penerapan inkuiri dan sikap ilmiah siswa · pdf filekelas vi semester i yang mengikuti...
TRANSCRIPT
1
Dr. Evi Apriana M.Pd* adalah Dosen Kopertis Wil XIII dpk pada FKIP Universitas Serambi Mekkah
PENERAPAN INKUIRI DAN SIKAP ILMIAH SISWA SEKOLAH DASAR DAN
PENGEMBANGANNYA DALAM PEMBELAJARAN
PELESTARIAN MAKHLUK HIDUP
Oleh
Evi Apriana*
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi penerapan inkuiri dan sikap ilmiah siswa
dalam pembelajaran pelestarian makhluk hidup melalui analisis kebutuhan, studi
dokumentasi, dan studi lapangan. Penelitian ini menggunakan desain Penelitian Kualitatif
(Qualitative Research), dilakukan menggunakan metode observasi langsung pada siswa
kelas VI semester I yang mengikuti pembelajaran pelestarian makhluk hidup di tiga SD
Kota Banda Aceh dan wawancara mendalam (deep interview) dengan informan (key
person) guru dan siswa. Setelah mengidentifikasi penerapan inkuiri dan sikap ilmiah siswa
maka dilakukan pengembangan pembelajaran pelestarian makhluk hidup menggunakan
analisis pengembangan yang berhubungan dengan isu-isu lingkungan. Dari observasi dan
wawancara diperoleh hasil bahwa penerapan inkuiri dan sikap ilmiah siswa tidak ada
perencanaan pada perangkat pembelajaran pelestarian makhluk hidup, nilai rata-rata
persentase aktivitas inkuiri adalah 29% (rendah), nilai rata-rata persentase aktivitas sikap
ilmiah adalah 61% (sedang), dan harus ditingkatkan melalui pembelajaran pelestarian
makhluk hidup. Pengembangan silabus inkuiri berbasis sikap ilmiah, bahan ajar, lembar
kegiatan siswa (LKS), tes pelestarian makhluk hidup, dan skala sikap terintegrasi ke dalam
sasaran, prinsip, dan metode dalam model pembelajaran inkuiri berbasis sikap ilmiah.
Pembelajaran pelestarian makhluk hidup dengan model pembelajaran inkuiri berbasis sikap
ilmiah diharapkan mampu membangun kesadaran siswa dan masyarakat akan pelestarian
hutan dan lingkungan Aceh secara berkelanjutan.
Kata kunci : Pembelajaran pelestarian makhluk hidup, aktivitas inkuiri, aktivitas sikap
ilmiah
Kegiatan pelestarian alam bertujuan untuk
mempertahankan spesies-spesies tumbuhan dan
hewan agar tetap lestari dan berfungsi sebagai
sumber gen (DNA, pembawa sifat) (Apriana,
2012). Upaya untuk melakukan pelestarian
alam dapat dilakukan melalui pendidikan dari
mulai taman kanak-kanak sampai dengan
perguruan tinggi (Munandar, 2009). Salah satu
strategi yang dapat digunakan sekolah dasar
untuk menyadarkan kepedulian siswa terhadap
lingkungan melalui pembelajaran pelestarian
makhluk hidup dengan menggunakan model
pembelajaran inkuiri berbasis sikap ilmiah.
Oleh sebab itu perlu dilakukan
penelitian untuk mengidentifikasi penerapan
inkuiri dan sikap ilmiah siswa melalui analisis
kebutuhan, studi dokumentasi, studi lapangan,
dan merupakan penelitian awal untuk
pengembangan pembelajaran pelestarian
makhluk hidup dengan model pembelajaran
inkuiri berbasis sikap ilmiah.
