan oleh Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) dalam mengelola zakat di
masjid perkotaan.
A. Kesimpulan
Pada intinya, penelitian ini membuktikan bahwasanya pemahaman DKM
terhadap fikih zakat dan hukum positif masih belum sejalan sehingga menimbulkan
ketidakselarasan antara praktik yang dilakukan dengan ketentuan yang diatur. Aspek
yang sebenarnya belum dipraktikkan dalam hukum positif ini adalah aspek legalitas
pengelolanya, karena masjid-masjid belum menjadi pengelola zakat yang resmi, atau
minimal berbentuk Unit Pengumpul Zakat (UPZ) BAZNAS atau mitra dari LAZ dan
juga aspek kualitas manajerial pengelolaannya. Wilayah perkotaan yang awalnya
penulis anggap akan sangat berpengaruh pada ketaatan hukum para DKM terhadap
aturan pengelolaan zakat yang ada, ternyata tidak berpengaruh secara signifikan.
Selain hal tersebut di atas, ada dua kesimpulan penelitian yang penulis
dapatkan dalam tesis ini sesuai rumusan masalah, yaitu:
Pertama, Pengelolaan zakat yang dilakukan DKM masjid perkotaan
dilandasi atas pemahaman fikih zakat yang dipahami secara tradisional dan sangat
erat dengan kebiasaan yang dipraktikan turun menurun. Amil zakat yang mereka
pahami adalah setiap petugas yang ditunjuk untuk mengelola zakat, dalam hal ini
meskipun petugas tersebut ditunjuk oleh DKM, mereka tetap menganggapnya
sebagai Amil Zakat yang memiliki kewajiban dan hak atas zakat yang mereka
kumpulkan selama bulan Ramadan. Adapun pemahaman mereka terhadap hukum
positif pengelolaan zakat di Indonesia masih sangat minim dan belum menyesuaikan
diri dengan ketentuan peraturan yang ada. Kondisi ini disebabkan oleh beberapa
faktor di antaranya faktor lingkungan, faktor sikap masyarakat (baik muzaki maupun
masjid yang mengelola zakat) yang tidak memprioritaskan aspek legalitas dalam
melakukan pengelolaan zakat, faktor sosialisasi dari pihak yang memiliki kebijakan
dan mengeluarkan peraturan, serta faktor penegakan hukum.
Kedua, Pola penghimpunan zakat yang dilakukan DKM masjid perkotaan
masih pasif, hanya menunggu muzaki untuk berzakat kepada mereka. Adapun pola
pendistribusian zakat yang dilakukan selama ini hanya berbentuk panyaluran
konsumtif tradisional. Semua zakat yang dihimpun akan habis dibagikan maksimal
pada malam takbir, berupa beras ataupun nominal uang. Siklus semacam ini terus
berlangsung setiap tahun, masjid hanya menjadi tempat transit zakat dari masyarakat
untuk disalurkan kembali ke masyarakat yang membutuhkan, hampir tidak ada
dampak signifikan yang berkelanjutan yang didapatkan oleh penerima manfaat zakat
tersebut. Tentunya hal ini masih jauh dari tujuan zakat yang pada dasarnya
menginginkan adanya kemanfaatan yang bisa terus berkelanjutan sehingga menjadi
sarana mencapai keadilan sosial dan pemerataan ekonomi yang mampu mengubah
status mustahik menjadi muzaki yang sejahtera.
119
B. Saran
Melalui penelitian ini, penulis merumuskan beberapa saran dan masukan
bagi pihak-pihak terkait dalam menghadapi dan mencari solusi untuk memperbaiki
pengelolaan zakat di masjid dalam konteks pemahaman fikih dan hukum positif
yang berlaku di antaranya:
Pihak-pihak yang memiliki kewenangan dan kebijakan dalam aturan hukum
pengelolaan zakat harus melakukan sosialisasi yang aktif dan intens dalam rangka
mengajak peran serta masyarakat yang mengelola zakat (dalam hal ini masjid) untuk
mengindahkan aspek legalitas sabagai dasar hukum yang berlaku sehingga
pengelolaan zakat yang dilakukan memiliki dasar hukum yang kuat dan pasti.
Dalam proses sosialisasi aturan dan pemberlakuannya, pihak-pihak seperti
BAZNAS/BAZNAS Provinsi/BAZNAS Kabupaten/Kota serta Kementerian Agama
harus menghindari cara-cara paksaan dengan dalih menegakan amanat undang-
undang, karena hal tersebut akan sangat rentan dengan sikap resitensi masyarakat
terhadap aturan pengelolaan zakat yang ada. Perlu dilakukan cara-cara persuasif
untuk merangkul dan mengajak para pegiat zakat di masjid-masjid ini sehingga
mereka bisa paham dan mengerti pentingnya aspek legalitas, dan juga mendapatkan
keuntungan-keuntungan dalam proses perbaikan pengelolaan zakat seperti pelatihan
manajerial pengelolaan zakat, sertifikasi amil-amil zakat, hingga konsep tatakelola
zakat yang profesional.
Opsi pembentukan Unit Pengumpul Zakat (UPZ) yang dikonsepkan dalam
aturan pengelolaan zakat tidak akan maksimal terlaksana bagi masjid-masjid di
tingkat masyarakat bawah, apalagi jika tidak melalui proses sosialisasi dan inisiasi
yang aktif dari BAZNAS Kabupaten/Kota sehingga praktik pengelolaan zakat di
masjid semacam ini akan terus berlangsung tanpa perbaikan mekanisme. Perlu
adanya keterlibatan aktif BAZNAS Kabupaten Kota untuk merangkul masjid-masjid
pengelola zakat tersebut, Lembaga Amil Zakat (LAZ) juga bisa ikut ambil bagian
dengan membentuk jejaring pengelola zakat yang berbasis masjid (selanjutnya bisa
menjadi masjid binaan dalam pengelolaan zakat) sebagaimana yang telah dilakukan
LAZ di bawah naungan organisasi masyarakat Islam seperti Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah.
Butuh banyak pihak yang idealnya terlibat dalam proses transformasi
pengelolaan zakat berbasis masjid yang masih belum menyesuaikan diri dengan
hukum positif baik di kawasan perkotaan atau perdesaan, mulai dari sinergi
BAZNAS dan Kementerian Agama (Kantor Urusan Agama yang menjadi
repesentasi di lingkungan masyarakat) di tingkat-tingkat daerah, Majelis Ulama
Indonesia, serta organisasi perkumpulan masjid seperti DMI dan sebagainya. Hal ini
didasarkan atas fakta di lapangan, bahwasanya masyarakat muslim Indonesia masih
perlu pendekatan-pendekatan sosio-kultural dalam hal pemberlakuan hukum, apalagi
hukum yang terkait langsung dengan ajaran agama mereka.
120
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku
Abu> Ish{a>q, Burha>n al-Di>n Ibra>hi>m ibn Muh}ammad. al-Mubdi‘ Sharh} al-Muqni‘. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997.
Abdel-Hady, Zakaryya Mohamed. The Masjid, Yesterday and Today. Qatar: Center
for International and Regional Studies of Georgertown University School of
Foreign Service in Qatar, 2010.
Addeh, Damas dan Sayida Fuad, The Legal Framework of Mosque Building and
Muslim Religious Affairs in Egypt: Towards a Strengthening of State
Control. 2011.
Ali, Achmad. Menguak Teori Hukum & Teori Peradilan. Jakarta: Kencana, 2009.
Ali, Achmad dan Wiwie Heryani. Menjelajahi Kajian Empiris terhadap Hukum.
Jakarta: Prenada Media, 2017.
Ali, Muhammad Daud. Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf. Jakarta: Universitas
Indonesia Pres, 1988.
al-Andalu>si>, „Abd al-H{aq ibn Gha>lib. al-Muh}arrar al-Waji>z Fi> Tafsi>r al-Kita>b al- ‘Azi>z. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001.
al-Baihaqi>, Abu> Bakr. al-Sunan al-Kubra>. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003.
al-Bukha>ri, Muhammad bin Isma>’i>l Abu> Abdulla>h. S{ahi>h al-Bukha>ri>. Beirut: Da>r
T{auq al-Naja>h, 2001.
al-Da>ruqut}ni>, Abu> al-H{asan ‘Ali> ibn ‘Umar. Sunan al-Da>ruqut}ni>. Beirut: Muassasah
al-Risa>lah, 2004.
al-Fairuzaba>di>, Majduddi>n. al-Qa>mu>s al-Muhi>t}. Beiru>t: Muassasah al-Risa>lah,
2005.
__________. Tanwi>r al-Miqba>s min Tafsi>r Ibn ‘Abba>s (Beirut: Dar al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, tanpa tahun.
al-Kassa>ni>, Ala>’uddi>n. Bada>’i al-S}ana>i’ Fi> Tarti>b al-Shara>i’. Beirut: Da>r al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1986.
al-Manz}u>r, Jama>luddi>n ibnu. Lisa>n al-‘Arab. Beiru>t: Da>r al-S}a>dir, 1993.
al-Maqdisi, Ibnu Qudda>mah. Al-Mughni> Li ibn Qudda>mah. Kairo: Maktabah al-
Qa>hirah, 1968.
al-Ma>wardi>, Abu> al-H{asan ‘Ali> ibn Muh{ammad. al-H{a>wi> al-Kabi>r. Beirut: Da>r al-
Kutub al-Ilmiyyah, 1999.
al-Nawawi, Abu> Zakariyya> Muhyiddi>n Yah{ya ibn Sharaf. Al-Majmu>’ Sharh{ al- Muhadhdhab. Beirut: Da>r al-Fikr,1996.
al-Naysa>bu>riy Muslim ibn H{ajja>j. S}ah}i>h} Muslim. Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>th al-
‘Arabi>, 1955.
al-Qarad{a>wi>, Yu>suf. Fiqh al-Zaka>h: Dira>sah Muqa>ranah Li Ah}ka>miha wa Filsafatiha> Fi> D{au’ al-Qur’a>n wa al-Sunnah. Beirut: Muassasah al-Risa>lah,
1973. al-Qa>sim, Abu> ‘Ubayd. Kita>b al-Amwa>l. Beiru>t: Da>r al-Fikr, 1986.
al-Qat}t}a>n, Manna>’ ibn Khali>l. Maba>hith Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Riya>d{: Maktabah
al-Ma‘a>rif, 2000.
121
al-Sha’ra>wi>, Muh}ammad Mutawalli> Al-Tafsi>r al-Sha’ra>wi>. Kairo: Mat}a>bi’ Akhba>r
Al-Yaum, 1997.
al-Sijista>ni, Abu> Da>wu>d Sulayma>n. Sunan Abi> Da>wu>d. Beirut: al-Maktabah al-
„As}riyyah, tanpa tahun.
al-Suyu>t}i>, Jala>luddi>n. al-Itqa>n Fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Kairo: al-Hai’ah al-Mis{riyyah
al-‘A<mmah Li al-Kita>b, 1974.
al-T{abari>, Abu> Ja’far Muh{ammad ibn Jari>r Ja>mi’ al-Baya>n Fi> Ta’wi>l al-Qur’a>n.
Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 2000.
al-Zuh{aili>, Wahbah. al-Waji>z Fi> Us}u>l al-Fiqh. Damaskus: Da>r al-Fikr, 1999.
_________ al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu. Damaskus: Da>r al-Fikr, 2006. Anderson, James E. Public Policy-Making. New York: Preager, 1975.
Anshori, Abdul Ghofur. Filsafat Hukum. Jogjakarta: UGM Press, 2018.
Asy‟ari, Safari Imam. Sosiologi Kota dan Desa. Surabaya: Usaha Nasional, 1993.
Badan Ami Zakat Nasional. Outlook Zakat Indonesia 2018. Jakarta: PUSKAS
BAZNAS, 2018.
