peran komisi yudisial dalam menegakkan keluhuran...
TRANSCRIPT
PERAN KOMISI YUDISIAL DALAM
MENEGAKKAN KELUHURAN MARTABAT HAKIM
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
INDAH RADIAWATI
NIM : 11150480000086
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1440 H /2019 M
v
ABSTRAK
Indah Radiawati NIM 11150480000086. PERAN KOMISI YUDISIAL
DALAM MENEGAKKAN KELUHURAN MARTABAT HAKIM. Skripsi
Program studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2019 M/ 1440 H, x +67 Halaman.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui peran Komisi Yudisial dalam
mengawasi Hakim, kewenangan Komisi Yudisial dalam pengawasan terhadap
perilaku hakim dalam rangka menegakan kehormatan dan keluhuran martabat
serta menjaga perilaku hakim dan juga kedudukan serta pelaksanaan fungsi
pengawasan bagi para hakim dalam rangka mewujudkan fungsi kehakiman yang
merdeka untuk menegakan hukum dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia
agar setiap hakim dapat berperilaku baik dan adil dalam menangani peradilan
yang bersih dan sesuai dengan apa yang sudah diatur dalam perundang-
undangan
Metode penelitian ini menggunakan Penelitian yuridis normatif yaiu
penelitian yang berfokus untuk mengkaji penerapan suatu norma atau kaidah
suatu hukum. Dan peneltian perpustakaan yang juga bersifat tertulis dan
merupakan penelitian yang biasanya mengkaji suatu studi dokumen, yaitu yang
menggunakan berbagai data sekunder seperti peraturan perundang-undangan,
keputusan pengadilan, teori hukum, dan dapat berupa pendapat para ahli
mengenai pengawasan komisi yudisial terhadap kode etik hakim.
Hasil penelitian bahwa Komisi Yudisial itu merupakan badan peradilan
yang bersifat mandiri yang dimana Komisi Yudisial ini berwenang mengawasi
hakim juga menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran serta perilaku
hakim dan dapat melibatkan unsur masyarakat dalam suatu pengawasan,
mengurangi politisasi terhadap perekrutan hakim agung karena Komisi Yudisial
bukan lembaga politik sehingga diasumsikan tidak mempunyai kepentingan
politik.
Kata Kunci : Pengawasan Komisi Yudisial Terhadap Hakim
Pembimbing Skripsi : Dr. Burhanuddin, S.H., M.Hum.
Daftar Pustaka : Tahun 1998 sampai Tahun 2018
vi
KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Alhamdulillah, puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wa
Ta’ala yang telah memberikan kekuatan dan kemudahan serta rahmat dan
hidayat-Nya kepada peneliti dalam penyusunan skripsi yang berjudul PERAN
KOMISI YUDISIAL DALAM MENEGAKKAN KELUHURAN MARTABAT
HAKIM, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Selawat dan salam
semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi
Wassallam, semoga kita semua mendapatkan syafa’atnya di akhirat kelak.
Aamiin.
Pencapaian ini tidak akan terwujud tanpa pertolongan Allah Subhanahu
wa Ta’ala, berbagai pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungannya
kepada peneliti dalam penyelesaian skripsi ini, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati dan penuh rasa
hormat saya mengucapkan banyak terima kasih kepada yang terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan
arahan untuk menyelesaikan skripsi ini.
4. Dr. Burhanuddin, S.H., M.Hum. Pembimbing Skripsi yang telah bersedia
memberikan arahan, bimbingan, dan kesabaran dalam membimbing peneliti
sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
5. Seluruh Dosen Program Studi Ilmu Hukum dan staff Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan ilmu dan pelayanan yang begitu baik selama masa perkuliahan.
6. Kepala dan staff Pusat Perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta serta Kepala dan staff Perpustakaan Fakultas Syariah
vii
dan Hukum yang telah memberikan fasilitas untuk mencari dan meminjam
buku-buku referensi dan sumber-sumber data lainnya yang diperlukan.
7. Kepada kedua orang tua tercinta Sakam Miharja dan Maryamah yang selalu
memberikan dukungan, mengingatkan, dan mendo’akan yang terbaik untuk
peneliti hingga dapat menyelesaikan skiripsi ini. Lima Kakak, serta adik,
Nita Aulia yang selalu memberikan dukungan dan nansihat kepada peneliti
untuk menyelesaikan skripsi ini.
8. Sahabat tercinta di kampus, Fuzzy Kartika Candra Dewi, Titia Ulva Sapitri,
Widya Novita, Desy Purwaningsih, Izmi Amalia, Fatihatul Makiyyah
Yakub, Mutia Nur Azizah, dan Tri Urvi Widhianie yang telah menemani
selama 7 semester dan terus menemani sampai penyelesaian skripsi ini.
9. Kepada teman-teman Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta angkatan tahun 2015, khususnya Ilmu Hukum kelas B
2015. Dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam penyusunan skripsi ini.
Demikian ucapan terima kasih ini, peneliti menyadari bahwa skripsi ini
masih jauh dari kata sempurna namun semoga Allah memberikan balasan yang
setara kepada para pihak yang telah berbaik hati terlibat dalam penyusunan
skripsi ini dan skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin
Jakarta, 2019
Indah Radiawati
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ......................... iii
LEMBAR PERTANYAAN ......................................................................... iv
ABSTRAK .................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................ vi
DAFTAR ISI ................................................................................................ viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ....................................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ................ 7
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian .............................. 8
D. Metode Penelitian .................................................................. 8
E. Sistematika Penelitian ............................................................ 10
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGAWASAN KOMISI
YUDISIAL TERHADAP HAKIM
A. Karangka Konseptual ............................................................. 12
1. Trias Politika ..................................................................... 12
2. Check and Balances ........................................................... 12
3. Teori Sistem Pengawasan .................................................. 14
B. Komisi Yudisial ...................................................................... 19
1. Sejarah Komisi Yudisial .................................................... 19
2. Struktur Organisasi ............................................................ 25
C. Tinjauan (Riview) Kajian Terdahulu ..................................... 27
ix
BAB III PELAKSANAAN FUNGSI PENGAWASAN HAKIM OLEH
KOMISI YUDISIAL DAN MAHKAMAH AGUNG
A. Pelaksana Pengawasan oleh Komisi Yudisial dan sinergi
Pengawasan oleh Mahkamah Agung ................................... 29
B. Hubungan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial ............ 31
C. Tugas dan Fungsi Hakim ..................................................... 35
D. Kewenangan Komisi Yudisial dalam rekrutmen Hakim ..... 38
BAB IV PERAN KOMISI YUDISIAL DALAM MENEGAKKAN
KELUHURAN MARTABAT HAKIM
A. Mekanisme Pengawasan oleh Komisi Yudisial terhadap
Hakim ................................................................................... 45
B. Implementasi kewenangan Komisi Yudisial dalam
pengawasan terhadap Hakim ............................................... 50
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................... 67
B. Rekomendasi ........................................................................ 68
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 69
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kewenangan Komisi Yudisial yang selanjutnya disebut dengan KY
untuk melaksanakan fungsi pengawasan merupakan upaya untuk
mengatasi berbagai bentuk penyalahgunaan wewenang di lembaga
peradilan yang dimulai dengan mengawasi kode etik dan perilaku hakim,
agar para hakim menunjung tinggi kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim di Indonesia penegakan hukum dilakukan oleh hakim,
jaksa dan kepolisian maka karena itu pengawasan terhadap hakim sangat
diperlukan agar tidak ada yang dapat menyalahgunakan kekuasaan sebagai
penegak hukum dan dapat memberikan keputusan yang sesuai dengan
aturan-aturan yang ada, maka dari itu haruslah calon-calon hakim terlahir
dari orang-orang yang menjunjung tinggi kejujuran dan tidak berpihak ke
satu pihak saja, dengan adanya KY ini dapat menciptakan hakim-hakim
yang berkompeten, berintegritas tinggi, bersih dan adil agar masyarakat
Indonesia mendapatkan keadilan dalam hukum sebagai mana mestinya,
KY juga menerima laporan terkait dengan pelanggaran kode etik dan
perilaku hakim agar tidak terjadinya penyalahgunaan wewenang sebagai
hakim.
Terwujudnya peradilan yang agung merupakan visi peradilan yang
dirumuskan dalam Cetak Biru (Blue Print) Pembaruan Peradilan tahun
2010 yang merupakan kelanjutan dari program reformasi peradilan
sebelumnya. Reformasi peradilan ditandai dengan terbitnya naskah Cetak
Biru (Blue Print) pertama tahun 2003.1 Komisi Yudisial dibentuk dengan
kewenangan untuk mengusulkan hakim agung serta memberikan penilaian
dan memberikan rekomendasi terhadap hakim-hakim. Kekuasaan
Kehakiman yang bermartabat merupakan suatu kewajiban dalam
1 Mahkamah Agung RI, Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035, ( Jakarta: 2010)
h. 9
2
penegakan hukum dan keadilan yang sempurna. Tegaknya hukum dan
keadilan maka akan memperkuat pondasi suatu bangsa. Oleh karena itu,
untuk menegakan hukum dan keadilan disuatu lembaga peradilan maka
harus dilahirkan hakim-hakim yang memiliki kesadaran nurani yang tinggi
dan meningkatkan profesionalisme. Walaupun di dunia peradilan masih
banyak yang terbelengguh dengan berbagai persoalan yang ada, namun
usaha pencegahanya terus menerus dilakukan oleh lembaga Komisi
Yudisial.2
Sebelum perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945, kekuasaan Mahkamah Agung yang selanjutnya
disebut sebagai MA sebagai lembaga yudikatif sangat kuat dan luas,
kemudian Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaan, khususnya dalam
pelaksanaan kekuasaan kehakiman, karena dalam terbentuknya Mahkamh
Konstitusi dan Komisi Yudisial sebagian besar tugas dan kewenangan
Mahkamah Agung terbagi karena adanya dua lembaga itu dan juga
terbantu dengan adanya dua lembaga tersebut.3
Kewenagan Mahkamah Agung sudah diketahui sebelumnya
terdapat dalam Undang-Undang menyatakan :
“Pasal 24 A Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dan untuk
selanjutnya disebut menjadi UUD 1945 hasil perubahan
Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi,
menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-
undang terhadap undang-undang dan mempunyai wewenang
lainya yang diberikan pada undang-undang.”
Penyerahan penyusunan wewenang MA kepada undang-undang
sebagaimana dirumuskan dalam akhir pasal ini dimaksud agar MA dalam
melakukan fungsi, tugas, dan kewenanganya juga harus patuh terhadap
ketentuan undang-undang, meskipun undang-undang dibuat oleh DPR
2 Komisi Yudisial Republik Indonesia, Risalah Komisi Yudisial Republik Indonesia,
(Jakarta, Pusat Akademis dan layanan informasi, 2013) h. 32-33 3 Lintje Anna Marpaung, Hukum Tata Negara Indonesia (Yogyakarta: Andi , 2018) h. 95
3
bersama Presiden, tetapi dalam membuat undang-undang tersebut juga
meminta masukan kepada MA, bahkan masuk dalam tim pemerintah.
Apabila tidak diatur dalam undang-undang maka, hakim juga tidak
memiliki pedoman dalam melaksanakan tugasnya. Jadi, kemerdekaan
yang dimiliki adalah memutuskan perkara atau melaksanakan fungsi, tugas
dan wewenangnya, namun harus tetap tidak boleh melawan undang-
undang hakim bukan merupakan intervensi, sebab semua lembaga negara
diatur dalam undang-undang.
Sesungguhnya kurang tepap jika kita memahami sistem
ketatanegaraan sebagaimana dimaksudkan dalam UUD Tahun
1945menyatakan bahwa:
“Pertama, karena Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 menyebutkan
kekuasaan kehakiman yang antara lain dilakukan oleh MA
adalah merdeka, lepas dari pengaruh dan intervensi kekuasaan
manapun juga. Namun dengan menyebut bahwa pemberian
wewenang lain MA oleh undang-undang, hal itu menyebabkan
kemerdekaan MA menjadi tidak ada lagi. Oleh karena DPR
sebagai lembaga pembentuk undang-undang dapat mengatur
dan mengarahkan MA dalam bentuk menyusun wewenang lain
MA dan hal-hal yang bersifat substansial dan terkait dengan
tugas mengadili daam atau dengan undang-undang.
Kedua, kedudukan MA dan DPR adalah sederajat namun
dengan menyerahkan pemberian wewenang MA kepada DPR
menyebabkan MA berada dibawah DPR”.4
Mahkamah Agung adalah badan yang melaksanakan kekuasaan
kehakiman yang dalam pelaksanaan tugasnya, terlepas dari pengaruh
kekuasaan pemerintah dan pengaruh-pengaruh lainnya. Dalam kontek,
demikian MA memiliki posisi strategis terutama bidang hukum dan
ketatanegaraan yang tugasnya antara lain:
1. Yang bertugas untuk menegakan hukum dan keadilan bagi seluruh
warganya agar bisa dilindungi hak-haknya
2. Mengadili tingkat kasasi jika ada pihak yang tidak puas dengan
putusan pengadilan
4 Patrialis Akbar, Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun 1945
(Jakarta : Sinar grafika Offset, 2013) h. 172-173
4
3. Mengajukan peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang
agar tidak ada peraturan yang bertentangan
4. Berbagai kekuasaan atau kewenangan lain yang diberikan oleh
undang-undang.5
Undang-undang juga memberikan wewenang kepada MA yaitu
bertugas untuk mengawasi penyelenggaraan peradilan dibawahnya dan
pengawasan perilaku hakim, memeriksa dan memutus, permohonan
kasasi, sengketa kewenangan mengadili (kompetensi pengadilan) dan
peninjauan kembali (PK) putusan yang telah berkekuatan hukum tetap6,
selain itu juga MA dapat memberi pertimbagan, keterangan dan nasihat
masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan, serta
berwenang untuk memeriksa dan memutuskan usul pemberhentian kepada
daerah dan wakil kepala daerah yang diajukan DPRD, dan keberatan
terhadap pembatalan peraturan daerah oleh pemerintah/presiden yang
diajukan provinsi/ kabupaten/kota.
Ide tentang perlunya suatu komisi khusus untuk menjalankan
fungsi-fungsi tetentu yang hubunganya dengan kekuasaan kehakiman
bukanlah hal yang baru. Dalam pembahasan RUU tentang ketentuan-
ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman sekitar 1968, sempat diusulkan
pembentukan lembaga yang diberi nama Majelis Pertimbangan Penelitian
Hakim (MPPH). Majelis ini berfungsi memberikan pertimbangan dan
mengambil keputusan terakhir mengenai saran-saran dan usul-usul yang
berkenaan dengan pengangkatan, promosi, kepindahan, pemberhentian
dan tindakan atau hukuman jabatan para hakim, yang diajukan baik dari
MA maupun menteri kehakiman.7
5 Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia pasca
Amandemen UUD 1945 (Jakarta: Kencana, 2011) h. 210-211 6 Muhamad Yasin, Panduan Bantua Hukum di Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2014) h. 390 7 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012)
h. 229
5
Wewenang KY dapat dibagi kedalam dua besaran, yaitu pertama
mengusulkan pengangkatan hakim agung; dan kedua mempunyai
wewennag lain dalam rangka menjaga dan menegakan kehormatan,
keluhuran martabat, serta prilaku hakim. Wewenang pertama menjadikan
KY sebagai satu-satunya lembaga yang diberikan wewenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung yang akan duduk di MA. Dengan wewenang
ini KY secara leluasa dan bebas mencari calon-calon hakim agung (baik
karir maupun non karir) yang akan diproses dan diusulkan untuk diangkat
sebagai hakim agung tanpa ada tekanan atau campur tangan dari pihak
manapun dan cabang kekuasaan lainya. Dengan demikian, diharapkan
dapat dihasilkan calon hakim agung yang terbaik, antara lain dalam hal
penguasaan ilmu, berakhlak mulia, dan mempunyai integritas sebagai
penegak hukum yang konsisten dan jujur.8
Perputaran roda reformasi untuk mendorong peradilan menuju
peradilan yang agung sebagai target maka tolak pangkal yang perlu
diketahui adalah kondisi pelaksanaan pengawasan yang telah berlangsung
saat ini dan daya dorongnya terhadap proses reformasi peradilan.
Penelusuran dalam masalah-masalah pengawasan diharapkan dapat
menjaring atau mengidentifikasi berbagai permasalahan pengawasan baik
internal maupun eksternal beserta konsekuensinya. Seiring dengan itu
diharapkan terhimpun pula jawaban terhadap persoalan tersebut. Analisis
diharapkan dapat memberikan masukan bagi pelaksanaan pengawasan
terhadap aparatur peradilan yang memberi daya dorong yang maksimal
bagi dinamika gerak langkah menuju peradilan yang agung.