METODA PENELITIAN
Penelitian ini menerapkan desain
Penelitian Kualitatif (Qualitative Research)
(Creswell, 2008). Analisis kebutuhan dilakukan
dengan mengumpulkan informasi yang
berkaitan dengan produk (model
pembelajaran). Studi dokumentasi dilakukan
dengan mengkaji perangkat pembelajaran
pelestarian makhluk hidup dari tiga SD Kota
Banda Aceh. Studi lapangan dilakukan dengan
menggunakan metode observasi dan
wawancara, kemudian diolah menggunakan
pendekatan kualitatif sesuai dengan karakter
data dan kebutuhan informasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Analisis Kebutuhan
Pembelajaran pelestarian makhluk
hidup idealnya mempelajari aspek kognitif
(pengetahuan), afektif (minat, motivasi), dan
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
2
Dr. Evi Apriana M.Pd* adalah Dosen Kopertis Wil XIII dpk pada FKIP Universitas Serambi Mekkah
psikomotorik (keterampilan; tindakan; tujuh
aktivitas inkuiri: mengamati fenomena,
merumuskan masalah, melakukan analisis,
merumuskan hipotesis, menguji hipotesis dan
pengumpulan data, melakukan interpretasi dan
menjawab pertanyaan, dan menyampaikan
hasil, implikasi logis dan memaknainya (Aulls
& Shore, 2008: 150); dan aktivitas sikap
ilmiah: jujur, terbuka pada ide-ide baru
(willnesti change opinions), bertanggung
jawab, objektif, bekerja sama (cooperative),
pemikiran kritikal (critical mindedness),
berlandaskan pada bukti (respect for evidence),
rasa ingin tahu, sikap mawas diri (hati-hati),
kedisiplinan diri, kesadaran atau peduli
terhadap lingkungan (Amin, 1994; BSNP,
2005: 2)).
Sementara pembelajaran pelestarian
makhluk hidup yang dilaksanakan selama ini
hanya mempelajari aspek kognitif (pengetahuan
ekologi dan pelestarian makhluk hidup) saja.
Sehingga sangat diperlukan adanya
pengembangan pembelajaran pelestarian
makhluk hidup dengan model pembelajaran
inkuiri berbasis sikap ilmiah yang mempelajari
pengetahuan, dan melibatkan beberapa
aktivitas inkuiri berbasis aktivitas sikap
ilmiah yaitu: 1) Mengamati fenomena berbasis
jujur, objektif. 2) Merumuskan masalah
berbasis rasa ingin tahu. 3) Melakukan analisis
berbasis pemikiran kritikal (critical
mindedness). 4) Merumuskan hipotesis berbasis
terbuka pada ide-ide baru (willnesti change
opinions). 5) Menguji hipotesis dan
pengumpulan data berbasis terbuka pada ide-
ide baru (willnesti change opinions), bekerja
sama (cooperative), sikap mawas diri (hati-
hati), kedisiplinan diri. 6) Melakukan
interpretasi dan menjawab pertanyaan berbasis
berlandaskan pada bukti (respect for evidence),
kesadaran atau peduli terhadap lingkungan. 7)
Menyampaikan hasil, implikasi logis dan
memaknainya berbasis jujur, bertanggung
jawab, kesadaran atau peduli terhadap
lingkungan.
B. Studi Dokumentasi
Data hasil identifikasi penerapan
inkuiri dan sikap ilmiah siswa yang
dikumpulkan dalam penelitian ini dilakukan
menggunakan studi dokumentasi. Dokumen
yang diperoleh dari tiga sekolah dasar berupa
perangkat pembelajaran pelestarian makhluk
hidup dianalisis dan ditabulasi, hasilnya dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Rekap Data Berdasarkan Dokumen Rencana Program Pembelajaran Berkaitan dengan
Rencana Penerapan Inkuiri dan Rencana Penerapan Sikap Ilmiah
No. Sekolah
Dasar
Metode yang
Digunakan
Media yang Digunakan Rencana
Penerapan
Inkuiri
Rencana
Penerapan
Sikap Ilmiah
1. SD Swasta Ceramah dan
diskusi
Papan tulis Tidak ada Tidak ada
2. SD Negeri A Ceramah dan
diskusi kelompok
Papan tulis Tidak ada Tidak ada
3. SD Negeri B Ceramah, diskusi
kelompok, dan
demonstrasi
Papan tulis dan tumbuhan
langka Aceh (bunga
jeumpa dan bunga
seulanga)
Tidak ada Tidak ada
C. Studi Lapangan
Data hasil observasi penerapan inkuiri
dan sikap ilmiah siswa yang dikumpulkan
dalam penelitian ini dilakukan menggunakan
metode observasi langsung pada siswa kelas VI
semester I yang mengikuti pembelajaran
pelestarian makhluk hidup di tiga SD Kota
Banda Aceh dan wawancara mendalam (deep
interview) dengan informan (key person) guru
dan siswa.
