pengelolaan air bersih dengan skema public private...
TRANSCRIPT
1
Pengelolaan Air Bersih dengan Skema Public Private Partnership di Kota
Batam
Benny
Program studi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik,
Universitas Maritim Raja Ali Haji
ABSTRAK
Sebagai daerah yang dibangun, dikembangkan serta dipersiapkan secara khusus
sebagai kawasan industri. Batam harus mampu menyediakan infrastruktur dasar
seperti air bersih Penelitian ini dilaksanakan pada kantor Badan Pengusahaan
Batam serta PT. Adhya Tirta Batam. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan serta memberi gambaran bagaimana proses pengelolaan air
bersih di Batam menggunakan teori public private partnership. Penulis
menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data yaitu
wawancara, observasi dan dokumentasi. Teknik penentuan sampel secara
purposive sampling dengan subjek penelitian terdiri dari staff yang bertanggung
jawab dalam proses pengelolaan air di Kota Batam. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa proses public private partnership terhadap pengelolaan yang dilakukan di
Kota Batam sudah berjalan dengan baik diberbagai sektor seperti tingkat
kebocoran air, kualitas air yang baik serta tarif yang terjangkau. Kerjasama
Pemerintah Swasta yang telah dilakukan dapat menjadi benchmark bagi
pengelolaan air bersih sehingga masyarakat akan mendapatkan hak atas pelayanan
prima atas air bersih.
Kata Kunci: Kemitraan Pemerintah - Swasta, Pengelolaan Air, Perjanjian
Konsesi, Bangun-Kelola-Alih Milik, Infrastruktur
2
PENDAHULUAN
Air menjadi sangat penting untuk segala kehidupan di Bumi. Kualitas air yang
baik dan kuantitas yang cukup sangat berpengaruh bagi kelangsungan hidup kita.
Pulau Batam mulai dikembangkan sejak awal tahun 1970-an sebagai basis
logistik dan operasional untuk industri minyak dan gas bumi oleh Pertamina. Hal
ini dikarenakan oleh letak Kota Batam yang strategis dekat dengan jalur
perdagangan bebas. Berdasarkan Keputusan Presiden No 41 Tahun 1973 tentang
Daerah Industri Pulau Batam, pembangunan Pulau Batam dipercayakan kepada
Badan khusus yang bernama Otorita Pengembangan Industri Pulau Batam atau
yang lebih dikenal dengan Otorita Batam(selanjutnya disebutkan OB) Pasal 4
Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973, tugas dari OB adalah sebagai berikut;
a. Mengembangkan dan mengendalikan pembangunan Pulau Batam
sebagai suatu daerah industri;
b. Mengembangkan dan mengendalikan kegiatan-kegiatan dan pengalih-
kapalan (transhipment) di Pulau Batam;
c. Merencanakan kebutuhan prasarana dan penguasaan instalasi-instalasi
prasarana dan fasilitas lainnya;
d. Menampung dan meneliti permohonan izin usaha-usaha yang diajukan
oleh para penguasa serta mengajukannya kepada instansi-instansi
yang bersangkutan;
e. Menjamin agar tata-cara perizinan dan pemberian jasa-jasa yang
diperlukan dalam mendirikan dan menjalankan usaha di Pulau Batam
dapat berjalan lancar dan tertib, segala sesuatunya untuk dapat
menumbuhkan minat para pengusaha menanamkan modalnya di Pulau
Batam.
Dilihat dari pasal tersebut OB mempunyai hak untuk mengelola dan
merencanakan kebutuhan prasarana penguasaan instalasi-instalasi prasarana dan
2
fasilitas lainnya, termasuk dalam pengelolaan air diberikan kewenangan oleh
pemerintah pusat sebagai penyelenggara pemerintah khususnya di bidang
ekonomi untuk mengembangkan Pulau Batam.
Tersedianya sarana dan prasarana publik khususnya air yang memadai
merupakan satu hal yang sangat penting untuk dapat memenuhi tuntutan
kebutuhan masyarakat Batam saat itu. OB saat itu dalam memenuhi kewajibannya
untuk menyediakan sarana dan prasarana publik dihadapkan pada keterbatasan
sumberdaya oleh pemerintah, baik finansial, maupun sumber daya manusianya
(SDM). Karena pasokan air terbilang minim OB yang mengelola pengairan hanya
bisa menghasilkan sekitar 500 liter per detik. Padahal kapasitas air baku mencapai
850 liter per detik. Padahal, Batam dipersiapkan secara khusus sebagai kawasan
industri untuk saling berhadapan dengan Negara Singapura. Ditengah-tengah
keterbatasan yang ada maka, Maka muncullah ide dari Ketua Otorita Batam saat
itu BJ Habibie untuk melakukan pengelolaan air bersih oleh pihak swasta agar
pengelolaan air bersih di Pulau Batam dapat dilaksanakan secaara profesional
yang kemudian Otorita Batam saat itu menunjuk konsorsium PT Adhya Tirta
Batam(selanjutnya disebutkan PT. ATB) sebagai pengelola air, konsorsium yang
terdiri dari perusahaan Biwater Biwater International, PT Bangun Cipta
Kontraktor,dan PT Syabata Cemerlang.
