pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil dalam konsep keterpaduan ekologis

11
 Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dalam Konsep Keterpaduan Ekologis K onse p D as ar Adalah suatu kenyataan bahwa Indonesia merupakan suatu negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km 2 , yang merupakan terpanjang kedua di dunia setelah Kanada, dengan wilayah teritorial seluas 5,1 juta km 2  (63% dari total wilayah teritorial Indonesia) ditambah dengan Zona Ekonomi Ekskulsif seluas 2,7 juta km 2  (Dahuri et al, 1995; Dahuri, 1998). Sejumlah besar (lebih dari 10.000 buah) dari pulau-pulau tersebut adalah merupakan pulau-pulau berukuran kecil yang tersebar dari Sabang hingga ke Merauke. Walaupun hanya sebagian kecil saja yang memiliki penduduk, akan tetapi sulit untuk dikatakan bahwa terhadap pulau-pulau kecil yang tidak  berpenduduk dan terpencil itu bebas dari pengeksploitasian atau bebas dari dampak kegiatan manusia (Dutton, 1998). Pulau-pulau ini memiliki nilai penting dari sisi politik, sosial, ekonomi, budaya dan pertahanan keamanan Indonesia. Terdapat berbagai pendapat mengemuka tentang defenisi pulau, namun saat ini telah disepakati bahwa defenisi pulau yang digunakan adalah sebagaimana yang dituangkan dalam UNCLOS (1982, Bab VIII Pasal 121 Ayat 1): “  Pulau adalah massa daratan yang terbentuk secara lami, dikelilingi oleh air dan selalu berada/muncul di atas permukaan air pasang tinggi ” (IHO, 1993 diacu dalam Bengen dan Retraubun, 2006). Sampai saat ini masih belum ada batasan yang tetap tentang pengertian pulau kecil baik di tingkat nasional maupun internasional, akan tetapi terdapat suatu kesepakatan umum bahwa yang dimaksud dengan pulau kecil adalah pulau yang  berukuran kecil yang secara ekologis terpisah dari pulau induknya dan memiliki  batas yang pasti, terisolasi dari habitat lain, sehingga mempunyai sifat insular (Dahuri, 1998; Bengen, 2001). Pulau kecil merupakan habitat yang terisolasi dengan habitat lain sehingga keterisolasian ini akan menambah keanekaragaman oraganisme yang hidup di  pulau tersebut serta dapat juga membentuk kehidupan yang unik di pulau tersebut. Selain itu pulau kecil juga mempunyai lingkungan yang khusus dengan proporsi spesies endemik yang tinggi bila dibandingkan dengan pulau kontinen. Akibat ukurannya yang kecil maka tangkapan air ( catchment ) pada pulau ini yang relatif kecil sehingga air permukaan dan sedimen lebih cepat hilang kedalam air. Jika dilihat dari segi budaya maka masyarakat pulau kecil mempunyai budaya yang umumnya berbeda dengan masyarakat pulau kontinen dan daratan (Dahuri, 1998). Batasan lain yang bisa juga dipakai adalah pulau dengan ukuran 5000 km 2 (Ongkosongo, 1998 diacu dalam Falkland, 1993; 1995) atau dengan luas 2000 km 2 (Ongkosongo, 1998 diacu dalam UNESCO, 1991; Falkland, 1993). Untuk  pulau sangat kecil dipakai ukuran luas maksimum 1000 km 2 dengan lebar kurang dari 3 km (Hehanusa, 1995; Falkland, 1995; UNESCO, 1991 diacu dalam Bengen dan Retraubun, 2006). Pengelolaan wilayah pesisir termasuk di dalamnya pengelolaan pulau-pulau kecil, pada dasarnya diarahkan untuk mencapai dua tujuan, yaitu  p e rta m a   pendayagunaan potensi pesisir dan laut untuk meningkatkan kontribusi terhadap  pembangunan ekonomi nasional dan kesejahteraan pelaku pembangunan kelautan khususnya masyarakat pesisir; kedua  untuk tetap menjaga kelestarian sumberdaya

Upload: rumagia

Post on 09-Oct-2015

183 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Pulau kecil merupakan habitat yang terisolasi dengan habitat lain sehingga keterisolasian ini akan menambah keanekaragaman oraganisme yang hidup di pulau tersebut serta dapat juga membentuk kehidupan yang unik di pulau tersebut. Selain itu pulau kecil juga mempunyai lingkungan yang khusus dengan proporsi spesies endemik yang tinggi bila dibandingkan dengan pulau kontinen. Akibat ukurannya yang kecil maka tangkapan air (catchment) pada pulau ini yang relatif kecil sehingga air permukaan dan sedimen lebih cepat hilang kedalam air. Jika dilihat dari segi budaya maka masyarakat pulau kecil mempunyai budaya yang umumnya berbeda dengan masyarakat pulau kontinen dan daratan

