pengawasan perilaku hakim oleh komisi...
TRANSCRIPT
PENGAWASAN PERILAKU HAKIM OLEH KOMISI YUDISIAL
(Studi Kasus Penyimpangan Etika dan Perilaku Hakim)
SkripsiDiajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
M. Zulfikar Rhomi Prayoga
NIM : 1113048000032
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439H/2018
PENGAWASAN PERILAKU HAKIM OLEH KOMISI YUDISIAL(Studi Kasus Penyimpangan Etika dan Periluku Hakim)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
M. ZULFIKAR RIIOMI PRAYOGA
NIM: 1113048000032
NiP. 197202032007 011034 NIP. 19630305199103 1002
PROGRAM STT]DI ILMU HUKUMJAKULTAS SYARI'AII DAN HUKTJM
UNIVERSITAS ISLA1VI NE GERI
SYARIF HIDAYATULLAHJAKARTA
1439 rV2018 M
0leh:
Pembimbing I: Pembimbing II:
LEMBAR PENGESAHAN UJTAN
SKTiPSi YANg bETJUdUI PENCAWASAN PERILAI(LJ HAKIM OLEH KOIVIISI YUDISIAL(Sl UDI KASUS PENYIMPANGAN ETIKA DAN PERILAI(U HAKIM) telah diajukan datam
sidang tnunaqasah Fakr-rltas Syariah dan Hukum Prograrn Stucli Ihnu Hukum Universitas Islam
Negeri SyarilHidayatullah.lakarta pad,a27 Maret 2018. Skripsi ini telah cliterima sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) pacla Program Studi Ilmu Hukurn.
Jakarta, April2018
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukurn
Ketua
Sekr-etaris
Pembirnbing I
Pembimbing II
Penguji I
Pengqji II
PANITIA UJIAN
: Dr. Asep S),arifuddin Hidayat. S.H.. M.H.
NIP. 19691216199603 l00l: Drs- Abu Thamrin. S-H.. M.Hum
NrP. 19650908 199s03 1001
: Dr. Al Fitra. S.H.. M.Hunt
NIP. 1 9720203200701 1 034
: Drs. Nor Yamin aini. M.A.
NIP. 196303051 99103 I 002
: Dr. Burhanudin. M.Hum
NiP. 19590319t97912 l00l
: Ir. M. Nadratuzzaman Hosen. M.S.. MSc.. ph. D-,
NIP. 196 t0624 t 985 l2 t00l
NrP. 19691 2161996031001
LEMBAR PERNYATAAN
ORISINALITAS
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata I di Universitas Islam Negeri OfN)Syarif Hidayatullah Jakarta.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas IslamNegeri rufN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jika kernudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya berse<iia menerima sanksi
yang berlaku di Universitas Islam Negeri Of$ Syarif Hidayatullah Jakarta.
i9 Maret 2018
M. ZULFIKAR RHOMI PRAYOGA
aJ.
iii
ABSTRAK
M. Zulfikar Rhomi Prayoga NIM 1113048000032, “PENGAWASAN
PERILAKU HAKIM OLEH KOMISI YUDISIAL (STUDI KASUS
PENYIMPANGAN ETIKA DAN PERILAKU HAKIM)”, Strata Satu (S1),
Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Kelembagaan Negara, Fakultas Syari’ah
dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439
H/2018 M, X+67 halaman.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui pengawasan perilaku hakim oleh
Komisi Yudisial. Secara khusus, skripsi ini mencoba mendalami kewenangan Komisi
Yudisial dalam mengawasi hakim dalam rangka menegakkan Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim. Disamping itu skripsi ini juga mencoba membahas tentang
beberapa kasus yang terjadi dalam penegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim oleh Komisi Yudisial. Terakhir Penulis mencoba membahas peran Komisi
Yudisial dan Mahkamah Agung dalam pemberian sanksi apabila terjadinya perbedaan
pendapat antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung..
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) melalui
pendekatan perundang-undangan (statute approach). Penelitian ini menggunakan
metode pengumpulan data berupa studi pustaka. Melalui studi pustaka peneliti
mengumpulkan dokumen dan data untuk diolah menggunakan metode analisis isi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kewenangan pengawasan Komisi Yudisial
dalam mengawasi hakim masih lemah. Terbukti dengan tidak adanya kekuatan
hukum mengikat dan sanksi apabila rekomendasi sanksi yang diajukan oleh Komisi
Yudisil kepada Mahkamah Agung ditolak. Walaupun dalam Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2011 diatur apabila rekomendasi sanksi dari Komisi Yudisial ditolak oleh
Mahkamah Agung dapat berlaku otomatis. Lalu, Peran Komisi Yudisial dan
Mahkamah Agung juga tidak berjalan dengan baik dalam menegakkan Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim. Tidak adanya penjelasan yang lebih rinci terhadap mana
teknis yudisial dan mana ranah kode etik. Sehingga menyebabkan terjadinya benturan
pendapat antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung yang Mengakibatkan
banyaknya rekomendasi sanksi dari Komisi Yudisial yang ditolak oleh Mahkamah
Agung.
.
Kata Kunci : Pengawasan, Hakim, Komisi Yudisial, Mahkamah Agung. Kode Etik,
Perilaku Hakim
Pembimbing : 1. Dr. Al Fitra, S.H., M.Hum
2. Drs. Noryamin Aini, M. A.
Daftar Pustaka : Tahun 1996 s.d Tahun 2017.
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi
“Pengawasan Perilaku Hakim Oleh Komisi Yudisial (Studi Kasus Penyimpangan Etika
dan Perilaku Hakim” tepat pada waktunya. Shalawat beserta salam semoga senantiasa
terlimpah curahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta para keluarga, kerabat dan
sahabatnya. Rasa syukur yang amat mendalam serta beribu-ribu ungkapan terima kasih
Penulis sampaikan kepada para pihak yang telah berkontribusi dalam menyumbangkan
ide, gagasan dan saran dalam penyusunan skripsi ini. Pada kesempatan kali ini, Penulis
ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta jajarannya.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H., Ketua Program Studi Ilmu Hukum
beserta Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum., Sekretaris Program Studi Ilmu
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan arahan dan
masukannya dalam penyusunan skripsi.
3. Dr. Al Fitra, S.H., M.Hum dan Drs. Noryamin Aini, M.A, selaku dosen
pembimbing yang penuh kesabaran, perhatian, dan ketelitian senantiasa
memberikan banyak ide, gagasan serta kritikan yang membangun dalam
Penulisan skripsi ini. Semoga ilmu yang diberikan dapat menjadi amal jariah
serta bernilai pahala yang berlimpah disisi Allah SWT.
4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah memberikan banyak ilmu dan wawasan kepada Penulis
selama perkuliahan.
5. Kedua orang tua tercinta dan tersayang Nasron Husein, S.H dan Dra. Mulyana
(Alm), atas kasih sayang, motivasi, dukungan, doa, perhatian, ilmu
vi
pengetahuan, arti kedisiplinan, serta tidak henti-hentinya menyemangati dan
mendoakan keberhasilan Penulis dalam penyusunan skripsi. Sehingga Penulis
dapat menyelesaikan pendidikan pada jenjang Perguruan Tinggi Negeri
Strata1.
6. Kepada saudara Penulis, kakak dan keponakan tercinta dan tersayang,
Novendaria Rosa Anita, S.H., M.H, Zakia Tiara Faragista, S.H., M.H , M.H
Azzam Al-Ghifary, dan Zhafira,. Terima kasih atas segala dukungan, perhatian,
dan kasih sayang yang telah kalian berikan.
7. Teman hidup Penulis, Erisya Ramadia Dardi yang telah membantu, memberi
semangat, serta menemani Penulis setiap waktu baik suka maupun duka.
Terima kasih atas perhatian, cinta, kasih sayang, dan waktunya yang diberikan
kepada Penulis. Semoga Allah senantiasa memberkati dan meridhai
kebersamaan kita.
8. Sahabat yang sudah menjadi layaknya Keluarga Deka Faiz Albar, M. Husaini,
Ade Juraynaldi, Arum Trigunadi dan Sahabat Sincan. Terima kasih telah
menghibur, menyemangati dan memberikan motivasi kepada penulis. Sukses
untuk kita semua.
9. Sahabat-sahabat seperjuangan Penulis yang sekaligus menjadi keluarga,
Ahmad Kandiaz, Muh. Eddy kurniawasn, Khaidir Musa, Mizana Ramadhan,
M. Nasrulloh, dan Wulida Misdillah Almatin yang telah membantu dalam
pengetahuan, memberikan semangat dan dukungan kepada Penulis sehingga
penelitian ini dapat terselesaikan.
10. Kawan-kawan HMPS Ilmu Hukum & KKN ON FIRE 2016 yang telah
membantu menambah wawasan erta memberikan semangat dan dukungan
untuk penulis.
11. Keluarga Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Fakultas Syariah dan Hukum
Cabang Ciputat, selalu yakin atas usaha kita untuk sampai pada tujuan.
vii
Besar harapan Penulis agar skripsi ini dapat memberikan manfaat yang berarti
bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya pada bidang hukum Kelembagaan
Negara. Kritik dan saran yang membangun sangat Penulis harapkan dari seluruh
pembaca, sehingga dapat memperbaiki kesalahan serta menyempurnakan kekurangan
dari hasil penelitian ini.
Jakarta, 19 Maret 2018
M. Zulfikar Rhomi Prayoga
viii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN .............................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................. iii
ABSTRAK ...................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR .................................................................................... v
DAFTAR ISI................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................. 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah....................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian..................................................... 7
D. Tinjauan Kajian Terdahulu............................................................ 8
E. Metode Penelitian.......................................................................... 9
F. Sistematika Penulisan................................................................... 12
BAB II PENGAWASAN PERILAKU HAKIM OLEH KOMISI YUDISIAL
DALAM SISTEM PENGAWASAN HAKIM
A. Teori Pengawasan dan Sistem Pengawasan Hakim ..................... 13
B. Kedudukan Komisi Yudisial Dalam Hukum Tata Negara ........... 17
C. Kewenangan Komisi Yudisial Mengawasi Perilaku Hakim ........ 21
BAB III KOMISI YUDISIAL DALAM FUNGSI PENGAWASAN
PERILAKU HAKIM
A.Pengawasan Perilaku Hakim oleh Komisi Yudisial...................... 27
B.Pelaksanaan Kerjasama antara Komisi Yudisial dan Mahkamah
Agung dalam Pemberian Sanksi terhadap Hakim Yang di Duga
Melanggar Kode Etik dan Perilaku Hakim ................................... 35
BAB IV PENEGAKAN KODE ETIK DAN PERILKU HAKIM OLEH
KOMISI YUDISIAL
A. Kewenangan Komisi Yudisial dalam Penyelesaian Kasus Hakim
yang Melanggar Ketentuan Undang-Undang dan Peraturan
Bersama yaitu Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim ............. 49
ix
B. Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim oleh Komisi
Yudisial dan Mahkamah Agung ................................................... 55
C. Dinamika Kerjasama antara Komisi Yudisial dan Mahkamah
Agung...................... ...................................................................... 61
Bab V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................... 65
B. Saran.................................................... ......................................... 66
DAFTAR PUSTAKA ……………………….................................... 67
x
DAFTAR TABEL
TABEL 3.1 Rekapitulasi Laporan Masyarakat dan Tembusan Tahun 2005-
2015.................................................................................................................. 31
TABEL 3.2 Penanganan Laporan yang Dapat Ditindak Lanjuti Tahun 2005-
2015.................................................................................................................. 33
TABEL 3.3 Pemeriksaan Hakim, Pelapor dan Saksi Tahun 2005-
2015.................................................................................................................. 34
TABEL 3.4 Rekomendasi Sanksi Oleh Komisi Yudisial Kepada Mahkamah
Agung Tahun 2005- Maret 2015...................................................................... 37
TABEL 3.5 Pendapat/Penilaian Mahkamah Agung Terhadap Rekomendasi
Penjatuhan Sanksi Periode 2005- 30 Juni 2012 ............................................... 38
TABEL 3.6 Pelaksanaan Sidang Majelis Kehormatan Hakim Tahun 2009-Maret
2015.................................................................................................................. 41
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pengawasan terhadap hakim merupakan fungsi dari Komisi Yudisial
yang dijamin oleh Undang-Undang. Komisi Yudisial dibentuk sebagai
lembaga pembantu (Auxiliary State`s Organ) di dalam rumpun kekuasaan
kehakiman yang diatur dalam Pasal 24B Undang-Undang Dasar 1945 dan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial.1 Pentingnya
akuntabilitas dalam sistem kekuasaan kehakiman juga mendorong lahirnya
Komisi Yudisial ini. Kehadiran Komisi Yudisial dalam sistem kekuasaan
kehakiman bukan sekedar “pemanis” demokrasi atau sekedar “keterpaksaan”
proses pembaruan penegakan hukum. Pembentukan Komisi Yudisial
merupakan konsekuensi logis yang muncul dari penyatuan atap lembaga
peradilan pada Mahkamah Agung.
Dalam pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang kekuasaan kehakiman disebutkan bahwa Komisi yudisial merupakan
pengawas eksternal yang melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim
berdasarkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku hakim. Apabila ada Pengawas
eksternal pasti ada pula pengawas internal. Pengawasan internal hakim
dilakukan oleh Mahkamah Agung dengan badan pengawasnya untuk
mengawasi hakim.2 Mahkamah Agung adalah lembaga Negara yang
menjalankan kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah
1 Auxiliary State`s Organ menurut Muchlis Hamdi adalah lembaga yangumumnya berfungsi untuk mendukung lembaga negara utama. Tujuan dibentuknya lembaganegara penunjang adalah dalam rangka meningkatkan efektivitas pelaksanaan kekuasaanyang menjadi tanggung jawabnya. Lihat Ahmad Basarah, “Kajian Teoritis TerhadapAuxiliary State`s Organ Dalam Struktur Ketatanegaraan”,Masalah-Masalah Hukum, Vol.43 (Januari, 2014), h., 6
2 Badan Pengawasan merupakan badan yang dibentuk oleh Mahkamah Agunguntuk melaksanakaan pengawasan terhadap hakim khususnya dan peradilan yang beradadibawah Mahkamah Agung. Lihat Ahmad Fadlil Sumadi, “Pengawasan dan PembinaanMahkamah Agung terhadap Pengadilan dibawahnya”, Jurnal Media Hukum, Vol. 19 (Juni,2012), h., 64
2
Konstitusi. Mahkamah Agung adalah lembaga yang “merdeka”, artinya bebas
dari campur tangan kekuasaan lainnya dalam menyelenggarakan peradilan
untuk menegakan hukum dan keadilan. Mahkamah Agung merupakan puncak
perjuangan keadilan bagi setiap warga negara, karena Mahkamah Agung
sebagai Peradilan Tertinggi Negara dari badan-badan peradilan yang berada di
bawahnya, termasuk peradilan khusus yang banyak dibentuk sekarang ini.
Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung melakukan kerjasama dalam
melakukan pengawasan eksternal dan pengawasan internal.
Cita-cita dibentuknya Komisi yudisial adalah untuk mengawasi
perilaku hakim yang menyimpang dan bekerjasama dengan Mahkamah Agung
sebagai mitra kerjanya. Kerjasama yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dan
Mahkamah Agung sejauh ini dinilai publik masih belum memuaskan. Padahal
seharusnya sebagai lembaga negara yang sama sama ingin menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim harusnya
dapat bekerja sama dengan baik, bukan hanya kegaduhan yang diciptakan dan
dinilai publik. Kegaduhan tersebut terjadi lantaran Komisi Yudisial dan
Mahkamah Agung tidak menjalankan kerjasama yang bersifat kemitraan
secara baik dan benar. Hal tersebut memicu konflik berkepanjangan antara
kedua lembaga negara tersebut. Dalam kerjasama kemitraan akan terjalin
hubungan yang saling membutuhkan dan saling menguntungkan. Namun,
dewasa ini yang publik saksikan adalah kusutnya kerjasama antara Komisi
Yudisial dan Mahkamah Agung dalam mengawasi hakim.3 Padahal keduanya
merupakan lembaga negara yang sama-sama diamanatkan oleh Undang-
Undang untuk mengawasi hakim.
3 Disharmonisasi yang terjadi antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial daritahun 2005-2016 kurang lebih terjadi sebanyak 11 kali. Jumlah tersebut sudah termasuktinggi untuk lembaga negara yang seharusnya dapat menjalin kerja sama yang baik. LihatIsmail Rumadan, “Membangun Hubungan Harmonis dalam Pelaksanaan FungsiPengawasan Hakim Oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dalam RangkarMenegakkan Kehormatan, Keluhuran dan Martaba Hakim”, Jurnal Hukum dan Peradilan,Vol. 5 (Juli, 2016), h., 215
3
Pengawasan merupakan salah satu aspek dari tugas Komisi yudisial.
Pengawasan diperlukan karena para hakim belum semuanya mempraktikan
sikap independen dan imparsial dalam memutus perkara. Pengawasan
bukanlah wujud dari intervensi terhadap kekuasaan kehakiman. Namun, para
hakim memandang pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial
merupakan suatu ancaman yang dapat menggangu independensi, integritas,
dan kehormatan hakim. Hal tersebut didasari pada kasus-kasus dimana Komisi
Yudisial yang seharusnya menjaga dan menegakkan kehormatan hakim namun
malah menjatuhkan kehormatan hakim tersebut. Seperti contoh dimana Komisi
Yudisial membocorkan aduan masyarakat terhadap adanya dugaan
pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim oleh hakim agung, hal
tersebut merupakan pelanggaran terhadap etika pelaksanaan fungsi
pengawasan yang dilakukan Komisi Yudisial. Komisi Yudisial dinilai bukan
menjaga dan menegakkan kehormatan hakim namun malah menjatuhkan
kehormatan hakim dengan membocorkan aduan masyarakat tersebut.4 Komisi
Yudisial sebagai lembaga pengawas seharusnya mampu menjaga kerahasiaan
tentang aduan dari masyarakat, karena aduan tersebut belum dilakukan
investigasi lanjutan apakah hakim yang diadukan tersebut diputuskan
melanggar atau tidak.
Ada pula kasus lainnya, Seperti halnya kasus Hakim Sarpin yang
menjadi kontroversi karena putusannya yang menggugurkan status tersangka
Budi Gunawan. Hakim Sarpin menolak untuk diperiksa oleh Komisi Yudisial
dan secara tidak langsung menganggap remeh Komisi Yudisial.5 Lalu Komisi
Yudisial memberikan Sanksi nonpalu selama 6 bulan, namun sanksi tersebut
di tolak oleh Mahkamah Agung dengan alasan bukan kewenangan Komisi
Yudisial.