Dalam Pasaribu (2009:56-57) Otorita Batam menyetujui rencana kerjasama
pengelolaan air bersih di Pulau Batam dengan sistem Build Operate and Transfer
(BOT) dengan catatan sebagai berikut :
a. Konsorsium Biwater&Co. menjual langsung produknya kepada
konsumen dengan tarif yang kompetitif dengan tarif di Singapura.
b. Kualitas air dan pelayanan agar sama dengan kualitas air dan
pelayanan di Singapura.
3
c. Konsorsium Biwater&Co. Membeli air baku dari Otorita Batam
dengan harga yang sama dengan air baku yang dibeli Singapura dari
Johor dan Pulau Bintan.
d. Otorita Batam mempertimbangkan untuk menyertakan saham pada
konsorsium sebesar 20%.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif, sedangkan informan
penelitian terdiri dari Ir. Tutu Witular selaku Kepala Bidang Pengelolaan Air BP
Batam, Rahimin, selaku Kepala Seksi Air Baku BP Batam, Rr. Ely Nugrahini,
ST, selaku Kepala Seksi Air Bersih BP Batam, Joan, S.E, selaku Staff Corporate
Communication PT. Adhya Tirta Batam. Pemilihan informan yang diwawancarai
sebagai sumber data dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sample.
Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer
yang didapat secara langsung dari informan penelitian, serta data sekunder yang
merupakan data pendukung untuk melengkapi data primer, yang diperoleh
melalui dokumen atau laporan tertulis dari lokasi dan informan penelitian.
Teknik pengumpulan yang digunakan yaitu wawancara, observasi serta
dokumentasi yang dilakukan oleh penulis di Kantor Badan Pengusahaan Kota
Batam, Kantor PT. Adhya Tirta Batam selama kurang lebih 30 hari.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Analisisa Pengelolaan Air Bersih di Batam berdasarkan
Karakteristik Public Private Partnership
1.1 Analisis Design
Dalam proses Design atau dalam proses kerjasama pemerintah swasta
biasa berarti proses perencanaan serta pengembangan konsep pada sebuah
proyek yang akan dikerjasamakan, dalam proses pengelolaan air bersih di
Kota Batam, proses design ini sepenuhnya dilaksanakan oleh PT. ATB
4
termasuk didalamnya dalam pembuatan rencana bisnis tahunan kepada BP
Batam untuk dievaluasi. Dalam proses kerjasama pengelolaan air bersih di
Kota Batam design yang disepakati perjanjian konsesi antara BP Batam dan
perusahaan konsorsium Biwater International Limited, PT. Bangun Cipta
Kontraktor dan PT. Syabata Cemerlang digunakan adalah model skema
kerjasama BOT (Build, Operate, Transfer) atau dalam dalam bahasa Indonesia
kita kenal dengan Bangun, Kelola, Alih Milik, dimana dengan skema ini BP
Batam sebagai pemberi konsesi menyerahkan tanggungjawab dan kewenangan
kepada swasta dalam hal ini perusahaan konsorsium untuk mengoperasikan
dan memelihara sistem infrastruktur termasuk kewajiban untuk membiayai
dan mengelola investasinya selama jangka waktu yang disepakati(kita kenal
sebagai periode konsesi) dan di akhir periode tersebut, instalasi dan fasilitas
dialihkan kepemilikannya kepada pemberi konsesi, dalam hal ini kembali
kepada BP Batam.
1.2 Analisis Build
Pembangunan infrastruktur pendukung dalam proses pengelolaan air
bersih di Kota Batam dalam hal ini seperti dilakukan oleh kedua belah pihak,
BP Batam memiliki peranan membangun waduk, 5 WTP awal(sebelum
konsesi) dan pemasangan jaringan pipa distribusi untuk melayani kebutuhan
air bersih untuk seluruh masyarakat Batam dan mendukung aktifitas atau
kegiatan yang memerlukan air bersih, sedangkan PT. ATB sesuai dengan
kewajiban yang tertuang dalam isi perjanjian konsesi untuk mengadakan dan
membangun fasilitas baru berupa instalasi penyediaan air bersih yang baru
5
termasuk penampungan air bersih/reservoir dan stasiun pompa, jaringan
transmisi baru dan jaringan distribusi air.
