pengaruh bap dan kinetin terhadap pertumbuhan tunas pisang ...repository.unib.ac.id/12660/1/dewi...

45
PENGARUH BAP DAN KINETIN TERHADAP PERTUMBUHAN TUNAS PISANG BARANGAN (Musa paradisiaca L.) SECARA IN VITRO. SKRIPSI Oleh: Dewi Sintha NPM. E1J013124 PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BENGKULU 2017

Upload: vuongque

Post on 09-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PENGARUH BAP DAN KINETIN TERHADAP

PERTUMBUHAN TUNAS PISANG BARANGAN (Musa

paradisiaca L.) SECARA IN VITRO.

SKRIPSI

Oleh:

Dewi Sintha

NPM. E1J013124

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BENGKULU

2017

2

3

4

5

PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Pengaruh BAP dan Kinetin Terhadap

Pertumbuhan Tunas Pisang Barangan (Musa paradisiaca L.) secara In Vitro.” ini merupakan

karya saya sendiri (asli) dan isi dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan

orang lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu Institusi Pendidikan dan sepanjang

pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis dan/atau diterbitkan

orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam nasakah ini dan disebutkan didalam

daftar pustaka.

Bengkulu, Maret 2017

Dewi Sintha

NPM. E1J013124

6

SUMMARY

THE EFFECT OF BAP CONCENTRATIONS AND KINETIN ON THE GROWTH OF

BANANA SHOOTS BARANGAN (Musa paradisiaca L.) BY IN VITRO (Dewi Sintha under

the supervision of Atra Romeida and Widodo. 2017. 26 pages)

Banana is a high economic value fruit corp. This plant becomes one of the most

important global agricultural commodities beside rice, wheat and milk. The demand of

Banana commodity in domestic has increased in line with population growth, education,

income and public awareness toward the importance of nutrition. However, the demand for

commodities is not commensurate with bananas production that is currently not able to meet

consumer‟s demand. It is because banana is still cultivated traditionally in the homestead

without any specific area and improper cultivation techniques. The pests and disease

bacterial wilt found and banana plants propagated by vegetative using saplings (sucker) or

tubers (corm) also impact on the minimum production of banana. Each banana breeder can

only produce 5-10 new banana plants in a good quality every year. Therefore, one of the

efforts that can be done to overcome the problem on the supply of banana in a good quality

seeds is by using tissue culture (in vitro). The objective of this research is to obtain the best

concentration of BAP interaction with Kinetin concentration, the best concentration of BAP

and the best concentration of Kinetin that can stimulate the formation for shoots

multiplication of Barangan banana. This research was conducted from June to December

2016 at the Laboratory of Agronomy and Biotechnology Division of Plant Tissue Culture,

Faculty of Agriculture, University of Bengkulu. Barangan banana explants used in this

research is globular of Barangan banana bananas from Balitbu West Sumatra. These

experiments used complete random design with 2 factors. The first factor is the

concentrations of BAP used, they are 0; 2,5 and 5 mg L-1. The second factor is the

concentrations of Kinetin used, they are 0; 1; 2; 3; 4 and 5 mg L-1. The total unit of the

experiment is 90 units. The results of this experiment showed that interaction concentration

of 2,5 mg L-1 BAP with a concentration of 4 mg L-1 Kinetin generates the best shoots

multiplication of Barangan banana that is 2 shoots explant-1. Concentration of 2,5 mg L-1

BAP generates the best shoots multiplication is 1,4 shoots explant-1 and generates the fastest

growing shoots is 1,8 MST. Concentration of 2 mg L-1 Kinetin generates the best shoots

multiplication is 1,4 shoots explant-1.

(Program Study : agroecotecnology)

7

RINGKASAN

PENGARUH BAP DAN KINETIN TERHADAP PERTUMBUHAN TUNAS PISANG

BARANGAN (Musa paradisiaca L.) SECARA IN VITRO (Dewi Sintha di bawah bimbingan

Atra Romeida dan Widodo. 2017. 26 Halaman)

Pisang merupakan tanaman buah yang bernilai ekonomi tinggi. Tanaman ini menjadi

komoditi pertanian global terpenting nomor empat setelah beras, gandum dan susu.

Permintaan komoditas pisang di dalam negeri mengalami peningkatan seiring dengan

bertambahnya jumlah penduduk, meningkatnya pendidikan, pendapatan dan kesadaran akan

pentingnya gizi masyarakat. Permintaan komoditas ini tidak sepadan dengan produksi pisang

yang saat ini belum mampu memenuhi permintaan konsumen, dikarenakan tanaman pisang

masih dibudidayakan secara tradisional yang ditanam di pekarangan tanpa area yang khusus,

teknik budidaya tidak tepat, tingginya gangguan hama dan penyakit layu bakteri dan penyakit

layu fusarium serta tanaman pisang diperbanyak dengan cara vegetatif dengan menggunakan

anakan (sucker) atau bonggol (corm). Setiap indukan pisang hanya mampu menghasilkan 5-

10 anakan sehat dalam tiap tahun. Oleh karena itu, salah satu upaya yang dapat dilakukan

untuk mengatasi kendala dalam penyediaan bibit pisang sehat dapat dilakukan dengan teknik

kultur jaringan (in vitro). Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan interaksi konsentrasi

BAP dengan konsentrasi Kinetin terbaik, konsentrasi BAP terbaik dan konsentrasi Kinetin

terbaik yang dapat memacu pembentukan tunas pisang Barangan secara in vitro. Penelitian

dilaksanakan mulai Juni sampai Desember 2016 di Laboratorium Agronomi Divisi

Bioteknologi dan Kultur Jaringan Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu.

Bahan tanam pisang barangan yang digunakan adalah eksplan steril pisang barangan dari

BALITBU Sumatra Barat. Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)

faktorial dengan 2 faktor. Faktor pertama adalah konsentrasi BAP terdiri atas 3 taraf yaitu

B0 = 0 mg L-1, B1= 2,5 mg L-1, B2 = 5 mg L-1. Faktor kedua adalah konsentrasi Kinetin

terdiri atas 6 taraf yaitu K0= 0 mg L-1, K1= 1 mg L-1, K2 = 2 mg L-1, K3 = 3 mg L-1, K4 = 4

mg L-1 dan K5 = 5 mg L-1. Total unit percobaan adalah 90 unit. Hasil percobaan ini

menunjukkan bahwa interaksi konsentrasi 2,5 mg L-1

BAP dengan konsentrasi 4 mg L

-1

Kinetin menghasilkan jumlah tunas in vitro pisang barangan terbaik yaitu 2 tunas per

eksplan. Konsentrasi 2,5 mg L-1

BAP menghasilkan jumlah tunas terbaik yaitu 1,4 tunas per

eksplan dan saat tumbuh tunas tercepat yaitu 1,8 MST. Konsentrasi 2 mg L-1

Kinetin

menghasilkan jumlah tunas terbaik yaitu 1,4 tunas per eksplan.

(Program Study : agroekoteknologi)

8

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Talang Benuang (Bengkulu Selatan) 1 September 1994 dari

Bapak Bustamir dan Ibu Azani Bariah. Penulis merupakan anak bungsu dari lima

bersaudara, Fitria Aryani, Meriyani, Ovika Riani, Venti Mentari dan Dewi Sintha (Penulis).

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 41 Bengkulu pada

tahun 2007, pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 6 Bengkulu pada

tahun 2010, pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 4 Bengkulu pada tahun 2013.

Tahun 2013 penulis lulus seleksi masuk di Program Studi Agroekoteknologi Fakultas

Pertanian Universitas Bengkulu melalui jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi

Negeri (SBMPTN) Universitas Bengkulu. Penulis pernah mendapatkan Beasiswa PPA dari

tahun 2014-2015.

Penulis pernah menjadi anggota aktif Himpunan Mahasiswa Agroekoteknologi

(Himagrotek). Penulis menyelesaikan Kuliah Kerja Nyata (KKN) periode ke-79 di Desa

Suro Muncar, Kabupaten Kepahiang pada tahun 2016 dengan judul Penerapan Teknik

Budidaya Tanaman Cabai Rawit Secara Vertikultur. Penulis pernah melaksanakan kegiatan

magang di Pusat Kajian Horikultura Tropika (PKHT) di Bogor pada tahun 2016 dengan judul

Teknik Perbanyakan Tanaman Pisang Kepok Varietas Unti Sayang Secara In Vitro.

9

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

“Kebahagian adalah mereka yang berani bermimpi dan berani berkorban demi mewujudkannya”.

“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila kamu telah selesai (dari suatu

urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain”. - (Q.S al Insyirah: 6-8) -

“Hanya yang menyerah yang kalah. Yang berupaya, masih berkesempatan untuk berhasil. Jangan

menyerah ”.

PERSEMBAHAN

Skripsi ini ku persembahkan untuk:

Papa dan Mama (Bustamir Ismail dan Azani Bariah) tersayang yang

telah mencurahkan kasih sayang dan cinta yang tulus padaku, selalu

berkorban membesarkan, mendidik, membimbing dan mendoakanku

hingga aku bisa mencapai semua ini.

Kakak-kakakku Fitria Aryani, Meriyani, Ovika Riani, Venti Mentari

yang telah mendukung dan mendoakan.

Nenekku tersayang

Mak Gaek (Alm) dan Almarhum Kakek-kakekku tersayang semoga

Allah mengampuni segala dosa dan memberikan tempat terindah untuk

kalian.

Teman-teman seperjuangan Ines Ayu Imansary, Mellyana Sari, Retno

Prayekti, Rufika Sari yang telah menemani dan membantu selama masa

perkuliahan.

Teman-teman KKN kelompok 179 Rizal Effendi, Muhammad Aby,

Shinta Anggraini R, Fenny Aliza, Juwita Putri A, Putri Novradita, dan

Hermawanto yang telah membantu selama masa KKN.

Bangsa dan Almamaterku

10

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah yang Maha Kuasa yang telah memberikan kesehatan dan

keselamatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh

BAP dan Kinetin Terhadap Pertumbuhan Tunas Pisang Barangan (Musa paradisiaca

L) secara In Vitro”. Shalawat teriring salam selalu tercurahkan kepada Baginda Nabi

Muhammad SAW dengan harapan mendapat syafaat di padang mahysar.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Atra Romeida, M.Si selaku dosen pembimbing utama yang dengan sabar

telah banyak membantu, mendidik penulis yang telah membimbing penulis dalam

menyempurnakan tulisan ini dari seminar proposal hingga selesai penelitian yang

telah menjadi inspirasi bagi penulis, juga memberikan dukungan secara moral dan

materi pada penelitian ini.

2. Prof. Ir. Widodo, M.Sc, Ph.D selaku dosen pembimbing akademik dan pembimbing

pendamping dengan sabar telah banyak membantu penulis dan mendidik penulis

menyelesaikan penulisan ini dari seminar proposal hingga selesai penelitian yang

telah menjadi inspirasi bagi penulis.

3. Ir. Usman Kris Joko Suharjo, M.Sc, Ph.D sebagai dosen penguji yang telah banyak

memberikan koreksi dan masukan dalam seminar proposal, seminar hasil, dan ujian

skripsi penulis.

4. Dr. Ir. Hendri Bustamam, M.S sebagai dosen penguji yang telah banyak memberikan

koreksi dan masukan dalam seminar proposal, seminar hasil dan ujian skripsi penulis.

