pengaruh perubahan struktur pemerintah terhadap pembangunan

18
Pengaruh Perubahan Struktur Pemerintah terhadap Pembangunan: Studi Kasus Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat Makalah untuk Ujian Akhir Semester (UAS) Mata Kuliah Ekonomi Politik Oleh Syamsul Bahri/ 1206255450 Ilmu Politik Reguler Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

Upload: perkantoran

Post on 07-Feb-2016

19 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

1

TRANSCRIPT

Page 1: Pengaruh Perubahan Struktur Pemerintah Terhadap Pembangunan

Pengaruh Perubahan Struktur Pemerintah terhadap Pembangunan: Studi Kasus Otonomi

Khusus Papua dan Papua Barat

Makalah untuk Ujian Akhir Semester (UAS) Mata Kuliah Ekonomi Politik

Oleh

Syamsul Bahri/ 1206255450

Ilmu Politik Reguler

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

2014

Page 2: Pengaruh Perubahan Struktur Pemerintah Terhadap Pembangunan

1. Latar Belakang

Hubungan pemerintah pusat dan daerah merupakan masalah sentral yang terjadi di

Indonesia selama perjalanannya. Sejak awal kemerdekaan, pemerintah Indonesia melakukan

pembangunan yang terlalu sentralistis. Kondisi ini menimbulkan tuntutan-tuntutan, yang

mengarah ke separatisme di daerah-daerah luar Jawa, di luar pusat pemerintah Indonesia. Selain

itu, persoalan ini tidak terlepas dari indikasi masyarakat luar Jawa, baik secara etnis mau pun

geografis, terhadap kebijakan pemerintah yang terlalu ‘Jawanisasi’.1

Pada tahun 1998, pemerintahan represif Soeharto yang lengser dari kekuasaan 32

tahunnya mendorong tuntutan otonomi daerah dan gerakan separatisme di daerah-daerah

Indonesia yang telah lama tertahan. Tuntutan itu dipicu menurut Metta (1998) antara lain, seperti

diungkapkan Solossa (2006), oleh kecemburuan sosial, masyarakat yang merasa dilanggar hak-

hak asasinya, represi identitas, dominasi etnis tertentu, motivasi ekonomi, kebudayaan

masyarakat yang terancam, dan komitmen pembangunan yang tidak terpenuhi. Dari semua

faktor-faktor itu mengerecut satu hal: eksistensi identitas masyarakat terepresi oleh kekuasaan

politik. Maka dari itu, tuntutan otonomi daerah yang lebih, tak terhindarkan di tahun 1999.

Tuntutan desentralisasi yang menguat juga tak terlepas dari pengaruh hegemoni

demokrasi-liberal pasca-Uni Soviet bubar. Pemerintahan sentralistis Uni Soviet lantas kalah

populer dibanding bentuk struktur pemerintah desentralistis, bahkan federalistis seperti di

Amerika Serikat. Desentralisasi sendiri sebetulnya sudah dijalankan oleh pemerintah Orde Baru

melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintah Daerah. Namun

pengaturannya belum jelas, karena wewenang pemerintah daerah masih ditentukan pemerintah

pusat. Maka kemudian pada tahun 1999, lahir UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi

Daerah. Namun undang-undang ini dirasa kurang memuaskan terutama untuk DKI Jakarta,

Yogyakarta, Aceh, dan Papua, yang menurut Tryatmoko (2012) antara lain karena: (1) otonomi

belum menyentuh kebutuhan dasar masyarakat; (2) intervensi pemerintah pusat yang tinggi; (3)

desain desentralisasi yang belum matang; (4) perilaku elit politik lokal memperlemah komitmen

pemerintah pusat. Namun di Aceh dan Papua, otonomi daerah mengalami kendala lantaran

konflik identitas yang tinggi. Oleh sebab itu, dengan dalih untuk menjaga intergritas negara, 1 Riwanto Tirtosudarmo, Mencari Indonesia 2: Batas-batas Rekayasa Sosial, (Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2010), hlm. 301

Page 3: Pengaruh Perubahan Struktur Pemerintah Terhadap Pembangunan

pemerintah memberikan otonomi khusus untuk daerah ini. Otonomi khusus ini sering dinamakan

sebagai desentralisasi asimetris, yang artinya bahwa ada hak-hak khusus yang diberikan kepada

daerah lain kecual dua daerah ini.

