pengelolaan das

16
MONITORING DAN EVALUASI KINERJA DAERAH ALIRAN SUNGAI CILIWUNG BAGIAN TENGAH Heri Apriyanto I. PENDAHULUAN Bencana banjir pada tahun-tahun belakangan ini sangat sering melanda Indonesia dan telah menimbulkan kerugian yang cukup signifikan, baik korban jiwa maupun harta benda. Kota Jakarta sebagai barometer gambaran Indonesia pada awal bulan Februari 2007 diterjang banjir yang cukup dahsyat. Banjir dan genangan terjadi dalam tempo yang relatif lama, yaitu lebih dari sepekan di beberapa tempat, genangan air tidak cepat menyurut. Para ahli banjir memperkirakan bahwa salah satu faktor yang dominan penyebab banjir di Jabodetabek adalah adanya faktor alih fungsi lahan, khususnya dari hutan, perkebunan, pertanian dan rawa menjadi kawasan permukiman, industri dan komersial (kawasan terbangun) di Kawasan Bopunjur (Bogor-Puncak-Cianjur) yang sebagian besar merupakan kawasan konservasi DAS Ciliwung. Hal itu tidak terlepas bahwa Kawasan Jabodetabek dan Kawasan Bopunjur merupakan satu kesatuan sistem hidrologi, dimana input air dari daerah hulu dan tengah akan mengalir ke bawah/hilir. Data Kementerian Negara Lingkungan Hidup (Pikiran Rakyat, 21 Januari 2009) menyebutkan, dalam kurun waktu delapan tahun terakhir telah terjadi perubahan fungsi lahan di kawasan lindung Kecamatan Cisarua secara signifikan, yakni sekitar 74%. Ditahun 2000, luas kawasan lindung masih sekitar 4.918 ha, kini tersisa 1.265 ha (tahun 2009). Sementara pemukiman bertambah 44%, yakni dari 24.833 ha menjadi 35.750 ha. Adanya perkerasan (seperti jalan, bangunan rumah/pabrik/mal, lapangan golf, dan perkantoran) maka kapasitas daya resap air hujan kawasan yang mengalami perubahan penggunaan lahan tersebut menjadi semakin kecil dibandingkan dengan kondisi semula. Infiltrasi air hujan ke dalam tanah berkurang, sehingga proporsi air hujan yang langsung dilimpaskan semakin besar. Selain itu karena kapasitas infiltrasi menjadi kecil maka penambahan air ke airtanah menjadi semakin berkurang sehingga pada musim kemarau, persediaan airtanah semakin menurun. Hal ini bertolak belakang dengan fungsi utama Kawasan Bopunjur yang menjadi kawasan konservasi lingkungan, yakni sebagai kawasan penyangga dan resapan air.

Upload: heri-apriyanto

Post on 15-Sep-2015

40 views

Category:

Documents


11 download

DESCRIPTION

Indeks Konservasi

TRANSCRIPT

  • MONITORING DAN EVALUASI KINERJA DAERAH ALIRAN SUNGAI CILIWUNG BAGIAN TENGAH

    Heri Apriyanto

    I. PENDAHULUAN

    Bencana banjir pada tahun-tahun belakangan ini sangat sering melanda Indonesia

    dan telah menimbulkan kerugian yang cukup signifikan, baik korban jiwa maupun harta

    benda. Kota Jakarta sebagai barometer gambaran Indonesia pada awal bulan Februari

    2007 diterjang banjir yang cukup dahsyat. Banjir dan genangan terjadi dalam tempo

    yang relatif lama, yaitu lebih dari sepekan di beberapa tempat, genangan air tidak cepat

    menyurut. Para ahli banjir memperkirakan bahwa salah satu faktor yang dominan

    penyebab banjir di Jabodetabek adalah adanya faktor alih fungsi lahan, khususnya dari

    hutan, perkebunan, pertanian dan rawa menjadi kawasan permukiman, industri dan

    komersial (kawasan terbangun) di Kawasan Bopunjur (Bogor-Puncak-Cianjur) yang

    sebagian besar merupakan kawasan konservasi DAS Ciliwung. Hal itu tidak terlepas

    bahwa Kawasan Jabodetabek dan Kawasan Bopunjur merupakan satu kesatuan sistem

    hidrologi, dimana input air dari daerah hulu dan tengah akan mengalir ke bawah/hilir.

    Data Kementerian Negara Lingkungan Hidup (Pikiran Rakyat, 21 Januari 2009)

    menyebutkan, dalam kurun waktu delapan tahun terakhir telah terjadi perubahan fungsi

    lahan di kawasan lindung Kecamatan Cisarua secara signifikan, yakni sekitar 74%.

