pengabdian tokoh kuntara terhadap keluarga … · penelitian ini mengkaji pengabdian tokohkuntara...
TRANSCRIPT
PENGABDIAN TOKOH KUNTARA TERHADAP KELUARGA DALAM NOVEL SAKSI MATA
KARYA SUPARTO BRATA SUATU TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Oleh SRI WULANDARI MARTHA
NIM : 024114005
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2008
i
PENGABDIAN TOKOH KUNTARA TERHADAP KELUARGA DALAM NOVEL SAKSI MATA
KARYA SUPARTO BRATA SUATU TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Oleh SRI WULANDARI MARTHA
NIM : 024114005
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2008
ii
iii
iv
Skripsi ini kupersembahkan untuk:
Dia yang menjadi pujaan segala iman
Ayahanda dan Ibunda yang selalu mendoakan aku
Saudara yang selalu mendukungku
Dan Alm. Kakanda yang memberi inspirasi
v
MOTO
Oleh karena itu Aku berkata kepadamu: Mintalah, maka akan diberikan kepadamu;
Carialah, maka kamu akan mendapat; Ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu.
Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan
setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan
(Lukas, 11: 9-10)
vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :
Nama : Sri Wulandari Martha Nomor Mahasiswa : 024114005
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
PENGABDIAN TOKOH KUNTARA TERHADAP KELUARGA DALAM NOVEL SAKSI MATA KARYA SUPARTO BRATA SUATU TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupaun memberikan royalty kepada saya selamA tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyatan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal : 30 April 2008 Yang menyatakan
vii
ABSTRAK
Martha, Sri Wulandari. 2008. Pengabdian Tokoh Kuntara terhadap Keluarga dalam Novel Saksi Mata Karya Suparto Brata: Suatu Tinjauan Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini mengkaji pengabdian tokoh Kuntara terhadap keluarga dalam
novel Saksi Mata karya Suparto Brata. Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) mendeskripsikan unsur alur, tokoh dan penokohan, dan latar atau setting dalam novel Saksi Mata, (2) mendeskripsikan pengabdian tokoh Kuntara terhadap keluarga.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosiologi sastra yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dan metode analisis. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini meliputi dua hal, yakni teknik simak dan teknik catat.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: (1) alur dalam novel Saksi Mata adalah alur maju yang terdiri dari tiga tahap. Tahap awal (beginning) digambarkan pada tokoh Kuntara dalam upayanya berbohong demi kebaikan, untuk melindungi keluarganya meskipun dia harus dikucilkan keluarganya karena kesalahpahaman. Tahap tengah (middle) digambarkan pada Kuntara yang mendapat siksaan fisik dari Tuan Ichiro karena merasa telah dipermainkan oleh Kuntara. Dan dilanjutkan pada tahap akhir (end) yang digambarkan pada Kuntara bersama dan Mas Wiradad untuk membunuh Tuan Ichiro dengan cara meledakkan gedung Kitahara Butai, (2) tokoh dan penokohan meliputi Kuntara sebagai tokoh protagonis yang mempunyai sifat penyayang, ikhlas, penolong, bertanggungjawab, pemberani, mengharagai orang lain dan patuh. Tuan Ichiro adalah tokoh antagonis yang berkuasa, kejam, cerdik, penakut dan licik. Pak Okada adalah tokoh antagonis yang berprofesi sebagai guru, mempunyai sifat pengumbar nafsu dan pengecut. Bulik Rumsari adalah tokoh bawahan yang memiliki sifat rela, setia, misterius, tabah, pemberani dan mengasihi. Mas Wiradad merupakan suami Bulik Rumsari yang mempunyai sifat setia, pemberani dan bertanggungjawab. Denayu Suryo merupakan wanita bangsawan Jawa yang bersifat setia dan bertanggungjawab. Dan Mas Suryohartono adalah kepala keluarga yang bersifat bertanggungjawab, penyayang dan bijaksana, (3) latar waktu terjadi pada masa pendudukan Jepang di Indonesia tahun 1944 atau tahun Jepang 2604, yakni di mana Jepang berjanji akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia setelah berhasil mengusir Belanda. Penunjukkan waktu tersebut didukung oleh adanya budaya, benda, nama dan bahasa yang mengacu pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, (4) sikap pengabdian Kuntara terhadap keluarga berupa tindakan maupun dalam bentuk batin (pikiran). Dengan sifat dan cinta kasih terhadap keluarga, Kuntara selalu berbuat kebaikan dan mengacu pada etika yang berlaku pada masyarakat Jawa yaitu sikap berbudi luhur, sikap nrima, sikap rila, dan sikap sabar.
viii
ABSTRACT Martha, Sri Wulandari. Dedication of The Character of Kuntara To The Family
in The Novel Saksi Mata by Suparto Brata: A Review on Sociology of Literature. Indonesia Literature Department of Sanata Dharma University: Yogyakarta.
This research analyzed the dedication of the objective character of Kuntara to
the family in the novel Saksi Mata by Suparto Brata. The research was to: (1) describe the elements of purpose plot, character and characterization, and setting in the novel Saksi Mata, (2) describe the dedication of Kuntara’s character to his family.
The approach which was used is a sociology literature approach which prioritizes the literature text as a basis of the study. The methods which were used in this research were an descriptive method and analysis method. The techniques which ware used in this research consist of two things, a monitor technique and a note taking technique.
From the reslut of the research, it could be conc luded that (1) the plot in the novel Saksi Mata was forward plot consisted of three stages. The beginning stage was described in Kuntara’s character in his effort to lie for goodness to protect his family even tough he was to be isolated by his family because of misunderstanding. Middle stage was described in Kuntara who got torture from Tuan Ichiro because he he was felt being make a pool by Kuntara. Continued to the end stage which was described in Kuntara and Mas Wiradad plan to kill Tuan Ichiro by exploding Kitahara Butai building, (2) character and characterization include Kuntara as protagonis who is full of affectionate, willingness, helpful, responsible, brave, respect to the others, an obedient. Tuan Ichiro is antagonis who has power, cruel, smart, cunning, coward. Pak Okada is antagonis who work as a teacher, he is lusful and coward. Bulik Rumsari was subordinate who has attitude of willingness, loyal, mysterious, brave, and affectionate. Mas Wiradad is Bulik Rumsari’s husband who is loyal, brave ang responsible. Denayu Suryo is Javanese bourgeois who is loyal and responsible. And Mas Suryohartono is a family leader who is responsible, full of affection, and wise, (3) the setting of the time happened Japan colonial period in Indonesia in 1944 or Japan year 2604, in which Japan promised would give freedom to Indonesia after suceeded thrown away Dutch. The indication of time was supported by the existence of culture, material, name and language which refered to the struggle of the independence of Indonesia, (4) the dedication of Kuntara to his family were in action and spirit. By his love to his family, Kuntara always does goodness and referes to the ethics prevalled in Javanese society such as gracious, “nrima”, willingness and patient.
ix
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa yang telah
memberi kelimpahan dan tuntunan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi dengan judul Pengabdian Tokoh Kuntara terhadap Keluarga dalam novel
Saksi Mata Karya Suparto Brata: Suatu Tinjauan Sosiologi Sastra, ditulis sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra Indonesia (SIND).
Skripsi ini dapat terwujud berkat bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Drs. B. Rahmanto, M.Hum., dan S.E. Peni Adji, S.S., M.Hum, selaku
dosen pembimbing, yang telah bersedia meluangkan waktu untuk
membimbing sampai tersusunnya skripsi ini;
2. Drs. FX. Santosa, MS, Dr. I. Praptomo Baryadi, Drs. A. Hery Antono,
M.Hum, Drs. Ary Subagyo, M.Hum, dan Dra. F. Tjandrasih Adjie
M.Hum, yang telah dengan sabar mendidik penulis;
3. Para karyawan dan karyawati sekretariat Sastra dan BAAK yang selalu
mempermudah pengurusan administrasi;
4. Para karyawan dan karyawati Perpustakaan Universitas Sanata Dharma
yang telah membantu mempermudah peminjaman buku-buku;
5. Ayahanda Yohanes Soeprihadi, Ibunda Endang Sri Kusminartatik, dan
Adiknda FX. Agung Pribadi serta almarhum Kakanda Yohanes Hadi
Prasetya yang telah memberi dukungan kepada penulis;
x
6. Teman spesial yang selalu mendukung penggarapan sehingga skripsi ini
dapat diselesaikan dengan baik;
7. Teman-teman Bengkel Sastra dan Korps Suka Rela (KSR) serta teman-
teman seperjuangan Sastra Indonesia 2002 yang telah membantu penulis
mewujudkan penulisan skripsi ini;
8. Teman-teman kost Brojowikalpo 1A, yang selalu membangun suasana
belajar dengan baik dan teman-teman “sukarelawan” yang telah berkenan
membantu penulis dengan merelakan komputernya untuk dipinjam
bermalam-malam;
9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun telah
banyak memberikan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis mengerjakan skripsi ini dengan bantuan pihak-pihak disekitar, panduan
dari buku-buku yang terdapat dalam lembar daftar pustaka. Dengan demikian, segala
sesuatu yang terdapat dalam hasil penelitian ini akan menjadi tanggung jawab
penulis. Penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi pembaca, terima kasih.
Yogyakarta, 27 Februari 2008
Penulis
(Sri Wulandari Martha)
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN................................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................................ iv
MOTO........................................................................................................................ v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .................................................................... vi
ABSTRAK ................................................................................................................. vii
ABSTRACT................................................................................................................. viii
KATA PENGANTAR ............................................................................................... ix
DAFTAR ISI.............................................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................ 5
1.4 Manfaat Penelitian .......................................................................... 5
1.5 Landasan Teori................................................................................ 6
1.5.1 Sosiologi Sastra .................................................................... 6
1.5.2 Teori Struktural .................................................................... 8
1.5.3 Alur....................................................................................... 9
1.5.4 Tokoh dan Penokohan.......................................................... 10
1.5.5 Latar atau Setting.................................................................. 12
1.5.6 Pengabdian dalam Pengaruh Budaya Jawa .......................... 14
1.6 Metode Penelitian ........................................................................... 17
1.6.1 Pendekatan ........................................................................... 17
1.6.2 Teknik Pengumpulan Data................................................... 17
1.6.3 Metode Analisis Data........................................................... 18
1.7 Sistematika Penyajian..................................................................... 19
xii
1.8 Sumber Data.................................................................................... 19
BAB II ANALISIS UNSUR STRUKTUR CERITA DALAM NOVEL
SAKSI MATA KARYA SUPARTO BRATA.......................................... 20
2.1 Alur ................................................................................................ 20
2.1.1 Tahap Awal .......................................................................... 20
2.1.2 Tahap Tengah....................................................................... 27
2.1.3 Tahap Akhir .......................................................................... 29
2.2 Tokoh dan Penokohan ................................................................... 30
2.2.1 Kuntara................................................................................. 31
2.2.2 Tuan Ichiro ........................................................................... 35
2.2.3 Pak Okada ............................................................................ 37
2.2.4 Bulik Rumsari ...................................................................... 39
2.2.5 Mas Wiradad ........................................................................ 40
2.2.6 Denayu Suryo ....................................................................... 42
2.2.7 Mas Suryohartono ................................................................ 43
2.3 Latar atau Setting ........................................................................... 44
2.3.1 Latar Tempat ........................................................................ 44
2.3.2 Latar Sosial........................................................................... 48
2.3.3 Latar Waktu.......................................................................... 50
BAB III ANALISIS SIKAP PENGABDIAN TOKOH KUNTARA
TERHADAP KELUARGA DALAM NOVEL SAKSI MATA ............... 56
3.1 Sikap Berbudi Luhur ....................................................................... 57
3.2 Sikap Nrima .................................................................................... 60
3.3 Sikap Rila ........................................................................................ 67
3.4 Sikap Sabar ..................................................................................... 70
BAB IV PENUTUP .............................................................................................. 76
4.1 Kesimpulan ..................................................................................... 76
4.2 Saran .............................................................................................. 78
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 79
xiii
BIODATA PENULIS ................................................................................................ 81
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sastra adalah karya seni, karena itu ia mempunyai sifat yang sama dengan
karya seni yang lain, seperti seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan lain- lain.
Tujuannya pun sama yaitu untuk membantu manusia menyingkapkan rahasia
keadaannya untuk memberi makna pada eksistensinya, serta untuk membantu
jalan ke kebenaran. Yang membedakannya dengan seni yang lain, adalah bahwa
sastra memiliki aspek bahasa (Semi, 1984:39).
Novel dapat mengungkapkan pandangan–pandangan dari suatu
masyarakat pada suatu masa. Novel merupakan produk kehidupan yang banyak
mengandung nilai-nilai sosial, politik, etika, religi, filsafat yang bertolak dari
pengungkapan kembali fenomena kehidupan (Sardjono, 1992:10).
Novel Saksi Mata karya Suparto Brata menggambarkan pengabdian tokoh
Kuntara dalam upayanya memperjuangkan harga diri keluarga dan melindungi
keluarga.
Kuntara adalah putra tunggal Siwa Bei yang terikat pertalian keluarga
dengan Denayu Suryo Drajeng Sarwosari. Sewaktu gadis, mereka pernah tinggal
bersama di rumah besar Solo. Konon ketika gadis, Siwa Bei bernama Raden
Ajeng Kuntarti, dan menikah dengan ayah Kuntara almarhum, yang mempunyai
pangkat keraton Raden Ngabei.
2
Semenjak Siwa Bei menjadi janda dan tidak punya pekerjaan, dia
mengajak Kuntara pindah ke Surabaya untuk tinggal dengan keponakannya yakni
Denayu Suryo yang bertempat di bekas perkampungan Belanda. Selain mereka, di
rumah tersebut juga tinggal Mas Suryohartono, Mas Darkiman dan Bulik
Rumsari, di mana seluruh anggota keluarga yang tinggal di sana masih terikat
pertalian keluarga Istana Prabukencanan.
Novel tersebut menggambarkan masa pendudukan Jepang pada tahun
1944 atau tahun 2604 sesuai dengan penanggalan Jepang. Pada masa itu Jepang
berjanji untuk memberikan kemerdekaan bagi Indonesia. Namun demikian,
karena lama tinggal dan berkuasa di Indonesia, membuat mereka semena-mena
terhadap warga pribumi. Hal inilah yang menjadi keperihatinan Kuntara ketika
mengetahui Bulik Rumsari menjadi korban ketidakmanusiawian Kolonel Ichiro
Nishizumi, orang Jepang yang berkuasa di tanah Jawa. Bulik Rumsari bercerita
kepada Kuntara bahwa dia diboyong Tuan Ichiro secara paksa dari Istana
Prabukencanan ke Surabaya untuk diangkat sebagai sekretaris pribadi di kantor
pabrik Asko sekaligus menjadi gundiknya. Karena cintanya yang membabi buta,
Tuan Ichiro tidak menghiraukan status Bulik Rumsari yang sudah menikah
dengan Mas Wiradad.
Selain itu, Bulik Rumsari juga hampir menjadi korban pemerkosaan yang
dilakukan oleh Pak Okada, yakni orang Jepang yang berprofesi sebagai guru
bahasa Jepang di sekolah Kuntara. Saat itu Bulik Rumsari yang hendak menyusun
siasat dengan Mas Wiradad di bungker perlindungan, telah berhasil mencuri
dokumen penting milik Tuan Ichiro dan memasang bom di kantor pabrik Asko.
3
Tiba-tiba Pak Okada masuk dan hendak memperkosa Bulik Rumsari. Tapi karena
Bulik Rumsari berusaha melawan, Pak Okada menusukkan pedang samurainya
dan segera meninggalkan bungker perlindungan yang pada saat itu sedang sepi.
Kuntara berusaha menutupi jati diri dan kronologi kematian Bulik
Rumsari juga usahanya untuk menghancurkan Tuan Ichiro, karena apabila
anggota keluarga yang lain tahu dan tidak kuat pendiriannya mereka pasti akan
mengungkapkan kejujuran ketika diintrogasi oleh Tuan Ichiro, sehingga dapat
menghancurkan seluruh anggota keluarga. Selain itu, hal tersebut sudah menjadi
tanggungjawab Kuntara yang berjanji pada Bulik Rumsari untuk tidak membuka
rahasia tentang dirinya kepada siapa pun. Maka dari itu Kuntara berbohong
kepada keluarga, Tuan Ichiro dan Pak Okada untuk menghindari pengusutan lebih
lanjut, karena dengan begitu Kuntara berpeluang untuk membalas secara
sembunyi-sembunyi sekaligus melindungi dan memperjuangkan harga diri
keluarganya.
Berbeda dengan banyak suku lain di Indonesia ini, masyarakat Jawa tidak
mengenal sistem marga. Meskipun demikian, hubungan kekeluargaan di luar
keluarga dianggap sangat penting. Demikian juga keturunan dari seorang nenek
moyang yang sama merupakan faktor penting dalam masyarakat Jawa dan
dianggap sebagai kelompok yang termasuk kerabat (Sardjono, 1992:14-15).
Dalam penelitian ini, pengertian keluarga menurut penulis adalah
sekelompok orang yang terdiri dari keluarga inti (ayah, ibu dan anak) dan
keluarga besar yang masih terikat oleh hubungan darah dan perkawinan.
4
Munculnya pengabdian karena adanya rasa tanggungjawab. Sedangkan
mengabdi adalah suatu penyerahan diri kepada seorang yang dianggap lebih dan
pada umumnya dilakukan dengan tulus ikhlas, bahkan diikuti dengan
pengorbanan, dapat berupa materi, perasaan, maupun jiwa raga (Rusydi, 1985:43).
Penulis memilih topik penelitian berupa pengabdian tokoh Kuntara
terhadap keluarga karena sikap tersebut diwujudkan dengan keberanian yang
mempertaruhkan nyawa dan nama baiknya demi melindungi dan
memperjuangkan harga diri keluarganya, terlebih lagi pengabdian tersebut
dilandasi oleh rasa tanggungjawab, tulus ikhlas, pengorbanan berupa perasaan dan
jiwa raga. Hal inilah yang menarik perhatian penulis untuk menelaah lebih lanjut.
Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan pendekatan sosiologi
sastra, yakni mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan. Metode yang
dipergunakan dalam sosiologi sastra ini adalah analisis teks untuk mengetahui
strukturnya, untuk kemudian dipergunakan memahami lebih dalam lagi gejala
sosial yang diluar sastra (Damono, 1979:3).
Di dalam menganalisis novel Saksi Mata ini, juga tidak meninggalkan
analisis struktural, yaitu meneliti unsur-unsur intrinsik karya sastra. Langkah awal
ini diambil oleh penulis dengan maksud untuk memahami karya sastra yang
dilakukan melalui analisis unsur intrinsik yang diteliti meliputi alur, tokoh dan
penokohan, latar atau setting.
