pengaruh variasi waktu dan suhu proseseprints.ums.ac.id/71154/5/naskah publikasi.pdf · bahan...

21
PENGARUH VARIASI WAKTU DAN SUHU PROSES THERMOPRESSING PADA PENGEMBANGAN BIODEGRADABLE FOAM BERBASIS TAPIOKA DAN α- SELULOSA KULIT SINGKONG Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I pada Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Oleh: MAHARNI PUTRI PARAMITA D500140093 PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2019

Upload: phamdung

Post on 19-Jul-2019

300 views

Category:

Documents


15 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENGARUH VARIASI WAKTU DAN SUHU PROSESeprints.ums.ac.id/71154/5/Naskah Publikasi.pdf · Bahan tambahan seperti dioktil ptalat (DOP), butyl hidroksi toluene, atau n- butyl stearate

PENGARUH VARIASI WAKTU DAN SUHU PROSES

THERMOPRESSING PADA PENGEMBANGAN

BIODEGRADABLE FOAM BERBASIS TAPIOKA DAN α-

SELULOSA KULIT SINGKONG

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I

pada Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik

Oleh:

MAHARNI PUTRI PARAMITA

D500140093

PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2019

Page 2: PENGARUH VARIASI WAKTU DAN SUHU PROSESeprints.ums.ac.id/71154/5/Naskah Publikasi.pdf · Bahan tambahan seperti dioktil ptalat (DOP), butyl hidroksi toluene, atau n- butyl stearate

i

Page 3: PENGARUH VARIASI WAKTU DAN SUHU PROSESeprints.ums.ac.id/71154/5/Naskah Publikasi.pdf · Bahan tambahan seperti dioktil ptalat (DOP), butyl hidroksi toluene, atau n- butyl stearate

ii

Page 4: PENGARUH VARIASI WAKTU DAN SUHU PROSESeprints.ums.ac.id/71154/5/Naskah Publikasi.pdf · Bahan tambahan seperti dioktil ptalat (DOP), butyl hidroksi toluene, atau n- butyl stearate

iii

Page 5: PENGARUH VARIASI WAKTU DAN SUHU PROSESeprints.ums.ac.id/71154/5/Naskah Publikasi.pdf · Bahan tambahan seperti dioktil ptalat (DOP), butyl hidroksi toluene, atau n- butyl stearate

1

PENGARUH VARIASI WAKTU DAN SUHU PROSES

THERMOPRESSING PADA PENGEMBANGAN BIODEGRADABLE

FOAM BERBASIS TAPIOKA DAN α -SELULOSA KULIT SINGKONG

Abstrak

Styrofoam terbuat dari campuran 90-95% polystyrene dan 5-10% gas seperti n-

butana atau n-pentana serta CFC (Freon) sebagai blowing agent. Untuk saat ini

alternatif pengganti styrofoam adalah biodegradable foam. Percobaan yang akan

dilakukan pada penelitian ini adalah membuat pengembangan biodegradable foam

dari α-selulosa kulit singkong. Variasi suhu yang digunakan adalah 150, 160, 170

dan 175oC. Variasi waktu yang digunakan adalah 30, 40, 50 dan 60 menit.

Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh waktu dan suhu proses

thermopressing pada penampakan visual biodegradable foam berbasis tapioka dan

α-selulosa kulit singkong, mengetahui karakteristik sifat fisik biodegradable foam

dari campuran tapioka dan α-selulosa kulit singkong yang dihasilkan dan

mengetahui kemampuan biodegradabilitas biodegradable foam yang dihasilkan.

Kondisi operasi terbaik pada penelitian ini adalah biofoam yang diproses pada

suhu 175oC selama 60 menit dengan penampakan visual putih kecoklatan dan

tekstur keras. Sedangkan, sifat fisik pada biofoam terbaik tersebut adalah

memiliki nilai daya serap air sebesar 54,2763%, nilai kadar air sebesar 5,9773%,

densitas sebesar 4,4465 g/cm3 dan memiliki kemampuan biodegradabilitas selama

36 hari.

Kata Kunci : biodegradable foam, α-selulosa, penampakan visual, sifat fisik,

biodegradabilitas

Abstract

Styrofoam is made from a mixture of 90-95% polystyrene and 5-10% gas such as

n-butane or n-pentane and CFC (Freon) as a blowing agent. For now, alternative

substitutes for styrofoam are biodegradable foam. The experiment that will be

carried out in this study is to make the development of biodegradable foam from

α-cellulose cassava skin. The temperature variations used are 150, 160, 170 and

175oC. The time variations used are 30, 40, 50 and 60 minutes. This study aims to

determine the effect of the time and temperature of the thermopressing process on

visual appearance of biodegradable tapioca-based foam and α-cellulose cassava

skin, knowing the physical characteristics of biodegradable foam from tapioca

mixture and α-cellulose cassava skin produced and knowing the biodegradability

of biodegradable foam produced. The best operating conditions in this study were

biofoam which was processed at 175oC for 60 minutes with a brownish-white

visual appearance and hard texture. Meanwhile, the physical properties of the best

biofoam have a value of 54.2763% of water absorption, moisture content of

5.9773%, density of 4.4465 g/cm3 and have biodegradability capability for 36

days.