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
3
Dr. Evi Apriana M.Pd* adalah Dosen Kopertis Wil XIII dpk pada FKIP Universitas Serambi Mekkah
Tabel 2. Data Hasil Observasi Penerapan Inkuiri dalam Pembelajaran Pelestarian Makhluk Hidup
No.
Aktivitas Inkuiri yang Diamati
(Diadaptasi dari Aulls & Shore,
2008: 150)
Sekolah Dasar Persentase Aktivitas
dari Tiap Langkah
Inkuiri
SD
Swasta
SD
Negeri A
SD
Negeri B
1. Mengamati fenomena 0 1 1 2 (67%)
2. Merumuskan masalah 0 0 0 0 (0%)
3. Melakukan analisis 0 0 0 0 (0%)
4. Merumuskan hipotesis 0 0 0 0 (0%)
5. Menguji hipotesis dan
pengumpulan data
0 0 0 0 (0%)
6. Melakukan interpretasi dan
menjawab pertanyaan
1 1 1 3 (100%)
7. Menyampaikan hasil, implikasi
logis dan memaknainya
0 0 1 1 (33%)
Jumlah 1
(14%)
2
(29%)
3
(43%)
Rata-rata
2 (29%)
Tabel 3. Data Hasil Observasi Penerapan Sikap Ilmiah dalam Pembelajaran Pelestarian Makhluk Hidup
No. Aspek-Aspek Sikap Ilmiah
Sekolah Dasar Persentase Aktivitas
dari Tiap Aspek
Sikap Ilmiah
SD
Swasta
SD
Negeri A
SD
Negeri B
1. Jujur 1 1 1 3 (100%)
2. Terbuka pada ide-ide baru
(willnesti change opinions)
0 0 1 1 (33%)
3. Bertanggung jawab 0 1 1 2 (67%)
4. Objektif 0 0 0 0 (0%)
5. Bekerja sama (cooperative) 0 1 1 2 (67%)
6. Pemikiran kritikal (critical
mindedness)
0 0 0 0 (0%)
7. Berlandaskan pada bukti
(respect for evidence)
0 0 1 1 (33%)
8. Rasa ingin tahu 1 1 1 3 (100%)
9. Sikap mawas diri (hati-hati) 0 1 1 2 (67%)
10. Kedisiplinan diri 1 1 1 3 (100%)
11. Kesadaran atau peduli terhadap
lingkungan
1 1 1 3 (100%)
Jumlah 4
(36%)
7
(64%)
9
(82%)
Rata-rata
6,7 (61%)
Hasil wawancara dengan pendidik
(guru) adalah pembelajaran pelestarian
makhluk hidup dilakukan dengan metode
ceramah, tanya jawab, diskusi, demonstrasi dan
penugasan. Praktikum dan praktek lapangan
tidak dilakukan karena memerlukan waktu
khusus dan lebih lama, biaya mahal, dan
persiapan ke lapangan. Sebagian siswa kurang
aktif dalam proses belajar mengajar, tidak
termotivasi mengajukan pertanyaan, dan tidak
termotivasi mengemukakan pendapat. Buku
sulit didapat (terutama dalam bahasa
Indonesia).