Tabel 1 Waduk PT. ATB
No WTP Volume
Waduk (m3) Tahun
Pembangunan Tahun
Beroperasi Kapasitas
Waduk Kapasitas Produksi
1 Sei Harapan 3.600.000 1978 1979 210 l/dt 210 l/dt
2 Muka
Kuning 12.270.000 1989 1991 310 l/dt 600 l/dt
3 Sei Ladi 9.490.000 1985 1986 240 l/dt 240 l/dt
4 Nongsa 720.000 1978 1979 60 l/dt 60 l/dt
5 Duriangkang 78.180.000 1990 2001 3000 l/dt 2.200 l/dt
6 Tanjung
Piayu 78.180.000 1990 2001
Dari duriangkang
300 l/dt
Total 3.820 l/dt 3.610 l/dt
Sumber: PT. ATB
PT ATB merupakan sebagai perusahaan yang mendapat konsensi
hingga saat ini telah mempunyai jumlah pelanggan lebih dari 282.000.
Secara keseluruhan permintaan air bersih di Pulau Batam
menunjukkan pertumbuhan dari tahun ke tahun. Berdasarkan Perjanjian
Konsesi, pengadaan air baku merupakan kewajiban BP Batam. Sumber
air baku yang diproses PT ATB berasal dari 6 (enam) waduk yang
terdapat di Pulau Batam yakni Baloi, Sei Harapan, Sei Ladi,
Mukakuning, Nongsa dan Duriangkang yang diproduksi pada 5
(lima)Water Treatment Plant(selanjutnya disebut WTP), debit air baku
pada 6 (enam) waduk yang merupakan tadah hujan dengan volume
mencapai jutaan meter kubik (m3). Namun sejak tahun 2017 hingga saat
ini waduk Baloi tidak dapat digunakan disebabkan terjadinya
pencemaran oleh masyarakat liar yang berada pada kawasan waduk
tersebut.
6
Grafik 1 Kapasitas Produksi Air PT.ATB Tahun 1995-2017
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
1995 2005 2012 2013 2014 2017
Kapasitas Produksi
Kapasitas Produksi
Sumber: Data diolah penulis,2019
Pada kondisi awal konsesi, kapasitas WTP terpasang adalah 850 l/dt dengan
jumlah satuan sambungan 15.810 sambungan yang mana penduduk saat itu
tercatat 247.956 jiwa dengan cakupan pelayanan pada saat itu hanya 35,71%.
Hari ini berdasarkan data yang dimiliki oleh BP Batam sampai dengan
Desember 2017, kapasitas WTP terpasang adalah 3.610 l/dt dengan jumlah
satuan sambungan 257.905 sambungan dengan cakupan pelayanan pada saat
ini mencapai angka 99%. Terjadi peningkatan yang cukup signifikan terhadap
kapasitas produksi air yang dilakukan oleh PT.ATB dengan kata lain tujuan
awal konsesi ini dikerjasamakan bersama PT.ATB berhasil menjawab
keterbatasan pengelolaan air serta infrastruktur pendukung saat ini.
1.3 Analisis Finance
Berawal dari Biwater Internasional, PT Bangun Cipta Kontraktor, dan
PT Syabata Cemerlang disepakati, Ketiga perusahaan itu kemudian
7
membentuk PT. ATB pada 3 Agustus 1995 berdasarkan akte Notaris Ny.
Poerbaningsih Adi Warsito,S.H No 28. Konsorsium itu menggelontorkan dana
RP. 5.590.000.000,- (lima milyar lima ratus sembilan puluh juta rupiah) yang
menjadi modal PT. ATB sebagai pengelola tunggal air bersih di Batam.
