pengelolaan keanekaragaman hayati di hutan alam produksi

16
Pengelolaan Keanekaragaman Hayati di Hutan Alam Produksi Oleh: Ir. Akhmad A. PENDAHULUAN Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1990, konservasi sumberdaya alam hayati, diberi batasan dengan pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Konservasi sumberdaya alam hayati dilakukan melalui tiga kegiatan, yaitu: (1) perlindungan sistem penyangga kehidupan; (2) pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; dan (3) pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Dalam konteks ini, ko nservasi keanekaragaman hayati (biodiversity) merupakan bagian tak terpisahkan dari pengertian konservasi sumberdaya alam hayati. Selain itu, dengan ratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hay ati (Biodiversity Convention) oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang- undang Nomor 5 Tahun 1994, konservasi keanekaragaman hayati telah menjadi komitmen nasio nal yang membutuhkan dukungan seluruh lapisan masyarakat. Luas hutan hujan tropika di dunia hanya meliputi 7 % dari luas permukaan bumi, tetapi mengandung lebih dari 50 % total jenis yan g ada di seluruh dunia. Kenyataan ini menunjukkan bahwa hutan hujan tropika merupakan salah satu pusat keanekaraga man hayati terpenting di dunia. Laju kerusakan hutan hujan tropika yang relatif cepat (bervariasi menurut negara) telah menyebabkan tipe hutan ini menjadi pusat perhatian dunia internasional. Meskipun luas Indonesia hanya 1.3 % dari luas bumi, tetapi memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, meliputi : 10 % dari total jenis tumbuhan berbunga, 12 % dari total jenis mamalia, 16 % d ari total jenis reptilia, 17 % dari total jenis burung dan 25 % dari total jenis ikan di seluruh dunia. Hal ini menyebabkan Indonesia menjadi pusat perhatian dunia internasional dalam hal keanekar agaman hayatinya.Indonesia memiliki luas hutan hujan tropika yang terluas di Asia tropis. Pada saat ini, luas kawasan hutan Indonesia adalah 144 juta hektar, 64.4 juta hektar di antaranya berstatus hutan produksi (tetap dan terbatas). Menurut laporan resmi (Ministry of Forestry GO I and FAO, 1990; 1991), dari seluruh kawasan hutan ini, 108.6 juta ha di antaranya masih berhut an dan meliputi 7 tipe utama hutan dengan variasi hingga 18 tipe hutan, termasuk hutan bambu, hutan nipah, hutan sagu danhutan savana.Eksploitasi hutan alam produksi secara besar- besaran yang telah berlangsung sejak tahap awal pembangunan jangka panjang pertama (1969) te lah memberikan kontribusi besar bagi pembangunan nasional melalui produk utamanya kayu dan hasil hutan ikutan (non-kayu) seperti rotan, damar, tengkawang, cendana dan gaharu. Tanpa mengabaikan dampak positif tersebut,eksploitasi hutan alam produksi juga disadari telah

Upload: anfieldadorer

Post on 08-Jun-2015

4.572 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pengelolaan Keanekaragaman Hayati Di Hutan Alam Produksi

Pengelolaan Keanekaragaman Hayati di Hutan Alam Produksi

Oleh: Ir. Akhmad

A. PENDAHULUAN Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1990, konservasi sumberdaya alam hayati, diberi batasan dengan pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Konservasi sumberdaya alam hayati dilakukan melalui tiga kegiatan, yaitu:

(1) perlindungan sistem penyangga kehidupan; (2) pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; dan (3) pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Dalam konteks ini, konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity) merupakan bagian tak terpisahkan dari pengertian konservasi sumberdaya alam hayati. Selain itu, dengan ratifikasi Konvensi Keanekaragaman Hayati (Biodiversity Convention) oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994, konservasi keanekaragaman hayati telah menjadi komitmen nasional yang membutuhkan dukungan seluruh lapisan masyarakat. Luas hutan hujan tropika di dunia hanya meliputi 7 % dari luas permukaan bumi, tetapi mengandung lebih dari 50 % total jenis yang ada di seluruh dunia. Kenyataan ini menunjukkan bahwa hutan hujan tropika merupakan salah satu pusat keanekaragaman hayati terpenting di dunia. Laju kerusakan hutan hujan tropika yang relatif cepat (bervariasi menurut negara) telah menyebabkan tipe hutan ini menjadi pusat perhatian dunia internasional. Meskipun luas Indonesia hanya 1.3 % dari luas bumi, tetapi memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, meliputi : 10 % dari total jenis tumbuhan berbunga, 12 % dari total jenis mamalia, 16 % dari total jenis reptilia, 17 % dari total jenis burung dan 25 % dari total jenis ikan di seluruh dunia. Hal ini menyebabkan Indonesia menjadi pusat perhatian dunia internasional dalam hal keanekaragaman hayatinya.Indonesia memiliki luas hutan hujan tropika yang terluas di Asia tropis. Pada saat ini, luas kawasan hutan Indonesia adalah 144 juta hektar, 64.4 juta hektar di antaranya berstatus hutan produksi (tetap dan terbatas). Menurut laporan resmi (Ministry of Forestry GOI and FAO, 1990; 1991), dari seluruh kawasan hutan ini, 108.6 juta ha di antaranya masih berhutan dan meliputi 7 tipe utama hutan dengan variasi hingga 18 tipe hutan, termasuk hutan bambu, hutan nipah, hutan sagu danhutan savana.Eksploitasi hutan alam produksi secara besar-besaran yang telah berlangsung sejak tahap awal pembangunan jangka panjang pertama (1969) telah memberikan kontribusi besar bagi pembangunan nasional melalui produk utamanya kayu dan hasil hutan ikutan (non-kayu) seperti rotan, damar, tengkawang, cendana dan gaharu. Tanpa mengabaikan dampak positif tersebut,eksploitasi hutan alam produksi juga disadari telah

