pengaruh permendagri nomor 32 tahun 2011 terhadap …
TRANSCRIPT
Majalah Ilmiah Solusi ISSN: 1412-5331
Vol.16, No.1 Januari 2018
99
PENGARUH PERMENDAGRI NOMOR 32 TAHUN 2011 TERHADAP
ALOKASI BELANJA HIBAH DAN BANTUAN SOSIAL
DI PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TENGAH
Yohanes Suhardjo
Fakultas Ekonomi Universitas Semarang (USM)
Diterima: Juli 2017. Disetujui: Oktober 2017. Dipublikasikan: Januari 2018
ABSTRACT
In principle, the nature of the grants and social assistance is not binding or continuous in the
sense that the grant depends on the financial capacity of Regional and Local urgency and interest
in awarding grants and social assistance. It is expected grants and social assistance will be able
to provide a benefit for the local government in supporting the implementation of the
implementation for the functions of government and community development, and is intended to
support the achievement of program objectives and activities of the local government with regard
to the principle of justice, decency, rationality and benefits to society. With the Minister
Regulation No. 32 in 2011 on Grants and Social Assistance Originating from the Regional Budget
is expected to be a guideline or guidance in the implementation of the Social Assistance Grants
Award and order within their allocation.
Keywords: Social Assistance; Grant; Public welfare
ABSTRAK
Pada prinsipnya, sifat hibah dan bantuan sosial tidak mengikat atau berkelanjutan dalam arti
bahwa hibah bergantung pada kapasitas keuangan urgensi dan minat Regional dan Lokal dalam
pemberian hibah dan bantuan sosial. Diharapkan hibah dan bantuan sosial akan dapat memberikan
manfaat bagi pemerintah daerah dalam mendukung pelaksanaan implementasi untuk fungsi
pemerintah dan pengembangan masyarakat, dan dimaksudkan untuk mendukung pencapaian
tujuan program dan kegiatan pemerintah daerah. berkenaan dengan prinsip keadilan, kesusilaan,
rasionalitas dan manfaat bagi masyarakat. Dengan Peraturan Menteri No. 32 tahun 2011 tentang
Hibah dan Bantuan Sosial yang Berasal dari Anggaran Daerah diharapkan menjadi pedoman atau
pedoman dalam pelaksanaan Hibah Bantuan Sosial dan urutan dalam alokasi mereka.
Kata Kunci: Bantuan Sosial; Hibah; Kesejahteraan masyarakat
Majalah Ilmiah Solusi ISSN: 1412-5331
Vol.16, No.1 Januari 2018
100
PENDAHULUAN
Sejalan dengan adanya reformasi pengelolaan keuangan daerah pada tahun
2006 diterbitkan petunjuk teknis yang menjadi acuan atau pedoman dalam
pengelolaan keuangan daerah yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13
Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Peraturan menteri
tersebut merupakan pedoman umum bagi pemerintah daerah dalam melaksanakan
tata kelola keuangan, di dalamnya diatur tentang kekuasaan pengelolaan keuangan
daerah, azas umum dan struktur APBD, penyusunan rancangan APBD, penetapan
APBD, penyusunan dan penetapan APBD bagi daerah yang belum memiliki
DPRD, pelaksanaan APBD, perubahan APBD, pengelolaan kas, penatausahaan
keuangan daerah, akuntansi keuangan daerah, pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD, pembinaan dan pengawasan pengelolaan keuangan daerah, kerugian
daerah, dan pengelolaan keuangan BLUD. Adanya peraturan menteri tersebut
adalah sebagai upaya mewujudkan pengelolaan keuangan daerah agar tertib, taat
pada peraturan perundang-undangan, efektif, efisien, ekonomis, transparan, dan
bertanggung jawab dengan memperhatikan azas keadilan, kepatutan, dan manfaat
untuk masyarakat.
Seiring dengan berkembanganya sistem tatanan pemerintahan yang terus
berkembang mengikuti kebutuhan masyarakat, isu relevan yang terpenting saat ini
adalah mengenai belanja hibah dan belanja bantuan sosial, sebagai implikasi
diterbitkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang
Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah.
Dengan perubahan paradigma pemerintahan maka diterbitkannya
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 akan mendorong
Pemerintah Daerah untuk selektif dan akuntabel dalam pemberian Hibah dan
Bantuan Sosial. Peraturan Menteri Dalam Negeri ini membawa perubahan yang
sangat mendasar dalam pengelolaan Belanja Hibah dan Bantuan Sosial di Daerah
yang meliputi Perubahan pada Sistem Penganggaran, Pelaksanaan dan
Majalah Ilmiah Solusi ISSN: 1412-5331
Vol.16, No.1 Januari 2018
101
Penatausahaan, Pelaporan dan Pertanggungjawaban serta Monitoring dan evaluasi
pemberian hibah dan bantuan sosial yang bersumber dari APBD.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 diterbitkan
karena dalam pemberian hibah dan bantuan sosial sering kali disalahgunakan.
Berbagai penyimpangan kerap terjadi terkait belanja hibah dan bantuan sosial
melalui penganggaran dalam APBD, sehingga peruntukannya banyak yang kurang
tepat sasaran. Walaupun sebenarnya banyak masyarakat dan organisasi
kemasayarakatan yang sangat membutuhkan dana hibah dan bantuan sosial
tersebut.
Sebelum Peraturan Menteri Dalam Negeri ini dikeluarkan setiap
Kabupaten/Kota rata-rata sudah mempunyai aturan terkait pemberian
hibah/bantuan sosial yang bersumber dari APBD masing-masing daerah. Namun
karena perbedaan penafsiran dan kepentingan masing-masing daerah maka aturan
tersebut tidak seragam serta terkadang tidak tegas dan jelas. Dengan adanya
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 diharapkan adanya
keseragaman, ketegasan dan kejelasan dalam mekanisme pemberian Hibah dan
Bantuan Sosial.
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011,
belanja Hibah dan Belanja Bantuan Sosial merupakan dua jenis belanja yang
diperkenankan dianggarkan dalam APBD setiap tahunnya setelah melalui suatu
proses yang sistematis yaitu sebagai berikut:
Penganggaran Belanja Hibah: (1) Pemerintah, pemerintah daerah lainnya,
perusahaan daerah, masyarakat dan organisasi kemasyarakatan mengajukan
usulan hibah secara tertulis kepada kepala daerah; (2) Kepala daerah menunjuk
SKPD terkait untuk melakukan evaluasi usulan tertulis; (3) Kepala SKPD
menyampaikan hasil evaluasi berupa rekomendasi kepada kepala daerah melalui
TAPD; (4)TAPD memberikan pertimbangan atas rekomendasi pada sesuai dengan
prioritas dan kemampuan keuangan daerah; (5) Rekomendasi kepala SKPD dan
pertimbangan TAPD menjadi dasar pencantuman alokasi anggaran hibah dalam
rancangan KUA dan PPAS; (6) Pencantuman alokasi anggaran, meliputi anggaran
hibah berupa uang, barang dan/atau jasa; (7) Hibah berupa uang dicantumkan
Majalah Ilmiah Solusi ISSN: 1412-5331
Vol.16, No.1 Januari 2018
102
dalam RKA-PPKD; (8) Hibah berupa barang atau jasa dicantumkan dalam RKA-
SKPD; (9) RKA-PPKD dan RKA-SKPD menjadi dasar penganggaran hibah
dalam APBDsesuai peraturan perundang-undangan; (10) Hibah berupa uang
dianggarkan dalam kelompok belanja tidak langsung, jenis belanja hibah, obyek,
dan rincian obyek belanja berkenaan pada PPKD; (11) Hibah berupa barang atau
jasa dianggarkan dalam kelompok belanja langsungyang diformulasikan kedalam
program dan kegiatan, yang diuraikan kedalam jenis belanja barang dan jasa,
obyek belanja hibah barang dan jasa berkenaan kepada pihak ketiga/masyarakat,
dan rincian obyek belanja hibah barang atau jasa kepada pihak ketiga/masyarakat
berkenaan pada SKPD; (12) Rincian obyek belanja dicantumkan nama penerima
dan besaran hibah.