4 Salman Luthan, “Sinergitas Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung dalamPembaruan Peradilan”, Dalam Dialektika Pembaruan Sistem Hukum Indonesia: SebuahBunga Rampai (Jakarta: Komisi Yudisial,2012) h. 308
5 Monique Shintami dan Ibad Durrohman dari majalah detik, mewawancarai hakimSarpin Rizaldi di kantornya, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,https://news.detik.com/berita/hakim-sarpin-rizaldi-saya-harus-melawan-siapapun-dia
4
Ada juga kasus yang sama dengan hakim Sarpin yaitu hakim Haswandi.
Hakim Haswandi menjadi ketua majelis dalam sidang praperadilan kasus
mantan ketua Badan Pemeriksa Keuangan Hadi Purnomo. Hakim Haswandi
yang memimpin sidang tersebut tidak diberikan rekomendasi sanksi oleh
Komisi Yudisial seperti yang mereka lakukan terhadap Hakim sarpin. Apa
yang menyebabkan adanya perbedaan antara Hakim Sarpin dan Hakim
Haswandi padahal apa yang dilakukan oleh Hakim Haswandi dalam sidang
praperadilan sama seperti Hakim Sarpin?
Banyaknya laporan dari masyarakat yang masuk kepada Komisi
Yudisial terkait permasalahan Hakim untuk dapat diawasi karena diduga hakim
melakukan pelanggaran. Hal ini membuat Komisi Yudisial melaksanakan
fungsinya untuk menindak lanjuti laporan tersebut. Namun setelah ditindak
lanjuti, banyak rekomendasi yang dikeluarkan oleh Komisi Yudisial tidak
dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Dari tahun 2005- april 2015 ada 1068
hakim yang diperiksa oleh Komisi Yudisial, dari 1068 hakim yang diperiksa
hanya 389 hakim yang diberikan rekomendasi sanksi oleh Komisi Yudisial
kepada Mahkamah Agung,6 Namun, tidak semua rekomendasi sanksi tersebut
dilaksanakan oleh Mahkamah Agung karena menurut Mahkamah Agung ada
beberapa kasus yang bukan kewenangan Komisi Yudisial.
Saat adanya perbedaan pendapat yang berakhir dengan tidak
dilaksanakannya rekomendasi sanksi dari Komisi Yudisial oleh Mahkamah
Agung Komisi Yudisial sebagai lembaga yang mempunyai otoritas untuk
mengawasi Hakim seperti tidak mempunyai kekuatan. Adanya perbedaan
pendapat dalam memberikan sanksi kepada Hakim sebenarnya sudah diatur
Secara tegas dan jelas di dalam Dalam Undang-Undang No 18 tahun 2011
Pasal 22E dan Pasal 2 peraturan bersama No.04/PB/MA/IX/2012-
04/PB/P.KY/09/2012. Tujuan dibuatnya peraturan bersama tersebut adalah
6 Inggrid Namirazswara dan Zara Zestya, Kiprah 10 Tahun Komisi YudisialMenjaga Etik Dalam Peradilan Bersih, (Jakarta: Pusat Analisis dan Layanan Informasi,2015), h., 95
5
untuk mencari solusi atas perbedaan pendapat antara Komisi Yudisial dan
Mahkamah Agung. Namun dalam faktanya Undang-Undang dan Peraturan
bersama yang sudah dibuat itu diabaikan. Pengabaian tersebut membuat tidak
adanya kepastian hukum dalam pengawasan Hakim.
Tidak adanya sanksi administratif dalam Undang-Undang yang
mengatur apabila rekomendasi sanksi yang diberikan Komisi Yudisial tidak
dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Hal itu dapat berdampak adanya ketidak
pastian hukum. Sehingga dapat menimbulkan ketidak percayaan publik
terhadap kinerja Mahkamah Agung untuk benar-benar serius dalam mengawasi
hakim.
Pembentukan Komisi Yudisial diharapkan dapat memperbaiki kinerja
peradilan Indonesia dan mendukung terwujudnya kekuasaan kehakiman yang
mandiri untuk mengakkan hukum dan keadilan. Sehingga, para pencari
keadilan tidak merasa keadilan itu sangat jauh. hal yang terjadi dewasa ini
adalah berlawanan dari cita-cita dan semangat pembentukan Komisi Yudisial.
Banyak hal yang menjadikan peran dan kehadiran Komisi Yudisial belum
berjalan seperti apa yang diamanatkan oleh Undang-Undang.
Pengawasan Komisi Yudisial terhadap Hakim secara tegas diatur di
dalam Pasal 24B Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang nomor 18
tahun 2011 tentang Komisi Yudisial.7 Profesi Hakim yang memiliki tanggung
jawab sangat besar terhadap pelaksanaan hukum di suatu negara, Maka dari itu
harus ada lembaga yang bebas dari intervensi pihak manapun untuk mampu
mengawasi hakim.
Berangkat dari masalah di atas dirasa menarik untuk mengkaji
permasalahan tersebut dalam sebuah skripsi yang akan dilaksanakan dengan
judul PENGAWASAN PERILAKU HAKIM OLEH KOMISI YUDISIAL
(Studi Kasus Penyimpangan Etika dan Perilaku Hakim).
7 Lihat Pasal (13) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011.
6
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Adapun masalah yang berhasil diidentifikasi oleh peneliti dalam
penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut:
a. Apakah benar kewenangan Komisi Yudisial untuk mengawasi hakim
lemah?
b. Apakah ada rekomendasi sanksi yang diberikan oleh Komisi Yudisial
tidak dilaksanakan oleh Mahkmah Agung?
c. Apa karakteristik Pelanggaran yang dilakukan oleh hakim yang
cenderung Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial sejalan tanpa adanya
perbedaan pendapat?
d. Apa karakteristik Pelanggaran yang dilakukan oleh hakim yang
cenderung Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial berbeda pendapat?
e. Bagaimana Posisi Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung dalam
pemberian sanksi Hakim?
f. Apakah Peraturan bersama Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung multi
tafsir sehingga menyebabkan kedua lembaga tersebut sering
bertentangan?
g. Bagaimana penyelesaian kasus Hakim yang melakukan pelanggaran
yang berbenturan dengan kewenangan Komisi Yudisial dan Mahkamah
Agung?
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang serta masalah yang berhasil diidentifikasi
peneliti, maka tampak begitu kompleksnya persoalan yang timbul terkait
pengawasan perilaku hakim oleh Komisi Yudisial. Untuk itu peneliti
memberi batasan-batasan demi mempertajam bahasan dalam penelitian ini,
yakni sebagai berikut:
a. Skripsi ini berpijak pada pengawasan perilaku hakim oleh Komisi
Yudisial. Skripsi ini juga mengupas penyimpangan etika dan perilaku
hakim.
7
b. Sumber hukum yang digunakan dalam skripsi ini yakni Undang-Undang
No 18 tahun 2011 tentang Komisi Yudisial Undang-Undang No. 48
tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman, Undang-Undang No. 3 tahun
2009 tentang Mahkamah Agung, Peraturan bersama Mahkamah Agung
dan Komisi Yudisial Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan
02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim, Peraturan bersama Mahkamah Agung dan
Komisi yudisial Nomor 04/PB/MA/IX/2012-04/PB/P.KY/09/2012
Tentang Tata Cara Pembentukan, Tata Kerja, dan tata Cara Pengambilan
Keputusan Majelis Kehormatan Hakim, Keputusan bersama ketua
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Nomor:
047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik
dan Pedoman Perilaku Hakim, Keputusan bersama ketua Mahkamah
Agung dan Komisi Yudisial Nomor:047/KMA/SKB/IV/2009 dan
02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim.
3. Perumusan Masalah
Agar penelitian ini berjalan dengan baik, maka perlu dibuat
perumusan masalah sebagai berikut:
a. Apa kewenangan Komisi Yudisial dalam penyelesaian kasus Hakim yang
melanggar ketentuan Undang-Undang dan Peraturan bersama yaitu kode
etik perilaku hakim?
b. Apa peran Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung dalam penegakan kode
etik dan pedoman perilaku hakim?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap hal
berikut:
a. Untuk mengetahui kewenangan Komisi Yudisial dalam penyelesaian
kasus Hakim yang melanggar Undang-Undang dan Peraturan Bersama.
8
b. Untuk mengetahui peran Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung dalam
penegakan kode etik dan pedoman perilaku hakim.
2. Manfaat Penelitian
Selain tujuan yang ingin dicapai, tentunya peneliti berharap hasil
penelitian ini juga dapat memberi manfaat yang nyata untuk penguatan
kewenangan Komisi Yudisial dalam mengawasi hakim. Adapun manfaat
penelitian yang ingin dihadirkan peneliti sebagai berikut:
a. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas khazanah keilmuan
dalam bidang hukum, lebih spesifiknya terkait hukum tata negara.
b. Secara Praktis
Secara praktis tulisan ini bertujuan menggali lebih dalam, serta sebagai
bahan rujukan di masa yang akan datang tentang pengawasan hakim.
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Dalam penelitian skripsi ini peneliti merujuk kepada buku serta skripsi
terdahulu dengan membedakan apa yang menjadi fokus masalah dalam rujukan
dengan fokus masalah yang peneliti terbitkan, diantaranya:
1. Ayu yustitia dalam skripsinya yang berjudul “Pengawasan Perilaku
Hakim Oleh Majelis Kehormatan Hakim Dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia. (Universitas Andalas: 2011)”.
Skripsi ini menganalisa mengenai Bagaimana aturan-aturan tentang
perilaku dan kode etik Hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan
keluhuran. Membahas bagaimana fungsi Pengawasan Komisi Yudisial pada
Hakim dan Pengaruhnya, yang tidak terfokus pada Majelis Kehormatan
Hakim.
2. Hariyanto dalam skripsinya yang berjudul “Menjaga Marwah hakim
Melalui Peran Komisi Yudsial. (IAIN Purwokerto: 2016)”. Skripsi ini
menganalisa mengenai kedudukan Komisi Yudisial dalam mengawasi
hakim. Dan juga pentingnya memperkuat kewenangan Komisi Yudisal.
9
3. Ruslan Abdul Ghani dalam skripsinya “Pengawasan Hakim oleh Komisi
Yudisial Dalam Perspektif Hukum Islam. (UIN Lampung: 2017).
Skripsi ini lebih membahas tentang pengawasan Komisi Yudisial yang
diambil dari sudut pandang hukum islam. Perbedaan dengan peneliti adalah
dari segi sudut pandang yang peneliti ambil yaitu peneliti tidak mengambil
dari sudut pandang hukum islam.
4. Amir Syamsuddin dalam bukunya yang berjudul ”Integritas Penegak
Hukum (Hakim, Jaksa, dan Pengacara) (Kompas: 2008)”. Membahas
tentang MA versus KY dalam hal kewenangan menjalankan fungsi
pengawasan yang masih dianggap saling berbenturan baik secara yuridis
maupun akses publik atas informasi. Perbedaan dengan peneliti adalah
dimana peneliti Membahas bagaimana Implementasi pelaksanaan fungsi
Pengawasan Komisi Yudisial pada Hakim dan Pengaruhnya, membahas
tentang rekomendasi sanksi dari Komisi Yudisial kepada Mahkamah
Agung.
E. Metode Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian
kepustakaan (library research). Objek penelitian yang dikaji peneliti
terfokus pada literatur (kepustakaan) berupa buku-buku, peraturan
perundang-undangan, dokumen-dokumen, baik dokumen cetak maupun
elektronik serta berbagai hasil penelitian terdahulu yang membahas
persoalan terkait pengawasan perilaku hakim.
Sedangkan untuk pendekatan yang digunakan adalah Pendekatan
Perundang-undangan (statute approach), mengingat peneliti berusaha
mengalisis beberapa peraturan perundang-undangan sebagai fokus
penelitian, Undang-Undang No 18 tahun 2011 tentang Komisi Yudisial
Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman,
Undang-Undang No. 3 tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, Peraturan
bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Nomor
10
02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, Peraturan bersama Mahkamah
Agung dan Komisi yudisial Nomor 04/PB/MA/IX/2012-
04/PB/P.KY/09/2012 Tentang Tata Cara Pembentukan, Tata Kerja, dan tata
Cara Pengambilan Keputusan Majelis Kehormatan Hakim, Keputusan
bersama ketua Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Nomor:
047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik
dan Pedoman Perilaku Hakim, Keputusan bersama ketua Mahkamah Agung
dan Komisi Yudisial Nomor:047/KMA/SKB/IV/2009 dan
02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
2. Data, Sumber Data dan Metode Pengumpulan Data
Data yang penulis gunakan dalam penelitian ini berupa informasi
terkait Pengawasan Perilaku Hakim Oleh Komisi Yudisial, seperti rekomendasi
sanksi yang diberikan Komisi Yudisial kepada Mahkamah Agung, tidak
dilaksanakannya rekomendasi dari Komisi Yudisial oleh Mahkamah Agung,
adanya perbedaan pendapat antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.
Penelitian ini menggunakan sumber penelitian yang berkaitan
dengan pengawasan perilaku hakim oleh Komisi Yudisial. Informasi
tersebut kemudian dikelompokkan menjadi 2 (dua) sumber sebagai berikut:
a. Sumber Primer
Sumber primer dari penelitian ini yakni buku tahunan Komisi
Yudisial yang diterbitkan oleh Komisi Yudsial untuk meneliti rekomendqsi
sanksi yang diberikan Komisi Yudisial kepada Mahkamah Agung.
b. Sumber Sekunder
Sumber sekunder yang digunakan dalam penelitian ini yakni
sejumlah Peraturan Bersama antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung
yang berisi mekanisme pelaksanaan undang-undang tentang Pengawasan
perilaku hakim.
Adapun sumber sekunder yang dimaksud dalam penelitian ini
sebagai berikut:
1) Undang-Undang No 18 tahun 2011 tentang Komisi Yudisial
11
2) Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman
3) Undang-Undang No. 3 tahun 2009 tentang Mahkamah Agung
4) Peraturan bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Nomor
02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan
Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
5) Peraturan bersama Mahkamah Agung dan Komisi yudisial Nomor
04/PB/MA/IX/2012-04/PB/P.KY/09/2012 Tentang Tata Cara
Pembentukan, Tata Kerja, dan tata Cara Pengambilan Keputusan Majelis
Kehormatan Hakim.
6) Keputusan bersama ketua Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial
Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
7) Keputusan bersama ketua Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial
Nomor:047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Selanjutnya peneliti menggunakan metode pengumpulan data
berupa studi pustaka. Melalui studi pustaka peneliti mengumpulkan
berbagai referensi terkait, baik dalam bentuk buku-buku, dokumen, media
cetak maupun elektronik yang memiliki relevansi dengan permasalahan
yang sedang diteliti.
3. Metode Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif berdasarkan
studi kasus. Metode deskriptif digunakan karena penelitian ini meneliti
suatu permasalahan dengan tujuan untuk menggambarkan secara tepat
bagaimana permasalahan tersebut dituntaskan. Sedangkan kasus dalam
penelitian ini adalah Penyimpangan etika dan perilaku hakim.
4. Teknik Penulisan
Teknik penyusunan dan penulisan skripsi ini berpedoman pada buku
Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan pada tahun 2017.
12
F. Sistematika Penelitian
Untuk menjelaskan isi skripsi secara menyeluruh ke dalam penelitian
yang sistematis dan terstruktur maka skripsi ini disusun dengan sistematika
penelitian yang terdiri dari lima bab sebagai berikut:
BAB I : Merupakan bab pendahuluan yang berisi uraian latar belakang
masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan rumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu,
metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : Landasan Teori. Dalam bab ini, dijelaskan teori-teori tentang
teori pengawasan dan sistem pengawasan hakim serta kedudukan
Komisi Yudisial.
BAB III : Komisi Yudisial dalam fungsi pengawasan perilaku hakim.
Dalam bab ini, terdiri dari uraian mengenai Pengawasan Komisi
Yudisial terhadap hakim dan kerjasama antara Komisi Yudisial
dan Mahkamah Agung.
BAB IV : Analisis Kasus Hakim yang melanggar Undang-Undang dalam
Pengawasan Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas Hakim.
Bab ini merupakan inti dari penelitian skripsi, dalam bab ini akan
dibahas duduk perkara, Penyelesaian kasus hakim yang
melanggar Kode etik dan Pedoman Perilaku Hakim oleh Komisi
Yudisial, analisis peran Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial
dalam mengawaasi hakim.
BAB V : Penutup. Bab ini merupakan bab terakhir dimana akandisimpulkan dari pembahasan bab-bab sebelumnya dan jugaberisi rekomendasi.
13
BAB II
PENGAWASAN PERILAKU HAKIM OLEH KOMISI YUDISIAL DALAM
SISTEM PENGAWASAN HAKIM
Tahun 2001 menjadi tonggak sejarah Komisi Yudisial. Saat itu sedang
berlangsung amandemen ketiga Undang Undang Dasar 1945. Di tengah kondisi
peradilan di Indonesia yang masih dalam proses mencari tatanan terbaik, lalu lahir
pemikiran untuk mengembalikan kekuasaan kehakiman dalam satu atap yang pada
akhirnya menjadi komitmen bersama. Namun hal tersebut dikhawatirkan dapat
memicu monopoli kekuasaan kehakiman, sehingga dibutuhkan suatu lembaga yang
mandiri untuk dapat menjaga kesimbangan dalam pelaksanaan kekuasaan
kehakiman, Maka dari itu lahir Komisi Yudisial.
Menurut Jimly Asshidqie “tujuan dibentuknya Komisi Yudisial dalam
struktur kekuasaan kehakiman di Indonesia adalah agar warga masyarakat di luar
struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan,
penilaian kerja, dan kemungkinan pemberhentian hakim”.1 Hal itu sejalan dengan
prinsip checks and balances yang selalu disuarakan di era reformasi. Salah satu
kewenangan Komisi Yudisial adalah melakukan pengawasan terhadap perilaku
hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta
menjaga perilaku hakim. Sehingga besar harapan masyarakat terhadap Komisi
Yudisial untuk dapat mewujudkan penegakan hukum dan pencapaian keadilan
melalui putusan hakim yang terjaga kehormatan dan keluhuran martabat serta
perilakunnya.