5
1.2 Rumusan Masalah
Berdasar latar belakang tersebut, penulis merumuskan masalah
penelitian sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimanakah unsur-unsur alur, tokoh dan penokohan, latar atau
setting dalam novel Saksi Mata karya Suparto Brata?
1.2.2 Bagaimanakah pengabdian tokoh Kuntara terhadap keluarga dalam
novel Saksi Mata karya Suparto Brata?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang digunakan untuk penganalisaan
adalah sebagai berikut:
1.3.1 Mendeskripsikan unsur-unsur alur, tokoh dan penokohan, latar atau
setting dalam novel Saski Mata karya Suparto Brata.
1.3.2 Mendeskripsikan pengabdian tokoh Kuntara terhadap keluarga
dalam novel Saksi Mata karya Suparto Brata.
1.4 Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai
aspek, yakni:
1.4.1 Dari segi praktis, penulisan ini bermanfaat untuk meningkatkan
apresiasi kesusastraan Nusantara, khususnya novel Saksi Mata
karya Suparto Brata.
6
1.4.2 Dalam bidang sastra, hasil penelitian ini diharapkan dapat
menambah khazanah kritik sastra, khususnya bidang sosiologi
sastra.
1.4.3 Dalam bidang sosiologi, hasil penelitian ini dapat menambah
wawasan tentang pengabdian terhadap keluarga.
1.5 Landasan Teori
Untuk meneliti pengabdian tokoh Kuntara terhadap keluarga, penulis akan
memanfaatkan 3 landasan teori, yakni teori sosiologi sastra, teori struktural, dan
teori pengabdian dalam pengaruh budaya Jawa.
1.5.1 Sosiologi Sastra
Sapardi Djoko Damono dalam Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar
Ringkas menyatakan bahwa pendekatan sosiologi sastra merupakan
perkembangan dari pendekatan mimetik yang memahami karya sastra dalam
hubungannya dengan realitas dan aspek sosial kemasyarakatan. Pendekatan
tersebut dilatarbelakangi oleh fakta bahwa keberadaan karya sastra tidak dapat
terlepas dari realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat.
Pendekatan sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan ini
oleh beberapa ahli disebut sosiologi sastra. Istilah itu pada dasarnya tidak berbeda
pengertiannya dengan sosiosastra, pendekatan sosiologis, atau pendekatan
sosiokultural terhadap sastra (Damono, 1979: 2).
7
Dalam novel Saksi Mata dipahami dalam hubungannya dengan budaya
Jawa, yakni sikap mengabdi terhadap keluarga yang dilakukan tanpa pamrih
dengan penuh tanggung jawab. Pengabdian yang dilakukan Kuntara diwujudkan
dalam usahanya untuk melindungi dan memperjuangkan harga diri keluarganya
yang telah dilecehkan oleh Jepang. Dalam usahanya tersebut Kuntara tetap
menjalankan etika dalam bersikap selayaknya anak laki- laki yang terikat sebagai
anggota keluarga Istana Prabukencanan.
Menurut Damono ada dua kecenderungan utama dalam telaah sosiologis
terhadap sastra. Pertama, pendekatan yang berdasarkan anggapan bahwa sastra
merupakan cermin proses sosial ekonomis belaka. Pendekatan itu bergerak dari
faktor- faktor di luar sastra untuk membicarakan sastra; sastra hanya berharga
dalam hubungannya dengan faktor- faktor di luar sastra itu sendiri. Jelas bahwa
dalam pendekatan ini teks sastra tidak dianggap utama, hanya dianggap
ephinomenon (gejala kedua). Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra
sebagai bahan penelaahan. Metode yang digunakan dalam sosiologi sastra ini
adalah analisis teks untuk mengetahui strukturnya. Kemudian dipergunakan untuk
memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang ada di luar sastra (Damono, 1979:
2-3).
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan sosiologi menurut pengertian
yang kedua.
8
1.5.2 Teori Struktural
Analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan
secermat, seteliti, semendetil dan mendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan
semua analisis dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna
menyeluruh (Teeuw, 1984 : 135).
Berbicara tentang struktur karya sastra bila dikaitkan dengan novel,
Pradopo mengatakan bahwa, novel merupakan sebuah struktur. Struktur di sini
dalam arti bahwa novel itu merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem, yang
antara unsur-unsurnya terjadi hubungan yang timbal-balik, saling menentukan,
oleh karena itu unsur-unsur dalam novel bukan hanya berupa kumpulan atau
tumpukan hal-hal yang berdiri sendiri, melainkan hal yang saling terkait, saling
berkaitan dan saling bergantung (Pradopo, 1987 : 18).
Pendapat itu telah diperkuat oleh pendapat Sudjiman yang mengatakan
bahwa antara tokoh, alur, latar dan tema itu saling kait mengait. Unsur-unsur itu
tidak bisa berdiri sendiri. Ada interaksi antara unsur-unsur itu (Sudjiman, 1988 :
40).
Dengan demikian jelaslah bahwa analisis sosiologi sastra tetap tidak dapat
dipisahkan dari analisis struktural karena pada hakikatnya karya sastra adalah
sebuah struktur yang bermakna. Untuk dapat memahami secara utuh, karya sastra
harus diuraikan unsur-unsur pembentuknya, hubungan antara unsur-unsur
pembentuk itu dan hubungan timbal balik antara unsur-unsur pembentuk dengan
keseluruhannya (Pradopo, 1995: 108).
9
Dalam penelitian ini, analisis diarahkan pada analisis teks itu sendiri. Di
dalam teks teks ini terdapat unsur alur, tokoh dan penokohan, latar atau setting.
Unsur sosiologis para tokoh juga terdapat dalam teks ini khususnya pengabdian
tokoh Kuntara.
1.5.3 Alur
Alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa
sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu
cerita. Istilah alur dalam hal ini sama dengan istilah plot maupun struktur cerita
(Aminuddin, 1991 : 83).
Alur adalah peristiwa-peristiwa yang diurutkan yang membangun tulang
punggung cerita. Peristiwa-peristiwa tidak hanya meliputi yang bersifat fisik
seperti cakapan/ lakuan, tetapi juga termasuk perubahan sikap tokoh yang
merubah jalan nasib (Sudjiman, 1988: 30).
Aristoteles mengemukakan bahwa sebuah plot haruslah terdiri dari tahap
awal (beginning), tahap tengah (midle) dan tahap akhir (end) (Nurgiyantoro,
1995:142).
Tahap awal disebut juga sebagai tahap perkenalan yang berfungsi
memberikan informasi dan penjelasan tentang latar, seperti nama-nama tempat,
suasana alam, waktu kejadiannya, yang pada garis besarnya berupa deskripsi
setting. Selain itu tahap awal juga sering dipergunakan untuk pengenalan tokoh (-
tokoh) cerita, mungkin berwujud deskripsi fisik dan perwatakannya
(Nurgiyantoro, 1995 : 142). Pada tahap ini konflik sedikit demi sedikit juga sudah
10
mulai dimunculkan. Masalah (-masalah) yang dihadapi tokoh yang menyulut
terjadinya konflik, pertentangan-pertentangan yang akan memuncak di bagian
tengah cerita mulai dihadirkan dan diurai (Nurgiyantoro, 1995 : 142-145).
Tahap tengah atau disebut tahap pertikaian, menampilkan pertentangan
dan atau konflik yang sudah dimunculkan pada tahap sebelumnya, menjadi
semakin meningkat. Konflik tersebut dapat berupa konflik internal yang terjadi
dalam diri seorang tokoh maupun konflik eksternal yang terjadi antar tokoh cerita.
Dalam tahap ini klimaks ditampilkan ketika konflik (utama) telah mencapai
intensitas tertinggi (Nurgiyantoro, 1995 : 145).
Tahap akhir disebut sebagai tahap peleraian yang menampilkan adegan
tertentu sebagai akibat klimaks Jadi, bagian ini misalnya (antara lain) berisi
bagaimana kesudahan cerita atau akhir sebuah cerita (Nurgiyantoro, 1995 : 146).
1.5.4 Tokoh dan Penokohan
Sudjiman berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tokoh adalah
individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan dalam berbagai
peristiwa dalam cerita.
Berdasarkan fungsi dalam cerita, tokoh dibagi menjadi dua macam, yakni
tokoh utama (protagonis), tokoh lawan (antagonis) (Nurgiyantoro, 1995: 129).
Selain kriteria tokoh tersebut, Sudjiman juga menambahkan kriteria tokoh yang
lain, yakni tokoh bawahan.
11
Tokoh protagonis adalah tokoh yang kita kagumi, secara populer sering
disebut pahlawan, dan merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai ideal
bagi kita (Nurgiyantoro, 1995: 129).
Tokoh utama protagonis selalu menjadi tokoh sentral dalam cerita. Ia
bahkan menjadi pusat sorotan dalam kisahan. Kriterium yang digunakan untuk
menentukan tokoh utama adalah bukan hanya pada frekuensi kemunculan tokoh
itu dalam cerita, melainkan intensitas keterlibatan tokoh dalam peristiwa yang
membangun cerita. Tokoh protagonis dapat juga ditentukan dengan
memperhatikan hubungan dengan tokoh lain (Sudjiman, 1988: 17-18).
Protagonis mewakili yang baik dan terpuji. Oleh karena itu tokoh
protagonis menarik minat pembaca, sedangkan tokoh antagonis mewakili pihak
yang jahat atau yang salah. Sedangkan tokoh bawahan adalah tokoh yang tidak
sentral kedudukannya, tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang
atau mendukung tokoh utama (Sudjiman, 1988: 17-19).
Penokohan ialah kualitas tokoh, nalar dan jiwanya yang membedakan
dengan tokoh lain (Sudjiman, 1988: 23). Penokohan adalah cara pandang
melukiskan tokoh-tokoh dalam cerita yang ditulisnya (Tjahjono, 1988: 138).
Menurut Altenbernd dan Lewis, secara garis besar ada dua teknik
pelukisan tokoh dalam suatu karya, yakni teknik ekspositori (expository) dan
teknik dramatik (dramatic). Teknik ekspositori adalah teknik pelukisan tokoh
cerita dengan cara memberikan deskripsi, uraian dan penjelasan secara langsung,
sedangkan teknik dramatik merupakan teknik pelukisan tokoh yang dilakukan
secara tidak langsung, artinya pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit
12
sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh, menyiasati para tokoh cerita untuk
menunjukkan kehadirannya sendiri melalui berbagai aktivitas yang dilakukan baik
secara verbal lewat kata maupun non verbal lewat tindakan atau tingkah laku, dan
juga melalui peristiwa yang terjadi (Nurgiyantoro, 1995 : 194-198).
Dalam penelitian ini, penulis akan meneliti tentang penokohan yang
terdapat dalam novel Saksi Mata. Penulis akan meneliti tokoh Kuntara sebagai
tokoh utama protagonis yang kemudian diteliti secara sosiologis kaitannya dengan
pengabdian tokoh Kuntara dalam melindungi dan memperjuangkan harga diri
keluarganya.
1.5.5 Latar atau Setting
Unsur-unsur latar dapat dibedakan menjadi tiga unsur pokok, yaitu latar
tempat, latar waktu, dan latar sosial. Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya
peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Penggunaan latar tempat
dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan, atau paling tidak tak
bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan
karena masing-masing tempat tentu memiliki karakteristiknya sendiri yang
membedakannya dengan tempat yang lain. Pengangkatan suasana kedaerahan,
sesuatu yang mencerminkan local colour, akan menyebabkan latar tempat
menjadi unsur yang dominan dalam karya yang bersangkutan. Namun, perlu
ditegaskan bahwa sifat ketipikalan daerah tak hanya ditentukan oleh rincinya
deskripsi lokasi, melainkan terlebih harus didukung oleh sifat kehidupan sosial
masyarakat penghuninya. Tempat menjadi sesuatu yang bersifat khas, tipikal dan
13
fungsional yang mempengaruhi pengaluran dan penokohan (Nurgiyantoro, 1995 :
227-228).
Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku
kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi,
yakni berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup,
cara berpikir dan bersikap. Latar sosial memang dapat secara meyakinkan
penggambaran suasana kedaerahan, local colour, warna setempat daerah tertentu
melalui kehidupan sosial masyarakat. Selain hal-hal tersebut, dapat pula berupa
dan diperkuat dengan penggunaan bahasa daerah atau dialek tertentu
(Nurgiyantoro, 1995 : 223-225).
Latar waktu berhubungan dengan “waktu” kapan terjadinya peristiwa-
peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Segala sesuatu yang
menyangkut hubungan waktu, langsung atau tidak langsung, harus berkesesuaian
dengan waktu sejarah yang menjadi acuannya. Pembaca berusaha memahami dan
menikmati cerita berdasarkan acuan waktu yang diketahuinya yang berasal dari
luar cerita yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 1995:230).
Latar waktu dalam novel Saksi Mata tersebut sangat dominan dan
fungsional, penulis mengamati bahwa unsur-unsur tersebut mempengaruhi
perkembangan plot dan keseluruhan cerita.
Unsur “waktu “ yang dimaksud dapat berupa apa pun, misalnya situasi
dan keadaan pada suatu tempat, budaya, benda-benda tertentu, nama, bahkan juga
bahasa yang hanya dimiliki (atau telah dimiliki) oleh waktu tertentu, bukan dalam
waktu yang lain (Nurgiyantoro, 1995 : 237).
14
Dalam penelitian ini penulis akan meneliti latar sebagai landasan peristiwa
terkait dengan penceritaan tokoh Kuntara.
1.5.6 Pengabdian dalam Pengaruh Budaya Jawa
Sujarwo (1999:112) mengemukakan pengabdian merupakan manusia, baik
itu berupa pikiran, pendapat, kasih sayang, tenaga, maupun rasa hasrat yang
dilakukan secara ikhlas. Timbulnya pengabdian ini didasari oleh adanya rasa
tanggung jawab.
Munculnya pengabdian karena adanya rasa tanggung jawab, pengabdian
adalah perihal yang berhubungan dengan mengabdi. Sedangkan mengabdi adalah
suatu penyerahan diri kepada sesuatu yang dianggap lebih, pada umumnya
dilakukan dengan tulus ikhlas, bahkan diikuti dengan pengorbanan. Dalam hal ini
pengorbanan berarti suatu pemberian untuk menyatakan seseorang berbakti yang
dapat berupa materi, perasaan maupun jiwa raga (Rusydi dkk, 1985: 43).
Dalam penelitian ini pengertian pengabdian menurut penulis adalah sikap
dalam bentuk batin dan tindakan untuk berbakti kepada sesuatu yang dianggap
lebih dengan bertanggungjawab, ikhlas dan berkorban materi, perasaan maupun
jiwa raga.
Menurut Sujarwo (1999:112) ada empat macam pengabdian, yaitu (a)
pengabdian terhadap keluarga, (b) pengabdian terhadap masyarakat, (c)
pengabdian terhadap negara dan (d) pengabdian terhadap Tuhan. Dalam penelitian
ini, penulis hanya akan meneliti dengan menggunakan teori pengabdian terhadap
keluarga.
15
Dalam penelitian ini penulis hanya akan menganalisis pengabdian Kuntara
terhadap keluarga. Menurut Rusydi dalam Ilmu Budaya Dasar, pada hakikatnya
manusia hidup itu dalam keluarga dan mengabdi kepada keluarga. Hidup dalam
keluarga didasarkan kasih sayang dan cinta kasih. Kasih sayang ini mengandung
makna adanya pengabdian. Apabila kasih s
ayang yang tidak disertai pengabdian berarti kasih sayang tersebut semu
dan palsu (Rusydi dkk, 1985: 44).
Menurut Magnis-Suseno, sikap batin yang tepat dalam etika masyarakat
Jawa terdiri dari tujuh sikap yakni meliputi, sikap sepi ing pamrih, sikap sabar,
sikap nrima, sikap iklas, sikap rila, sikap jujur, sikap sederhana, dan sikap berbudi
luhur. Adapun penulis menentukan batasan sikap dalam penelitian ini, yakni suatu
bentuk batin yang diwujudkan dalam tindakan seseorang.
Dalam penelitian ini, penulis hanya akan menggunakan empat sikap batin
yang tepat, yang meliputi sikap berbudi luhur, sikap nrima, sikap rila dan sikap
sabar. Hal tersebut dilakukan dengan asumsi bahwa pembahasan mengenai sikap
tersebut memadai untuk menganalisis pengabdian tokoh Kuntara terkait dalam
upayanya untuk melindungi dan memperjuangkan harga diri keluarganya. Adapun
sikap batin yang tepat yang dilakukan Kuntara terhadap keluarga adalah sebagai
berikut.
Sikap berbudi luhur, yakni mempunyai perasaan tepat bagaimana cara
bersikap terhadap orang lain, apa yang bisa dan apa yang tidak bisa dilakukan dan
dikatakan (Magnis-Suseno, 1985:144).
16
Sikap nrima adalah menerima segala apa yang mendatangi kita tanpa
protes dan pemberontakan (Magnis-Suseno, 1985 : 143), tetapi tetap bereaksi
secara wajar dan bisa membawa diri dalam situasi seperti itu, dan menunjukkan
suatu kemampuan batin untuk menerima keadaan (Sardjono, 1992 : 20).
Sikap rila adalah kesanggupan untuk melepaskan, sebagai kesediaan untuk
melepaskan hak milik, kemampuan-kemampuan dan hasil pekerjaan sendiri
apabila itu yang menjadi tanggungjawab atau nasib (Magnis-Suseno, 1985:143-
144).
Sikap sabar adalah mempunyai nafas panjang dalam kesadaran bahwa
pada waktunya nasib yang baik akan pun akan tiba (Magnis-Suseno, 1985 : 143).
Sikap ini terwujud dalam keadaan yang tidak tergesa-gesa. Tidak khawatir dalam
menyikapi sesuatu. Memiliki kesadaran akan terjadinya segala sesuatu itu
sebagaimana memang sudah semestinya terjadi (Sardjono, 1992 : 21).
Dalam penelitian ini, pengertian keluarga menurut penulis adalah
sekelompok orang yang terdiri dari keluarga inti (ayah, ibu dan anak) dan
keluarga besar yang masih terikat oleh hubungan darah dan perkawinan.
Penulis akan menggunakan teori tersebut untuk meneliti pengabdian tokoh
Kuntara terhadap keluarga dalam novel Saksi Mata karya Suparto Brata terkait
dalam usahanya untuk melindungi dan memperjuangkan harga diri keluarganya.
17
1.6 Metode Penelitian
Untuk meneliti pengabdian tokoh Kuntara terhadap keluarga, penulis akan
memanfaatkan 3 metode penelitian, yakni pendekatan, analisis data, dan teknik
pengumpulan data.