Page 2: Pengelolaan Keanekaragaman Hayati Di Hutan Alam Produksi

memberikan dampak negatif bagi sumberdaya hutan sendiri. Berbagai jenis kayu komersial, bahkan di antaranya termasuk kayu mewah, kini telahmenjadi langka. Kayu eboni (Dyospyros ebenum dan D. celebica), kayu ulin (Eusyderoxylon zwageri), ramin (Gonystylus bancanus), dan beberapa jenis meranti (Shorea spp.) adalah contoh dari beberapa jenis komersial yang harganya tinggi, tetapi sudah sulit ditemukan di alam dan di pasaran. Selain itu, puluhan jenis kayu kurang dikenal (lesser-known species) saat ini mungkin telah menjadi langka atau punah sebelum diketahui secara pasti nilai/manfaat dan sifat-sifatnya. B. PENGELOLAAN KEANEKARAGAMAN HAYATI 1. Kerangka Kerja Pengelolaan Keanekaragaman Hayati Tujuan pengelolaan keanekaragaman hayati adalah untuk menemukan keseimbangan optimum antara konservasi keanekaragaman hayati dengan kehidupan manusia yang berkelanjutan. Untuk mendukung program pembangunan berkelanjutan, pemerintah, masyarakat, organisasi-organisasidi kalangan usaha, harus bekerja sama untuk mendapatkan cara guna mendukung proses-proses alam esensial yang sangat tergantung pada keanekaragaman hayati. Memelihara sebanyak mungkin keanekara-gaman hayati merupakan tujuan sosial dan merupakan komponen strategis utama dalam pembangunan berkelanjutan. Pengelolaan keanekaragaman hayati merupakan upaya manusia untuk merencanakan danmengimplementasikan pendekatan-pendekatan untuk: a. Melindungi dan memanfaatkan secara berkelanjutan keanekaragaman hayati dan sumberdaya biologis dan menjamin pembagian keuntungan yang diperoleh secara adil. b. Mengembangkan kapasitas sumberdaya manusia, finansial, infrastruktur dan kelembagaan untuk menangani tujuan di atas.c. Menegakkan tata kelembagaan yang diperlukan untuk mendorong kerjasama dan aksi sektor swasta dan masyarakat.Istilah "pengelolaan keanekaragaman hayati" yang digunakan disini bertujuan untuk mempertahankan keanekaragaman hayati beserta material, kondisi sosial, budaya, spiritual dan nilai-nilai ekosistem yang berkaitan. Dalam hal ini termasuk seluruh aktivitas pengelolaan, mulaidari pengawetan spesies, keanekaragaman genetik, dan pengelolaan habitat dan lansekap, melaluiperbaikan ekosistem dan pemanenan sumberdaya nabati, hewani dan mikrobial untuk kepentingan manusia, hingga upaya mendapatkan dan pemerataan manfaat/keuntungan. Keberhasilan untuk memadukan kepentingan pengelolaan keanekaragaman hayati, yakni: perlindungan, pemanfaatan berkelanjutan dan pembagian keuntungan, tergantung pada dua hal. Pertama, pembuat kebijakan dan manager membutuhkan pemahaman yang memadai terhadap konteks sosial, politik, ekonomi dan budaya dimana tujuan pengelolaan keanekaragaman hayatidiinginkan. Kedua, mereka perlu memilih alat dan metode yang menjanjikan upaya pemaduan duakepentingan di atas.

Page 3: Pengelolaan Keanekaragaman Hayati Di Hutan Alam Produksi

2. Konteks Pengelolaan Keanekaragaman Hayati Isi kebijakan dan rencana mengenai keanekaragaman hayati nasional akan mempengaruhi keputusan mengenai pemilihan metode dan alat yang paling sesuai dengan kondisi budaya, sejarah, sosial, ekonomi dan realitas ekologis negara tersebut.Keberhasilan program aksi keanekaragaman hayati tergantung pada kemampuan untuk mendorong berbagai pihak dan disiplin keilmuan untuk bekerja secara terpadu. Namun program aksi yang secara biologis maupun teknis baik, seringkali mengalami kegagalan karena mengabaikan peranan vital dan pengaruh tingkat kesadaran masyarakat, tidak menghargai pengetahuan lokal/tradisional,gagal dalam mengalamatkan isu kemiskinan dan pembangunan ekonomi, serta gagal dalam mempertimbangkan isu kebijakan kontemporer. Secara kelembagaan kegagalan utama terletak pada kurang dipertimbangkannya biaya informasi (information cost) dan biaya kontrak antara pihak-pihakterkait (contract cost).Pilihan metode dan alat pengelolaan keanekaragaman hayati tergantung pada kesadaran dan pemahaman masyarakat, sikap kepemimpinan swasta dan pemerintah. Bila kesadaran masyarakat rendah, aktivitas dan investasi awal sebaiknya difokuskan pada penyiapan dan distribusi informasi dan pembiayaan peragaan-peragaan yang berguna. Sebaliknya bila kesadaran masyarakat tinggi, program aksi sebaiknya ditujukan untuk penguatan pengelolaan kawasan konservasi, pengembangan program pengasaan keanekaragaman hayati atau praktek-praktek pengelolaan hutan lestari.Kearifan tradisional dan pengetahuan lokal dapat memberikan kepada pengelola keanekaragaman hayati pengalaman dan observasi jangka panjang, sedangkan teknik pertanian, kehutanan dan perikanan modern penting untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan serat kini dan masa datang, serta untuk pengembangan potensi pemanfaatan berkelanjutan dan mengawetkan pilihan baru seperti pengasaan (prospecting) farmasi. Pendekatan pengelolaan keanekaragaman hayati juga bervariasi menurut kondisi pembangunan ekonomi suatu negara. Negara yang sebagian besar rakyatnya miskin akan menghadapi prioritas yang berbeda dibandingkan negara kaya dalam hal pengunaan dana masyarakat. Persaingan lahan dan sumberdaya tinggi di negara berkembang sehingga banyak menyebabkan konflik sosial.Prioritas pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan harus mempertimbangkan prinsip pemerataan ekonomi dan partisipasi masyarakat. Efektivitas juga tergantung pada lingkungan kelembagaan dan kebijakan dimana aksi akandilakukan. Banyak pemerintah telah menandatangani kesepakatan dan konvensi international yangmembatasi dan berorientasi pada konservasi serta pemanfaatan sumberdaya alam, termasuk keanekaragaman hayati. Di tingkat nasional, hal tersebut dapat menguntungkan atau merugikanaksi konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati, bahkan secara sengaja atau tidak,merangsang konversi habitat penting atau memicu pemanfaatan tak berkelanjutan sumberdaya biologis serta meningkatkan pencemaran dan degradasi lingkungan.Melihat kompleksitas permasalahan tersebut, perencanaan dan implementasi pengelolaan keanekaragaman hayati seyogyanya dimulai dalam konteks yang mencerminkan kisaran konflik yang mungkin terjadi di tingkat internasional maupun nasional.