Keywords : biodegradable foam, α-cellulose, visual appearance, physical

properties, biodegradability

Page 6: PENGARUH VARIASI WAKTU DAN SUHU PROSESeprints.ums.ac.id/71154/5/Naskah Publikasi.pdf · Bahan tambahan seperti dioktil ptalat (DOP), butyl hidroksi toluene, atau n- butyl stearate

2

1. PENDAHULUAN

Inovasi kemasan pangan dianggap mampu menarik minat konsumen.

Kemasan pangan yang biasa digunakan para produsen untuk mengemas

produk pangan adalah kemasan berbahan plastik sintetik. Penggunaan

kemasan tersebut dimaksudkan selain untuk melindungi kualitas pangan,

kemasan plastik juga memiliki beberapa keunggulan dan keuntungan. Salah

satu jenis kemasan plastik sintetik yang sering digunakan dalam industri

pangan adalah polistirena foam atau biasa disebut styrofoam.

Styrofoam terbentuk dari 90-95% polystyrene dan 5-10% gas seperti

n-butana atau n-pentana serta CFC (Freon) sebagai blowing agent. Bahan

tambahan seperti dioktil ptalat (DOP), butyl hidroksi toluene, atau n- butyl

stearate digunakan sebagai zat pemlastis. Monomer stirena sebagai bahan

utama pembuat styrofoam dapat bermigrasi pada pangan dan dapat

menimbulkan gangguan kesehatan seperti gangguan pada sistem syaraf,

anemia, meningkatnya resiko leukemia dan menyebabkan kanker. Karena

sulit terurai di alam dan sulit didaur ulang sehingga styrofoam dapat

memyebabkan masalah pada lingkungan (BPOM, 2008).

Seperti yang dilansir dari Kompas.com (Utomo, 2016), sejumlah kota

besar dunia seperti London dan New York telah melarang penggunaan

styrofoam. Kota Bandung merupakan kota pertama di Indonesia yang

melarang penggunaan styrofoam sebagai kemasan makanan dan minuman.

Menurut Walikota Bandung Ridwan Kamil, hasil riset yang dilakukan Badan

Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung menyebutkan bahwa

jenis sampah plastik dan styrofoam diindikasikan sebagai penyebab

penyumbatan aliran sungai yang mengakibatkan banjir. Larangan penggunaan

styrofoam sebagai kemasan makanan dan minuman tersebut diberlakukan per

tanggal 1 November 2016. Untuk pengganti kemasan styrofoam sendiri masih

dikaji lebih lanjut oleh pihak terkait.

Untuk saat ini alternatif pengganti styrofoam adalah biodegradable

foam. Dalam pembuatan biodegradable foam bahan yang banyak digunakan

adalah pati karena memiliki sifat biodegrabilitas yang tinggi, murah, densitas

rendah, tidak toksik dan ketersediaannya berlimpah, akan tetapi

Page 7: PENGARUH VARIASI WAKTU DAN SUHU PROSESeprints.ums.ac.id/71154/5/Naskah Publikasi.pdf · Bahan tambahan seperti dioktil ptalat (DOP), butyl hidroksi toluene, atau n- butyl stearate

3

biodegraadable foam yang terbentuk dari pati murni tidak memberikan sifat

fisik dan sifat mekanik yang baik dan mudah larut air. Untuk memperbaiki

sifat-sifat biodegraadable foam dari pati bisa dilakukan dengan memodifikasi

pati (selulosa), penambahan zat pemlastis, polimer, serat, dan beberapa bahan

tambahan lainnya (Fang and Hanna, 2001; Salgado et al., 2008; Kaisangsri et

al., 2012). Pemanfaatan limbah pertanian sebagai sumber serat sekaligus

sumber pati belum dimanfaatkan secara maksimal. Salah satu limbah

pertanian yang potensial untuk dikembangkan yaitu kulit singkong. Menurut

Rukmana (1997), kandungan pati di dalam kulit singkong berkisar 44-59%.

Berdasarkan hal tersebut, penelitian bertujuan untuk mengetahui

pengaruh variasi waktu dan suhu proses pencetakan pada pengembangan

produk biodegradable foam (biofoam) dari modifikasi selulosa kulit singkong

sehingga menghasilkan produk dengan tampilan visual terbaik. Beberapa

penelitian sebelumnya membuat biofoam menggunakan pati yang

ditambahkan serat alami diantaranya serat jerami (Srithongkham et al., 2012),

serat singkong (Boonchaisuriya and Chungsiriporn, 2011), serat ekaliptus

(Schmidt and Laurindo, 2010), serat tebu (Debiagi et al., 2011), serat ampok

jagung (Warsiki et al., 2012), (Iriani, 2013), (Rahmatunisa, 2015), dan serat

dari limbah lokal pertanian (Rusliana et al., 2014). Namun untuk penggunaan

serat modifikasi pada pembuatan biofoam masih jarang dilakukan, salah

satunya modifikasi serat tandan kosong sawit (Etikaningrum, 2017). Metode

thermopressing digunakan untuk mencetak adonan yaitu dengan diberi

tekanan tertentu dan dipanaskan dengan temperatur dan waktu yang telah

ditentukan.