Pembelajaran pelestarian makhluk
hidup kurang mengangkat isu-isu yang ada di
masyarakat dan guru sangat dominan, materi
yang dibahas sangat teksbook tentang riset-riset
yang ada di dalam negeri dan di luar Aceh,
guru tidak mengaitkan materi dengan situasi
nyata kehidupan siswa sesuai kehidupan
masyarakat Aceh (hasil wawancara dengan
siswa). Hal ini disebabkan terbatasnya
Evi Apriana, Penerapan Inkuiri dan Sikap Ilmiah Siswa Sekolah Dasar
4
Dr. Evi Apriana M.Pd* adalah Dosen Kopertis Wil XIII dpk pada FKIP Universitas Serambi Mekkah
dokumentasi atau bahan bacaan tentang
keanekaragaman hayati Aceh yang
berhubungan dengan pelestarian. Selama ini
guru belum mengeksplorasi berbagai
keanekaragaman hayati yang ada di masyarakat
Aceh dan mengembangkannya dalam
pembelajaran. Kasus pelestarian alam Aceh
tersebut masih kurang mendapat perhatian
secara seksama. Mengingat konsep-konsep
konservasi alam di Indonesia masih tetap
menekankan pada konsep dari luar, seperti
konsep Barat, yang sistem sosial ekonomi dan
budayanya sangat berlainan dengan Indonesia
(hasil wawancara dengan guru).
Setelah mengidentifikasi penerapan
inkuiri dan sikap ilmiah siswa yang merupakan
penelitian awal maka dilakukan pengembangan
pembelajaran pelestarian makhluk hidup
dengan model pembelajaran inkuiri berbasis
sikap ilmiah. Pengembangan silabus inkuiri
berbasis sikap ilmiah, bahan ajar, lembar
kegiatan siswa (LKS), tes pelestarian makhluk
hidup, dan skala sikap yang dikumpulkan
dalam penelitian ini dilakukan menggunakan
analisis pengembangan yang berhubungan
dengan isu-isu lingkungan.
Pengembangan silabus pelestarian
makhluk hidup dengan model pembelajaran
inkuiri berbasis sikap ilmiah menitikberatkan
pada pengembangan konsep, aktivitas inkuiri,
aktivitas sikap ilmiah, metode, lembar kegiatan
siswa (LKS), indikator, dan instrumen
pembelajaran.
Beberapa aktivitas inkuiri dan
berbasis aktivitas sikap ilmiah yang dapat
diterapkan adalah : 1) Mengamati fenomena
berbasis jujur, objektif. 2) Merumuskan
masalah berbasis rasa ingin tahu. 3) Melakukan
analisis berbasis pemikiran kritikal (critical
mindedness). 4) Merumuskan hipotesis
berbasis terbuka pada ide-ide baru (willnesti
change opinions). 5) Menguji hipotesis dan
pengumpulan data berbasis terbuka pada ide-
ide baru (willnesti change opinions), bekerja
sama (cooperative), sikap mawas diri (hati-
hati), kedisiplinan diri. 6) Melakukan
interpretasi dan menjawab pertanyaan berbasis
berlandaskan pada bukti (respect for evidence),
kesadaran atau peduli terhadap lingkungan. 7)
Menyampaikan hasil, implikasi logis dan
memaknainya berbasis jujur, bertanggung
jawab, kesadaran atau peduli terhadap
lingkungan.
Pembelajaran pelestarian makhluk
hidup dengan model pembelajaran inkuiri
berbasis sikap ilmiah ini melibatkan tujuh
aktivitas inkuiri yaitu: mengamati fenomena,
merumuskan masalah, melakukan analisis,
merumuskan hipotesis, menguji hipotesis dan
pengumpulan data, melakukan interpretasi dan
menjawab pertanyaan, dan menyampaikan
hasil, implikasi logis dan memaknainya (Aulls
& Shore, 2008: 150) dan berbasis aktivitas
sikap ilmiah yaitu: jujur, terbuka pada ide-ide
baru (willnesti change opinions), bertanggung
jawab, objektif, bekerja sama (cooperative),
pemikiran kritikal (critical mindedness),
berlandaskan pada bukti (respect for evidence),
rasa ingin tahu, sikap mawas diri (hati-hati),
kedisiplinan diri, kesadaran atau peduli
terhadap lingkungan (Amin, 1994; BSNP,
2005: 2). Pembelajaran dapat dilakukan dengan
berbagai metode yang menarik agar siswa
mempunyai kapasitas dan tingkat kesadaran
yang tinggi terhadap pelestarian makhluk
hidup.
Pengembangan bahan ajar pelestarian
makhluk hidup yang berhubungan dengan isu-
isu lingkungan terdiri dari konsep hewan dan
tumbuhan langka (hewan yang mendekati
kepunahan dan tumbuhan yang mendekati
kepunahan), pentingnya pelestarian makhluk
hidup (melindungi tempat hidupnya dan
perkembangbiakan secara buatan).