Page 4: Pengelolaan Keanekaragaman Hayati Di Hutan Alam Produksi

Tanggungjawab untuk menjabarkan kesepakatan internasional yang telah dilakukan membutuhkan kajian teliti guna mereformasi kebijakan nasional dan mengembangkan respon positif. Di lain pihak, kesepakatan internasionalyang menghindarkan beberapa negara untuk mengelola keanekaragaman hayatinya secara berkelanjutan juga memerlukan reformasi atau interpretasi yang lebih fleksibel. Misalnya:pemboikotan perdagangan gading telah memberikan dukungan bagi konservasi di negara-negara Afrika Timur namun menimbulkan masalah/tantangan bagi pertumbuhan ekonomi pedesaan di negara-negara Afrika Selatan.Pengelolaan keanekaragaman hayati membutuhkan keahlian interdisiplin. Pakar biologi, ekonomi, antropologi, teknik, kehutanan, pertanian, perikanan, peternakan, ilmu kelautan, hukum, sosiologi serta para praktisi sangat diperlukan dalam menangani sifat multidimensi pengelolaan keanekaragaman hayati. Pengelolaan keanekaragaman hayati juga bersifat multisektoral. Keanekaragaman genetik di dalam spesies panenan dan spesies liar telah memberikan sumbangan besar bagi produktivitas pertanian, akuakultur, perikanan, peternakan dan kehutanan. Penurunan keanekaragaman hayati dalam ekosistem diyakini akan menimbulkan dampak terhadap daya lenting, stabilitas dan produktivitas ekosistem tersebut. Pada saat yang bersamaan, keseluruhan sektor tersebut dan sektor lain yang tidak terkait langsung dengan keanekaragaman hayati (trasportasi, pabrik, pertambangan, kesehatan) memainkan peranan penting dan langsung dalam penurunan keanekaragaman hayati, baik pada level ekosistem, spesies, populasi maupun genetik.Keluwesan harus digunakan untuk menentukan kisaran geografi yang perlu dikelola. Masing-masing populasi, spesies, habitat dan ekosistem menempati kisaran geografisnya sendiri yang seringkali berbeda dengan batas-batas administratif wilayah dan sektoral, baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional, serta lahan milik perorangan, swasta atau komunal. Pemahaman terhadap konteks pengelolaan keanekaragaman hayati di atas menuntut kehati-hatian dalam memilih alat dan metode pengelolaan yang tepat. Hal sayang sam juga sangat diperlukan dalam menentukan prioritas pengelolaan yang menjamin keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya biologi serta kemerataan distribusi keuntungan bagi seluruh lapisan masyarakat. C. PENDEKATAN PENGELOLAAN KEANEKARAGAMAN HAYATI Kompleksitas permasalahan menuntut kerja interdisiplin dan intersektoral mulai tahap perencanaan, penetapan kebijakan, distribusi informasi, hingga implementasinya. Kesetiakawanan di tingkat global/nasional dan di tingkat lokal merupakan dasar penting dalam menetapkan pendekatan pengelolaan keanekaragaman hayati. Secara garis besar tiga pendekatan pengelolaan keanekaragaman hayati adalah sebagai berikut: 1. Perencanaan Strategis Proses perencanaan pengelolaan keanekaragaman hayati harus mampu mengidentifikasi kaitan vi

Page 5: Pengelolaan Keanekaragaman Hayati Di Hutan Alam Produksi

tal antara keanekaragaman hayati, kesehatan lingkungan dan manusia, sumberdaya alam yang menjadi basis kelestarian kehidupan, serta mampu memberikan pilihan baru bagi pembangunan ekonomi dan sosial. Tahapan dalam penyusunan perencanaan strategis pengelolaan keanekaragaman hayati adalah: a. Pengorganisasian: menetapkan kerangka kerja kelembagaan, merancang kepemimpinan, menciptakan pendekatan partisipatif, membentuk tim interdisiplin dan intersektoral, serta mengalokasi pendanaan. b. Penilaian: kumpulkan dan evaluasi informasi mengenai status dan kecenderungan sumberdaya keanekaragaman hayati dan sumberdaya biologis nasional, hukum, kebijakan, organisasi, program, dana, dan sumberdaya manusia yang tersedia. Kembangkan tujuan dan sasaran awal, identifikasi kesenjangan, lakukan upaya untuk menutup kesenjangan tersebut dan perkirakan secara kasar biaya dan manfaat serta kebutuhan yang terkait dengan program keanekaragaman hayati nasional. c. Pengembangan Strategi: Tetapkan sasaran dan tujuan operasional, lakukan analisis dan pilih tindakan khusus yang dapat menutupi kesenjangan yang diidentifikasi dalam proses penilaian; lakukan proses konsultasi pada pihak terkait (stakeholders) hingga tercapai konsensus pada target dan mekanisme yang dapat diterima; identifikasi kapasitas pihak-pihak terkait dan apa yang dapat dilakukannya; tuliskan pernyataan mengenai strategi tersebut, meliputi aksi dan investasi yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan sasaran yang disepakati; pada tingkat ini lakukan konsultasi intensif dengan perencana/sektor konservasidan pembangunan, termasuk melakukan dialog nasional dengan seluruh pihak yang tertarik. d. Pengembangan Rencana Aksi: Tetapkan organisasi (swasta atau LSM) yang akan bertanggungjawab dalam implementasi aktivitas spesifik yang telah ditetapkan dalam strategi, dimana, apa tujuannya dan dengan sumberdaya apa (SDM, kelembagaan, fasilitas dan dana). Tetapkan jangka waktu pelaksanaannya. e. Implementasi: Lakukan implementasi aktivitas tersebut. Pihak yang menanggung-jawab implementasi kegiatan disebut sebagai "pelaksana kegiatan keanekaragaman hayati" yang penetapannya telah disepakati. f. Pemantauan dan Evaluasi: Tetapkan kriteria dan indikator keberhasilan, tetapkan organisasi yang akan memantau implementasi kegiatan. Pemantauan harus diarahkan untuk mengetahui status dan kecenderungan keanekaragaman hayati (spesies, gen, habitat dan lansekap), implementasi peraturan perundang-undangan, implementasi aksi strategis khusus dan investasi, serta pengembangan kapasitas yang diperlukan (SDM, kelembagaan, fasilitas dan mekanisme pendanaan). g. Pelaporan: Tetapkan jenis laporan yang diperlukan, siapa yang bertanggungjawab dalam pelaporan, serta sepakati format, isi dan tata waktu pelaporan. Tipe-tipe laporan antara lain: laporan tahunan, kajian nasional, strategi nasional, program aksi, laporan lima tahunan dsb.

