pengalihan subsidi bbm diperlukan

Upload: kevin-esmunaldo

Post on 09-Mar-2016

27 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

sosial politik

TRANSCRIPT

JAKARTA- Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) tampaknya sudah tidak bisa ditunda lagi. Namun, rencana kenaikan harga BBM ini terus menuai kritik dan penolakan dari sejumlah kalangan masyarakat.

Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) menilai kebijakan menaikan BBM bersubsidi merupakan kebijakan yang tidak populis secara politis di masyarakat.

Meskipun menaikan BBM seharusnya pemerintah dapat mengalihkan subsidi BBM kepada pendidikan dan kesehatan gratis bagi masyarakat yang tidak mampu.

"Subsidi bisa dialihkan kepada masyarakat yang membutuhkan. Berikan Subsidi BBM kepada yang berhak. Pemerintah juga harus melakukan kajian yang komperesif dan teknis supaya kenaikan BBM ini tidak membuat kenaikan harga," kata Ketua Bidang Energi DPP KNPI Arif Rahman dalam keterangannya, Kamis (15/3/2012).

Arif mencontohkan, pemerintah dapat memberikan previlege pada sektor usaha menegah dengan memberikan subsidi khusus. Contoh dengan memberikan harga khusus suku cadang kepada sektor transportasi. "Bagaimana caranya subsidi bisa diterima kepada masyarakat yang membutuhkan. Ratusan triliun dari subsidi BBM jatuh kepada orang yang tidak tepat," jelasnya.

Arif Pengamat: Alihkan Subsidi BBM ke Subsidi Pangan

Pengamat ekonomi dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat UniversitasIndonesia(LPEM-UI) mengusulkan adanya pengalihan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) menjadi subsidi pangan untuk mengurangi tekanan kenaikan harga komoditas yang dialami masyarakat dan menyelamatkan anggaran.mengungkapkan, alangkah lebih baik jika subsidi tersebut diberikan kepada masyarakat yang tidak mampu dengan cara pendidikan dan kesehatan gratis. "Kami fokus subsidi ini bisa sampai sampai orang yang tepat, kontroling terhadap pemerintah itu penting tugas kita sebagai pemuda," tegas Arif.

Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan, fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Selanjutnya, ayat (2) menyebutkan, negara mengembangkan sistim jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Ayat (1) dan (2) pasal 34 UUD 1945 melandasi tugas negara terhadap rakyatnya. Intinya, negara wajib melindungi dan mensejahterakan rakyatnya yang diemban oleh pemerintah.Ketentuan di dalam pasal 34 UUD 1945 itu tampaknya kontradiktif dengan apa yang terjadi belakangan ini, yakni rencana kenaikan bahan bakar minyak (BBM). Di satu sisi, pemerintah semestinya melindungi rakyatnya dari berbagai permasalahan, termasuk masalah kemiskinan. Akan tetapi, mulai 1 April 2012, pemerintah malah membuat keputusan untuk mengurangi subsidi BBM, yang dipastikan akan membuat inflasi dalam bentuk meroketnya harga barang kebutuhan pokok dan biaya transportasi. Masyarakat miskin dan yang hampir miskin bakal bertambah dan semakin menderita. Daya beli masyarakat akan merosot tajam.Menekan InflasiPemerintah tentu mempunyai kewenangan dan cara untuk menekan inflasi yang membawa harga barang sulit dijangkau oleh daya beli masyarakat. Pertama, dengan mengendalikan harga komoditas yang diatur oleh pemerintah(administered commodity).Beberapa diantaranya adalah tarif listrik, tarif taksi dan angkutan umum, tarif gas, tarif jalan tol, dan tarif air minum (PAM), dan tarif telepon. Tarif jasa dan harga barang pengeluaran rumah tangga yang ikut menentukan inflasi inilah yang bisa dikendalikan oleh pemerintah.Kedua, melakukan kebijakan proteksi atau kontrol pasar terhadap komoditas yang harganya rentan atau fluktuatif. Setidaknya, terdapat lima komoditas dalam kelompok bahan makanan yang memiliki bobot besar mempengaruhi inflasi, yaitu beras, daging ayam ras, minyak goreng, daging sapim, dan telor ayam ras (Kompas, 2/3). Disinilah aksi operasi harga pasar dilakukan untuk menjaga agar kondisinya tidak mempengaruhi daya beli masyarakat. Pemerintah bisa melalui pemantauan ke pasar dengan menyampaikan imbauan agar para pedagang tidak menaikkan harga barang semaunya. Walaupun tak dijamin selalu efektif, sebaiknya operasi pasar ini tetap dilaksanakan untuk mengingatkan para pedagang.Lalu, untuk siapa dana pengalihan subsidi BBM ini? Walaupun pemerintah terpaksa mengurangi subsidi BBM, hasil pengalihan subsidi BBM bakal diarahkan untuk kaum miskin. Dana pengalihan subsidi BBM itu dimanfaatkan untuk menanggulangi keterpurukan mereka yang terkena dampak. Dengan begitu, diharapkan keterpurukan yang dialami masyakat kelas bawah bisa tertangani.Dalam hubungan ini, sangat penting ditekankan pada aspek ketepatan sasaran. Sasarannya adalah masyarakat miskin atau hampir miskin yang secara secara langsung maupun tak langsung muncul diakibatkan oleh kenaikan BBM. Untuk memastikannya, diperlukan pendataan kembali keluarga miskin agar diperoleh data yang valid. Merekalah yang nantinya disasar dengan berbagai bantuan ini. Jangan sampai terjadi kesalahan sasaran: yang kaya mendapatkan bantuan, yang miskin malah lepas dari perhatian. Hal ini bisa menimbulkan kecemburuan sosial di dalam masyarakat. Sementara bantuan diselenggarakan, jangan sampai terjadi penyimpangan/penyelewengan, apalagi dilakukan oleh para petugas penyelenggara! Berdosalah dia yang mengambil keuntungan di atas penderitaan orang lain.BLT dan PemberdayaanPara ahli menghitung, jika subsidi BBM dikurangi Rp. 1.500,- per liter, maka dana yang bisa disisihkan diperkirakan sebesar Rp. 57 triliun. Dana sebesar itu tentu bisa dialokasikan ke dalam berbagai bentuk bantuan pemerintah kepada masyarakat kelas bawah. Apa bentuknya? Pertama, yang terpenting dan mendesak, menurut penulis, adalah bantuan langsung tunai (BLT), termasuk di dalamnya bantuan beras (raskin). Bantuan yang sifatnya untuk konsumsi ini merupakan langkah awal dan strategis dalam menanggulangi kemiskinan. Persoalannya berkisar pada perut yang lapar. Jika perut sedang lapar, orang tak akan bisa berpikir dengan baik. Maka, perut mesti diisi terlebih dahulu. Setelah perut diisi, barulah otak bisa bekerja dengan baik. Begitulah kalau diandaikan secara sederhana. Betapa pentingnya pertama-tama memberikan ikan sebelum pancing kepada masyarakat miskin. Jadi, bantuan langsung tunai, beras, sembako lainnya, sangat vital dalam rangka menanggulangi masalah kemiskinan dalam waktu dekat. Hal ini menjadi penting karena diperkirakan 79 persen dari pendapatan masyarakat miskin dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan.Kedua, di samping memberikan bantuan langsung sebagaimana disebutkan di atas, program pemberdayaan masyarakat kurang mampu seyogianya terus digulirkan bahkan dengan intensitas yang semakin meningkat. Pemberdayaan masyarakat pada hakikatnya untuk membuat masyarakat berdaya sehingga bisa mandiri dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidup. Untuk ini, pemerintah perlu terus melanjutkan sejumlah program yang sudah dilakukan, dengan senantiasa melakukan evaluasi secara berkala untuk penyempurnaan program-program tersebut ke depan. Program pemberian beasiswa bagi siswa/mahasiswa miskin, program pembangunan dan perbaikan infrastruktur, program subsidi angkutan umum, sekadar sebagai contoh, perlu dilaksanakan dan diteruskan.Pada titik tertentu, tatkala masyarakat nantinya sudah bisa melepaskan diri dari kemiskinan, saat itulah bantuan langsung tunai, bantuan beras dan sebagainya yang bersifat konsumtif untuk penanggulan sementara, bisa dihentikan. Sementara itu, program pemberdayaan mesti terus dilanjutkan, disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.BLT, raskin, dan kebutuhan pangan lainnya disimbolkan dengan ikan, sarana dan prasarana untuk mendukung masyarakat miskin mendapatkan penghasilan disimbolkan dengan pancing. Pemerintah berkewajiban memberikan ikan dan pancing kepada rakyat miskin sesuai dengan amanat konstitusi.Harapan terakhir, cukuplah hanya BBM yang naik tahun ini, jangan ditambah lagi dengan kenaikan tarif dasar listrik (TDL). Kasihan rakyat kecil!!Tingkatkan Efisiensi Anggaran Untuk Tambah Subsidi Pangan