Pengawasan juga sering disebut sebagai kekuasaan atau wewenang
campur tangan atau ikut campur (interference/interfeer) terhadap
lingkungan wewenang dan lingkungan kekuasaan badan atau kekuasaan
lain. Pemisahan atau pembagian kekuasaan tidak sekedar pemisahan atau
pembagian fungsi, tetapi pemisahan atau pembagian wewenang atau
8 Patrialis Akbar, Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun 1945, ... h.
205
6
kekuasaan bidang ketenagakerjaan disebut pembagian kekuasaan
ketenagakerjaan. Pengawasan hanya berfungsi menunjukan telah
terjadinya suatu kesalahan kebijakan atau tindakan, bukan sekaligus
berwenang mengambil tindakan. Kalau hal semacam itu dlakukan,
mempersatukan disatu tangan fungsi pengawasan dan fungsi tindakan
yang dapat menuju pada kesewenang-wenangan (arbitrary,willekeur).
Sesuatu yang dilarang dalam sistem organisasi yang demokratis
berdasarkan hukum.
Pengawasan merupakan sebagian dari unsur manajemen yang
harus tetap berjalan namun tidak boleh sampai mengurangi arti
kemandirian kekuasaan Kehakiman yang menjadi persyaratan didalam
suatu negara hukum agar tersekenggara denagan baik dan Undang-Undang
Dasar 1945 menjelaskan bahwa kekuasaan Kehakiman yang merdeka
terlepas dari campur tangan pemerintah atau pihak-pihak luar pengadilan.
Sehingga perlu dikaji sistem Pengawasan Badan Peradilan di Indonesia
baik internal maupun eksternal dapat mendorong kearah terwujudnya
kemandirian kekuasaan Kehakiman atau malah sebaliknya menyebabkan
pelaku-pelaku kekusaan Kehakiman menjadi tidak merdeka, merasakan
kebebasan hakim terbelenggu.9 Badan Peradilan adalah penyelenggara
peradilan di bawah Mahkamah Agung dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan
peradilan tata usaha negara, serta pengadilan khusus yang berada dalam
lingkungan peradilan tersebut. Ketentuan Pasal 40 Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman menyebutkan bahwa
Komisi Yudisial memiliki kewenangan untuk mengawasi bagian internal
terhadap siatu perilaku hakim yang berdasarkan kepada Kode etik dan
Perilaku Hakim.10
9 Amran Suadi, Sistem Pengawasan Badan Peradilan di Indonesia (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2014) h . 7-8
10 Komisi Yudisial Republik Indonesia, Dialektika Pembruan Sistem Hukum Indonesia
,(Jakarta, Sekertaris jendral Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2012) h. 307
7
Berkenaan dengan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik
untuk membahas penelitian dengan judul ‘‘Peran Komisi Yudisial
Dalam Menegakkan Keluhuran Martabat Hakim”.
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dijabarkan
sebelumnya, maka diidentifikasi masalah penelitian sebagai berikut:
a. Latar belakang pengawasan Komisi Yudisial dalam mengawasi
Hakim.
b. Keefektivan Komisi Yudisial dalam mengawasi kode etik dan
perilaku Hakim.
c. Pengawasan Komisi Yudisial dalam mengawasi Hakim
d. Prosedur Pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial.
e. Kewenangan Komisi Yudisial dalam menjaga kehormatan,
keluhuran martabat Hakim.
2. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya cakupan identifikasi masalah di atas cukup
luas, dikhawatirkan nantiya akan ada keterbatasan dari peneliti secara
keseluruhan maka peneliti hanya akan dibatasi pada aspek latar
belakang pemikiran yang menyangkut tentang Komisi Yudisial dalam
mengawasi Hakim.
3. Perumusan Masalah
Masalah utama yang menjadi fokus pembahasan dan penelitian
terkait dengan pengawasan kode etik dan Perilaku hakim oleh Komisi
Yudisial. Untuk mempertegas arah pembahasan dari masalah utama
yang yang telah diuraikan diidentifikas masalah, maka dibuat rincian
perumusan masalah dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
a. Bagaimana mekanisme pengawasan oleh Komisi Yudisial terhadap
Hakim?
b. Bagaimana implementasi kewenangan Komisi Yudisial dalam
pengawasan terhadap Hakim?
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
a. Untuk mengetahui kewenangan mekanisme pengawasan oleh
Komisi Yudisial terhadapa hakim.
b. Untuk mengetahui implementasi pengawasan Komisi Yudisial
terhadap hakim.
2. Manfaat Penelitian
a. Secara teoritis, peneliti ini memberikan sebagai tambahan
dokumentasi dari segi hukum dalam rangka membahas latar
belakang pemikiran tentang pembatasan kode etik Hakim oleh KY.
b. Secara praktis, penelitian ini dapat bermanfaat bagi para peminat
hukum tata negara dan praktisi ketatanegaraan dalam menganalisis
tentang latar belakang pemikiran tentang pembatasan kode etik
Hakim oleh KY.
c. Secara akademis, penelitian ini merupakan syarat untuk meraih
gelar Sarjana Hukum dalam Program Studi Ilmu Hukum di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Metode Penelitian
Untuk dapat merampungkan penyajian skripsi ini agar dapat
memenuhi kriteria sebagai tulisan ilmiah diperlukan data yang relevan
dengan skripsi ini. Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan itu,
maka diterapkan metode pengumpulan data sebagai berikut:
1. Tipe Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yaiu penelitian
yang berfokus untuk mengkaji penerapan suatu norma atau kaidah
suatu hukum.11
Dan peneltian perpustakaan yang juga bersifat tertulis
dan merupakan penelitian yang biasanya mengkaji suatu studi
11
Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi penelitian Hukum Normatif (Malang: Bayumedia
Pubblishing, 2008) h. 294
9
dokumen, yaitu yang menggunakan berbagai data sekunder seperti
peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori hukum,
dan dapat berupa pendapat para ahli atau ajaran para ahli. Metode ini
juga merupakan metode yang biasanya berpikir mencari kebenaran
secara logika .
2. Pendekatan Masalah
Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum
adalah pendekatan konseptual (Conceptual Aprroach).12
Jadi
pendekatan konseptual pembelajaran secara langsung apa saja yang
akan diberikan kepada orang lain untuk dapat memahami konsep yang
diperoleh secara benar dengan tujuan agar tidak adanya kekeliruan atau
kesalahan.
3. Sumber Hukum
Sumber penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berupa
data sekunder. Di dalam penelitian hukum, data sekunder mencakupi:
a. Bahan Hukum Primer yaitu merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif artinya mempunya otoritas. bahan-bahan hukum primer
terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah
dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan
hakim.bahan-bahan hukum primer yang terutama bukanlah putusan
peradilan atau yurisprudensi, melainkan perundang-undangan.
Untuk bahan hukum primer yang berupa perundang-undangan,
yang memiliki otoritas tertinggi adalah Undang-Undang Dasar
karena semua peraturan dibawahnya baik isi maupun jiwanya tidak
boleh bertentangan UUD tersebut.
b. Bahan Hukum Sekunder yaitu berupa semua publikasi tentan
hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.
Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus
hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar-komentar atas putusan
pengadilan. Bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku
12
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2008) h. 94-95
10
teks karena buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu
Hukum dan pandagan-pandangan klasik para sarjana yang
mempunyai kualifikasi tinggi.13
4. Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan dan Analisis Data pada dasarnya tergantung pada
rangkaian penelituan pengumpulkan sebuah data. Bagi penelitian
hukum normatif hanya menggunakan berbagai data sekunder saja dan
data ini tidak terlepas dari ajaran para ahli.
Dan data sekunder ini disusun dengan bahan-bahan data yang
memberikan penjelasan tentang bahan hukum data prime, contohnya
seperti Rancangan Perundang-Undangan, hasil penelitian, karya-karya
ilmiah dan para ajaran ahli.
5. Metode Penulisan
Metode penulisan skripsi ini mengacu pada “Pedoman Penulisan
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatulah Jakarta, Cet. I, 2017”
E. Sistematika Penelitian
Penelitian ini disusun yang terbagi dalam lima bab. Masing-
masing bab terdiri atas beberapa sub-sub bab guna lebih memperjelas
ruang lingkup dan cakupan permasalahan yang diteliti. Adapun urutan
dan tata letak masing-masing bab serta pokok pembahasannya sebagai
berikut:
BAB I: Bab ini merupakan bab Pendahuluan yang didalamnya
memuat latar belakang masalah, identifikasi masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, metode penelitian dan sistematika Penulisan.
BAB II: Bab ini akan dibahas mengenai karangka konseptual, kajian
kepustakaan yang berupa kajian teoritis dan tinjauan
(review) studi terdahulu.
13
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, ... h. 141-142
11
BAB III: Bab ini akan dibahas mengenai data penelitian yang
dilakukan, deskripsi data penelitian harus ditampilkan
secara jelas dan lengkap. Detailnya menjelaskan
Kedudukan dan kewenangan Komisi Yudisial dalam
mengawasi Hakim, kepentingan Komisi Yudisial yang
berkaitan dengan peraturan-peraturan yang ada, Kode Etik
hakim dan pengawasan lembaga-lembaga yang terkait.
BAB IV: Bab ini akan dibahas mengenai Analisis Temuan Penelitian
yang mengemukakan tentang Batasan masing-masing
lembaga dalam mengatur kentuan yang sama yaitu
mengenai kode etik hakim.
BAB V: Berisi kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh dari hasil
penelitian dan dilengkapi juga dengan rekomendasi
berdasarkan hasil penelitian.
12
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PENGAWASAN KOMISI YUDISIAL
TERHADAP HAKIM
A. Karangka Konseptual
1. Trias Politika
Salah satu ciri dari negara hukum adalah adanya pembatasan
kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasaan. 1 Gagasan pemisahan
kekuasaan negara awal mula dikemukakan oleh Jhon Locke, kemudian
ide pemisahan kekuasaan ini dimodifikasi oleh Montesquieu. Pembagian
kekuasaan ini berdasarkan konsep Montesquieu yang terkenal dengan
sebutan Trias Politika yang memisahkan kekuasaan menjadi tiga
kekuasaan besar yaitu kekuasaan eksekutif sebagai kekuasaan yang
menjalankan undang-undang, kekuasaan legislatif sebagai kekuasaan
untuk membuat undang-undang dan kekuasaan yudikatif sebagai
kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang. Montesquieu
mengatakan kekuasaan itu harus terpisah satu sama lain, baik mengenai
tugas (fungsi) maupun mengenai alat perlengkapan (lembaga) yang
menyelenggarakannya. Separation of power dari trias politika
sebelumnya sulit terlaksana karena satu sama lain lembaga negara tidak
saling bersentuhan, sehingga menyebabkan reori pembagian kekuasaan
(distrubution of power) lebih berkembang digunakan diberbagai negara,
dan berujung dnegan lahirnya teori checks and balances.
2. Teori Checks and Balances
Perkembangan ketatanegaraan di Indonesia yang mengarah pada
sistem checks and balances ditandai dengan adanya amandemen
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yakni lembaga
negara yang saling mengawasi dan mengimbangi lembaga negara
lainnya. Indonesia membagi kekuasaan pemerintah kepada eksekutif
1 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2009) h.281
13
yang dilaksanakan presiden, legislatif oleh Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) dan yudikatif oleh Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan
Komisi Yudisial.
Sejarah ketatanegaraan Indonesia di masa Orde Baru hampir tidak
mengenal adanya checks and balances diantara lembaga negara karena
realitas kekuasaan tepusat pada presiden. Perubahan Undang-Undang
Dasar 1945 melahirkan satu kekuatan menyeimbang yang dibangun
secara fungsional dalam bentuk kelembagaan yang setara. Jika
dihadapkan dengan doktrin klasik separation of power , kekuasaan
negara yang diberikan kepada lembaga-lembaga yang terpisah satu sama
lainnya dalam rangka menghindari terjadinya campur tangan yang satu
terhadap yang lain, maka mekanisme checks and balances pasca
perubahan UUD 1945 tampaknya juga dianggap satu pelunakan terhadap
doktrin separation of power atau pembagian kekuasaan negara dengan
menghubungkan cabang kekuasaan yang saling terpisah. Hal ini
dimaksudkan untk mencegah lahirnya kekuasaan yang bersifat mutlak
tanpa pengawasan.
Tujuan checks and balances adalah memaksimalkan fungsi
masing-masing lembaga negara dan membantu kesewenagan-wenangan
lembaga negara. Negara merupakan organisasi kekuasaan dengan objek
kegiatan penertiban terhadap suatu masyarakat tertentu secara
menyeluruh dengan mempergunakan kekuasaanya.
Checks and balances ini, yang mengakibatkan suatu cabang
kekuasaan dalam batas-batas tertentu dapat turut campur dalam tindakan
cabang kekuasaan lain, tidak dimaksud untuk memperbesar efesiensi
kerja (seperti yang dilihat di Inggris dala fungi dari kekuasaan eksekutif
dan legislatif), tetapi untuk membatasi kekuasaan dari setiap cabang
kekuasaan secara efektif.2
2 Indra Rahmatullah, Rejuvisasi Sistem Checks and Balances dalam Sistem
Ketatanegaraan di Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Cita Hukum volume
I Nomor 2 2013, h. 216-219
14
3. Teori Sistem Pengawasan
a. Pengawasan
Pengawasan adalah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
mendefinisikan istilah pengawasan adalah berasal dari kata awas
yang artinya melihatkan sesuatu yang baik-baik, dalam arti melihat
sesuatu dengan dengan teliti dan seksama, tidak ada lagi kegiatan
kecuali untuk melaporkan sesuatu berdasarkan fakta yang ada dan
sebenar-benarnya dari apa yang benar-benar dilihat.
Menurut Basu Swasta, pengawasan mempunya fungsi yang
menjamin bahwa suatu kegiatan dapat memberikan hasil yang
diinginkan karena prosesnya dilakukan dengan teliti. Sedangkan
menurut Komaruddin, pengawasan adalah yang berhubungan dengan
suatu perbandingan antara pelaksana aktual rencana, dan awal untuk
langkah perbaikan terhadap suatu ketidaksesuaian dan rencana yang
berarti.3
Pengawasan merupakan kegiatan yang mempunyai peranan
yang sangat penting bagi lancarnya suatu kegiatan dalam suatu
organisasi. Pengawasan bisa menjadi fungsi kontrol bagi manajemen
untuk memastikan bahwa keinginan yang telah mereka tetapkan
dapat berjalan sebagaimana mestinya, sehingga organisasi bisa
mencapai tujuanya yang telah ditetapkanya.4
Pengawasan internal adalah pengawasan yang dilakukan oleh
suatru badan atau organ secara terstruktur yang berada didalam
lingkungan pemerintah itu sendiri. Misalnya pengawasan yang
dilakukan oleh pejabat terhadap bawahanya sendiri atau pengawasan
yang dilakukan oleh pejabat dalam area perusahaan atau organisasi
itu sendiri.
3 Amran Suadi, Sistem Pengawasan Badan Peradilan di Indonesia ( Jakarta: Pt Raja
Grafindo Persada, 2014) h. 15 4 Amran Suadi, Sistem Pengawasan Badan Peradilan di Indonesia, ... h.22
15
Pengawasan eksternal adalah pengawasan yang dilakuikan
oleh organ atau lembaga-lembaga yang secara struktural yang berada
diluar pemerintahan dalam arti lain eksekutif. Miusalnya pengawasan
keuangan yang dilakukan oleh Badan Pemeriiksa Keuangan (BPK)
dan juga pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial terhadap
kode etik dan perilaku hakim.5
Pengawasan yang pada dasarnya dimaksud sepenuhnya untuk
menghindari adanya kemungkinan peyimpangan atau ketidaksesuaian
atas apa yang dituju namun tidak tercapai. Dengan adanya
pengawasan ini diharapakan agar suatu rencana dapat berjalan
dengan efektif, sesuai yang diharapakan dan tercapainya suatu tujuan
yang sebagimana mestinya. Pengawasan juga dapat sebagai
pelaksana evaluasi terhadap kegiatan-kegiatan yang ada menjadi
pacuan sejauh mana penyimpangan atau ketidaksesuian itu terjadi.