Badan Pusat Statistik, Berita Resmi Statistik -Edisi 15 Juli 2019-. Jakarta: BPS
Pusat, 2019.
Badan Pusat Statistik Jakarta Selatan. Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan dalam
Angka Tahun 2017, Publikasi BPS Jakarta Selatan.
Black, Henry Campbell. Black’s Law Dictionary. St. Paul: West Publishing, 1990.
Durkheim, Emile. The Division of Labour in Society. London: Macmillan Press,
1984.
Fauzia, Amelia. Faith and the State : A History of Islamic Philanthropy in
Indonesia. Leiden: Koninklijke Brill NV, 2013.
_____________. Filantropi Islam: Sejarah dan Kontestasi Masyarakat Sipil dan
Negara di Indonesia. Jogjakarta: Gading Publishing, 2016.
Friedman, Lawrence M. The Legal System: A Social Science Approach. New York:
Russel Sage Foundation, 1975.
Gokalp, Zia, Turkish Nationalism and Western Civilization. New York: Columbia
University Press, 1959.
H{anbal, Ah{mad ibn. Musnad al-Ima>m Ah{mad bin H{anbal. Beirut: Muassasah
al-Risa>lah, 2001.
Hisha>m, Abd al-Ma>lik ibn. Al-Si>rah al-Nabawiyyah Li ibn Hisha>m. Kairo: Sharikah
Maktabah wa Mat}ba’ah Must}afa> al-H{albi> wa Aula>duhu, 1955.
Harninta, Cynthia Idhe dkk. Kedudukan Amil Zakat dalam Undang Undang Nomor
23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat. Depok: Universitas Indonesia,
2013.
Hart, Herbert Lionel Adolphus dan Leslie Green. The concept of law. New York:
Oxford University Press, 2012.
ibn Abdilla>h, Abu ‘Umar Yu>suf. al-Ka>fi> Fi> Fiqh Ahl al-Madi>nah. Riya>d}: Maktabah
al-Riya>d} al-Hadi>thah, 1980.
ibn Ma>jah, Abu> ‘Abdulla>h Muh{ammad ibn Yazi>d. Sunan Ibn Ma>jah. Kairo: Da>r
Ih{ya> al-Kutub al-‘Arabiyyah, tanpa tahun.
ibn Qa>sim, Muh{ammad Fath{ al-Qari>b al-Muji>b Fi> Sharh} Alfa>z} al-Taqri>b. Beirut:
Da>r ibn H{azm, 2005.
122
ibn Rushd, Abu> al-Wali>d. Bida>yah al-Mujtahid Wa Niha>yah al-Muqtas}id. Kairo:
Da>r al-Hadi>th, 2004.
Ibrahim, Sherrif Muhammad. Comparative Study on Contemporary Zakat
Distribution: A Practical Experience of Some Selected Muslim States.
Malaysia: Universiti Sains Islam Malaysa, 2015.
Jamaluddin, Adon Nasrullah. Sosiologi Perkotaan: Memahami Masyarakat Kota
dan Problematikanya. Bandung: CV Pustaka Setia, 2017.
Jaya, Ali. Strategi Penghimpunan Dana Zakat di Singapura. Tangerang Selatan:
Universitas Islam Negeri Jakarta, 2017.
Kanter E.Y. dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya. Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982.
Kementerian Agama, Tipologi Masjid. Jakarta: Direktorat Urusan Agama Islam dan
Pembinaan Syariah, 2008. KUA Kecamatan Pancoran, Rekapitulasi Data Sarana Ibadah di Kecamatan
Pancoran, 2018.
Lamintang, P.A.F Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1997
Luthfi, Hanif. Siapakah Amil Zakat?.Jakarta: Rumah Fiqh Publishing, 2018.
Maleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2000.
Meinarno, Eko A. Manusia dalam Kebudayaan dan Masyarakat. Jakarta: Salemba
Humanika, 2011.
Menno S. dan Mustamin Alwi, Antropologi Perkotaan. Jakarta: Rajawali Press,1992
Miftah, A.A, Zakat antara Tuntunan Agama dan Tuntunan Hukum. Jambi: Sultan
Thaha Press, 2007.
Mill, John Stuart. Utilitarianism. Portland: Floating Press, 2009.
Mu‟allim. Amir. “Pengelolaan dan Pendayagunaan Zakat Berbasis Masjid di
Yogyakarta” Pusat Studi Hukum Islam (PSHI), Pascasarjana FIAI-UII
dengan DPPM UII. Tahun 2012.
Muhammad, Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2004.
Mulgan, Tim. Understanding Utilitarianism. Stocksfield: Acumen, 2007.
Nasar, M. Fuad. Zakat di Ranah Agama dan Negara. Jakarta: Rafikatama, 2018.
Parker, Christine dan Vibeke Lehmann Nielsen dalam Peter Drahos (ed),
Regulatory Theory. Canberra:ANU Press, 2017.
Pound, Roscoe. An Introduction to The Philosophy of Law. New Haven: Yale
University Press, 1930.
Rahardjo, Satjipto. Hukum dan Pembaruan Sosial. Bandung: Alumni, 1979.
_______________. Sosiologi Hukum Perkembangan Metode & Pilihan Masalah.
Jogjakarta : Genta Publishing, 2010.
Ra>ji, Najmuddi>n. H{arf al-La>m wa Istikhda>ma>tuhu Fi al-Qur’a>n al-Kari>m. Kairo:
Shams Li al-Nashr wa al-Tauzi>‘, 2007.
Raz, Joseph. The Concept of Legal System- An Introduction to The Theory of Legal
System Edisi Kedua. New York: Oxford University Press, 1980.
Rodgers, Harrel R. dan Charles S. Bullock. Coercion to Compliance. Lexington
Mass: Lexington Books, 1976.
123
Salim, Arskal. The Shift in Zakat Practice in Indonesia (From Peity to an
Islamic socio-political-economic System. Chiang Mai: Silkworm Books,
2008.
Shaban, M.A. Islamic History: A New Interpretation. Cambridge: Cambridge
University Press, 1971. Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. Metodologi Penelitian Survei. Jakarta:
Pustaka LP3ES, 2008.
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta,
2009.
Soehartono, Irawan. Metodologi Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian Bidang
Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial lainnya. Bandung: Rosdakarya, 2008.
Soekanto, Soerjono. Antropologi Hukum: Pengembangan Ilmu Hukum Adat.
Jakarta: Rajawali Press, 1984.
_________ Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindon Persada,
2010.
_________ Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004
Soekanto, Soerjono dan Soleman B. Taneko. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: PT
Raja Grafindo, 2003.
Soelaiman, Munandar. Dinamika Masyarakat Transisi. Jogjakarta: Pustaka Pelajar,
1998.
Suwarsono, Perubahan Sosial dan Pembangunan. Jakarta: LP3ES, 2006.
Ujan, Andre Uta. Filsafat Hukum. Jogjakarta: Kanisius, 2009.
Warassih, Esmi. Pranata Hukum Sebagai Telaah Sosiologis. Semarang: Suryadaru
Utama, 2005.
Wijayanto, Edi. Kepatuhan Masjid-Masjid di Tangerang Selatan terhadap Undang-
Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Jakarta:Tesis
Magister FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019.
Young, Oran R. Compliance and Public Authority. Baltimore: Johns Hopkins Press,
1979.
Sumber Journal
Alvarez, José E "Measuring Compliance." Proceedings of the Annual Meeting
(American Society of International Law) 96 (2002): 209-213.
http://www.jstor.org/stable/25659777.
Alfaqi, Mifdal Zusron. “Memahami Indonesia melalui Prespektif Nasionalisme,
Politik Identitas, serta Solidaritas” Jurnal Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan 28, no.2 (2015): 111-116.
Arafat, M. Husni dkk. “Masjid sebagai Agen BAZNAS: Analisa Potensi SDM
Ta‟mir Masjid di Kabupaten Jepara”. Ulul Albab: Jurnal Studi dan
Pendidikan Hukum Islam 1, no1 (2017): 58-72.
Artadi, Ibnu. “Hukum: Antara Nilai-nilai Kepastian, Kemanfaatan, dan Keadilan”
Hukum dan Dinamika Masyarakat (2006): 67-80.
Bariyah, N. Oneng Nurul “Dinamika Aspek Hukum Zakat dan Wakaf di Indonesia”
Jurnal Ahkam 16, no. 2 (Juli 2016): 197-212.
124
Budiman, Mochammad Arif dan Mairijani. “Peran Masjid dalam Pengembangan
Ekonomi Syariah di Kota Banjarmasin” Prosiding Seminar Nasional ASBSI
(2016): 187-194.
Étienne, Julien dan Matthew Wendeln. “Compliance Theories: A Literature
Review” Revue Française de Science Politique (English Edition) The
Politica l Sociology of European Law 60, no. 2 (2010): 139-162.
Fadil, Ahmad. “Good Governance Zakat di Indonesia” Al-Iqtishadi 2 no. 1 (2015):
81-98.
Fitria, “Pengelolaan Zakat pada Masjid di Kota Palembang Ditinjau dari Ekonomi
Islam”. Intelektualita 5, no 2 (Desember 2016): 175-188.
Grossman, William L. “The Legal Philosophy of Roscoe Pound”. Yale Law Journal
44, no.4 (1935): 605-618.
Hakim, Budi Rahmat “Analisis Terhadap Undang-Undang No. 23 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat (Perspektif Hukum Islam)” SYARIAH Jurnal
Ilmu Hukum 15, no. 2 (2015): 155-166
Johari; Fuadah dkk. "A Review on Literatures of Zakat between 2003-2013".
Library Philosophy and Practice (e-journal)1175, (2014): 1-15
Kuncorowati, Puji Wulandari. “Menurunnya Tingkat Kesadaran Hukum Masyarakat
Indonesia” Jurnal Civics 6, no.1 (2009): 60-75.
Kurniawan, Puji. “Legislasi Undang-Undang Zakat” Jurnal Al Risalah 13, no.1
(2013): 99-118.
May, Peter J. “Compliance Motivations: Affirmative and Negative Bases” Law &
Society Review 38, no. 1 (2004): 41-68.
Meier, Kenneth J. dan David R. Morgan. “Citizen Compliance with Public Policy:
The National Maximum Speed Law” The Western Political Quarterly 35,
no. 2 (1982): 258-273
Najwan, Johni. “Implikasi Aliran Positivisme terhadap Pemikiran Hukum”
INOVATIF/Jurnal Ilmu Hukum 2 no.3 (2010) : 17-31.
Nizar, Muhammad. “Model Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat melalui
Pengelolaan Zakat, Infaq dan Shadaqah (ZIS) di Masjid Besar Syarif
Hidayatullah Karangploso Malang”. Malia 8, no 1 (Desember 2016): 41-60.
Nopiardo, Widi. “Perkembangan Fatwa MUI tentang Masalah Zakat” Jurnal Ilmiah
Syari’ah 16, no. 1 (2017): 89-109.
Powell, Russell. Zakat: Drawing Insights for Legal Theory and Economic Policy
From Islamic Jurisprudence. University of Pittsburgh Tax Review 7, 2009.
Pusparini, Martini Dwi. “Mosque-Based Zakah Infaq and Shadaqah Management (A
Study at Great Mosque in Sleman, Yogyakarta)”. Prosiding Seminar
Nasional seri 7 “Menuju Masyarakat Madani dan Lestari” (November
2017): 277-293.
Putuhena, M. Ilham F. “Politik Hukum Perundang-Undangan: Mempertegas
Reformasi Legislasi yang Progresif” Jurnal Rechts Vinding Media
Pembinaan Hukum Nasional 2, no.3 (2013): 375-395
Rahman, Azman Ab, dkk “Zakat Institution in Malaysia: Problems and Issues”
GJAT 2. no 1 (Juni 2012): 35-41.