Penganggaran Belanja Bantuan Sosial: (1) Anggota/kelompok masyarakat
menyampaikan usulan tertulis kepada kepala daerah; (2) Kepala daerah menunjuk
SKPD terkait untuk melakukan evaluasi usulan tertulis; (3) Kepala SKPD terkait
menyampaikan hasil evaluasi berupa rekomendasi kepada kepala daerah melalui
TAPD; (4) TAPD memberikan pertimbangan atas rekomendasi sesuai dengan
prioritas dan kemampuan keuangan daerah; (5) Rekomendasi kepala SKPD dan
pertimbangan TAPD menjadi dasar pencantuman alokasi anggaran bantuan sosial
dalam rancangan KUA dan PPAS; (6) Pencantuman alokasi anggaran, meliputi
anggaran bantuan sosial berupa uang dan/atau barang; (7) Bantuan sosial berupa
uang dicantumkan dalam RKA-PPKD; (8) Bantuan sosial berupa barang
dicantumkan dalam RKA-SKPD; (9) RKA-PPKD dan RKA-SKPD menjadi dasar
penganggaran bantuan sosial dalam APBD sesuai peraturan perundangundangan;
(10) Bantuan sosial berupa uang dianggarkan dalam kelompok belanja tidak
langsung, jenis belanja bantuan sosial, obyek, dan rincian obyek belanja
berkenaan pada PPKD; (11) Bantuan sosial berupa barang dianggarkan dalam
kelompok belanja langsung yang diformulasikan kedalam program dan kegiatan,
yang diuraikan kedalam jenis belanja barang dan jasa, obyek belanja bantuan
sosial barang berkenaan yang akan diserahkan kepada pihak ketiga/masyarakat,
dan rincian obyek belanja bantuan sosial barang yang akan diserahkan pihak
Majalah Ilmiah Solusi ISSN: 1412-5331
Vol.16, No.1 Januari 2018
103
ketiga/masyarakat berkenaan pada SKPD; dan (12) Dalam rincian obyek belanja
dicantumkan nama penerima dan besaran bantuan sosial.
Pemberian hibah dan bantuan sosial pada prinsipnya bersifat tidak
mengikat atau terus menerus yang diartikan bahwa pemberian hibah sangat
tergantung pada kemampuan keuangan Daerah dan urgensi serta kepentingan
Daerah dalam pemberian hibah dan bantuan sosial, sehingga diharapkan hibah dan
bantuan sosial akan dapat memberikan nilai manfaat bagi Pemerintah Daerah
dalam mendukung terselenggaranya fungsi pemerintahan, pembangunan dan
kemasyarakatan. Selain itu pemberian hibah dan bantuan sosial ditujukan untuk
menunjang pencapaian sasaran program dan kegiatan pemerintah daerah dengan
memperhatikan asas keadilan, kepatutan, rasionalitas dan manfaat untuk
masyarakat. Dengan adanya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun
2011 Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah diharapkan dapat menjadi pedoman atau panduan
dalam pelaksanaan pemberian Hibah dan Bantuan Sosial agar sesui dengan
peruntukkannya.
Oleh sebab itu peneliti ingin mengetahui apakah ada pengaruh Penetapan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 terhadap alokasi belanja
hibah dan alokasi belanja bantuan sosial di Pemerintah Kabupaten/ Kota Provinsi
Jawa Tengah”.
TINJAUAN PUSTAKA
Teori Motivasi
McShane et al. (2010) mendefinisikan motivasi sebagai “the forces within
a person than affect the direction, intensity and persistant of voluntay behavior”,
yang kurang lebih berarti menggambaran motivasi sebagai kekuatan dalam diri
seseorang yang mempengaruhi arah, intensitas dan kekuatan perilaku secara
sukarela.
Dalam bukunya, Luthans, Fred (2006) menuliskan motivasi berasal dari
kata latin movere yang berarti bergerak. Secara taknis, motivasi adalah proses
Majalah Ilmiah Solusi ISSN: 1412-5331
Vol.16, No.1 Januari 2018
104
yang dimulai dengan definisi fisiologis dan psikologis yang menggerakkan
perilaku atau dorongan yang ditujukan untuk tujuan atau insentif.
Motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan (energi) seseorang yang dapat
menimbulkan tingkat persistensi dan entusiasmenya dalam melaksanakan suatu
kegiatan, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi
intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik). Seberapa kuat motivasi
yang dimiliki individu akan banyak menentukan terhadap kualitas perilaku yang
ditampilkannya, baik dalam konteks belajar, bekerja maupun dalam kehidupan
lainnya.. Kajian tentang motivasi telah sejak lama memiliki daya tarik tersendiri
bagi kalangan pendidik, manajer, dan peneliti, terutama dikaitkan dengan
kepentingan upaya pencapaian kinerja (prestasi) seseorang. Dalam konteks studi
psikologi, Abin Syamsuddin Makmun (2003) mengemukakan bahwa untuk
memahami motivasi individu dapat dilihat dari beberapa indikator, diantaranya:
(1)durasi kegiatan; (2) frekuensi kegiatan; (3) persistensi pada kegiatan; (4)
ketabahan, keuletan dan kemampuan dalam mengahadapi rintangan dan kesulitan;
(5) devosi dan pengorbanan untuk mencapai tujuan; (6) tingkat aspirasi yang
hendak dicapai dengan kegiatan yang dilakukan; (7) tingkat kualifikasi prestasi
atau produk (out put) yang dicapai dari kegiatan yang dilakukan; (8) arah sikap
terhadap sasaran kegiatan.
Teori Otonomi Daerah
Otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani, auto yang berarti
sendiri dan nomos yang berarti hukum atau peraturan. Dengan demikian otonomi
adalah pemerintahan yang mampu menyelenggarakan pemerintahan yang
dituangkan dalam peraturan sendiri, sesuai dengan aspirasi masyarakat
(Sarundajang, 2000). Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak wewenang dan
kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Rosidin, 2010). Secara
prinsipil terdapat dua hal yang tercakup dalam otonomi, yaitu hak wewenang
untuk memanajemeni daerah tersebut dan tanggungjawab terhadap kegagalan
dalam memanajemeni daerah tersebut. Adapun daerah dalam arti Local State
Majalah Ilmiah Solusi ISSN: 1412-5331
Vol.16, No.1 Januari 2018
105
Goverment adalah pemerintah di daerah yang merupakan kepanjangan tangan dari
pemerintah pusat (Riant, 2000)
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Otonomi daerah
merupakan hak wewenang dan kewajiban daerah otonomi untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Menurut I Gede Pantja Astawa (2009),
menyatakan bahwa dasar pemikiran yang melatar belakangi pilihan terhadap
otonomi daerah adalah: (1) Dorongan efisiensi dan efektivitas pengaturan
(regelen) dan penyelenggaraan (bestuuren) pemerintahan. Dengan kewenangan
untuk mengatur sendiri bidang-bidang ataupun urusan-urusan pemerintahan
tertentu yang menjadi urusan rumah tangga daerah, pembuatan aturan dapat
dilakukan secara efisien dan cepat. Selain pembuatan aturan secara efisien, cepat
dan mudah juga lebih efektif karena lebih konkret dengan jangkauan yang terbatas
sehingga mudah diterapkan. Begitu pula, penyelenggaraan pemerintahannya akan
lebih efektif dan efisien. Selain karena teritorial pemerintahan yang terbatas,
pelaksanaan fungsi pelayanan disesuaikan secara nyata dengan keadaan dan
kebutuhan rakyat setempat; (2) Untuk menjamin kesejahteraan, kemakmuran dan
keadilan sosial bagi rakyat setempat, fungsi pelayanan untuk maksud itu dapat
terlaksana dengan baik kalau satuan pemerintahan didekatkan dengan rakyat yang
dilayaninya disertai kebebasan untuk mengatur dan menentukan macam dan cara
pelayanan yang tepat bagi lingkungan masyarakat setempat; (3) Sebagai bagian
dalam proses demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan, partisipasi rakyat
melalui sistem perwakilan rakyat daerah seperti pemilihan pimpinan pemerintah
daerah oleh rakyat, hak daerah otonom untuk membuat peraturan daerah (Perda)
melalui tata cara demokrasi, dan lain-lain, akan memperluas jangkauan
pelaksanaan demokrasi sampai ke daerah. Perluasan ini tidak saja penting bagi
penyelenggara demokrasi, tetapi juga pemerintahan daerah yang demokratis
merupakan tempat mendidik dan menyiapkan kader-kader pimpinan daerah yang
diharapkan tumbuh menjadi demokrat bangsa secara nasional.
