penerbangan sipil internasional

18
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyelenggaraan penerbangan sipil baik internasional maupun nasional harus mengacu pada norma-norma hukum internasional maupun nasional yang  berlaku, untuk menjamin kese lamatan penumpang, awak pesawat udara, pesawat udara maupun barang-barang yang diangkut. Di mana penyelenggaraan  penerbangan sipil tersebut diatur dalam berbag ai konvensi-konvensi internasional. Dalam hukum udara internasional publik terdapat Konvensi Chicago 1944 yang merupakan konsitusi penerbangan sipil internasional. Konvensi tersebut dijadikan acuan dalam pembuatan hukum nasional bagi negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) untuk penyelenggaraan  penerbangan sipil internasional. Kemudian di bidang hukum udara perdata internasional juga terdapat berbagai konvensi internasional seperti Konvensi Warsawa 1929 beserta protokol serta suplemennya. Konvensi tersebut mengatur tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga ( third parties liability ) beserta  protokolny a, konvensi mengenai pengakuan hak atas pesawat udara, di samping hukurn nasional perdata maupun publik sebagai implementasi konvensi internasional tersebut di atas. Tujuan konferensi penerbangan sipil internasional tampak dengan jelas  pada pembukaan Konvensi Penerbangan Sipil Internasional yang ditandatangani di Chicago pada tahun 1944. Dalam pembukaan tersebut dijelaskan bahwa  pertumbuhan penerbangan sipil yang akan datang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan persahabatan, memelihara perdamaian dan saling mengerti Universitas Sumatera Utara

Upload: diiana-dewii-setiia

Post on 13-Oct-2015

44 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Tentang Penerbangan Sipil Internasional

TRANSCRIPT

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Penyelenggaraan penerbangan sipil baik internasional maupun nasional

    harus mengacu pada norma-norma hukum internasional maupun nasional yang

    berlaku, untuk menjamin keselamatan penumpang, awak pesawat udara, pesawat

    udara maupun barang-barang yang diangkut. Di mana penyelenggaraan

    penerbangan sipil tersebut diatur dalam berbagai konvensi-konvensi internasional.

    Dalam hukum udara internasional publik terdapat Konvensi Chicago 1944

    yang merupakan konsitusi penerbangan sipil internasional. Konvensi tersebut

    dijadikan acuan dalam pembuatan hukum nasional bagi negara anggota

    Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) untuk penyelenggaraan

    penerbangan sipil internasional. Kemudian di bidang hukum udara perdata

    internasional juga terdapat berbagai konvensi internasional seperti Konvensi

    Warsawa 1929 beserta protokol serta suplemennya. Konvensi tersebut mengatur

    tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga (third parties liability) beserta

    protokolnya, konvensi mengenai pengakuan hak atas pesawat udara, di samping

    hukurn nasional perdata maupun publik sebagai implementasi konvensi

    internasional tersebut di atas.

    Tujuan konferensi penerbangan sipil internasional tampak dengan jelas

    pada pembukaan Konvensi Penerbangan Sipil Internasional yang ditandatangani

    di Chicago pada tahun 1944. Dalam pembukaan tersebut dijelaskan bahwa

    pertumbuhan penerbangan sipil yang akan datang dapat dimanfaatkan untuk

    meningkatkan persahabatan, memelihara perdamaian dan saling mengerti

    Universitas Sumatera Utara

  • antarbangsa, saling mengunjungi masyarakat dunia dan dapat mencegah dua kali

    perang dunia yang sangat mengerikan, dapat mencegah friksi dan dapat digunakan

    untuk kerjasama antarbangsa yang dapat memelihara perdamaian dunia. Oleh

    karena itu, negara-negara peserta konferensi sepakat mengatur prinsip-prinsip

    dasar penerbangan sipil internasional, menumbuhkembangkan penerbangan sipil

    yang aman, lancar, teratur dan memberi kesempatan yang sama kepada negara

    anggota untuk menyelenggarakan angkutan udara internasional dan mencegah

    adanya persaingan yang tidak sehat.