TRANSCRIPT

  • Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

    dalam Konsep Keterpaduan Ekologis

    Konsep Dasar

    Adalah suatu kenyataan bahwa Indonesia merupakan suatu negara kepulauan

    terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang

    81.000 km2 , yang merupakan terpanjang kedua di dunia setelah Kanada, dengan

    wilayah teritorial seluas 5,1 juta km2 (63% dari total wilayah teritorial Indonesia)

    ditambah dengan Zona Ekonomi Ekskulsif seluas 2,7 juta km2 (Dahuri et al, 1995;

    Dahuri, 1998). Sejumlah besar (lebih dari 10.000 buah) dari pulau-pulau tersebut

    adalah merupakan pulau-pulau berukuran kecil yang tersebar dari Sabang hingga

    ke Merauke. Walaupun hanya sebagian kecil saja yang memiliki penduduk, akan

    tetapi sulit untuk dikatakan bahwa terhadap pulau-pulau kecil yang tidak

    berpenduduk dan terpencil itu bebas dari pengeksploitasian atau bebas dari

    dampak kegiatan manusia (Dutton, 1998). Pulau-pulau ini memiliki nilai penting

    dari sisi politik, sosial, ekonomi, budaya dan pertahanan keamanan Indonesia.

    Terdapat berbagai pendapat mengemuka tentang defenisi pulau, namun saat

    ini telah disepakati bahwa defenisi pulau yang digunakan adalah sebagaimana

    yang dituangkan dalam UNCLOS (1982, Bab VIII Pasal 121 Ayat 1): Pulau adalah massa daratan yang terbentuk secara lami, dikelilingi oleh air dan selalu

    berada/muncul di atas permukaan air pasang tinggi (IHO, 1993 diacu dalam Bengen dan Retraubun, 2006).

    Sampai saat ini masih belum ada batasan yang tetap tentang pengertian pulau

    kecil baik di tingkat nasional maupun internasional, akan tetapi terdapat suatu

    kesepakatan umum bahwa yang dimaksud dengan pulau kecil adalah pulau yang

    berukuran kecil yang secara ekologis terpisah dari pulau induknya dan memiliki

    batas yang pasti, terisolasi dari habitat lain, sehingga mempunyai sifat insular

    (Dahuri, 1998; Bengen, 2001).

    Pulau kecil merupakan habitat yang terisolasi dengan habitat lain sehingga

    keterisolasian ini akan menambah keanekaragaman oraganisme yang hidup di

    pulau tersebut serta dapat juga membentuk kehidupan yang unik di pulau tersebut.

    Selain itu pulau kecil juga mempunyai lingkungan yang khusus dengan proporsi

    spesies endemik yang tinggi bila dibandingkan dengan pulau kontinen. Akibat

    ukurannya yang kecil maka tangkapan air (catchment) pada pulau ini yang relatif

    kecil sehingga air permukaan dan sedimen lebih cepat hilang kedalam air. Jika

    dilihat dari segi budaya maka masyarakat pulau kecil mempunyai budaya yang

    umumnya berbeda dengan masyarakat pulau kontinen dan daratan (Dahuri, 1998).

    Batasan lain yang bisa juga dipakai adalah pulau dengan ukuran 5000 km2

    (Ongkosongo, 1998 diacu dalam Falkland, 1993; 1995) atau dengan luas 2000

    km2 (Ongkosongo, 1998 diacu dalam UNESCO, 1991; Falkland, 1993). Untuk

    pulau sangat kecil dipakai ukuran luas maksimum 1000 km2 dengan lebar kurang

    dari 3 km (Hehanusa, 1995; Falkland, 1995; UNESCO, 1991 diacu dalam Bengen

    dan Retraubun, 2006).

    Pengelolaan wilayah pesisir termasuk di dalamnya pengelolaan pulau-pulau

    kecil, pada dasarnya diarahkan untuk mencapai dua tujuan, yaitu pertama

    pendayagunaan potensi pesisir dan laut untuk meningkatkan kontribusi terhadap

    pembangunan ekonomi nasional dan kesejahteraan pelaku pembangunan kelautan

    khususnya masyarakat pesisir; kedua untuk tetap menjaga kelestarian sumberdaya

  • kelautan khususnya sumberdaya pulih dan kelestarian lingkungan. Hal ini sejalan

    dengan Visi dari pembangunan wilayah pesisir Indonesia, yaitu Wilayah Pesisir dan lautan beserta segenap sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang

    terdapat di dalamnya, merupakan sumber pembangunan ekonomi dan sosial

    budaya bangsa Indonesia yang harus dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk

    sebesar-besarnya kemakmuran rakyat menuju terwujudnya bangsa yang maju dan

    mandiri. Dalam pengembangannya, pulau-pulau kecil dapat dipandang sebagai suatu

    satuan perencanaan (planning unit) dan unit pengembangan (development unit),

    karena diantara pulau-pulau kecil di dalam suatu gugus pulau umumnya memiliki

    keterkaitan fungsional secara ekologis dan keterkaitan struktural secara sosio-

    ekonomis (ekonomi dan budaya), walaupun beberapa diantaranya memiliki sedikit

    perbedaan ciri fisik dan sosial ekonomi wilayah. Pengembangan setiap pulau

    kecil melalui pengembangan keunggulan potensinya masing-masing dapat

    meningkatkan interaksi ekonomi diantara pulau-pulau kecil, dan interaksi dengan

    pusat-pusat kegiatan ekonomi di pulau utama.