Pengembangan lembar kegiatan siswa
(LKS) terdiri dari lembar kerja sebagai
penuntun kegiatan dan hasil pekerjaan siswa
merupakan bahagian dari bahan ajar.
Tes adalah serentetan pertanyaan atau
latihan serta alat lain yang digunakan untuk
mengukur keterampilan, pengetahuan
intelegensi, kemampuan atau yang dimiliki
individu atau kelompok (Arikunto, 2002).
Pengembangan tes pelestarian makhluk hidup
yang disusun dalam penelitian ini digunakan
untuk mengukur pengetahuan dan pemahaman
siswa tentang pelestarian makhluk hidup.
Pengembangan tes pelestarian makhluk hidup
ini mengacu pada materi dan hasil belajar yang
telah ditetapkan bersama sebelumnya.
Skala sikap adalah sejumlah
pertanyaan tertulis untuk memperoleh
informasi dari responden tentang pribadinya
atau hal-hal yang diketahuinya (Arikunto,
2002). Pengembangan skala sikap dalam
penelitian ini berbentuk skala bertingkat
mencakup skala sikap dan tanggapan. Skala
sikap digunakan untuk mengukur sikap siswa
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
5
Dr. Evi Apriana M.Pd* adalah Dosen Kopertis Wil XIII dpk pada FKIP Universitas Serambi Mekkah
terhadap pelestarian makhluk hidup sebelum
dan setelah pembelajaran dijalankan, serta
untuk menggali tanggapan siswa terhadap
kegiatan yang telah dilaksanakan. Kategori
penilaian skala sikap menggunakan skala
likerts yang mencakup lima kategori yaitu
sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju,
dan sangat tidak setuju.
SIMPULAN
Penerapan inkuiri dan sikap ilmiah
siswa tidak ada perencanaan pada perangkat
pembelajaran pelestarian makhluk hidup, nilai
rata-rata persentase aktivitas inkuiri adalah
29% (rendah), nilai rata-rata persentase
aktivitas sikap ilmiah adalah 61% (sedang), dan
harus ditingkatkan melalui pembelajaran
pelestarian makhluk hidup. Identifikasi
penerapan inkuiri dan sikap ilmiah siswa ini
sangat penting untuk pengembangan
pembelajaran pelestarian makhluk hidup
dengan model pembelajaran inkuiri berbasis
sikap ilmiah. Materi pembelajaran pelestarian
makhluk hidup dapat diintegrasikan dengan
sasaran, prinsip, dan metode dalam model
pembelajaran inkuiri berbasis sikap ilmiah
(pengembangan silabus inkuiri berbasis sikap
ilmiah, bahan ajar, lembar kegiatan siswa
(LKS), tes pelestarian makhluk hidup, dan
skala sikap). Model pembelajaran pelestarian
makhluk hidup yang efektif, terintegrasi dalam
pembelajaran dan kegiatan lapangan yang
mampu memperjelas pembelajaran di kelas,
mengembangkan inkuiri dan sikap ilmiah
siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, M. (1994). Mengajarkan Ilmu
Pengetahuan Alam dengan Metode
Discovery dan Inquiry. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Apriana, E. (2012). Pengembangan Program
Perkuliahan Biologi Konservasi
dengan Pendekatan Kontekstual
Berbasis Kearifan Lokal Aceh untuk
Meningkatkan Literasi Lingkungan
dan Tindakan Konservasi. Disertasi
Doktor pada SPs UPI. Bandung: tidak
diterbitkan.
Arikunto, S. (2002). Penilaian Program
Pendidikan. Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan. Dirjend. Pendidikan
Tinggi. Jakarta: Proyek
Pengembangan Lembaga Pendidikan
Tenaga Kependidikan.
Aulls, M.W. & Shore, B.M. (2008). Inquiry in
Education. The Conceptual
Foundations for Research as a
Curricular Imperative. Volume 1.
New York: Lawrences Erlbaum
Associates.
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
(2005). Standar Kompetensi dan
Kompetensi Dasar IPA. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional.