Apa yang membuat otonomi bagi Aceh dan Papua khusus? Saya mengerucutkannya jadi

dua, yakni aliran dana dari pemerintah pusat yang lebih besar kepada daerah ini dan pengakuan

kekuasaan pemerintah lokal yang lebih luas dibanding daerah lainnya. Menurut Tryatmoko,

otonomi khusus ini cukup efektif untuk mengurangi gerakan separatisme dan konflik di Aceh

dan Papua. Namun lebih dari itu, otonomi khusus mempunyai tujuan untuk memberikan

efektivitas pemerintah daerah mengejar ketertinggalan pembangunan di dua daerah ini.

Ditambah lagi, rezim kapitalisme dunia menuntut bentuk pemerintah suatu negara menjadi lebih

efisien dengan memberlakukan desentralisasi sebagaimana diungkapkan Cheema dan Rondinelli

(2007): globalisasi menyebabkan pertumbuhan kluster industri di daerah-daerah sehingga

membutuhkan regulasi pemerintah yang cepat.

Makalah ini berfokus pada bagaiamana pengaruh otonomi khusus bagi pembangunan di

Papua. Hal ini lantaran Papua adalah daerah yang unik sejarahnya di alam Indonesia merdeka.

Selain itu Papua termasuk yang tertinggal dibanding daerah lain. Maka pertanyaan makalah ini:

apakah otonomi khusus selama 13 tahun, terhitung sejak diberlakukannya UU Nomor 21 Tahun

2001, memberikan pembangunan yang signifikan bagi Papua?

2. Teori

2.1. Otonomi Daerah

Secara teoretis apakah perubahan struktur pemerintahan, atau desentralisasi,

memberikan kemajuan bagi pembangunan di daerah? Menurut Pepinsky dan Wihardja (2011),

pengaruh desentralisasi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia sulit digambarkan (elusive).

Pertumbuhan nasional pasca-Orde Baru, menurut mereka, masih berada di dalam kondisi

stagnan. Namun yang dibicarakan mereka berdua adalah pertumbuhan ekonomi di level nasional,

bukan lokal. Mereka sendiri mengakui kalau ‘tidak terhitung banyaknya jumlah provinsi yang

mengambil keuntungan sejak diberlakukannya desentralisasi.’2 Dan desentralisasi ‘justru

memberikan kekuatan bagi pemerintah daerah untuk membuat kebijakan yang tepat, meski juga

2 Thomas B. Pepinsky dan Maria M. Wihardja, Decentralization and Economic Performance in Indonesia dalam Journal of East Asian Studies, 2011, hlm. 338

Page 4: Pengaruh Perubahan Struktur Pemerintah Terhadap Pembangunan

tak terhindarkan kebijakan yang diambil berdampak buruk.’3 Hal serupa dikatakan Cheema dan

Rondinelli (2007). Menurut mereka, pemberian kewenangan pada pemerintah lokal mendorong

administrasi pemerintah lokal yang lebih efektif.4 Dengan demikian, kemampuan desentralisasi

untuk memberikan kemajuan bagi pembangunan di daerah sangat bergantung pada kemampuan

pemerintah lokal.

2.2. Indeks Pembangunan Manusia

Indikator pembangunan yang digunakan makalah ini adalah Indeks Pembangunan

Manusia (IPM). IPM digunakan sebagai indikator pembangunan sejak tahun 1990, yang

dikembangkan oleh ekonom Pakistan Mahbub ul Haq dan ekonom Amartya Sen. Indikator ini

tidak hanya melihat kekayaan ekonomi sebagai tolok-ukur, tetapi kualitas manusianya.