Pengawasan merupakan yang dilakukan terus menerus untuk
mencari tahu pekerjaan apa saja yang sudah dilaksanakan, dan
kemudian diadakan suatu penilaian untuk mencari tahu seberapa jauh
pengawasan itu telah dilaksanakan sebagaiman mestinya. Selain itu
pengawasan adalah suatu penilaian yang merupakan suatu proses
perbandingan yang didapat dari pekerjaan yang nyata yang telah
dicapai dengan apa yang seharusnya dicapai. Dengan kata lain, hasil
dari pengawasan harus dapat memberitahu sampai dimana terdapat
kesamaan dan ketidak samaan serta dapat mengoreksi sebab-sebab
yang ada, maka pengertian yang lebih luas dari pengawasan dapat
diartikan sebagai pengendalian. Istilah pengendalian berasal dari kata
kendali yang berarti mengekang atau ada yang mengendalikan. Jadi
kegiatan pengawasan adalah untuk mengetahui sedangkan kegiatan
pengendalian ada;ah langsung memberikan arahan kepada objek yang
dikendalikan. 6
5 Amran Suadi, Sistem Pengawasan Badan Peradilan di Indonesia, ... h.20 6 Amran Suadi, Sistem Pengawasan Badan Peradilan di Indonesia, ... h.77
16
b. Kode Etik
Kode etik adalah kumpulan asas atau nilai moral atau norma
dana asas yang diterima oleh kelompok tertentu sebagai landasan
tingkah laku. Kode etik dianggap sangat penting bagi profesi hukum,
karena profesi hukum merupakan suatu masyarakan moral yang
memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama. Kode etik adalah sebuah
arah yang yang menunjukan harus kemana profesional hukum dan
juga menjamin mutu moral profesi hukum di mata masyarakat.7
Pelaksanaan kode etik ini harus dilakukan terus menerus karena agar
dapat memberikan sanksi kepada pelanggar kode etik.8
Robert D. Khon memberitahukan lima manfaat kode etik
yakni:
1) Kode etik menjadi menjadi tempat yang paling aman bagi para
anggotanya manakalah berhadapan dengan persaingan yang tidak
sehat dan tidak jujur, dan dalam mengembangkan profesi yang
sesuai dengan keinginan dan keadilan masyarakat
2) Kode etik akan menjamin rasa solidaritas antara anggota untuk
saling menghormati satu sama lain
3) Kode etik memperkuat ikatan persaudaraan diantara para anggota,
terutama bila menghadapi campur tangan dari pihak luar atau
orang lain
4) Kode etik mengharuskan anggotanya agar memiliki pengetahuan
tentang hukum
5) Kode etik mengharuskan anggotanya agar selalu mendahulukan
pelayanan kepada masyarakat.9
Sama halnya dengan penegakan hukum adalah penegakan
kode etik. Penegakan kode etik adalah usaha melaksanakan kode etik
7 Jimly Asshiddiqie, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan (Jakarta: Lembaga studi
dan advokasi masyarakat 2004) h.33 8 E.Y. Kanter, Etika Profesi Hukum (Jakarta: Storia Grafika 2001) h. 114 9 E.Y. Kanter, Etika Profesi Hukum, ... h. 115
17
sebagaimana mestinya, mengawasi pelaksanaanya supaya tidak
terjadi suatu pelanggaran, dan jika terjadi pelanggaran
mengembalikan kode etik yang dilanggar itu supaya ditegakan
kembal. Karena kode etik adalah bagian dari hukum positif , makan
aturan-aturan penegakan hukum undang-undang juga berlaku pada
penegakan kode etik. Penegakan kode etik dalam arti sempit adalah
memulihkan hak dan kewajiban yang telah dilanggar, sehingga akan
memunculkan keseimbangan sebagaimana mestinya. 10
c. Hakim
Hakim adalah berasal dari bahasa Arab, namun telah diangkat
menjadi bahas Indonesia dan telah digunakan oleh lembaga resmi,
seperti lembaga hukum dan pengadilan juga yang telah digunakan
dalam kebiasaan kehidupan masyarakat sehari-hari. Hakim adalah
pejabat yang berwenang yang dapat mengadili, memeriksa serta
menyelesaikan suatu perkara agar terciptanya suatu jalan keluar
antara para pihak yang berperkara dalam suatu peradilan, dan hakim
juga memiliki kewajiban mencari keadilan serta mengatasi segala
suatu permasalahan yang ada dan tercapainya suatu peradilan yang
sederhana, cepat dan biaya ringan.
Hakim merupakan suatu pekerjaan yang sangat memiliki
tanggung jawab besar terhadap pelaksana hukum disuatu negara.
Dalam artian, hakim merupakan tempat terakhir dari penegakan
hukum disuatu negara. Oleh karena itu, apabila hakim diatu negara
memiliki moral yang gampang hancur, maka wibawa hukum di
negara tersebut akan rapuh.11
Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan harus mengadili
dan mengikuti dan mengerti nilai-nilai hukum yang hidup dalam
10 Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum (Bandung: PT Citra Aditya Bakti 2006)
h.120 11 Supiadi, Etika dan tanggung jawab Profesi Hukum di indonesia (Jakarta: Sinar Grafika
2006) h.114
18
masyarakat. Dalam masyarakat yang masih mengenal hukum tidak
tertulis, serta berada dalam masa peralihan. Hakim merupakan
perumus dan yang mencipta nilai-nilai hukum yang hidup dikalangan
rakyat. Untuk itu ia harus hadir dalam masyarakat untuk mengenal,
merasakan dan mampu mengerti perasaan hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian hakim dapat
memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan
bagi masyarakat.12
Kata mengadili diartikan sebagai serangkaian tindakan hakim
untuk menerima, memeriksa dan memutuskan perkara berdasarkan
asas bebas, jujur adil di dalam sidang pengadilan dalam hal dan tata
cara yang diatur dalam undang-undang daam Pasal 1 Undang-
Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, hakim
adalah pejabar peradilan disuatu negara yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk mengadili.
Hakim memiliki kedudukan dan peranan yang sangat penting
demi tegaknya negara hukum. Itulah sebabnya, Undang-Undang
Dasar 1945 mengatur secara khusus masalah kekuasaan kehakiman
ini, yaitu dalam Pasal 24 dan 25. Penjelasan kedua pasal tersebut
menegaskan, bahwa kekuasaan kehakiman adalah suatu kekuasaan
yang merdeka yakni terlepas dari pengaruh-pengaruh pemerintah.13
d. Kode Etik Hakim
Kode Etik Hakim adalah disebut Kode Kehormatan Hakim
berbeda dengan profesi lain seperti notaris dan advokat, hakim adalah
pegawai negeri sipil yang mempunyai jabatan fungional. Oleh karena
itu, Kode Kehormatan Hakim mempunyai tiga jenis etika, yaitu etika
kedinasan pegawai negeri sipi, etika kedinasan hakim sebagai pejabat
12 C.S.T Kansil Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum (Jakarta: PT Pradnya Paramita 2003)
h. 44 13 C.S.T Kansil Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum, ... h. 46
19
fungsional penegak hukum, etika hakim sebagai warga dari anggota
masyarakat. Walaupun ketiga jenis etika tersebut saling
berketerkaitan, namun ketiga jenis etika ini dibatasi hanya pada sikap
kedinasan hakim sebagai pejabat fungsional penegak hukum.
Kode Etik Hakim meliputi etika kepribadian hakim, etika
melakukan tugas jabatan, etika pelayanan terhadap pencari keadilan,
etika hubungan sesama rekan hakim, dan etika pegawasan terhadap
hakim. Kemudian analisis hubungan dengan ketentuan undang-
undang. Dengan demikian, maka akan diketahui apakah Kode Etik
Hakim mempunyai usaha paksaan yang berasal dari undang-
undang.14
B. Komisi Yudisial
1. Sejarah Komisi Yudisial
Sebelum terbentuknya Komisi Yudisial (KY), pembentukan
lembaga pengawas peradilan sebenarnya sudah pernah digagas.
Misalnya, Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) dan
Dewan Kehormatan Hakim (DKH).
Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) yang telah
diperbincangkan sejak tahun 1968 berfungsi memberikan
pertimbangan dan mengambil keputusan terakhir mengenai saran-saran
atau usul-usul yang bersingungan dengan kenaikan, promosi,
kepindahan, pemberhentian, dan tindakan jabatan para hakim yang
diajukan, baik oleh Mahkamah Agung maupun oleh Menteri
Kehakiman. tapi ide tersebut menemui kegagalan sehingga tidak
berhasil menjadi materi muatan Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Sementara Dewan Kehormatan Hakim (DKH) yang tertuang
dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 berwenang mengawasi
perilaku hakim, memberikan rekomendasi mengenai perekrutan,
14 Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, ... h. 101
20
promosi, dan mutasi hakim, serta menyusun kode etik (code of
conduct) bagi para hakim. Dengan adanya Amendemen Ketiga
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada
tahun 2001 disepakati tentang pembentukan Komisi Yudisial.
Ketentuan mengenai Komisi Yudisial diatur dalam Pasal 24B Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Yang menjadi
pokok dasar semangat pembentukan Komisi Yudisial dilihat pada
keprihatinan mendalam mengenai kondisi peradilan yang
mengkhawatirkan dan keadilan di Indonesia yang tak kunjung tegak.
Komisi Yudisial karenanya dibentuk dengan dua kewenangan
konstitutif, yaitu untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan
mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Perjalanan tugasnya, Komisi Yudisial telah mengalami
dinamik, antara lain pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2004 ke Mahkamah Konstitusi oleh sejumlah hakim agung.
Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006,
beberapa kewenangan dalam pengawasan hakim dan hakim
Mahkamah Konstitusi tidak berlaku. Terkait hakim konstitusi, putusan
tersebut menjadi perdebatan panjang lantaran pemohon tidak pernah
mengajukannya.
Sejak Mahkamah Konstitusi membatalkan wewenang Komisi
Yudisial melalui putusannya yang keluar pada tahun 2006, Komisi
Yudisial dan sejumlah elemen bangsa yang mendukung peradilan
bersih, transparan, dan akuntabel melakukan berbagai upaya untuk
mengembalikan peran Komisi Yudisial sesuai keinginan masyarakat.
Salah satu upayanya adalah dengan merevisi Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2004. Usaha tersebut mendapatkan hasil dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang
21
Komisi Yudisial. Perubahan undang-undang ini berpengaruh terhadap
penguatan wewenang dan tugas Komisi Yudisial.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial
tersebut memberikan berbagai tugas dan wewenang baru bagi Komisi
Yudisial, antara lain : melakukan seleksi pengangkatan hakim adhoc di
Mahkamah Agung, melakukan kinerja untuk upaya peningkatan
kapasitas dan kesejahteraan hakim, melakukan langkah-langkah
hukum dan langkah lain untuk menjaga kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim, melakukan penyadapan bekerja sama
dengan aparat penegak hukum.
Disahkannya undang-undang tersebut merupakan konkritisasi
dari upaya memperkuat wewenang dan tugas Komisi Yudisial sebagai
lembaga negara independen yang menjalankan fungsi checks and
balances di bidang kekuasaan kehakiman dalam rangka mewujudkan
kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menegakkan hukum dan
keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.15
Tujuan pembentukan Komisi Yudisial menurut A. Ahsin
Thohari adalah:
a. Melakukan monitoring yang intensif terhadap lembaga peradilan
dengan cara melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spektrum
yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring secara internal
saja. Monitoring secara internal dikhawatirkan menimbulkan
semangat korps (l’esprit de corps), sehingga objektivitasnya sangat
diragukan.
b. Menjadi perantara (mediator) antara lembaga peradilan dengan
Departemen Kehakiman. Dengan demikian, lembaga peradilan
tidak perlu lagi repot-repot persoalan-persoalan teknis non-hukum,
karena semuanya telah ditangani oleh Komisi Yudisial.
15 http://www.komisiyudisial.go.id/frontend/static_content/history Diakses pada: l 5
maret 2019, pukul 09.42
22
Sebelumnya, lembaga peradilan harus melakukan sendiri hubungan
tersebut, sehingga hal ini mengakibatkan adanya hubungan
pertanggungjawaban dari lembaga peradilan kepada Departemen
Kehakiman. Hubungan pertanggungjawaban ini menjadikan
lembaga peradilan sebagai subordinasi Departemen Kehakiman
yang membahayakan independensinya.
c. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas lembaga peradilan dalam
banyak aspek, karena tidak lagi disibukan dengan hal-hal yang
tidak berkaitan langsung dengan aspek hukum seperti rekrutmen
dan monitoring hakim serta pengelolaan keuangan lembaga
peradilan. Dengan demikian, lembaga peradilan dapat lebih
berkonsentrasi untuk meningkatkan kemampuan intelektualitasnya
yang diharuskan dalam memutus suatu perkara.
d. Menjaga kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan,
karena senantiasa diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar-
benar independen. Di sini diharapkan inkonsistensi putusan
lembaga peradilan tidak terjadi lagi, karena setiap putusan akan
memperoleh suatu pengawasan yang efektif dari Komisi Yudisial.
Dengan demikian, putusan-putusan yang dianggap kontroversial
dan menyakitkan rasa keadilan masyarakat dapat diminimalisasi
kalau bukan dieliminasi.
e. Mengurangi terjadinya politisasi terhadap rekruitmen hakim,
karena lembaga yang mengusulkan adalah lembaga hukum yang
bersifat mandiri dan bebas dari pengaruh kekuasaan lain, bukan
lembaga politik lagi, sehingga harapkan kepentingan-kepentingan
politik tidak lagi ikut menentukan rekrutmen hakim yang ada.16
Komisi Yudisial atau KY adalah lembaga negara hasil
amandemen ketiga UUD 1945 yang dibentuk untuk mengawasi
16 https://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Yudisial_Republik_Indonesia Diunduh pada: l 5
maret 2019 pukul 10.34
23
perilaku dalam kekuasaan kehakiman dan menyeleksi calon-calon
hakim agung. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 sebagaimana
diubah menjadi Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2011 Komisi Yudisial adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Komisi Yudisial negara kita disebut secara jelas di dalam
peraturan Perundang-undangan yaitu UUD 1945 mengenai
kewenangan, anggota, susunan dan kedudukan komisi yudisial
dijabarkan diantaranya:
Pasal 24 b UUD 1945
(1) “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
(2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan
dan pengalaman dibidang hukum serta memiliki integritas
dan kepribadian yang tidak tercela.
(3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan dibehentikan oleh
Presiden RI dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat.
(4) Susunan, kedudukan, dan kenggotaan Komisi Yudisial
diatur dengan Undang-undang.”
Adapun ketentuan mengenai cara dan menjaga kehormatan
hakim agung terdapat dalam beberapa Pasal yaitu:
Pasal 34 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasan Kehakiman “
(1) Ketentuan mengenai syarat dan tata pengangkatan hakim
agung dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diataur dengan
Undang-undang.
(2) Dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat
serta perilaku hakim agung, pengawasan dilakukan oleh
Komii Yudisial yang diatur dalam Undang-Undang,
pemilihan hakim agung Komisi Yudisial bertugas
mendaftar, menyeleksi dan menetapkan serta mengajukan
calon hakim agung ke Dewan Perwakilan Rakyat.”17
17 Amran Suadi, Sistem Pengawasan Badan Peradilan di Indonesia , ...h. 166-167
24
Pembentukan Komisi Yudisial merupakan salah satu wujud
nyata dari perlunya keseimbangan dan kontrol diantara lembaga
negara. Pembentunya Komisi Yudisial merupakan suatu penegasan
terhadap prinsip dari sebuah negara hukum dan harus memiliki
perlindungan hak asasi yang telah dijamin konstitusi. Selain itu juga
pembentuan Komisi Yudisial ini sebagai alat untuk menyelesaikan
masalah yang terjadi dalam ketatanegaraan. 18
Komisi Yudisial di Indonesia sudah kita ketahui bersama
terdapat dalam Pasal 24B Perubahan ketiga UUD 1945 yang hadir
karena didasarkan pemikiran bahwa seorang hakim agung yang ada di
Mahkamah Agung dan para hakim merupakan figur-figur yang sangat
menentukan dalam hal menegakan keadilan. Apalagi hakim agung
berada pada tingkat paling tinggi dalam susunan peradilan . sebagai
negara hukum, masalah kehormatan dan keluhuran martabat, serta
prilaku seluruh hakim merupakan hal yang sangat strategis untuk
menjalankan upaya penegakan peradilan yang handal dan realisasi
paham indonesia adalah negara hukum. Melalui lembaga Komisi
Yudisial ini, diharapakan dapat mewujudkan lembaga peradilan yang
sesuai dengan apa yang diingikan oleh rakyat juga dapat mewujudkan
penegakan hukum dan tercapainya suatu keadilan melalui putusan
hakim yang terjaga kehormatan dan keluhuran dan martabat prilaku
hakim.19
Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang
lain dalam rangka menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran
martabat, serta periilaku hakim. Sifat mandiri dari Komisi Yudisial ini
merupakan suatu syarat yang mutlak yang wajib melekat pada Komisi
18 Titik Triwulan Tuti, Eksitensi, kedudukan dan wewenang Komisi Yudisial sebagai
Lembaga Negara dalam Sistem ketatanegaraan Republik Indonesia pasca Amandemen UUD
1945 (Jakarta, Prestasi Pustaka Publisher 2007) h. 5-6 19 Jimly Asshiddiqie, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan , ... h.110-111
25
Yudisial jika ia dikehendaki dapat bertugas secara maksimal dalam
mengawasi para hakim.20
Komisi Yudisial sebagai lembaga yang mandiri berkepentingan
dan berkomitmen untuk terus menjalin kerjasama dengan berbagai
elemen masyatakat, terutama yang berhubungan langsung dengan
reformasi peradilan demi terciptanya sistem peradilan yang bersih,
akuntabel dan beribawa. Reformasi yang diharapkan sebagai agenda
utama Komisi Yudisial tidak akan berhasil seperti yang diharapkan,
sehingga sangat memerlukan suatu kerjasama dengan merekrut calon
hakim agung dan pengawasan terhadap para hakim.
