pengaruh pemberian terapi guided imagery ......pasca pemasangan endotracheal tube (ett) pada pasien...

54
PROPOSAL SKRIPSI PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY TERHADAP TINGKAT NYERI TENGGOROKAN PASCA PEMASANGAN ENDOTRACHEAL TUBE (ETT) PADA PASIEN GENERAL ANESTESI di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Terapan Keperawatan Disusun oleh: RAHMAWAN AJI SETO NIM: P07120216079 PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN JURUSAN KEPERAWATAN POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN YOGYAKARTA TAHUN 2019

Upload: others

Post on 20-Jul-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

PROPOSAL SKRIPSI

PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY

TERHADAP TINGKAT NYERI TENGGOROKAN

PASCA PEMASANGAN ENDOTRACHEAL TUBE (ETT)

PADA PASIEN GENERAL ANESTESI

di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Terapan Keperawatan

Disusun oleh:

RAHMAWAN AJI SETO

NIM: P07120216079

PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN

JURUSAN KEPERAWATAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN

YOGYAKARTA

TAHUN 2019

Page 2: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anestesi adalah suatu tindakan menghilangkan rasa sakit atau nyeri saat

dilakukan tindakan invasif atau pembedahan serta prosedur lain yang menimbulkan rasa

sakit pada tubuh (Amarta, 2012). Ada dua jenis pemberian anestesi pada pasien yang

akan menjalani pembedahan yaitu dengan anestesi umum (general anestesi) dan

anestesi pada sebagian tubuh tertentu (regional anestesi). Setiap jenis pemberian obat

anestesi pada pasien, terdapat komplikasi yang dimiliki sendiri-sendiri (Benumof,

2019).

General anestesi adalah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi

terhadap semua sensasi akibat induksi obat (Munaf, 2009). General anestesi sering

disebut juga narkose atau bius yang bertujuan menghilangkan nyeri, membuat tidak

sadar, dan menyebabkan amnesia reversible dan bisa diprediksi (Pramono, 2016). Pada

metode general anestesi dibagi menjadi 3, yaitu general anestesi inhalasi, general

anestesi intravena, dan general anestesi imbang. Pada general anestesi inhalasi

menggunakan beberapa teknik yaitu sungkup muka (Face Mask), Laringeal Mask

Airway (LMA), dan intubasi Endotracheal Tube (ETT).

Intubasi endotracheal adalah prosedur memasukkan pipa endotracheal (ETT:

endotracheal tube) kedalam trakea melalui mulut atau nasal yang dibantu dengan alat

bernama laringoskop yang bertujuan untuk bebasnya jalan nafas, sebagai sarana untuk

menyediakan oksigen ke paru-paru, dan sebagai saluran untuk obat-obatan anestesi

yang mudah menguap (Pramono, 2016). Keefektifan intubasi endotracheal tube (ETT)

dapat dilihat dari kemudahan laringoskopi (relaksasi rahang dan tahanan blade terhadap

laringoskop), pita suara (posisi dan pergerakan pita suara), respon intubasi (gerakan

Page 3: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

ekstremitas dan respon batuk yang ditimbulkan) (Ramadhani, 2008). Namun tindakan

intubasi endotracheal tube (ETT) seringkali menyebabkan trauma pada mukosa saluran

nafas atas, bermanifestasi terhadap gejala-gejala yang muncul pasca operasi. Beberapa

gejala yang dikeluhkan pasien pasca operasi antara lain nyeri tenggorokan (sore throat),

batuk (cough), dan suara serak (hoarseness) (Sulistyono, 2010).

Kejadian nyeri tenggorokan akibat dari intubasi endotracheal tube (ETT)

meningkat setiap tahun mencapai 50%, yang sampai saat ini belum dapat dicegah

sepenuhnya. Kejadian nyeri tenggorokan lebih sering terjadi pada wanita (17%)

dibandingkan pria (9%). Nyeri tenggorokan merupakan komplikasi anestesi dalam

kategori ringan dan akan pulih dalam waktu 72 jam, namun dapat berkontribusi terhadap

angka morbiditas pasca operasi dan tingkat kepuasan pasien. Selain itu, nyeri

tenggorokan juga menjadi salah satu keluhan pasien pasca operasi (Satriyanto, 2014).

Penelitian tentang hubungan penggunaan endotracheal tube (ETT) dengan

kejadian nyeri tenggorokan pada pasien pasca general anestesi yang dilakukan di RS

PKU Muhammadiyah Yogyakarta pada 60 responden (37 orang (61,7 %) menggunakan

endotracheal tube (ETT), 23 orang (38, 3%) tidak menggunakan endotracheal tube

(ETT). Hasilnya yaitu adanya hubungan intubasi endotracheal tube (ETT) dengan nyeri

tenggorokan. Kejadian nyeri tenggorokan dengan penggunaan endotracheal tube (ETT)

sebanyak 46 orang(76,7%) dengan hasil uji Chi Square diketahui nilai p value adalah

0.009 (p<0.05) (Saputri, 2017).

Nyeri adalah suatu rasa yang tidak nyaman, berdampak pada keadaan pasien

yang mempengaruhi status hemodinamik. Pada dasarnya terdapat berbagai teknik untuk

mengurangi nyeri baik secara farmakologi dan non farmakologi. Farmakologi dengan

pemberian obat seperti non-narkotik dan anti inflamasi non steroid, analgesik narkotik

atau opioid, dan obat tambahan atau adjuvant. Terapi non-farmakologi untuk

Page 4: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

mengurangi nyeri antara lain massage, distraksi, terapi music, guided imagery, guided

imagery musik (GIM), terapi musik Mozart (klasik), kompres hangat, kompres dingin,

relaksasi nafas dalam, akupresur, dan terapi rohani (Potter & Perry, 2017)

Upaya lain untuk mengurangi nyeri tenggorokan pasca pemasangan

endotracheal tube (ETT) adalah guided imagery. Guided imagery adalah metode

relaksasi untuk mengkhayal tempat dan kejadian berhubungan dengan rasa relaksasi

yang menyenangkan. Khayalan tersebut memungkinkan klien memasuki keadaan atau

pengalaman relaksasi. Guided imagery mempunyai elemen yang secara umum sama

dengan relaksasi, yaitu sama-sama membawa klien ke relaksasi. Pada guided imagery

menekankan bahwa klien membayangkan hal-hal nyaman dan menenangkan dan tidak

dapat memusatkan perhatian pada banyak hal dalam satu waktu, oleh karena itu klien

harus membayangkan satu imajinasi yang sangat kuat dan menyenangkan. Guided

imagery telah menjadi standar terapi untuk mengurangi nyeri kronis, tindakan

proseduran yang menimbulkan nyeri, susah tidur, mencegah reaksi alergi, dan

menurunkan tekanan darah (Witjalaksono, 2013).

Penelitian yang dilakukan oleh Novianty (2017) dengan judul “Pengaruh

Pemberian Guided Imagery Terhadap Skala Nyeri Pada Pasien Post Operasi

Appendisitis Hari Pertama Di RSUD Sawerigading Kota Palopo Tahun 2017” yang

dilakukan pada 20 responden. Hasilnya yaitu ada pengaruh pemberian guided imagery

terhadap nyeri post appendiktomi. Hasil uji analisa data menggunakan Paired Sample

T-test dan diperoleh p value = 0.000 < 0,05, Ho ditolak dan Ha diterima. Pada pasien

post appendiktomi yang telah diberikan terapi guided imagery menunjukkan adanya

penurunan skala nyeri yang semula dari skala nyeri berat dan sedang menjadi nyeri

ringan dan tidak nyeri. Hal ini dikarenakan saat seseorang diberikan terapi guided

imagery, tubuh akan menstimulasi produksi endorfin dalam sistem descending control

Page 5: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

yang dapat memblok atau menurunkan transmisi impuls nyeri. Selain itu, tambahan

musik juga dapat memberikan ketenangan dan kenyamanan bagi orang yang

mendengarnya, sehingga nyeri yang dirasakan pasien dapat teralihkan. Hal tersebut

menunjukkan bahwa terjadi perbedaan skala nyeri sebelum dan setelah dilakukan

guided imagery (imajinasi terbimbing).

Berdasarkan hasil studi pendahuluan melalui wawancara dengan salah satu

pegawai diklat dan penata anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten pada hari

Kamis, 05 September 2019 diperoleh data jumlah pasien yang dilakukan operasi dengan

general anestesi dengan teknik intubasi endotracheal tube (ETT) dalam satu bulan

dengan rata-rata mencapai 100 pasien.

Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

terkait dengan pengaruh pemberian guided imagery terhadap tingkat nyeri tenggorokan

pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi. Dimana yang

menjadi objek penelitian adalah nyeri tenggorokan yang diukur pada pre dan post

menggunakan skala POST (Post Operative Sore Throat) dan diberikan guided imagery.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah yang diambil adalah

“Adakah pengaruh pemberian terapi guided imagery terhadap tingkat nyeri tenggorokan

pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr.

Soeradji Tirtonegoro Klaten?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui adakah pengaruh pemberian terapi guided imagery

terhadap tingkat nyeri tenggorokan pasca pemasangan endotracheal tube (ETT)

pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten.

Page 6: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui tingkat nyeri tenggorokan pasca pemasangan endotracheal tube

(ETT) pada pasien general anestesi sebelum diberikan terapi guided imagery.

b. Mengetahui tingkat nyeri tenggorokan pasca pemasangan endotracheal tube

(ETT) pada pasien general anestesi setelah diberikan terapi guided imagery.

c. Mengetahui pengaruh terapi guided imagery terhadap tingkat nyeri pasca

pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi.

D. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dalam penelitian ini berkaitan dengan keperawatan anestesi guna

mengetahui pengaruh terapi guided imagery terhadap tingkat nyeri tenggorokan pasca

pemasangan endotracheal tube (ETT). Sebagai subyek dalam penelitian adalah semua

pasien yang dilakukan operasi dengan teknik general anestesi dengan intubasi

endotracheal tube (ETT) dengan kriteria inklusi dan ekslusi di RSUP dr. Soeradji

Tirtonegoro Klaten dalam kurun waktu dua bulan.

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian diharapkan bisa menambah kajian ilmiah tentang pengaruh

pemberian terapi guided imagery terhadap tingkat nyeri tenggorokan pasca

pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi. Serta dapat

digunakan sebagai masukan bagi ilmu keperawatan dalam konteks anestesi

khususnya pada nyeri tenggorokan pada pasien general anestesi. Selain itu

diharapkan dapat menambah informasi dan pemahaman yang dapat digunakan

untauk pengembangan ilmu keperawatan khususnya konteks anestesi.