Sebagaimana Amartya Sen katakan, IPM berfokus ‘meningkatkan kekayaan hidup manusia,

dibanding memperkaya kondisi perekonomian di mana manusia tinggal.’5

Di Indonesia, IPM dihitung melalui tiga komponen yang mewakili bidang kesehatan,

pendidikan, dan pendapatan per kapita. Tiga komponen itu diwakili oleh: (1) angka harapan

hidup untuk bidang kesehatan; (2) angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah untuk bidang

pendidikan; dan (3) rata-rata besaran pengeluaran pendapatan per kapita untuk mengukur daya

beli sebagai indikator pembangunan ekonomi.6

3. Pembahasan

3.1. Apa yang Khusus dari Otonomi Papua?

Konflik di Papua muncul ke permukaan ketika masa transisi tahun 1998. Langkah awal

yang dilakukan pemerintah pusat saat itu adalah dengan memberikan pengakuan kultural bagi

Papua, yang termasuk ke dalam otonomi khusus. Pengakuan kultural itu adalah dengan

mengubah nama Irian Jaya menjadi Papua sebagaimana ditulis dalam pertimbangan UU Nomor

3 Ibid.4 G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli (eds), Decentralizing Government: Emerging Concepts Practices, (Massachusetts: Brookings Institution Press, 2007), hlm. 5 5 UNDP. About Human Development, http://hdr.undp.org/en/humandev, diakses tanggal 8 Juni 2014, pukul 13:30 WIB6 Bagus Sumargo (ed) , Indeks Pembangunan Manusia 2006-2007, (Jakarta: Badan Pusat Statistik), hlm. 9

Page 5: Pengaruh Perubahan Struktur Pemerintah Terhadap Pembangunan

21 Tahun 2001. Otonomi khusus Papua, sebagaiamana tertulis dalam undang-undang itu, adalah

kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan

mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan

hak-hak dasar masyarakat Papua. Seperti apa kewenangan khusus itu?

Kewenangan yang diberikan pemerintah Papua hampir sama dengan daerah otonom lain

di Indonesia, yakni semua urusan pemerintah kecuali politik luar negeri, pertahanan dan

keamanan, fiskal dan moneter, serta agama diselenggarakan pemerintah Papua. Yang

membuatnya sedikit beda adalah kemampuan pemerintah Papua untuk membuat perjanjian

internasional dan Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai representase kultural masyarakat di

pemerintahan. Tapi yang paling penting adalah pengaturan keuangan yang berbeda dengan

daerah otonomi lain di Indonesia.

Menurut Purwandanu (2013), ada tiga sumber dana, sejak otonomi diberlakukan di

Papua: pertama adalah dana perimbangan, kedua adalah dana otonomi khusus (otsus), dan ketiga

adalah dana infrastruktur. Dana perimbangan di Papua memiliki kekhususan karena di bidang

Migas, khususnya: pembagian yang dilakukan antara pusat dan daerah adalah 30% dan 70%.

Sementara sumber daya lain di luar itu diperlakukan sama. Lalu untuk bagi hasil Pajak Bumi dan

Bangunan (PBB), 90% diberikan daerah, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

(BPHTB) 80% bagi daerah, dan Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi sebesar 20% bagi

daerah. Papua mendapat dana Otsus sebesar 2% dari Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional.

Purwandanu menulis, terhitung sepanjang 2002 sampai 2012, Papua memperoleh Rp28,445

triliun dana Otsus dan Rp5,271 triliun dana infrastruktur. Dana ini hanya dialirkan selama 20

tahun. Setelahnya Papua tidak dapat perlakuan khusus mengenai dana. Sementara itu, setelah 25

tahun, pembagian hasil di Migas akan dikurangi menjadi 50%.

3.2. Pembangunan Manusia dan Kemiskinan

Terhitung sejak tahun 1996, BPS memperlihatkan kalau Indeks Pembangunan Manusia

Papua selalu berada di bawah rata-rata nasional. Berikut adalah perbandingan IPM Nasional dan

Papua:

Page 6: Pengaruh Perubahan Struktur Pemerintah Terhadap Pembangunan

1996 1999 2002 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 20120.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

80.00

90.00

100.00

IPM

PapuaNasional

Diolah dari BPS.go.id

Grafik 1

Dari tabel tersebut terlihat penurunan IPM pada tahun 1999. Pada tahun tersebut juga

terjadi pemekaran wilayah di Papua, yakni didirikannya Provinsi Irian Jaya Barat melalui

Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999. Sejak tahun 2004, terjadi peningkatan namun jumlahnya

tetap berada di bawah rata-rata nasional, menyamainya pun tidak. Sementara itu, data

kemiskinan dan pengangguran di Papua sebagai berikut:

Page 7: Pengaruh Perubahan Struktur Pemerintah Terhadap Pembangunan

1996 1999 2002 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

80.00

90.00

100.00

Kemiskinan (%)

