pengaruh perubahan struktur pemerintah terhadap pembangunan
DESCRIPTION
1TRANSCRIPT
Pengaruh Perubahan Struktur Pemerintah terhadap Pembangunan: Studi Kasus Otonomi
Khusus Papua dan Papua Barat
Makalah untuk Ujian Akhir Semester (UAS) Mata Kuliah Ekonomi Politik
Oleh
Syamsul Bahri/ 1206255450
Ilmu Politik Reguler
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia
2014
1. Latar Belakang
Hubungan pemerintah pusat dan daerah merupakan masalah sentral yang terjadi di
Indonesia selama perjalanannya. Sejak awal kemerdekaan, pemerintah Indonesia melakukan
pembangunan yang terlalu sentralistis. Kondisi ini menimbulkan tuntutan-tuntutan, yang
mengarah ke separatisme di daerah-daerah luar Jawa, di luar pusat pemerintah Indonesia. Selain
itu, persoalan ini tidak terlepas dari indikasi masyarakat luar Jawa, baik secara etnis mau pun
geografis, terhadap kebijakan pemerintah yang terlalu ‘Jawanisasi’.1
Pada tahun 1998, pemerintahan represif Soeharto yang lengser dari kekuasaan 32
tahunnya mendorong tuntutan otonomi daerah dan gerakan separatisme di daerah-daerah
Indonesia yang telah lama tertahan. Tuntutan itu dipicu menurut Metta (1998) antara lain, seperti
diungkapkan Solossa (2006), oleh kecemburuan sosial, masyarakat yang merasa dilanggar hak-
hak asasinya, represi identitas, dominasi etnis tertentu, motivasi ekonomi, kebudayaan
masyarakat yang terancam, dan komitmen pembangunan yang tidak terpenuhi. Dari semua
faktor-faktor itu mengerecut satu hal: eksistensi identitas masyarakat terepresi oleh kekuasaan
politik. Maka dari itu, tuntutan otonomi daerah yang lebih, tak terhindarkan di tahun 1999.
Tuntutan desentralisasi yang menguat juga tak terlepas dari pengaruh hegemoni
demokrasi-liberal pasca-Uni Soviet bubar. Pemerintahan sentralistis Uni Soviet lantas kalah
populer dibanding bentuk struktur pemerintah desentralistis, bahkan federalistis seperti di
Amerika Serikat. Desentralisasi sendiri sebetulnya sudah dijalankan oleh pemerintah Orde Baru
melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintah Daerah. Namun
pengaturannya belum jelas, karena wewenang pemerintah daerah masih ditentukan pemerintah
pusat. Maka kemudian pada tahun 1999, lahir UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi
Daerah. Namun undang-undang ini dirasa kurang memuaskan terutama untuk DKI Jakarta,
Yogyakarta, Aceh, dan Papua, yang menurut Tryatmoko (2012) antara lain karena: (1) otonomi
belum menyentuh kebutuhan dasar masyarakat; (2) intervensi pemerintah pusat yang tinggi; (3)
desain desentralisasi yang belum matang; (4) perilaku elit politik lokal memperlemah komitmen
pemerintah pusat. Namun di Aceh dan Papua, otonomi daerah mengalami kendala lantaran
konflik identitas yang tinggi. Oleh sebab itu, dengan dalih untuk menjaga intergritas negara, 1 Riwanto Tirtosudarmo, Mencari Indonesia 2: Batas-batas Rekayasa Sosial, (Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2010), hlm. 301
pemerintah memberikan otonomi khusus untuk daerah ini. Otonomi khusus ini sering dinamakan
sebagai desentralisasi asimetris, yang artinya bahwa ada hak-hak khusus yang diberikan kepada
daerah lain kecual dua daerah ini.