    Ditahun 2000, luas kawasan lindung masih sekitar 4.918 ha, kini tersisa 1.265 ha (tahun

    2009). Sementara pemukiman bertambah 44%, yakni dari 24.833 ha menjadi 35.750 ha.

    Adanya perkerasan (seperti jalan, bangunan rumah/pabrik/mal, lapangan golf, dan

    perkantoran) maka kapasitas daya resap air hujan kawasan yang mengalami perubahan

    penggunaan lahan tersebut menjadi semakin kecil dibandingkan dengan kondisi semula.

    Infiltrasi air hujan ke dalam tanah berkurang, sehingga proporsi air hujan yang langsung

    dilimpaskan semakin besar. Selain itu karena kapasitas infiltrasi menjadi kecil maka

    penambahan air ke airtanah menjadi semakin berkurang sehingga pada musim kemarau,

    persediaan airtanah semakin menurun. Hal ini bertolak belakang dengan fungsi utama

    Kawasan Bopunjur yang menjadi kawasan konservasi lingkungan, yakni sebagai

    kawasan penyangga dan resapan air.

  • Guna mencegah tidak terkendalinya penyimpangan pemanfaatan ruang di

    Kawasan Bopunjur yang semestinya difungsikan sebagai daerah konservasi, maka perlu

    diatur dengan penataan ruangnnya. Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional

    (Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008) disebutkan bahwa Daerah Bogor,

    Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur (Jabodetabekpunjur) ditetapkan sebagai

    Kawasan Strategis Nasional (KSN). Sebagai tindak lanjut penetapan kawasan tersebut

    tersebut, maka diperlukan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan

    pengendalian pemanfaatan ruang secara terpadu. Amanat dari RTRWN tersebut

    kemudian diwujudkan dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang

    Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur. Dengan adanya PERPRES ini maka

    diharapkan dapat terwujudnya pembangunan berkelanjutan serta mengembangkan

    perekonomian wilayah yang produktif, efektif, dan efisien berdasarkan karakteristik

    kawasan Jabodetabekpunjur. Salah satu sasaran dari perutaran tersebut adalah

    tercapainya keseimbangan antara fungsi lindung dan fungsi budi daya. Selanjutnya,

    dalam perpres ini juga mengatur kebijakan dan strategi penataan ruang, rencana tata

    ruang Kawasan Jabodetabekpunjur, arahan pemanfaatan ruang kawasan, arahan

    pengendalian pemanfaatan ruang kawasan, pengawasan pemanfaatan ruang kawasan.

    Salah satu bagian yang diatur dalam PERPRES No. 54 Tahun 2008 tersebut,

    yakni arahan pengendalian ruang kawasan akan digunakan sebagai acuan dalam

    pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan ini. Dalam arahan pengendalian

    ruang kawasan tersebut didasarkan pada peraturan zonasi, dimana peraturan ini

    didasarkan pada indeks konservasi alami dan indeks konservasi aktual (Pasal 49).

    Pengertian indeks konservasi alami adalah parameter yang menunjukkan kondisi

    hidrologis ideal untuk konservasi yang dihitung berdasarkan variabel curah hujan, jenis

    batuan, kemiringan, ketinggian, dan guna lahan. Sedangkan indeks konservasi aktual

    adalah parameter yang menunjukkan kondisi hidrologis yang ada untuk konservasi yang

    dihitung berdasarkan variabel curah hujan, jenis batuan, kemiringan, ketinggian, dan

    guna lahan (Pasal 1). Lebih lanjut kedua indeks ini digunakan untuk menentukan

    alokasi pemanfaatan ruang yang meliputi permukiman, ruang terbuka hijau (RTH),

    perkantoran, dan kegiatan pertanian; amplop ruang yang meliputi koefisien dasar ruang

    hijau, KDB, KLB, dan garis sempadan bangunan; dan rekayasa teknologi yang

    diperlukan. Perlu diketahui bahwa rencana tata ruang wilayah baik

  • provinsi/kabupaten/kota yang berada di Kawasan Jabodetabekpunjur harus

    mengimplementasikan Rencana Tata Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur ini.

    Kota Depok yang sebagian besar wilayahnya terletak di DAS Ciliwung

    (khususnya bagian tengah) merupakan kawasan hulu bagi wilayah DKI Jakarta. Sebagai

    wilayah yang tercakup dalam Perpres No. 54 tahun 2008, maka kota ini berkewajiban

    untuk mengevaluasi wilayahnya dengan menggunakan parameter Indeks Konservasi ini.