Rido, Ahmad dan Rizqi Anfanni Fahmi. “Pengelolaan Zakat Berbasis Masjid di
125
Sekitar Universitas Islam Indonesia”. Working Paper Keuangan Publik
Islam 2, seri 1 (2018): 1-12
Ruliad, Nadilla Ambarfauziah dkk. “Analisis Faktor-Faktor Yang Memengaruhi
Muzaki Dalam Memilih Organisasi Pengelola Zakat (OPZ): Studi Kasus di
Badan Amil Zakat Nasional Kota Bogor” Jurnal Al-Muzara’ah 3, no. 1
(2013): 20-33.
Saidurrahman. “The Politic of Zakat Management in Indonesia: The Tension
between BAZ dan LAZ”. Jurnal of Indonesian Islam 7, no.2 ( 2013):
366-382
Saifudin, Achmad. Urgensi Ta‟mir Masjid Dalam Pengelolaan Zakat Pasca
Terbitnya Undang-Undang No 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaa Zakat.
Salatiga: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga, 2013.
Salim, Arskal „Perda Berbasis Agama dan Perlindungan Konstitusional Penegakan
HAM,‟ Journal Perempuan, 60 (September 2008).
Sari, Mutiara Dwi Zakaria Bahari dan Zahari Mamat “Review on Indonesian
Zakah Management and Obstacles” Social Sciences 2, no 2 (2013): 76-89.
Shavell, Steven. “When is Compliance with the Law Socially Desirable?” The
Journal of Legal Studies 14, no. 1 (2012): 1-36.
Simarmata, Rikardo. "Socio-Legal Studies dan Gerakan Pembaharuan
Hukum." Digest Law, Society & Development 1 (2006): 1-11
Soekanto, Soerjono. "Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum." Jurnal Hukum &
Pembangunan 7. no. 6 (1977): 462-470.
Sudirman, “Goverment Policy on Zakat and Tax in Indonesia” Ahkam Jurnal Ilmu
Syariah 15 no. 1 (2015): 1-14
Suhardin, Yohanes. “Fenomena Mengabaikan Keadilan dalam Penegakan Hukum”
Mimbar Hukum 21, no.2 (2009): 341-354.
Susetyo, Heru “Contestation Between State And Non-State Actors In Zakah
Management In Indonesia” Shariah Journal 23, no. 3 (2015): 517-546.
Taehee,Whang, Elena V. McLean, dan Douglas W. Kuberski. "Coercion,
Information, and The Success of Sanction Threats." American Journal of
Political Science 57, no 1 (2013): 65-81.
Tanjung, Hendri dan Nurman Hakim, A Review on Literatures of Zakat between
2016 and 2017. Bogor: Universitas Ibnu Khaldun, 2017.
Ummulkhayr, Adamu dkk “Determinants of Zakat Compliance Behavior among
Muslim Living under Non-Islamic Goverments” International Journal of
Zakat 2, no.1 (2017) 95-108. Zainuddin, Muhadi. “Peran Sosialisasi UU Advokat dalam Pemberdayaan
Kesadaran Hukum Masyarakat” Al-Mawardi Journal of Islamic Law 12,
no.11 (2004): 91-109.
126
Sumber Undang-Undang dan Peraturan
Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 86/PUU-X/2012.
Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Zakat No.23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2014 tentang Optimalisasi Pengumpulan Zakat di
Kementerian/Lembaga, Sekretaris Jenderal Lembaga Negara, Sekretariat
Jenderal Komisi Negara, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik
Negara,dan Badan Usaha Milik Daerah melalui Badan Amil Zakat Nasional
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No.5 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Pengenaan Sanksi Administratif Dalam Pengelolaan Zakat.
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No. 34 Tahun 2016 tentang
Organisasi dan Tatakerja Kantor Urusan Agama Kecamatan.
Keputusan Menteri Agama No. 333 Tahun 2015 tentang Pedoman Pemberian Izin
Pembentukan Lembaga Amil Zakat.
Peraturan BAZNAS No.2 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Tata Kerja Unit
Pengumpul Zakat
Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 37 Tahun 2010 tentang Klasifikasi
Perkotaan dan Perdesaan di Indonesia
Keputusan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Nomor DJ. II/802 Tahun
2014 tentang Standar Pembinaan Manajemen Masjid
Fatwa MUI No. 8 Tahun 2011 tentang Amil Zakat
Sumber Website Internet:
https://tekno.kompas.com/read/2008/09/16/12065970/tragedi.zakat.pasuruan.jangan.
terulang.lagi
http://mediaindonesia.com/read/detail/150942-baznas-sebut-bazis-jakarta-ilegal-
pungut-zakat
https://megapolitan.kompas.com/read/2018/05/20/14265751/uji-coba-
dihentikan-beton-pembatas-tiga-simpang-di-mampang-prapatan https://www.uinjkt.ac.id/id/negara-dan-pengelolaan-zakat/
https://pid.baznas.go.id/laz-nasional/
https://pid.baznas.go.id/baznas-provinsi/
https://megapolitan.kompas.com/read/2018/06/07/13545661/ikuti-baznas-pemprov-
dki-tetap-pertahankan-nama-bazis
https://www.msn.com/id-id/berita/nasional/anies-ajak-warga-dki-salurkan-zis-
melalui-bazis-dki/ar-AAC5uII
http://www.beritajakarta.id/read/68429/anies-lantik-pengurus-baznas-bazis-
dki#.XSK6IhNEnIU
http://simas.kemenag.go.id
http://dmi.or.id
https://www.beritasatu.com/megapolitan/548749/uus-bank-dki-salurkan-bantuan-
operasional-tempat-ibadah
127
http://bappeda.jabarprov.go.id/program-kredit-mesra-akan-diterapkan-di-seluruh-
indonesia/
https://www.al-qaradawi.net/node/4131
https://dki.kemenag.go.id/struktur-organisasi
Sumber Wawancara
Hasil wawancara penulis dengan Pahruroji Kepala Kantor Urusan Agama (KUA)
Kecamatan Pancoran
Hasil wawancara penulis dengan Muhammad Farhat (salah satu panitia zakat di
Masjid Jami at-Taubah Kelurahan Pancoran) pada 03 April 2019.
Hasil wawancara penulis dengan H. Aziz, ketua DKM Masjid Al-Muawanah pada
tanggal 03 April 2019.
Hasil wawancara penulis dengan H. Ubaidillah, ketua DKM Masjid
Arrohmaanurrohim pada tanggal 03 April 2019
Hasil wawancara penulis dengan H. Zainuddin, sekretaris DKM Masjid Al-
Munawwar pada tanggal 04 April 2019.
Hasil wawancara penulis dengan Iqbal Ali Faris, pengurus DKM Masjid Jami an-
Nur Durentiga pada tanggal 24 Mei 2019.
Hasil wawancara penulis dengan Muhammad Mada, pengurus DKM Masjid
Nurullah Rawajati pada tanggal 22 November 2019.
Hasil wawancara penulis dengan Nasruddin; Kepala Seksi Bimbingan Masyarakat
Islam Kementerian Agama Kota Jakarta Selatan pada 20 Juni 2019.
Hasil wawancara penulis dengan Yunus Hasyim; Kepala Seksi Penyelenggara
Syariah Kementerian Agama Kota Jakarta Selatan pada 20 Juni 2019.
Hasil wawancara penulis dengan Faisal Qosim; Kepala Divisi Layanan Unit
Pengumpul Zakat Nasional Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) pada 27
Juni 2019. Hasil wawancara penulis dengan Zamroni; Kepala Seksi Kemakmuran Masjid
Kementerian Agama Republik Indonesia pada 08 Juli 2019
Hasil wawancara penulis dengan Fuad Nasar; Direktur Pemberdayaan Zakat dan
Wakaf Kementerian Agama pada 24 Juli 2019
128
GLOSARIUM
Al-Amwa>l al-Ba>t}inah : Harta zakat yang tidak terlihat secara kasat mata oleh
khalayak umum atau yang disimpan seperti perhiasan,
emas dan perak.
Al-Amwa>l al-Z{a>hirah : Harta zakat yang nampak, bisa dilihat oleh khalayak
umum berupa hewan ternak, tanaman, dan barang temuan.
Al-Zaka>h Bi al-Qi>mah : Menunaikan zakat dengan uang tunai
Bottom-Up : Paradigma pengelolaan zakat dari masyarakat bawah
Civil Society : Kumpulan masyarakat sipil yang mandiri dan bisa
bertindak mengimbangi peran negara
Diya>ni> : Sesuatu yang bersifat ibadah semata
Etis : Sesuai dengan etika dan norma
Grass root : Masyarakat akar bawah
Legalistik : Berkaitan dengan keabsahan dan kesesuaian terhadap
hukum
Mandatory : Hal yang dilakukan karena perintah
Mustahik : Golongan yang berhak menerima zakat
Muzaki : Golongan yang berkewajiban membayar zakat
Nation-State : Bentuk negara bangsa di era modern
Operator : Pihak yang melakukan pengelolaan zakat secara praktik
riil
Otoritas : Kekuasaan dan wewenang
Qad}a>i> : Sesuatu yang bekonsekuensi hukum karena terkait dengan
hak orang lain
Qat}’i> : Bersifat pasti dan tetap
Regulator : Pihak yang engeluarkan aturan dan regulasi dalam
pengelolaan zakat
129
Resistensi : Penolakan
Stakeholder : Pihak terkait yang memiliki kepentingan dalam hal
tertentu
Talfi>q : Menggabungkan dua atau lebih pendapat mazhab dalam
satu ketentuan ibadah
Taqli>d : Mengikuti pendapat mazhab tanpa mengetahui dasar
Pengambilan hukumnya.