Skripsi ini disusun berdasarkan data-data yang diperoleh dari studi lapangan dan studi

kepustakaan serta uji coba yang dilakukan kalaupun ada kekurangan itu diluar kemampuan

sebagai penulis. Oleh karena itu, penulis senantiasa terbuka untuk menerima kritik dan saran

dalam upaya penyempurnaan skripsi ini.

Akhir kata bantuan dan budi baik yang telah didapatkan, penulis menghaturkan terima

kasih dan semoga Allah SWT yang dapat memberikan balasan pahala yang setimpal.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan khususnya bagi penulis. Amin.

Bengkulu, Maret 2017

Penulis

vi

11

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ................................................................................................... vi

DAFTAR ISI .................................................................................................................. vii

DAFTAR TABEL .......................................................................................................... viii

DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................... ix

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................................. x

I. PENDAHULUAN .................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1

1.2 Tujuan ................................................................................................ ............... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................ 4

2.1 Botani Pisang Barangan................................................. .................................... 4

2.2 Budidaya Tanaman Pisang................................................................................. 5

2.3 Kultur Jaringan Pisang ....................................................................................... 6

2.4 Zat Pengatur Tumbuh ........................................................................................ 8

III. METODE PENELITIAN.......................................................................................... 13

3.1 Pelaksanaan Penelitian ....................................................................................... 13

3.2 Tahapan Penelitian ............................................................................................. 13

3.3 Variabel Pengamatan ......................................................................................... 14

3.3 Analisis Data ...................................................................................................... 16

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................ 17

4.1 Analisis Keragaman .......................................................................................... 17

4.2 Pengaruh Interaksi BAP dan Kinetin Terhadap Jumlah Tunas Pisang

Barangan Pada 12 MST .................................................................................... 19

4.3 Pengaruh Konsentrasi BAP Terhadap Pertumbuhan Tunas Pisang Barangan

Pada 12 MST ...................................................................................................... 20

4.4 Pengaruh Konsentrasi Kinetin Terhadap Pertumbuhan Tunas Pisang Barangan

Pada 12 MST ...................................................................................................... 22

4.5 Analisis Deskriptif Variabel Jumlah Daun ........................................................ 24

V. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................................. 26

1.1 Simpulan ............................................................................................................ 26

1.2 Saran ................................................................................................ ................. 26

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 27

LAMPIRAN .................................................................................................................... 32

vii

12

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Hasil Analisis Varians Respon Eksplan Pisang Barangan pada Beberapa

Konsentrasi BAP dan Kinetin secara in vitro pada 12 MST Sebelum dan Sesudah

di Transformasi.........................................................................................................

18

2. Pengaruh Interaksi BAP dan Kinetin terhadap Jumlah Tunas Pisang Barangan

pada 12 MST............................................................................................................

19

3. Pengaruh Konsentrasi BAP terhadap Pertumbuhan Tunas Pisang Barangan pada

12 MST....................................................................................................................

20

4. Pengaruh Konsentrasi Kinetin terhadap Pertumbuhan Tunas Pisang Barangan pada

12 MST................................................................................................................... 23

viii

13

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Rumus molekul NAA (α-Naphthalene Acetic Acid) 10

2. Rumus molekul BAP (6-Benzyl Amino Purine) 11

3. Rumus molekul Kinetin (6-furfurylaminopurine) 12

4. Pengaruh konsentrasi BAP dan Kinetin terhadap Jumlah Daun Tanaman Pisang

Barangan 24

ix

14

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Pembuatan larutan stok untuk 1 Liter media Murashige-skoog (MS)..................... 33

2. Perhitungan konsentrasi NAA, BAP dan Kinetin.................................................... 34

3. Denah Penelitian ...................................................................................................... 36

4. Gambar Tunas Pisang Barangan dari Berbagai Kombinasi Perlakuan dari Berbagai

Kombinasi Perlakuan................................................................................................

37

5. Data anava yang diuji secara statistik ...................................................................... 39

x

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pisang merupakan tanaman yang berasal dari Asia Tenggara dan kini tanaman pisang

telah menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pisang yang dikonsumsi segar sebagai

buah meja ini berasal dari persilangan alamiah antara Musa acuminate dengan Musa

balbisiana yang kini turunannya dikenal lebih dari ratusan jenis pisang, yaitu pisang meja,

pisang rebus (olahan), dan pisang hias ( Sunarjono, 2006 ). Salah satu tanaman pisang yang

mempunyai nilai komersial yang tinggi dan berpeluang untuk dikembangkan adalah pisang

barangan (Musa paradisiaca L.). Pisang barangan mempunyai kandungan gizi yang sangat

baik dan kaya mineral seperti kalium, magnesium, fosfor, besi, dan kalsium. Selain itu pisang

barangan juga mengandung vitamin C, B kompleks, B6, dan serotonin yang aktif sebagai

neurotransmitter dalam melancarkan fungsi otak (Sunyoto, 2011).

Data BPS Sumut (2012) menunjukkan produksi pisang barangan mengalami

peningkatan mencapai angka 15.793 ton dengan luas areal 13.787 ha, atau

produksinya/ha 11,46 kw/ha. Jika dibandingkan dengan produksi tahun 2010 yang hanya

mencapai 7.043 ton dengan luas areal 6.311 ha, atau produksinya/ha 5,66 kw/ha.

Permasalahan utama yang dihadapi dalam budidaya tanaman pisang Barangan

ini adalah karena kurang tersedianya bibit sehat (Anonim, 2001). Menurut Suyanti dan

Supriyadi (2008) dan Sunarjono (2006) tanaman pisang pada umumnya selalu diperbanyak

secara vegetatif, yaitu dengan menggunakan anakan (sucker) yang tumbuh dari bonggolnya.

Dengan cara pemisahan anakan ini, satu induk pisang dapat diperoleh sekitar 5 – 10 anakan

pertahun. Sedangkan menurut Cahyono (1995) untuk memperbanyak bibit pisang dapat juga

dilakukan dengan cara membelah-belah bonggol dari tanaman pisang (sesuai dengan jumlah

mata tunas yang ada), dan setiap potongan itu sering disebut dengan istilah bit. Namun

menurut Priyono et al., (2000) kendala pengadaan bibit unggul secara konvensional adalah

sulit mendapatkan bibit yang berkualitas dalam jumlah besar dalam waktu yang singkat.

Selain itu perbanyakan secara vegetatif menggunakan pohon induk yang sudah terinfeksi

akan terbawa terus pada anakan baru, seperti penyakit layu Fusarium (Semangun, 1991).

Untuk mengatasi kendala tersebut maka dilakukan dengan menggunakan kultur jaringan

tanaman dengan cara kultur apeks.

Menggunakan teknik kultur tunas pucuk secara in vitro, pelipat gandaan tunas dapat

dilakukan dengan cepat, sehingga dalam waktu satu tahun bisa dihasilkan puluhan sampai

ratusan ribu bibit yang berasal dari satu tunas pucuk. Seleksi terhadap bahan awal ataupun

2

eksplan untuk mikropropagasi serta perlakuan selama mikropropagasi yang senantiasa dalam

kondisi aseptik akan memperoleh tanaman yang bebas patogen dan akan mengurangi

peluang berkembangnya penyakit (George dan Sherrington, 1984). Meskipun demikian,

daya multiplikasinya dapat bervariasi tergantung pada jenis atau kultivar (Vuylsteke dan

Lenghe, 1984). Keunggulan lain dari bibit hasil teknik in vitro adalah bersih dari hama dan

penyakit yang ditimbulkan oleh cendawan atau bakteri, karena diproduksi secara aseptik

(Imelda, 1991).

Perkembangbiakan atau regenerasi dalam kultur in vitro dapat dilakukan melalui

jalur organogenesis dan embriogenesis somatik, baik secara langsung maupun tidak

langsung malalui tahap kalus. Embriogenesis somatik adalah menumbuhkan embrio dari sel

somatik atau sel tanpa dibuahi. Dapat juga didefinisikan sebagai proses regenerasi eksplan

melalui pembentukan struktur menyerupai embrio (embrioid) dari sel somatik yang telah

memiliki calon akar dan tunas (Purnamaningsih, 2003).

Embrio somatik dapat dicirikan dari strukturnya yang bipolar, yaitu mempunyai dua

calon meristem, yaitu meristem akar dan meristem tunas. Dengan memiliki struktur tersebut

maka perbanyakan melalui embrio somatik lebih menguntungkan daripada pembentukan

tunas adventif yang unipolar. Di samping strukturnya, tahap perkembangan embrio somatik

menyerupai embrio zigotik. Pembentukan embrio somatik dapat digambarkan melalui

beberapa tahap, yaitu: tahap globular, tahap hati, tahap torpedo, tahap kecambah, dan tahap

planlet (Purnamaningsih, 2003).

Menurut Widyastuti dan Tjokrokusumo (2006) zat pengatur tumbuh adalah senyawa

organik bukan nutrisi yang dalam konsentrasi rendah dapat mendorong, menghambat, atau

secara kualitatif mengubah pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Zat pengatur tumbuh

yang banyak digunakan dalam kultur jaringan adalah auksin dan sitokinin. Khasanah (2009)

menyatakan bahwa pemberian sitokinin bersama auksin pada medium kultur dapat memacu

pembelahan sel dan morfogenesis.

Aplikasi penggunaan auksin dan sitokinin pada tanaman pisang telah banyak

dilakukan. Pengggunaan ZPT ini untuk menginisiasi pembentukan organ secara in vitro.

Pembentukan organ tanaman merupakan tahap pertumbuhan dan perkembangan eksplan

secara in vitro. Organ yang diharapkan dari perkembangan in vitro adalah tunas. Untuk

pertumbuhan tunas diberikan sitokinin. Golongan sitokinin sintetik yang sering digunakan

diantaranya adalah Benzil amino purine (BAP) dan kinetin (Wattimena, 1992). BAP

aktif dalam memacu pembentukan tunas lebih aktif dari pada kinetin dan 2-iP serta untuk

penggandaan tunas (George dan Sheringthon, 1984).

3

Menurut penelitian yang dilakukan Nisa dan Rodinah (2005), menunjukkan bahwa

perlakuan 0,4 mg/L NAA + 6 mg/L kinetin kultivar pisang Mauli memberikan hasil yang

tertinggi terhadap persentase hidup eksplan yaitu 87,5% dan persentase kontaminasi terendah

yaitu < 5% sedangkan pemberian 0,8 mg/L NAA + 9 mg/L kinetin kultivar pisang Kepok

memberikan saat pertumbuhan kalus yang tercepat yaitu 11 hari. Rainiyati et al. (2009),

melakukan penelitian terhadap nodul pisang Raja Nangka dengan menggunakan kombinasi

IAA dan BAP pada eksplan fase globular hasil inisiasi dari bunga jantan jantung pisang Raja

Nangka memberikan tanggapan positif dalam pembentukan tunas mikro, namun

pembentukan tunas ini hanya dipengaruhi oleh penambahan BAP. Nilai maksimal persentase

eksplan yang membentuk tunas sebanyak 47,89% dan nilai maksimal jumlah tunas per

eksplan sebanyak 1,67 diperoleh dari kombinasi 3,0 mg/L BAP tanpa IAA. Ali et al., (2013)

melaporkan hasil penelitiannya bahwa bunga jantan pisang kultivar grand nain yang

dikultur pada media Murashige and Skoog (MS) ditambah dengan 0,5 mg/l 2,4-D

membentuk kalus embrionik 4 minggu setelah tanam (MST) dan penambahan 5 mg/l

kinetin dapat merangsang munculnya tunas yang paling cepat 8 minggu setelah tanam.