    Segera setelah ditemukannya moda transportasi udara, para ahli hukum

    udara internasional mulai membahas masalah yurisdiksi terhadap tindak pidana

    pelanggaran maupun kejahatan yang terjadi dalam pesawat udara. Sebenarnya

    sejak tahun 1902, perintis hukum udara internasional Prancis telah membahas

    kompetensi yurisdiksi terhadap tindak pidana pelanggaran maupun kejahatan yang

    terjadi dalam pesawat udara, serta tindakan-tindakan yang perlu diambil selama

    penerbangan berlangsung.

    Pembahasan tersebut diteruskan dalam konferensi internasional yang

    membahas penerbangan internasional tahun 1910 yang dikenal sebagai

    Konferensi Paris 1910. Dalam konferensi tersebut telah dikemukakan berbagai

    aspek hukum oleh para ahli hukum udara internasional maupun badan-badan

    internasionaI lainnya. Aspek-aspek hukum tersebut antara lain mengenai

    kedaulatan di udara (sovereignty), penggunaan pesawat udara, pendaftaran

    pesawat udara (nationality and registration mark), sertifikasi awak pesawat udara

    (certificate of competency), sertifikasi pesawat udara (certificate of

    Universitas Sumatera Utara

  • airworthiness), transportasi bahan peledak, izin penerbangan, izin pendaratan,

    peralatan navigasi penerbangan, dan lain-lain.1

    Khusus mengenai pembahasan tindak pidana pelanggaran maupun

    kejahatan baru dimulai tahun 1950 yang kemudian disahkan dalam konferensi

    diplomatik di Tokyo tahun 1963 di bawah naungan Organisasi Penerbangan Sipil

    lnternasional.

    2

    Sebagaimana disebutkan di muka, konvensi tentang tindak pidana

    pelanggaran maupun kejahatan dalam pesawat udara tersebut pertama kali

    diusulkan oleh delegasi Meksiko dalam tahun 1950. Konsep tersebut

    dikembangkan oleh Legal Sub Committee dan konsep Legal Status of Aircraft

    dalam tahun 1958. Di dalam konsep tersebut digunakan prinsip yurisdiksi negara

    pendaftar pesawat udara dan prinsip yurisdiksi teritorial. Penggunaan prinsip

    tersebut didukung sepenuhnya oleh delegasi Amerika Serikat yang disampaikan

    kepada Legal Committee untuk mempercepat proses penyelesaian konvensi yang

    Salah satu tujuan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional yang

    didirikan berdasarkan Pasal 43 Konvensi Chicago 1944 tersebut adalah

    menyelenggarakan transportasi udara internasional yang selamat, aman, tertib,

    teratur serta mengembangkan fasilitas navigasi penerbangan dengan membentuk

    Legal Committee yang ditugaskan untuk menyiapkan konsep-konsep konvensi

    internasional seperti Konvensi Tokyo 1963, Konvensi The Hague 1970, Konvensi

    Montreal 1971. Protokol Montreal 1988, Konvensi Montreal 1991, di samping

    konvensi-konvensi internasional mengenai hukum udara perdata internasional.

    1 K. Martono, Pengantar Hukum Udara Nasional dan Internasional, Bagian Pertama, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 44.

    2 Organisasi Penerbangan Sipil Internasional didirikan berdasarkan Pasal 43 Konvensi Chicago 1944 tentang Convention on International Civil Aviation, signed at Chicago on 7 December 1944.

    Universitas Sumatera Utara

  • mengatur tindak pidana pelanggaran maupun kejahatan dalam pesawat udara.

    Namun demikian, Legal Sub Committee belum juga mengambil langkah-langkah

    tertentu yang lebih nyata.