NasionalPapua

Diolah dari Papua.BPS.go.id dan BPS.go.id

Grafik 2

Kendati di beberapa tahun tidak terdapat datanya, presentase kemiskinan di Papua jauh di

atas rata-rata nasional. Jumlahnya pun terus berfluktuasi. Pada tahun 2006 terjadi kenaikan

presentase kemiskinan 1.8% dan kembali terjadi kenaikan pada tahun 2009 yakni 1,43%. Namun

selama 10 tahun, dari 2002 ke 2012, angka kemiskinan berhasil turun menjadi 32,42%. Namun

jumlah itu jauh di atas rata-rata nasional, yang pada tahun 2012 hanya 11,66%.

Kemudian, Purwandanu menunjukkan perbandingan alokasi dana otsus dan angka

kemiskinan di Papua dan Papua Barat—wilayah pemekaran—yang tidak menunjukkan

perubahan signifikan sebagaimana tergambar dalam tabel berikut:

Tahun Dana Otsus (dalam miliar Jumlah Penduduk IPM

Page 8: Pengaruh Perubahan Struktur Pemerintah Terhadap Pembangunan

rupiah) Miskin

Papua Papua Barat Papua Papua Barat Papua Papua Barat

2002 1.380 - n/a n/a 58,80 -

2003 1.539 - 917.000 - 60,10 n/a

2004 1.643 - 727.303 - 60,90 63,70

2005 1.775 - 765.721 - 62,08 64,83

2006 2.913 - 830.706 - 62,75 66,08

2007 3.296 - 821.962 - 63,41 67,28

2008 3.590 - 934.268 - 64,00 67,95

2009 2.610 1.118 997.143 251.983 64,53 68,58

2010 2.695 1.115 1.031.067 256.191 64,94 69,15

2011 3.157 1.353 971.650 249.840 65,36 69,65

2012 3.833 1.642 n/a n/a n/a n/a

Purwandanu (2013)

Tabel 1

Dari data tersebut terlihat bahwa tidak ada penurunan angka kemiskinan secara signifikan

meski dana otsus bertambah. Sampai sini, dapat diambil kesimpulan kalau perubahan struktur

pemerintah tidak memberikan dampak signifikan bagi pembangunan di Papua. Tapi apa

penyebabnya?

3.3. Kendala Otonomi Khusus Papua

Purwandanu (2013) menyebut dua hal yang menjadi penyebab penyelenggaraan otsus di

Papua kurang berhasil. Pertama, petunjuk teknis sebagai penjabaran UU Otsus belum ada.

Petunjuk teknis itu meliputi paraturan tentang bagaimana hubungan pemerintah provinsi dan

pemerintah kabupaten dan kota yang berada di bawahnya. Purwandanu melihat belum ada

Perdasus tentang pembagian dan pengelolaan dana otsus. Kedua, belum terbangunnya pola

hubungan kerja secara sinergis antara eksekutif, legislatif, dan MRP di daerah.

Namun Purwandanu (2013) lebih melihat kalau ada inefektivitas pengelolaan dana otsus.

Menurutnya ada tiga penyebab utama: (1) ruang partisipasi masyarakat yang terbatas lantaran

kurang transparannya pemerintah dalam hak informasi yang harus didapatkan publik. Hal ini,

Page 9: Pengaruh Perubahan Struktur Pemerintah Terhadap Pembangunan

menurutnya, membuat partisipasi masyarakat terhalangi. (2) Mekanisme transfer dana otsus

bersifat tanpa syarat, dalam artian pemerintah daerah tidak memberikan suatu bentuk

pertanggung-jawaban kepada pemerintah pusat. Menurutnya, transfer tanpa syarat seperti ini

cenderung membuat pemerintah daerah lebih mengandalkan dana dari pemerintah pusat

dibanding penerimaan asil daerah. (3) Koordinasi lintas kementerian/lembaga dalam mengawasi

jalannya otsus masih kurang. Masing-masing lembaga pemerintah, menurut Purwandanu,

melakukan pengawasan dengan kepentingan yang berbeda-beda. Hal ini dilihatnya sebagai

bentuk kurangnya koordinasi.

