pengaruh school connectedness, academic stress dan...

202
PENGARUH SCHOOL-CONNECTEDNESS, ACADEMIC- STRESS DAN LEARNING BEHAVIOR TERHADAP ADVERSITY QUOTIENT PADA MAHASISWA PENERIMA BEASISWA BIDIKMISI UIN JAKARTA Thesis Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Psikologi (M.Psi) Oleh: Risa Pangestu 21150700000017 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/ 2019

Upload: others

Post on 29-Jan-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • PENGARUH SCHOOL-CONNECTEDNESS, ACADEMIC-

    STRESS DAN LEARNING BEHAVIOR TERHADAP

    ADVERSITY QUOTIENT PADA MAHASISWA PENERIMA

    BEASISWA BIDIKMISI UIN JAKARTA

    Thesis

    Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk Memenuhi Salah Satu

    Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Psikologi (M.Psi)

    Oleh:

    Risa Pangestu

    21150700000017

    FAKULTAS PSIKOLOGI

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA

    1440 H/ 2019

  • PENGARUH SCHOOL-CONNECTEDNESS, ACADEMIC

    STRESS DAN LEARNING BEHAVIOR TERHADAP

    ADVERSITY QUOTIENT PADA MAHASISWA PENERIMA

    BEASISWA BIDIKMISI UIN JAKARTA

    Thesis

    Diajukan kepada Fakultas Psikologi

    untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

    Gelar Magister Psikologi (M.Psi)

    Oleh:

    Risa Pangestu

    NIM : 21150700000017

    Pembimbing

    Dr. Rena Latifa, Psi

    NIP. 198209292008012004

    FAKULTAS PSIKOLOGI

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA

    1440 H /2019M

  • ii

    LEMBAR PENGESAHAN

    Tesis yang berjudul PENGARUH SCHOOL-CONNECTEDNESS, SELF-

    CONCEPT DAN LEARNING BEHAVIOR TERHADAP ADVERSITY

    QUOTIENT PADA MAHASISWA PENERIMA BEASISWA BIDIKMISI

    UIN, telah diajukan dalam sidang munasyaqah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 22 April 2019. Tesis ini

    telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Psikologi

    Strata Dua (S2) pada Fakultas Psikologi.

    Jakarta, 22 April 2019

    Sidang Munasyaqah

    Dekan/Ketua Wakil Dekan/Sekertaris

    Merangkap Anggota Merangkap Anggota

    Dr. Zahrotun Nihayah, M.Si Dr. Abd. Rahman Saleh, M.Si

    NIP.196207241989032001 NIP. 107208231999031002

    Anggota

    Dr. Netty Hartaty, M.Si Dr. Rena Latifa, Psi

    NIP. 198209292008012004 NIP. 198209292008012004

  • iii

    LEMBAR PERNYATAAN

    Dengan ini saya menyatakan bahwa:

    1. Tesis ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana strata dua (S2) di UIN Syarif

    Hidayatullah Jakarta.

    2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

    3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

    sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah.

    Jakarta, 22 April 2019

    RISA PANGESTU

    21150700000017

    Email: [email protected]

    mailto:[email protected]

  • iv

    MOTTO DAN PERSEMBAHAN

    MOTTO: “Life is like riding a bicycle. To keep your balance, you must keep moving”.

    Janganlah berputus asa dari Rahmat Allah, sesungguhnya yang berputus asa hanyalah orang-orang yang kafir…

    PERSEMBAHAN:

    Setiap goresan tinta ini adalah wujud dari keagungan dan kasih sayang yang diberikan Allah SWT kepada umatnya. Setiap detik waktu menyelesaikan karya tulis ini merupakan hasil getaran doa kedua orang tua, suami, Anak-anak, kakak-adik, saudara dan orang-orang terkasih yang mengalir tiada henti. Setiap pancaran semangat dalam penulisan ini merupakan dorongan dan dukungan dari sahabat-sahabatku tercinta. Setiap makna pokok bahasan ada bab-bab dalam tesis ini merupakan hempasan kritik dan saran dari teman-teman almamaterku.

  • v

    ABSTRAK A) Fakultas Psikologi B) April 2019 C) Risa Pangestu D) Pengaruh School-Connectedness, Self-Concept dan Learning Behavior

    Terhadap Adversity Quotient Pada Mahasiswa Penerima Beasiswa Bidikmisi

    UIN Jakarta.

    E) xiv 109 halaman lampiran F) Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi

    adversity quotient. Penulis berteori bahwa variabel School-Connectedness,

    Self-Concept dan Learning mempengaruhi adversity quotient pada Mahasiswa

    penerima beasiswa bidikmisi UIN Jakarta.

    Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan analisis regresi

    berganda. Sampel berjumlah 200 mahasiswa menerima Beasiswa Bidikmisi.

    Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah teknik non-probability

    sampling. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan instrumen pengumpulan

    data yang telah diahli bahasakan, yaitu Adversity Response Profile (ARP)

    yang dikemukakan oleh Stoltz (2000), School Connected Scale (SCS) yang

    dikemukakan oleh Karcher & Lee (2002), Student Academic Stress Scale

    (SASS) yang dikembangkan oleh Latifa, dkk (2008) dan Learning Behavior

    Scale (LBS) yang dikemukakan oleh McDermott (1999).

    Hasil penelitian pada hipotesis mayor menunjukkan bahwa ada pengaruh yang

    signifikan variabel school connectedness, academic stress dan learning

    behavior terhadap adversity. Hasil penelitian ini juga menunjukkan proporsi

    varians dari adversity quotient yang dijelaskan semua independent variable

    dengan indeks signifikansi 0,000 (p

  • vi

    ABSTRACT

    A) Faculty of Psychology B) April 2019 C) Risa Pangestu D) Effect of school-connectedness, academic stress and learning behavior on

    adversity quotient for Bidikmisi scholarship recipient students in UIN Syarif

    Hidayatullah Jakarta

    E) xiv 109 page attachment F) This study was conducted to determine the factors that influence adversity

    quotient. The author theorized because the School-connectedness, academic

    stress and Learning behavior variables influence adversity quotient for

    students receiving bidikmisi scholarships at UIN Jakarta

    This study uses a quantitative approach with multiple regression analysis. The

    sample is 200 people who receive Bidikmisi Scholarships. The sampling

    technique used is a non-probability sampling. In this study, the authors

    modified the data collection instrument, namely the Adversity Response

    Profile (ARP) proposed by Stoltz (2000), School Connectedness Scale (SCS)

    proposed by Karcher & Lee (2002), a Student Academic Stress Scale (SASS)

    developed by Latifa, et al (2008) and the Learning Behavior Scale (LBS)

    proposed by McDermott (1999).

    The results of the major hypothesis indicate that there is a significant effect of

    school connectedness, academic stress and learning behavior variables on

    adversity quotient on bidikmisi scholarship recipients of UIN Jakarta. The

    results of this study also show the proportion of variance from the adversity

    quotient explained by all independent variables with a significance index of

    0,000 (p

  • vii

    KATA PENGANTAR

    Bismillahirrahmanirrahiem

    Syukur Alhamdulillah peneliti panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala

    rahmat, hidayah, dan kekuatan yang diberikan-Nya, sehingga Peneliti dapat

    menyelesaikan tesis dengan judul “Pengaruh school-connectedness, academic-

    stress dan learning behavior terhadap mahasiswa penerima beasiswa

    bidikmisi UIN Jakarta”. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada

    Rasulullah Muhammad SAW, pemimpin dan tauladan kaum yang beriman,

    kepada keluarga, sahabat dan seluruh umat yang senantiasa mencintainya.

    Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk

    mencapai gelar Magister Psikologi pada Fakultas Psikologi Universitas Islam

    Negri Syarif Hidayatullah. Selama pengerjaan tesis ini Peneliti dihadapkan

    dengan beragam cobaan, kesulitan, rintangan dan penuh perjuangan serta

    kesabaran yang telah memberikan banyak pelajaran hidup yang berarti bagi

    peneliti.

    Terwujudnya tesis ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena

    itu dalam kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-

    besarnya kepada:

    1. Dr. Zahrotun Nihayah, M.Si, Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Wakil Dekan Bidang Akademik Dr. Abdul Rahman

    Shaleh, M.Si., Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan Dr. Diana Mutiah,

    M.Si dan Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum Ikhwan Luthfi, M.Si

    yang telah memberikan kesempatan kepada penulis sehingga dapat

    menyelesaikan tesis ini.

    2. Dr. Rena Latifa, Psi. sebagai Dosen Pembimbing, terima kasih karena telah meluangkan waktu dalam proses bimbingan skripsi ini, banyak sekali

    ilmu yang telah peneliti dapatkan. terima kasih juga atas kesediaan

    mendengarkan keluh kesah Peneliti selama masa penelitian tesis ini.

    3. Prof.Abdul Mujib dan Dr. Netty Hartaty, M.Si, Sebagai dosen Motivator Peneliti sejak Peneliti menginjak perkuliahan di Strata Satu (S1) sampai

    saat ini.

    4. Seluruh dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Seluruh karyawan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    yang telah banyak membantu Peneliti dalam menjalani perkuliahan.

    6. Orang tua Peneliti, Maman Kosasih (Papah) dan Nikmawati (Mamah), serta mama papa mertua atas cinta, kasih, perhatian, pengertian, motivasi

    dan dukungan baik moril maupun materil, serta tak hentinya memberikan

    do’a dalam setiap sujud dan ibadahnya agar Peneliti dapat menyelesaikan

    tesis ini.

    7. Suami tercinta, Muhammad Rhaushan Fikri atas doa serta izinnya untuk bisa melanjutkan pendidikan ini, cinta yg diberikan juga motivasi yang

    selalu mewarnai dihari-hari saat perkuliahan berlangsung maupun proses

  • viii

    pengerjaan thesis ini. Naik turunnya lika- liku kehidupan bersama-sama

    kita lewati dalam pengerjaan thesis ini.

    8. Putri-putri cantikku, Aura Naylul Amany dan Namira Hubby Kareema atas kerjasamanya untuk memberikan waktu untuk bubi mengerjakan tesis

    ini. Tampa kalian mungkin bubi tidak sekuat ini.

    9. Sanak saudara Peneliti, kakak, adik serta ponakan-ponakan yang setia memberikan dukungan kepada Peneliti.

    10. Sahabat-sahabat Penelit, Tika, Hana, Sandra dan Nuris yang menemani dan membantu Peneliti dari awal penyusunan thesis.

    11. Teman-teman angkatan 2015, khususnya kelas Peminatan Psikologi Pendidikan yang sangat kompak dan penuh cerita. Kemudian untuk teman-

    teman seperjuangan dalam mengerjakan tesis, Imaniar Ernanda terima

    kasih untuk kerjasamana dan semangatnya dalam setiap momen menunggu

    Ibu maupun momen pengerjaan thesis ini.

    12. Seluruh Responden yang telah membantu mengisi angket penelitian yang Peneliti berikan. Tanpa anda semua, Thesis ini tidak akan ada.

    13. Seluruh pihak yang tidak dapat Peneliti sebutkan satu Persatu, terima kasih untuk segala dukungan dan bantuan untuk menyelesaikan thesis ini.

    Akhirnya Peneliti memohon kepada Allah SWT agar seluruh dukungan,

    bantuan, bimbingan dari semua pihak di balas dengan sebaik-baiknya balasan.

    Amin.