Marlin et al. (2012) melaporkan bahwa pemberian 30 g/l sukrosa dan kombinasi

BAP 2 mg/l dengan 2,4-D 2 mg/l pada media MS dapat merangsang pertumbuhan kalus

sampai diameter 2,5 cm pada eksplan jantung pisang curup 4 minggu setelah tanam. Menurut

hasil penelitian Utami (2015), menunjukkan bahwa multiplikasi tunas pisang Ambon Hijau

terbanyak dihasilkan dari perlakuan 4,6 mg/L BAP tanpa NAA sebanyak 4,76 tunas per

eksplan dan konsentrasi 2,5 mg/L BAP dan 0,5 mg/L NAA menghasilkan saat tumbuh tunas

tercepat (0,4 MST).

1.2 Tujuan

1. Mendapatkan interaksi BAP dan Kinetin terbaik terhadap pertumbuhan tunas pisang

Barangan secara in vitro

2. Mendapatkan konsentrasi BAP terbaik terhadap pertumbuhan tunas pisang Barangan

secara in vitro.

3. Mendapatkan konsentrasi Kinetin terbaik terhadap pertumbuhan tunas pisang Barangan

secara in vitro.

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Botani Pisang Barangan

Pisang barangan (Musa paradisiaca L.) termasuk Famili Musaceae, yang berasal dari

Asia Tenggara dan tersebar di seluruh dunia. Pisang barangan sangat digemari masyarakat

karena rasanya enak dan harga yang terjangkau. Secara konvensional pisang barangan

diperbanyak dengan anakan (sucker) dan bonggol (bit), hal ini dapat menghasilkan 1-10

anakan dalam satu tahun (Meina, 1992).

Pisang merupakan tanaman monokotil dan herba perennial dengan tinggi 2-9 m yang

mempunyai batang di bawah tanah atau rhizom. Bonggol (Corm) mempunyai pucuk yang

menghasilkan rhizom pendek dan tunas yang berada dekat induk. Pisang merupakan tanaman

partenokarpi yang berkembang biak dengan rhizom (Nakasone, 1998) .

Pisang dalam bahasa Arab, yaitu maus yang artinya pisang, kemudian oleh Linneus

dimasukkan kedalam keluarga Musaceae untuk memberikan penghargaan kepada Antonius

Musa. Dalam bahasa latin, pisang secara umum disebut juga Musa acuminata. Nakasone

(1998) mengelompokkan tanaman pisang kedalam:

Divisi : Spermatophyta

Sub Devisi : Angiospermae

Kelas : Monoeotyledonae

Famili : Musaceae

Genus : Musa

Spesies : Musa paradisiaca L.

Akar utama memiliki ketebalan sekitar 5-8 mm berwarna putih ketika baru dan sehat.

Kemudian dari beberapa akar utama akan berkembang akar sekunder dan tersier, yang

terakhir akan semakin tipis dan lebih pendek dari akar utama. Akar sekunder berasal dari

protoxilem dekat ujung akar dan terus berkembang melewati tanah. Beberapa jarak di

belakang ujung akar pada perkembangan akar utama dihasilkan rambut akar yang bertugas

dalam pengambilan air dan mineral (Robinson, 1999).

Batang sejati pada tanaman pisang sebagian atau keseluruhan ada di bawah tanah

yang disebut Rhizom. Rhizom dewasa berdiameter sekitar 300 mm. Rhizom merupakan

organ penting yang mendukung pertumbuhan tandan buah dan perkembangan anakan.

Sebelum berbunga, rhizom berisi sekitar 35% total bahan kering dan menurun menjadi 20%

saat kematangan buah karena cadangan didistribusikan untuk pertumbuhan buah (Robinson

1999). Sedangkan batang semu adalah batang pisang yang tersusun dari pelepahnya.

5

Daun pertama dihasilkan dari meristem pusat pada perkembangan anakan. Tangkai

daun berada pada dalam daun itu sendiri, tulang daun membagi menjadi dua helai bagian

lamina. Lamina dewasa memiliki panjang berkisar 1,5–2,8 m, sedangkan lebar 0,7-1,0 m.

Lamina membutuhkan 6-8 hari untuk membuka secara sempurna. Jumlah daun dapat

mencapai 25-50, dengan 10-15 daun fungsional pada tanaman saat muncul bunga (Nakasone

1998; Robinson,1999).

Bunga terdiri dari kumpulan dua baris bunga, bunga betina muncul pertama dan

kemudian disusul bunga jantan. Braktea membuka secara sekuen sekitar satu per hari.

Tangkai bunga terus memanjang sampai 1,5 m. Buah kemungkinan berkembang dari ovari

inferior. Eksokarp disusun pada lapisan 5 epidermis dan perenkim, dengan daging menjadi

mesokarp. Endokarp terdiri atas lapisan hampir rongga ovarian. Masing-masing node

mempunyai dua baris pada bunga membentuk tandan pada buah yang secara umum disebut

sisir dengan buah individual disebut finger.

2.2 Budidaya Tanaman Pisang

Perkembangbiakan pisang secara vegetatif dengan memanfaatkan bonggolnya.

Pertumbuhan tanaman pisang sangat dipengaruhi oleh keadaan ekologi, sehingga harus

disesuaikan dengan syarat tumbuh tanaman pisang. Iklim tropis basah, lembab dan panas

mendukung pertumbuhan pisang. Namun demikian pisang masih dapat tumbuh di daerah

subtropis. Pada kondisi tanpa air, pisang masih tetap tumbuh karena air disuplai dari

batangnya yang berair tetapi produksinya tidak dapat diharapkan. Syarat tumbuh tanaman

pisang yang baik di Indonesia umumnya dapat tumbuh di dataran rendah sampai pegunungan

setinggi 2.000 m dpl. Kecepatan angin dengan kecepatan tinggi seperti angin kumbang dapat

merusak daun dan mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Curah hujan optimal untuk

tanaman pisang adalah 1.520-3.800 mm/tahun dengan 2 bulan kering. Curah hujan yang

merata sepanjang tahun paling baik bagi pertumbuhan tanaman pisanga, tetapi pisang dapat

tumbuh pada daerah yang mempunyai bulan kering yang nyata. Kekeringan dapat

mengurangi kualitas buah yang dihasilkan. Variasi curah hujan harus diimbangi dengan

ketinggian air tanah agar tanah tidak tergenang. Temperatur yang optimal untuk

pertumbuhan tanaman pisang adalah 25-28°C. Pertumbuhan akan terganggu apabila

temperatur 22°C, sedangkan untuk temperatur rata-rata tahunan terendah untuk pertumbuhan

tanaman pisang adalah 14°C. Temperatur yang terlalu dingin, 10°C juga tidak baik untuk

pertumbuhan pisang, sedangkan jika terlalu panas akan berdampak terhadap kekeringan pada

daun dan buah. Kelembaban udara yang diharapkan adalah > 60 % dengan penyinaran

6

maksimum. Angin dapat merusak daun apabila kecepatannya di atas 60 km/jam. Tanaman

pisang menghendaki pH tanah berkisar 5,6-7,5 (Mulyanti et al., 2008).

Menurut BPP Teknologi (2000) tanaman pisang harus di ari dengan intensif tetapi air

tidak boleh menggenang. Tanaman pisang rata-rata dapat tahan terhadap kekeringan, karena

batangnya banyak mengandung air. Namun apabila terlalu kekurangan air juga tidak baik

pertumbuhannya. Hal ini dapat diatasi bila keadaan air tanah tidak terlalu dalam atau diberi

pengairan. Di daerah-daerah yang tanahnya liat berat dan airnya mudah menggenang, harus

diusahakan pembuangan airnya. Apabila sering tergenang air perakaran tanaman akan busuk

dan mudah terserang penyakit. Tanah endapan di pinggir sungai besar sangat baik bagi

pertumbuhan tanaman pisang karena membawa lapisan atas tanah yang subur. Ketinggian air

tanah di daerah basah adalah 50-200 cm, di daerah setengah basah 100-200 cm dan di daerah

kering 50-150 cm. Kriteria tanah yang cocok untuk tanaman pisang adalah yang mempunyai

drainase dan aerasi yang baik, dalam, berlempung, dan subur meskipun tanaman pisang

hampir dapat tumbuh di semua macam kondisi tanah. Perkecualian dilakukan apabila

tanahnya berpasir.

2.3 Kultur Jaringan Pisang

Secara konvensional penyediaan bibit pisang dilakukan dengan menggunakan tunas

anakan maupun belahan bonggol. Perbanyakan bibit pisang dapat dilakukan dengan cara

membelah bonggol sesuai dengan mata tunas yang ada, setiap belahan tunasnya disebut

dengan istilah bit. Tetapi dengan cara tersebut dari jumlah anakan yang diperoleh relatif

sedikit, yaitu 5-10 anakan per rumpun per tahun. Menurut Yusnita dan Hapsoro (2013), jika

ditanam secara monokultur maka untuk satu hektar lahan dibutuhkan sebanyak 1000-2500

bibit pisang. Namun, perbanyakan bibit unggul secara konvensional ini belum mampu

memenuhi kebutuhan bibit pisang pada perkebunan skala besar. Selain itu umur anakan

yang tidak seragam menyebabkan peningkatan biaya produksi. Untuk mengatasi kendala

dari perbanyakan secara konvensional tersebut diperlukan teknologi alternatif sehingga dapat

menyediakan bibit yang seragam dalam jumlah besar, berkualitas, bebas penyakit, dalam

waktu yang singkat dan kontinu.

Perbanyakan tanaman pisang cara kovensional sulit untuk mendapatkan bibit yang

berkualitas dalam jumlah besar dan dalam waktu relatif singkat. Menurut Bhasole et al.

(2011), untuk kepentingan komersial bahan tanam tersebut dapat diperoleh melalui teknik

kultur jaringan. Menurut Roy et al. (2010), teknik ini menghasilkan multiplikasi yang tinggi,

secara genetik seragam, dan bahan tanamnya bebas hama dan penyakit. Selain itu, bibit

7

pisang yang dihasilkan secara in vitro lebih cepat umbuh dan menghasilkan anakan lebih

banyak.

Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian tanaman seperti

protoplasma, jaringan dan organ, serta ditumbuhkan dalam kondisi aseptik, sehingga

bagian-bagian tanaman tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman

lengkap kembali (Gunawan,1992). Keberhasilan kultur jaringan tanaman dipengaruhi oleh

beberapa faktor yaitu eksplan, media tumbuh, zat pengatur tumbuh dan lingkungan (George

and Sherrington, 1984).

Bibit hasil teknik kultur jaringan dapat menghasilkan tanaman yang seragam, baik

dari bentuk maupun umur tanaman, juga dapat dihasilkan bibit yang bebas patogen (George

dan Sherrington,1984). Bermacam bagian dari tanaman dapat digunakan sebagai bahan

tanam (eksplan). Umumnya jaringan meristematis merupakan bagian yang penting dijadikan

sebagai bahan tanam. Pada perbanyakan mikro tanaman pisang, bahan tanam dapat berasal

dari meristem/mata tunas (Marlin, 2010).