Purwandanu membuat kesan kalau pemerintah daerah-lah yang salah dalam menjalankan

otsus. Dardias (2012) justru melihat dengan sudut pandang yang berbeda. Ia menganggap,

terdapat ketidak-jelasan regulasi yang dibuat pemerintah pusat. Pemerintah provinsi

menggunakan UU Otsus sebagai pedoman, sementara pemerintah kabupaten dan kota

menggunakan UU Nomor 32 Tahun 2004. Kondisi ini menyebabkan ketidakjelasan hubungan

pemerintah provinsi dan daerah. Kemudian masalah Papua bukan hanya masalah ekonomi tetapi

juga berkaitan dengan masalah identitas. Dardias mengatakan kalau dana otsus gagal membuat

tuntutan merdeka bagi rakyat Papua terselesaikan. Dardias (2012) melihat seolah pemerintah

pusat hanya memberikan dana lalu tidak mau-tahu bagaimana selanjutnya dana tersebut

digunakan. Singkatnya, tidak ada desain besar bagi otonomi khusus Papua untuk menciptakan

kesejahteraan, kecuali dengan pemberian dana dan hak-hak istimewa. Maka dari itu, Dardias

(2012) menulis, bagi elite Papua, dana otsus dianggap uang mahar dan uang darah: tak perlu

dipertanggungjawabkan. Baik pemerintah pusat maupun elite Papua sepakat, dana otsus tak

perlu diusik karena itulah sumbangan NKRI agar Papua tak merdeka.7

Namun terjadi indikasi penyelewengan dana otsus yang tak lain penyebabnya adalah

seperti dikatakan Purwandanu (2013): kurangnya pengawasan pemerintah pusat. Indikasi

penyelewenangan dana ini juga diungkapkan Lukas Enembe, Gubernur Papua. Ia mengakui

segera meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengaudit keuangan pemerintah Papua.

Seperti yang diungkapkan Purwandanu (2013), terjadi indikasi penyelewengan dana sebesar

Rp4,12 triliun. Selain penyelewengan dana, Lukas Enembe menuturkan penemuan senjata-

7 Dardias, Bayu. Menakar Otonomi Khusus Aceh dan Papua, http://nasional.kompas.com/read/2012/07/03/04083978/Menakar.Otonomi.Khusus.Aceh.dan.Papua, diakses tanggal 8 Juni 2014, pukul 19:40 WIB

Page 10: Pengaruh Perubahan Struktur Pemerintah Terhadap Pembangunan

senjata di pedalaman Papua yang menyebabkan stabilitas pembangunan di Papua terganggu.8

Kondisi ini menimbulkan kecurigaan kalau penyelewengan dana otsus Papua ternyata digunakan

untuk persenjataan masyarakat sipil.

4. Kesimpulan

Dari semua permasalahan di atas, sebetulnya kita dapat melihat simpul keterkaitan antara

pembangunan dengan bangkitnya masalah konflik identitas. Tapi dalam perkembangannya,

kedua variabel ini bertautan. Gagalnya pembangunan menimbulkan sentimen konflik identitas,

sehingga menimbulkan gerakan separatisme, di Papua. Namun kemudian, seperti diungkapkan

Lukas Enembe, gerakan separatisme justru menghambat pembangunan karena terganggunya

stabilitas. Oleh karena itu, masalah pembangunan di Papua adalah masalah yang kompleks.

Penyelesaian masalah Papua tidak hanya bisa diselesaikan dengan pemberian hak-hak

politik dan ekonomi saja. Pemerintah harus berturut serta memberikan ruang politik bagi

masyarakat Papua sehingga dapat berdiri sejajar untuk membicarakan permasalahan mereka.

Setelah itu, pemerintah pusat mau pun daerah harus membuat rancangan desain yang masing-

masing pihak sepakati. Solossa (2006) sendiri sudah melihat kalau permasalahan identitas sudah

bangkit di Papua sejak masa awal integrasinya dengan Indonesia lantaran pemerintah pusat

hanya mementingkan dirinya. Solossa menulis,

“Pemerintah Belanda menganggap dirinya mewakili rakyat Papua, tetapi sebenarnya tidak. Demikian, di sisi lain pemerintah Indonesia yang secara de-facto merupakan pemerintah yang sah di Papua sejak kemerdekaan Indonesia tahun 1945 kurang memahami psikologi rakyat Papua. Oleh karena itu, timbullah pemahan di kalangan rakyat Papua bahwa mereka diperlakukan tidak lebih dari sekadar objek yang dipersengkatakan oleh pihak lain.”9

Dengan melihat bagaimana perilaku pemerintah pusat pada Papua, maka pernyataan

Solossa sekiranya masih relevan. Atau jangan-jangan dalam usaha pengintegrasiannya

pemerintah Indonesia hanya mengambil keuntungan dari eksploitasi sumber daya alam di Papua?