Apa yang membuat otonomi bagi Aceh dan Papua khusus? Saya mengerucutkannya jadi
dua, yakni aliran dana dari pemerintah pusat yang lebih besar kepada daerah ini dan pengakuan
kekuasaan pemerintah lokal yang lebih luas dibanding daerah lainnya. Menurut Tryatmoko,
otonomi khusus ini cukup efektif untuk mengurangi gerakan separatisme dan konflik di Aceh
dan Papua. Namun lebih dari itu, otonomi khusus mempunyai tujuan untuk memberikan
efektivitas pemerintah daerah mengejar ketertinggalan pembangunan di dua daerah ini.
Ditambah lagi, rezim kapitalisme dunia menuntut bentuk pemerintah suatu negara menjadi lebih
efisien dengan memberlakukan desentralisasi sebagaimana diungkapkan Cheema dan Rondinelli
(2007): globalisasi menyebabkan pertumbuhan kluster industri di daerah-daerah sehingga
membutuhkan regulasi pemerintah yang cepat.
Makalah ini berfokus pada bagaiamana pengaruh otonomi khusus bagi pembangunan di
Papua. Hal ini lantaran Papua adalah daerah yang unik sejarahnya di alam Indonesia merdeka.
Selain itu Papua termasuk yang tertinggal dibanding daerah lain. Maka pertanyaan makalah ini:
apakah otonomi khusus selama 13 tahun, terhitung sejak diberlakukannya UU Nomor 21 Tahun
2001, memberikan pembangunan yang signifikan bagi Papua?
2. Teori
2.1. Otonomi Daerah
Secara teoretis apakah perubahan struktur pemerintahan, atau desentralisasi,
memberikan kemajuan bagi pembangunan di daerah? Menurut Pepinsky dan Wihardja (2011),
pengaruh desentralisasi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia sulit digambarkan (elusive).
Pertumbuhan nasional pasca-Orde Baru, menurut mereka, masih berada di dalam kondisi
stagnan. Namun yang dibicarakan mereka berdua adalah pertumbuhan ekonomi di level nasional,
bukan lokal. Mereka sendiri mengakui kalau ‘tidak terhitung banyaknya jumlah provinsi yang
mengambil keuntungan sejak diberlakukannya desentralisasi.’2 Dan desentralisasi ‘justru
memberikan kekuatan bagi pemerintah daerah untuk membuat kebijakan yang tepat, meski juga
2 Thomas B. Pepinsky dan Maria M. Wihardja, Decentralization and Economic Performance in Indonesia dalam Journal of East Asian Studies, 2011, hlm. 338
tak terhindarkan kebijakan yang diambil berdampak buruk.’3 Hal serupa dikatakan Cheema dan
Rondinelli (2007). Menurut mereka, pemberian kewenangan pada pemerintah lokal mendorong
administrasi pemerintah lokal yang lebih efektif.4 Dengan demikian, kemampuan desentralisasi
untuk memberikan kemajuan bagi pembangunan di daerah sangat bergantung pada kemampuan
pemerintah lokal.
2.2. Indeks Pembangunan Manusia
Indikator pembangunan yang digunakan makalah ini adalah Indeks Pembangunan
Manusia (IPM). IPM digunakan sebagai indikator pembangunan sejak tahun 1990, yang
dikembangkan oleh ekonom Pakistan Mahbub ul Haq dan ekonom Amartya Sen. Indikator ini
tidak hanya melihat kekayaan ekonomi sebagai tolok-ukur, tetapi kualitas manusianya.
Sebagaimana Amartya Sen katakan, IPM berfokus ‘meningkatkan kekayaan hidup manusia,
dibanding memperkaya kondisi perekonomian di mana manusia tinggal.’5
Di Indonesia, IPM dihitung melalui tiga komponen yang mewakili bidang kesehatan,
pendidikan, dan pendapatan per kapita. Tiga komponen itu diwakili oleh: (1) angka harapan
hidup untuk bidang kesehatan; (2) angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah untuk bidang
pendidikan; dan (3) rata-rata besaran pengeluaran pendapatan per kapita untuk mengukur daya