    Dalam sidang Legal Committee yang berlangsung di Munich tahun 1959,

    konsep Legal Status of Aircraft disusun secara terpisah dengan konsep konvensi

    yang mengatur tindak pidana pelanggaran maupun kejahatan dalam pesawat udara

    yang berjudul Draft Convention on Offences and Certain Other Acts Committed

    on Board Aircraft. Konsep ini relatif lebih baik dibandingkan dengan konsep

    sebelumnya karena dalam konsep ini telah diatur prinsip yurisdiksi negara

    terhadap tindak pidana pelanggaran maupun kejahatan dalam pesawat udara, hak,

    dan kewajiban negara anggota, hak dan kewajiban kapten penerbang (pilot in

    command), kekebalan hukum yang dimiliki oleh kapten penerbang beserta awak

    pesawat, udara maupun penumpangnya yang mengambil langkah-langkah yang

    diperlukan untuk perlindungan terhadap penumpang serta disinggung ancaman

    hukuman ganda (double trial).3

    Sepanjang menyangkut yurisdiksi, dalam sidang Munich tahun 1959, telah

    dibahas yurisdiksi negara pendaftar pesawat udara, yurisdiksi negara pendaratan

    dan yurisdiksi teritorial. Dalam konsep tersebut diusulkan negara yang

    mempunyai yurisdiksi terhadap tindak pidana pelanggaran maupun kejahatan

    dalam pesawat udara adalah negara pendaftar pesawat udara. Di dalam konsep

    tersebut yurisdiksi yang dianut adalah negara bendera seperti halnya dalam hukum

    laut yang telah diakui oleh hukum internasional. Sebenarnya, prinsip negara

    3 K. Martono, Op. Cit., hal. 42.

    Universitas Sumatera Utara

  • bendera demikian telah diusulkan oleh Paul Fauchille pada saat konferensi hukum

    udara intenasional yang pertama kali di Prancis tahun 1910, demikian pula dalam

    tahun 1937 telah disarankan pula oleh Ede Visscher.4

    Dalam Pasal 48 Konvensi Tokyo 1963 diatur yurisdiksi negara pendaftar

    pesawat udara. Dikatakan apabila negara tersebut bukan negara pendaftar pesawat

    udara tidak akan melakukan yurisdiksi tindak pidana pelanggaran maupun

    kejahatan di dalam pesawat udara, kecuali tindak pidana pelanggaran maupun

    pidana tersebut berpengaruh kepada wilayahnya atau tindak pidana tersebut

    mengganggu keamanan nasional atau langkah langkah tertentu sangat diperlukan

    untuk melaksanakan ketentuan hukum internasional yang berlaku. Oleh karena itu,

    negara bukan pendaftar pesawat udara maupun negara pendaratan pesawat udara

    tidak dapat melakukan yurisdiksi terhadap tindak pidana pelanggaran maupun

    kejahatan di dalam pesawat udara.

    5

    Masalah kejahatan penerbangan dalam bentuk pembajakan udara bukan

    milik dunia penerbangan sendiri, karena itu Perserikatan Bangsa-Bangsa juga

    mengagendakan pembahasan pembajakan udara atas permohonan negara anggota

    Tujuan utama konvensi Tokyo 1963 adalah melindungi pesawat udara,

    orang maupun barang yang diangkut untuk menjamin keselamatan penerbangan

    Untuk maksud itu diadakan keseragaman yurisdiksi negara anggota, mengisi

    kekosongan hukum, menjamin ketertiban di dalam pesawat udara, melindungi

    orang yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksudkan dalam konvensi, dan

    masalah pembajakan udara.

    4 Matte N.M.Ed., Annals of Air and Space Law. Vol.XVIII, 1993 Part I Toronto: The Carswell Company limited, 187-191 (1993), dalam K. Martono, Op. Cit., hal. 48.

    5 Ibid., hal. 48.

    Universitas Sumatera Utara

  • Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam resolusinya sidang Umum Perserikatan

    Bangsa-Bangsa merekomendasikan agar setiap negara mengambil langkah.-

    langkah agar pembajakan udara dapat diancam dengan hukuman yang berat

    berdasarkan hukum nasional maupun hukum internasional. Perserikatan Bangsa-

    Bangsa juga mendukung sepenuhnya usaha Organisasi Penerbangan Sipil

    Internasional untuk memberantas pembajakan udara yang selalu mengancam

    keselamatan penumpang, awak pesawat udara, pesawat udara maupun barang-

    barang yang diangkut. Sekaligus menyerukan agar negara-negara yang belum

    meratifikasi Konvensi Tokyo 1963 segera meratifikasi.

    Konvensi internasional mengenai kejahatan penerbangan sipil

    internasional ini kemudian dilakukan yang dinamakan Konvensi The Hague 1970.