2. METODE

2.1 Pembuatan Tepung Kulit Singkong

Tahap awal penelitian ini dilakukan dengan pembuatan tepung kulit

singkong (Akhadiarto, 2010):

Bhana utama pada penelitian ini menggunakan kulit singkong bagian

dalam. Pembuatan tepung kulit singkong dilakukan dengan cara sebagai

berikut, yaitu pertama kulit bagian dalam singkong dibersihkan menggunakan

air. Selanjutnya kulit singkong dijemur di bawah sinar matahari sampai

Page 8: PENGARUH VARIASI WAKTU DAN SUHU PROSESeprints.ums.ac.id/71154/5/Naskah Publikasi.pdf · Bahan tambahan seperti dioktil ptalat (DOP), butyl hidroksi toluene, atau n- butyl stearate

4

kering dan siap untuk digunakan. Kemudian kulit singkong yang telah kering

dihaluskan menggunakan blender hingga halus. Selanjutnya tepung kulit

singkong diayak dengan ukuran ayakan -80 mesh.

2.2 Isolasi α Selulosa Kulit Singkong dengan metode Pulping Process

Tahap kedua adalah dengan membuat isolasi α-selulosa kulit singkong

(Sumada and Puspita, 2011):

Tepung kulit singkong yang lolos ayakan kemudian diambil sebanyak 10

gram dan ditambahkan 100 ml aquadest aduk hingga homogen. Kemudian

larutan sampel dimasukkan ke dalam microwave selama 1 jam dengan suhu

100oC. Setelah itu, larutan sampel disaring dan ditambahkan larutan NaOH

10% dalam 100 ml aquades. Kemudian dimasukkan kembali ke dalam

microwave selama 30 menit dengan suhu 100oC. Bahan yang tidak larut di

dalam larutan adalah bahan utama yang ingin didapatkan yaitu α-selulosa. α-

selulosa dipisahkan dari larutan menggunakan kain saring. Selanjutnya,

dilakukan pencucian α-selulosa dengan air dengan suhu dibawah 50oC,

pencucian dilakukan beberapa kali agar serbuk yang didapatkan memiliki

kondisi netral.

Selanjutnya, serbuk sampel dimasukkan ke dalam larutan H2O2 10%

dalam 100 ml aquades dan didiamkan selama 45 menit hingga berubah warna

menjadi putih kekuningan. Kemudian larutan disaring kembali dengan air

hingga diperoleh serbuk yang memiliki pH netral. Setelah itu, serbuk sempel

yang didapatkan dikeringkan menggunakan oven hingga kering. Selanjutnya

serbuk sampel yang telah kering dihaluskan menggunakan blender.

2.3 Pembuatan Biodegradable Foam

Pembuatan biofoam menggunakan metode rujukan dari Iriani et al.,

(2013). Pertama, menimbang dan mencampur bahan-bahan seperti serat

selulosa, pati tapioka, PVA 15%, Mg stearat 15% lalu ditambahkan air dan

diaduk sampai kalis. Selanjutnya adonan dicetak kemudian dimasukkan

kedalam oven dengan suhu (150, 160, 170 dan 175oC) selama waktu tertentu

(30, 40, 50 dan 60 menit) (massa adonan ±50 gram untuk satu cetakan

biofoam) untuk menghilangkan kadar air. Kemudian biofoam dikeluarkan dari

oven dan didinginkan pada suhu ruang selama 1 hari.

Page 9: PENGARUH VARIASI WAKTU DAN SUHU PROSESeprints.ums.ac.id/71154/5/Naskah Publikasi.pdf · Bahan tambahan seperti dioktil ptalat (DOP), butyl hidroksi toluene, atau n- butyl stearate

5

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Biodegradable Foam

Metode thermopressing digunakan untuk mencetak adonan yaitu dengan

diberi tekanan tertentu dan dipanaskan dengan temperatur dan waktu yang

telah ditentukan. Proses thermopressing dipilih karena pada penggunaan

proses tersebut dapat disesuaikan dengan bentuk dan ukuran yang

dibutuhkan. Pada pembuatan biofoam, tidak dapat diterapkan proses

termoplastisasi karena proses foaming akan terhambat. Menurut Iriani (2013),

penentuan suhu proses dilakukan pada suhu antara 140-180oC dipilih

berdasarkan sifat termal bahan baku yang umumnya berada dikisaran 95-

150oC, sedangkan melting point dari PVA berkisar 138

oC. Sehingga,.

Sedangkan, jumlah adonan yang dimasukkan ke dalam cetakan sekitar 50

gram karena bila berat adonan kurang maka biofoam yang terbentuk kurang

sempurna atau biofoam akan mengalami ekspansi secara maksimal sehingga

produk tidak terbentuk akibat retak atau pecah apabila adonan terlalu banyak

karena tekanan di dalam cetakan terlalu besar sehingga (Rusliana et al.,

2014). Pembuatan biodegradable foam ini dilakukan dengan komposisi

sebagai berikut:

Rasio padatan : cairan = 60 : 40

Rasio tapioka : selulosa = 3 : 1

Magnesium stearat = 4,5 gram

PVA = 4,5 gram

Topika = 15,75 gram

Seluosa = 5,25 gram

Aquades = 20 ml

Suhu = 150, 160, 170 dan 175oC

Waktu = 30, 40, 50 dan 60 menit

Pada penelitian yang telah dilakukan, dihasilkan biodegradable foam

yang secara visual dapat diamati penampakan visual biofoam. Adapun hasil

pengamatan tersebut seperti berikut :