Uji Materiil : Mengajukan pengujian terkait isi undang-undang ke
Mahkamah Konstitusi
Up-Down : Paradigma pengelolaan zakat dari atas ke bawah; pejabat
pemerintah ke masyarakat
Utilitis : Memiliki nilai guna dan bermanfaat
Voluntary : Hal yang dilakukan karena sukarela
Wakaf : Benda bergerak atau tidak bergerak yang diberikan untuk
kemaslahatan umum sebagai pemberian yang ikhlas
Zakat : Ibadah wajib umat Islam dengan mengeluarkan harta
tertentu sesuai dengan perhitungan yang tertentu diberikan
kepada golongan yang telah ditetapkan
130
INDEKS
A
Abba>siyah, 33
Abdulkadir Muhammad, 23, 25, 26,
52
Abu> ‘Ubayd al-Qa>sim, 10
Abu> Da>wu>d, 98, 116
Achmad Ali, 11, 48
Adat, 18, 42, 50
Agama, 2, 4, 6, 18, 39, 41, 56, 89,
105, 110, 114, 119, 120, 122, 123,
130
Akuntabilitas, 40
al-Amwa>l al-Ba>t}inah, 33
al-Amwa>l al-Z{a>hirah, 33, 34
al-Bukha>ri, 75, 98
al-Da>ruqut}ni>, 100
al-Fairu>za>ba>di, 31, 32
al-Ma>wardi, 34
al-Taubah, 31, 32, 35, 38, 97
Amelia Fauzia, 1, 5, 6, 10, 34, 53
Amil Zakat, 3, 5, 8, 9, 17, 27, 28, 34,
35, 36, 37, 54, 55, 56, 57, 58, 60,
61, 62, 63, 64, 68, 84, 90, 93, 94,
102, 110, 114, 123, 128, 130
Arab, 15, 31, 32, 35, 97, 100
Arskal Salim, 6, 8
Aturan, 1, 12, 52, 102, 105
Azyumardi Azra, 63
B
Baitul Mal, 61, 62, 67
Bangsa, 11, 100, 110, 123
Banten, 64, 65, 66
BAZIS, 5, 8, 61, 65
BAZNAS, 2, 6, 7, 8, 9, 10, 13, 15, 16,
17, 18, 19, 22, 26, 54, 55, 56, 57,
58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66,
67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 93,
94, 95, 102, 107, 108, 109, 111,
112, 113, 119, 120, 121, 122, 123,
124, 129, 130
Belanda, 5, 11
Berkelanjutan, 83, 102, 114, 116, 125,
129
BOTI, 45
Bottom-Up, 125, 126
BPS, 14, 49, 50, 99
Bupati, 8, 77, 93, 94
C
Chaider S. Bamualim, 4, 5
Charles S. Bullock, 103
Civil, 11
Compliance, 22, 44, 45, 103, 104,
110, 112
Culture, 12, 47
D
Delik, 102,103
DKI Jakarta, 8, 49, 61, 64, 65, 66, 77,
87, 119
DKM, 2, 4, 5, 6, 12, 13, 14, 15, 19,
22, 26, 30, 57, 58, 82, 83, 84, 85,
86, 89, 90, 91, 96, 97, 102, 103,
113, 115, 117, 124, 127, 128
DPR, 109, 110
E
Edukasi, 60, 101, 102, 119
Efektivitas, 43, 62, 90, 103, 105
Efisiensi, 90
Ekonomi, 10, 20, 31, 35, 39, 49, 50,
75, 87, 99, 117, 129
131
Emas, 10, 33, 98
Emile Durkheim, 45, 46
Empiris, 2, 23, 24, 25, 26, 28, 52
Enforcement, 107, 108, 112
F
Fakir, 35, 36, 37, 38, 40, 83, 85, 97,
98, 100, 101, 116
Fatwa, 92, 93, 122, 123
Fidyah, 72
Fikih, 1, 2, 12, 37, 89
Filantropi, 3, 4, 53, 54, 63
Fuad Nasar, 111, 118, 125
G
GK, 99
GKM, 99
GKNM, 99
Grass Root, 103, 126
Gubernur, 8, 61, 65, 66, 77, 87, 93, 94
H
Hak, 38, 52, 58, 73, 84
Harrel R. Rodgers, 103
Herbert Lionel Adolphus Hart, 12
Heru Susetyo, 7, 16
Hierarki, 60, 61, 62
Hukum, 2, 3, 4, 6, 8, 11, 12, 14, 15,
16, 17, 18, 22, 23, 24, 25, 26, 27,
28, 29, 30, 37, 41, 42, 43, 44, 45,
46, 47, 48, 52, 53, 54, 55, 56, 61,
79, 80, 81, 89, 90, 91, 92, 93, 95,
96, 103, 104, 105, 106, 107, 108,
109, 110, 111, 112, 113, 114, 115,
118, 121, 123, 125, 127, 128, 129,
130
I
Ibn Hisha>m, 32
Ibn Ma>jah, 98
Ibn Qudda>mah al-Maqdisi, 97
Ibnu 'Abba>s, 32, 66, 115
Ibn Rushd, 98
Ilegal, 8, 9
Imam, 31, 34, 36, 38, 48, 91, 95, 96
Imam al-T{abari, 31
Implementasi, 2, 5, 8, 22, 23, 24, 29,
30, 41, 42, 44, 45, 104
Industri, 49, 51
Infaq, 5, 8, 20, 21, 81
Irfan Abubakar, 4
Islam, 1, 3, 4, 5, 6, 7, 10, 12, 14, 15,
17, 18, 19, 20, 21, 26, 28, 30, 31,
32, 33, 34, 35, 36, 37, 39, 53, 54,
56, 57, 61, 63, 64, 72, 75, 76, 77,
78, 79, 80, 86, 90, 91, 92, 95, 104,
105, 106, 112, 118, 119, 120, 122,
123, 124, 126, 130
J
Jami‟, 75
Jala>luddi>n al-Suyu>t}i, 27
Jawa Barat, 5, 65, 66, 87
Jawa Timur, 8, 65, 93
John Austin, 11
Joseph Raz, 11
K
Keadilan, 4, 5, 40, 47
Kecamatan Pancoran, 4, 13, 14, 22,
23, 26, 30, 49, 81, 103, 121
Kementerian Agama, 26, 58, 62, 63,
64, 66, 67, 68, 75, 76, 77, 79, 80,
90, 93, 94, 109, 110, 111, 115, 118,
119, 120, 124, 129, 130
Kepastian, 11, 79, 90, 105, 110
132
Kepatuhan, 22, 23, 42, 43, 44, 45, 46,
47, 103, 104, 105, 106, 107, 109,
110, 111, 113, 128
Keputusan, 27, 28, 61, 62, 69, 70, 76,
94
Kesadaran, 2, 41, 43, 113
Ketaatan, 42, 43, 44, 45, 46
Kewajiban, 15, 22, 29, 37, 38, 44, 52,
53, 72, 80, 84, 85, 95, 96, 100, 101,
104, 105, 128
Khalifah, 32, 33
Kolonial, 11
Konsumtif, 20, 51, 83, 89, 116, 117,
126, 129
Konvensional, 116
Koordinasi, 118
Kreatif, 116, 117
KUA, 4, 7, 14, 26, 56, 57, 77, 78, 93,
94, 103, 119, 120, 121, 124
Kualitatif, 2, 20, 21, 28, 29, 49, 83, 98
Kultural, 121, 130
L
Law, 3, 11, 42, 43, 44, 45, 104, 105,
106, 110, 112
Lawrence M. Friedman, 12
LAZ, 2, 6, 7, 9, 13, 16, 17, 55, 56, 57,
58, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 72,
93, 94, 95, 107, 111, 112, 120, 121,
122, 123, 124, 130
Legalistik, 11, 59
Legalitas, 54, 81, 93, 94, 105, 125,
126, 128, 129
Litigatif, 48
Lombok Timur, 7, 8
M
M.A. Shaban, 34
Mahkamah Konstitusi, 4, 9, 16, 27, 95
Malaysia, 15, 18
Management, 7, 16, 17, 21
Mandatory, 15
Manfaat, 5, 9, 36, 89, 90, 97, 114,
116, 117, 126, 129
Manna>’ ibn Khali>l al-Qat}t}a>n, 32
Maqa>s}id al-Shari>‘ah, 39
Masjid, 2, 4, 5, 7, 10, 13, 14, 17, 18,
19, 20, 21, 22, 23, 24, 26, 30, 31,
45, 48, 52, 53, 55, 56, 58, 59, 68,
69, 70, 71, 74, 75, 76, 77, 78, 79,
80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88,
89, 90, 91, 95, 96, 97, 102, 103,
104, 107, 112, 113, 114, 115, 116,
117, 118,120, 122, 123, 124, 125,
126, 127, 128, 129, 130
Masyarakat, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 12,
13, 15, 16, 17, 18, 20, 22, 23, 24,
29, 30, 31, 34, 41, 42, 43, 44, 45,
46, 47, 48, 50, 51, 52, 53, 54, 55,
56, 59, 62, 63, 65, 66, 69, 71, 75,
76, 77, 78, 80, 82, 83, 86, 87, 88,
89, 90, 92, 93, 94, 95, 96, 99, 102,
103, 104, 105, 106, 109, 110, 111,
112, 113, 114, 115, 118, 119, 120,
121, 122, 123, 124, 125, 126, 127,
128, 129, 130
Mazhab, 33, 34, 97
Menteri, 4, 10, 27, 28, 57, 58, 59, 62,
76, 93, 94, 106, 107, 108, 109, 120
Mesra, 87
Michael P. Moody, 3
Miftah, 2, 6
Miskin, 35, 36, 37, 38, 40, 83, 85, 97,
98, 99, 100, 101, 115, 116
Modern, 50
Modernisasi, 51
Muh}ammad Mutawalli> al-Sha’ra>wi,
92
133
Muhammad Daud Ali, 5
Muhammadiyah, 53, 64, 122, 130
MUI, 92, 93, 122, 123, 124
MUIS, 18
Mukallaf, 37
Musala, 75
Muslim, 15, 22, 36, 75, 89, 98, 100
Must}afa> Muh{ammad al-Zarqa>, 6
Mustahik, 8, 9, 17, 34, 35, 36, 37, 38,
40, 41, 83, 84, 85, 86, 89, 90, 91,
92, 95, 97, 99, 100, 101, 102, 107,
114, 115, 116, 117, 121, 126, 128,
129
Musyawarah, 10, 84, 89
Muzaki, 8, 9, 10, 17, 18, 19, 33, 34,
35, 36, 38, 40, 52, 60, 71, 72, 73,
82, 84, 85, 95, 96, 97, 101, 102,
104, 106, 107, 113, 114, 117, 127,
128, 129
N
Nahdlatul Ulama, 53, 64, 93, 122, 130
Nation-state, 11
Nazar, 72
Negara, 2, 6, 8, 10, 11, 15, 17, 18, 22,
33, 35, 36, 37, 53, 54, 56, 63, 68,
69, 72, 75, 76, 91, 92, 94, 95, 104,
105, 107, 109, 110, 125
Nilai, 3, 25, 27, 40, 41, 42, 50, 51, 91,
95, 99, 101, 102, 117, 125
Nominal, 62, 100
Norma, 3, 41, 42, 45, 46, 106
Normatif, 2, 17, 23, 24, 25, 26, 28,
47, 52, 79, 110
NTB, 7
O
Observasi, 16, 22, 25, 81
Operator, 9
Organisasi, 6, 28, 50, 53, 57, 58, 59,
68, 70, 72, 78, 80, 86, 87, 106, 113,
114, 119, 120, 122, 124, 130
Otoritas, 10, 17
P
Pasuruan, 8
Pelanggaran, 12, 46, 47, 55, 57, 58,
105, 108, 109, 111, 112, 115
Pemahaman, 1, 12, 86, 89, 91, 101,
102, 104, 116, 128
Pembangunan, 27, 31, 50
Pemerintah, 5, 7, 9, 13, 27, 56, 57, 62,
63, 76, 77, 78, 87, 93, 95, 107, 120
Pendekatan, 2, 11, 17, 24, 44, 48, 49,
89, 99, 121, 130
Pendidikan,, 10, 99
Pendistribusian, 2, 6, 10, 12, 13, 14,
16, 18, 39, 40, 55, 63, 66, 68, 70,
71, 73, 74, 82, 83, 85, 86, 89, 91,
106, 107, 108, 115, 116, 117, 121,
122, 129
Penegakan, 45, 47, 105, 108, 109,
112, 114, 115, 128
Penelitian, 2, 5, 12, 14, 15, 16, 17, 18,
19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27,
28, 29, 30, 43, 44, 45, 49, 52, 54,
55, 81, 82, 83, 86, 89, 103, 117,
127, 128, 129
Pengelolaan, 2, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 12,
13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21,
22, 23, 24, 26, 29, 30, 31, 33, 34,
35, 36, 38, 39, 40, 52, 53, 54, 55,
56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 65,
66, 72, 80, 81, 82, 84, 86, 87, 88,
89, 90, 91, 93, 95, 96, 102, 103,
104, 106, 107, 108, 109, 110, 111,
112, 113, 114, 115, 116, 117, 118,
119, 120, 121, 123, 124, 125, 126,
127, 128, 129, 130
134
Penghimpunan, 2, 19, 22, 39, 57, 63,
64, 68, 86, 87, 104, 109, 110, 115,
119, 120, 121, 122, 123, 124
Pengumpulan, 5, 6, 10, 15, 16, 17, 20,
21, 25, 26, 27, 30, 40, 56, 69, 71,
72, 73, 74, 75, 83, 84, 85, 91, 93,
119
Perak, 10, 33, 98
Peraturan, 4, 7, 9, 27, 28, 42, 49, 56,
57, 58, 59, 61, 68, 71, 72, 73, 93,
95, 106, 107, 108, 109, 120
Perdesaan, 45, 48, 49, 130
Perkotaan, 2, 7, 20, 45, 48, 49, 103,
128, 130
Peter Mahmud Marzuki, 23, 24
Pidana, 54, 55, 72, 106, 108, 114
Politik, 11, 45, 110
Presiden, 27, 56, 63, 93, 94
Primer, 25, 27
