pengaruh pemberian terapi guided imagery ......pasca pemasangan endotracheal tube (ett) pada pasien...
TRANSCRIPT
PROPOSAL SKRIPSI
PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY
TERHADAP TINGKAT NYERI TENGGOROKAN
PASCA PEMASANGAN ENDOTRACHEAL TUBE (ETT)
PADA PASIEN GENERAL ANESTESI
di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Terapan Keperawatan
Disusun oleh:
RAHMAWAN AJI SETO
NIM: P07120216079
PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN
JURUSAN KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN
YOGYAKARTA
TAHUN 2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anestesi adalah suatu tindakan menghilangkan rasa sakit atau nyeri saat
dilakukan tindakan invasif atau pembedahan serta prosedur lain yang menimbulkan rasa
sakit pada tubuh (Amarta, 2012). Ada dua jenis pemberian anestesi pada pasien yang
akan menjalani pembedahan yaitu dengan anestesi umum (general anestesi) dan
anestesi pada sebagian tubuh tertentu (regional anestesi). Setiap jenis pemberian obat
anestesi pada pasien, terdapat komplikasi yang dimiliki sendiri-sendiri (Benumof,
2019).
General anestesi adalah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi
terhadap semua sensasi akibat induksi obat (Munaf, 2009). General anestesi sering
disebut juga narkose atau bius yang bertujuan menghilangkan nyeri, membuat tidak
sadar, dan menyebabkan amnesia reversible dan bisa diprediksi (Pramono, 2016). Pada
metode general anestesi dibagi menjadi 3, yaitu general anestesi inhalasi, general
anestesi intravena, dan general anestesi imbang. Pada general anestesi inhalasi
menggunakan beberapa teknik yaitu sungkup muka (Face Mask), Laringeal Mask
Airway (LMA), dan intubasi Endotracheal Tube (ETT).
Intubasi endotracheal adalah prosedur memasukkan pipa endotracheal (ETT:
endotracheal tube) kedalam trakea melalui mulut atau nasal yang dibantu dengan alat
bernama laringoskop yang bertujuan untuk bebasnya jalan nafas, sebagai sarana untuk
menyediakan oksigen ke paru-paru, dan sebagai saluran untuk obat-obatan anestesi
yang mudah menguap (Pramono, 2016). Keefektifan intubasi endotracheal tube (ETT)
dapat dilihat dari kemudahan laringoskopi (relaksasi rahang dan tahanan blade terhadap
laringoskop), pita suara (posisi dan pergerakan pita suara), respon intubasi (gerakan
ekstremitas dan respon batuk yang ditimbulkan) (Ramadhani, 2008). Namun tindakan
intubasi endotracheal tube (ETT) seringkali menyebabkan trauma pada mukosa saluran
nafas atas, bermanifestasi terhadap gejala-gejala yang muncul pasca operasi. Beberapa
gejala yang dikeluhkan pasien pasca operasi antara lain nyeri tenggorokan (sore throat),
batuk (cough), dan suara serak (hoarseness) (Sulistyono, 2010).
Kejadian nyeri tenggorokan akibat dari intubasi endotracheal tube (ETT)
meningkat setiap tahun mencapai 50%, yang sampai saat ini belum dapat dicegah
sepenuhnya. Kejadian nyeri tenggorokan lebih sering terjadi pada wanita (17%)
dibandingkan pria (9%). Nyeri tenggorokan merupakan komplikasi anestesi dalam
kategori ringan dan akan pulih dalam waktu 72 jam, namun dapat berkontribusi terhadap
angka morbiditas pasca operasi dan tingkat kepuasan pasien. Selain itu, nyeri
tenggorokan juga menjadi salah satu keluhan pasien pasca operasi (Satriyanto, 2014).
Penelitian tentang hubungan penggunaan endotracheal tube (ETT) dengan
kejadian nyeri tenggorokan pada pasien pasca general anestesi yang dilakukan di RS
PKU Muhammadiyah Yogyakarta pada 60 responden (37 orang (61,7 %) menggunakan
endotracheal tube (ETT), 23 orang (38, 3%) tidak menggunakan endotracheal tube
(ETT). Hasilnya yaitu adanya hubungan intubasi endotracheal tube (ETT) dengan nyeri
tenggorokan. Kejadian nyeri tenggorokan dengan penggunaan endotracheal tube (ETT)
sebanyak 46 orang(76,7%) dengan hasil uji Chi Square diketahui nilai p value adalah
0.009 (p<0.05) (Saputri, 2017).
Nyeri adalah suatu rasa yang tidak nyaman, berdampak pada keadaan pasien
yang mempengaruhi status hemodinamik. Pada dasarnya terdapat berbagai teknik untuk
mengurangi nyeri baik secara farmakologi dan non farmakologi. Farmakologi dengan
pemberian obat seperti non-narkotik dan anti inflamasi non steroid, analgesik narkotik
atau opioid, dan obat tambahan atau adjuvant. Terapi non-farmakologi untuk
mengurangi nyeri antara lain massage, distraksi, terapi music, guided imagery, guided
imagery musik (GIM), terapi musik Mozart (klasik), kompres hangat, kompres dingin,
relaksasi nafas dalam, akupresur, dan terapi rohani (Potter & Perry, 2017)
Upaya lain untuk mengurangi nyeri tenggorokan pasca pemasangan
endotracheal tube (ETT) adalah guided imagery. Guided imagery adalah metode
relaksasi untuk mengkhayal tempat dan kejadian berhubungan dengan rasa relaksasi
yang menyenangkan. Khayalan tersebut memungkinkan klien memasuki keadaan atau
pengalaman relaksasi. Guided imagery mempunyai elemen yang secara umum sama
dengan relaksasi, yaitu sama-sama membawa klien ke relaksasi. Pada guided imagery
menekankan bahwa klien membayangkan hal-hal nyaman dan menenangkan dan tidak
dapat memusatkan perhatian pada banyak hal dalam satu waktu, oleh karena itu klien
harus membayangkan satu imajinasi yang sangat kuat dan menyenangkan. Guided
imagery telah menjadi standar terapi untuk mengurangi nyeri kronis, tindakan
proseduran yang menimbulkan nyeri, susah tidur, mencegah reaksi alergi, dan
menurunkan tekanan darah (Witjalaksono, 2013).
Penelitian yang dilakukan oleh Novianty (2017) dengan judul “Pengaruh
Pemberian Guided Imagery Terhadap Skala Nyeri Pada Pasien Post Operasi
Appendisitis Hari Pertama Di RSUD Sawerigading Kota Palopo Tahun 2017” yang
dilakukan pada 20 responden. Hasilnya yaitu ada pengaruh pemberian guided imagery
terhadap nyeri post appendiktomi. Hasil uji analisa data menggunakan Paired Sample
T-test dan diperoleh p value = 0.000 < 0,05, Ho ditolak dan Ha diterima. Pada pasien
post appendiktomi yang telah diberikan terapi guided imagery menunjukkan adanya
penurunan skala nyeri yang semula dari skala nyeri berat dan sedang menjadi nyeri
ringan dan tidak nyeri. Hal ini dikarenakan saat seseorang diberikan terapi guided
imagery, tubuh akan menstimulasi produksi endorfin dalam sistem descending control
yang dapat memblok atau menurunkan transmisi impuls nyeri. Selain itu, tambahan
musik juga dapat memberikan ketenangan dan kenyamanan bagi orang yang
mendengarnya, sehingga nyeri yang dirasakan pasien dapat teralihkan. Hal tersebut
menunjukkan bahwa terjadi perbedaan skala nyeri sebelum dan setelah dilakukan
guided imagery (imajinasi terbimbing).
Berdasarkan hasil studi pendahuluan melalui wawancara dengan salah satu
pegawai diklat dan penata anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten pada hari
Kamis, 05 September 2019 diperoleh data jumlah pasien yang dilakukan operasi dengan
general anestesi dengan teknik intubasi endotracheal tube (ETT) dalam satu bulan
dengan rata-rata mencapai 100 pasien.
Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
terkait dengan pengaruh pemberian guided imagery terhadap tingkat nyeri tenggorokan
pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi. Dimana yang
menjadi objek penelitian adalah nyeri tenggorokan yang diukur pada pre dan post
menggunakan skala POST (Post Operative Sore Throat) dan diberikan guided imagery.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah yang diambil adalah
“Adakah pengaruh pemberian terapi guided imagery terhadap tingkat nyeri tenggorokan
pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr.
Soeradji Tirtonegoro Klaten?”
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui adakah pengaruh pemberian terapi guided imagery
terhadap tingkat nyeri tenggorokan pasca pemasangan endotracheal tube (ETT)
pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui tingkat nyeri tenggorokan pasca pemasangan endotracheal tube
(ETT) pada pasien general anestesi sebelum diberikan terapi guided imagery.
b. Mengetahui tingkat nyeri tenggorokan pasca pemasangan endotracheal tube
(ETT) pada pasien general anestesi setelah diberikan terapi guided imagery.
c. Mengetahui pengaruh terapi guided imagery terhadap tingkat nyeri pasca
pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi.
D. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dalam penelitian ini berkaitan dengan keperawatan anestesi guna
mengetahui pengaruh terapi guided imagery terhadap tingkat nyeri tenggorokan pasca
pemasangan endotracheal tube (ETT). Sebagai subyek dalam penelitian adalah semua
pasien yang dilakukan operasi dengan teknik general anestesi dengan intubasi
endotracheal tube (ETT) dengan kriteria inklusi dan ekslusi di RSUP dr. Soeradji
Tirtonegoro Klaten dalam kurun waktu dua bulan.
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian diharapkan bisa menambah kajian ilmiah tentang pengaruh
pemberian terapi guided imagery terhadap tingkat nyeri tenggorokan pasca
pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi. Serta dapat
digunakan sebagai masukan bagi ilmu keperawatan dalam konteks anestesi
khususnya pada nyeri tenggorokan pada pasien general anestesi. Selain itu
diharapkan dapat menambah informasi dan pemahaman yang dapat digunakan
untauk pengembangan ilmu keperawatan khususnya konteks anestesi.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Rumah Sakit RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
Dapat menjadi pertimbangan sebagai standart operating prosedure (SOP) untuk
intervensi keperawatan perawat mandiri dalam menurunkan intensitas nyeri
tenggorokan pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general
anestesi.
b. Bagi Institusi Poltekkes Kemenkes Yogyakarta
Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan penelitian selanjutnya dan
juga dapat menjadi bahan referensi materi dalam pembelajaran bagi kemajuan
pendidikan terutama yang diberkaitan dengan pendidikan kesehatan berkaitan
dengan nyeri tenggorokan dan guided imagery berspesifik pada konteks
anestesi.
c. Bagi Perawat
Perawat dapat meningkatkan peran dengan menerapkan dan memberikan terapi
guided imagery terhadap nyeri tenggorokan pasca pemasangan endotracheal
tube (ETT) pada pasien general anestesi.