Page 10: PENGARUH VARIASI WAKTU DAN SUHU PROSESeprints.ums.ac.id/71154/5/Naskah Publikasi.pdf · Bahan tambahan seperti dioktil ptalat (DOP), butyl hidroksi toluene, atau n- butyl stearate

6

Tabel 1. Kenampakan Visual Biofoam dengan Suhu Proses Berbeda

Suhu Proses (oC) Kenampakan Visual Biofoam

150 Warna putih kekuningan, tekstur lunak

160 Warna putih kekuningan, tekstur agak keras

170 Warna putih kecoklatan, tekstur cukup keras

175 Warna putih kecoklatan, tekstur keras

175 (75 menit) Warna coklat tua, tekstur keras

Kenampakan visual biofoam dapat dilihat pada Tabel 3.1. pada suhu

proses yang rendah, produk yang dihasilkan berwarna putih kekuning tetapi

memiliki kandungan air yang cukup tinggi. Untuk itu, dibutuhkan waktu

pencetakan dan pengeringan yang lebih lama serta belum semua bahan lumer

sehingga proses pencampuran tidak berjalan sempurna dan akan menghambat

proses foaming. Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa semakin tinggi suhu

proses yang digunakan maka warna biofoam yang dihasilkan semakin gelap

namun tekstur biofoam semakin keras. Sedangkan, semakin tinggi suhu

proses yang digunakan maka waktu yang dibutuhkan untuk pengeringan juga

semakin cepat. Menurut Iriani (2013), terjadinya burned effect merupakan

pengaruh dari penggunaan suhu yang terlalu tinggi.

3.2 Karakteristik Sifat Fisik dan Biodegradabelitas Biodegradable Foam

Karakteristik yang diamati pada penelitian ini adalah parameter sifat fisik

yang meliputi daya serat air, kadar air dan densitas serta kemampuan

biodegradabilitas produk biofoam.

3.2.1 Uji Daya Serap Air

Daya serap air atau Water Absorption Index (WAI) merupakan

parameter yang penting bagi biofoam sebagai bahan kemasan pangan karena

sangat berpengaruh pada produk yang akan dikemas. Di bawah ini

merupakan data dari uji daya serap air produk biofoam pada berbagai variasi

waktu dan suhu proses yang diperoleh dari hasil penelitian.

Page 11: PENGARUH VARIASI WAKTU DAN SUHU PROSESeprints.ums.ac.id/71154/5/Naskah Publikasi.pdf · Bahan tambahan seperti dioktil ptalat (DOP), butyl hidroksi toluene, atau n- butyl stearate

7

0

10

20

30

40

50

60

150 160 170 175

WA

I (%

)

Suhu (oC)

30 menit

40 menit

50 menit

60 menit

75 menit

Tabel 2. Data Uji Daya Serap Air Produk Biofoam Pada Berbagai Variasi Waktu

dan Suhu Proses

T (oC) t (menit) Berat Awal (gr) Berat Akhir (gr) ∆W WAI

150

30 6,048 8,209 2,161 35,7308

40 6,751 9,05 2,299 34,0542

50 6,957 9,168 2,211 31,7809

60 6,902 9,536 2,634 38,1628

160

30 5,175 7,072 1,897 36,6570

40 5,060 7,018 1,958 38,6956

50 5,832 8,065 2,233 38,2887

60 5,096 7,387 2,291 44,9568

170

30 5,055 7,502 2,447 48,4075

40 5,117 7,583 2,466 48,1923

50 5,878 8,783 2,905 49,4215

60 5,734 8,624 2,890 50,4011

175

30 5,305 7,808 2,503 47,1819

40 5,052 7,626 2,574 50,9501

50 5,868 8,867 2,999 51,1077

60 5,203 8,027 2,824 54,2763

75 5,537 8,572 3,035 54,8130

Gambar 1. Grafik Pengaruh Suhu dan Waktu Terhadap Daya Serap Air Biofoam

Berdasarkan grafik di atas dapat diketahui bahwa semakin tinggi suhu

proses yang digunakan maka daya serap air produk semakin tinggi,

sedangkan semakin lama waktu proses yang digunakan maka daya serap air

Page 12: PENGARUH VARIASI WAKTU DAN SUHU PROSESeprints.ums.ac.id/71154/5/Naskah Publikasi.pdf · Bahan tambahan seperti dioktil ptalat (DOP), butyl hidroksi toluene, atau n- butyl stearate

8

produk juga semakin tinggi. Nilai daya serap air biofoam pada penelitian

yang telah dilakukan berkisar antara 31,78-54,81%. Jika dibandingkan

dengan penelitian Iriani (2013) yang menghasilkan biofoam dari tapioka

murni dengan nilai daya serap air sebesar 26,05-59,48% maka nilainya

masih tidak jauh berbeda. Namun, jika dibandingkan dengan penelitian

Rahmatunisa (2015) yaitu sekitar 53,20-59,64% maka nilai daya serap air

pada penelitian ini masih lebih rendah. Tetapi, masih lebih tinggi dari

penelitian Etikaningrum (2017) yaitu sekitar 23,40-45,54% dan styrofoam

yang berkisar 26%.