Pada awal perjanjian konsesi, PT.ATB menyewa peralatan produksi dan
distribusi air bersih dengan kapasitas 850 liter/detik dari OB dengan nilai aset
sebesar Rp. 42.000.000.000,- (empat puluh dua milyar rupiah). Berdasarkan
analisis investasi, pembangunan WTP sampai akhir masa konsesi pada tahun
2020 diproyeksikan dengan nilai investasi sebesar Rp. 650.000.000.000,-
(enam ratus lima puluh milyar rupiah) Sesuai dengan isi perjanjian konsesi
pendanaan guna menjalankan jasa pelayanan distribusi air bersih kepada
masyarakat Batam sebagai konsumen menjadi kewajiban dari PT. ATB
termasuk untuk membangun, merehabilitasi, memperluas aset yang diperlukan
selama proses kerjasama pengelolaan air tersebut, oleh karena ini PT. ATB
berhak menagih serta menerima langsung pembayaran dari konsumen guna
membiayai seluruh proses kerjasama pengelolaan air bersih di Batam seperti
membeli air baku kepada BP Batam, sewa tetap aset lama, pajak air
permukaan kepada Pemerintah Provinsi sesuai dengan Peraturan Gubernur
Kepulauan Riau Nomor 25 Tahun 2016 (selanjutnya disebutkan Pergub Kepri
No. 25/2016) tentang Nilai Perolehan Air Permukaan Sebagai Dasar
Penetapan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Permukaan di Wilayah
Provinsi Kepulauan Riau berdasarkan Pergub Kepri No. 25/2016, Nilai
Perolehan Air(NPA) sebagai Dasar Penetapan Pajak Pengambilan dan
Pemanfaatan Air Permukaan di Kota Batam, PT. ATB diwajibkan membayar
8
Rp.1.886/m3 besaran angka yang sangat besar dibandingkan dengan yang
harus dibayarkan oleh PDAM yang hanya Rp. 150/m3.
Terkait perhitungan dan penetapan tarif sesuai dengan PP 122 Tahun
2015 tentang Sistem Penyediaan Air Minum harus didasarkan pada beberapa
prinsip-prinsip seperti: keterjangkauan dan keadilan, mutu pelayanan,
pemulihan biaya, efisiensi pemakaian air, transparansi dan akuntabilitas, dan
perlindungan Air Baku. Dan jikalau tarif PT. ATB yang merupakan
perusahaan swasta yang melakukan pengelolaan air di Kota Batam dengan
PDAM Tirta Kepri yang merupakan BUMD Provinsi Kepulauan Riau terdapat
perbandingan yang kompetitif dan cenderung lebih murah untuk kebutuhan
rumah tangga pada umumnya. PT. ATB dalam penetapan tarif mengenakan
sistem tarif progresif, yaitu pengenaan tarif berdasarkan volume pemakaian,
sistem yang sama dengan yang digunakan PDAM Tirta Kepri.
Besaran tarif yang ditetapkan oleh PT. ATB setelah mendapatkan
persetujuan dari OB sebagai pemegang konsesi, sejak 1995 PT. ATB sudah
menaikkan besaran tarif sebanyak 8 (delapan) kali yaitu pada tahun 1998,
2000, 2002, 2 kali pada tahun 2003, Januari 2008, April 2008, September
2011. Dan jikalau kita buat simulasi sederhana tarif yang harus dibayarkan
pelanggan rumah tangga kepada kedua perusahaan pengelola air tersebut:
Tabel 2 Perbandingan Harga PT. ATB dan PDAM Tirta Kepri
Perusahaan Pemakaian Air(m3) Tarif Air(Rp/m3)
PT. ATB
0-10 11-20
21-30 31-40
2000 2530
5850 8425
PDAM Tirta Kepri
0-10 11-20 21-30
31-40
2600 3850 5350
7500
Sumber: Data diolah oleh penulis,2019
9
1.4 Analisis Maintain
Pada dasarnya aset yang di bangun oleh BP Batam maupun PT. ATB
dalam proses kerjasama pengelolaan air bersih merupakan sumber daya yang
sangat penting dan berharga bagi kelangsungan proses pengelolaan air bersih
di Kota Batam, dengan pengelolaan aset secara baik, benar, tepat dan
professional maka hasil yang di dapatkan menjadi lebih optimal, dalam
perawatan aset ini PT. ATB diwajibkan mengasuransikan seluruh fasilitas
aset, dalam hal ini perawatan yang dilakukan PT. ATB seperti perawatan
jaringan dan perbaikan kebocoran pipa.
1. Tingkat Kehilangan Air(Non Revenue Water/NRW)
Tingkat kehilangan air rata-rata 3 bulanan dan 12 bulanan dalam 12 bulan
terakhir sejak April 2017 dapat dilihat pada tabel berikut
Grafik 2 Tingkat Kehilangan Air (NRW)
Sumber: PT. ATB
Kehilangan air bulanan 15,59%, 3 bulanan 17,08%, dan tahunan 16,43%,
maka dari itu sebagai strategi dalam mengatasi kehilangan air.