Creswell, J.W. (2008). Educational Research:
Planning, Conducting, and Evaluating
Quantitative and Qualitative
Research. Third Edition. New Jersey:
Pearson Education, Inc.
Munandar, A., dkk., (2009). Konservasi Fauna
Indonesia. Bandung: Rizqi Press.
Evi Apriana, Penerapan Inkuiri dan Sikap Ilmiah Siswa Sekolah Dasar
6
Ir. Nursyamsu* adalah Guru SMA Negeri 6 Banda Aceh
PENINGKATAN AKTIVITAS SISWA DAN HASIL BELAJAR MATRIKS DENGAN MODEL
PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW SISWA KELAS XII IA2
SMA NEGERI 6 BANDA ACEH TAHUN PELAJARAN 2012/2013
Oleh
Nursyamsu*
Abstrak Karya tulis ini merupakan penelitian tindakan kelas yang bertujuan untuk meningkatkan
Aktivitas siswa dan hasil belajar Matriks dengan menerapkan model pembelajaran
kooperatif tipe jigsaw siswa kelas XII-IA2 SMA Negeri 6 Banda Aceh tahun pembelajaran
2012/2013. Teknik pengumpulan data dengan dokumentasi, observasi, tugas, dan tes.
Dokumentasi nilai ulangan harian pada bab sebelumnya digunakan sebagai nilai dasar.
Pada setiap pertemuan dilaksanakan observasi dengan menggunakan lembar pedoman
observasi untuk mengamati berlangsungnya proses pembelajaran yang menerapkan model
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw. Tugas yang diberikan kepada siswa berupa tugas
kelompok yang diberikan pada setiap pertemuan pada setiap siklus dan tugas individu (PR)
diberikan pada setiap pertemuan I dan II pada setiap siklus. Masing-masing siklus terdiri
dari tiga kali pertemuan. Pada pertemuan I dan II, selama 2 jam pelajaran dilaksanakan
kegiatan pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw.
Pada pertemuan III, digunakan untuk melaksanakan tes akhir siklus. Hasil observasi dari
Kegiatan Belajar Siswa dengan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw aktivitas siswa
dikatagorikan aktif dilihat dari persentase bekerja dengan sesama kelompok,
mendengarkan/memperhatikan penjelasan guru, dan diskusi antar siswa serta antara siswa
dengan guru mengalami kenaikan yang signifikan yakni sebesar 22,1%, 20,8% dan 15,0%.
dan rata-rata nilai hasil belajar siklus 1 adalah sebesar 64,78.dan hanya 65,22% tuntas
belajar Jika dibandingkan dengan rata-rata nilai dasar yaitu 51,13 dan 42,30 % tuntas
belajar maka terjadi peningkatan sebesar 21,07%. Pada siklus 2 diperoleh rata-rata nilai
hasil belajar sebesar 72,61 dan tuntas belajar 78,26% dengan peningkatan sebesar 10,78%.
Pada siklus 3 diperoleh rata-rata nilai hasil belajar sebesar 80,00 dan tuntas belajar 86,96%
dengan peningkatan sebesar 9,24%.Berdasarkan hasil analisis data, maka dapat
disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dapat meningkatkan
aktivitas siswa dan hasil belajar matematika pokok bahasan Matriks siswa di kelas XII-IA2
SMA Negeri 6 Banda Aceh tahun pembelajaran 2012/2013. Berdasarkan kesimpulan
tersebut, maka disarankan bagi guru dapat menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe
Jigsaw sebagai salah satu alternatif untuk meningkatkan efektifitas proses pembelajaran di
kelas, siswa diharapkan untuk lebih aktif dan kreatif dalam belajar dengan membiasakan
diri bekerjasama dalam kelompok belajar, dan diharapkan sekolah dapat mendukung proses
pembelajaran matematika yang kreatif dengan menyediakan fasilitas yang dapat menunjang
berlangsungnya proses pembelajaran.