Biofoam berbasis pati memiliki sifat higroskopis sehingga sangat

rentan terhadap air. Ikatan hidrogen pati dapat melemah dan menurunkan

sifat fungsional dari biofoam karena adanya molekul air (Kaisangsri et al.,

2014). Untuk meningkatkan sifat hidrofobisitas biofoam maka perlu

penambahan polimer sintetik. Menurut Boonchaisuriya and Chungsiriporn

(2011), daya serap air pada foam dapat menurun karena PVA bersifat

kristalin. Daya serap air foam turun hingga 25% akibat penambahan PVA

sebesar 30% namun kurang berpengaruh pada foam dengan kadar serat yang

tinggi. Hal itu terjadi karena sebagian air yang ditambahkan pada adonan

tidak hanya terikat pada PVA tetapi juga pada serat (Iriani, 2013).

Penggunaan polimer sintetik PVA yang juga mengandung gugus

hidroksil menyebabkan penyerapan air pada produk biofoam tersebut tetap

tinggi. Shogren et al., (1998), menyatakan bahwa dalam konsentrasi tinggi

penambahan PVOH baru dapat meningkatkan ketahanan foam terhadap

kontak langsung dengan air.

3.2.2 Kadar Air (AOAC 2012)

Pada penelitian yang telah dilakukan diperoleh data persentase kadar

air biofoam pada berbagai variasi waktu dan suhu proses.

Page 13: PENGARUH VARIASI WAKTU DAN SUHU PROSESeprints.ums.ac.id/71154/5/Naskah Publikasi.pdf · Bahan tambahan seperti dioktil ptalat (DOP), butyl hidroksi toluene, atau n- butyl stearate

9

0

2

4

6

8

10

12

150 160 170 175

Kad

ar a

ir (

%)

Suhu (oC)

30 menit

40 menit

50 menit

60 menit

75 menit

Tabel 3. Data Persentase Kadar Air Biofoam Pada Berbagai Variasi Waktu dan

Suhu Proses

T (oC) t (menit) Berat Awal (gr) Berat Akhir (gr) Kadar air

150

30 6,048 5,329 11,88823

40 6,751 5,974 11,50941

50 6,957 6,125 11,95918

60 6,902 6,086 11,82266

160

30 5,175 4,612 10,87923

40 5,060 4,496 11,14625

50 5,832 5,205 10,75103

60 5,096 4,563 10,45918

170

30 5,055 4,652 7,972305

40 5,117 4,712 7,914794

50 5,878 5,418 7,825791

60 5,734 5,346 6,766655

175

30 5,305 4,939 6,899152

40 5,052 4,734 6,294537

50 5,868 5,508 6,134969

60 5,203 4,892 5,977321

75 5,537 5,257 5,056890

Gambar 2. Grafik Pengaruh Suhu dan Waktu Terhadap Kadar Air Biofoam

Berdasarkan grafik di atas dapat diketahui bahwa semakin tinggi suhu

proses maka kadar air dalam produk semakin rendah, sedangkan semakin

Page 14: PENGARUH VARIASI WAKTU DAN SUHU PROSESeprints.ums.ac.id/71154/5/Naskah Publikasi.pdf · Bahan tambahan seperti dioktil ptalat (DOP), butyl hidroksi toluene, atau n- butyl stearate

10

lama waktu proses yang digunakan maka kadar air dalam produk juga

semakin rendah. Kadar air biofoam pada penelitian ini berkisar antara

5,056-11,959%. Jika dibandingkan dengan nilai kadar air biofoam pada

penelitian Iriani (2013) yang terbuat dari tapioka murni sebesar 6,21-8,40%,

Rahmatunisa (2015) sekitar 4,53-7,65% dan Etikaningrum (2017) sekitar

5,32-8,19% maka nilai kadar air pada penelitian ini masih lebih tinggi

namun tergolong wajar. Hal ini dikarenakan tapioka bersifat hidrofilik

sehingga dapat menyerap banyak air dan menyebabkan kadar air biofoam

tinggi dibandingkan dengan kadar air polistiren foam.

Kadar air biofoam berbasis pati umumnya adalah bahan alami yang

bersifat higroskopis dan dapat menyerap kelembaban dari lingkungan

(Glenn and Hsu 1997; Soykeabkaew et al., 2004). Hal ini yang

menyebabkan nilai kadar air biofoam jauh lebih tinggi dari kadar air

styrofoam (1,11%) (Kaisangsri et al., 2012).

Selain itu, menurut Salgado et al., (2008) nilai kadar air pada biofoam

juga dipengaruhi oleh penambahan polimer sintetik, protein dan serat. Hal

ini kemungkinan besar disebabkan karena PVOH bersifat lebih hidrofobik

dibandingkan pati. Hal ini didukung penelitian Cinelli et al., (2006) yang

menyatakan bahwa penambahan PVA 10-30% pada campuran pati kentang

dapat meningkatkan fleksibilitas dan ketahanan terhadap air dari biofoam.

3.2.3 Densitas

Untuk dapat mengurangi biaya transport maka diinginkan agar

densitas yang rendah (Lee et al., 2008). Dari penelitian yang telah dilakukan

diperoleh data densitas dari produk biofoam pada berbagai variasi waktu

dan suhu proses.