    Dengan keterisolasiannya, pulau-pulau kecil membentuk kehidupan

    masyarakat yang unik, ciri ekosistem yang unik dan keanekaragaman biota (flora

    dan fauna) yang lebih besar dibandingkan dengan kawasan lainnya. Manfaat yang

    dapat diperoleh dari pengembangan pulau-pulau kecil adalah kegiatan konservasi,

    pengembangan wilayah, pengamanan terhadap pencurian kekayaan laut oleh

    kapal-kapal bendera asing, dan pengamanan terhadap kegiatan ekonomi illegal

    (penyelundupan, ekstraksi hasil laut dengan cara-cara destruktif, dll).

    Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil dan Permasalahannya

    Dalam konteks pengelolaan, pulau-pulau kecil memiliki karakteristik yang

    berbeda dibandingkan dengan wilayah daratan, baik ditinjau dari aspek ekologis,

    fisik maupun secara sosial ekonomi dan budaya masyarakatnya. Karena

    perbedaan karakteristik tersebut menuntut pilihan-pilihan pendekatan pengelolaan

    harus disesuaikan dengan karakteristik pulau-pulau kecil. Secara ekologis, pulau-

    pulau kecil memiliki resiko lingkungan yang tinggi, keterbatasan daya dukung

    dan umumnya memiliki spesies endemik yang tinggi ; secara fisik, pulau-pulau

    kecil umum terpisah dari pulau besar, sangat rentan terhadap perubahan alam dan

    bisa dalam bentuk gugusan atau sendiri ; dan secara sosial ekonomi dan budaya,

    penduduk pulau-pulau kecil memiliki budaya dan sosial ekonomi yang khas,

    keterbatasan kualitas SDM, dan aksesibilitas yang rendah.

    Faktor kerentanan (vulnerability) merupakan salah satu faktor yang sangat

    berpengaruh terhadap pengelolaan pulau-pulau kecil. Barnet and Adger (2003),

    Pelling and Uitto (2001) diacu dalam Cicin-Sain (2005) mengemukakan bahwa

    faktor-faktor yang mendasari kerentanan (vulnerable) bagi pulau-pulau kecil

    terhadap bencana alam dan perubahan iklim global antara lain : ukurannya yang

    kecil, jarak dan keterpencilannya, kebanyakan memiliki kerentanan ekonomi,

    terutama bagi perekonomian dunia, mitigasi bencana yang lebih rendah dan

    faktor-faktor alam yang khusus (termasuk didalamnya keterbukaannya terhadap

    intensitas badai yang besar dan pasang yang sangat tinggi). Kebanyakan pulau-

    pulau kecil memiliki keterbatasan sumberdaya alam. Pemanfaatan lahan dilakukan

    secara intensif dan pengembangan infrastruktur dan aset-aset fisik lainnya

    dibangun sepanjang wilayah pesisir yang terbatas. Pemanfaatan sumberdaya,

  • pengelolaan wilayah daratan dan perairannya bersifat terbatas oleh masyarakat di

    pulau-pulau kecil.

    Pulau-pulau kecil sering memiliki keunikan dan keunggulan dari segi

    keaslian, keragaman dan kekhasan sumberdaya alam dan ekosistem, tetapi juga

    memiliki banyak permasalahan dari segi keterbatasan sumberdaya alam

    khususnya air bersih, kondisi sosial ekonomi penduduk, isolasi daerah, ancaman

    bencana alam, keterbatasan infrastruktur dan kelembagaan. Potensi pulau-pulau

    kecil sering kurang mendapat perhatian yang memadai dari pemerintah dan swasta

    dalam usaha meningkatkan pertumbuhan ekonomi rakyat karena pertimbangan-

    pertimbangan prespektif ekonomi yang kurang menguntungkan (Sriwidjoko,

    1988).