    Di mana berdasarkan basil studi Sub-Komite Hukum Organisasi Penerbangan

    Sipil Internasional, rekomendasi International Law Association (ILA) maupun

    Perserikatan Bangsa-Bangsa serta organisasi-organisasi internasional lainnya,

    Organisasi Penerbangan Sipil Internasional mengadakan konferensi diplomatik

    pada bulan Desember 1970 yang diselenggarakan di The Hague Belanda.

    Pengesahan konvensi tersebut merupakan titik puncak instrumen hukum

    pemberantasan pembajakan udara. Kedua konvensi internasional tersebut

    merupakan instrumen yang saling mengisi kekurangan masing-masing. Dengan

    lahirnya Konvensi The Hague 1970 lebih memantapkan kekurangan Konvensi

    Tokyo 1963 dalam hal keterkaitan konvensi tersebut terhadap pembajakan udara.

    Konvensi selanjutnya yang juga terkait dengan kejahatan penerbangan

    berupa pembajakan udara, bahkan terkait dengan terorisme yang dikenal dengan

    Konvensi Montreal 1991. Konvensi ini lahir sebagai akibat peledakan pesawat

    Universitas Sumatera Utara

  • udara Boeing 747 milik Pan American Airways yang menewaskan tidak kurang

    dari 259 nenumpang termasuk awak pesawat udara di dekat Skotlandia yang

    dikenal sebagai kasus Lockerbie 1988. Pesawat udara tersebut diledakkan dengan

    bom plastik. Bom plastik tersebut merupakan persenyawaan kimia, tidak

    berbentuk, tidak berbau, tidak berwarna, tidak mampu diditeksi dengan detector

    paling canggih saat ini, namun mempunyai daya ledak yang sangat dasyat. Bom

    plastik tersebut ditemukan oleh warga negara Zechoslovakja yang dikenal dengan

    istilah SEMTEX. Berdasarkan kasus tersebut Organisasi Penerbangan Sipil

    Internasional menciptakan konvensi internasional (Konvensi Monteal 1991) guna

    mencegah terulangnya peledakan serupa.

    Dengan demikian dari uraian di atas terlihat bahwa dalam hal penerbangan

    sipil internasional pada mulanya yang menjadi persoalan atau pembahasan dalam

    konvensi internasional adalah pengaturan ataupun yuridiksi dalam melakukan

    penerbangan konvensi internasional. Kemudian dengan meningkatkan kejahatan

    penerbangan maka konvensi internasional berkembang pembahasannya tentang

    kejahatan penerbangan dalam hal ini pembajakan udara sebagai upaya

    perlindungan penerbangan sipil internasional.

    Pesawat udara yang terbang dengan ketinggian dan kecepatan tinggi

    merupakan sasaran empuk bagi pelaku kejahatan penerbangan. Pesawat udara

    merupakan sarana untuk mencapai tujuan akhir dari kriminal. Dengan membajak

    mereka dapat dengan mudah melarikan diri ke negara yang berbeda ideologi dan

    politiknya untuk menghindarkan diri dari ancaman hukuman setelah melakukan

    kejahatan. Demikian pula dengan membajak mereka dapat menuntut pembebasan

    rekan-rekan mereka yang dipenjara, minta suaka politik kepada negara yang

    Universitas Sumatera Utara

  • dianggap mampu melindungi, dan dengan membajak mereka pun dapat

    menghimpun harta benda untuk kepentingan pribadi maupun untuk kepentingan

    kelompoknya.

    Jumlah pembajakan udara sejak tahun 1931 sampai dengan Desember

    1983 terdapat tidak kurang dari 724 kali pembajakan yang timbul secara

    bergelombang naik dan turun antara 1947-1971. Gelombang pembajakan

    mencapai puncaknya dalam tahun 1970 terdapat 83 kali pembajakan yang berarti

    bahwa setiap empat hari terdapat pembajakan udara.6

    B. Perumusan Masalah

    Pembajakan udara juga

    pernah dialami penerbangan sipil Indonesia, yaitu pembajakan pesawat Woyla

    tahun 1981 yang akhirnya mendarat di Thailand.

    Dalam hal terjadinya pembajakan udara pada penerbangan sipil

    internasional maka perlu adanya upaya penanggulangan dan penanganannya.