F. Keaslian Skripsi
1. Mulia (2014), dengan judul “perbedaan nyeri tenggorokan pasca intubasi Laringeal
Mask Airway (LMA) classic dengan proseal di Ruang perawatan RSUD Dr.
Soedarsono Pontianak” dengan jenis penelitian observasional analitik, dengan
desain penelitian cross sectional. Pengambilan sample secara purposive sampling
dengan 40 subyek penelitian, pengujian hipotesa menggunakan uji Chi Square
didapatkan P value 0,01 sehingga Ho ditolak dan Ha diterima. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ada perbedaan kejadian nyeri Laringeal Mask Airway (LMA)
Classic dan proseal di RSUD Dr. Soedarsono Pontianak.
Persamaan dengan penelitian ini adalah variabel terikat nyeri tenggorokan.
Perbedaan dengan penelitian ini yaitu tempat penelitian di RSUP dr. Soeradji
Tirtonegoro Klaten, variabel bebas guided imagery, jenis penelitian quasi
eksperimen, uji analisa data menggunakan Wilcoxon, jumlah sampel 62 orang
dengan kelompok kontrol.
2. Saputri (2017), dengan judul “Hubungan penggunaan endotracheal tube (ETT)
dengan kejadian nyeri tenggorokan pada pasien pasca general anestesi di RS PKU
Muhammadiyah Bantul Yogyakarta” dengan jenis penelitian observasional analitik
dengan desain penelitian cross sectional. Teknik pengambilan sample, total
sampling, sampel sebanyak 60 pasien yang menjalani general anestesi intubasi di
RS PKU Muhammadiyah Bantul Yogyakarta. Uji hipotesa menggunakan uji Chi
Square didapatkan P value 0,04 sehingga Ho ditolak dan Ha diterima. Hasil
penelitian menunjukkan adanya hubungan penggunaan endotracheal tube (ETT)
dengan kejadian nyeri tenggorokan pada pasien pasca general anestesi.
Persamaan dengan penelitian ini variabel terikat nyeri tenggorokan pasca
pemasangan endotracheal tube (ETT), penilaian skala nyeri tenggorokan
menggunakan POST (Post Operative Sore Throat). Perbedaan dengan penelitian ini
adalah variabel bebas guided imagery, jenis penelitian quasi eksperimen, uji analisa
data menggunakan Wilcoxon, jumlah sampel 62 orang dengan kelompok kontrol
temptat di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten.
3. Novianty (2017), dengan judul “Pengaruh Pemberian Guided Imagery Terhadap
Skala Nyeri Pada Pasien Post Operasi Appendisitis Hari Pertama Di RSUD
Sawerigading Kota Palopo Tahun 2017” dengan jenis penelitian quasi eksperimen
dengan rancangan one group pre-posttest design, dan jumlah sampel 20 orang. Uji
analisa data menggunakan Paired Sample T-test dan diperoleh p value = 0.000 <
0,05, maka Ho ditolak dan Ha diterima. Hasil penelitian menunjukkan adanya
pengaruh pemberian guided imagery terhadap skala nyeri pada pasien post operasi
appendiktomi hari pertama di RSUD Sawerigading Kota Palopo.
Persamaan dengan penelitian ini yaitu jenis penelitian quasi eksperimen, variabel
bebas guided imagery. Perbedaan dengan penelitiann ini adalah tempat penelitian
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten, variabel terikat nyeri tenggorokan pasca
pemasangan ETT, penilaian skala nyeri tenggorokan menggunakan POST (Post
Operative Sore Throat), rancangan penelelitian prepost test with control group
design, uji analisa data menggunakan Wilcoxon, dan jumlah sampel 62 orang.
4.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
1. Nyeri Tenggorokan
a. Pengertian
Didefinisikan oleh International Association for Study of Pain
(IASP), bahwa nyeri merupakan sesuatu sensori subjektif dan
pengalaman emosional tidak menyenangkan. Nyeri berkaitan dengan
kerusakan jaringan yang bersifat akut yang dirasakan dalam kejadian
dimana terjadi kerusakan (Potter & Perry, 2012).
Nyeri juga menjadi mekanisme proteksi, defensive, dan
penunjang diagnostik. Sebagai mekanisme proteksi, sensibilitas nyeri
memungkinkan seseorang bereaksi terhadap trauma atau penyebab nyeri
sehingga dapat menghindari terjadinya kerusakan jaringan tubuh.
Toleransi nyeri meningkat bersama pengertian; simpatis, persudaraan,
alih perhatian, pendekatan, percayaan, budaya, pengetahuan, pemberian
analgesi. Sebaliknya, toleransi nyeri menurun pada keadaan marah,
cemas, bosan, lelah, depresi, isolasi mental (Witjalaksono, Villyastuti &
Sutiyono, 2013).
Nyeri tenggorokan adalah rasa tidak nyaman, nyeri atau gatal di
tenggorokan yang dapat menimbulkan nyeri atau tidak nyaman untuk
menelan. Nyeri tenggorokan merupakan komplikasi umum yang terjadi
pasca operasi dengan anestesi umum intubasi endotrakeal dan menjadi
komplikasi ringan, bersifat sementara dan dapat sembuh sendiri dalam
beberapa hari (Priyonggo R, 2014). Setelah dilakukan general anestesi,
biasanya akan dirasakan nyeri tenggorokan mulai dari rasa tidak nyaman
sampai nyeri yang lebih berat dan suara serak. Kerusakan mukosa saluran
jalan napas akibat iritasi alat jalan napas buatan, tekanan cuff
endotracheal tube (ETT) berlebih, dan lamanya terpasang akan
menimbulkan nyeri tenggorokan. Penyebab utama nyeri tenggorok pasca
operasi dengan anestesi umum intubasi endotrakeal adalah trauma pada
mukosa faringolaringeal karena tindakan laringoskopi dan pemasangan
pipa endotrakeal sedangkan penyebab yang lain adalah pemasangan
Nasogastric Tube (NGT) dan penyedotan lendir dalam mulut (Sally, R.
Widyastuti, Widodo, 2014).
b. Klasifikasi Nyeri
Menurut Witjalaksono, Villyastuti & Sutiyono dalam
Anestesiologi 2 (2013), klasifikasi nyeri dibagi sebagai berikut:
1) Waktu durasi nyeri
a) Nyeri Akut: < 3 bulan, mendadak, akibat trauma atau inflamasi,
tanda respon simpatis; penderita anxietas, keluarga supportif.
b) Nyeri Kronik: > 3 bulan, hilang timbul atau terus menerus.
Tanda respon parasimpatis; penderita depresi, keluarga lelah.
2) Berdasarkan Etiologi
a) Nyeri nosiseptik: rangsangan timbul oleh mediator nyeri, seperti
pada paska trauma operasi dan luka bakar.
b) Nyeri neuropatik: rangsangan oleh kerusakan saraf dan
disfungsi saraf, seperti pada diabetes mellitus (DM), herpes
zooster.
3) Berdasarkan intensitas nyeri
a) Skala visual analog score: 1-10
b) Skala wajah Wong Baker: tanpa nyeri, nyeri ringan, nyeri
sedang, nyeri berat, nyeri tak tertahankan.
c) Skala POST (Post Operatif Sore Throat): nilai 0-3; tanpa nyeri,
nyeri ringan, nyeri sedang, nyeri berat.
4) Berdasarkan lokasi
a) Nyeri superfisial: nyeri pada kulit, subkutan, beersifat tajam,
dan terlokasi.
b) Nyeri somatik dalam: nyeri berasal dari otot, tendon, tumpul,
dan kurang terlokasi.
5) Nyeri viskeral: nyeri berasal dari organ internal atau organ
pembungkusnya, seperti nyeri kolik ureter dan kolik gastrointestinal.
6) Nyeri alih (referred): masukan dari organ dalam dalam pada tingkat
spinal disalah artikan penderita sebagai masukan dari daerah kulit
pada segemen spinal.
7) Nyeri proyeksi: pada herpes zooster, kerusakan saraf menyebabkan
nyeri dialihkan ke sepanjang tubuh yang diinerfasi oleh saraf yang
rusak tersebut.
8) Nyeri phantom: nyeri dihubungkan dengan bagian tubuh yang hilang
seperti amputasi.
9) Berdasarkan area nyeri: nyeri kepala, leher/tenggorokan, dada,
abdomen, punggung, pinggang bawah, pelvik, ekstremitas dan
sebagainya.
10) Berdasarkan sifat: nyeri tusuk, teriris, terbakar, kemang, nyeri
sentuh, nyeri gerak, berdenyut, menyebar, hilang timbul dan
sebagainya.
Pada kalsifikasi nyeri sangat berguna untuk menentukan
penyebab, perbedaan nyeri neuropatik dan nosisepsi, merencanakan
terapi dan evaluasi penderita.
c. Etiologi
Penyebab timbulnya nyeri tenggorokan sebagai berikut (McHardi
& Chung, 2008)
1) Bernafas melalui mulut dapat menyebabkan iritasi pada
tenggorokan.
2) Common Cold dan Influenza.
3) Pharingitis, karena virus atau bakteri.
4) Pembedahan seperti tonsilektomi dan adenoidectomy.