Pentingnya pengawasan hakim dari pengaruh mafia peradilan,
karena dalam kenyataanya telah menghilangkan suatu keadilan bagi
masyarakat dan pencari keadilan. Para pencari keadilan begitu sulit
mendapatkan pelayanan peradilan yang jujur termasuk proses
persidangan yang murah, sederhana dan cepat. Oleh karena itu, perlu
adanya pemulihan kewenangan Komisi Yudisial untuk
mengungkapkan modus upaya pemberantasan mafia peradilan. Salah
satu upaya tersebut adalah perlunya penguatan pengawasan dan peran
serta masyarakat dalam mengontrol praktek peradilan yang ada
sekarang agar terciptanya kerjasama dan tujuan yang diharapkan. 21
2. Struktur Organisasi
Komisi Yudisial RI terdiri atas seorang ketua, seorang wakil
ketua yang merangkap anggota dan lima orang anggota. Keanggotaan
terdiri atas unsur mantan hakim, praktisi hukum, akademisi hukum,
dan anggota masyarakat. Mereka diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden dengan persetujuan DPR, untuk masa jabatan 5 tahun dan
20 Patrialis Akbar, Lembaga - lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun 1945
(Jakarta : Sinar grafika Offset, 2013) h. 204-205 21 Komisi Yudisial, Bunga Rampai Komisi Yudisia l dan Reformasi Peradilan ( Jakarta
: Komisi Yudisial Republik Indonesia ) h.277
26
setelahnya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan. Untuk
dapat menjadi anggota KY harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut :
a. Warga Negara Indonesia
b. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
c. Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 68
(enam puluh delapan) tahun
d. Mempunyai pengalaman di bidang hukum paling singkat 15 (lima
belas) tahun
e. Memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela
f. Sehat jasmani dan rohani
g. Tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana
kejahatan
h. Melaporkan daftar kekayaan.
Stuktur Organisasi Komisi Yudisial
27
C. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu
1. Skripsi
Membahas penelitian yang berjudul “Efektifitas Pelaksanaan
Fungsi Pengawasan Komisi Yudisial dalam Mengawasi Hakim dan
Pengaruhnya Terhadap Kekuasaan Kehakiman” yang ditulis oleh
Masripattunisa Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2014.
Dalam persamaan hasil penelitian ini sama-sama berfokus kepada
bagaimana keefektivan Komisi Yudisial dan kedudukan Komisi
Yudisial yang mempunyai peran yang sangat penting sebagai
pengawas kode etik dan pengawasan hakim itu di Indonesia.
Dalam perbedaannya adalah jika skripsi terdahulu Hasil penelitian
ini berfokus kepada bagaimana mekanisme dalam pelaksanaan fungsi
pengawasan Komisi Yudisial dalam mengawasi hakim dan pengarunya
terhadap kekuasaan kehakiman.
2. Buku
Menurut Saiful Anwar, pengawasan atau kontrol terhadap tindakan
aparatur pemerintah diperlukan agar pelaksanaan tugas yang telah
ditetapkan dapat mencapai tujuandan terhindar dari penyimpangan-
penyimpangan, sedangkan menurut M. Manullang pengawasan adalah
suatu proses untuk menetapkan suatu pekerjaan apa yang sudah
dilaksanakan, menilainya, mengoreksinya bila perlu dengan maksud
supaya pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan rencana semula.
Persamaan dalam buku ini membahas bahwa melalui pengawasan
diharapkan dapat membantu melaksanakan kebijakan yang telah
ditetapkan untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan secara
efektif dan efesien. Ini terdapat dalam buku Jhon Salendeho yang
berjudul Tata Laksana dalam Manajemen.
Jadi perbedaan pengawasan dalam buku ini bahwa mengukur
pelaksanaan dibandingkan dengan cita-cita dan rencana,
memperlihatkan dimana ada penyimpangan yang negatif dengan
28
penggerakan tindakan-tindakan untuk memperbaiki penyimpangan,
penyinggungan, membantu menjamin tercapainya rencana-rencana.
Pengawasan pada dasarnya diarahkan sepenuhnya untuk menghindari
adanya kemungkinan penyelewengan atau penyimpangan atas tujuan
yang akan dicapai.
3. Jurnal
Membahas penelitian dengan “ Membangun Hubungan Harmonis
dalam Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Hakim oleh Mahkamah Agung
dan Komisi Yudisial dalam rangka menegakkan kehormatan,
keluhuran dan martabat Hakim” yang ditulis oleh Ismail Rumadan,
Universitas Nasional.
Dari persamaan Penelitian ini memiliki pembahasan yang hampir
sama dengan tema yang saya bahas, penelitian saya didalamnya ini
berfokus kepada berfokus kepada bagaimana keefektivan Komisi
Yudisial dan kedudukan Komisi Yudisial yang mempunyai peran yang
sangat penting sebagai pengawas kode etik dan pengawasan hakim itu
di Indonesia.
Dari perbedaan yang saya teliti bahwa lebih kepada hubungan
Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung dalam penegakan kehormatan,
martabat dan keluhuran Hakim.
29
BAB III
PELAKSANAAN FUNGSI PENGAWASAN HAKIM OLEH KOMISI
YUDISIAL DAN MAHKAMAH AGUNG
A. Pelaksanaan Pengawasan oleh Komisi Yudisial dan Sinergi
Pengawasan oleh Mahkamah Agung
Kehadiran Komisi Yudisial didasari oleh ide tentang pentingnya
pengawasan hakim dalam rangka melakukan reformasi yang mendasar
terhadap sistem peradilan, tidak saja menyangkut penataan kelembagaan
(institusional reform) ataupun menyangkut mekanisme aturan yang
menyangkut personalitas dan budaya kerja aparat peradilan serta prilaku
hukum masyarakat kita sebagaimana keseluruhan (ethical dan bahkan
cultural reform). Pembentukan Komisi Yudisial ditujukan juga sebagai
jawaban atas masalah pertanggungjawaban Mahkamah Agung sebagai
salah satu lembaga negara dan kontrol masyarakat terhadap kekuasan
kehakiman. 1
Komisi Yudisial muncul untuk menjaga otonomi moral hakim,
mendorong progresivitas keputusan dari aparat hukum. Aparat hukum
diharapkan untuk menjaga moral para hakim ini, karena hakim dianggap
telah terlalu jauh melanggar etika dan moral individunya. Oleh karena itu,
hakim harus proresif menegakan moral individu dalam menegakan hukum
dan keadilan. Persoalan krusial yang dihadapi oleh hakim adalah
bagaimana ia mampu menyadari otonomi moral, agar tidak terjadi
pembiasaan moral yang dilakukan oleh hakim sebagai aparatur hukum.
Hakim harus segera meretas anggapan publik bahwa hakim selalu
mengkhianati janji dan sumpah jabatannya. Karena kode etik hakim tidak
mampu mengontrol rusaknya moral hakim, maka Komisi Yudisial harus
menjaga pelindung untuk menjaga moral hakim tersebut. Sulit
mendapatkan kebaikan yang didapatkan berdasarkan kehendak
1 Amran Suadi, Sistem Pengawasan Badan Peradilan di Indonesia (Jakarta: Rjawali
Pers, 2014) h. 174
30
personalitas hakim, akan tetapi kebaikan itu merupakan kehendak yang
digunakan oleh lembaga di luar institusi kehakiman.2
Dalam rangka mengawasi pelaksanaan tugas para hakim, diatur
adanya dua jenis pengawasan, yaitu pertama, pengawasan internal
dilakukan oleh Badan Pengawas (Mahkamah Agung RI) dan Majelis
Kehormatan ( Mahkamah Konstitusi RI). Pengawasan yang dilakukan oleh
Badan Pengawasan dan Mahkamah Agung RI ini bersifat internal dan
berfungsi sebagai pengawas terhadap pelaksana tugas-tugas peradilan
disemua tingkatan dan diseluruh wilayah hukum peradilan Republik
Indonesia dimana Mahkamah Agung itu sendiri memiliki tugas mengawasi
penyelenggraan peradilan dibawahnya dan mengawasi perilaku hakim,
memeriksa dan memutus permohonan kasasi, sengketa kewenangan
mengadili dan peninjauan kembali (PK) putusan yang sudah berkekuatan
hukum tetap. Begitu pula dengan Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi yang berwenang melakukan pengawasan internal yang
memiliki tugas unuk memantau, memeriksa dan merekomendasikan
terhadapa hakim konstitusi yang diduga melanggar kode etik hakim
konstitusi. Kedua, pengawasan yang bersifat eksternal dilakukan oleh
sebuah komisi independen yang dinamakan Komisi Yudisial. Keberadaan
lembaga pengawas eksternal ini penting agar proses pengawasan dapat
benar-benar bertindak objektif untuk kepentingan pegembangan sistem
peradilan yang bersih, efektif dan efesien. Agar Komisi Yudisial ini dapat
benar-benar bersifar independen, maka administrasi komisi ini sebaiknya
tidak dikaitkan dengan organisasi Mahkamah Agung RI demikian pula
mengenai anggran Komisi Yudisial sebaiknya tidak dimasukan dalam satu
pos anggaran dengan Mahkamah Agung. Dengan demikian, ide untuk
meletakan posisi Komisi Yudisial dibawah Mahkamah Agung menjadi
tidak relevan.
2 Nur Ahsan Saifurizal, Komisi Yudisial dalam Mengawasi Hakim Perspektif Peradilan
Islam, In Right, Volume 2 Nomor 2 Mei 2013, h. 320
31
Keinginan untuk menciptakan peradilan yang bersih dengan
membentuk Komisi Yudisial dalam praktik telah menimbulkan
“kegerahan” hakim agung. Komisi dilematis dan kontradiktif atas
pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Yudisial dibuktikan dengan
diajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial oleh 31 orang hakim agung ke Mahkamah
Konstitusi yang berakhir dengan putusan Nomor 005/PUU/-IV/2006
tanggal 23 Agustus 2006 yang pada intinya menyatakan bahwa hakim
agung dan hakim konstitusi tidak menjadi ranah pengawasan yang
dilakukan Komisi Yudisial.
Model kekuasaan kehakiman yang selama ini dijalankan dengan
pembagian peran antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung
sudah cukup baik. Penempatan Komisi Yudisial pada Bab tentang
Kekuasaan Kehakiman telah membawa implikasi lainya termasuk paska
putusan Mahkamah Konstitusi mengenai hal terebut. Langkah yang sangat
mungkin dipilih adalah mengeluarkan Komisi Yudisial dari Bab tentang
Kekuasaan Kehakiman, namun diperkuat dengan menegaskan fungsinya
ebagai pelaku pengawasan terhadap seluruh hakim, termasuk hakim
konstitusi. Tidak hanya itu, Komisi Yudisial juga menjadi lembaga yang
mengawasi semua lembaga penegak hukum.
Untuk mewujudkan tidaklah mudah, diperlakukan amandemen
terhadap Undang-Undang Dasar 1945 terlebih dahulu. Langkah yang
paling cocok untuk itu saat ini adalah melakukan penguatan melalui
perubahan terhadap undang-undang yang terkait dengan Kekuasaan
Kehakiman secara terintegritas, mulai dari Undang-Undang tentang
Kekuasan Kehakiman, tentang Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi
dan Komisi Yudisial.3
Persoalan kode etik dan perilaku hakim menjadi masalah lainnya
yang memicu konflik antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung yang
dianggapnya Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung tumpang tindih
3 Amran Suadi, Sistem Pengawasan Badan Peradilan di Indonesia , ... h. 174-175
32
kekuasaan karena sama-sama mengawasi hakim. Untuk mengatasi hal
tersebut diperlukan kesadaran Konstitusional Komisi Yudisial dan
Mahkamah Agung bahkan Mahkamah Konstitusi untuk secara bersama
membuat satu kode etik dan pedoman perilaku hakim. Sebab, selain
menghindari rivalitas dan krisis kelembagaan, hal itu mewujudkan sinergi
dan saling menghormati kewenangan masing-masing. Jika masing-masing
membuat kode etik dengan subjek yang sama, akan memperlebar jurang
berbedaan dan pada akhirnya hanya akan merugikan penegakan hukum
yang bersandar pada rasa keadilan masyarakat.
Dalam rangka mewujudkan pengawasan yang efektif baik secara
internal maupun ekternal maka diperlukan sinergi tiga lembaga negara
yaitu Komisi Yudisial, Makhakamh Konstitusi dan Mahkamah Agung.
Setiap bagian yang melakukan pengawasan harus menjalain kerja sama
dan koordinasi sehingga dapat melakukan pengawasan secara berlapis.
Berdasarkan pengalaman yang pernah terjadi ketika pengawasan dilakukan
secara sendiri-sendiri maka yang akan muncul adalah sikap arogansi, egois
dan dan saling tidak percaya.4
B. Hubungan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial
Dibalik kontroversi yang muncul ternyata jika dilihat lebih dalam
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 terdapat beberapa kemajuan yang
muncul dalam Undang-undang tersebut terutama yang terkait dengan
hubungan kelembagaan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
Kemajuan undang-undang tersebut sebagai berikut
1. Dalam Pasal 11A (1) menyatakan:
Hakim agung hanya dapat diberhentikan tidak dengan hormat
dalam masa jabatan apabila:
a. Dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana
kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap
b. Melakukan perbuatan tercela
4 Amran Suadi, Sistem Pengawasan Badan Peradilan di Indonesia , ... h. 176
33
c. Melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaanya
terus menerus selama 3 (tiga) bulan
d. Melanggar sumpah atau janji jabatan
e. Melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
atau
f. Melanggar kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim.
Khusus huruf b dalam penjelasanya dinyatakan bahwa yang dimaksud
dengan melakukan perbuatan tercela adalah apabila hakim agung yang
bersangkutan karena sikap, perbuatan dan tindakanya baik didalam
maupun diluar pengadilan merendahkan martabat hakim agung.
Artinya sudah mengandung perbuatan tercel, baik di dalam maupun
diluar pengadilan.
2. Di dalam Pasal 11A Ayat (3) dinyatakan:
“Terhadap usul pemberhentian pada Ayat (1) huruf b diajukan
oleh Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial dan Ayat (5)
Usul pemberhentian dengan alasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf f diajukan oleh Komisi Yudisial. Artinya
Komisi Yudisial dilibatkan dalam memberikan usul
pemberhentian hakim yang melakukan perbuatan tercela dan
melanggra kode etik dan/atau perilaku hakim. Dalam usul
pemberhentian hakim, Komisi Yudisial tentu harus memiliki
data awal mengenai latar belakang atau dasar pengusulan.
Dengan demikian dapat dijabarkan bahwa dalam pemberian
usul tersebut Komisi Yudisial dapat mendasarkan pada data
yang berasal baik internal (misalnya temuan/investigasi)
maupun eksternal (misalnya laporan masyarakat). Pasal
tersebut memberikan wewenang bagi Komisi Yudisial untuk
melakukan pengawasan terhadap hakim agung”.
3. Mengenai tata cara penyampaian usul pemberhentian diatur dalam
Ayat (6), sebelum Mahkamah Agung RI dan/atau Komisi Yudisial
mengajukan usul pemberhentian, hakim agung mempunyai hak untuk
membela diri dihadapan Majelis Kehormatan Hakim. Selanjutnya pada
Ayat (7) dikatakan: Majelis Kehormatan Hakim dibentuk oleh
Mahkamah Agung dan Komis Yudisial paling lama 14 (empat belas
hari kerja terhitung sejak tanggal diterima usul pemberhentian dengan
keanggotaan Majelis Kehormatan Hakim terdiri atas 3 (tiga) orang
34
hakim agung; dan 4 (empat) orang anggota Komisi Yudisial. Dengan
demikian keseluruhan anggota Majelis Kehormatan Hakim sebanyak 7
(tujuh) orang. Kemajuan yang diatur dalam ketentuan ini, yaitu
terdapatnya unsur Komisi Yudisial dan Majelis Kehormatan Hakim.
Hal ini merupakan poin penting yang harus semaksimal mungkin oleh
Komisi Yudisial dalam melaksanakan wewenangnya. Ketentuan ini
juga mewajibkan keterbukaan Mahkamah Agung dalam proses
pemeriksaan hakim agung yang dianggap melanggar. Mengenai tata
cara pembentukan, tata kerja, dan tata cara pengambilan keputusan
Majelis Kehormatan Hakim diatur bersama oleh Mahkamah Agung
dan Komisi Yudisial.
4. Didalam ketentuan Pasal 32 Ayat menyatakan sebagai berikut:
(1) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terdapat
penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan
yang berada dibawahnya dalam menyelenggarakan
kekuasaan kehakiman.
(2) Menyatakan selain pengawasan tersebut, Mahkamah Agung
melakukan pengawasan tertinggi terhadap pelaksana tugas
administrasi dan keuangan.
(3) Mahkamah Agung berwenang untuk meminta keterangan
tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan
dari semua badan peradilan yang berada dibawahnya dan
terakhir dikatakan Mahkmah Agung berwenang memberi
petunjuk, teguran atau peringatan kepada peradilan disema
badan peradilan yang berada di bawahnya. Namun demikina
pengawasan dan kewenangan Mahkamah Agung tersebut
tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa
dan memutus perkara.
Seluruh pengawasan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung
merupakan pengawasan yang bersifat internal. Kehadiran Komisi Yudisial
merupakan sebagai pengawasan eksternal ditegaskan dalam
Pasal 32A yang berbunyi:
1. Pengawasan internal atau tingah laku hakim agung dilakukan
oleh Mahkamah Agung RI
2. Pengawasan eksternal atas perilaku hakim agung dilakukan oleh
Komisi Yudisial
35
3. Pengawasan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2)
berpedoman kepada kode etik dan pedoman perilaku hakim.