    Selain itu juga tindak lanjut terhadap pelaku kejahatan penerbangan (pembajakan

    udara) yaitu terkait kewenangan negara yang berhak untuk mengadili perkara

    pembajakan tersebut atau pengaturan tentang ekstradisi terhadap pelaku

    pembajakan udara. Oleh karena itu dalam tulisan ini dikaji tentang perlindungan

    penerbangan sipil internasional terhadap pembajakan udara berdasarkan konvensi-

    konvensi intersional.

    Berdasarkan latar belakang permasalahan maka dapat dirumuskan masalah

    sebagai berikut:

    1. Bagaimana pengaturan penerbangan sipil internasional?

    6 Ibid., hal. 111.

    Universitas Sumatera Utara

  • 2. Bagaimana keterkaitan konvensi-konvensi internasional dengan pembajakan

    udara?

    3. Bagaimana perlindungan penerbangan sipil internasional terhadap pembajakan

    udara berdasarkan konvensi internasional?

    C. Tujuan Penelitian

    Berdasarkan perumusan masalah maka yang menjadi tujuan penelitian ini

    adalah:

    1. Untuk mengetahui pengaturan penerbangan sipil internasional

    2. Untuk mengetahui keterkaitan konvensi-konvensi internasional dengan

    pembajakan udara

    3. Untuk mengetahui perlindungan penerbangan sipil internasional terhadap

    pembajakan udara berdasarkan konvensi internasional

    D. Manfaat Penelitian

    Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini dapat dilihat secara teoritis

    dan secara praktis berikut ini.

    1. Secara teoretis diharapkan dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut untuk

    melahirkan berbagai konsep keilmuan yang pada gilirannya dapat

    memberikan andil bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum pidana

    khususnya dalam bidang perlindungan penerbangan sipil internasional

    terhadap pembajakan udara berdasarkan konvensi internasional.

    2. Secara praktis diharapkan agar tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi

    para pembuat kebijakan maupun pihak legislatif guna melengkapi peraturan

    perundang-undangan yang masih diperlukan terkait dengan perlindungan

    Universitas Sumatera Utara

  • penerbangan sipil internasional terhadap pembajakan udara berdasarkan

    konvensi internasional.

    E. Keaslian Penelitian

    Berdasarkan penelusuran penulis terhadap judul skripsi yang ada di

    Perpustakaan, belum ada tulisan skripsi yang mengangkat judul tentang

    Perlindungan Penerbangan Sipil Internasional Terhadap Pembajakan Udara

    Berdasarkan Konvensi Internasional. Oleh karena itu tulisan ini bukan

    merupakan hasil penggandaan dari karya tulis orang lain dan keaslian penelitian

    ini terjamin adanya.

    F. Tinjauan Kepustakaan

    1. Pengertian Hukum Udara (Air Law)

    Belum ada kesepakatan yang baku secara internasional mengenai

    pengertian hukum udara (air law). Mereka kadang-kadang menggunakan istilah

    hukum udara (air law) atau hukum penerbangan (aviation law) atau hukum

    navigasi udara (air navigation law.) atau hukum transportasi udara (air

    tranportation law) atau hukum penerbangan (aerial law) atau hukum aeronautika

    (aeronautical law) atau udara-aeronautika (air-aeronautical law) saling

    bergantian tanpa dibedakan satu terhadap yang lain. Istilah-istilah aviation law,

    navigation law, air transportation law, aerial law, aeronautical law, atau air-

    aeronautical law, pengertiannya lebih sempit dibandingkan dengan pengertian air

    law.

    Universitas Sumatera Utara

  • Kadang-kadang digunakan istilah aeronautical law terutama dan bahasa

    Romawi. Dalam bukunya Nicolas Matteesco Matte menggunakan istilah Air-

    Aeronautical Law, sedangkan dalam praktik pada umumnya menggunakan istilah

    air law, tetapi dalam hal-hal tertentu menggunakan aviation law. Pengertian air

    law lebih luas sebab meliputi berbagai aspek hukum konstitusi, administrasi,

    perdata, dagang, komersial, pidana, publik, pengangkatan, manajemen dna lain-

    lain. Verschoor memberi definisi hukum udara (air law) sebagai hukum dan

    regulasi yang mengatur penggunaan ruang udara yang bermanfaat bagi

    penerbangan, kepentingan umum, dan bangsa-bangsa di dunia.7

    7 Ibid., hal. 2.

    2. Sumber Hukum Udara Internasional

    Sumber hukum udara (air law sources) dapat bersumber pada hukum

    internasional maupun hukum nasional. Sesuai dengan Pasal 38 Piagam

    Mahkamah Internasional mengatakan international custom, as evidence of a

    general practices accepted as law. Sumber hukum udara internasional dapat

    berupa multilateral maupun bilateral sebagai berikut.