A. Teori Pengawasan dan Sistem Pengawasan Hakim
Kata pengawasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata
“awas yang berarti penjagaan, kontrol, pemeriksaan, pemeliharan, penyelian,
pengamatan, pengendalian, pencegahan, inspeksi, penilikan”.2 Menurut
1 Jimly asshidqie, “Kata Pengantar” dalam buku A. Ahsin Tohari, Komisi Yudisial danReformasi Peradilan (Jakarta: ELSAM, 2004), h., Xiii-xiv
2 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta: TP, 2008), h.,123.
14
Komaruddin, “pengawasan berhubungan dengan perbandingan antara pelaksanaan
dan rencana, dan untuk langkah perbaikan terhadap penyimpangan”.3 Sedangkan
menurut Saiful Anwar “pengawasan atau kontrol terhadap tindakan aparatur
pemerintah diperlukan agar pelaksanaan tugas yang telah ditetapkan dapat
mencapai tujuan dan terhindar dari penyimpangan-penyimpangan”.4 Pengawasan
menurut Sujamto adalah “segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai
kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas atau kegiatan apakah telah
sesuai dengan semestinya atau tidak”.5
Lord Acton seperti dikutip oleh Koentjoro mengatakan bahwa setiapkekuasaan sekecil apapun cenderung untuk disalahgunakan. Oleh sebab itu, denganadanya keleluasaan bertindak dari administrasi negara yang memasuki semuasektor kehidupan masyarakat, kadang-kadang dapat menimbulkan kerugian bagimasyarakat itu sendiri. Maka wajar apabila diadakan pengawasan terhadap jalannyapemerintahan, yang merupakan jaminan agar jangan sampai keadaan negaramenjurus ke arah diktator, yang berarti bertentangan dengan ciri negara hukum”.6
Cara-cara pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan dapat dirincisebagai berikut.1. Ditinjau dari segi kedudukan badan/lembaga yang melaksanakan pengawasan:
a. Pengawasan intern
Pengawasan intern adalah pengawasan yang dilakukan oleh satu
badan/lembaga yang secara organisatoris/struktural masih termasuk dalam
lingkungan organ/lembaga itu sendiri.7
b. Pengawasan ekstern
Pengawasan ekstern adalah pengawasan yang dilakukan oleh organ/lembaga
secara organisatoris/struktural berada diluar lembaga itu sendiri.8
2. Ditinjau dari segi saat/waktu dilaksanakannya:
a. Pengawasan preventif
3 Pengertian Pengawasan, http://itjen-depdagri.go.id.2017/08/04/Pengertian-Pengawasan.4Saiful Anwar, Sendi-sendi Hukum Administrasi Negara (Medan: Gelora Madani Press,
2004), h., 1275 Jum Anggraini, Hukum Administrasi Negara (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h. 2016 Diana Halim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara (Bogor Selatan: Ghalia
Indonesia,2004), h., 707 Sujamto, Beberapa Pengertian di Bidang Pengawasan (Solo: TB Rahma, 1986), h., 858 Ibid.
15
Pengawasan preventif adalah pengawasan yang dilakukan sebelum
pelaksanaan, dapat dikatakan sebagai pengawasan untuk mencegah dari
kegiatan yang menyimpang.9
b. Pengawasan represif
Pengawasan represif adalah pengawasan yang dilakukan setelah kegiatan atau
pekerjaan tersebut selesai dilaksanakan.10
Makna Pengawasan dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2011 tentang
Komisi Yudisial adalah menjadi lembaga yang berhak untuk memverifikasi,
mengklarifikasi, dan menginvestigasi apa saja yang di duga pelanggaran kode etik
yang dilakukan oleh hakim sehingga dapat terciptanya lembaga peradilan yang
bersih dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan.11 Pengawasan menurut hukum
adalah untuk memberikan penilaian apakah pelaksanaan tugas dan pekerjaan yang
dilakukan sudah sesuai dengan norma hukum yang berlaku, dan bagaimana hasil
tujuan yang telah ditetapkan itu dilaksanakan tanpa adanya pelanggaran terhadap
norma hukum yang berlaku.
Dalam melakukan pengawasan terhadap Hakim, menurut Undang-Undang
Nomor 48 Taahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakimaan ada 2 (dua) lembaga yang
berwenang yaitu Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Kedua lembaga tersebut
berwenang mengawasi hakim, namun mempunyai wilayah pengawasan masing
masing. Kewenangan pengawasan yang dimiliki Komisi Yudisial berbeda dalam
beberapa hal dari wewenang/fungsi pengawasan Mahkamah Agung. Meskipun
sama-sama mengawasi hakim, Mahkamah Agung juga dapat mengawasi dugaan
pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku serta teknis peradilan, administrasi,
dan keuangan. Sebaliknya, Komisi Yudisial terbatas pada pengawasan dugaan
pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Dasar pelaksanaan
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim adalah keputusan bersama ketua
9 Ibid.10 Ibid.11 Lihat Pasal (20 ayat 1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011
16
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Nomor:047/KMA/SKB/IV/2009 dan
02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.12
Seiring perjalanan Komisi Yudisial untuk menjalankan kewenangannya ada
saja perbedaan pendapat dalam mengawasi hakim dengan Mahkamah Agung
sebagai lembaga yang juga mempunyai kewenangan dalam mengawasi hakim.
Perbedaan pendapat yang seharusnya dapat diselesaikan dengan penjabaran
Undang-Undang dan peraturan bersama sering tidak terselesaikan sehingga
memunculkan ketidak pastian hukum. Fenomena ini terjadi berulang-ulang dan
belum dapat diselesaikan dengan peraturan yang berlaku.
1. Pelaksanaan Pengawasan Hakim oleh Mahkamah Agung
Sejak pemberlakuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Mahkamah Agung organisasi, administrasi dan finansial seluruh badan peradilan
berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung. Hal ini juga yang kemudian
mengubah kedudukan dan fungsi pengawasan Mahkamah Agung. Sejak
pemberlakuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tersebut kemudian
dibentuklah Badan Pengawasan Mahkamah Agung yang mempunyai tugas untuk
melakukan pengawasan fungsional di Mahkamah Agung dan seluruh Badan
Peradilan yang ada dibawahnya.13 Tugas pengawasan atau pemantauan diberikan
kepada badan pengawas dengan kewenangan serta kewibawaan di hadapan
peradilan-peradilan dibawahnya.
Tugas Badan Pengawas adalah membantu Sekretaris Mahkamah Agung
dalam melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas di lingkungan
Mahkamah Agung dan Pengadilan di semua lingkungan Peradillan. Fungsi Badan
Pengawasan adalah menyiapkan perumusan kebijakan pengawasan serta
12 Dibentuknya Peraturan Bersama antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agungdiharapkan dapat menciptakan sinergitas antara kedua lembaga sehingga fungsi pengawasan dapatberjalan sebagaimana mestinya. Peraturan Bersama Komisi Yudisial dan Mahkamah Agungmerupakan wujud komitmen kedua lembaga untuk selalu berusaha menjaga dan menegakkankehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
13Amran Suhadi, Sistem Pengawasan Badan Peradilan di Indonesia (Jakarta: RajawaliPers, 2014), h.,198
17
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas di lingkungan Mahkamah
Agung dan Pengadilan dibawahnya.14
2. Pelaksanaan Pengawasan Hakim oleh Komisi Yudisial
Hakim dikatakan melakukan pelanggaran kode etik apabila hakim
melanggar 10 prinisp Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Seperti misalnya
hakim bersekongkol dengan siapapun yang berkaitan dengan perkara yang akan
ataupun yang sedang ditangani. Membicarakan suatu perkara yang sedang
ditanganinya di luar persidangan, mengeluarkan pendapat hukum terhadap kasus
yang ditanganinya yang mana mendahului putusan. 15
Dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2011 tentang Perubahan Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, Komisi Yudisial
mempunyai kewenangan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim. Dalam rangka melaksanakaan kewenangan tersebut
Komisi Yudisial melakukan langkah-langkah, yaitu;16
a. Melakukan pemantauan dan pengawasan perilaku hakim;b. Menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran kode etik dan
pedoman perilaku hakim;c. Melakukan verikfikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan
pelaggaran kode etik dan atau pedoman perilaku hakim;d. Memutuskan benar atau tidaknya laporan duaan pelanggaran kode etik dan atau
pedoman perilkau hakim;e. Mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan,
kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dankeluhuran martabat hakim.
B. Kedudukan Komisi Yudisial Dalam Hukum Tata Negara
Komisi Yudisial adalah lembaga Negara yang dibentuk dalam rumpun
kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang lahir
pasca amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Dalam konteks ketatanegaraan
14 Tugas dan Fungsi Badan Pengawasan Hakim http://bawas.mahkamahagung.go.id/2018/03/19/portal/profil/tugas-dan-fungsi
15Amran Suhadi, Sistem Pengawasan Badan Peradilan di Indonesia, h.,19816 Lihat Pasal (20) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Komisi Yudisial.
18
Komisi Yudisial memiliki peranan yang sangat penting, yaitu: (1) mewujudkan
kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui pencalonan hakim agung; (2)
melakukan pengawasan terhadap hakim untuk menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.17 Ide
pembentukan lembaga yang berfungsi mengawasi kekuasaan kehakiman
sebenarnya sudah lama muncul. Berawal dari tahun 1968 muncul ide pembentukan
Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH). Namun ide tersebut tidak
berhasil dimasukkan dalam undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman. Baru
pada tahun 1998 muncul kembali dan menjadi wacana yang semakin kuat dan solid
sejak adanya berbagai desakan penyatuan atap bagi hakim, tentunya hal tersebut
memerlukan pengawasan eksternal dari lembaga yang bebas dari intervensi
manapun agar cita-cita untuk mewujudkan peradilan yang jujur, bersih, transparan
dan profesional dapat tercapai. Atas dasar itulah pada amandemen Undang-Undang
Dasar 1945 yang ketiga munculah pasal yang menjelaskan Komisi Yudisial pada
bab kekuasaan kehakiman.18
Keberadaan Komisi Yudisial secara normatif diatur dalam Bab IX tentang
Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 24B Undang-Undang Dasar 1945. Eksistensi
Komisi Yudisial dalam sistem ketatanegaraan menimbulkan adanya permasalahan
hukum, yaitu karena Komisi Yudisial bukan pelaku kekuasaan kehakiman tetapi
keberadaannya diatur dalam bab kekuasaan kehakiman. Menanggapi hal tersebut
Sri Sumantri mengatakan bahwa Komisi Yudisial yang oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) ditempatkan dalam bab IX tentang kekuasaan
kehakiman dapat dianggap sebagai kekeliruan, Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial dalam hal tertentu mempunyai kesamaan, akan tetapi dia bukan badan
peradilan.19 Sri Sumantri berpendapat bahwa Komisi Yudisial setidaknya memiliki
17 Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca AmandemenUUD 1945 (Jakarta: Kencana, 2010), h., 225
18 Sejarah Pembentukan Komisi Yudisial Ri,http://www.komisiyudisial.go.id2018/03/19/frontend/static_content/history/about_ky
19 Sri Sumantri, Lembaga Negara dan State Auxiliary Bodies Dalam SistemKetatanegaraan Menurut UUD 1945, (Surabaya: Airlangga University Press,2006), h., 203
19
dua sifat lembaga negara yaitu sebagai lembaga negara utama dan sebagai lembaga
negara penunjang (Auxiliary State`s Organ).20
Menurut Sri Soemantri, “lembaga- lembaga negara merupakan lembaga-
lembaga yang ditentukan dalam konstitusi. Hal ini mengacu pada pendapat K.C.
Wheare, bahwa konstitusi digunakan untuk menggambarkan keseluruhan sistem
ketatanegaraan suatu negara”.21 Sri Soemantri mengatakan bahwa di luar konstitusi
juga terdapat lembaga-lembaga negara. Hal ini karena adanya pendapat yang
mengatakan bahwa di Indonesia terdapat tiga kelompok lembaga negara yakni
lembaga negara yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar 1945, lembaga
negara yang ditentukan dalam undang-undang, dan lembaga negara yang
ditentukan dalam Keputusan Presiden.22 Terhadap hal tersebut, Sri Soemantri
membagi dua sistem ketatanegaraan Indonesia. Pertama, sistem ketatanegaraan
dalam arti sempit, yakni hanya berkenaan dengan lembaga-lembaga Negara yang
terdapat dalam Undang-Undang Dasar.23 Kedua, sistem ketatanegaraan dalam
arti luas, yakni meliputi lembaga-lembaga negara yang terdapat di dalam dan di luar
Undang-Undang Dasar. Menurut Sri Soemantri, lembaga negara yang bersumber
pada Undang-Undang Dasar 1945 hasil perubahan adalah BPK, DPR, DPD, MPR,
Presiden (termasuk Wakil Presiden) MA, MK dan KY.24 Jika dilihat dari
wewenangnya, kedelapan lembaga itu dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni
lembaga negara yang mandiri yang disebut lembaga negara utama (Main State`s
Organ) dan lembaga negara yang mempunyai fungsi melayani yang disebut
(Auxiliary State`s Organ). BPK, DPR, DPD, MPR, Presiden, MA dan MK
merupakan Main State`s Organ sedangkan Komisi Yudisial adalah Auxiliary
State`s Organ.25
Jimly Asshiddiqie mengklasifikasikan lembaga-lembaga negara baru
tersebut ke dalam dua kriteria, yang pertama kriteria hierarki bentuk sumber
20 Ibid.21 Ibid.22 Ibid.23 Ibid.24 Ibid.25 Ibid.
20
normatif yang menentukan kewenangannya, dan yang kedua kriteria fungsinya
yang bersifat utama atau penunjang.26 Jika dilihat dari kriteria hierarki Jimly
Asshiddiqie mengelompokkan lembaga-lembaga baru itu menjadi tiga yaitu:27
1. Organ-organ lapis pertama yang disebut dengan lembaga tinggi negara yakni:
Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, MPR, MK, MA, BPK. Seluruh
lembaga tersebut mendapatkan kewenangan dari Undang-Undang Dasar.
2. Organ-organ lapis kedua disebut dengan lembaga negara, yakni menteri negara,
TNI, kepolisian negara, KY, KPU dan BI. Lembaga- lembaga ini mendapatkan
kewenangan dari Undang-Undang Dasar dan ada pula yang mendapatkan
kewenangan dari undang-undang.
3. Organ-organ lapis ketiga adalah organ negara yang sumber kewenangannya
berasal dari regulator atau pembentuk peraturan di bawah undang-undang,
misalnya Komisi Ombudsman.
Jika dilihat dari kriteria fungsi, lembaga negara dapat dibagi menjadi dua, yaitu
lembaga negara yang bersifat utama dan yang bersifat sekunder atau penunjang.
Kejelasan kedudukan Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraan
terutama di dalam kekuasaan kehakiman, dapat dikaji dari ketentuan Pasal 24B ayat
(1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi Komisi Yudisial bersifat mandiri
yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat serta perilaku hakim. Pada Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
yang dijabarkan dalam pasal 13 Undang Undang nomor 18 tahun 2011 tentang
Komisi Yudisial, bahwa dalam kedudukannya sebagai lembaga negara Komisi
Yudisial diberi kewenangan yaitu:
1. Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di MahkamahAgung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan;
2. Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilakuhakim;
26 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,(Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI,2006), h.,106
27 Ibid.
21
3. Menetapkan kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim bersama-sama denganMahkamahAgung;
4. menjaga dan menegakkan pelaksanaan kode etik dan/atau pedoman perilakuhakim.
Dalam cabang kekuasaan kehakiman, meskipun lembaga pelaksana atau
pelaku kekuasaan kehakiman itu ada dua, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi, tetapi di samping keduanya ada pula Komisi Yudisial sebagai lembaga
yang melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan
kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Keberadaan
fungsi Komisi Yudisial ini bersifat penunjang (auxiliary) terhadap cabang
kekuasaan kehakiman. Komisi ini bukanlah lembaga penegak hukum, tetapi
merupakan lembaga penegak etika hakim. Sehingga dapat di pahami bahwa posisi
Komisi Yudisial di dalam ketatanegaraan berada pada lembaga penunjang atau
Auxiliary State’s Organ.
C. Kewenangan Komisi Yudisial Mengawasi Perilaku Hakim
Kewenangan menjaga yang termaktub didalam Undang-Undang Dasar
1945 bermakna Komisi Yudisial melakukan pengawasan terhadap hakim untuk
tidak melakukan tindakan-tindakan yang melanggar kode etik dan pedoman
perilaku hakim. Pengawasan yang dilakukan Komisi Yudisial tersebut disebut
preventif atau pencegahan. Lalu kewenangan menegakkan bermakna Komisi
Yudisial melakukan tindakan represif terhadap hakim yang melanggar kode etik
dan pedoman perilaku hakim. Tindakan ini dapat dijatuhkannya sanksi kepada
hakim.28
Ada dua lembaga yang berhak untuk mengawasi hakim yaitu Mahkamah
Agung dan Komisi Yudisial, yang masing-masing lembaga mempunyai tugas dan
Fungsi yang berbeda didalam pengawasan Hakim. Dalam hal pengawasan Hakim
yang menyangkut dengan kode etik dan perilaku Hakim, Komisi Yudisial lah yang
berwenang dalam mengawasi Hakim sebagaimana yang tertuang di dalam Pasal 13
28 Komisi Yudisial Republik Indonesia (KY RI), Mengenal Lebih Dekat Komisi Yudisial(Jakarta: Pusat Data dan Layanan Informasi, 2012), h., 41
22
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 yang menyebutkan bahwa Komisi Yudisial
mempunyai wewenang, yaitu:
1. Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di MahkamahAgung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan.
2. Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran dan martabat, sertaperilakuhakim.
3. Menetapkan kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim bersama-sama denganMahkamah agung
4. Menjaga dan menegakan pelaksanaan kode etik dan/atau pedoman perilakuhakim.
Berdasarkan ketentuan lain Komisi Yudisial berwenang untuk menganalisis
putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap sebagai dasar untuk melakukan
mutasi hakim (pasal 42 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009), dan memberikan
rekomendasi untuk melakukan mutasi hakim Pengadilan Negeri, Pengadilan
Agama, Pengadilan Militer, dan Pengadilan Tata Usaha Negara berama Mahkamah
agung.29
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang komisi Yudisial dijelaskan
ada 3 macam sanksi yang dapat diberikan kepada hakim yaitu;
1. Sanksi ringan terdiri atas:a. Teguran lisan;b. Teguran tertulis, atau;c. Pernyataan tidak puas secara tertulis.
2. Sanksi sedang terdiri atas;a. Penundaan kenaikan gaji berkala paling lama 1 (satu) tahun.b. Penurunan gaji sebesar 1 (satu) tahun kenaikan gaji berkala paling lama
selama 1(satu) tahun;\c. Penundaan kenaikan pagkat paling lama 1 (satu) tahun; ataud. Hakim non-palu selama 6 (enam) bulan.