10
Berbagai upaya dilakukan dalam proses maintain selaian NRW yaitu maintain
pada tangki air yang mana sampai dengan Maret 2018 sebanyak total 1.000m3
volume tangki reservoir telah dibersihkan, penggantian pipa distribusi air
sepanjang 8.716 meter pada periode Januari-Maret 2018, pemasangan pipa
baru yang terpasang adalah 93 meter Steel pipe, 0 meter pipa DCIP dan
11.524 meter pipe PE, sehingga total pipa baru yang terpasang adalah 11.616
meter pada periode yang sama yaitu Januari-Maret 2018. Lebih lanjut, PT.
ATB juga melakukan perbaikan kebocoran dan perawatan jaringan karena
menurut data, jumlah kebocoran hingga Maret 2018 adalah 55% di pipa 0.75”,
34% di pipa 2” atau kebocoran hingga diameter 2” adalah 94,4%, total
kebocoran pada periode Januari-Maret 2018 ini untuk pipa hingga 2” adalah
1.059 titik atau terdapat peningkatan sebesar 76 titik(7,7%) lebih banyak
dibandingkan periode sebelumnya, sedangkan jumlah kebocoran untuk
diameter 2” ke atas adalah 71 titik atau terdapat penurunan sebesar 6
titik(7,8%) dibandingkan periode sebelumnya. Berdasarkan data yang ada,
Tingkat kehilangan air PT.ATB dari tahun ke tahun selalu berada dibawah
angka nasional yang berada pada angka 32,80% sesuai dengan yang
dinyatakan oleh BPPSAM dalam laporan resminya pada tahun 2017. Hal ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Marin (2009:4) dalam
laporannya beberapa negara berkembang seperti Afrika Barat, Brazil,
Kolombia, Moroko, Filipina sektor swasta mampu mengurangi NRW level
kurang dari 15% sebuah efiensi yang signifikan.
11
1.5 Analisis Operate
Dalam perjanjian konsesi, diatur bahwa PT ATB antara lain wajib
memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat sekaligus mendistribusikan air
bersih sesuai dengan kriteria standar WHO ”Guideline for Drinking Water
Quality” 1984 dalam menjaga kualitas air minum padahal di Indonesia telah
terdapat pedoman sendiri yang diatur pada Peraturan Menteri Kesehatan
(PERMENKES) No.492/MENKES/SK IV/2010 tentang persyaratan kualitas
air minum di Indonesia.
Tabel 4.3 Hasil Pengujian Kualitas Air PT.ATB
Parameter Satuan
Kadar maksimum izin (PERMENKES)
No.492/MENKES/SK IV/2010
Hasil
Pengujian(rata-rata)
Keterangan
Kekeruhan Ntu 5,0 3,3 Memenuhi
Ph 6,5-8,5 6,9 Memenuhi
Besi (fe) mg/lt 0,3
0,13 Memenuhi
Mangan
(Mn)
mg/lt 0,4 0 Memenuhi
Amonia (NH3)
mg/lt 1,5 0,18 Memenuhi
Klorida (Cl)
mg/lt 250 17,8 Memenuhi
Nitrit
(NO2)
mg/lt 3 0,01 Memenuhi
Nitrat (NO3)
mg/lt 50 0,09 Memenuhi
Sulfat (SO4)
mg/lt 250 0 Memenuhi
Berdasarkan tabel diatas, maka dapat disimpulkan parameter-parameter
kualitas air produksi PT.ATB telah memenuhi standar PERMENKES
No.492/MENKES/SK IV/2010 tentang persyaratan kualitas air minum di
Indonesia. Sebagai perusahaan yang bergerak dalam bidang utilitas, sangat
penting bagi PT. ATB menerapkan teknologi demi menghasilkan pelayanan
12
prima bagi pelanggan/masyarakat Batam, dalam hal ini PT.ATB
menggunakan teknologi aplikasi SCADA(Supervisory Control and Data
Acquisition) dan GIS (Geographic Information System), dimana melalui
aplikasi tersebut PT.ATB dapat memegang kendali mutu dan pengawasan
jarak jauh terhadap proses produksi air bersih sekaligus pendistribusiannya
kepada pelanggan yang berlangsung di setiap Instalasi Pengolaan
Air(selanjutnya disebutkan IPA), lewat perangkat SCADA operator dapat
mendeteksi kekuatan aliran dan tekanan air, debit air, kapasitas serta kualitas
air yang diproduksi dari satu tempat, SCADA berperan sangat penting dalam
upaya PT.ATB menurunkan tingkat kebocoran dengan cara mengoptimalkan
manajemen sumber daya, energi dan pembiayaan.