    a. Multilateral dan Bilateral

    Sumber hukum udara internasional yang bersifat multilateral adalah

    berupa konvensi-konvensi internasional yang bersifat multilateral juga bersifat

    bilateral. Pada saat ini Indonesia telah mempunyai perjanjian angkutan udara

    timbal balik (bilateral air transport agreement) tidak kurang dari 67 negara yang

    dapat digunakan sebagai sumber hukum udara nasional dan internasional.

    b. Hukum Kebiasaan Internasional

    Universitas Sumatera Utara

  • Menurut Pasal 38 (1) Piagam Mahkamah Internasional, hukum kebiasaan

    internasional juga merupakan salah satu sumber hukum internasional. Di dalam

    hukum udara internasional juga dikenal adanya hukum udara kebiasaan

    internasional. Namun demikian, peran hukum kebiasaan internasional tersebut

    semakin berkurang dengan adanya konvensi internasional, mengingat hukum

    kebiasaan internasional kurang menjamin adanya kepastian hukum. Pasal 1

    Konvensi Paris 1919 merupakan salah satu hukum kebiasaan internasional dalam

    hukum udara internasional. Namun demikian, pasal tersebut diakomodasi di

    dalam Konvensi Havana 1928 dan Pasal 1 Konvensi Chicago 1944.

    Dalam perkembangan teknologi, tindakan suatu negara dapat merupakan

    hukum kebiasaan internasional tanpa adanya kurun waktu tertentu. Hal ini telah

    dilakukan oleh Amerika Serikat dengan menetapkan Air Defence Identification

    Zone (ADIZ). Tindakan Amerika Serikat tersebut diikuti oleh Kanada dengan

    menentukan Canadian Air Defence Identification Zone (CADIZ) yang kemudian

    diikuti oleh negara-negara lain. Di dalam hukum laut internasional juga dikenal

    adanya hukum kebiasaan sebagai salah satu sumber hukum.

    c. Prinsip-prinsip Hukum Umum (General Principles of Law)

    Selain hukum kebiasaan internasional dan konvensi internasional

    sebagaimana dijelaskan di atas, asas umum hukum (general principles recognized

    by civilized nations) juga dapat digunakan sebagai sumber hukum udara. Salah

    satu ketentuan yang dirumuskan di dalam Pasal 38 (1) Piagam Mahkamah

    Internasional adalah general principles or law recognized by civilized nations

    sebagai asas-asas yang telah diterima oleh masyarakat dunia dewasa ini, baik

    hukum udara perdata maupun hukum udara publik. Asas-asas tersebut antara lain:

    Universitas Sumatera Utara

  • (a) prinsip bonafide (iktikad baik atau good faith), artinya segala perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik;

    (b) pacta sun servanda, artinya apa yang diperjanjikan dalam perjanjjan harus dipatuhi, ditaati karena perjanjian merupakan undang-undang bagi yang membuat;

    (c) abus de drojt atau misbrujk van rectht, maksudnya suatu hak tidak boleh disalahgunakan;

    (d) nebis in idem, artinya perkara yang sama tidak boleh diajukan ke pengadilan lebih dari sekali;

    (e) equality rights, maksudnya kesederajatan yang diakui oleh negara-negara di dunia; (tidak boleh saling intervensi kecuali atas persetujuan yang bersangkutan;

    (g) non lequit, artinya hakim tidak dapat menolak dengan alasan tidak ada peraturan atau tidak ada hukum karena hakim mempunyai hak untuk menciptakan hukum (yurisprudensi).8