Page 7: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Rumah Sakit RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

Dapat menjadi pertimbangan sebagai standart operating prosedure (SOP) untuk

intervensi keperawatan perawat mandiri dalam menurunkan intensitas nyeri

tenggorokan pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general

anestesi.

b. Bagi Institusi Poltekkes Kemenkes Yogyakarta

Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan penelitian selanjutnya dan

juga dapat menjadi bahan referensi materi dalam pembelajaran bagi kemajuan

pendidikan terutama yang diberkaitan dengan pendidikan kesehatan berkaitan

dengan nyeri tenggorokan dan guided imagery berspesifik pada konteks

anestesi.

c. Bagi Perawat

Perawat dapat meningkatkan peran dengan menerapkan dan memberikan terapi

guided imagery terhadap nyeri tenggorokan pasca pemasangan endotracheal

tube (ETT) pada pasien general anestesi.

F. Keaslian Skripsi

1. Mulia (2014), dengan judul “perbedaan nyeri tenggorokan pasca intubasi Laringeal

Mask Airway (LMA) classic dengan proseal di Ruang perawatan RSUD Dr.

Soedarsono Pontianak” dengan jenis penelitian observasional analitik, dengan

desain penelitian cross sectional. Pengambilan sample secara purposive sampling

dengan 40 subyek penelitian, pengujian hipotesa menggunakan uji Chi Square

didapatkan P value 0,01 sehingga Ho ditolak dan Ha diterima. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa ada perbedaan kejadian nyeri Laringeal Mask Airway (LMA)

Classic dan proseal di RSUD Dr. Soedarsono Pontianak.

Page 8: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

Persamaan dengan penelitian ini adalah variabel terikat nyeri tenggorokan.

Perbedaan dengan penelitian ini yaitu tempat penelitian di RSUP dr. Soeradji

Tirtonegoro Klaten, variabel bebas guided imagery, jenis penelitian quasi

eksperimen, uji analisa data menggunakan Wilcoxon, jumlah sampel 62 orang

dengan kelompok kontrol.

2. Saputri (2017), dengan judul “Hubungan penggunaan endotracheal tube (ETT)

dengan kejadian nyeri tenggorokan pada pasien pasca general anestesi di RS PKU

Muhammadiyah Bantul Yogyakarta” dengan jenis penelitian observasional analitik

dengan desain penelitian cross sectional. Teknik pengambilan sample, total

sampling, sampel sebanyak 60 pasien yang menjalani general anestesi intubasi di

RS PKU Muhammadiyah Bantul Yogyakarta. Uji hipotesa menggunakan uji Chi

Square didapatkan P value 0,04 sehingga Ho ditolak dan Ha diterima. Hasil

penelitian menunjukkan adanya hubungan penggunaan endotracheal tube (ETT)

dengan kejadian nyeri tenggorokan pada pasien pasca general anestesi.

Persamaan dengan penelitian ini variabel terikat nyeri tenggorokan pasca

pemasangan endotracheal tube (ETT), penilaian skala nyeri tenggorokan

menggunakan POST (Post Operative Sore Throat). Perbedaan dengan penelitian ini

adalah variabel bebas guided imagery, jenis penelitian quasi eksperimen, uji analisa

data menggunakan Wilcoxon, jumlah sampel 62 orang dengan kelompok kontrol

temptat di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten.

3. Novianty (2017), dengan judul “Pengaruh Pemberian Guided Imagery Terhadap

Skala Nyeri Pada Pasien Post Operasi Appendisitis Hari Pertama Di RSUD

Sawerigading Kota Palopo Tahun 2017” dengan jenis penelitian quasi eksperimen

dengan rancangan one group pre-posttest design, dan jumlah sampel 20 orang. Uji

analisa data menggunakan Paired Sample T-test dan diperoleh p value = 0.000 <

Page 9: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

0,05, maka Ho ditolak dan Ha diterima. Hasil penelitian menunjukkan adanya

pengaruh pemberian guided imagery terhadap skala nyeri pada pasien post operasi

appendiktomi hari pertama di RSUD Sawerigading Kota Palopo.

Persamaan dengan penelitian ini yaitu jenis penelitian quasi eksperimen, variabel

bebas guided imagery. Perbedaan dengan penelitiann ini adalah tempat penelitian

RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten, variabel terikat nyeri tenggorokan pasca

pemasangan ETT, penilaian skala nyeri tenggorokan menggunakan POST (Post

Operative Sore Throat), rancangan penelelitian prepost test with control group

design, uji analisa data menggunakan Wilcoxon, dan jumlah sampel 62 orang.

4.

Page 10: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori

1. Nyeri Tenggorokan

a. Pengertian

Didefinisikan oleh International Association for Study of Pain

(IASP), bahwa nyeri merupakan sesuatu sensori subjektif dan

pengalaman emosional tidak menyenangkan. Nyeri berkaitan dengan

kerusakan jaringan yang bersifat akut yang dirasakan dalam kejadian

dimana terjadi kerusakan (Potter & Perry, 2012).

Nyeri juga menjadi mekanisme proteksi, defensive, dan

penunjang diagnostik. Sebagai mekanisme proteksi, sensibilitas nyeri

memungkinkan seseorang bereaksi terhadap trauma atau penyebab nyeri

sehingga dapat menghindari terjadinya kerusakan jaringan tubuh.

Toleransi nyeri meningkat bersama pengertian; simpatis, persudaraan,

alih perhatian, pendekatan, percayaan, budaya, pengetahuan, pemberian

analgesi. Sebaliknya, toleransi nyeri menurun pada keadaan marah,

cemas, bosan, lelah, depresi, isolasi mental (Witjalaksono, Villyastuti &

Sutiyono, 2013).

Nyeri tenggorokan adalah rasa tidak nyaman, nyeri atau gatal di

tenggorokan yang dapat menimbulkan nyeri atau tidak nyaman untuk

menelan. Nyeri tenggorokan merupakan komplikasi umum yang terjadi

pasca operasi dengan anestesi umum intubasi endotrakeal dan menjadi

komplikasi ringan, bersifat sementara dan dapat sembuh sendiri dalam

beberapa hari (Priyonggo R, 2014). Setelah dilakukan general anestesi,

biasanya akan dirasakan nyeri tenggorokan mulai dari rasa tidak nyaman

sampai nyeri yang lebih berat dan suara serak. Kerusakan mukosa saluran

jalan napas akibat iritasi alat jalan napas buatan, tekanan cuff

endotracheal tube (ETT) berlebih, dan lamanya terpasang akan

menimbulkan nyeri tenggorokan. Penyebab utama nyeri tenggorok pasca

Page 11: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

operasi dengan anestesi umum intubasi endotrakeal adalah trauma pada

mukosa faringolaringeal karena tindakan laringoskopi dan pemasangan

pipa endotrakeal sedangkan penyebab yang lain adalah pemasangan

Nasogastric Tube (NGT) dan penyedotan lendir dalam mulut (Sally, R.

Widyastuti, Widodo, 2014).

b. Klasifikasi Nyeri

Menurut Witjalaksono, Villyastuti & Sutiyono dalam

Anestesiologi 2 (2013), klasifikasi nyeri dibagi sebagai berikut:

1) Waktu durasi nyeri

a) Nyeri Akut: < 3 bulan, mendadak, akibat trauma atau inflamasi,

tanda respon simpatis; penderita anxietas, keluarga supportif.

b) Nyeri Kronik: > 3 bulan, hilang timbul atau terus menerus.

Tanda respon parasimpatis; penderita depresi, keluarga lelah.

2) Berdasarkan Etiologi

a) Nyeri nosiseptik: rangsangan timbul oleh mediator nyeri, seperti

pada paska trauma operasi dan luka bakar.

b) Nyeri neuropatik: rangsangan oleh kerusakan saraf dan

disfungsi saraf, seperti pada diabetes mellitus (DM), herpes

zooster.

3) Berdasarkan intensitas nyeri

a) Skala visual analog score: 1-10

b) Skala wajah Wong Baker: tanpa nyeri, nyeri ringan, nyeri

sedang, nyeri berat, nyeri tak tertahankan.

c) Skala POST (Post Operatif Sore Throat): nilai 0-3; tanpa nyeri,

nyeri ringan, nyeri sedang, nyeri berat.

4) Berdasarkan lokasi

a) Nyeri superfisial: nyeri pada kulit, subkutan, beersifat tajam,

dan terlokasi.

b) Nyeri somatik dalam: nyeri berasal dari otot, tendon, tumpul,

dan kurang terlokasi.

Page 12: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

5) Nyeri viskeral: nyeri berasal dari organ internal atau organ

pembungkusnya, seperti nyeri kolik ureter dan kolik gastrointestinal.

6) Nyeri alih (referred): masukan dari organ dalam dalam pada tingkat

spinal disalah artikan penderita sebagai masukan dari daerah kulit

pada segemen spinal.

7) Nyeri proyeksi: pada herpes zooster, kerusakan saraf menyebabkan

nyeri dialihkan ke sepanjang tubuh yang diinerfasi oleh saraf yang

rusak tersebut.

8) Nyeri phantom: nyeri dihubungkan dengan bagian tubuh yang hilang

seperti amputasi.

9) Berdasarkan area nyeri: nyeri kepala, leher/tenggorokan, dada,

abdomen, punggung, pinggang bawah, pelvik, ekstremitas dan

sebagainya.

10) Berdasarkan sifat: nyeri tusuk, teriris, terbakar, kemang, nyeri

sentuh, nyeri gerak, berdenyut, menyebar, hilang timbul dan

sebagainya.

Pada kalsifikasi nyeri sangat berguna untuk menentukan

penyebab, perbedaan nyeri neuropatik dan nosisepsi, merencanakan

terapi dan evaluasi penderita.

c. Etiologi

Penyebab timbulnya nyeri tenggorokan sebagai berikut (McHardi

& Chung, 2008)

1) Bernafas melalui mulut dapat menyebabkan iritasi pada

tenggorokan.

2) Common Cold dan Influenza.

3) Pharingitis, karena virus atau bakteri.

4) Pembedahan seperti tonsilektomi dan adenoidectomy.