Sub kultur atau overplanting adalah pemindahan planlet yang masih kecil (planlet

muda) dari medium lama ke medium baru yang dilakukan secara aseptis didalam Laminar Air

Flow. Tujuannya adalah agar planlet tersebut mendapat unsur hara atau nutrisi untuk

pertumbuhannya (Utama, 2012).

Penggandaan tunas adalah salah satu tahapan dalam teknik kultur in vitro. Tunas yang

digandakan dapat berasal dari tunas mikro hasil induksi meristem apikal sebagai sumber

eksplan, sehingga disebut kultur meristem. Bibit kultur jaringan yang bermutu dapat

dihasilkan dengan didukungnya beberapa komponen, yaitu prasarana, bahan kimia untuk

pembuatan media, varietas unggul dan tenaga ahli. Prasarana berupa laboratorium yang

memenuhi syarat, rumah kaca atau plastik untuk membesarkan bibit yang masih sangat kecil

(plantlet). Tahap penting dari dalam perbanyakan in vitro adalah memperoleh kultur yang

aseptik dari tanaman induk terseleksi. Menurut George dan Sherrington (1984) keberhasilan

dalam kultur jaringan sangat ditentukan oleh medium yang digunakan. Jenis media dasar

yang digunakan dalam teknik kultur jaringan, media MS ( Murashige dan Skoog ) adalah

media yang mengandung jumlah hara organik yang layak untuk memenuhi kebutuhan

banyak jenis sel tanaman dalam kultur termasuk pisang (Gunawan, 1992).

Teknik kultur jaringan umumnya dilakukan untuk perbanyakan tunas kemudian

dilanjutkan dengan pengakaran dan aklimatisasi. Pada perbanyakan in vitro tanaman

pisang, perbanyakan tunas umumnya dilakukan melalui multiplikasi tunas aksilar.

Pembiakan in vitro tanaman pisang dapat dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu tahap

8

0: memilih dan menyiapkan tanaman induk untuk eksplan; tahap 1: inisiasi kultur (culture

establishment); tahap 2: perbanyakan propagul (multiplikasi tunas); tahap 3: pemanjangan

tunas dan pengakaran; dan tahap 4: aklimatisasi planlet. Tanaman untuk sumber eksplan

harus jelas jenisnya dan harus dalam kondisi sehat serta tidak terinfeksi patogen. Tahap

pemilihan bahan induk bertujuan agar semua sifat bibit diharapkan akan sesuai dengan sifat

induknya. Tahap inisiasi kultur bertujuan untuk mendapatkan kultur awal yang aseptik.

Bahan tanam yang biasa digunakan adalah tunas dari bonggol. Kultur pada tahap inisiasi ini

dikatakan berhasil jika eksplan tetap hidup dan media maupun eksplan tidak terkontaminasi

mikroorganisme. Tahap berikutnya adalah tahap multiplikasi tunas. Pada tahap ini eksplan

dirangsang untuk melakukan perbanyakan tunas dan diberikan zat pengatur tumbuh (ZPT)

sitokinin dalam media kultur. Tahap selanjutnya adalah memindahkan tunas yang dihasilkan

dari tahap multiplikasi untuk pemanjangan dan pengakaran. Tahap akhir dari perbanyakan

tanaman dengan teknik kultur jaringan adalah aklimatisasi planlet. Aklimatisasi yaitu

melatih tanaman yang sebelumnya ditumbuhkan di dalam botol kultur dengan suplai media

yang lengkap untuk dapat hidup secara mandiri dan berfotosintesis pada kondisi eksternal.

Aklimatisasi dilakukan dengan mengkondisikan planlet dalam media (Yusnita, 2003).

Keberhasilan dalam kultur in vitro pisang juga dipengaruhi oleh lingkungan tumbuh

dan eksplan. Lingkungan tumbuh seperti suhu, pH, dan cahaya. Tingkat kemasaman (pH)

media harus diatur supaya tidak mengganggu fungsi membran sel dan pH sitoplasma. Sel-sel

tanaman membutuhkan pH yang sedikit asam berkisar antara 5,5-5,8. Apabila pH dalam

media terlalu rendah atau tinggi, akan menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan

eksplan menjadi terhambat. Menurut Pasaribu (2007) eksplan pisang yang berasal dari

anakan sulit untuk disterilkan karena kontaminasi bakteri internal dari dalam tanah, sehingga

memerlukan jumlah eksplan yang sangat banyak, selain biaya untuk media dan tenaga kerja

yang lebih ekstra.

2.4 Zat Pengatur Tumbuh

Zat pengatur tumbuh mempunyai peran yang sangat penting dalam mengatur

pertumbuhan dan perkembangan eksplan di dalam kultur. Pertumbuhan dan morfogenesis

eksplan dalam kultur in vitro diatur oleh interaksi dan keseimbangan zat pengatur tumbuh

pada media dengan hormon endogen yang terdapat dalam eksplan (George dan Sherrington,

1984). Zat pengatur tumbuh tanaman terdiri atas lima jenis yaitu auksin, giberelin, sitokinin

etilen dan asam absisat. Auksin digunakan untuk memacu pertumbuhan akar, giberelin

berfungsi untuk pemanjangan sel, sitokinin memacu pembentukan tunas, etilen untuk

9

pematangan buah, asam absisat memacu gugurnya daun (Watimena, 1988).

Penambahan zat pengatur tumbuh eksogen akan mengubah level zat pengatur tumbuh

endogen sel. Perimbangan zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin yang sesuai akan sangat

besar pengaruhnya untuk menghasilkan plantlet (Gunawan, 1992). Armini et al. (1991)

menambahkan bahwa untuk pertumbuhan dan perkembangan kultur in vitro diperlukan

komposisi dan atau konsentrasi zat pengatur tumbuh yang berbeda untuk satu varietas

dengan varietas lain dari suatu tanaman. Penentuan taraf konsentrasi juga disesuaikan

dengan tipe organ atau eksplan, metode kultur jaringan dan tingkat kultur jaringan

(pembuatan kalus, induksi tunas, induksi akar, dan lain-lain).

2.4.1 Auksin

Auksin umumnya berpengaruh terhadap pemanjangan sel, pembentukan kalus dan

akar adventif serta menghambat pembentukan tunas aksilar. Dalam konsentrasi rendah

auksin akan memacu pembentukan akar adventif, sedangkan dalam konsentrasi tinggi

mendorong pembentukan kalus (Pierik, 1997). Beberapa faktor yang perlu diperhatikan

dalam penggunaan zat pengatur tumbuh, antara lain : (1) jenis ZPT yang akan digunakan,

(2) konsentrasi ZPT, (3) urutan penggunaan, (4) periode masa induksi dalam kultur tertentu,

(5) kelemahan aktifitasnya (Lestari, 2008).

Auksin yang sering dipakai dalam kultur jaringan adalah IAA (Indole Acetic Acid),

2,4- D (2,4-Dichlorophenoxy Acetic Acid), IBA (Indole Butyric Acid) dan NAA (Naphtalene

Acetic Acid). Umumnya auksin meningkatkan pemanjangan sel, pembelahan sel, dan

pembentukan akar adventif, dalam medium kultur auksin dibutuhkan untuk meningkatkan

embryogenesis somatic pada kultur suspense sel. Konsentrasi auksin yang tinggi akan

merangsang pembentukan kalus dan menekan morfogenesis (George dan Sherrington,

1984).

Pemilihan jenis auksin tergantung dari tipe pertumbuhan yang dikehendaki, level

auksin, kemampuan jaringan mensistesa auksin dan golongan zat tumbuh yang ditambahkan.

Pada uumumnya auksin digunakan untuk induksi perakaran walaupun beberapa tanaman

tidak memerlukanya seperti nilam, pisang, kencur dan lain-lainnya. Auksin terbagi menjadi

2 yaitu alami dan sintetis. Kelompok auksin alami adalah IAA yang merupakan auksin alamiah

dari tumbuhan. Auksin sintetis terdiri dari IBA, NAA dan herbisida yang bersifat auksin

seperti 2,4 D, dicamba dan 2,45T (Lestari, 2008).

NAA banyak digunakan sebagai hormon akar dan selang konsentrasi yang

mendorong pembesaran sel-sel pada akar adalah sangat rendah. Menurut Zaer dan Mapes

10

(1985), NAA memiliki sifat kimia lebih stabil dibanding IAA dan tidak mudah teroksidasi

oleh enzim. Anwar (2007) menambahkan bahwa NAA merupakan IAA sintetik yang sering

digunakan karena memiliki sifat yang lebih tahan, tidak terdegradasi dan lebih murah.

Naphthalene Asetic Acid (NAA) memiliki berat molekul 186,21 g mol-1 dengan rumus

molekul (Gambar 1).

Menurut Purwantiningsih (2007) Kombinasi perlakuan NAA 1,2 mg L-1 dan BAP

0,1 mg L-1 tanpa penambahan arang aktif merupakan kombinasi perlakuan paling baik

terhadap parameter jumlah akar pisang, sedangkan kombinasi perlakuan NAA 0,9 mg L-1

dan BAP 0,3 mg L-1 yang ditambah arang aktif 50 mg merupakan kombinasi perlakuan

yang paling baik untuk parameter tinggi tunas.

Gambar 1. Rumus Molekul NAA (α-Napthhalen Acetic Acid)

Sumber : Alitalita, 2008

2.4.2 Sitokinin

Sitokinin pada umumnya berperan dalam pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis.

Aktivitas utama sitokinin adalah mendorong pembelahan sel, menginduksi pembentukan

tunas adventif dan dalam konsentrasi tinggi menghambat inisiasi akar (Pierik, 1997).

Sitokinin juga menghambat perombakan protein dan klorofil dan menghambat penuaan

(senescence) (Wattimena, 1988). Sitokinin terbagi menjadi 2, yaitu sitokinin alami dan

sintetik. Sitokinin alami di antaranya adalah zeatin. Beberapa sitokinin sintetik yang umum

digunakan dalam kegiatan kultur in vitro adalah kinetin, BAP, Thidiazuron, PBA, 2CI-4PU

dan 2,6 CI-4PU.

Sitokinin yang sering dipakai dalam kultur jaringan adalah BAP dan kinetin. Apabila

ketersediaan sitokinin di dalam medium kultur sangat terbatas maka pembelahan sel pada

11

jaringan yang dikulturkan akan terhambat, tetapi apabila jaringan tersebut dipindahkan pada

medium dengan kandungan sitokinin yang memadai maka pembelahan sel akan berlangsung

dengan cepat. Selain meningkatkan pembelahan sel dan inisiasi pucuk, sitokinin juga

berfungsi didalam kontrol perkecambahan biji, mempengaruhi absisi daun dan transpor

auksin, memungkinkan bekerjanya giberelin dengan menghilangkan penghambat tumbuh,

serta menunda penuaan (George dan Sherrington, 1984).

