pengaruh school connectedness, academic stress dan...
TRANSCRIPT
-
PENGARUH SCHOOL-CONNECTEDNESS, ACADEMIC-
STRESS DAN LEARNING BEHAVIOR TERHADAP
ADVERSITY QUOTIENT PADA MAHASISWA PENERIMA
BEASISWA BIDIKMISI UIN JAKARTA
Thesis
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk Memenuhi Salah Satu
Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Psikologi (M.Psi)
Oleh:
Risa Pangestu
21150700000017
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/ 2019
-
PENGARUH SCHOOL-CONNECTEDNESS, ACADEMIC
STRESS DAN LEARNING BEHAVIOR TERHADAP
ADVERSITY QUOTIENT PADA MAHASISWA PENERIMA
BEASISWA BIDIKMISI UIN JAKARTA
Thesis
Diajukan kepada Fakultas Psikologi
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Magister Psikologi (M.Psi)
Oleh:
Risa Pangestu
NIM : 21150700000017
Pembimbing
Dr. Rena Latifa, Psi
NIP. 198209292008012004
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H /2019M
-
ii
LEMBAR PENGESAHAN
Tesis yang berjudul PENGARUH SCHOOL-CONNECTEDNESS, SELF-
CONCEPT DAN LEARNING BEHAVIOR TERHADAP ADVERSITY
QUOTIENT PADA MAHASISWA PENERIMA BEASISWA BIDIKMISI
UIN, telah diajukan dalam sidang munasyaqah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 22 April 2019. Tesis ini
telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Psikologi
Strata Dua (S2) pada Fakultas Psikologi.
Jakarta, 22 April 2019
Sidang Munasyaqah
Dekan/Ketua Wakil Dekan/Sekertaris
Merangkap Anggota Merangkap Anggota
Dr. Zahrotun Nihayah, M.Si Dr. Abd. Rahman Saleh, M.Si
NIP.196207241989032001 NIP. 107208231999031002
Anggota
Dr. Netty Hartaty, M.Si Dr. Rena Latifa, Psi
NIP. 198209292008012004 NIP. 198209292008012004
-
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Tesis ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana strata dua (S2) di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah.
Jakarta, 22 April 2019
RISA PANGESTU
21150700000017
Email: [email protected]
mailto:[email protected]
-
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO: “Life is like riding a bicycle. To keep your balance, you must keep moving”.
Janganlah berputus asa dari Rahmat Allah, sesungguhnya yang berputus asa hanyalah orang-orang yang kafir…
PERSEMBAHAN:
Setiap goresan tinta ini adalah wujud dari keagungan dan kasih sayang yang diberikan Allah SWT kepada umatnya. Setiap detik waktu menyelesaikan karya tulis ini merupakan hasil getaran doa kedua orang tua, suami, Anak-anak, kakak-adik, saudara dan orang-orang terkasih yang mengalir tiada henti. Setiap pancaran semangat dalam penulisan ini merupakan dorongan dan dukungan dari sahabat-sahabatku tercinta. Setiap makna pokok bahasan ada bab-bab dalam tesis ini merupakan hempasan kritik dan saran dari teman-teman almamaterku.
-
v
ABSTRAK A) Fakultas Psikologi B) April 2019 C) Risa Pangestu D) Pengaruh School-Connectedness, Self-Concept dan Learning Behavior
Terhadap Adversity Quotient Pada Mahasiswa Penerima Beasiswa Bidikmisi
UIN Jakarta.
E) xiv 109 halaman lampiran F) Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
adversity quotient. Penulis berteori bahwa variabel School-Connectedness,
Self-Concept dan Learning mempengaruhi adversity quotient pada Mahasiswa
penerima beasiswa bidikmisi UIN Jakarta.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan analisis regresi
berganda. Sampel berjumlah 200 mahasiswa menerima Beasiswa Bidikmisi.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik non-probability
sampling. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan instrumen pengumpulan
data yang telah diahli bahasakan, yaitu Adversity Response Profile (ARP)
yang dikemukakan oleh Stoltz (2000), School Connected Scale (SCS) yang
dikemukakan oleh Karcher & Lee (2002), Student Academic Stress Scale
(SASS) yang dikembangkan oleh Latifa, dkk (2008) dan Learning Behavior
Scale (LBS) yang dikemukakan oleh McDermott (1999).
Hasil penelitian pada hipotesis mayor menunjukkan bahwa ada pengaruh yang
signifikan variabel school connectedness, academic stress dan learning
behavior terhadap adversity. Hasil penelitian ini juga menunjukkan proporsi
varians dari adversity quotient yang dijelaskan semua independent variable
dengan indeks signifikansi 0,000 (p
-
vi
ABSTRACT
A) Faculty of Psychology B) April 2019 C) Risa Pangestu D) Effect of school-connectedness, academic stress and learning behavior on
adversity quotient for Bidikmisi scholarship recipient students in UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
E) xiv 109 page attachment F) This study was conducted to determine the factors that influence adversity
quotient. The author theorized because the School-connectedness, academic
stress and Learning behavior variables influence adversity quotient for
students receiving bidikmisi scholarships at UIN Jakarta
This study uses a quantitative approach with multiple regression analysis. The
sample is 200 people who receive Bidikmisi Scholarships. The sampling
technique used is a non-probability sampling. In this study, the authors
modified the data collection instrument, namely the Adversity Response
Profile (ARP) proposed by Stoltz (2000), School Connectedness Scale (SCS)
proposed by Karcher & Lee (2002), a Student Academic Stress Scale (SASS)
developed by Latifa, et al (2008) and the Learning Behavior Scale (LBS)
proposed by McDermott (1999).
The results of the major hypothesis indicate that there is a significant effect of
school connectedness, academic stress and learning behavior variables on
adversity quotient on bidikmisi scholarship recipients of UIN Jakarta. The
results of this study also show the proportion of variance from the adversity
quotient explained by all independent variables with a significance index of
0,000 (p
-
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahiem
Syukur Alhamdulillah peneliti panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala
rahmat, hidayah, dan kekuatan yang diberikan-Nya, sehingga Peneliti dapat
menyelesaikan tesis dengan judul “Pengaruh school-connectedness, academic-
stress dan learning behavior terhadap mahasiswa penerima beasiswa
bidikmisi UIN Jakarta”. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada
Rasulullah Muhammad SAW, pemimpin dan tauladan kaum yang beriman,
kepada keluarga, sahabat dan seluruh umat yang senantiasa mencintainya.
Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
mencapai gelar Magister Psikologi pada Fakultas Psikologi Universitas Islam
Negri Syarif Hidayatullah. Selama pengerjaan tesis ini Peneliti dihadapkan
dengan beragam cobaan, kesulitan, rintangan dan penuh perjuangan serta
kesabaran yang telah memberikan banyak pelajaran hidup yang berarti bagi
peneliti.
Terwujudnya tesis ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena
itu dalam kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada:
1. Dr. Zahrotun Nihayah, M.Si, Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Wakil Dekan Bidang Akademik Dr. Abdul Rahman
Shaleh, M.Si., Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan Dr. Diana Mutiah,
M.Si dan Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum Ikhwan Luthfi, M.Si
yang telah memberikan kesempatan kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan tesis ini.
2. Dr. Rena Latifa, Psi. sebagai Dosen Pembimbing, terima kasih karena telah meluangkan waktu dalam proses bimbingan skripsi ini, banyak sekali
ilmu yang telah peneliti dapatkan. terima kasih juga atas kesediaan
mendengarkan keluh kesah Peneliti selama masa penelitian tesis ini.
3. Prof.Abdul Mujib dan Dr. Netty Hartaty, M.Si, Sebagai dosen Motivator Peneliti sejak Peneliti menginjak perkuliahan di Strata Satu (S1) sampai
saat ini.
4. Seluruh dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Seluruh karyawan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah banyak membantu Peneliti dalam menjalani perkuliahan.
6. Orang tua Peneliti, Maman Kosasih (Papah) dan Nikmawati (Mamah), serta mama papa mertua atas cinta, kasih, perhatian, pengertian, motivasi
dan dukungan baik moril maupun materil, serta tak hentinya memberikan
do’a dalam setiap sujud dan ibadahnya agar Peneliti dapat menyelesaikan
tesis ini.
7. Suami tercinta, Muhammad Rhaushan Fikri atas doa serta izinnya untuk bisa melanjutkan pendidikan ini, cinta yg diberikan juga motivasi yang
selalu mewarnai dihari-hari saat perkuliahan berlangsung maupun proses
-
viii
pengerjaan thesis ini. Naik turunnya lika- liku kehidupan bersama-sama
kita lewati dalam pengerjaan thesis ini.
8. Putri-putri cantikku, Aura Naylul Amany dan Namira Hubby Kareema atas kerjasamanya untuk memberikan waktu untuk bubi mengerjakan tesis
ini. Tampa kalian mungkin bubi tidak sekuat ini.
9. Sanak saudara Peneliti, kakak, adik serta ponakan-ponakan yang setia memberikan dukungan kepada Peneliti.
10. Sahabat-sahabat Penelit, Tika, Hana, Sandra dan Nuris yang menemani dan membantu Peneliti dari awal penyusunan thesis.
11. Teman-teman angkatan 2015, khususnya kelas Peminatan Psikologi Pendidikan yang sangat kompak dan penuh cerita. Kemudian untuk teman-
teman seperjuangan dalam mengerjakan tesis, Imaniar Ernanda terima
kasih untuk kerjasamana dan semangatnya dalam setiap momen menunggu
Ibu maupun momen pengerjaan thesis ini.
12. Seluruh Responden yang telah membantu mengisi angket penelitian yang Peneliti berikan. Tanpa anda semua, Thesis ini tidak akan ada.
13. Seluruh pihak yang tidak dapat Peneliti sebutkan satu Persatu, terima kasih untuk segala dukungan dan bantuan untuk menyelesaikan thesis ini.
Akhirnya Peneliti memohon kepada Allah SWT agar seluruh dukungan,
bantuan, bimbingan dari semua pihak di balas dengan sebaik-baiknya balasan.
Amin.
Jakarta, 22 April 2019
Peneliti
-
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……..……………………………………………..……
HALAMAN PERSETUJUAN …………………………………………….… i
HALAMAN PENGESAHAN ……….………………………………………. ii
HALAMAN PERNYATAAN ……….………………………………………. iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ……..…………………………………….. iv
ABSTRAK ……………………………………………………………………. v
ABSTRACT ………………………………..…………………………………. vi
KATA PENGANTAR ………………….……………………………………. vii
DAFTAR ISI ……………………………….………………………………… ix
DAFTAR TABEL ………………………….………………………………… xii
DAFTAR GAMBAR ..……………………….……………………….............. xii
DAFTAR LAMPIRAN …………………….………………………………… xiv
BAB 1. PENDAHULUAN ……………….…………………………………..