beli sebagai indikator pembangunan ekonomi.6
3. Pembahasan
3.1. Apa yang Khusus dari Otonomi Papua?
Konflik di Papua muncul ke permukaan ketika masa transisi tahun 1998. Langkah awal
yang dilakukan pemerintah pusat saat itu adalah dengan memberikan pengakuan kultural bagi
Papua, yang termasuk ke dalam otonomi khusus. Pengakuan kultural itu adalah dengan
mengubah nama Irian Jaya menjadi Papua sebagaimana ditulis dalam pertimbangan UU Nomor
3 Ibid.4 G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli (eds), Decentralizing Government: Emerging Concepts Practices, (Massachusetts: Brookings Institution Press, 2007), hlm. 5 5 UNDP. About Human Development, http://hdr.undp.org/en/humandev, diakses tanggal 8 Juni 2014, pukul 13:30 WIB6 Bagus Sumargo (ed) , Indeks Pembangunan Manusia 2006-2007, (Jakarta: Badan Pusat Statistik), hlm. 9
21 Tahun 2001. Otonomi khusus Papua, sebagaiamana tertulis dalam undang-undang itu, adalah
kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan
hak-hak dasar masyarakat Papua. Seperti apa kewenangan khusus itu?
Kewenangan yang diberikan pemerintah Papua hampir sama dengan daerah otonom lain
di Indonesia, yakni semua urusan pemerintah kecuali politik luar negeri, pertahanan dan
keamanan, fiskal dan moneter, serta agama diselenggarakan pemerintah Papua. Yang
membuatnya sedikit beda adalah kemampuan pemerintah Papua untuk membuat perjanjian
internasional dan Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai representase kultural masyarakat di
pemerintahan. Tapi yang paling penting adalah pengaturan keuangan yang berbeda dengan
daerah otonomi lain di Indonesia.
Menurut Purwandanu (2013), ada tiga sumber dana, sejak otonomi diberlakukan di
Papua: pertama adalah dana perimbangan, kedua adalah dana otonomi khusus (otsus), dan ketiga
adalah dana infrastruktur. Dana perimbangan di Papua memiliki kekhususan karena di bidang
Migas, khususnya: pembagian yang dilakukan antara pusat dan daerah adalah 30% dan 70%.
Sementara sumber daya lain di luar itu diperlakukan sama. Lalu untuk bagi hasil Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB), 90% diberikan daerah, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) 80% bagi daerah, dan Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi sebesar 20% bagi
daerah. Papua mendapat dana Otsus sebesar 2% dari Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional.
Purwandanu menulis, terhitung sepanjang 2002 sampai 2012, Papua memperoleh Rp28,445
triliun dana Otsus dan Rp5,271 triliun dana infrastruktur. Dana ini hanya dialirkan selama 20
tahun. Setelahnya Papua tidak dapat perlakuan khusus mengenai dana. Sementara itu, setelah 25
tahun, pembagian hasil di Migas akan dikurangi menjadi 50%.
3.2. Pembangunan Manusia dan Kemiskinan
Terhitung sejak tahun 1996, BPS memperlihatkan kalau Indeks Pembangunan Manusia
Papua selalu berada di bawah rata-rata nasional. Berikut adalah perbandingan IPM Nasional dan
Papua:
1996 1999 2002 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 20120.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
80.00
90.00
100.00
IPM
PapuaNasional
Diolah dari BPS.go.id
Grafik 1
Dari tabel tersebut terlihat penurunan IPM pada tahun 1999. Pada tahun tersebut juga
terjadi pemekaran wilayah di Papua, yakni didirikannya Provinsi Irian Jaya Barat melalui
Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999. Sejak tahun 2004, terjadi peningkatan namun jumlahnya
tetap berada di bawah rata-rata nasional, menyamainya pun tidak. Sementara itu, data
kemiskinan dan pengangguran di Papua sebagai berikut:
1996 1999 2002 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
80.00
90.00
100.00
Kemiskinan (%)
NasionalPapua
Diolah dari Papua.BPS.go.id dan BPS.go.id
Grafik 2
Kendati di beberapa tahun tidak terdapat datanya, presentase kemiskinan di Papua jauh di
atas rata-rata nasional. Jumlahnya pun terus berfluktuasi. Pada tahun 2006 terjadi kenaikan
presentase kemiskinan 1.8% dan kembali terjadi kenaikan pada tahun 2009 yakni 1,43%. Namun
selama 10 tahun, dari 2002 ke 2012, angka kemiskinan berhasil turun menjadi 32,42%. Namun
jumlah itu jauh di atas rata-rata nasional, yang pada tahun 2012 hanya 11,66%.