    Jakarta, 22 April 2019

    Peneliti

  • ix

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL ……..……………………………………………..……

    HALAMAN PERSETUJUAN …………………………………………….… i

    HALAMAN PENGESAHAN ……….………………………………………. ii

    HALAMAN PERNYATAAN ……….………………………………………. iii

    MOTTO DAN PERSEMBAHAN ……..…………………………………….. iv

    ABSTRAK ……………………………………………………………………. v

    ABSTRACT ………………………………..…………………………………. vi

    KATA PENGANTAR ………………….……………………………………. vii

    DAFTAR ISI ……………………………….………………………………… ix

    DAFTAR TABEL ………………………….………………………………… xii

    DAFTAR GAMBAR ..……………………….……………………….............. xii

    DAFTAR LAMPIRAN …………………….………………………………… xiv

    BAB 1. PENDAHULUAN ……………….…………………………………..

    1.1. Latar Belakang Masalah ……………………….……………… 1

    1.2. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………………………… 11

    1.2.1. Pembatasan masalah ………………….……………… 11

    1.2.2. Perumusan masalah …………………..………………. 12

    1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………………..………………. 13

    1.3.1. Tujuan Penelitian …………………….………………. 13

    1.3.2. Manfaat Penelitian…………………………………….. 13

    BAB 2. LANDASAN TEORI ………………………………….………….….

    2.1. Adversity Quotient …………………………………………..… 15

    2.1.1. Definisi Adversity Quotient ………..…………............... 15

    2.1.2. Dimensi Adversity Quotient………………..……….…. 17

    2.1.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adversity Quotient.. 20

    2.1.4. Pengukuran Adversity Quotient ………………………….. 24

    2.2. Beasiswa BIDIKMISI ……………………………….…………. 25

    2.2.1. Definisi Beasiswa Bidikmisi..……………….………… 25

    2.2.2. Tujuan Beasiswa Bidikmisi ……………………………… 25

    2.2.3. Persyaratan Beasiswa Bidikmisi …………………..…….. 26

    2.3. School Connectedness ……….….…………………………..….. 28

    2.3.1. Definisi School Connectedness ……..…..………..…… 28

    2.3.2. Dimensi School Connectedness …..…….…….…..…… 30

    2.3.3. Pengukuran School Connectedness ………………….... 32

    2.4. Academic Stress …..……….………………………………….. 33

    2.4.1. Definisi Academic Stress ………..…………….……… 33

    2.4.2. Dimensi Academic Stress ….…..……………….....…… 35

    2.4.3. Pengukuran Academic Stress ………………………… 38

    2.5. Learning Behavior ……………………………….……………. 39

    2.5.1. Definisi Learning ..………………….……………… 39

    2.5.2. Definisi Learning Behavior ..………………………… 40

    2.5.3. Dimensi Learning Behavior ……………………………… 41

  • x

    2.5.4. Pengukuran Learning Behavior …………………..…….. 42

    2.6. Kerangka Berpikir …………………………………………….. 42

    2.7. Hipotesis Penelitian ...…………………………………………. 45

    2.7.1 Hipotesis Mayor ...………………………………….…. 46

    2.7.2 Hipotesis Minor ...……………………………..………. 46

    BAB 3. METODE PENELITIAN ………………………………………...…

    3.1. Pendekatan Penelitian ………………………………………..... 48

    3.2. Populasi dan Sampel Penelitian …………...…………..……….. 48

    3.3. Variabel Penelitian ………….…………………………..……… 48

    3.4. Instrumen Pengumpulan Data……………………..…………… 50

    3.5. Uji Validitas ……………...…………………...………………… 55

    3.5.1. Uji validitas dan reabilitas instrument ………..………. 55

    3.5.2. Uji validitas konstruk Adversity Quotient……………... 55

    3.5.3. Uji validitas konstruk School-Connectedness……….… 60

    3.5.4. Uji validitas konstruk Academic Stress …...………..…. 63

    3.5.5. Uji validitas konstruk Learning Behavior ……………. 68

    3.6. Metode Analisis.. ……………………………………………….. 71

    BAB 4. HASIL PENELITIAN ……………………….………………………

    4.1. Gambaran Subjek Penelitian …………….…………………….. 76

    4.1.1. Deskripsi subjek berdasarkan Jenis Kelamin…….….… 76

    4.1.2. Deskripsi subjek berdasarkan Usia ……….……….…. 76

    4.1.3. Deskripsi subjek berdasarkan Angkatan ……………… 77

    4.1.4. Deskripsi subjek berdasarkan Fakultas ……………….. 77

    4.2. Deskripsi Statistik Masing-masing Variabel Penelitian ……..… 78

    4.2.1 Kategorisasi skor variabel penelitian ………………...… 79

    4.2.2 Kategorisasi tingkat Adversity Quotient …………….…. 80

    4.2.3 Kategorisasi tingkat School-Connectedness ….……..…. 80

    4.2.4 Kategorisasi tingkat Academic Stress …………..…..…. 81

    4.2.5 Kategorisasi tingkat Learning Behavior ………………. 83

    4.3. Uji Hipotesis ………………………………..………………… 84

    4.3.1. Analisis regresi variabel penelitian ..………………… 84

    4.3.2. Pengujian proporsi varian setiap independen

    variabel ………………………………………….…… 90

    BAB 5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN ……..………………..…

    5.1. Kesimpulan ……………………………………………………. 95

    5.2. Diskusi …...……………………………………………………. 95

    5.3. Saran ………………………………………..………………… 102

    5.3.1. Saran teoritis ………………………………………….. 103

    5.3.2. Saran praktis ………………………………………….. 103

    DAFTAR PUSTAKA ……..……………………….………………………... 105

    LAMPIRAN …………………………………………………...……………… 111

  • xi

    DAFTAR TABEL

    Tabel 3.1 Blue Print Skala Adversity Quotient ……………..…………. 52

    Tabel 3.2 Blue Print Skala School-Connectedness…………………….. 53

    Tabel 3.3 Blue Print Skala Academic Stress……………..…………….. 54

    Tabel 3.4 Blue Print Skala Learning Behavior…………..…………….. 55

    Tabel 3.5 Muatan Faktor Item Adversity Quotient (Control) …………. 56

    Tabel 3.6 Muatan Faktor Item Adversity Quotient (Origin) ………….. 57

    Tabel 3.7 Muatan Faktor Item Adversity Quotient (Reach) ……...…… 58

    Tabel 3.8 Muatan Faktor Item Adversity Quotient (Endurance) ...……. 59

    Tabel 3.9 Muatan Faktor Item School-Connectedness (Engagement) …. 60

    Tabel 3.10 Muatan Faktor Item School-Connectedness (General Support) 62

    Tabel 3.11 Muatan Faktor Item School-Connectedness (Spesific Support) 63

    Tabel 3.12 Muatan Faktor Item Academic Stress (Affective) …………… 64

    Tabel 3.13 Muatan Faktor Item Academic Stress (Behavior) …………… 65

    Tabel 3.14 Muatan Faktor Item Academic Stress (Cognitive) …………… 67

    Tabel 3.15 Muatan Faktor Item Academic Stress (Physiological) .……… 68

    Tabel 3.16 Muatan Faktor Item Learning Behavior (Competence

    Motivation)…………………………………………………… 69

    Tabel 3.17 Muatan Faktor Item Learning Behavior (Attitude

    Toward Learning)………………….………………………… 70

    Tabel 3.18 Muatan Faktor Item Learning Behavior (Attention)………… 71

    Tabel 4.1 Gambaran Umum Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ….… 76

    Tabel 4.2 Gambaran Umum Subjek Berdasarkan Usia …………….… 76

    Tabel 4.3 Gambaran Umum Subjek Berdasarkan Angkatan ……….… 77

    Tabel 4.4 Gambaran Umum Subjek Berdasarkan Fakultas …………… 77

    Tabel 4.5 Deskripsi Statistik Variabel Penelitian …………………….. 78

    Tabel 4.6 Norma Skor Variabel………………………………….......... 79

    Tabel 4.7 Kategorisasi Adversity Quotient……………………............. 80

    Tabel 4.8 Kategorisasi School-Connectedness …………….………… 81

    Tabel 4.9 Kategorisasi Academic Stress………….……………………. 82

    Tabel 4.10 Kategorisasi Learning Behavior………….…………………. 83

    Tabel 4.11 Tabel R-Square………………………………………..……. 84

    Tabel 4.12 Anova Pengaruh Keseluruhan IV terhadap DV …..………... 85

    Tabel 4.13 Koefisien Regresi ………………………….……………….. 86

    Tabel 4.14 Kontribusi Varians IV terhadap DV ……….………………. 91

  • xii

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar 2.1 Ilustrasi Kerangka Berpikir ………………...………………. 45

  • xiii

    DAFTAR LAMPIRAN

    LAMPIRAN 1 Alat Ukur Penelitian

    LAMPIRAN 2 Syntax dan Path Diagram Adversity Quotient

    LAMPIRAN 3 Syntax dan Path Diagram School Connectedness

    LAMPIRAN 4 Syntax dan Path Diagram Academic Stress

    LAMPIRAN 5 Syntax dan Path Diagram Learning Behavior

    LAMPIRAN 6 Output Regresi School-Connectedness, Academic Stress

    dan Learning Behavior pada mahasiswa Penerima

    Beasiswa Bidikmisi UIN Jakarta

    LAMPIRAN 7 Output Pengujian Proporsi Varians masing-masing

    Variabel Independen.

    LAMPIRAN 8 Data Excel

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang Masalah

    Pemerintah melalui Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Kementrian dan

    Kebudayaan mulai tahun 2010 meluncurkan program biaya pendidikan Bidikmisi

    yaitu bantuan biaya pendidikan bagi calon mahasiswa tidak mampu secara

    ekonomi dan memiliki potensi akademik baik untuk menempuh pendidikan di

    perguruan tinggi pada program studi uanggulan sampai lulus tepat waktu.

    Program ini sejalan dengan Nawacita Pemerintah RI untuk meningkatkan

    produktifitas rakyat dan daya saing di pasar internasional. Tujuan pemberian

    beasiswa bidikmisi adalah untuk meningkatkan motivasi belajar mahasiswa,

    meningkatkan prestasi mahasiswa baik di bidang akademik maupun non

    akademik, serta menjadi dampak iring bagi mahasiswa untuk selalu meningkatkan

    prestasi. Beasiswa bidikmisi diberikan selama delapan semester dalam jenjang

    pendidikan S1 (Ditjen Dikti, 2015).

    Pendidikan adalah hak setiap manusia, pemerintah mengeluncurkan program

    beasiswa ini salah satunya untuk mahasiswa yang memiliki ekonomi yang kurang

    mampu. Mahasiswa penerima beasiswa bidikmisi sebenarnya memiliki beban dan

    tanggung jawab yang besar atas dirinya sendiri, dimana instasi tempat dia belajar,

    keluarga dan Negara. Karena setelah melalui seleksi yang ketat untuk

    mendapatkan beasiswa bidikmisi para mahasiswa penerima beasiswa bidikmisi di

    Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta harus mempertahankannya

    dengan cara, tidak boleh menikah, mengikuti kegiatan yang berkategori A (Hima,

  • 2

    BEM,UKM,dll), mempertahankan IP di atas 3,00 skala 4. Apabila mahasiswa

    selama dua kali berturut-turut memiliki IP dibawah 3,00 maka beasiswa akan di

    cabut secara automatis. Segala kegiatan mahasiswa UIN Jakarta harus terorganisir

    dengan baik, sehingga mereka harus berjuang untuk mempertahankan dalam

    melengkapi persyaratan-persyaratan mengikuti beasiswa bidikmisi.