BAP memiliki aktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan sitokinin turunan

adenine jenis lain. Berat molekul BAP adalah 225,26 g mol-1 dengan rumus molekul

(Gambar 2). BAP merupakan sitokinin yang lebih ekonomis dan seringkali

digunakan untuk merangsang multliplikasi tunas aksilar pada konsentrasi 0,5-10 mg L-1

(Pradana, 2011). BAP mempengaruhi pertambahan jumlah tunas, terutama pada perlakuan

BAP 10 mg L-1 dengan rata-rata 9,5 tunas. Hal ini lebih tinggi dibanding pada

perlakuan BAP 7,5 mg L-1 dihasilkan 8 tunas (Tiliaar dan Sompotan, 2007).

Hasil penelitian Ismaryati (2010) pada pisang Raja Bulu, didapati bahwa pemberian

BAP yang semakin tinggi dari 1 hingga 5 mg L-1 ke dalam media MS menghasilkan banyak

tunas. Jannah (2013) melaporkan bahwa pada pisang „Raja Bulu‟ berumur 12 MST jumlah

tunas aksilar terbanyak didapat pada media MS + BAP 6 mg L-1, tanpa kinetin maupun

dengan pemberian kinetin 2 mg L-1. Rainiyati et al. (2009) melaporkan nilai maksimal

jumlah tunas/eksplan (1,67) diperoleh dari kombinasi 3,0 mg L-1 BAP tanpa IAA pada pisang

Raja Nangka ( Musa AAB) dengan menggunakan eksplan nodul. Hasil penelitian dari

Noviana (2014) menunjukkan bahwa perlakuan 5 ppm BAP + 1,5 NAA menghasilkan jumlah

tunas tertinggi pada pisang rotan yaitu 7,5 tunas eksplan-1 dan bertambah menjadi 10

tunas/eksplan pada saat dipindahkan pada media MS.

Gambar 2. Rumus Molekul BAP (6-Benzil amino purine)

Sumber : Alitalita, 2008

12

Sitokinin yang pertama ditemukan adalah kinetin yang diisolasi oleh Prof. Skoog dalam

Laboratorium Botany di University of Wisconsin. Kinetin diperoleh dari DNA ikan herring

yang diautoklaf dalam larutan yang asam. Persenyawaan dari DNA tersebut sewaktu

ditambahkan ke dalam media untuk tembakau, ternyata merangsang pembelahan dan

diferensiasi sel. Persenyawaan tersebut kemudian dinamakan kinetin (Gunawan, 1987).

Kinetin adalah kelompok sitokinin yang berfungsi untuk pengaturan pembelahan sel

dan morfogenesis. Dalam pertumbuhan jaringan, sitokinin bersama-sama dengan auksin

memberikan pengaruh interaksi terhadap deferensiasi jaringan (Sriyanti dan Wijayani, 1994).

Hasil penelitian Alamin et al, (2009) perlakuan dengan kombinasi NAA 2 mg/L dengan

kinetin 5 mg/L pada multiplikasi tunas pisang kultivar bari dalam waktu 30 hari setelah

inokulasi menghasilkan rata- rata tunas yaitu 1,75.

Gambar 3. Rumus bangun Kinetin (6-furfurylaminopurine)

13

III. METODE PENELITIAN

3.1 Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dari bulan Juni 2016 sampai dengan Desember 2016 di

Laboratorium Agronomi Divisi Bioteknologi dan Kultur Jaringan Tanaman, Jurusan

Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu. Pisang yang digunakan

varietas Barangan. Media dasar yang digunakan Murishage skoog (MS) + 0,5 mg L-1 NAA,

ditambahkan BAP dan Kinetin sesuai dengan perlakuan, perhitungan kebutuhan NAA, BAP dan

Kinetin dapat dilihat pada Lampiran 2 .

Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial, dengan 2

faktor. Faktor pertama adalah konsentrasi BAP terdiri atas 3 taraf yaitu B0 = 0 mg L-1, B1=

2,5 mg L-1, B2 = 5 mg L-1. Faktor kedua adalah konsentrasi Kinetin terdiri atas 6 taraf yaitu

K0= 0 mg L-1, K1= 1 mg L-1, K2 = 2 mg L-1, K3 = 3 mg L-1, K4 = 4 mg L-1 dan K5 = 5

mg L-1 dari kedua faktor tersebut diperoleh 18 kombinasi perlakuan. Setiap kombinasi

perlakuan diulang sebanyak 5 kali sehingga diperoleh 90 satuan percobaan.

3.2 Tahapan Penelitian

1. Pembuatan Larutan Stok

Semua bahan kimia yang dibutuhkan dalam media Murashige-Skoog (MS),

ditimbang sesuai dengan kebutuhan, lalu bahan kimia tersebut dilarutkan dengan

kepekatan tertentu, kemudian disimpan di erlenmeyer, ditutup rapat dan diberi label

setelah itu larutan stok disimpan di dalam kulkas dengan suhu 5oC - 10oC (Lampiran

1).

2. Pembuatan Media dan Sterilisasi Media Tanam

Larutan stok MS yang akan digunakan dipipet sesuai dengan kebutuhan dan

ditambah zat pengatur tumbuh NAA, BAP dan Kinetin sesuai dengan perlakuan.

Kemudian pH media diukur menggunakan pH meter digital sekitar 4,8, pH yang

optimum untuk pertumbuhan tanaman in vitro 5,8, sehingga ditambahkan NaOH 0,1

N sambil diaduk dengan magnetic stirrer. Media dimasak hingga agar-agar larut dan

tercampur rata kemudian langsung dituang ke dalam botol steril dengan volume 20

ml botol-1. Kemudian botol kultur ditutup rapat dengan penutup plastik dan

disterilkan menggunakan autoclave pada suhu 121°C pada tekanan 15 psi selama 20

14

menit.

3. Sterilisasi peralatan dan LAC (Laminair Air Flow Cabinet)

Peralatan tanam dan gelas yang akan digunakan dicuci terlebih dahulu dan

dikeringkan kemudian dibungkus dengan kertas. Selanjutnya alat-alat disterilisasi di

dalam autoclave dengan suhu 121°C pada tekanan 15 psi selama 30 menit.

Semua bagian dalam LAC disemprot dengan alkohol 70% kecuali filter hefa,

dibersihkan dengan tissue, disemprot lagi dengan alkohol 70% dan dibiarkan

menguap. Lampu Ultra Violet (UV) dinyalakan selama 1 jam. Setelah 1 jam lampu

UV dimatikan dan blower dihidupkan selama 1 jam.

4. Penanaman

Bahan tanam yang digunakan berupa tunas mikro pisang barangan dari

Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika (BALITBU), Solok, Sumatera Barat yang

berumur 3-4 bulan. Eksplan yang digunakan dalam penelitian tidak diseragamkan ke

media lainnya langsung ditanam pada media percobaan. Eksplan yang digunakan

dikeluarkan dari botol dan dipilih yang seragam pertumbuhannya. Eksplan ditanam 1

eksplan botol-1 pada media steril, kemudian botol ditutup dengan plastik dan

diikat dengan karet gelang dan diberi diperketat dengan wrap.

5. Pemeliharaan

Botol-botol kultur yang sudah ditanam dipelihara di dalam ruang kultur

dengan suhu 19-20°C dan lampu yang menyala serta memisahkan eksplan yang

terkontaminasi dan menjaga ke sterilan alat-alat yang masuk ke dalam ruangan.

6. Pengamatan dan Pengambilan Data

Pengamatan tanaman dan pengambilan data dilakukan 1 MST sampai minggu

terakhir pengamatan (12 MST). Untuk pengambilan data mingguan, variabel yang

diamati adalah saat tumbuh tunas dan saat tumbuh akar, sedangkan untuk

pengambilan data pada minggu terakhir penelitian adalah jumlah tunas, jumlah daun,

jumlah akar, tinggi tunas, diameter bonggol dan berat basah tanaman.

3.3 Variabel Pengamatan

1. Saat Tumbuh Tunas

Saat tumbuh tunas dilakukan pengamatan 1 Minggu Setelah Tanam (MST)

hingga akhir pengamatan dengan menghitung minggu munculnya tunas pertama

15

masing-masing perlakuan. Kriteria tunas yang terbentuk adalah adanya tonjolan

sepanjang 1 mm dari permukaan media yang mengarah keatas dan bewarna hijau.

2. Saat Tumbuh Akar

Saat tumbuh akar dilakukan pengamatan 1 MST hingga akhir pengamatan

dengan menghitung minggu terbentuknya akar pertama masing-masing perlakuan.

Kriteria akar yang terbentuk adalah adanya tonjolan sepanjang 1 mm dari permukaan

media yang mengarah kebawah.

3. Jumlah Tunas

Jumlah tunas dilakukan pengamatan dengan menghitung jumlah tunas yang

terbentuk. Jumlah tunas dihitung pada minggu terakhir penelitian (12 Minggu Setelah

Tanam (MST).

4. Jumlah Akar

Jumlah akar dilakukan pengamatan dengan menghitung jumlah akar yang

terbentuk. Jumlah akar dihitung pada minggu terakhir penelitian.

5. Jumlah Daun

Jumlah daun dilakukan pengamatan dengan menghitung daun yang terbentuk

pada minggu terakhir penelitian.

6. Tinggi Tunas

Tinggi tunas dilakukan pengamatan dengan mengukur mulai pangkal batang

sampai titik tumbuh tertinggi menggunakan kertas millimeter blok dan dilakukan pada

minggu terakhir penelitian.

7. Diameter bonggol

Diameter bonggol dilakukan pengamatan dengan mengukur diameter bonggol

menggunakan kertas millimeter blok dan dilakukan pada minggu terakhir penelitian.

8. Berat Basah Tanaman

Berat basah tanaman dilakukan pengamatan dengan menimbang keseluruhan

bagian eksplan yang terbentuk menggunakan timbangan analitik digital pada minggu

terakhir penelitian. Berat basah pada kultur in vitro dihitung dengan cara menimbang

media bersama botol dan tutup plastik. Hasil yang didapat dari penimbangan media

dan tanaman merupakan berat total. Berat basah didapat dengan cara, berat total

dikurangi berat media.

16

3.4 Analisis Data

Data hasil pengamatan dianalisis secara statitik menggunakan uji F taraf 5%, selanjutnya

ditampilkan dalam bentuk tabel anova untuk membandingkan nilai F hitung dengan F tabel.

Jika terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan maka dilakukan uji lanjut dengan

melakukan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) taraf 5%.

Apabila tidak memenuhi kriteria Uji F (normal, aditif dan linear), maka akan dilakukan

dengan uji deskriptif. Data dianalisis secara deskriptif dan ditampilkan dalam bentuk

histogram. Penampilan tanaman (data kualitatif) hasil kultur ditampilkan menggunakan foto.

17

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Keragaman

Hasil analisis keragaman menggunakan program statistik Costat 6.400

menunjukkan bahwa semua variabel pengamatan menghasilkan koefisien keragaman

(KK) >30%. Nilai KK menunjukkan tingkat ketepatan satu peubah terhadap perlakuan

yang dibandingkan atau dapat juga menyatakan satu galat percobaan sebagai persentase

rataan. Semakin tinggi nilai KK maka semakin rendah keakuratan percobaan (Gomez dan

Gomez, 1995). Data-data yang memiliki nilai KK yang >30% sebaiknya dilakukan

transformasi data. Transformasi dilakukan agar nilai koefisien keragaman <30%.