1.1. Latar Belakang Masalah ……………………….……………… 1
1.2. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………………………… 11
1.2.1. Pembatasan masalah ………………….……………… 11
1.2.2. Perumusan masalah …………………..………………. 12
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………………..………………. 13
1.3.1. Tujuan Penelitian …………………….………………. 13
1.3.2. Manfaat Penelitian…………………………………….. 13
BAB 2. LANDASAN TEORI ………………………………….………….….
2.1. Adversity Quotient …………………………………………..… 15
2.1.1. Definisi Adversity Quotient ………..…………............... 15
2.1.2. Dimensi Adversity Quotient………………..……….…. 17
2.1.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adversity Quotient.. 20
2.1.4. Pengukuran Adversity Quotient ………………………….. 24
2.2. Beasiswa BIDIKMISI ……………………………….…………. 25
2.2.1. Definisi Beasiswa Bidikmisi..……………….………… 25
2.2.2. Tujuan Beasiswa Bidikmisi ……………………………… 25
2.2.3. Persyaratan Beasiswa Bidikmisi …………………..…….. 26
2.3. School Connectedness ……….….…………………………..….. 28
2.3.1. Definisi School Connectedness ……..…..………..…… 28
2.3.2. Dimensi School Connectedness …..…….…….…..…… 30
2.3.3. Pengukuran School Connectedness ………………….... 32
2.4. Academic Stress …..……….………………………………….. 33
2.4.1. Definisi Academic Stress ………..…………….……… 33
2.4.2. Dimensi Academic Stress ….…..……………….....…… 35
2.4.3. Pengukuran Academic Stress ………………………… 38
2.5. Learning Behavior ……………………………….……………. 39
2.5.1. Definisi Learning ..………………….……………… 39
2.5.2. Definisi Learning Behavior ..………………………… 40
2.5.3. Dimensi Learning Behavior ……………………………… 41
-
x
2.5.4. Pengukuran Learning Behavior …………………..…….. 42
2.6. Kerangka Berpikir …………………………………………….. 42
2.7. Hipotesis Penelitian ...…………………………………………. 45
2.7.1 Hipotesis Mayor ...………………………………….…. 46
2.7.2 Hipotesis Minor ...……………………………..………. 46
BAB 3. METODE PENELITIAN ………………………………………...…
3.1. Pendekatan Penelitian ………………………………………..... 48
3.2. Populasi dan Sampel Penelitian …………...…………..……….. 48
3.3. Variabel Penelitian ………….…………………………..……… 48
3.4. Instrumen Pengumpulan Data……………………..…………… 50
3.5. Uji Validitas ……………...…………………...………………… 55
3.5.1. Uji validitas dan reabilitas instrument ………..………. 55
3.5.2. Uji validitas konstruk Adversity Quotient……………... 55
3.5.3. Uji validitas konstruk School-Connectedness……….… 60
3.5.4. Uji validitas konstruk Academic Stress …...………..…. 63
3.5.5. Uji validitas konstruk Learning Behavior ……………. 68
3.6. Metode Analisis.. ……………………………………………….. 71
BAB 4. HASIL PENELITIAN ……………………….………………………
4.1. Gambaran Subjek Penelitian …………….…………………….. 76
4.1.1. Deskripsi subjek berdasarkan Jenis Kelamin…….….… 76
4.1.2. Deskripsi subjek berdasarkan Usia ……….……….…. 76
4.1.3. Deskripsi subjek berdasarkan Angkatan ……………… 77
4.1.4. Deskripsi subjek berdasarkan Fakultas ……………….. 77
4.2. Deskripsi Statistik Masing-masing Variabel Penelitian ……..… 78
4.2.1 Kategorisasi skor variabel penelitian ………………...… 79
4.2.2 Kategorisasi tingkat Adversity Quotient …………….…. 80
4.2.3 Kategorisasi tingkat School-Connectedness ….……..…. 80
4.2.4 Kategorisasi tingkat Academic Stress …………..…..…. 81
4.2.5 Kategorisasi tingkat Learning Behavior ………………. 83
4.3. Uji Hipotesis ………………………………..………………… 84
4.3.1. Analisis regresi variabel penelitian ..………………… 84
4.3.2. Pengujian proporsi varian setiap independen
variabel ………………………………………….…… 90
BAB 5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN ……..………………..…
5.1. Kesimpulan ……………………………………………………. 95
5.2. Diskusi …...……………………………………………………. 95
5.3. Saran ………………………………………..………………… 102
5.3.1. Saran teoritis ………………………………………….. 103
5.3.2. Saran praktis ………………………………………….. 103
DAFTAR PUSTAKA ……..……………………….………………………... 105
LAMPIRAN …………………………………………………...……………… 111
-
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Blue Print Skala Adversity Quotient ……………..…………. 52
Tabel 3.2 Blue Print Skala School-Connectedness…………………….. 53
Tabel 3.3 Blue Print Skala Academic Stress……………..…………….. 54
Tabel 3.4 Blue Print Skala Learning Behavior…………..…………….. 55
Tabel 3.5 Muatan Faktor Item Adversity Quotient (Control) …………. 56
Tabel 3.6 Muatan Faktor Item Adversity Quotient (Origin) ………….. 57
Tabel 3.7 Muatan Faktor Item Adversity Quotient (Reach) ……...…… 58
Tabel 3.8 Muatan Faktor Item Adversity Quotient (Endurance) ...……. 59
Tabel 3.9 Muatan Faktor Item School-Connectedness (Engagement) …. 60
Tabel 3.10 Muatan Faktor Item School-Connectedness (General Support) 62
Tabel 3.11 Muatan Faktor Item School-Connectedness (Spesific Support) 63
Tabel 3.12 Muatan Faktor Item Academic Stress (Affective) …………… 64
Tabel 3.13 Muatan Faktor Item Academic Stress (Behavior) …………… 65
Tabel 3.14 Muatan Faktor Item Academic Stress (Cognitive) …………… 67
Tabel 3.15 Muatan Faktor Item Academic Stress (Physiological) .……… 68
Tabel 3.16 Muatan Faktor Item Learning Behavior (Competence
Motivation)…………………………………………………… 69
Tabel 3.17 Muatan Faktor Item Learning Behavior (Attitude
Toward Learning)………………….………………………… 70
Tabel 3.18 Muatan Faktor Item Learning Behavior (Attention)………… 71
Tabel 4.1 Gambaran Umum Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ….… 76
Tabel 4.2 Gambaran Umum Subjek Berdasarkan Usia …………….… 76
Tabel 4.3 Gambaran Umum Subjek Berdasarkan Angkatan ……….… 77
Tabel 4.4 Gambaran Umum Subjek Berdasarkan Fakultas …………… 77
Tabel 4.5 Deskripsi Statistik Variabel Penelitian …………………….. 78
Tabel 4.6 Norma Skor Variabel………………………………….......... 79
Tabel 4.7 Kategorisasi Adversity Quotient……………………............. 80
Tabel 4.8 Kategorisasi School-Connectedness …………….………… 81
Tabel 4.9 Kategorisasi Academic Stress………….……………………. 82
Tabel 4.10 Kategorisasi Learning Behavior………….…………………. 83
Tabel 4.11 Tabel R-Square………………………………………..……. 84
Tabel 4.12 Anova Pengaruh Keseluruhan IV terhadap DV …..………... 85
Tabel 4.13 Koefisien Regresi ………………………….……………….. 86
Tabel 4.14 Kontribusi Varians IV terhadap DV ……….………………. 91
-
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Ilustrasi Kerangka Berpikir ………………...………………. 45
-
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 Alat Ukur Penelitian
LAMPIRAN 2 Syntax dan Path Diagram Adversity Quotient
LAMPIRAN 3 Syntax dan Path Diagram School Connectedness
LAMPIRAN 4 Syntax dan Path Diagram Academic Stress
LAMPIRAN 5 Syntax dan Path Diagram Learning Behavior
LAMPIRAN 6 Output Regresi School-Connectedness, Academic Stress
dan Learning Behavior pada mahasiswa Penerima
Beasiswa Bidikmisi UIN Jakarta
LAMPIRAN 7 Output Pengujian Proporsi Varians masing-masing
Variabel Independen.
LAMPIRAN 8 Data Excel
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pemerintah melalui Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Kementrian dan
Kebudayaan mulai tahun 2010 meluncurkan program biaya pendidikan Bidikmisi
yaitu bantuan biaya pendidikan bagi calon mahasiswa tidak mampu secara
ekonomi dan memiliki potensi akademik baik untuk menempuh pendidikan di
perguruan tinggi pada program studi uanggulan sampai lulus tepat waktu.
Program ini sejalan dengan Nawacita Pemerintah RI untuk meningkatkan
produktifitas rakyat dan daya saing di pasar internasional. Tujuan pemberian
beasiswa bidikmisi adalah untuk meningkatkan motivasi belajar mahasiswa,
meningkatkan prestasi mahasiswa baik di bidang akademik maupun non
akademik, serta menjadi dampak iring bagi mahasiswa untuk selalu meningkatkan
prestasi. Beasiswa bidikmisi diberikan selama delapan semester dalam jenjang
pendidikan S1 (Ditjen Dikti, 2015).
Pendidikan adalah hak setiap manusia, pemerintah mengeluncurkan program
beasiswa ini salah satunya untuk mahasiswa yang memiliki ekonomi yang kurang
mampu. Mahasiswa penerima beasiswa bidikmisi sebenarnya memiliki beban dan
tanggung jawab yang besar atas dirinya sendiri, dimana instasi tempat dia belajar,
keluarga dan Negara. Karena setelah melalui seleksi yang ketat untuk
mendapatkan beasiswa bidikmisi para mahasiswa penerima beasiswa bidikmisi di
Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta harus mempertahankannya
dengan cara, tidak boleh menikah, mengikuti kegiatan yang berkategori A (Hima,
-
2
BEM,UKM,dll), mempertahankan IP di atas 3,00 skala 4. Apabila mahasiswa
selama dua kali berturut-turut memiliki IP dibawah 3,00 maka beasiswa akan di
cabut secara automatis. Segala kegiatan mahasiswa UIN Jakarta harus terorganisir
dengan baik, sehingga mereka harus berjuang untuk mempertahankan dalam
melengkapi persyaratan-persyaratan mengikuti beasiswa bidikmisi.
Mahasiswa menghadapi banyak masalah dan kesulitan dalam kehidupan
sehari-hari mereka. Ada kebutuhan untuk mengembangkan kekuatan diantara
mereka sehingga mereka dapat menangani masalah dan kesulitan ini. Mahasiswa
menghadapi banyak masalah yang dapat dikaitkan dengan akademisi, lingkungan
dirumah, status sosial ekonomi, hubungan dengan teman, fisik, emosional, sosial
dan intelektual yang selanjutnya dapat menyebabkan mahasiswa meninggalkan
sekolah, melakukan bunuh diri, menikmati kebiasaan buruk, depresi, kekerasan,
tekanan, gangguan kecemasan, kecelakaan, dan lain-lain. Sangatlah penting untuk
mahasiswa mengetahui bahwa keberhasilan dalam akademik tidak hanya penting
saja tetapi mereka harus tahu bagaimana menghadapi situasi merugikan dan sulit
(Singh & Kaur 1997). Mahasiswa perlu memiliki adversity quotient untuk
mencapai kesuksesan meskipun banyak kesulitan atau masalah yang terjadi di
tengah perjalanannya menjadi seorang mahasiswa penerima beasiswa bidikmisi.