Kata Kunci: Aktivitas Siswa, Hasil Belajar, dan Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw
Terkait dengan mutu pendidikan
khususnya pendidikan menengah pada jenjang
Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah
Aliyah (MA) sampai saat ini masih jauh dari
apa yang kita harapkan. Betapa kita masih
ingat dengan hangat akan standarisasi Ujian
Nasional (UN) dengan nilai masing – masing
mata pelajaran 5,50 dikeluhkan oleh para
pendidik bahkan oleh orangtua – orang tua
siswa sendiri, karena anak atau siswanya tidak
dapat lulus. Melihat kondisi rendahnya
prestasi atau hasil belajar siswa tersebut
beberapa upaya dilakukan salah satunya
adalah pembelajaran model kooperatif tipe
jigsaw pada pokok bahasan Matriks yang
diharapkan siswa dapat meningkatkan aktifitas
belajarnya, sehingga terjadi pengulangan dan
penguatan terhadap materi yang diberikan di
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
7
Ir. Nursyamsu* adalah Guru SMA Negeri 6 Banda Aceh
sekolah dengan harapan siswa mampu
meningkatkan hasil belajar atau prestasi siswa.
Dari pengamatan terungkap bahwa hasil
belajar siswa kelas XII-IA2 pokok bahasan
Matriks pada SMAN 6 Banda Aceh secara
umum masih rendah, hal ini dapat dibuktikan
dari penilaian hasil belajar Kompetensi Dasar
Semester Ganjil Tahun Pelajaran 2012/2013,
dimana Peneliti sebagai guru matematika
untuk siswa kelas XII-IA2 yang berjumlah 26
orang siswa terdiri dari 11 orang siswi dan 15
orang siswa. Dari keseluruhan siswa kelas
XII-IA2 hanya 11 orang siswa (41,8%) saja
hasil belajar sudah mencapai Kriteria
Ketuntasan Minimal (KKM) 65 dan 15 orang
siswa (58,2%) lainnya harus melalui remidial
untuk mencapai KKM 65 atau memiliki rata-
rata nilai 51,13.
Munculnya masalah di atas, adalah
menjadi permasalahan dalam penelitian
tindakan kelas adalah sebagai berikut (1)
Apakah dengan menggunakan Model
Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw dapat
meningkatkan prestasi belajar Matriks bagi
siswa kelas XII-IA2 pada SMAN 6 Banda
Aceh; (2) Apakah dengan Model Pembelajaran
Kooperatif Tipe Jigsaw dapat meningkatkan
keaktifan siswa kelas XII-IA2 pokok bahasan
Matriks pada SMAN 6 Banda Aceh.
Tujuan Penelitian ini merupakan
untuk mengetahui dan dapat meningkatkan :
(1) Prestasi belajar Matriks bagi siswa kelas
XII-IA2 dengan Model Pembelajaran
Kooperatif Tipe Jigsaw pada SMAN 6 Banda
Aceh; dan (2) Keaktifan siswa kelas XII-IA2
pokok bahasan Matriks dengan Model
Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw pada
SMAN 6 Banda Aceh. Hasil penelitian ini
akan memberikan banyak manfaat bagi semua
pihak , meliputi : (1) Sekolah sebagai penentu
kebijakan dalam upaya meningkatkan prestasi
belajar siswa khususnya pada mata pelajaran
matematika; (2) Guru, menjadikan bahan
pertimbangan dalam menentukan Model
Pembelajaran Koopera tif Tipe Jigsaw dalam
penyampaian pokok bahasan Matriks yang
dapat memberikan manfaat bagi siswa; dan
(3) Siswa, dapat meningkatkan hasil belajar
dan melatih sikap sosial untuk saling peduli
terhadap keberhasilan siswa lain dalam
mencapai tujuan belajar.
METODA PENELITIAN Metode yang digunakan metode
Metode Deskriptif. Penelitian diawali dengan
pengkondisian (pra tindakan), yaitu
menentukan dahulu subyek penelitian yakni;
siswa XII-IA2 SMA Negeri 6 Banda Aceh
yang berjumlah 26 siswa, membentuk
kelompok, menentukan nilai standar
ketuntasan kompetensi minimal (KKM)yakni
65.00. Pembentukan kelompok secara acak
dengan mempertimbangkan prestasi akademik
sebelumnya. Selanjutnya siswa dikelompokan
ke dalam 4 kelompok dengan formasi 5 dan
satu kelompok lagi dengan formasi 6 orang
siswa yang berprestasi baik, sedang dan
kurang.