Transformasi dilakukan dengan menggunakan rumus √ Beberapa variabel

menandakan bahwa data hasil transformasi memenuhi persyaratan normal aditif linear

sehingga dapat dianalisis uji F pada taraf 5%, jika berbeda nyata dilanjutkan dengan uji

Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%.

Berdasarkan hasil analisis varians respon eksplan pisang barangan pada beberapa

konsentrasi BAP dan Kinetin secara in vitro pada 12 MST setelah di transformasi dapat

diketahui bahwa interaksi konsentrasi BAP dan kinetin menghasilkan respon berpengaruh

nyata terhadap variabel jumlah tunas, konsentrasi BAP tunggal berpengaruh nyata

terhadap variabel saat tumbuh tunas, saat tumbuh akar, jumlah tunas, tinggi tunas, jumlah

akar, diameter bonggol, dan berat basah tanaman. Sedangkan konsentrasi Kinetin tunggal

berpengaruh nyata terhadap variabel jumlah tunas, jumlah akar dan berat basah tanaman.

(Tabel 1).

18

Tabel 1. Hasil analisis varians respon eksplan pisang barangan pada beberapa konsentrasi BAP dan Kinetin secara in vitro pada 12 MST

sebelum dan sesudah di transformasi

Variabel Sebelum Transformasi

Interaksi KK (%) Sesudah Transformasi

Interaksi KK (%) BAP P Kinetin P BAP P Kinetin P

Saat Tumbuh Akar 10,11* 0,00 0,48ns 0,79 1,52ns 134,61 20,81* 0,00 0,75ns 0,58 1,70ns 60,87

Saat Tumbuh Tunas 25,42* 0,00 1,56ns 0,18 1,56ns 71,10 27,39* 0,00 1,61ns 0,16 1,94ns 25,36

Jumlah Tunas 3,63* 0,03 5,27* 0,00 5,14* 31,68 3,55* 0,03 5,56* 0,00 5,35* 9,31

Tinggi Tunas 14,64* 0,00 0,84ns 0,52 0,75ns 66,52 10,56* 0,00 0,81ns 0,54 0,90ns 26,33

Jumlah Akar 33,53* 0,00 3,05* 0,01 0,81ns 108,43 40,88* 0,00 2,96* 0,01 0,88ns 57,10

Jumlah Daun 0,97ns 0,38 0,65ns 0,66 0,58ns 115,54 0,95ns 0,39 0,76ns 0,58 0,49ns 62,86

Diameter bonggol 4,70* 0,01 0,69ns 0,63 1,06ns 38,58 4,95* 0,009 0,76ns 0,58 1,00ns 12,43

Berat basah tanaman 13,56* 0,00 2,19ns 0,06 1,56ns 61,56 15,12* 0,00 2,35* 0,04 1,16ns 19,99

Keterangan : * = berpengaruh nyata

ns = berpengaruh tidak nyata

P = Probabilitas

KK = Koefisien Keragaman

19

4.2 Pengaruh Interaksi BAP dan Kinetin terhadap Jumlah Tunas Pisang Barangan

pada 12 MST

Interaksi konsentrasi BAP dan konsentrasi Kinetin berpengaruh nyata terhadap

jumlah tunas tanaman pisang barangan yang terbentuk pada 12 MST. Hasil uji lanjut

interaksi konsentrasi BAP dan konsentrasi Kinetin menggunakan DMRT taraf 5% (Tabel

2).

Tabel 2. Pengaruh Interaksi BAP dan Kinetin terhadap Jumlah Tunas Pisang Barangan

pada 12 MST

Kinetin (mg L-1

) BAP (mg L

-1 )

0 2,5 5

0 1 c 1 c 1 c

1 1 c 1 c 1 c

2 1,4 bc 1 c 1,8 ab

3 1,2 c 1 c 1 c

4 1 c 2 a 1 c

5 1 c 2,2 a 1,4 bc

Keterangan :Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada setiap baris dan kolom yang sama

tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%.

Interaksi konsentrasi 2,5 mg L-1

BAP dengan 5 mg L-1

Kinetin berpengaruh

nyata terhadap jumlah tunas tanaman pisang barangan (2,2 tunas per eksplan), tidak

berbeda nyata dengan konsentrasi 2,5 mg L-1

BAP dengan 4 mg L-1

Kinetin (2 tunas

per eksplan), 5 mg L-1

BAP dengan 2 mg L-1

Kinetin (1,8 tunas per eksplan) (Tabel

2).

Interaksi konsentrasi 2,5 mg L-1

BAP dengan 5 mg L-1

Kinetin berbeda nyata

dengan interaksi konsentrasi 5 mg L-1

BAP dengan 5 mg L-1

Kinetin (1,4 tunas per

eksplan), 2 mg L-1

Kinetin tanpa BAP (1,4 tunas per eksplan), tanpa BAP dan Kinetin

(1 tunas per eksplan), 1 mg L-1

Kinetin tanpa BAP (1 tunas per eksplan), 3 mg L-1

Kinetin tanpa BAP (1,2 tunas per eksplan), 4-5 mg L-1

Kinetin tanpa BAP (1 tunas per

eksplan), 2,5 mg L-1

BAP tanpa Kinetin (1 tunas per eksplan), 2,5 mg L-1

BAP dengan

1 -3 mg L-1

Kinetin (1 tunas per eksplan), 5 mg L-1

BAP dengan 1-2 mg L-1

Kinetin (1

tunas per eksplan) dan 5 mg L-1

BAP dengan 3- 4 mg L-1

Kinetin (1 tunas per eksplan)

(Tabel 2). Diduga dengan penambahan konsentrasi BAP dapat menghambat

pembentukkan tunas pada tanaman pisang barangan. Sedangkan konsentrasi kinetin

kurang berpengaruh terhadap pembentukan tunas.

20

Menurut Maulida (2005), BAP bersifat merangsang multiplikasi tunas

dibanding kinetin. Sedangkan kinetin mempunyai pengaruh mempercepat induksi

tunas. Selain itu kesesuian pemakaian zat pengatur tumbuh juga merupakan faktor

pembatas bagi spesies tanaman (Wattimena, 1992). Sitokinin dalam kultur jaringan

berperan pada proses pembelahan sel dan regenerasi tanaman dengan menstimulasi

kalus untuk berdiferensiasi membentuk tunas, tetapi penggunaan dalam konsentrasi

yang tinggi dapat menyebabkan keracunan pada jaringan tanaman (Ali et al., 2008).

Avivi dan Ikrarwati (2007) menyatakan bahwa pemberian kinetin dengan konsentrasi

5 mg L-1

mampu menghasilkan jumlah tunas pisang abaca (Musa textillis Nee) dengan

rata-rata 2,00 tunas per eksplan.

4.3 Pengaruh Konsentrasi BAP terhadap Pertumbuhan Tunas Pisang Barangan pada

12 MST

Hasil analisis Duncan’s taraf 5% menunjukkan bahwa BAP secara tunggal

berpengaruh nyata terhadap variabel saat tumbuh akar, saat tumbuh tunas, jumlah tunas,

tinggi tunas, jumlah akar, diameter bonggol dan berat basah tanaman pisang Barangan

disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Pengaruh konsentrasi BAP terhadap pertumbuhan tunas pisang barangan pada

12 MST

BAP

(mg L-1

)

Variabel Pengamatan

STA STT JT TT JA DB BB

0 2,8 a 5,4 a 1,1 b 4,1 a 5,6 a 0,8 a 2,26 a

2,5 1,6 b 1,8 b 1,4 a 2,1 b 1,0 b 0,7 b 1,26 b

5 0,3 c 2,0 b 1,2 ab 1,8 b 0,6 b 0,6 b 1,08 b

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dan kolom yang sama tidak berbeda

nyata pada DMRT taraf 5%. STA= Saat Tumbuh Akar (MST), STT= Saat

Tumbuh Tunas (MST), JT= Jumlah Tunas (tunas per eksplan), TT= Tinggi

Tunas (cm), JA= Jumlah akar (akar per eksplan), DB= Diameter Bonggol (cm),

BB= Berat Basah Tanaman (gram)

Saat tumbuh akar tercepat dihasilkan pada konsentrasi 5 mg L-1

BAP yaitu 0,3

MST dan berbeda nyata tanpa pemberian BAP (2,8 MST) dan 2,5 mg L

-1 BAP (1,6

MST). Diduga pada konsentrasi BAP yang tinggi, akan mempercepat saat tumbuh akar.

Propagul pisang barangan yang telah membentuk tunas relatif mudah membentuk akar,

mungkin disebabkan proses sintesis auksin endogennya cukup baik.

21

Saat tumbuh tunas tercepat dihasilkan pada konsentrasi 2,5 mg L-1

BAP yaitu 1,8

MST, tidak berbeda nyata dengan 5 mg L-1

BAP (2,0 MST) dan berbeda nyata dengan 0

mg L-1

BAP (5,4 MST). Diduga pembentukkan tunas tercepat dihasilkan karena selama

multiplikasi berlangsung konsentrasi sitokinin yang ditujukan untuk pembentukkan

tunasnya tinggi.

Jumlah tunas terbanyak dihasilkan pada konsentrasi 2,5 mg L-1

BAP yaitu

sebanyak 1,4 tunas per eksplan. Tidak berbeda nyata dengan 5 mg L-1

BAP (1,2 tunas

per eksplan) dan berbeda nyata tanpa pemberian BAP (1,1 tunas per eksplan). Di duga

bahwa dengan penambahan BAP yang tinggi, jumlah tunas yang terbentuk banyak.

Variabel jumlah tunas tidak dibahas secara spesifik karena variabel tersebut dibahas

pada pengaruh interaksi BAP dan Kinetin.

Tinggi tunas tertinggi diperoleh tanpa pemberian BAP yaitu 4,1 cm, berbeda

nyata dengan 2,5 mg L-1

BAP (2,1 cm) dan 5 mg L-1

BAP (1,8 cm). Diduga bahwa tunas

akan semakin tinggi dengan semakin rendahnya konsentrasi BAP.

Jumlah akar terbanyak dihasilkan pada konsentrasi tanpa BAP yaitu sebanyak 5,6

akar per eksplan, berbeda nyata pada 2,5 mg L-1

BAP (1,0 akar per eksplan) dan 5 mg L-1

BAP (0,6 akar per eksplan). Diperkirakan bahwa semakin tinggi konsentrasi BAP maka

jumlah akar yang terbentuk akan semakin sedikit.

Diameter bonggol terbesar diperoleh tanpa pemberian BAP yaitu 0,8 cm, berbeda

nyata dengan 2,5 mg L-1

BAP (0,7 cm) dan 5 mg L-1

BAP (0,6 cm). Diduga karena pada

tanpa pemberian BAP banyak muncul kalus, sehingga diameter bonggol bertambah

besar.

Berat basah tanaman terberat diperoleh pada tanpa pemberiaan BAP yaitu 2,26

gram, berbeda nyata pada 2,5 mg L-1

BAP (1,26 gram) dan 5 mg L-1

BAP (1,08 gram).

Diduga bahwa tanpa pemberian BAP jumlah akar dihasilkan banyak, sehingga

menghasilkan berat basah yang tinggi pula.