    Kota Depok berdasarkan fungsinya dalam sistem pengelolaan DAS, wilayah ini

    berperan penting sebagai kawasan konservasi tanah dan air. Namun fenomena yang

    terjadi di kota ini adalah semakin berkembangnya lahan terbangun, berdasarkan data

    tahun 2008 (BPS, 2009) disebutkan bahwa dari luas wilayah Kota Depok sebesar

    20.029 Ha, maka lahan yang terbangun sekitar 51% atau seluas 10.305 Ha dan sisanya

    adalah lahan tidak terbangun. Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk dan

    pembangunan maka luasan lahan yang terbangun akan semakin meningkat pula. Seiring

    dengan hal itu, maka dikuatirkan akan meningkatkan kebutuhan akan ruang, sehingga

    lahan terbangun akan semakin meningkat, yang pada akhirnya akan mengokupasi

    kawasan-kawasan yang sebelumnya berfungsi sebagai kawasan resapan air.

    Upaya monitoring dan evaluasi kinerja pengelolaan DAS, khususnya untuk

    pengendalian kawasan resapan Kota Depok yang terletak di Kawasan DAS Ciliwung

    bagian Tengah sangat diperlukan, mengingat tingkat alih fungsi lahan terjadi cukup

    pesat. Wilayah ini yang strategis mendorong terjadinya banyak terjadi alih fungsi lahan

    non terbangun menjadi lahan terbangun. Salah satu upaya yang dapat digunakan untuk

    mengevaluasi kawasan resapan adalah dengan pendekatan Indeks Konservasi (IK).

    Dengan mengetahui indeks konservasi maka besaran kapasitas resapan kawasan

    terhadap intensitas air hujan yang ada dapat di ketahui. Kemampuan suatu wilayah

    untuk meresapkan air merupakan salah satu parameter untuk digunakan dalam rangka

    penyusunan rencana tata ruang suatu kawasan, khususnya untuk indikator pengendalian

    pemanfaatan ruang.

    II. KONSEP INDEKS KONSERVASI (IK) 2.1 Pengertian

    Alih fungsi lahan dari penggunaan lahan hutan, pertanian, permukiman, dan

    perkotaan berturut-turut akan menurunkan imbuhan air tanah yang dapat dinyatakan

    Monev Kinerja DAS............................. Halaman | 2

  • dengan Indeks Konservasi (IK). IK mempunyai kisaran nilai 0 IK 1. Secara umum

    lahan hutan mempunyai IK berkisar 0,8 - 0,9; pertanian berkisar 0,4 - 0,5; permukiman

    berkisar 0,3 - 0,4; dan urban metropolitan berkisar 0 - 0,1 (Sabar, 1999). Nilai 0,8

    berarti menunjukkan 80% dari curah hujan yang jatuh ke permukaan tanah akan

    meresap ke dalam tanah. IK ini digunakan sebagai instrumen baru untuk pengendalian

    dan pemanfaatan ruang suatu DAS yang terkait dengan keseimbangan air.

    Indeks Konservasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : (1) Indeks Konservasi

    Alami (IKA), yakni suatu koefisien yang menunjukkan kemampuan alamiah suatu

    wilayah untuk menyerap air hujan yang jatuh ke permukaan tanah dan menjadi imbuhan

    air tanah yang dihitung berdasarkan variabel curah hujan, batuan, kemiringan lereng,

    dan tanah, dan (2) Indeks Konservasi Aktual (IKC), yakni suatu koefisien yang

    menunjukkan kemampuan yang ada/aktual pada suatu wilayah untuk menyerap air

    hujan yang jatuh ke permukaan tanah dan menjadi imbuhan air tanah yang dihitung

    berdasarkan variabel curah hujan, batuan, kemiringan lereng, tanah dan penggunaan

    lahan (Apriyanto dan Sabar, 2001).

    2.2 Model Indeks Konservasi

    Pengendalian fungsi konservasi air dilakukan dalam satu satuan hidrologis dari

    fase tanggapan air, fase sungai dan fungsi kualitas ruang (pemanfaatan ruang), yang

    digambarkan dengan model fisik hidrologis seperti pada Gambar 1 (Sabar, 1999).