Prinsip, 10, 20, 23, 30, 34, 36, 39, 80,
128
Produktif, 116, 117
Profesional, 80
R
Ramadan, 2, 4, 7, 20, 21, 59, 81, 82,
84, 86, 88, 100, 102, 115, 117, 126,
128
Rasululah, 10
Regulator, 9
Revisi, 10
RKAT, 71, 72
Robert L. Payton, 3
Roscoe Pound, 3
RT-RW, 120
Russell Powell, 16, 105
S
Sanksi, 4, 7, 12, 13, 17, 44, 46, 47,
56, 57, 58, 105, 106, 108, 109, 121,
128
Sedekah, 4, 5, 8, 10, 20, 21, 31, 72,
81, 92, 102, 126
Sejarah, 5, 11, 23, 31, 65, 125
Sertifikasi, 73, 130
Signifikan, 45, 51, 60, 62, 104, 113,
122, 123, 129
SIMAS, 76
sinergi, 66, 103, 118, 124, 130
Singapura, 18, 19
Sistem, 5, 11, 76, 82
Soerjono Soekanto, 41, 42, 43, 50,
103
Sosial, 3, 5, 7, 10, 16, 24, 31, 35, 41,
44, 45, 46, 47, 48, 50, 51, 63, 72,
75, 77, 80, 85, 89, 97, 110, 118,
126, 128, 129
Sosialisasi, 15, 71, 72, 82, 87, 113,
114, 123, 128, 129, 130
Sosiologi, 47, 48, 49, 50, 51
Stakeholders, 118, 124
Statis, 79
Sulawesi Selatan, 5, 65
Sult}a>n, 91
Syariat, 31, 39, 57, 61, 90, 93, 95, 96,
97, 102, 106, 119, 122
T
Talfi>q, 101
Tangerang Selatan, 22
Taqli>d, 101
Teori, 11, 12, 16, 28, 29, 45
Tipologi, 50, 52, 76, 79, 80
Tradisional, 2, 6, 9, 17, 18, 20, 45, 51,
54, 89, 90, 116, 117, 124, 128, 129
Transparansi, 40
135
U
Uji Materiil, 4, 9, 56
Umar ibn al-Khat}t{a>b, 32
Uthma>n bin ‘Affa>n, 10
Umawiyyah, 33
Undang-Undang, 2, 4, 6, 7, 8, 9, 10,
13, 16, 17, 19, 22, 27, 52, 53, 54,
55, 56, 57, 59, 60, 61, 89, 90, 93,
95, 104, 105, 106, 107, 108, 110,
111, 120, 125, 126
Up-Down, 125, 126
UPZ, 2, 14, 19, 22, 26, 56, 57, 59, 60,
62, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 94,
122, 124, 126, 130
V
Voluntary, 3, 16, 52, 104
W
Wahbah Must}afa> al-Zuhaili, 33, 36,
38, 40
Walikota, 77, 93, 94
Wawancara, 2, 4, 16, 20, 21, 22, 25,
81, 83, 84, 90, 102, 111, 118, 119,
124
Wijayanto, 2, 22
Y
Yu>suf al-Qarad{a>wi, 35, 38
Yuridis, 2, 17, 24, 81, 93, 94
Z
Zakat, 2, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12,
13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21,
22, 23, 24, 25, 26, 30, 31, 32, 33,
34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 49,
53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61,
62, 63, 64, 66, 67, 68, 69, 70, 71,
72, 73, 74, 75, 82, 83, 84, 85, 86,
87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95,
96, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 103,
104, 105, 106, 107, 108, 109, 110,
111, 112, 113, 114, 115, 116, 117,
Zawiya, 75
136
LAMPIRAN
TRANSKIP WAWANCARA
A. Dewan Kemakmuran Masjid
1. Masjid Jami at-Taubah
Narasumber : H. Syamsudin Abdul Karim; Ketua DKM
Farhat; Petugas Zakat Masjid Jami at-Taubah
Waktu : Rabu, 03 April 2019 pukul 13.00- 14.00 WIB
Tempat : Sekretariat Masjid Jami at-Taubah Pancoran
Jl. Pancoran Barat VIII Pancoran Jakarta Selatan
1. Apakah DKM mengetahui UU 23/2011 tentang pengelolaan zakat?
- Ya, sekedar mengetahui jika zakat telah ada undang-undangnya
2. Menurut Bapak, siapa yang disebut Amil Zakat?
- Amil zakat
3. Apa tugas Amil Zakat?
- Mengumpulkan zakat dari muzaki dan menyalurkannya ke mustahik
4. Apa Hak Amil Zakat?
- Mendapatkan bagian zakat, di masjid ini bagian amil sebesar 1/8 total
zakat yang dikumpulkan
5. Apa landasan atau pedoman pengelolaan zakat di masjid ini?
- Fikih zakat
6. Apa motif dan alasan DKM melakukan pengelolaan zakat?
- Selain melanjutkan dan menjaga tradisi yang sudah ada di masjid,
pastinya masjid bisa memfasilitasi muzaki sekitar untuk menunaikan
zakatnya dan juga didistribusikan untuk mustahik di lingkungan masjid
7. Apakah DKM memiliki database Muzakki dan Mustahiq?
- Ada catatannya, tetapi di komputer dan sayangnya komputer rusak
terendam banjir.
8. Apakah DKM memiliki pencatatan dalam pengelolaan zakat?
- Ada di setiap Ramadan
9. Bagaimana DKM mentasharufkan dana zakat yang terkumpul?
- Zakat fitrah berupa beras dibagikan H-3 Idul Fitri, sedangkan zakat
berupa uang tunai kami bagikan ketika malam takbiran
137
10. Apakah DKM memberikan tanda bukti pembayaran zakat kepada Muzakki?
- Ya, berupa kuitansi yang telah disiapkan panitia sebagai bukti
pembayaran zakat
11. Siapa yang melakukan pengelolaan zakat di masjid ini?
- Panitia atau petugas yang dibentuk DKM, terdiri dari 6 orang, 3
pengurus utama dan 3 pengurus harian
12. Atas dasar apa DKM melakukan pengelolaan zakat? (ada himbauan,
permintaan masyarakat, inisiatif DKM, dll)
- Inisiatif DKM juga permintaan jamaah, agar zakat mereka dikelola di
masjid untuk kemaslahatan mustahik sekitar masjid juga.
13. Apakah Masjid ini menjadi anggota Dewan Masjid Indonesia?
- Ya
14. Apakah ada himbauan atau arahan dari DMI dalam hal pengelolaan zakat di
Masjid?
- Tidak ada
15. Apakah DKM pernah menerima sosialisasi tentang aturan pengelolaan
zakat?
- Tidak pernah
16. Bagaimana pendapat DKM tentang pengelolaan zakat di masjid?
- Selama ini berjalan lancar seperti biasa, antusias masyarakat sekitar
juga selalu meningkat, sehingga zakat yang dikumpulkan selalu
bertambah setiap tahunnya.
17. Apa masukan atau saran untuk pihak yang memiliki kewenangan dalam
pengelolaan zakat di Indonesia?
- Kami butuh pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kualitas
pengelolaan zakat, terutama terkait pendistribusiannya, sehingga tidak
melulu zakat itu habis dikonsumi oleh mustahik, tidak memberikan
dampak jangka panjang.
138
2. Masjid al-Muawanah
Narasumber : H. Abdul Aziz Musahab; Ketua DKM
Waktu : Rabu, 03 April 2019 pukul 16.00- 16.45 WIB
Tempat : Masjid al-Muawanah
Jl. Duren Tiga Raya No. 38 Pancoran Jakarta Selatan
1. Apakah DKM mengetahui UU 23/2011 tentang pengelolaan zakat?
- Ya tahu, tapi tidak detail
2. Menurut Bapak, siapa yang disebut Amil Zakat?
- Amil zakat adalah orang-orang yang ditugaskan untuk menerima dan
menyalurkan zakat
3. Apa tugas Amil Zakat?
- Mengumpulkan zakat dari muzaki dan menyalurkannya ke mustahik
4. Apa Hak Amil Zakat?
- Mendapatkan 12,5 % dari total pengumpulan zakat, baik berupa beras
atau uang tunai
5. Apa landasan atau pedoman pengelolaan zakat di masjid ini?
- Fikih zakat
6. Apa motif dan alasan DKM melakukan pengelolaan zakat?
- Menjalankan ibadah supaya memudahkan muzaki sekitar masjid untuk
menunaikan zakatnya dan akan dibagikan lagi ke masyarkat seitar
masjid juga
7. Apakah DKM memiliki database Muzakki dan Mustahiq?
- Tidak punya, biasanya daftar muzaki dicatat sesuai tahun pengumpulan,
adapun mustahik datanya kita selalu perbaharui tiap tahun
berkoordinasi dengan RT-RT setempat.
8. Apakah DKM memiliki pencatatan dalam pengelolaan zakat?
- Ada di setiap Ramadan
9. Bagaimana DKM mentasharufkan dana zakat yang terkumpul?
- Semua zakat yang dikumpulkan akan dibagikan ke mustahik paling
lambat H-1, atau malam takbir sudah harus selesai pembagiannya.
10. Apakah DKM memberikan tanda bukti pembayaran zakat kepada Muzakki?
- Ya, berupa kuitansi dari panitia zakat masjid
139
11. Siapa yang melakukan pengelolaan zakat di masjid ini?
- Panitia atau petugas yang dibentuk DKM, terdiri 3 orang pengurus
utama dan dibantu remaja masjid untuk menjaga stand penerimaan
zakat.
12. Atas dasar apa DKM melakukan pengelolaan zakat? (ada himbauan,
permintaan masyarakat, inisiatif DKM, dll)
- Inisiatif DKM.
13. Apakah Masjid ini menjadi anggota Dewan Masjid Indonesia?
- Ya
14. Apakah ada himbauan atau arahan dari DMI dalam hal pengelolaan zakat di
Masjid?
- Tidak ada
15. Apakah DKM pernah menerima sosialisasi tentang aturan pengelolaan
zakat?
- Tidak pernah
16. Bagaimana pendapat DKM tentang pengelolaan zakat di masjid?
- Belum ada koordinasi antar masjid-masjid yang mengelola zakat
sehingga tidak ada program bersama pemberdayaan mustahik di
lingkungan
17. Apa masukan atau saran untuk pihak yang memiliki kewenangan dalam
pengelolaan zakat di Indonesia?
- Kami butuh pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kualitas
pengelolaan zakat, terutama terkait pendistribusiannya, sehingga tidak
melulu zakat itu habis dikonsumi oleh mustahik, tidak memberikan
dampak jangka panjang.
140
3. Masjid Arrohmaanurrohim
Narasumber : H. Ubaidillah; Ketua DKM
Waktu : Rabu, 03 April 2019 pukul 17.00- 17.45 WIB
Tempat : Masjid Arrohmaanurrohim
Jl. Pancoran Barat VIII Jakarta Selatan
1. Apakah DKM mengetahui UU 23/2011 tentang pengelolaan zakat?
- Ya tahu
2. Menurut Bapak, siapa yang disebut Amil Zakat?
- Di masjid ini, amil zakat adalah petugas zakat yang dibentuk DKM
3. Apa tugas Amil Zakat?
- Mengumpulkan zakat dari muzaki dan menyalurkannya ke mustahik
4. Apa Hak Amil Zakat?
- Mendapatkan 1/8 bagian dari total zakat yang dihimpuni
5. Apa landasan atau pedoman pengelolaan zakat di masjid ini?
- Fikih zakat
6. Apa motif dan alasan DKM melakukan pengelolaan zakat?
- Menjalankan ibadah zakat dan menjadikan masjid bermanfaat bagi
masyarakat
7. Apakah DKM memiliki database Muzakki dan Mustahiq?
- Tidak punya, kami biasanya menyesuaikan dengan di waktu
pelaksanaan di bulan Ramadan, tidak ada daftar tetap.