3. Sanksi berat terdiri atas;a. Pembebeasan dari jabatan struktural.b. Hakim non-palu selama lebih dari 6 (enam) bulan sampai dengan 2 (dua)
tahun;c. Pemberhentian sementara;d. Pemberhentiasn tetap dengan hak pensiun; ataue. Pemberhentian tetap tidak dengan hormat.
29 Amran Suhadi, Sistem Pengawasan Badan Peradilan di Indonesia, h., 167
23
Kehadiran Komisi Yudisial didasari oleh ide tentang pentingnya
pengawasan hakim dalam rangka melakukan reformasi yang mendasar terhadap
sistem peradilan, tidak saja menyangkut penataan lembaganya (institutional
reform) ataupun menyangkut mekanisme aturan yang bersifat instrumental
(procedural reform), tetapi juga menyangkut personalitas dan budaya kerja aparat
peradilan serta perilaku hukum masyarakat kita sebagai keseluruhan (ethical and
cultural reform).30 Pembentukan Komisi Yudisial ditujukan juga sebagai jawaban
atas masalah pertanggung jawaban Mahkamah Agung sebagai salah satu lembaga
negara dan kontrol masyarakat terhadap kekuasaan kehakiman.31
Kewenangan Komisi Yudisial dalam mengawasi hakim diatur di dalam
Undang-Undang No.18 Tahun 2011 dan juga di dalam Peraturan bersama antara
Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim. Kewenangan yang diberikan Undang-Undang kepada
Komisi Yudisial untuk mengawasi hakim adalah dalam hal menjaga kode etik dan
perilaku hakim. Hal yang dimaksud dengan kode etik dan perilaku hakim adalah
sikap, ucapan dan/atau perbuatan yang dilakukan oleh seseorang hakim dalam
kapasitas pribadinya yang dapat dilakukan kapan saja termasuk perbuatan yang
dilakukan pada waktu melaksanakan tugas profesi yang mana hal ini secara tegas
termaktub di dalam Peraturan bersama Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung
Pasal 1 ayat (5).
Adanya Komisi Yudisial diharapkan fungsi checks and balances berjalan
sebagaimana mestinya, sehingga dapat mengontrol perilaku-perilaku hakim.32
Pengawasan Komisi Yudisial terhadap hakim secara tegas dan jelas termaktub di
dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 yang mana Komisi Yudisial
30 Jimly Asshidqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi(Jakarta: Sekjen Mahkamah Kontitusi RI, 2006), h.,46
31 Ibid.32 Checks and Balances antar satu lembaga dan lembaga negara lainnya bertujuan agar
terciptanya suatu tatatanan pemerintahan yang konstitusional serta dapat memngurangi adanyapraktik yang tidak sehat dan atau melanggar hukum. Lihat Hesky Firnando Pitoy, MekanismeChecks and Balances antara Presiden dan DPR Dalam Sistem Pemerintahan Presidensial diIndonesia,lex et societatis, Vol. 2, 5 (Mei, 2014), h., 29
24
berwenang untuk mengawasi perilaku hakim.33 Sejatinya seorang hakim haruslah
memiliki kepribadian dan perilaku yang baik, dalam lingkungan kerja maupun di
luar lingkungan kerja. Dalam kode etik kehormatan hakim diatur mengenai sikap
hakim yang dibagi kedalam sikap hakim dalam kedinasan dan sikap hakim diluar
kedinasan. Dalam kedinasan sikap hakim dibagi menjadi 6 sikap, yaitu:
1. Sikap hakim dalam persidangan;
2. Sikap hakim terhadap sesama rekan;
3. Sikap hakim terhadap bawahan/pegawai;
4. Sikap hakim terhadap atasan;
5. Sikap hakim bawahan/rekan hakim;
6. Sikap hakim keluar/terhadap instansi lain.
Untuk sikap hakim di luar kedinasan terbagi menjadi 3 macam, yaitu:
1. Sikap Hakim Sendiri;
2. Sikap dalam rumah tangga;
3. Sikap dalam Masyarakat.
Senada dengan sikap seorang hakim diatas menurut Liliana toedjasaputro,
“sikap hakim adalah tidak memihak, tegas, sopan dan sabar, serta memberi
landasan yang baik. Oleh karena itu hakim tidak boleh memihak, jujur dan bebas
dari pengaruh siapapun juga dan adil, tidak berprasangka”.34
Menurut Wahyu Affandi sikap seorang hakim terdapat 3 syarat yaitu:35
1. Tangguh, tabah menghadapi keadaan dan kuat mental;
2. Terampil, mengetahui dan menguasai segala peraturan perundang
undangan yang sudah ada dan masih berlaku;
33 Lihat Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 201134 Liliana Tedjosaputro, Etika profesi dan Profesi Hukum, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003),
h., 10335Ibid.
25
3. Tanggap, artinya penyelesaian pemeriksaan perkara harus dilakukan dengan
cepat, benar serta menyesuaikan diri dengan kehendak masyarakat.
Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan dituntut harus memiliki
moralitas yang tinggi. Hakim juga harus bekerja secara professional, hati-hati,
tekun, kritis, dan mempunyai jiwa pengabdian yang tinggi karena hakim harus
bertanggung jawab kepada diri sendiri, masyarakat dan bahkan kepada Allah
SWT. Maka dari itu, Hakim harus bekerja sesuai dengan kode etiknya, apabila
terjadi penyimpangan atau pelanggaran kode etik, mereka harus siap untuk
mempertanggung jawabkan akibatnya sesuai dengan kode etik yang berlaku.
26
BAB III
KOMISI YUDISIAL DALAM FUNGSI PENGAWASAN PERILAKU HAKIM
Sebagai negara hukum, hakim memiliki kedudukan dan peranan yang penting
demi tegaknya hukum. Oleh karena itu, terdapat beberapa nilai yang dianut dan wajib
dihormati oleh salah satu penegak hukum yaitu hakim dalam menjalankan tugasnya.
Perlu dipahami bahwa setiap profesi di berbagai bidang memiliki nilai-nilai yang
dijunjung untuk dijadikan pedoman dalam kehidupan profesi yang bersangkutan.
Begitu pula halnya dengan profesi hakim di Indonesia. Pada profesi hakim melekat
kode etik yang didasarkan pada nilai-nilai yang berlaku di Indonesia serta nilai-nilai
universal bagi hakim sebagai pelaksana fungsi yudikatif. Kode etik sangat penting bagi
hakim karena untuk mengatur tata tertib dan perilaku hakim dalam menjalankan
tugasnya.
Sebagai jantung utama peradilan, peran hakim sangat vital apalagi dengan
kewenangan yang dimilikinya. Melalui putusannya seorang hakim dapat menyatakan
sah atau tidaknya tindakan pemerintah terhadap masyarakat, mengalihkan hak
kepemilikan seseorang, mencabut kebebasan, bahkan dapat menghilangkan hak hidup
seseorang. Maka dari itu, Hakim tidaklah dapat dipisahkan denga nilai-nilai yang harus
dimiliki dan dijunjung tinggi oleh seorang hakim yang di istilahkan dengan etika. Etika
hakim adalah perbuatan yang patut dilaksanakan oleh seorang hakim, baik di dalam
pengadilan maupun diluar pengadilan. Etika hakim merupakan sesuatu yang wajib
menyatu dengan hakim dimanapun dia berada. Etika tersebut haruslah melekat dan
menjadi kepribadian seorang hakim dalam menjalankan kehidupannya di tengah
masyarakat luas bukan hanya di dalam menjalankan tugasnya. Maka dari itu,
27
Pengawasan terhadap perilaku hakim adalah bagian kepentingan publik yang tidak bisa
diabaikan.1
Penegakan kode etik sangat penting sebagai alat kontrol terhadap pelaksanaan
nilai-nilai luhur yang dimuat dalam aturan kode etik, sekaligus memberikan sanksi
terhadap hakim yang terbukti melanggar kode etik. Dalam rangka memastikan kode
etik dapat ditaati dan dilaksanakn maka dibentuklah Komisi Yudisial yang
diamanatkan langsung oleh Undang-Undang untuk menjaga dan menegakkan etika dan
perilaku hakim. Dengan demikian bagi para hakim yang terbukti melanggar kode etik,
maka Komisi Yudisial sebagai lembaga yang berwenang mengawasi etika dan perilaku
hakim dapat memberikan sanksi sesuai dengan tingkat pelanggarannya. Namun, dapat
kita sadari bahwa Komisi Yudisial masih belum optimal dalam melaksanakan tugasnya
apalagi sering terjadinya perbedaan pendapat dalam mengawasi hakim antara Komisi
Yudisial dan Mahkamah Agung, padahal sudah ada peraturan yang mengatur hal
tersebut. Namun, masih saja ada beberapa benturan yang terjadi. Apkah hal tersebut
berkaitan dengan kepentingan kedua lembaga tersebut atau untuk saling unjuk gigi
mana yang lebih kuat dan super power?
A. Pengawasan Perilaku Hakim oleh Komisi Yudisial
Hakim adalah aktor utama dalam penegakan hukum (law enforcement) di
pengadilan. Pada saat ditegakkan, hukum mulai memasuki wilayah das sein
(kenyataan) dan meninggalkan wilayah das sollen (harapan). Hukum bukan hanya
barisan pasal-pasal mati yang terdapat dalam suatu peraturan perundang-undangan,
tetapi sudah dihidupkan oleh hakim.2
Hakim sebagai penegak hukum harus dijamin independensinya, hakim tidak
boleh terpengaruh dan dipengaruhi oleh siapapun. Hakim yang independen akan
1 Amir Syamsudin, Integritas Penegak Hukum (Hakim, Jaksa, Polisi, dan Pengacara),(Jakarta: Kompas, 2008), h., 31
2 A. Ahsin Tohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan (Jakarta: ELSAM, 2004) h., 16
28
memberikan kesempatan yang sama dan terbuka kepada setiap pihak untuk didengar
tanpa mengaitkannya dengan identitas atau kedudukan sosial pihak-pihak tersebut.
Seorang hakim yang independen akan terbebas dari pengaruh dan tekanan dari pihak
luar. Seorang hakim yang independen akan memutus dengan kejujuran, berdasarkan
hukum sebagaimana yang diketahuinya, tanpa memikirkan akibat yang bersifat
personal, politis, maupun finansial.
Profesionalisme hakim yang dipertanyakan sekarang ini kurang lebih
disebabkan karena lunturnya makna sebuah kode etik yang mana seharusnya menjadi
pedoman dalam melakukan penegakan hukum. Kode etik profesi memunculkan
kesetiaan pengabdian pada pekerjaan dari profesi yang dijalani yang berkaitan dengan
profesionalitas dan kehormatan dirinya. Seperti yang dikemukakan oleh K. Bertens
kode etik adalah “Norma yang ditetapkan dan diterima oleh kelompok profesi, yang
mengarahkan atau memberi petunjuk kepada anggotanya bagaimana seharusnya
berbuat dan berperilaku sekaligus menjamin mutu moral profesi itu di masyarakat”.3
Dalam menjalankan profesinya hakim haruslah taat pada 10 prinsip Kode Etik
dan Pedoman Perilaku Hakim. Sebagai salah satu aparat penegak hukum dalam sistem
hukum di Indonesia, hakim merupakan tempat masyarakat berupaya untuk mencari
keadilan. Dalam menjalankan tugasnya secara profesional, hakim harus patuh terhadap
kode etik profesinya. Seperti yang disebutkan oleh socrates, etika profesi kode etik
hakim ialah the four commandments for judges yakni:4
1. To hear courteously (mendengar dengan sopan)
2. To answer wisely ( menjawab dengan bijaksana)
3. To consider soberly (mempertimbangkan tanpa pengaruh apapun)
4. To decide impartially (memutus tidak berat sebelah)
3 Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), h., 114 Wildan Suyuthi, Kode Etik, Etika Profesi dan Tanggung Jawab Hakim (Jakarta: Pusdiklat
MA-RI, 2004), h., 7
29
Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar putusan hakim
sesuai dengan hukum dan keadilan. Dalam kode etik hakim juga diatur larangan-
larangan seperti halnya dilarang melakukan kolusi dengan siapapun yang berkaitan
dengan perkara yang akan dan sedang ditangani, kemudian dilarang juga untuk
menerima pemberian ataupun janji dari pihak-pihak yang berperkara.
Dalam hal menjalankan tugasnya sebagai lembaga negara yang berhak
mengawasi Hakim Komisi Yudisial berpedoman pada kode etik dan pedoman perilaku
hakim (KEPPH) yang dirumuskan bersama dengan Mahkamah Agung. sebagaimana
diatur dalam keputusan bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi
Yudisial Republik Indonesia Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009-02/SKB/P.KY/IV/2009
tertanggal 8 april 2009, yang mana Komisi Yudisial memiliki kewenangan untuk:
1. Menerima dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat dan/atau informasi tentangdugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim;
2. Memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran atas kode etik dan pedoman perilakuhakim;
3. Komisi yudisial dapat menghadiri persidangan di pengadilan;4. Menerima dan menindaklanjuti pengaduan mahkamah agung dan badan-badan
peradilan dibawah mahkamah agung atas dugaan pelanggaran kode etik danpedoman perilaku hakim;
5. Melakukan verfikasi terhadap pengaduan;6. Meminta keterangan atau data kepada Mahkamah agung dan/atau pengadilan;7. Melakukan pemanggilan dan meminta keterangan dari hakim yang diduga
melanggar kode etik dan perilaku hakim utuk kepentingan pemeriksaan; dan/ataumenetapkan keputusan berdasarkan hasil pemeriksaan.
Pengawasan perilaku hakim diatur didalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2011 tentang perubahan atas undang-undang nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial. Pada pasal 20 ayat (1) disebutkan dalam rangka menjaga dan menegakkan
30
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial memiliki
tugas:5
1. Melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim;2. Menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran kode etik dan/atau
pedoman perilaku hakim;3. Melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan
pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim secara tertutup;4. Memutuskan benar atau tidaknya laporan dugaan pelanggaran kode etik dan/atau
pedoman perilaku hakim; dan5. Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan,
kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuranmartabat hakim.
Urgensi pengawasan terhadap perilaku hakim merupakan hal yang sangat
dibutuhkan dalam membangunan peradilan yang dapat dipercaya oleh publik. Selain
menyeleksi hakim agung, berdasarkan undang-undang Komisi Yudisial memiliki
fungsi pengawasan terhadap perilaku hakim. Adanya kewenangan komisi yudisial
dalam mengawasi hakim merupakan peran penting mengenai fungsi pengawasan
eksternal dalam menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim.
Kewenangan Komisi Yudisial dalam mengawasi hakim merupakan fungsi penting
untuk menunjang independensi peradilan dan memperkokoh kinerja pengawasan
internal yang dilakukan oleh Mahkamah Agung terhadap hakim, yang mana di dalam
undang-undang Komisi Yudisial pasal 1 angka 5 secara terminologi yang dimaksud
dengan hakim adalah hakim dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung dan Badan
Peradilan.6
Kewenangan Komisi Yudisial dalam menegakan kehormatan dan keluhuran
martabat serta menjaga perilaku hakim pada dasarnya merupakan bentuk kesadaran
5 Idul Rishan, Komisi Yudisial “Suatu Upaya Mewujudkan Wibawa Peradilan” (Jakarta: GentaPress, 2013), h., 89
6 Hakim adalah pejabat negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili(Pasal 1 butir 8 KUHAP). Hakim ad hoc adalah hakim non-karir yang mempunyai keahlian maupunkemampuan untuk mengadili suatu perkara khusus. Rekruitmen hakim ad-hoc berbeda dengan hakimbiasa, hakim ad hoc melakukan serangkaian seleksi yang berbeda prosesnya dengan hakim biasa.
31
bahwa pengawasan objektif terhadap kekuasaan kehakiman hanya dapat dilakukan
dengan cara melibatkan unsur-unsur masyarakat seluasnya-luasnya, bukan hanya
pengawasan secara internal agar terhindar dari semangat korupsi, manipulasi, dan
distorsi.7 Dengan kewenangan yang diberikan kepada Komisi Yudisial untuk
mengawasi hakim, Komisi Yudisial dapat menerima dan menindaklanjuti pengaduan
masyarakat dan/atau informasi tentang dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman
perilaku hakim, sesuai dengan peraturan bersama antara Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial. Dalam pelaksanaan penanganan laporan masyarakat yang dilakukan Komisi
Yudisial dari tahun 2005- 2015, Komisi Yudisial menerima laporan masyarakat
sebanyak 12.338 laporan dan laporan surat tembusan sebanyak 9.673. (lihat tabel 3. 1)
Tabel 3. 1
Rekapitulasi Laporan Masyarakat dan Tembusan Tahun 2005-2015
No Jenis surat 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 jumlah
1. Registrasi 382 481 228 330 380 757 847 577 709 545 151 5387
2. Belum
Registrasi
6 4 269 317 480 695 826 809 1454 1339 423 6622
3. Laporan
Baru
(Online)
0 0 0 2 0 0 44 84 81 80 0 291
Jumlah 388 485 497 649 860 1452 1717 1470 2244 1964 574 12338
4 Surat
tembusan
0 0 0 0 0 1642 1622 1779 1928 2003 699 9673
7 Titik triwulan tutik, Eksistensi, Kedudukan, dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai LembagaNegara Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, (Jakarta:Prestasi Pustaka, 2007), cet-ke 1, h., 178
32
Sumber: Inggrid Namirazswara dan Zara Zestya, Kiprah 10 Tahun Komisi Yudisial menjaga
etik dalam mewujudkan peradilan bersih.8
Dalam penerimaan laporan masyarakat terhitung sejak berdirinya Komisi
Yudisial pada tahun 2005 sampai tahun 2015 cenderung mengalami peningkatan setiap
tahunnya. Laporan masyarakat yang telah diregistrasi selanjutnya dilakukan
pendalaman laporan masyarakat melalui kegiatan anotasi, investigasi, dan pemantauan.
Hasil dari anotasi, investigasi dan pemantauan akan dibahas dalam sidang panel untuk
menentukan apakah laporan dari masyarakat tersebut dapat ditindaklanjuti pada proses
investigasi, dan pemantauan ataukah tidak dapat dilanjutkan.