Hal ini juga menguntungkan baik PT.ATB dan juga pelanggan, karena
dengan rendahnya tingkat kebocoran membuat pelanggan menerima
pelayanan terbaik dari PT.ATB yang mana berdasarkan data yang diperoleh
dari PT.ATB sampai dengan Desember 2017 Tingkat Non-Revenue
Water(NRW) atau tingkat kebocoran air PT.ATB hanya 16% dan merupakan
yang terendah di Indonesia dengan rata-rata nasional di angka 33-34%.
Penerapan teknologi tersebut guna mengoptimalkan pemanfaatan seluruh
sumber daya khususnya sumber daya air baku sesuai dengan kewajiban yang
tertuang dalam isi perjanjian konsesi.
Tidak berhenti disana, dalam proses operasional, PT. ATB juga
membangun teknologi ATB Integrated System(AIRS) yang merupakan
Enterprise Resource Planning(ERP) System yaitu sebuah sistem integrasi
dengan seluruh aplikasi terapan yang ada di customer care, billing, meter
13
reading, planning, project, finance and accounting, production, distribution
serta NRW. Dengan konsep otomasi dan workflow management system,
seluruh proses dapat ditelusuri sampai pada progress yang dapat dimonitor
oleh seluruh petugas terkait, teknologi ini dibangun dalam upaya
meningkatkan pelayanan kepada pelanggan.
2. Implikasi Putusan Makhamah Konstitusi (MK) Nomor 85/PUU-XI/2013
tentang Sumber Daya Air terhadap Kebijakan Pengelolaan Air Bersih
Permohonan pengujian kembali terhadap UU No.7 Tahun 2004 tentang
Sumber Daya Air terdapat dalam perkara Nomor 085/PUU-XI/2013. Dalam
perkara tersebut Mahkamah memutuskan untuk mengabulkan permohonan
pemohon untuk seluruhnya dan menyatakan UU No.7 Tahun 2004 tentang
Sumber Daya Air bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan
hukum mengikat. Putusan tersebut juga sekaligus memberlakukan kembali UU
No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan sebagai pengganti UU No.7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air yang telah dibatalkan. Dalam pertimbangannya
Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa sebagai unsur yang menguasai hidup
hajat orang banyak, sesuai pasal 33 ayat (2) dan (3) haruslah dikuasai oleh negara,
sehingga dalam pengusahaan air harus ada pembatasan ketat sebagai upaya
menjaga kelestaraian dan ketersediaan air bagi kehidupan. Dengan dicabutnya UU
SDA oleh Mahkamah Konstitusi, maka untuk mencegah kekosongan hukum
hingga dibentuknya Undang-Undang baru, maka Mahkamah Konstitusi
menghidupkan kembali Undang-Undang No.11 Tahun 1974 tentang Pengairan
(selanjutnya disebut UU Pengairan). Air pada awalnya adalah Collective Goods.
Menurut Sargeson dalam Endaryanta (2007:19) Sifat dari “barang bersama” atau
14
“collective goods” memiliki beberapa bentuk, Pertama; adalah dibedakan dari
tingkat penyediaan dan penggunaan, dirancang dalam usaha bersama dan
umumnya tidak diberi nilai ekonomis seperti dalam pasar. Kedua; diproduksi
secara sukarela oleh Negara, organisasi kemasyarakatan atau proses pewarisan
nilai atau regenerasi secara turun-temurun yang ditujukan secara ideologis atau
dibentuk kebiasaan secara praktik. Ketiga; non excludability(tidak ada orang yang
dapat dikecualikan dari penggunaan barang tersebut) dan non rivalry(konsumsi
dari barang tersebut tidak mengurangi ketersediaan barang tersebut untuk orang
lain). Karenanya air beserta sumbernya harus dilindungi dan dijaga
kelestariannya disamping air tersebut mempunyai fungsi serta dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Implikasi yang dapat dirasakan dengan munculnya Putusan MK Nomor
85/PUU-XI/2013 tentang Sumber Daya Air adalah memberikan ruang sangat
besar bagi BUMN/BUMD dalam mengurusi kebutuhan air masyarakat yang mana
dalam hal ini PDAM itu sendiri, PDAM sebagai salah satu perwujudan pelayanan
penyediaan air minum oleh Negara untuk masyarakat Indonesia faktanya masih
kurang mampu melaksanakan fungsinya.