    Ajaran hukum (doctrine) di dalam hukum internasional juga dapat

    digunakan sebagai salah satu sumber hukum udara. Di dalam Common Law

    System, atau Anglo Saxon System dikenal adanya ajaran hukum mengenai

    pemindahan risiko dari pelaku kepada korban. Menurut ajaran hukum tersebut,

    perusahaan penerbangan yang menyediakan transportasi umum bertanggung

    jawab terhadap kerugian yang diderita oleh korban. Tanggung jawab tersebut

    Asas-asas hukum umum tersebut di atas sebagian besar berasal dari

    Romawi yang telah diterima sebagai kaidah hukum oleh masyarakat dunia pada

    umumnya dan merupakan dasar lembaga-lembaga hukum dari negara-negara

    maju civilized nations). Asas-asas tersebut telah diterima sebagai sumber hukum

    dalam hukum internasional yang dapat juga berlaku terhadap hukum udara

    nasional maupun internasional. Asas-asas tersebut bersifat universal yang berarti

    juga berlaku terhadap hukum udara perdata internasional maupun hukum udara

    publik internasional.

    d. Ajaran Hukum (Doctrine)

    8 Ibid., hal. 6-7.

    Universitas Sumatera Utara

  • berpindah dari korban (injured people) kepada pelaku (actor). Demikian pula

    ajaran hukum (doctrine) mengenai bela diri. Menurut ajaran hukum (doctrine)

    bela diri, suatu tindakan disebut sebagai bela diri bila tindakan tersebut seimbang

    dengan ancaman yang dihadapi. Oleh karena itu, pesawat udara sipil yang tidak

    dilengkapi dengan senjata, tidak boleh ditembak karena pesawat udara sipil tidak

    ada ancaman yang membahayakan. Di samping itu, penembakan pesawat udara

    sipil juga tidak sesuai dengan semangat Konvensi Chicago 1944 yang

    mengutamakan keselamatan penumpang, awak pesawat udara, pesawat udara

    maupun barang-barang yang diangkut.

    e. Yurisprudensi

    Menurut Pasal 38 (1) Piagam Mahkamah Internasional, yurisprudensi juga

    merupakan salah satu sumber hukum. Ketentuan demikian juga berlaku terhadap

    hukum udara, baik nasional maupun internasional. Banyak kasus sengketa yang

    berkenaan dengan hukum udara, terutama berkenaan dengan tanggung jawab

    hukum perusahaan penerbangan terhadap penumpang dan atau pengirim barang

    maupun terhadap pihak ketiga. Di Indonesia terdapat paling tidak terdapat dua

    macam yurisprudensi yang menyangkut hukum udara perdata, masing-masing

    gugatan Ny. Oswald terhadap Garuda Indonesian Airways dalam tahun 1961 dan

    gugatan penduduk Cengkareng terhadap Japan Airlines (JAL) dalam tahun 2000.

    Dalam kasus penduduk Cengkareng vs Japan Airlines mengenai tanggung jawab

    hukum terhadap pihak ketiga, sedangkan kasus Ny. Oswald vs Garuda Indonesian

    Airways mengenai ganti rugi nonfisik. Pada prinsipnya, keputusan pengadilan

    tersebut hanya berlaku terhadap para pihak, tetapi seorang hakim boleh mengikuti

    Universitas Sumatera Utara

  • yurisprudensi yang telah diputuskan oleh hakim sebelumnya (The decision of the

    court has no binding force except between the parties and in respect if that

    particular cases, artinya Keputusan Mahkamah Internasional tidak mempunyai

    kekuatan mengikat kecuali bagi pihak-pihak yang bersangkutkan tertentu itu.

    3. Sumber Hukum Udara Nasional

    Sumber hukum udara nasional terdapat di berbagai peraturan Perundang-

    undangan nasional sebagai implementasi Undang-Undang Dasar 1945, juga

    perjanjian angkatan udara internasional (bilateral air transport agreement) di

    mana Indonesia sebagai pesertanya merupakan sumber hukum. Sebagai

    pelaksanaan undang-undang tersebut juga telah dikeluarkan berbagai peraturan

    penerbangan, baik yang menyangkut keselamatan maupun ekonomi transportasi

    udara, pada tataran Menteri maupun tataran Direktur Jenderal Perhubungan

    Udara.