5) General anestesi, karena penggunaan ETT atay LMA.
a) Endotracheal Tube (ETT)
Alat yang ditempatkan dalam lumen trakea melalui oral atau
nasal. Pipa trakea terdapat dua tipe cuff yaitu high pressure (low
volume) dan low pressure (high volume) bisa dikembangkan
untuk mencegah kebocoran gas. High pressure cuff lebih
menyebabkan kerusakan mukosa trakea yang menimbulkan
iskemik jaringan sehingga kurang cocok untuk operasi yang
lama. Low pressure cuff menimbulkan kemungkinan terjadinya
nyeri tenggorokan, aspirasi, dan ekstubasi spontan (Morgan,
2006).
b) Laringeal Mask Airway (LMA)
Alat jalan nafas berbentuk sendok terdiri dari pipa besar
berlubang dengan ujung menyerupai sendok, pinggirnya dapat
dikempiskan seperti balon pada pipa trakea dan tidak masuk
kedalam trakea. (Latief, 2010).
d. Mekanisme nyeri
Nyeri timbul akibat dari rangsangan zat algesik pada reseptor
nyeri yang dijumpai pada lapisan superfisial kulit dan pada beberapa
jaringan didalam tubuh seperti periosteum, permukaan tubuh, otot rangka
dan pulpa gigi. Reseptor nyeri merupakan ujung bebas serat saraf aferen
A delta dan C, diaktifkan oleh rangsangan dengan intensitas tinggi seperti
rangsang ternal, elektrik, atau kimiawi (Mangku & Senapathi, 2010).
Zat algesik mengaktifkan reseptor nyeri adalah ion K, H, dan
asam laktat, serotonin, bradikidin, histamine dan prostaglandin. Setelah
reseptor nyeri disalurkan ke sentral melalui beberapa saluran saraf.
Rangkaian proses menyertai antara kerusakan jaringan (sumber stimulasi
nyeri) sampai dirasakan persepsi nyeri adalah suatu proses elektro-
fisiologik disebut sebagai nosisepsi. Terdapat 4 proses jelas terjadi
mengikuti suatu proses elektro-fisiologik noisepsi, yaitu:
1) Transduksi: proses stimulasi nyeri yang diterjemahkan menjadi
aktifitas listrik pada ujung saraf.
2) Transmisi: proses penyaluran impuls melalui saraf sensoris
menyusul proses transduksi. Impuls akan disalurkan oleh serabut
saraf A delta dan serabut C sebagai neuron pertama dari perifer ke
medulla spinalis.
3) Modulasi: proses interaksi antara sistem analgesic endogen dengan
impuls nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis. Sistem
analgesic endogen yaitu enkefalin, endorphin, serotonin, dan
noradrenalin yang berefek menekan impuls nyeri pada kornu
posterior medulla spinalis yang diibaratkan sebagai pintu gerbang
nyeri yang bisa terbuka atau tertutup untuk menyalurkan impuls
nyeri yang diperankan oleh sistem analgesic endogen.
4) Persepsi: hasil akhir proses interaksi kompleks dan unik dimulai dari
transduksi, transmisi, dan modulasi yang menghasilkan suatu
perasaan subyektif yang dikenal dengan persepsi nyeri.
e. Penilaian nyeri
Penilaian skala nyeri tenggorokan biasanya diukur menggunakan
Post Operative Sore Throat (POST). Merupakan instrumen pengukuran
nyeri paling banyak dipakai dalam berbagai studi klinin dan diterapkan
rerhadap berbagai jenis nyeri tenggorokan. Terdapat 4 skala yang
tercantum dalam penilaian POST.
Tabel 1. Penilaian Post Operative Sore Throat (POST)
Skor Keterangan
0 Tidak nyeri tenggorokan
1 Nyeri ringan (nyeri saat berbicara)
2 Nyeri sedang (nyeri dirasakan saat diam)
3 Nyeri berat (perubahan suara serak berkaitan dengan
nyeri tenggorokan
Sumber: Rudra et al (2009).
Menurut Mangku & Senapathi (2010), berbagai cara untuk
mengukur derajat nyeri, cara sederhana sebagai berikut:
1) Nyeri ringan: nyeri yang hilang timbul, terutama saat melakukan
aktifitas dan waktu tidur.
2) Nyeri sedang: nyeri terus-menerus, aktifitas terganggu dan hanya
hilang saat penderita tertidur.
3) Nyeri berat: berlangsung terus-menerus sepanjang hari, penderita
tidak dapat tidur karena nyeri sewaktu tidur.
Menurut Saryono (2010), mengukur skala nyeri dibagi berbagai
macam sebagai berikut:
1) Skala deskripsi intensitas nyeri sederhana
Sumber: Saryono (2010).
Gambar 1. Skala deskripsi intensitas nyeri sederhana
2) Skala intensitas nyeri numerik
Sumber: Saryono (2010).
Gambar 2. Skala nyeri numerik
3) Skala Visual Analog Score (VAS)
Sumber: Saryono (2010).
Gambar 3. Skala nyeri visual analog score.
4) Skala Wong Baker
Sumber: Saryono (2010)
Gambar 4. Skala nyeri Wong Baker.
f. Nyeri tenggorokan akibat penggunaan endotracheal tube (ETT)
Merupakan nyeri inflamasi yang menyebabkan rasa tidak
nyaman, rasa gatal ditenggorokan, dan rasa sakit saat menelan. Hal ini
terjadi akibat trauma pada tonsil, faring, lidah, laring, dan trakea.
Keluhan nyeri tenggorokan yang terjadi merupakan trauma mukosa
trakea akibat dari intubasi. Trauma menjadi faktor etiologi pada nyeri
tenggorokan dan suara serak akibat intubasi. Bisa juga ditemukan edema
dan memar tenggorokan pada penderita yang mengeluh nyeri
tenggorokan akibat intubasi. Alat intubasi perlu diperhatikan,
laringoskop yang terlalu besar dapat mengakibatkan trauma didaerah
orofaring. Stilet yang panjangnya tidak sesuai dengan panjang
endotracheal tube (ETT), sehingga ujung stilet menonjol keluar dan
mengakibatkan trauma pada mukosa. Tenggorokan dapat terluka waktu
intubasi karena manipulasi, trauma dapat terjadi waktu laringoskopi
langsung dan intubasi yang dilakukan karena kurangnya relaksasi otot
yang mengakibatkan rusaknya jaringan yang menjadi penyebab
timbulnya nyeri karena oksigen tidak tersuplai kesemua jaringan.
Pergeseran berlebih antara endotracheal tube (ETT) dan mukosa faring
juga menjadi sebab lain dari trauma faring (Novia, 2006).
Meski nyeri tenggorokan pasca general anestesi dengan spontan
tanpa terapi dapat menghilang gejalanya, manajemen profilaksis untuk
mengurangi intensitas nyeri tenggorokan masih direkomendasikan untuk
meningkatkan kualitas perawatan pasca general anestesi.metode
farmakologi yang disarankan untuk menguranginya termasuk pemberian
obat-obatan pencegahan yang diberi sebelum intubasi, pemakaian
lubrikasi pada endotracheal tube (ETT), pemakaian anestesi lokal spray,
menggunakan anestesi lokal untuk pengisisan cuff endotracheal tube
(ETT), inhalasi beclomethasone, pemberian aspirin, ketamine, atau
benzydamine hydrochloride atau berkumur dengan azulene sulfonate
(Narasethakamol et al, 2011).
g. Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi nyeri tenggorokan
pasca pemasangan intubasi (Ahmed et al, 2007):
1) Usia
Pada pasien dengan usia lebih muda, ukuran laring dan trakea
lebih kecil serta membrane mukosa lebih tipis sehingga lebih rentan
terjadi edema pada mukosa dan sensitif dengan reseptor nyeri.
Sedangkan usia lebih tua terjadi penurunan rangsang kepekaan
reseptor nyeri. Usia dikelompokkan menurut Depkes (2009).
Tabel 2. Kategori umur menurut depkes 2009.
Kategori Usia
Balita 0-5 tahun
Anak-anak 6-11 tahun
Remaja Awal 12-16 tahun
Remaja Akhir 17-25 tahun
Dewasa Awal 26-35 tahun
Dewasa Akhir 36-45 tahun
Lansia Awal 46-55 tahun
Lansia Akhir 56-65 tahun
Manula 66 tahun keatas
Sumber: Depkes (2009).
2) Jenis Kelamin
Anatomi laring perempuan dan laki-laki berbeda, pada
perempuan laring lebih kecil. Selain itu mukosa pada perempuan
yang lebih tipis menyebabkan lebih mudah mengalami edema.
Perubahan sehingga nyeri tenggorokan lebih sering terjadi pada
perempuan. (Jaensson et al, 2012).
3) Penyakit kronis
Trauma jaringan lebih mudah terjadi pada pasien dengan
penyakit kronis selama intubasi trakea yang lama. Penurunan perfusi
jaringan juga dihubungkan dengan adanya penyakit kronis sehingga
jaringan mudah terjadi nekrosis dan ulserasi. Mallampati adalah
suatu kondisi yang mungkin dapat menjadi penyulit dalam intubasi
endotracheal tube (ETT) yang dibagi menjadi kelas I, kelas II, kelas
III, dan kelas IV. Kelas I dan kelas II merupakan bentuk yang paling
mudah utuk dilakukan intubasi dibanding kelas III dan kelas IV
(Pramono, 2016).
4) Tekanan cuff ETT
Fungsi utama cuff yaitu memberikan tekanan positif pada
dinding trakea dan mengurangi resiko aspirasi. Tekanan tinggi cuff
pada mukosa trakea menyebabkan nyeri tenggorokan. Penelitian
pada kelinci menunjukkan bahwa cuff dengan high pressure low
volume tekanan sampai >30mmHg (39 cmH20) menyebabkan
mukosa trakea iskemik yang disebabkan oleh tidak lancaarnya aliran
darah sehingga suplai oksigen berkurang dan jaringan kekurangan
oksigen berakibat timbulnya nyeri. Ketika cuff dengan dinding tipis,
low pressure aliran darah tidak terganggu dalam tekanan 80-120
mmHg, tekanan cuff yang direkomendasikan harus dipertahankan
<30 mmHg (26 cmH2O) (Sutiyono, Villiayastuti & Susilowat,
2013).
5) Lama intubasi
Lama pemasangan ETT berpengaruh terhadap terjadinya nyeri
tenggorokan, semakin lama terpasang ETT semakin lama mukosa
trakea mengalami tekanan cuff. Pasien dengan durasi pemasangan
ETT >60 menit memiliki resiko nyeri lebih besar dibanding dengan
pasien pemsangan ETT <60 menit. Pada pasien operasi dengan
penyakit kronis lebih mudah mengakami trauma jaringan
menyebabkan lamanya operasi yang berhubungan langsung dengan
kejadian nyeri tenggorokan (Spiegel, 2010).