1.6.1 Pendekatan
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan
sosiologi sastra. Diawali dengan melakukan analisis struktural terhadap novel
Saksi Mata karya Suparto Brata untuk membongkar dan memaparkan secermat,
seteliti, dan mendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua analisis dan
aspek karya sastra yang sama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Hasil
analisis struktural tersebut digunakan sebagai dasar untuk menganalisis
pengabdian tokoh Kuntara terhadap keluarga dalam novel Saksi Mata karya
Suparto Brata.
1.6.2 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, teknik yang digunakan meliputi dua hal, yakni teknik
simak dan teknik catat. Teknik simak dipergunakan untuk menyimak teks sastra
yang telah dipilih sebagai bahan penelitian. Teknik catat dipergunakan untuk
mencatat hal-hal yang dianggap sesuai dan mendukung penulis dalam
memecahkan rumusan masalah. Teknik catat merupakan tindak lanjut dari teknik
simak.
18
1.6.3 Metode Analisis Data
Metode adalah cara kerja untuk memahami suatu objek yang menjadi
sasaran ilmu yang bersangkutan. Suatu metode yang dipilih dengan
mempertimbangkan kesesuaiannya dengan objek yang bersangkutan (Yudiono,
1986: 14).
Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini meliputi metode
deskriptif dan metode analisis. Metode deskriptif diartikan sebagai pemecah
masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan obyek
penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau
sebagaimana adanya untuk memberikan bobot lebih tinggi pada metode ini
(Namawi dan Martini, 1994:73). Selain itu, penelitian deskriptif di sini adalah
jenis penelitian yang memberikan gambaran atau atas suatu keadaan sejelas
mungkin tanpa ada perlawanan terhadap obyek yang diteliti (Kontur, 2003:105).
Data-data yang diperoleh dari metode deskriptif tersebut kemudian
dianalisis dengan tujuan untuk mengambarkan secara tepat pengabdian yang
terdapat dalam novel Saksi Mata.
Metode analisis digunakan untuk menganalisis unsur alur, tokoh dan
penokohan, latar atau setting dalam novel Saksi Mata karya Suparto Brata.
Metode tersebut juga dimanfaatkan oleh penulis untuk menganalisis sikap-sikap
pengabdian tokoh Kuntara terhadap keluarga. Setelah itu penulis memaparkan dan
melaporkan hasil analisis ini.
19
1.7 Sistematika Penyajian
Untuk mempermudah pemahaman tehadap proses dan hasil penelitian ini
dibutuhkan suatu sistematika yang jelas. Sistematika penyajian dari penelitian ini
dapat dirinci sebagai berikut. Bab satu merupakan pendahuluan yang berisi latar
balakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
landasan teori, pendekatan, metode penelitian, teknik penelitian, sumber data dan
sistematika penyajian. Bab dua merupakan analisis unsur alur, tokoh dan
penokohan, latar atau setting dalam novel Saksi Mata karya Suparto Brata. Bab
tiga merupakan analisis tentang pengabdian tokoh Kuntara terhadap keluarga
dalam novel Saksi Mata karya Suparto Brata. Bab empat merupakan penutup yang
berisi kesimpulan dan saran.
1.8 Sumber Data
Judul : Saksi Mata
Pengarang : Suparto Brata
Penerbit : Kompas
Tebal : X + 434
Tahun : 2002
20
BAB II
ANALISIS UNSUR STRUKTUR CERITA DALAM NOVEL SAKSI MATA
KARYA SUPARTO BRATA
Pada bab berikut, akan dianalisis unsur intrinsik dalam novel Saksi
Mata karya Suparto Brata. Unsur intrinsik yang akan dianalisis dititikberatkan
pada unsur alur, tokoh dan penokohan, latar atau setting karena unsur alur, tokoh
dan penokohan, latar atau setting berpengaruh terhadap perjalanan hidup dan
sikap tokoh Kuntara. Dengan meneliti ketiga unsur tersebut, diharapkan makna
keseluruhan novel Saksi Mata karya Suparto Brata dapat dipahami yakni terkait
dengan pengabdian tokoh Kuntara terhadap keluarga untuk melindungi dan
memperjuangkan harga diri keluarganya. Ketiga unsur tersebut akan dianalisis
sebagai berikut.
2.1 Alur
Pembahasan mengenai alur dalam penelitian ini meliputi tahap awal
(beginning), tahap tengah (midle) dan tahap akhir (end).
2.1.1 Tahap Awal
Tahap awal dalam novel Saksi Mata karya Suparto Brata merupakan tahap
perkenalan yang berfungsi memberikan penjelasan tentang deskripsi setting,
dalam hal ini meliputi nama-nama tempat, suasana alam dan waktu kejadiannya.
21
Selain itu, pada tahap ini juga dipergunakan untuk memperkenalkan tokoh
(-tokoh) cerita, yang berwujud deskripsi fisik dan perwatakannya. Adapun pada
tahap ini masalah (-masalah) yang menyulut terjadinya konflik sudah mulai
dimunculkan.
Penceritaan diawali dengan penggambaran keadaan Indonesia pada tahun
1944 atau 2604 sesuai dengan penanggalan Jepang. Pada waktu itu Jepang
menduduki Indonesia dengan tujuan untuk membantu mengusir Belanda dari
tanah air, selain itu Jepang juga memberi janji bahwa suatu saat Indonesia
Indonesia diperkenankan untuk merdeka yang digambarkan dalam kutipan
berikut.
(1) Tanggal 17 September 2604 pada sidang istimewa Teikoku Ginkai di Tokyo, Perdana Mentri Koiso mengumumkan tentang pendirian pemerintahan kemaharajaan Nippon, bahwa daerah Hindia Timur, yaitu Indonesia, diperkenankan merdeka di kelak kemudian hari (hlm.4).
Masyarakat menyambut berita gembira tersebut dengan suka cita,
demikian halnya dengan Mas Suryohartono yang berperan sebagai Sekretaris
Bupati Surabaya. Dia mengabarkan berita tersebut kepada keluarganya di rumah
Van Strippian Leuseusstraat 31 yakni di perkampungan Landa. Di rumah tersebut
seluruh penghuninya berasal dari yang terikat pertalian keluarga antara satu
dengan yang lain. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (2).
(2) Kuntara ingat, dulu waktu di rumah besar Solo memanggil Denayu Suryo Drajeng Sarwosari. Itu namanya sewaktu gadis. Sedang ibunya, konon ketika gadis bernama Raden Ajeng Kuntarti. Menikah dengan ayah Kuntara almarhum, yang punya pangkat keraton Raden Ngabei. Kini ibunya dipanggil Denayu Bei, Bu Bei, Siwa Bei, Mbakyu Bei, terserah hubungan keluarga siapa yang memanggilnya. Denayu
22
Suryo memanggilnya Siwa Bei, Bulik Rum memanggilnya Mbakyu Bei (hlm.8).
Di rumah tersebut Bulik Rumsari merupakan orang baru bagi Kuntara.
Namun hal itu tidak menggangu keakraban keduanya, justru Kuntara
merupakakan orang terdekat bagi Bulik Rumsari. Keakraban yang sering dibina
keduanya memicu rasa kagum Kuntara terhadap buliknya seperti pria dewasa
yang sedang jatuh hati. Menyadari hal tersebut, Kuntara berusaha
menyembunyikan perasaannya karena selain takut sebagai laki- laki Jawa dia
sangat menghormati builknya, seeprti yang terdapat dalam kuktipan berikut.
(3) Teresap pada perasaan Kuntara, sebagai kanak-kanak yang sopan santun, selayaknya Kuntara menghormati hal itu dengan tidak berani mendengarkannya bicara adi itu, apalagi membicarakannya. Sangat ditahan-tahannya. Kuntara masih kecil, belum waktunya mendengar atau berbicara soal kecantikan dan tubuh perempuan. Takut, sangat takut karena hormat (hlm.21).
Kuntara yang gemar mengoleksi bungkus rokok bermaksud untuk
menambah koleksinya dengan mencari di sepanjang jalan. Ketika sampai di
bungker perlindungan yang sepi untuk buang air kecil, secara tidak sengaja ia
mendengar dan menyaksikan Bulik Rumsari sedang berbuat mesum dengan
seorang laki- laki. Kuntara mencoba untuk bersembunyi, namun percuma Bulik
Rumsari sudah mengenali dirinya. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (4).
(4) Kuntara tidak peduli. Lari, asal lari, terus lari. Pokoknya tidak tertangkap saja. Tidak usah sembunyi-sembunyi. Ia tahu perbuatannya telah diketahui mereka. Bulik Rum bahkan sudah tahu siapa dirinya (hlm.26).
Bulik Rumsari adalah keluarga yang baru saja pindah ke rumah Mas
Suryohartono di Surabaya. Bulan Juni yang lalu ia mendapat pekerjaan di pabrik
23
karung Asko di Jembatan Merah dan menginap sementara di rumah kepala pabrik.
Kini ia bergabung dengan keluarga besar Solo dan meminta kepada Kuntara untuk
menunjukkan rute terdekat untuk menuju ke sana, karena di rumah itu Bulik
Rumsari paling dekat hubungannya dengan Kuntara. Hal tersebut terdapat dalam
kutipan (5).
(5) Bulik Rum pindah ke Surabaya karena mendapat pekerjaan di pabrik karung Asko. Konon datang ke Surabaya sejak awal Juni, sudah bekerja dan menginap sementara di rumah kepala pabrik, seorang Nippon, Kolonel Ichiro Nishizumi, di Van Riebeecklaan, di daerah Darmo (hlm.32).
Sebagai orang terdekat yang mengagumi Bulik Rumsari, Kuntara merasa
sangat kecewa ketika tanpa sengaja di bungker perlindungan menyaksikan Bulik
Rumsari sedang bercinta dengan laki- laki asing, yang ternyata adalah suaminya.
Meski tidak berani terbuka, Kuntara berusaha untuk menuntut
pertanggungjawaban perasaannya terhadap buliknya. Hal tersebut terdapat dalam
kuktipan berikut.
(6) Semua ajakan, semua perintah dituruti, semua yang diucapkan didengarkan, namun untuk menjawab atau membantah, Kuntara tidak mau. Hati masih jengkel, berbicara masih sangat enggan! Untuk menyangkal dalam tindakan, membelot atau menolak, sebenarnya Kuntara maunya juga demikian (hlm.63-64).
Sesampainya di rumah malam hari menjelang tidur, Bulik Rumsari
menceritakan kepada Kuntara tentang siapa dirinya yang sesungguhnya, namun
dengan syarat Kuntara mau merahasiakannya. Saat itu pula Kuntara tahu bahwa
Bulik Rumsari sudah menikah secara diam-diam dengan Mas Wiradad yakni
orang yang dilihatnya berbuat mesum dengan Bulik Rumsari di bungker
24
perlindungan. Meskipun secara diam-diam mereka mendapat restu dari Kanjeng
Rama karena pertunangan mereka terancam dengan hadirnya Tuan Ichiro yang
mencintai Bulik Rumsari dengan membabi buta. Setelah menikah dengan Mas
Wiradad, Bulik Rumsari diboyong secara paksa oleh Tuan Ichiro untuk dijadikan
sebagai sekretaris pribadinya di Pabrik Karung Asko sekaligus menjadi gundiknya
tanpa sepengatahuan atasannya. Kini Bulik Rumsari dan Mas Wiradad sedang
memperjuangkan nasib mereka untuk melepaskan diri dari kekuasaan Tuan Ichiro.
Usaha tersebut diawali dengan pencurian dokumen denah gedung yang dilakukan
oleh Bulik Rumsari untuk diserahkan kepada Mas Wiradad agar dia dapat
menemukan Tuan Ichiro dan mengahabisinya, karena itulah Mas Wiradad
melarikan diri dari Batu Jamus. Saat ini Mas Wiradad masih bersembunyi di
bungker perlindungan dan bermaksud untuk menumpang di rumah saudaranya di
Gresikan. Bulik Rumsari meminta kepada Kuntara untuk membuatkan peta
menuju ke sana agar Mas Wiradad tidak tersesat. Hal tersebut terdapat dalam
kutipan (7).
(7) Kuntara menggambar peta pada secarik kertas, dilengkapi dengan nama jalan yang tertera di peta itu: Ruysstraat, Van Strippian Leusesusstraat, Dammesstraat, kebun sayur, Gresikan…” (hlm.100).
Kuntara gelisah menunggu kedatangan Bulik Rumsari yang tidak kunjung
pulang. Kuntara resah karena ingat bahwa Bulik Rumsari akan menyerahkan
termos kepada Tuan Ichiro, sedangkan mestinya Tuan Ichiro sudah mengetahui
bahwa dokumennya hilang dan orang yang pantas dicurigai olehnya adalah Bulik
25
Rumsari. Selain itu Bulik Rumsari juga akan menemui Mas Wiradad di bungker
perlindungan untuk menyerahkan peta menuju Gresikan.
Kuntara memutuskan untuk menyusul Bulik Rumsari ke bungker
perlindungan untuk memastikan bahwa dia dalam keadaan baik-baik saja. Hal
tersebut terdapat dalam kutipan (8).
(8) Ia harus mencari kepastian, di mana dan bagaimana Ndarajeng Rumsari saat ini! (hlm.173).
Namun sesampainya di sana Kuntara menemukan Bulik Rumsari tewas
terhunus oleh pedang samurai. Mas Wiradad yang ketika itu menyaksikan
kronologi pembunuhan menceritakan bahwa Bulik Rumsari melawan ketika
hendak diperkosa oleh orang Jepang yang dari ciri-cirinya Kuntara yakin bahwa
pembunuh tersebut adalah Pak Okada. Dalam perlawanan sengit tersebut, Pak
Okada mencabut samurai yang baru dimilikinya dan menusukkannya ke perut
Bulik Rumsari.
Kuntara mengantarkan Mas Wiradad menuju ke Kampung Gresikan
pulang ke rumah untuk memberitahu keluarga agar jenazah Bulik Rumsari dapat
segera ditangani. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (9).
(9) “Gresikan dan Van Strippiaan dari sini satu tujuan. Marilah Mas Wiradad aku antar sampai gang yang tidak membingungkan lagi untuk sampai di tempat tujuan” (hlm.185).
Untuk menghindari pengusutan selanjutnya, Kuntara berbohong kepada
keluarga perihal pengetahuannya tentang Bulik Rumsari yang tewas di bungker
perlindungan dengan mengatakan bahwa mereka telah berjanji untuk bertemu di
26
bungker perlindungan selepas pulang kerja untuk bercinta. Hal tersebut terdapat
dalam kutipan (10).
(10) “Ya. Semalam aku dikeloni Bulik Rum. Beliau minta agar aku datang ke tempat itu, untuk bercinta siang-siang, agar tidak ketahuan anggota keluarga di sini…” (hlm. 193).
Kebohongan yang dibuat Kuntara membuahkan hasil, dengan begitu
keluarga tidak akan tahu siapa Bulik Rumsari yang sesungguhnya sehingga
mereka tidak perlu terseret dalam penyellidikan Tuan Ichiro.
Kuntara menyanggupi perintah Mas Suryohartono untuk memberikan
kabar duka ke kantor pabrik Asko, karena dia menyadari bahwa hanya dialah yang
tahu di mana letak kantor tersebut. Dalam perjalanan menuju ke kantor, Kuntara
menyempatkan dirinya untuk mendatangi rumah Pak Okada untuk membuktikan
bahwa dialah pembunuhnya, namun sesampainya di sana Kuntara membatalkan
niatnya dan meminta kepada Pak Okada untuk mengantarnya menuju ke kantor
pabrik karung Asko dengan alasan bahwa Pak Okada pasti lebih lancar untuk
menyampaikan berita duka tersebut kepada Tuan Ichiro karena mereka berdua
bisa berbicara dengan bahasa Jepang.
Karena kebohongan yang telah dibuat oleh Kuntara, seluruh anggota
keluarganya menuduh dia sebagai penyebab kematian Bulik Rumsari dan
menyuruhnya untuk tinggal di rumah, sementara seluruh anggota keluarga
mengantar jenazah ke Solo. Sebab andaikata Kuntara ikut, tentu akan
mempermalukan mereka.
27
2.1.2 Tahap Tengah
Tahap tengah pada novel Saksi Mata karya Suparto Brata merupakan
tahap pertikaian yang menampilkan konflik yang semakin meningkat di mana
konflik tersebut merupakan perkembangan masalah yang sudah dimunculkan pada
tahap awal.
Konflik tersebut dapat berupa konflik internal yang terjadi dalam diri
seorang tokoh, maupun konflik eksternal yang terjadi antartokoh cerita. Dalam
tahap ini klimaks ditampilkan ketika konflik utama telah mencapai intensitas
tertinggi.
Ketika menyadari bahwa termos yang dibawa oleh Bulik Rumsari berisi
peledak, Tuan Ichiro menduga bahwa Mas Wiradad telah melarikan diri dari Batu
Jamus dan bersekongkol dengan keluarga Mas Suryohartono. Tanpa banyak kata
dia segera menyerang laki- laki yang ada di rumah Mas Suryohartono dan
menggeledah seluruh isi rumah.
Semenjak kematian Bulik Rusmari, Pak Okada tidak pernah lagi datang
untuk mengajar di sekolah. Kuntara memutuskan untuk mencarinya di kampung
Ploso bersama dengan Cak Sidik untuk memastikan bahwa Pak Okada sudah
tewas. Dalam perjalanan dia bertemu dengan Mas Wiradad yang menyampaikan
berita bahwa dia telah membunuh Pak Okada dengan cara sama ketika dia
membunuh Bulik Rumsari. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (11).
(11) “Ya, orang kampung sini mengira Nippon elek itu mati bunuh diri, hara-kiri dengan pedangnya yang mungil. Memang kutusuk beberapa kali diperutnya dan dadanya, seperti luka-luka yang terdapat di tubuh Diajeng Rumsari (hlm. 364).
28
Sesampainya di rumah Kuntara, menerima surat titipan dari Tuan Ichiro
yang berisi pesan agar dia mendatangi Gedung Kitaha Butai untuk mengetahui
informasi sehubungan dengan penculikan terhadap Mas Suryohartono dan Mas
Darkiman. Kuntara segera mendatangi Tuan Ichiro untuk meyakinkan padanya
bahwa Mas Suryohartono dan Mas Darkiman tidak terlibat dalam pencurian
dokumen bersama dengan Bulik Rumsari. Selain itu Kuntara juga meminta agar
mereka ditawan dengan baik-baik dan jangan dipaksa untuk mengakui perbuatan
yang tidak mereka lakukan.