    Gambar 1. Model Fisik Hidrologi (Sabar, 1999)

    Keseimbangan air dari pengendalian pemanfaatan ruang di fase lahan dan fase

    sungai sangat tergantung pada indeks konservasi air dari pemanfaatan ruang, yang

    diekspresikan dengan :

  • bAPIQ k += .. ... (pers. 1) dimana :

    Q = debit air sungai, A= luas daerah tangkapan air, P = besarnya curah hujan, b = aliran dasar (limpasan air di fase sungai melalui akuifer dan mata air) Ik = Indeks konservasi

    Dimensi lain untuk menyatakan besarnya Q adalah dengan memperhitungkan

    kualitas ruangnya seperti tanah, batuan, kemiringan lereng dan penggunaan lahan yang

    diindikasikan sebagai koefisien limpasan (C).

    bAPCQ += .. (pers. 2)

    Persamaan 2 ini merupakan dasar bagi pembuatan persamaan 3. Hal ini dapat

    diterangkan seperti berikut :

    Hubungan antar komponen hidrologi berdasarkan Hukum Kekekalan Massa

    sebagai berikut :

    IROP += . (pers. 3)

    dimana : P = besarnya curah hujan, RO = limpasan permukaan (runoff), I = infiltrasi

    Apabila persamaan 3 seluruh komponennya dibagi dengan P maka persamaannya

    menjadi :

    +

    =

    PI

    PROI . (pers. 4)

    kICI += .... (pers. 5) CI k = 1 . (pers. 6)

    Indeks Konservasi dibedakan menjadi dua, yaitu Indeks Konservasi Alami (IKA)

    dan Indeks Konservasi Aktual (IKC). Aspek-aspek yang berpengaruh terhadap Indeks

    Konservasi adalah kemiringan lereng, jenis tanah, jenis geologi, dan intensitas curah

    hujan (aspek alami) dan penggunaan lahan (aspek aktual). Bentuk penggunaan lahan

    bersifat dinamis karena berada di bawah pengaruh aktivitas makhluk hidup, khususnya

    manusia, sedangkan alih fungsi lahan akan mempunyai implikasi yang berbeda terhadap

    besaran air yang dapat diserap ke dalam tanah. Jika curah hujan, jenis batuan dan

    kemiringan lereng menyangkut aspek alami yang relatif tidak berubah (statis)

    Monev Kinerja DAS............................. Halaman | 4

  • mencerminkan kondisi potensial disebut juga sebagai daya dukung lingkungan, maka

    aspek penggunaan lahan mencerminkan kondisi aktual. Aspek penggunaan lahan

    tersebut mencerminkan kondisi aktual kemampuan infiltrasi/daya resap terhadap air

    hujan di suatu daerah. Dengan menumpangsusunkan resultante aspek-aspek tersebut

    (yang sudah ditransformasikan dalam bentuk nilai tingkat kemampuan meresapkan air

    ke dalam tanah) dapat diperoleh peta kesesuaian lahan yang dapat digunakan untuk

    mengidentifikasi lahan mana yang sesuai/baik atau tidak sesuai/kritis.

    Indeks Konservasi Alami oleh Apriyanto dan Sabar (2001) diekspresikan dengan:

    IKA = f (curah hujan, batuan, morfologi/topografi)

    IKA = aX1 + bX2 + cX3 + E (pers. 7)

    a = ( 12, 13, 23), b = ( 12, 13, 23), c = ( 12, 13, 23) R = 1 - E dimana : IKA = variabel besaran konservasi air alami X1 = variabel hujan X2 = variabel batuan X3 = variabel kemiringan lereng a,b,c,d = koefisien partial ketergantungan antar variabel 12 = koefisien korelasi antar variabel E = faktor koreksi R = koefisien determinasi (0,5 < R

  • dilakukan diskretisasi indeks konservasi dan variabel yang mempengaruhinya ke dalam

    5 (lima) kelas. Jika dalam evaluasi suatu kawasan ternyata terdapat pemanfaatan lahan

    yang tidak sesuai (IKC < IKA) maka harus dilakukan upaya untuk merehabilitasi fungsi

    konservasi air dan tanah untuk menjadi IKC IKA di antaranya dengan menggunakan

    rekayasa teknologi.

    III. GAMBARAN UMUM DAS CILIWUNG TENGAH DI KOTA DEPOK Secara umum wilayah DAS Ciliwung Bagian Tengah meliputi sebagian Kota

    Depok, Kota Bogor dan Kabupaten Bogor. DAS Ciliwung bagian tengah ini dimulai

    dari Stasiun Katulampa (merupakan outlet dari DAS Ciliwung bagian hulu) dan

    mempunyai outlet di Stasiun Sugutamu. Luas keseluruhan DAS ini sekitar 11.714 Ha,

    dimana untuk wilayah Kota Depok 4.805,88 Ha atau 41% nya. Tingkat prosentase

    sebesar itu maka pengaruh kondisi Kota Depok cukup besar terhadap sistem hidrologi

    Sungai Ciliwung dan anak-anak sungainya, terutama yang akan masuk ke Kota Jakarta.