    Masalah-masalah yang ada pada pulau-pulau kecil sebagai akibat kondisi

    biogeofisik pulau-pulau tersebut adalah keberadaan penduduk maupun ekosistem

    alam pulau tersebut dan beberapa yang utama adalah (Dahuri, 1998; Sugandhy,

    1998; Yudhohusodo, 1998; Sriwidjoko, 1998; Solomon, dan Forbes, 1999):

    a. Secara ekologis pulau-pulau kecil amat rentan terhadap pemanasan global, angin topan dan gelombang tsunami. Erosi pesisir disebabkan kombinasi faktor-

    faktor tersebut terbukti sangat progresif dalam mengurangi garis pantai

    kepulauan kecil. Akibatnya adalah penurunan jumlah mahluk hidup, hewan-

    hewan maupun penduduk yang mendiami pulau tersebut.

    b. Pulau-pulau kecil diketahui memiliki sejumlah besar spesies-spesies endemik dan keanekaragaman hayati yang tipikal yang bernilai tinggi. Apabila terjadi

    perubahan lingkungan pada daerah tersebut, maka akan sangat mengancam

    keberadaan spesies-spesies tadi.

    c. Untuk pulau kecil yang letaknya jauh dari pusat pertumbuhan, pembangunannya tersendat akibat sulitnya transportasi dan SDM. Pulau ini

    tetap bisa dikembangkan akan tetapi diperlukan biaya yang lebih besar untuk

    pengembangannya

    d. Pulau-pulau kecil memiliki daerah tangkapan air yang sangat terbatas sehingga ketersediaan air tawar merupakan hal yang memprihatinkan. Untuk kegiatan

    pengembangan seperti pariwisata, industri dan listrik tenaga air, sebagai contoh,

    akan sangat terbatas

    e. Pengelolaan pulau-pulau kecil belum terintegrasi dengan pengelolaan daerah pesisir kecuali pulau-pulau terpencil di gugusan kepulauan di Propinsi Maluku.

    Hal lain yang sering menjadi masalaha adalah keterbatasan pemerintah daerah

    dan kurangnya dana untuk mengembangangkan pulau-pulau sekitar

    f. Sampai dengan saat ini belum ada klasifikasi menyangkut keadaan biofisik, sosial ekonomi terhadap pulau-pulau kecil yang dapat digunakan sebagai acuan

    dalam pengelolaan atas alokasi sumberdaya alam agar lebih efektif

    Berdasarkan defenisi atau pengertian mengenai pulau-pulau kecil maka dapat

    dikatakan bahwa pulau kecil sering dapat dikategorikan sebagai suatu wilayah

    pesisir dimana dalam suatu wilayah pesisir pulau-pulau kecil terdapat satu atau

    lebih sistem lingkungan atau ekosistem dan sumberdaya pesisir. Ekosistem

    tersebut dapat bersifat alamiah ataupun buatan. Ekosistem alami yang biasanya

    dijumpai di pulau-pulau kecil pesisir antara lain adalah terumbu karang, hutan

    mangrove, padang lamun, pantai berpasir, pantai berbatu, formasi pes-caprea,

    formasi baringtonia, estuaria, laguna dan delta. Sedangkan eksistem buatan antara

  • lain berupa kawasan pariwisata, kawasan budidaya (mariculture) dan kawasan

    pemukiman (Dahuri, 1998).

    Di Indonesia, padang lamun sering di jumpai berdekatan dengan ekosistem

    mangrove dan terumbu karang (Tomascik et al., 1997, Wibowo et al., 1996 diacu

    dalam Supriharyono, 2000) sehingga interaksi ketiga ekosistem ini sangat erat. Struktur komunitas dan sifat fisik ketiga ekosistem ini saling medukung, sehingga

    bila salah satu ekosistem terganggu, ekosistem yang lain akan terpengaruh.

    Bentuk interkasi itu bisa berupa interkasi secara fisik, bahan organik terlarut,

    bahan organik partikel, migrasi fauna dan dampak manusia seperti yang

    diperlihatkan pada Gambar 1 (Ogden dan Gladfelter, 1983 diacu dalam Bengen,

    2001; Kaswadji, 2001).

    Gambar 1. Tipe interkasi antara ekosistem padang lamun, terumbu karang dan

    hutan mangrove. (Sumber: Ogden dan Gladfelter, 1983 diacu dalam Bengen, 2001)

    Perhatian terhadap permasalahan pulau-pulau kecil saat ini sudah mulai lebih

    baik jika dibandingkan dengan waktu-waktu yang lampau. Dalam International

    Confrence on Coastal Zone Management 1993 (World Coast Confrence, 1993) di

    Noorwijk, Belanda dan Global Confrence on the Sustainable development of

    Small Island Developing State 1994 di Bahama, disebutkan sekali lagi bahwa

    pengelolaan kawasan pesisir dan lautan secara terpadu untuk pembangunan

    berkelanjutan suatu negara perlu segera direalisasikan secara sungguh-sungguh

    (Sugandhy, 1998). Indonesia juga telah mulai memperhatikan masalah ini dengan

    menyelenggarakan berbagai penelitian seperti Tim Peneliti Ekspedisi Pulau Moyo

    (1993), Ekspedisi Pulau Rinca (1994), Potensi Pengembangan Pulau Biak (1996)

    dan berbagai pertemuan lainnya (Ongkosongo, 1998). Pada tahun 1996, sebagai

    contoh, UNESCO memperkenalkan program berjudul Environmental and

    Development in Coastal Region and in Small Island (CSI) dengan tujuan guna

    mengembangkan berbagai pendekatan terpadu untuk pemecahan masalah-masalah

    di wilayah pesisir (Ongkosongo, 1998 diacu dalam Anonimus, 1997).