Page 15: PENGARUH VARIASI WAKTU DAN SUHU PROSESeprints.ums.ac.id/71154/5/Naskah Publikasi.pdf · Bahan tambahan seperti dioktil ptalat (DOP), butyl hidroksi toluene, atau n- butyl stearate

11

0

1

2

3

4

5

6

7

150 160 170 175

De

nsi

tas

(g/c

m3)

Suhu (oC)

30 menit

40 menit

50 menit

60 menit

75 menit

Tabel 4. Data Densitas Dari Produk Biofoam Pada Berbagai Variasi Waktu dan

Suhu Proses

T (oC) t (menit) Massa (gram) Tebal (cm) Volume (cm

3) Densitas

150

30 3,259 0,0572 0,5148 6,3306

40 3,135 0,0573 0,5157 6,0791

50 3,296 0,0572 0,5148 6,4024

60 3,115 0,0578 0,5202 5,9880

160

30 2,806 0,052 0,468 5,9957

40 2,137 0,055 0,495 4,3171

50 2,404 0,053 0,477 5,0398

60 2,495 0,054 0,486 5,1337

170

30 2,855 0,056 0,504 5,6646

40 2,779 0,053 0,477 5,8260

50 2,492 0,054 0,486 5,1275

60 2,039 0,054 0,486 4,1954

175

30 2,318 0,051 0,459 5,0501

40 2,253 0,053 0,477 4,7232

50 2,275 0,054 0,486 4,6810

60 2,081 0,052 0,468 4,4465

75 2,048 0,052 0,468 4,3761

Gambar 3. Grafik Pengaruh Suhu dan Waktu Terhadap Densitas Biofoam

Berdasarkan grafik, dapat diketahui bahwa semakin tinggi suhu proses

maka densitas produk semakin rendah, sedangkan semakin lama waktu

proses yang digunakan maka densitas produk juga semakin rendah. Biofoam

Page 16: PENGARUH VARIASI WAKTU DAN SUHU PROSESeprints.ums.ac.id/71154/5/Naskah Publikasi.pdf · Bahan tambahan seperti dioktil ptalat (DOP), butyl hidroksi toluene, atau n- butyl stearate

12

memiliki berat yang kecil ditandai dengan nilai densitas yang kecil pula

(Warsiki et al., 2012). Nilai densitas biofoam pada penelitian ini berkisar

antara 4,1955-6,4025 g/cm3. Jika dibandingkan dengan penelitian terdahulu,

nilai densitas pada penelitian ini jauh lebih besar, diantaranya Iriani (2013)

menghasilkan nilai densitas sebesar 0,26-0,45 g/cm3, penelitian

Rahmatunisa (2015) menghasilkan nilai densitas sebesar 0,20-0,38 g/cm3

dan Etikaningrum (2017) menghasilkan nilai densitas sekitar 0,16- 0,28

g/cm3. Densitas biofoam pada penelitian ini juga masih lebih tinggi bila

dibandingkan dengan densitas styrofoam sebesar 0,035 g/cm3.

Nilai densitas yang kecil menandakan foam memiliki berat yang kecil

(Warsiki et al., 2012). Biofoam dengan densitas yang rendah dapat diperoleh

dari struktur dengan ukuran rongga yang besar dan banyak. Densitas juga

berpengaruh terhadap beberapa parameter lainnya yaitu daya serap air.

Menurut Iriani (2013), semakin tinggi densitas biofoam maka daya serap

airnya akan semakin rendah. Iriani (2013) juga berpendapat bahwa

penambahan serat dan PVA dapat meningkatkan densitas karena akan

menyerap sebagian besar air pada adonan sehingga menghambat

kemampuan ekaspasi.

3.2.4 Uji Biodegradabilitas

Metode uji biodegradabilitas diperlukan untuk mengetahui

kemampuan biodegradabilitas secara alami pada bioplastik. Pada penelitian

yang telah dilakukan diperoleh data uji biodegradabilitas produk biofoam

pada berbagai variasi waktu dan suhu proses.

Page 17: PENGARUH VARIASI WAKTU DAN SUHU PROSESeprints.ums.ac.id/71154/5/Naskah Publikasi.pdf · Bahan tambahan seperti dioktil ptalat (DOP), butyl hidroksi toluene, atau n- butyl stearate

13

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

50

150 160 170 175

Ke

mam

pu

an B

iod

egr

adab

ilita

s (h

ari k

e-)

Suhu (oC)

30 menit

40 menit

50 menit

60 menit

75 menit

Tabel 5. Data Uji Biodegradabilitas Produk Biofoam Pada Berbagai Variasi

Waktu dan Suhu Proses

T(oC) t (menit) Kemampuan biodegradabilitas (hari ke-)

150

30 15

40 15

50 18

60 18

160

30 18

40 24

50 21

60 27

170

30 24

40 24

50 27

60 30

175

30 27

40 33

50 30

60 36

75 48

Gambar 4. Grafik Pengaruh Suhu dan Waktu Terhadap Kemampuan

Biodegradabilitas Biofoam

Berdasarkan grafik di atas dapat diketahui bahwa semakin tinggi suhu

proses maka kemampuan biodegrabilitas produk semakin tinggi, sedangkan

Page 18: PENGARUH VARIASI WAKTU DAN SUHU PROSESeprints.ums.ac.id/71154/5/Naskah Publikasi.pdf · Bahan tambahan seperti dioktil ptalat (DOP), butyl hidroksi toluene, atau n- butyl stearate