Menurut laporan hasil penilaian kinerja PDAM tahun 2017 oleh BPPSPAM,
dari 378 PDAM di Indonesia, terdapat 55,3% (209 PDAM) dengan kriteria sehat,
27,2% (103 PDAM) dengan kriteria kurang sehat ,dan 17,5% (66 PDAM) yang
dinyatakan dengan kondisi sakit, selain kinerja PDAM yang merupakan milik
BUMN/BUMD yang menarik dari laporan tersebut juga diungkapkan bahwa
cakupan pelayanan teknis baru mencapai angka 45,90% yang mana rendahnya
cakupan pelayanan ini disebabkan karena adanya keterbatasan sumber air baku,
15
kapasitas IPA, jaringan transmisi dan distribusi, pendanaan PDAM, serta adanya
alternatif sumber daya air lain yang membuat masyarakat kurang berminat
menjadi pelanggan PDAM.
3. Tantangan
3.1 Tantangan Yuridis
Pasca pembatalan UU SDA melalui Putusan MK Nomor 85/PUU-
XI/2013, maka seluruh regulasi turunannya di tingkat pusat, provinsi, dan
kabupaten/kota secara otomatis akan menjadi batal demi hukum dan secara
otomastis pula kita butuh UU SDA yang baru agar kedepan pelaksanaan
pengembangan SPAM berjalan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dan memberikan kepastian hukum
bagi seluruh aktor sebagai pedoman pelaksanaan pengelolaan serta
penyediaan air minum dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkungan
hidup, dan ekonomi pada aspek konservasi, pendayagunaan, pengendalian
daya rusak, serta sistem informasi.UU SDA yang baru juga harus up to
date terhadap kompleksitas permasalahan pengembangan sistem air
minum di Indonesia. Karena itu menurut PAAI (2016:54) air harus
dikelola dengan struktur regulasi yang baik dalam rangka memanajemen
potensi sumber daya air.
3.2 Tantangan Manajemen
Menurut laporan hasil penilaian kinerja PDAM tahun 2017 oleh
BPPSPAM, masih banyak PDAM dengan kinerja kurang baik, sekelumit
permasalahan yang terjadi dalam pengelolaan air bersih oleh PDAM bisa
memberi gambaran bahwa Pemerintah masih belum dapat
16
mempergunakan sumber daya air untuk sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat, pemerintah masih menghadapi dilema, di satu sisi
pemerintah ingin “mandiri” dalam pengelolaan sumber daya air sehingga
masyarakat dapat secara optimal menikmati hasilnya, namun di sisi lain
kita juga mengalami masalah permodalan, sumber daya manusia, dan
teknologi.
Kinerja PT. ATB yang telah teruji dengan berbagai pencapaian yang
telah diraih seperti Perpamsi Award 2009, 2013 & 2015 sebagai pelayanan
air minum terbaik, Top BUMD Tahun 2017 & 2018 bidang kinerja dan
manajemen, mendapatkan sertifikat emas dan bendera emas Sistem
Manajemen Keselamatan dan Kesehaatan Kerja (SMK3) untuk
pencapaaian 99% kesesuaian persyaratan SMK3 sesuai dengan PP 50
Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan
Kesehaatan Kerja serta pencapaian lainnya. harus menjadi pilot project
Pengelolaan Air di Batam bahkan di Indonesia. Keterlibatan seluruh
stakeholder dalam seluruh aspek seperti perencanaan, tahapan konstruksi,
administrasi, manajemen, penyelesaian permasalahan menjadi kunci El-
Gohary, Osman, & El-Diraby (2006). Hari ini PT.ATB telah diakui
sebagai benchmark bagi perusahaan air dalam dan luar negeri serta
industri global. Benchmark secara umum diartikan Gregory H. Watson
dalam Varcoe (1996:43) adalah sebagai berikut:
“A continuous search for the application of significantly better
practices that leads to superior competitive performance.”
17
Atau dapat kita artikan sebagai Upaya terus-menerus untuk mencari dan
menetapkan cara kerja yang lebih baik dalam menghasilkan kinerja yang
lebih unggul dan kompetitif.
3.3 Tantangan Sumber Daya
Pentingnya sumber daya dalam mendukung pelaksanaan kebijakan
pengelolaan air yang baik adalah penting guna mencapai tujuan kebijakan
tersebut. Sumber daya air, menjadi elemen terpenting dalam proses
pengelolaan dan penyediaan air di Batam. Wahyuni & Junianto (2017:123)
mengungkapkan dalam rencana pemenuhan air di Kota Batam pada masa
yang akan datang ada beberapa cara yang dapat dilakukan seperti:
1. Pembangunan Waduk & Estuari, estuari merupakan perairan pantai
setengah tertutup tempat air laut bertemu dengan air tawar;
2. Penyulingan Air Laut;
3. Sumur Resapan Biopori.
Sumber daya manusia, merupakan elemen yang juga tidak kalah penting
dalam hal ini, untuk merencakan, mengelola, mengorganisasikan, melakukan
kontrol dalam memberikan kontribusi positif bagi tujuan –tujuan kebijakan
maupun organisasi secara efektif dan efisien, Priyono (2010:4). PT. ATB sendiri
hari ini telah melakukan downsizing sebagai upaya peningkatan produktifitas,
efektifitas dan efisiensi perusahaan.