8. Apakah DKM memiliki pencatatan dalam pengelolaan zakat?
- Ada di setiap pelaksanaan pengelolaan zakat
9. Bagaimana DKM mentasharufkan dana zakat yang terkumpul?
- Semua zakat yang dikumpulkan akan dibagikan habis pada malam
takbir
10. Apakah DKM memberikan tanda bukti pembayaran zakat kepada Muzakki?
- Ya, berupa kuitansi dari panitia zakat masjid
11. Siapa yang melakukan pengelolaan zakat di masjid ini?
- Panitia atau petugas yang dibentuk DKM, biasanya melibatkan remaja
masjid
141
12. Atas dasar apa DKM melakukan pengelolaan zakat? (ada himbauan,
permintaan masyarakat, inisiatif DKM, dll)
- Inisiatif DKM.
13. Apakah Masjid ini menjadi anggota Dewan Masjid Indonesia?
- Ya
14. Apakah ada himbauan atau arahan dari DMI dalam hal pengelolaan zakat di
Masjid?
- Tidak ada
15. Apakah DKM pernah menerima sosialisasi tentang aturan pengelolaan
zakat?
- Tidak pernah
16. Bagaimana pendapat DKM tentang pengelolaan zakat di masjid?
- Pengumpulan zakat di masjid hal yang bagus untuk memberikan
bantuan kepada masyarakat kurang mampu di sekitar masjid.
17. Apa masukan atau saran untuk pihak yang memiliki kewenangan dalam
pengelolaan zakat di Indonesia?
- Kalau pihak-pihak lembaga resmi pengelola zakat bisa membantu
masjid-masjid dalam mempersiapkan rencana pengelolaan zakat dan
skaligus strategi pendistribusian serta pemberdayaan, maka akan nilai
zakat akan lebih bermanfaat.
142
4. Masjid Jami an-Nur
Narasumber : Iqbal Ali Faris; Pengurus DKM
Waktu : Jumat, 24 Mei 2019 pukul 13.00- 13.30 WIB
Tempat : Masjid Jami an-Nur
Jl. Mampang Prapatan XVC Pancoran Jakarta Selatan
1. Apakah DKM mengetahui UU 23/2011 tentang pengelolaan zakat?
- Ya tahu, memahami secara umum tidak sampai hapal pasal per pasal
2. Menurut Bapak, siapa yang disebut Amil Zakat?
- Beberapa orang yang ditunjuk untuk menangani urusan zakat
3. Apa tugas Amil Zakat?
- Mengumpulkan zakat dari muzaki dan menyalurkannya ke mustahik
4. Apa Hak Amil Zakat?
- Yang kami praktikkan di masjid ini, amil zakat kami berikan upah dari
operasional masjid, tidak dari zakat. Zakat murni semuanya dibagikan
ke mustahik
5. Apa landasan atau pedoman pengelolaan zakat di masjid ini?
- Fikih zakat
6. Apa motif dan alasan DKM melakukan pengelolaan zakat?
- Melanjutkan tradisi pengelolaan zakat dan membantu muzaki menerima
zakatnya untuk diserahkan ke mustahik melalui masjid
7. Apakah DKM memiliki database Muzakki dan Mustahiq?
- Ada beberapa muzaki tetap di masjid kami, untuk mustahik, kita
koordinasi dengan RT RW setempat, bisa jadi setiap tahun berubah.
8. Apakah DKM memiliki pencatatan dalam pengelolaan zakat?
- Ada di setiap pelaksanaan pengelolaan zakat dan dilaporkan menjelang
salat Idul Fitri secara lisan maupun print out yang ditempel di papan
pengumuman
9. Bagaimana DKM mentasharufkan dana zakat yang terkumpul?
- Semua zakat yang dikumpulkan akan dibagikan habis pada malam
takbir
10. Apakah DKM memberikan tanda bukti pembayaran zakat kepada Muzakki?
- Ya, berupa kuitansi dari panitia zakat masjid
143
11. Siapa yang melakukan pengelolaan zakat di masjid ini?
- Panitia atau petugas yang dibentuk DKM
12. Atas dasar apa DKM melakukan pengelolaan zakat? (ada himbauan,
permintaan masyarakat, inisiatif DKM, dll)
- Inisiatif DKM dan permintaan jamaah.
13. Apakah Masjid ini menjadi anggota Dewan Masjid Indonesia?
- Ya
14. Apakah ada himbauan atau arahan dari DMI dalam hal pengelolaan zakat di
Masjid?
- Tidak ada
15. Apakah DKM pernah menerima sosialisasi tentang aturan pengelolaan
zakat?
- Tidak pernah
16. Bagaimana pendapat DKM tentang pengelolaan zakat di masjid?
- Kami menyadari masih banyak kekurangan, tapi alhamdulillah dari
zakat yang kami kumpulkan juga bisa membantu mustahik, meskipun
untuk kegiatan konsumtif. Ke depannya, kami ingin mengubah pola
ditribusi dari konsumtif menjadi produktif, tentu jumlah mustahik akan
berkurang tetapi diharapkan nantinya bisa merubah kehidupan mustahik
tersebut dan memberikan manfaat jangka panjang.
17. Apa masukan atau saran untuk pihak yang memiliki kewenangan dalam
pengelolaan zakat di Indonesia?
- Sangat ditunggu program-program dari pemerintah baik BAZNAS, atau
Kementerian Agama yang langsung melibatkan pengurus-pengurus
masjid agar kami bisa diberdayakan. Pelatihan-pelatihan yang bisa
meningkatkan kualitas pengelolaan zakat di masjid.
144
5. Masjid al-Munawwar
Narasumber : H. Zainuddin; Sekretaris DKM
Waktu : Jumat, 24 Mei 2019 pukul 13.00- 13.30 WIB
Tempat : Masjid Jami an-Nur
Jl. Mampang Prapatan XVC Pancoran Jakarta Selatan
1. Apakah DKM mengetahui UU 23/2011 tentang pengelolaan zakat?
- Ya tahu, tapi tidak pernah dipraktikkan di masjid ini
2. Menurut Bapak, siapa yang disebut Amil Zakat?
- Amil Zakat itu bahasa Arab, istilah di Indonesia adalah petugas yang
dibentuk untuk mengumpukan dan menyalurkan zakat
3. Apa tugas Amil Zakat?
- Mengumpulkan zakat dari muzaki dan menyalurkannya ke mustahik
4. Apa Hak Amil Zakat?
- Di masjid ini amil zakat diberikan 10%-12,5% dari dana zakat dengan
penyesuaian hasil pengumpulan
5. Apa landasan atau pedoman pengelolaan zakat di masjid ini?
- Fikih zakat
6. Apa motif dan alasan DKM melakukan pengelolaan zakat?
- Ibadah di bulan Ramadan serta menjaga tradisi baik
7. Apakah DKM memiliki database Muzakki dan Mustahiq?
- Tidak punya. Tidak ada target penghimpunan dai muzaki-muzaki tetap,
siapa saja bisa berzakat di masjid ini. Adapun mustahik selalu kita
update setiap tahunnya berkoordinasi dengan RT RW setempat
8. Apakah DKM memiliki pencatatan dalam pengelolaan zakat?
- Ada, setiap tahun kita buat laporan, berapa zakat yang dikumpulkan
dari siapa saja dan dibagikan kepada siapa saja
9. Bagaimana DKM mentasharufkan dana zakat yang terkumpul?
- Biasanya kami bagikan paling telat di malam takbir, sebelumnya juga
terkadang pendistribusian sudah dicicil
10. Apakah DKM memberikan tanda bukti pembayaran zakat kepada Muzakki?
- Ya, berupa kuitansi dari panitia zakat masjid
145
11. Siapa yang melakukan pengelolaan zakat di masjid ini?
- Panitia atau petugas yang dibentuk DKM beserta remaja masjid.
12. Atas dasar apa DKM melakukan pengelolaan zakat? (ada himbauan,
permintaan masyarakat, inisiatif DKM, dll)
- Inisiatif DKM dan permintaan jamaah.
13. Apakah Masjid ini menjadi anggota Dewan Masjid Indonesia?
- Ya
14. Apakah ada himbauan atau arahan dari DMI dalam hal pengelolaan zakat di
Masjid?
- Tidak ada
15. Apakah DKM pernah menerima sosialisasi tentang aturan pengelolaan
zakat?
- Tidak pernah
16. Bagaimana pendapat DKM tentang pengelolaan zakat di masjid?
- Memang perlu ada perubahan dalam pengelolaan zakat di masjid, kalau
tidak ya akan seperti ini saja sampai kapaun pun, masjid hanya menjadi
tempat transit zakat, meskipun memberikan manfaat bagi mustahik, tapi
jika dikelola dengan serius dan profesional insya Allah manfaat zakat
bisa lebih besar dari sekedar penyaluran konsumtif berupa beras atau
uang tunai dengan nominal tertentu.
17. Apa masukan atau saran untuk pihak yang memiliki kewenangan dalam
pengelolaan zakat di Indonesia?
- Pemerintah dan atau lembaga swasta telah mengelola zakat secara
profesional bisa menularkan ilmunya kepada para pengurus masjid
sehingga pengelolaan zakat yang dilakukan di masjid bisa lebih baik ke
depannya. Pihak-pihak yang terkait juga diharapkan ikut serta
membangun kondisi yang kondusif untuk perkembangan zakat, seperti
KUA, MUI, Kemenag, BAZNAS dan masjid-masjid alangkah baiknya
memiliki pertemuan atau pengajian rutin yang bisa membahas program
keumatan seperti pengelolaan zakat ini.
146
6. Masjid Nurullah
Narasumber : Muhammad Mada; Koordinator Humas dan Sosial DKM
Waktu : Jumat, 22 November 2019 pukul 14.00- 14.30 WIB
Tempat : Masjid Nurullah
Basement Tower Cendana Kalibata City Rawajati Pancoran
Jakarta Selatan
1. Apakah DKM mengetahui UU 23/2011 tentang pengelolaan zakat?
- Ya tahu,
2. Bagaimana proses bergabungnya masjid Nurullah menjadi UPZ BAZIS
Jakarta Selatan?
- Bergabungnya masjid Nurullah menjadi UPZ BAZIS Jakarta Selatan
pada Tahun 2017 tidak terlepas dari komunikasi yang kami lakukan
dengan pihak KUA Kecamatan Pancoran. Sebelumnya kami pun
mencari-cari informasi secara online kalau pengelola zakat harus
memiliki izin, begitu juga masjid-masjid, sehingga kami memutuskan
untuk berkonsultasi dengan pihak KUA. Pihak KUA menyarankan
kami untuk bergabung menjadi UPZ BAZIS Jakarta Selatan dan
kemudian ada pertemuan, sosialisai, hingga acara seremonial
pemberian SK UPZ.
3. Menurut Bapak, siapa yang disebut Amil Zakat?
- Petugas-petugas zakat yang melakukan penerimaan hingga
pendistribusian
4. Apa tugas Amil Zakat?
- Mengumpulkan zakat dari muzaki dan menyalurkannya ke mustahik
5. Apa Hak Amil Zakat?
- Masjid tidak mengambil bagian zakat, dan petugas telah diberikan
insentif bulana sebagai anggota DKM, sehingga dana zakat seluruhnya
didistribusikan untuk mustahik
6. Apa landasan atau pedoman pengelolaan zakat di masjid ini?
- Fikih zakat dan aturan hukum yang ada
7. Apa motif dan alasan DKM melakukan pengelolaan zakat?
- Sebagai ibadah sekaligus fungsi pelayanan bagi jamaah yang ingin
menunaikan zakatnya di masjid
8. Apakah DKM memiliki database Muzakki dan Mustahiq?
147
- Selama ini belum ada. Mustahik zakat biasanya kami pilih dari petugas
kebersihan, keamanan, dan parkir di kawasan Kalibata City dan juga
fakir miskin di masyarakat Kelurahan Rawajati.