Page 6: Pengelolaan Keanekaragaman Hayati Di Hutan Alam Produksi

2. Program Pengelolaan BioregionalPerlindungan, pemahaman dan pemanfaatan lestari keanekaragaman hayati dan sumberdaya biologis yang efektif merupakan fungsi dari identifikasi tujuan dan aksi yang sesuai dengan watak geografis dan dinamika proses-proses biologis, sosial dan ekonomi yang mempengaruhi pencapaian tujuan tersebut. Pendekatan tersebut dikenal dengan pengelolaan bioregional atau pengelolaan ekosistem atau pengelolaan lansekap. Dengan cara inilah pengelola dapat memilikikeluwesan dan ragam pilihan yang mengakomodasikan aspirasi manusia, namun tetap menjamin perlindungan keanekaragaman genetik, spesies dan habitat/ekosistem yang kritis serta memelihara jasa ekosistem.Pendekatan pengelolaan bioregional atau pengelolaan ekosistem kini sedang diuji di berbagaibelahan bumi. Dalam banyak kasus, pendekatan ini dikembangkan di kawasan konservasi yang telah ada dan menata kelembagaan yang menghargai kerjasama sektor swasta dan masyarakat sepanjang lansekap target. Secara ideal, pengelolaan bioregional dicirikan oleh: a. Komponen ekologis yang terdiri dari kawasan-kawasan lindung yang saling dihubungkan dengan koridor-koridor alami atau semi alami. b. Komponen ekonomi yang mendukung pengelolaan berkelanjutan dan pemanfaatan sumberdaya alam lestari dalam matriks lansekap yang mewakili. c. Komponen sosial/budaya yang memfasilitasi partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan, serta memberikan peluang untuk mendapatkan beragam kebutuhan sosial/budaya. 3. Pengelolaan Adaptif Praktek pengelolaan adaptif dapat mengurangi ketidakpastian dan memperbaiki praktek pengelolaan sumberdaya sepanjang waktu. Pengelolaan adaptif merupakan teknik pengelolaan sistem biologi sambil mengurangi ketidakpastian fungsi sistem dan memberikan respon terhadap perubahan lingkungan sosial, biologi dan fisik. Unsur-unsur utama pengelolaan adaptif adalah: a. Intervensi pengelolaan dibuat dalam kerangka percobaan sehingga luaran intervensi tersebut dapat digunakan untuk mengurangi ketidakpastian sistem. b. Pemantauan yang memadai sebelum dan selama intervensi dilakukan akan memberikan catatan mengenai hasil intervensi tersebut, sehingga manager dapat belajar dari pengalaman. c. Berdasarkan pengalaman tersebut, baik ditinjau dari pandangan manager, masyarakat lokal dan pihak-pihak terkait, intervensi pengelolaan dapat disempurnakan.Keterbatasan pengetahuan mengenai keanekaragaman hayati menyebabkan pengelolaan adaptif menjadi penting. Mekanisme kelembagaan yang memungkinkan pertukaran informasi dan partisipasi dalam pengembilan keputusan perlu dikembangkan demi keberhasilannya.

Page 7: Pengelolaan Keanekaragaman Hayati Di Hutan Alam Produksi

D. METODE DAN ALAT PENGELOLAAN KEANEKARAGAMAN HAYATI Banyak metode dan alat yang tersedia dalam pengelolaan keanekaragaman hayati yang secara umum dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1. Konservasi Insitu, meliputi metode dan alat untuk melindungi spesies, variasi genetik dan habitat dalam ekosistem aslinya. Pendekatan insitu meliputi penetapan dan pengelolaan kawasan lindung seperti: cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam, hutan lindung, sempadan sungai, kawasan plasma nutfah dan kawasan bergambut. Dalam prakteknya, pendekatan insitu juga termasuk pengelolaan satwa liar dan strategi perlindungan sumberdaya di luar kawasan lindung. Di bidang kehutanan dan pertanian, pendekatan insitu juga digunakan untuk melindungi keanekaragaman genetik tanaman dihabitat aslinya serta penetapan spesies dilindungi tanpa menspesifikasikan habitatnya. 2. Konservasi Eksitu, meliputi metode dan alat untuk melindungi spesies tanaman, satwa liar dan organisme mikro serta varietas genetik di luar habitat/ekosistem aslinya. Kegiatan yang umum dilakukan antara lain penangkaran, penyimpanan atau pengklonan karena alasan: (1) habitat mengalami kerusakan akibat konversi; (2) materi tersebut dapat digunakan untuk penelitian, percobaan, pengembangan produk baru atau pendidikan lingkungan. Dalammetode tersebut termasuk: pembangunan kebun raya, koleksi mikologi, museum, bank biji, koleksi kultur jaringan dan kebun binatang. Mengingat bahwa organisme dikelola dalamlingkungan buatan, metode eksitu mengisolasi spesies dari proses-proses evolusi. Pada tingkat tertentu, masalah ini dapat diatasi dengan cara membangun rantai konservasi eksitu dengan insitu, seperti program rehabilitasi orang hutan (Pongo pygmaeus) dan Proyek Badak Sumatera (Dicerrorhinus sumatrensis). Sepanjang dimungkinkan pendekatan eksitu harus dipandang sebagai alternatif terakhir dalam konservasi keanekaragaman hayati, kecuali bila teknologi peliarannya dapat dikuasai. Kegagalan penangkaran Badak Sumatera di kebun binatang serta kegagalan dalam peliaran jalak bali (Leucopsar rotschildii) di Taman NasionalBali barat dan ular piton (Phyton reticulatus) di Pulau Panaitan, Ujung Kulon merupakan pelajaran berharga. (3). Restorasi dan Rehabilitasi, meliputi metode, baik insitu maupun eksitu, untuk membangun kembali spesies, varietas genetik, komunitas, populasi, habitat dan proses-proses ekologis. Restorasi ekologis biasanya melibatkan upaya rekonstruksi ekosistem alami atau semi alami di daerah-daerah yang mengalami degradasi, termasuk reintroduksi spesies asli, sedangkan rehabilitasi melibatkan upaya untuk memperbaiki proses-proses ekosistem, misalnya Daerah Aliran Sungai, tetapi tidak diikuti dengan pemulihan ekosistem dan keberadaan spesies asli. (4). Pengelolaan Lansekap Terpadu, meliputi alat dan strategi di bidang kehutanan, perikanan, pertanian, pengelolaan satwa liar dan pariwisata untuk menyatukan unsur perlindungan, pemanfaatan lestari serta kriteria pemerataan dalam tujuan dan praktek pengelolaan.Mengingat bahwa tataguna lahan tersebut mendominasi keseluruhan bentuk lansekap, baik pedalaman maupun wilayah pesisir, reinvestasi untuk pengelolaan keanekaragaman hayati memiliki peluang besar untuk dapat diperoleh.