    Mahasiswa menghadapi banyak masalah dan kesulitan dalam kehidupan

    sehari-hari mereka. Ada kebutuhan untuk mengembangkan kekuatan diantara

    mereka sehingga mereka dapat menangani masalah dan kesulitan ini. Mahasiswa

    menghadapi banyak masalah yang dapat dikaitkan dengan akademisi, lingkungan

    dirumah, status sosial ekonomi, hubungan dengan teman, fisik, emosional, sosial

    dan intelektual yang selanjutnya dapat menyebabkan mahasiswa meninggalkan

    sekolah, melakukan bunuh diri, menikmati kebiasaan buruk, depresi, kekerasan,

    tekanan, gangguan kecemasan, kecelakaan, dan lain-lain. Sangatlah penting untuk

    mahasiswa mengetahui bahwa keberhasilan dalam akademik tidak hanya penting

    saja tetapi mereka harus tahu bagaimana menghadapi situasi merugikan dan sulit

    (Singh & Kaur 1997). Mahasiswa perlu memiliki adversity quotient untuk

    mencapai kesuksesan meskipun banyak kesulitan atau masalah yang terjadi di

    tengah perjalanannya menjadi seorang mahasiswa penerima beasiswa bidikmisi.

    Hasil wawancara peneliti kepada seorang mahasiswa penerima beasiswa

    bidikmisi, ditemukan bahwa ada pada mahasiswa bidikmisi yang kerap

    mengalami kesulitan terutama dalam hal ekonomi, selain itu mahasiswa kerap

    menunda pekerjaannya karena mengalami kelelahan akibat tugas yang terlalu

    banyak dan tanggung jawab pada kegiatan oraganisasi yang diikuti, selain itu juga

  • 3

    terkadang kurang dapat membagi waktu belajarnya yang bekerja paruh waktu.

    Ada juga yang mengatakan kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan

    baru dan pertama jauh dari orang tua (bagi yang tinggal diluar daerah), banyak

    yang merasa terbebani.

    Fenomena lain yang peneliti dapatkan dari hasil wawancara salah satu

    mahasiswa penerima beasiswa bidikmisi tahun 2016 fakultas dakwah dan

    komunikasi UIN Jakarta, bahwa ia benar menerima beasiswa bidikmisi setiap

    semesternya masih ada yang dicabut/ditarik kembali secara automatis karena

    berkaitan dengan IPK dan mayoritas malas mengurus untuk mengurus bidikmisi

    tersebut. Ia salah satu mahasiswa angkatan tahun 2016, mulai dari 2016 semester

    2 ia mendapatkan biaya beasiswa bidikmisi. Ia mengungkapkan bahwa di tahun

    2018, angkatannya 28 mahasiswa dicabut beasiswanya karena tidak memenuhi

    persyaratan yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah dan universitas. Di tahun

    2016 yang mendaftar beasiswa bidikmisi sebanyak 650 mahasiswa namun

    diseleksi lagi dan yang diterima hanya 203 mahasiswa. Ditahun 2018, angkatan

    2016 gugur ditengah jalan dikarenakan tidak memenuhi persyaratan sebanyak 28

    mahasiswa dan diback-up kembali sebanyak 28 mahasiswa. Dengan melihat

    fenomena yang ada mahasiswa saling bersaing untuk mempertahankan beasiswa

    bidikmisi dengan adanya peluang back-up.

    Bila mahasiswa dapat menghadapi masalah-masalah tersebut dengan baik,

    maka akan menjadi modal dasar dalam menghadapi masalah selanjutnya sampai

    dewasa. Kemampuan mahasiswa dalam menghadapi masalah-masalah yang ada

    inilah oleh Stoltz disebut dengan Adversity Quotient atau (AQ) “daya juang”.

  • 4

    Menurut Stoltz (2000), adversity quotient (AQ) adalah ilmu tentang ketahanan

    manusia. Orang yang berhasil menerapkan AQ akan bekerja secara optimal dalam

    menghadapi kesulitan atau tantangan yang besar-kecil ketika datang di dalam

    kehidupan. Bahkan mereka tidak hanya belajar untuk mengatasi tantangan saja,

    melainkan menanggapi dengan cara yang lebih baik dan lebih cepat. Pada

    dasarnya remaja memiliki Adversity Quotient (AQ) atau kemampuan mengatasi

    masalah atau kesulitan. Hal ini dikemukakan oleh Gunarsa, S dan Gunarsa (1991)

    dimana pemuda-pemudi atau para remaja itu memiliki daya juang, daya

    menegakkan diri dan membentuk masa depannya sendiri. Dengan ketekunan dan

    daya juang untuk mengatasi rintangan-rintangan diluar dirinya. Seseorang dapat

    membentuk dan mengarahkan perjalanan hidupnya. seseorang mencoba

    menggunakan kemampuan berfikirnya untuk memecahkan masalah-masalah yang

    ada. menganalisa kesukatan dan mensitesanya kembali sebagai bahan untuk

    merumuskan pengalamannya (Soejanto, 1990).

    Stoltz (2000) mengemukakan bahwa kesuksessan seseorang terutama

    ditentukan oleh cara dia menjelaskan atau merespon peristiwa-peristiwa dalam

    kehidupan. Bermacam kesulitan yang dihadapi lebih baik dipositifkan.

    Mempositifkan kesulitan berarti menjalani kehidupan dengan optimism dengan

    pandangan optimis seseorang akan lebih sukses (Soejanto, 1990).

    Bila remaja dapat menghadapi persoalan-persoalannya dia akan

    mengembangkan rasa percaya diri dan mampu menghadapi segala macam

    problema-problema yang ada. Bila tidak, dia akan mengembangkan perasaan

  • 5

    gagal dan tidak mampu menghadapi apa-apa. Dimana perasaan itu dapat tetap

    tinggal dalam dirinya untuk selanjutnya (Soesilowindradini, 2006).

    Adversity Quotient adalah bagian dari kehidupan pendidikan mahasiswa dan

    dosen di lembaga instansinya. Tanggapan seseorang terhadap Adversity quotient

    terbentuk melalui pengaruh orang tua, guru, teman sebaya dan orang-orang

    penting lainnya. Selain itu, tanggapan orang terhadap kesulitan dapat terganggu

    dan di ubah secara permanen, karena beberapa faktor. Studi kasus oleh Dweck,

    2012 dalam Mike B.B, (2015) telah menunjukan bahwa tanggapan terhadap

    adversity harus didalami. Dengan demikian akan menemukan dan mengukur AQ

    dan faktor-faktor yang mempengaruhinya yang akan memungkinkan seseorang

    untuk memahami bagaimana dan mengapa beberapa orang secara konsisten

    melebihi prediksi dan harapan kemampuan intelektual mereka.

    Menurut Stoltz (2000) AQ mempengaruhi, bahkan bisa menentukan daya

    saing, produktivitas seseorang, kreativitas, motivasi, bagaimana seseorang

    mengambil resiko, dan bagaimana melakukan perbaikan pada masa yang akan

    datang. AQ juga bisa memprediksi ketekunan, daya belajar dari suatu peristiwa,

    bagaimana merangkul perubahan yang ada, keuletan, stress dan tekanan yang

    dialami, serta kemunduran dirinya.

    Terdapat beberapa pendapat yang menyebutkan mengenai faktor-faktor yang

    memengaruhi Adversity Quotient (AQ) pada mahasiswa. Stoltz (2000) dalam

    bukunya menggambarkan potensi dan daya tahan seseorang dalam sebuah pohon

    yang disebut pohon kesuksesan. Aspek-aspek yang ada dalam pohon kesuksesan

    tersebut yang dianggap memengaruhi adversity quotient (AQ), diantaranya faktor

  • 6

    internal (genetika, keyakinan, bakat, hasrat/kemauan, karakter, kinerja, kecerdasan

    dan kesehatan) dan faktor eksternal (pendidikan dan lingkungan). Mengingat hal

    tersebut Mike (2015) mengungkapkan bahwa pentingnya mempelajari Adversity

    Quotient dalam pembelajaran mahasiswa di Universitasnya. Menurutnya

    Adversity Quotient dipengaruhi oleh lingkungan, penting untuk melihat interaksi

    antara beberapa konstruk psikologis seperti student’s attribution, school-

    connectedness dan teachers efficacy dan beberapa demografi yang mempengaruhi

    seperti school ownership type, state location,usia dan jenis kelamin.

    Hal lain yang perlu diperhatikan dalam lingkungan salah satunya adalah

    mengenai lingkungan universitas. Yaitu dimana mahasiswa dapat diterima dan

    dihargai baik itu oleh guru/dosen/karyawan dan mahasiswa yang lain. Sehingga

    dalam hal ini mahasiswa merasa menjadi bagian dari lingkungan universitasnya

    tersebut, dan inilah yang disebut dengan School Connectedness (Goodnow, 1993).

    Blom (2002) menjelaskan bahwa universitas selain merupakan tempat untuk

    mendapatkan pendidikan tetapi juga tempat yang membangun kehidupan para

    generasi muda lebih baik serta mencapai kesuksesan. Selain itu dijelaskan bahwa

    mereka merupakan “milik” universitas dan memiliki rasa “keterhubungan” pada

    universitas atau disebut juga memiliki school connectedness.

    School-connectedness merupakan faktor protektif yang kuat bagi para

    mahasiswa untuk tidak melakukan perilaku menyimpang seperti menggunakan

    obat-obatan, seks bebas, kekerasan, dan lain-lain. Para mahasiswa cenderung lebih

    melakukan perilaku positif dan sukses secara akademis ketika mereka memiliki

    rasa keterhubungan pada universitas (Resnick, 1993). Ketika mahasiswa tidak

  • 7

    memiliki school-connectedness dengan universitas, mereka lebih cenderung

    terlibat dalam penggunaan narkoba, perilaku kekerasan dan seks bebas sejak dini

    Lohmeier dan Lee (2011). Mereka juga sangat bereksiko tinggi untuk berprilaku

    menyimpang seperti percobaan untuk bunuh diri (Resnick et al, 1993 dalam

    Lohmeier & Lee (2011). Sebaliknya, mahasiswa yang memiliki rasa school-

    connectedness yang tinggi maka akan tinggi pula academic achievementnya,

    academic engagement, peer acceptance dan emotional well-beingnya (Anderman,

    2002. Dalam Lohmeier & Lee (2011). universitas dapat memfasilitasi

    keterhubungan dengan memberi perhatian lebih orang dewasa, perasaan aman dan

    peluang keterlibatan dalam hal kreatif dan akademis (Whitlock, 2006. Dalam

    Zhang Q & Lee W, 2009).

    School-connectedness diartikan sebagai keyakinan yang dimiliki mahasiswa

    bahwa orang-orang dewasa di dalam universitasnya peduli dengan pendidikan dan

    mereka sebagai seorang individu (Blum, 2002). Keyakinan atau belief merupakan

    kepercayaan dasar individu tentang suatu hal yang tebentuk tanpa disadari sebagai

    akibat dari interaksi berulang dengan suatu pengalaman tertentu (Matsumoto,

    2004). Kercher dan Lee (2002) mengungkapkan bahwa school-connectedness

    terdiri dari rasa memiliki atau dukungan sosial, keterkaitan atau dukungan

    relasional yang spesifik, keterlibatan yang aktif, dan nilai dukungan sosial yang

    diterima atau tidaknya oleh mahasiswa.