Kuntara menceritakan kepada Mas Wiradad perihal penyekapan Mas
Suryohartono dan Mas Darkiman dan meminta kepadanya untuk segera
menyerahkan dokumen tersebut kepada Tuan Ichiro karena jika lebih dari satu
minggu maka mereka akan diserahkan ke Kenpeitai. Menyikapi hal tersebut Mas
Wiradad mengatur siasat untuk mengirim surat kepada Shita-san beserta barang
bukti berupa sandal Pak Okada. Surat tersebut berupa aksara Jawa yang berisi
bahwa Pak Okada sedang disekap dan ia akan menyerahkan dokumen Tuan Ichiro
di bungker perlindungan dengan syarat hanya orang Jawa yang boleh
mengambilnya. Dengan begitu Mas Wiradad yakin Tuan Ichiro akan menyuruh
Kuntara yang membaca surat dan mengambil dokumen tersebut. Selain itu, hal
tersebut akan memperkuat dugaan Tuan Ichiro bahwa selama ini Mas Wiradad
sudah mengintainya, sehingga Kuntara dapat terbebas dari tuduhan berkhianat
terhadap Tuan Ichiro.
Namun harapan tersebut menjadi sia-sia karena setelah membaca surat
tersebut Tuan Ichiro berubah pikiran, amarahnya memuncak karena pemahaman
29
baru bahwa Kuntara yang selama ini menjadi orang kepercayaannya adalah
pelaku pencurian dokumen tersebut, maka dia melepaskan Mas Suryohartono dan
Mas Darkiman. Tanpa klarifikasi lebih jauh, Tuan Ichiro segera melayangkan
pukulan kepada Kuntara hingga Kuntara hampir pingsan.
2.1.3 Tahap Akhir
Tahap akhir dalam nove l Saksi Mata karya Suparto Brata merupakan tahap
peleraian yang berisi akhir sebuah cerita atau akibat dari sebuah klimaks.
Tuan Ichiro murka ketika merasa dipermainkan oleh Mas Wiradad ketika
menemukan surat di bungker perlindungan yang berisi bahwa dokumen tersebut
batal diserahkan hari ini, namun dia akan menyerahkannya sendiri besok pagi jam
delapan di Gedung Kitahara Butai dan harus diterima oleh Tuan Ichiro di depan
pintu gerbang.
Kuntara mengusulkan kepada Mas Wiradad untuk membantunya
menyerahkan dokumen tersebut kepada Tuan Ichiro. Ketika Kuntara membawa
dokumen dalam achtentas tersebut, dia diikuti oleh kaki tangan Tuan Ichiro. Dan
sesuai dengan perintah Mas Wiradad, Kuntara segera menghormat cara Jepang
terhadap Tuan Ichiro yang sudah menunggu di depan pintu gerbang sebagai
isyarat bagi Mas Wiradad untuk segera menyerang Tuan Ichiro.
Dan dengan segera Mas Wiradad merebut achtentas yang berada dalam
pelukan Kuntara dan segera berlari masuk ke dalam gedung Kitahara Butai dan
memerintahkan Kuntara untuk segera berlari menjauh. Dalam waktu singkat,
30
Kuntara berlari menjauh dan tak lama kemudian terdengar bunyi ledakan dari
dalam gedung.
Dari uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa analisis alur dalam
novel Saksi Mata adalah alur maju yang terdiri dari tiga tahap, yakni tahap awal
(beginning), tahap tengah (middle), dan tahap akhir (end). Tahap awal merupakan
tahap pengenalan tokoh-tokoh yang berperan untuk membangun cerita, yakni
dengan cara memunculkan masalah-masalah yang dapat menyulut terjadinya
konflik yang digambarkan pada tokoh Kuntara dalam upayanya berbohong demi
kebaikan, yakni untuk melindungi keluarganya dari Tuan Ichiro, meskipun dia
harus rela dikucilkan keluarganya karena kesalahpahaman. Tahap tengah
merupakan tahap pertikaian yang semakin menjadi dan meningkat hingga
mencapai titik klimaks yang digambarkan pada tokoh Kuntara yang mendapat
siksaan fisik dari Tuan Ichiro karena merasa telah dipermainkan oleh Kuntara.
Dan dilanjutkan pada tahap akhir yang merupakan tahap peleraian sebagai akibat
dari klimas yang digambarkan pada tokoh Kuntara bersama dengan Mas Wiradad
untuk membunuh Tuan Ichiro dengan cara meledakkan gedung Kitahara Butai.
2.2 Tokoh dan Penokohan
Pembahasan mengenai tokoh dan penokohan dalam penelitian ini meliputi
tokoh utama (protagonis), tokoh lawan (antagonis) dan tokoh bawahan. Pada
unsur tokoh, yang akan diteliti adalah tokoh utama (protagonis) yakni Kuntara.
Penentuan tokoh utama tersebut didasarkan pada frekuensi kemunculan tokoh dan
intensitas keterlibatan tokoh dalam membangun cerita. Adapun tokoh yang
31
tergolong dalam tokoh antagonis meliputi Tuan Ichiro dan Pak Okada, sedangkan
tokoh yang tergolong dalam tokoh bawahan meliputi Bulik Rumsari, Mas
Wiradad, Denayu Suryo dan Mas Suryohartono.
Pada penokohan, penulis akan meneliti tentang tokoh utama dan tokoh-
tokoh pendukung yang meliputi tokoh antagonis dan tokoh bawahan.
Penokohan adalah cara pandang melukiskan tokoh-tokoh dalam cerita
yang ditulisnya (Tjahojono, 1988:138). Penokohan adalah kualitas tokoh, nalar
dan jiwanya yang membedakan dengan tokoh lain (Sudjiman, 1991:23).
Pada bagian ini, penulis akan meneliti tentang tokoh penokohan yang
terdapat dalam novel Saksi Mata karya Suparto Brata, yang meliputi tokoh
protagonis, tokoh antagonis dan tokoh bawahan.
2.2.1 Kuntara
Kuntara merupakan seorang pelajar yang masih duduk di bangku kelas
lima Sekolah Dasar Canalaan Surabaya. Semenjak ayahnya meninggal, ia dan
ibunya memutuskan untuk menumpang dan mengabdi di rumah keponakannya,
Denayu Suryo, yakni kerabatnya yang juga bersasal Istana Prabukencanan. Dalam
tradisi Jawa, orang lebih akrab menyebut dengan istilah ngéngér, yakni
menumpang kepada sanak saudara yang lain, biasanya masih terikat hubungan
darah atau perkawinan.
Sebagai orang yang menumpang di rumah saudara, Kuntara berusaha
untuk menyesuaikan diri dengan rutinitas dan kebiasaan-kebiasaan yang ada di
rumah tersebut, misalnya dalam hal menjaga kebersihan, Kuntara selalu bangun
32
lebih pagi dari pada anggota keluarga yang lain untuk mempersiapkan keperluan
seluruh anggota keluarga sebelum berangkat ke sekolah. Hal tersebut terdapat
dalam kutipan (12) yang ditunjukkan dengan teknik dramatik.
(12) Kewajiban pada pagi hari sudah menanti. Kuntara tidak boleh terlambat bangun. Menyapu lantai rumah, membersihkan sepeda Mas Suryo, mengisi kolam mandi di sumur, mandi dan makan pagi. Semua harus dikerjakan sebelum dia siap pergi ke sekolah (hlm.121).
Kuntara merupakan orang terdekat bagi Bulik Rumsari yang baru saja
bergabung dan tinggal satu rumah dengannya.
Demikian halnya ketika Bulik Rumsari membutuhkan teman untuk
bercerita tentang jati dirinya, Kuntara menyempatkan diri untuk
mendengarkannya dan berjanji untuk tidak menceritakan pengetahuannya tersebut
kepada orang lain sesuai dengan permintaan Bulik Rumsari. Kedekatannya
tersebut seolah memicu perasaan Kuntara untuk mengagumi Bulik Rumsari.
Meskipun begitu Kuntara menyadari bahwa dia masih terlalu kecil untuk
merasakan hal tersebut, maka dari itu dia membulatkan tekadnya untuk
merahasiakannya karena merasa takut dan hormat kepada Bulik Rumsari.
Kuntara merupakan anak yang menghormati otang lain, hal tersebut
ditunjukkan dalam kutipan (13) dengan teknik dramatik yang menggambarkan
Kuntara menggunakan bahasa Jawa Krama ketika berbicara dengan orang yang
lebih tua, meskipun dalam keadaan sedang marah.
(13) Meskipun dalam nada bantah-membantah, Kuntara tetap saja menggunakan bahasa krama tetap menghormat kepada lawan bicaranya. Memanggil lawan bicara tidak berengkau, melainkan menyebut nama panggilannya, atau ber-Anda, ber-nandalem, sebutan khusus untuk para bangsawan tinggi (hlm. 75).
33
Kuntara mengantarkan Mas Wiradad yang bersatatus sebagai buron untuk
bersembunyi di Kampung Gresikan. Selain itu, Kuntara juga memberikan kabar
kepada anggota keluarga yang lain tentang penemuan jenazah Bulik Rumsari di
bungker perlindungan agar jenazah tersebut dapat segera ditangani. Demi untuk
menghindari pengusutan penemuan jenazah tersebut Kuntara rela berbohong
kepada anggota keluarga yang lain dengan mempertaruhkan nama baiknya.
Penggambaran situasi tersebut ditunjukkan dengan menggunakan teknik dramatik
dalam kutipan (14).
(14) Jadi, biarlah Mas Suryhoartono, Mas Darkiman, keluarganya, semua saja menganggap pangkal musibah kesengsaraan itu perbuatan Kuntara yang sang sangat memalukan itu, bercumbu rayu dengan Bulik Rum! Biar! Biar mereka mengukuhi pendiriannya itu (hlm.337).
Hal tersebut dilakukan Kuntara agar anggota keluarga yang lain tidak
mengusut lebih lanjut dan mengetahui jati diri Bulik Rumsari sehingga apabila
Tuan Ichiro menyelidiki kasus pembunuhan tersebut mereka tidak ikut terseret
karena ada salah ucap. Dalam pemahaman Jawa, tindakan yang dilakukan Kuntara
tersebut dikenal dengan istilah dora sembodo yang berarti berbohong tetapi demi
kebaikan.
Kuntara menyudutkan posisi Pak Okada dengan cara memanfaatkan
kekuasaan Tuan Ichiro. Kuntara meminta tolong pada Pak Okada untuk
mengantarnya memberikan kabar kematian Bulik Rumsari di kantor pabrik Asko.
Usaha tersebut dilakukan agar Pak Okada tidak mengetahui bahwa Kuntara sudah
mengetahui pembunuh Bulik Rusmari, sehingga dia dengan mudah dapat
34
membalas dendam dengan cara tersamar, selain itu agar Pak Okada menjadi
tersiksa batinnya karena dengan membunuh orang kesayangan Tuan Ichiro berarti
dia akan berhadapan dengannya.
Kuntara berpamitan berusaha untuk meyakinkan Tuan Ichiro bahwa Mas
Suryohartono tidak terlibat dalam aksi pencurian dokumen yang dilakukan oleh
Bulik Rumsari, karena di rumah tersebut hanya Kuntaralah orang yang paling
dekat dengannya. Selain itu Kuntara juga meminta kepada Tuan Ichiro agar
mereka ditawan secara baik-baik tanpa memaksa mereka untuk mengakui tuduhan
tersebut. Tindakan tersebut dilakukan Kuntara karena dia tahu bahwa yang
membawa dokumen tersebut adalah Mas Wiradad, namun tidak mungkin baginya
untuk menceritakan pengetahuannya tersebut, karena jika dilakukan kebohongan
yang sudah disusun tersebut akan menjadi sia-sia dan Kuntara bersama anggota
keluarga yang lain pasti akan menjadi sasaran Tuan Ichiro. Maka dari itu Kuntara
memutuskan untuk meminta kepada Mas Wiradad untuk segera menyerahkan
dokumen tersebut kepada Tuan Ichiro agar Mas Suryohartono dan Mas Darkiman
segera dibebaskan.
Demi untuk melindungi dan memperjuangkan harga diri keluarganya,
Kuntara akhirnya mendapatkan siksaan fisik dari Tuan Ichiro yang mendapatkan
pemahaman baru bahwa Kuntara berperan dalam aksi pencurian dokumen
tersebut. Namun pukulan Tuan Ichiro tidak membuatnya gentar, justru dia
meminta kepada Mas Wiradad agar diperkenankan membantunya untuk
membalaskan dendam Bulik Rumsari dengan menyerahkan dokumen tersebut ke
tangan Tuan Ichiro. Sebelum berangkat, Kuntara menyempatkan dirinya untuk
35
memohon restu kepada ibunya agar dia selamat tanpa kendala suatu apa pun
dalam menyelesaikan kemelut keluarga.
Dari uraian di atas penulis menyimpulkan bahwa Kuntara adalah seorang
anak yang mempunyai sifat penyayang, ikhlas, penolong, bertanggungjawab,
pemberani, mengharagai orang lain dan patuh.
2.2.2 Tuan Ichiro
Tuan Ichiro merupakan seorang perwira Nippon yang mengepalai kantor
pabrik Asko di Surabaya. Sebagai orang Jepang yang berkuasa, dia ditakuti oleh
hampir sebagian orang Jawa, misalnya di lokasi Istana Prabukencanan. Seorang
Kanjeng Rama pun dibuatnya tak berkutik ketika dia membawa Bulik Rumsari
secara paksa karena cintanya yang membabi buta untuk dijadikan gundiknya
sekaligus sekretaris peribadi di kantor tanpa sepengatahuan atasannya. Tuan
Ichiro memboyong Bulik Rumsari di kantornya dalam sebuah kamar khusus agar
dia dapat mengunjunginya dan melakukan segala keinginannya tanpa
sepengetahuan atasannya maupun anak buahnya. Hal tersebut ditunjukkan dengan
menggunakan teknik dramatik yang terdapat dalam kutipan (15).
(15) Ia sangat cemburu. Aku pernah langsung di suruh masuk kamarnya, ditiduri berjam-jam melayani amarahnya! (hlm. 101).
Tuan Ichiro menduga Mas Wiradad telah melarikan diri dari Batu Jamus
dan berusaha untuk menghancurkan dirinya dengan cara memanfaatkan Bulik
Rumsari untuk mencuri dokumen dan mengirim termos yang berisi bom yang
telah merusak sebagian bangunan dan membunuh beberapa anak buahnya.
36
Tanpa pikir panjang Tuan Ichiro membongkar rumah Mas Suryohartono
dan menghajar laki- laki yang ada di rumah itu dengan tuduhan mereka telah
membantu menyembuyikan Mas Wiradad untuk melawan Kenpetai.
Meskipun usahanya memburu Mas Wiradad tidak berhasil, dia berusaha
mengungkap fakta dengan cara memanfaatkan Kuntara yang dianggap polos
karena masih kecil. Tuan Ichiro menyekap dan Mas Suryohartono dan Mas
Darkiman yang diduga kuat ikut membantu Bulik Rumsari untuk mencuri
dokumen. Tuan Ichiro menangkap mereka agar mengakui perbuatannya. Namun
meskipun begitu Tuan Ichiro menangkap mereka tanpa sepengetahuan atasannya
karena jika atasannya tahu, tentu dia juga akan mendapat hukuman karena
dianggap lalai dalam menjalankan tugas. Selain itu, usahanya dalam
menyembunyikan Bulik Rumsari akan terbongkar. Hal tersebut ditunjukkan
dengan menggunakan teknik dramatik yang terdapat dalam kutipan (16).
(16) Nah, itu semua tetap rahasia pribadiku. Tidak ada staf atau pembantuku yang lain tahu bahwa aku membuat gambar dan daftar, aku suruh Raden Ajeng Rumsari yang menyimpannya, dan sekarang dokumen itu hilang. Maka dari itu aku ingin Raden Suryohartono dan Raden Mas Darkiman mau segera mengaku di mana dokumen itu disembunyikan (hlm. 333).
Tuan Ichiro belum juga puas dengan penyelidikannya, dia menemukan
fakta baru bahwa Kuntara ikut andil dalam membantu Mas Wiradad. Dia
memukul Kuntara dengan sekuat tenaga sehingga dia terjatuh dan hampir pingsan.
Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan (17) dengan menggunakan teknik
dramatik.
(17) Dug!! Kuntara jatuh terpental. Mendengar jerit ibunya, Jerit Denayu Suryo. Terasa pandangannya gelap sejenak. Dan ketika
37
matanya melihat terang, kepalanya pusing. Pandangannya kabur. Kuntara melihat Tuan Ichiro berdiri di depannya, membelalaki dengan sikap marah (hlm. 385).
Namun dugaan tersebut disangsikan karena surat dalam tulisan aksara
Jawa yang dianggap tulisan Kuntara adalah salah karena di sana tarcantum nama
Mas Wiradad. Tuan Ichiro mendatangi bungker perlindungan sesuai dengan
perintah tertulis dalam surat untuk mengambil dokumen dengan cara mengirim
orang Jawa, namun dia tidak menghiraukannya dan menyuruh Kuntara untuk
masuk ke dalam bungker perlindungan, sedangkan dia akan memata-matai dari
jauh untuk menangkap Mas Wiradad. Tuan Ichiro tertipu, dia mendapat surat lagi
yang ditulis oleh Mas Wiradad yang berisi penyerahan dokumen akan diserahkan
besok di depan Gedung Kitahara Butai yang harus diterima oleh dia sendiri.
Menyikapi hal tersebut, Tuan Ichiro mengirim anak buahnya untuk memata-matai
Mas Wiradad dan menangkapanya sebelum sampai di Gedung Kitaharai Butai.
Namun tanpa disangka-sangka Mas Wiradad berhasil lolos dari kejaran anak
buahnya dan menyelinap masuk untuk meledakkan bom di dalam gedung.
Dari uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa Tuan Ichiro adalah
seorang perwira Nippon yang berkuasa, kejam, cerdik, penakut dan licik.
2.2.3 Pak Okada
Pak Okada adalah orang Jepang yang berprofesi sebagai guru bahasa
Jepang di Sekolah Dasar Canalaan. Beberapa hari yang lalu dia memperoleh
warisan dari kakeknya berupa pedang pusaka, yakni sebilah samurai yang kini
menjadi benda kesayangannya. Suatu siang di dekat rumahnya dia membuntuti
38
Bulik Rumsari yang masuk ke bungker perlindungan yang sepi. Karena mengira
tempat tersebut tidak ada orang lain, dia segera melancarkan niatnya untuk
memperkosa Bulik Rumsari. Namun karena Bulik Rumsari berusaha untuk
melawan, dengan gegabah dia segera menusuk Bulik Rumsari dan melarikan diri.
Tanpa sengaja dia meninggalkan samurai beserta sebelah sandalnya yang terbuat
dari karet. Namun tanpa disadarinya Mas Wiradad yang bersembunyi telah
melihatnya. Pak Okada meninggalkan samurai dan sebelah sandalnya yang terbuat
dari karet. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (18) yang ditunjukkan dengan
menggunakan teknik dramatik.
(18) “Seorang laki- laki Nippon, Dik. Jeng Rum mau diperkosa, tetapi melawan. Bertengkar seru dalam bahasa Nippon. Jeng rum digelut. Berontak. Lalu ditusuk-tusuk dengan ini. Inilah senjatanya!” (hlm. 180).