6) Riwayat merokok
Dalam rokok mengandung zat karbon monoksida (CO) yang
dapat menyebabkan penyempitan saluran nafas karena kekurangan
oksigen, bila spasme terjadi mengakibatkan pembuluh darah mudah
rusak. Pasien dengan riwayat merokok mempunyai kemungkinan
lebih besar dalam terjadinya komplikasi jalan nafas bagian atas.
Riwayat merokok >20 batang/hari mempunyai angka yang lebih
tinggi 6 kali mengalami komplikasi jalan nafas atas dibanding
dengan pasien yang tidak merokok (Kholis, 2011).
7) Pelaku intubasi
Ketrampilan pelaku intubasi berpengaruh pada trauma yang
disebabkan pada pemasangan endotracheal tube (ETT). Pelaku
intubasi yang lebih mempunyai pengalaman dalam hal ini
meminimalkan resiko trauma yang berlebih. Sedangkan pelaku yang
belum berpengalaman sering kali menyebabkan trauma pada bibir
disisi kanan, bibir atas karena terjepit bilah laringoskop. Ukuran pipa
endotracheal tube (ETT) yang tidak sesuai juga menyebabkan nyeri
tenggorokan pasca intubasi.
8) Ukuran pipa endotrakeal
Ukuran pipa endotrakeal yang tidak sesuai menyebabkan lebih
besarnya resiko terjadi kerusakan mukosa trakea. Panduan ukuran
endotracheal tube (ETT) menurut Butterworth et al (2013):
Tabel 3. Panduan ukuran ETT.
Usia Diameter (mm) Panjang (cm)
Bayi cukup bulan 3,5 12
Anak-anak 4 + (usia/4) 14+(usia/2)
Wanita 7.0-7.5 24
Laki-laki 7.5-9.0 24
Sumber: Butterworth et al (2013).
2. Guided Imagery
a. Managemen Nyeri
Nyeri adalah suatu rasa tidak nyaman dan menyebabkan
penderitaan. Penanganan nyeri tenggorokan pasca pemasangan ETT juga
perlu dilakukan untuk memberikan rasa nyaman dan menurunkan
penderitaan. Penatalaksanaan nyeri yang sering dilakukan bertujuan
meringankan atau mengurangi rasa nyeri sampai tingkat kenyamanan
yang dirasakan oleh klien. Penatalaksanaan nyeri sebagai berikut:
1) Farmakologi
Terapi farmakologi adalah program terapi yang diberikan
pada pasien secara medis. Terapi yang bisa diberikan untuk
penatalaksanaan nyeri tenggorokan pasca pemasangan ETT seperti
pemakaian anestesi lokal spray, anestesi lokal untuk pengisian cuff,
dan inhalasi steroid, penggunaan dexamethasone, penggunaan
bethamethasone, penggunaan lidokain, dan lain-lain.
2) Non Farmakologi
Terapi non farmakologi menurut Julia kneale (2011) sebagai
berikut:
a) Terapi berbasis suhu
(1) Panas berguna dalam meredakan nyeri artritik, nyeri
punggung, dan nyeri abdomen tetapi tidak dianjurkan sesaat
setelah cedera karena meningkatkan pembekakan. Panas
dapat diberikan menggunakan alat seperti botol, air panas,
pack gel, dan bantalan panas elektrik.
(2) Terapi dingin dapat mengurangi respon inflamasi beberapa
kondisi akut. Vasokonstriksi muncul akibat penurunan suhu,
penurunan respon inflamasi, dan pembatasan kerusakan lebih
lanjut, sehingga serabut beta A menginduksi modulasi nyeri.
b) Akupuntur
Pemasangan jarum halus pada titik tubuh tertentu
menikuti meridian energi yang telah dipetakan dan digunakan
dalam pengobatan cina. Akupuntur dapat menimbulkan nyeri
dan merangsang pelepasan endofrin, meningkatkan analgesi.
Semakin terasa dan mendapat kreadibilitas dalam pengobatan
barat sebagai terapi efektif.
c) Informasi
Pemberian informasi yang jelas dan benar dapat
mengurangi ansietas yang menjadi komponen penyebab nyeri
akut dan kronis. Pemberian informasi dapat merangsang pasien
untuk mengantisipasi nyeri dengan mengetahui sensasi atau
respon apa yang akan dirasakan terkait prosedur yang akan
dijalani.
d) Distraksi
Metode membawa pikiran pasien keluar dari nyeri yang
dirasakan. Fokus perhatian dialihkan kembali pada stimulus,
menghilangkan nyeri dari pikiran untuk dewasa. Pada pasien
anak biasa digunakan dengan bermain secara efektif untuk
mengalihkan perhatian dari rasa nyeri yang dirasakan. Salah
satu distraksi yaitu imajinasi terbimbing dengan bantuan
individu lain atau sering disebut guided imagery. Guided
imagery membuat pasien menggambarkan mental positif
dengan mengalihkan perhatian dari nyeri dan berfokus pada hal
yang menyenangkan. Dengan relaksasi membuat pasien dapat
melawan atau mengontrol nyeri yang dirasakan.
e) Pemberian aromaterapi
Aromaterapi berguna untuk mempengaruhi emosi
seseorang, menimbulkan efek relaksasi, dan membantu
meredakan gejala penyakit. Aroma terapi juga membawa
perasaan pasien menjadi lebih tenang dan rileks, sehingga
pasien dapat mengontrol nyerinya dengan lebih merasakan
aroma terapi yang diberikan.
b. Pengertian Guided Imagery
Merupakan pembentukan representasi mental dari suatu objek,
tempat, peristiwa, atau situasi yang dirasakan melalui indra. Individu
akan diajak berimajinasi untuk membayangkan, melihat, mendengar,
merasakan, mencium, atau menyentuh sesuatu yang menyenangkan
(Potter, 2010). Guided imagery merupakan teknik yang menggunakan
imajinasi seseorang untuk mencapai efek positif tertentu (Smeltzer,
2010).
Guided imagery merujuk pada berbagai teknik termasuk
visualisasi sederhana, saran menggunakan imajinasi langsung, metafora
dan bercerita, eksplorasi fantasi dan bermain “game”, penafsiran mimpi,
gambar, dan imajinasi aktif dimana unsur ketidaksadaran dihadirkan
sebagai gambaran yang dapat berkomunikasi dengan pikiran sadar
(Witjalaksono, 2013). Teknik ini dimulai dengan proses relaksasi pada
umumnya yaitu meminta individu untuk menarik nafas dalam lalu
perlahan menutup matanya dan fokus pada nafas mereka. Kemudian
didorong untuk merasakan relaksasi mengosongkan pikiran dan mengisi
pikiran mereka dengan bayangan yang positif, membuat damai, dan
tenang (Rahmayanti, 2010).
Dari berbagai pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa guided
imagery merupakan teknik distraksi untuk menuntun individu
membayangkan, merasakan sensasi yang dilihat, dirasakan, didengar,
dicium, dan disentuh dengan kondisi yang tenang dan santai sesuai
dengan pengalaman yang menyenangkan. Bertujuan mengalihkan fokus
individu menuju rasa yang menyenangkan dan dapat mengaalihkan rasa
nyeri yang dirasakan dengan bimbingan individu lain.
c. Manfaat Guided Imagery
Manfaat guided imagery pada umumnya sama dengan manfaat
relaksasi. Para ahli bidang guided imagery berpendapat bahwa imajinasi
merupakan penyembuh yang efektif untuk mengurangi rasa nyeri,
kecemasan, mempercepat penyembuhan dan membantu tubuh
mengurangi berbagai macam penyakit. Telah menjadi terapi standar
untuk mengurangi stress, nyeri kronis, tindakan prosedur yang
menimbulkan nyeri, susah tidur, kecemasan, mencegah reaksi alergi,
mengurangi level gula darah (diabetes), dan menurunkan tekanan darah
(Potter, 2010).
d. Tujuan Guided Imagery
Tujuan dari menerapkan guided imagery ialah (Mehme, 2010):
1) Memelihara kesehatan atau mencapai keadaan rileks melalui
komunikasi dalam tubuh melibatkan semua indra (visual, sentuhan,
penciuman, penglihatan, dan pendengaran) sehingga terbentuklah
keseimbangan antara pikiran, tubuh, dan jiwa.
2) Mempercepat penyembuhan yang efektif dan membantu tubuh
mengurangi berbagai macam penyakit seperti nyeri, depresi, alergi
dan asma.
3) Mengurangi tingkat stres, penyebab, dan gejala-gejala yang
menyertai stres.
4) Menggali pengalaman pasien depresi.
e. Fisiologi Guided Imagery
Memberikan efek rileks dengan menurunkan ketegangan otot
sehingga nyeri akan berkurang dan membuat pasien rileks secara ilmiah
akan memicu pengeluaran hormone endorphin. Hormon ini merupakan
zat analgesik alami yang diproduksi oleh tubuh tiap individu yang
terdapat pada otak, spinal, dan traktus gastrointestinal (Witjalaksono,
2013).
f. Teknik Guided Imagery
Teknik pelaksanaan guided imagery perlu adanya modifikasi
sesuai dengan tahap perkembangan, kognitif, dan pilihan pasien. 5-10
menit merupakan waktu yang efektif untuk pelaksanaan guided imagery
(Witjalaksono, 2013). Pada penelitian yang dilakukan Oktasari (2018)
pada penerapan aromaterapi bitter orange essential oil dan guided
imagery untuk mengurangi nyeri tusukan jarum spinal anestesi dalam
pelaksanaannya menggunakan waktu 10 menit.
Menurut Grocke&Moe (2015) teknik guided imagery sebagai
berikut:
1) Bina hubungan saling percaya.
2) Jelaskan prosedur, tujuan, posisi, waktu dan peran perawat sebagai
pembimbing
3) Anjurkan klien mencari posisi yang nyaman menurut klien.
4) Duduk dengan klien tetapi tidak mengganggu.
5) Lakukan pembimbingan dengan baik terhadap klien.
a) Minta klien untuk memikirkan hal-hal yang menyenangkan atau
pengalaman yang membantu penggunaan semua indra dengan
suara yang lembut.
b) Ketika klien rileks, klien berfokus pada bayangan dan saat itu
perawat tidak perlu bicara lagi.
c) Jika klien menunjukkan tanda-tanda agitasi, gelisah, atau tidak
nyaman perawat harus menghentikan latihan dan memulainya
lagi ketika klien telah siap.
d) Relaksasi akan mengenai seluruh tubuh. Setelah 15 menit klien
dan daerah ini akan digantikan dengan relaksasi. Biasanya klien
rileks setelah menutup mata atau mendengarkan musik yang
lembut sebagai background yang membantu.
e) Catat hal-hal yang digambarkan klien dalam pikiran untuk
digunakan pada latihan selanjutnya dengan menggunakan
informasi spesifik yang diberikan klien dan tidak membuat
perubahan pernyataan klien.