Menurut penelitian Utami (2015) terhadap pisang Ambon Hijau, menghasilkan

saat tumbuh akar tercepat pada 0,3 MST dengan konsentrasi 7,5 mg L-1

BAP dan 1,5 mg

L-1

NAA dan saat muncul tunas tercepat dengan rata-rata 0,4 minggu pada B1N1 dengan

konsentrasi 2,5 mg L-1

BAP dan 0,5 mg L-1 NAA. Pada tanaman pisang 2,5 mg L-1

BAP merupakan sitokinin yang paling efektif untuk merangsang penggandaan tunas

tetapi belum bisa memberikan konsentrasi yang optimum (Pieriek,1997).

22

Sitohang (2008), menyatakan bahwa menggandakan propagul sesuai dengan

jumlah tunas yang diinginkan dapat dirangsang dengan penggunaan zat pengatur

tumbuh sitokinin atau kombinasi antara pembelahan dan zat pengatur tumbuh. Menurut

hasil penelitiannya pada tahun 2005, pembesaran bonggol pada minggu ke 11 dijumpai

pada media M2 (1,0 mg L-1

NAA tanpa BAP) sebesar 80%.

Menurut Klerk (2006), zat pengatur tumbuh sitokinin dapat menghambat

terjadinya pemanjangan sel sehingga eksplan yang ditanam tidak bertambah tinggi.

Menurut hasil penelitian Tilaar dan Sompotan (2007), tinggi tunas pisang Barangan

tertinggi dihasilkan pada perlakuan tanpa BAP yaitu dengan rata-rata tinggi tunas 2,68

cm.

Menurut Bhojwani dan Razdan (1996), ZPT yang digolongkan sitokinin akan

menghambat munculnya primordial akar. Secara fisiologi, pertumbuhan dominasi apikal

pada akar eksplan akan terhambat dengan konsentrasi sitokinin yang tinggi (Mante and

Tropper, 1983). Berdasarkan hasil penelitian Pamungkas (2015), jumlah akar terbanyak

dihasilkan pada perlakuan N3B0 (3 ppm NAA tanpa BAP) yaitu 46,0.

Gardner et al. (1991), menyatakan ketersediaan air dan hara yang diserap oleh

akar dalam jumlah yang cukup dapat memacu tanaman untuk melakukan fotosintesis

sehingga menghasilkan fotosintat yang lebih banyak. Berat basah total berhubungan

dengan jumlah daun dan jumlah akar karena merupakan akumulasi bahan- bahan organik

hasil fotosintesis daun serta penyerapan unsur hara dan air oleh akar. Akar menyerap zat

hara dan air yang kemudian diedarkan ke seluruh bagian tanaman dan digunakan daun

untuk fotosintesis

4.4 Pengaruh Konsentrasi Kinetin terhadap Pertumbuhan Tunas Pisang Barangan

pada 12 MST

Hasil analisis Duncan’s taraf 5% menunjukkan bahwa kinetin secara tunggal

berpengaruh nyata terhadap variabel jumlah tunas, jumlah akar dan berat basah tanaman

pisang barangan disajikan pada Tabel 4.

Jumlah tunas terbanyak dihasilkan pada konsentrasi 5 mg L-1

Kinetin yaitu

sebanyak 1,5 tunas per eksplan, tidak berbeda nyata dengan konsentrasi 2 mg L-1

Kinetin (1,4 tunas per eksplan), 4 mg L-1

Kinetin (1,3 tunas per eksplan) dan berbeda

nyata dengan 3 mg L-1

Kinetin (1,1 tunas per eksplan), 1 mg L-1

Kinetin (1,0 tunas per

eksplan) dan tanpa Kinetin (1,0 tunas per eksplan). Variabel jumlah tunas tidak dibahas

23

secara spesifik karena variabel tersebut dibahas pada pengaruh interaksi BAP dan

Kinetin.

Tabel 4. Pengaruh konsentrasi Kinetin terhadap pertumbuhan tunas pisang Barangan 12

MST

Kinetin (mg L-1

) Variabel pengamatan

JT JA BB

0 1,0 c 2,4 b 1,30 b

1 1,0 c 1,8 b 1,45 ab

2 1,4 a 4,7 a 1,81 ab

3 1,1 bc 1,9 b 1,24 b

4 1,3 ab 1,9 b 2,14 a

5 1,5 a 1,6 b 1,28 b

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dan kolom yang sama tidak berbeda

nyata pada DMRT taraf 5%. JT= Jumlah Tunas (tunas per eksplan), JA= Jumlah

akar (akar per eksplan), BB= Berat Basah Tanaman (gram).

Jumlah akar terbanyak dihasilkan pada konsentrasi 2 mg L-1

Kinetin yaitu

sebanyak 4,7 akar per eksplan dan berbeda nyata dengan konsentrasi kinetin lainnya.

Diduga bahwa pemberian kinetin dengan dosis yang tepat (2 mg L-1

Kinetin) dapat

menghasilkan jumlah tunas terbanyak, sedangkan jika pemberian konsentrasi kinetin

yang terlalu rendah atau terlalu tinggi dapat menghambat pertumbuhan akar.

Berat basah tanaman terberat diperoleh pada konsentrasi 4 mg L-1

Kinetin yaitu

2,14 gram, tidak berbeda nyata dengan konsentrasi 1 mg L-1

Kinetin (1,45 gram),

konsentrasi 2 mg L-1

Kinetin (1,81 gram) dan berbeda nyata tanpa pemberian kinetin

(1,30 gram), 3 mg L-1

Kinetin (1,24 gram) dan 5 mg L-1

Kinetin (1,28 gram). Diduga

karena pada konsentrasi 4 mg L-1

Kinetin menghasilkan jumlah tunas yang cukup

banyak sehingga berat basah tanaman pun bertambah.

Menurut Warnita (2008), berat basah umbi berkaitan dengan jumlah dan ukuran

umbi. Jumlah umbi yang banyak dan diameter umbi yang besar akan memberikan berat

basah yang tinggi. Terhambatnya pembentukan akar juga disebabkan oleh tingginya

konsentrasi kinetin dalam media (Pierik, 1987).

24

4.5 Analisis Deskriptif Variabel Jumlah Daun

Pengaruh konsentrasi BAP dan Kinetin terhadap jumlah daun tanaman pisang

barangan pada 12 MST disajikan pada Gambar 4 .

Gambar 4. Pengaruh konsentrasi BAP dan Kinetin terhadap jumlah daun tanaman pisang

barangan. B0 = 0 mg L-1, B1 = 2,5 mg L-1 dan B2 = 5 mg L-1. K0 = 0 mg L-1, K1 = 1

mg L-1, K2 = 2 mg L-1, K3 = 3 mg L-1, K4 = 4 mg L-1 dan K5= 5 mg L- 1

Jumlah daun yang terbentuk berkisar antara 0,4 – 2,2 helai daun per planlet. Jumlah

daun terendah berkisar 0,4 helai daun per planlet yang dihasilkan pada konsentrasi 2,5 mg L-

1 BAP dengan 2 mg L-1 Kinetin dan konsentrasi 5 mg L-1 BAP dengan 5 mg L-1 Kinetin.

Jumlah daun tertinggi berkisar 2,2 helai daun per planlet pada konesntrasi 0 mg L-1 BAP

dengan 2 mg L-1 Kinetin. Diduga bahwa penambahan BAP dengan konsentrasi yang

t i n g g i dapat menurunkan jumlah daun, sehingga terjadi penghambatan terhadap

pembentukan daun, dimana semakin tinggi konsentrasi BAP maka jumlah daun menjadi

berkurang.

Menurut hasil penelitian Tilaar dan Sompotan (2007), jumlah daun yang terbentuk

hanya pada perlakuan tanpa BAP, 7,5 ppm BAP dan 10 ppm BAP. Penelitian dari Wulandari

et al. (2013) menunjukkan bahwa pemberian air kelapa 60 % mampu menghasilkan jumlah

daun terbanyak pada stek melati putih. Dengan adanya pemberian BAP seharusnya dapat

0

0,5

1

1,5

2

2,5

B0

K0

B0

K1

B0

K2

B0

K3

B0

K4

B0

K5

B1

K0

B1

K1

B1

K2

B1

K3

B1

K4

B1

K5

B2

K0

B2

K1

B2

K2

B2

K3

B2

K4

B2

K5

0,8

2

2,2

1,6

1,4

1 1

0,8

0,4

1,2

1,4

1,2

0,8

2

1,4

1,2 1,2

0,4

Jum

lah

Dau

n (

Dau

n p

er

Pla

nle

t)

Perlakuan BAP dan Kinetin

25

menghasilkan jumlah daun yang lebih banyak kemungkinan yang terjadi adalah penyerapan

unsur hara oleh tanaman belum maksimal sehingga penyerapan energi untuk melakukan

respirasi tidak optimal.

26

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

1. Interaksi konsentrasi 2,5 mg L-1

BAP

dengan konsentrasi 4 mg L-1

Kinetin

menghasilkan jumlah tunas in vitro pisang barangan terbaik yaitu 2 tunas per eksplan.

2. Konsentrasi 2,5 mg L-1

BAP menghasilkan jumlah tunas terbaik yaitu 1,4 tunas per

eksplan dan saat tumbuh tunas tercepat yaitu 1,8 MST.

3. Konsentrasi 2 mg L-1

Kinetin menghasilkan jumlah tunas terbaik yaitu 1,4 tunas per

eksplan.

5.2 Saran

Untuk mendapatkan multiplikasi tunas in vitro pisang barangan yang tinggi dan

efisien dapat menggunakan media MS + 0,5 NAA + 2,5 mg L-1

BAP + 4 mg L-1

Kinetin.

27

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2001. Produksi Sayuran dan Buah-buahan di Propinsi Bengkulu. Biro Pusat

Statistik Propinsi Bengkulu. Bengkulu.

Alamin, M.D., M. Karim, M. Amin, M. Rahman and N.M. Mamun. 2009. In Vitro

Micropropagasi of Banana (Musa spp.). Bangladesh Journal Agriculture and

Research 34 (4): 645-659.

Alitalia, Y. 2008. Pengaruh pemberian BAP dan NAA terhadap pertumbuhan dan

perkembangan tunas mikro kantong semar (Napentes mirabilis) secara in vitro.

Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Ali, A., S. Naz, F.A. Siddiqui, and J. Iqbal. 2008. Rapid clonal multiplication of sugarcane

(Saccharum officinarum) trough callogenesis and organogenesis. Pak. J. Bot

4(11):123-138.

Ali S.K., A.A. Elhassan, O.S. Ehiweris and E.H. Maki. 2013. Embryogenesis and plantlet

regeneration via immature male flower culture of banana (Musa sp.) cv. Grand Nain.

Journal of Forest Products & Industries 2(3) : 48-52.

Anwar, N. 2007. Pengaruh media multiplikasi terhadap pembentukan akar pada tunas in

vitro nenas (Ananas comocus (L.) Merr.) cv. Smooth Cayenne di media pengakaran.

Skripsi. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor

Armini, N. M., G. A. Wattimena dan L. W. Gunawan. 1991. Perbanyakan Tanaman. Hal

17-149. Dalam: Tim Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman (Eds.).

Bioteknologi Tanaman 1. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Insitut Pertanian

Bogor. Bogor.

Avivi, S. dan Ikrarwati. 2007. Mikropropagasi pisang abaca (Musa textillis Nee) melalui

teknik kultur jaringan. Jurnal Agronomi 11(1) : 27-34.