Jakarta, PelitaPengamat ekonomi Fadhil Hassan mengatakan pemerintah lebih baik melakukan efisiensi anggaran guna menambah subsidi pangan, ketimbang mengalihkan subsidi bahan bakar minyak (BBM) ke sektor pangan.Lebih baik subsidi pangan diambil dari efisiensi anggaran. Jika berasal dari subsidi BBM maka dikhawatirkan inflasi tetap meningkat, ujarnya, di Jakarta, Senin (28/1).Bila inflasi meningkat, lanjut dia, maka tujuan menekan inflasi melalui program stabilisasi dan subsidi pangan tidak tercapai.Menurut Fadhil, pemerintah bisa melakukan efisiensi anggaran dengan membenahi inefisiensi ekspor dan impor, baik BBM maupun minyak mentah yang selama ini banyak disalahgunakan dan mahal. Pemerintah juga bisa menghemat anggaran dengan melakukan efisiensi belanja barang.Hal senada dikemukakan pengamat ekonomi lainnya, Umar Juoro. Ia berpendapat pengalihan subsidi BBM ke pangan pada prinsipnya memang bagus, namun pelaksanaanya akan sulit.Apalagi, pemerintah sudah berkomitmen tidak akan melakukan kenaikan harga BBM sampai 2009. Lebih baik arahkan subsidi sedapat mungkin pada golongan miskin bukan pada komoditasnya, ujarnya. (ant)

Apr 3, 2012 byMuhamad Dahlan Scrutiny No Comments Oleh: Muhamad DahlanSeperti bola api liar, mahasiswa dengan serempak menuntut pembatalan rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi. Alasan yang mengemuka adalah bahwa kenaikan harga BBM bersubsidi akan mendorong inflasi. Gejala kenaikan harga secara serempak dan terjadi di seluruh Indonesia ini akan semakin menyulitkan rakyat kecil yang miskin. Karena itu, alasan penarikan subsidi BBM tidak akan berdampak baik.Berbicara masalah subsidi, berarti memasuki arena politik anggaran. Selama ini kenyataan seringkali berbicara lain. Peningkatan jumlah anggaran justru hanya menambah belanja pusat, dirasakan kurang memperhatikan kepentingan rakyat kecil yang sebagian besar berada di daerah. Belum lagi persoalan yang menyangkut perilaku birokrat yang korup, ketidakefisienan dan kurang efektif dalam melaksanakan program, tingkat kebocoran yang tinggi, meningkatnya jumlah pinjaman luar negeri, defisit anggaran yang terus membesar, rencana anggaran pendapatan yang tidak mencapai target, terus berkurangnya asset negara dan berbagai masalah lainnya yang semakin menjauhkan kebijakan Politik Anggaran berpihak pada rakyat. Benarkah ini terjadi?Alokasi anggaran subsidi dalam APBN 2012 ditetapkan sebesar Rp208,9 triliun (2,6 persen terhadap PDB). Jumlah ini, berarti turun sebesar Rp28,3 triliun, atau 11,9 persen bila dibandingkan dengan pagu belanja subsidi dalam APBN-P tahun 2011 sebesar Rp237,2 triliun. Sebagian besar dari keseluruhan alokasi anggaran belanja subsidi dalam APBN tahun 2012 tersebut, akan disalurkan untuk subsidi energi sebesar 80,7 persen, yaitu subsidi BBM sebesar Rp123,6 triliun, dan subsidi listrik sebesar Rp45,0 triliun. Sementara itu, sisanya, yaitu sebesar 19,3 persen akan disalurkan untuk subsidi non-energi yang meliputi: (1) subsidi pangan sebesar Rp15,6 triliun; (2) subsidi pupuk sebesar Rp16,9 triliun;(3) subsidi benih sebesar Rp0,3 triliun; (4) subsidi/PSO sebesar Rp2,0 triliun; (5) subsidi bunga kredit program sebesar Rp1,2 triliun; (6) subsidi pajak sebesar Rp4,2 triliun.Jika melihat paparan subsidi dalam APBN 2012, maka dapat disimpulkan bahwa subsidi terbesar digunakan untuk subsidi BBM sebesar 59,16 persen. Subsidi ini tidak dinikmati oleh rakyat kecil secara langsung namun justru dinikmati oleh mereka kelas menengah. Rakyat kecil yang sebagian besar bertani justru hanya menikmati subsidi sebesar 8,1 persen untuk subsidi pangan, subsidi pupuk dan subsidi benih. Jika demikian mengapa mahasiswa menolak penurunan subsidi BBM?Ketidakpercayaan mahasiswa pada kesungguhan pemerintah membela rakyat kecil yang membuat bergerak menolak kenaikan BBM. Kenaikan BBM (menurunana subsidi BBM) dapat dipastikan akan mendorong inflasi sedangkan pengalihan subsidi dari BBM ke program pembelaan rakyat kecil masih merupakan impian belaka.Subsidi BBM Versus Rakyat MiskinJumat, 30 Maret 2012 02:420 Comments