    Dengan adanya pemahaman yang baik mengenai school connectedness

    terhadap adversity quotient mahasiswa, maka dosen dan pemimpin diuniversitas

    dapat membangun suasana yang positif dalam lingkungan universitanya. Ketika

  • 8

    mahasiswa merasa dirinya dihargai, didukung dan diterima dalam lingkungan

    universitasnya, maka secara tidak langsung akan terjadi peningkatan dan

    perkembangan yang positif secara emosional maupun kualitas hidup mahasiswa

    tersebut (Stracuzzi & Mills, 2010). Dengan memahami pengaruh school

    connectedness terhadap adversity quotient mahasiswa, hal ini akan mempermudah

    dosen maupun para pemimpin di kampusnya untuk membentuk lingkungan

    universitas yang lebih efektif dalam menyelesaikan masalah.

    Universitas memiliki peran penting dalam mengelola dan menyediakan

    kegiatan mahasiswa yang dapat membantu untuk memperoleh adversity quotient

    yang tinggi. universitas adalah salah satu sumber utama dari masalah dan

    menciptakan beberapa jenis kesulitan. Salah satunya mahasiswa harus lulus dari

    lingkungan pendidikannya yang penuh tekanan dengan tepat waktu (Hema &

    Gupta, 2015). Mereka harus bertarung dan bersaing dengan kompetisi, tugas,

    kegagalan dan hubungan yang buruk antara mahasiswa dan dosen harus

    mendapatkan tekanan tinggi dalam mendapatkan nilai yang baik pula dan

    melakukan yang terbaik dalam ujian, tekanan teman sebaya serta aspek-aspek

    yang berkaitan dengan pendidikan mereka masing-masing.

    School connectedness dalam ruang lingkup di Universitas adalah fasilitator

    penting dalam keberhasilan mahasiswa (Wilson & Gore, 2016) Sejumlah

    penelitian telah mengemukakan bahwa tingkat school connectedness yang tinggi

    di Universitas secara positif mempengaruhi persistensi dan kelulusan mahasiswa

    (Hausmann, Schofield & Woods 2007 dalam Wilson & Gore 2016). Menurut

    Goodenow (1993) mengemukakan bahwa mahasiswa yang memiliki school

  • 9

    connectedness yang lebih tinggi memiliki angka rata-rata kuartal pertama dan

    akademik yang lebih tinggi. Menuurut penelitian D’Souza (2006)

    mengungkapkan ada hubungan yang signifikan antara adversity quotient dengan

    kinerja sekolah dan iklim sekolah. Maka dari itu peneliti menjadikan lingkungan

    yang berkaitan dengan universitas atau school-connectedness sebagai variable

    independent yang akan diteliti.

    Selain school-connectedness, academic stress berperan penting dalam

    adversity quotient pada mahasiswa. Karena academic stress yang dialami oleh

    mahasiswa mengalami peningkatan tiap semester. Berdasarkan hasil survei

    pendahuluan yang dilakukan oleh Irma, Daud, dan Khumas (2005) mengenai

    academic stress pada 102 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang ada di

    Makassar diketahui bahwa terdapat 18% mahasiswa mengalami tingkat academic

    stress yang rendah, 69% tingkat academic stress yang sedang, dan 15%

    mengalami tingkat academic stress yang tinggi. Di sisi lain, banyak beasiswa dari

    ilmu perilaku yang menawarkan penelitian mengenai topik ini, hal ini

    membuktikan bahwa academic stress membutuhkan perhatian lebih (Agolla &

    Ongori, 2009). Stress yang paling umum dialami oleh mahasiswa yaitu academic

    stress. academic stress diartikan sebagai sesuatu keadaan individu mengalami

    tekanan dari lingkungan perkuliahan dan penilaian tentang stressor akademik yang

    berhubungan dengan ilmu pengetahuan dan pendidikan diperguruan tinggi

    (Govaret & Gregoirea, 2004).

    Selain school-connectedness, academic stress mempengaruhi adversity

    quotient. Penelitian yang dilakukan oleh Agolla dan Ongori (2009) juga

  • 10

    menemukan efek stress terhadap mahasiswa diantaranya 88% mahasiswa

    mengalami memiliki masalah pencernaan, 75% mengalamikecemasan di rumah

    atau di kampus, 32% makan-minum-merokok berlebihan untuk mengurangi

    kecemasan, 77% merasa ketegangan atau nyeri di leher atau bahu, sakit kepala,

    atau sesak nafas, 85% tidak dapat berhenti berfikir mengenai permasalahan

    mereka atau tidak dapat merasa tenang, 88% memiliki masalah dalam

    berkonsentrasi karena selalu mengkhawatirkan hal lain, dan 16% mahasiswa

    memerlukan obat untuk menenangkan diri.

    Stress yang dipersepsikan negative/yang terlalu berlebihan dapat

    menyebabkan masalah pada kinerja akademik maupun pada kesehatan para

    mahasiswa. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh American College Health

    Association pada tahun 2006, salah satu masalah kesehatan yang paling besar

    yaitu yang memiliki dampak pada kinerja akademik mahasiswa salah satunya

    masalah stress akademik. Sekitar 32% mahasiswa menyatakan bahwa stress

    akademik mengakibatkan kuliah yang tidak selesai (drop out) atau nilai yang lebih

    rendah (Kadapatti & Vijayalaxmi, 2012).

    Selain academic stress, learning-behavior mempengaruhi adversity quotient.

    Menurut Zahyah (2013) dalam Kaur & Singh (1997), ada hubungan yang positif

    antara adversity quotient dengan learning behavior. Karena learning behavior

    faktor yang sangat penting bagaimana cara seseorang belajar dan berprilaku dalam

    suatu kondisi. McDermott (1999) mendeskripsikan alasan-alasan yang teoritis

    untuk pentingnya dalam mempertimbangkan learning behavior dalam menilai

    kesulitan seseorang. Perbedaannya adalah bahwa learning behavior Mereka

  • 11

    mempelajari perilaku yang diidentifikasi oleh ahli perkembangan dan

    pembelajaran (Anderson & Messick, 1974; Stipek,2008 dalam Canivez.L.G,

    2006).

    McDermott, et al (2012) dalam Canivez.L.G, (2006). Mendefinisikan learning

    behavior mengacu kepada perilaku yang ditunjukkan oleh seseorang ketika

    melakukan tugas-tugasnya yang dapat mendorong pembelajaran, baik secara

    akademis, sosial, maupun emosional. Ia membagi learning behavior menjadi 4

    model factor, antara lain competence motivation (CM), Attitude Toward Learning

    (AL), Attention/Persistence (AP), dan Strategy/Flexibility (SF).

    Dari penjelasan diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti Adversity

    Quotient (AQ) yang dapat menentukan kesuksessan dan kegagalan mahasiswa

    penerima bidikmis UIN Jakarta angkatan 2016. Maka peneliti tertarik untuk

    melihat “Pengaruh School-Connectedness, Academic Sress dan Learning-

    Behavior terhadap Adversity Quotient Pada Mahasiswa Penerima Beasiswa

    Bidikmisi UIN Jakarta”.

    1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah

    1.2.1 Pembatasan Masalah

    untuk menjaga agar penelitian ini terfokus dan tidak melebar terlalu jauh, maka

    penulis membatasi masalah sebagai berikut :

    a. Adversity quotient

    Kemampuan untuk mengubah hambatan menjadi peluang keberhasilan

    dalam mencapai suatu tujuan. Pada penelitian ini adversity quotient yang

    diteliti menggunakan konsep adversity quotient menurut Stoltz (2000)

  • 12

    yang terdiri dari :control (pengendalian), origin dan ownership (asal usul

    dan pengakuan), reach (jangkauan) dan endurance (daya tahan).

    b. School-connectedness

    Terdiri dari rasa memiliki atau dukungan sosial, keterkaitan atau dukungan

    relasional yang spesifik, keterlibatan yang aktif, dan nilai dukungan sosial

    yang diterima atau tidaknya oleh mahasiswa (Kercher & Lee, 2002).

    c. Academic Sress

    Mengacu pada suatu keadaan di mana terdapat tuntutan akademik yang

    melebihi sumber daya yang tersedia disertai dengan reaksi-reaksi fisik,

    emosi, kognitif dan tingkah laku yang diarahkan untuk menghadapi

    peristiwa stress tersebut (Gadzella, 1991).

    d. Learning Behavior

    Mengacu kepada perilaku yang ditunjukkan oleh seseorang ketika

    melakukan tugas-tugasnya yang dapat mendorong pembelajaran, baik

    secara akademis, sosial, maupun emosional (McDermott , 1999). yang

    dibagi menjadi 4 model factor, antara lain competence motivation (CM),

    Attitude Toward Learning (AL), Attention/Persistence (AP), dan

    Strategy/Flexibility (SF)

    e. Mahasiswa/I UIN Jakarta

    Dalam penelitian ini penulis memilih Mahasiswa UIN Penerima Beasiswa

    Bidikmisi

    1.2.2 Perumusan Masalah

  • 13

    Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka masalah

    yang akan diteliti dirumuskan sebagai berikut :

    1. Apakah ada pengaruh yang signifikan School-Connectedness terhadap

    adversity quotient mahasiswa penerima beasiswa bidikmisi UIN Syarif

    Hidayatullah Jakarta?

    2. Apakah ada pengaruh yang signifikan Academic Stress terhadap adversity

    quotient mahasiswa penerima beasiswa bidikmisi UIN Syarif Hidayatullah

    Jakarta ?

    3. Apakah ada pengaruh yang signifikan learning behavior terhadap

    adversity quotient mahasiswa penerima beasiswa bidikmisi UIN Syarif

    Hidayatullah Jakarta?

    4. Apakah ada pengaruh yang signifikan school-connectedness, self-concept

    dan learning behavior terhadap adversity quotient mahasiswa penerima

    beasiswa bidikmisi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta?

    1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

    1.3.1 Tujuan Penelitian

    Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui

    pengaruh yang school-connectedness, learning behavior dan Academic Stress

    terhadap adversity quotient mahasiswa penerima beasiswa bidikmisi UIN Syarif

    Hidayatullah Jakarta

    1.3.2 Manfaat Penelitian

    Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis

    maupun praktis, yaitu :

  • 14

    a. Manfaat teoritis

    Secara teoritis penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam memperluas

    ilmu pengetahuan di bidang psikologi, khususnya psikologi pendidikan mengenai

    perbedaan adversity quotient ditinjau dari

    b. Manfaat praktis

    - Bagi Mahasiswa

    Melalui penelitian ini diharapkan mahasiswa penerima beasiswa bidik misi

    dapat memiliki adversity quotient yang tinggi agar siswa tidak mudah

    menyerah dalam menghadapi kesulitan.

    - Bagi perguruan tinggi

    Melalui penelitian ini diharapkan pihak perguruan tinggi dapat

    memperhatikan mahasiswa penerima beasiswa bidik misi dalam kegiatan

    apapun agar siswa dapat meningkatkan adversity quotient.

    - Bagi Peneliti

    Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan bahan

    referensi bagi peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian di masa

    yang akan datang.

  • 15

    BAB II

    KAJIAN TEORI

    2.1 Adversity Quotient

    2.1.1 Definisi Adversity Quotient

    Adversity atau kesulitan adalah salah satu kekuatan paling ampuh dalam

    kehidupan manusia untuk membentuk karakter seseorang, mengklarifikasi

    prioritas dan menentukan jalur individu. Setiap individu menghadapi berbagai

    macam kesulitan setiap harinya, mulai dari masalah kecil hingga besar bahkan

    tragedi. Jalan untuk menuju kesuksessan baik dalam bisnis maupun kehidupan

    menjadi suatu keberuntungan (Stoltz & Weihenmayer dalam Maureen A. M,

    2016). Kesulitan adalah bagian dari hidup dan seseorang memilih cara mereka

    masing-masing untuk menanggapinya (Brunkhorst, 2013 dalam Maureen

    M,2015).