Hasil wawancara peneliti kepada seorang mahasiswa penerima beasiswa
bidikmisi, ditemukan bahwa ada pada mahasiswa bidikmisi yang kerap
mengalami kesulitan terutama dalam hal ekonomi, selain itu mahasiswa kerap
menunda pekerjaannya karena mengalami kelelahan akibat tugas yang terlalu
banyak dan tanggung jawab pada kegiatan oraganisasi yang diikuti, selain itu juga
-
3
terkadang kurang dapat membagi waktu belajarnya yang bekerja paruh waktu.
Ada juga yang mengatakan kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan
baru dan pertama jauh dari orang tua (bagi yang tinggal diluar daerah), banyak
yang merasa terbebani.
Fenomena lain yang peneliti dapatkan dari hasil wawancara salah satu
mahasiswa penerima beasiswa bidikmisi tahun 2016 fakultas dakwah dan
komunikasi UIN Jakarta, bahwa ia benar menerima beasiswa bidikmisi setiap
semesternya masih ada yang dicabut/ditarik kembali secara automatis karena
berkaitan dengan IPK dan mayoritas malas mengurus untuk mengurus bidikmisi
tersebut. Ia salah satu mahasiswa angkatan tahun 2016, mulai dari 2016 semester
2 ia mendapatkan biaya beasiswa bidikmisi. Ia mengungkapkan bahwa di tahun
2018, angkatannya 28 mahasiswa dicabut beasiswanya karena tidak memenuhi
persyaratan yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah dan universitas. Di tahun
2016 yang mendaftar beasiswa bidikmisi sebanyak 650 mahasiswa namun
diseleksi lagi dan yang diterima hanya 203 mahasiswa. Ditahun 2018, angkatan
2016 gugur ditengah jalan dikarenakan tidak memenuhi persyaratan sebanyak 28
mahasiswa dan diback-up kembali sebanyak 28 mahasiswa. Dengan melihat
fenomena yang ada mahasiswa saling bersaing untuk mempertahankan beasiswa
bidikmisi dengan adanya peluang back-up.
Bila mahasiswa dapat menghadapi masalah-masalah tersebut dengan baik,
maka akan menjadi modal dasar dalam menghadapi masalah selanjutnya sampai
dewasa. Kemampuan mahasiswa dalam menghadapi masalah-masalah yang ada
inilah oleh Stoltz disebut dengan Adversity Quotient atau (AQ) “daya juang”.
-
4
Menurut Stoltz (2000), adversity quotient (AQ) adalah ilmu tentang ketahanan
manusia. Orang yang berhasil menerapkan AQ akan bekerja secara optimal dalam
menghadapi kesulitan atau tantangan yang besar-kecil ketika datang di dalam
kehidupan. Bahkan mereka tidak hanya belajar untuk mengatasi tantangan saja,
melainkan menanggapi dengan cara yang lebih baik dan lebih cepat. Pada
dasarnya remaja memiliki Adversity Quotient (AQ) atau kemampuan mengatasi
masalah atau kesulitan. Hal ini dikemukakan oleh Gunarsa, S dan Gunarsa (1991)
dimana pemuda-pemudi atau para remaja itu memiliki daya juang, daya
menegakkan diri dan membentuk masa depannya sendiri. Dengan ketekunan dan
daya juang untuk mengatasi rintangan-rintangan diluar dirinya. Seseorang dapat
membentuk dan mengarahkan perjalanan hidupnya. seseorang mencoba
menggunakan kemampuan berfikirnya untuk memecahkan masalah-masalah yang
ada. menganalisa kesukatan dan mensitesanya kembali sebagai bahan untuk
merumuskan pengalamannya (Soejanto, 1990).
Stoltz (2000) mengemukakan bahwa kesuksessan seseorang terutama
ditentukan oleh cara dia menjelaskan atau merespon peristiwa-peristiwa dalam
kehidupan. Bermacam kesulitan yang dihadapi lebih baik dipositifkan.
Mempositifkan kesulitan berarti menjalani kehidupan dengan optimism dengan
pandangan optimis seseorang akan lebih sukses (Soejanto, 1990).
Bila remaja dapat menghadapi persoalan-persoalannya dia akan
mengembangkan rasa percaya diri dan mampu menghadapi segala macam
problema-problema yang ada. Bila tidak, dia akan mengembangkan perasaan
-
5
gagal dan tidak mampu menghadapi apa-apa. Dimana perasaan itu dapat tetap
tinggal dalam dirinya untuk selanjutnya (Soesilowindradini, 2006).
Adversity Quotient adalah bagian dari kehidupan pendidikan mahasiswa dan
dosen di lembaga instansinya. Tanggapan seseorang terhadap Adversity quotient
terbentuk melalui pengaruh orang tua, guru, teman sebaya dan orang-orang
penting lainnya. Selain itu, tanggapan orang terhadap kesulitan dapat terganggu
dan di ubah secara permanen, karena beberapa faktor. Studi kasus oleh Dweck,
2012 dalam Mike B.B, (2015) telah menunjukan bahwa tanggapan terhadap
adversity harus didalami. Dengan demikian akan menemukan dan mengukur AQ
dan faktor-faktor yang mempengaruhinya yang akan memungkinkan seseorang
untuk memahami bagaimana dan mengapa beberapa orang secara konsisten
melebihi prediksi dan harapan kemampuan intelektual mereka.
Menurut Stoltz (2000) AQ mempengaruhi, bahkan bisa menentukan daya
saing, produktivitas seseorang, kreativitas, motivasi, bagaimana seseorang
mengambil resiko, dan bagaimana melakukan perbaikan pada masa yang akan
datang. AQ juga bisa memprediksi ketekunan, daya belajar dari suatu peristiwa,
bagaimana merangkul perubahan yang ada, keuletan, stress dan tekanan yang
dialami, serta kemunduran dirinya.
Terdapat beberapa pendapat yang menyebutkan mengenai faktor-faktor yang
memengaruhi Adversity Quotient (AQ) pada mahasiswa. Stoltz (2000) dalam
bukunya menggambarkan potensi dan daya tahan seseorang dalam sebuah pohon
yang disebut pohon kesuksesan. Aspek-aspek yang ada dalam pohon kesuksesan
tersebut yang dianggap memengaruhi adversity quotient (AQ), diantaranya faktor
-
6
internal (genetika, keyakinan, bakat, hasrat/kemauan, karakter, kinerja, kecerdasan
dan kesehatan) dan faktor eksternal (pendidikan dan lingkungan). Mengingat hal
tersebut Mike (2015) mengungkapkan bahwa pentingnya mempelajari Adversity
Quotient dalam pembelajaran mahasiswa di Universitasnya. Menurutnya
Adversity Quotient dipengaruhi oleh lingkungan, penting untuk melihat interaksi
antara beberapa konstruk psikologis seperti student’s attribution, school-
connectedness dan teachers efficacy dan beberapa demografi yang mempengaruhi
seperti school ownership type, state location,usia dan jenis kelamin.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam lingkungan salah satunya adalah
mengenai lingkungan universitas. Yaitu dimana mahasiswa dapat diterima dan
dihargai baik itu oleh guru/dosen/karyawan dan mahasiswa yang lain. Sehingga
dalam hal ini mahasiswa merasa menjadi bagian dari lingkungan universitasnya
tersebut, dan inilah yang disebut dengan School Connectedness (Goodnow, 1993).
Blom (2002) menjelaskan bahwa universitas selain merupakan tempat untuk
mendapatkan pendidikan tetapi juga tempat yang membangun kehidupan para
generasi muda lebih baik serta mencapai kesuksesan. Selain itu dijelaskan bahwa
mereka merupakan “milik” universitas dan memiliki rasa “keterhubungan” pada
universitas atau disebut juga memiliki school connectedness.
School-connectedness merupakan faktor protektif yang kuat bagi para
mahasiswa untuk tidak melakukan perilaku menyimpang seperti menggunakan
obat-obatan, seks bebas, kekerasan, dan lain-lain. Para mahasiswa cenderung lebih
melakukan perilaku positif dan sukses secara akademis ketika mereka memiliki
rasa keterhubungan pada universitas (Resnick, 1993). Ketika mahasiswa tidak
-
7
memiliki school-connectedness dengan universitas, mereka lebih cenderung
terlibat dalam penggunaan narkoba, perilaku kekerasan dan seks bebas sejak dini
Lohmeier dan Lee (2011). Mereka juga sangat bereksiko tinggi untuk berprilaku
menyimpang seperti percobaan untuk bunuh diri (Resnick et al, 1993 dalam
Lohmeier & Lee (2011). Sebaliknya, mahasiswa yang memiliki rasa school-
connectedness yang tinggi maka akan tinggi pula academic achievementnya,
academic engagement, peer acceptance dan emotional well-beingnya (Anderman,
2002. Dalam Lohmeier & Lee (2011). universitas dapat memfasilitasi
keterhubungan dengan memberi perhatian lebih orang dewasa, perasaan aman dan
peluang keterlibatan dalam hal kreatif dan akademis (Whitlock, 2006. Dalam
Zhang Q & Lee W, 2009).
School-connectedness diartikan sebagai keyakinan yang dimiliki mahasiswa
bahwa orang-orang dewasa di dalam universitasnya peduli dengan pendidikan dan
mereka sebagai seorang individu (Blum, 2002). Keyakinan atau belief merupakan
kepercayaan dasar individu tentang suatu hal yang tebentuk tanpa disadari sebagai
akibat dari interaksi berulang dengan suatu pengalaman tertentu (Matsumoto,
2004). Kercher dan Lee (2002) mengungkapkan bahwa school-connectedness
terdiri dari rasa memiliki atau dukungan sosial, keterkaitan atau dukungan
relasional yang spesifik, keterlibatan yang aktif, dan nilai dukungan sosial yang
diterima atau tidaknya oleh mahasiswa.
Dengan adanya pemahaman yang baik mengenai school connectedness
terhadap adversity quotient mahasiswa, maka dosen dan pemimpin diuniversitas
dapat membangun suasana yang positif dalam lingkungan universitanya. Ketika
-
8
mahasiswa merasa dirinya dihargai, didukung dan diterima dalam lingkungan
universitasnya, maka secara tidak langsung akan terjadi peningkatan dan
perkembangan yang positif secara emosional maupun kualitas hidup mahasiswa
tersebut (Stracuzzi & Mills, 2010). Dengan memahami pengaruh school
connectedness terhadap adversity quotient mahasiswa, hal ini akan mempermudah
dosen maupun para pemimpin di kampusnya untuk membentuk lingkungan
universitas yang lebih efektif dalam menyelesaikan masalah.