Saya melihat, banyak yang kurang tepat dalam mengaitkan kebijakan subsidi bahan bakar minyak (BBM) dengan pemihakan terhadap rakyat miskin. Klaim bahwa mempertahankan kebijakan subsidi BBM yang berlaku saat ini sebagai bukti pemihakan terhadap rakyat miskin, tampaknya perlu dikaji lagi. Karena faktanya, jika ditelaah lebih jauh komposisi pengguna BBM bersubsidi dan juga komposisi alokasi APBN, mempertahankan pola subsidi BBM ini justru bisa sebaliknya: tidak memihak rakyat miskin. Sebagai penjelasan, mari kita lihat data dan faktanya.Data Kementerian ESDM 2010 memperlihatkan bahwa 60 persen BBM bersubsidi berasal dari BBM jenis Premium, selebihnya 34 persen solar dan 6 persen minyak tanah. Bila dilihat dari penggunanya, 89% pengguna BBM bersubsidi adalah transportasi darat. Sementara itu, 59 persen pengguna BBM bersubsidi berada di Jawa Bali, dimana 30 persen-nya berada di Jawa dan 18 persen-nya berada di Jabodetabek. Yang paling mengejutkan, penikmat BBM bersubsidi ternyata 53 persen merupakan pemilik mobil pribadi, motor 40%, mobil barang hanya 4 persen, dan kendaraan umum hanya 3 persen.Berdasarkan data ini terlihat bahwa penikmat subsidi BBM, sebagian besar merupakan individu pemilik kendaraan bermotor (terutama mobil) di perkotaan yang sesungguhnya masuk kategori masyarakat menengah atas. Dengan kata lain, klaim bahwa mempertahankan kebijakan subsidi BBM yang berlaku saat ini sebagai upaya memproteksi rakyat miskin, sejatinya sudah tidak valid.Pada APBN 2012, subsidi BBM mencapai Rp123,6 trilyun. Itupun dengan asumsi harga minyak mentah masih US$90/barel. Berdasarkan perhitungan Kementerian Keuangan, bila tidak ada kebijakan apa-apa, di tengah harga minyak mentah yang kini di atas US$100 per barel, subsidi BBM bisa bertambah Rp67 triliun. Sebagai perbandingan, pada APBN 2012, anggaran kemiskinan Rp99, 2 trilyun, anggaran kesehatan Rp48 trilyun. Anggaran pertanian (baik pusat maupun transfer ke daerah, termasuk subsidi pangan) hanya Rp53,9 trilyun, dan anggaran infrastruktur Rp161,5 trilyun.Terlihat bahwa anggaran subsidi BBM jauh lebih besar dibandingkan anggaran yang sesungguhnya terkait langsung dengan kepentingan rakyat, khususnya rakyat miskin. Pertanyaannya, apakah model subsidi seperti ini yang hendak kita pertahankan? Seharusnya tidak. Saya berpendapat, pola kebijakan subsidi dalam rangka keberpihakan kepada rakyat miskin, semestinya diubah. Perubahan ini, tidak berarti menghilangkan subsidi, tetapi dengan mempertajam penargetan subsidi agar tepat sasaran, sekaligus untuk meningkatkan taraf hidup rakyat miskin secara nyata dan berkelanjutan.Salah satu perubahan kebijakan pemihakan kita kepada rakyat miskin adalah dengan membalik piramida komposisi belanja APBN. Caranya adalah memperkecil subsidi BBM, tetapi memperbesar belanja kemiskinan, pertanian, kesehatan, dan infrastruktur. Dengan membalik piramida komposisi belanja APBN, subsidi BBM yang tadinya memiliki porsi paling tinggi, menjadi paling kecil. Konsekuensinya, terdapat pengalihan anggaran subsidi BBM secara signifikan ke pos anggaran kemiskinan, pertanian, kesehatan, dan infrastruktur (dasar), sehingga alokasi pos-pos APBN ini menjadi jauh lebih besar.Tentunya, pengalihan alokasi anggaran ini harus didesain dengan baik, tidak sekedar mengalihkan kelebihan subsidi BBM ke pos-pos belanja lainnya. Salah satu caranya adalah pemerintah perlu meredefinisi kembali konsep kemiskinan di Indonesia. Untuk menjelaskan pentingnya redifinisi konsep kemiskinan ini, berikut saya berikan beberapa ilustrasi.Sebagai kompensasi atas