Ada 4 unsur otonomi daerah, yaitu: (1) Memiliki perangkat pemerintah
sendiri yang ditandai dengan adanya kepala daerah DPRD, dan pegawai daerah;
Majalah Ilmiah Solusi ISSN: 1412-5331
Vol.16, No.1 Januari 2018
106
(2) Memiliki urusan rumah tangga sendiri yang ditandai dengan adanya dinas-
dinas daerah; (3) Memiliki sumber keuangan sendiri yang ditandai dengan adanya
pajak daerah, retribusi daerah, perusahaan daerah dan pendapatan dinas-dinas
daerah; (4) Memiliki wewenang untuk melaksanakan inisiatif sendiri sepanjang
tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi.
Otonomi daerah membawa dua implikasi khusus bagi pemerintah daerah,
yaitu pertama adalah semakin meningkatnya biaya ekonomi (high cost economy)
dan yang kedua adalah efisiensi efektivitas. Oleh karena itu desentralisasi
membutuhkan dana yang memadai bagi pelaksanaan pembangunan di daerah.
Apabila suatu daerah tidak memiliki sumber-sumber pembiayaan yang memadai,
akan mengakibatkan daerah bergantung terus terhadap pembiayaan pemerintah
pusat. Ketergantungan terhadap pembiayaan pemerintah pusat merupakan kondisi
yang tidak sesuai dengan asas otonomi daerah.
Apabila suatu daerah tidak memiliki sumber-sumber pembiayaan yang
memadai maka dari hal ini akan mengakibatkan daerah bergantung terus terhadap
pembiayaan pemerintah pusat. Ketergantungan terhadap pembiayaan pemerintah
pusat merupakan kondisi yang tidak sesuai dengan asas otonomi daerah. Oleh
karena itu perlu suatu upaya oleh pemerintah daerah dalam memutus
ketergantungan tersebut dalam rangka meningkatkan kemampuan daerah.
Beberapa kriteria yang dapat dijadikan ukuran agar suatu daerah dikatakan
mampu untuk mengurus rumah tangganya sendiri: (1) Kemampuan struktur
organisasinya struktur organisasi pemerintah daerah yang mampu menampung
seluruh aktivitas dan tugas yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah; (2)
Kemampuan aparatur pemerintah daerah aparatur pemerintah daerah mampu
menjalankan tugas dan kewajibannya dalam mengatur dan mengurus rumah
tangga daerahnya. Oleh karena itu, dalam mencapai tujuan yang diinginkan
daerah dibutuhkan keahlian, moral, disiplin dan kejujuran dari aparatur daerah;
(3) Kemampuan mendorong partisipasi masyarakat pemerintah daerah harus
mampu mendorong masyarakat agar bersedia terlibat dalam kegiatan
pembangunan nasional. Karena peran serta masyarakat sangat penting dalam
menunjang kesuksesan pembangunan daerah; (4) Kemampuan keuangan daerah
Majalah Ilmiah Solusi ISSN: 1412-5331
Vol.16, No.1 Januari 2018
107
suatu daerah dikatakan mampu mengurus rumah tangganya sendiri apabila
pemerintah daerah tersebut mampu membiayai semua kegiatan pemerintahan,
pembangunan dan kemasyarakatan.
Pada prinsipnya, kebijakan otonomi daerah dilakukan dengan
mendesentralisasikan kewenangan yang sebelumnya tersentralisasi oleh
pemerintah pusat. Dalam proses desentralisasi, kekuasaan pemerintah pusat
dialihkan ke pemerintah daerah sebagaimana mestinya sehingga terwujud
pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah kabupaten dan kota seluruh Indonesia.
Jika dalam kondisi semula, arus kekuasaan pemerintahan bergerak dari daerah ke
tingkat pusat, diidealkan bahwa sejak ditetapkannya kebujakan otonomi daerah
itu, arus dinamika kekuasaan akan terus bergerak sebaliknya, yaitu dari pusat ke
daerah (Rosidi, 2010).
Dengan adanya otonomi, daerah diharapkan akan lebih mandiri dalam
memnentukan seluruh kegiatannya dan pemerintah pusat diharapkan tidak terlalu
aktfi mengatur daerah (Widjaja, 2002). Pemerintah daerah diharapkan mampu
memainkan peranannya dalam membuka peluang memajukan daerah tanpa
intervensi dari pihak lain, yang disertai dengan pertanggungjawaban publik
(masyarakat daerah), serta pertanggungjawaban kepada pemerintah pusat, sebagai
konsekuensi dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (Rosidin, 2010)
Teori Kepemimpinan
Secara etimologi kepemimpinan dapat diartikan yaitu kemampuan dan
kepribadian seseorang dalam mempengaruhi serta membujuk pihak lain agar
melakukan tindakan pencapaian tujuan bersama, sehingga dengan demikian yang
bersangkutan menjadi awal struktur dan pusat proses kelompok.
Teori kepemimpinan pemerintahan lebih berkonotasi kekuasaan disatu pihak dan
pelayanan dipihak lain. Yaitu otokratis, psikologis, sosiologis, suportif,
lingkungan, sifat, kemanusiaan, pertukaran, situasional dan kontingensi.
Teori Akuntabilitas Publik
Akuntabilitas merupakan konsep yang memiliki arti luas dan sering
diungkapkan dengan berbagai prosperktif yang berbeda. Dari prospektif publik
Majalah Ilmiah Solusi ISSN: 1412-5331
Vol.16, No.1 Januari 2018
108
akuntabilitas berarti bahwa mereka yang memiliki kekuasaan harus dapat
mempertanggungjawabkan tindakannya kepada publik, baik secara langsung
maupun tidak langsung (Therkidsen, 2001). Dari prespektif keuangan,
akuntabilitas merupakan konsep yang telah mendapatkan perhatan dan penekanan
dalam literatur akuntansi dan keuangan publik di era modern karena ketiadaan
akuntabilitas dapat membuka keran korupsi, penyimpangan dan mismanajemen
sumber daya umum (Raimi, Suara dan Fadipe, 2013).
Secara umum, akuntabilitas berkaitan dengan kontrol dan kemampuan
untuk mempertanggungjawabkan (Vries dan sobis, 2010). Dalam konteks Hibah
dan Bantuan Sosial, akuntabilitas berarti kontrrol dan pertanggungjawaban
Pemerintas Daerah atas alokasi sumber daya finansial berupa anggaran belanja,
yang berarti pemerintah harus dapat mempertanggungjawabkan penggunaan uang
Daerah dalam rangka pemberian Hibah dan Bantuan Sosial kepada masyarakat
ataupun kelompok masyarakat.
Akuntabilitas tidak akan terjadi dalam suatu organisasi publik maupun
swasta tanpa adanya catatan akuntansi dan sitem pengendalian internal yang
memadai. Dengan kata lain, tidak adanya metode dan sistem akuntansi maka tidak
ada akuntabilitas (Raimi, Suara dan Fadipe, 2013).
Siklus Keuangan Daerah
Adapun siklus keuangan daerah adalah sebagai berikut: (1) Proses
Penyusunan APBD dimulai dengan penyusunan rancangan Kebijakan Umum
APBD (KUA) dan dokumen Proiritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS).