Page 8: Pengelolaan Keanekaragaman Hayati Di Hutan Alam Produksi

(5). Formulasi Kebijakan dan Kelembagaan, meliputi metode yang membatasi penggunaan sumberdaya lahan melalui zonasi, pemberian insentif dan pajak untuk menekan praktek penggunaan lahan yang secara potensial dapat merusak; mengaturan kepemilikan lahan yang mendukung pengurusannya secara lestari; serta menetapkan kebijakan pengaturan kepentingan swasta dan masyarakat yang menguntungkan bagi konservasi keanekaragaman hayati. (6). Mekanisme Pasar, meliputi upaya untuk menghargai setiap produk yang proses produksinya akrab lingkungan dan menjamin kelestarian keanekaragaman hayati. Berkembangnya isu ekolabel dan sertifikasi pengelolaan hutan berkelanjutan merupakan alat yang saat ini sedang dikaji kemungkinan implementasinya. E. PENENTUAN PRIORITAS UNTUK KONSERVASI DAN PENDAYAGUNAAN YANG LESTARI1. Pemilihan Prioritas Berbasis Genetika; Jenis; Ekosistem; Geografi Di dalam penyusunan rencana srategis baik strategi nasional maupun rancang tindak diperlukan pemilahan alokasi sumber daya agar daya guna keanekaragaman hayati dapat dimanfaatkan secara maksimal dan berkelanjutan. Investasi di dalam konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati yang berkelanjutan hingga saat ini belum dilakukan secara sistematis, analitis dan transparan. Oleh karena itu perlu dikembangkan cara-cara atau teknik untuk penyusunan prioritas geografis untuk pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan. Pendekatan yang diambil di dalam penyusunan prioritas didasarkan atas perkiraan bahwa keperluan sumber daya untuk melestarikan keanekaragaman hayati jauh melebihi sumber daya yang tersedia. Penentuan spesies atau habitat yang utama di dalam mengalokasikan dana, sumber daya manusia serta lembaga yang ketersediaannya terbatas, memang sangat sulit namun tetap harus dilakukan. Keragaman dan kompleksitas serta luasnya jangkauan dalam hal nilai, perspektif, tujuan dan pandangan terhadap keanekaragaman hayati, tidak memungkinkan adanya metoda pemilihan prioritas yang sifatnya universal. Setiap susunan prioritas akan mencerminkan nilai, baik nilai ekonomi, pengetahuan, sosial maupun budaya yang dianggap paling penting untuk dilestarikan. Selain itu, penentuan prioritas pelestarian keanekaragaman hayati juga mempertimbangkan lokasi di mana tindakan pelestarian tersebut perlu dilakukan.Walaupun terdapat kompleksitas di dalam penilaian pentingnya keanekaragaman hayati, beberapa kriteria bisa digunakan di dalam penyusunan prioritas keanekaragaman hayati. Kriteria biologis yang dapat dikemukakan adalah, kekayaan (jumlah spesies atau ekosistem di dalam suatu area),kelangkaan, ancaman (tingkat kerusakan atau bahaya), keunikan (tingginya perbedaan suatu spesies dengan keluarganya yang paling dekat), keperwakilanan (bagaimana dekatnya suatu area mewakili ekosistem tertentu), dan fungsi (tingginya pengaruh suatu spesies atau ekosistemterhadap spesies atau ekosistem lain untuk bertahan). Kriteria lain yang dapat dikemukakan adalah kriteria sosial, kebijakan dan kelembagaan. Kriteria non-biologis yang paling umum adalah kegunaan. Kegunaan merupakan potensi suatu unsur keanekaragaman hayati untuk dimanfaatkan bagi kepentingan manusia. Kegunaan bisa diartikan secara se

Page 9: Pengelolaan Keanekaragaman Hayati Di Hutan Alam Produksi

mpit sebagai nilai ekonomi, namun secara luas dapat berarti mempunyai nilai pengetahuan, sosial, budaya, keagamaan dan sebagainya. Kelayakan merupakan kriteria yangcukup penting terutama di dalam pengalokasian pelestarian sumberdaya yang dapat ditentukan berdasarkan aspek politik, ekonomik, logistik maupun kelembagaan. Kelayakan bersama-sama dengan kriteria biologis dapat dipergunakan untuk menentukan lokasi di mana tindakan pelestarian akan dapat berhasil dilakukan.Metode penyusunan prioritas dapat didasarkan atas nilai-nilai genetis, jenis, ekosistem dan geografis. Variasi genetis tercermin sebagai keanekaragaman hayati yang bisa dilihat, terekspresikan dalam individu maupun populasi suatu jenis, perbedaan jenis serta tatanan taksonomi yang lebih tinggi dimana jenis tersebut menjadi anggotanya. Dengan kemajuan bioteknologi dan munculnya persepsi bahwa gen adalah bahan awal dari revolusi teknologi,penelitian pada keanekaragaman genetis semakin meningkat yang membangkitkan pertanyaan tentang siapa sebenarnya pemilik sumberdaya genetik dan siapa yang mendapat keuntungan dari pelestariannya. Pelestarian sumberdaya genetis secara tradisional dilakukan pada tanaman budidaya terutama beberapa tanaman pertanian yang penting. Upaya untuk membatasi resiko kerawanan genetis mendorong lembaga-lembaga pertanian melestarikan beranekaragam sumber gen yang terdapat pada jenis-jenis liar yang masih sekeluarga dengan tanaman budidaya. Dengan demikian, penentuan prioritas pelestarian berbasis genetis dipandang perlu untuk keadaan tertentu, terutamauntuk jenis bernilai ekonomi atau nilai lain yang tinggi tetapi secara genetis rawan terhadap kemunduran, dalam populasi kesil dan terisolir. Selain itu juga sesuai untuk populasi atau individu yang hanya dapat dilestarikan secara ex-situ.Pendekatan penyusunan prioritas berdasar jenis ditekankan pada analisis populasi dan distribusi geografisnya. Daerah penyebaran atau habitat mungkin dicerminkan didalam penentuan prioritas tetapi habitat tersebut dipilih bukan berdasarkan atas kelangkaan atau keunikannya. Prioritas berdasarkan jenis pada dasarnya menekankan nilai dari suatu jenis. Hal ini berbeda dengan prioritas berdasarkan ekosistem yang menekankan peran interaksi spesies dan proses ekologissebagai faktor yang penting di dalam pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati dan prioritas ekosistem tersebut dapat berperan sebagai habitat dari setinggi mungkin keanekaragaman pada tingkat gen dan jenis. Prioritas berdasarkan jenis umumnya menekankan pelestarian jenis yang langka atau terancam, atau suatu habitat yang mempunyai tingkat kekayaan jenis yang tinggi atau tingkat endemisme yang tinggi.Pendekatan penyusunan prioritas pelestarian keanekaragaman hayati berdasar ekosistem umumnya diupayakan untuk melindungi sebanyak mungkin jenis di dalam suatu daerah konservasi yang mewakili habitat alami suatu daerah. Pendekatan ini biasanya menerapkan berbagai kriteriaseperti kekayaan jenis, endemisme, kelimpahan, keunikan dan keperwakilanan serta pertimbanganpertimbangan fisik lingkungan, proses ekologis dan tingkat gangguan yang mencirikan suatu ekosistem.