    Kondisi iklim wilayah Depok beriklim tropis yang dipengaruhi oleh iklim

    Munson, dengan wilayah hujan antara 2.000 - 4.000 mm pertahun dengan curah hujan

    rata-rata 3.814 mm per tahun dan jumlah hari hujan berkisar antara 101 - 159 hari.

    Kemiringan lereng Kota Depok secara topografi dikategorikan datar dan dengan

    ketinggian berkisar antara + 70 m 90 m dari permukaan laut. Kota Depok berada

    pada kemiringan lereng antara 0 15%.

    Secara umum sebagian besar wilayah Kota Depok berada pada satuan pedataran

    alluvium sungai. Daerah ini merupakan ujung dan bagian tengah dari kipas alluvial

    Bogor yang terbentuk dari produk gunung api dengan relief permukaan sedang dan

    halus. Pola pengaliran sungai menunjukkan pola meander. Batuan penyusunnya terdiri

    dari endapan sedimen berupa Tufa Greksi, lempung lanauan dan batu pasir tufaan.

    Kondisi hidrogeologis wilayah Sungai Ciliwung Bagian Tengah berdasarkan Peta

    Hidrogeologi Indonesia (DGTL, 1986), berada pada Kelompok terdapatnya Air Tanah

    dan Produktivitas Akuifier. Menurut potongan melintang dapat diketahui bahwa pada

    kedalaman 0 250 m, akuifer dengan aliran melalui antar butir, merupakan akuifer

    dengan produktivitassedang dan sebarannya luas. Debit air tanah < 5 ltr/detik.

    Sedangkan pada kedalaman > 250 m, akuifer ( bercelah atau bersarang ) produktif kecil,

    Monev Kinerja DAS............................. Halaman | 6

  • daerah air tanah langka dan merupakan akuifer dengan produktivitas kecil serta

    setempat. Debit air tanah < 1 ltr/ detik.

    Penggunaan lahan di Kota Depok hingga saat ini sudah sangat intensif, yaitu

    seluruh ruang sudah dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Hal ini merupakan salah

    satu dampak dijadikannya Kota Depok sebagai kawasan hinterland Kota Jakarta.

    Kenaikan lahan terbangun secara langsung mengurangi lahan-lahan yang terbuka dan

    dapat berfungsi sebagai kawasan peresapan air seperti sawah, kebun dan lahan kosong.

    Berdasarkan analisa peta penggunaan lahan dan citra landsat tahun 1990 dan 2005

    sangat nampak semakin berkurangnya kawasan non terbangun, seperti pertanian,

    tegalan dan perkebunan yang ada pada DAS Ciliwung bagian tengah. Kawasan

    terbangun (permukiman, komersial, jalan, industri, dan lain-lain) di sisi lain semakin

    bertambah. Perubahan penggunaan lahan dari tahun sebelum tahun 1990 sampai dengan

    tahun 2005 dapat dilihat pada Tabel 1.

    Tabel 1. Penggunaan Lahan DAS Ciliwung Bagian Tengah di Kota Depok (1990-2005)

    Penggunaan Lahan

    Tahun 1990 Tahun 2005 Perubahan Luas (ha) % Luas (ha) % Luas (ha) %

    Hutan 0 0 0 0 0 0 Kebun 1266,83 26,36 945,01 19,7 -321,82 -6,70 Tegalan 2291,64 47,68 905,78 18,8 -1385,86 -28,84 Persawahan 745,98 15,52 118,98 2,5 -627,00 -13,05 Pemukiman 501,43 10,43 2836,11 59,0 2334,68 48,58 Total 4805,88 100 4805,88 100

    Sumber : Apriyanto, 2007.

    IV. EVALUASI KAWASAN RESAPAN DENGAN MENGGUNAKAN

    INDEKS KONSERVASI (IK)

    4.1. Indeks Konservasi Alami (IKA) dan Indeks Konservasi Aktual (IKC)

    Telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya bahwa IK dibedakan menjadi dua,

    yakni IKA dan IKC. Pemanfaatan lahan dikatakan sesuai dengan fungsi sebagai kawasan

    konservasi jika mempunyai nilai IKC IKA (kesesuaian lahan sesuai/baik) dan

    sebaliknya jika IKC < IKA dikatakan kondisi kritis (kesesuaian lahan jelek/kritis).