5) General anestesi, karena penggunaan ETT atay LMA.

a) Endotracheal Tube (ETT)

Alat yang ditempatkan dalam lumen trakea melalui oral atau

nasal. Pipa trakea terdapat dua tipe cuff yaitu high pressure (low

Page 13: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

volume) dan low pressure (high volume) bisa dikembangkan

untuk mencegah kebocoran gas. High pressure cuff lebih

menyebabkan kerusakan mukosa trakea yang menimbulkan

iskemik jaringan sehingga kurang cocok untuk operasi yang

lama. Low pressure cuff menimbulkan kemungkinan terjadinya

nyeri tenggorokan, aspirasi, dan ekstubasi spontan (Morgan,

2006).

b) Laringeal Mask Airway (LMA)

Alat jalan nafas berbentuk sendok terdiri dari pipa besar

berlubang dengan ujung menyerupai sendok, pinggirnya dapat

dikempiskan seperti balon pada pipa trakea dan tidak masuk

kedalam trakea. (Latief, 2010).

d. Mekanisme nyeri

Nyeri timbul akibat dari rangsangan zat algesik pada reseptor

nyeri yang dijumpai pada lapisan superfisial kulit dan pada beberapa

jaringan didalam tubuh seperti periosteum, permukaan tubuh, otot rangka

dan pulpa gigi. Reseptor nyeri merupakan ujung bebas serat saraf aferen

A delta dan C, diaktifkan oleh rangsangan dengan intensitas tinggi seperti

rangsang ternal, elektrik, atau kimiawi (Mangku & Senapathi, 2010).

Zat algesik mengaktifkan reseptor nyeri adalah ion K, H, dan

asam laktat, serotonin, bradikidin, histamine dan prostaglandin. Setelah

reseptor nyeri disalurkan ke sentral melalui beberapa saluran saraf.

Rangkaian proses menyertai antara kerusakan jaringan (sumber stimulasi

nyeri) sampai dirasakan persepsi nyeri adalah suatu proses elektro-

fisiologik disebut sebagai nosisepsi. Terdapat 4 proses jelas terjadi

mengikuti suatu proses elektro-fisiologik noisepsi, yaitu:

1) Transduksi: proses stimulasi nyeri yang diterjemahkan menjadi

aktifitas listrik pada ujung saraf.

2) Transmisi: proses penyaluran impuls melalui saraf sensoris

menyusul proses transduksi. Impuls akan disalurkan oleh serabut

Page 14: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

saraf A delta dan serabut C sebagai neuron pertama dari perifer ke

medulla spinalis.

3) Modulasi: proses interaksi antara sistem analgesic endogen dengan

impuls nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis. Sistem

analgesic endogen yaitu enkefalin, endorphin, serotonin, dan

noradrenalin yang berefek menekan impuls nyeri pada kornu

posterior medulla spinalis yang diibaratkan sebagai pintu gerbang

nyeri yang bisa terbuka atau tertutup untuk menyalurkan impuls

nyeri yang diperankan oleh sistem analgesic endogen.

4) Persepsi: hasil akhir proses interaksi kompleks dan unik dimulai dari

transduksi, transmisi, dan modulasi yang menghasilkan suatu

perasaan subyektif yang dikenal dengan persepsi nyeri.

e. Penilaian nyeri

Penilaian skala nyeri tenggorokan biasanya diukur menggunakan

Post Operative Sore Throat (POST). Merupakan instrumen pengukuran

nyeri paling banyak dipakai dalam berbagai studi klinin dan diterapkan

rerhadap berbagai jenis nyeri tenggorokan. Terdapat 4 skala yang

tercantum dalam penilaian POST.

Tabel 1. Penilaian Post Operative Sore Throat (POST)

Skor Keterangan

0 Tidak nyeri tenggorokan

1 Nyeri ringan (nyeri saat berbicara)

2 Nyeri sedang (nyeri dirasakan saat diam)

3 Nyeri berat (perubahan suara serak berkaitan dengan

nyeri tenggorokan

Sumber: Rudra et al (2009).

Menurut Mangku & Senapathi (2010), berbagai cara untuk

mengukur derajat nyeri, cara sederhana sebagai berikut:

1) Nyeri ringan: nyeri yang hilang timbul, terutama saat melakukan

aktifitas dan waktu tidur.

Page 15: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

2) Nyeri sedang: nyeri terus-menerus, aktifitas terganggu dan hanya

hilang saat penderita tertidur.

3) Nyeri berat: berlangsung terus-menerus sepanjang hari, penderita

tidak dapat tidur karena nyeri sewaktu tidur.

Menurut Saryono (2010), mengukur skala nyeri dibagi berbagai

macam sebagai berikut:

1) Skala deskripsi intensitas nyeri sederhana

Sumber: Saryono (2010).

Gambar 1. Skala deskripsi intensitas nyeri sederhana

2) Skala intensitas nyeri numerik

Sumber: Saryono (2010).

Gambar 2. Skala nyeri numerik

3) Skala Visual Analog Score (VAS)

Sumber: Saryono (2010).

Gambar 3. Skala nyeri visual analog score.

Page 16: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

4) Skala Wong Baker

Sumber: Saryono (2010)

Gambar 4. Skala nyeri Wong Baker.

f. Nyeri tenggorokan akibat penggunaan endotracheal tube (ETT)

Merupakan nyeri inflamasi yang menyebabkan rasa tidak

nyaman, rasa gatal ditenggorokan, dan rasa sakit saat menelan. Hal ini

terjadi akibat trauma pada tonsil, faring, lidah, laring, dan trakea.

Keluhan nyeri tenggorokan yang terjadi merupakan trauma mukosa

trakea akibat dari intubasi. Trauma menjadi faktor etiologi pada nyeri

tenggorokan dan suara serak akibat intubasi. Bisa juga ditemukan edema

dan memar tenggorokan pada penderita yang mengeluh nyeri

tenggorokan akibat intubasi. Alat intubasi perlu diperhatikan,

laringoskop yang terlalu besar dapat mengakibatkan trauma didaerah

orofaring. Stilet yang panjangnya tidak sesuai dengan panjang

endotracheal tube (ETT), sehingga ujung stilet menonjol keluar dan

mengakibatkan trauma pada mukosa. Tenggorokan dapat terluka waktu

intubasi karena manipulasi, trauma dapat terjadi waktu laringoskopi

langsung dan intubasi yang dilakukan karena kurangnya relaksasi otot

yang mengakibatkan rusaknya jaringan yang menjadi penyebab

timbulnya nyeri karena oksigen tidak tersuplai kesemua jaringan.

Pergeseran berlebih antara endotracheal tube (ETT) dan mukosa faring

juga menjadi sebab lain dari trauma faring (Novia, 2006).

Meski nyeri tenggorokan pasca general anestesi dengan spontan

tanpa terapi dapat menghilang gejalanya, manajemen profilaksis untuk

mengurangi intensitas nyeri tenggorokan masih direkomendasikan untuk

meningkatkan kualitas perawatan pasca general anestesi.metode

Page 17: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

farmakologi yang disarankan untuk menguranginya termasuk pemberian

obat-obatan pencegahan yang diberi sebelum intubasi, pemakaian

lubrikasi pada endotracheal tube (ETT), pemakaian anestesi lokal spray,

menggunakan anestesi lokal untuk pengisisan cuff endotracheal tube

(ETT), inhalasi beclomethasone, pemberian aspirin, ketamine, atau

benzydamine hydrochloride atau berkumur dengan azulene sulfonate

(Narasethakamol et al, 2011).

g. Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi nyeri tenggorokan

pasca pemasangan intubasi (Ahmed et al, 2007):

1) Usia

Pada pasien dengan usia lebih muda, ukuran laring dan trakea

lebih kecil serta membrane mukosa lebih tipis sehingga lebih rentan

terjadi edema pada mukosa dan sensitif dengan reseptor nyeri.

Sedangkan usia lebih tua terjadi penurunan rangsang kepekaan

reseptor nyeri. Usia dikelompokkan menurut Depkes (2009).

Tabel 2. Kategori umur menurut depkes 2009.

Kategori Usia

Balita 0-5 tahun

Anak-anak 6-11 tahun

Remaja Awal 12-16 tahun

Remaja Akhir 17-25 tahun

Dewasa Awal 26-35 tahun

Dewasa Akhir 36-45 tahun

Lansia Awal 46-55 tahun

Lansia Akhir 56-65 tahun

Manula 66 tahun keatas

Sumber: Depkes (2009).

Page 18: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

2) Jenis Kelamin

Anatomi laring perempuan dan laki-laki berbeda, pada

perempuan laring lebih kecil. Selain itu mukosa pada perempuan

yang lebih tipis menyebabkan lebih mudah mengalami edema.

Perubahan sehingga nyeri tenggorokan lebih sering terjadi pada

perempuan. (Jaensson et al, 2012).

3) Penyakit kronis

Trauma jaringan lebih mudah terjadi pada pasien dengan

penyakit kronis selama intubasi trakea yang lama. Penurunan perfusi

jaringan juga dihubungkan dengan adanya penyakit kronis sehingga

jaringan mudah terjadi nekrosis dan ulserasi. Mallampati adalah

suatu kondisi yang mungkin dapat menjadi penyulit dalam intubasi

endotracheal tube (ETT) yang dibagi menjadi kelas I, kelas II, kelas

III, dan kelas IV. Kelas I dan kelas II merupakan bentuk yang paling

mudah utuk dilakukan intubasi dibanding kelas III dan kelas IV

(Pramono, 2016).

4) Tekanan cuff ETT

Fungsi utama cuff yaitu memberikan tekanan positif pada

dinding trakea dan mengurangi resiko aspirasi. Tekanan tinggi cuff

pada mukosa trakea menyebabkan nyeri tenggorokan. Penelitian

pada kelinci menunjukkan bahwa cuff dengan high pressure low

volume tekanan sampai >30mmHg (39 cmH20) menyebabkan

mukosa trakea iskemik yang disebabkan oleh tidak lancaarnya aliran

darah sehingga suplai oksigen berkurang dan jaringan kekurangan

oksigen berakibat timbulnya nyeri. Ketika cuff dengan dinding tipis,

low pressure aliran darah tidak terganggu dalam tekanan 80-120

mmHg, tekanan cuff yang direkomendasikan harus dipertahankan

<30 mmHg (26 cmH2O) (Sutiyono, Villiayastuti & Susilowat,

2013).

Page 19: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

5) Lama intubasi

Lama pemasangan ETT berpengaruh terhadap terjadinya nyeri

tenggorokan, semakin lama terpasang ETT semakin lama mukosa

trakea mengalami tekanan cuff. Pasien dengan durasi pemasangan

ETT >60 menit memiliki resiko nyeri lebih besar dibanding dengan

pasien pemsangan ETT <60 menit. Pada pasien operasi dengan

penyakit kronis lebih mudah mengakami trauma jaringan

menyebabkan lamanya operasi yang berhubungan langsung dengan

kejadian nyeri tenggorokan (Spiegel, 2010).