Page 10: Pengelolaan Keanekaragaman Hayati Di Hutan Alam Produksi

2. Pemilihan Prioritas Berbasis Pendekatan Integratif Pada masa yang lalu, komponen keanekaragaman hayati cenderung di pecah-pecah menurut bidang-bidang biologi dan ditelaah secara terpisah misalnya gen, populasi, jenis, komunitas dan ekosistem. Alam sering dianggap sebagai hal yang terpisah dari kehidupan manusia, dan hal ini tercermin dalam konsep konservasinya. Sebagai contoh, jenis yang terancam, dilindungi di habitat alami aslinya, di daerah terlindung jauh dari campur tangan manusia. Sejak dekade terakhir ini, banyak pendapat dari kalangan ekologis yang mengemukakan bahwa keanekaragaman hayati hanya dapat difahami dengan mempelajari setiap tingkatan besertainteraksinya. Pada saat yang bersamaan kemajuan di bidang ekologi, palaeobiologi dan konservasi biologi mempertanyakan arti sesungguhnya dari ekosistem alami. Hal ini mendorong untuk mengkaji lebih jauh, dan ada yang menyatakan bahwa sasaran pengelolaan ekologi seharusnya adalah untuk memaksimalkan kapasitas manusia untuk beradaptasi pada kondisi ekologis yang terus berubah.Untuk mengakomodasikan sifat-sifat dinamis ekosistem, pendekatan-pendekatan integratif untuk mengidentifikasikan biodiversitas prioritas ditekankan pada peninjauan seluruh daerah, baik yang dilindungi maupun tidak, yang masih alami maupun yang sudah termodifikasi. Pendekatan ini berwawasan untuk meningkatkan sumbangan biodiversitas pada peningkatan kesejahteraan manusia, selain perlindungan daerah-daerah tertentu dari aktifitas manusia. Tujuan dari pendekatan ini bukan hanya untuk pelestarian biodiversitas saja tetapi memaksimalkan kapasitas kehidupan untuk beradaptasi kedada perubahan kondisi (misalnya perubahan iklim, perubahan permukaan laut, perubahan komposisi jenis, dsb). Seringkali, aspek sosial (keinginan memilikilingkungan yang dapat mendukung kesejahteraan masyarakat) merupakan kekuatan pendorong di belakang pendekatan terpadu di dalam identifikasi prioritas konservasi. Dalam istilah praktis, hal iniberarti menyusun prioritas pada kawasan yang didominasi oleh manusia yang meliputi duapertiga dari daratan bumi, dan termasuk pertimbangan konservasi keanekaragaman hayati di lingkungan perkotaan dan pedesaan.Keuntungan dari pendekatan terpadu adalah keterkaitan antara keanekaragaman hayati dengan sumberdaya alam lain beserta nilai kehidupan manusia yang tergantung padanya. Hal ini berarti bahwa prioritas yang terpilih mungkin mempunyai nilai non-biologis yang tinggi, yang dapatmemperkuat dukungan politis dalam kegiatan konservasi. Sebagai contoh, pemilihan prioritas konservasi daerah tangkapan air yang penting atau daerah wisata yang menarik (sebagai tambahan atas nilai keanekaragaman hayati) mungkin akan lebih dapat diterima secara sosial dan politis dari pada daerah yang hanya mempunyai nilai keanekaragaman hayati saja. Oleh karena itu, pendekatan terpadu mungkin dapat mengurangi kesulitan penentuan prioritas konservasi yang sering terjadi kalau prioritas yang hanya berdasarkan keanekaragaman hayati dipertimbangkan oleh penentu kebijaksanaan yang juga mempertimbangkan dampak sosial dan politik atas keputusan yang diambil.

Page 11: Pengelolaan Keanekaragaman Hayati Di Hutan Alam Produksi

F. KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI DI HUTAN ALAM PRODUKSI Dampak penting aktivitas manusia terhadap keanekaragaman hayati banyak melibatkan perubahan konektivitas (connectivity) fenomena biologis. Aktivitas manusia dapat mengurangi atau meningkatkan konektivitas biologis. Manusia telah menciptakan banyak penghalang buatan (artificial barrier) dan dalam kasus lain menghilangkan penghalang alamiah (natural barrier) bagi pemencaran organisme. Terciptanya penghalang buatan menyebabkan terbentuknya populasipopulasi yang terisolasi sehingga rawan terhadap kepunahan akibat berkurangnya akses terhadap sumberdaya, penyimpangan genetik, serta bencana alam dan demographic accident. Hilangnya penghalang alamiah menyebabkan organisme eksotik untuk menginvasi komunitas asli. Akhir dari proses ini adalah homogenisasi flora dan fauna (Noss, 1993).Secara teoritis, prinsip penyediaan habitat optimum bagi keanekaragaman hayati harus diadopsi berdasarkan pertimbangan "pergerakan biologis" yang terdapat terdapat dalam berbagai level organisasi biologi. Dalam biologi konservasi, tipe-tipe pergerakan yang terpenting adalah (Noss,1993): pergerakan organisme melintasi bentang alam serta pergerakan alel (gen) di dalam dan antar populasi organisme. Banyak binatang melakukan pergerakan harian dan musiman untuk mendapatkan kebutuhan hidupnya dan mereka tergantung pada "koridor" atau "stepping-stones" di habitat yang sesuai untuk mendapatkan kebutuhannya. Selain itu, dalam skala yang lebih luas, pergerakan organisme melalui pemencaran dan gene flow merupakan pertimbangan penting dalamkonservasi keanekaragaman hayati.Secara umum, strategi konservasi keanekaragaman hayati di areal hutan produksi adalah mengoptimumkan lebar dan variasi habitat alami dalam kesatuan landscape linkages, sehingga keseluruhan spektrum spesies asli dapat bergerak di antara habitat-habitat alamiah dalam lansekapregional. Koridor yang sempit atau koridor yang hanya meliputi satu tipe habitat tidak banyak bermanfaat. Koridor yang sempit bisa jadi keseluruhannya merupakan habitat tepi (edge habitat) yang tidak dapat dimanfaatkan oleh spesies interior atau menyebabkan tingginya laju pemangsaan spesies penting. Koridor yang ideal harus meliputi seluruh gradien topografi dan spektrum habitat mulai dari sungai hingga puncak bukit.Pada tahun 1992, ITTO telah menerbitkan "ITTO Guidelines for The Sustainable Management of Natural Tropical Forests dan Criteria for the Measurement of Sustainable Tropical Forest Management. Kedua dokumen ini telah dijadikan sebagai dasar dalam penyusunan kriteria dan indikator Pengelolaan Hutan Berkelanjutan (SFM) di hutan-hutan produksi alam tropika, termasuk Indonesia, yang akan menjadi dasar pemberian sertifikat SFM dalam eco-labeling scheme dalamperdagangan kayu di seluruh dunia. Dalam kedua dokumen dan dalam seluruh kriteria/indikator pengelolaan hutan berkelanjutan memasukan komponen keanekaragaman hayati sebagai indikator utama keberlajutan proses-proses ekologis di dalam hutan. Pada tahun yang sama IUCN/ITTO telah menerbitkan buku yang berjudul "Conserving Biological Diversity in Managed Tropical Forests. Dalam dokumen ini diusulkan panduan konservasi kean