14

semakin lama waktu proses yang digunakan maka kemampuan

biodegrabilitas produk juga semakin tinggi. Kemampuan biodegrabilitas

produk biofoam yang dihasilkan dapat terdegradasi sempurna setelah 36 hari

atau kurang lebih 5 minggu menggunakan metode composting. Hasil

penelitian ini sejalan dengan penelitian Hidayati et al., (2015) yang

mengatakan bahwa biodegradable film dari Nata de casava dapat

terdegradasi sempurna selama 5 minggu menggunakan metode composting.

Sedangkan, pada penelitian Iriani (2013) mengatakan bahwa sampel

biofoam dari campuran tapioka, ampok dan PVOH telah ditumbuhi kapang

pada hari ke-5 dan terdegradasi sempurna setelah 2 minggu dengan

menggunakan media PDA (potato dextrose agar). Sebagai pembanding,

berdasarkan penelitian Etikaningrum (2017) pengujian terhadap sampel

styrofoam komersil menggunakan media PDA (potato dextrose agar)

diperoleh hasil bahwa pengamatan selama 15 hari menunjukkan tidak

ditemukan bercak hitam pada styrofoam. Hal ini menandakan bahwa sampel

styrofoam komersil tidak dapat terdegradasi oleh kapang Aspergilus niger.

4. PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang diambil adalah: Pertama, semakin tinggi suhu proses yang

digunakan maka warna biofoam yang dihasilkan semakin gelap namun

tekstur biofoam semakin keras. Sedangkan, semakin tinggi suhu proses yang

digunakan maka waktu yang dibutuhkan untuk pengeringan juga semakin

cepat. Kedua, semakin tinggi suhu dan waktu proses yang digunakan maka

daya serap air dan kemampuan biodegrabilitas produk semakin tinggi. Ketiga,

semakin tinggi suhu dan waktu proses yang digunakan maka kadar air dan

densitas produk semakin rendah. Keempat, kondisi operasi terbaik adalah

biofoam yang diproses pada suhu 175oC selama 60 menit dengan

penampakan visual putih kecoklatan dan tekstur keras. Sifat fisik pada

biofoam terbaik adalah memiliki nilai daya serap air sebesar 54,2763%, nilai

kadar air sebesar 5,9773%, densitas sebesar 4,4465 g/cm3 dan memiliki

kemampuan biodegradabilitas selama 36 hari.

Page 19: PENGARUH VARIASI WAKTU DAN SUHU PROSESeprints.ums.ac.id/71154/5/Naskah Publikasi.pdf · Bahan tambahan seperti dioktil ptalat (DOP), butyl hidroksi toluene, atau n- butyl stearate

15

4.2 Saran

Perlu adanya penelitian lanjutan menggunakan alat yang tidak manual

sehingga hasil biofoam lebih stabil dan untuk mendapatkan produk biofoam

yang dapat digunakan untuk wadah pangan dengan kadar air dan suhu yang

tinggi.

PERSANTUNAN

Terima kasih kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya. Saya ingin

mengucapkan terima kasih kepada Ibu Eni Budiyati, S.T., M.Eng., atas bimbingan

selama ini diberikan, bapak dan ibu, serta teman-teman yang senantiasa

memberikan dukungan. Saya benar-benar bersyukur.

DAFTAR PUSTAKA

Akhadiarto, S. (2010) „Pengaruh pemanfaatan limbah kulit singkong dalam

pembuatan pelet ransum unggas‟, Teknik Lingkungan, 11(1), pp. 127–138.

Boonchaisuriya, A. and Chungsiriporn, J. (2011) „Biodegradable foams based on

cassava starch by compression‟, The 5th PSu-UNS International Conference

on Engineering and Technology (ICET-2011), pp. 71–74.

BPOM (2008) „InfoPOM‟, Kemasan Polistirena Foam (Styrofoam), 9(5), pp. 1–

12.

Cinelli, P., Chiellini, E., Lawton, J. W. and Imam, S. H. (2006) „Foamed articles

based on potato starch, corn fibers and poly(vinylalcohol)‟, Polym Degrad

Stabil, 91, pp. 1147-1155.

Debiagi, F., Mali, S., Grossmann, M. V. E. and Yamashita, F. (2011)

„Biodegradable foams based on starch, polyvinyl alcohol, chitosan and

sugarcane fibers obtained by extrusion‟, Brazilian Archives of Biology and

Technology, 54(5), pp. 1043–1052. doi: 10.1590/S1516-

89132011000500023.

Etikaningrum (2017) „Pengembangan Berbagai Modifikasi Serat Tandan Kosong

Sawit Pada Pembuatan Biofoam [Tesis]‟, Bogor (ID): Institut Pertanian

Bogor.

Fang, Q. and Hanna, M. (2001) „Characterisitics of biodegradable Mater-Bi starch

base foams as affected by ingredient formulation‟, Ind. Crop Prod, 13, pp.