    Adversity quotient (AQ) adalah suatu teori yang dicetuskan oleh Paul G.

    Stoltz, Ph.D, seorang President of PEAK Learning Incorporated yang meraih

    gelar doktor dalam bidang komunikasi dan pengembangan organisasi. Stoltz juga

    telah menjadi konsultan dan pemimpin dalam bidang pemikiran untuk berbagai

    macam organisasi di seluruh dunia. Konsep IQ (intelligence quotient) telah lama

    dianggap sebagai penentu kesuksesan, namun ternyata beberapa orang dengan IQ

    tinggi tidak sedikit yang mengalami kegagalan. Setelah konsep IQ terkenal,

    Daniel Goleman memperkenalkan konsep baru mengenai kecerdasan, yaitu EQ

    (emotional quotient). Menurut Stoltz (2000) IQ dan EQ tidak cukup untuk

    memprediksi kesuksesan seseorang, hal ini didukung setelah dilakukan riset

  • 16

    selama 19 tahun dan penerapannya selama 10 tahun. Suksesnya pekerjaan dan

    hidup seseorang terutama ditentukan oleh adversity quotient (AQ).

    Sebagaimana yang diungkapkan Stoltz (2000) adversity quotient sebagai

    kecerdasan seseorang dalam menghadapi rintangan atau kesulitan secara teratur.

    Adversity quotient membantu individu memperkuat kemampuan dan ketekunan

    dalam menghadapi tantangan hidup sehari-hari seraya tetap berpegang teguh pada

    prinsip dan impian tanpa memperdulikan apa yang sedang terjadi. AQ juga

    memprediksi siapa yang akan gagal dan siapa yang akan melampaui harapan-

    harapan atas kinerja dan potensinya. AQ juga mempredikisi siapa yang akan

    menyerah ataupun bertahan (Stoltz, 2000).

    Menurut Stoltz (2005) adversity quotient adalah suatu kemampuan untuk

    mengubah hambatan menjadi peluang keberhasilan mencapai tujuan. AQ

    mengungkap seberapa jauh seseorang mampu bertahan menghadapi kesulitan

    yang dialaminya. AQ juga mengungkap bagaimana kemampuan seseorang untuk

    mengatasi kesulitan tersebut. AQ memprediksi siapa yang mampu dan siapa yang

    tidak mampu dalam mengatasi kesulitan.

    AQ dapat membantu individu dalam memperkuat kemampuan dan ketekunan

    mereka dalam menghadapi tantangan atau kesulitan hidup dengan tetap berpegang

    pada prinsip dan impian mereka tanpa mempedulikan yang terjadi (Stoltz, 2000).

    Leman (2007) mendefinisikan adversity Quotient sebagai kemampuan seseorang

    untuk menghadapi masalah, beberapa definisi diatas yang cukup beragam,

    terdapat focus atau titik tekan, yaitu kemampuan yang dimiliki seseorang, baik

    fisik ataupun psikis dalam menghadapi problematika atau permasalahan yang

  • 17

    sedang dialami. Setiap orang pasti memimpikan sebuah kesuksessan. Akan tetapi

    dalam mencapai kesuksessan itu sendiri butuh perjuangan yang tidak mudah, pasti

    akan selalu ada cobaan, rintangan maupun kesulitan yang menghadang (Hans,

    2006).

    Kusnandar (2008) mengemukakan pendapat bahwa kesulitan memiliki

    kekuatan unik untuk menginspirasikan kecerahan yang luar biasa, membersihkan

    sama sekali sisa-sisa kelesuan, memfokuskan kembali prioritas, mengasah

    karakter dan melepaskan tenaga yang lebih kuat. Bahkan kemunduran kecil

    sekalipun menjadi lahan subur bagi peningkatan perilaku. Jika mengurangi

    kesulitan akan menghilankan kekayaan paling dalam, bakat tertinggi dan pelajaran

    paling berharga dari kehidupan. Semakin besar kesulitan yang dihindari, semakin

    rendah kapasitas diri. Surekha (Wijaya, 2007) mengungkapkan bahwa “adversity

    quotient” adalah kemampuan berfikir, mengelola dan mengarahkan tindakan yang

    membentuk suatu pola-pola tanggapan kognitif dan perilaku atas stimulus

    peristiwa-peristiwa dalam kehidupan yang merupakan tantangan atau kesulitan

    sebagai peluang.

    Dari beberapa definisi diatas, peneliti menggunakan adversity quotient

    berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Stoltz adalah kemampuan untuk

    mengubah hambatan menjadi peluang keberhasilan dalam mencapai suatu tujuan.

    2.1.2 Dimensi-dimensi Adversity Quotient

    Stoltz (2000) menawarkan empat dimensi dasar yang akan menghasilkan

    kemampuan adversity quotient yang tinggi, yaitu :

  • 18

    a. Kendali/control ( C )

    Kendali umumnya bersifat internal dan seringnya sangat bersifat individual,

    karena diri sendirilah yang bisa mengendalikan respon yang diterima dari

    lingkungan. Harapan dan tindakan akan tumbuh jika diwadahi oleh suatu

    kemampuan yang dinamakan kendali (Stoltz, 2000).

    Kendali berkaitan dengan seberapa besar orang merasa mampu

    mengendalikan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya dan sejauh mana

    individu merasakan bahwa kendali itu ikut berperan dalam peristiwa yang

    menimbulkan kesulitan. Semakin besar kendali yang dimiliki semakin besar

    kemungkinan seseorang untuk dapat bertahan menghadapi kesulitan dan

    tetap teguh dalam niat serta ulet dalam mencari penyelesaian. Demikian

    sebaliknya, jika semakin rendah kendali, akibatnya seseorang menjadi tidak

    berdaya menghadapi kesulitan dan mudah menyerah.

    b. Kepemilikan/origin and ownership ( O2 )

    Origin – Ownership atau biasa disebut O2 adalah satu kesatuan yang tidak

    bisa dipisahkan. Origin yaitu asal usul dari kesulitan yang dialami; siapa

    atau apa yang menyebabkan kesulitan itu terjadi. Hal ini berkaitan dengan

    rasa bersalah. Rasa bersalah melihat sejauh mana seseorang

    mempermasalahkan dirinya, orang lain, atau lingkungannya saat menjadi

    sumber kesulitan atau kegagalan yang dialami

    Kepemilikan atau dalam istilah lain disebut dengan asal-usul dan pengakuan

    akan mempertanyakan siapa atau apa yang menimbulkan kesulitan dan

    sejauh mana seorang individu menganggap dirinya mempengaruhi dirinya

  • 19

    sendiri sebagai penyebab asal-usul kesulitan. Orang yang skor origin (asal-

    usulnya) rendah akan cenderung berfikir bahwa semua kesulitan atau

    permasalahan yang datang itu karena kesalahan, kecerobohan, atau

    kebodohan dirinya sendiri serta membuat perasaan dan pikiran merusak

    semangatnya.

    c. Jangkauan /reach ( R )

    Jangkauan merupakan bagian dari adversity quotient yang mempertanyakan

    sejauh manakah kesulitan akan menjangkau bagian lain dari individu. Reach

    juga berarti sejauh mana kesulitan yang ada akan menjangkau bagian-bagian

    lain dari kehidupan seseorang. Reach atau jangkauan menunjukkan

    kemampuan dalam melakukan penilaian tentang beban kerja yang

    menimbulkan stress. Semakin tinggi jangkauan seseorang, semakin besar

    kemungkinannya dalam merespon kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik

    dan terbatas. Semakin efektif dalam menahan atau membatasi jangkauan

    kesulitan, maka seseorang akan lebih berdaya dan perasaan putus asa atau

    kurang mampu membedakan hal-hal yang relevan dengan kesulitan yang

    ada, sehingga ketika memiliki masalah di satu bidang dia tidak harus merasa

    mengalami kesulitan untuk seluruh aspek kehidupan individu tersebut.

    d. Daya tahan/endurance ( E )

    Dimensi ini lebih berkaitan dengan persepsi seseorang akan lama atau

    tidaknya kesulitan akan berlangsung. Daya tahan dapat menimbulkan

    penilaian tentang situasi yang baik atau buruk. Seseorang yang mempunyai

    daya tahan yang tinggi akan memiliki harapan dan sikap optimis dalam

  • 20

    mengatasi kesulitan atau tantangan yang sedang dihadapi. Semakin tinggi

    daya tahan yang dimiliki oleh individu, maka semakin besar kemungkinan

    seseorang dalam memandang kesuksesan sebagai sesuatu hal yang bersifat

    sementara dan orang yang mempunyai adversity quotient yang rendah akan

    menganggap bahwa kesulitan yang sedang dihadapi adalah sesuatu yang

    bersifat abadi, dan sulit untuk diperbaiki.

    2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adversity Quotient

    Menurut Paul G Stoltz (2000) dalam bukunya menggambarkan potensi dan daya

    tahan individu dalam sebuah pohon yang disebut pohon kesuksesan. Aspek-aspek

    yang ada di dalam pohon kesuksesan tersebut yang dianggap mempengaruhi

    adversity quotient seseorang, diantaranya sebagai berikut :

    1. Faktor internal

    a. genetika

    Warisan genetic tidak akan menentukan nasib seseorang tetapi pasti ada

    pengaruh dari factor ini. Beberapa riset terbaru menunjukkan bahwa

    genetic sangat mungkin mendasari perilaku seseorang. Yang paling

    umum adalah kajian tentang ratusan anak kembar identic yang tinggal

    terpisah sejak lahir dan dibesarkan dilingkungan yang berbeda. Saat

    mereka dewasa, ternyata ditemukan kemiripan-kemiripan dalam

    perilaku.

    b. Keyakinan

    Keyakinan mempengaruhi seseorang dalam menghadapi suatu

    permasalahan serta membantu individu dalam mencapai tujuan

  • 21

    hidupnya. Fishbein dan Ajzen (1975) mengungkapkan bahwa

    keyakinan diartikan sebagai penilaian subjektif terhadap dunia,

    termasuk pemahaman seseorang terhadap diri sendiri dan

    lingkungannya. Keyakinan juga diperoleh dari hasil belajar. Keyakinan

    juga dipengaruhi oleh latar belakang budaya tempat individu hidup,

    seperti budaya di kempus maupun di rumah. Stoltz (2000)

    mengungkapkan bahwa keyakinan akan menimbulkan motivasi dan

    sebagian besar orang yang sangat sukses memiliki faktor keyakinan di

    dalam dirinya.

    c. Bakat

    Kemamppuan dan kecerdasan seseorang dalam menghadapi situasi

    dalam suatu kondisi yang tidak menguntungkan bagi dirinya sendiri.

    Salah satunya dipengaruhi oleh bakat. Bakat adalah gabungan antara

    pengetahuan, kompetensi, pengalaman, dan keterampilan.

    d. Hasrat atau kemauan

    Untuk menecapai kesuksessan dalam kehidupan diperlukan tenaga

    pendorong yang berupa keinginan atau disebut dengan hasrat.

    e. Karakter

    Seseorang yang berkarakter baik, semangat, tangguh dan cerdas akan

    memiliki kemampuan untuk mencapai sukses. Karakter merupakan

    bagian yang penting bagi kita untuk meraih kesuksesan dan hidup

    berdampingan secara damai.