Dalam penanganan laporan yang dapat ditindaklanjuti oleh komisi Yudisial
terkait pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim mulai dari 2005-2015
terdapat sebanyak 2145 laporan. Dari 2145 laporan tersebut sebanyak 450 laporan
ditindaklanjuti sampai dengan pemeriksaan hakim, 526 laporan ditindaklanjuti sampai
dengan pemeriksaan pelapor/saksi. Sedangkan laporan yang ditindaklanjutin sampai
dengan surat permintaan klarifikasi dan meneruskan/pemberitahuan ke instansi lain
untuk ditindaklanjuti sebanyak 1105 berkas. Dan sebanyak 64 berkas laporan yang
ditindaklanjuti sampai dengan permintaan alat bukti, investigasi,
meneruskan/pemberitahuan ke Mahkamah Agung. (lihat tabel 3. 2)
8 Inggrid Namirazswara dan Zara Zestya, Kiprah 10 Tahun Komisi Yudisial menjaga etikdalam mewujudkan peradilan bersih, h., 95
33
Tabel 3. 2
Penanganan Laporan yang Dapat Ditindak Lanjuti Tahun 2005-2015
NoKlasifikasi
penanganan laporan 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 Jumlah
1
Laporan yang
ditindaklanjuti
langsung dengan
pemeriksaan hakim
9 28 5 27 45 118 41 20 54 72 31 450
2 Laporan yang
ditindaklanjuti mulai
dengan pemeriksaan
pelapor/saksi
1 21 37 49 20 21 94 63 91 108 21 526
3 Laporan yang
ditindaklanjuti dengan
surat permintaan
klarifikasi
6 27 86 111 197 86 178 182 105 111 16 1105
4 Lain-lain (termasuk
permintaan alat bukti,
investigasi,
meneruskan
pemberitahuan ke
MA)
- - - - - 0 47 8 6 3 0 64
Jumlah 14 76 128 187 262 225 360 273 256 294 68 2145
Sumber: Inggrid Namirazswara dan Zara Zestya, Kiprah 10 Tahun Komisi Yudisial menjaga
etik dalam mewujudkan peradilan bersih.9
9 Inggrid Namirazswara dan Zara Zestya, Kiprah 10 Tahun Komisi Yudisial menjaga etikdalam mewujudkan peradilan bersih, h., 95
34
Kemudian dari laporan yang dapat ditindaklanjuti tersebut dilakukanlah
pemeriksaan terhadap hakim, pelapor dan saksi berdasarkan hasil sidang panel
pembahasan/pemeriksaan. Pada tahun 2005-2015 Komisi yudisial telah melakukan
pemeriksaan terhadap 3171 orang dengan rincian 1068 hakim dan 2103 orang pelapor
dan saksi.10 (lihat tabel 3. 3)
Tabel 3. 3
Pemeriksaan Hakim, Pelapor dan Saksi Tahun 2005-2015
No. Tahun
Terperiksa
JumlahHakim Pelapor & Saksi
1 2005 30 6 36
2 2006 56 27 83
3 2007 10 64 74
4 2008 36 71 107
5 2009 96 137 233
6 2010 153 147 300
7 2011 77 206 283
8 2012 160 322 482
9 2013 252 432 684
10 2014 148 522 670
11 2015 50 169 219
Jumlah 1068 2103 3171
10 Ibid.
35
Sumber: Inggrid Namirazswara dan Zara Zestya, Kiprah 10 Tahun Komisi Yudisial menjaga
etik dalam mewujudkan peradilan bersih.11
Setelah dilakukannya pemeriksaan Hakim, pelapor dan saksi oleh Komisi
Yudisial, kemudian masuk ke tahapan selanjutnya yaitu pemberian rekomendasi
sanksi. Rekomendasi sanksi ini disampaikan kepada Mahkamah Agung untuk segera
dapat dilaksanakan. Rekomendasi sanksi dari Komisi Yudisial berupa sanksi ringan,
sedang dan berat sesuai dengan ketentuan di dalam Pasal 22D ayat (2) Undang Undang
Nomor 18 tahun 2011. Penulis akan memberikan data terkait rekomendasi sanksi yang
dikeluarkan Komisi Yudisial pada sub bab berikutnya.
B. Pelaksanaan Kerjasama antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung dalam
Pemberian Sanksi Terhadap Hakim yang di Duga Melanggar Kode Etik dan
Perilaku Hakim
Keberadaan dan Kewenangan Komisi Yudisial sebagai lembaga negara diatur
dalam pasal 24B ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 hasil amandemen yang
menyebutkan bahwa Komisi Yudisial mempunyai kewenangan untuk mengangkat
hakim agung dan mempunyai kewenangan lain untuk menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Mahkamah Agung sebagai
lembaga negara juga dengan tegas diatur keberadaan dan kewenangannya dalam
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 24A ayat (1) yaitu Mahkamah Agung berwenang
mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang
diberikan oleh undang-undang. Dalam menjalankan kewenangan dan fungsinya
menurut ketentuan pasal 20 Undang-Undang Nomor 18 tahun 2011, Komisi Yudisial
memiliki tugas untuk meningkatkan kapasitas dan kesejahteraan hakim. Berdasarkan
fungsi, tugas dan kewenangan Komisi Yudisial dapat diidentifikasi fungsi, tugas dan
kewenangan Komisi Yudisial yang berhubungan langsung atau bersinggungan
11 Ibid.
36
langsung dengan fungsi, tugas dan wewenang Mahkamah Agung dalam hal
pengawasan perilaku hakim, yaitu:12
1. Melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim berdasarkan kepada Kode Etik danPedoman Perilaku Hakim. Komisi Yudisial melakukan pengawasan eksternal danMahkamah Agung melakukan pengawasan internal terhadap perilaku hakim.
2. Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.3. Menetapkan kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim bersama-sama dengan
Mahkamah Agung.4. Menjaga dan menegakkan pelaksanaan kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim.5. Mengupayakan peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim.
Dengan adanya fungsi, tugas, dan kewenangan antara Komisi Yudisial dan
Mahkamah Agung yang saling berkaitan mengharuskan kedua lembaga negara tersebut
saling bekerja sama untuk melaksanakan amanat konstitusi dan undang-undang.
Permasalahan-permasalahan yang muncul juga merupakan faktor yang mengharuskan
dilakukannya kerjasama antar lembaga guna mendorong terciptanya fungsi
pengawasan yang baik. Bentuk hubungan kerjasama antara Komisi Yudisial dan
Mahkamah Agung adalah kerjasama yang bersifat kemitraan (partnership), bukan
kerjasama mandiri yang terlepas dari saling ketergantungan. Bentuk kerjasama
kemitraan itu dapat terlihat dari adanya wewenang Komisi Yudisial
merekomendasikan sanksi terhadap hakim yang terbukti melanggar kode etik dan
perilaku hakim kepada Mahkamah Agung, dan Mahkamah Agung yang melaksanakan
rekomendasi sanksi tersebut.13
Rekomendasi sanksi dari Komisi Yudisial merupakan usulan untuk
dijatuhkannya sanksi terhadap hakim-hakim nakal yang melanggar kode etik dan
perilaku hakim. Eksekutor utama dalam melaksanakan sanksi kepada hakim adalah
Mahkamah Agung. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 sanksi bagi hakim
yang melanggar kode etik adalah teguran tertulis, pemberhentian sementara, dan
12 Salman Luthan, “Sinergitas Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung dalam PembaruanPeradilan”, Dalam Dialektika Pembaruan Sistem Hukum Indonesia: Sebuah Bunga Rampai (Jakarta:Komisi Yudisial,2012) h. 308
13 Ibid.
37
pemberhentian. Dalam Undang-Undang Komisi Yudisial terbaru yaitu Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2011 Rekomendasi sanksi berubah menjadi sanksi ringan,
sanksi sedang, dan sanksi berat. (lihat tabel 3. 4)
TABEL 3. 4
Rekomendasi Sanksi Oleh Komisi Yudisial Kepada Mahkamah Agung Tahun
2005- Maret 2015
NO. Jenis Sanksi
TAHUN
Jumlah
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Januari
-Maret
2015
Sebelum Perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004
1 Teguran
tertulis
6 5 1 0 7 45 8 - - - - 72
2 Pemberhentian
sementara
2 5 7 1 6 16 7 - - - - 44
3 Pemberhentian 0 0 1 1 3 12 1 - - - - 18
Sesudah Perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 (Berdasarkan Undang-Undang Nomor
18 tahun 2011)
1 Sanksi Ringan - - - - - - - 19 59 96 23 197
2 Sanksi Sedang - - - - - - - 3 3 22 1 29
3 Sanksi Berat - - - - - - - 5 9 13 2 29
Jumlah 8 10 9 2 16 73 16 27 71 131 26 389
Sumber: Inggrid Namirazswara dan Zara Zestya, Kiprah 10 Tahun Komisi Yudisial menjaga
etik dalam mewujudkan peradilan bersih.14
14 Inggrid Namirazswara dan Zara Zestya, Kiprah 10 Tahun Komisi Yudisial menjaga etikdalam mewujudkan peradilan bersih, h., 99
38
Rekomendasi Sanksi yang diberikan oleh Komisi Yudisial kepada Mahkamah
Agung akan menjadi sia-sia apabila Mahkamah Agung sebagai eksekutor utama tidak
menjalankan rekomendasi sanksi bagi hakim yang melakukan pelanggaran etik dari
Komisi Yudisial. Suksesnya kerjasama kemitraan merupakan kesuksesaan bersama
antar lembaga, bukan masing-masing lembaga. Yang mana berarti Komisi Yudisial
tidak akan sukses dalam melaksanakan tugas, fungsi dan kewenanganya apabila tidak
di dukung oleh Mahkamah Agung, begitu pula sebaliknya.
Dalam Peraturan bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial nomor:
02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode etik
dan Perilaku Hakim rekomendasi yang diberikan oleh Komisi Yudisial ke Mahkamah
Agung dapat dikategorikan dalam dua macam, rekomendasi yang diterima oleh
Mahkamah Agung dan rekomendasi yang masih dikaji oleh Mahkamah Agung. Penulis
mendapatkan data rekomendasi sanksi oleh Komisi Yudisial yang diterima atau ditolak
oleh Mahkamah Agung mulai tahun 2005-juni 2012. Adapun rekapitulasi dua macam
kategori tersebut sebagai berikut: (Lihat tabel 3.5)
Tabel 3. 5
Pendapat/Penilaian Mahkamah Agung Terhadap Rekomendasi Penjatuhan
Sanksi Periode 2005- 30 Juni 2012
NO Uraian Jumlah
Rekomendasi diterima oleh Mahkamah Agung
1 Diterima dan dijatuhi sanksi oleh Mahkamah Agung 33
2 Diambil alih untuk ditindaklanjuti oleh Mahkamah Agung 34
3 Diterima namun menunggu sidang pemeriksaan lanjutan
Mahkamah Agung
5
39
Lanjutan Tabel 3.5
4 Diajukan ke Majelis Kehormatan Hakim 9
Jumlah Rekomendasi Diterima 81
Rekomendasi yang masih dikaji Mahkamah Agung
1 Ditolak dengan alasan merupakan ranah teknis/tugas yudisial 16
2 Telah dijatuhi sanksi oleh Mahkamah Agung 10
3 Ditolak dengan alasan lain 4
4 Menunggu tanggapan Komisi Yudisial 1
5 Ditolak dengan alasan ditutup 3
6 Tidak/belum ada tanggapan 33
Jumlah Rekomendasi yang masih dikaji Mahkamah Agung 67
Jumlah Rekomendasi Keseluruhan 148
Sumber: Aryo Bawono dan Joko susilo,Menjaga Keseimbangan Meneguhkan Kehormatan.15
Komisi Yudisial dalam menjalankan tugas, fungsi dan kewenangannya
berpedoman kepada kode etik dan perilaku hakim yang disahkan bersama antara
Komisi Yudisial dan Mahkamah agung yang tertuang dalam Surat Keputusan Bersama
Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 keputusan bersama ini
berisi Prinsip-prinsip dasar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang
diimplementasikan dalam 10 (sepuluh) aturan perilaku sebagai berikut :
1. Berperilaku Adil
15 Aryo Bawono dan Joko susilo, “Menjaga Keseimbangan Meneguhkan Kehormatan”,(Jakarta: Komisi Yudisial,2012), h., 52
40
2. Berperilaku Jujur3. Berperilaku Arif dan Bijaksana4. Bersikap Mandiri5. Berintegritas Tinggi6. Bertanggung Jawab7. Menjunjung Tinggi Harga Diri8. Berdisplin Tinggi9. Berperilaku Rendah Hati10. Bersikap Profesional
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim merupakan acuan Komisi Yudisial
untuk memberikan rekomendasi sanksi bagi siapa saja hakim yang di duga melanggar
kode etik. Dari data diatas dapat dilihat masih banyaknya rekomendasi sanksi yang
ditolak oleh Mahkamah Agung dengan alasan maupun tidak dengan alasan. Apa yang
menyebabkan Mahkamah Agung menolak rekomendasi sanksi oleh Komisi Yudisial
tersebut? tentunya Komisi Yudisial ketika melakukan pengawasan hakim sudah sudah
sejauh mungkin untuk menghindari teknis yudisial dalam memberikan rekomendasi
sanksi seperti yang dikatakan oleh Wakil Ketua Komisi Yudisial Sukma Violetta
karena Komisi Yudisial.16 Fokus Komisi Yudisial adalah pada pelanggaran perilaku
yang dilakukan hakim. Maka dari itu, penulis akan mencoba membahas lebih dalam
terkait permasalahan di atas pada bab selanjutnya.
Hakim yang diberikan rekomendasi sanksi lalu hakim tersebut keberatan atas
sanksi yang diberikan, hakim kemudian dapat membela dirinya di depan Majelis
Kehormatan Hakim. Majelis Kehormatan Hakim adalah forum yang dibentuk oleh
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial yang bertugas memeriksa dan memutuskan
adanya dugaan pelanggaraan Kode Etik dan/atau Perilaku Hakim17. Sebagaimana
diatur dalam Peraturan Bersama Nomor 129/KMA/SKB/IX/2009 dan
04/SKB/P.KY/IX/2009 Tentang Pembentukan, Susunan, dan Tata Kerja Majelis
16 Statement Sukma Violetta http://bangka.tribunnews.com/2016/12/17/sukma-violetta-sebut-banyak-rekomendasi-sanksi-hakim-nakal-ditolak-ma
17 Komisi Yudisial Republik Indonesia, Mengenal Lebih Dekat Komisi Yudisial, h.,53
41
Kehormatan Hakim18. Sejak diterbitkannya keputusan bersama antara Mahkamah
Agung dan Komisi Yudisial pada tahun 2009-maret 2015, sidang majelis kehormatan
hakim sudah bersidang sebanyak 40 kali. (lihat tabel 3. 6)
TABEL 3. 6
Pelaksanaan Sidang Majelis Kehormatan Hakim Tahun 2009-Maret 2015
No No. Penetapan
Sidang MKH
Hakim
Terlapor
Asal
Rekomendasi
Tanggal
Putusan
Jenis Putusan
1. 01/MKH/IX/2009 SD MA 29 September
2009
Pemberhentian tetap tidak
dengan hormat
2. 02/MKH/XI/2009 AS KY 14 Desember
2009
Hakim Non palu 2 tahun
dimutasikan ke PT Banda
Aceh
3. 03/MKH/XI/2009 AKS KY 14 Desember
2009
Hakim Non palu 20 bulan
dan dimutasikan ke PT
Kupang
4. 01/MKH/I/2010 ER MA 23 Februari
2010
Hakim Non Palu 2 tahun
dan dimutasikan ke PT
Palangkaraya dan ditunda
kenaikan pangkat selama 1
tahun
5. 02/MKH/I/2010 AK MA mengundurkan
diri
Tidak jadi disidangkan
karena mengundurkan diri
18 Majelis Kehormatan Hakim dibentuk dengan penetapan bersama Ketua Mahkamah Agungdan Ketua Komisi Yudisial paling lama 14 hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya usulpemberhentian dari Mahkama Agung dan Komisi Yudisial. Majelis Kehormatan Hakim bersifat tidaktetap. Keanggotaan Majelis kehormatan Hakim terdiri dari 3 orang anggota hakim agung dan 3 oranganggota Komisi Yudisial. Lihat Peraturan Bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. LihatPeraturan Bersama Mahkmah Agung dan Komisi Yudisial.