Sedangkan menurut Witjalaksono (2013), teknik guided imagery
secara umum sebagai berikut:
1) Membuat individu dalam keadaan santai yaitu dengan cara:
a) Mengatur posisi yang nyaman (duduk atau berbaring).
b) Silangkan kaki, tutup mata atau fokus pada suatu titik atau suatu
benda di dalam ruangan.
c) Fokus pada pernapasan otot perut, menarik napas dalam dan
pelan, napas berikutnya biarkan sedikit lebih dalam dan lama
dan tetap fokus pada pernapasan dan tetapkan pikiran bahwa
tubuh semakin santai dan lebih santai.
d) Rasakan tubuh menjadi lebih berat dan hangat dari ujung kepala
sampai ujung kaki.
e) Jika pikiran tidak fokus, ulangi kembali pernapasan dalam dan
pelan.
2) Sugesti khusus untuk imajinasi yaitu:
a) Pikirkan bahwa seolah-olah pergi ke suatu tempat yang
menyenangkan dan merasa senang ditempat tersebut.
b) Sebutkan apa yang bisa dilihat, dengar, cium, dan apa yang
dirasakan.
c) Ambil napas panjang beberapa kali dan nikmati berada ditempat
tersebut.
d) Sekarang, bayangkan diri anda seperti yang anda inginkan
(uraikan sesuai tujuan yang akan dicapai/diinginkan).
3) Beri kesimpulan dan perkuat hasil praktek yaitu:
a) Mengingat bahwa anda dapat kembali ke tempat ini, perasaan
ini, cara ini kapan saja anda menginginkan.
b) Anda bisa seperti ini lagi dengan berfokus pada pernapasan
anda, santai, dan membayangkan diri anda berada pada tempat
yang anda senangi.
4) Kembali ke keadaan semula yaitu:
a) Ketika anda telah siap kembali ke ruang dimana anda berada.
b) Anda merasa segar dan siap untuk melanjutkan kegiatan anda.
c) Anda dapat membuka mata anda dan ceritakan pengalaman
anda ketika anda telah siap.
3. General Anestesi
a. Pengertian
Tindakan anestesi meliputi tiga komponen yaitu hipnotik (tidak
sadarkan diri = mati ingatan), analgesi (bebas nyeri = mati rasa), dan
relaksasi otor rangka (mati gerak), yang popular disebut “Trias
Anestesi”. General anestesi adalah keadaan tidak sadar sementara yang
diikuti hilangnya rasa nyeri diseluruh tubuh akibat dari pemberian
anestesi (Mangku & Senapathi, 2010).
General anesthesia atau anestesi umum merupakan suatu
tindakan bertujuan menghilangkan nyeri, membuat tidak sadar dan
menyebabkan amnesia yang bersifat reversible dan dapat diprediksi,
anestesi umum menyebabkan hilangnya ingatan saat dilakukan
pembiusan dan operasi sehingga saat pasien sadar pasien tidak mengingat
peristiwa pembedahan yang dilakukan (Pramono, 2016).
Menurut pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa general
anestesi merupakan salah satu cara untuk menghilangkan rasa nyeri,
tidak sadar sementara, dan mati gerak sementara pada seluruh tubuh
karena obat anestesi. Tujuan anestesi untuk membantu proses
berlangsungnya operasi yang aman dan memberi rasa nyaman pada
pasien.
Mangku & Senapathi (2010) membagi general anestesi dibagi
menjadi beberapa teknik antara lain:
1) General Anestesi Intravena
TIVA (Total Intravena) merupakan salah satu dari teknik
general anestesi yang dilakukan dengan menyuntikkan obat anestesi
parenteral langsung kedalam pembuluh darah vena. Obat induksi
bolus disuntikkan dengan kecepatan 30-60 detik. Selama proses
induksi anestesi, keadaan hemodinamik harus selalu dimonitor dan
selalu diberikan terapi oksigen.
2) General Anestesi Inhalasi
Teknik inhalasi adalah cara pemberian obat anestesi dengan
menggunakan kombinasi obat anestesi inhalasi berupa gas atau
cairan yang mudah menguap. Proses ini menggunakan bantuan alat
atau mesin anestesi langsung masuk kedalam bersama dengan
inspirasi.
Beberapa teknik general inhalasi menurut Mangku &
Senapathi (2010) antara lain:
a) Inhalasi Sungkup Muka
Pada inhalasi spontan komponen trias anestesi
dipenuhi adalah hipnotik, analgetik, dan relaksasi otot ringan.
Diberikan pada operasi kecil sampai dengan sedang, dilakukan
pada permukaan tubuh, berlangsung secara singkat dengan
posisi terlentang.
b) Inhalasi Sungkup Laryngeal Mask Airway (LMA)
Secara inhalasi dengan nafas spontan, teknik inhalasi
menggunakan alat bantu nafas berbentuk seperti sendok yang
ditempatkan di hipofaring berupa balon pada tepinya. Balon
dikembangkan membuat daerah sekitar laring tersekat
sehingga memudahkan ventilasi spontan maupun ventilasi
tekanan positif tanpa penetrasi kedalam laring atau esophagus.
Dilakukan pada operasi daerah kepala-leher dengan posisi
terlentang dengan waktu singkat dan memerlukan relaksasi
otot maksimal.
c) Inhalasi Endotracheal Tube (ETT) nafas spontan
Secara inhalasi dengan nafas spontan, teknik inhalasi
menggunakan alat bantu nafas berbentuk pipa dengan cuff
(balon) dengan bantuan laringoskop dan pelumpuh otot ringan.
Teknik ini digunakan pada operasi kepala-leher dengan posisi
terlentang dan berlangsung singkat.
d) Inhalasi Endotracheal Tube (ETT) Nafas Kendali
Teknik inhalasi menggunakan alat bantu nafas
berbentuk pipa dengan cuff (balon) dengan bantuan
laringoskop dan pelumpuh otot non depolarisasi yang
selanjutnya dilakukan nafas kendali. Teknik ini digunakan
pada operasi yang berlangsung >1 jam (kraniotomi,
torakotomi, laparatomi, operasi dengan posisi lateral dan
pronasi).
3) Anestesi Imbang
Teknik anestesi dengan menggabungkan kombinasi obat,
baik obat anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi. Teknik
ini juga merupakan kombinasi teknik general anestesi dengan
anestesi regional, untuk mencapai trias anestesi secara optimal dan
berimbang.
b. Fase Anestesi
Menurut Mangku & Senapathi (2010), ada 3 fase anestesi
meliputi:
1) Fase pre anestesi
Pada tahap pre anestesi, perawat akan menyiapkan hal-hal
yang dibutuhkan selama operasi. Contoh: pre operasi visit,
persiapan pasien, pasien mencukur area yang akan dilakukan
operasi, persiapan catatan rekam medik, persiapan obat premedikasi
yang harus diberikan kepada pasien.
2) Fase intra anestesi
Pada fase intra anestesi, perawat anestesi akan melakukan
monitoring keadaan pasien. Perawat anestesi akan memantau
hemodinamik dan keadaan klinis pasien yang menjalani operasi.
3) Fase pasca anestesi
Pada tahap ini, perawat anestesi membantu pasien dalam
menangani respon-respon yang muncul setelah tindakan anestesi.
Respon tersebut berupa nyeri, mual muntah, hipotermi bahkan
sampai menggigil.
c. Keuntungan dan Kerugian General Anestesi
Menurut Press (2013), seorang anestesi bertanggung jawab
menilai semua faktor yang mempengaruhi kondisi medis pasien dan
memilih teknik anestesi yang optimal sesuai atribut general anestesi,
meliputi:
1) Keuntungan
a) Mengurangi kesadaran dan ingatan intra operatif pasien.
b) Memungkinkan relaksasi otot yang diperlukan untuk jangka
waktu yang lama.
c) Memfasilitasi kontrol penuh terhadap jalan nafas, pernafasan
dan sirkulasi.
d) Dapat digunakan dalam kasus-kasus kepekaan terhadap agen
anestesi lokal.
e) Dapat diberikan tanpa memindahkan pasien dari posisi
terlentang.
f) Dapat disesuaikan dengan mudah dengan durasi prosedur yang
tak terduga.
g) Dapat diberikan dengan cepat dan bersifat reversible.
2) Kekurangan
a) Membutuhkan peningkatan kompleksitas perawatan dan biaya
terkait.
b) Membutuhkan beberapa derajat persiapan pasien sebelum
operasi.
c) Dapat menyebabkan fluktuasi fisiologis yang memerlukan
intervensi aktif.
d) Terkait dengan komplikasi yang kurang serius seperti mual,
muntah, sakit tenggorokan, sakit kepala, mengigil (hipotermi),
nyeri tenggorokan, dan tertunda kembali ke fungsi mental yang
normal.
d. American Society of Anesthesiologist (ASA)
Setiap pasien yang akan menjalani prosedur operasi harus selalu
dinilai status fisiknya. Penilaian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi
fisik pasien sebelum dilakukannya pembedahan. Dengan mempersiapkan
segala kebutuhan dan kemungkinan kejadian yang memerlukan perhatian
khusus yang dinyatakan dalam status ASA (Pramono, 2016).
Status fisik pasies menurut American Society of Anethesiologist
(ASA) sebagai berikut:
Tabel 4. Status Fisik Pasien (ASA).
Kelas Status Fisik Contoh
I Pasien kondisi normal (sehat), tidak ada
gangguan organik fisiologis atau kejiwaan,
tidak termasuk kategori sangat muda dan
sangat tua, BMI <30, pasien tidak merokok
dan toleran terhadap aktifitas.
Pasien sehat
II Pasien dengan gangguan sistemik ringan.
Tidak terdapat keterbatasan fungsional,
memiliki penyakit yang terkendali dengan
baik dari satu sistem tubuh.