Universitas memiliki peran penting dalam mengelola dan menyediakan
kegiatan mahasiswa yang dapat membantu untuk memperoleh adversity quotient
yang tinggi. universitas adalah salah satu sumber utama dari masalah dan
menciptakan beberapa jenis kesulitan. Salah satunya mahasiswa harus lulus dari
lingkungan pendidikannya yang penuh tekanan dengan tepat waktu (Hema &
Gupta, 2015). Mereka harus bertarung dan bersaing dengan kompetisi, tugas,
kegagalan dan hubungan yang buruk antara mahasiswa dan dosen harus
mendapatkan tekanan tinggi dalam mendapatkan nilai yang baik pula dan
melakukan yang terbaik dalam ujian, tekanan teman sebaya serta aspek-aspek
yang berkaitan dengan pendidikan mereka masing-masing.
School connectedness dalam ruang lingkup di Universitas adalah fasilitator
penting dalam keberhasilan mahasiswa (Wilson & Gore, 2016) Sejumlah
penelitian telah mengemukakan bahwa tingkat school connectedness yang tinggi
di Universitas secara positif mempengaruhi persistensi dan kelulusan mahasiswa
(Hausmann, Schofield & Woods 2007 dalam Wilson & Gore 2016). Menurut
Goodenow (1993) mengemukakan bahwa mahasiswa yang memiliki school
-
9
connectedness yang lebih tinggi memiliki angka rata-rata kuartal pertama dan
akademik yang lebih tinggi. Menuurut penelitian D’Souza (2006)
mengungkapkan ada hubungan yang signifikan antara adversity quotient dengan
kinerja sekolah dan iklim sekolah. Maka dari itu peneliti menjadikan lingkungan
yang berkaitan dengan universitas atau school-connectedness sebagai variable
independent yang akan diteliti.
Selain school-connectedness, academic stress berperan penting dalam
adversity quotient pada mahasiswa. Karena academic stress yang dialami oleh
mahasiswa mengalami peningkatan tiap semester. Berdasarkan hasil survei
pendahuluan yang dilakukan oleh Irma, Daud, dan Khumas (2005) mengenai
academic stress pada 102 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang ada di
Makassar diketahui bahwa terdapat 18% mahasiswa mengalami tingkat academic
stress yang rendah, 69% tingkat academic stress yang sedang, dan 15%
mengalami tingkat academic stress yang tinggi. Di sisi lain, banyak beasiswa dari
ilmu perilaku yang menawarkan penelitian mengenai topik ini, hal ini
membuktikan bahwa academic stress membutuhkan perhatian lebih (Agolla &
Ongori, 2009). Stress yang paling umum dialami oleh mahasiswa yaitu academic
stress. academic stress diartikan sebagai sesuatu keadaan individu mengalami
tekanan dari lingkungan perkuliahan dan penilaian tentang stressor akademik yang
berhubungan dengan ilmu pengetahuan dan pendidikan diperguruan tinggi
(Govaret & Gregoirea, 2004).
Selain school-connectedness, academic stress mempengaruhi adversity
quotient. Penelitian yang dilakukan oleh Agolla dan Ongori (2009) juga
-
10
menemukan efek stress terhadap mahasiswa diantaranya 88% mahasiswa
mengalami memiliki masalah pencernaan, 75% mengalamikecemasan di rumah
atau di kampus, 32% makan-minum-merokok berlebihan untuk mengurangi
kecemasan, 77% merasa ketegangan atau nyeri di leher atau bahu, sakit kepala,
atau sesak nafas, 85% tidak dapat berhenti berfikir mengenai permasalahan
mereka atau tidak dapat merasa tenang, 88% memiliki masalah dalam
berkonsentrasi karena selalu mengkhawatirkan hal lain, dan 16% mahasiswa
memerlukan obat untuk menenangkan diri.
Stress yang dipersepsikan negative/yang terlalu berlebihan dapat
menyebabkan masalah pada kinerja akademik maupun pada kesehatan para
mahasiswa. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh American College Health
Association pada tahun 2006, salah satu masalah kesehatan yang paling besar
yaitu yang memiliki dampak pada kinerja akademik mahasiswa salah satunya
masalah stress akademik. Sekitar 32% mahasiswa menyatakan bahwa stress
akademik mengakibatkan kuliah yang tidak selesai (drop out) atau nilai yang lebih
rendah (Kadapatti & Vijayalaxmi, 2012).
Selain academic stress, learning-behavior mempengaruhi adversity quotient.
Menurut Zahyah (2013) dalam Kaur & Singh (1997), ada hubungan yang positif
antara adversity quotient dengan learning behavior. Karena learning behavior
faktor yang sangat penting bagaimana cara seseorang belajar dan berprilaku dalam
suatu kondisi. McDermott (1999) mendeskripsikan alasan-alasan yang teoritis
untuk pentingnya dalam mempertimbangkan learning behavior dalam menilai
kesulitan seseorang. Perbedaannya adalah bahwa learning behavior Mereka
-
11
mempelajari perilaku yang diidentifikasi oleh ahli perkembangan dan
pembelajaran (Anderson & Messick, 1974; Stipek,2008 dalam Canivez.L.G,
2006).
McDermott, et al (2012) dalam Canivez.L.G, (2006). Mendefinisikan learning
behavior mengacu kepada perilaku yang ditunjukkan oleh seseorang ketika
melakukan tugas-tugasnya yang dapat mendorong pembelajaran, baik secara
akademis, sosial, maupun emosional. Ia membagi learning behavior menjadi 4
model factor, antara lain competence motivation (CM), Attitude Toward Learning
(AL), Attention/Persistence (AP), dan Strategy/Flexibility (SF).
Dari penjelasan diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti Adversity
Quotient (AQ) yang dapat menentukan kesuksessan dan kegagalan mahasiswa
penerima bidikmis UIN Jakarta angkatan 2016. Maka peneliti tertarik untuk
melihat “Pengaruh School-Connectedness, Academic Sress dan Learning-
Behavior terhadap Adversity Quotient Pada Mahasiswa Penerima Beasiswa
Bidikmisi UIN Jakarta”.
1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah
1.2.1 Pembatasan Masalah
untuk menjaga agar penelitian ini terfokus dan tidak melebar terlalu jauh, maka
penulis membatasi masalah sebagai berikut :
a. Adversity quotient
Kemampuan untuk mengubah hambatan menjadi peluang keberhasilan
dalam mencapai suatu tujuan. Pada penelitian ini adversity quotient yang
diteliti menggunakan konsep adversity quotient menurut Stoltz (2000)
-
12
yang terdiri dari :control (pengendalian), origin dan ownership (asal usul
dan pengakuan), reach (jangkauan) dan endurance (daya tahan).
b. School-connectedness
Terdiri dari rasa memiliki atau dukungan sosial, keterkaitan atau dukungan
relasional yang spesifik, keterlibatan yang aktif, dan nilai dukungan sosial
yang diterima atau tidaknya oleh mahasiswa (Kercher & Lee, 2002).
c. Academic Sress
Mengacu pada suatu keadaan di mana terdapat tuntutan akademik yang
melebihi sumber daya yang tersedia disertai dengan reaksi-reaksi fisik,
emosi, kognitif dan tingkah laku yang diarahkan untuk menghadapi
peristiwa stress tersebut (Gadzella, 1991).
d. Learning Behavior
Mengacu kepada perilaku yang ditunjukkan oleh seseorang ketika
melakukan tugas-tugasnya yang dapat mendorong pembelajaran, baik
secara akademis, sosial, maupun emosional (McDermott , 1999). yang
dibagi menjadi 4 model factor, antara lain competence motivation (CM),
Attitude Toward Learning (AL), Attention/Persistence (AP), dan
Strategy/Flexibility (SF)
e. Mahasiswa/I UIN Jakarta
Dalam penelitian ini penulis memilih Mahasiswa UIN Penerima Beasiswa
Bidikmisi
1.2.2 Perumusan Masalah
-
13
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka masalah
yang akan diteliti dirumuskan sebagai berikut :
1. Apakah ada pengaruh yang signifikan School-Connectedness terhadap
adversity quotient mahasiswa penerima beasiswa bidikmisi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta?
2. Apakah ada pengaruh yang signifikan Academic Stress terhadap adversity
quotient mahasiswa penerima beasiswa bidikmisi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta ?
3. Apakah ada pengaruh yang signifikan learning behavior terhadap
adversity quotient mahasiswa penerima beasiswa bidikmisi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta?
4. Apakah ada pengaruh yang signifikan school-connectedness, self-concept
dan learning behavior terhadap adversity quotient mahasiswa penerima
beasiswa bidikmisi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui
pengaruh yang school-connectedness, learning behavior dan Academic Stress
terhadap adversity quotient mahasiswa penerima beasiswa bidikmisi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
1.3.2 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis
maupun praktis, yaitu :
-
14
a. Manfaat teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam memperluas
ilmu pengetahuan di bidang psikologi, khususnya psikologi pendidikan mengenai
perbedaan adversity quotient ditinjau dari
b. Manfaat praktis
- Bagi Mahasiswa
Melalui penelitian ini diharapkan mahasiswa penerima beasiswa bidik misi
dapat memiliki adversity quotient yang tinggi agar siswa tidak mudah
menyerah dalam menghadapi kesulitan.
- Bagi perguruan tinggi
Melalui penelitian ini diharapkan pihak perguruan tinggi dapat
memperhatikan mahasiswa penerima beasiswa bidik misi dalam kegiatan
apapun agar siswa dapat meningkatkan adversity quotient.
- Bagi Peneliti
Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan bahan
referensi bagi peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian di masa
yang akan datang.
-
15
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Adversity Quotient
2.1.1 Definisi Adversity Quotient
Adversity atau kesulitan adalah salah satu kekuatan paling ampuh dalam
kehidupan manusia untuk membentuk karakter seseorang, mengklarifikasi
prioritas dan menentukan jalur individu. Setiap individu menghadapi berbagai
macam kesulitan setiap harinya, mulai dari masalah kecil hingga besar bahkan
tragedi. Jalan untuk menuju kesuksessan baik dalam bisnis maupun kehidupan
menjadi suatu keberuntungan (Stoltz & Weihenmayer dalam Maureen A. M,
2016). Kesulitan adalah bagian dari hidup dan seseorang memilih cara mereka
masing-masing untuk menanggapinya (Brunkhorst, 2013 dalam Maureen
M,2015).
Adversity quotient (AQ) adalah suatu teori yang dicetuskan oleh Paul G.
Stoltz, Ph.D, seorang President of PEAK Learning Incorporated yang meraih
gelar doktor dalam bidang komunikasi dan pengembangan organisasi. Stoltz juga
telah menjadi konsultan dan pemimpin dalam bidang pemikiran untuk berbagai
macam organisasi di seluruh dunia. Konsep IQ (intelligence quotient) telah lama
dianggap sebagai penentu kesuksesan, namun ternyata beberapa orang dengan IQ
tinggi tidak sedikit yang mengalami kegagalan. Setelah konsep IQ terkenal,
Daniel Goleman memperkenalkan konsep baru mengenai kecerdasan, yaitu EQ
(emotional quotient). Menurut Stoltz (2000) IQ dan EQ tidak cukup untuk
memprediksi kesuksesan seseorang, hal ini didukung setelah dilakukan riset
-
16
selama 19 tahun dan penerapannya selama 10 tahun. Suksesnya pekerjaan dan
hidup seseorang terutama ditentukan oleh adversity quotient (AQ).