kenaikan harga BBM bersubsidi, pemerintah menyiapkan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM), istilah lain dari Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diterapkan pada 2005 dan 2008 lalu. Berdasarkan pemberitaan, BLSM akan diberikan kepada sekitar 18,5 juta keluarga miskin. Itu berarti, bila setiap keluarga terdiri dari 4 anggota, berarti BLSM akan menyasar sekitar 70-75 juta penduduk miskin.Berdasarkan data BPS, penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan sekitar 30 juta jiwa. Sedangkan, penduduk dengan pengeluaran sebesar 1,5 kali dari penduduk di bawah garis kemiskinan sekitar 62 juta jiwa. Artinya, penduduk dengan pengeluaran sebesar 1,5 garis kemiskinan ke bawah, jumlahnya sekitar 92 juta. Sementara itu, kompensasi BLSM yang diberikan hanya untuk sekitar 75 juta jiwa. Dari perbandingan ini, sejatinya dana BLSM tidak mencukupi.Selain dana kompensasi BSLM tidak cukup, sesungguhnya standar kemiskinan yang diterapkan di Indonesia masih rendah. Untuk menentukan penduduk miskin, kita masih menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach) yang digunakan oleh negara-negara yang kondisi ekonominya relatif tertinggal, seperti Armenia, Senegal, Pakistan, Bangladesh, Vietnam, Sierra Leone, dan Gambia.Atas dasar inilah, perlu ada perubahan mendasar dalam mendefinisikan kemiskinan. Sebagai negara dengan kekuatan ekonomi besar, seyogyanya kriteria pengukuran kemiskinan mengacu kepadabest practices, seperti acuan yang dikeluarkan Bank Dunia dengan menggunakan standar yang lebih tinggi. Melalui pengukuran kemiskinan dengan standar yang lebih baik, kita bisa memahami persoalan kemiskinan kita secara lebih objektif dan manusiawi. Selain itu, juga terdapat alasan yang kuat untuk memperbesar anggaran kemiskinan, kesehatan, pertanian, dan infrastruktur (dasar, termasuk transportasi umum). Sehingga, kita pun bisa memetakan kebutuhan riil penduduk miskin kita agar taraf hidupnya dapat ditingkatkan setara dengan penduduk di negara lain.Kesimpulannya, kebijakan penurunan subsidi BBM, melalui kenaikan harga BBM adalah hal yang memang perlu dilakukan. Kita tidak bisa membiarkan APBN justru pro masyarakat yang seharusnya tidak disubsidi. Satu hal yang perlu dicatat, jika kita membiarkan subsidi BBM membesar, seiring tingginya harga minyak mentah, itu akan berdampak negatif pada APBN. Berdasarkan keterangan pemerintah, jika kebijakan kenaikan harga BBM tidak dieksekusi, defisit APBN dapat bertambah Rp175,9 triliun dari perkiraan awal di APBN 2012 Rp124,02 triliun (menjadi 3,6 persen dari PDB). Pertanyaannya, darimana defisit sebesar itu ditutupi? Jawabannya: utang! Siapa yang menanggung tambahan utang itu? Jawabannya: rakyat termasuk rakyat miskin.Saat ini, Indonesia berada dalam posisi sebagainet importirBBM. Karenanya, mempertahankan subsidi BBM, itu sama saja kita memberikan subsidi bagi kilang minyak di luar negeri, yang sudah pasti dampakmultiplier-nya terhadap ekonomi kita akan negatif. Hal yang berbeda bila subsidi dialihkan ke anggaran kemiskinan, infrastruktur, pendidikan, kesehatan yang pasti akan memberikan dampakmultiplierpositif. Dan saya kira, langkah penurunan subsidi BBM yang diimbangi dengan pengalihan subsidi secara signifikan ke anggaran kemiskinan, pertanian, kesehatan, dan infrastruktur, akan dapat menjadi jawaban kelompok masyarakat yang saat ini menolak kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi.****)Sunarsip adalah EkonomThe Indonesia Economic Intelligence(IEI). Analisis ini telah dimuat harian REPUBLIKA, Senin, 19 Maret 2012.