  • 22

    f. Kinerja

    Merupakan bagian yang mudah dilihat oleh orang lain sehingga

    seringkali hal ini sering dievaluasi dandinilai. Salah satunya adalah

    keberhasilan seseorang dalam menghadapi masalah dan meraih tujuan

    hidup dapat diukur lewat kinerja.

    g. Kecerdasan

    Bentuk-bentuk kecerdasan disini dipilih menjadi beberapa bagian yang

    sering disebut sebagai multiple intelligence. Bagian kecerdasan yang

    dominan biasanya mempengaruhi karir, pekerjaan, pelajaran dan hobi.

    h. Kesehatan

    Kesehatan emosi dan fisik dapat mempengaruhi seseorang dalam

    menanggapi kesuksesan. Seseorang yang dalam keadaan sakit akan

    mengalihkan perhatiannya dari maslaah yang sedang dihadapinya.

    Kondisi fisik dan psikis yang fit akan mendukung seseorang dalam

    menyelesaikan masalahnya.

    2. Faktor eksternal

    a. Pendidikan

    Pendidikan dapat membentuk kecerdasan, pembentukan kebiasaan

    yang sehat, perkembangan watak, keterampilan, hasrat dan kinerja

    yang dihasilkan. Penelitian yang dilakukan Gest, Dkk. (1999 dalam

    McMillan, 2008) menyebutkan bahwa meskipun seseorang tidak

    menyukai kemalangan atau kesengsaraan yang diakibatkan oleh pola

    hubungan dengan orangtua namun permasalahan orangtua secara

  • 23

    langsung ikut berperan penting dalam perkembangan ketahanan

    remaja. Salah satunya sarana dalam pembentukan sikap dan perilaku

    adalah melalui pendidikan. Grotberg (1999) menyatakan bahwa pola

    asuh orangtua dan respon lingkungan sosial disekitar anak memberikan

    dukungan dan dasar kemampuan anak untuk menyikapi kesulitan

    hidup. Adversity quotient dengan kata lain dipengaruhi oleh

    lingkungan dimana setiap individu memiliki pengalaman yang berbeda

    dan cara menyikapi yang berbeda terhadap suatu lingkungan tertentu

    baik formal maupun informal.

    b. Lingkungan

    Lingkungan tempat individu tinggal dan dapat mempengaruhi

    bagaimana individu berpadaptasi dan memberikan respon kesulitan

    yang dihadapinya. Individu yang terbiasa hidup dalam lingkungan sulit

    akan memiliki adversity quotient yang lebih tinggi. Menurut Stoltz

    (2000) individu terbiasa berada dilingkungan yang sulit akan memiliki

    adversity quotient yang lebih besar karena pengalaman dan

    kemampuan beradaptasi yang lebih baik dalam mengatasi masalah

    yang dihadapi.

    Menurut Carol Dweck dalam Stoltz (2000) mengungkapkan bahwa salah

    satu faktor yang mempengaruhi adversity quotient adalah, menurutnya Belajar

    membuktikan bahwa anak-anak yang merespom secara optimis akan banyak

    belajar dan lebih berprestasi dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki pola

    pesimis. Menurut Kun, Sigh dan Kaur (1997) achievement motivation dan

  • 24

    learning behavior. Menurut Nikam dan Uplane (2013) defense mechanism,

    intelligence, decision making ability, risk taking ability dan jenis kelamin. Yakoh,

    Chongkrukasa dan Prinyapol (2015) parenting style dan usia. (Pangma, dkk,.

    2009) Dominance, Self-Esteem, Enthusism, Self-Confidence Affect, Ambition dan

    Achivement Motivation. (Mike, 2015) School Connectedness.

    2.1.4 Pengukuran Adversity Quotient

    Ada beberapa alat ukur yang digunakan untuk mengukur adversity quotient,

    antara lain adalah :

    1. Adversity quotient response test yang dikemukakan oleh Stoltz pada tahun

    (1997).

    2. Adversity quotient scales yang dikembangkan oleh Kaur dan Sigh pada tahun

    (1997)

    3. ARP (Adversity Response Profile) yang telah disusun oleh Paul G. Stoltz

    (2000).

    Dalam penelitian ini, dari beberapa ala ukur yang dikemukakan diatas, peneliti

    menggunakan alat ukur yang digunakan untuk mengukur adversity quotient,

    diukur melalui skala ARP (Stoltz, 2000). Skala ini mencakup empat aspek

    pembentuk AQ yaitu CO2RE:

    a. Control

    (pengendalian) yaitu sejauh mana seseorang mampu mempengaruhi dan

    mengendalikan respon individu secara positif terhadap situasi apapun.

  • 25

    b. Origin-Ownership

    (asal-usul dan pengakuan), yaitu sejauh mana seseorang menanggung akibat

    dari suatu situasi tanpa mempermasalahkan penyebabnya.

    c. Reach

    (jangkauan) yaitu sejauh mana seseorang membiarkan kesulitan menjangkau

    bidang lain dalam pekerjaan dan kehidupannya.

    d. Endurance

    (daya tahan) yaitu seberapa lama seseorang mempersepsikan kesulitan ini

    akan berlangsung.

    2.2 Beasiswa Bidikmisi

    2.2.1 Definisi Beasiswa Bidikmisi

    Beasiswa adalah bantuan yang diberikan oleh pihak tertentu kepada

    perorangan yang digunakan demi keberlangsungan pendidikan yang ditempuh.

    Beasiswa bidikmisi adalah suatu program bantuan biaya pendidikan yang

    diberikan dari Pemerintah melalui Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Ditjen

    Dikti) kementrian Pendidikan dan Kebudayaan mulai tahun 2010 kemarin, kepada

    mahasiswa-mahasiswa yang memiliki potensi akademik yang memadai dan

    kurang mampu secara ekonomi serta aktif dalam kehidupan kampus (Kemenag,

    2014).

    2.2.2 Tujuan Beasiswa Bidikmisi

    Adapun tujuan dalam mengadakan beasiswa bidikmisi ini adalah sebagai berikut :

    a. meningkatkan motivasi belajar dan prestasi calon mahasiswa, khususnya

    mereka yang menghadapi kendala dalam perekonomian

  • 26

    b. meningkatkan akses dan kesempatan belajar di perguruan tinggi bagi

    peserta didik yang tidak mampu secara ekonomi dan berpotensi akademik

    yang baik.

    c. Menjamin keberlangsungan studi mahasiswa sampai selesai dan tepat

    waktu

    d. Meningkatkan prestasi siswa, baik pada bidang kurikuler, kokurikuler

    mapupun ekstrakurikuler.

    e. Menimbulkan dampak iring bagi mahasiswa dan calon mahasiswa lain

    untuk selalu meningkatkan prestasi dan kompetitif

    f. Melahirkan lulusan yang mandiri, produktif dan memiliki kepedulian

    social, sehingga mampu berperan dalam upaya pemutusan mata rantai

    kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat.

    2.2.3 Persyaratan Beasiswa Bidikmisi

    Adapun sasaran pada program bidikmisi ini adalah lulusan satuan

    pendidikan MA/MAK/SMA/SMK atau bentuk lain yang sederajat tahun 2016

    yang tidak mampu secara ekonomi dan memiliki potensi akademik yang baik,

    yang melanjutkan pendidikan tinggi di Perguruan Tinggi Agama Islam Negri di

    bawah Kementrian Agama pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

    Persyaratan untuk mendaftar tahun 2016 adalah sebagai berikut :

    1. Siswa MA/MAK/SMA/SMK atau bentuk lain yang sederajat, lulus pada

    tahun 2016 dan memiliki potensi akademik yang memadai serta kurang

    mampu secara ekonomi

  • 27

    2. Tidak mampu secara ekonomi sebagai berikut : Pendapatan orangtua

  • 28

    Kebijakan yang diberikan akan dipertimbangkan oleh pengelola beasiswa

    bidikmisi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

    2.3 School Connectedness

    School connectedness merupakan faktor protektif yang kuat bagi para

    mahasiswa untuk tidak melakukan perilaku kenakalan remaja seperti

    menggunakan obat-obatan, seks bebas, kekerasan, dan lain-lain. Para mahasiswa

    cenderung lebih melakukan perilaku positif dan sukses secara akademis ketika

    mereka memiliki rasa keterhubungan pada universitasnya (Resnick, 1993).

    2.3.1 Definisi School Connectedness

    Blum (2002) mendefinisikan school connectedness sebagai keyakinan

    yang dimiliki mahasiswa bahwa orang-orang dewasa di universitasnya peduli

    dengan pendidikan mereka serta mempedulikan mereka sebagai seorang individu.

    Beberapa konsep serupa sudah sering diteliti dengan memberikan istilah sebagai

    “school engagement” sementara yang lain menyebutnya sebagai “school

    attachment” dan yang lain menganalisisnya sebagai “school bonding”. Akan

    tetapi school connectedness memiliki perbedaan di antara konsep-konsep tersebut.

    Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Libbey (2004) ditemukan bahwa

    school connectedness memiliki cakupan konstruk yang lebih luas dibandingkan

    konsep lainnya. Pada konsep school connectedness mencakup beberapa konstruk

    seperti kelekatan, komitmen, dukungan guru, hubungan teman sebaya , dan lainya.

    Menurutnya school-connectedness sebagai persepsi mahasiswa diterima oleh

    universitas dan mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari universitasnya

    (Libbey, 2004. Dalam Frydenberg, Care, Freeman & Chan 2009).

  • 29

    Keyakinan atau belief merupakan kepercayaan dasar individu tentang

    suatu hal yang tebentuk tanpa disadari sebagai akibat dari interaksi berulang

    dengan suatu pengalaman tertentu (Matsumoto, 2004). Kercher dan Lee (2002)

    mengungkapkan bahwa school-connectedness terdiri dari rasa memiliki atau

    dukungan sosial, keterkaitan atau dukungan relasional yang spesifik, keterlibatan

    yang aktif, dan nilai dukungan sosial yang diterima atau tidaknya oleh mahasiswa.

    Menurut Ahmed (2008), school connectedness adalah rasa memiliki di

    dalam kampus yang mewakili “kesatuan” atau rasa identitas yang saling

    berhubungan. Ketika mahasiswa merasa dekat secara emosional dengan

    universitas mereka cenderung menjadi seseorang yang aktif di dalam bagian dari

    universitasnya serta menampilkan obedience pada standard dan norma-norma

    yang ada. Menurut Resnick (1997) dalam Hurd, dkk (2015) mengemukakan

    bahwa school connectedness sebagai pengalaman yang dimiliki mahasiswa dalam

    mendekatkan dirinya dengan orang disekitar universitasnya. Mengingat bahwa

    seseorang menghabiskan lebih banyak waktu berjam-jam di universitas dari pada

    di rumahnya dilihat bagaimana hubungan mereka terhadap konteks ini sangat

    penting untuk perkembangan psikososial dan prestasi akademiknya (Hurd, 2015).

    Selain itu, perasaan terhubungnya sebagai mahasiswa menjadi lebih mandiri dari

    orangtua mereka dan lebih bergantung pada hubungan lain seperti dengan teman

    sebaya dan orang-orang yang ada di sekitar universitasnya (Hurd, 2015).

    Definisi lain dikemukakan oleh McNeely (2002) yang menyatakan bahwa

    school connectedness mucul ketika mahasiswa yakin bahwa mereka bagian dari

    universitasnya dan adanya kelekatan antara mahasiswa dengan orang-orang di

  • 30

    sekitar universitasnya. School connectedness tidak hanya memandang rasa

    kelekatan tetapi rasa aman dan kenyamanan mahasiswa di universitasnya,

    komitmen, serta pencapaian akademik mahasiswa di universitasnya. Centre for

    School Mental Health Anlysis and Action (CSMH) mendefinisikan school

    connectedness perasaan positif akan pendidikan, keterikatan pada universitasnya,

    dan memiliki hubungan positif dengan orang-orang dan teman sebaya di

    universitasnya.