Kedua dokumen tersebut kemudian dibahas bersama DPRD untuk menghasilkan
sebuah Nota Kesepakatan KUA dan PPA. Berdasarkan Nota Kesepakatan
tersebut, Kepala Daerah memnyampaikan Surat Edaran yang berisi Pedoman
Penyusunan RKA-SKPD yang kemudian ditindaklanjuti oleh SKPD-SKPD
dengan melakukan penyusunan RKA-SKPD. PPKD melakukan kompilasi RKA-
SKPD menjadi Raperda APBD untuk dibahas dan memperoleh persetujuan
bersama dengan DPRD sebelum diajukan dalam proses Evaluasi. Proses
penetapan Perda APBD baru dapat dilakukan jika Mendagri/Gubernur
Majalah Ilmiah Solusi ISSN: 1412-5331
Vol.16, No.1 Januari 2018
109
menyatakan bahwa Perda APBD tidak bertentangan dengan kepentingan umum
dan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Dalam kasus tertentu dimana DPRD
tidak mengambil keputusan bersama, Kepala Daerah dapat menyusun Peraturan
Kepala Daerah tentang APBD; (2) Pelaksanaan dan Penatausahaan Belanja;
(3) Pelaksanaan dan Penatausahaan Pendapatan; (4) Akuntansi dan Pelaporan (5)
Perubahan APBD. Perubahan APBD dapat terjadi jika: (a) Terdapat
perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kebijakan umum APBD; (b)
Terdapat keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar
unit organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja; (c) Terjadi keadaan yang
menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk
pembiayaan anggaran yang berjalan; dan (d) Terjadi keadaan darurat, pemerintah
daerah melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang
selajutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBD dan /atau disampaikan
dalam laporan Realitas Anggaran.
Belaja Daerah
Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 tahun 2007 dan perubahan kedua
dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja daerah adalah kewajiban
pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Belanja
daerah adalah semua pengeluaran dari rekening kas umum daerah yang dapat
mengakibatkan berkurangnya nilai ekuitas dana sebagai kewajiban daerah dalam
satu tahun anggaran serta tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh
daerah (Sony Yuwono, 2008).
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 tahun 2007 dan perubahan
kedua dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Majalah Ilmiah Solusi ISSN: 1412-5331
Vol.16, No.1 Januari 2018
110
Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja dikelompokkan
menjadi: (1) Belanja Langsung. Belanja Langsung adalah belanja yang
dianggarkan terkait secara langsung dengan program dan kegiatan. Belanja
Langsung terdiri dari belanja: (a) Belanja pegawai; (b) Belanja barang dan jasa,
(c) Belanja modal. (2) Belanja Tidak Langsung. Belanja Langsung merupakan
belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan
program dan kegiatan. Kelompok belanja tidak langsung dibagi menurut jenis
belanja yang terdiri dari: (a) Belanja pegawai; (b) Belanja bunga; (c) Belanja
subsidi; (d) Belanja hibah; (e) Belanja bantuan sosial (f) Belanja bagi hasil kepada
provinsi/kabupaten/kota dan pemerintahan desa.
Belanja Daerah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah
pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa belanja daerah dipergunakan dalam rangka
mendanai pelaksanaan urusan pemerintah yang menjadi kewenangan provinsi atau
kabupeten/kota yang terdiri dari urusan wajib, urusan pilihan dan urusan yang
penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu yang dapat dilaksanakan
bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah
yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pendapatan Daerah
yang diperoleh baik dari Pendapatan Asli Daerah maupun dari dana perimbangan
tentunya digunakan oleh pemerintah daerah untuk membiayai Belanja Daerah.
Belanja diklasifikasikan menurut klasifikasi ekonomi (jenis belanja),
oganisasi dan fungsi. Klasifikasi ekonomi adalah pengelompokkan belanja yang
didasarkan pada jenis belanja untuk melaksanakan suatu aktifitas. Klasifikasi
belanja menurut Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2010 tentang Standar
Akuntansi Pemerintah untuk tujuan pelaporan keuangan menjadi: (1) Belanja
Operasi. Belanja Operasi adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan sehari-hari
pemerintah pusat/daerah yang member manfaat jangka pendek. Belanja Operasi
meliputi: (a) Belanja pegawai; (b) Belanja barang; (c) Bunga; (d) Subsidi; (e)
Hibah; (f) Bantuan sosial. (2) Belanja Modal. Belanja Modal adalah pengeluaran
anggaran untuk perolehan aset tetap berwujud yang memberi manfaat lebih dari
Majalah Ilmiah Solusi ISSN: 1412-5331
Vol.16, No.1 Januari 2018
111
satu periode akuntansi. Nilai aset tetap dalam belanja modal yaitu sebesar harga
beli/bangunan aset ditambah seluruh belanja yang terkait dengan
pengadaan/pembangunan aset sampai aset tersebut siap digunakan. Belanja Modal
meliputi: (a) Belanja modal tanah; (b) Belanja modal peralatan dan mesin; (c)
Belanja modal gedung dan bangunan; (d) Belanja modal jalan, irigasi dan
jaringan; (e) Belanja modal aset tetap lainnya; (f) Belanja aset lainnya (aset tak
berwujud). (3) Belanja Lain-lain/belanja Tak Terduga. Belanja lain-lain atau
belanja tak terduga adalah pengeluaran anggaran untuk kegiatan yang sifatnya tida
biasa dan tidak diharapkan berulang seperti penanggulangan bencana alam,
bencana sosial, dan pengeluaran tidak terduga lainnya yang sangat diperlukan
dalam rangka penyelenggaraan kewenangan pemerintah pusat/daerah. (4) Belanja
Transfer. Belanja Transfer adalah pengeluaran anggaran dari entitas pelaporan
yang lebih tinggi ke entitas pelaporan yang lebih rendah seperti pengeluaran dana
perimbangan oleh pemerintah provinsi ke kabupaten /kota serta dana bagi hasil
dari kabupaten/kota ke desa.
Berdasarkan kelompoknya Hibah dan Bantuan Sosial merupakan Belanja
Tidak Langsung, dimana sifat belanjanya dianggarkan tidak terkait secara
langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Sedangkan berdasarkan
klasifikasi ekonomi, Hibah dan Bantuan Sosial merupakan Belanja Operasi yang
merupakan pengeluaran anggaran untuk kegiatan sehari-hari pemerintah Daerah
yang member manfaat jangka pendek.
Belanja Hibah
Pengertian belanja hibah berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 32 Tahun 2011, “Hibah adalah pemberian uang/barang atau jasa dari
pemerintah daerah kepada pemerintah atau pemerintah daerah lainnya, perusahaan
daerah, masyarakat dan organisasi kemasyarakatan, yang secara spesifik telah
ditetapkan peruntukannya, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, serta tidak
secara terus menerus yang bertujuan untuk menunjang penyelenggaraan urusan
pemerintah daerah”. Filosofi hibah pada intinya adalah pengalihan tanggung
jawab dari pemberi hibah kepada penerima hibah berdasarkan Naskah Perjanjian
Majalah Ilmiah Solusi ISSN: 1412-5331
Vol.16, No.1 Januari 2018
112
Hibah (NPHD) sehingga yang menjadi obyek pemeriksaan adalah penerima
hibah.
Pemberian hibah pada prinsipnya bersifat tidak mengikat atau terus
menerus yang diartikan bahwa pemberian hibah sangat tergantung pada
kemampuan keuangan Daerah dan urgensi serta kepentingan Daerah dalam
pemberian hibah, sehingga diharapkan hibah dimaksud akan dapat memberikan
nilai manfaat bagi Pemerintah Daerah dalam mendukung terselenggaranya fungsi
Pemerintahan, Pembangunan dan Kemasyarakatan. Dalam menentukan organisasi
atau lembaga yang akan diberikan hibah dilakukan secara selektif, akuntabel,
transparan dan berkeadilan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan
daerah.
Pemberian hibah ditujukan untuk menunjang pencapaian sasaran program
dan kegiatan pemerintah daerah dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan,
rasionalitas dan manfaat untuk masyarakat.