PT. ATB menurut daya yang penulis dapatkan dari informan J per
Desember 2017 rasio jumlah karyawan PT. ATB berada pada angka 2,15 per
1.000 pelanggan dan pada periode yang sama PT.ATB telah memiliki 274.757
pelanggan, sedangkan PDAM Tirta Kepri pada 2017 menurut hasil penelitian
Wulandari (2018:10) PDAM Tirta Kepri memiliki 117.362 pelanggan dengan
rasio jumlah karyawan berada pada angka 7,96 per 1.000 pelanggan dan
18
mendapatkan peringkat 179 dari 378 PDAM diseluruh Indonesia oleh BPPSPAM
pada tahun 2017. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Gassner,
Popov, & Pushak (2009:48) menemukan bahwa dengan jumlah karyawan yang
sedikit dapat meningkatkkan produktifitas karyawan diseluruh sektor dan
dibandingkan dengan perusahaan yang menggunakan karyawan yang lebih
banyak terbukti menghasilkan output kinerja yang sama bahkan lebih baik.
Sumber daya materi, dalam pelaksanaan pengembangan SPAM tentunya
diperlukan suatu pembiayaan, pembiayaan ini tentu saja untuk membiayai sistem
fisik maupun sistem non fisik.
KESIMPULAN
Proses pengelolaan air yang dilakukan dengan skema public private partnership
dengan bentuk BOT (Build, Operate, Transfer) antara Badan Pengusahaan Batam
sebagai aktor pemerintah dan PT. Adhya Tirta Batam sebagai aktor swasta selama
kurang lebih 23 tahun sejak 17 April 1995 dan akan berakhir pada 16 April 2020,
memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap perkembangannya, yang
mana sebelum konsesi kapasitas produksi air hanya 500 liter/detik sementara
sekarang kapasitas produksi adalah 3.610 liter/detik yang di distribusikan kepada
seluruh masyarakat Batam yang mencapai 1,2 juta penduduk dengan penggunaan
teknologi SCADA dan GIS hingga dapat menekan tingkat kebocoran air pada
angka 16% dan kualitas air yang cukup baik sesuai dengan Peraturan Menteri
Kesehatan No.492/MENKES/SK IV/2010 tentang persyaratan kualitas air minum
di Indonesia.
19
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Gassner, K., Popov, A., & Pushak, N. (2009). Does Private Sector Participation
Improve Performance in Electricity and Water Distribution? Washington DC:
World Bank. doi:10.1596/978-0-8213-7715-4
Varcoe, B. J. (1996). Business‐driven facilities benchmarking. Facilities, 14(3),
42 - 48. doi:https://doi.org/10.1108/02632779610112535
Jurnal dan Publikasi :
El-Gohary, N. M., Osman, H., & El-Diraby, T. E. (2006). Stakeholder
Management for Public Private Partnerships. International Journal of Project
Management, 24(7), 595–604. https://doi.org/10.1016/j.ijproman.2006.07.009
Endaryanta, E. (2007). Politik Air di Indonesia: Penjarahan Si Gedhang oleh
Korporasi Aqua-Danone. Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan, 1-185
PAAI. (2016). Quo Vadis Airtanah untuk Tanah Air Indonesia. Bandung:
Perhimpunan Ahli Airtanah Indonesia.
Pasaribu, A. H. (2009). Kajian Penerapan Pasal 50 Huruf a Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 “Studi Kasus Pengelolaan Air Bersih di Pulau Batam
oleh PT Adhya Tirta Batam.” FE UI. Universitas Indonesia.
Priyono. (2010). Manajemen Sumber Daya Manusia. Surabaya: Zifatama.
Wahyuni, A., & Junianto. (2017). Analisa Kebutuhan Air Bersih Kota Batam
Pada Tahun 2025. TAPAK, 116-126
Peraturan, Undang-Undang, dan sejenisnya.
Republik Indonesia. (1973). Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 Tentang
Daerah Industri Pulau Batam. Indonesia.