    Fisik

    Bahan organik terlarut

    Bahan organik partikel

    Migrasi fauna

    Dampak manusia

    Ekosistem

    Terumbu

    Karang

    Ekosistem

    Padang

    Lamun

    Ekosistem

    Hutan

    Mangrove

  • Melihat akan segala potensi, permasalahan dan kendala yang ada pada pulau-

    pulau kecil bukan berarti bahwa pulau-pulau kecil tersebut tidak dapat dibangun

    atau dikembangkan sama sekali, akan tetapi pola pembangunannya harus

    mengikuti kaidah-kaidah ekologis khususnya adalah bahwa pembangunan tersebut

    secara keseluruhan tidak boleh melebihi daya dukung dari pulau-pulau tersebut

    sehingga dampak negatif (fisik dan non-fisik) dari kegiatan pembangunan harus

    ditekan seminimal mungkin untuk tidak melebihi daya dukung pulau tersebut.

    Disamping itu juga pembangunan tersebut harus disesuaikan dengan potensi

    sumberdaya yang dimiliki pulau tersebut. Untuk itu sebelum suatu kegiatan

    dilakukan terhadap suatu pulau kecil tertentu maka terhadap pulau tersebut perlu

    dilakukan suatu studi yang komprihensif menyangkut pulau tersebut menyangkut

    ekosistem dan sumberdaya yang terkandung didalamnya.

    Gamber 2. memperlihatkan pola penggunaan sumberdaya yang tidak

    berkelanjutan (A) dan penggunaan yang berkelanjutan (B) yang bisa terjadi pada

    ekosistem manapun termasuk pulau-pulau kecil. Pada pola (A) tidak dijumpai

    komponen pemantauan dan pengkajian ulang serta evaluasi seperti yang

    ditunjukan pada pola (B).

    Gambar 2. Dua pendekatan dalam penggunaan sumberdaya pesisir (Sumber: Dutton dan Hotta, 1995)

    Secara spasial dan ekologis, wilayah pesisir memiliki keterkaitan antara

    lahan atas (daratan) dan laut. Hal ini disebabkan karena wilayah pesisir

    merupakan daerah pertemauan antara daratan dan laut. Dengan keterkaitan

    tersebut, naka pengelolaan kawasan di pesisir, laut dan pulau-pulau kecil tidak

    terlepas dari pengelolaan lingkungan yang dilakukan di kedua kawasan tersebut.

    Berbagai dampak lingkungan yang terjadi pada kawasan pesisir merupakan akibat

    dari dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan pembangunan yang dilakukan di

    lahan atas, seperti pertanian, perkebunan, kehutanan, industri, pemukiman dan

    sebagainya. Demikian pula dengan kegiatan yang dilakukan laut lepas, seperti

    kegiatan pengeboran minyak lepas pantai dan perhubungan laut. Oleh karena itu,

    pengelolaan wilayah pesisir harus diintegrasaikan dengan wilayah daratan dan laut

    Pengakuan akan kebutuhan

    untuk pengelolaan yang

    berkelanjutan

    Kembangkan/memperbaiki

    sistem pengelolaan

    Evaluasi SD/

    penggunaan

    Monitor dan

    Review

    Pelaksanaan

    sistem

    B

    Eksploitasi

    Panen yang

    berlebihan

    Penurunan

    Penemuan SD

    A

    Matinya

    sistem

  • serta Daerah Aliran Sungai (DAS) menjadi satu kesatuan dan keterpaduan

    pengelolaan. Keterkaitan anatar ekosistem yang ada di wilayah pesisir, laut dan

    pulau-pulau kecil harus selalu diperhatikan (Bengen, 2000).

    Pengelolaan Terpadu Pulau-Pulau Kecil Berbasis Ekosistem

    Secara umum ada tiga langkah utama dalam pengelolaan suatu wilayah

    secara terpadu guna pembagunan berkelanjutan yaitu (i) perencanaan; (ii)

    pelaksanaan dan (iii) pemantauan dan evaluasi (Dahuri et al 1995; Dutton dan

    Hotta, 1995; Cicin-Sain dan Knecht, 1998). Ketiga tahapan utama tersebut

    kemudian dipecahkan kedalam beberapa tahapan lain seperti yang diperlihatkan

    pada Gambar 3, tahapan mana bisa juga diterapkan dalam perencanaan

    pemanfaatan pulau-pulau kecil.