Pak Okada terkejut ketika mendapatkan sandalnya yang hilang sudah ada
di depan rumah bertepatan dengan datangnya Kuntara yang katanya hendak
meminta tolong kepadanya untuk menyampaikan kabar kematian Bulik Rumsari
kepada Tuan Ichiro di kantor abrik Asko karena selama ini Bulik Rumsari bekerja
sebagai sekretaris dan gundiknya. Mendengar hal tersebut Pak Okada menjadi
cemas karena dengan membunuh Bulik Rumsari dia pasti akan berhadapan
dengan Tuan Ichiro, orang yang berkuasa.
Pak Okada yang cemas akan keselamatan dirinya, mencoba untuk
bersembunyi ke kampung Ploso. Di sana dia tinggal dengan anak gadis Cak Pasal
yang akan dinikahinya. Sebagai orang Jepang yang lancar berbahasa Jawa,
tentunya sangat mudah baginya untuk menyembunyikan identitas. Hanya dengan
39
mengenakan kupluk saja dia bisa menyamar sebagai orang Cina yang berdagang
di Indonesia.
Ketika dalam perjalanan menuju ke sana dia dihadang dan dibunuh oleh
Mas Wiradad yang sudah menantinya di dekat kampung Ploso untuk
membalaskan dendamnya atas kematian istrinya.
Dari uraian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa Pak Okada
merupakan orang Jepang yang berprofesi sebagai guru, mempunyai sifat
pengumbar nafsu dan pengecut.
2.2.4 Bulik Rumsari
Bulik Rumsari merupakan wanita Jawa terpelajar yang terpaksa menjadi
gundik Tuan Ichiro dan bekerja padanya di pabrik karung Asko. Selama bekerja di
sana, Bulik Rumsari rela meninggalkan Istana Prabukencanan dan menumpang di
rumah Denayu Suryo demi untuk melindungi Kanjeng Rama dan suaminya, yakni
Mas Wiradad dari kekejaman Tuan Ichiro.
Bulik Rumsari tidak tinggal diam meskipun hidup di bawah tekanan
kekuasaan Tuan Ichiro dan menyusun siasat bersama Mas Wiradad untuk
membalas dendam agar dapat hidup bersama dengan Mas Wiradad selayaknya
sepasang suami istri.
Bulik Rumsari menyadari kekecewaan yang dirasakan Kuntara setelah
mempergokinya bercinta dengan Mas Wiradad suaminya di bungker
perlindungan. Maka dari itu dia berusaha untuk meminta maaf dengan cara
menceritakan rahasia tentang jati dirinya agar Kuntara memahami tindakannya
40
tersebut. Selain itu hal tersebut dilakukan Bulik Rumsari agar Kuntara tidak
menceritakan pengetahuannya tersebut kepada anggota keluarga yang lain.
Bulik Rumsari juga menceritakan usahanya bersama dengan Mas Wiradad
untuk membalas dendam kepada Tuan Ichiro. Pengakuan tersebut dilakukan Bulik
Rumsari karena dia percaya bahwa Kuntara tidak akan membocorkan rahasia
tersebut kepada anggota keluarga yang lain agar mereka tidak terseret dalam
masalah yang menimpanya. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (19) yang
ditunjukkan dengan menggunakan teknik dramatik.
(19) “Dik, Kun. Dimas! Aku mau bercerita sesungguhnya. Betul-betul sesungguhnya. Betul-betul sesungguhnya! Aku minta engkau mendengarkan dengan terbuka mata hatimu, dengan percaya penuh kepadaku. Mau engkau berjanji?” (hlm.82).
Namun naas bagi Bulik Rumsari yang sedang mengatur siasat dengan Mas
Wiradad di bungker perlindungan, dia hendak diperkosa oleh Pak Okada. Dalam
usahanya melawan Pak Okada, dia ditusuk dengan menggunakan pedang pusaka
sehingga tewas.
Dari uraian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa Bulik Rumsari
adalah wanita terpelajar yang memiliki sifat rela, setia, misterius, tabah,
pemberani dan mengasihi.
2.2.5 Mas Wiradad
Mas Wiradad adalah suami suami Bulik Rumsari yang bekerja di Batu
Jamus, yakni sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pembuatan nuklir. Ia
bekerja di sana semenjak menjadi pekerja paksa yang dikirim oleh Tuan Ichiro
dan selalu berada di bawah pengawasannya secara tidak langsung. Ia datang ke
41
Surabaya untuk melepaskan istrinya, yakni Bulik Rumsari dari cengkeraman Tuan
Ichiro dan membalas dendam atas kekejaman yang telah dilakukan terhadap
istrinya yang menyebabkan mereka terpisah selama ini. Selama menjadi buronan,
ia mengatur siasat untuk melancarkan serangan terhadap Tuan Ichiro.
Namun di tengah-tengah usahanya menyusun siasat bersama dengan
Bulik Rumsari, dia menyaksikan Bulik Rumsari yang melawan usaha perkosaan
yang dilakukan Pak Okada dan tewas ditangannya karena ditusuk dengan pedang
pusaka. Kesaksian tersebut tak membuatnya patah semangat, dia tetap berjuang
untuk membalaskan dendam istrinya.
Di dekat Kampung Ploso dia mengahadang Pak Okada yang menyamar
sebagai orang Cina dengan mengendarai kuda. Mas Wiradad membunuhnya
dengan pedang pusaka yang tertancap di tubuh istrinya dan menusuknya sama
persis dengan luka tusukan yang terdapat pada tubuh Bulik Rumsari.
Serangan selanjutnya ditujukan kepada Tuan Ichiro, yakni dengan
mengirim surat yang berisi perjanjian bahwa dia hendak menyerahkan dokumen
di bungker perlindungan. Hal tersebut dilakukan agar Tuan Ichiro segera
melepaskan Mas Suryohartono dan Mas Darkiman yang dituduhnya sebagai
pencuri dokumen penting miliknya. Perjanjian penyerahan dokumen berlanjut di
Gedung Kitahara Butai dan harus diterima oleh Tuan Ichiro sendiri. Mas Wiradad
menghindari penyelidikan Tuan Ichiro dengan cara menyembunyikan dokumen
dalam tas yang sudah diganti dengan bom di balik tikar dan menyuruh Kuntara
untuk membawanya. Dia menyuruh Kuntara untuk menghormat cara Jepang
apabila yang berada di hadapannya adalah Tuan Ichiro. Hal tersebut dilakukan
42
sebagai isyarat agar Mas Wiradad segera merebut tas dan membawanya masuk ke
dalam gedung dan meledakkan bom yang sudah dipersiapkannya. Kuntara telah
membantunya dalam membalas dendam kematian Bulik Rumsari meski hanya
dengan merahasiakan pengetahuannya dan menyerahkan tas yang telah diisi bom
kepada Tuan Ichiro.
Dari uraian tersebut di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa Mas
Wiradad merupakan suami Bulik Rumsari yang mempunyai sifat setia, pemberani
dan bertanggungjawab.
2.2.6 Denayu Suryo
Denayu Suryo merupakan pusat pertalian keluarga bagi seluruh
penghuni Van Strippian Leuseusstraat. Dalam mengambil keputusan, dia adalah
seorang yang bijaksana. Dia menerima kerabatnya yang ingin tinggal dengannya
di Surabaya, meskipun dia sudah tidak berada di lingkungan Istana
Prabukencanan. Hal tersebut ditunjukkan dengan diterimanya Mas Darkiman,
Mas Darto, ibunya, Kuntara dan Bulik Rumsari.
Menyikapi tindakan Tuan Ichiro yang mengambil Mas Suryohartono dan
Mas Darkiman, Denayu Suryo mempercayakan keselamatan mereka terhadap
Kuntara, karena menurutnya hanya Kuntaralah orang yang dipercayai oleh Tuan
Ichiro. Hal tersebut ditunjukkan dengan menggunakan teknik dramatik yang
terdapat dalam kutipan (20).
(20) “Jangan, Wa. Jangan kau risaukan Siwa Kuntara! Hanya dia yang dipercaya oleh orang Nippon itu! Biarlah dia berusaha mengatasi keadaan kacau ini! Hanya Siwa Kun yang bisa, menghubungi dibawa kemana Mas Suryo dan Dimas Darkiman!” (hlm. 313).
43
Sebagai seorang bangsawan Jawa, Denayu Suryo sangat memperhatikan
hubungan persaudaraan antarpenghuni Istana Prabukencanan. Pertalian tersebut
diwujudkan dengan adanya rasa tanggungjawab terhadap kerabatnya yang ikut
menumpang di Van Strippian Leuseusstraat.
Dari uraian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa Denayu Suryo
merupakan wanita bangsawan Jawa yang bersifat setia dan bertanggungjawab.
2.2.7 Mas Suryohartono
Mas Suryohartono adalah seorang sekretaris bupati yang merangkap
jabatan sebagai kepala rukun kampung di daerah perumahan kampung Landa.
Ketika mendapat laporan tentang kematian Bulik Rumsari tentu saja Mas
Suryohartono berperan penting untuk menanganinya, karena dia berperan sebagai
kepala keluarga. Mas Suryohartono memerintahkan Kuntara untuk mengabarkan
berita kematian Bulik Rumsari ke kantor pabrik Asko. Hal tersebut ditunjukkan
dengan menggunakan teknik dramatik yang terdapat dalam kutipan (21).
(21) “Kantornya harus diberi tahu. Sekarang juga. Siapa tahu di mana kantornya?” kata Mas Suryohartono (hlm. 195).
Hal tersebut dilakukan oleh Mas Suryohartono sebagai pembuktian
bahwa dia bertanggungjawab terhadap keluarga Istana Prabukencanan yang telah
mempercayakan Bulik Rumsari untuk menumpang di rumahnya.
Mas Suryohartono memberikan pesan-pesan moral kepada Kuntara agar
berhati-hati dalam bergaul dengan Jepang karena mereka telah merugikan bangsa
Indonesia. Hal tersebut membuktikan bahwa Mas Suryohartono menyayangi
44
Kuntara dan bijaksana dalam menghadapi permasalahan yang menimpa
keluarganya.
Dari uraian di atas peneliti dapat menyimpulkan bahwa Mas
Suryohartono adalah kepala keluarga yang bersifat bertanggungjawab, penyayang
dan bijaksana.
2.3 Latar atau Setting
Pembahasan mengenai latar atau setting dalam penelitian ini meliputi latar
latar tempat, latar sosial, dan latar waktu.
2.3.1 Latar Tempat
Pembahasan mengenai latar tempat dalam penelitian ini dititikberatkan di
Surabaya. Hal tersebut dilakukan dengan asumsi bahwa pembahasan mengenai
latar tersebut memadai untuk penelitian ini. Adapun latar tempat yang akan
dianalisis meliputi lokasi rumah Mas Suryohartono di Van Stripiaan Leuseusstraat
31, bungker perlindungan, pabrik karung Asko, kampung Gresikan, pasar Baru,
kampung Ploso, dan gedung Kitahara Butai atau NV Lindeteves. Lokasi- lokasi
tersebut berpengaruh terhadap perjalanan hidup tokoh Kuntara terkait dengan
pengabdiannya terhadap keluarga dengan cara melindungi dan memperjuangkan
harga diri keluarganya dalam novel Saksi Mata karya Suparto Brata .
Berikut ini akan dipaparkan hasil analisis terhadap lokasi- lokasi tersebut
sebagai keterangan tempat dalam pene litian ini. Masing-masing lokasi akan
dipaparkan dan dipertegas dengan kutipan-kutipan.
45
Rumah Mas Suryohartono terletak di perkampungan Landa yakni Van
Strippiaan Leuseusstraat 31. Lokasi tersebut merupakan tempat tinggal Kuntara
setelah sebelumnya dia tinggal di lingkungan Istana Prabukencanan, di mana
semua penghuninya berasal dari sana. Kuntara pindah ke rumah tersebut atas
permintaan ibunya semenjak ayahnya meninggal untuk mengabdi kepada
keponakannya, yakni Denayu Suryo. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (22)
berikut.
(22) Ia merasa cukup besar dan mandiri, ketika ibunya yang janda tidak punya pekerjaan apa-apa, menagajak pindah ke Surabaya, ikut mengabdi pada keponakannya, Raden Ajeng sarwosari alias Denayu Suryo (hlm. 78).
Bungker perlindungan berbentuk menyerupai goa yang difungsikan
sebagai tempat bersembunyi dari serangan udara bagi warga di sekitarnya.
Semenjak Jepang berhasil mengusir Sekutu dari Indonesia, tempat tersebut
menjadi lengang dan kurang terawat sehingga banyak ditumbuhi lumut dan
rumput liar yang menutupi permukaan pintu. Di tempat tersebut Kuntara
mengantar keluarganya untuk membawa jenazah Bulik Rumsari yang
ditemukannya sudah tewas. Hal tersebut digambarkan dalam kutipan (23).
(23) “Itu! Itu Bulik Rum! Kudapati berbaring tak bernyawa di situ. Dadanya, perutnya luka- luka bersimbah darah!...” (hlm. 192).
Pabrik Karung Asko terdapat di Jembatan Merah dengan Kepala Pabrik
Kolonel Ichiro Nishizumi di Van Riebeecklaan di daerah Darmo. Di tempat
tersebut Kuntara memperkenalkan rute dari rumah Mas Suryohartono menuju ke
46
Pabrik Karung Asko kepada Bulik Rumsari. Hal tersebut terdapat dalam kutipan
(24).
(24) Lalu disusul sore harinya ketika Bulik Rum menata barangnya di kamar baru, menarik lengan Kuntara untuk duduk di sampingnya, dan dengan suara yang semi melengking yang merdu itu menanyakan jalan terdekat menuju kantor Asko di Jembatan Merah (hlm. 33).
Selain itu Kuntara juga menjalankan perintah Mas Suryohartono untuk
menyampaikan berita kematian Bulik Rumsari kepada Tuan Ichiro, yang
digambarkan dalam kutipan (25).
(25) “Dia Bulikku. Kami tinggal serumah. Aku sendiri yang menemukan jenazah Bulik Rum. Luka- luka bersimbah darah, tidak bernyawa lagi!” keterangan Kuntara urut (hlm. 207).
Kampung Gresikan adalah tempat persembunyian Mas Wiradad dari
kejaran Tuan Ichiro. Kuntara diminta untuk mengantarnya menuju ke sana karena
dia masih belum tahu lokasinya. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (23).
(26) “Ini gresikan gang II, Mas. Bacalah papan namanya. Jadi aku tidak menyasarkan…” (hlm.187).
Pasar Baru terletak di ujung jalan pasar Besar Wetan, merupakan beberapa
kumpulan kios yang ditampung dalam satu atap bangunan. Di tempat tersebut
Kuntara menjalankan perintah Mas Wiradad untuk menyerahkan dokumen
penting dalam tas kepada Tuan Ichiro. Hal tersebut digambarkan dalam kutipan
(24).
(27) Kuntara berbunga-bunga hatinya. Ia akhirnya mendapatkan tugas itu! Ia yakin Tuan Ichiro akan terheran-heran bahwa yang membawa tas itu Kuntara (hlm. 425).
47
Kampung Ploso adalah lokasi di mana Pak Okada bersembunyi dan
menjalin hubungan dengan anak gadis Cak Pasal. Di tempat itu pula Kuntara
menyelidiki tempat persembunyian Pak Okada yang merupakan pembunuh Bulik
Rumsari untuk memastikan bahwa dia sudah mati. Hal tersebut dapat dilihat
dalam kutipan (28).
(28) “Kalau sudah bahagia, punya mertua Cak Pasal, mengapa harus kita cari-cari? Biarlah Pak Okada berbahagia!” Ini karena kesal Kuntara memikirkan kemelut keluarganya. Tapi dalam hati, ia masih ingin mencari Pak Okada. Untuk mempertanggungjawabkan pembunuhan terhadap Bulik Rumsari. Laki- laki Nippon mata keranjang itu harus membayar utangnya. Utang nyawa disahur nyawa! Mungkin bukan harus Kuntara yang membalas dendamnya, namun Kuntara ingin benar Pak okada akan mati teraniaya! Harus mati tidak wajar! (hlm.351).
Gedung Kitahara Butai merupakan bekas kantor dagang Belanda yang kini
digunakan Balatentara Dai Nippon sebagai bengkel kendaraan perang. Di tempat
tersebut Kuntara mencari Mas Suryohartono dan Mas Darkiman yang sedang di
sekap oleh Tuan Ichiro. Kuntara berusaha meyakinkan kepada Tuan Ichiro bahwa
mereka berdua tidak bersekongkol dengan Bulik Rumsari untuk mencuri
dokumen miliknya. Selain itu Kuntara juga meminta kepadanya agar mereka
berdua ditawan secara baik-baik. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (29).
(29) “…Namun bahwa di rumah Bulik Rum juga renggang bergaul dengan Mas Suryohartono maupun Mas Darkiman, begitu juga dengan Mas Darto, aku tahu dan mengenalnya benar. Kukira tidak mungkin mereka itu punya hubungan lain di luar pergaulan yang kulihat dengan Bulik Rum. Itu aku yakin! Oleh karena itu aku minta agar tuan sedikit bersabar terhadap kedua mereka itu. Janganlah pengakuannya dipaksa dengan kekerasan. Hasilnya tidak benar dan jujur.” (hlm.332).
48
Dari uraian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa latar tempat dalam
novel Saksi Mata karya Suparto Brata berada di daerah Surabaya yakni meliputi
rumah Mas Suryohartono di Van Strippiaan Leuseusstraat 31, bungker
perlindungan, pabrik karung Asko, pasar Baru, kampung Ploso, dan gedung
Kitahara Butai atau sebelumnya lebih dikenal dengan sebutan NV Lindeteves
ketika Belanda masih berjaya di Indonesia. Lokasi tersebut berpengaruh terhadap
perjalanan hidup Kuntara terkait dengan pengabdiannya terhadap keluarga, yakni
dalam upayanya melindungi dan memperjuangkan harga diri keluarganya.
2.3.2 Latar Sosial
Latar sosial yang mencakup penggambaran kebiasaan hidup, adat istiadat,
tradisi, keyakinan, pandangan hidup cara berpikir dan bersikap yang diceritakan
tergambar dalam novel Saksi Mata karya Suparto Brata.
Pembahasan mengenai latar sosia l dalam penelitian ini dititikberatkan
pada latar sosial Jawa. Hal tersebut dilakukan dengan asumsi bahwa pembahasan
mengenai latar tersebut memadai untuk penelitian ini.
Latar sosial yang digambarkan dalam novel Saksi Mata adalah lingkungan
masyarakat Surabaya yang menganut tradisi Jawa, namun di lain sisi masyarakat
tersebut juga mendapat pengaruh tradisi Jepang. Meskipun begitu, masyarakat
Jawa tidak meninggalkan tradisi warisan nenek moyangnya. Adapun tradisi
tersebut meliputi tata krama dalam berbahasa, bersikap dan menyapa orang lain
yang diwariskan secara turun temurun.