Sebagaimana yang diungkapkan Stoltz (2000) adversity quotient sebagai
kecerdasan seseorang dalam menghadapi rintangan atau kesulitan secara teratur.
Adversity quotient membantu individu memperkuat kemampuan dan ketekunan
dalam menghadapi tantangan hidup sehari-hari seraya tetap berpegang teguh pada
prinsip dan impian tanpa memperdulikan apa yang sedang terjadi. AQ juga
memprediksi siapa yang akan gagal dan siapa yang akan melampaui harapan-
harapan atas kinerja dan potensinya. AQ juga mempredikisi siapa yang akan
menyerah ataupun bertahan (Stoltz, 2000).
Menurut Stoltz (2005) adversity quotient adalah suatu kemampuan untuk
mengubah hambatan menjadi peluang keberhasilan mencapai tujuan. AQ
mengungkap seberapa jauh seseorang mampu bertahan menghadapi kesulitan
yang dialaminya. AQ juga mengungkap bagaimana kemampuan seseorang untuk
mengatasi kesulitan tersebut. AQ memprediksi siapa yang mampu dan siapa yang
tidak mampu dalam mengatasi kesulitan.
AQ dapat membantu individu dalam memperkuat kemampuan dan ketekunan
mereka dalam menghadapi tantangan atau kesulitan hidup dengan tetap berpegang
pada prinsip dan impian mereka tanpa mempedulikan yang terjadi (Stoltz, 2000).
Leman (2007) mendefinisikan adversity Quotient sebagai kemampuan seseorang
untuk menghadapi masalah, beberapa definisi diatas yang cukup beragam,
terdapat focus atau titik tekan, yaitu kemampuan yang dimiliki seseorang, baik
fisik ataupun psikis dalam menghadapi problematika atau permasalahan yang
-
17
sedang dialami. Setiap orang pasti memimpikan sebuah kesuksessan. Akan tetapi
dalam mencapai kesuksessan itu sendiri butuh perjuangan yang tidak mudah, pasti
akan selalu ada cobaan, rintangan maupun kesulitan yang menghadang (Hans,
2006).
Kusnandar (2008) mengemukakan pendapat bahwa kesulitan memiliki
kekuatan unik untuk menginspirasikan kecerahan yang luar biasa, membersihkan
sama sekali sisa-sisa kelesuan, memfokuskan kembali prioritas, mengasah
karakter dan melepaskan tenaga yang lebih kuat. Bahkan kemunduran kecil
sekalipun menjadi lahan subur bagi peningkatan perilaku. Jika mengurangi
kesulitan akan menghilankan kekayaan paling dalam, bakat tertinggi dan pelajaran
paling berharga dari kehidupan. Semakin besar kesulitan yang dihindari, semakin
rendah kapasitas diri. Surekha (Wijaya, 2007) mengungkapkan bahwa “adversity
quotient” adalah kemampuan berfikir, mengelola dan mengarahkan tindakan yang
membentuk suatu pola-pola tanggapan kognitif dan perilaku atas stimulus
peristiwa-peristiwa dalam kehidupan yang merupakan tantangan atau kesulitan
sebagai peluang.
Dari beberapa definisi diatas, peneliti menggunakan adversity quotient
berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Stoltz adalah kemampuan untuk
mengubah hambatan menjadi peluang keberhasilan dalam mencapai suatu tujuan.
2.1.2 Dimensi-dimensi Adversity Quotient
Stoltz (2000) menawarkan empat dimensi dasar yang akan menghasilkan
kemampuan adversity quotient yang tinggi, yaitu :
-
18
a. Kendali/control ( C )
Kendali umumnya bersifat internal dan seringnya sangat bersifat individual,
karena diri sendirilah yang bisa mengendalikan respon yang diterima dari
lingkungan. Harapan dan tindakan akan tumbuh jika diwadahi oleh suatu
kemampuan yang dinamakan kendali (Stoltz, 2000).
Kendali berkaitan dengan seberapa besar orang merasa mampu
mengendalikan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya dan sejauh mana
individu merasakan bahwa kendali itu ikut berperan dalam peristiwa yang
menimbulkan kesulitan. Semakin besar kendali yang dimiliki semakin besar
kemungkinan seseorang untuk dapat bertahan menghadapi kesulitan dan
tetap teguh dalam niat serta ulet dalam mencari penyelesaian. Demikian
sebaliknya, jika semakin rendah kendali, akibatnya seseorang menjadi tidak
berdaya menghadapi kesulitan dan mudah menyerah.
b. Kepemilikan/origin and ownership ( O2 )
Origin – Ownership atau biasa disebut O2 adalah satu kesatuan yang tidak
bisa dipisahkan. Origin yaitu asal usul dari kesulitan yang dialami; siapa
atau apa yang menyebabkan kesulitan itu terjadi. Hal ini berkaitan dengan
rasa bersalah. Rasa bersalah melihat sejauh mana seseorang
mempermasalahkan dirinya, orang lain, atau lingkungannya saat menjadi
sumber kesulitan atau kegagalan yang dialami
Kepemilikan atau dalam istilah lain disebut dengan asal-usul dan pengakuan
akan mempertanyakan siapa atau apa yang menimbulkan kesulitan dan
sejauh mana seorang individu menganggap dirinya mempengaruhi dirinya
-
19
sendiri sebagai penyebab asal-usul kesulitan. Orang yang skor origin (asal-
usulnya) rendah akan cenderung berfikir bahwa semua kesulitan atau
permasalahan yang datang itu karena kesalahan, kecerobohan, atau
kebodohan dirinya sendiri serta membuat perasaan dan pikiran merusak
semangatnya.
c. Jangkauan /reach ( R )
Jangkauan merupakan bagian dari adversity quotient yang mempertanyakan
sejauh manakah kesulitan akan menjangkau bagian lain dari individu. Reach
juga berarti sejauh mana kesulitan yang ada akan menjangkau bagian-bagian
lain dari kehidupan seseorang. Reach atau jangkauan menunjukkan
kemampuan dalam melakukan penilaian tentang beban kerja yang
menimbulkan stress. Semakin tinggi jangkauan seseorang, semakin besar
kemungkinannya dalam merespon kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik
dan terbatas. Semakin efektif dalam menahan atau membatasi jangkauan
kesulitan, maka seseorang akan lebih berdaya dan perasaan putus asa atau
kurang mampu membedakan hal-hal yang relevan dengan kesulitan yang
ada, sehingga ketika memiliki masalah di satu bidang dia tidak harus merasa
mengalami kesulitan untuk seluruh aspek kehidupan individu tersebut.
d. Daya tahan/endurance ( E )
Dimensi ini lebih berkaitan dengan persepsi seseorang akan lama atau
tidaknya kesulitan akan berlangsung. Daya tahan dapat menimbulkan
penilaian tentang situasi yang baik atau buruk. Seseorang yang mempunyai
daya tahan yang tinggi akan memiliki harapan dan sikap optimis dalam
-
20
mengatasi kesulitan atau tantangan yang sedang dihadapi. Semakin tinggi
daya tahan yang dimiliki oleh individu, maka semakin besar kemungkinan
seseorang dalam memandang kesuksesan sebagai sesuatu hal yang bersifat
sementara dan orang yang mempunyai adversity quotient yang rendah akan
menganggap bahwa kesulitan yang sedang dihadapi adalah sesuatu yang
bersifat abadi, dan sulit untuk diperbaiki.
2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adversity Quotient
Menurut Paul G Stoltz (2000) dalam bukunya menggambarkan potensi dan daya
tahan individu dalam sebuah pohon yang disebut pohon kesuksesan. Aspek-aspek
yang ada di dalam pohon kesuksesan tersebut yang dianggap mempengaruhi
adversity quotient seseorang, diantaranya sebagai berikut :
1. Faktor internal
a. genetika
Warisan genetic tidak akan menentukan nasib seseorang tetapi pasti ada
pengaruh dari factor ini. Beberapa riset terbaru menunjukkan bahwa
genetic sangat mungkin mendasari perilaku seseorang. Yang paling
umum adalah kajian tentang ratusan anak kembar identic yang tinggal
terpisah sejak lahir dan dibesarkan dilingkungan yang berbeda. Saat
mereka dewasa, ternyata ditemukan kemiripan-kemiripan dalam
perilaku.
b. Keyakinan
Keyakinan mempengaruhi seseorang dalam menghadapi suatu
permasalahan serta membantu individu dalam mencapai tujuan
-
21
hidupnya. Fishbein dan Ajzen (1975) mengungkapkan bahwa
keyakinan diartikan sebagai penilaian subjektif terhadap dunia,
termasuk pemahaman seseorang terhadap diri sendiri dan
lingkungannya. Keyakinan juga diperoleh dari hasil belajar. Keyakinan
juga dipengaruhi oleh latar belakang budaya tempat individu hidup,
seperti budaya di kempus maupun di rumah. Stoltz (2000)
mengungkapkan bahwa keyakinan akan menimbulkan motivasi dan
sebagian besar orang yang sangat sukses memiliki faktor keyakinan di
dalam dirinya.
c. Bakat
Kemamppuan dan kecerdasan seseorang dalam menghadapi situasi
dalam suatu kondisi yang tidak menguntungkan bagi dirinya sendiri.
Salah satunya dipengaruhi oleh bakat. Bakat adalah gabungan antara
pengetahuan, kompetensi, pengalaman, dan keterampilan.
d. Hasrat atau kemauan
Untuk menecapai kesuksessan dalam kehidupan diperlukan tenaga
pendorong yang berupa keinginan atau disebut dengan hasrat.
e. Karakter
Seseorang yang berkarakter baik, semangat, tangguh dan cerdas akan
memiliki kemampuan untuk mencapai sukses. Karakter merupakan
bagian yang penting bagi kita untuk meraih kesuksesan dan hidup
berdampingan secara damai.
-
22
f. Kinerja
Merupakan bagian yang mudah dilihat oleh orang lain sehingga
seringkali hal ini sering dievaluasi dandinilai. Salah satunya adalah
keberhasilan seseorang dalam menghadapi masalah dan meraih tujuan
hidup dapat diukur lewat kinerja.
g. Kecerdasan
Bentuk-bentuk kecerdasan disini dipilih menjadi beberapa bagian yang
sering disebut sebagai multiple intelligence. Bagian kecerdasan yang
dominan biasanya mempengaruhi karir, pekerjaan, pelajaran dan hobi.
h. Kesehatan
Kesehatan emosi dan fisik dapat mempengaruhi seseorang dalam
menanggapi kesuksesan. Seseorang yang dalam keadaan sakit akan
mengalihkan perhatiannya dari maslaah yang sedang dihadapinya.