Hipertensi, riwayat asma,
diabetes mellitus terkontrol
III Pasien dengan kelainan sistemik berat namun
tidak mengancam jiwa dan terdapat beberapa
keterbatasan fungsional, memiliki penyakit
lebih dari satu sistem tubuh.
Gagal jantung kongestif
terkontrol, angina stabil,
hipertensi tidak terkontrol,
gagal ginjal kronik
IV Pasien dengan kelainan sistemik berat yang
mengancam jiwa. Pasien dengan penyakit
berat dan tidak terkontrol.
Angina tidak stabil, COPD
tidak terkontrol, gejala
CHF, infark miokard atau
stroke <3 bulan.
V Pasien dengan atau tapa operasi diperkiraan
akan meninggan dalam waktu 24 jam.
Ruptur aneurisma aorta
abdominalis, trauma masif,
dan perdarahan intrakranial
luas dengan efek massa.
VI Pasien mati otak yang organnya akan diambil
untuk transplantasi ke tubuh lain.
Sumber: American Society of Anesthesiologist (2014)
e. Endotracheal Tube (ETT)
Prosedur memasukkan pipa endotracheal kedalam trakea melalui
nasal atau oral dengan bantuan laringoskop. Pemasangan endotracheal
tube (ETT) merupakan salah satu cara untuk menjaga agar jalan nafas
selalu bebas dan lancar. ETT terbuat dari Polyvinyl Chlorida yang
berbentuk sesuai dengan jalan nafas dan bersifat radiopaq transparan
untuk mengetahui posisi ujung distal agar dapat dilihat sekresi atau aliran
udara. Semua ini dibuktikan dengan pengembunan uap air pada lumen
pipa (Pramono, 2016).
Sumber: Pramono (2016)
Gambar 5. Bagian-bagian endotracheal tube (ETT).
1) Tujuan intubasi endotracheal tube (ETT).
a) Mempertahankan jalan napas agar tetap paten dan lancar.
b) Mengendalikan oksigenasi dan ventilasi.
c) Mencegah terjadi aspirasi lambung pada keadaan tidak sadar,
tidak ada reflex batuk ataupun kondisi lambung penuh.
d) Sarana gas anestesi masuk menuju langsung ke trakea
2) Indikasi dan kontra indikasi pemasangan endotrakeal tube (ETT).
a) Indikasi menurut (Pramono, 2016):
(1) Pasien dengan kesulitan pertahanan saluran napas dan
kelancaran pernapasan.
(2) General anestesi pada operasi dengan napas terkontrol.
(3) Operasi dengan posisi supinasi, miring atau tengkurap.
(4) Operasi dengan durasi yang lebih dari 1 jam dan sulit untuk
mempertahankan kepatenan saluran napas.
b) Kontraindikasi menurut (Sutiyono, Villiyastuti & Susilowati,
2013):
(1) Fraktur tengkorak, fraktur tulang wajah, fraktur nasal dan
faring, terdapat perdarahan massif dan dicurigai ada kelainan
perdarahan.
(2) Ruda paksa tulang belakang yang tidak memungkinkan
pasien untuk bergerak.
(3) Trauma jalan napas berat atau obstruksi yang menyebabkan
pemasangan ETT menjadi tidak aman.
(4) Trauma servikal dan perlu imobilisasi komplit.
3) Persiapan Intubasi Endotracheal Tube (ETT) (Pramono, 2016).
a) Persiapan alat yang dibutuhkan untuk intubasi endotracheal tube
(ETT) yaitu STATICS. Scope (laringoskop, stetoskop), Tube
(Endotracheal Tube/ETT), Airway (Guedel atau Mayo), Tape
(Plester atau hypafix), Introducer (stilet), Connector, Suction
dan Spuit.
b) Pemberian dengan obat induksi (jika diperlukan).
c) Pemberian muscle relaxant atau pelumpuh otot.
d) Pemberian obat-obatan emergency (jika diperlukan).
4) Teknik Intubasi Endotracheal Tube (ETT).
a) Pastikan semua persiapan alat untuk intubasi sudah lengkap.
b) Berikan ventilasi O2 100% selama ± 2 menit atau sampai dengan
saturasi oksigen mencapai maksimal yaitu 100%.
c) Batang laringoskop dipegang menggunakan tangan kiri, lalu
tangan kanan mendorong kepala hingga ekstensi dan mulut
terbuka.
d) Masukkan bilah laringoskop mulai dari mulut sebelah kanan,
sedikit demi sedikit menyusuri lidah, dan menggeser lidah ke kiri
menuju epiglotis atau pangkal lidah.
e) Cari epiglottis, setelah terlihat kemudian tempatkan bilah
didepan epiglottis (pada bilah bengkok) atau angkat epiglottis
(pada bilah lurus).
f) Cari rima glottis, terkadang perlu bantuan asisten untuk
menekan trakea dari luar sehingga rima glottis terlihat.
g) Temukan pita suara yang berwarna putih dan daerah
disekitarnya yang berwarna merah.
h) Masukkan endotracheal tube (ETT) dengan tangan kanan
mengikuti permukaan curva blade laryngoscope. Masuk melalui
celah pita suara sampai ujung pipa dan cuff berada dibawah
laring dan diatas carina. Harus diperhatikan jangan mengangkat
gagang laringoskop, jangan mengungkit kea rah gigiatas karena
dapat menyebabkan gigi patah.
i) Cek posisi endotracheal tube (ETT) dengan cara mengauskultasi
dengan stetoskop. Cara ini untuk mengecek apakah kedua paru
mengembang secara maksimal dan pipa tidak masuk kedalam
salah satu bronkus.
j) Cuff dikembangkan untuk mencegah kebocoran serta
menghindari terjadinya aspirasi.
k) Hubungkan pangkan endotracheal tube (ETT) dengan mesin
anestesi atau dengan alat bantu napas kemudian difiksasi dengan
plestes atau hypafix.
5) Kesulitan Intubasi Endotracheal Tube (ETT).
Kesulitan intubasi dapat diprediksi kesulitannya dengan cara
melihat atau melakukan pengukuran klasifikasi mallampati. Cara
mengukur mallampati dengan meminta pasien untuk membuka
mulut dan posisi duduk. Klasifikasi mallampati (Pramono, 2016)
sebagai berikut:
a) Kelas I: Palatum mollae, fauces, uvula dan pilar terlihat jelas.
b) Kelas II: Palatum mollae, fauces, dan sebagian uvula terlihat.
c) Kelas III: Palatum mollae dan dasar uvula yang terlihat.
d) Kelas IV: Langit-langit yang terlihat.
Sumber: Pramono (2016).
Gambar 6. Klasifikasi Mallampati.
Klasifikasi mallampati pada kelas I dan kelas II merupakan
bentuk yang paling mudah untuk dilakukan tindakan intubasi
endotracheal tube (ETT) jika dibandingkan dengan kelas III dan
kelas IV. Sesuai dengan gambar anatomi mallampati diatas, kelas III
dan IV merupakan kelas yang paling sulit untuk dilakukan intubasi.
Selain tanda mallampati, kesulitan intubasi juga bisa dilihat dari:
a) Pasien obesitas dengan leher yang pendek.
b) Keterbatasan gerak leher.
c) Pengurangan gerak pada tyromental joint.
d) Jarak thyromental < 3 jari (<6,5 cm).
Kesulitan intubasi berdasarkan penampakan saat masuk
laringoskop ke dalam mulut dibagi menjadi beberapa kriteria sebgai
berikut:
a) Tingkat I: Glottis terlihat penuh, plica vocalis terlihat jelas.
b) Tingkat II: Glottis bagian depan tidak tampak, plica vocalis
terlihat sedikit.
c) Tingkat III: terlihat epiglottis, tetapi glottis tidak tampak.
d) Tingkat IV: epiglottis sama sekali tidak tampak.
Sumber: Pramono (2016).
Gambar 7. Penampakan dari laringoskop.
6) Komplikasi intubasi endotracheal tube (ETT).
Menurut Miller (2010), komplikasi yang sering terjadi pada
intubasi endotracheal tube (ETT) sebagai berikut:
a) Trauma jaringan lunak pada gigi dan mulut.
b) Aspirasi cairan lambung.
c) Spasme laring.
d) Edema laring.
e) Hipertensi sistemik dan takikardi.
f) Nyeri tenggorokan.
g) Barotrauma paru.
B. Kerangka Teori
Sumber: Mangku & Senapathi, 2010; Pramono, 2016; McHardi & Chung, 2008;
Perry & Potter, 2010.
Gambar 8. Kerangka Teori.
Faktor yang mempengaruhi nyeri
tenggorokan:
1) Usia.
2) Jenis kelamin.
3) Penyakit kronis.
4) Tekanan cuff ETT.
5) Lama intubasi.
6) Riwayat merokok.
7) Ketrampilan pelaku intubasi.
8) Ukuran pipa endotracheal.
Endotracheal
Tube (ETT)
General Anestesi
Intravena Inhalasi Imbang
Face Mask (FM) Laryngeal Mask
Airway (LMA)
Faktor Penyulit:
1) Pasien obesitas dengan leher pendek.
2) Keterbatasan gerak leher.
3) Pengurangan gerak pada tyromental
joint.
4) Jarak thyromental < 3 jari (<6,5 cm).
5) Klasifikasi mallampati.
Ekstubasi ETT
Tranduksi
Nyeri tenggorokan
Transmisi
Modulasi
Penatalaksanaan
nyeri
Farmakologi Non Farmakologi
Guided Imagery
Mengeluarkan hormone
endorphine
Menimbulkan efek analgesia
Penyebab:
1) Bernafas melalui mulut
2) Common Cold dan Influenza.
3) Pharingitis
4) Tonsilektomi dan adenoidectomy.
5) General anestesi, karena
penggunaan ETT atau LMA.
C. Kerangka Konsep
Keterangan:
Gambar 9. Kerangka Konsep.
D. Hipotesa
Ha: Ada pengaruh pemberian terapi guided imagery terhadap tingkat nyeri
tenggorokan pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general
anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten.
Ho: Tidak ada pengaruh pemberian terapi guided imagery terhadap tingkat
nyeri tenggorokan pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien
general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten.