42
Lanjutan Tabel 3.6
6. 03/MKH/I/2010 RB KY 16 februari
2010
Pemberhentian tetap tidak
dengan hormat
7. 04/MKH/IV/2010 MA MA 15 November
2010
Pemberhentian tetap tidak
dengan hormat
8. 05/MKH/X/2010 AF MA 15 November
2010
Pemberhentian tetap tidak
dengan hormat
9. 06/MKH/XI/2010 RMM KY 2 Desember
2010
Pemberhentian tetap tidak
dengan hormat
10. 01/MKH/IV/2011 ED KY 24 Mei 2011 Hakim Non Palu 2 tahun
dan dimutasikan ke PT
Jambi
11. 02/MKH/XI/2011 DS MA 22 November
2011
Pemberhentian tetap tidak
dengan hormat
12. 03/MKH/XI/2011 DD KY 22 November
2011
Pemberhentian tetap tidak
dengan hormat
13. 04/MKH/XI/2011 JP MA 6 Desember
2011
Disiplin ringan berupa
teguran tertulis dengan
akibat hukumnya dikurangi
tunjangan kinerja sebesar
75% selama 3 bulan
14. 05/MKH/XII/2011 HP KY 4 Januari 2012 Hakim Non Palu 1 tahun
dan dimutasi
43
Lanjutan Tabel 3.6
15. 01/MKH/II/2012 ABD MA 6 Maret 2012 Pemberhentian tetap tidak
dengan hormat
16. 02/MKH/VII/2012 PS KY 10 Juli 2012 Pemberhentian tetap tidak
dengan hormat
17. 03/MKH/VII/2012 ABS KY 10 Juli 2012 Hakim Non Palu 2 tahun
dan dimutasi ke PT
Semarang
18. 04/MKH/ XII/2012 AY MA 11 Desember
2012
Pemberhentian tetap tidak
dengan hormat dari Hakim
Agung
19. 01/MKH/II/2013 ADA KY 14 Februari
2013
Hakim Non Palu 2 tahun
dan dimutasi ke PT Medan
20. 02/MKH/II/2013 NH KY 6 Maret 2013 Hakim Non Palu 2 tahun
21. 03/MKH/II/2013 ASN MA 3 Juli 2013 Pemberhentian tetap tidak
dengan hormat
22. 04/MKH/II/2013 AS KY 3 Juli 2013 Pemberhentian tetap dengan
hormat dengan hak pensiun
23. 05/MKH/X/2013 VN MA 6 November
2013
Pemberhentian tetap dengan
hormat dengan hak pensiun
24. 06/MKH/X/2013 RLT KY 6 November
2013
Pemberhentian tetap dengan
hormat dengan hak pensiun
25. 07/MKH/X/2013 SMOS KY 7 November
2014
Hakim Non Palu 1 tahun
44
Lanjutan Tabel 3.6
26. 01/MKH/II/2014 PJZ KY 25 Februari
2014
Hakim Non Palu 6 bulan
dan tidak menerima
tunjangan
27. 02/MKH/II/2014 ELS MA 4 Maret 2014 Pemberhentian tetap dengan
hormat dengan hak pensiun
28. 03/MKH/II/2014 MS MA 4 Maret 2014 Pemberhentian tetap dengan
hormat dengan hak pensiun
29. 04/MKH/ II/2014 PSL KY 27 Februari
2014
Pemberhentian tetap dengan
hormat dengan hak pensiun
30. 05/MKH/ II/2014 MRL MA 25 Februari
2014
Hakim Non Palu 2 tahun
dan tidak menerima
tunjangan
31. 06/MKH/ II/2014 RC MA 12 Maret 2014 Pemberhentian tetap tidak
dengan hormat
32. 07/MKH/ II/2014 JMN MA 5 Maret 2014 Pemberhentian tetap dengan
hormat dengan hak pensiun
33. 08/MKH/ II/2014 PR KY 5 Maret 2014 Pemberhentian tetap dengan
hormat dengan hak pensiun
34. 09/MKH/VIII/2014 BS KY 12 Agustus
2014
Hakim Non Palu 6 bulan
dan tidak menerima
tunjangan
35. 10/MKH/VIII/2014 JEI KY 18 September
2014
Pemberhentian tetap dengan
hormat dengan
45
Lanjutan Tabel 3.6
36. 11/MKH/VIII/2014 IGN MA 11 September
2014
Pemberhentian tetap tidak
dengan hormat sebagai
hakim dan PNS
37. 12/MKH/VIII/2014 PN MA 09 September
2014
Hakim Non Palu 5 bulan
38. 13/MKH/VIII/2014 NS MA 10 September
2014
Pemberhentian tetap dengan
hormat dengan hak pensiun
39 O1/MKH/I/2015 KAJ KY 10 Februari
2015
Pemberhentian tetap tidak
dengan hormat
40. 02/MKH/II/2015 RH KY 11 Februari
2015
Hakim Non Palu 3 bulan
Sumber: Inggrid Namirazswara dan Zara Zestya, Kiprah 10 Tahun Komisi Yudisial Menjaga
Etik Dalam Mewujudkan Peradilan Bersih.19
Majelis Kehormatan Hakim adalah forum bagi hakim untuk membela diri yang
berdasarkan pemeriksaan sebelumnya mendapatkan rekomendasi sanksi. Forum ini
menjadi tempat hakim untuk membela dirinya habis-habisan agar terhindar dari jeratan
sanksi yang sudah diberikan sebelumnya. Pembentukan forum Majelis kehormatan
hakim merupakan suatu hal yang sangat menakutkan bagi para hakim. Dalam
menjalankan kewenangan pengawasan terhadap perilaku hakim maupun dalam hal
pemeriksaan Majelis Kehormatan Hakim, Majelis Kehormatan Hakim wajib menjaga
independensi dan tidak mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus
perkara, mentaati norma, menjaga kerahasiaan atas informasi yang diperoleh serta
wajib berpedoman pada kode etik dan pedoman perilaku hakim. Sehingga tidak terjadi
19 Inggrid Namirazswara dan Zara Zestya, Kiprah 10 Tahun Komisi Yudisial Menjaga Etik DalamMewujudkan Peradilan Bersih, h., 100-101
46
hal yang tidak di inginkan selama proses pengawasan. Karena dalam menjalankan
tugasnya majelis pengawasan hakim berpedoman pada peraturan yang berlaku.
47
BAB IV
PENEGAKAN KODE ETIK DAN PERILAKU HAKIM OLEH KOMISI
YUDISIAL
Salah satu tuntutan yang digelorakan pada era reformasi adalah perbaikan
sistem peradilan. Lembaga peradilan lazim dipredikati sebagai benteng pencari
keadilan. Benteng ini perlu di reformasi karena menjadi salah satu sumber
ketidakpercayaan masyarakat terhadap tatanan hukum di tanah air. Guna
mengembalikan kepercayaan publik dibuatlah suatu lembaga baru yang mampu
mengawasi kinerja lembaga peradilan yang diberi nama Komisi Yudisial Republik
Indonesia, yang muncul pada perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945, yang
ditetapkan dalam sidang Musyawarah Perwakilan Rakyat tanggal 9 November
2001. Menurut pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, Komisi Yudisial
bersifat mandiri yang berwenang merekomendasikan pengangkatan hakim agung
dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan meningkatkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Komisi Yudisial mempunyai posisi dan peran penting sebagaimana
diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 dalam usaha untuk mewujudkan
kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui pencalonan hakim agung, dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim. Komisi Yudisial
merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanan
wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya. Komisi
Yudisial dirancang untuk menciptakan fungsi checks and balances dalam
kekuasaan kehakiman dengan kewenangannya mengangkat hakim agung dan
pengawasan hakim. Keberadaan Komisi Yudisial sangat diperlukan sebagai bagian
dari pengawasan eksternal peradilan akibat kegagalan sistem yang telah ada untuk
menciptakan pengadilan yang lebih baik. Lahirnya Komisi Yudisial merupakan
efek dari ketidak berhasilannya good governance yang dilakukan oleh Mahkamah
Agung. Good governance adalah suatu penyelenggaraan manajemen yang solid dan
bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien,
48
penghindaran salah alokasi dana investasi dan pencegahan korupsi baik secara
politik maupun administratif.
Posisi komisi Yudisial sebagai lembaga negara yang diamanatkan langsung
oleh konstitusi sebagai pengawas hakim dianggap mempunyai peran dan posisi
yang kuat untuk menegakkan kode etik dan perilaku hakim. Dalam pembukaan
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim dinyatakan bahwa Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim merupakan pedoman bagi seluruh hakim dan juga Komisi
Yudisial dan Mahkamah Agung dalam melakukan pengawasan, baik pengawasan
internal maupun pengawasan eksternal. Pengertian pengawasan internal disini
adalah pengawasan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung, sedangkan
pengawasan eksternal adalah pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial.
Semangat dibentuknya lembaga baru yaitu Komisi Yudisial adalah untuk
memperbaiki sistem peradilan yang dinilai tidak maksimal dalam menjalankan
tugasnya. Kewenangan Komisi Yudisial dalam menegakkan kehormatan dan
keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim pada dasarnya merupakan bentuk
kesadaran bahwa pengawasan yang objektif terhadap kekuasaan kehakiman hanya
dapat dilakukan dengan cara melibatkan unsur-unsur masyarakat seluas-luasnya,
bukan hanya pengawsan secara internal agar terhindar dari semangat korupsi,
manipulasi, dan distorsi.1 Pada bab ini akan dijelaskan tentang lemahnya
kewenangan Komisi Yudisial dalam mengawasi Perilaku Hakim dalam Undang-
Undang dan Peraturan yang berlaku dan juga akan dibahas mengenai kedudukan
dan kewenangan dua lembaga yang sama-sama mempunyai kewenangan
mengawasi hakim secara internal maupun eksternal yang mana dalam praktiknya
masih banyak ketidak selarasan antar kedua lembaga ini dan juga tumpang
tindihnya kewenangan pengawasan hakim antara Komisi Yudisial dan Mahkmah
Agung.
1 Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan, dan Wewenang Komisi Yudisial SebagaiLembaga Negara Dalam SIstem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amanemen UUD 1945,cet-ke1, h., 178
49
A. Lemahnya Kewenangan Komisi Yudisial Dalam Penyelesaian Kasus Hakim
yang Melanggar Ketentuan Undang-Undang dan Peraturan Bersama yaitu
Kode Eetik dan Pedoman Perilaku Hakim
Dasar hukum Komisi Yudisial menjaga harkat dan martabat hakim dari
berbagai bentuk yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim
telah diatur secara tegas di Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Komisi Yudisial.
Menurut ketentuan ini Komisi Yudisial dapat mengawasi hakim hingga melakukan
langkah hukum bagi siapa saja yang merendahkan kehormatan hakim. Karena yang
diawasi oleh Komisi Yudisial adalah profesi hakim yang terhormat (officium
nobile) dan mulia berbeda dengan masyarakat biasa, maka selama proses
pengawasan hakim berlangsung, peranan Komisi Yudisial terikat oleh rules of law.2
Rules of law yang dimaksud disini harus tunduk kepada pasal 20A ayat 1 huruf (a)
Undang-Undang Nomor 18 tahun 2011 tentang Komisi Yudisial yang menekankan
agar setiap melakukan tugas pokok dan fungsinya Komisi Yudisial harus menaati
peraturan perundang-undangan yang dimilikinya.3
Komisi Yudisial dalam mengawasi hakim berpedoman pada kode etik dan
pedoman perilaku hakim (KEPPH) yang dirumuskan bersama dengan Mahkamah
Agung. sebagaimana diatur dalam keputusan bersama Mahkamah Agung Republik
Indonesia dan Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor
047/KMA/SKB/IV/2009-02/SKB/P.KY/IV/2009 tertanggal 8 april 2009, yang
mana Komisi Yudisial memiliki kewenangan untuk:
1. Menerima dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat dan/atau informasitentang dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim;
2. Memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran atas kode etik dan pedomanperilaku hakim;
3. Komisi yudisial dapat menghadiri persidangan di pengadilan;4. Menerima dan menindaklanjuti pengaduan mahkamah agung dan badan-badan
peradilan dibawah mahkamah agung atas dugaan pelanggaran kode etik danpedoman perilaku hakim;
5. Melakukan verfikasi terhadap pengaduan;
2 Binsar M. Gultom, Pandangan Kritis Seorang Hakim “Dalam Penegakan Hukum diIndonesia” (Jakarta: PT Gramedia, 2017), h., 72
3 Ibid.
50
6. Meminta keterangan atau data kepada Mahkamah agung dan/atau pengadilan;
Melakukan pemanggilan dan meminta keterangan dari hakim yang diduga
melanggar kode etik dan perilaku hakim utuk kepentingan pemeriksaan; dan/atau
menetapkan keputusan berdasarkan hasil pemeriksaan.
Mahkamah Agung adalah lembaga pengawasan internal yang memegang
fungsi kontrol dari dalam terhadap kinerja hakim agar sesuai dengan amanat
Undang-undang Dasar. Dalam konteks pengawasan internal ini, maka tugas
pengawasan Mahkamah Agung terhadap para hakim sangat nampak dalam pasal 32
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, di sana
dijelaskan bahwa: Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap
penyelengaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan
kekuasaan kehakiman (ayat (1)); Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan
perbuatan para hakim di semua lingkungan lingkungan peradilan dalam
menjalankan tugasnya. Dalam konteks ini, MA juga memiliki wewenang untuk
meminta keterangan tentang hal – hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan
dari semua lingkungan peradilan(ayat (2) dan (3)); dan Mahkamah Agung
berwenang memberi petunjuk, teguran, atau peringatan yang di pandang perlu
kepada pengadilan di semua lingkungan peradilan (ayat (4)).
Pengawasan dibutuhkan karena para hakim belum semuanya mampu untuk
mempraktikan sikap independen dan imparsial dalam menangani perkara. Seorang
hakim dalam memutus perkara haruslah didasarkan pada intelegensi dan kemauan
belajar, dikontrol oleh prinsip-prinsip hukum yang didukung keberanian dan
pikiran yang dingin, bebas dari pengaruh luar dan tidak goyah karena simpati
ataupun prasangka. Pengawasan bukan merupakan wujud dari intervensi terhadap
kekuasaan kehakiman. Namun, yang sering terjadi bahwa para hakim
mempersepsikan pengawasan sebagai ancaman terhadap independensi, integritas,
dan kehormatan hakim. bukan sebaliknya sebagai norma dan institusi penguatan
51
independensi, integritas, dan kehormatan dalam rangka terbangunnya peradilan
yang bersih.4
Pada masa awal Komisi Yudisial menjalankan tugas dan fungsinya, terdapat
tantangan terkait dengan fungsi pengawasan hakim. Pertama, adanya gejala
resistensi dikalangan hakim. Hal ini dipicu oleh anggapan ketidakjelasan yurisdiksi
pengawasan hakim, implikasinya berpengaruh kepada hubungan tidak harmonis
antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Kedua, terbitnya Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 dimana Pasal 13 Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2004 tidak dibatalkan, namun pasal-pasal yang menyangkut
wewenang pengawasan dibatalkan Mahkamah Konstitusi, akibatnya Komisi
Yudisial sulit menjalankan tugas dan kewenangan konstitusionalnya sesuai mandat
Pasal 24B Undang-Undang Dasar 1945.
Sejak berdirinya Komisi Yudisial pada tahun 2005 – april 2015 Komisi
Yudisial telah menerima laporan masyarakat sebanyak 12.338 laporan, yang dapat
di tindaklanjuti sebanyak 2145 laporan. Lalu dilakukanlah pemeriksaan oleh
Komisi Yudisial sebagai tindak lanjut dari laporan masyarakat berdasarkan hasil
sidang panel pembahasan/pemeriksaan. Pada tahun 2005- april 2015, Komisi
Yudisial telah melakukan peeriksaan terhadap 3171 orang, dengan rincian 1068
orang hakim dan 2103 orang pelaopr dan saksi. Kemudian rekomendasi penjatuhan
sanksi yang mana Komisi Yudisial menyampaikan rekomendasi kepada Mahkamah
Agung untuk ditindaklanjuti. Rekomendasi sanksi berupa sanksi ringan, sedang,
dan berat. 5
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi
Yudisial tentang perubahan Undang-Undang nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial terdapat perbedaan dalam pemberian rekomendasian penjatuhan sanksi,
pada Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial menyatakan bahwa rekomendasi penjatuhan sanksi terhadap hakim berupa
4 Suparman Marzuki, Pengawasan Hakim untuk Peradilan yang Fair dalam MembumikanTekad Menuju Peradilan Bersih, (Jakarta: Komisi Yudisial, 2011), h. 58
5 Inggrid Namirazswara dan Zara Zestya, Kiprah 10 Tahun Komisi Yudisial, h., 94
52
teguran tertulis, pemberhentian sementara, dan pemberhentian. Sementara pada
pasal 22D Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial
menyatakan bahwa rekomendasian penjatuhan sanksi terhadap hakim yang diduga
melakukan pelanggaran kode etik kepada Mahkamah Agung berupa sanksi ringan,
sanksi sedang, dan sanksi berat. Dalam pemberian rekomendasi penjatuhan sanksi
ini Komisi Yudisial telah merekomendasikan penjatuhan sanksi sebanyak 389
rekomendasi sanksi.
Dari jumlah laporan, pemeriksaan dan rekomendasi penjatuhan sanksi
diatas, sangatlah banyak kasus yang ditangani oleh Komisi Yudisial. Artinya, dari
segi kuantitas laporan pengaduan masyarakat sebenarnya Komisi Yudisial telah
bekerja cukup keras untuk melayani masyarakat. Namun jika kita lihat dari
rekomendasi penjatuhan sanksi untuk para hakim, hanya 389 rekomendasi sanksi
yang diajukan ke Mahkamah Agung. Dari jumlah sebanyak itu, sebanyak 40 orang
hakim dilanjutkan untuk diperiksa dalam Majelis Kehormatan Hakim. Dari 40
orang hakim tersebut, 34 orang hakim dijatuhkan sanksi berat berupa
pemberhentian, 4 orang hakim dijatuhkan sanksi sedang, 1 orang hakim dijatuhkan
sanksi ringan, dan 1 orang hakim tidak jadi disidangkan karena mengundurkan diri
sebagai hakim. Data diatas menimbulkan banyak pertanyaan di kalangan
masyarakat terkait seberapa optimalnya pengawasan yang dilakukan Komisi
Yudisial untuk mengawasi hakim.
Komisi Yudisial sebagai pengawas hakim secara tegas termaktub didalam
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24B yang berbunyi Komisi Yudisial bersifat
mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim. Menjaga berarti preventif dan menegakkan berarti
represif. Namun dengan adanya Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial merupakan awal mula pelemahan kewenangan pengawasan
Komisi Yudisial, karena Hasil akhir dari pengawasan yang dilakukan oleh Komisi
Yudisial bukanlah berhak untuk memberikan sanksi terhadap hakim yang
melanggar ketentuan Undang-Undang, namun hanya sebatas rekomendasi sanksi
53
yang selanjutnya diberikan kepada Mahkamah Agung sebagai eksekutor dalam
menerapkan sanksi tersebut.
Rekomendasi sanksi tersebut yang bersifat tidak mengikat meyebabkan
banyaknya rekomendasi sanksi yang diserahkan kepada Mahkamah Agung
mendapat penolakan dari Mahkamah Agung, yang mana seharusnya terdapat
konsekuensi yang jelas apabila rekomendasi sanksi yang diberikan oleh Komisi
Yudisial tidak di indahkan oleh Mahkamah Agung. Walaupun didalam
Undang_undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial pada pasal 22E
ayat (3) dijelaskan bahwa apabila tidak ada kata sepakat, rekomendasi sanksi yang
dikeluarkan oleh Komisi Yudisial kepada Mahkamah Agung dapat berlaku.
Apabila sepanjang pemeriksaan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial sudah
benar seharusnya rekomendasi sanksi yang diberikan Komisi Yudisial kepada
Mahkamah Agung langsung otomatis berlaku dan wajib dilaksanakan oleh
Mahkamah Agung. Sebagaimana diatur dalam pasal 22E ayat (1) Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2011. Lalu pada ayat 22E ayat (2) dijelaskan:
“Dalam hal terjadi perbedaan pendapat antara Komisi Yudisial dan MahkamahAgung mengenai usulan Komisi Yudisial tentang penjatuhan sanksi ringan, sansksisedang, dan sanks berat selain sebagaimansa dimaksud dalam Pasal 22D ayat (2)huruf c (angka 4 dan angka 5), dilakukan pemeriksaan bersama antara KomisiYudisial dan Mahkamah Agung terhadap hakim yang bersangkutan.