9. Apakah DKM memiliki pencatatan dalam pengelolaan zakat?
- Ada, setiap tahun kita buat laporan, berapa zakat yang dikumpulkan
dari siapa saja dan dibagikan kepada siapa saja
10. Bagaimana DKM mentasharufkan dana zakat yang terkumpul?
- Zakat fitrah kami bagikan berupa beras di malam takbir, dan zakat mal
kami himpun setiap waktu sehingga pendistribusiannya bisa fleksibel,
bahkan terkadang ada jamaah kami yang memiliki tetangga di daerah, dan
sedang membutuhkan, maka kami bantu dengan dana zakat mal yang ada.
11. Apakah DKM memberikan tanda bukti pembayaran zakat kepada Muzakki?
- Ya, berupa kuitansi dari panitia zakat masjid
12. Siapa yang melakukan pengelolaan zakat di masjid ini?
- Panitia atau petugas yang dibentuk DKM
13. Apakah Masjid ini menjadi anggota Dewan Masjid Indonesia?
- Ya
14. Apakah ada himbauan atau arahan dari DMI dalam hal pengelolaan zakat di
Masjid?
- Tidak ada
15. Apakah DKM pernah menerima sosialisasi tentang aturan pengelolaan
zakat?
- Sebelum kami mendatangi KUA, tidak pernah ada sosialisasi.
16. Bagaimana pendapat DKM tentang pengelolaan zakat di masjid?
- Meskipun kami telah bergabung menjadi UPZ, tapi kami tidak pernah
diberikan pelatihan, pembinaan, monitoring, evaluasi untuk
pengelolaan zakat. Pihak BAZIS tidak pernah lagi berkomunikasi
terkait tindak lanjut dari UPZ, sehingga kami menganggap memang
bentuk UPZ hanya sebatas legalitas dan formalitas hukum semata.
17. Apa masukan atau saran untuk pihak yang memiliki kewenangan dalam
pengelolaan zakat di Indonesia?
- Pemerintah harus proaktif melakukan sosialisasi ke masjid-masjid, jika
menghendaki masjid-masjid yang mengelola zakat menjadi UPZ, KUA
dan BAZNAS harus jemput bola, melakukan pendekatan-pendekatan
persuasif, karena masyarakat banyak yang salah paham dengan konsep
UPZ
148
B. Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Pancoran
Narasumber : Pahruroji; Kepala KUA Kecamatan Pancoran
Waktu : Rabu, 11 April 2018 pukul 10.45- 11.30 WIB
Tempat : Kantor KUA Kecamatan Pancoran, Jl. Rawajati Barat No.5
Rawajati Pancoran Jakarta Selatan
1. Program apa saja yang telah dilakukan KUA dalam konteks pengelolaan
zakat?
- Pada dasarnya tugas dan fungsi KUA tidak hanya berkaitan dengan
pernikahan sebagaimana yang dipahami masyarakat pada umumnya,
tetapi KUA juga melakukan fungsi penyuluhan dan pembinaan kegiatan
agama Islam lainnya seperti bimbingan manasik haji, penentuan arah
kiblat, hingga soal zakat. Selama ini KUA Pancoran melalui penyuluh
dan pegawainya memang lebih fokus pada masalah pernikahan karena
permintaan masyarakat tinggi akan hal ini, tetapi kami juga
mengarahkan masyarakat yang berkonsultasi terkait zakat untuk
bergabung menjadi UPZ sesuai aturan yang berlaku, salah satu hasilnya
adalah Masjid Nurullah Kalibata City yang di Tahun 2017 telah
bergabung menjadi UPZ BAZIS Jakarta Selatan.
2. Program apa saja yang pernah dilakukan KUA yang berkaitan dengan
masjid?
- Selama ini ada pengajian di masjid-masjid kecamatan Pancoran yang
diisi oleh penyuluh kami.
3. Bagaimana pola komunikasi KUA dengan masjid-masjid yang ada di
wilayah tugas?
- Hanya masjid tertentu yang biasanya ada kaitannya dengan program
kami yang akan intens berkomunikasi, selama ini memang tidak ada
forum khusus antar masjid-masjid dan KUA.
4. Bagaimana menurut bapak tentang pengelolaan zakat di masjid?
- Selama ini memang telah banyak dilakukan di masjid, tetapi tidak
pernah ada laporan atau pemberitahuan kepada kami tentang
pengelolaan zakat tersebut, berapa yang dhimpun, kepada siapa saja
dibagikan, dan seterunya, padahal ada ketentuan untuk melapor ke KUA
setempat. Di sisi lain, kami pun tidak bisa banyak berbuat terkait itu,
karena sudah bagian privasi masjid, tetapi kami terbuka jika ada masjid
atau pihak lain ingin diarahkan untuk menyesuaikan dengan regulasi
pengelolaan zakat yang ada.
149
C. BAZNAS
Narasumber : Faisal Qosim, Kepala Divisi Layanan Unit Pengumpul Zakat
Waktu : Kamis, 27 Juni 2019 pukul 09.00-10.45 WIB
Tempat : Kantor BAZNAS Pusat, Wisma Sirca Lantai 2 Jl. Johar No. 18
Jakarta Pusat
1. Sejauhmana BAZNAS mensosialisasikan peraturan pengelolaan zakat
kepada masjid?
- Sosialisasi mengenai perundangan zakat dan aturan-aturan turunannya
merupakan agenda nasional baik di pusat maupun di daerah
2. Berapa masjid yang telah menjadi UPZ BAZNAS?
- Pembentukan UPZ di masjid melalui SK sesuai dengan tingkatan
BAZNAS, BAZNAS pusat hanya membentuk 1 UPZ di masjid negara
yaitu masjid Istiqlal.
3. Bagaimana prosedur dan mekanisme pembentukan UPZ BAZNAS?
- Masjid menjadi UPZ bisa melalui 2 mekanisme, pertama inisiatif
BAZNAS untuk memberikan SK, kedua inisiatif pengurus masjid untuk
dibentuk UPZ dengan mengirim surat permohonan ke BAZNAS sesuai
tingkatannya
4. Apa saja hak dan kewajiban yang ditetapkan untuk UPZ dan BAZNAS?
- Di antara hak UPZ BAZNAS adalah mendapatkan legalitas berkekuatan
hukum sebagai sebuah pengumpul zakat, pelatihan amil melalui
program sertifikasi amil, mendapatkan hak amil sesuai ketentuan,
diberikan supervisi dan monitoring dalam program pengelolaan
zakatnya. Adapun kewajibannya adalah melaporkan pengelolaan zakat
setiap bulan, menyetorkan hasil penghimpunan zakat ke BAZNAS
sesuai tingkatan setiap bulan, menjalankan tugas dan kewajiban sesuai
aturan UPZ yang berlaku.
5. Apakah LAZ bisa menjadikan masjid sebagai UPZ?
- LAZ tidak berwenang membentuk UPZ, karena kata “UPZ” telah
dikhususkan bagi BAZNAS melalui undang-undang dan peraturan
pemerintah. Adapun LAZ mungkin untuk membetuk cabang LAZ,
bukan UPZ.
6. Bagaimana prosedur LAZ untuk dapat membentuk UPZ di Masjid?
- LAZ bisa saja menggandeng masjid tertentu sebagai mitranya dalam
pengelolaan zakat, bukan disebut UPZ. Mekanismenya diserahkan
kepada masing-masing LAZ.
7. Apakah BAZNAS terlibat dalam pembentukan UPZ LAZ di Masjid?
- Tidak
150
8. Bagaimana pandangan BAZNAS tentang pengelolaan zakat di Masjid?
- Pada dasarnya pemerintah mendukung agar pengelolaan zakat dilakukan
oleh lembaga yang profesional karena semangat kebangkitan zakat
menjunjung nilai-nilai pengelolaan zakat yang akuntabel, transparan,
dan terintegritas. Kita semua sudah mengetahui bahwa masjid di
Indonesia telah lama memainkan peran sebagai tempat penghimpunan
zakat, utamanya zakat fitrah di bulan Ramadan, meskipun hal tersebut
merupakan kegiatan yang positif dan bertujuan mulia -untuk menerima
penunaian kewajiban muzaki dan menyerahkannya sebagai hak
mustahik- tetapi alangkah baiknya jika masjid-masjid atau pihak lain
yang melakukan pengelolaan zakat bisa menyesuaikan dengan aturan
yang ada, yaitu bisa bergabung dengan UPZ BAZNAS sesuai
tingkatannya. Masjid-masjid di tingkat kecamatan hingga kelurahan bisa
menjadi UPZ BAZNAS Kabupaten/Kota.
9. Bagaimana pola komunikasi dan koordinasi antara BAZNAS dengan DMI
/masjid-masjid pengelola zakat?
- DMI merupakan salah satu stakeholder pengelolaan zakat di Indonesia,
khususnya pengelolaan yang berbasis masjid, karena melalui DMI
sosialisasi terkait hal-hal pengelolaan zakat di masjid, pemberdayaan
zakat berbasis masjid bisa lebih mudah, tetapi memang program DMI
dari aspek zakat tidak pernah diangkat, koordinasinya dengan BAZNAS
pun belum terjalin.
10. Bagaimana sikap BAZNAS terhadap legalitas pengelolaan zakat di masjid
yang marak dilakukan setiap bulan Ramadan?
- Secara hukum, memang telah ada ketentuan sanksi yang diatur dalam
Peraturan Menteri Agama No. 52 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Pengenaan Sanksi Administratif dalam Pengelolaan Zakat, dan harus
kita akui masjid-masjid yang melakukan pengelolaan zakat tetapi tidak
memiliki legalitas sudah masuk dalam kategori peraturan tersebut.
Meskipun demikian, dalam tatacara pengenaan sanksinya,
mengharuskan adanya laporan atau pengaduan dari pihak tertentu, jadi
delik aduan. Tidak ada laporan, maka tidak ada penindakan.
11. Apa harapan BAZNAS mengenai pengelolaan zakat di masjid?
- Aturan hukum yang dibuat sebenarnya bertujuan untuk menguatkan
kegiatan dakwah zakat yang sudah ada di masjid sehingga pengelolaan
zakat yang dilakukan bisa aman secara 4 hal, yaitu aman regulasi, aman
syar‟i (kesesuaian dengan syariah), aman idari (manajemen yang
profesional), dan aman sosial (manfaat bagi masyarakat sekitar). Cara
yang bisa ditempuh oleh masjid adalah dengan bergabung menjadi UPZ
BAZNAS sesuai tingkatan.
151
D. Dewan Masjid Indonesia
Narasumber : Firman, Ketua DMI Kecamatan Pancoran
Waktu : Kamis, 27 Juni 2019 pukul 09.00-10.45 WIB
Tempat : Durentiga Pancoran Jakarta Selatan
1. Apa tugas dan fungsi DMI di Indonesia?
- Mengkoordinasi masjid-masjid anggotanya
2. Program apa saja yang dilakukan DMI?
- Selama ini, di Jakarta DMI dipercaya untuk bekerjasama dalam
penyaluran program Bantuan Operasional Tempat Ibadah (BOTI)
3. Apakah DMI intens berkomunikasi dengan BAZNAS tentang pengelolaan
zakat di Masjid?
- Tidak ada
4. Apakah DMI memberikan himbauan atau arahan kepada masjid- masjid
dalam pengelolaan zakat?
- Tidak, karena kami rasa sudah ada BAZNAS yang lebih berwenng
dengan hal tersebut.
5. Adakah forum rutin antara masjid-masjid di bawah naungan DMI untuk
membahas pengelolaan zakat di masjid? atau tata kelola masjid secara
umum?