    Pendekatan yang digunakan untuk menentukan nilai IK ini adalah tingkat kemampuan

    dari parameter fisik tersebut untuk meningkatkan imbuhan air ke dalam tanah, sehingga

    dapat menambah kuantitas air tanah dan menurunkan limpasan air permukaan.

  • Kemampuan dari parameter ini diasumsikan dengan tingkat kemampuan untuk infiltrasi

    dan permeabilitas dari variabel-variabel pengaruh di atas. IKA dan IKC dibagi dalam 5

    (lima) kelas seperti pada Tabel 2.

    Tabel 2. Klasifikasi Kelas Indeks Konservasi (IK)

    No Kelas Indeks Konservasi (IK)

    Kisaran Hasil Pembobotan Variabel Pengaruh

    1. Sangat Tinggi IK 0,799 2. Tinggi 0,648 IK < 0,799 3. Sedang 0,497 IK < 0,648 4. Rendah 0,347 IK < 0,497 5. Sangat Rendah IK < 0,347

    Sumber : Apriyanto dan Sabar, 2001 Guna mengevaluasi kesesuaian kondisi alam dan pemanfaatan lahan maka dibuat

    klasifikasi kesesuaian lahan yang didasarkan pada perbandingan antara IKA dan IKC

    Kriteria klasifikasi kesesuaian lahan tersebut disajikan pada Tabel 3

    Tabel 3. Kelas Kesesuaian Lahan berdasarkan Perbandingan IKA dan IKC

    No Kelas kesesuaian lahan Keterangan 1. Sangat Baik kategori IKC lebih tinggi dua

    tingkat atau lebih dari kategori IKA 2. Baik kategori IKC lebih tinggi satu

    tingkat dari kategori IKA 3. Sesuai kategori IKC sama tingkat atau tetap

    seperti kategori IKA 4. Jelek kategori IKC lebih rendah satu

    tingkat dari kategori IKA 5. Sangat Jelek kategori IKC lebih rendah dua

    tingkat atau lebih dari kategori IKA

    Sumber : Apriyanto dan Sabar, 2001

    Berdasarkan persamaan (7) dan (8) maka variabel-variabel yang digunakan perlu

    diberi pembobotan. Berdasarkan analisis berdasarkan data lapangan dan peta tematik

    (kemiringan lereng, geologi, tanah dan isohyet serta penggunaan lahan) yang ada, maka

    variabel-variabel yang sesuai dan eksisting di wilayah kajian dapat dilihat pada Tabel 4.

    Monev Kinerja DAS............................. Halaman | 8

  • Tabel 4. Pembobotan Kondisi Fisik DAS Ciliwung di Kota Depok

    Kelas Kemiringan Lereng Bobot < 8% 0,95 8 15 % 0,80 15 25 % 0,70

    Jenis geologi/batuan Aluvial 0,95 Kipas Aluvial 0,95 Endapan Gunungapi Muda 0,78

    Jenis tanah Aluvial Kelabu 0,95 Kompleks Aluvial Coklat dan Aluvial Coklat Kekelabuan

    0,95

    Latosol Merah 0,20 Latosol Coklat Kemerahan 0,20

    Intensitas CH (mm/th) 2500 - 3000 0,50 < 2500 0,20

    Penggunaan Lahan Perkebunan/kebun 0,80 Tegalan/ladang 0,70 Persawahan 0,50 Permukimam/lahan terbangun 0,2

    Sumber : Apriyanto, 2007.

    Pada penelitian ini masing-masing variabel pengaruh dianggap memiliki

    pengaruh yang sama terhadap Indeks Konservasi sehingga besar koefisien regresinya

    sama, sehingga persamaan (7) menjadi :

    IKA = 0.25 X1 + 0.25 X2 + 0.25 X3 + 0.25 X4 1.021.10-3 . (9)

    Selanjutnya dengan melakukan tumpang susun peta-peta tematik (lereng,

    geologi, tanah, penggunaan lahan dan curah hujan) dengan masing-masing

    pembobotannya, maka dapat dihitung IKA masing-masing kawasan, yang selanjutnya

    dibagi ke dalam 5 kelas dengan masing-masing luasnya seperti yang disajikan pada

    Tabel 5.

    IKC selain dipengaruhi oleh variabel seperti pada IKA, juga dipengaruhi oleh

    faktor penggunaan lahan. Dengan menggunakan metoda yang sama dengan perhitungan

    IKA, maka persamaan regresi IKC (persamaan (8) sebagai berikut :

    IKC = 0.20 X1 + 0.20 X2 + 0.20 X3 + 0.20 X4 + 0.20 X5 - 1.043.10-3 .. (10)

  • Hasil perhitungan Kelas IKC beserta luasnya dapat dilihat pada Tabel 5.