Page 12: Pengelolaan Keanekaragaman Hayati Di Hutan Alam Produksi

ekaragaman hayati di dalam hutan yang dikelola untuk memproduksi kayu, terdiri dari 21 prinsip dan 22 rekomendasi program aksi. Tiga prinsip dasar yang patut diadopsi dalam konservasi keanekaragaman hayati di hutan produksi adalah:1. Selain untuk memenuhi tujuan produksi, hutan alam produksi mampu memegang peranan penting lainnya, terutama fungsi perlindungan lingkungan dan fungsi konservasi keanekaragaman hayati. Fungsi ganda ini harus dilestarikan dan seluruh operasi eksploitasi hutan harus diterapkan dengan mengacu pada baku mutu lingkungan biologis.2. Disadari bahwa keanekaragaman hayati memegang peranan penting dalam mempertahankan stabilitas dan integritas ekosistem hutan, serta memelihara kapasitas produksi hutan secara jangka panjang. Biodiversity prospecting juga menjanjikan penemuan-penemuan manfaat baru yang penting bagi kesejahteraan umat manusia.3. Keseluruhan fungsi hutan sebagai sistem penunjang kehidupan dan pusat keanekaragaman hayati akan dapat dipertahankan secara optimum bila aktivitas eksploitasi hutan menimbulkan dampak minimum terhadap keanekaragaman hayati.Indonesia memiliki hutan produksi yang sangat luas (64 juta ha) dengan kisaran keanekaragaman hayati yang tak ternilai harganya. Upaya meminimumkan dampak negatif terhadap keanekaragaman hayati akan mempertahankan sebanyak mungkin keanekaragaman hayati yang secara insitu terdapat di hutan tersebut serta sekaligus mempertahankan fungsi hutan tersebutsebagai wahana distribusi, pemencaran (dispersal) dan aliran gen (gen flow) bagi keanekaragaman hayati. Keterkaitan hutan produksi dengan sistem lansekap alami lain, terutama dengan kawasankonservasi, harus diupayakan agar fungsi-fungsi yang diharapkan dapat dipenuhi. Selain itu, upaya untuk mengidentifikasi areal yang kaya akan keanekaragaman hayati dan/atau memiliki keanekaragaman hayati yang unik harus dilakukan dan areal tersebut harus dibebaskan dari aktivitas eksploitasi hutan, sehingga pusat pemencaran dan keunikan dapat dipertahankan. Secara operasional upaya meminimumkan dampak negatif harus disertai dengan upayamenyesuaikan seluruh tahapan eksploitasi hutan berdasarkan kepentingan konservasi keanekaragaman hayati. Dalam hal ini, pemantauan keanekaragaman hayati yang akurat merupakan basis yang kuat dalam mengintegrasikan aktivitas pengelolaan hutan dengan kepentingan konservasi keanekaragaman hayati di hutan tersebut. Dalam skala praktis di tingkat unit manajemen, prinsip-prinsip konservasi keanekaragaman hayati di areal HTI, yang harusdipegang teguh oleh para perencana tata ruang HTI, adalah sebagai berikut: 1. Keanekaragaman hayati disadari memiliki peranan penting dalam mempertahankan stabilitas ekosistem hutan dan produksi hasil hutan. Selain itu, keanekaragaman hayati memberikan manfaat sosial-ekonomi dan menjanjikan potensi pemanfaatan masa datang yang tidak ternilai harganya. Jutaan sumberdaya genetik yang terkandung dalam berbagai spesies yang hidup di hutan harus dilestarikan demi kepen-tingan manusia dan kemanusiaan pada saat inidan masa yang akan datang.

Page 13: Pengelolaan Keanekaragaman Hayati Di Hutan Alam Produksi

2. Fungsi hutan produksi sebagai sistem penyangga kehidupan dan pengawetan keanekaragaman hayati dapat dipertahankan bila para perencana mampu memaksimumkan manfaat hutan sebagai habitat keanekaragaman hayati di dalamnya. Konversi hutan alam sejauh mungkin harus dihindarkan.3. Untuk memaksimumkan manfaat hutan produksi guna kelestarian keanekaragaman hayati diperlukan struktur tata ruang tertentu yang memungkinkan terciptanya konektivitas antar ekosistem asli yang telah mengalami fragmentasi, khususnya antar kawasan lindung di dalam areal hutan produksi dan antar ekosistem asli di dalam areal hutan produksi dengan ekosistem-ekosistem asli dalam keseluruhan mosaik lansekap regional. G. DAFTAR PUSTAKA 1. BLOCKHUS, J.M., M. DILLENBECK, J.A. SAYER, and P. WEGGE. 1992. Conserving Biological Diversity in Managed Tropical Forests. Proceedings of a Workshop at the IUCN General Assembly, Perth, Australia 30 November - 1 December 1990. IUCN/ITTO. 2. BRADY, N. C. 1988. International Development and the Protection of Biological Diversity. InWilson E.O and F.M. Peter (eds). Biodiversity. National Academy Press. Washington D.C. 3. COLLINS, N.M., J.A. SAYER and T.C. WHITMORE (Eds.). 1991. The Conservation Atlas of Tropical Forests. Asia and the Pacific. Macmillan Press Ltd. London and Basingstoke. 4. ELDREDGE, N. (Ed.). 1992. Systematics, Ecology, and the Biodiversity Crisis. Columbia University Press. New York. 5. ERWIN, T.L., 1993. An Evolutionary Basis for Conservation Strategies. In C.S. Potter, J.I. Cohen, and D. Janczewski (Eds.). Perspective on Biodiversity. Case Studies of Genetic Resource Conservation and Development. AAAS Press. Washington, D.C. 6. HARYANTO. 1993. Konservasi Keanekaragaman hayati dan Peranannya dalam PJP II. Makalah dalam Seminar Nasional Sehari Pembangunan Lingkungan dalam PJPT II. UKSW,Salatiga, 14 Agustus 1993. Tidak dipublikasikan. 7. HARYANTO, 1994. Pengelolaan Pulau Terpadu: Strategi Konservasi Keanekaragaman hayati di Indonesia. Makalah Penunjang dalam Lokakarya Nasional Keragaman Hayati Tropik Indonesia. PUSPITEK, Serpong 3-5 November 1994. Tidak Dipublikasikan. 8. HESS, A.L. 1990. Overview: Sustainable Development and Enviromental Management of Small Islands. In. W.Beller, P. d'Ayala, and P. Hein (Eds.). Sustainable Development and Enviromental Management of Small Islands. Unesco, Paris and The Parthenon Publishing Group. 9. ITTO, 1992. ITTO Guidelines for the Sustainable Management of Natural Tropical Forest. ITTO Policy Development Serie 1. Yokohama, Japan. 10. ITTO. 1992. Criteria for the Measurement of Sustainable Tropical Forest Management. ITT