    Menurut Gross (1954) dalam Wilson & Gore (2016) mengemukakan

    bahwa manusia memiliki kebutuhan primer untuk merasa memiliki suatu

    kelompok. School connectedness didefinisikan sebagai rasa subjektif kepada

    “mahasiswa” didalam universitasnya, dan persepsi bahwa mereka secara pribadi

    diterima, dihormati, termasuk didukung oleh orang lain di akademis

    universitasnya.

    Berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas maka maka peneliti

    menyimpulkan definisi mengacu pada teori Karcher dan Lee (2002) bahwa

    school-connectedness terdiri dari rasa memiliki atau dukungan sosial, keterkaitan

    atau dukungan relasional yang spesifik, keterlibatan yang aktif, dan nilai

    dukungan sosial yang diterima atau tidaknya oleh mahasiswa.

    2.3.2 Dimensi School-Connectedness

    Karcher dan Lee, 2002 (dalam Lohmeir & Lee, 2014) menyatakan bahwa

    school-connectedness terdiri dari tiga dimensi utama, yaitu:

  • 31

    a. Dukungan Sosial (specific support)

    Aspek ini berfokus pada dukungan guru dan staf lainnya yang berada di

    kampus terhadap seluruh mahasiswa tanpa membedakan jenis kelamin, ras,

    maupun etnis. Selain itu didasarkan pada sejauh mana mahasiswa merasa

    dekat dan bernilai oleh dosen dan staf lainnya di kampusnya. Biasanya diukur

    melalui laporan mahasiswa mengenai apakah dosennya menyukai dirinya

    atau tidak, kepedulian mereka terhadap apa yang dinilai oleh dosen,

    kenyamanan ketika berbicara dengan dosen, seberapa sering dosen memuji

    mereka.

    b. Rasa Memiliki (general support/belongingness)

    Didefinisikan sebagai rasa yang ngukur belongingness ini sering meliputi

    tingkat di mana mahasiswa dimiliki oleh mahasiswa mengenai dirinya

    sebagai bagian dari universitasnya. Merasa dihormati di kampusnya, menjadi

    bagian dari kampusnya, merasa orang-orang yang ada di kampus peduli

    dengannya, dan memiliki teman di kampus.

    c. Keterlibatan (engangement)

    Aspek ini merefleksikan resiprokasi mahasiswa atas rasa memiliki

    (belonging) dan dukungan yang didapat melalui kepedulian yang aktif dan

    keterlibatan dalam bagiannya.

    Menurut Thompson, dkk (2006) mengemukakan bahwa dimensi school

    connectedness adalah liking school, a sense of belonging at school, positive

    relations with teachers, and friends at school and active engagement in school

    activities. Menurut Jimerson (2003) dalam Chung, dkk (2015), mengemukakan

  • 32

    ada bebrapa dimensi dari school-connectedness, antara lain school involvement,

    academic motivation, school attachment, teacher support dan peer relations.

    Dari beberapa dimensi diatas, peneliti menggunakan dimensi menurut

    Karcher dan Lee (2002) yaitu Dukungan Sosial (specific support), Rasa Memiliki

    (general support/belongingness) dan Keterlibatan (engangement).

    2.3.3 Pengukuran School-Connectedness

    Penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya mengenai school-

    connectedness pada umumnya menggunakan by two set drawings: smiley face

    scale yang dikemukakan oleh Mooney, dkk (1991) dalam Ahmed (2008) ,

    instrument yang dikembangkan oleh “the national educational longitudinal study

    NELS88), school connectedness measurement items yang dikemukakan oleh

    Nickerson, Hopson dan Steinke (2011), The Psychological Sense of School

    Membership (PSSM) yang dikemukakan oleh Goodenow (1993). Namun alat ukur

    diatas fokus kepada kesehatan dan untuk responden anak-anak atau remaja

    (siswa).

    Alat ukur yang digunakan untuk mengukur school connectedness adalah

    school-connectedness scale yang mencangkup aspek yang dikemukakan oleh

    Karcher dan Lee, (2002) yakni Dukungan Sosial (specific support), Rasa

    Memiliki (general support/belongingness) dan Keterlibatan (engangement).

    dimana skala ini berjumlah 51 item.

  • 33

    2.4 Academic Stress

    2.4.1 Definisi Academic Stress

    Malach-Pines dan Keinan (dalam Busari, 2011) mendefinisikan stress

    sebagai persepsi ketidaksesuaian antara tuntutan lingkungan (stressor) dan

    kapasitas individu untuk memenuhi tuntutan tersebut. Stress terjadi ketika

    seseorang dihadapkan pada situasi yang mereka anggap sangat berlebihan dan

    mereka merasa tidak bisa mengatasinya. Selye dalam Kartika (2015) membagi

    stres menjadi dua yaitu stres yang bersifat positif atau eustress dan stres yang

    bersifat negatif atau distress. Eustress bersifat menyenangkan dan menstimulasi.

    Eustress dapat mengaktivasi kesiagaan mental, kewaspadaan, kognisi, dan

    performansi individu. Eustress juga dapat meningkatkan motivasi individu untuk

    menciptakan sesuatu, misalnya karya seni. Distress merupakan stres yang

    merusak atau bersifat tidak menyenangkan. Distress dirasakan sebagai suatu

    keadaan dimana individu mengalami rasa cemas, ketakutan, khawatir atau gelisah.

    Sehingga individu mengalami keadaan psikologis yang negatif.

    Eustress merupakan respons terhadap stres yang bersifat sehat, positif, dan

    konstruktif (bersifat membangun) yang dapat menyebabkan tubuh memiliki

    kemampuan untuk beradaptasi dan meningkatkan produktivitas individu,

    sedangkan distress merupakan hasil dari respons terhadap stres yang bersifat tidak

    sehat, negatif, dan destruktif (bersifat merusak) yang dapat menyebabkan individu

    sakit. Distress dapat dibagi menjadi dua bentuk yaitu distress akut dan distress

    kronik. Distress akut muncul cukup kuat, tetapi menghilang dengan cepat. Seperti

    stres mencari lahan parkir di tempat kerja, terburu-buru mencari nomor telepon,

  • 34

    dan terlambat datang ke rapat. Sedangkan distress kronik munculnya tidak terlalu

    kuat, tetapi dapat bertahan sampai berhari-hari sampai berbulan- bulan. Contoh

    stres kronik antara lain masalah keuangan dan kejenuhan kerja. Distress kronik

    yang berulang kali dapat memengaruhi kesehatan dan produktivitas individu.

    Olejnik dan Holschuh (2016) menggambarkan academic stress merupakan

    respon yang muncul karena terlalu banyaknya tuntutan dan tugas yang harus

    dikerjakan mahasiswa. Reaksi tersebut lebih kepada stressor akademik yaitu

    pemikiran, perilaku, reaksi tubuh dan perasaan. Lazarus (dalam Lumongga, 2009)

    mengungkapkan bahwa stress terdapat dua bentuk, antara lain distress (stress

    negative) dimana stress ini sangat mengganggu. Indivisi yang tidak mampu

    mengatasi keadaan emosinya akan mudah terserang distress, distress juga

    memiliki pengertian stress merusak dan merugikan dengan ciri-ciri mudah marah,

    cepat tersinggung, sulit berkonsentrasi, sukar mengambil keputusan, pelupa,

    pemurung, tidak energik juga cepat bingung. Bentuk stress kedua yaitu eustress

    (stress positif) dimana stress baik atau stras yang tidak mengganggu dan

    memberikan perasaan bersemangat. Stress yang bermanfaat dan konstruktif

    Academic stress berkaitan dengan segala sesuatu yang mempengaruhi

    kehidupan Academic stress. Academic stress menurut Grupta dan Khan (dalam

    Kadapatti & Vijayalaxmi, 2012) adalah tekanan mental yang berkaitan dengan

    frustasi dengan kegagalan akademik, ketakutan akan kegagalan tersebut bahkan

    kesadaran terhadap kemungkinan terjadinya kegagalan tersebut. Academic stress

    merupakan kombinasi dari persepsi mahasiswa terhadap pengetahuan yang harus

    diperoleh secara extensive dengan ketidakcukupan waktu untuk

  • 35

    mengembangkannya (Carveth, Geese & Moss dalam Misra, Crist & Burdant,

    2003). Sedangkan Wilks (2008) menjelaskan bahwa Academic stress merupakan

    hasil kombinasi dari tuntutan akademik yang melebihi sumber daya individu yang

    tersedia untuk menghadapi tuntutan tersebut.

    Gadzella (dalam Gadzella & Masten, 2005) memandang Academic stress

    sebagai persepsi seseorang terhadap stressor akademik dan bagaimana reaksi

    mereka yang terdiri dari reaksi fisik, emosi, perilaku dan kognitif terhadap

    stressor tersebut.

    Dari berbagai definisi di atas, peneliti menggunakan definisi dari Busari bahwa

    academic stress sebagai persepsi ketidaksesuaian antara tuntutan kampus

    (stressor) dan kapasitas individu untuk memenuhi tuntutan akademik. Academic

    stress terjadi ketika seseorang dihadapkan pada situasi yang mereka anggap

    sangat berlebihan dan mereka merasa tidak bisa mengatasinya.

    Dari beberapa definisi diatas, Peneliti menggunakan academic stress

    berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Busari (2011) dalam Latifa, et al (2018)

    bahwa strees academic merupakan tekanan-tekanan yang dihadapi mahasiswa

    beasiswa Bidikmisi berkaitan dengan Kampusnya, dipersepsikan secara negative

    dan berdampak pada kesehatan fisik, psikis dan performa belajar.

    2.4.2 Dimensi-dimensi Academic Stress

    Olejnik dan Holschuh (2016) dalam Latifa, et al (2018) mengungkapkan

    bahwa ada 4 dimensi academic stress antara lain affective, behavior, cognitive dan

    physiological. Nurmaliyah (2014) Stress yang tidak dapat terkendalikan atau

  • 36

    diatasi mahasiswa akan mempengaruhi pikiran, perasaan, reaksi fisik dan tingkah

    lakunya, seperti :

    1. Secara kognitif

    Kesulitan memusatkan perhatian dalam belajar, sulit mengingat pelajaran

    atau mudah lupa, sulit memahami bahan pelajaran, berfikir negative pada

    diri dan lingkungannya.

    2. Secara afektif

    Munculnya rasa cemas, sensitive, sedih, kemarahan, frustasi.

    3. Secara fisiologis

    Muka memerah, pucat, lemah dan merasa tidak sehat, jantung berdebar-

    debar, gemetar, sakit perut, pusing, badan kaku, berkeringat dingin.

    4. Dampak tingkah laku

    Merusak, menghindar, membantah, menunda-nunda, penyelesaian tugas

    kampus, malas kuliah.

    Gadzela (1991) mengukur Academic stress dalam dua komponen yakni

    stressor akademik yaitu peristiwa/situasi (stimulus) yang menuntut penyesuaian

    diri di luar halhal yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan reaksi

    stressor akademik yaitu reaksi terhadap stressor akademik.