    Tabel 5. Indeks Konservasi di DAS Ciliwung Tahun 1990 dan 2005

    Kelas Indeks Konservasi IK Alami

    IK Aktual Tahun 1990 Tahun 2005

    (IK) Luas (Ha) % Luas (Ha) % Luas (Ha) % Sangat Tinggi 623,16 13,00 0 0 0 0 Tinggi 965,68 20,10 1962,397 40,83 750,568 15,62 Sedang 3217,04 66,90 2463,72 51,26 1740,87 36,22 Rendah - - 177,012 3,68 1799,38 37,44 Sangat Rendah - - 202,752 4,22 515,06 10,72 Total 4805,88 100,00 4805,88 100,00 4805,88 100,00

    Rata-rata IKA = 0,68 IKC (1990) = 0,64 IKC (2005) = 0,51

    Sumber : Hasil perhitungan

    Berdasarkan Tabel 5 nampak bahwa sebagian besar wilayah kajian mempunyai

    IKA dan IKC yang termasuk kategori sedang, yang berarti secara alami kawasan ini masih

    cukup potensial menyerap air. Namun dalam beberapa kurun waktu tahun 1990 2005

    telah terjadi pergeseran kelas indeks konservasi, misalnya dari kawasan yang

    mempunyai indeks konservasi aktual kelas tinggi berubah menjadi kelas sedang dan

    bahkan langsung ke kelas rendah. Hal ini dibuktikan dengan adanya kenaikan sekitar

    33,7% pada kelas rendah dan 6,5% pada kelas sangat rendah, yang diikuti penurunan

    kelas di atasnya (tinggi dan sedang). Bukan tidak mungkin bila pada tahun-tahun

    berikutnya akan terjadi pergeseran kelas ke yang lebih rendah.

    4.2. Evaluasi Kawasan Resapan Air

    Evaluasi Kesesuaian Lahan berdasarkan pada perbandingan Indeks Konservasi

    Alami (IKA) dan Indeks Konservasi Aktual (IKC). Dengan pendekatan kemampuan lahan

    untuk menyerap air yang dinyatakan dengan kemampuan untuk infiltrasi dan atau

    permeabilitas dari jenis lahan tersebut serta besarnya curah hujan melalui metoda

    pembobotan dan tumpang susun, diharapkan dapat mendekati kondisi yang sebenarnya.

    Gambaran kesesuaian lahan wilayah penelitian dapat dilihat pada Peta Kesesuaian lahan

    Tahun 1990 dan 2005 (Gambar 2 dan 3) dan secara matematis luasnya disajikan pada

    Tabel 6 dan.

    Monev Kinerja DAS............................. Halaman | 10

  • Gambar 2. Peta Kesesuaian Lahan Kawasan Resapan Air di Kota Depok Tahun 1990

  • Gambar 3. Peta Kesesuaian Lahan Kawasan Resapan Air di Kota Depok Tahun 2005

    Monev Kinerja DAS............................. Halaman | 12

  • Tabel 6 Evaluasi Kawasan Resapan Air DAS Ciliwung di Kota Depok

    Kawasan Resapan

    Tahun 1990 Tahun 2005 Perubahan % Luas (Ha) % Luas (Ha) %

    Sangat Baik - - - - - Baik 618,35 12,90 120,63 2,51 -10,39 Sesuai 3470,87 72,20 2335,66 48,60 -23,60 Jelek 716,67 14,90 2349,59 48,89 33,99 Sangat Jelek - - - - - Total 4805,88 100,00 4805,88 100,00

    Sumber : Hasil pengolahan

    Secara umum pemanfaatan lahan di daerah penelitian masih dalam kondisi belum

    banyak terganggu atau sesuai. Namun di sisi lain belum nampak adanya tindakan untuk

    menjadikannya ke tingkat yang lebih tinggi (kelas baik dan sangat baik). Berdasarkan

    luasan masing-masing kelas dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2005 telah

    menampakkan indikasi terjadinya penurunan tingkat kesesuaian lahan di daerah

    penelitian. Kelas Kesesuaian Lahan baik dan sesuai telah mengalami penurunan sebesar

    10,39% dan 23,60% dari luasnya semula, sedangkan kondisi jelek/kritis mengalami

    peningkatan sebesar 33,99% sehingga luasnya menjadi lebih sekitar 48,89% dari luas

    wilayah perencanaan. Hal ini perlu diperhatikan lebih lanjut, sehingga penurunan ini

    dapat dicegah dan dengan penanganan lebih lanjut wilayah-wilayah yang kondisinya

    jelek dapat dikembalikan lagi pada fungsi hidrologinya. Secara spatial sangat nampak

    bahwa di wilayah perencanaan telah terjadi degradasi kelas kesesuaian lahan, dimana

    sebagian besar telah menjadi kawasan yang terbangun. Hal ini ditunjukkan dengan

    banyaknya pengembang yang membangun perumahan.