4. Kode etik dan pedoman perilaku hakim sebagaimana dimaksud
pada Ayat (3) ditetapkan oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah
Agung RI.
Ketentuan ini diharapkan menyelesaikan perdebatan mengenai
kedudukan dan wewenang Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal.
Selain itu, dengan ketentuan ini telah memberikan posisi sejajar dan
seimbang antara peran pengawasan oleh Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial. Supaya tidak menimbukan pertentangan lagi dimasa yang akan
datang, maka harus mempertegas batasan kewenangan pengawasan baik
internal maupun eksternal. 5
Hubungan Pengawasan Mahkamah Agung Dengan Komisi Yudisial
Terhadap Prilaku Hakim, sebagimana kita ketahui bahwa salah satu ciri
dari Negara Hukum adalah terdapat suatu kemerdekaan Hakim yang bebas
dan tidak dipengaruhi oleh kekuasaan Ekskutif maupun kekuasaan
legislatif. Kebebasan hakim tidak selalu harus maknai bahwa hakim dapat
melakukan sewenang-wenang terhadap suatu perkara yang diperiksanya,
akan tetapi hakim tetap terikat pada hukum. Undang-undang Dasar 1945
melarang campur tangan pihak lain terhadap hakim, bahkan pihak atasan
langsung dari hakim yang bersangkutan tidak mempunyai kewenangan
untuk mempengaruhi kehendaknya kepada hakim bawahan. Dengan
adanya kebebasan hakim, perlu adanya penjelasan tentang posisi hakim
yang tidak memihak di sini haruslah diartikan tidak harfiah, karena dalam
menjatuhkan putusannya hakim harus mencari yang benar dalam hal ini,
hakim-hakim tidak memihak diartikan tidak berat sebelah dalam
pertimbangan dan penilaiannya. Hakim tidak memihak berarti juga bahwa
hakim itu tidak menjalankan perintah dari pemerintah bahkan jika menurut
hukum, hakim dapat memutuskan menghukum pemerintah, misalnya
tentang keharusan menganti kerugian yang tercantum dalam KUHP.
Walaupun hakim itu diangkat dan digaji oleh pemerintah, namun hakim
5 Amran Suadi, Sistem Pengawasan Badan Peradilan di Indonesia , ... h. 1177-179
36
harus tetap tegak berdiri menjalankan kewajibannya dan tidak terpengaruh
atau dipengaruhi oleh pemerintah.
Berhubungan dengan kedudukannya yang istimewa itu hakim perlu
mendapatkan jaminan yang cukup, berbeda dengan pejabat-pejabat lainya.
Syarat-syarat pengangkatan, kedudukan serta pemberhentian pejabat-
pejabat pengadilan harus menjadi landasan pokok bagi hakim untuk dapat
menjalankan tugasnya dan menegakkan hukum dan keadilan dalam
masyarakat serta tidak terpengaruh oleh aliran politik, kepentingan
ekonomi dan kepentingan-kepentingan yang ada saat ini dalam
masyarakat. Hakim yang tidak memihak (mandiri) merupakan fundamen
dari suatu Negara hukum. Oleh karena itu, untuk lebih menjaga
kehormatan dan kewajiban hakim dan juga perlu dijaga mutu (keahlian)
para hakim dengan diadakannya syarat-syarat tertentu untuk menjadi
hakim yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang
Peradilan Umum, dan diperlukan pengarahan sebaik-baiknya dengan tidak
mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara.
Selain itu juga, diadakan larangan untuk hakim merangkap jabatan
penasehat hukum, pelaksaan putusan pengadilan, wali pengampu,
pengusaha dan setiap jabatan yang bersangkutan dengan suatu perkara
yang akan atau yang sedang diadili olehnya. 6
C. Tugas dan Fungsi Hakim
Fungsi hakim adalah menegakkan kebenaran dari apa yang di
nyatakan dan dituntut oleh para pihak tanpa melebihi atau menguranginya
terutama yang berkaitan dengan perkara perdata, sedangkan dalam perkara
pidana mencari kebenaran sesungguhnya secara mutlak tidak terbatas pada
apa yang telah di lakukan oleh terdakwa, melainkan harus selidiki terlebih
dahulu dari latar belakang perbuatan terdakwa.
6 Agus Iskandar pp, Hubungan Pengawasan oleh Mahkamah Agung dengan Komisi
Yudisial Terhadap Perilaku Hakim , Keadilan Progresif, Volume 5 Nomor 1 Maret 2014, h.28-29
37
Adapun kewajiban hakim dalam peradilan harus sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang sudah diatur dalam Undang-Undang seperti
berikut:
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-Undang Nomor.
48 tahun 2009 adalah:
1. Memutus demi keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa.
2. Menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup di dalam masyarakat.
3. Dalam mempertimbangkan berat ringannya hukuman, hakim
wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari
terdakwa. Dengan demikian tugas hakim adalah melaksanakan
semua tugas yang menjadi tanggung jawabnya untuk
memberikan kepastian hukum semua perkara yang masuk, baik
perkara tersebut telah di atur dalam undang-undang maupun
yang tidak terdapat dalam ketentuannya.7
Kehendak Badan Kehakiman adalah kehendak yang melalui jalan
yuridis murni harus bersumber dan dijiwai oleh Hukum Dasar yang
tercantum didalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Demikian
hakim sebagai organ pelaksana Badan Kehakiman, tentang apa yang
dilakukannya juga harus merupakan pernyataan dari Kehendak Badan
Kehakiman yang bersumber dan dijiwai oleh Hukum Dasar yang
tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.8
Wujud dari tindakan hukum dari hakim menejelmakan Hukum
Dasar kita yang abstrak dan umum itu, didalam Undang-undang Dasar
1945 hanya ditentukan secara umum dan abstrak pula dengan
mempergunakan istilah yag ringkas. Untuk jelasnya, disini sekali lagi
dikutip bunyi asli rumusan yang terdapat didalam Pasal 24 Ayat (1)
Undang-undang Dasar 1945 yaitu: Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh
Mahkamah Agung dan lain-lain Badan Kehakiman menurut Undang-
Undang. Bahwa dalam rumusan ini adalah dalam realisasi Kekuasaan
Kehakiman, dari situ lah menggunakan istilah khas yang dalam Undang-
7 Syarif Hidayat, Studi Kontraksi Tugas dan Fungsi Hakim di Pengadilan Agama, Institut
Agama Islam Bani Fattah Jombang Indonesia, Tafaqquh volume 4 nomor 2 2016, h. 12 8 M.Koesnoe, Kedudukan dan Tugas Hakim menurut Undang-Undang 1945 (Surabaya :
UBHARA PRESS 1998) h.72
38
undang Dasar 1945 hanya ada Majelis Permusyawaratan Rakyat yaitu
adalah istilah dilakukan.
Dengan memperhatikan hal tersebut, Kekuasaan Kehakiman
sebagai satu jenis katagori kekuasaan yang ada pada negara kita,
tatanannya sama dengan kekuaaan yang ada pada Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Bedanya dengan Majelis Permusyawaratan
Rakyat adalah pada isi kekuasaanya.
Pada Majelis Permusyawaratan Rakyat isi kekuasaanya adalah
melakukan sepenuhnya kedaulatan rakyat. Sedangkan pada Kekuasaan
Kehakiman isinya adalah melakukan kekuasaan kehakiman artinya
kekuasaan mengenai Hukum yang berlaku didalam rangka kemerdekaan
bangsa.
Tugas melealisir Hukum oleh Kekuasaan Kehakiman, yang secara nyata
dibebankan kepada para hakim, meliputi dua hal yaitu:
1. Pertama adalah melakukan peradilan yaitu menentukan penyelesaian
perkara konflik oleh hakim sebagai pihak ketiga dalam kualitasnya
sebagai instansi yang tidak memihak para pihak yang berperkara
dalam kasus konflik yang konkrit individual yang dihadapkan kepada
badan kehakiman
2. Kedua adalah mengeluarkan suatu ketetapan pengadilan berwujud
didalam pernyataan pengadilan terhadap permohonan seseorang atau
sejumlah orang-orang yang menghendaki untuk memperoleh kepastian
tentang bagaiman bunyi kaidah kasus konkrit yang menjadi pertanyaan
yang dihadapi oleh orang atau sekelompok orang yang bersangkutan
menurut ketentuan Hukum Dasar.
Dalam hal ini, hakim bukan merupakan pihak ketiga sebagai instansi
yang tidak memihak didalam suatu perkara konflik antara dua pihak
atau lebih. Selain itu hakim bukan bertindak mengadili, akan tetapi
menunjukan dengan secara mengikat kaidah kasus dari hukum positif
dalam kasus konkrit yang bersangkutan, yang bersumber pada Hukum
Dasar yang abstrak dan umum.
39
Dengan demikian, hakim bertindak sebagai petugas dari Badan
Kehakiman yang harus menganggap Hukum Dasar yang umum dan
abstrak menjadi suatu kaidah dari Hukum positif. Dalam hal ini
ketetapanya Badan Kehakiman yang berlaku sebagai kaidah hukum
positif yang berbentuk dalam Hukum Tidak Tertulis.
Peranan yang dilakukan hakim pada dasarnya adalah sama dengan
pembentuk undang-undang, yaitu sebagai pembentuk hukum yang tidak
tertulis yang bersumber pada Hukum Dasar.
Dalam melaksanakan kedua tugas tersebut, bagi hakim berlaku
asas kemerdekaan dalam kedudukan dan dalam melaksanakanya sebagai
organ nyata dari Badan Kehakiman. Dengan demikian, segala ketentuan
yang ada dalam Undang-undang Dasar 1945 yang menjamin kemerdekaan
badan pelaku Kekuasaan Kehakiman, sepenuhnya juga berlaku pula bagi
hakim.9
D. Kewenangan Komisi Yudisial dalam rekrutmen Hakim
1. Cara Merekrut Hakim
Untuk diangkat sebagi hakim seseorang haruslah memenuhi
syarat sebagai berikut:
a. Warga negara Indonesia (PU,PA,PTUN dan PM)
b. Beragama Islam (khusus PA)
c. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (PU,PA,PTUN dan PM)
d. Setia kepada Pancasila dan UUD 1945 (PU,PA,PTUN dan PM)
e. Sarjana Hukum (PN,PTUN dan PM)
f. Sarjana Syari’ah atau Sarjana Hukum yang menguasai Hukum
Islam (khusus PA)
g. Berumur serendah-rendahnya 25 Tahun (PU,PA dan PTUN)
h. Sehat rohani dan jasmani (PU,PA,PTUN dan PM)
9 M.Koesnoe, Kedudukan dan Tugas Hakim menurut Undang-Undang 1945, ...h. 72-74
40
i. Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela
(PU,PA,PTUN dan PM)
j. Bukan mantan anggota organisasi terlarang PKI, termasuk
organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung
dalam G 30 S PKI (PU,PA, PTUN dan PM)
k. Paling rendah berpangkat kapten dan berijazah Sarjan Hukum
(khusus PM)
l. Berpengalaman di bidang peradilan dan/atau hukum (khusus PM)
Jalur atau sumber penerimaan tenaga hakim dan seleksi hakim
melalui 2 (dua) jalur yaitu:
a. Melalui jalur umum
Syarat-syarat rekrutmen hakim, selain yang ditentukan dalam
Undang-Undang dapat ditambah syarat-syarat berikut:
1) Indeks Prestasi (Lulusan Perguruan Tinggi Negeri IP minimal
2,75 dan lulusan Perguruan Tinggi Swasta IP mininal 3,00).
2) Keadaan fisik yang memadai dengan tinggi badan minimal
untuk wanita 1,55 m, dan pria 1,65 m
b. Melalui jalur khusus
1) Diambil 10 besar lulusan Perguruan Tinggi Unggulan tanpa
mengikuti ujian tertulis. Khusus untuk Pengadilan Agama,
masih dimungkinkan penerimaan calon hakim dari kalangan
pegawai di lingkungan Pengadilan Agama.
2) Dalam masa diklat diberi mata pelajaran yang aplikatif dan
ilmu-ilmu yang berkaitan dengan perkembangan globaliasi
antara lain hukum bisnis.
3) Calon hakim yang di tempatkan di Pengadilan hendaknya
diangkat sebagai Panitera Pengganti luar biasa.
c. Jumlah Hakim dari masing-masing Peradilan
Menurut data yang diperboleh dari laporan Ketua Mahkamah
Agung RI pada kunjungan Presiden RI ke Mahkamah Agung,
41
tanggal 20 Desember 2005, jumlah hakim dari masing-masing
peradilan adalah:
No Jenis Hakim Jumlah
1. Hakim Peradilan Umum 3015 Orang
2. Hakim Peradilan Agama 2846 Orang
3. Hakim Peradilan Tata Usaha Negara 205 Orang
4. Hakim Peradilan Militer 73 Orang
Jumlah keseluruhan 6139 Orang
Adapun kewenangan mengusulkan pengangkatan Hakim
Agung, kewenangan konstitusional Komisi Yudisial mencakup dua
kewenangan pokok, yakni mengusulkan pengangkatan hakim agung
dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Dalam perkembangan legislasi terakhir, kewenangan konstitusional
itu dijabarkan dalam ketentuan
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 sebagai
berikut:
a. Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc
di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan
persetujuan
b. Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim
c. Menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim
bersama-sama dengan Mahkamah Agung; dan
d. Menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan atau
Pedoman Perilaku Hakim.
Ketentuan Pasal 13 Undag-Undang Nomor 18 Tahun 2011
tersebut merupakan perubahan terhadap ketentuan Pasal 13 Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2004 yang hanya menyebutkan
kewenangan Komisi Yudisial meliputi dua kewenangan pokok,
yakni:
a. Mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR.
42
b. Menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga
perilaku hakim.
Dengan demikian, terdapat perluasan dan penjabaran
kewenangan konstitusional Komisi Yudisial oleh pembentuk
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011, yakni dengan menambahkan
kewenangan untuk mengusulkan pengangkatan hakim ad hoc di MA,
menetapkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang
selanjutnya disebut KEPPH bersama Mahkamah Agung serta
menjaga dan menegakkan pelaksanaan KEPPH.
Khusus berkenaan dengan kewenangan konstitusional
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di
Mahkamah Agung, ketentuanya menguraikan pelaksanaan wewenang
tersebut dalam bentuk tugas-tugas yang mencakup:
Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004
a. Melakukan pendaftaran calon hakim agung
b. Melakukan seleksi terhadap calon hakim agung
c. Menetapkan calon hakim agung dan
d. Mengajukan calon hakim agung ke DPR.
Secara prosedural, pelaksanaan tugas-tugas tersebut
dilakukan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan, sejak
Komisi Yudisial menerima pemberitahuan dari Mahkamah Agung
mengenai lowongan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah
Agung. Pemberitahuan dari Mahkamah Agung sendiri harus
disampaikan dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan
sebelum berakhirnya masa jabatan hakim agung dan hakim ad hoc di
Mahkamah Agung dengan cara menyampaikan kepada Komisi
Yudisial daftar nama hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah
Agung yang bersangkutan (Pasal 14 Ayat (2) dan (3) UU Nomor 22
Tahun 2004).10
10 Komisi Yudisial RI , Optimalisasi Wewenang Komisi Yudisial dalam Mewujudkan
Hakim Berintegritas (Jakarta: Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2016) h.
14-16
43
Pengajuan nama calon hakim agung sesuai dengan jumlah
hakim agung dibutuhkan pada setiap kamar, sehingga DPR hanya
dapat memberikan atau tidak memberikan persetujuan terhadap calon
hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial. Sekalipun demikian,
pengajuan calon hakim agung kepada DPR dilakukan oleh Komisi
Yudisial dengan menyertakan dokumen yang disertai dengan
penjelasan mengenai pertimbangan kelulusan setiap calon hakim
agung. Dengan demikian, DPR akan mengetahui latar belakang dan
pertimbangan dari calon-calon hakim agung yang diusulkan oleh
Komisi Yudisial kepada DPR11.
2. Mutasi Hakim
Semakin lama hakim bertugas pada pengadilan tertentu semakin
dikenal oleh kalangan masyarakat lebih-lebih para pengacara yang
selalu mencermati tidak saja watak hukum tetapi juga watak hakim,
untuk itu dalam upaya meminimalisir praktik hakim dalam penanganan
perkara, maka sangat perlu adanya mutasi hakim sekaligus sebagai
penyegaran tugas. Tata aturan mutai hakim dilakukan dengan
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a. Permutasian reguler mengacu pada telah bertugas maksimal 2
tahun bagi daerah tertentu
b. Permutasian dengan prestasi, dapat menyimpang sesuai kebutuhan
c. Permutasian karena mendapat hukuman dapat menyimpang dari
permutasian reguler
d. Permutasian tidak semata-mata melihat dari kelas pengadilan tetapi
disesuaikan dengan jumlah perkara pertahun di pengadilan yang
bersangkutan
e. Untuk mutasi perlu adanya sarana dan prasarana yang memadai.