Belanja Bantuan Sosial
Belanja bantuan sosial merupakan salah satu jenis belanja tidak langsung
dalam APBD. Artinya, pengalokasian sumberdaya ke dalam belanja ini tidak
didasarkan pada target kinerja kinerja yang ingin dicapai oleh SKPD. Pemerintah
daerah dapat memberikan bantuan sosial kepada kelompok/ anggota masyarakat
yang dilakukan secara selektif untuk meningkatkan kualitas sosial dan ekonomi
masyarakat. Pada prinsipnya, belanja bantuan sosial dimaksudkan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011, bantuan
sosial adalah pemberian bantuan berupa uang/barang dari pemerintah daerah
kepada individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang sifatnya tidak
secara terus menerus dan selektif yang bertujuan untuk melindungi dari
kemungkinan terjadinya resiko sosial. Resiko sosial adalah kejadian atau peristiwa
yang dapat menimbulkan potensi terjadinya kerentanan sosial yang ditanggung
oleh individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat sebagai dampak krisis
Majalah Ilmiah Solusi ISSN: 1412-5331
Vol.16, No.1 Januari 2018
113
sosial, krisis ekonomi, krisis politik, bencana, atau fenomena alam, yang jika tidak
diberikan belanja bantuan sosial akan semakin terpuruk dan tidak dapat hidup
dalam kondisi wajar. Belanja bantuan sosial tidak dipengaruhi oleh permasalahan
yang dihadapi masyarakat secara umum, namun lebih spesifik dan insidentil.
Bantuan sosial dapat diberikan berupa uang atau pun barang yang
bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Batuan sosial dalam
bentuk uang dianggarkan oleh PPKD dalam kelompok belanja tidak langsung,
sedangkan antuan sosial dalam bentuk barang dianggarkan dalam bentuk program
dan kegiatan oleh SKPD dalam kelompok belanja langsung. Proses pengadaan
barang tersebut dilakukan oleh SKPD sesuai dengan Peraturan Perundang-
undangan.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 Tentang Pemberian
Hibah Dan Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan Dan
Belanja Daerah
Dalam Peraturaturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011
Tentang Pedoman Pemberian Belanja Hibah dan Banruan Sosial yang Bersumber
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah mengatur bahwa daerah
diperbolehkan memberikan hibah dan bantuan sosial kepada anggota/kelompok
masyarakat sesuai kemampuan keuangan daerah, setelah memprioritaskan
pemenuhan belanja urusan wajib dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan,
rasionalitas dan manfaat untuk masyarakat. Yang dapat menerima bantuan sosial
juga telah ditentukan yaitu individu, keluarga, dan/atau masyarakat yang
mengalami keadaan yang tidak stabil sebagai akibat dari krisis sosial, ekonomi,
politik, bencana, atau fenomena alam agar dapat memenuhi kebutuhan hidup
minimum maupun lembaga non pemerintahan bidang pendidikan, keagamaan, dan
bidang lain yang berperan untuk melindungi individu, kelompok, dan/atau
masyarakat dari kemungkinan terjadinya resiko sosial.
Sedangkan kriteria dalam memberikan bantuan sosial harus selektif,
memenuhi persyaratan penerima bantuan, bersifat sementara dan tidak terus
menerus, kecuali dalam keadaan tertentu dapat berkelanjutan dan sesuai tujuan
Majalah Ilmiah Solusi ISSN: 1412-5331
Vol.16, No.1 Januari 2018
114
penggunaan. Sedangkan kriteria persyaratan penerima bantuan adalah memiliki
identitas yang jelas serta berdomisili dalam wilayah administratif pemerintahan
daerah berkenaan.
Tujuan penggunaan bantuan sosial yang telah diatur adalah untuk
rehabilitasi sosial, perlindungan sosial, pemberdayaan sosial, jaminan sosial,
penanggulangan kemiskinan dan penanggulangan bencana.
Dengan terbitnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011, telah
terjadi perubahan hal yang sangat mendasar, yaitu: (1) Semua penerima hibah
harus dicantumkan dalam RKA SKPD dan RKA PPKD sampai dengan rincian
objek. Artinya dalam menyusun RKA sudah harus dipastikan siapa penerimanya
dan berapa besarnya. Yang selanjutnya setelah Ranperda APBD ditetapkan,
kepala Daerah akan menetapkan Keputusan Kepala Daerah tentang Daftar
Penerima Hibah Bansos. (2) Tidak dapat lagi menganggarkan hibah bansos baik
sebagian maupun keseluruhan dalam bentuk gelondongan (hanya sampai jenis
belanja).
Penerima bansos seperti anggota/kelompok masyarakat juga harus
mengetahui bahwa untuk mendapatkan bantuan sosial mereka harus
menyampaikan usulan tertulis kepada kepala daerah biasanya dalam bentuk
proposal. Selanjutnya proposal tersebut akan dibahas mulai dari internal
pemerintah daerah selanjutnya sampai kepada DPRD utuk ditetapkan dlam
APBD. Dengan demikian apabila anggota/kelompok masyarakat tidak
mengajukan proposal tidak akan diberikan bantuan sosial.
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011
penerima bantuan sosial bertanggungjawab secara formal dan material atas
penggunaan bantuan sosial yang diterimanya. Pertanggungjawaban itu meliputi
laporan penggunaan bantuan sosial oleh penerima bantuan sosial, surat pernyataan
tanggungjawab yang menyatakan bahwa bantuan sosial yang diterima telah
digunakan sesuai dengan usulan dan bukti-bukti pengeluaran yang lengkap dan
sah sesuai peraturan perundang-undangan bagi penerima bantuan sosial berupa
uang atau salinan bukti serah terima barang bagi penerima bantuan sosial berupa
Majalah Ilmiah Solusi ISSN: 1412-5331
Vol.16, No.1 Januari 2018
115
barang. Dan pertanggungjawaban itu disampaikan kepada kepala daerah paling
lambat tanggal 10 bulan Januari tahun anggaran berikutnya.
METODE PENELITIAN
Variabel Penelitian
Variabel Penelitian adalah objek yang berbentuk apa saja yang ditentukan
oleh peneliti untuk dicari informasinya, dengan tujuan untuk ditari suatu
kesimpulan. Variabel dapat dikatakan sebagai suatu sifat yang diambil dari suatu
nilai berbeda. Dengan demikian, variabel itu merupakan suatu yag bervariasi.
Pada dasarnya setiap variabel adalah suatu konsep, yaitu konsep yang bersifat
khusus yang mengandung variasi nilai. Sementara itu yang dimaksud dengan
konsep variabel adalah konsep yang bersifat obserfatif, maksudnya konsep yang
sudah sangat dekat dengan fenomena-fenomena atau obyek-obyek yang diamati.
Jadi konsep variabel merupakan sebutan umum yang mewakili semua atribut,
dimensi atau nilai yang perlu diamati.
Untuk penelitian Pengaruh Penetapan Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 32 tahun 2011 tentang Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang
Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah terhadap Alokasi
Belanja Hibah dan Alokasi Belanja Bantuan Sosial di Pemerintah Kabupaten/Kota
Provinsi Jawa Tengah, maka operasionalisasi variabel yang digunakan adalah
Variabel Amatan yaitu Variabel Belanja Hibah dan Variabel Bantuan Sosial.