6) Riwayat merokok

Dalam rokok mengandung zat karbon monoksida (CO) yang

dapat menyebabkan penyempitan saluran nafas karena kekurangan

oksigen, bila spasme terjadi mengakibatkan pembuluh darah mudah

rusak. Pasien dengan riwayat merokok mempunyai kemungkinan

lebih besar dalam terjadinya komplikasi jalan nafas bagian atas.

Riwayat merokok >20 batang/hari mempunyai angka yang lebih

tinggi 6 kali mengalami komplikasi jalan nafas atas dibanding

dengan pasien yang tidak merokok (Kholis, 2011).

7) Pelaku intubasi

Ketrampilan pelaku intubasi berpengaruh pada trauma yang

disebabkan pada pemasangan endotracheal tube (ETT). Pelaku

intubasi yang lebih mempunyai pengalaman dalam hal ini

meminimalkan resiko trauma yang berlebih. Sedangkan pelaku yang

belum berpengalaman sering kali menyebabkan trauma pada bibir

disisi kanan, bibir atas karena terjepit bilah laringoskop. Ukuran pipa

endotracheal tube (ETT) yang tidak sesuai juga menyebabkan nyeri

tenggorokan pasca intubasi.

8) Ukuran pipa endotrakeal

Ukuran pipa endotrakeal yang tidak sesuai menyebabkan lebih

besarnya resiko terjadi kerusakan mukosa trakea. Panduan ukuran

endotracheal tube (ETT) menurut Butterworth et al (2013):

Page 20: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

Tabel 3. Panduan ukuran ETT.

Usia Diameter (mm) Panjang (cm)

Bayi cukup bulan 3,5 12

Anak-anak 4 + (usia/4) 14+(usia/2)

Wanita 7.0-7.5 24

Laki-laki 7.5-9.0 24

Sumber: Butterworth et al (2013).

2. Guided Imagery

a. Managemen Nyeri

Nyeri adalah suatu rasa tidak nyaman dan menyebabkan

penderitaan. Penanganan nyeri tenggorokan pasca pemasangan ETT juga

perlu dilakukan untuk memberikan rasa nyaman dan menurunkan

penderitaan. Penatalaksanaan nyeri yang sering dilakukan bertujuan

meringankan atau mengurangi rasa nyeri sampai tingkat kenyamanan

yang dirasakan oleh klien. Penatalaksanaan nyeri sebagai berikut:

1) Farmakologi

Terapi farmakologi adalah program terapi yang diberikan

pada pasien secara medis. Terapi yang bisa diberikan untuk

penatalaksanaan nyeri tenggorokan pasca pemasangan ETT seperti

pemakaian anestesi lokal spray, anestesi lokal untuk pengisian cuff,

dan inhalasi steroid, penggunaan dexamethasone, penggunaan

bethamethasone, penggunaan lidokain, dan lain-lain.

2) Non Farmakologi

Terapi non farmakologi menurut Julia kneale (2011) sebagai

berikut:

a) Terapi berbasis suhu

(1) Panas berguna dalam meredakan nyeri artritik, nyeri

punggung, dan nyeri abdomen tetapi tidak dianjurkan sesaat

setelah cedera karena meningkatkan pembekakan. Panas

Page 21: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

dapat diberikan menggunakan alat seperti botol, air panas,

pack gel, dan bantalan panas elektrik.

(2) Terapi dingin dapat mengurangi respon inflamasi beberapa

kondisi akut. Vasokonstriksi muncul akibat penurunan suhu,

penurunan respon inflamasi, dan pembatasan kerusakan lebih

lanjut, sehingga serabut beta A menginduksi modulasi nyeri.

b) Akupuntur

Pemasangan jarum halus pada titik tubuh tertentu

menikuti meridian energi yang telah dipetakan dan digunakan

dalam pengobatan cina. Akupuntur dapat menimbulkan nyeri

dan merangsang pelepasan endofrin, meningkatkan analgesi.

Semakin terasa dan mendapat kreadibilitas dalam pengobatan

barat sebagai terapi efektif.

c) Informasi

Pemberian informasi yang jelas dan benar dapat

mengurangi ansietas yang menjadi komponen penyebab nyeri

akut dan kronis. Pemberian informasi dapat merangsang pasien

untuk mengantisipasi nyeri dengan mengetahui sensasi atau

respon apa yang akan dirasakan terkait prosedur yang akan

dijalani.

d) Distraksi

Metode membawa pikiran pasien keluar dari nyeri yang

dirasakan. Fokus perhatian dialihkan kembali pada stimulus,

menghilangkan nyeri dari pikiran untuk dewasa. Pada pasien

anak biasa digunakan dengan bermain secara efektif untuk

mengalihkan perhatian dari rasa nyeri yang dirasakan. Salah

satu distraksi yaitu imajinasi terbimbing dengan bantuan

individu lain atau sering disebut guided imagery. Guided

imagery membuat pasien menggambarkan mental positif

dengan mengalihkan perhatian dari nyeri dan berfokus pada hal

Page 22: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

yang menyenangkan. Dengan relaksasi membuat pasien dapat

melawan atau mengontrol nyeri yang dirasakan.

e) Pemberian aromaterapi

Aromaterapi berguna untuk mempengaruhi emosi

seseorang, menimbulkan efek relaksasi, dan membantu

meredakan gejala penyakit. Aroma terapi juga membawa

perasaan pasien menjadi lebih tenang dan rileks, sehingga

pasien dapat mengontrol nyerinya dengan lebih merasakan

aroma terapi yang diberikan.

b. Pengertian Guided Imagery

Merupakan pembentukan representasi mental dari suatu objek,

tempat, peristiwa, atau situasi yang dirasakan melalui indra. Individu

akan diajak berimajinasi untuk membayangkan, melihat, mendengar,

merasakan, mencium, atau menyentuh sesuatu yang menyenangkan

(Potter, 2010). Guided imagery merupakan teknik yang menggunakan

imajinasi seseorang untuk mencapai efek positif tertentu (Smeltzer,

2010).

Guided imagery merujuk pada berbagai teknik termasuk

visualisasi sederhana, saran menggunakan imajinasi langsung, metafora

dan bercerita, eksplorasi fantasi dan bermain “game”, penafsiran mimpi,

gambar, dan imajinasi aktif dimana unsur ketidaksadaran dihadirkan

sebagai gambaran yang dapat berkomunikasi dengan pikiran sadar

(Witjalaksono, 2013). Teknik ini dimulai dengan proses relaksasi pada

umumnya yaitu meminta individu untuk menarik nafas dalam lalu

perlahan menutup matanya dan fokus pada nafas mereka. Kemudian

didorong untuk merasakan relaksasi mengosongkan pikiran dan mengisi

pikiran mereka dengan bayangan yang positif, membuat damai, dan

tenang (Rahmayanti, 2010).

Dari berbagai pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa guided

imagery merupakan teknik distraksi untuk menuntun individu

membayangkan, merasakan sensasi yang dilihat, dirasakan, didengar,

Page 23: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

dicium, dan disentuh dengan kondisi yang tenang dan santai sesuai

dengan pengalaman yang menyenangkan. Bertujuan mengalihkan fokus

individu menuju rasa yang menyenangkan dan dapat mengaalihkan rasa

nyeri yang dirasakan dengan bimbingan individu lain.

c. Manfaat Guided Imagery

Manfaat guided imagery pada umumnya sama dengan manfaat

relaksasi. Para ahli bidang guided imagery berpendapat bahwa imajinasi

merupakan penyembuh yang efektif untuk mengurangi rasa nyeri,

kecemasan, mempercepat penyembuhan dan membantu tubuh

mengurangi berbagai macam penyakit. Telah menjadi terapi standar

untuk mengurangi stress, nyeri kronis, tindakan prosedur yang

menimbulkan nyeri, susah tidur, kecemasan, mencegah reaksi alergi,

mengurangi level gula darah (diabetes), dan menurunkan tekanan darah

(Potter, 2010).

d. Tujuan Guided Imagery

Tujuan dari menerapkan guided imagery ialah (Mehme, 2010):

1) Memelihara kesehatan atau mencapai keadaan rileks melalui

komunikasi dalam tubuh melibatkan semua indra (visual, sentuhan,

penciuman, penglihatan, dan pendengaran) sehingga terbentuklah

keseimbangan antara pikiran, tubuh, dan jiwa.

2) Mempercepat penyembuhan yang efektif dan membantu tubuh

mengurangi berbagai macam penyakit seperti nyeri, depresi, alergi

dan asma.

3) Mengurangi tingkat stres, penyebab, dan gejala-gejala yang

menyertai stres.

4) Menggali pengalaman pasien depresi.

e. Fisiologi Guided Imagery

Memberikan efek rileks dengan menurunkan ketegangan otot

sehingga nyeri akan berkurang dan membuat pasien rileks secara ilmiah

akan memicu pengeluaran hormone endorphin. Hormon ini merupakan

zat analgesik alami yang diproduksi oleh tubuh tiap individu yang

Page 24: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

terdapat pada otak, spinal, dan traktus gastrointestinal (Witjalaksono,

2013).

f. Teknik Guided Imagery

Teknik pelaksanaan guided imagery perlu adanya modifikasi

sesuai dengan tahap perkembangan, kognitif, dan pilihan pasien. 5-10

menit merupakan waktu yang efektif untuk pelaksanaan guided imagery

(Witjalaksono, 2013). Pada penelitian yang dilakukan Oktasari (2018)

pada penerapan aromaterapi bitter orange essential oil dan guided

imagery untuk mengurangi nyeri tusukan jarum spinal anestesi dalam

pelaksanaannya menggunakan waktu 10 menit.

Menurut Grocke&Moe (2015) teknik guided imagery sebagai

berikut:

1) Bina hubungan saling percaya.

2) Jelaskan prosedur, tujuan, posisi, waktu dan peran perawat sebagai

pembimbing

3) Anjurkan klien mencari posisi yang nyaman menurut klien.

4) Duduk dengan klien tetapi tidak mengganggu.

5) Lakukan pembimbingan dengan baik terhadap klien.

a) Minta klien untuk memikirkan hal-hal yang menyenangkan atau

pengalaman yang membantu penggunaan semua indra dengan

suara yang lembut.

b) Ketika klien rileks, klien berfokus pada bayangan dan saat itu

perawat tidak perlu bicara lagi.

c) Jika klien menunjukkan tanda-tanda agitasi, gelisah, atau tidak

nyaman perawat harus menghentikan latihan dan memulainya

lagi ketika klien telah siap.

d) Relaksasi akan mengenai seluruh tubuh. Setelah 15 menit klien

dan daerah ini akan digantikan dengan relaksasi. Biasanya klien

rileks setelah menutup mata atau mendengarkan musik yang

lembut sebagai background yang membantu.