    Perencanaan dimulai dengan pengidentifisian masalah utama menyangkut

    pulau kecil tersebut yang selanjutnya diikuti dengan pendefenisian permasalahan

    ditambah masukan dari aspirasi lokal (masyarakat) dan nasional dan informasi

    menyangkut potensi sumberdaya dan ekosistem pulau tersebut maka disusunlah

    tujuan dan sasaran dengan memperhatikan peluang dan kendala yang ada. Tahap

    selanjutnya adalah memformulasikan rencana kegiatan yang kemudian diikuti

    dengan pelaksanaan rencana. Pada tahap pelaksanaan ini diikuti dengan tindakan

    pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan rencana tersebut. Informasi dari

    pemantauan dan evaluasi dipakai sebagai umpan balik untuk melakukan formulasi

    ulang apabila dalam pelaksanaan rencana ada yang tidak berjalan sesuai dengan

    apa yang diharapkan untuk kemudian diformulasikan kembali. Dengan proses-

    proses ini diharapkan pembangunan berkelanjutan pada ekosistem pulau-pulau

    kecil dapat dicapai.

    Pulau-pulau kecil dengan wilayah laut yang luas, merupakan himpunan

    integral dari komponen hayati dan nir-hayati yang mutlak dibutuhkan oleh

    manusia untuk meningkatkan mutu kehidupan. Komponen hayati dan non-hayati

    secara fungsional berhubungan satu sama lain dan saling berinteraksi membentuk

    suatu sistem. Apabila terjadi perubahan pada salah satu dari kedua komponen

    tersebut, maka akan dapat mempengaruhi keseluruhan sistem yang ada baik dalam

    kesatuan struktur fungsional maupun dalam keseimbangan. Kelangsungan fungsi

    kawasan pulau-pulau kecil sangat menentukan kelestarian sumberdaya hayati

    sebagai komponen utama dalam ekosistem pulau-pulau kecil (Bengen, 2002).

    Oleh karena itu pengelolaan pulau-pulau kecil baik langsung maupun tidak

    langsung harus memperhatikan keterkaitan ekologis antar ekosistem di pulau-

    pulau kecil.

  • Gambar 3. Proses perencanaan pembangunan berkelanjutan wilayah pesisir

    pulau-pulau kecil (Sumber: Modifikasi dari Dahuri et al 1995)

    Salah satu bentuk keterkaitan antara ekosistem darat dan laut pulau-pulau

    kecil dapat dilihat dari pergerakan air sungai, aliran air limpasan (run-off), aliran

    air tanah (ground water) dengan berbagai materi yang terkandung di dalamnya

    (seperti nutrien, sedimen dan bahan pencemar) yang akhirnya bermuara di

    perairan pesisir pulau-pulau kecil. Pola sedimentasi dan abrasi juga ditentukan

    pergerakan massa air baik dari daratan maupun laut. Di samping itu pergerakan

    massa air juga berperan dalam perpindahan biota perairan (misalnya plankton,

    ikan, dan udang) bahan pencemar dari satu lokasi ke lokasi lainnya (Gambar 4).

    ISU DAN

    PERMASALAHAN

    PENDEFENISIAN

    MASALAH

    ASPIRASI

    LOKAL/NASIONAL

    POTENSI

    SUMBERDAYA

    EKOSISTEM

    PELUANG

    KENDALA

    TUJUAN DAN

    SASARAN

    FORMULASI

    RENCANA MEKANISME

    UMPAN BALIK

    PELAKSANAAN

    RENCANA

    PEMANTAUAN DAN

    EVALUASI

    PEMBANGUNAN

    PULAU KECIL

    BERKELANJUTAN

  • Gambar 4. Ilustrasi keterkaitan ekosistem daratan dan laut pulau kecil. (Sumber : Bengen dan Retraubun, 2006)

    Kesesuaian unit ruang bagi pemanfaatan ekosistem pulau-pulau kecil pada

    dasranya mensyaratkan agar setiap kegiatan pemanfaatanditempatkan pada zona

    yang secara ekologis (biofisik-kimiawi)sesuai dengan kegiatan pemanfaatan

    dimaksud. Untuk ekosistem pesisir pulau-pulau kecil yang menerima dampak

    negatif (negative externalities) berupa bahan pencemar, sedimen, atau perubahan

    regim hidrologi, naik melalui saluran sungai, limpasan air permukaan (run off),

    atau aliran air tanah (ground water), hendaknya dampak yang diterima ditekan

    semaksimal mungkin, sehingga ekosistem pesisir pulau-pulau kecil masih dapat

    menanggung segenak dampak negatif tersebut. Contohnya, jika suatu ekosistem

    pesisir sudah diperuntukan bagi kegiatan pariwisata, marikultur, atau kawasan

    konservasi, maka dampak negatif (pencemaran, sedimentasi, atau perubahan

    regim hidrologi) yang diakibatkan oleh kegiatan pemanfaatan daratan hendaknya

    diminimalkan atau kalau mungkin ditiadakan (Benegn dan Retraubun, 2006).