    V. PENUTUP DAS adalah suatu ekosistem (Asdak, 2007) sehingga bisa dijadikan sebagai unit

    satuan monitoring dan evaluasi (monev) karena setiap ada masukan (inputs) ke dalam

    ekosistem tersebut dapat dievaluasi proses yang telah dan sedang berlangsung dengan

    melihat keluaran (outputs) dari ekosistem tersebut. Wilayah DAS yang terdiri dari

    komponen tanah, vegetasi dan air/sungai berperan sebagai prosesor. Salah satu

    instrumen yang dapat digunakan untuk melakukan monev adalah Indeks Konservasi

    (IK). Indeks Konservasi (IK) ini terdiri Indeks Konservasi Alami (IKA) dan Indeks

    Konservasi Aktual (IKC). IK didasarkan atas kemampuan wilayah tersebut untuk

  • menyerap air hujan yang jatuh ke permukaan tanah dan menjadikan imbuhan air tanah.

    Indeks Konservasi Alami (IKA), yakni suatu koefisien yang menunjukkan kemampuan

    alamiah suatu wilayah untuk menyerap air hujan yang jatuh ke permukaan tanah dan

    menjadi imbuhan air tanah, sedangkan Indeks Konservasi Aktual (IKC), yakni suatu

    koefisien yang menunjukkan kemampuan yang ada/aktual pada suatu wilayah untuk

    menyerap air hujan yang jatuh ke permukaan tanah dan menjadi imbuhan air tanah.

    Alih fungsi lahan di DAS Ciliwung bagian tengah, khususnya yang berada di

    Kota Depok pada dekade 15 tahun terakhir (tahun 1990 sampai 2005) terjadi sangat

    pesat. Kawasan yang dahulu lebih tertutup dan non terbangun seperti kebun, tegalan dan

    sawah jumlahnya telah menyusut. Di sisi lain lahan terbangun seperti permukiman,

    industri, komersial (toko, mal), jalan, tempat wisata, dan sebagainya telah meningkat

    tajam, menjadi sekitar 51 % dari luas Kota Depok.

    Berdasarkan perbandingan antara IKC dan IKA maka disusun klasifikasi

    kesesuaian lahan. Secara umum daerah penelitian didominasi oleh kelas kesesuaian

    lahan rendah, yang berarti daerah tersebut masih potensi untuk menyerap air sudah

    sangat berkurang. Berdasarkan perkembangan dari tahun 1990 sampai 2005 pada daerah

    penelitian telah menunjukkan pergeseran kelas kesesuaian lahan. Kondisi jelek/tidak

    sesuai mengalami peningkatan sebesar 33,99% sehingga luasnya menjadi 48,89% dari

    luas daerah penelitian. Hasil monev ini dapat dimanfaatkan untuk bahan masukan

    rencana pengendalian pemanfaatan ruang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota

    Depok dan rekayasa teknologi yang diperlukan

    Monev Kinerja DAS............................. Halaman | 14

  • DAFTAR PUSTAKA

    .............., 2008, Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Jakarta.

    .............., 2008. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur, Jakarta.

    .............., 21 Januari 2009, Penyimpangan Tata Guna Lahan Puncak Mengkhawatirkan, Pikiran Rakyat.

    Asdak, C., 2007, Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

    Apriyanto, H., Sabar, A., 2001, Kajian Indeks Konservasi sebagai Indikator Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kawasan Konservasi DAS Ciliwung di Bopunjur (Bogor-Puncak-Cianjur), ITB, Bandung.

    Apriyanto, H., 2007, Evaluasi Kawasan Resapan Air dengan Pendekatan Indeks Konservasi, Jurnal Alami Vol. 12 Nomor 1, BPPT, Jakarta.

    [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Kota Depok dalam Angka Tahun 2009, Depok. Sabar, A., 1999, Indeks Konservasi sebagai Instrumen Pengendalian Pemanfaatan

    Ruang di Kawasan Bopunjur dalam Rangka Rancangan Keppres, Makalah Bahan Diskusi di Bappenas (tidak diterbitkan), ITB Bappenas, Bandung.