Page 25: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

e) Catat hal-hal yang digambarkan klien dalam pikiran untuk

digunakan pada latihan selanjutnya dengan menggunakan

informasi spesifik yang diberikan klien dan tidak membuat

perubahan pernyataan klien.

Sedangkan menurut Witjalaksono (2013), teknik guided imagery

secara umum sebagai berikut:

1) Membuat individu dalam keadaan santai yaitu dengan cara:

a) Mengatur posisi yang nyaman (duduk atau berbaring).

b) Silangkan kaki, tutup mata atau fokus pada suatu titik atau suatu

benda di dalam ruangan.

c) Fokus pada pernapasan otot perut, menarik napas dalam dan

pelan, napas berikutnya biarkan sedikit lebih dalam dan lama

dan tetap fokus pada pernapasan dan tetapkan pikiran bahwa

tubuh semakin santai dan lebih santai.

d) Rasakan tubuh menjadi lebih berat dan hangat dari ujung kepala

sampai ujung kaki.

e) Jika pikiran tidak fokus, ulangi kembali pernapasan dalam dan

pelan.

2) Sugesti khusus untuk imajinasi yaitu:

a) Pikirkan bahwa seolah-olah pergi ke suatu tempat yang

menyenangkan dan merasa senang ditempat tersebut.

b) Sebutkan apa yang bisa dilihat, dengar, cium, dan apa yang

dirasakan.

c) Ambil napas panjang beberapa kali dan nikmati berada ditempat

tersebut.

d) Sekarang, bayangkan diri anda seperti yang anda inginkan

(uraikan sesuai tujuan yang akan dicapai/diinginkan).

3) Beri kesimpulan dan perkuat hasil praktek yaitu:

a) Mengingat bahwa anda dapat kembali ke tempat ini, perasaan

ini, cara ini kapan saja anda menginginkan.

Page 26: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

b) Anda bisa seperti ini lagi dengan berfokus pada pernapasan

anda, santai, dan membayangkan diri anda berada pada tempat

yang anda senangi.

4) Kembali ke keadaan semula yaitu:

a) Ketika anda telah siap kembali ke ruang dimana anda berada.

b) Anda merasa segar dan siap untuk melanjutkan kegiatan anda.

c) Anda dapat membuka mata anda dan ceritakan pengalaman

anda ketika anda telah siap.

3. General Anestesi

a. Pengertian

Tindakan anestesi meliputi tiga komponen yaitu hipnotik (tidak

sadarkan diri = mati ingatan), analgesi (bebas nyeri = mati rasa), dan

relaksasi otor rangka (mati gerak), yang popular disebut “Trias

Anestesi”. General anestesi adalah keadaan tidak sadar sementara yang

diikuti hilangnya rasa nyeri diseluruh tubuh akibat dari pemberian

anestesi (Mangku & Senapathi, 2010).

General anesthesia atau anestesi umum merupakan suatu

tindakan bertujuan menghilangkan nyeri, membuat tidak sadar dan

menyebabkan amnesia yang bersifat reversible dan dapat diprediksi,

anestesi umum menyebabkan hilangnya ingatan saat dilakukan

pembiusan dan operasi sehingga saat pasien sadar pasien tidak mengingat

peristiwa pembedahan yang dilakukan (Pramono, 2016).

Menurut pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa general

anestesi merupakan salah satu cara untuk menghilangkan rasa nyeri,

tidak sadar sementara, dan mati gerak sementara pada seluruh tubuh

karena obat anestesi. Tujuan anestesi untuk membantu proses

berlangsungnya operasi yang aman dan memberi rasa nyaman pada

pasien.

Mangku & Senapathi (2010) membagi general anestesi dibagi

menjadi beberapa teknik antara lain:

Page 27: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

1) General Anestesi Intravena

TIVA (Total Intravena) merupakan salah satu dari teknik

general anestesi yang dilakukan dengan menyuntikkan obat anestesi

parenteral langsung kedalam pembuluh darah vena. Obat induksi

bolus disuntikkan dengan kecepatan 30-60 detik. Selama proses

induksi anestesi, keadaan hemodinamik harus selalu dimonitor dan

selalu diberikan terapi oksigen.

2) General Anestesi Inhalasi

Teknik inhalasi adalah cara pemberian obat anestesi dengan

menggunakan kombinasi obat anestesi inhalasi berupa gas atau

cairan yang mudah menguap. Proses ini menggunakan bantuan alat

atau mesin anestesi langsung masuk kedalam bersama dengan

inspirasi.

Beberapa teknik general inhalasi menurut Mangku &

Senapathi (2010) antara lain:

a) Inhalasi Sungkup Muka

Pada inhalasi spontan komponen trias anestesi

dipenuhi adalah hipnotik, analgetik, dan relaksasi otot ringan.

Diberikan pada operasi kecil sampai dengan sedang, dilakukan

pada permukaan tubuh, berlangsung secara singkat dengan

posisi terlentang.

b) Inhalasi Sungkup Laryngeal Mask Airway (LMA)

Secara inhalasi dengan nafas spontan, teknik inhalasi

menggunakan alat bantu nafas berbentuk seperti sendok yang

ditempatkan di hipofaring berupa balon pada tepinya. Balon

dikembangkan membuat daerah sekitar laring tersekat

sehingga memudahkan ventilasi spontan maupun ventilasi

tekanan positif tanpa penetrasi kedalam laring atau esophagus.

Dilakukan pada operasi daerah kepala-leher dengan posisi

terlentang dengan waktu singkat dan memerlukan relaksasi

otot maksimal.

Page 28: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

c) Inhalasi Endotracheal Tube (ETT) nafas spontan

Secara inhalasi dengan nafas spontan, teknik inhalasi

menggunakan alat bantu nafas berbentuk pipa dengan cuff

(balon) dengan bantuan laringoskop dan pelumpuh otot ringan.

Teknik ini digunakan pada operasi kepala-leher dengan posisi

terlentang dan berlangsung singkat.

d) Inhalasi Endotracheal Tube (ETT) Nafas Kendali

Teknik inhalasi menggunakan alat bantu nafas

berbentuk pipa dengan cuff (balon) dengan bantuan

laringoskop dan pelumpuh otot non depolarisasi yang

selanjutnya dilakukan nafas kendali. Teknik ini digunakan

pada operasi yang berlangsung >1 jam (kraniotomi,

torakotomi, laparatomi, operasi dengan posisi lateral dan

pronasi).

3) Anestesi Imbang

Teknik anestesi dengan menggabungkan kombinasi obat,

baik obat anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi. Teknik

ini juga merupakan kombinasi teknik general anestesi dengan

anestesi regional, untuk mencapai trias anestesi secara optimal dan

berimbang.

b. Fase Anestesi

Menurut Mangku & Senapathi (2010), ada 3 fase anestesi

meliputi:

1) Fase pre anestesi

Pada tahap pre anestesi, perawat akan menyiapkan hal-hal

yang dibutuhkan selama operasi. Contoh: pre operasi visit,

persiapan pasien, pasien mencukur area yang akan dilakukan

operasi, persiapan catatan rekam medik, persiapan obat premedikasi

yang harus diberikan kepada pasien.

Page 29: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

2) Fase intra anestesi

Pada fase intra anestesi, perawat anestesi akan melakukan

monitoring keadaan pasien. Perawat anestesi akan memantau

hemodinamik dan keadaan klinis pasien yang menjalani operasi.

3) Fase pasca anestesi

Pada tahap ini, perawat anestesi membantu pasien dalam

menangani respon-respon yang muncul setelah tindakan anestesi.

Respon tersebut berupa nyeri, mual muntah, hipotermi bahkan

sampai menggigil.

c. Keuntungan dan Kerugian General Anestesi

Menurut Press (2013), seorang anestesi bertanggung jawab

menilai semua faktor yang mempengaruhi kondisi medis pasien dan

memilih teknik anestesi yang optimal sesuai atribut general anestesi,

meliputi:

1) Keuntungan

a) Mengurangi kesadaran dan ingatan intra operatif pasien.

b) Memungkinkan relaksasi otot yang diperlukan untuk jangka

waktu yang lama.

c) Memfasilitasi kontrol penuh terhadap jalan nafas, pernafasan

dan sirkulasi.

d) Dapat digunakan dalam kasus-kasus kepekaan terhadap agen

anestesi lokal.

e) Dapat diberikan tanpa memindahkan pasien dari posisi

terlentang.

f) Dapat disesuaikan dengan mudah dengan durasi prosedur yang

tak terduga.

g) Dapat diberikan dengan cepat dan bersifat reversible.

2) Kekurangan

a) Membutuhkan peningkatan kompleksitas perawatan dan biaya

terkait.

Page 30: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

b) Membutuhkan beberapa derajat persiapan pasien sebelum

operasi.

c) Dapat menyebabkan fluktuasi fisiologis yang memerlukan

intervensi aktif.

d) Terkait dengan komplikasi yang kurang serius seperti mual,

muntah, sakit tenggorokan, sakit kepala, mengigil (hipotermi),

nyeri tenggorokan, dan tertunda kembali ke fungsi mental yang

normal.

d. American Society of Anesthesiologist (ASA)

Setiap pasien yang akan menjalani prosedur operasi harus selalu

dinilai status fisiknya. Penilaian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi

fisik pasien sebelum dilakukannya pembedahan. Dengan mempersiapkan

segala kebutuhan dan kemungkinan kejadian yang memerlukan perhatian

khusus yang dinyatakan dalam status ASA (Pramono, 2016).

Status fisik pasies menurut American Society of Anethesiologist

(ASA) sebagai berikut:

Tabel 4. Status Fisik Pasien (ASA).

Kelas Status Fisik Contoh

I Pasien kondisi normal (sehat), tidak ada

gangguan organik fisiologis atau kejiwaan,

tidak termasuk kategori sangat muda dan

sangat tua, BMI <30, pasien tidak merokok

dan toleran terhadap aktifitas.

Pasien sehat

II Pasien dengan gangguan sistemik ringan.

Tidak terdapat keterbatasan fungsional,

memiliki penyakit yang terkendali dengan

baik dari satu sistem tubuh.

Hipertensi, riwayat asma,

diabetes mellitus terkontrol

III Pasien dengan kelainan sistemik berat namun

tidak mengancam jiwa dan terdapat beberapa

keterbatasan fungsional, memiliki penyakit

lebih dari satu sistem tubuh.