Terapi Guided
Imagery Tingkat Nyeri Tenggorokan Pasca
Pemasangan Endotracheal Tube
(ETT)
Faktor yang mempengaruhi nyeri
tenggorokan:
1) Usia
2) Jenis kelamin
3) Penyakit kronis
4) Tekanan cuff ETT
5) Lama intubasi
6) Riwayat merokok
7) Ketrampilan pelaku intubasi
8) Ukuran pipa endotracheal
: Yang diteliti
: Tidak diteliti
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Desain Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode
quasy eksperimental. Rancangan ini berupaya untuk mengungkapkan
hubungan sebab akibat dengan cara melibatkan kelompok kontrol disamping
kelompok intervensi tetapi dalam proses pemilihan kedua kelompok ini tidak
menggunakan teknik acak. Rancangan ini biasanya menggunakan kelompok
subjek yang telah berbentuk secara wajar (teknik rumpun) sehingaa sejak awal
bisa saja kedua kelompok subjek telah memiliki karakteristik yang berbeda.
Apabila pada pasca-tes ternyata kedua kelompok tersebut berbeda, mungkin
perbedaannya bukan disebabkan pemberian intervensi, tetapi sejak awal
kelompok tersebut sudah berbeda (Nursalam, 2017).
Bentuk desain penelitian ini adalah rancangan prepost test dengan
kelompok kontrol (prepost test with control group design). Prepost test with
control group design merupakan gabungan dari pretest dan posttest group dan
static comparasion yaitu observasi yang dilakukan sebanyak 2 kali pada
sebelum dan sesudah eksperimen dan terdapat kelompok pembanding atau
kelompok kontrol yang tidak mendapatkan perlakuan (Arikunto, 2010).
Pada kelompok intervensi diberikan perlakuan berupa pemberian
guided imagery, sedangkan pada kelompok kontrol tidak diberikan guided
imagery. Rancangan penelitian ini terdapat kelompok pembanding yang
memungkinkan peneliti dapat menguji perubahan-perubahan yang terjadi
setelah ada eksperimen. Desain penelitian ini dapat digambarkan seperti
berikut menurut Dharma (2011):
Responden Pre test Intervensi Post test
Intervensi O1 X1 O2
Kontrol O3 X0 O4
Tabel 5. Rancangan Penelitian.
Keterangan:
O1 : Pre test (observasi) tingkat nyeri tenggorokan pasca pemasangan
endotracheal tube (ETT) sebelum diberikan guided imagery pada
kelompok intervensi.
O2 : Post test (observasi) tingkat nyeri tenggorokan pasca pemasangan
endotracheal tube (ETT) setelah diberikan guided imagery selama
10 menit pada kelompok intervensi.
X1 : Pemberian guided imagery selama 10 menit pada kelompok
intervensi.
X0 : Kelompok kontrol tanpa intervensi.
O3 : Pre test (observasi) tingkat nyeri tenggorokan pasca pemasangan
endotracheal tube (ETT) pada kelompok kontrol.
O4 : Post test (observasi) tingkat nyeri tenggorokan pasca pemasangan
endotracheal tube (ETT) pada kelompok kontrol.
B. Populasi dan Sampel
1. Populasi Penelitian
Populasi merupakan seluruh objek atau objek dengan karakteristik
dan kualitas tertentu yang diteliti. Bukan hanya objek atau subjek yang
dipelajari saja, tetapi seluruh karakteristik atau sifat yang dimiliki subjek
atau objek tersebut (Sugiyono, 2018). Populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh pasien yang menjalani general anestesi intubasi ETT di RSUP dr.
Soeradji Tirtonegoro Klaten berjumlah rata-rata 100 orang dalam satu
bulan.
2. Sampel
Sampel adalah bagian yang diambil dari keseluruhan objek yang
diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi yang diambil dengan cara
atau teknik tertentu (Notoadmojo, 2013). Pengambilan sampel dilakukan
secara consecutive sampling, yaitu setiap subyek yang datang dan
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi akan dimasukkan dalam penelitian
sampai jumlah subyek yang diperoleh terpenuhi (Nursalam, 2017). Peneliti
dalam penelitian ini mengambil responden sebagai sampel dengan beberapa
kriteria sebagai berikut:
a. Kriteria Inklusi
1) Bersedia menjadi responden.
2) Laki-laki atau perempuan dengan usia 17-55 tahun.
3) Pasien dilakukan general anestesi dengan intubasi endotracheal
tube (ETT)
4) Lama operasi 1-2 jam.
5) Pasien dengan status fisik ASA I dan II
6) Pasien kooperatif.
b. Kriteria Ekslusi
1) Pasien dengan operasi THT.
2) Pasien dengan operasi craniotomy.
3) Pasien dengan kelainan faring.
4) Pasien dengan pembedahan tiroid.
c. Besar Sampel
Menurut Lemeshow dalam (Romlah, dkk 2013), salah satu metode
yang digunakan untuk menentukan jumlah sampel adalah menggunakan
rumus sebagai berikut:
Keterangan:
n = perkiraan jumlah sampel
z𝛼 = nilai kesalahan 5%
z𝛽 = nilai kepercayaan 90%
P1 = proporsi kelompok 1
P2 = proporsi kelompok 2
Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 28
responden. Menggunakan confidence level 90% dengan tingkat
kesalahan yang digunakan 5% maka besar sampel adalah:
Diketahui:
z𝛼 = 5%
z𝛽 = 0,90
P1 = 0,50
P2 = 0,89
Dari perhitungan tersebut diatas, didapatkan jumlah sampel sebesar
28 responden. Menurut Nursalam (2017), untuk mengantisipasi data
kurang valid (drop out), maka jumlah sampel ditambah 10% sehingga
besar sampel yang diperlukan sejumlah 31 responden.
Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 62
responden yang termasuk dalam kelompok intervensi dan kelompok
kontrol.
C. Waktu dan Tempat
1. Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan tanggal 15 Desember 2019 – 15
Maret 2020.
2. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Bangsal Perawatan RSUP dr. Soeradji
Tirtonegoro Klaten.
D. Variabel Penelitian
Variabel merupakan segala bentuk apapun yang ditetapkan oleh
peneliti untuk dipelajari dan diperoleh informasi tentang hal tersebut,
kemudian ditarik kesimpulan dari hal tersebut. Variabel dapat diartikan sebagai
sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat, atau ukuran yang dimiliki atau
didapatkan oleh satuan penelitian tentang suatu konsep tertentu (Notoatmodjo,
2013).
1. Variabel Bebas (independent variable)
Independent variable merupakan variabel yang menjadi sebab
perubahan atau timbulnya dependent variable (terikat). Variabel bebas
berarti bebas dalam mempengaruhi variabel lain (Hidayat, 2011). Variabel
bebas pada penelitian ini adalah pemberian guided imagery.
2. Variabel terikat (dependent variable)
Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau menjadi
akibat dari variabel bebas (Hidayat, 2011). Variabel terikat pada penelitian
ini adalah nyeri tenggorokan pasca pemasangan endotracheal tube (ETT).
3. Variabel Pengganggu
Variabel pengganggu (confounding variabel) merupakan suatu
variabel yang nilainya ikut menentukan variabel lain baik secara langsung
maupun tidak langsung. Variabel ini ada apabila terdapat faktor atau
variabel ketiga pengganggu yang berkaitan dengan faktor risiko atau faktor
akibat outcome. Variabel pengganggu dalam penelitian ini antara lain:
a. Usia
b. Jenis kelamin
c. Penyakit kronis
d. Tekanan cuff ETT
e. Lama intubasi
f. Riwayat merokok
g. Ketrampilan pelaku intubasi
h. Ukuran pipa ETT
E. Definisi Operasional Variabel Penelitian
No Variabel Definisi Operasional Alat ukur Hasil ukur Skala
1 Pemberian
Guided
Imagery
Teknik relaksasi dengan
memberikan sugesti
secara terbimbing dalam
membayangkan
lingkungan pegunungan
yang sejuk dengan
menggunakan MP3.
Dilakukan selama 10
menit setelah dilakukan
pretest pengukuran skala
nyeri pada 24 jam pasca
operasi di ruang
perawatan.
Lembar
observasi
1: Diberikan
guided imagery
2: tidak
diberikan
guided imagery
Nominal
2 Nyeri
tenggorokan
pasca
intubasi
ETT
Perasaan tidak nyaman
nyeri di tenggorokan
karena pemasangan pipa
trakea yang dirasakan
oleh pasien. Diukur 24
jam setelah operasi
Diukur sebanyak dua kali
yaitu sebelum diberikan
intervensi dan sesudah
diberikan intervensi
guided imagery.
Lembar
observasi
checklist
skala nyeri
POST
(Post
Operative
Sore
Throat)
0: Tidak nyeri
1: Nyeri ringan
(nyeri
tenggorokan
saat bicara)
2: Nyeri sedang
(keluhan nyeri
dirasakan
pasien saat
diam).
3: Nyeri berat
(perubahan
suara, serak
berkaitan
Ordinal
dengan nyeri
tenggorokan)
Tabel 6. Definisi Operasional.
F. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data
1. Jenis Data
Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Data primer
didapatkan langsung dari responden berupa penilaian tingkat nyeri
tenggorokan. Data sekunder diperoleh dari hasil studi dokumen untuk
mendapatkan data demografi responden.
2. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data pada penelitian ini yaitu menggunakan cara
wawancara, studi dokumen, dan observasi langsung pada responden yang
dipilih sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi. Responden diminta untuk
memandatangani surat persetujuan menjadi responden. Pengambilan data
kejadian nyeri tenggorokan tenggorokan dilakukan 24 jam setelah operasi
selesai di ruang perawatan menggunakan skala POST (Post Operative Sore
Throat).
G. Instrumen dan Bahan Penelitian
Instrumen pengumpulan data adalah alat bantu yang dipilih dan
digunakan oleh peneliti dalam kegiatannya mengumpulkan data agar kegiatan
tersebut menjadi sistematis dan dipermudah olehnya (Notoatmodjo, 2013).
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar pengukuran
nyeri Post Operative Sore Throat (POST), Standar Operasional Prosedur
(SOP) pemberian guided imagery, MP3 yang berisi langkah-langkah guided
imagery, stopwatch atau jam untuk mengukur waktu pemberian guided
imagery.
H. Prosedur Penelitian/Jalannya Penelitian
1. Tahap Persiapan
a. Melakukan bimbingan penyusunan proposal penelitian kepada
pembimbing I dan pembimbing II.
b. Pengumpulan data, artikel, dan jurnal sebagai keaslian penelitian dan
referensi untuk penyusunan proposal penelitian.
c. Mengajukan judul penelitian, penelusuran pustaka, dan izin studi
pendahuluan kepada Ketua Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes
Yogyakarta.
d. Melakukan perizinan untuk melaksanakan studi pendahuluan di RSUP dr.