Sedangkan yang menjadi stimulusnya adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 32 Tahun 2011 Tentang Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang
Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Definisi Operasional
Definisi Operasional adalah aspek penelitian yang memberikan informasi
kepada kita tentag bagaimana cara mengukur variabel. Adapun definisi
operasional variabel adalah sebagai berikut: (a) Belanja Hibah adalah pemberian
uang/barang atau jasa dari pemerintah daerah kepada pemerintah atau pemerintah
daerah lainnya, perusahaan daerah, masyarakat dan organisasi kemasyarakatan,
yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya, bersifat tidak wajib dan tidak
Majalah Ilmiah Solusi ISSN: 1412-5331
Vol.16, No.1 Januari 2018
116
mengikat, serta tidak secara terus menerus yang bertujuan untuk menunjang
penyelenggaraan urusan pemerintah daerah. Dalam penelitian ini Belanja Hibah
yang akan digunakan sebagai penelitian adalah Belanja Hibah Tahun Anggaran
2010 dan 2012. (b) Belanja Bantuan Sosial adalah pemberian bantuan berupa
uang/barang dari pemerintah daerah kepada individu, keluarga, kelompok
dan/atau masyarakat yang sifatnya tidak secara terus menerus dan selektif yang
bertujuan untuk melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko sosial. Dalam
penelitian ini Belanja Bantuan Sosial yang akan digunakan sebagai penelitian
adalah Belanja Bantuan Sosial Tahun Anggaran 2010 dan 2012. Sedangkan
stimulusnya yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011
Tentang Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran
Peraturan menteri ini berisikan mengenai aturan bahwa daerah diperbolehkan
memberikan hibah dan bantuan sosial kepada anggota/kelompok masyarakat
sesuai kemampuan keuangan daerah, setelah memprioritaskan pemenuhan belanja
urusan wajib dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, rasionalitas dan
manfaat untuk masyarakat. Peraturan menteri ini terbitkan per tanggal 27 Juli
2011 dan mulai diberlakukan tahun 2012..
Jenis dan Sumber Data
Data sering diartikan sebagai bukti empiris yang dihasilkan melalui
observasi yang sistematis dengan menggunakan pancaindera manusia dan
peralatan bantu yang ada. Pengumpulan data dapat dilakukan dengan melihat
sumber datanya. Kriteria data dibedakan berdasarkan cara memperolehnya adalah
data primer dan sekunder. Pengertian data primer menurut Sugiyono (2010)
adalah: “Data primer yaitu Sumber data yang langsung memberikan data kepada
pengumpul data”.
Sehingga dapat diartikan bahwa data primer adalah data yang diperoleh
secara langsung dari lapangan penelitian dan diberikan kepada pengumpul data
baik dari hasil wawancara, focus group discussion, kuesioner, observasi.
Majalah Ilmiah Solusi ISSN: 1412-5331
Vol.16, No.1 Januari 2018
117
Sedangkan dalam pengumpulan data lain dapat menggunakan sumber data
sekunder. Pengertian data sekunder menurut Umi Narimawati (2008) adalah
sebagai berikut:
”Data sekunder adalah data yang sudah tersedia sehingga kita tinggal mencari dan
mengumpulkan”.
Pengertian sumber sekunder menurut Sugiyono dalam buku Metode
Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D (2007) adalah:
”Sumber sekunder adalah sumber yang tidak langsung memberikan data kepada
pengumpul data ”.
Sumber data yang digunakan pada penelitian ini menggunakan data
sekunder karena, pengumpulan data yang dibutuhkan bersumber tidak langsung.
Setelah data-data terkumpul, data tersebut akan diolah sehingga akan menjadi
sebuah informasi bagi peneliti tentang keadaan objek penelitian. Data sekunder
dalam penelitian ini adalah data Belanja Hibah dan Bantuan Sosial yang
bersumber dari APBD Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah untuk tahun
anggaran 2010 dan 2012.
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data merupakan cara-cara untuk memperoleh data
dan keterangan yang diperlukan dalam penelitian. Dalam penelitian ini metode
pengumpulan data yang digunakan adalah metode studi dokumenter. Dokumen
yang digunakan adalah Realisasi Belanja Hibah dan Realisasi Belanja Bantuan
Sosial di Kabupaten/ Kota Provinsi Jawa Tengah untuk Tahun Anggaran 2010
dan 2012.
Metode Analisa Data
Analisis data merupakan suatu proses penyederhanaan data ke dalam
bentuk yang lebih mudah di baca dan di pahami. Analisis data yang dikemukakan
Sugiyono (2007) bahwa analisis data adalah: Analisis data adalah proses mencari
dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan
Majalah Ilmiah Solusi ISSN: 1412-5331
Vol.16, No.1 Januari 2018
118
lapangan dan bahan lain, sehingga dapat mudah dipahami dan temuannya dapat
diinformasikan kepada orang lain.
Peneliti melakukan analisis terhadap data yang telah diuraikan dengan
menggunakan metode kuantitatif yaitu: (1) Uji Normalitas, Menurut V.Wiratna
Sujarweni (2015), uji normalitas bertujuan untuk mengetahui distribusi data dalam
variabel yang akan digunakan dalam penelitian. Data yang baik dan layak
digunakan dalam penelitian adalah data-data yang memiliki distribusi normal.
Pada penelitian ini uji normalitas dilakukan dengan menggunakan Uji Normal
Kolmogorov-Smirnov. (2) Pengujian Hipotesis: Uji Beda, Pengujian ini dilakukan
untuk menguji apakah sample mempunyai perbedaan nyata dengan sample lain
(V.Wiratna Sujarweni, 2015). Dalam penelitian ini uji beda yang digunakan
adalah: (a) Paired Sample t Test Paired Sample t Test digunakan untuk
mengetahui apakah terdapat perbedaan rata-rata dua sample (dua kelompok) yang
berpasangan atau berhubungan. Uji Paired Sample t Test merupakan bagian dari
statistik parametrik, oleh karena itu sebagaimana aturan dalam statistik parametrik
data penelitia harus lah berdistribusi normal. Kriteria yang digunakan pada
penelitian ini untuk menarik kesimpulan adalah jika Sig > 0,05 maka hipotesis nol
(H0) ditolak. (b) Wilcoxon Signed Rank merupakan uji statistik yang dilakukan
untuk melihat apakah ada perbedaan median dari suatu observasi
berpasangan dengan memperhitungkan besarnya selisih-selisih dari dua
observasi yang bersesuaian. Wilcoxon Sign Rank Test merupakan suatu uji
nonparametrik yang biasanya digunakan pada data-data kualitatif (skala nominal
dan ordinal) atau untuk data kuantitatif yang tidak berdistribusi normal. Data
dikumpulkan berdasarkan dua sampel yang dependen (Related Sample, bisa
Paired/Match, Before-and-after, atau Repeated Measure). Untuk sampel kecil, n <
25 bandingkan T dengan Ttabel dari daftar signed test, sedangkan untuk sampel
besar, n ≥ 25 menggunakan pendekatan normal sebagai berikut:
; dimana dan
Majalah Ilmiah Solusi ISSN: 1412-5331
Vol.16, No.1 Januari 2018
119
Kriteria yang digunakan pada penelitian ini untuk menarik kesimpulan
adalah jika nilai signifikansi P-value < α (=0,05) maka hipotesis nol (H_0)
ditolak.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Provinsi Jawa Tengah
Provinsi Jawa Tengah merupakan sebuah provinsi Indonesia yang terletak
di bagian tengah Pulau Jawa. Ibu kotanya adalah Semarang. Provinsi ini
berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat di sebelah barat, Samudra Hindia dan
Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, Jawa Timur di sebelah timur, dan
Laut Jawa di sebelah utara. Luas wilayahnya 32.548 km², atau sekitar 28,94% dari
luas pulau Jawa. Provinsi Jawa Tengah juga meliputi Pulau Nusakambangan di
sebelah selatan (dekat dengan perbatasan Jawa Barat), serta Kepulauan Karimun
Jawa di Laut Jawa.
Secara administratif, Provinsi Jawa Tengah terdiri atas 29 kabupaten dan 6
kota. Administrasi pemerintahan kabupaten dan kota ini terdiri atas 545
kecamatan dan 8.490 desa/kelurahan.