Gagal jantung kongestif

terkontrol, angina stabil,

hipertensi tidak terkontrol,

gagal ginjal kronik

IV Pasien dengan kelainan sistemik berat yang

mengancam jiwa. Pasien dengan penyakit

berat dan tidak terkontrol.

Angina tidak stabil, COPD

tidak terkontrol, gejala

CHF, infark miokard atau

stroke <3 bulan.

V Pasien dengan atau tapa operasi diperkiraan

akan meninggan dalam waktu 24 jam.

Ruptur aneurisma aorta

abdominalis, trauma masif,

Page 31: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

dan perdarahan intrakranial

luas dengan efek massa.

VI Pasien mati otak yang organnya akan diambil

untuk transplantasi ke tubuh lain.

Sumber: American Society of Anesthesiologist (2014)

e. Endotracheal Tube (ETT)

Prosedur memasukkan pipa endotracheal kedalam trakea melalui

nasal atau oral dengan bantuan laringoskop. Pemasangan endotracheal

tube (ETT) merupakan salah satu cara untuk menjaga agar jalan nafas

selalu bebas dan lancar. ETT terbuat dari Polyvinyl Chlorida yang

berbentuk sesuai dengan jalan nafas dan bersifat radiopaq transparan

untuk mengetahui posisi ujung distal agar dapat dilihat sekresi atau aliran

udara. Semua ini dibuktikan dengan pengembunan uap air pada lumen

pipa (Pramono, 2016).

Sumber: Pramono (2016)

Gambar 5. Bagian-bagian endotracheal tube (ETT).

1) Tujuan intubasi endotracheal tube (ETT).

a) Mempertahankan jalan napas agar tetap paten dan lancar.

b) Mengendalikan oksigenasi dan ventilasi.

c) Mencegah terjadi aspirasi lambung pada keadaan tidak sadar,

tidak ada reflex batuk ataupun kondisi lambung penuh.

d) Sarana gas anestesi masuk menuju langsung ke trakea

Page 32: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

2) Indikasi dan kontra indikasi pemasangan endotrakeal tube (ETT).

a) Indikasi menurut (Pramono, 2016):

(1) Pasien dengan kesulitan pertahanan saluran napas dan

kelancaran pernapasan.

(2) General anestesi pada operasi dengan napas terkontrol.

(3) Operasi dengan posisi supinasi, miring atau tengkurap.

(4) Operasi dengan durasi yang lebih dari 1 jam dan sulit untuk

mempertahankan kepatenan saluran napas.

b) Kontraindikasi menurut (Sutiyono, Villiyastuti & Susilowati,

2013):

(1) Fraktur tengkorak, fraktur tulang wajah, fraktur nasal dan

faring, terdapat perdarahan massif dan dicurigai ada kelainan

perdarahan.

(2) Ruda paksa tulang belakang yang tidak memungkinkan

pasien untuk bergerak.

(3) Trauma jalan napas berat atau obstruksi yang menyebabkan

pemasangan ETT menjadi tidak aman.

(4) Trauma servikal dan perlu imobilisasi komplit.

3) Persiapan Intubasi Endotracheal Tube (ETT) (Pramono, 2016).

a) Persiapan alat yang dibutuhkan untuk intubasi endotracheal tube

(ETT) yaitu STATICS. Scope (laringoskop, stetoskop), Tube

(Endotracheal Tube/ETT), Airway (Guedel atau Mayo), Tape

(Plester atau hypafix), Introducer (stilet), Connector, Suction

dan Spuit.

b) Pemberian dengan obat induksi (jika diperlukan).

c) Pemberian muscle relaxant atau pelumpuh otot.

d) Pemberian obat-obatan emergency (jika diperlukan).

4) Teknik Intubasi Endotracheal Tube (ETT).

a) Pastikan semua persiapan alat untuk intubasi sudah lengkap.

b) Berikan ventilasi O2 100% selama ± 2 menit atau sampai dengan

saturasi oksigen mencapai maksimal yaitu 100%.

Page 33: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

c) Batang laringoskop dipegang menggunakan tangan kiri, lalu

tangan kanan mendorong kepala hingga ekstensi dan mulut

terbuka.

d) Masukkan bilah laringoskop mulai dari mulut sebelah kanan,

sedikit demi sedikit menyusuri lidah, dan menggeser lidah ke kiri

menuju epiglotis atau pangkal lidah.

e) Cari epiglottis, setelah terlihat kemudian tempatkan bilah

didepan epiglottis (pada bilah bengkok) atau angkat epiglottis

(pada bilah lurus).

f) Cari rima glottis, terkadang perlu bantuan asisten untuk

menekan trakea dari luar sehingga rima glottis terlihat.

g) Temukan pita suara yang berwarna putih dan daerah

disekitarnya yang berwarna merah.

h) Masukkan endotracheal tube (ETT) dengan tangan kanan

mengikuti permukaan curva blade laryngoscope. Masuk melalui

celah pita suara sampai ujung pipa dan cuff berada dibawah

laring dan diatas carina. Harus diperhatikan jangan mengangkat

gagang laringoskop, jangan mengungkit kea rah gigiatas karena

dapat menyebabkan gigi patah.

i) Cek posisi endotracheal tube (ETT) dengan cara mengauskultasi

dengan stetoskop. Cara ini untuk mengecek apakah kedua paru

mengembang secara maksimal dan pipa tidak masuk kedalam

salah satu bronkus.

j) Cuff dikembangkan untuk mencegah kebocoran serta

menghindari terjadinya aspirasi.

k) Hubungkan pangkan endotracheal tube (ETT) dengan mesin

anestesi atau dengan alat bantu napas kemudian difiksasi dengan

plestes atau hypafix.

Page 34: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

5) Kesulitan Intubasi Endotracheal Tube (ETT).

Kesulitan intubasi dapat diprediksi kesulitannya dengan cara

melihat atau melakukan pengukuran klasifikasi mallampati. Cara

mengukur mallampati dengan meminta pasien untuk membuka

mulut dan posisi duduk. Klasifikasi mallampati (Pramono, 2016)

sebagai berikut:

a) Kelas I: Palatum mollae, fauces, uvula dan pilar terlihat jelas.

b) Kelas II: Palatum mollae, fauces, dan sebagian uvula terlihat.

c) Kelas III: Palatum mollae dan dasar uvula yang terlihat.

d) Kelas IV: Langit-langit yang terlihat.

Sumber: Pramono (2016).

Gambar 6. Klasifikasi Mallampati.

Klasifikasi mallampati pada kelas I dan kelas II merupakan

bentuk yang paling mudah untuk dilakukan tindakan intubasi

endotracheal tube (ETT) jika dibandingkan dengan kelas III dan

kelas IV. Sesuai dengan gambar anatomi mallampati diatas, kelas III

dan IV merupakan kelas yang paling sulit untuk dilakukan intubasi.

Selain tanda mallampati, kesulitan intubasi juga bisa dilihat dari:

a) Pasien obesitas dengan leher yang pendek.

b) Keterbatasan gerak leher.

c) Pengurangan gerak pada tyromental joint.

d) Jarak thyromental < 3 jari (<6,5 cm).

Page 35: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

Kesulitan intubasi berdasarkan penampakan saat masuk

laringoskop ke dalam mulut dibagi menjadi beberapa kriteria sebgai

berikut:

a) Tingkat I: Glottis terlihat penuh, plica vocalis terlihat jelas.

b) Tingkat II: Glottis bagian depan tidak tampak, plica vocalis

terlihat sedikit.

c) Tingkat III: terlihat epiglottis, tetapi glottis tidak tampak.

d) Tingkat IV: epiglottis sama sekali tidak tampak.

Sumber: Pramono (2016).

Gambar 7. Penampakan dari laringoskop.

6) Komplikasi intubasi endotracheal tube (ETT).

Menurut Miller (2010), komplikasi yang sering terjadi pada

intubasi endotracheal tube (ETT) sebagai berikut:

a) Trauma jaringan lunak pada gigi dan mulut.

b) Aspirasi cairan lambung.

c) Spasme laring.

d) Edema laring.

e) Hipertensi sistemik dan takikardi.

f) Nyeri tenggorokan.

g) Barotrauma paru.

Page 36: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

B. Kerangka Teori

Sumber: Mangku & Senapathi, 2010; Pramono, 2016; McHardi & Chung, 2008;

Perry & Potter, 2010.

Gambar 8. Kerangka Teori.

Faktor yang mempengaruhi nyeri

tenggorokan:

1) Usia.

2) Jenis kelamin.

3) Penyakit kronis.

4) Tekanan cuff ETT.

5) Lama intubasi.

6) Riwayat merokok.

7) Ketrampilan pelaku intubasi.

8) Ukuran pipa endotracheal.

Endotracheal

Tube (ETT)

General Anestesi

Intravena Inhalasi Imbang

Face Mask (FM) Laryngeal Mask

Airway (LMA)

Faktor Penyulit:

1) Pasien obesitas dengan leher pendek.

2) Keterbatasan gerak leher.

3) Pengurangan gerak pada tyromental

joint.

4) Jarak thyromental < 3 jari (<6,5 cm).

5) Klasifikasi mallampati.

Ekstubasi ETT

Tranduksi

Nyeri tenggorokan

Transmisi

Modulasi

Penatalaksanaan

nyeri

Farmakologi Non Farmakologi

Guided Imagery

Mengeluarkan hormone

endorphine

Menimbulkan efek analgesia

Penyebab:

1) Bernafas melalui mulut

2) Common Cold dan Influenza.

3) Pharingitis

4) Tonsilektomi dan adenoidectomy.

5) General anestesi, karena

penggunaan ETT atau LMA.

Page 37: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

C. Kerangka Konsep

Keterangan:

Gambar 9. Kerangka Konsep.

D. Hipotesa

Ha: Ada pengaruh pemberian terapi guided imagery terhadap tingkat nyeri

tenggorokan pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general

anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten.

Ho: Tidak ada pengaruh pemberian terapi guided imagery terhadap tingkat

nyeri tenggorokan pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien

general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten.