Kemudian pada Pasal 22E ayat (3) ditegaskan bahwa rekomendasi sanksi
dari Komisi Yudisial berlaku secara otomatis walaupun tidak tercapainya kata
sepakat dalam pemeriksaan bersama antara Komisi Yudisial dan Mahkamah
Agung. Namun, dalam praktiknya rekomendasi sanksi dari Komisi Yudisial banyak
ditolak untuk dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dengan alasan Komisi Yudisial
sudah memasuki ranah teknis yudisial yang mana hal tersebut merupakan wilayah
pengawasan Mahkamah Agung. Padahal sebagaimana yang dikatakan oleh Wakil
Ketua Komisi Yudisial Sukma Violetta bahwasannya Komisi Yudisial sudah sejauh
54
mungkin untuk menghindari teknis yudisial dalam memberikan rekomendasi sanksi
karena Komisi Yudisial fokus pada pelanggaran perilaku yang dilakukan hakim.6
Lemahnya kewenangan Komisi Yudisial merupakan permasalahan yang
berlarut-larut. Lahirnya Komisi Yudisial merupakan harapan masyarakat Indonesia
agar dapat menjadi lembaga yang mampu mengawasi hakim tidak hanya berupa
rekomendasi sanksi namun juga dalam semua aspek. kehadiran Komisi Yudisial
dianggap menggangu oleh banyak hakim. Seharusnya hakim tidak perlu merasa
terganggu dengan kehadiran Komisi Yudisial. Hakim yang merasa terganggu dapat
di indikasikan bahwa hakim tersebut ingin ataupun sudah melakukan perbuatan
yang melanggar ketentuan Undang-Undang. Selama hakim tersebut tidak
melanggar Undang-Undang seharusnya tidak perlu menghawatirkan Komisi
Yudisial. Kelemahan utama dari kewenangan Komisi Yudisial adalah produk
hukumnya hanya bisa memberikan rekomendasi sanksi, hanya itu saja. Seharusnya
Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal yang di jamin Undang-Undang
diberikan kewenangan yang seluas-luasnya demi menciptakan peradilan yang
bermartabat dan bersih, bukan hanya sebatas memberikan rekomendasi sanksi itu
pun tidak jelas kelanjutannya apabila tidak dilaksanakan oleh Mahkamah Agung.
Sanksi Administratif tentu perlu kepada Mahkamah Agung apabila tidak
melaksanakan rekomendasi sanksi dari Komisi Yudisial. Mengingat banyaknya
rekomendasi sanksi yang diberikan oleh Komisi Yudisial hanya sebatas “angin
lalu” yang tidak di anggap oleh Mahkamah Agung. Hal semacam inilah yang
menurut penulis menjadikan kewenangan Komisi Yudisial lemah dalam
mengawasi hakim.
Banyaknya rekomendasi sanksi yang di tolak rata-rata merupakan kasus-
kasus pelanggaran kode etik ringan dan sedang, apabila terjadi kasus pelanggaran
berat dibentuklah Majelis Kehormatan Hakim. Pasal 1 ayat (1)
04/PB/MA/IX/2012-04/PB/P.KY/09/2012 Tentang Tata Cara Pembentukan, Tata
6 Statement Sukma Violetta http://bangka.tribunnews.com/2016/12/17/sukma-violetta-sebut-banyak-rekomendasi-sanksi-hakim-nakal-ditolak-ma
55
Kerja, dan tata Cara Pengambilan Keputusan Majelis Kehormatan Hakim yang
menyebutkan bahwa:
“Majelis Kehormatan Hakim adalah forum pembelaan diri bagi hakim yangberdasarkan hasil pemeriksaan dinyatakan terbukti melanggar ketentuansebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, serta diusulkan untukdijatuhi sanksi berat berupa pemberhentian”.
Majelis Kehormatan Hakim merupakan perangkat yang dibentuk
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial yang memiliki tugas memeriksa dan
memutus adanya dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim
(KEPPH).7 Dalam laporannya, Komisi Yudisial mengungkapkan, sejak pertama
kali digelar pada 2009, sidang MKH baru dilakukan sebanyak 40 kali (sampai
september 2016). Data menunjukkan, pelanggaran hakim yang paling banyak
dalam sidang tersebut berupa penyuapan, memainkan putusan, perselingkuhan, dan
indisipliner. 8
B. Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim oleh Komisi Yudisial dan
Mahkamah Agung Serta Perbandingan Komisi Yudisial di Beberapa Negara
Berdasarkan konstitusi, Komisi Yudisial mempunyai dua kewenangan
konstitusional, yaitu utuk menyeleksi calon hakim agung dan mempunyai
wewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim. Kewenangan Komisi Yudisial dalam menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim harus dimaknai
bahwa kehormatan, martabat dan perilaku hakim jangan sampai jatuh karena
perbuatannya sendiri maupun perbuatan orang lain. Demikian juga halnya apabila
perilaku hakim tidak sesuai dengan tata susila, baik di dalam tugas maupun saat
diluar tugas kedinasannya maka sebenarnya hakim telah menjatuhkan kehormatan
dan martabatnya sendiri sebagai seorang hakim. Disinilah Komisi Yudisial hadir
untuk menegakkanya. Kehadiran Komisi Yudisial sebagai pengawas terhadap
perilaku hakim sebenarnya diharapkan juga oleh Mahkamah Agung yang mana
7 Inggrid Namirazswara dan Zara Zestya, Kiprah 10 Tahun Komisi Yudisial, h., 948Komisi Yudisial Desak Mahkamah Agung Tindak Hakim Nakal,
perpustakaan.mahkamahagung.go.id/15/09/2016/read/detailKliping/
56
dapat dilihat pada ide awal pembentukan Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim
(MPPH) tahun 1968. Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim diharapkan
mengemban fungsi memberikan usul pengangkatan, promosi, pemberhentian serta
tindakan hukuman.9
Seiring berjalannya waktu keberadaan Komisi Yudisial dianggap
“mengganggu” oleh Mahkamah Agung. Persoalan yang memicu adanya gesekan
antara kedua lembaga tersebut adalah perbedaan penafsiran tugas pengawasan
perilaku hakim antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Mahkamah Agung
menganggap bahwa yang dimaksud pengawasan perilaku hakim tidak termasuk
pengawasan terhadap putusan hakim. Pengawasan terhadap putusan (teknis
yudisial) adalah kewenangan Mahkamah Agung. Sebab, jika hal tersebut dilakukan
oleh Komisi Yudisial dapat mengancam independensi hakim. Dalam batas tertentu,
alasan ini dapat dimengerti. Apalagi ada kekhawatiran apabila nantinya bisa jadi
Komisi Yudisial ditempatkan selayaknya lembaga banding jika ada ketidakpuasan
pencari keadilan atas suatu putusan. Pada gilirannya hal ini akan merusak sistem
dan melahirkan ketidakpastian hukum. Adanya dualisme dalam penafsiran atas
tugas pengawasan hakim antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung
menjadikan peran kedua lembaga dalam mengawasi hakim tidak berjalan
sebagaimana mestinya.
Pengawasan hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah
Agung merupakan amanat konstitusi dan Undang-Undang. Keharusan adanya
kerjasama antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung bukan hanya karena
amanat konstitusi dan Undang-Undang saja, tapi juga di dorong oleh adanya
sejumlah permasalahan yang dihadapi oleh badan peradilan. Mahkamah Agung
sebagai organisasi peradilan belum sepenuhnya mampu melaksanakan fungsinya
pasca penyatuan atap. Berdasarkan data ODA (Organizational Diagnostic
Assessment) ditemukan bahwa masih terdapat posisi/jabatan yang tumpang tindih,
fungsi organisasi yang kurang efektif dan distribusi kerja yang kurang merata.
9 Elza Faiz dkk, Risalah Komisi Yudisial RI (Cikal Bakal, Pelembagaan, dan DinamikaWewenang), (Jakarta: Pusat Analisis dan Layanan Informasi, 2013) h., 13
57
Budaya organisasi yang cenderung feodal dan masih kentalnya KKN (Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme) juga menjadi sebab belum profesionalnya organisasi
Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan dibawahnya.10
Fenomena di atas seharusnya menjadikan peran Komisi Yudisial dapat
diperkuat karena di tubuh Mahkamah Agung sendiri terdapat penyakit yang sulit
untuk dihilangkan. Sehingga Komisi Yudisial seharusnya mendapatkan
kewenangan yang lebih luas dari hanya mengawasi perilaku hakim dan produk
hukumnya hanya sebatas rekomendasi. Undang-Undang Komisi Yudisial saat ini
yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 haruslah diperkuat mengenai
kewenangan Komisi Yudisial. Bukan hanya bisa mengawasi perilaku hakim tetapi
juga mampu mengawasi teknis yudisial dan hal lainnya yang diharapkan bisa
menjadi solusi untuk tegaknya hukum dan profesionalisme hakim.
Keharusan Komisi Yudisial menjalin kerjasama strategis yang efektif
dengan Mahkamah Agung juga di dorong oleh kondisi tidak adanya kerjasama yang
baik diantara kedua lembaga terebut selama ini. Sehingga, menyebabkan
terhambatnya proses reformasi peradilan, khususnya untuk mencetak hakim-hakim
professional dan sekaligus menertibkan hakim-hakim nakal yang tidak
menjalankan fungsi yudisialnya untuk menegakkan hukum dan keadilan. Bentuk
hubungan kerjasama antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung adalah
kerjasama yang bersifat kemitraan, bukan kerjasama mandiri yang terlepas dari
saling ketergantungan. Bentuk kerjasama kemitraan antara Komisi Yudisial dan
Mahkamah Agung ini terlihat dari adanya kewenangan Komisi Yudisial
merekomendasikan sanksi terhadap hakim yang melanggar Kode etik dan Pedoman
Perilaku Hakum kepada Mahkamah Agung, kemudian Mahkamah Agunglah yang
mengeksekusi rekomendasi sanksi dari Komisi Yudisial tersebut. Tanpa adanya
eksekusi dari Mahkamah Agung, rekomendasi sanksi yang diajukan oleh Komisi
Yudisial akan sia-sia. Suksesnya kerjasama kemitraan adalah kesuksesan bersama,
yang mana apabila Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung sama-sama komitmen
10 Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI), Cetak Biru Pembaharuan Peradilan2010-2035, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2010) h. 7
58
untuk mengawasi hakim dan menegakkan Kode etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Dalam upaya untuk menjalankan efektifitas penegakan kode etik dan
perilaku hakim Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial membuat Peraturan
Bersama Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012. Peraturan bersama
tersebut dibuat agar mekanisme penegakan kode etik dan perilaku hakim akan lebih
optimal dan sesuai dengan amanat peraturan perundang-undangan. Sebagaimana
dijelaskan didalam Pasal 3 ayat (11) Peraturan Bersama Nomor 02/PB/MA/IX/2012
dan 02/PB/P.KY/09/2012 yang mana prinsip kemitraan dimaksudkan bahwa
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial bekerjasama dan saling mendukung dalam
pengawasan dan penanganan dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku
hakim. Peraturan bersama yang memuat kode etik dan perilaku hakim diatas
bukanlah satu-satunya ketentuan yang memuat rambu-rambu moral bagi profesi
hakim.
Mahkamah Agung sendiri menerbitkan Keputusan Ketua Mahkamah
Agung Nomor KMA/104A/SK/XII/2006 tentang Pedoman Perilaku Hakim dan
Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 215/KMA/SK/XII/2007 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Pedoman Perilaku Hakim. Dengan memperhatikan Pasal
32A juncto pasal 81B Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung,
disepakatilah bahwa Mahkamah Agung melaksanakan pengawasan internal
terhadap hakim. Sedangkan, Komisi Yudisial melaksanakan pengawasan eksternal.
Komisi Yudisial dibentuk sebagai institusi pengawasan diluar struktur Mahkamah
Agung, struktur baru ini membuka peluang masyarakat terlibat dalam proses
pengangkatan hakim agung serta peduli dalam proses penilaian terhadap etika kerja
dan kemungkinan pemberhentian para hakim karena pelanggaran terhadap etika itu,
dengan demikian pengertian independensi atau mandiri disini haruslah dipahami
dalam arti bebas dari intervensi kepentingan para hakim yang kewibawaannya
sendiri perlu dijaga oleh Komisi Yudisial.11 Tujuan dari fungsi pengawasan
11 Jimly asshidqie, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Amandemen Keempat, (Jakarta:Yarsif Watampone, 2003), h., 54
59
eksternal Komisi Yudisial terhadap hakim adalah agar seluruh hakim dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagai pelaku kekuasaan kehakiman
senantiasa dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, kebenaran, dan rasa
keadilan masyarakat dengan berpedoman kepada Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim (KEPPH).
Dibuatnya peraturan bersama seperti yang dijelaskan diatas diharapkan
mampu menjadikan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial bekerja sama layaknya
mitra kerja yang saling bantu untuk menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode
Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim. Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial
seharusnya dapat bekerja sinergis. Dalam hal ini temuan Komisi Yudisial dapat
direspon positif oleh Mahkamah Agung dengan ikut menindaklanjutinya, demikian
sebaliknya mengenai mekanismenya Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dapat
duduk bersama dan menyelesaikan permaslahan yang ada. Jika yang menjadi tujuan
adalah tegaknya martabat hakim, kehadiran Komisi Yudisial tak perlu dianggap
sebagai pesaing. Justru Mahkamah Agung dapat memanfaatkan Komisi Yudisial
untuk membantu menegakkan martabat hakim.12
Indonesia bukanlah satu satunya negara di dunia yang mempunyai Komisi
Yudisial sebagai lembaga pengawas hakim. Terdapat kurang lebih 60 negara yang
memiliki Komisi Yudisial pada sistem peradilannya dengan fungsi, tugas, dan
kewenangannya yang berbeda-beda.13 Adanya lembaga seperti Komisi Yudisial di
banyak negara membuktikan bahwa Komisi Yudisial sangatlah diperlukan untuk
menjadi lembaga pengawasan bagi kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial di
Indonesia memiliki tugas dan kewenangan yang sempit yang hanya terbatas pada
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan menegakkan Kode Etik dan Pedoman
Perilaku hakim. Berbeda dari beberapa Negara yang memiliki Komisi Yudisial
pula, seperti halnya Komisi Yudisial Italia yang di dalam sistem ketatanegaraan
12 Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan, dan Wewenang Komisi Yudisial SebagaiLembaga Negara Dalam SIstem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amanemen UUD 1945,h. 121
13 Autheman, Violaine and Sandra Elena, IFES Rule of Law White Paper Series, GlobalBest Practices: Judicial Councils, Lessons Learned From Europe and Latin America, April, 2014.
60
Italia disebut Consiglio Superiore della magistratura.14 Consiglio Superiore della
magistratura bersifat independen, dan mempunyai tugas dan kewenangan yang
lebih luas dibandingkan dengan Komisi Yudisial di Indonesia. Kewenangan dari
Consiglio Superiore della magistratura adalah pengangkatan, penentuan tugas,
penempatan dan kenaikan pangkat serta menegakkan dan memberikan sanksi
apabila hakim terbukti melakukan dindakan indisipliner.15 Pemberhentian hakim di
Italia yang memiliki kuasa penuh adalah Komisi Yudisialnya, sehingga apabila
hakim akan diberhentikan harus atas persetujuan dari Komisi Yudisial italia yaitu
Consiglio Superiore della magistratura. Dapat pula kita bandingkan Komisi
Yudisial Indonesia dengan Komisi Yudisial dari negara bagian Amerika serikat
yaitu Wisconsin. KY di negara bagian Wisconsin dikenal dengan nama Wisconsin
Judicial Commission. Komisi Yudisial Wisconsin merupakan bagian dari
Kekuasaan kehakiman. Persamaannya dengan Komisi Yudisial Indonesia adalah
sama-sama tidak memiliki kewenangan teknis yudisial dan hanya berwenang untuk
mengawasi etika hakim.16 Lalu ada Komisi Yudisial negara Belanda yang disebut
Raad Voor de Rechtspraak atau Netherland Council for Judiciary (NCJ).17
Kewenangan yang dimiliki oleh Komisi Yudisial Belanda sangatlah luas, bukan
hanya sekedear mengangkat hakim agung dan mengawasi etika hakim saja seperti
halnya di Indonesia. Komisi Yudisial Belanda mempunyai tugas dan wewenang
untuk mengelola manajemen dari mulai keamanan hingga informasi administrasi,
pembuat kebijakan, penyusun anggaran dan kewenangan berupa kedisiplinan,
kenaikan pangkat, dan peningkatan kualitas pengadilan.18
Dari beberapa negara yang penulis paparkan diatas sudah semestinya
Komisi Yudisial Republik Indonesia berbenah diri dan berusaha untuk memperkuat
14 Wim Voermans, diterjemahkan oleh Adi Nugroho dan M. Zaki Hussin, Komisi Yudisialdi Beberapa Negara Uni Eropa, LeIP (Lembaga Kajian dan Advokasi untuk IndependenPeradilan, 2002), h., 75
15 Ibid16 Komisi Yudisial Republik Indonesia, Studi Perbandingan Komisi Yudisial di Beberapa
Negara (Jakarta: Pusat Analisi dan Layanan Informasi), h., 8017 Lihat Netherland Judicial Act 1827, Section 83a[repealed on 1/1/2002] PART 6.
Council for Judiciary.18 Lihat Staatsblaad No. 248
61
kewenangannya. Pengawasan Komisi Yudisial di Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2011 sangatlah sempit hanya mengawasi kode etik dan pedoman perilaku
hakim. Komisi Yudisial harus belajar dari negara-negara lain untuk memperkuat
kewenangan yang sudah ada sekarang. Bukan hanya sekedar pengawas etika dan
perilaku hakim tetapi juga mampu menjadi pengawasan di berbagai aspek yang
dirasa perlu untuk ada di dalam kewenangan Komisi Yudisial, seperti halnya ranah
teknis yudisial. Sehingga Peradilan di Indoenseia menjadi lebih baik dan bersih.