Kemudian, Purwandanu menunjukkan perbandingan alokasi dana otsus dan angka
kemiskinan di Papua dan Papua Barat—wilayah pemekaran—yang tidak menunjukkan
perubahan signifikan sebagaimana tergambar dalam tabel berikut:
Tahun Dana Otsus (dalam miliar Jumlah Penduduk IPM
rupiah) Miskin
Papua Papua Barat Papua Papua Barat Papua Papua Barat
2002 1.380 - n/a n/a 58,80 -
2003 1.539 - 917.000 - 60,10 n/a
2004 1.643 - 727.303 - 60,90 63,70
2005 1.775 - 765.721 - 62,08 64,83
2006 2.913 - 830.706 - 62,75 66,08
2007 3.296 - 821.962 - 63,41 67,28
2008 3.590 - 934.268 - 64,00 67,95
2009 2.610 1.118 997.143 251.983 64,53 68,58
2010 2.695 1.115 1.031.067 256.191 64,94 69,15
2011 3.157 1.353 971.650 249.840 65,36 69,65
2012 3.833 1.642 n/a n/a n/a n/a
Purwandanu (2013)
Tabel 1
Dari data tersebut terlihat bahwa tidak ada penurunan angka kemiskinan secara signifikan
meski dana otsus bertambah. Sampai sini, dapat diambil kesimpulan kalau perubahan struktur
pemerintah tidak memberikan dampak signifikan bagi pembangunan di Papua. Tapi apa
penyebabnya?
3.3. Kendala Otonomi Khusus Papua
Purwandanu (2013) menyebut dua hal yang menjadi penyebab penyelenggaraan otsus di
Papua kurang berhasil. Pertama, petunjuk teknis sebagai penjabaran UU Otsus belum ada.
Petunjuk teknis itu meliputi paraturan tentang bagaimana hubungan pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten dan kota yang berada di bawahnya. Purwandanu melihat belum ada
Perdasus tentang pembagian dan pengelolaan dana otsus. Kedua, belum terbangunnya pola
hubungan kerja secara sinergis antara eksekutif, legislatif, dan MRP di daerah.
Namun Purwandanu (2013) lebih melihat kalau ada inefektivitas pengelolaan dana otsus.
Menurutnya ada tiga penyebab utama: (1) ruang partisipasi masyarakat yang terbatas lantaran
kurang transparannya pemerintah dalam hak informasi yang harus didapatkan publik. Hal ini,
menurutnya, membuat partisipasi masyarakat terhalangi. (2) Mekanisme transfer dana otsus
bersifat tanpa syarat, dalam artian pemerintah daerah tidak memberikan suatu bentuk
pertanggung-jawaban kepada pemerintah pusat. Menurutnya, transfer tanpa syarat seperti ini
cenderung membuat pemerintah daerah lebih mengandalkan dana dari pemerintah pusat
dibanding penerimaan asil daerah. (3) Koordinasi lintas kementerian/lembaga dalam mengawasi
jalannya otsus masih kurang. Masing-masing lembaga pemerintah, menurut Purwandanu,
melakukan pengawasan dengan kepentingan yang berbeda-beda. Hal ini dilihatnya sebagai
bentuk kurangnya koordinasi.