- Selama ini belum ada,
6. Bagaimana pandangan bapak mengenai pengelolaan zakat di masjid?
- Sebenarnya ini hal yang positif, selain membantu memfasilitasi muzaki
untuk berzakat di tempat terdekat, mustahik sekitar juga ikut
mendapatkan zakat. Adapun tentang regulasi atau peraturan yang ada,
nampaknya pihak yang berwenang harus lebih intens
mensosialisasikannya, lebih serius jika memang ingin ada kepatuhan di
masyarakat terhadap peraturan tersebut.
152
E. Kementerian Agama Jakarta Selatan
Narasumber : Muhammad Yunus Hasyim, Kepala Seksi Penyelenggara Syariah
Nasruddin; Kepala Seksi Bimas Islam
Waktu : Kamis, 20 Juni 2019 pukul 08.00-09.20
Tempat : Kantor Kementerian Agama Kota Jakarta Selatan,
Jl Warung Buncit Raya No.2 Pejaten Barat Pasar Minggu
Jakarta Selatan
1. Apakah bapak pernah mendapatkan pengaduan tentang dugaan
pelanggaran pengelolaan zakat di wilayah tugas bapak?
- Tidak pernah
2. Bagaimana instansi bapak mengawasi pengelolaan zakat di wilayah kerja
bapak?
- Sebenarnya fungsi kami tidak dalam hal tersebut, karena terkait zakat
yang kami lakukan hanyalah pengumpulan di kalangan internal
pegawai atau instansi di bawah naungan Kementerian Agama.
3. Apa saja program dalam pengelolaan zakat yang pernah instansi bapak
lakukan?
- Program yang kami lakukan berbasis anggaran, sehingga sudah pasti
tidak bisa menjangkau seluruh lapisan masyarakat, atau semua masjid
yang ada di Jakarta Selatan. Biasanya ada perwakilan masjid kecamatan
yang menjadi peserta. Secara spesifik, kami tidak mengurusi
pengelolaan zakat di masjid-masjid, karena itu bukan wilayah tugas
kami, tetapi di fungsi pembinaan atau bimbingan masyarakat Islam
kami melakukannya seperti pelayanan sertifikasi arah kiblat, pelayanan
ibadah haji, dan konsultasi masalah keagamaan lainnya termasuk zakat.
meski demikian, kami juga punya satuan khusus yang lebih dekat dan
langsung menjangkau masyarakat yaitu KUA-KUA di setiap
Kecamatan serta tenaga-tenaga penyuluhnya.
4. Bagaimana pandangan bapak mengenai pengelolaan zakat di masjid?
- Mengingat telah adanya badan resmi pemerintah yang khusus
mengelola zakat yaitu BAZNAS kita satukan visi ke sana, berharap
masjid-masjid yang mengelola zakat bisa bergabung ke BAZNAS
dengan menjadi UPZ sehingga dapat terkoordiir dengan baik. Kami
tahu, mungkin bagi masjid tidak semudah itu untuk bergabung karena
praduga-praduga yang terkadang tidak benar, sehingga perlu adanya
pertemuan atau inisiasi yang diharapkan dari keseriusan BAZNAS
sebagai lembaga pemerintah yang berwenang terhadap hal itu.
153
F. Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kementerian Agama
Narasumber : Fuad Nasar; Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf
Waktu : Rabu, 24 Juli 2019 pukul 15.30-16.30 WIB
Tempat : Kantor Kementerian Agama, Jl MH. Thamrin No.6 Jakarta Pusat
1. Bagaimana pandangan bapak tentang pengelolaan zakat di masjid?
- Harus kita akui masjid telah lebih dulu melakukan pengelolaan zakat di
Indonesia, ini sebuah khazanah Islam dan tradisi nusantara dan tidak
bisa dipungkiri bahwa zakat infak sedekah merupakan andalan utama
masjid dalam kemakmurannya, meskipun dalam hal ini zakat bukan
menjadi sumber utama, tetapi kotak amal masjid yang menyumbang
pemasukan terbesar. Penertiban pengelola zakat tidak selalu
menggunakan pendekatan kekuasaan dan sanksi/hukuman, tetapi
pendekatan persuasif tentang pentingnya pelaporan data pengelolaan
zakat secara nasional baik penghimpunan dan pendistribusiannya.
2. Bagaimana pengawasan yang dilakukan oleh bapak terhadap pengelolaan
zakat yang ilegal/ yang tidak berizin?
- Pengawasan yang dilakukan Kemenag dalam pengelolaan zakat adalah
melakukan audit syariah terhadap laporan lembaga pengelola zakat agar
memastikan kepatuhan syariahnya. Selain itu mendorong semua
pengelola zakat memiliki legalitas sesuai dengan undang-undang dan
aturan hukum yang berlaku. Terkiat masjid, memang domain utamanya
tidak di Kemenag pusat, tapi di KUA kecamatan dan semestinya KUA
memang harus proaktif untuk melakukan pembinaan kepada
masyarakat khususnya terkait pengelolaan zakat yang mungkin selama
ini belum maksimal dilakukan seperti halnya pembinaan tentang
perkawinan.
3. Siapa yang memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi bagi
pengelola zakat yang tidak sesuai aturan? BAZNAS atau Kemenag?
- Kemenag dan BAZNAS sudah memiliki peran masing-masing yang
tidak saling tumpang tindih , Kemenag berperan sebagai pembina dan
pengawas pengelolaan zakat secara nasional, sedangkan BAZNAS
berperan sebagai koordinator pengelola zakat se-Indonesia juga
operator. Adapun terkait pemberian sanksi atau hukuman telah ada
mekanisme yang diatur, salah satunya adalah mensyaratkan adanya
pengaduan dari pihak tertentu untuk kemudian bisa ditindaklanjuti
dalam tahap penyelidikan
154
4. Pengelolaan zakat di masjid apakah menjadi domain urusan yang bapak
tangani?
- Kami di Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf tidak sampai
mengurusi masjid-masjid di lapangan, kami lebih konsen pada
pengawasan lembaga-lembaga zakat yang resmi yang pelaporan
kegiatannya dikumpulkan oleh BAZNAS. Para pengelola zakat yang
ada di masyarakat baik berupa masjid, musola, majelis ta‟lim dan
sebagainya harus berinteraksi dan berkoordinasi dengan KUA
Kecamatan. Hal ini tidak semata-mata bertujuan untuk menyesuaikan
aspek legalitas, tetapi agar KUA juga dapat menjalankan fungsi
pencatatan, pendataan, dan pembinaan terkait pengelolaan zakat yang
dilakukan di wilayah kecamatannya.
5. Apa fungsi dan tugas yang instansi bapak jalankan dalam pengelolaan
zakat di masjid?
- Secara khusus tidak ada, tetapi sebagai instansi yang juga mengurusi
soall zakat, kami tetap mendorong agar masyarakat yang mengelola
zakat bisa juga menyesuaikan kegiatannya dengan peraturan yang ada,
karena sesungguhnya peraturan tersebut dibuat untuk memaksimalkan
dan memperbaiki kualitas pengelolaan zakat.
155
G. Kasubdit Kemasjidan Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian
Agama.
Narasumber : Ahmad Zamroni; Kepala Seksi Kemakmuran Masjid
Waktu : Senin, 08 Juli 2019 pukul 13.30-14.15 WIB
Tempat : Kantor Kementerian Agama, Jl MH. Thamrin No.6 Jakarta Pusat
1. Bagaimana pandangan bapak tentang pengelolaan zakat di masjid?
- Fungsi masjid adalah sebagai tempat ibadah umat Islam baik ibadah
mahdhoh maupun ibadah sosial. Memang masjid sedari dulu menjadi
tempat pengumpulan zakat, tetapi di zaman sekarang harus juga
mengikuti perkembangan, terutama aspek hukum yang ada. Aktivitas
DKM mengelola zakat adalah kegiatan yang bagus dan positif, tetapi
sangat diharapkan untuk bisa mengikuti regulasi yang berlaku.
2. Apa saja fungsi dan peran yang dapat dijalankan masjid sesuai aturannya?
- Masjid memang multifungsi, segla kegiatan keagamaan bisa dilakukan
di masjid, termasuk pengelolaan zakat. setidaknya masjid-masjid harus
bisa berperan dan berfungsi dalam 3 aspek, yaitu pembinaan,
pelayanan, dan pemberdayaan jamaahnya
3. Apa tugas pokok dan fungsi Kasubdit Kemasjidan Dirjen Bimbingan
Masyarakat Islam Kementerian Agama?
- Seksi kemakmuran masjid Kemenag tugasnya meningkatkan value dan
kompetensi takmir masjid
4. Apa saja program yang dijalankan instansi yang Bapak pimpin ini?
- Program kami biasanya memberikan bantuan untuk pembangunan atau
renovasi sarana ibadah umat Islam melalui pengajuan dari masjid.
Terkait program yang langsung bersentuhan dengan masjid-masjid di
lapangan, kami kira KUA menjadi satuan unit Kemenag di level
masyarakat yang leih tepat, karena bisa langsung berkoordinasi dan
berkomunikasi dengan masjid-masjid melalui tenaga Penyuluh
5. Bagaimana pola komunikasi dan koordinasi lembaga yang Bapak pimpin
dengan masjid-masjid yang ada di lapangan?
- Pola komunikasi yang diterapkan antara seksi kemasjidan Kemenag
dan masjid-masjid di masyarakat adalah pola komunikasi berjenjang,
mulai dari pusat ke kanwil ke kemenag kota/kabupaten lalu ke KUA
baru ke masjid-masjid.
156
BIODATA PENULIS
Luthfi Mafatihu Rizqia lahir di Bandung, 12 November 1995
dari pasangan pengajar Drs. H. Masudin dan Dra. Hj. Ai
Muflihah. Tahun 1997 ia ikut pindah ke Kabupaten Tangerang
setelah ibunya mendapatkan penempatan tugas di MTsN 1
Kabupaten Tangerang ketika itu. Pendidikan sekolah dasar ia
tamatkan pada Tahun 2006 di SDN Sasak 01 Desa Sasak
Kecamatan Mauk Kabupaten Tangerang Banten.
Setelah lulus SD, ia melanjutkan pendidikan di Madrasah Tsanawiyah Al-
Nahdlah Islamic Boarding School, pesantren semi-modern di Bojongsari Depok
yang menggabungkan khazanah kitab kuning dengan ilmu umum dilengkapi
kemampuan berbahasa Arab dan Inggris aktif maupun pasif. Enam tahun ia habiskan
di pesantren NU tersebut dan lulus dari tingkat Madrasah Aliyah Program
Keagamaan di tahun 2013.
Selulusnya dari Al-Nahdlah, ia mengambil program diploma Ilmu
Administrasi dan Keuangan (al-‘Ulu>m al-Ida>riyyah al-Ma>liyyah) di Lembaga Ilmu
Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) Jakarta selama 2 tahun. Di tengah proses
perkuliahan di LIPIA, ia menerima beasiswa 1 Year Program kerjasama antara
Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta dan Universitas
Zaitunah Tunisia dengan pendanaan dari Kementrian Agama melalui Program
Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) untuk memperdalam bahasa Arab dan Sejarah
Kebudayaan Islam di Tunis selama tahun 2014.
Sekembalinya dari Tunisia, ia melanjutkan kuliah di LIPIA hingga lulus di
Tahun 2016 sekaligus mengambil S-1 di STAINU yang kini telah menjadi
Universitas Islam Nahdlatul Ulama (UNUSIA) Jakarta dengan program studi Ahwal
Syakhsiyyah (Hukum Keluarga Islam) dan lulus tahun 2017.
Beberapa bulan setelah kelulusannya dari UNUSIA, ia mendapatkan
beasiswa program Beasiswa Pembibitan Fresh Graduate Kementerian Agama 2017
untuk melanjutkan pendidikan tingkat magister di Sekolah Pascasarjana Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan konsentrasi Syariah.
Penulis bisa dihubungi melalui alamat surel: [email protected]