Page 14: Pengelolaan Keanekaragaman Hayati Di Hutan Alam Produksi

OPolicy Development Serie 3. Yokohama, Japan. 11. ITTO, 1993. ITTO's Guidelines for The Establishment and Management of Man Made Tropical Forests. 12. IUCN, UNEP, and WWF. 1991. Caring for The Earth. A Strategy for Sustainable Living. Gland, Switzerland. 13. KANTOR MENTERI NEGARA LH, 1993. Strategi Nasional Pengelolaan Keanekaragaman Hayati. 14. MAGURRAN, A.E. 1983. Ecological Diversity and Its Measurement. Croom Helm. London.Sydney. 15. McNEELY, J.A., 1988. Economics and Biological Diversity: Developing and Using Economic Incentives to Conserve Biological Resource. IUCN, Gland, Switzerland. 16. McNEELY, J.A., MILLER, K. REID, W. MITTERMEIER , R. WERNER, T. 1990. Conserving the World's Biological Diversity. World Bank, WRI, IUCN, Conservation International, WWF. 17. MACKINNON, J., K. MACKINNON, G. CHILD, dan J. THORSELL. 1990. Pengelolaan Kawasan Dilindungi di Daerah Tropik (Terjemahan). Gadjah Mada University Press. 18. MEFFE, G.K. AND C.R. CARROLL. 1994. Principles of Conservation Biology. Sinauer Associates, Inc. Sunderland, Massachussets. 19. MINISTRY OF STATE FOR POPULATION AND ENVIRONMENT. 1992. Indonesian CountryStudy on Biological Diversity. Jakarta. 20. NAIMAN, R.J. AND H. DECAMPS (Eds). 1990. The Ecology and Management of Aquatic-Terrestrial Ecotones. MAB Series Vol. 4. UNESCO and The Parthenon Publishing Group.New Jersey. 21. NOSS, R.F., 1993 Landscape Connectivity: Different Functons at Different Scales. In W.E.Hudson (Ed.). Landscape Linkages and Biodiversity. Island Press. Washington D.C., Covelo,California. 22. NATIONAL DEVELOPMENT PLANNING AGENCY. 1993. Biodiversity Action Plan for Indonesia. Jakarta. 23. NORSE, E. (Ed.). 1993. Global Marine Biological Diversity. A Strategy for Building Conservation into Decision Making. Island Press. Washington D.C. 24. PEARCE, D., E. BARBIER and A. MARKANDYA. 1990. Sustainable Development : Economics and Environment in the Third World. London Environmental Economics Centre. Billing and

Page 15: Pengelolaan Keanekaragaman Hayati Di Hutan Alam Produksi

Sons Ltd, Worcester. 25. PRIMACK, R.B. 1993. Essentials of Conservation Biology. Sinauer Associates, Inc.Sunderland, Massachussets. 26. REID, W.V. and K.R. MILLER. 1989. Keeping Option Alive. The Scientific Basis for Conserving Biodiversity. WRI. 27. REID, W.V., S.A. LAIRD, C.A. MEYER, R. GAMEZ, A. SITTENFELD, D.H. JANZEN, M.A. GOLLIN, AND C. JUMA. 1993 (Eds). Biodiversity Propecting: Using Genetic Resources for Sustainable Development. WRI. 28. RePPProt. 1990. The Land Resources of Indonesia : A national Overview. ODA/Ministry of Transmigration. 29. REDCLIFT, M. 1987. Sustainable Development: Exploring contradictions. Methuen. London and New York. 30. RISSER, P.G. 1990. The Ecological Importance of Land-Water Ecotones. in R.J. Naiman and H. Decamp (Eds). The Ecology and Management of Aquatic-Terrestrial Ecotones. MAB Series Vol. 4. UNESCO and The Parthenon Publishing Group. New Jersey. 31. SALIM, E. 1986. Pembangunan Berwawasan Lingkungan. LP3ES. Jakarta. 32. SHAFER, C.L., 1990. Island Theory and Conservation Practice. Smithsonian Institution Press. Washington and London. 33. SHARMA, N. 1992 (Ed.). Managing the World Forests. Looking for Balance between Conservation and Development. Kendall/Hunt Publishing Company. Dubuque, Iowa. 34. SOEMARWOTO, O. 1991. Indonesia dalam Kancah Isu Lingkungan Global. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 35. SOULE, M.E., 1993. Conservation: Tactics for a Constant Crisis. In C.S. Potter, J.I. Cohen, and D. Janczewski (Eds.). Perspective on Biodiversity. Case Studies of Genetic Resource Conservation and Development. AAAS Press. Washington, D.C. 36. SOULE, M.E. (Ed.), 1987. Viable Population for Conservation. Cambridge University Press.Cambridge. 37. THOMAS, J.W., C. MASER, AND J.E. RODIEK. 1979. Riparian Zones. In J.W. Thomas (Ed.). Wildlife Habitats in Managed Forests: The Blue Mountains of Oregon and Washington. Agriculture Handbook No. 553. US Dept. of Agriculture, Forest Services. Wildlife Management Institu

Page 16: Pengelolaan Keanekaragaman Hayati Di Hutan Alam Produksi

te and US Dept. of Interior, Bureau of Land Management. 38. UNCED. 1992. Convention on Biodiversity. 39. WARNER, R.E. AND S.J. BRADY. 1994. Managing Farmlands for Wildlife. In T.A. Bookhout (Ed.). Research and Management Techniques for Wildlife and Habitats. The Wildlife Society.Bethesda, Maryland. 40. WCMC, 1992. Global Biodiversity. Status of the Earth's Living Resources. Chapman and Hall. London. 41. WILSON, E.O. 1992. The Diversity of Life. Allen Lane The Penguin Press. 42. WORLD COMMISSION ON ENVIRONMENT AND DEVELOPMENT (WCED). 1987. Our Common Future (The "Brundland Report"). Oxford University Press. Oxford. 43. WRI, FAO and UNEP. 1992. Global Biodiversity Strategy. Guidelines for Action to Save,Study, dan Use Earth's Biotic Wealth Sustainably and Equitably.