Purwandanu membuat kesan kalau pemerintah daerah-lah yang salah dalam menjalankan
otsus. Dardias (2012) justru melihat dengan sudut pandang yang berbeda. Ia menganggap,
terdapat ketidak-jelasan regulasi yang dibuat pemerintah pusat. Pemerintah provinsi
menggunakan UU Otsus sebagai pedoman, sementara pemerintah kabupaten dan kota
menggunakan UU Nomor 32 Tahun 2004. Kondisi ini menyebabkan ketidakjelasan hubungan
pemerintah provinsi dan daerah. Kemudian masalah Papua bukan hanya masalah ekonomi tetapi
juga berkaitan dengan masalah identitas. Dardias mengatakan kalau dana otsus gagal membuat
tuntutan merdeka bagi rakyat Papua terselesaikan. Dardias (2012) melihat seolah pemerintah
pusat hanya memberikan dana lalu tidak mau-tahu bagaimana selanjutnya dana tersebut
digunakan. Singkatnya, tidak ada desain besar bagi otonomi khusus Papua untuk menciptakan
kesejahteraan, kecuali dengan pemberian dana dan hak-hak istimewa. Maka dari itu, Dardias
(2012) menulis, bagi elite Papua, dana otsus dianggap uang mahar dan uang darah: tak perlu
dipertanggungjawabkan. Baik pemerintah pusat maupun elite Papua sepakat, dana otsus tak
perlu diusik karena itulah sumbangan NKRI agar Papua tak merdeka.7
Namun terjadi indikasi penyelewengan dana otsus yang tak lain penyebabnya adalah
seperti dikatakan Purwandanu (2013): kurangnya pengawasan pemerintah pusat. Indikasi
penyelewenangan dana ini juga diungkapkan Lukas Enembe, Gubernur Papua. Ia mengakui
segera meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengaudit keuangan pemerintah Papua.
Seperti yang diungkapkan Purwandanu (2013), terjadi indikasi penyelewengan dana sebesar
Rp4,12 triliun. Selain penyelewengan dana, Lukas Enembe menuturkan penemuan senjata-
7 Dardias, Bayu. Menakar Otonomi Khusus Aceh dan Papua, http://nasional.kompas.com/read/2012/07/03/04083978/Menakar.Otonomi.Khusus.Aceh.dan.Papua, diakses tanggal 8 Juni 2014, pukul 19:40 WIB
senjata di pedalaman Papua yang menyebabkan stabilitas pembangunan di Papua terganggu.8
Kondisi ini menimbulkan kecurigaan kalau penyelewengan dana otsus Papua ternyata digunakan
untuk persenjataan masyarakat sipil.
4. Kesimpulan
Dari semua permasalahan di atas, sebetulnya kita dapat melihat simpul keterkaitan antara
pembangunan dengan bangkitnya masalah konflik identitas. Tapi dalam perkembangannya,
kedua variabel ini bertautan. Gagalnya pembangunan menimbulkan sentimen konflik identitas,
sehingga menimbulkan gerakan separatisme, di Papua. Namun kemudian, seperti diungkapkan
Lukas Enembe, gerakan separatisme justru menghambat pembangunan karena terganggunya
stabilitas. Oleh karena itu, masalah pembangunan di Papua adalah masalah yang kompleks.
Penyelesaian masalah Papua tidak hanya bisa diselesaikan dengan pemberian hak-hak
politik dan ekonomi saja. Pemerintah harus berturut serta memberikan ruang politik bagi
masyarakat Papua sehingga dapat berdiri sejajar untuk membicarakan permasalahan mereka.
Setelah itu, pemerintah pusat mau pun daerah harus membuat rancangan desain yang masing-
masing pihak sepakati. Solossa (2006) sendiri sudah melihat kalau permasalahan identitas sudah
bangkit di Papua sejak masa awal integrasinya dengan Indonesia lantaran pemerintah pusat
hanya mementingkan dirinya. Solossa menulis,
“Pemerintah Belanda menganggap dirinya mewakili rakyat Papua, tetapi sebenarnya tidak. Demikian, di sisi lain pemerintah Indonesia yang secara de-facto merupakan pemerintah yang sah di Papua sejak kemerdekaan Indonesia tahun 1945 kurang memahami psikologi rakyat Papua. Oleh karena itu, timbullah pemahan di kalangan rakyat Papua bahwa mereka diperlakukan tidak lebih dari sekadar objek yang dipersengkatakan oleh pihak lain.”9
Dengan melihat bagaimana perilaku pemerintah pusat pada Papua, maka pernyataan
Solossa sekiranya masih relevan. Atau jangan-jangan dalam usaha pengintegrasiannya
pemerintah Indonesia hanya mengambil keuntungan dari eksploitasi sumber daya alam di Papua?