C. Dinamika Kerjasama antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung
Hubungan kelembagaan yang bersifat kemitraan antara Komisi Yudisial
dan Mahkamah Agung sejak berdinya Komisi Yudisial pada tahun 2005 sampai
saat ini belum berjalan dengan baik. Hubungan Komisi Yudisial dan Mahkamah
Agung memang kurang harmonis yang mana diawali dengan adanya resistensi
kalangan hakim terhadap Komisi Yudisial yang dalam pandangan Komisi Yudisial
dipicu oleh angapan adanya ketidakjelasan yuridiksi pengawasan hakim. Namun,
dalam pandangan para hakim, resistensi itu muncul sebagai reaksi atas pelaksanaan
fungsi Komisi Yudisial yang memasuki ranah teknis yudisial, yang mana teknis
yudisial bukanlah kewenangan pengawasan Komisi Yudisial. Perlawanan para
hakim terhadap Komisi Yudisial itu dipicu karena Komisi Yudisial memeriksa
majelis hakim di tingkat banding yang memutus perkara pemilihan kepala daerah
Depok. Majelis hakim tersebut diberikan rekomendasi sanksi oleh Komisi Yudisial
kepada Mahkamah Agung karena telah melakukan kesalahan berupa
unprofessional conduct.19 Namun, rekomendasi sanksi tersebut ditolak oleh
Mahkamah Agung. Hal inilah yang memicu terjadinya ketidak harmonisan antara
Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung
Hubungan yang kurang harmonis diawal berdirinya Komisi Yudisial
tersebut berlanjut. Dipicu oleh kebijakan pimpinan Komisi Yudisial generasi
19 Unprofessional conduct adalah ketidak profesionalan seorang hakim dalam menanganisuatu perkara. Suatu hal yang mutlak bagi hakim unutk mampu memahami secara mendalam etikaprofesi hakim sebagai dasar hakim untuk terhindar dari unprofessional conduct. Lihat Harifin A.Tumpa, (Komisi Yudisial dalam Perspektif Hakim) Dalam Bunga Rampai Komisi Yudisial Tahun2016, (Jakarta: Sekretariat Jendral Komisi Yudisial RI, 2016) h., 223
62
pertama yang menginginkan adanya seleksi ulang hakim agung. Kebijakan
pimpinan Komisi Yudisial tersebut mengundang reaksi keras dari para pimpinan
Mahkamah Agung dan para hakim agung. Kebijakan tersebut dinilai merupakan
bentuk arogansi institusional Komisi Yudisial dalam melakukan pengawasan
eksternal terhadap hakim. Akibat dari kebijak tersebut timbullah sikap apriori
dikalangan hakim terhadap keberadaan Komisi Yudisial sebagai mitra Mahkamah
Agung dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat hakim.
Bahkan oleh para hakim Komisi Yudisial lah yang dinilai tidak menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat hakim.
Upaya Komisi Yudisial membangun kerjasama yang baik dengan
Mahkamah Agung tertunda lagi dengan adanya tindakan Komisi Yudisial yang
mempublikasikan kompilasi hasil pengaduan masyarakat mengenai dugaan
pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang dilakukan sejumlah
hakim agung. Tindakan Komisi Yudisial yang mempublikasikan pengaduan
masyarakat mengenai nama-nama hakim agung yang diduga melanggar Kode Etik
dan Pedoman Perilaku Hakim tanpa memverifikasi dan mengklarifikasi kebenaran
pengaduan masyarakat tersebut merupakan pelanggaran terhadap etika pelaksanaan
fungsi pengawasan yang dilakukan Komisi Yudisial. Komisi Yudisial wajib
menjamin kerahasiaan mengenai hakim yang diduga melanggar Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim sesuai Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2004. Sebelum adanya putusan yang menyalahkan hakim terlapor, Komisi
Yudisial dilarang keras menyebarluaskan hasil investigasi dugaan kesalahan hakim
dan putusannya kepada publik.20 Tindakan Komisi Yudisial mempublikasikan
pengaduan masyarakat tersebut membuat Hakim agungyang disebutkan namanya
dalam publikasi Komisi Yudisial geram dan melaporkan ketua Komisi Yudisial
periode pertama ke polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik. Namun, proses
hukum tidak berlanjut karena terjadi perdamaian antara Komisi Yudisial dan hakim
agung. Reaksi keras para hakim agung berlanjut yang mana mendorong 31 hakim
20 Binsar M. Gultom, Pandangan Kritis Seorang Hakim “Dalam Penegakan Hukum diIndonesia”, h., 77
63
agung mengajukan uji materil (judicial review) Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2004 tentang Komisi Yudisial ke Mahkamah Konstitusi yang berakhir dengan
pembatalan sebagian wewenang pengawasan Komisi Yudisial melalu putusan
Nomor 005/PUU-IV/2006.
Dalam kepemimpinan Komisi Yudisial periode kedua, ada pimpinan
Komisi Yudisial yang dilaporkan oleh Humas dan Bagian Kepegawaian Mahkamah
Agung kepada polisi karena dugaan pencemaran nama baik institusi yaitu
Mahkamah Agung. Pimpinan Komisi Yudisial tersebut berkomentar kepada media
bahwa adanya rumor “budaya setor” di lingkungan badan peradilan untuk menjadi
ketua pengadilan. Namun masalah ini akhirnya dapat diselesaikan juga dengan
damai oleh kedua belah pihak.
Dinamika selanjutya yang terjadi antara Komisi Yudisial dan Mahkamah
Agung adalah kasus hakim Sarpin Rizaldi yang mana masih hangat di telinga kita
tentang kasus yang sempat menghebohkan masyarakat. kasus Hakim Sarpin Rizaldi
yang menjadi kontroversi yang mana putusannya menggugurkan status tersangka
Budi Gunawan dan juga pembangkangannya terhadap pemanggilan dirinya oleh
Komisi Yudisial dan menganggap remeh Komisi Yudisial. Hakim Sarpin Rizaldi
semakin menuai kontroversi dengan menantang para pimpinan Komisi Yudisial
yang mengkritik putusan dan juga perilaku hakim Sarpin Rizaldi, yang mana
menyebabkan saling lapor ke polisi antara hakim Sarpin Rizaldi dan Pimpinan
Komisi Yudisial. Kemudian, Komisi Yudisial pun mengeluarkan rekomendasi
sanksi terhadap hakim Sarpin Rizaldi berupa non palu selama 6 bulan. Namun,
rekomendasi sanksi tersebut di tolak oleh Mahkamah Agung. Menurut Mahkamah
Agung, Komisi Yudisial telah memasuki ranah teknis yudisial yang mana hal itu
bukan kewenangan Komisi Yudisial.
Dari beberapa dinamika kerjasama antara Komisi Yudisial dan Mahkamah
Agung diatas, Komisi Yudisial memandang bahwasannya Mahkamah Agung dan
badan peradilan dibawahnya tidaklah sungguh-sungguh menghargai kewenangan
Komisi Yudisial dalam melakukan pengawasan eksternal. Hal ini dipandang dari
64
banyaknya hakim yang tidak mau dating dan tidak mau memberi klarifikasi
mengenai tuduhan yang ditujukan kepadanya. Disamping itu, banyak rekomendasi
sanksi yang telah di putuskan oleh Komisi Yudisial tidak ditindaklanjuti oleh
Mahkamah Agung sebagai lembaga yang berwenang mengeksekusi rekomendasi
sanksi dari Komisi Yudisial tersebut. Mahkamah Agung beralasan bahwa
ditolaknya rekomendasi sanksi tersebut karena Komisi Yudisial telah memasuki
ranah teknis Yudisial yang mana hal tersebut bukanlah kewenangan Komisi
Yudisial. Tetapi di satu sisi Komisi Yudisial membantah bahwa mereka sudah
memasuki ranah teknis yudisial.
Dengan banyaknya dinamika yang terjadi dalam menjalin hubungan antara
Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung menurut penulis ada tiga Faktor yang
melatar belakangi kurang baiknya kerjasama antara Komisi Yudisial dan
Mahkamah Agung. Pertama, pengawasan eksternal yang dilakukan oleh Komisi
Yudisial merupakan hal yang tabu bagi Mahkamah Agung, dan juga bagi para
hakim. Sikap para hakim yang lebih terlihat tidak setuju dibandingkan mendukung
pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial. Sikap hakim tersebut dapat
dilandasi oleh semangat untuk mempertahankan diri dan eksistensi lembaga dari
campur tangan Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal. Ditambah
pula dengan awal yang buruk dari Komisi Yudisial ketika baru dibentuk langsung
membuat kebijakan yang kontroversi dimata Mahkamah Agung. Kedua, banyaknya
perbedaan pendapat (khususnya yang menyangkut teknis yudisial) yang sering
terjadi antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung mengenai objek pengawasan
perilaku hakim. Dalam pandangan Mahkamah Agung teknis yudisial bukanlah
merupakan kewenangan Komisi Yudisial, yang mana teknis yudisial adalah domain
hakim yang ditegakkan berdasarkan prinsip independesi peradilan yang tidak dapat
dicampuri Komisi Yudisial. Sedangkan bagi Komisi Yudisial, Komisi Yudisial
sebisa mungkin dan bahkan merasa tidak pernah memasuki ranah teknis yudisial.
Ketiga, kurangnya komitmen dari Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung untuk
menjalin kerjasama kemitraan.
65
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian yang telah dipaparkan, dapat penulis
kemukakan kesimpulan dari permasalahan yang dibahas mengenai
Pengawasan Perilaku Hakim Oleh Komisi Yudisial:
1. Kewenangan pengawasan Komisi Yudisial dalam mengawasi hakim
masih lemah. Terbukti dengan tidak adanya kekuatan hukum mengikat
dan sanksi apabila rekomendasi sanksi yang diajukan oleh Komisi
Yudisil kepada Mahkamah Agung ditolak. Walaupun dalam Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2011 diatur apabila rekomendasi sanksi dari
Komisi Yudisial ditolak oleh Mahkamah Agung dapat berlaku otomatis.
Namun hal ini masih dipandang lemah karna tidak adanya sanksi bagi
Mahkamah Agung apabila tidak menjalankan rekomendasi sanksi dari
komisi Yudisial. Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal
dipandang sebelah mata keberadaannya oleh para hakim, terbukti
dengan banyaknya hakim yang mangkir dalam panggilan Komisi
Yudisial. Mahkamah Agung sebagai lembaga pengawas internal tidak
tegas untuk menindaklanjuti panggilan yang dialamatkan kepada hakim
yang berada dibawah naungannya.
2. Peran Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung tidak berjalan dengan
baik dalam menegakkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Tidak
adanya penjelasan yang lebih rinci terhadap mana teknis yudisial dan
mana ranah kode etik. Sehingga menyebabkan terjadinya benturan
pendapat antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung yang
mengakibatkan banyaknya rekomendasi sanksi dari Komisi Yudisial
yang ditolak oleh Mahkamah Agung.
66
B. REKOMENDASI
1. Komisi Yudisial sebaiknya diberikan kewenangan yang lebih luas
dalam mengawasi hakim dengan cara berusaha untuk merevisi Undang-
Undang yang mengatur tentang kewenangan Komisi Yudisial. Terutama
apabila terjadinya penolakan oleh Mahkamah Agung terkait
rekomendasi sanksi, yang menyebabkan tidak dijalankannya
rekomendasi sanksi tersebut.
2. Perlunya redefinisi atas apa yang dimaksud dengan pengawasan teknis
yudisial dan perilaku hakim. Agar terukur dengan jelas mana ranah
teknis yudisial dan mana ranah perilaku. Memaksimalkan peran majelis
Kehormatan Hakim yang sesuai amanat Undang-Undang dalam
pengambilan keputusan apabila terjadi perbedaan pendapat.
67
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Anggraini, Jum, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012.
Anwar, Saiful, Sendi-sendi Hukum Administrasi Negara, Medan: Gelora MadaniPress, 2004
Asshiddiqie, Jimly, Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta:Sinar Grafika, 2011.
______________, Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Amandemen Keempat,Jakarta: Yarsif Watampone, 2003.
______________, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara PascaReformasi, Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah KonstitusiRI,2006.
Bertens, Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005
Faiz, Elza dkk, Risalah Komisi Yudisial RI (Cikal Bakal, Pelembagaan, danDinamika Wewenang), Jakarta: Pusat Analisis dan Layanan Informasi,2013
Gultom, Binsar M., Pandangan Kritis Seorang Hakim “Dalam Penegakan Hukumdi Indonesia” Jakarta: PT Gramedia, 2017.
Ibrahim, Johnny, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang:Bayumedia Publishing, 2007.
Indrayana, Denny, Negara Antara Ada dan Tiada: Reformasi HukumKetatanegaraan, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara,2008.
Koentjoro, Diana Halim, Hukum Administrasi Negara, Bogor Selatan: GhaliaIndonesia,2004.
Komisi Yudisial Republik Indonesia, Mengenal Lebih Dekat Komisi YudisialJakarta: Pusat Data dan Layanan Informasi, 2012.
Luthan, Salman “Sinergitas Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung dalamPembaruan Peradilan”, Dalam Dialektika Pembaruan Sistem HukumIndonesia: Sebuah Bunga Rampai (Jakarta: Komisi Yudisial,2012) h. 308
68
Marzuki, Suparman, Pengawasan Hakim untuk Peradilan yang Fair dalamMembumikan Tekad Menuju Peradilan Bersih, Jakarta: Komisi Yudisial,2011.
Mahendra, Yusril Ihza, Dinamika Tata Negara Indonesia: Kompilasi AktualMasalah Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, JakartaGema Insani Press, 1996.
Mahmuzar, Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945 Sebelum danSesudah Amandemen, cet. I, Bandung, Nusa Media, 2010.
Mahkamah Agung RI, Cetak Biru Pembaharuan Peradilan 2010-2035, Jakarta:Mahkamah Agung RI, 2010.
Muchsin, Ikhtisar Ilmu Hukum, Jakarta, Badan Penerbit Iblam, 2006.
Namirazswara, Inggrid dan Zara Zestya, dan, Kiprah 10 Tahun Komisi YudisialMenjaga Etik Dalam Peradilan Bersih, Jakarta: Pusat Analisis danLayanan Informasi, 2015
Peter, Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, 2010.
Philipus, M Hadjon, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, cet-ke 10,Gajahmada University PressYogyakarta, 1994.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,Jakarta: TP, 2008
Rishan, Idul, Komisi Yudisial “Suatu Upaya Mewujudkan Wibawa Peradilan”Jakarta: Genta Press, 2013.
Soekanto, Soerjono & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu TinjauanSingkat), Jakarta, Rajawali Pers, 2011.
Suhadi, Amran, Sistem Pengawasan Badan Peradilan di Indonesia, Jakarta:Rajawali Pers, 2014
Sumantri, Sri, Lembaga Negara dan State Auxiliary bodies dalam sistemketatanegaraan menurut UUD 1945, (Surabaya: Airlangga UniversityPress,2006
Syamsudin, Amir, integritas penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, dan pengacara),Jakarta: Kompas, 2008.
Susilo, Joko, dan Aryo “Menjaga Keseimbangan Meneguhkan Kehormatan”,Kiprah 7 tahun Komisi Yudisial RI, Jakarta:Komisi Yudisial,2012.
69
Tim Penyusun FSH, Pedoman Penelitian Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum2017, Jakarta, Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM), 2012.
Tedjosaputro, Liliana, Etika profesi dan Profesi Hukum, Semarang: Aneka Ilmu,2003.
Tohari, A. Ahsin, Komisi Yudisial dan reformasi Peradilan, Jakarta: ELSAM, 2004
Tutik, Titik Triwulan, konstruksi hukum tata negara Indonesia pasca amandemenUUD 1945 Jakarta: Kencana, 2010.
______________, Eksistensi, kedudukan, dan Wewenang Komisi Yudisial SebagaiLembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik IndonesiaPasca Amandemen UUD 1945, cet-ke 1, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007.
Winarno, Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan : Panduan Kuliah diPerguruan Tinggi, Jakarta, PT Bumi Akasara, 2009.
Wildan Suyuthi, Kode Etik, Etika Profesi dan Tanggung Jawab Hakim (Jakarta:Pusdiklat MA-RI, 2004),1),1 Titik triwulan tutik, Eksistensi, kedudukan,dan Wewenang Komisi Yudisial Sebagai Lembaga Negara Dalam SistemKetatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, cet-ke 1 (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007
Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang No 18 tahun 2011 tentang Komisi Yudisial
Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman.
Undang-Undang No. 3 tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.
Peraturan bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Nomor02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 tentang PanduanPenegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
Peraturan bersama Mahkamah Agung dan Komisi yudisial Nomor04/PB/MA/IX/2012-04/PB/P.KY/09/2012 Tentang Tata CaraPembentukan, Tata Kerja, dan tata Cara Pengambilan Keputusan MajelisKehormatan Hakim.
70
Keputusan bersama ketua Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Nomor:047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etikdan Pedoman Perilaku Hakim
Keputusan bersama ketua Mahkamah Agung dan Komisi YudisialNomor:047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentangKode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Jurnal
Basarah , Ahmad “Kajian Teoritis Terhadap Auxiliary State`s Organ DalamStruktur Ketatanegaraan”,Masalah-Masalah Hukum, Vol. 43, 1 (2014): 1-8
Pitoy ,Hesky Firnando, Mekanisme Checks and Balances antara Presiden dan DPRDalam Sistem Pemerintahan Presidensial di Indonesia, lex et societatis,Vol. 2, 5 (2014):28-38
Rumadan, Ismail, Membangun Hubungan Harmonis dalam Pelaksanaan FungsiPengawasan Hakim Oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dalamRangkar Menegakkan Kehormatan, Keluhuran dan Martaba Hakim,Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 5, 2 (2016): 209-226
Sumadi , Ahmad Fadlil, Pengawasan dan Pembinaan Mahkamah Agung terhadapPengadilan dibawahnya, Jurnal Media Hukum, Vol. 19, 1 (2012): 59-71
Tumpa, Harifin A., “Komisi Yudisial dalam Perspektif Hakim”, Dalam BungaRampai Komisi yudisial tahun 2016 Jakarta: Komisi Yudisial RI, 2016 h.,223
Internet
https://nasional.tempo.co/read/news/2015/10/16/063710201/taufiq-ky-tantang-Hakim-Sarpin-ayo-pak-pengadu Diakses pada 09 Januari 2017.
Pengertian Pengawasan, http://itjen-depdagri.go.id. Diakses pada 04 Agustus 2017.
Pengawasan Perilaku Hakim, http://mcrizzwan.blogspot.com diakse pada 05Agustus 2017
Komisi Yudisial Desak Mahkamah Agung Tindak Hakim Nakal,perpustakaan.mahkamahagung.go.id, diakses pada 12 februari 2018