Berikut adalah data 35 Kabupate/Kota di Provinsi Jawa Tengah:
Tabel 2. Data Pemerintah Kabupaten/ Kota di Jawa Tengah
No Kabupaten/Kota Ibukota Luas Wilayah
1 Kabupaten Banjarnegara Banjarnegara 1.023,73 km²
2 Kabupaten Banyumas Purwokerto 1.335,30 km²
3 Kabupaten Batang Batang 788,65 km²
4 Kabupaten Blora Blora 1.804,59 km²
5 Kabupaten Boyolali Boyolali 1.008,45 km²
6 Kabupaten Brebes Kota Brebes 1.902,37 km²
7 Kabupaten Cilacap Cilacap 2.124,47 km²
8 Kabupaten Demak Demak 900,12 km²
9 Kabupaten Grobogan Purwodadi 2.013,86 km²
10 Kabupaten Jepara Jepara 1.059,25 km²
11 Kabupaten Karanganyar Karanganyar 775,44 km²
12 Kabupaten Kebumen Kebumen 1.211,74 km²
13 Kabupaten Kendal Kendal 1.118,13 km²
14 Kabupaten Klaten Kota Klaten 658,22 km²
15 Kabupaten Kudus Kudus 425,15 km²
16 Kabupaten Magelang Kota Mungkid 1.102,93 km²
Majalah Ilmiah Solusi ISSN: 1412-5331
Vol.16, No.1 Januari 2018
120
17 Kabupaten Pati Pati 1.489,19 km²
18 Kabupaten Pekalongan Kajen 837,00 km²
19 Kabupaten Pemalang Kota Pemalang 1.118,03 km²
20 Kabupaten Purbalingga Purbalingga 677,55 km²
21 Kabupaten Purworejo Purworejo 1.091,49 km²
22 Kabupaten Rembang Rembang 887,13 km²
23 Kabupaten Semarang Ungaran 950,21 km²
24 Kabupaten Sragen Sragen 941,54 km²
25 Kabupaten Sukoharjo Sukoharjo 489,12 km²
26 Kabupaten Tegal Slawi 876,10 km²
27 Kabupaten Temanggung Temanggung 837,71 km²
28 Kabupaten Wonogiri Wonogiri 1.793,67 km²
29 Kabupaten Wonosobo Wonosobo 981,41 km²
30 Kota Magelang Magelang 16,06 km²
31 Kota Pekalongan Pekalongan 45,25 km²
32 Kota Salatiga Salatiga 57,36 km²
33 Kota Semarang Semarang 373,78 km²
34 Kota Surakarta Surakarta 46,01 km²
35 Kota Tegal Tegal 39,68 km²
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah Pemerintah Kabupaten/Kota di
Provinsi Jawa Tengah. Sedangkan sample yang digunakan adalah Pemerintah
Kabupaten/Kota di Jawa Tengah yang mengalokasikan Belanja Hibah dan Belanja
Bantuan Sosial Tahun Anggaran 2010 dan 2012. Dengan kriteria tersebut
sehingga didapatkan 33 sampel yang yang terdiri dari 27 Kabupaten dan 6 Kota
di Jawa Tengah.
Uji Normalitas
Dalam penelitian ini normalitas data dilihat dengan cara melakukan uji
Kolmogorov-Smirnov. Uji normalitas ini digunakan untuk mengetahui apakah
variabel-variabel yang digunakan terdistribusi secara normal atau tidak. Sehingga
akan dapat menentukan langkah selanjutnya dalam uji beda. Secara keselruhan
hasil uji normalitas dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 5. Hasil Uji Normalitas
Statistik Signifikan
Belanja Hibah 2010 0,110 0,200
Belanja Hibah 2012 0,154 0,047
Belanja Bantuan Sosial 2010 0,189 0,004
Belanja Bantuan Sosial 2012 0,277 0,000
Dari tabel 4.3 didapatkan hasil bahwa dalam uji Kolmogorov-Smirnov
variabel Belanja Hibah 2010 tingkat signifikasi lebih dari 0,05, sedangkan
variabel Belanja Hibah 2012 yang berarti data terdistribusi normal, Belanja
Majalah Ilmiah Solusi ISSN: 1412-5331
Vol.16, No.1 Januari 2018
121
Bantuan Sosial 2010, Belanja Bantuan Sosial 2012 tingkat signifikasi kurang dari
0,05 yang berarti data terdistribusi tidak normal. Sehingga dalam Uji Beda akan
dilakukan menggunakan Uji Paired t Test untuk data yang terdistribusi normal
(Belanja Hibah) dan Uji Wilcoxon Signed Rank Test untuk data yang terdistribusi
tidak normal (Belanja Bantuan Sosial).
Pengujian Hipotesis
Paired Sample t Test
Paired Sample t Test digunakan untuk mengetahui apakah terdapat
perbedaan rata-rata dua sample (dua kelompok) yang berpasangan atau
berhubungan yang terdistibusi normal. Hasil pengujian untuk Belanja Hibah
diperoleh data sebagai berikut:
Tabel 6. Hasil Uji Beda Belanja Hibah Paired Samples Test
Paired Differences
t df Sig. (2-tailed) Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
95% Confidence Interval of the Difference
Lower Upper
Pair 1 BELANJA HIBAH 2010 - BELANJA HIBAH 2012
(16.498.6
59.792)
27.482.0
45.536
4.784.010.
068
(26.243.369.
414)
(6.753.950.
170) -3,449 32 ,002
Dalam Paired t Test jika t value diatas 1,96 selalu bisa diterima pada taraf
sig 95% atau lebih besar dariada 2,56 diterima pada sig 99%. Dari tabel 4.5 hasil
uji hipotesis Belanja Hibah menunjukkan bahwa t value sebesar -3,449 yang
berarti pengaruh penerapan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 31 Tahun
2011 diterima pada taraf 99%. Untuk Sig.(2-tield) menunjukkan 0,002 yang
kurang dari taraf signifikasi 0,05 yang berarti bahwa hipotesis dalam penelitian ini
menolak dan menerima . Dengan demikian dapat berarti bahwa
“Penerapan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 31 tahun 2011 berpengaruh
signifikan terhadap Alokasi Belanja Hibah” diterima.
Majalah Ilmiah Solusi ISSN: 1412-5331
Vol.16, No.1 Januari 2018
122
Wilcoxon Signed Rank Test
Dalam metode statistik non-parametrik yang digunakan untuk
membandingkan perbedaan dua median yang tidak terdistribusi normal maka
digunakanlah uji Wilcoxon Signed Rank Test. Hasil pengujian untuk Belanja
Bantuan Sosial diperoleh data sebagai berikut:
Tabel 7. Hasil Uji Beda Belanja Bantuan Sosial Test Statisticsa
BELANJA BANTUAN SOSIAL 2012 – BELANJA BANTUAN SOSIAL 2010
Z -4,136b Asymp. Sig. (2-tailed) ,000
a. Wilcoxon Signed Ranks Test b. Based on positive ranks.
Dari tabel 7 terlihat bahwa hasil pengujian hipotesis Belanja Bantuan
Sosial menunjukkan nilai z sebesar -4,136 dengan P value (Asymp.Sig 2 Tiled)
sebesar 0,000 dimana kurang dari taraf signifikasi 0,05 yang berarti bahwa
hipotesis dalam penelitian ini menolak dan menerima . Dengan demikian
dapat berarti bahwa “Penerapan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32
Tahun 2011 berpengaruh signifikan terhadap Alokasi Belanja Bantuan Sosial”
diterima.
Pembahasan
Berdasarkan hasil pengujian secara statistik dapat terlihat dengan jelas
bahwa seluruh variabel dependen berpengaruh terhadap variabel independen.
Pengaruh yang diberikan kedua variabel dependen tersebut signifikan artinya
dengan adanya Penerapan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 tahun 2011
berpengaruh terhadap Alokasi Belanja Hibah dan Alokasi Belanja Bantuan Sosial.
Penjelasan dari masing-masing pengaruh variabel dijelaskan sebagai berikut:
Pengaruh Penerapan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun
2011 terhadap Alokasi Belanja Hibah
Majalah Ilmiah Solusi ISSN: 1412-5331
Vol.16, No.1 Januari 2018
123
Pengujian secara statistik memberikan bukti bahwa Penerapan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 berpengaruh seignifikan terhadap
Alokasi Belanja Hibah di Pemerintah Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah.
Dari hasil penelitian membuktikan bahwa adanya kenaikan alokasi belanja hibah
dari sebelum adanya penerapan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32
Tahun 2011 dengan setelah adanya penerapan peraturan menteri tersebut.