    Lebih jauh juga oleh Bengen dan Retraubun (2006) dinyatakan bahwa,

    secara teoritis analisis kesesuaian lingkungan mencakup aspek ekologis, yang

    didekati dengan manganalisis :

    1. Potensi Maksimum Sumberdaya Berkelanjutan. Berdasarkan analisis ilmiah dan teoritis dihitung potensi atau kapasitas

    maksimum sumberdaya untuk menghasilkan barang dan jasa (goods and

    services) dalam jangka waktu tertentu.

    2. Kapasitas Daya Dukung (Carrying Capacity) Daya dukung didefeniskan sebagai tingkat pemanfaatan sumberdaya alam atau

    ekosistem secara berkesinambungan tanpa menimbulkan kerusakan.

    3. Kapasitas Penyerapan Limbah (Assimilative Capacity) Kapasitas penyerap an limbah adalah kemampuan sumberdaya alam dapat

    pulih (misalnya air, udara, tanah) untuk menyerap limbah aktivitas manusia.

    Kapasitas ini bervariasi seperti cuaca, temperatur dan interevensi manusia.

  • Dikarenakan karakterisitik pulau-pulau kecil yang unik dan pada umumnya

    rentan dan peka terhadap berbagai macam tekanan manusia (anthropogenic)

    maupun tekanan alam, maka dalam pemanfaatannya harus lebih hati-hati. Agar

    penggunaannya dapat berkelanjutan maka secara garis besar eksosietm pulau-

    pulau kecil itu harus bisa dipilah menjadi tiga mintakat yaitu 1) mintakat

    preservasi; 2) mintakat konservasi dan 3) mintakat pemanfaatan. Untuk itu perlu

    dilakukan penataan ruang terhadap ekosistem pulau-pulau kecil tersebut. Mintakat

    1 dan 2 menurut UU N0. 24/1992 tentang penataan ruang disebut sebagai kawasan

    lindung sedangkan mintakat 3 sebagai kawasan budidaya (Dahuri et al, 1995).

    Mintakat preservasi adalah suatu daerah yang memiliki ekosistim unik, biota

    endemik, atau proses-proses penunjang kehidupan seperti daerah pemijahan,

    daerah pembesaran dan alur migrasi biota perairan. Pada mintakat ini kegiatan

    yang diperbolehkan hanyalah pendidikan dan penelitian ilmiah, tidak

    diperkenangkan adanya kegiatan pembangunan. Mintakat konservasi adalah

    daerah yang diperuntukan bagi kegiatan pembangunan (pemanfaatan) secara

    terbatas dan terkendali misalnya kawasan hutan mangrove atau terumbu karang

    untuk kegiatan wisata alam (ecotourism), sementara itu mintakat pemanfaatan

    diperuntukan bagi kegiatan pembangunan yang lebih intensif seperti industri,

    tambak, pemukiman, pelabuhan dan sebagainya.

    Melihat akan penjelasan menyangkut pembagian zone-zona tersebut dan

    dikaitkan dengan karakterisitik biofisik pulau-pulau kecil maka dapat dikatakan

    bahwa pemanfaatan pulau-pulau kecil harus dilakukan dengan cermat. Untuk itu

    sebelum menempatkan kegiatan pembangunan yang secara ekologis sesuai untuk

    pulau-pulau kecil maka perlu diidentifikasikan terlebih dulu kelayakan biofisik

    pulau tersebut sehingga dapat ditentukan kesesuaian penggunaan setiap lokasi dari

    pulau kecil tersebut. Dengan demikian kita dapat membuat peta tata ruang tata

    guna lahan untuk wilayah pulau-pulau kecil.

    Selanjutnya setelah kita berhasil memetakan setiap kegiatan pembangunan

    yang secara ekologis sesuai dengan lokasi tersebut maka hal berikut yang harus

    kita buat adalah menentukan laju optimal setiap kegiatan pembangunan (sosial,

    ekonomi dan ekologis) yang menguntungkan dan ramah lingkungan yaitu suatu

    kegiatan pembangunan yang tidak melebihi daya dukung dari wilayah tersebut

    dan daya pulih (recovery) atau daya lenting (resilience) dari sumberdaya yang

    dimanfaatkan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat lokal dan nasional

    (Dahuri et al , 1995; Dahuri, 1998; Ongkosongo, 1998). Proses tersebut diatas

    secara grafis diperlihatkan dalam Gambar 5 yang sebenarnya merupakan pecahan

    dari Gambar 3 khususnya pada tahap formulasi rencana dan tahapan sesudahnya.