Terapi Guided

Imagery Tingkat Nyeri Tenggorokan Pasca

Pemasangan Endotracheal Tube

(ETT)

Faktor yang mempengaruhi nyeri

tenggorokan:

1) Usia

2) Jenis kelamin

3) Penyakit kronis

4) Tekanan cuff ETT

5) Lama intubasi

6) Riwayat merokok

7) Ketrampilan pelaku intubasi

8) Ukuran pipa endotracheal

: Yang diteliti

: Tidak diteliti

Page 38: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode

quasy eksperimental. Rancangan ini berupaya untuk mengungkapkan

hubungan sebab akibat dengan cara melibatkan kelompok kontrol disamping

kelompok intervensi tetapi dalam proses pemilihan kedua kelompok ini tidak

menggunakan teknik acak. Rancangan ini biasanya menggunakan kelompok

subjek yang telah berbentuk secara wajar (teknik rumpun) sehingaa sejak awal

bisa saja kedua kelompok subjek telah memiliki karakteristik yang berbeda.

Apabila pada pasca-tes ternyata kedua kelompok tersebut berbeda, mungkin

perbedaannya bukan disebabkan pemberian intervensi, tetapi sejak awal

kelompok tersebut sudah berbeda (Nursalam, 2017).

Bentuk desain penelitian ini adalah rancangan prepost test dengan

kelompok kontrol (prepost test with control group design). Prepost test with

control group design merupakan gabungan dari pretest dan posttest group dan

static comparasion yaitu observasi yang dilakukan sebanyak 2 kali pada

sebelum dan sesudah eksperimen dan terdapat kelompok pembanding atau

kelompok kontrol yang tidak mendapatkan perlakuan (Arikunto, 2010).

Pada kelompok intervensi diberikan perlakuan berupa pemberian

guided imagery, sedangkan pada kelompok kontrol tidak diberikan guided

imagery. Rancangan penelitian ini terdapat kelompok pembanding yang

memungkinkan peneliti dapat menguji perubahan-perubahan yang terjadi

Page 39: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

setelah ada eksperimen. Desain penelitian ini dapat digambarkan seperti

berikut menurut Dharma (2011):

Responden Pre test Intervensi Post test

Intervensi O1 X1 O2

Kontrol O3 X0 O4

Tabel 5. Rancangan Penelitian.

Keterangan:

O1 : Pre test (observasi) tingkat nyeri tenggorokan pasca pemasangan

endotracheal tube (ETT) sebelum diberikan guided imagery pada

kelompok intervensi.

O2 : Post test (observasi) tingkat nyeri tenggorokan pasca pemasangan

endotracheal tube (ETT) setelah diberikan guided imagery selama

10 menit pada kelompok intervensi.

X1 : Pemberian guided imagery selama 10 menit pada kelompok

intervensi.

X0 : Kelompok kontrol tanpa intervensi.

O3 : Pre test (observasi) tingkat nyeri tenggorokan pasca pemasangan

endotracheal tube (ETT) pada kelompok kontrol.

O4 : Post test (observasi) tingkat nyeri tenggorokan pasca pemasangan

endotracheal tube (ETT) pada kelompok kontrol.

Page 40: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi Penelitian

Populasi merupakan seluruh objek atau objek dengan karakteristik

dan kualitas tertentu yang diteliti. Bukan hanya objek atau subjek yang

dipelajari saja, tetapi seluruh karakteristik atau sifat yang dimiliki subjek

atau objek tersebut (Sugiyono, 2018). Populasi dalam penelitian ini adalah

seluruh pasien yang menjalani general anestesi intubasi ETT di RSUP dr.

Soeradji Tirtonegoro Klaten berjumlah rata-rata 100 orang dalam satu

bulan.

2. Sampel

Sampel adalah bagian yang diambil dari keseluruhan objek yang

diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi yang diambil dengan cara

atau teknik tertentu (Notoadmojo, 2013). Pengambilan sampel dilakukan

secara consecutive sampling, yaitu setiap subyek yang datang dan

memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi akan dimasukkan dalam penelitian

sampai jumlah subyek yang diperoleh terpenuhi (Nursalam, 2017). Peneliti

dalam penelitian ini mengambil responden sebagai sampel dengan beberapa

kriteria sebagai berikut:

a. Kriteria Inklusi

1) Bersedia menjadi responden.

2) Laki-laki atau perempuan dengan usia 17-55 tahun.

3) Pasien dilakukan general anestesi dengan intubasi endotracheal

tube (ETT)

Page 41: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

4) Lama operasi 1-2 jam.

5) Pasien dengan status fisik ASA I dan II

6) Pasien kooperatif.

b. Kriteria Ekslusi

1) Pasien dengan operasi THT.

2) Pasien dengan operasi craniotomy.

3) Pasien dengan kelainan faring.

4) Pasien dengan pembedahan tiroid.

c. Besar Sampel

Menurut Lemeshow dalam (Romlah, dkk 2013), salah satu metode

yang digunakan untuk menentukan jumlah sampel adalah menggunakan

rumus sebagai berikut:

Keterangan:

n = perkiraan jumlah sampel

z𝛼 = nilai kesalahan 5%

z𝛽 = nilai kepercayaan 90%

P1 = proporsi kelompok 1

P2 = proporsi kelompok 2

Page 42: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 28

responden. Menggunakan confidence level 90% dengan tingkat

kesalahan yang digunakan 5% maka besar sampel adalah:

Diketahui:

z𝛼 = 5%

z𝛽 = 0,90

P1 = 0,50

P2 = 0,89

Dari perhitungan tersebut diatas, didapatkan jumlah sampel sebesar

28 responden. Menurut Nursalam (2017), untuk mengantisipasi data

kurang valid (drop out), maka jumlah sampel ditambah 10% sehingga

besar sampel yang diperlukan sejumlah 31 responden.

Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 62

responden yang termasuk dalam kelompok intervensi dan kelompok

kontrol.

C. Waktu dan Tempat

1. Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan tanggal 15 Desember 2019 – 15

Maret 2020.

2. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Bangsal Perawatan RSUP dr. Soeradji

Tirtonegoro Klaten.

Page 43: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

D. Variabel Penelitian

Variabel merupakan segala bentuk apapun yang ditetapkan oleh

peneliti untuk dipelajari dan diperoleh informasi tentang hal tersebut,

kemudian ditarik kesimpulan dari hal tersebut. Variabel dapat diartikan sebagai

sesuatu yang digunakan sebagai ciri, sifat, atau ukuran yang dimiliki atau

didapatkan oleh satuan penelitian tentang suatu konsep tertentu (Notoatmodjo,

2013).

1. Variabel Bebas (independent variable)

Independent variable merupakan variabel yang menjadi sebab

perubahan atau timbulnya dependent variable (terikat). Variabel bebas

berarti bebas dalam mempengaruhi variabel lain (Hidayat, 2011). Variabel

bebas pada penelitian ini adalah pemberian guided imagery.

2. Variabel terikat (dependent variable)

Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau menjadi

akibat dari variabel bebas (Hidayat, 2011). Variabel terikat pada penelitian

ini adalah nyeri tenggorokan pasca pemasangan endotracheal tube (ETT).

3. Variabel Pengganggu

Variabel pengganggu (confounding variabel) merupakan suatu

variabel yang nilainya ikut menentukan variabel lain baik secara langsung

maupun tidak langsung. Variabel ini ada apabila terdapat faktor atau

variabel ketiga pengganggu yang berkaitan dengan faktor risiko atau faktor

akibat outcome. Variabel pengganggu dalam penelitian ini antara lain:

Page 44: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

a. Usia

b. Jenis kelamin

c. Penyakit kronis

d. Tekanan cuff ETT

e. Lama intubasi

f. Riwayat merokok

g. Ketrampilan pelaku intubasi

h. Ukuran pipa ETT

E. Definisi Operasional Variabel Penelitian

No Variabel Definisi Operasional Alat ukur Hasil ukur Skala

1 Pemberian

Guided

Imagery

Teknik relaksasi dengan

memberikan sugesti

secara terbimbing dalam

membayangkan

lingkungan pegunungan

yang sejuk dengan

menggunakan MP3.

Dilakukan selama 10

menit setelah dilakukan

pretest pengukuran skala

nyeri pada 24 jam pasca

operasi di ruang

perawatan.

Lembar

observasi

1: Diberikan

guided imagery

2: tidak

diberikan

guided imagery

Nominal

2 Nyeri

tenggorokan

pasca

intubasi

ETT

Perasaan tidak nyaman

nyeri di tenggorokan

karena pemasangan pipa

trakea yang dirasakan

oleh pasien. Diukur 24

jam setelah operasi

Diukur sebanyak dua kali

yaitu sebelum diberikan

intervensi dan sesudah

diberikan intervensi

guided imagery.

Lembar

observasi

checklist

skala nyeri

POST

(Post

Operative

Sore

Throat)

0: Tidak nyeri

1: Nyeri ringan

(nyeri

tenggorokan

saat bicara)

2: Nyeri sedang

(keluhan nyeri

dirasakan

pasien saat

diam).

3: Nyeri berat

(perubahan

suara, serak

berkaitan

Ordinal

Page 45: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

dengan nyeri

tenggorokan)

Tabel 6. Definisi Operasional.

F. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

1. Jenis Data

Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Data primer

didapatkan langsung dari responden berupa penilaian tingkat nyeri

tenggorokan. Data sekunder diperoleh dari hasil studi dokumen untuk

mendapatkan data demografi responden.

2. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data pada penelitian ini yaitu menggunakan cara

wawancara, studi dokumen, dan observasi langsung pada responden yang

dipilih sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi. Responden diminta untuk

memandatangani surat persetujuan menjadi responden. Pengambilan data

kejadian nyeri tenggorokan tenggorokan dilakukan 24 jam setelah operasi

selesai di ruang perawatan menggunakan skala POST (Post Operative Sore

Throat).

G. Instrumen dan Bahan Penelitian

Instrumen pengumpulan data adalah alat bantu yang dipilih dan

digunakan oleh peneliti dalam kegiatannya mengumpulkan data agar kegiatan

tersebut menjadi sistematis dan dipermudah olehnya (Notoatmodjo, 2013).

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar pengukuran

Page 46: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

nyeri Post Operative Sore Throat (POST), Standar Operasional Prosedur

(SOP) pemberian guided imagery, MP3 yang berisi langkah-langkah guided

imagery, stopwatch atau jam untuk mengukur waktu pemberian guided

imagery.

H. Prosedur Penelitian/Jalannya Penelitian

1. Tahap Persiapan

a. Melakukan bimbingan penyusunan proposal penelitian kepada

pembimbing I dan pembimbing II.

b. Pengumpulan data, artikel, dan jurnal sebagai keaslian penelitian dan

referensi untuk penyusunan proposal penelitian.

c. Mengajukan judul penelitian, penelusuran pustaka, dan izin studi

pendahuluan kepada Ketua Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes

Yogyakarta.

d. Melakukan perizinan untuk melaksanakan studi pendahuluan di RSUP dr.