    Pada saat ini undang-undang penerbangan di Indonesia adalah Undang-

    Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, undang-undang tersebut

    merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang

    Penerbangan. Selanjutnya untuk melakukan tindakan kejahatan penerbangan

    maka diatur dalam Undang-Undang Nomor Undang-Undang No. 4 Tahun 1976

    tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam Kitab Undang-

    Undang Hukum Pidana Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan

    Perundang-Undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan Terhadap

    Sarana/Prasana Penerbangan, yang berlaku sejak tanggal 26 April 1976 telah

    Universitas Sumatera Utara

  • menambah sebuah bab baru setelah Bab XXIX Kitab Undang-Undang Hukum

    Pidana dengan Bab XXXX A tentang kejahatan penerbangan.

    Undang-Undang No.4 merupakan kelanjutan dari Undang-Undang No. 2

    Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tokyo 1963, Konvensi The Hague

    1970 dan Konvensi Montreal 1971. Konvensi Tokyo 1963 tentang Offences and

    other acts committed on board aircraft (pelanggaran-pelanggaran dan tindakan-

    tindakan tertentu lainnya yang dilakukan di dalam pesawat udara), Konvensi The

    Hague 1970 tentang The suppression of unlawful seizure of aircraft

    (pemberantasan penguasaan pesawat udara secara melawan hukum), Konvensi

    Montreal 1971 tentang The suppression of unlawful against the safety of civil

    aviation (pemberantasan tindakan-tindakan melawan hukum yang mengancam

    keamanan penerbangan sipil).

    Kemudian untuk masalah terorisme yang juga sangat terkait dengan

    kejahatan penerbangan diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003

    tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

    G. Metode Penelitian

    Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yaitu menggambarkan

    secara tepat tentang ketentuan perlindungan penerbangan sipil internasional

    terhadap pembajakan berdasarkan konvensi internasional. Pengumpulan data

    dilakukan secara studi kepustakaan, maka pembahasan dilakukan berdasarkan

    data sekunder, berupa:

    1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri

    dari: peraturan perundangan nasional maupun konvensi internasional terkait

    perlindungan penerbangan sipil internasional terhadap pembajakan udara.

    Universitas Sumatera Utara

  • 2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai

    bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian,

    atau pendapat pakar hukum.

    3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun

    penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti

    kamus (hukum), ensiklopedia.9

    H. Sistematika Penulisan

    Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

    BAB I. PENDAHULUAN

    Pada Bab I ini diuraikan tentang: Latar Belakang, Perumusan Masalah,

    Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Keaslian Penelitian, Tinjauan

    Kepustakaan, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

    BAB II. TINJAUAN UMUM TENTANG PENERBANGAN SIPIL

    INTERNASIONAL

    Pada Bab II dibahas tentang: Pengertian Penerbangan Sipil

    Internasional, Sejarah Penerbangan Sipil Internasional, Pengaturan

    Penerbangan Sipil Internasional, dan Organisasi Penerbangan Sipil

    Internasional.

    BAB III. TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBAJAKAN UDARA

    Pada Bab III dibahas tentang: Pengertian Pembajakan Udara, Sejarah

    Pembajakan Udara, dan Keterkaitan Konvensi Internasional Terhadap

    9 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 31-32.

    Universitas Sumatera Utara

  • Pembajakan Udara, yaitu Konvensi Tokyo 1963, Konvensi The Hague

    1970 dan Konvensi Montreal 1970..

    BAB IV. PERLINDUNGAN PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL

    TERHADAP PEMBAJAKAN UDARA BERDASARKAN

    KONVENSI INTERSIONAL

    Pada Bab IV ini dibahas tentang: Perlindungan Penerbangan Sipil

    Internasional Terhadap Pembajakan Udara Berdasarkan Konvensi

    Tokyo 1963, Perlindungan Penerbangan Sipil Internasional Terhadap

    Pembajakan Udara Berdasarkan Konvensi The Hague 1970, dan

    Perlindungan Penerbangan Sipil Internasional Terhadap Pembajakan

    Udara Berdasarkan Konvensi Montreal 1991.

    BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

    Bab V merupakan bab penutup yang terdiri dari: Kesimpulan dan

    Saran dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya. Selanjutnya diikuti

    dengan Daftar Pustaka, dan lampiran.

    Universitas Sumatera Utara