Page 20: PENGARUH VARIASI WAKTU DAN SUHU PROSESeprints.ums.ac.id/71154/5/Naskah Publikasi.pdf · Bahan tambahan seperti dioktil ptalat (DOP), butyl hidroksi toluene, atau n- butyl stearate

16

219.

Glenn, G. M. and Hsu, J. (1997) „Compression-formed starch-based plastic‟, Ind

Crops Prod, 7, pp. 37–44.

Hidayati, S., Zuidar, A.S., Ardiani, A. (2015) „Aplikasi Sorbitol pada Produksi

Biodegradable film dari Nata de Cassava. 2015‟, Reaktor Jurnal Teknik

Kimia, 15(3), pp. 196-204, doi: 10.14710/reaktor.15.3.195-203.

Iriani, E. V. I. S. (2013) „Pengembangan Produk Biodegradable Foam Berbahan

Baku Campuran Tapioka Dan Ampok [Disertasi]‟, Bogor (ID): Institut

Pertanian Bogor.

Iriani Evi Savitri, Sunarti Titi C. and Richana Nur (2011) „Pengembangan

Biodegradable Foam Berbahan Baku Pati‟, Buletin Teknologi Pascapanen

Pertanian, 7(1), pp. 30–40.

Kaisangsri, N., Kerdchoechuen, O. and Laohakunjit, N. (2012) „Biodegradable

Foam Tray From Cassava Starch Blended With Natural Fiber And

Chitosan‟, Journal industrial Crops, 37(2012), pp. 542-546.

doi:10.1016/j.indcrop.2011.07.034.

Kaisangsri, N., Kerdchoechuen, O. and Laohakunji, N. (2014) „Characterization

of cassavastarch based foam blended with plant, proteins, kraft fiber, and

palm oil‟, Carbohydrate Polymers, 110, pp. 70-77, doi:

10.1016/j.carbpol.2014.03.067.

Lee, S. Y., Chen, H. and Hanna, M. A. (2008) „Preparation and characterization of

tapioca starch-poly(lactid acid)nanocomposite foams by melt intercalation

based on clay type‟, Industrial Crop and Products, 28(1), pp. 95-106,

doi:10.1016/j.indcrop.008.01.009.

Rahmatunisa, R. (2015) „Pengaruh Penambahan Nanopartikel ZNo dan Etilen

Glikol Pada Sifat Fungsional Kemasan Biodegradable Foam Dari Tapioka

Dan Ampok Jagung [Tesis]‟, Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Rukmana, R. (1997) „Ubi Kayu, Budidaya dan Pascapanen‟. Jakarta : Penerbit

Kanisius.

Rusliana, E., Saleh, M. and Assagaf, M. (2014) „Penentuan Kodisi Proses Terbaik

Pembuatan Biofoam Dari Limbah Pertanian Lokal Maluku Utara‟, Seminar

Nasional Sains dan Teknologi 2014 Fakultas Teknik Universitas

Page 21: PENGARUH VARIASI WAKTU DAN SUHU PROSESeprints.ums.ac.id/71154/5/Naskah Publikasi.pdf · Bahan tambahan seperti dioktil ptalat (DOP), butyl hidroksi toluene, atau n- butyl stearate

17

Muhammadiyah Jakarta, (November), pp. 10–13.

Salgado, P. R., Schmidt, V. C., Ortiz, S. E. M., Mauri, A. N. and Laurindo, J. B.

(2008) „Biodegradable Foams Based On Cassava Starch, Sunflower Proteins

And Cellulose Fiber Obtained By A Baking Process‟, Journal of Food

Engineering, 85(3), pp. 435-443. doi:10.1016/j.jfoodeng.2007.08.005.

Schmidt, V. C. and Laurindo, J. B. (2010) „Characterization Of Foam Obtained

From Cassava Starch, Cellulose Fiber And Dolomitic Limestone By A

Thermopressing Process‟, Brazilian Archives of Biology Technology, 53(1),

pp. 185-192. http://dx.doi.org/10.1590/S1516-89132010000100023.

Shogren, R. L., Lawton, J. W., Doane, W. M., Tiefenbacher, K. F. (1998)

„Structure and morphology of baked starch foams‟, Polym, 39(25), pp.

6649-6655.

Soykeabkaew, N., Supaphol, P., Rujiravanit, R. (2004) „Preparation and

characterization of jute and flax reinforced starch-based composite foams‟,

Carbohydr Polym, 58, pp. 53-63.

Srithongkham, S., Vivitchanont, L. and Krongtaew, C. (2012) „Starch/Cellulose

Biocomposites Prepared by High-Shear Homogenization/Compression

Molding‟, Journal of Materials Science and Engineering B, 2(4), pp. 213–

222.

Sumada, K. and Puspita Erka Tamara. (2011) „Kajian Proses Isolasi α-Selulosa

Dari Limbah Batang Tanaman Manihot Esculenta Crantz Yang Efisien‟,

Jurnal Teknik Kimia, 5(2), pp. 434–438.

Utomo, Y. W. (2016) „Bandung Larang Penggunaan “Styrofoam” mulai 1

November 2016‟, Kompas.com.

Warsiki E, Iriani ES, Swandaru R. (2012) „Physical characteristics of microwave

assisted moulded foam cassava starch-corn hominy‟, Jurnal Teknik kimia

Indonesia, 10(2):108-115.