49
Orang Jawa biasanya disarankan untuk menghoramati orang lain atau
orang yang lebih dewasa dengan cara berbicara sopan dalam bahasa Jawa Krama.
Hal tersebut juga dilakukan oleh tokoh Kuntara ketika ia sedang berbicara dengan
Bulik Rumsari, meskipun dalam keadaan sedang marah.
Demikian halnya bagi orang Jawa untuk bersikap sopan terhadap orang
lain, yakni dengan kesadaran penuh akan tingkat kebangsawanan atau kedudukan
kita, diharapkan bisa menjadi rambu-rambu untuk bersosialisasi dengan baik
sesuai dengan adat yang berlaku. Hal tersebut ditunjukkan Kuntara ketika dia
berusaha untuk menghindari perasaan kagumnya terhadap kecantikan Bulik
Rusmari, karena Kuntara menyadari bahwa Bulik Rumsari adalah wanita yang
mempunyai derajat kebangsawanan lebih tinggi dari pada dirinya.
Dalam hal berbahasa pun, kita disarankan untuk menghormati orang lain
dengan cara menggunakan kata sapaan yang tepat. Sebab itulah dari kecil kita
selalu diperkenalkan dengan kata sapaan tersebut. Hal tersebut juga dilakukan
oleh Kuntara terhadap Mas Wiradad. Kuntara menyapanya dengan sebutan Mas,
meskipun dia baru pertama kali bertemu. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (30).
(30) “…Yang ada hubungannya dengan kegiatan Mas Wiradad. Bolehkah aku memanggilnya Mas?” (hlm.103).
Penggambaran latar sosial tradisi Jawa tampak pada tradisi keyakinan
penghitungan hari baik dengan menggunakan mata hati. Penghitungan ini
dipercaya orang Jawa ketika mereka akan menggelar upacara-upacara besar untuk
menentukan hari baik, terhindar dari bahaya dan mendapat berkah. Hal tersebut
terdapat dalam kutipan (31).
50
(31) “…Sayang, menurut penghitungan neptu hari lahirku dan hari lahir Mas Wiradad tidak baik dinikahkan pada bulan Jumadilakhir. Jatuh hitungan palasara, mati. Bulan berikutnya, Rajab, lebih baik, perhitungannya banyak anak banyak rezeki (hlm.112).
Novel Saksi Mata menggambarkan bahwa masyarakat tersebut berlatar
belakang kepercayaan Islam. Hal tersebut terbukti dengan adanya perayaan Idul
Fitri di lingkungan keluarga Mas Suryohartono. Hal tersebut terdapat dalam
kutipan (32).
(32) Kemarin dulu bulan Puasa berakhir. Hari Raya kemenangan, hari Idul Fitri dirayakan. Malam itu, di rumah, ada pesta makan besar. Setidaknya istimewa, lebih banyak macamnya dari pada makan untuk berbuka puasa seperti hari-hari yang lalu (hlm. 3).
Tradisi-tradisi tersebut sangat diperhatikan oleh orang Jawa, terlebih bagi
keluarga Istana Prabukencanan, meskipun tidak berada di dalam wilayah istana
mereka tetap melestarikan budaya tersebut.
Dari uraian di tersebut peneliti menyimpulkan bahwa latar sosial dalam
novel Saksi Mata karya Suparto Brata merupakan latar sosial Jawa. Meskipun
budaya Jepang masuk ke Indonesia, namun orang Jawa tidak meninggalkan tradisi
nenek moyangnya. Adapun tradisi tersebut meliputi tata krama berbahasa,
bersikap dan menyapa orang lain, penghitungan hari baik dengan mata hati, dan
kepercayaan agama Islam yang dianut oleh sebagian besar orang Jawa.
2.3.3 Latar Waktu
Latar waktu dalam penelitian ini berlangsung pada masa pendudukan
Jepang di Indonesia pada tahun 1944 yang ditunjukkan oleh pengarang dalam
sebuah peta yang menggambarkan situasi novel Saksi Mata, di mana penunjukkan
51
waktu tersebut didukung oleh adanya budaya, benda, nama dan bahasa yang
mengacu pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Penggarang menggunakan waktu Tokyo untuk menggambarkan latar
waktu dalam novel tersebut yang ditunjukkan dalam kutipan berikut.
(33) Hari ini Kuntara meninggalkan rumah Van Strippiaan Leuseusstraat (sekarang Jalan Kalasan-Pen) Nomor 31 pukul 4 siang waktu Tokyo (hlm.5).
Hal ini membuktikan bahwa kalender tahunan yang digunakan oleh
pengarang untuk menggambarkan latar waktu dalam novel Saksi Mata adalah
masa pendudukan Jepang tahun 1944 atau tahun Jepang 2604 yang digambarkan
dalam kutipan berikut.
(34) Tanggal 17 September 2604 pada sidang istimewa Teikoku Ginkai di Tokyo, Perdana Mentri Koiso mengumumkan tentang pendirian pemerintah Kemaharajaan Nippon, bahwa daerah Hindia Timur, yaitu Indonesia, diperkenankan merdeka di kelak kemudian hari (hlm.4).
Dalam kutipan tersebut tergambar masa pendudukan Jepang di Indonesia
tahun 1944 yang ditunjukkan dengan adanya pengumuman dari Kemaharajaan
Nippon yang bersedia memberi kemerdekaan bagi Indonesia. Selain itu budaya
yang dianut oleh masyarakat setempat juga menggambarkan tradisi yang dianut
pada masa pendudukan Jepang di Indonesia seperti yang terdapat dalam kutipan
(34) berikut.
(35) Membungkukkan badan menghormat cara Nippon, tetap dengan sikap tegak, Kuntara bertanya kepada Pak Padmo, ”Ada apa, Pak?” (hlm.289-290).
Dari kutipan (34) tergambar kebudayaan menghormat cara Jepang yang
dianut dan diadopsi ke dalam kebudayaan masyarakat Jawa yang diturunkan dari
52
generasi ke generasi. Dari benda-benda yang diceritakan, penulis mengetahui
bahwa penceritaan novel Saksi Mata karya Suparto Brata menggambarkan masa
pendudukan Jepang di Indonesia seperti yang terdapat dalam kutipan (35) berikut.
(36) Sebab, selain puntung rokok putih yang tidak biasa dihisap oleh orang Indonesia, kawan-kawan Kuntara menemukan juga kapoces, selubung karet kemaluan laki- laki. Hanya laki- laki Nippon yang menggunakan alat itu (hlm.20).
Dalam kutipan (32) tersebut digambarkan adanya rokok putih yang tidak
biasa dihisap oleh orang pribumi dan adanya kondom yang biasa digunakan oleh
orang Jepang ketika melakukan hubungan intim untuk menghindari penyakit
kelamin yang mewabah. Pada masa itu pula dikenal istilah- istilah yang yang akrab
didengar, yakni istilah PETA yang merupakan singkatan dari Pembela Tanah Air
di mana keberadaannya difungsikan untuk memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia oleh warga pribumi, seperti yang terdapat dalam kutipan (36) berikut.
(37) Juga tidak ketinggalan tentara PETA. Mereka melakukan upacara dengan khidmat (hlm 5).
Selain itu, penentuan masa pendudukan Jepang di Indonesia juga didukung
oleh adanya bahasa Jepang yang diadopsi oleh warga pribumi dalam bentuk lagu-
lagu Jepang yang akrab dinyanyikan dan didengar setiap hari, seperti yang
terdapat dalam kutipan (37) berikut, yakni bahwa lagu Kuro ne no cikara
merupakan salah satu lagu yang digemari oleh warga pribumi.
(38) Meninabobokan si bayi dengan menyanyikan lagu Nippon. Kuro ga ne no cikara memang lagu yang sangat popular (hlm.41).
53
Dari uraian tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa latar waktu dalam
novel Saksi Mata karya Suparto Brata terjadi pada masa pendudukan Jepang di
Indonesia pada tahun 1944 atau tahun Jepang 2604, yakni di mana Jepang berjanji
akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia setelah berhasil mengusir
Belanda dari tanah Indonesia. Adapun penunjukkan waktu tersebut didukung oleh
adanya budaya, benda, nama dan bahasa yang mengacu pada masa perjuangan
kemerdekaan Indonesia.
Berdasarkan keseluruhan uraian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa
tokoh dan penokohan dalam novel Saksi Mata karya Suparto Brata adalah Kuntara
sebagai tokoh utama protagonis sedangkan tokoh antagonis meliputi Pak Okada
dan Tuan Ichiro. Dan sebagai tokoh bawahan digambarkan tokoh Bulik Rumsari,
Mas Wiradad, Denayu Suryo dan Mas Suryohartono yang berfungsi mendukung
keseluruhan penceritaan. Pada unsur latar tempat peneliti menemukan adanya
beberapa lokasi yang mendukung perjalanan hidup tokoh utama protagonis yakni
meliputi rumah Mas Suryohartono, bungker perlindungan, pabrik karung Asko,
pasar Baru, kampung Ploso dan gedung Kitahara Butai. Latar sosial dalam novel
ini berupa latar sosial Jawa di mana penentuan latar tersebut didukung dengan
adanya tata krama berbahasa, bersikap dan menyapa orang lain, penghitungan hari
baik dan kepercayaan agama Islam dianut oleh sebagian besar orang Jawa. Dalam
novel Saksi Mata karya Suparto Brata latar waktu yang diceritakan merupakan
penggambaran situasi yang terjadi pada masa pendudukan Jepang di Indonesia
pada tahun 1944 di mana penunjukkan tersebut didukung oleh adanya budaya,
54
benda, nama dan bahasa yang mengacu pada masa perjuangan kemerdekaan
Indonesia.
Unsur tokoh dan penokohan serta latar atau setting tersebut terdapat dalam
rangkaian alur yang terbagi dalam tiga tahap, yakni tahap awal, tahap tengah dan
tahap akhir. Pada tahap awal digambarkan Kuntara berbohong demi melindungi
dan memperjuangkan harga diri keluarganya dari ancaman kekuasaan Tuan Ichiro
di mana kebohongan tersebut telah menuai pandangan jijik seluruh anggota
keluarga terhadap dirinya karena dianggap telah melakukan perbuatan cabul
dengan Bulik Rumsari yang telah mencemarkan nama baik keluarga sehingga
menyebabkan Bulik Rumsari terbunuh. Pada tahap tengah pengarang
menggambarkan Kuntara berusaha untuk membebaskan Mas Suryohartono dan
Mas Darkiman yang dituduh Tuan Ichiro telah bersekongkol dengan Bulik
Rumsari untuk mencuri dokumen. Meskipun Kuntara tahu pencuri yang
sebenarnya dia tetap bersikukuh untuk merahasiakannya agar anggota
keluarganya selamat. Klimaks terjadi ketika Kuntara harus mendapat siksaan fisik
dari Tuan Ichiro karena menduga bahwa Kuntara telah ikut andil dalam pencurian
dokumen tersebut. Pada tahap akhir digambarkan Kuntara mampu membuka
pikiran Tuan Ichiro bahwa dia tidak ikut campur dalam pencurian dokumen
tersebut. Dengan berhasilnya upaya Kuntara tersebut akhirnya Kuntara dapat
membantu Mas Wiradad untuk membalaskan penderitaan Bulik Rumsari dengan
cara menyerahkan dokumen Tuan Ichiro dalam achtentas yang sudah diganti
diganti dengan bom.
55
Dengan memahami keseluruhan unsur-unsur tersebut peneliti dapat
mengkaitkan makna keseluruhan novel Saksi Mata karya Suparto Brata dengan
pengabdian tokoh Kuntara terhadap kelurganya untuk melindungi dan
memperjuangkan harga diri keluarganya yang akan dianalisis lebih lanjut pada
bab III.
56
BAB III
ANALISIS SIKAP PENGABDIAN TOKOH KUNTARA TERHADAP
KELUARGA DALAM NOVEL SAKSI MATA
Dalam analisis pengabdian tokoh Kuntara, penelitian ini dititikberatkan
pada sikap batin dan tindakan yang tepat, di mana sikap tersebut dilakukan oleh
tokoh Kuntara terhadap keluarga dalam upayanya melindungi dan
memperjuangkan harga diri keluarganya. Sebagai anak yang masih duduk di
bangku kelas lima sekolah dasar, Kuntara mampu mengembangkan sifat-sifatnya
yang mengacu pada perannya untuk ngéngér di rumah saudaranya, di mana
mereka masih terikat hubungan sebagai anggota keluarga Istana Prabukencanan
Solo. Adapun sifat-sifat tersebut meliputi penyayang, ikhlas, penolong,
bertanggungjawab, pemberani, menghargai orang lain, dan patuh.
Dengan mengetahui sifat-sifat dasar tersebut penulis dapat
menggambarkan sikap pengabdian tokoh Kuntara terhadap keluarga.
Penggambaran tersebut dilakukan peneliti dengan cara menyejajarkan sifat-sifat
tokoh Kuntara berdasarkan sikap batin yang tepat yang dikemukakan oleh
Magnis-Suseno dalam bukunya yang berjudul Etika Jawa yang didukung oleh
Sardjono dalam bukunya yang berjudul Paham Jawa: Menguak Falsafah Hidup
Manusia Jawa Lewat Karya Fiksi Mutakhir Indonesia.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan empat sikap batin yang tepat
dan mengkaitkannya dengan sifat-sifat tokoh Kuntara. Adapun sikap pengabdian
tersebut meliputi sikap berbudi luhur, sikap nrima, sikap rila dan sikap sabar, di
57
mana sikap-sikap tersebut mendukung Kuntara untuk mengabdi dalam upayanya
melindungi memperjuangkan harga diri keluarganya. Berikut ini peneliti akan
memaparkan sikap pengabdian tokoh Kuntara berdasarkan empat sikap batin
yang tepat menurut Magnis-Suseno dan Sardjono.
3.1 Sikap Berbudi Luhur
Sikap berbudi luhur, yakni mempunyai perasaan tepat bagaimana cara
bersikap terhadap orang lain, apa yang bisa dan apa yang tidak bisa dilakukan dan
dikatakan (Magnis-Suseno, 1985: 144).
Kuntara selalu berbuat kebaikan kepada semua orang. Dalam bertindak,
dia selalu menjaga perkataan dan perilakunya, yakni apakah tindakannya sesuai
dengan etika kehidupan di Jawa atau tidak. Sifat tersebut tercermin dari perilaku
Kuntara ketika dia menghindari pembicaraan tentang kecantikan tubuh Bulik
Rumsari karena menyadari dirinya masih terlalu kecil. Hal tersebut tergambar
dalam kutipan berikut.
(39) Kuntara merasakan bahwa bicara mengenai tubuh perempuan, atau yang sehubungan dengan itu, rasanya terlalu mulia, terlalu adi. Teresap pada perasaan Kuntara sebagai kanak-kanak yang sopan santun, selayaknya Kuntara menghormati hal itu dengan tidak berani mendengarkannya bicara adi itu, apalagi membicarakannya. Sangat ditahan-tahannya. Kuntara masih kecil belum waktunya mendengar atau berbicara soal kecantikan dan tubuh perempuan. Takut, sangat takut karena hormat (hlm.35).
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa Kuntara menghormati orang lain
dengan cara menjaga perilaku. Tindakan tersebut juga sering dilakukan dan
ditanamkan kepada anak-anak yang baru tumbuh di lingkungan keluarga Jawa
58
dengan harapan seorang anak akan bertambah dewasa dengan perbekalan etika
yang lebih matang, yakni menghormati wanita seperti dia menghormati ibunya
sendiri, sehingga kita tidak boleh semena-mena dalam bertindak. Meskipun masih
kecil, Kuntara mampu membawa dirinya untuk menjaga hubungan baik dengan
seluruh anggota keluarga. Ia selalu berpikir sebelum bertindak seolah laki- laki
Jawa yang sudah mencapai usia dewasa, yakni bahwa wanita mempunyai nilai
yang adi dan sakral. Seperti terdapat dalam kutipan (39), bahwa Kuntara
menghormati tubuh Bulik Rumsari karena kesakralannya.
(40) Yaitu anggapan bahwa bentuk-bentuk tubuh Bulik Rum, tubuh perempuan, punya nilai adi dan sakral. Laki- laki sangat menghormatinya. Terbina oleh pandangan dan perasaan laki- laki dewasa, menguncup juga perasaan laki- laki kecil Kuntara menilai kesakralan serupa. Ia bahkan menyadari belum tercapai umurnya menyentuh penilaian keadisakralan tubuh perempuan Bulik Rum (hlm. 51).
Dalam kutipan tersebut dapat dilihat bahwa Kuntara mewujudkan tindakan
luhur sebagai orang Jawa, yakni menghindari sifat budi yang rendah (drêngki).
Selain itu, Kuntara juga menjalankan adat sopan santun Jawa untuk menghormati
anggota keluarganya, yakni menggunakan bahasa Jawa krama untuk berbicara
kepada anggota keluarga yang lebih tua. Dalam adat Jawa orang yang memiliki
derajat kebangsawanan lebih rendah atau lebih muda diharuskan untuk
menggunakan bahasa Jawa krama untuk berbicara kepada orang yang lebih tinggi
derajat kebangsawanannya atau lebih tua usianya. Hal tersebut terdapat dalam
kutipan (40) berikut.
(41) Biasanya, bagaimanapun eratnya hubungan pergaulan dengan Bulik Rum, Kuntara tetap berbahasa krama berbicara dengan Bulik Rum. Memang adat sopan santun Jawa, orang yang lebih muda,
59
atau kalah derajat martabatnya, atau ingin menghormat sesamanya, orang berbicara dengan bahasa Jawa krama. Kepada anggota keluarga seluruh rumah Kuntara berbicara dengan bahasa krama, karena memang dia termuda di rumah ini. Atau kalah derajat kebangsawanannya dengan Drajeng Menuk, Ndrajeng Ninil, Ndaramas Kus (hlm.57).
Dalam kutipan tersebut menunjukkan bahwa Kuntara adalah anggota
keluarga termuda atau kalah derajat kebangsawanannya dengan anggota keluarga
yang lain, sehingga dalam berbicara biasanya Kuntara menggunakan bahasa Jawa
krama sesuai dengan tata krama berbahasa Jawa.
Sebagai anak yang bertanggung jawab terhadap keluarga, Kuntara
menjalankan kewajibannya untuk menyelamatkan keluarganya agar terhindar dari
marabahaya, seperti tergambar dalam kutipan (41) berikut.
(42) Tidak ada alasan untuk menolak perintah itu. Lagi pula, keluarganya ingin tahu berita kepala rumah tangga dan Mas Darkiman bagaimana. Dengarlah suara cemas Denayu Suryo, perempuan yang selama ini menyebarkan keteduhan, kini merengek memohon pertolongan Kuntara (hlm.316).