Kondisi fisik dan psikis yang fit akan mendukung seseorang dalam
menyelesaikan masalahnya.
2. Faktor eksternal
a. Pendidikan
Pendidikan dapat membentuk kecerdasan, pembentukan kebiasaan
yang sehat, perkembangan watak, keterampilan, hasrat dan kinerja
yang dihasilkan. Penelitian yang dilakukan Gest, Dkk. (1999 dalam
McMillan, 2008) menyebutkan bahwa meskipun seseorang tidak
menyukai kemalangan atau kesengsaraan yang diakibatkan oleh pola
hubungan dengan orangtua namun permasalahan orangtua secara
-
23
langsung ikut berperan penting dalam perkembangan ketahanan
remaja. Salah satunya sarana dalam pembentukan sikap dan perilaku
adalah melalui pendidikan. Grotberg (1999) menyatakan bahwa pola
asuh orangtua dan respon lingkungan sosial disekitar anak memberikan
dukungan dan dasar kemampuan anak untuk menyikapi kesulitan
hidup. Adversity quotient dengan kata lain dipengaruhi oleh
lingkungan dimana setiap individu memiliki pengalaman yang berbeda
dan cara menyikapi yang berbeda terhadap suatu lingkungan tertentu
baik formal maupun informal.
b. Lingkungan
Lingkungan tempat individu tinggal dan dapat mempengaruhi
bagaimana individu berpadaptasi dan memberikan respon kesulitan
yang dihadapinya. Individu yang terbiasa hidup dalam lingkungan sulit
akan memiliki adversity quotient yang lebih tinggi. Menurut Stoltz
(2000) individu terbiasa berada dilingkungan yang sulit akan memiliki
adversity quotient yang lebih besar karena pengalaman dan
kemampuan beradaptasi yang lebih baik dalam mengatasi masalah
yang dihadapi.
Menurut Carol Dweck dalam Stoltz (2000) mengungkapkan bahwa salah
satu faktor yang mempengaruhi adversity quotient adalah, menurutnya Belajar
membuktikan bahwa anak-anak yang merespom secara optimis akan banyak
belajar dan lebih berprestasi dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki pola
pesimis. Menurut Kun, Sigh dan Kaur (1997) achievement motivation dan
-
24
learning behavior. Menurut Nikam dan Uplane (2013) defense mechanism,
intelligence, decision making ability, risk taking ability dan jenis kelamin. Yakoh,
Chongkrukasa dan Prinyapol (2015) parenting style dan usia. (Pangma, dkk,.
2009) Dominance, Self-Esteem, Enthusism, Self-Confidence Affect, Ambition dan
Achivement Motivation. (Mike, 2015) School Connectedness.
2.1.4 Pengukuran Adversity Quotient
Ada beberapa alat ukur yang digunakan untuk mengukur adversity quotient,
antara lain adalah :
1. Adversity quotient response test yang dikemukakan oleh Stoltz pada tahun
(1997).
2. Adversity quotient scales yang dikembangkan oleh Kaur dan Sigh pada tahun
(1997)
3. ARP (Adversity Response Profile) yang telah disusun oleh Paul G. Stoltz
(2000).
Dalam penelitian ini, dari beberapa ala ukur yang dikemukakan diatas, peneliti
menggunakan alat ukur yang digunakan untuk mengukur adversity quotient,
diukur melalui skala ARP (Stoltz, 2000). Skala ini mencakup empat aspek
pembentuk AQ yaitu CO2RE:
a. Control
(pengendalian) yaitu sejauh mana seseorang mampu mempengaruhi dan
mengendalikan respon individu secara positif terhadap situasi apapun.
-
25
b. Origin-Ownership
(asal-usul dan pengakuan), yaitu sejauh mana seseorang menanggung akibat
dari suatu situasi tanpa mempermasalahkan penyebabnya.
c. Reach
(jangkauan) yaitu sejauh mana seseorang membiarkan kesulitan menjangkau
bidang lain dalam pekerjaan dan kehidupannya.
d. Endurance
(daya tahan) yaitu seberapa lama seseorang mempersepsikan kesulitan ini
akan berlangsung.
2.2 Beasiswa Bidikmisi
2.2.1 Definisi Beasiswa Bidikmisi
Beasiswa adalah bantuan yang diberikan oleh pihak tertentu kepada
perorangan yang digunakan demi keberlangsungan pendidikan yang ditempuh.
Beasiswa bidikmisi adalah suatu program bantuan biaya pendidikan yang
diberikan dari Pemerintah melalui Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Ditjen
Dikti) kementrian Pendidikan dan Kebudayaan mulai tahun 2010 kemarin, kepada
mahasiswa-mahasiswa yang memiliki potensi akademik yang memadai dan
kurang mampu secara ekonomi serta aktif dalam kehidupan kampus (Kemenag,
2014).
2.2.2 Tujuan Beasiswa Bidikmisi
Adapun tujuan dalam mengadakan beasiswa bidikmisi ini adalah sebagai berikut :
a. meningkatkan motivasi belajar dan prestasi calon mahasiswa, khususnya
mereka yang menghadapi kendala dalam perekonomian
-
26
b. meningkatkan akses dan kesempatan belajar di perguruan tinggi bagi
peserta didik yang tidak mampu secara ekonomi dan berpotensi akademik
yang baik.
c. Menjamin keberlangsungan studi mahasiswa sampai selesai dan tepat
waktu
d. Meningkatkan prestasi siswa, baik pada bidang kurikuler, kokurikuler
mapupun ekstrakurikuler.
e. Menimbulkan dampak iring bagi mahasiswa dan calon mahasiswa lain
untuk selalu meningkatkan prestasi dan kompetitif
f. Melahirkan lulusan yang mandiri, produktif dan memiliki kepedulian
social, sehingga mampu berperan dalam upaya pemutusan mata rantai
kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat.
2.2.3 Persyaratan Beasiswa Bidikmisi
Adapun sasaran pada program bidikmisi ini adalah lulusan satuan
pendidikan MA/MAK/SMA/SMK atau bentuk lain yang sederajat tahun 2016
yang tidak mampu secara ekonomi dan memiliki potensi akademik yang baik,
yang melanjutkan pendidikan tinggi di Perguruan Tinggi Agama Islam Negri di
bawah Kementrian Agama pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Persyaratan untuk mendaftar tahun 2016 adalah sebagai berikut :
1. Siswa MA/MAK/SMA/SMK atau bentuk lain yang sederajat, lulus pada
tahun 2016 dan memiliki potensi akademik yang memadai serta kurang
mampu secara ekonomi
-
27
2. Tidak mampu secara ekonomi sebagai berikut : Pendapatan orangtua
-
28
Kebijakan yang diberikan akan dipertimbangkan oleh pengelola beasiswa
bidikmisi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.3 School Connectedness
School connectedness merupakan faktor protektif yang kuat bagi para
mahasiswa untuk tidak melakukan perilaku kenakalan remaja seperti
menggunakan obat-obatan, seks bebas, kekerasan, dan lain-lain. Para mahasiswa
cenderung lebih melakukan perilaku positif dan sukses secara akademis ketika
mereka memiliki rasa keterhubungan pada universitasnya (Resnick, 1993).
2.3.1 Definisi School Connectedness
Blum (2002) mendefinisikan school connectedness sebagai keyakinan
yang dimiliki mahasiswa bahwa orang-orang dewasa di universitasnya peduli
dengan pendidikan mereka serta mempedulikan mereka sebagai seorang individu.
Beberapa konsep serupa sudah sering diteliti dengan memberikan istilah sebagai
“school engagement” sementara yang lain menyebutnya sebagai “school
attachment” dan yang lain menganalisisnya sebagai “school bonding”. Akan
tetapi school connectedness memiliki perbedaan di antara konsep-konsep tersebut.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Libbey (2004) ditemukan bahwa
school connectedness memiliki cakupan konstruk yang lebih luas dibandingkan
konsep lainnya. Pada konsep school connectedness mencakup beberapa konstruk
seperti kelekatan, komitmen, dukungan guru, hubungan teman sebaya , dan lainya.
Menurutnya school-connectedness sebagai persepsi mahasiswa diterima oleh
universitas dan mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari universitasnya
(Libbey, 2004. Dalam Frydenberg, Care, Freeman & Chan 2009).
-
29
Keyakinan atau belief merupakan kepercayaan dasar individu tentang
suatu hal yang tebentuk tanpa disadari sebagai akibat dari interaksi berulang
dengan suatu pengalaman tertentu (Matsumoto, 2004). Kercher dan Lee (2002)
mengungkapkan bahwa school-connectedness terdiri dari rasa memiliki atau
dukungan sosial, keterkaitan atau dukungan relasional yang spesifik, keterlibatan
yang aktif, dan nilai dukungan sosial yang diterima atau tidaknya oleh mahasiswa.
Menurut Ahmed (2008), school connectedness adalah rasa memiliki di
dalam kampus yang mewakili “kesatuan” atau rasa identitas yang saling
berhubungan. Ketika mahasiswa merasa dekat secara emosional dengan
universitas mereka cenderung menjadi seseorang yang aktif di dalam bagian dari
universitasnya serta menampilkan obedience pada standard dan norma-norma
yang ada. Menurut Resnick (1997) dalam Hurd, dkk (2015) mengemukakan
bahwa school connectedness sebagai pengalaman yang dimiliki mahasiswa dalam
mendekatkan dirinya dengan orang disekitar universitasnya. Mengingat bahwa
seseorang menghabiskan lebih banyak waktu berjam-jam di universitas dari pada
di rumahnya dilihat bagaimana hubungan mereka terhadap konteks ini sangat
penting untuk perkembangan psikososial dan prestasi akademiknya (Hurd, 2015).
Selain itu, perasaan terhubungnya sebagai mahasiswa menjadi lebih mandiri dari
orangtua mereka dan lebih bergantung pada hubungan lain seperti dengan teman
sebaya dan orang-orang yang ada di sekitar universitasnya (Hurd, 2015).
Definisi lain dikemukakan oleh McNeely (2002) yang menyatakan bahwa
school connectedness mucul ketika mahasiswa yakin bahwa mereka bagian dari
universitasnya dan adanya kelekatan antara mahasiswa dengan orang-orang di
-
30
sekitar universitasnya. School connectedness tidak hanya memandang rasa
kelekatan tetapi rasa aman dan kenyamanan mahasiswa di universitasnya,
komitmen, serta pencapaian akademik mahasiswa di universitasnya. Centre for
School Mental Health Anlysis and Action (CSMH) mendefinisikan school
connectedness perasaan positif akan pendidikan, keterikatan pada universitasnya,
dan memiliki hubungan positif dengan orang-orang dan teman sebaya di
universitasnya.
Menurut Gross (1954) dalam Wilson & Gore (2016) mengemukakan
bahwa manusia memiliki kebutuhan primer untuk merasa memiliki suatu
kelompok. School connectedness didefinisikan sebagai rasa subjektif kepada
“mahasiswa” didalam universitasnya, dan persepsi bahwa mereka secara pribadi
diterima, dihormati, termasuk didukung oleh orang lain di akademis
universitasnya.
Berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas maka maka peneliti
menyimpulkan definisi mengacu pada teori Karcher dan Lee (2002) bahwa
school-connectedness terdiri dari rasa memiliki atau dukungan sosial, keterkaitan
atau dukungan relasional yang spesifik, keterlibatan yang aktif, dan nilai
dukungan sosial yang diterima atau tidaknya oleh mahasiswa.
2.3.2 Dimensi School-Connectedness
Karcher dan Lee, 2002 (dalam Lohmeir & Lee, 2014) menyatakan bahwa
school-connectedness terdiri dari tiga dimensi utama, yaitu:
-
31
a. Dukungan Sosial (specific support)
Aspek ini berfokus pada dukungan guru dan staf lainnya yang berada di
kampus terhadap seluruh mahasiswa tanpa membedakan jenis kelamin, ras,
maupun etnis. Selain itu didasarkan pada sejauh mana mahasiswa merasa
dekat dan bernilai oleh dosen dan staf lainnya di kampusnya. Biasanya diukur
melalui laporan mahasiswa mengenai apakah dosennya menyukai dirinya
atau tidak, kepedulian mereka terhadap apa yang dinilai oleh dosen,
kenyamanan ketika berbicara dengan dosen, seberapa sering dosen memuji
mereka.
b. Rasa Memiliki (general support/belongingness)
Didefinisikan sebagai rasa yang ngukur belongingness ini sering meliputi
tingkat di mana mahasiswa dimiliki oleh mahasiswa mengenai dirinya
sebagai bagian dari universitasnya. Merasa dihormati di kampusnya, menjadi
bagian dari kampusnya, merasa orang-orang yang ada di kampus peduli
dengannya, dan memiliki teman di kampus.
c. Keterlibatan (engangement)
Aspek ini merefleksikan resiprokasi mahasiswa atas rasa memiliki
(belonging) dan dukungan yang didapat melalui kepedulian yang aktif dan
keterlibatan dalam bagiannya.
Menurut Thompson, dkk (2006) mengemukakan bahwa dimensi school
connectedness adalah liking school, a sense of belonging at school, positive
relations with teachers, and friends at school and active engagement in school
activities. Menurut Jimerson (2003) dalam Chung, dkk (2015), mengemukakan
-
32
ada bebrapa dimensi dari school-connectedness, antara lain school involvement,
academic motivation, school attachment, teacher support dan peer relations.
Dari beberapa dimensi diatas, peneliti menggunakan dimensi menurut
Karcher dan Lee (2002) yaitu Dukungan Sosial (specific support), Rasa Memiliki
(general support/belongingness) dan Keterlibatan (engangement).
2.3.3 Pengukuran School-Connectedness
Penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya mengenai school-
connectedness pada umumnya menggunakan by two set drawings: smiley face
scale yang dikemukakan oleh Mooney, dkk (1991) dalam Ahmed (2008) ,
instrument yang dikembangkan oleh “the national educational longitudinal study
NELS88), school connectedness measurement items yang dikemukakan oleh
Nickerson, Hopson dan Steinke (2011), The Psychological Sense of School
Membership (PSSM) yang dikemukakan oleh Goodenow (1993). Namun alat ukur
diatas fokus kepada kesehatan dan untuk responden anak-anak atau remaja
(siswa).
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur school connectedness adalah
school-connectedness scale yang mencangkup aspek yang dikemukakan oleh
Karcher dan Lee, (2002) yakni Dukungan Sosial (specific support), Rasa
Memiliki (general support/belongingness) dan Keterlibatan (engangement).
dimana skala ini berjumlah 51 item.
-
33
2.4 Academic Stress
2.4.1 Definisi Academic Stress
Malach-Pines dan Keinan (dalam Busari, 2011) mendefinisikan stress
sebagai persepsi ketidaksesuaian antara tuntutan lingkungan (stressor) dan
kapasitas individu untuk memenuhi tuntutan tersebut. Stress terjadi ketika
seseorang dihadapkan pada situasi yang mereka anggap sangat berlebihan dan
mereka merasa tidak bisa mengatasinya. Selye dalam Kartika (2015) membagi
stres menjadi dua yaitu stres yang bersifat positif atau eustress dan stres yang
bersifat negatif atau distress. Eustress bersifat menyenangkan dan menstimulasi.
Eustress dapat mengaktivasi kesiagaan mental, kewaspadaan, kognisi, dan
performansi individu. Eustress juga dapat meningkatkan motivasi individu untuk
menciptakan sesuatu, misalnya karya seni. Distress merupakan stres yang
merusak atau bersifat tidak menyenangkan. Distress dirasakan sebagai suatu
keadaan dimana individu mengalami rasa cemas, ketakutan, khawatir atau gelisah.
Sehingga individu mengalami keadaan psikologis yang negatif.
Eustress merupakan respons terhadap stres yang bersifat sehat, positif, dan
konstruktif (bersifat membangun) yang dapat menyebabkan tubuh memiliki
kemampuan untuk beradaptasi dan meningkatkan produktivitas individu,
sedangkan distress merupakan hasil dari respons terhadap stres yang bersifat tidak
sehat, negatif, dan destruktif (bersifat merusak) yang dapat menyebabkan individu
sakit. Distress dapat dibagi menjadi dua bentuk yaitu distress akut dan distress
kronik. Distress akut muncul cukup kuat, tetapi menghilang dengan cepat. Seperti
stres mencari lahan parkir di tempat kerja, terburu-buru mencari nomor telepon,
-
34
dan terlambat datang ke rapat. Sedangkan distress kronik munculnya tidak terlalu
kuat, tetapi dapat bertahan sampai berhari-hari sampai berbulan- bulan. Contoh
stres kronik antara lain masalah keuangan dan kejenuhan kerja. Distress kronik
yang berulang kali dapat memengaruhi kesehatan dan produktivitas individu.
Olejnik dan Holschuh (2016) menggambarkan academic stress merupakan
respon yang muncul karena terlalu banyaknya tuntutan dan tugas yang harus
dikerjakan mahasiswa. Reaksi tersebut lebih kepada stressor akademik yaitu
pemikiran, perilaku, reaksi tubuh dan perasaan. Lazarus (dalam Lumongga, 2009)
mengungkapkan bahwa stress terdapat dua bentuk, antara lain distress (stress
negative) dimana stress ini sangat mengganggu. Indivisi yang tidak mampu
mengatasi keadaan emosinya akan mudah terserang distress, distress juga
memiliki pengertian stress merusak dan merugikan dengan ciri-ciri mudah marah,
cepat tersinggung, sulit berkonsentrasi, sukar mengambil keputusan, pelupa,
pemurung, tidak energik juga cepat bingung. Bentuk stress kedua yaitu eustress
(stress positif) dimana stress baik atau stras yang tidak mengganggu dan
memberikan perasaan bersemangat. Stress yang bermanfaat dan konstruktif
Academic stress berkaitan dengan segala sesuatu yang mempengaruhi
kehidupan Academic stress. Academic stress menurut Grupta dan Khan (dalam
Kadapatti & Vijayalaxmi, 2012) adalah tekanan mental yang berkaitan dengan
frustasi dengan kegagalan akademik, ketakutan akan kegagalan tersebut bahkan
kesadaran terhadap kemungkinan terjadinya kegagalan tersebut. Academic stress
merupakan kombinasi dari persepsi mahasiswa terhadap pengetahuan yang harus
diperoleh secara extensive dengan ketidakcukupan waktu untuk
-
35
mengembangkannya (Carveth, Geese & Moss dalam Misra, Crist & Burdant,
2003). Sedangkan Wilks (2008) menjelaskan bahwa Academic stress merupakan
hasil kombinasi dari tuntutan akademik yang melebihi sumber daya individu yang
tersedia untuk menghadapi tuntutan tersebut.
Gadzella (dalam Gadzella & Masten, 2005) memandang Academic stress
sebagai persepsi seseorang terhadap stressor akademik dan bagaimana reaksi
mereka yang terdiri dari reaksi fisik, emosi, perilaku dan kognitif terhadap
stressor tersebut.
Dari berbagai definisi di atas, peneliti menggunakan definisi dari Busari bahwa
academic stress sebagai persepsi ketidaksesuaian antara tuntutan kampus
(stressor) dan kapasitas individu untuk memenuhi tuntutan akademik. Academic
stress terjadi ketika seseorang dihadapkan pada situasi yang mereka anggap
sangat berlebihan dan mereka merasa tidak bisa mengatasinya.
Dari beberapa definisi diatas, Peneliti menggunakan academic stress
berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Busari (2011) dalam Latifa, et al (2018)
bahwa strees academic merupakan tekanan-tekanan yang dihadapi mahasiswa
beasiswa Bidikmisi berkaitan dengan Kampusnya, dipersepsikan secara negative
dan berdampak pada kesehatan fisik, psikis dan performa belajar.
2.4.2 Dimensi-dimensi Academic Stress
Olejnik dan Holschuh (2016) dalam Latifa, et al (2018) mengungkapkan
bahwa ada 4 dimensi academic stress antara lain affective, behavior, cognitive dan
physiological. Nurmaliyah (2014) Stress yang tidak dapat terkendalikan atau
-
36
diatasi mahasiswa akan mempengaruhi pikiran, perasaan, reaksi fisik dan tingkah
lakunya, seperti :
1. Secara kognitif
Kesulitan memusatkan perhatian dalam belajar, sulit mengingat pelajaran
atau mudah lupa, sulit memahami bahan pelajaran, berfikir negative pada
diri dan lingkungannya.
2. Secara afektif
Munculnya rasa cemas, sensitive, sedih, kemarahan, frustasi.
3. Secara fisiologis
Muka memerah, pucat, lemah dan merasa tidak sehat, jantung berdebar-
debar, gemetar, sakit perut, pusing, badan kaku, berkeringat dingin.
4. Dampak tingkah laku
Merusak, menghindar, membantah, menunda-nunda, penyelesaian tugas
kampus, malas kuliah.
Gadzela (1991) mengukur Academic stress dalam dua komponen yakni
stressor akademik yaitu peristiwa/situasi (stimulus) yang menuntut penyesuaian
diri di luar halhal yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan reaksi
stressor akademik yaitu reaksi terhadap stressor akademik.
1. Stressor akademik
a. frustrations (frustasi),yang berkaitan dengan keterlambatan dalam
mencapai tujuan, kesulitan sehari-hari, kekurangan sumber daya,
kegagalan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah direncanakan,
-
37
tidak terima secara social, kekecewaan dalam menjalai hubungan dan
melewatkan kesempatan.
b. Conflict (konflik), berkaitan dengan pemilihan dua atau lebih
alternative yang diinginkan, dua atau lebih alternative yang tidak
diinginkan, antara alternative yang diinginkan dan tidak diinginkan
c. Pressures (tekanan), berkaitan dengan kompetisi. Deadline beban kerja
yang sangat berlebihan
d. Changes (perubahan) berkaitan dengan pengalaman yang tidak
menyenangkan, banyaknya perubahan dalam waktu yang bersamaan,
serta kehidupan dan tujuan yang terganggu.
e. self-imposed (pemaksaan diri), berkaitan dengan keinginan seseorang
untuk kompetisi, disukai oleh semua orang, mengkhawatirkan segala
hal, prokrastinasi akademik, mempunyai solusi terhadap masalah dna
kecemasan dalam menghadapi ujian.