Mungkin inilah yang ada di benak masyarakat Papua. Meski pemerintah Indonesia sendiri
8 Otsus Papua Masih Menyisakan Banyak Masalah, http://www.dpr.go.id/id/berita/pimpinan/2014/feb/06/7557/otsus-papua-masih-menyisakan-banyak-masalah-, diakses tanggal 8 Juni 2014, pukul 19:18 WIB9 Solossa, Perviddya Jacobus. Otonomi Khusus Papua: Menangkat Martabat Rakyat Papua di dalam NKRI. (Jakarta: Sinar Harapan, 2006), hlm. 189
mencoba menampakkan keseriusannya dengan membentuk Unit Percepatan Pembangunan
Pronvinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B), Dardias menuturkan kalau bagaimana
mungkin membayangkan kesejahteraan yang dijanjikan untuk Papua diucapkan dari mulut
seorang tentara?10 UP4B yang dipimpin oleh para jenderal itu seolah memberikan todongan
senjata kepada masyarakat Papua: hentikan tuntutan separatisme dan kami akan melakukan
pmebangunan.
Namun solusi jangka panjang yang saya berikan adalah di bidang pendidikan. Seperti
yang diungkapkan di atas, masalah Papua salah satunya karena sumber daya manusianya.
Menurut saya, pemerintah pusat harus memberikan program kepada pemuda Papua untuk
mendapat pendidikan berkualitas, selain membenahi regulasi yang ada. Karena dengan
melakukan ini, pemerintah dapat turut memberikan bantuan bagi generasi penerus di Papua.
Tanpa generasi penerus, ditambah dana otsus yang akan segera dihentikan alirannya kurang dari
15 tahun lagi, Papua akan sulit mengejar ketertinggalannya. Generasi penerus inilah yang
nantinya menjalankan pemerintahan di Papua, kemudian melakukan pembangunan.
Daftar Pustaka
10 Dardias, Bayu. Op cit.
Buku
Cheema, Shabbir G. dan Dennis A. Rondinelli (ed). 2007. Decentralizing Government: Emerging Concepts Practices. Massachusetts: Brookings Institution Press
Solossa, Jacobus Perviddya. 2006. Otonomi Khusus Papua: Menangkat Martabat Rakyat Papua di dalam NKRI. Jakarta: Sinar Harapan
Tirtosudarmo, Riwanto. 2010. Mencari Indonesia 2: Batas-batas Rekayasa Sosial. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Sumber Lain
Pepinsky, Thomas B. dan Maria M. Wihardja. 2011. Decentralization and Economic Performance in Indonesia dalam Journal of East Asian Studies
Purwandanu, Didik. 2013. Efektivitas Dana Otonomi Khusus di Papua dan Papua Barat dalam Memo Kebijakan: PATTIRO
UNDP. About Human Development, http://hdr.undp.org/en/humandev, diakses tanggal 8 Juni 2014, pukul 13:30 WIB
Bagus Sumargo (ed). Tanpa tahun. Indeks Pembangunan Manusia 2006-2007. Jakarta: Badan Pusat Statistik
Dardias, Bayu. Menakar Otonomi Khusus Aceh dan Papua, http://nasional.kompas.com/read/2012/07/03/04083978/Menakar.Otonomi.Khusus.Aceh.dan.Papua, diakses tanggal 8 Juni 2014, pukul 19:40 WIB
Otsus Papua Masih Menyisakan Banyak Masalah, http://www.dpr.go.id/id/berita/pimpinan/2014/feb/06/7557/otsus-papua-masih-menyisakan-banyak-masalah-, diakses tanggal 8 Juni 2014, pukul 19:18 WIB
BPS.go.id
Papua.BPS.go.id