Mungkin inilah yang ada di benak masyarakat Papua. Meski pemerintah Indonesia sendiri

8 Otsus Papua Masih Menyisakan Banyak Masalah, http://www.dpr.go.id/id/berita/pimpinan/2014/feb/06/7557/otsus-papua-masih-menyisakan-banyak-masalah-, diakses tanggal 8 Juni 2014, pukul 19:18 WIB9 Solossa, Perviddya Jacobus. Otonomi Khusus Papua: Menangkat Martabat Rakyat Papua di dalam NKRI. (Jakarta: Sinar Harapan, 2006), hlm. 189

Page 11: Pengaruh Perubahan Struktur Pemerintah Terhadap Pembangunan

mencoba menampakkan keseriusannya dengan membentuk Unit Percepatan Pembangunan

Pronvinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B), Dardias menuturkan kalau bagaimana

mungkin membayangkan kesejahteraan yang dijanjikan untuk Papua diucapkan dari mulut

seorang tentara?10 UP4B yang dipimpin oleh para jenderal itu seolah memberikan todongan

senjata kepada masyarakat Papua: hentikan tuntutan separatisme dan kami akan melakukan

pmebangunan.

Namun solusi jangka panjang yang saya berikan adalah di bidang pendidikan. Seperti

yang diungkapkan di atas, masalah Papua salah satunya karena sumber daya manusianya.

Menurut saya, pemerintah pusat harus memberikan program kepada pemuda Papua untuk

mendapat pendidikan berkualitas, selain membenahi regulasi yang ada. Karena dengan

melakukan ini, pemerintah dapat turut memberikan bantuan bagi generasi penerus di Papua.

Tanpa generasi penerus, ditambah dana otsus yang akan segera dihentikan alirannya kurang dari

15 tahun lagi, Papua akan sulit mengejar ketertinggalannya. Generasi penerus inilah yang

nantinya menjalankan pemerintahan di Papua, kemudian melakukan pembangunan.

Daftar Pustaka

10 Dardias, Bayu. Op cit.

Page 12: Pengaruh Perubahan Struktur Pemerintah Terhadap Pembangunan

Buku

Cheema, Shabbir G. dan Dennis A. Rondinelli (ed). 2007. Decentralizing Government: Emerging Concepts Practices. Massachusetts: Brookings Institution Press

Solossa, Jacobus Perviddya. 2006. Otonomi Khusus Papua: Menangkat Martabat Rakyat Papua di dalam NKRI. Jakarta: Sinar Harapan

Tirtosudarmo, Riwanto. 2010. Mencari Indonesia 2: Batas-batas Rekayasa Sosial. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Sumber Lain

Pepinsky, Thomas B. dan Maria M. Wihardja. 2011. Decentralization and Economic Performance in Indonesia dalam Journal of East Asian Studies

Purwandanu, Didik. 2013. Efektivitas Dana Otonomi Khusus di Papua dan Papua Barat dalam Memo Kebijakan: PATTIRO

UNDP. About Human Development, http://hdr.undp.org/en/humandev, diakses tanggal 8 Juni 2014, pukul 13:30 WIB

Bagus Sumargo (ed). Tanpa tahun. Indeks Pembangunan Manusia 2006-2007. Jakarta: Badan Pusat Statistik

Dardias, Bayu. Menakar Otonomi Khusus Aceh dan Papua, http://nasional.kompas.com/read/2012/07/03/04083978/Menakar.Otonomi.Khusus.Aceh.dan.Papua, diakses tanggal 8 Juni 2014, pukul 19:40 WIB

Otsus Papua Masih Menyisakan Banyak Masalah, http://www.dpr.go.id/id/berita/pimpinan/2014/feb/06/7557/otsus-papua-masih-menyisakan-banyak-masalah-, diakses tanggal 8 Juni 2014, pukul 19:18 WIB

BPS.go.id

Papua.BPS.go.id