Soeradji Tirtonegoro Klaten.

e. Melakukan studi ke bagian Pendidikan dan Latihan RSUP dr. Soeradji

Tirtonegoro Klaten.

f. Menyusun proposal skripsi dengan bimbingan pembimbing I dan

pembimbing II.

g. Melaksanakan seminar proposal penelitian.

h. Melakukan perbaikan proposal penelitian.

i. Mengurus perizinan dan ethical clearance ke Komisi Etik Poltekkes

Kemenkes Yogyakarta.

Page 47: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

j. Mengurus perizinan penelitian ke Bagian Pendidikan dan Latihan RSUP

dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten.

k. Menentukan asisten penelitian atau enumerator sejumlah 2 orang di

Bangsal Bedah RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten.

l. Melakukan penyamaan persepsi dengan asisten peneliti agar data yang

didapatkan sesuai dengan keinginan peneliti.

2. Tahap Pelaksanaan

a. Pelaksanaan penelitian dilaksanakan di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro

Klaten pada bulan Desember 2019 – Maret 2020.

b. Penelitian melakukan koordinasi dengan kepala ruang IBS RSUP dr.

Soeradji Tirtonegoro Klaten.

c. Peneliti atau asisten peneliti menentukan responden yang sesuai dengan

kriteria inklusi dengan melihat rekam medis.

d. Peneliti atau asisten peneliti memilih pasien post operasi dengan

general anestesi dengan teknik intubasi ETT sejumlah 62 responden.

31 responden menjadi kelompok intervensi yang akan dilakukan

intervensi dengan guided imagery oleh asisten peneliti A dan 31

responden menjadi kelompok kontrol oleh asisten peneliti B.

a. Memperkenalkan diri terlebih dahulu, peneliti atau asisten peneliti

melakukan Penjelasan Sebelum Persetujuan (PSP) dengan

menyampaikan penjelasan mengenai tujuan, manfaat, prosedur

pelaksanaan penelitian sebelum penandatanganan informed consent

sebagai responden.

Page 48: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

e. Peneliti atau asisten peneliti melakukan pengkajian tingkat nyeri

tenggorokan pasca pemasangan ETT pada pasien post general anestesi

dengan instrumen POST (Post Operative Sore Throat) sebagai data pre

test pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol.

f. Setelah menentukan tingkat nyeri yang dialami pasien, pasien yang

mengalami nyeri pada kelompok intervensi diberikan guided imagery

setelah operasi di bangsal bedah RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten

sedangkan pada kelompok kontrol tidak diberikan guided imagery.

g. Setelah pasien diberi guided imagery, peneliti atau asisten peneliti

mengukur tingkat nyeri tenggorokan dengan POST (Post Operative

Sore Throat) untuk mengetahui tingkat nyeri yang dialami pasien pada

kelompok intervensi pada post operasi dengan general anestesi

menggunakan teknik intubasi ETT di bangsal bedah RSUP dr. Soeradji

Tirtonegoro Klaten dan untuk kelompok kontrol yang tidak diberikan

guided imagery akan diukur juga tingkat nyeri nya menggunakan POST

(Post Operative Sore Throat). Kemudian peneliti menentukan tingkat

nyeri yang dialami pasien pada kelompok intervensi dan kontrol

berdasarkan jawaban yang diberikan pasien saat diukur dengan POST,

data tersebut digunakan peneliti sebagai data post test.

h. Peneliti mengumpulkan data hasil pengukuran yang didapatkan

kemudian melanjutkan ke tahap pengolahan data.

3. Tahap Laporan

a. Merekap data dari lembar obervasi, data diolah dan dianalisis.

Page 49: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

P = F/n x 100%

b. Menyusun laporan penelitian.

c. Mengkonsultasikan dengan kedua pembimbing.

d. Melaksanakan ujian skripsi.

e. Mengerjakan revisi laporan akhir.

I. Manajemen Data

1. Analisa Data

Metode analisa data dilakukan dengan tujuan agar data hasil penelitian yang

masih berupa data kasar lebih mudah dibaca. Metode analisa yang

digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Analisa Univariat

Analisa univariat bertujuan menjelaskan atau mendeskripsikan

karakteristik setiap variabel penelitian. Pada umumnya dalam analisis

ini hanya menghasilkan distribusi frekuensi dan proporsinya dilakukan

untuk mengetahui waktu distribusi frekuensi karakteristik responden

meliputi usia, jenis kelamin, riwayat merokok, status fisik ASA, lama

operasi, skala nyeri dengan menggunakan rumus (Notoatmodjo, 2013):

Keterangan:

P : Proporsi/jumlah presentase

F : Jumlah responden setiap kategori

n : Jumlah sampel

Page 50: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

b. Analisa Bivariat

Analisis bivariat yaitu analisa data yang menganalisis dua

variabel. Analisis ini digunakan untuk mengetahui hubungan dan

pengaruh antar variabel satu dengan variabel lainnya. Analisis bivariat

yaitu analisis data untuk mengetahui pengaruh pemberian Guided

Imagery terhadap tingkat nyeri tenggorokan pasca pemasangan ETT di

RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten. Analisis bivariat yang

digunakan untuk menghasilkan hubungan antara dua variabel yang

bersangkutan, yaitu variabel independen dan variabel dependen

(Notoatmodjo, 2013).

Sebelum dilakukan analisis dilakukan uji normalitas data untuk

mengetahui data tersebut berdistribusi normal atau tidak mengguna

menggunakan uji shapiro-wilk dikarenakan sampel data kurang dari 50

sampel (n < 50). Apabila data berdistribusi normal (parametrik) maka

peneliti menggunakan uji paired t-test, tetapi sebaliknya jika data

berdistribusi tidak normal (non parametrik) maka peneliti menggunakan

uji wilcoxon untuk mengetahui perbedaan nilai pre dan post pada

kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Kemudian membandingkan

perbedaan tingkat kecemasan pada kelompok intervensi dan kelompok

kontrol dengan menggunakan uji independent t-test jika data

berdistribusi normal, tetapi sebaliknya jika data tidak berdistribusi

normal menggunakan uji mann whitney. Apabila p < 0,05 maka

hipotesis diterima.

Page 51: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

2. Pengolahan data

Pengolahan data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan

program komputer dengan langkah-langkah menurut Arikunto (2010)

sebagai berikut:

a. Editing

Tahap ini merupakan tahap kegiatan penyutingan data yang telah

terkumpul, yaitu dengan cara memeriksa kembali kelengkapan data.

b. Coding

Kegiatan memberi kode. Peneliti memberi tanda atau kode pada data

untuk memudahkan klasifikasi atau pengelompokan dalam analisis

data.

c. Entry

Memindahkan atau memasukan data dari data yang diperoleh dari

lembar observasi (checklist) ke dalam komputer untuk diproses.

Analisis data menggunakan koputerisasi.

d. Cleaning

Memeriksa kembali data yang telah masuk dalam komputer, apakah ada

kesalahan-kesalahan yang terjadi didalamnya. Pemeriksaan tetap

diperlukan dan harus dilakukan meskipun dalam memasukan data telah

menggunakan atau memperhatikan kaidah-kaidah yang benar.

Page 52: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

e. Tabulating

Tabulating dilakukan ketika masing-masing data sudah diberi kode,

kemudian untuk memudahkan dalam pengolahannya, dibuat tabel-tabel

sesuai tujuan penelitian.

J. Etika Penelitian

Pada penelitian ilmu keperawatan, karena hampir 90% subyek yang

dipergunakan adalah manusia, maka peneliti harus memahami prinsip-prinsip

etika penelitian. Secara umum prinsip etika dalam penelitian/pengumpulan

data dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu prinsip manfaat, pinsip

menghargai hak-hak subyek, dan prinsip keadilan.

a. Prinsip manfaat

1) Bebas dari penderitaan

Penelitian guided imagery tidak membahayakan atau merugikan

responden. Responden hanya diminta untuk mengisi mengikuti

instruksi peneliti untuk mengurangi nyeri tenggorokan pasca

pemasangan ETT.

2) Bebas dari eksploitasi

Responden harus dihindarkan dari keadaan yang tidak menguntungkan.

Responden harus mengetahui bahwa saat responden memberikan

informasi tidak akan merugikan responden.

3) Risiko (benefits ratio)

Peneliti mempertimbangkan risiko dan keuntungan saat memberikan

guided imagery kepada responden.

Page 53: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

b. Prinsip menghargai hak asasi manusia (respect human dignity)

1) Hak untuk ikut/tidak menjadi responden (respect to self determination)

Memperlakukan responden secara baik dan manusiawi. Responden

mempunyai hak untuk menerima atau menolak guided imagery yang

akan diberikan, tanpa adanya sangsi apapun atau akan berakibat

terhadap kesembuhannya.

2) Hak untuk mendapatkan jaminan dari perlakuan yang diberikan (right

to full disclosure)

Peneliti memberikan penjelasan kepada responden secara rinci

mengenai guided imagery serta bertanggung jawab atas tindakan yang

akan dilakukan untuk mengantisipasi adanya sesuatu yang tidak di

inginkan.

3) Informed consent

Peneliti memberikan lembar persetujuan kepada responden agar

responden mengetahui maksud dan tujuan guided imagery. Jika

responden bersedia untuk menjadi sampel penelitian maka responden

diminta untuk menandatangani lembar persetujuan tersebut, namun jika

responden tidak bersedia maka peneliti harus menghormati hak

responden.

4) Prinsip keadilan (right to justice)

a) Hak untuk mendapatkan keadilan (justice)

Keadilan dilakukan oleh peneliti dengan cara memberikan

perlakuan yang adil meliputi seleksi subjek yang tidak diskriminatif,

Page 54: PENGARUH PEMBERIAN TERAPI GUIDED IMAGERY ......pasca pemasangan endotracheal tube (ETT) pada pasien general anestesi di RSUP dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten?” C. Tujuan Penelitian

subjek berkah mendapat penjelasan jika diperlukan. Dalam

penelitian ini kelompok kontrol yang tidak mendapatkan perlakuan

guided imagery dan mendapatkannya setelah proses post test

dilakukan. Hal ini dilakukan untuk tetap menjaga etika keadilan

untuk sesama responden.

b) Hak dijaga kerahasiaannya (right to privacy)

Didalam lembar observasi nama sebagai identitas pasien hanya

dituliskan dengan inisial tidak dituliskan secara lengkap serta

menuliskan kode pada lembar pengumulan data atau hasil penelitian

yang akan diujikan.