Kutipan diatas menggambarkan sikap batin Kuntara yang menerima
perintah Denayu Suryo untuk menyelamatkan Mas Suryohartono dan Mas
Darkiman dari tangan Tuan Ichiro, karena beliau yakin bahwa kedekatan Kuntara
akan mampu meluluhkan hati Tuan Ichiro. Selain itu usaha Kuntara dalam
melindungi keluarganya juga terdapat dalam kutipan (42) berikut.
(43) “…Ayolah, Mas. Tugas yang ini saja aku ingin ikut terlibat untuk menyelamatkan keluargaku, dan sekaligus ikut serta membantu Mas Wiradad dalam berjuang membalas dendam penderitaan Bulik Rum!…” (hlm.417).
60
Kutipan tersebut menggambarkan ambisi Kuntara untuk menyelamatkan
keluarganya dengan cara membantu Mas Wiradad untuk menyerahkan dokumen
kepada Tuan Ichiro agar Mas Wiradad terhindar dari jebakan yang mungkin telah
dipersiapkan oleh Tuan Ichiro.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa Kuntara
adalah tokoh yang berbudi luhur, yakni berperilaku sesuai dengan etika tata krama
yang berlaku dalam masyarakat Jawa. Selain itu sebagai anak yang ngéngér,
Kuntara juga mampu untuk mengambil sikap dan tindakan yang tepat untuk
melindungi seluruh anggota keluarganya.
3.2 Sikap Nrima
Nrima merupakan sikap hidup orang Jawa yang paling positif, yakni
ketika orang dalam keadaan kecewa dan dalam kesulitan pun bereaksi secara
rasional, dengan tidak ambruk, dan juga tidak menentang secara percuma, yang
menuntut kekuatan untuk menerima apa yang tidak dapat dielakkan tanpa
membiarkan diri dihancurkan olehnya (Magnis-Suseno, 1985:142).
Sikap nrima adalah menerima segala apa yang mendatangi kita tanpa
protes dan pemberontakan (Magnis-Suseno, 1985:143), tetapi tetap bereaksi
secara wajar dan bisa membawa diri dalam situasi seperti itu, dan menunjukkan
suatu kemampuan batin untuk menerima keadaan (Sardjono, 1992 : 20).
Kuntara menyangsikan pengakuan Bulik Rumsari yang telah menikah
dengan Mas Wiradad secara diam-diam, karena merasa sayang terhadap Bulik
61
Rumsari dan belum siap untuk mengakui Mas Wiradad sebagai suaminya.
Pernyataan tersebut terdapat dalam kutipan (43) berikut.
(44) Laki- laki itu suaminya ! Tidak salah dengarkah Kuntara?! Laki-laki itu suami Raden Ajeng Rumsari! Bagaimana bisa? Tidak pernah didengar, bahwa gadis masih mengenakan blus dan rok, rambutnya masih dikepang dua seperti anak sekolah, telah bersuami! Kuntara tidak pernah dengar. Ibunya, Denayu Suryo, Mas Darkiman, anggota keluarga yang terdekat Ndarajeng Rumsari, tidak membersitkan berita bahwa Bulik Rum itu telah bersuami. Tidak ada rerasan begitu (hlm. 84).
Namun meskipun begitu, Kuntara tidak berlaku semena-mena terhadap
pengakuan Bulik Rumsari. Dia meminta izin kepada Bulik Rumsari untuk
memanggil Mas Wiradaad dengan sebutan Mas untuk menghormatinya sebagai
orang baru yang dikenalnya sebagai anggota keluarga, terdapat dalam kutipan
berikut.
(45) “...Yang ada hubungannya dengan kegiatan Mas Wiradad. Bolehkan aku memanggilnya Mas?” (hlm.103).
Dari kutipan (44) tergambar sikap batin Kuntara yang kecewa mendengar
pengakuan orang yang disayanginya yakni Bulik Rumsari, bahwa dia telah
menikah dengan Mas Wiradad secara diam-diam tanpa sepengetahuan anggota
keluarga yang lain. Namun hal tersebut tidak mengurangi rasa hormatnya terhadap
Bulik Rumsari dan Mas Wiradad, berusaha menerima selayaknya keluarga.
Kuntara merasa sangat kehilangan ketika menemukan Bulik Rumsari telah
mati di bungker perlindungan dalam keadaan yang mengenaskan. Pernyataan
tersebut terdapat dalam kutipan (45).
(46) “Bulik Rum! Bulik Rum! Ndarajeng! Oh, oh! Hiii-hiii-hiii!” tersentak hati Kuntara, tak tahan lagi membendung tangisnya.
62
Bulik Rum telah meninggal dunia! Kuntara merasa sangat kehilangan! “Bulik Rum! Jangan pergi!...” (hlm.175).
Kuntara menawarkan bantuan kepada Mas Wiradad untuk mengantarnya
menuju Kampung Gresikan agar bisa bersembunyi dari kejaran Tuan Ichiro.
Meskipun dalam keadaan berduka, Kuntara menguatkan dirinya untuk
memberitahu anggota keluarganya yang ada di rumah tentang berita kematian
Bulik Rumsari agar jenazahnya dapat segera dibawa pulang. Pernyataan tersebut
terdapat dalam kutipan (46) berikut.
(47) “Gresikan dan Van Strippian dari sini satu tujuan. Marilah Mas Wiradad aku antar sampai gang yang tidak membingungkan lagi untuk sampai di tempat tujuan,” ajak Kuntara. Meski jiwanya masih terguncang, badannya gemetar, suaranya lemah, pipinya masih basah kena air mata, Kuntara berusaha mengatasi segalanya untuk bertindak segera. Ia tahu, tugasnya masih banyak dan harus segera dilaksanakan (hlm. 185).
Dalam kutipan tersebut menunjukkan bahwa Kuntara sangat kehilangan
orang yang sangat dikasihinya, menemukan jenazahnya dalam keadaan tidak
bernyawa. Sebagai anak yang bertanggung jawab terhadap keluarga, Kuntara
dengan segera mengambil tindakan untuk memberikan kabar duka tersebut kepada
keluarganya agar jenazah Bulik Rumsari dapat segera ditangani. Selain itu dia
juga membantu Mas Wiradad untuk bersembunyi dari kejaran Tuan Ichiro dengan
mengatarnya ke kampung Gresikan.
Segala upaya dilakukan Kuntara demi menyelamatkan seluruh anggota
keluarga agar mereka tidak terseret dalam penyelidikan Tuan Ichiro karena
pengetahuannya tentang jati diri Bulik Rumsari, maka dari itu Kuntara berbohong
kepada keluarganya agar rahasia Mas Wiradad dan Bulik Rumsari tidak tercium
63
oleh Tuan Ichiro. Karena kebohongan yang diceritakan Kuntara tersebut, dia
dikucilkan oleh seluruh angota keluarga karena dianggap sebagai penyebab
kematian Bulik Rumsari dan mencemarkan nama baik keluarga, seperti tergambar
dalam kutipan (47) berikut.
(48) Demi keselamatan keluarga maka Kuntara berbohong. Biar sekarang Kuntara merasa dikucilkan, ia akan berpegang teguh pada kebohongannya. Ia sore-sore menengok bungker perlindungan sana karena ada janji bercinta dengan Bulik Rum. Di sana didapati Bulik Rum terbunuh. Tidak, dia tidak bertemu siapa pun yang lain. Juga tidak menemukan senjata yang dipergunakan untuk membunuh Bulik Rum. Cerita itu yang telah diungkapkan dan cerita itu pula yang telah dipertahankan. Apa pun akibatnya. Biarpun malu dan dikucilkan, tetap dipertahankan demi keselamatan keluarganya! Dora sembada, berbohong tetapi demi kebaikan! Sebab andaikata Kuntara melenceng sedikit saja dari kisah itu, sedikit saja mencampurkan kisah sebenarnya, misalnya ia melihat senjata yang dipakai untuk membunuh Bulik Rum, yakni pedang pusaka itu, akan lainlah kisah akibat selanjutnya! Tidak! Apa pun yang terjadi, Kuntara harus mempertahankan kisahnya (hlm.237).
Dari kutipan tersebut ditunjukkan bahwa meskipun Kuntara dikucilkan
karena dianggap sebagai penyebab kematian Bulik Rumsari dan mencemarkan
nama keluarganya, namun dia tidak patah semangat. Justru dia tetap gigih
mempertahankan kebohongannya agar keluarganya terhindar dari malapetaka.
Kuntara kecewa terhadap keluarganya yang tidak menghiraukan jasa-
jasanya dalam menangani persipan pemakaman jenazah Bulik Rumsari, justru
mereka memandang Tuan Ichiro telah berjasa terhadap keluarga, yakni dengan
membantu jalannya pemakaman jenazah Bulik Rumsari. Rasa kecewa Kuntara
semakin menjadi karena dia tidak diperbolehkan untuk mengantar jenazah untuk
dimakamkan di Solo. Hal tersebut tergambar dalam kutipan (48) berikut.
64
(49) Pedih sekali, Kuntara tidak masuk hitungan orang yang diikutkan melawat ke Solo. Lebih sakit lagi, Kuntara bahkan dikucikan dari peristiwa akhir hayat Bulik Rum! Sungguh tak tahu balas rasa para keluarga Van Strippiaan Leuseusstraat ini! Kuntara sudah merasa berjasa dengan menemukan jenazah Bulik Rum secepatnya, sudah memberitahukan kematian bulik Rum kepada Tuan Ichiro, suatu hal yang mungkin tidak bisa dilakukan oleh anggota keluarga yang lain! Dan kini Tuan Ichiro sudah datang, dan sudah membantu sangat melancarkan jalannya jenazah Bulik Rum ke tempat peristirahatannya yang terakhir, tempat istirahat yang cukup mulia! Para keluarga sama sekali tidak memandang jasa Kuntara! Kuntara menggigit bibir bawahnya, menahan sakit perasaannya (hlm.211).
Melihat hal tersebut, Kuntara mengkhawatirkan keselamatan keluarganya
yang salah menilai kebaikan Tuna Ichiro, karena dia tahu watak licik Tuan Ichiro
yang sesungguhnya dari Bulik Rumsari. Melihat hal tersebut Kuntara berusaha
menyadarkan mereka bahwa Tuan Ichiro adalah orang berkuasa yang bisa
berubah sikap sewaktu-waktu. Selain itu Kuntara juga berusaha mendekati Tuan
Ichiro untuk memastikan bahwa keluarganya tetap dalam keadaan selamat, seperti
yang tergambar dalam kutipan (49) berikut.
(50) “Begini, Bu. Aku akan berusaha terus mendekati Tuan Ichiro. Mengingat kelakuan Nippon edan itu begitu gampang naik darah, bisa mendadak berbalik haluan dari halus jadi kasar, Ibu jangan terkejut andaikata aku tidak pulang seperti tadi.” (hlm.377).
Dari kutipan (49) digambarkan bahwa Kuntara kecewa terhadap
pandangan keluarga yang menilai bahwa Tuan Ichiro adalah adalah orang yang
baik, karena dengan berpikir seperti itu keluarganya dapat terlena dan terjebak
oleh Tuan Ichiro. Maka dari itu, Kuntara berusaha untuk mendekati Tuan Ichiro
untuk memastikan bahwa keluarganya tetap dalam keadaan aman.
65
Kuntara kecewa ketika mendapat tuduhan bahwa dia adalah penyebab
penangkapan Mas Suryohartono dan Mas Darkiman yang dianggap telah mencuri
dokumen milik Tuan Ichiro. Penangkapan tersebut telah membuat Kuntara
menjadi sasaran amarah keluarganya, seperti terdapat dalam kutipan (50) berikut.
(51) Kuntara mengucurkan air mata. “Di rumah, semua sedih. Denayu Suryo bingung. Ibuku marah-marah kepadaku. Mas Darto juga…” (hlm.335).
Menyikapi tuduhan tersebut Kutnara tak mampu mengelak karena sudah
memaklumi pola pikir keluarganya yang terlanjur menuduhnya sebagai penyebab
segala musibah terkait dengan kematian Bulik Rumsari. Karena apabila dia
menceritakan pencuri dokumen yang sesungguhnya, berarti dia akan
mengorbankan seluruh anggota keluarga Van Strippiaan Leuseusstraat. Maka dari
itu dia segera meminta dokumen tersebut kepada Mas Wiradad agar segera
diserahkan kepada Tuan Ichiro, sehingga Mas Suryohartono dan Mas Darkiman
dapat segera dibebaskan, seperti terdapat dalam kutipan (51) berikut.
(52) “Maka dari itu, berikanlah dokumen itu. Biar kuberikan kepada Tuan Ichiro. Biar kemudian Mas Suryohartono dan Mas Darkiman bebas…” (hlm.368).
Dari kutipan tersebut ditunjukkan bahwa Kuntara memaklumi tuduhan
sebagai penyebab penangkapan Mas Suryohartono dan Mas Darkiman sebab
secara sadar Kuntara tahu bahwa keluarganya amat terpukul semenjak kematian
Bulik Rumsari yang menjadi awal penyebab penderitaan keluarga. Sebagai anak
yang bertanggung jawab terhadap keluarga, Kuntara berusaha untuk
66
membebaskan Mas Suryohartono dan Mas Darkiman dengan cara meminta
dokumen tersebut kepada Mas Wiradad.
Kuntara melapangkan dadanya untuk menerima tuduhan keluarganya
sebagai penyebab musibah yang menimpa selama ini dikarenakan ulahnya dengan
Bulik Rumsari. Namun, Kuntara berusaha untuk menjelaskan keuntungan dari
tindakan yang dilakukannya dengan Bulik Rumsari, yakni bahwa Tuan Ichiro dan
Kuntara sama-sama mencintai Bulik Rumsari dan menganggap Kuntara sebagai
sahabat karena perasaan yang sama dengannya, sehingga Kuntara yakin bahwa dia
memiliki peluang untuk mempengaruhi pola pikir Tuan Ichiro, terkait usahanya
untuk melindungi keluarganya. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (52) berikut.
(53) ”Ibu! Dengarkanlah! Ibu jangan selalu memasalahkan perbuatan Bulik Rum dengan aku sebagai sumber malapetaka semuannya ini! Aku akui itu perbuatan jelek. Tetapi hal itu telah terjadi, lepaskanlah dan mari kita pikirkan jalan keluar mengentas masalah musibah ini. Jangan dikira perbuatanku bercumbu rayu dengan Bulik Rum itu tidak bermanfaat. Bagi Tuan Ichiro, aku dianggap sebagai sahabat, justru karena mencintai Bulik Rum. Tuan Ichiro sebenarnya sayang juga kepada Bulik Rum, dan merasa salah mengajak Bulik Rum ke Surabaya, berakhir dengan wafatnya! Coba aku tidak bercintaan dengan Bulik Rum, barangkali Tuan Ichiro tidak bersahabat denganku, dan Mas Suryohartono dan Mas Darkiman sudah diserahkan kepada Kenpeitai! Karena aku sahabat, maka apa pun perkataanku masih didengarkan oleh Tuan Ichiro. Dan ini akan kumanfaatkan sebisa mungkin.” (hlm.377).
Usahanya untuk menyelamatkan Mas Suryohartono dan Mas Darkiman
sudah berhasil. Namun sebagai ganjarannya dia harus mendapatkan siksaan fisik
dari Tuan Ichiro karena mendapat pemahaman baru bahwa Kuntara adalah pelaku
pencurian dokumen yang dia cari selama ini. Meskipun begitu Kuntara tidak
mengelak dari tuduhan tersebut dan membiarkan Tuan Ichiro menjelaskan
67
argumennya sehingga ia tahu apa yang menjadi alasan Tuan Ichiro melakukan
kekerasan tersebut dan tindakan apa yang akan dilakukannya, sehingga dengan
begitu ia dapat memastikan bahwa keluarganya dalam keadaan aman. Hal tersebut
terdapat dalam kutipan (53) berikut.
(54) Meskipun dalam keadaan kesakitan, Kuntara tetap berusaha tegar. Setidaknya ia senang, kedua laki- laki tulang punggung keluarga sudah kembali ke rumahnya. Kalau sekarang Kuntara dilakukan dengan kasar oleh Tuan Ichiro, tentulah karena keterangannya masih diperlukan oleh penguasa Nippon itu!(hlm.387).
Berdasarkan uraian tersebut peneliti menyimpulkan bahwa Kuntara
merupakan seorang anak yang mampu untuk menerima segala tuduhan dan
penderitaan batin yang menimpa dirinya, tanpa melakukan pembelaan yang
dianggap percuma karena hanya dia yang tahu permasalahan yang sebenarnya dan
tidak mungkin untuk memberitahukan pengetahuannya tersebut kepada
keluarganya. Hal tersebut merupakan tindakan positif sesuai dengan perilaku
masyarakat Jawa.
3.3 Sikap Rila
Sikap rila adalah kesanggupan untuk melepaskan, sebagai kesediaan untuk
melepaskan hak milik, kemampuan-kemampuan dan hasil pekerjaan sendiri
apabila itu yang menjadi tanggungjawab atau nasib (Suseno, 1985:143-144).
Kuntara selalu memperhatikan dan memenuhi kebutuhan keluarganya.
Sebagai anak yang ngéngér di rumah tersebut, secara tidak langsung dia dituntut
untuk bertanggungjawab terhadap keseluruhan anggota keluarganya. Sifat
bertanggungjawab tercermin dalam tindakan Kuntara ketika dia mengajari Mas
68
Suryohartono menyanyikan lagu Indonesia Raya, yang terdapat dalam kutipan
(54) berikut.
(55) Tentang nyanyi-menyanyi, Kuntara-lah jagonya di rumah itu. Ia hafal lagu- lagu Nippon berbagai macam, karena di sekolah diajarkan dan Kuntara menyenanginya. Tidak salah kalau senja kemarin itu, setelah makan bersama, Mas Suryohartono minta diajari nyanyi oleh Kuntara, lagunya Indonesia Raya (hlm.4).
Kutipan tersebut menggambarkan bahwa Kuntara rela untuk mengajarkan
kemapuan-kemampuan yang ada pada dirinya untuk diberikan kepada Mas
Suryohartono. Hal tersebut dilakukan Kuntara karena di rumah itu hanya dia yang
bisa menghafal keseluruhan lagu Indonesia Raya. Selain itu Kuntara juga mau
memberikan pengetahuannya kepada Bulik Rumsari untuk menunjukkan rute
terdekat menuju ke kantornya, seperti terdapat dalam kutipan (55) berikut.
(56) Katanya kantornya terletak di Jembatan Merah. Kuntara juga yang menunjukkan rute itu kepada Bulik Rum. Malah hari pertamanya Kuntara menemani dan memperkenalkan rute tadi kepada Bulik Rum (hlm.8).