Dari sistem mutasi yang ada tersebut belum menunjukan
trasparansi sistem yang dapat dilaksanakan dengan konsisten, menurut
11 Komisi Yudisial RI, Optimalisasi Wewenang Komisi Yudisial dalam Mewujudkan
Hakim Berintegritas , ... h.18
44
pengalaman empiris teruangkap masih banyak hakim yang bertugas
pada pengadilan tetentu selama belasan tahun dipersulit
permutasiannya. Pada sisi prestasi ada sebagian hakim yang memiliki
pendidikan tertinggi dinegeri ini di tempatkan pada pengadilan kelas
rendah dan hampa perkara. Untuk itu Mahkamah Agung harus
konsisten dalam penetapan permutasian baik mutasi tugas maupun
jabatan dengan melakuakan inventarisasi hakim prestasi dan lama
tugas, kemudian melakukan identifikasi yang pada akhirnya dilakukan
konklusi dalam penugasan para hakim tersebut.12
12 Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu Atap di Indonesia, ... h. 144
45
BAB IV
PERAN KOMISI YUDISIAL DALAM
MENEGAKKAN KELUHURAN MARTABAT HAKIM
A. Mekanisme pengawasan oleh Komisi Yudisial terhadap Hakim
Menurut kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan lebih
dominan disebabkan karena kelemahan kinerja, kualitas dan integritas
sebagai hakim, temasuk hakim agung. Kunci utama untuk memulihkan
kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan, Mahkamah Agung
harus melakukan upaya untuk meningkatkan kualitas dan kinerja serta
memperkokoh integritas hakim.
Sebagai peradilan negara tertinggi dari keempat lingkungan
peradilan yang berada dibawahnya, Mahkamah Agung mempunyai tugas
pengawasan tertinggi pula. Secara substansial ruang lingkup pengawasan
yang harus dilaksanakan oleh Mahkamah Agung meliputi organisasi,
administrasi dan finansial dilingkungan Mahkamah Agung sendiri dan
pada semua Badan Peradilan yang berada dibawah kekuasaannya.
Menurut
Pasal 32 Undang-Undang Nomor 14 1985 Tentang Mahkamah
Agung (yang tidak mengalami perubahan dalam UU Nomor 5
2004) ditentuak bahwa :
1. Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi
terhadap penyelenggaraan peradilan disemua lingkungan
peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman.
2. Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan
para hakim disemua lingkungan peradilan dalam
menjalankan tugasnya.
3. Mahkamah Agung berwenang untuk meminta keterangan
tentang hal-hal bersangkutan dengan teknis peradilan dari
semua lingkungan peradilan.
4. Mahkamah Agung berwenang memberikan petunjuk,
teguran, atau peringatan yang dipandang perlu kepada
pengadilan disemua lingkungan peradilan.
5. Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam
Ayat (1) sampai dengan Ayat (4) tidak boleh mengurangi
46
kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutuskan
perkara.1
Adapun disini fungsi Majelis Kehormatan Mahkamah Agung
sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 12 Ayat (2) Undang-Undang
Nomor 5 tahun 2004, dan Majelis Kehormatan Hakim sebagaiman diatur
dalam Pasal 20 Undang-Undang No.8 Tahun 2004 Tentang Peradilan
Umum dan Undang-Undang Lingkungan lainnya, apabila dipahami baik
secara tekstual maupun kontekstual kedua lembaga tersebut bukan
merupakan perangkat pengawasan tetapi sebagai lembaga yang disediakan
untuk pembelaan diri bagi hakim yang terancam hukuman, walaupun
demikian apabila struktur organisasi dan tata kerja Mahkamah Agung
yang baru nanti tidak secara jelas dan tegas membagi wilayah kerja antara
pengawasan struktural Mahkamah Agung dengan Majelis Kehormatan
Mahkamah Agung, maka tidak tertutup kemungkinan akan terjadi
tumpang tindih kewenangan.
Menurut Pasal 24B (1) Amandemen ketiga UUD 1945,
mengharuskan dibentuknya Komisi Yudisial , yang memiliki kewenangan
mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain
(pengawasan) dalam rangka menjaga dan menegakan kehormatan,
keluhuran martabat serta perilaku Hakim, baik hakim tingkat pertama dan
banding disemua lingkungan peradilan maupun Hakim Agung.2
Langkah-langkah sistem pengawasan yang dilakukan Komisi
Yudisial antara lain:
1. Komisi Yudisial merupakan monitoring yang intensif terhadap
kekuasaan kehakiman dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat
dalam spektrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring
secara internal.
1 Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu Atap DiIndonesia (Bandung : PT Refika Aditama,
2007) h.150-151 2 Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu Atap DiIndonesia, ... h.152-153
47
2. Komisi Yudisial menjadi perantara (mediator) atau penghubung antara
kekuaaan pemerintah (executive power) dan kekuasaan kehakiman
(judicial power) yang tujuan utamanya adalah untuk menjamin
kemandirian kekuasaan kehakiman dari pengaruh kekuasaan apa pun
juga khususnya kekuasaan pemerintah.
3. Dengan adanya Komisi Yudisial, tingkat efisiensi dan efektivitas
kekuasaan kehakiman (judicial power) akan semakin tinggi dalam
banyak hal, baik yang menyangkut pengrekrutan dan monitoring
hakim agung maupun pengelolan keuangan kekuasaan kehakiman.
4. Terjaganya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap
putusan memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah
lembaga khusus (Komisi Yudisial)
5. Dengan adanya Komisi Yudisial, kemandirian kekuasaan kehakiman
(judicial power) dapat terus terjaga, karena politisasi terhadap
perekrutan hakim agung dapat diminimalisasi dengan adanya Komisi
Yudisial yang bukan lembaga politik, sehingga diasumsikan tidak
mempunyai kepentigan politik.
Hal ini belum bekerja dengan baik karena pemilihan hakim agung
masih dipengaruhi oleh lembaga politik yaitu DPR. Berdasarkan Pasal 24
A Ayat (3) Undang-Undang 1945 DPR hanya menyetujui atau tidak calon
hakim agung yang telah dipilih oleh Komisi Yudisial seperti tertuang
dalam Pasal 13 huuf a Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang
perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi
Yudisial, sedangkan Pasal 18 angka 4 tahun 2011 tidak sejalan dengan
bunyi Undang-Undang 1945 amandemen tersebut.
Komisi Yudisial dalam tugasnya menjaga keluhuran dan martabat
lembaga peradilan, kode etik dan perilaku hakim jangan sampai
melakukan pemeriksaan terhadap teknis yuridis yang menjadi kewenangan
Mahkamah Agung RI yang melaksanakan tugas pengawasan tertinggi
terhadap lembaga peradilan di Indonesia. Komisi Yudisial harus tetap pada
komitmen menjaga kemadirian kekuasaan kehakiman sehingga hal-hal
48
yang bersifat teknis yuridis dalam memutus perkara menjadi kewenangan
hakim. Ketika memanggil seorang hakim menghadap ke Komisi Yudisial
hendaklah didalam surat panggilan terhadap hakim menyebutkan materi
dugaan jenis pelanggaran KEPPH yang telah dilakukan hakim tersebut.
Begitu juga ketika melontarkan pertayaan kepada hakim janganlah seperti
pertanyaan seorang interogator, menekan dan berprasangka curuga bahwa
hakim itu telah bersalah.
Putusan hakim yang menjadi dasar pemeriksaan tentang apakah
terdapat pelanggaran KEPPH yang dilakukan oleh hakim, tidaklah
mempertanyakan mengapa hakim tersebut memutus atau alasan-alasan
yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutus perkara tersebut. Jika
kondisi ini yang terjadi maka Komisi Yudisial memberikan kontribusi
yang baik terhadap wujudnya kemandirian kekuasaan kehakiman menuju
peradilan yang agung.3
Independen atau tidak pelaksanaan pengawasan bergantung kepada
personil penyelenggara pengawasan yang meliputi:
1. Objek Pengawasan
Objek pengawasan meliputi:
a. Masalah teknis peradilan, menyangkut penyelenggaraan atau
jalannya peradilan
b. Perbuatan dan tingkah laku hakim serta pejabat kepaniteraan dalam
menjalankan tugasnya
c. Administrasi peradilan. 4
2. Pelaksanaan pengawasan
Untuk memudahkan pemahaman atas objek kegiatan pengawasan itu
sebagai berikut:
3 Amran Suadi, Sistem Pengawasan Badan Peradilan di Indonesia Jakarta: Rajawali
Pers, 2014) h. 211-212 4 Amran Suadi, Sistem Pengawasan Badan Peradilan di Indonesia , ... h.200
49
a. Masalah teknis peradilan
Selain pengawasan melalui pemeriksaan perkara ditingkat banding
dan kasasi maupun melalui upaya hukum yang ada lainnya, maka
harus diperhatikan pula tentang kemampuan teknis seorang hakim
dalam menangani pemeriksaan (melalui berita acara dan
pengamatan dipersidangan) dan kualitas putusannya
Sampai eksekusi dari putusan itu. Untuk itu ketua pengadilan harus
mengamati kinerja para hakim dan pejabat kepaniteraan yang
diantaranya melakukan eksaminasi perkara, maupun penilaian
putusan tersebut. Itu semua harus dicatat dalam buku catatan
penilaian pelaksana tugas hakim/pejabat kepaniteraan.
Disamping itu dalam memeriksa perkara dalam tingkat banding
para hakim tinggi harus juga menilai kinerja hakim yang memutus
perkaranya dan meneliti apakah semua berjalan sebagaimana
mestinya atau tidak
b. Terhadap perbuatan hakim dan perilaku hakim serta pejabat
kepaniteraan
Kiranya terhadap perbuatan dan perilaku ini harus dibedakan
antara perbuatan dan perilaku yang dilakukan dalam kedinasan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan terhadap yang dilakukan dalam
kedinasan meliputi:
1) Prestasi kerja
2) Tanggung jawab terhadap tugasnya
3) Kesetiaan terhadap Pancasila
4) Kesetiaan terhadap Negara dan Pemerintahan
5) Kejujuran dalam melakukan tugasnya
6) Kerja samanya diantara sesama hakim/panitera dan karyawan
lainnya
7) Prakarsa terhadap pelaksanaan tugas
8) Dan yang terakhir kepemimpinannya.
50
Sedangkan bila dilakukan diluar kedinasan harus diperhatikan
adalah:
1) Tertib keluarganya
2) Hubungannya degan masyarakat termasuk hubungannya
dengan MUSPIDA (Musyawarah Pimpinan Daerah)
c. Terhadap Amninistrasi Peradilan
Kiranya perlu dibedakan antara tugas hakim dan pejabat
kepaniteraan. Bagi hakim yang harus diperhatikan dalam
pengawasan ini adalah:
1) Tertib pembuatan court calender (kegiatan persidangan) baik
meliputi perkara perdata maupun pidana.
2) Dari catatan kegiatan persidangan tersebut dapat disimak
sejauh mana rasa tanggung jawabnya. Sedangkan bagi pejabat
kepaniteraan yang menjadi objek pengawasan di bidang ini
adalah tertib registrasi perkara dan administrasi keuangan
perkara tertib pembuatan laporan bulanan dan tertib penataan
arsip perkara.5
B. Implementasi Kewenangan Komisi Yudisial dalam Pengawasan
terhadap Hakim
Komisi Yudisial dibentuk berdasarkan ketentuan Pasal 24B
Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004
Tentang Komisi Yudisial. Dibentuknya Komisi Yudisial ini
memperbanyak jumlah institusi negara yang mandiri dalam struktur
ketatanegaraan Indonesia.
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi
Yudisial menyatakan:
“Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat
mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari
campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainya.”
5 Henry P. Panggabean, Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktik Sehari-hari (Jakarta:
Sinar Harapan, 2001) h. 136-139
51
Dari ketentuan tersebut maka Komisi Yudisial merupakan lembaga yang
mandiri. Secara etimologis istilah mandiri berarti menjukan kemampuan
berdiri sendiri. Tidak adanya campur tangan dari kekuasaan lain atau
ketidak bergantungan suatu pihak kepada pihak lainnya dalam literatur
juga berarti independen.
Kedudukan Komisi Yudisial itu sangat penting, secara struktural
kedudukannya sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi. Akan tetapi secara fungsional peranannya bersifat penunjang
terhadap lembaga kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial meskipun
kekuasaannya terkait dengan kekuasaan kehakiman, tidak menjalankan
fungsi kekuasaan kehakiman. Komisi ini bukanlah lembaga penegak
norma hukum (code of law), melainkan lembaga penegak norma etik (code
of etic).
Walaupun Komisi Yudisial ditentukan sebagai lembaga yang
independen, tidak berarti bahwa Komisi Yudisial tidak diharuskan
bertanggung jawab oleh undang-undang.
Pasal 38 Undang-Undang Komisi Yudisial menentukan:
1. Komisi Yudisial tertanggung jawab kepada publik melalui
DPR.
2. Pertanggungjawaban kepada publik sebagaiman dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan cara:
a. Menerbitkan laporan tahunan;dan
b. Membuka akses informasi secara lengkap dan akurat.
3. Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
setidaknya memuat hal-hal sebagai berikut:
a. Laporan penggunaan anggaran;
b. Data yang berkaitan dengan fungsi pengawasan;dan
c. Data yang berkaitan dengan fungsi rekrutmen hakim
agung.
4. Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
disampaikan pula kepada presiden.
5. Keuangan komisi Yudisial diperiksa oleh Badan Pemeriksa
Keuangan menurut ketentuan undang-undang.
Dalam Pasal 24B Undang-Undang Dasar 1945 digunakan istilah
wewenang untuk menunjuk fungsi yang harus dilakuakan oleh Komisi
52
Yudisial. Penggunaan istilah wewenang menurut Tim Penyusun Naskah
Akademis Rancangan Undang-Undang Komisi Yudisial dari Mahkamah
Agung kurang tepat karena kata wewenang biasanya diartikan sebagai
hak-hak yang dimiliki seseorang atau suatu badan untuk menjalankan
tugasnya. Sementara fungsi Komisi Yudisial berarti dalam rangka apa
Komisi Yudisial dibentuk dan tugas menunjukan hal-hal apa yang wajib
dilakukan oleh suatu lembaga guna mencapai fungsi yang diharapkan.
Dalam Undang-Undang Komisi Yudisial digunakan istilah
wewenang dan tugas, tidak dijabarkan tentang fungsi Komisi Yudisial.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa wewenang mengandung
pengertian tugas dan hak. Menurut Bagir Manan, wewenang mengandung
makna kekuasaan yang ada pada organ, sedangkan tugas dan hak ada pada
pejabat dari organ.
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang
komisi Yudisial menyatakann“Komisi Yudisial mempunyai
wewenang:
1. Mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR;
dan
2. Menegakan kehormatan dan keluhuran martabat serta
menjaga perilaku hakim.”6
Selain itu juga, Komisi Yudisial juga memiliki kewenangan untuk
melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka
menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku
hakim. Untuk melaksanakan fungsi pengawasan Komisi Yudisial, dapat
dilihat dari
Pasal 22 Undang-Undang 22 Tahun 2004 sebagai berikut.
1. Menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim
2. Meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan
berkaitan dengan perilaku hakim
6 Surajuddin dan Zulkarnain, Komisi Yudisial dan Estimasi Publik ( PT Citra Aditya
bakti, 2006) h. 75-78
53
3. Melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran
perilaku hakim
4. Memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang
diduga melanggar kode etik perilaku hakim dan
5. Membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa
rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung
dan/atau Mahkamah Konstitusi, serta tindasannya
disampaikan kepada Presiden dan DPR.
Atas kewenangan pengawasan tersebut Komisi Yudisial juga
memiliki batasan dalam bertindak sesuai dengan pasal 22 Ayat (2)
Undang-Undang 22 Tahun 2004 yaitu, Mentaati norma, hukum, dan
ketentuan peraturan perundang-undangan dan juga menjaga kerahasiaan
keterangan yang karena sifatnya merupakan rahasia Komisi Yudisial yang
diperoleh berdasarkan kedudukannya sebagai anggota.
Pelaksanaan tugas Komisi Yudisial dalam hal ini fungsi
pengawasan tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa
dan memutus perkara. Karena jika substansi kebebasan kehakiman turut
mencampuri dengan pola pengawasan yang dilakukan berlebihan melalui
intervensi di proses persidangan maka salah satu sumber kekuasaan
kehakiman telah dihancurkan, dan dengan demikian pilar negara hukum
juga menjadi runtuh karenanya. Badan peradilan dan para hakim wajib
memberikan keterangan atau data yang diminta Komisi Yudisial dalam
rangka pengawasan terhadap perilaku dalam waktu paling lambat 14 hari
terhitung sejak tanggal permintaan oleh Komisi Yudisial diterima. Dalam
hal badan peradilan atau hakim tidak memenuhi kewajiban yang di
mintakan Komisi Yudisial, maka Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi memberikan penetapan berupa paksaan kepada badan peradilan
atau hakim untuk memberikan keterangan atau data yang diminta oleh
komisi yudisial.