2. reaksi terhadap stressor akademik
a. physiological (reaksi fisik) diantaranya keluarnya keringat secara
berlebihan, berbicara dengan gugup, gemetar, pergerakan yang cepat,
kelelahan, sakit perut, sesak napas, nyeri punggung, masalah kuli, sakit
kepala, radang sandi, pengurangan atau pertambahan berat badan
secara drastic.
b. Emotional (reaksi emosi) diantaranya rasa takut, marah, bersalah dan
juga sedih.
-
38
c. Behavioral (reaksi perilaku) diantaranya menangis, menyakiti orang
lain, menyakiti diri sendiri, merokok secara berlebihan, mudah marah,
mencoba bunuh diri, menggunakan mekanisme pertahanan diri dan
memisahkan diri dari orang lain.
d. Cognitive (reaksi kognitif) diantaranya bagaimana seseorang menilai
situasi yang dapat menyebabkan stress dan bagaimana seseorang dapat
menggunakan strategi yang tepat untuk mengatasi situasi yang
menekan.
Dari beberapa dimensi diatas, peneliti menggunakan dimensi menurut
Olejnik dan Holschuh (2016) dalam Latifa, et al (2018) yaitu affective,
behavioral, cognitive dan physiological.
2.4.3 Pengukuran Academic Stress
Ada beberapa alat ukur yang digunakan untuk mengukur Academic Stress, antara
lain adalah :
1. Gadzella’s Student-Life Stress Inventory (1991) yang terdiri dari 51 item
dalam format respon berupa skala likert.
2. Academic stress scale (ASS) yang disusun oleh Kohn dan Frazer (1986)
terdiri dari 35 item dan mengukur 3 subskala yakni fisik, psikologis, dan
psikososial.
3. Educational Stress Scale for Adolescents (ESSA) yang disusun oleh Sun, kk
(2011) terdiri dari 16 item.
4. The Student Stress Survey (SSS) yang disusun oleh Ross dkk (2008) terdiri
dari 40 item dan mengukur 4 kategori stress.
-
39
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur yang digunakan untuk
mengukur academic stress, berdasarkan dimensi afektif, behavioral, fisiological
dan cognitive. Dan menggunakan skala yang dikembangkan dari Busari (2011)
oleh Latifa, et al (2018) yaitu SASS (Student Academic Stress Scale).
2.5 Learning-Behavior
2.5.1 Definisi Learning
Belajar menurut Schunk (2012) dalam Parwati, dkk (2018) merupakan
suatu aktivitas yang melibatkan pemerolehan dan pemodifikasian pengetahuan,
keterampilan, strategi, keyakinan, perbuatan dan tingkah laku. Ia menambahkan
bahwa sebenarnya tidak ada satupun definisi tentang belajar yang diterima semua
golongan teori, akan tetapi setidaknya ada tiga rumusan yang dapat disebut
sebagai inti dari belajar. Ketiga hal tersebut meliputi belajar melibatkan adanya
perubahan, hasil dari belajar dapat bertahan sepanjang masa dan belajar diperoleh
sebagai hasil pengalaman.
1. belajar menyebabkan perubahan
Seseorang dapat dikatakan belajar jika ia menunjukan hasil dari kegiatan
belajar tersebut. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana seseorang itu berbicara,
berbuat maupun menuliskan gagasannya sebagai perwujudan bahwa mereka
mempelajari sesuatu.
2. hasil belajar sepanjang hayat
Perubahan tingkah laku secara sementara tidak dikaitkan sebagai hasil
belajar.
-
40
3. belajar diperoleh berdasarkan pengalaman
Belajar merupakan hasil dari kegiatan latihan, pengamatan dan pengalaman
lain yang dialami pembelajar, bukan suatu proses pematangan atau
pendewasaan individu.
2.5.2 Definisi Learning-Behavior
Menurut Kaur dan Singh (1997), Learning-behavior terdiri dari dua istilah yaitu
learning (belajar) dan behavior (perilaku). Pembelajaran berarti informasi yang
diperoleh melalui pembelajaran yang terstruktur di setiap bidangnya, ini adalah
tindakan atau proses untuk memperoleh pengetahuan atau keterampilan. Belajar
didasarkan pada proses mental dimana pembelajar mengambil, menafsirkan,
menyimpan, dan mengambil informasi. Learning-behavior sangat penting antara
cara dimana pembelajar belajar pengetahuan sosial dan perilaku dalam situasi
berbeda. Learning-behavior tidak terjadi dengan sendirinya, sebaliknya ada
beberapa faktor yang mempengaruhinya. Ini bukan hanya dari kemauan siswa
untuk berprilaku atau belajar sesuai yang diintruksikan oleh pengajar.
Menurut McDermott (1999) perilaku belajar seseorang yang dibagi
menjadi 4 model faktor, antara lain competence motivation (CM), Attitude Toward
Learning (AL), Attention/Persistence (AP), dan Strategy/Flexibility (SF).
Learning behavior mengacu kepada perilaku yang ditunjukkan oleh seseorang
ketika melakukan tugas-tugasnya yang dapat mendorong pembelajaran, baik
secara akademis, sosial, maupun emosional. Learning behavior yang positif
termasuk kemampuan seseorang untuk bekerja secara baik dengan rekan-
rekannya, kemauan dan kemampuan untuk mengeksplore serta mencoba tugas-
-
41
tugas yang baru, kemampuan untuk menunjukkan upaya yang tepat dalam
menyelesaikan tugas yang diberikan dan kemauan seseorang untuk menerima
bantuan yang dibutuhkan tanpa menunjukkan perilaku yang buruk (McClelland &
Morrison 2003) dalam Johnson. C.L (2017).
Berdasarkan definisi diatas, peneliti menggunakan teori yang
dikemukakan oleh McDermott (1999) bahwa learning behavior adalah perilaku
yang ditunjukkan oleh seseorang ketika melakukan tugas-tugasnya yang dapat
mendorong pembelajaran, baik secara akademis, sosial, maupun emosional.
2.5.3 Dimensi Learning-Behavior
Menurut Kaur dan Singh (1997), Learning-behavior terdiri dari : competence
motivation :keinginan atau keengganan untuk mengambil tugas yang diberikan.
attention: mengikuti instruksi, memperhatikan. attitude toward learning: kemauan
untuk dibantu.
Menurut McDermott (1999), ada model empat faktor berdasarkan perilaku
yang diukur dengan : competence motivation (CM) yaitu keinginan atau
keengganan untuk mengambil tugas yang diberikan. atau mencangkup perilaku
yang berkaitan dengan antisipasi kesuksesan. Contohnya “mengatakan tugas
sangat berat untuk dikerjakan, karena takut dengan tugas yang baru”. attitude
toward learning (AL) yaitu kemauan untuk dibantu. Atau menunjukkan kesediaan
untuk terlibat dalam kegiatan pembelajaran. Contohnya : tidak mau menerima
bantuan yang dibutuhkan, tidak kooperatif dalam kegiatan dikelas”.
Attention/Persistence (AP) yaitu Fokus kepada distractibility dan melihat tugas
samapai selesai. Contohnya “berusaha mencoba akan tetapi konsentrasi cepat
-
42
memudar/mudah terganggu”. Strategy/Flexibility (SF) yaitu Menunjukkan cara
dimana mendekati tugas tersebut. Contohnya “ mengikuti prosedur yang tidak
lazim atau tidak fleksibel, tidak berfungsi dengan baik saat dalam suasana hati
yang buruk”.
Dari beberapa dimensi diatas, peneliti menggunakan dimensi McDermott
(1999) yaitu competence motivation, attitude toward learning, attention dan
strategy.
2.5.4 Pengukuran Learning-Behavior
Ada beberapa alat ukur yang digunakan untuk mengukur learning behavior,
antara lain adalah : Multi Scale Behavior Learning yang dikembangkan oleh
Wancun, et al (2016). The preschool learning behaviors scales (PLBS) yang
dikembangkan oleh McDermott, Leigh & Perry (2002). Learning behavior scale
(LBS) yang dikembangkan oleh McDermott et,al (1999).
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur yang digunakan untuk
mengukur learning behavior, yang dibuat berdasarkan alat ukur yang
dikemukakan oleh McDermott (1999) yang mencangkup competence motivation
(CM), Attitude Toward Learning (AL), Attention/Persistence (AP), dan
Strategy/Flexibility (SF).
2.6 Kerangka Berfikir
Mahasiswa penerima beasiswa bidikmisi dihadapkan pada berbagai tuntutan
akademik, salah satunya yaitu IPK harus diatas 3. Tuntutan ini sering terasa berat.
Ditambah dengan tuntutan lainnya dari rumah, organisasi, masyarakat, keluarga,
ataupun kerjaan. Ada kebutuhan untuk mengembangkan kekuatan diantara
-
43
mahasiswa sehingga mereka dapat menangani masalah dalam kesulitan ini. Jika
tidak bisa menghadapi situasi seperti ini mahasiswa bisa terjadi berarah kepada
hal yang negative sehingga tidak bisa mempertahankan beasiswanya. Tidak hanya
keberhasilan di dalam akademik yang penting, adapula lebih terpenting
bagaimana mahasiswa menghadapi situasi yang rumit atau sulit. Paul Stoltz
(2000) berpandangan bahwa adversity quotient adalah ilmu tentang fleksibilitas
manusia. Individu yang berhasil menerapkan adversity quotient maka ia dapat
menangani situasi yang merugikan dengan cara yang lebih baik meskipun besar
atau kecil masalah yang datang.
Ada sejumlah faktor yang mempengaruhi adversity quotient, Tinjauan
literature mengungkapkan bahwa hasil penelitian mengungkapkan adversity
quotient dipengaruhi oleh school connectedness (Mike, 2015). Mahasiswa dengan
adversity quotient yang tinggi mudah menemukan untuk percaya bahwa orang-
orang disekitarnya peduli terhadap akademiknya. Lingkungan salah satunya
adalah mengenai lingkungan kampus. Yaitu dimana mahasiswa dapat diterima
dan dihargai baik itu oleh dosen dan mahasiswa yang lain. Sehingga dalam hal ini
mahasiswa merasa menjadi bagian dari lingkungan universitas tersebut, dan inilah
yang disebut dengan School Connectedness (Goodnow, 1993). Dengan adanya
pemahaman yang baik mengenai school connectedness terhadap adversity
quotient mahasiswa, maka guru/dosen dan pemimpin di universitas dapat
membangun suasana yang positif dalam lingkungan u