Kuntara memiliki jiwa penolong, yang tergambar dalam kutipan (56)
berikut, yakni bahwa Kuntara menolong menjinjingkan koper milik Bulik
Rumsari yang baru datang ke rumahnya.
(57) Jadi Kuntara membantu menjinjingkan kopernya melalui pintu samping rumah, ke belakang, tempat keluarga sering berkumpul-kumpul (hlm.31).
Dalam kutipan tersebut digambarkan bahwa Kuntara menolong Bulik
Rumsari yang baru tiba dan mengantarkannya untuk bertemu dengan anggota
keluarga yang lain. Hal tersebut menunjukkan bahwa Kuntara menolong anggota
69
keluarganya yang membutuhkan bantuannya meski tanpa disuruh. Tanggung
jawab Kuntara terhadap keluarganya diwujudkan dengan cara mempertaruhkan
nama baiknya. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (57) berikut.
(58) Cerita itu yang telah diungkapkan, dan cerita itu pula yang akan dipertahankan. Apa pun akibatnya. Biarpun malu dan dikucilkan, tetap dipertahankan demi keselamatan keluarganya! Dora sembada, berbohong tetapi demi kebaikan! Sebab andaikata Kuntara melenceng sedikit saja dari kisah itu, sedikit saja mencampurkan kisah sebenarnya, misalnya ia melihat senjata yang dipakai untuk membunuh Bulik Rum, yakni pedang pusaka itu, akan lainlah kisah akibat selanjutnya (hlm.237).
Dalam kutipan tersebut digambarkan bahwa Kuntara mempertaruhkan
nama baiknya untuk berbohong demi kebaikan, atau dalam istilah Jawa sering
disebut dengan dora sembada, meskipun Kuntara mengetahui resiko yang harus
diterima, yakni dituduh sebagai penyebab kematian Bulik Rumsari, asalkan
terhindar dari pengusutan cerita yang sesungguhnya. Namun Kuntara harus mau
mendapat ganjaran dari tindakan yang telah diambil tersebut, dia harus tinggal di
rumah selama pemakaman jenazah Bulik Rumsari karena dianggap telah
mempermalukan keluarga.
Kuntara melaksanakan kewajibannya untuk melindungi keluarganya,
seperti yang terdapat dalam kutipan berikut.
(59) Meskipun dalam keadaan kesakitan, Kuntara tetap berusaha tegar. Setidaknya, ia senang, kedua laki- laki tulang punggung keluarga sudah kembali ke rumahnya (hlm.386-387).
70
Dari kutipan tersebut tergambar bahwa Kuntara senang melihat Mas
Suryohartono dan Mas Darkiman sudah di bebaskan, meskipun sebagai gantinya
dia harus mau mendapat siksaan fisik dari Tuan Ichiro karena dianggap telah
bersekongkol dengan Bulik Rumsari untuk mencuri dokumennya. Usaha lain yang
dilakukan Kuntara untuk melindungi anggota keluarganya, secara tidak langsung
juga bertujuan untuk membantu Mas Wiradad untuk membalas dendam terhadap
Tuan Ichiro, seperti tergambar dalam kutipan (59) berikut.
(60) “Mengapa tidak mungkin! Kalau Tuan Ichiro menyiapkan perangkap, akulah yang kena perangkap. Tidak masalah! Aku menyerah tidak apa-apa. Tetapi Mas Wiradad masih bisa berkeliaran dan melanjutkan perjuangan menumpas Tuan Ichiro dan segala teman penguasanya yang lain (hlm.417).
Kutipan tersebut menggambarkan bahwa Kutnara menawarkan diri untuk
menyerahkan dokumen tersebut kepada agar apabila Tuan Ichiro memasang
perangkap, Mas Wiradad masih bisa melanjutkan rencananya, asalkan untuk kali
ini di selamat dari kejaran Tuan Ichiro.
Dari uraian tersebut di atas, peneliti menyimpulkan bahwa Kuntara adalah
sosok yang bertanggungjawab terhadap keluarganya, yakni dengan memberikan
segala kemampuannya dengan kesadaran penuh akan peranannya terhadap
keluarga.
3.4 Sikap Sabar
Sikap sabar adalah mempunyai nafas panjang dalam kesadaran bahwa
pada waktunya nasib yang baik akan pun akan tiba (Suseno, 1985 : 143). Sikap ini
71
terwujud dalam keadaan yang tidak tergesa-gesa. Tidak khawatir dalam
menyikapi sesuatu. Memiliki kesadaran akan terjadinya segala sesuatu itu
sebagaimana memang sudah semestinya terjadi (Sardjono, 1992 : 21).
Kuntara merasa prihatin mendengar penderitaan yang menimpa Bulik
Rumsari, dia terharu mendengar kisah hidupnya yang penuh dengan kesengsaraan
semenjak diambil secara paksa oleh Tuan Ichiro dari tangan Kanjeng Rama untuk
dijadikan sebagai sekretaris pribadi sekaligus gundiknya. Penceritaan tersebut
mengundang rasa simpati Kuntara yang merasa berkewajiban untuk melindungi
orang yang disayanginya. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (60) berikut.
(61) Kuntara menarik napas panjang. Ia merasakan penderitaan Bulik Rum, terhanyut dalam keharuan. Amat kasihan. Tiba-tiba Kuntara merasa dewasa, lebih tua dari Raden Ajeng Rumsari, punya tugas melindunginya! (hlm.91).
Kuntara sedih mendengar cerita bulik Rum yang disayanginya menderita
jiwa dan raga. Ia ingin membantu Bulik Rum terlepas dari penderitaannya dan
berharap suatu saat Bulik Rum bisa terlepas dari cengkeraman Tuan Ichiro dan
hidup bersama dengan Mas Wiradad selayaknya pasangan suami istri, yang
tergambar dalam kutipan (61) berikut.
(62) ”Bulik. Aku tidak bisa menolong apa-apa?” Kuntara menawarkan diri? Ia berhasrat menolong Bulik Rum mengentas dari penderitaannya. Cuma Kuntara tidak tahu harus berbuat apa (hlm.103).
Dalam kutipan (60) dan (61) digambarkan bahwa Kuntara terharu
mendengar kisiah sedih Bulik Rumsari yang menderita dibawah kekuasaan Tuan
72
Ichiro dan berharap suatu saat Bulik Rumsari terlepas dari tangan Tuan Ichiro dan
hidup bersama lagi dengan Mas Wiradad.
Kuntara menilai bahwa penderitaan yang menimpa Bulik Rumsari dan
Mas Wiradad sudah ditakdirkan oleh Yang Kuasa, bukan karena kesalahan
mereka yang melanggar perhitungan neptu seperti yang telah diceritakan Bulik
Rumsari. Karena menurut Kuntara perhitungan neptu merupakan gugon tuhon
atau kejadian yang bersifat kebetulan, lalu dijadikan hukum alam yang harus
dipatuhi oleh orang Jawa. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (62) berikut.
(63) “Kata guruku bahasa Nippon yang mengajar kelas lima enam, Pak Gunadi, Gusti Allah itu menciptakan hari sama saja. Semua baik untuk keperluan manusia.” (hlm.112).
Dalam kutipan tersebut digambarkan bahwa Kuntara mengutarakan
pendapatnya kepada Bulik Rumsari yakni bahwa semua hari diciptakan Allah baik
adanya, tanpa ada perbedaan hari baik dan buruk. Jadi penderitaan yang menimpa
Bulik Rumsari dan Mas Wiradad bukan karena kesalahan perhitungan hari
melainkan karena sudah ditakdirkan oleh Allah.
Kuntara berhati-hati dalam melindungi anggota keluarganya. Meskipun
dalam keadaan sedang berduka, dia tidak menghiraukan kesedihannya, asalkan dia
mampu mewujudkan tujuannya, seperti terdapat dalam kutipan (63) berikut.
(64) Tetapi perjalanan berdua dengan Mas Wiradad demikian, akan gampang dicurigai oleh orang yang bertemu di jalan. Mas Wiradad mengenakan kemeja lengan pendek warna coklat, celana panjang warna gelap, bersepatu karet mentah, membawa achtentas dan bungkusan tikar, tentulah bukan pemandangan yang biasa bagi orang daerah setempat. Apalagi apabila dilaksanakan dengan berlari- lari, atau merunduk-runduk, karena harus bersembunyi dan tergesa. Jadi, Kuntara lebih memilih jalan yang tidak menimbulkan kecurigaan (hlm.185-186).
73
Kutipan tersebut menggambarkan situasi di mana Kuntara menyelamatkan
Mas Wiradad yang sedang menjadi buron Tuan Ichiro dengan mengantarnya ke
kampung Gresikan untuk bersembunyi di sana sekaligus pulang ke rumah untuk
memberitahukan berita kematian Bulik Rumsari agar jenazahnya dapat segera
ditangani. Kuntara menghindari kecurigaan orang dengan cara memilih jalan yang
ramai dan berperilaku wajar, meskipun dari penampilannya Mas Wiradad tidak
tampak seperti orang daerah setempat.
Kuntara mengemban tugas yang diberikan oleh Mas Suryohartono. Dia
diperintahkan untuk memberitahukan berita kematian Bulik Rumsari kantor
pabrik karung Asko, karena selain hanya dia yang mengetahui lokasinya Kuntara
juga ingin mengetahui wajah Tuan Ichiro agar apabila Mas Wiradad tidak berhasil
membunuhnya, maka dia sendiri yang akan membalaskan dendam Bulik Rumsari.
Meskipun Kuntara tahu bahwa Tuan Ichiro adalah orang yang kejam, Kuntara
memberanikan diri untuk melaksanakan tugas tersebut. Pernyataan tersebut
terdapat dalam kutipan (64).
(65) Kuntara suka mengemban tugas itu. Ia harus berjasa dan giat membantu merawat jenazah Bulik Rum. Harus giat bekerja! Mengemban tugas menghubungi kantor pabrik Asko, termasuk paling baku. Akan ditemui para perwira Nippon yang ikut menjaga kantor di sana, Kuntara tidak merasa gentar. Juga andaikata bertemu dengan Tuan Ichiro. Betapa pun galaknya para perwira Nippon, betapa keras dan kejamnya sikap Tuan Ichiro terhadap Bulik Rum, namun kini Kuntara tidak gentar menghadapinya. Bahkan andaikata berhadapan muka dengan Tuan Ichiro, ada harap-harap cemas begitu, Kuntara akan mengenalinya baik-baik. Siapa tahu beberapa tahun lagi apabila umurnya telah sampai, Mas Wiradad belum berhasil membunuhnya, maka Kuntaralah pelakunya. Ia berani. Dan mempunyai cara dan siasat tersendiri! (hlm.196).
74
Kuntara mampu mengendalikan emosinya, meskipun dalam keadaan batin
yang amat marah. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (65) berikut.
(66) ”Manusia pembunuh! Kaulah yang membunuh bulikku! Ayo!, mengakulah! Mengaku! Ini aku, keponakannya, akan mengadakan perhitungan! Akan membalas dendam! Ini buktinya! Ini buktinyaaaaa!! Umpat Kuntara jengkel sekali.
Ia menjerit dalam hati! Ia membanting sandal yang dibawa-bawa ke depan pintu. Sayang, hanya sebuah sandal! Bukan pedang pusaka yang ada di tangan kuntara! Kalau saja benda tajam beracun itu ada padanya, malam ini balas dendamnya bisa dilaksanakan! (hlm.198).
Kutipan di atas menggambarkan bahwa Kuntara mengendalikan emosinya
ketika bertemu dengan Pak Okada. Meskipun Kuntara sudah mengetahui bahwa
Pak Okada telah membunuh Bulik Rumsari, namun dia tidak gegabah untuk
membuka kedoknya, agar Pak Okada lebih terperangkap dan pada akhirnya akan
berhadapan dengan Tuan Ichiro.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa Kuntara
adalah tokoh yang berhati-hati dalam mengambil tindakan, terlebih lagi apabila
tindakan tersebut melibatkan keselamatan anggota keluarganya dia akan berpikir
masak-masak untuk menentukan sikapnya.
Pada hakikatnya, dalam bab III ini penulis dapat menyimpulkan bahwa hal
yang paling penting dititikberatkan pada sikap pengabdian tokoh Kuntara terhadap
keluarga, baik berupa tindakan maupun dalam bentuk batin (pikiran).
Penganalisisan ini mampu menggambarkan seorang anak yang mengabdi kepada
keluarganya dengan mempertaruhkan nama baik dan keselamatannya sendiri.
Dengan sifat dan cinta kasih terhadap keluarga, Kuntara selalu berbuat kebaikan
75
dan mengacu pada etika yang berlaku pada masyarakat Jawa yaitu sikap berbudi
luhur, sikap nrima, sikap rila, dan sikap sabar.
76
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, analisis alur dalam novel Saksi Mata adalah alur maju yang
terdiri dari tiga tahap, yakni tahap awal (beginning), tahap tengah (middle), dan
tahap akhir (end). Tahap awal merupakan tahap pengena lan tokoh-tokoh yang
berperan untuk membangun cerita, yakni dengan cara memunculkan masalah-
masalah yang dapat menyulut terjadinya konflik yang digambarkan pada tokoh
Kuntara dalam upayanya berbohong demi kebaikan, yakni untuk melindungi
keluarganya dari Tuan Ichiro, meskipun dia harus rela dikucilkan keluarganya
karena kesalahpahaman. Tahap tengah merupakan tahap pertikaian yang semakin
menjadi dan meningkat hingga mencapai titik klimaks yang digambarkan pada
tokoh Kuntara yang mendapat siksaan fisik dari Tuan Ichiro karena merasa telah
dipermainkan oleh Kuntara. Dan dilanjutkan pada tahap akhir yang merupakan
tahap peleraian sebagai akibat dari klimas yang digambarkan pada tokoh Kuntara
bersama dengan Mas Wiradad untuk membunuh Tuan Ichiro dengan cara
meledakkan gedung Kitahara Butai.
Kedua, tokoh dan penokohan dalam novel Saksi Mata karya Suparto
Brata meliputi Kuntara sebagai tokoh protagonis yang mempunyai sifat
penyayang, ikhlas, penolong, bertanggungjawab, pemberani, mengharagai orang
77
lain dan patuh. Tuan Ichiro adalah tokoh antagonis yang berkuasa, kejam, cerdik,
penakut dan licik. Pak Okada adalah tokoh antagonis yang berprofesi sebagai
guru, mempunyai sifat pengumbar nafsu dan pengecut. Bulik Rumsari adalah
tokoh bawahan yang memiliki sifat rela, setia, misterius, tabah, pemberani dan
mengasihi. Mas Wiradad merupakan suami Bulik Rumsari yang mempunyai sifat
setia, pemberani dan bertanggungjawab. Denayu Suryo merupakan wanita
bangsawan Jawa yang bersifat setia dan bertanggungjawab. Dan Mas
Suryohartono adalah kepala keluarga yang bersifat bertanggungjawab, penyayang
dan bijaksana.
Ketiga, latar waktu dalam novel Saksi Mata karya Suparto Brata terjadi
pada masa pendudukan Jepang di Indonesia pada tahun 1944 atau tahun Jepang
2604, yakni di mana Jepang berjanji akan memberikan kemerdekaan kepada
Indonesia setelah berhasil mengusir Belanda dari tanah Indonesia. Adapun
penunjukkan waktu tersebut didukung oleh adanya budaya, benda, nama dan
bahasa yang mengacu pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Keempat, sikap pengabdian tokoh Kuntara terhadap keluarga berupa
tindakan maupun dalam bentuk batin (pikiran). Penganalisisan ini mampu
menggambarkan seorang anak yang mengabdi kepada keluarganya dengan
mempertaruhkan nama baik dan keselamatannya sendiri. Dengan sifat dan cinta
kasih terhadap keluarga, Kuntara selalu berbuat kebaikan dan mengacu pada etika
yang berlaku pada masyarakat Jawa yaitu sikap berbudi luhur, sikap nrima, sikap
rila, dan sikap sabar.
78
4.2 Saran
Novel Saksi Mata karya Suparto Brata ini masih memiliki banyak
permasalahan untuk digunakan sebagai bahan penelitian. Novel ini dapat diteliti
dengan menggunakan pendekatan psikologi sastra karena tokoh Kuntara
mengalami konflik batin. Konflik batin tersebut berupa keberanian Kuntara dalam
upayanya melindungi keluarganya dengan cara berbohong.
Dalam usahanya melindungi keluarga, Kuntara berbohong terhadap orang-
orang yang ada di sekitarnya, namun dengan kebohongan tersebut Kuntara harus
rela dicemooh oleh keluarganya. Selain itu yang lebih menyakitkan bahwa ibunya
sendiri memarahinya karena dengan cerita bohongnya telah mencemarkan nama
baik keluarga.
Ia hampir putus asa menyikapi reaksi keluarga yang berlebihan. Akan
tetapi dengan kesabarannya ia yakin bahwa suatu saat usahanya untuk melindungi
keluarganya pasti akan berhasil, meski tidak ada seorang pun yang menyadari
peranannya.
79
DAFTAR PUSTAKA
Aminudin. 1991. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Jakarta: Gramedia
Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Kountur, Rony.2003.Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis.
Jakarta: CV. Taruna Grafica
Namawi, H. Hadari dan H. Mimi Martini.1994. Penelitian Terapan.Yogyakarta:
Gajah Mada University Press
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Universitas Gajah
Mada.
________. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik dan Penerapannya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rusydi dkk. 1985. Ilmu Budaya Dasar. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Sardjono, Maria. A. 1992. Paham Jawa: Menguak Falsafah Hidup Manusia Jawa
Lewat Karya Fiksi Mutakhir Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan.
Semi, Atar. 1984. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.
Sudjiman, Panuti.1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sujarwo. 2005. Manusia dan Fenomena Budaya Menuju Perspektif Moralitas
Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
80
Suseno, Magnis.F. 1985. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia.
Teeuw. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka
Jaya.
Tjahjono, Libertus Tangsoe. 1988. Sastra Indonesia: Pengantar Teori dan
Apresiasi. Ende: Nusa Indah.
Yudiono, K.S. 1986. Telaah Kritik Sastra Indonesia. Bandung: Angkasa
81
BIODATA PENULIS
Sri Wulandari Martha lahir pada April 1983 di Blitar.
Mengawali pendidikan semenjak duduk di bangku taman
kanak-kanak di Taman Kanak-Kanak Katolik Santa Maria
Blitar pada tahun 1988-1989. Dilanjutkan ke jenjang
pendidikan dasar di Sekolah Dasar Katolik Santa Maria
Blitar pada tahun 1989-1996 dan dilanjutkan ke tingkat
menengah pertama di Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama Negeri III Blitar pada tahun
1996-1999. Penulis melanjutkan ke tingkat menengah atas pada tahun 1999-2002
di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas Katolik Diponegoro Blitar. Pendidikan terakhir
yang ditempuh penulis pada tahun 2002 hingga sekarang di Jurusan Sastra
Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.