    Perlu diingat bahwa untuk memanfaatkan ekosistem pulau-pulau kecil serta

    sumberdaya alam yang terkandung didalamnya, maka keterlibatak semua pihak

    yang memiliki ketergantungan terhadap ekosistem ini perlu diperhatikan.

    Masyarakat kecil terutama yang harus mendapat perhatian dan keterlibatan

    mereka serta semua stakeholder yang lain sudah harus dimulai dari tahap

    perencanaan. Dalam gambar ini masyarakat sudah harus dilibatkan paling tidak

    pada tahapan penentuan kelayakan biogeofisik.

  • Gambar 5. Proses formulasi perencanaan dan pemanfaatan ekosistem pulau-pulau

    kecil secara berkelanjutan

    Pustaka

    Bengen, D.G. dan Retraubun, A.S.W., 2006. Menguak Realitas dan Urgensi

    Pengelolaan Berbasis Eko-Sosio Sistem Pulau-Pulau Kecil. Pusat

    Pembelajaran dan Pengembangan psisir dan Laut (P4L)

    Bengen, D.G., 2004. Sinopsis: Ekosistem dan Sumberdaya Alam Peisisr dan

    Laut Serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya

    Pesisir dan lautan. Isntitut Pertanian Bogor. Bogor.

    Bengen, D.G., 2000. Penentuan dan Pengelolaan Kawasan Lindung di Pesisir,

    Laut dan Pulau-Pulau Kecil. Makalah, dalam Prosiding Temu Pakar

    Penyusunan Konsep Tata Ruang Pesisir, 10 Oktober 2000. Direktorat

    Jenderal Urusan Pesisir, Pantai dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen

    Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

    Dahuri, M., J. Rais, S.P. Ginting, dan M.J. Sitepu. 2004. Pengelolaan Sumber

    Daya Wilayah Pesisir Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita.

    Jakarta, Indonesia.

    Darwanto, H., 2000. Mekanisme Pengelolaan Penataan Ruang Wilayah

    Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil, Serta Hubungan Dengan

    RTRWN, RTRWP, RTRW Kabupaten/Kota. Makalah disampaikan

    pada Temu Pakar Penyusunan Konsep Tata Ruang Pesisir.Direktorat

    Jenderal Pesisir, Pantai, dan Pulau-Pulau KecilDepartemen Eksplorasi

    Laut dan Perikanan. Jakarta, Indonesia. 10 Oktober.

    Persyaratan biogeofisik

    kegiatan pembangunan

    Karakteristik biogeofisik

    wilayah (p.p. kecil)

    Kelayakan

    biogeofisik

    Tata ruang

    wilayah pulau-pulau kecil

    Daya dukung/ daya

    tampung

    Daya pulih/ daya

    lenting

    Penggunaan sumberdaya pulau-

    pulau kecil secara berkelanjutan

    Aspirasi masyarakat

    lokal/nasional

    Kondisi awal

    Pulau-Pulau Kecil

  • Departemen Kelautan dan Perikanan., 2001. Pedoman Umum Pengelolaan

    Pulau-Pulau Kecil yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat.

    Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

    Djais, F., A. Zawawi, S. Purnomo, Y. I. Pattinaja, P. Prahoro, M. Huda, dan H.

    Koeshandoko, 2003. Modul Sosialisasi Tata Ruang laut Pesisir dan

    Pulau-Pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

    Komite Nasional Pengelolaan Ekosistem Lahan Basah., 2004. Strategi Nasioal

    dan Rencana Aksi Pengelolaan Lahan Basah Indonesia.

    Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta.

    Retraubun, A.S.W., Dietriech G. B., dan Tahir, A., 2002. Program Perbaikan

    Ekosistem Pulau-Pulau Kecil Melalui Pelibatan Masyarakat di

    Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Prosiding Konferensi Nasional III

    2002. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia. Jakarta.

    Scones,. J. B., 1993. Global Equaty and Environmental Crisis: An Argument

    for Reducing Working Hours in The north. World Development

    19, 1: 73-84.

    Widiarto, 2000. Perencanaan Pesisir, Pulau-Pulau Kecil dan Lautan Dalam

    Kesatuan Tata Ruang Regional. Makalah, dalam Prosiding Temu

    Pakar Penyusunan Konsep Tata Ruang Pesisir, 10 Oktober 2000.

    Direktorat Jenderal Urusan Pesisir, Pantai dan Pulau-Pulau Kecil.

    Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

    UNESCO, 1991. Hydrology and Water Resources of Small Island: A Practical

    Guide. Studies and Report on Hydrology No. 49. Prepared by A.

    Fallkland (ed) and E. Custodio with contribution from A. Diaz Arenas

    and L. Simler. Paris, France. 435pp.