Fungsi pengawasan secara represif yang dilakukan Komisi
Yudisial terhadap Mahkamah Agung menimbulkan perselisihan dengan
puncak dikeluarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman yang mengatur mengenai pengawasan internal dan
54
pengawasan eksternal terhadap perilaku hakim. Hal tersebut sebagaimana
diatur dalam Pasal 39 Ayat (3) yang menentukan bahwa pengawasan
internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung. Pasal
40 Ayat (1) menentukan bahwa dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dilakukan
pengawasan eksternal yang dilakukan oleh Komisi Yudisial.7
Hakim dikatakan melakukan pelanggaran kode etik, apabila hakim
dengan sengaja hakim melakukan kolusi dengan siapapun yang berkaitan
dengan perkara yan akan dan sedang ditangani, menerima sesuatu
pemberian atau janji dari pihak-pihak yang berpekara, membicarakan
suatu perkara yang ditanganinya diluar acara persidangan, mengeluarkan
pendapat atas suatu kasus yang ditanganinya baik dalam persidangan
maupun diluar persidangan mendahului putusan.
Salah satu kewenanagan Komisi Yudisial adalah menjaga dan
menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim. Hal yang telah ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2011 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004
Tentang Komisi Yudisial. Dalam rangka melaksanakan kewenangan
tersebut Komisi Yudisial melakukan langkah-langkah lain yaitu:
1. Melakukan pemantauan dan pengawasan perilaku hakim
2. Menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggran Kode
Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim
3. Melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan
dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim
4. Memutuskan benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran Kode Etik
dan/atau Pedoman Perilaku Hakim
5. Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang
perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan
kehormatan dan keluhuran martabat hakim.
7 Helmi Nuky Nugroho, Dinamika Wewenang Komisi Yudisial Ditinjau Dari Perspektif
Undang-Undang Komisi Yudisial, Kosmik Hukum, Volume 17 Nomor 2 Juni 2017, h. 100-101
55
Masyarakat dapat berpartisipasi dalam rangka menjaga dan
menegakan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim dengan
melaporkan dugaan pelanggrana Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
ke Komisi Yudisial. Persyaratan dan tata cara laporan adalah sebagai
berikut:
1. Laporan ditulis dalam bahasa Indonesia ditujukan kepada Ketua
Komisi Yudisial
2. Menyebutkan dan melampirkan identitas Pelapor/Kuasa Pelapor
3. Menyebutkan identitas Terlapor
4. Menguraikan jenis dan/atau modus dugaan pelanggaran Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim
5. Melampirkan bukti pendukung laporan (putusan, penetapan, rekaman
dan seterusnya
6. Surat kuasa khusus untuk melaporkan ke Komisi Yudisial dalam hal
pelapor bertindak untuk atas nama seseorang.
Adapun jenis Dugaan Pelanggaran Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim dapat dikelompokan menjadi 3 (tiga), yaitu:
1. Perilaku kedinasan
Perilaku dalam kedinasan dapat meliputi perilaku hakm dalam
melaksanakan tugasnya atau dalam persidangan, apakah telah sesuai
dengan Kode Etik/Pedoman Perilaku Hakim, Hukum acara peraturan
perundang-undangan.
2. Perilaku penyimpangan dalam membuat putusan
Putusan seharusnya mencerminkan fakta yang terungkap dalam
persidangan, beberapa modus dugaan pelanggaran/penyimpangan
dalam putusan misalnya terdapat rekayasa, pemutus balikan,
mengubah dan/atau menghilangkan fakta maupun alat bukti yang
terungkap dalam persidangan.
56
3. Perilaku murni
Perilaku murni adalah dugaan penyimpangan perilaku hakim baik di
dalam kedinasan atau di luar kedinasan misalnya meliputi: dugaan
pemerasan, pungutan liar/biaya tidak resmi, penyuapan, selingkuh,
penyalahgunaan narkotika, perilaku yang bertentangan dengan norma
masyarakat/agama dan lain-lain.8
Sedangkan wewenang Mahkamah Agung terdapat dalam Pasal
24A Ayat (1) UUD 1945 sudah dijelaskan sebelumnya bahwa Mahkamah
Agung berwenang mengadili tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-
undangan dibawah undang-undang terhadap Undang-Undang, dan
mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
Adapun objek pengawasan Mahkamah Agung adalah:
1. Masalah teknis peradilan menyangkut penyelenggaraan atau jalannya
peradilan
2. Perbuatan dan tingkah laku hakim serta pejabat kepaniteraan dalam
menjalankan tugas mereka dan
3. Administrasi peradilan. 9
Mahkamah Agung RI melakukan pengawasan tertinggi terhadap
penyelenggaraan peradilan disemua badan peradilan yang berada dibawah
Mahkamah Agung dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman (Pasal
39 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang kekuasaan
kehakiman (Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman)). Mahkamah Agung
RI berwenang melakukan pengawasan tertinggi terhadapa pelaksanaan
tugas administrasi dan keuangan. (Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman). Bahwa pengawasan internal terhadap tingkah
laku hakim adalah kewenangan Mahkamah Agung. (Pasal 39 Ayat (3)
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman). Ditegaskan bahwa segala
bentuk pengawasan dan kewenangan Mahkamah Agung tersebut tidak
8 Amran Suadi, Sistem Pengawasan Badan Peradilan di Indonesia , ... h.202-203 9 https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt580fd463233f4/perbedaan-
kewenangan-ma-dengan-ky-dalam-pengawasan-hakim Diakses pada: 11 Mei 2019, pukul 12.23
57
boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus
perkara (Pasal 39 Ayat (4) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman).
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 maka
orgaisasi, administrasi dan finansial seluruh badan peradilan berada
dibawah kekuasaan Mahkamah Agung. Hal ini juga membawa perubahan
terhadap kedudukan dan fungsi pengawasan Mahkamah Agung. Diberikan
tenggat waktu kepada Mahkamah Agung paling lambat 12 bulan terhitung
sejak Undang-Undang tersebut diundangkan yaitu tanggal 15 Januari 2004
untuk menyusun organisasi dan tata kerja yang baru dilingkungan
Mahkamah Agung. Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2004 menentukan bahwa pimpinan Mahkamah Agung terdiri dari seorang
Ketua dan 2 (dua) Wakil Ketua dan bebrapa orang Ketua Muda. Pasal 5
Ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 menentukan bahwa Wakil
Ketua Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) terdiri dari
Wakil Ketua Bidang Yudisial dan Wakil Ketua Non-Yudisial. Pada Ayat
(5) ditentukan bahwa Wakil Ketua Bidang Non-Yudisial membawahi
Ketua Muda Pembinaan dan Wakil Ketua Pengawasan.
Lebih lanjut Pasal 25 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2004 menentukan bahwa pada Mahkamah Agung ditetapkan adanya
Sekretariat yang dipimpin oleh seorang Sekertaris Mahkamah Agung.
Pada Ayat (3) ditentukan bahwa pada Sekretariat Mahkamah Agung
dibentuk oleh Direktur Jendral dan Kepada Badan. Sejak saat itu terdapat
Badan yang bertugas untuk melakukan Pengawasan Fungsional di
Mahkamah Agung dan seluruh Badan Peradilan dibawahnya dengan nama
Badan Pengawasan Mahkamah Agung yang akan disebut badan pengawas.
Tugas pengawasan dan pemantauan ini diberikan kepada Badan
Pengawas dengan kewenangan yang memadai serta kewibawaan
dihadapan badan-badan peradilan dibawahnya. Sistem pengelolaan
pengaduan dapat digabungkan dengan sistem pengelolaan pengaduan
secara umum, namun jelas dan terorganisasi dengan sistem pengelolaan
dan pelayanan informasi.
58
Tugas badan pengawasan adalah membantu Sekretaris Mahkamah
Agung dalam melaksanakan pengawasan terhadap pelaksana tugas di
lingkungan Mahakamah Agung dan peradilan disemua lingkungan
peradilan. Fungsi badan pengawasan adalah menyiapkan perumusan
kebijakan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas di lingkungan
Mahkamah Agung dan Pengadilan disemua lingkungan Peradilan. Dan
melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dilingkungan
Mahkamah Agung dan peradilan disemua lingkungan Peradilan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 14 Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2005 tersebut
mengatur bahwa Badan Pengawasan dipimpin oleh seorang Kepala yang
berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Sekretaris Mahkamah
Agung. Pasal 15 menjelaskan bahwa Badan Pengawasan mempunyai tugas
membantu Sekretaris Mahkamah Agung dan melaksanakan pengawasan
terhadap pelaksanaan tugas dilingkungan Mahkamah Agung dan peradilan
di semua lingkungan peradilan. Lebih lanjut Pasal 16 mentukan bahwa
dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Badan
Pengawasan penyelenggarakan fungsi sebagai berikut:
1. Penyiapan perumusan kebijakan pengawasan terhadap pelaksanaan
tugas dilingkungan Mahkamah Agung dan Peradilan di semua
lingkungan peradilan
2. Pelaksanaan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas di lingungan
Mahkamah Agung dan peradilan disemua lingkungan peradilan semua
dengan ketentuan peaturan perundang-undangan yang berlaku
3. Pelaksanaan administrasi Badan Pengawasan.10
Untuk kewenangan yang pertama Komisi Yudisial akan
bersinggungan dengan DPR sebagai lembaga yang memilih calon hakim
agung, Presiden yang akan menetapkan hakim agung, dan MA. Untuk
kewenangan kedua, Komisi Yudisial akan bersinggungan dengan MA dan
10 Ahmad Mujahidin, peradilan Satu Atap DiIndonesia, ... h. 197-199
59
MK sebagai lembaga yang akan menjadi objek pengawasan. Kewenangan
kedua inilah yang sekarang telah menimbulkan sengketa antara KY
dengan MA. Keberadaan Komisi Yudisial telah membuat para hakim di
seluruh negeri ini, termasuk hakim agung merasa terusik karena kinerja
KY dalam pengawasan dinilai telah menganggu kinerja mereka. Sejak
anggota KY dilantik dan mulai bekerja pada Agustus 2005 lalu hubungan
KY - MA belum pernah menunjukkan keharmonisan. Bahkan, yang
terlihat sebaliknya. KY langsung dihadapkan pada pengaduan kasus
penyimpangan sidang Pilkada Depok. Setelah melihat adanya kesalahan,
rekomendasi sanksi bagi para hakim PT Jawa Barat yang menangani
dilayangkan ke MA. Awal dan pokok persoalan yang memicu perseteruan
kedua lembaga tersebut sebenarnya adalah perbedaan penafsiran yurisdiksi
tugas pengawasan perilaku hakim. MA menganggap bahwa yang
dimaksud pengawasan perilaku tidak termasuk pengawasan atas putusan
hakim (dan eksekusi putusan). Pengawasan terhadap putusan (teknis
yudisial) adalah wewenang MA. Sebab, jika hal tersebut dilakukan oleh
KY dapat mengancam Independensi hakim. Dalam batas tertentu, alasan
ini dapat dimengerti. Apalagi ada kekhawatiran lain bahwa nantinya bisa
jadi KY ditempatkan selayaknya lembaga banding jika ada ketidakpuasan
pencari keadilan atas suatu putusan. Pada gilirannya hal ini akan merusak
sistem dan melahirkan ketidakpastian hukum. KY memandang bahwa
sudah selayaknya pengawasan terhadap putusan masuk dalam wilayah
kerja mereka. Pertimbangannya analog dengan apa yang selama ini sering
diungkapkan hakim: hanya dengan memegang berkas putusan seorang
hakim senior dapat mengetahui apakah hakim 'main' dalam memutus
perkara.
Kewenangan Komisi Yudisial sebagaimana tercantum dalam Pasal
13 huruf (b) yaitu, menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta
menjaga perilaku hakim! Selanjutnya untuk melaksanakan wewenang
sesuai dengan Pasal 13 huruf (b) tersebut, Komisi Yudisial diberi tugas
melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka
60
menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku
hakim (Pasal 20 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004). Pasal 32 Ayat
(1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung
menegaskan bahwa, Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertlnggi
terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam
menjalankan kekuasaan kehakiman. Ayat (2) menyatakan bahwa,
Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan para hakim di
semua lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya. Dengan
kewenangan itu, masyarakat menaruh harapan besar kepada Komisi
Yudisial untuk memperkuat dan menyelamatkan agenda reformasi di
peradilan. Karena Itu, lembaga yang lebih tepat melakukan pengawasan
terhadap perilaku hakim, adalah Komisi Yudisial. Sebab, ini merupakan
bentuk kesadaran bahwa pengawasan objektif terhadap kekuasaan
kehakiman hanya dapat dilakukan dengan cara melibatkan unsur-unsur
masyarakat seluas-luasnya, bukan hanya pengawasan secara intemal agar
terhindar dari semangat korps, menipulasi, dan distorsi.
Hubungan KY dengan MA semakin renggang ketika Bagir Manan
menolak memenuhi panggilan KY terkait dengan kasus Probosutedjo.
Kemudlan KY mengeluarkan gagasan seleksi ulang hakim agung dengan
instrumen Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
Perseteruan semakin meruncing manakala beberapa media massa
memberitakan bahwa 13 hakim agung dianggap bermasalah. Pemberitaan
tersebut telah membuat kamarahan MA, dan melaporkan ketua KY ke
Kepolisian dengan tuduhan pencemaran nama baik. Tensi perseteruan
tersebut agak mengendur saat hakim agung Artidjo Alkostar melakukan
perdamaian dengan Ketua KY Busyro Muqoddas. Nampaknya,
perdamaian Artidjo Alkostar dengan Busyro Muqoddas serta pembentukan
tim fasilitator berkurang maknanya ketika 40 hakim agung mengajukan ujl
materiil terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial Kedua, tentang kewenangan pengawasan KY. Menunut mereka,
secara universal kewenangan pengawasan KY tidak mencakup hakim
61
agung pada MA. Karena, KY adalah mitra MA dalam melakukan
pengawasan terhadap para hakim pada badan peradilan yang ada di bawah
MA. Berdasarkan uraian di atas muncul pertanyaan, bagaimana
menyelesaikan sengketa kewenangan antara Komisi Yudisial dengan
Mahkamah Agung dalam pengawasan perliaku hakim. Apakah Mahkamah
Konstitusi mempunyai wewenang untuk menyelesaikan sengketa antara
KY dan MA. Mahkamah Konstitusi (MK) adalah sebuah lembaga negara
yang dibentuk setelah adanya Perubahan UUD 1945 mempunyai
wewenang antara lain memutus sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh UUD (Pasal 24C). Dengan
dibentuknya MK, maka ada satu mekanisme penyelesaian sengketa antar
lembaga negara melalui instrumen pengadiian, yang diharapkan setiap
sengketa dapat diselesaikan dengan sandaran hukum yang memadai.
Kewenangan MK tersebut lebih diperjeias dalam Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 Pasal 61, yang menyatakan pemohon adalah lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang mempunyai kepentingan langsung terhadap
kewenangan yang dipersengketakan. Kemudian dalam Pasal 63
ditegaskan, MK dapat mengeluarkan penetapan yang mementahkan pada
pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan
kewenangan yang diper sengketakan sampai ada putusan MK. ke
Mahkamah Konstitusi. Dijelaskan dalam surat permohonan bahwa, Pasal 1
angka 5, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 Ayat (1) huruf e angka 5, Pasal 23
Ayat (2,3 dan 5), Pasal 24 Ayat (1) dan Pasal 25 ayat (3) Undang-Undang
Komisi Yudisial bertentangan dengan Pasal 24B UUD 1945. Dalam
permohonan, terdapat dua alasan yang mendasari para hakim agung
mengajukan judicial review.
Tentang pengaturan hakim yang memuat mereka, kata hakim
dalam Pasal 24B UUD 1945 bukanlah seluruh hakim. Berkaitan dengan
sengketa yang dapat diajukan ke MK, UUD telah mengatur dan memberi
batasan secara tegas yaitu, pertama, menyangkut sengketa kewenangan.
62
Pokok sengketa yang dapat diajukan ke MK adalah sengketa kewenangan,
bukan sengketa yang lain. Adapun sumber kewenangan yang
disengketakan bisa saja diperoleh baik dari UUD maupun dari peraturan-
peraturan Iain, dan juga yang bersengketa adalah lembaga negara dan
lembaga negara yang dimaksud hanyalah lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD. Dengan demikian, lembaga negara
yang memperoleh kewenangan dari selain UUD tidak dapat mengajukan
permohonan sengketa kewenangan antar lembaga negara di MK.
Sengketa antara KY dengan MA sepatutnya diselesaikan secara
hukum bukan melalui percakapan perseorangan di dalam kedua lembaga
tersebut, karena hal ini menyangkut persoalan kewenangan kelembagaan
negara bukan konflik antara orang perseorangan, sehingga penyelesaian
yang dilakukan juga harus berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh
undang-undang. Akan tetapi kalau sengketa antara KY dengan MA dibawa
ke MK, akan muncul persoalan baru, karena MA adalah satu-satunya
lembaga negara yang dikecualikan dari kemungkinnan menjadi pihak
dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional sebagaimana
ditentukan oleh Pasal 65 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. Pasal ini
menentukan, Mahkamah Agung tidak dapat menjadi pihak dalam sengketa
kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Mahkamah
Konstitusi. Ironis memang. MK dibentuk untuk menyelesaikan sengketa
kewenangan lembaga negaratetapi ternyata MK tidak dapat
menyelesaikannya karena kendala.