    1. Stressor akademik

    a. frustrations (frustasi),yang berkaitan dengan keterlambatan dalam

    mencapai tujuan, kesulitan sehari-hari, kekurangan sumber daya,

    kegagalan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah direncanakan,

  • 37

    tidak terima secara social, kekecewaan dalam menjalai hubungan dan

    melewatkan kesempatan.

    b. Conflict (konflik), berkaitan dengan pemilihan dua atau lebih

    alternative yang diinginkan, dua atau lebih alternative yang tidak

    diinginkan, antara alternative yang diinginkan dan tidak diinginkan

    c. Pressures (tekanan), berkaitan dengan kompetisi. Deadline beban kerja

    yang sangat berlebihan

    d. Changes (perubahan) berkaitan dengan pengalaman yang tidak

    menyenangkan, banyaknya perubahan dalam waktu yang bersamaan,

    serta kehidupan dan tujuan yang terganggu.

    e. self-imposed (pemaksaan diri), berkaitan dengan keinginan seseorang

    untuk kompetisi, disukai oleh semua orang, mengkhawatirkan segala

    hal, prokrastinasi akademik, mempunyai solusi terhadap masalah dna

    kecemasan dalam menghadapi ujian.

    2. reaksi terhadap stressor akademik

    a. physiological (reaksi fisik) diantaranya keluarnya keringat secara

    berlebihan, berbicara dengan gugup, gemetar, pergerakan yang cepat,

    kelelahan, sakit perut, sesak napas, nyeri punggung, masalah kuli, sakit

    kepala, radang sandi, pengurangan atau pertambahan berat badan

    secara drastic.

    b. Emotional (reaksi emosi) diantaranya rasa takut, marah, bersalah dan

    juga sedih.

  • 38

    c. Behavioral (reaksi perilaku) diantaranya menangis, menyakiti orang

    lain, menyakiti diri sendiri, merokok secara berlebihan, mudah marah,

    mencoba bunuh diri, menggunakan mekanisme pertahanan diri dan

    memisahkan diri dari orang lain.

    d. Cognitive (reaksi kognitif) diantaranya bagaimana seseorang menilai

    situasi yang dapat menyebabkan stress dan bagaimana seseorang dapat

    menggunakan strategi yang tepat untuk mengatasi situasi yang

    menekan.

    Dari beberapa dimensi diatas, peneliti menggunakan dimensi menurut

    Olejnik dan Holschuh (2016) dalam Latifa, et al (2018) yaitu affective,

    behavioral, cognitive dan physiological.

    2.4.3 Pengukuran Academic Stress

    Ada beberapa alat ukur yang digunakan untuk mengukur Academic Stress, antara

    lain adalah :

    1. Gadzella’s Student-Life Stress Inventory (1991) yang terdiri dari 51 item

    dalam format respon berupa skala likert.

    2. Academic stress scale (ASS) yang disusun oleh Kohn dan Frazer (1986)

    terdiri dari 35 item dan mengukur 3 subskala yakni fisik, psikologis, dan

    psikososial.

    3. Educational Stress Scale for Adolescents (ESSA) yang disusun oleh Sun, kk

    (2011) terdiri dari 16 item.

    4. The Student Stress Survey (SSS) yang disusun oleh Ross dkk (2008) terdiri

    dari 40 item dan mengukur 4 kategori stress.

  • 39

    Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur yang digunakan untuk

    mengukur academic stress, berdasarkan dimensi afektif, behavioral, fisiological

    dan cognitive. Dan menggunakan skala yang dikembangkan dari Busari (2011)

    oleh Latifa, et al (2018) yaitu SASS (Student Academic Stress Scale).

    2.5 Learning-Behavior

    2.5.1 Definisi Learning

    Belajar menurut Schunk (2012) dalam Parwati, dkk (2018) merupakan

    suatu aktivitas yang melibatkan pemerolehan dan pemodifikasian pengetahuan,

    keterampilan, strategi, keyakinan, perbuatan dan tingkah laku. Ia menambahkan

    bahwa sebenarnya tidak ada satupun definisi tentang belajar yang diterima semua

    golongan teori, akan tetapi setidaknya ada tiga rumusan yang dapat disebut

    sebagai inti dari belajar. Ketiga hal tersebut meliputi belajar melibatkan adanya

    perubahan, hasil dari belajar dapat bertahan sepanjang masa dan belajar diperoleh

    sebagai hasil pengalaman.

    1. belajar menyebabkan perubahan

    Seseorang dapat dikatakan belajar jika ia menunjukan hasil dari kegiatan

    belajar tersebut. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana seseorang itu berbicara,

    berbuat maupun menuliskan gagasannya sebagai perwujudan bahwa mereka

    mempelajari sesuatu.

    2. hasil belajar sepanjang hayat

    Perubahan tingkah laku secara sementara tidak dikaitkan sebagai hasil

    belajar.

  • 40

    3. belajar diperoleh berdasarkan pengalaman

    Belajar merupakan hasil dari kegiatan latihan, pengamatan dan pengalaman

    lain yang dialami pembelajar, bukan suatu proses pematangan atau

    pendewasaan individu.

    2.5.2 Definisi Learning-Behavior

    Menurut Kaur dan Singh (1997), Learning-behavior terdiri dari dua istilah yaitu

    learning (belajar) dan behavior (perilaku). Pembelajaran berarti informasi yang

    diperoleh melalui pembelajaran yang terstruktur di setiap bidangnya, ini adalah

    tindakan atau proses untuk memperoleh pengetahuan atau keterampilan. Belajar

    didasarkan pada proses mental dimana pembelajar mengambil, menafsirkan,

    menyimpan, dan mengambil informasi. Learning-behavior sangat penting antara

    cara dimana pembelajar belajar pengetahuan sosial dan perilaku dalam situasi

    berbeda. Learning-behavior tidak terjadi dengan sendirinya, sebaliknya ada

    beberapa faktor yang mempengaruhinya. Ini bukan hanya dari kemauan siswa

    untuk berprilaku atau belajar sesuai yang diintruksikan oleh pengajar.

    Menurut McDermott (1999) perilaku belajar seseorang yang dibagi

    menjadi 4 model faktor, antara lain competence motivation (CM), Attitude Toward

    Learning (AL), Attention/Persistence (AP), dan Strategy/Flexibility (SF).

    Learning behavior mengacu kepada perilaku yang ditunjukkan oleh seseorang

    ketika melakukan tugas-tugasnya yang dapat mendorong pembelajaran, baik

    secara akademis, sosial, maupun emosional. Learning behavior yang positif

    termasuk kemampuan seseorang untuk bekerja secara baik dengan rekan-

    rekannya, kemauan dan kemampuan untuk mengeksplore serta mencoba tugas-

  • 41

    tugas yang baru, kemampuan untuk menunjukkan upaya yang tepat dalam

    menyelesaikan tugas yang diberikan dan kemauan seseorang untuk menerima

    bantuan yang dibutuhkan tanpa menunjukkan perilaku yang buruk (McClelland &

    Morrison 2003) dalam Johnson. C.L (2017).

    Berdasarkan definisi diatas, peneliti menggunakan teori yang

    dikemukakan oleh McDermott (1999) bahwa learning behavior adalah perilaku

    yang ditunjukkan oleh seseorang ketika melakukan tugas-tugasnya yang dapat

    mendorong pembelajaran, baik secara akademis, sosial, maupun emosional.

    2.5.3 Dimensi Learning-Behavior

    Menurut Kaur dan Singh (1997), Learning-behavior terdiri dari : competence

    motivation :keinginan atau keengganan untuk mengambil tugas yang diberikan.

    attention: mengikuti instruksi, memperhatikan. attitude toward learning: kemauan

    untuk dibantu.

    Menurut McDermott (1999), ada model empat faktor berdasarkan perilaku

    yang diukur dengan : competence motivation (CM) yaitu keinginan atau

    keengganan untuk mengambil tugas yang diberikan. atau mencangkup perilaku

    yang berkaitan dengan antisipasi kesuksesan. Contohnya “mengatakan tugas

    sangat berat untuk dikerjakan, karena takut dengan tugas yang baru”. attitude

    toward learning (AL) yaitu kemauan untuk dibantu. Atau menunjukkan kesediaan

    untuk terlibat dalam kegiatan pembelajaran. Contohnya : tidak mau menerima

    bantuan yang dibutuhkan, tidak kooperatif dalam kegiatan dikelas”.

    Attention/Persistence (AP) yaitu Fokus kepada distractibility dan melihat tugas

    samapai selesai. Contohnya “berusaha mencoba akan tetapi konsentrasi cepat

  • 42

    memudar/mudah terganggu”. Strategy/Flexibility (SF) yaitu Menunjukkan cara

    dimana mendekati tugas tersebut. Contohnya “ mengikuti prosedur yang tidak

    lazim atau tidak fleksibel, tidak berfungsi dengan baik saat dalam suasana hati

    yang buruk”.

    Dari beberapa dimensi diatas, peneliti menggunakan dimensi McDermott

    (1999) yaitu competence motivation, attitude toward learning, attention dan

    strategy.

    2.5.4 Pengukuran Learning-Behavior

    Ada beberapa alat ukur yang digunakan untuk mengukur learning behavior,

    antara lain adalah : Multi Scale Behavior Learning yang dikembangkan oleh

    Wancun, et al (2016). The preschool learning behaviors scales (PLBS) yang

    dikembangkan oleh McDermott, Leigh & Perry (2002). Learning behavior scale

    (LBS) yang dikembangkan oleh McDermott et,al (1999).

    Pada penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur yang digunakan untuk

    mengukur learning behavior, yang dibuat berdasarkan alat ukur yang

    dikemukakan oleh McDermott (1999) yang mencangkup competence motivation

    (CM), Attitude Toward Learning (AL), Attention/Persistence (AP), dan

    Strategy/Flexibility (SF).

    2.6 Kerangka Berfikir

    Mahasiswa penerima beasiswa bidikmisi dihadapkan pada berbagai tuntutan

    akademik, salah satunya yaitu IPK harus diatas 3. Tuntutan ini sering terasa berat.

    Ditambah dengan tuntutan lainnya dari rumah, organisasi, masyarakat, keluarga,

    ataupun kerjaan. Ada kebutuhan untuk mengembangkan kekuatan diantara

  • 43

    mahasiswa sehingga mereka dapat menangani masalah dalam kesulitan ini. Jika

    tidak bisa menghadapi situasi seperti ini mahasiswa bisa terjadi berarah kepada

    hal yang negative sehingga tidak bisa mempertahankan beasiswanya. Tidak hanya

    keberhasilan di dalam akademik yang penting, adapula lebih terpenting

    bagaimana mahasiswa menghadapi situasi yang rumit atau sulit. Paul Stoltz

    (2000) berpandangan bahwa adversity quotient adalah ilmu tentang fleksibilitas

    manusia. Individu yang berhasil menerapkan adversity quotient maka ia dapat

    menangani situasi yang merugikan dengan cara yang lebih baik meskipun besar

    atau kecil masalah yang datang.

    Ada sejumlah faktor yang mempengaruhi adversity quotient, Tinjauan

    literature mengungkapkan bahwa hasil penelitian mengungkapkan adversity

    quotient dipengaruhi oleh school connectedness (Mike, 2015). Mahasiswa dengan

    adversity quotient yang tinggi mudah menemukan untuk percaya bahwa orang-

    orang disekitarnya peduli terhadap akademiknya. Lingkungan salah satunya

    adalah mengenai lingkungan kampus. Yaitu dimana mahasiswa dapat diterima

    dan dihargai baik itu oleh dosen dan mahasiswa yang lain. Sehingga dalam hal ini

    mahasiswa merasa menjadi bagian dari lingkungan universitas tersebut, dan inilah

    yang disebut dengan School Connectedness (Goodnow, 1993). Dengan adanya

    pemahaman yang baik mengenai school connectedness terhadap adversity

    quotient mahasiswa, maka guru/dosen dan pemimpin di universitas dapat

    membangun suasana yang positif dalam lingkungan u