Bhosale, U.P., S.V. Dubhashi, N.S. Mali, and H.P. Rathod. 2011. In vitro shoot

multiplication in different species of banana. Asian J. of Plant Science and

Research 1(3):23-27.

Bhojwani, S.S. and M.K. Razdan. 1996. Plant Tissue Culture Theory and Practice, a Revised

Edition. Elsevier. Netherland.

BPP Teknologi. 2000. Budidaya Pertanian Tanaman Pisang (Musa spp). Kantor Deputi

Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan

Teknologi

BPS Sumut. 2012. Produksi tanaman hortikultura. Badan Statistik Sumatera Utara. Medan

28

Cahyono, B. 1995. Pisang Budidaya dan Analisis Usahatani Cetakan Pertama. Kanisius.

Yogyakarta.

Gardner F. P., P.R. Brent dan L.M. Roger. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya.

Diterjemahkan oleh Herawati Susilo dan Pendamping Subiyanto. Penerbit

Universitas Indonesia Press. Jakarta

George, E.F. and P.D. Sherrington, 1984. Plant Propagatin by Tissue Culture. Handbook

and Directionary of Commersial Laboratories. Exegetic Ltd. England.

Gunawan, L.W. 1987. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. Laboratorium Kultur jaringan

Tumbuhan Pusat Antar Universitas (PAU) Bioteknologi Institut Pertanian Bogor.

Bogor.

Gunawan, L. W. 1995. Teknik Kultur In Vitro dalam Hortikultura. Penebar Swadaya. Jakarta

Gunawan, L.W. 1992. Teknik Kultur Jaringan Tanaman. Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas

Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Gomez, K. A. dan A. A. Gomez. 1995. Statistical Procedures for Agriculture Research.

Diterjemahkan oleh E. Sjamsudin dan J.S. Baharsjah. Prosedur Statistika untuk

Penelitian Pertanian. Penerbit UI Press. Jakarta

Imelda, M. 1991. Penerapan teknologi in vitro dalam penyediaan bibit pisang. Dalam:

Prosiding Seminar Bioteknologi Perkebunan dan Lokakarya Biopolimer untuk

Industri. PAU Bioteknologi IPB. Bogor. Hal. 72 – 76.

Ismaryati, T. 2010. Studi multiplikasi tunas, perakaran, dan aklimatisasi pada perbanyakan in

vitro pisang Raja Bulu, Tanduk dan Ambon Kuning. Tesis. Universitas Lampung.

Bandar Lampung.

Jannah, H. F. K. 2013. Pengaruh konsentrasi benziladenin dan kinetin terhadap multiplikasi

tunas pisang Raja Bulu (Genon AAB) in vitro. Skripsi. Universitas Lampung.

Bandar Lampung.

Khasanah, U. 2009. Pengaruh konsentrasi NAA dan Kinetin terhadap multiplikasi tunas

pisang (Musa paradisiaca L. Cv. Raja Bulu ) secara in vitro. Skripsi.

Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Klerk. 2006. Plant Hormones In Tissue Culture. In Duchefa Biochemie. Biochemicals Plant

Cell And Tissue Culture Phytopathology. Duchefa Biochemie BV, Haarlem.

Netherlands.

Lestari, E. 2008. Kultur Jaringan. Penerbit Akademia. Bogor.

Mante, S. and H.B. Tropper. 1983. Propagation of Musa textile Nee. Plant From Apical

Meristem Slice In Vitro. Plant Tissue Culture Two edition.

29

Maulida. 2005. kombinasi zat pengatur tumbuh IBA dan BAP pada perbanyakan tanaman

jarak kaliki (Ricinus communis L.) Varietas Bangkok secara In Vitro. Skripsi. Bogor:

Departemen Biologi. Fakultas MIPA. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Marlin, Yulian, dan Hermansyah. 2012. Inisiasi kalus embriogenik pada kultur jantung

pisang “curup” dengan pemberian sukrosa, BAP dan 2,4-D. Jurnal Agrivigor 11(2):

276-284.

Marlin, 2010. Regenerasi in vitro planlet pisang ambon curup bebas penyakit layu fusarium.

Prosiding pada Seminar Nasional dan Rapat Tahunan Dekan Bidang Pertanian

BKS- Barat. Bengkulu.

Meina, D. 1992. Budidaya Pisang Cavendis Asal Kultur Jaringan. Trubus No. 285

Mulyanti, N., Suprapto dan J.Hendra. 2008. Teknologi Budidaya Pisang. Balai Besar

Pengkajian Dan Pengembangan Teknologi Pertanian Badan Penelitian Dan

Pengembangan Pertanian. Bogor.

Nakasone, H.Y, and R.E. Paull. 1998. Tropical Fruits. Centre for Agriculture and Bioscience

(CAB) International. London. 400 p

Nisa, C. dan Rodinah. 2005. Kultur jaringan beberapa kultivar buah pisang (Musa

paradisiaca L.) dengan pemberian campuran NAA dan Kinetin. Jurnal

Bioscientiae 2 (2): 23-36

Noviana, E. 2014. Induksi tunas pisang rotan [Musa sp. (aa group)] dari eksplan bonggol

anakan dan meristem bunga secara in vitro. Skripsi. Universitas Islam Negeri Sultan

Syarif Kasim Riau. Pekanbaru

Pasaribu, E. G. 2007. Kultur in vitro bunga pisang barangan (Musa acuminata l.) pada media

MS dengan berbagai konsentrasi BAP dan NAA. Skripsi. Fakultas Matematika dan

Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Purnamaningsih. 2003. Regenerasi tanaman melalui embriogenesis somatik dan beberapa gen

yang mengendalikannya. Buletin Agrobio 5(2):51-58.

Purwatiningsih,W. 2007. Kultur batang pisang (Musa paradisiaca L. cv. raja sere) secara in

vitro dengan perbandingan konsentrasi NAA - BAP dan pemberian anti oksidan.

Skripsi. Universitas Ahmad Dahlan. Yogyakarta.

Pradana, O.C.P. 2011. Pengaruh konsentrasi Benziladenin dan Kinetin pada multiplikasi

tunas Pisang Ambon Kuning in vitro. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar

Lampung.

Priyono, D., Suhandi dan Matsaleh. 2000. Pengaruh zat pengatur tumbuh IAA dan 2-IP pada

kultur jaringan bakal buah pisang. Jurnal Hortikultura 10(3): 183 – 190.

Pierik, R. L. M. 1997. In Vitro Culture of Higher Plants. Kluwer Academic Publishers,

Dordrecht. The Netherlands.

30

Pierik, R.L.M. 1987. In vitro Culture of Higher Plants. Martinus Nijhoff Publisher. Dordrecht. Netherlands. P. 344

Rainiyati, Lizawati dan M. Kristiana. 2009. Peranan IAA dan BAP terhadap perkembangan

nodul pisang (Musa AAB) Raja Nangka secara In Vitro. Jurnal Agronomi 13(1): 51-

57.

Robinson, J. C. 1999. Bananas and Plantains. Centre for Agriculture and Bioscience (CAB)

International. London. 238 p

Roy, O.S., P. Bantawa, S.K. Ghosh, J.A.T. da Silva, P. Deb Ghosh, and T.K. Mondal. 2010.

Micropropagation and Field Performance of „Malbogh‟ (Musa paradisiaca, AAB

Grup) : A. Popular Banana Cultivar with High Keeping Quality of North East India.

Tree and Forestry Science and Biotechnologi 4 (Special Issue 1): 52-58.

Pamungkas, S.S.T. 2015. Pengaruh konsentrasi NAA dan BAP terhadap pertumbuhan tunas

eksplan tanaman pisang cavendish (Musa Paradisiaca L.) melalui kultur in vitro.

Agrotech Science Journal 2(1).

Semangun. 1991. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gadjah Mada

Press. Yogyakarta.

Sitohang, N. 2008. Pembiakan anakan (Sucker) pisang barangan (Musa paradisiaca L.).

Jurnal Biota (13)2.

Sitohang, N. 2005. Kultur maristem pisang barangan (Musa paradisiaca L.) pada media MS

dengan beberapa komposisi zat pengatur tumbuh NAA, IBA, BAP dan Kinetin.

Jurnal Penelitian Bidang Ilmu Pertanian 3(2): 19-25.

Sriyanti, D.P. dan A.Wijayani. 1994. Teknik Kultur Jaringan. Yayasan Kansius. Yogyakarta.

Sunarjono. 2006. Berkebun 21 Jenis Tanaman Buah. Penebar Swadaya. Jakarta.

Suyanti dan A. Supriyadi. 2008. Pisang Budidaya Pengolahan dan Prospek Pasar. Edisi revisi.

Penebar Swadaya. Jakarta.

Sunyoto, A. 2011. Budidaya Pisang Cavendish Usaha Sampingan yang Menggiurkan. Berlian

Media .Yogyakarta.

Tilaar. W dan S. Sompotan. 2007. Perbanyakan in vitro pisang barangan (Musa Paradisiaca

Var. Sapientum L.) pada media murashige dan skoog dengan penambahan Benzyl

Amino Purin. Eugenia 13(2):127-131.

Utami, S. R. 2015. Multiplikasi tunas pisang ambon hijau pada beberapa konsentrasi BAP

dan NAA. Skripsi. Universitas Bengkulu. Bengkulu.

Utama,G. 2012. Subkultur pisang raja bagus pada berbagai konsentrasi sukrosa dan Benzyl

Amino Purine. Skripsi. Universitas Pembangunan Nasional Veteran. Yogyakarta.

31

Vuysteke, D. dan E.D. Langhe. 1984. Feasibility of In Vitro Propagation of Bananas and

Plantains. Trop. Agric ( Trinidad ) 62(4): 323 – 328.

Wattimena, G.A. 1992. Bioteknologi Tanaman. Departemen pendidikan dan Kebudayaan.

Dirjen Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi. IPB. Bogor.

Wattimena, G.A. 1988. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Pusat Antar Universitas Institut

Pertanian Bogor. Bogor.

Warnita. 2008. Modifikasi Media Pengumbian Kentang dengan Beberapa Zat Penghambat

Tumbuh. http://repository.unand.ac.id/2529/1/9.WAR NITA.doc. Diakses tanggal

25 November 2016.

Widyastuti, N. dan D. Tjokrokusumo. 2006. Peranan beberapa zat pengatur tumbuh (zpt)

tanaman pada kultur in vitro. Jurnal Saint dan Teknologi BPPT 3(5) : 08.

Wulandari, R. C., R. Linda dan Mukarlina. 2013. Pertumbuhan stek melati putih (Jasminum

sambac (L) W. Ait) dengan pemberian air kelapa dan IBA (Indole Butyric Acid).

Jurnal Protobiont 2(2) : 39 – 43.

Yusnita. 2003. Kultur Jaringan Cara Memperbanyak Tanaman secara Efisien.

Agromedia Pustaka. Bogor.

Yusnita dan D. Hapsoro. 2013. Eksplorasi, karakterisasi, seleksi, dan perbanyakan klonal in

vitro untuk mendapatkan genotipe-genotipe unggul pisang komersial lampung.

laporan penelitian unggulan. Universitas Negeri Lampung. Lampung.

Zaer, J.S. dan M.O. Mapes. 1985. Action of Growth Regulators. Martinus NIJHOFF.

London.