Yuridis yang diciptakan pihak legislator. Tidak begitu jelas alasan
mengapa MA dikecualikan dalam hal ini, kecuali bahwa dalam proses
pembahasan rancangan undang-undang tentang MK berkembang
pengertian bahwa MA merupakan lembaga kekuasaan kehakiman yang
bersifat independen dan putusannya juga bersifat final dan mengikat. Jika
terhadap putusan kasasi MA akan digugat kembali, maka satu-satunya
63
mekanisme yang tersedia adalah melalui lembaga peninjauan kembali
putusan.
Di samping itu, dalam naskah akademis rancangan undang-undang
KY halaman 45 yang dibuat oleh MA pada 2003 dikatakan bahwa salah
satu dari lima tugas KY dalam fungsinya untuk menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim adalah pengawasan
dan pendisiplinan hakim (termasuk hakim agung). Dalam penjelasan
footnote-nya, kata menjaga dalam Pasai 24B UUD 1945 diwujudkan
dalam tugas pengawasan sedangkan kata menegakkan diwujudkan dalam
tugas pendisiplinan atau menjatuhkan sanksi disipiin. Seiain itu, pada
haiaman 58 disebutkan redaksional yang digunakan Pasal 24B
amandemen Ketiga adanya perbedaan penafsiran terhadap bunyi Pasal
24B UUD 1945. Kemudian muncul pertanyaan, siapakah pihak yang
berwenang melakukan penafsiran terhadap UUD 1945. Sebagaimana telah
dijelaskan di atas, yang menjadi objek sengketa antar lembaga negara
dalam rangka jurisdiksi Mahkamah Konstitusi adaiah persengketaan
mengenai kewenangan konstitusionai antar Iembaga negara. Isu pokoknya
bukan terletak pada kelembagaan Iembaga negaranya, melainkan terletak
pada kewenangan konstitusionai yang dalam pelaksanaannya, apabila
timbul sengketa penafsiran antara satu sama lain, maka yang berwenang
memutuskan Iembaga mana yang sebenarnya memiliki kewenangan yang
dipersengketakan tersebut adaiah Mahkamah Konstitusi.
Di samping itu, Mahkamah Konstitusi sebagai organ konstitusi,
didesain untuk menjadi pengawal dan sekaligus penafsir terhadap Undang-
Undang Dasar melalui putusan-putusannya. Untuk itu, lembaga yang
berwenang untuk menyelesaikan sengketa kewenangan antara Komisi
Yudlsial dengan Mahkamah Agung dalam pengawasan perilaku hakim
adalah Mahkamah Konstitusi. Mengenai pembatasan yang ditentukan
menurut ketentuan Pasai 65 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tersebut di atas, sebenarnya agak berlebihan. Sudah seharusnya Mahkamah
Agung tidak perlu dikecualikan sebagai pihak daiam sengketa kewenangan
64
lembaga negara. Untuk itu, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tersebut harus di Amandemen, sehingga mekanisme penyelesaian sengketa
antara KY dengan MA dapat diselesaikan melalui jalur konstitusional.11
Kasus konflik Mahkamah Agung atas seleksi hakim namun DPR
ikut bertanggung jawab. Para hakim yang bergabung dalam Ikatan Hakim
Indonesia (Ikahi) membonsai atau mengkerdilkan kewenangan Komisi
Yudisial dalam seleksi tingkat petama ke Mahkamah Konstitusi. Menurut
Ikahi, seleksi hakim tingakt pertama merupakan kewenangan penuh
Mahkamah Agung, padahal Komisi Yudisial juga berwenang sesuai
Undang-Undang.
Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Indepedensi Peradilan (LeIP)
menjelaskan, Konflik antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial ini
disebabkan karena tidak adanya kepastian hukum yang mengatur tentang
seleksi hakim tingkat pertama.
Menurut peneliti LeIP sejauh ini peran Komisi Yudisial diberikan
untuk menyeleksi hakim agung oleh Undang-Undang Dasar 1945,
sedangkan untuk hakim tingkat pertama diatur oleh Undang-Undang.
Maka dari itu pemerintah dan DPR harus merevisi Undang-Undang
Kekuasaan Kehakiman agar tidak ada konflik seperti ini lagi. Namun
menurut salah satu Hakim Agung Prof Dr Gayus Lumbuun menyatakan
bahwa tidak semua hakim agung setuju dengan “pengkerdilan” Komisi
Yudisial, hakim agung Gayus Lambuun memilih bersebrangan dan
menyatakan ini tidak tepat. Mempersoalkan Komisi Yudisial dalam ikut
menseleksi calon hakim agung bukan domain Ikahi sebagai organisasi
hakim melainkan domain Mahkamah Agung disamping adanya indikasi
menolak unsur pengawasan oleh Komisi Yudisial.12
Adapun kasus lainnya adalah Ketua Bidang Hubungan Antar
Lembaga dan Layanan Informasi Komisi Yudisial ( KY) Farid Wajdi
11 Riri Nazriyah, Sengketa Lembaga Negara Antara Komisi Yudisial Dengan Mahkamah
Agung, Jurnal Hukum Nomor. 1 Volume 13 Januari 2006, h. 96-101 12
https://m.detik.com/news/berita/2882697/konflik-ma-ky-soal-seleksi-hakim-dpr-
diminta-ikut-bertanggung-jawab diakses pada: 7 Mei 2019, pukul 32.34
65
mengatakan, sejak 2015 hingga 2018, KY menerima 6.368 laporan
masyarakat terkait pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim
(KEPPH). Sepanjang 2015 sampai 2018, KY menerima 6.368 laporan dari
masyarakat terkait dugaan pelanggaran KEPPH. Tidak semua laporan
dapat dilakukan proses sidang pemeriksaan panel atau pleno karena
laporan yang masuk perlu diverifikasi kelengkapannya, apakah telah
memenuhi syarat administrasi dan substansi untuk dapat diregistrasi.
Laporan yang dapat diregistrasi pada 2015 sebanyak 440 laporan, pada
2016 sebanyak 416 laporan, 2017 ada 411 laporan, dan pada 2018
sebanyak 412 laporan.
Penyebab rendahnya persentase laporan masyarakat yang dapat
diproses karena kurangnya persyaratan yang harus dilengkapi, laporan
bukan kewenangan KY dan minta diteruskan ke instansi lain atau Badan
Pengawasan Mahkamah Agung. Alasan lainnya karena banyak laporan
berisi permohonan untuk dilakukan pemantauan persidangan. Sepanjang
2015 sampai 2018, KY merekomendasikan penjatuhan sanksi kepada 324
hakim terlapor. Rinciannya, 116 hakim terlapor pada 2015, 87 hakim
terlapor pada 2016, 58 hakim terlapor di 2017, dan 63 hakim terlapor pada
2018. Keberhasilan capaian sasaran strategis, lanjut dia, diukur dengan
cara menghitung penurunan jumlah penjatuhan sanksi yang diusulkan pada
tahun berjalan dengan tahun sebelumnya. Pada periode 2015 hingga 2017
target tercapai karena terjadi penurunan pelanggaran KEPPH yang cukup
signifikan. Tapi di 2018 terjadi kenaikan usulan sanksi hakim yang
melanggar KEPPH.
Meningkatnya jumlah laporan masyarakat ini disebabkan naiknya
pemahaman masyarakat terkait wewenang dan tugas KY dalam melakukan
pengawasan hakim. Juga telah dibangunnya pelaporan online yang
memudahkan masyarakat menyampaikan laporannya. Permasalahan yang
sering terjadi terkait rekomendasi sanksi KY adalah MA tidak
melaksanakan sebagian usul sanksi. Tumpang tindih penanganan tugas
pengawasan antara KY dan MA, ini menjadi problem yang dihadapi.
66
Berdasarkan data 2016-2018, dari 208 rekomendasi sanksi yang
dijatuhkan KY, sebanyak 32 laporan yang ditindaklanjuti MA. Sebanyak
34 laporan diusulkan untuk dilakukan pemeriksaan bersama, dan 142
laporan tidak dapat ditindaklanjuti MA. Kalau dipersentasekan, usul
rekomendasi KY yang telah ditindaklanjuti MA sebanyak 15 persen,
rekomendasi yang diusulkan untuk dibahas pada pemeriksaan bersama
sebesar 16 persen, dan rekomendasi yang belum ditidaklanjuti MA sebesar
68 persen.
Ada banyak faktor penyebab, seperti belum adanya harmonisasi
peraturan perundang-undangan berkaitan dengan wewenang dan tugas
yang diatur dalam undang-undangan KY dengan undang-undangan lain
yang terkait. Selain itu, belum optimalnya koordinasi dan kerjasama KY
dan MA. Hasil evaluasi rencana strategi (renstra) 2015 sampai 2019
Komisi Yudisial, disepakati sasaran renstra 2020-2024 akan tetap fokus
pada terwujudnya hakim yang komitmen melaksanakan Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). 13
13
https://regional.kompas.com/read/2019/03/13/23074761/dari-2015-hingga-2018-ky-
terima-6368-laporan-terkait-perilaku-hakim Diakses pada: 11 Mei 2019 pukul 13.04
67
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan yang disampaikan, untuk
mengakhiri pembahasan dalam penelitian ini maka kesimpulan sebagai
berikut:
1. Mekanisme Pengawasan Komisi Yudisial merupakan monitoring yang
intensif terhadap kekuasaan kehakiman dengan melibatkan unsur-
unsur masyarakat dalam spektrum yang seluas-luasnya dan tidak hanya
sebagai monitoring secara internal, Komisi Yudisial menjadi perantara
(mediator) atau penghubung antara kekuaaan pemerintah (executive
power) dan kekuasaan kehakiman (judicial power) yang tujuan
utamanya adalah untuk menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman
dari pengaruh kekuasaan apa pun juga khususnya kekuasaan
pemerintah, Dengan adanya Komisi Yudisial, tingkat efisiensi dan
efektivitas kekuasaan kehakiman (judicial power) akan semakin tinggi
dalam banyak hal, baik yang menyangkut pengrekrutan dan
monitoring hakim agung maupun pengelolan keuangan kekuasaan
kehakiman, Terjaganya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena
setiap putusan memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari
sebuah lembaga khusus (Komisi Yudisial dan dengan adanya Komisi
Yudisial, kemandirian kekuasaan kehakiman (judicial power) dapat
terus terjaga, karena politisasi terhadap perekrutan hakim agung dapat
diminimalisasi dengan adanya Komisi Yudisial yang bukan lembaga
politik, sehingga diasumsikan tidak mempunyai kepentigan politik.
2. Implementasi Kewenangan Komisi Yudisial untuk melaksanakan
fungsi pengawasan merupakan upaya untuk mengatasi berbagai bentuk
penyalahgunaan wewenang di lembaga peradilan yang dimulai dengan
mengawasi kode etik dan perilaku hakim, agar para hakim menunjung
68
tinggi kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim di
Indonesia penegakan hukum dilakukan oleh hakim. Hal yang telah
ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial.
B. Rekomendasi
Berdasarkan beberapa kesimpulan diatas peneliti memberikan beberapa
rekomendai yaitu:
1. Dalam hal ini kewenangan Komisi Yudisial harus mempertegas ranah
yang dimiliki Komisi Yudisial dalam pengawsan hakim yang sebagai
mana sudah tercantum dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011
tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial.
2. Komisi Yudisial harus memberikan kepercayaan kepada masyarakat
terhadap kinerja dalam mengawasi hakim agar hakim tidak melakukan
perbuatan tercela didalam maupun diluar pengadilan disebabkan
karena kelemahan saat pengrektutan hakim tidak diseksi dengan baik.
Komisi Yudisial harus melakukan upaya untuk meningkatkan kualitas
dan kinerja serta memperkokoh pengawasan terhadap hakim.
3. Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung harus optimal dalam
koordinasi dan kerjasama agar dapat menjalin hubungan yang
harmonis dalam mengawasi hakim sesuai dengan kode etik dan
pedoman perilaku hakim.
69
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku
Akbar Patrialis , Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun
1945 (Jakarta : Sinar grafika Offset, 2013)
Asshiddiqie Jimly, Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan (Jakarta:
Lembaga studi dan advokasi masyarakat 2004)
Asshiddiqie Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2009)
Huda Ni’matul, Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2012)
Ibrahim Johny, Teori dan Metodologi penelitian Hukum Normatif
(Malang: Bayumedia Pubblishing, 2008) Kansil C.S.T Pokok-
Pokok Etika Profesi Hukum (Jakarta: PT Pradnya Paramita 2003)
informasi, 2013)
Koesnoe M., Kedudukan dan Tugas Hakim menurut Undang- Undang
1945(Surabaya:UBHARA PRESS 1998)
Marpaung Lintje Anna, Hukum Tata Negara Indonesia (Yogyakarta:
Andi, 2018)
Muhammad Abdulkadir, Etika Profesi Hukum (Bandung: PT Citra Aditya
Bakti 2006)
Marzuki Peter Mahmud, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2008)
Mujahidin Ahmad, Peradilan Satu Atap di Indonesia (Bandung: PT Refika
Aditama, 2007) Republik Indonesia pasca Amandemen UUD
1945 (Jakarta, Prestasi Pustaka Publisher 2007)
Suadi Amran, Sistem Pengawasan Badan Peradilan di Indonesia (Jakarta:
2014)
Surajuddin dan Zulkarnain, Komisi Yudisial dan Estimasi Publik ( PT
Citra Aditya bakti, 2006)
Supiadi, Etika dan tanggung jawab Profesi Hukum di indonesia (Jakarta:
Sinar Grafika 2006)
Tutik Titik Triwulan, Eksitensi, kedudukan dan wewenang Komisi Yudisial
70
sebagai Lembaga Negara dalam Sistem ketatanegaraan Republik
Indonesia pasca Amandemen UUD 1945
Tutik Titik Triwulan , Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia
pasca Amandemen UUD 1945 (Jakarta: Kencana, 2011)
Panggabean Henry P., Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktik Sehari-
hari (Jakarta: Sinar Harapan, 2001)
Yasin Muhamad, Panduan Bantua Hukum di Indonesia (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2014)
2. Peraturan Perundang-undangan
Komisi Yudisial, Bunga Rampai Komisi Yudisial dan Reformasi
Peradilan ( Jakarta : Komisi Yudisial Republik Indonesia )
Komisi Yudisial Republik Indonesia , Dialektika Pembruan Sistem
Hukum Indonesia , (Jakarta, Sekertaris jendral Komisi Yudisial
Republik Indonesia, 2012)
Komisi Yudisial RI, Optimalisasi Wewenang Komisi Yudisial dalam
Mewujudkan Hakim Berintegritas (Jakarta: Sekretariat Jenderal
Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2016)
Komisi Yudisial Republik Indonesia, Risalah Komisi Yudisial Republik
Indonesia, (Jakarta, Pusat Akademis dan layanan
Mahkamah Agung RI, Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035,
(Jakarta: 2010)
3. jurnal
Achmad Safiudin R, Pengawasan Komisi Yudisial Terhadap Hakim
Mahkamah Konstitusi Perspektif Fiqh Siyasah, Al-Daulah,
Volume 6 Nomor 1 April 2016
Agus Iskandar pp, Hubungan Pengawasan oleh Mahkamah Agung
dengan Komisi Yudisial Terhadap Perilaku Hakim , Keadilan
Progresif, Volume 5 Nomor 1 Maret 2014
Helmi Nuky Nugroho, Dinamika Wewenang Komisi Yudisial Ditinjau
Dari Perspektif Undang-Undang Komisi Yudisial, Kosmik Hukum,
Volume 17 Nomor 2 Juni 2017
Nur Ahsan Saifurizal, Komisi Yudisial dalam Mengawasi Hakim
71
Perspektif Peradilan Islam, In Right, Volume 2 Nomor 2 Mei 2013
Rahmatullah Indra, Rejuvisasi Sistem Checks and Balances dalam Sistem
Ketatanegaraan di Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia, Cita Hukum volume I Nomor 2 2013
Riri Nazriyah, Sengketa Lembaga Negara Antara Komisi Yudisial Dengan
Mahkamah Agung, Jurnal Hukum Nomor. 1 Volume 13 Januari
2006
Syarif Hidayat, Studi Kontraksi Tugas dan Fungsi Hakim di Pengadilan
Agama, Institut Agama Islam Bani Fattah Jombang Indonesia,
Tafaqquh volume 4 nomor 2 2016
4. Website
http://www.komisiyudisial.go.id/frontend/static_content/history
https://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Yudisial_Republik_Indonesia
https://m.detik.com/news/berita/2882697/konflik-ma-ky-soal-seleksi-
hakim-dpr-diminta-ikut-bertanggung-jawab
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt580fd463233f4/perbe
daan-kewenangan-ma-dengan-ky-dalam-pengawasan-hakim
https://regional.kompas.com/read/2019/03/13/23074761/dari-2015-hingga-
2018-ky-terima-6368-laporan-terkait-perilaku-hakim