Soeradji Tirtonegoro Klaten.
e. Melakukan studi ke bagian Pendidikan dan Latihan RSUP dr. Soeradji
Tirtonegoro Klaten.
f. Menyusun proposal skripsi dengan bimbingan pembimbing I dan
pembimbing II.
g. Melaksanakan seminar proposal penelitian.
h. Melakukan perbaikan proposal penelitian.
i. Mengurus perizinan dan ethical clearance ke Komisi Etik Poltekkes
Kemenkes Yogyakarta.
j. Mengurus perizinan penelitian ke Bagian Pendidikan dan Latihan RSUP
dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten.
k. Menentukan asisten penelitian atau enumerator sejumlah 2 orang di
Bangsal Bedah RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten.
l. Melakukan penyamaan persepsi dengan asisten peneliti agar data yang
didapatkan sesuai dengan keinginan peneliti.
2. Tahap Pelaksanaan
a. Pelaksanaan penelitian dilaksanakan di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro
Klaten pada bulan Desember 2019 – Maret 2020.
b. Penelitian melakukan koordinasi dengan kepala ruang IBS RSUP dr.
Soeradji Tirtonegoro Klaten.
c. Peneliti atau asisten peneliti menentukan responden yang sesuai dengan
kriteria inklusi dengan melihat rekam medis.
d. Peneliti atau asisten peneliti memilih pasien post operasi dengan
general anestesi dengan teknik intubasi ETT sejumlah 62 responden.
31 responden menjadi kelompok intervensi yang akan dilakukan
intervensi dengan guided imagery oleh asisten peneliti A dan 31
responden menjadi kelompok kontrol oleh asisten peneliti B.
a. Memperkenalkan diri terlebih dahulu, peneliti atau asisten peneliti
melakukan Penjelasan Sebelum Persetujuan (PSP) dengan
menyampaikan penjelasan mengenai tujuan, manfaat, prosedur
pelaksanaan penelitian sebelum penandatanganan informed consent
sebagai responden.
e. Peneliti atau asisten peneliti melakukan pengkajian tingkat nyeri
tenggorokan pasca pemasangan ETT pada pasien post general anestesi
dengan instrumen POST (Post Operative Sore Throat) sebagai data pre
test pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol.
f. Setelah menentukan tingkat nyeri yang dialami pasien, pasien yang
mengalami nyeri pada kelompok intervensi diberikan guided imagery
setelah operasi di bangsal bedah RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten
sedangkan pada kelompok kontrol tidak diberikan guided imagery.
g. Setelah pasien diberi guided imagery, peneliti atau asisten peneliti
mengukur tingkat nyeri tenggorokan dengan POST (Post Operative
Sore Throat) untuk mengetahui tingkat nyeri yang dialami pasien pada
kelompok intervensi pada post operasi dengan general anestesi
menggunakan teknik intubasi ETT di bangsal bedah RSUP dr. Soeradji
Tirtonegoro Klaten dan untuk kelompok kontrol yang tidak diberikan
guided imagery akan diukur juga tingkat nyeri nya menggunakan POST
(Post Operative Sore Throat). Kemudian peneliti menentukan tingkat
nyeri yang dialami pasien pada kelompok intervensi dan kontrol
berdasarkan jawaban yang diberikan pasien saat diukur dengan POST,
data tersebut digunakan peneliti sebagai data post test.
h. Peneliti mengumpulkan data hasil pengukuran yang didapatkan
kemudian melanjutkan ke tahap pengolahan data.
3. Tahap Laporan
a. Merekap data dari lembar obervasi, data diolah dan dianalisis.
P = F/n x 100%
b. Menyusun laporan penelitian.
c. Mengkonsultasikan dengan kedua pembimbing.
d. Melaksanakan ujian skripsi.
e. Mengerjakan revisi laporan akhir.
I. Manajemen Data
1. Analisa Data
Metode analisa data dilakukan dengan tujuan agar data hasil penelitian yang
masih berupa data kasar lebih mudah dibaca. Metode analisa yang
digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Analisa Univariat
Analisa univariat bertujuan menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristik setiap variabel penelitian. Pada umumnya dalam analisis
ini hanya menghasilkan distribusi frekuensi dan proporsinya dilakukan
untuk mengetahui waktu distribusi frekuensi karakteristik responden
meliputi usia, jenis kelamin, riwayat merokok, status fisik ASA, lama
operasi, skala nyeri dengan menggunakan rumus (Notoatmodjo, 2013):
Keterangan:
P : Proporsi/jumlah presentase
F : Jumlah responden setiap kategori
n : Jumlah sampel
b. Analisa Bivariat
Analisis bivariat yaitu analisa data yang menganalisis dua
variabel. Analisis ini digunakan untuk mengetahui hubungan dan
pengaruh antar variabel satu dengan variabel lainnya. Analisis bivariat
yaitu analisis data untuk mengetahui pengaruh pemberian Guided
Imagery terhadap tingkat nyeri tenggorokan pasca pemasangan ETT di
RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten. Analisis bivariat yang
digunakan untuk menghasilkan hubungan antara dua variabel yang
bersangkutan, yaitu variabel independen dan variabel dependen
(Notoatmodjo, 2013).
Sebelum dilakukan analisis dilakukan uji normalitas data untuk
mengetahui data tersebut berdistribusi normal atau tidak mengguna
menggunakan uji shapiro-wilk dikarenakan sampel data kurang dari 50
sampel (n < 50). Apabila data berdistribusi normal (parametrik) maka
peneliti menggunakan uji paired t-test, tetapi sebaliknya jika data
berdistribusi tidak normal (non parametrik) maka peneliti menggunakan
uji wilcoxon untuk mengetahui perbedaan nilai pre dan post pada
kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Kemudian membandingkan
perbedaan tingkat kecemasan pada kelompok intervensi dan kelompok
kontrol dengan menggunakan uji independent t-test jika data
berdistribusi normal, tetapi sebaliknya jika data tidak berdistribusi
normal menggunakan uji mann whitney. Apabila p < 0,05 maka
hipotesis diterima.
2. Pengolahan data
Pengolahan data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
program komputer dengan langkah-langkah menurut Arikunto (2010)
sebagai berikut:
a. Editing
Tahap ini merupakan tahap kegiatan penyutingan data yang telah
terkumpul, yaitu dengan cara memeriksa kembali kelengkapan data.
b. Coding
Kegiatan memberi kode. Peneliti memberi tanda atau kode pada data
untuk memudahkan klasifikasi atau pengelompokan dalam analisis
data.
c. Entry
Memindahkan atau memasukan data dari data yang diperoleh dari
lembar observasi (checklist) ke dalam komputer untuk diproses.
Analisis data menggunakan koputerisasi.
d. Cleaning
Memeriksa kembali data yang telah masuk dalam komputer, apakah ada
kesalahan-kesalahan yang terjadi didalamnya. Pemeriksaan tetap
diperlukan dan harus dilakukan meskipun dalam memasukan data telah
menggunakan atau memperhatikan kaidah-kaidah yang benar.
e. Tabulating
Tabulating dilakukan ketika masing-masing data sudah diberi kode,
kemudian untuk memudahkan dalam pengolahannya, dibuat tabel-tabel
sesuai tujuan penelitian.
J. Etika Penelitian
Pada penelitian ilmu keperawatan, karena hampir 90% subyek yang
dipergunakan adalah manusia, maka peneliti harus memahami prinsip-prinsip
etika penelitian. Secara umum prinsip etika dalam penelitian/pengumpulan
data dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu prinsip manfaat, pinsip
menghargai hak-hak subyek, dan prinsip keadilan.
a. Prinsip manfaat
1) Bebas dari penderitaan
Penelitian guided imagery tidak membahayakan atau merugikan
responden. Responden hanya diminta untuk mengisi mengikuti
instruksi peneliti untuk mengurangi nyeri tenggorokan pasca
pemasangan ETT.
2) Bebas dari eksploitasi
Responden harus dihindarkan dari keadaan yang tidak menguntungkan.
Responden harus mengetahui bahwa saat responden memberikan
informasi tidak akan merugikan responden.
3) Risiko (benefits ratio)
Peneliti mempertimbangkan risiko dan keuntungan saat memberikan
guided imagery kepada responden.
b. Prinsip menghargai hak asasi manusia (respect human dignity)
1) Hak untuk ikut/tidak menjadi responden (respect to self determination)
Memperlakukan responden secara baik dan manusiawi. Responden
mempunyai hak untuk menerima atau menolak guided imagery yang
akan diberikan, tanpa adanya sangsi apapun atau akan berakibat
terhadap kesembuhannya.
2) Hak untuk mendapatkan jaminan dari perlakuan yang diberikan (right
to full disclosure)
Peneliti memberikan penjelasan kepada responden secara rinci
mengenai guided imagery serta bertanggung jawab atas tindakan yang
akan dilakukan untuk mengantisipasi adanya sesuatu yang tidak di
inginkan.
3) Informed consent
Peneliti memberikan lembar persetujuan kepada responden agar
responden mengetahui maksud dan tujuan guided imagery. Jika
responden bersedia untuk menjadi sampel penelitian maka responden
diminta untuk menandatangani lembar persetujuan tersebut, namun jika
responden tidak bersedia maka peneliti harus menghormati hak
responden.
4) Prinsip keadilan (right to justice)
a) Hak untuk mendapatkan keadilan (justice)
Keadilan dilakukan oleh peneliti dengan cara memberikan
perlakuan yang adil meliputi seleksi subjek yang tidak diskriminatif,
subjek berkah mendapat penjelasan jika diperlukan. Dalam
penelitian ini kelompok kontrol yang tidak mendapatkan perlakuan
guided imagery dan mendapatkannya setelah proses post test
dilakukan. Hal ini dilakukan untuk tetap menjaga etika keadilan
untuk sesama responden.
b) Hak dijaga kerahasiaannya (right to privacy)
Didalam lembar observasi nama sebagai identitas pasien hanya
dituliskan dengan inisial tidak dituliskan secara lengkap serta
menuliskan kode pada lembar pengumulan data atau hasil penelitian
yang akan diujikan.