Dalam pemberian hibah pada prinsipnya bersifat tidak mengikat atau terus
menerus yang diartikan bahwa pemberian hibah sangat tergantung pada
kemampuan keuangan Daerah dan urgensi serta kepentingan Daerah dalam
pemberian hibah. Pemberian hibah ditujukan untuk menunjang pencapaian
sasaran program dan kegiatan pemerintah daerah dengan memperhatikan asas
keadilan, kepatutan, rasionalitas dan manfaat untuk masyarakat.
Pengaruh Penerapan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun
2011 terhadap Alokasi Belanja Bantuan Sosial
Pengujian secara statistik memberikan bukti bahwa Penerapan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 berpengaruh seignifikan terhadap
Alokasi Bantuan Sosial di Pemerintah Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah.
Dari hasil penelitian membuktikan bahwa adanya penurunan alokasi belanja
bantuan sosial dari sebelum adanya penerapan Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 32 Tahun 2011 dengan setelah adanya penerapan peraturan menteri
tersebut.
Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 dijelaskan
bahwa bantuan sosial adalah pemberian bantuan berupa uang/barang dari
pemerintah daerah kepada individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat
yang sifatnya tidak secara terus menerus dan selektif yang bertujuan untuk
melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko sosial. Dalam pemberian bantuan
sosial harus didasarkan kriteria yang jelas dengan mempertimbangkan asas
keadilan, transparan dan memprioritaskan kepentingan masyarakat luas. Dengan
adanya ketentuan tersebut yang menjelaskan bahwa pemberiannya tidak boleh
secara terus menurus dan harus sesuai dengan kriteria maka alokasi belanja sosial
Majalah Ilmiah Solusi ISSN: 1412-5331
Vol.16, No.1 Januari 2018
124
dapat sesuai dengan peruntukkannya. Dengan demikian maka dapat terlaksana
efisiensi belanja daerah.
SIMPULAN
Dari data primer yang diperoleh yaitu data Belanja Hibah dan Belanja
Bantuan Sosial Tahun Anggaran 2010 dan 2012 maka dilakukanlah uji normalitas
untuk mengatahui apakah data tersebut terdistribusi secara normal atau tidak. Dan
selanjutnya dilakukan uji beda untuk mengetahui apakah ada perbedaan antara
alokasi Belanja Hibah dan Bantuan Sosial sebelum dan sesudah penerapan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 secara statistik. Dari uji
beda yang telah dilakukan ditemukan adanya pengaruh secara signifikan dari
adanya penerapan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011. Dari
pembahasan yang telah diuraikan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
(1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 berpengaruh secara
signifikan terhadap alokasi Belanja Hibah, dalam penelitian ini Belanja Hibah
mengalami adanya peningkatan alokasi belanja. (2) Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 32 Tahun 2011 berpengaruh secara signifikan terhadap alokasi
Belanja Bantuan Sosial dalam penelitian ini Belanja sosial mengalami adanya
penurunan alokasi belanja.
Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah dilakukan maka saran yang dapat
dilakukan dalam penelitian ini adalah: (1) Disarankan kepada Pemerintah Daerah
untuk dapat menggunakan alokasi Belanja Hibah dan Bantuan Sosial seusai
dengan peruntukannya, dengan tetap memprioritaskan pemenuhan belanja urusan
wajib dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, rasionalitas dan manfaat
untuk masyarakat. (2) Disarankan kepada Pemerintah Pusat untuk dapat
memberikan pedoman lebih jelas mengenai pemberian Belanja Hibah dan Belanja
Bantuan Sosial, agar tidak terjadi multitafsir dan kerancuan dalam
pelaksanaannya.
Majalah Ilmiah Solusi ISSN: 1412-5331
Vol.16, No.1 Januari 2018
125
Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini juga masih memiliki keterbatasan-keterbatasan. Dengan
keterbatasan ini, diharapkan dapat dijadikan untuk melakukan perbakan pada
penelitian mendatang. Adapun keterbatasan penelitian ini adalah: (1) Karena
penelitian ini merupakan penelitian dengan metode penelitian studi dokumentasi
serta melalui penelitian kepustakaan maka simpulan yang dikemukakan hanya
berdasarkan pada data yang terkumpul melalui instrumen tertulis. (2) Jumlah
sampel yang sedikit karena keterbatasan jumlah populasi yang kecil.
Agenda Penelitian yang Akan Datang
Hasil-hasil dalam penelitian ini dan keterbatasan-keterbatasan yang
ditemukan agar dapat dijadikan sumber ide dan masukan bagi pengembangan
penelitian ini di masa yang akan datang. Diharapkan penelitian yang akan datang
dapat meneliti faktor-faktor penyebab kenaikan dan penuruna Belanja Hibah dan
Belanja Bantuan Sosial dengan adanya penerapan Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 32 Tahun 2011 dan juga dapat memperluas metode pengumpulan
dan memperluas populasi yang lebih besar sehingga sampel yang akan diambil
lebih besar.
Majalah Ilmiah Solusi ISSN: 1412-5331
Vol.16, No.1 Januari 2018
126
DAFTAR PUSTAKA
Astawa, I Gde Pantja. 2009. Problematika Hukum Otonomi Daerah di Indonesia.
Alumni. Bandung.
Bungin, M. Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif; Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan
Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Kencana. Jakarta.
Dwidjoto, Riant Nugroho. 2000. Otonomi Daerah: Desentralisasi Tanpa Revolusi.
Elex Media Komputindo. Jakarta.
Fiedler, F.E. 1967. A Theory of Leadership Effectiveness. McGraw-Hill. New
York.
HAW. Widjaja. 2002. Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Raja Grafindo
Persada. Jakarta.
Khusaini, Muhammad. 2006. Ekonomi Publik : Desentralisasi Fiskal dan
Pembangunan Daerah, Malang: BPFE Unbraw.
Luthans, Fred, 2006. Perilaku Organisasi. Penerbit Andi.
Mc. Millan, Jamesh dan Sally Schumacer. tt. Research in Education; A
Conceptual Introduction (Terjemahan). Longman. London.
McShane, Steven dan Von Glinow, Mary Ann. 2010. Organizational Behavior.
McGraw-Hill Companies.Inc. New York.
Narwati, Umi. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, Teori dan
Aplikasi. Universitas Komputer Indonesia. Bandung.
Ramini, L., Suara, I. B., Fadipe, A.O.2013. Role of Economic and Financial
Crimes Commission (EFCC) and Independent Corrupt Practices &
Other Related Offences Commission (ICPC) at Ensuring Accountability
and Corporate Governance in Nigeria. Journal of Business
Administration and Education, Vo. 3, No. 2, p. 105-122.
Rosidin, Utang. 2010. Otonomi Daerah dan Desentralisasi. CV Pustaka Setia.
Bandung.
Sarundajang. 2000. Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Pustaka Sinar
Harapan. Jakarta.
Sekarang, Uma. 1992. Research Methods For Business: A Skill Building
Approach, Second Edition. Jhon Willey & Sons, Inc. New York.
Sugiyono. 2004. Metode Penelitian Bisnis. Alfa Beta. Bandung.
Majalah Ilmiah Solusi ISSN: 1412-5331
Vol.16, No.1 Januari 2018
127
________. 2004. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Alfabeta.
Bandung.
________. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Alfabeta. Bandung.
________. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Alfabeta.
Bandung.
Sujarweni, V.Wiratna. 2015. SPSS untuk Penelitian. Pustaka Baru Press.
Yogyakarta.
Therkildsen, Ole. 2001. Efficiency, Accountability and Implementation: Public
Sector Reform in East and Southern Africa. United Nations Research
Institute for Social Development.
Umar, Husein. 2003. Metode Riset Perilaku Organisasi. Gramedia.
Varies, M.S., adn Sobis, I., 2010. Responsible Public Accountability Through Soft
Steering. The Frouth International Conference on Public Management in
21st Century: Opportunities and Challanges.
Yuwono, Sonny, dkk, 2008, Memahami APBD dan Permasalahannya (Panduan
Pengelolaan Keuangan Daerah). Bayu Media Publishing. Yogyakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004, Tentang
Pemerintahan Daerah.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 Tentang Pemberian
Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 tahun 2007 dan perubahan
kedua dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011
Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2010 Tentang Standar Akuntansi
Pemerintah.