Rancangan penelitian adalah
penelitian tindakan kelas. Penelitian terdiri
atas 3 siklus. Siklus 1 dilaksanakan pada
tanggal 02 Februari 2013, siklus 2
dilaksanakan tanggal 20 Februari 2013, dan
siklus 3 dilaksanakan tanggal 07 Maret 2013 .
Prosedur atau langkah-langkah yang dilakukan
dalam penelitian ini dilaksanakan dalam
kegiatan yang berbentuk siklus dengan
mengacu pada model yang diadaptasi dari
Kemmis dan Mc Taggart (1990:14). tiap siklus
terdiri dari empat komponen, yaitu a)
perencanaan (planing), b) tindakan (acting), c)
pengamatan (Observing), dan d) tindakan
(reflecting). Untuk komponen tindakan dan
pengamatan untuk model ini dijadikan sebagai
satu kesatuan.
Indikator keberhasilan yang sesuai
dengan tujuan akhir dari penelitian tindakan
kelas ini adalah meningkatnya presentase
kemampuan hasil belajar siswa dan
meningkatnya Aktivitas belajar siswa melalui
pendekatan model pembelajaran kooperatif
tipe jigsaw.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pada Siklus 1 Pada tahap perencanaan guru
mengidentifikasi masalah-masalah
Matematika yang berkaitan dengan topik
Matriks. Pada saat menganalisis dan
merumuskan masalah, guru melakukan diskusi
dengan pembimbing dan observer untuk
memperoleh persamaan persepsi tentang topik,
sehingga konsep/materi yang akan dibahas
dalam pembelajaran menjadi lebih mantap.
Setelah selesai menganalisis dan merumuskan
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
8
Ir. Nursyamsu* adalah Guru SMA Negeri 6 Banda Aceh
asalah, dan berdikusi guru merancang model
pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw kerja
kelompok yang akan diterapkan pada
pembelajaran Matematika di kelas XII-IA2.
Dalam merancang model pembelajaran guru
menyusun kelompok belajar peserta didik dan
merencanakan tugas kelompok. Guru juga
menyiapkan instrumen berupa angket,
pedoman observasi, dan tes akhir.
Pada saat melakukan tindakan,
peneliti berupaya untuk melaksanakan
langkah-langkah pembelajaran sesuai
perencanaan. Namun karena kegiatan tersebut
belum biasa dilakukan peneliti, maka masih
ada beberapa kendala yang dihadapi seperti
kurangnya referensi terhadap materi yang
sedang dibahas. Untuk mengatasi kendala
tersebut peneliti mencoba menjadi lebih giat
membaca beberapa buku materi Matematika
lainnya selain buku wajib Matematika yang
dimiliki peserta didik. Hal itu dimaksudkan
untuk memperkaya pengetahuan sehingga
peneliti menjadi lebih percaya diri. Peneliti
selain sebagai pengajar juga berperan sebagai
nara sumber dan sebagai fasilitator saat proses
pembelajaran. Agar lebih mantap dalam
mengelola kelas, peneliti sangat terbuka
menerima masukan dari pembimbing sehingga
memudahkan peneliti menggali lebih dalam
untuk memperkaya data penelitian sehingga
komunikasi antara peneliti dengan
pembimbing,dan observer menjadi lebih
harmonis.
Dalam menerapkan model
pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
Matematika di SMA dengan kerja kelompok
peserta didik, pada awalnya sulit untuk bekerja
dalam kelompok, terutama karena peserta
didik yang pintar/pandai tidak mau bergabung
dengan peserta didik yang tidak/kurang
pandai. Peserta didik yang merasa dirinya
pandai lebih suka belajar dan bekerja sendiri,
umumnya tidak mau diganggu maupun
mengganggu orang lain. Peserta didik terkesan
egois. Untuk dapat menyatukan peserta didik
dalam kelompok dan bekerja sama, guru
berusaha memberi penjelasan tentang
pentingnya berbagi, bekerja sama, dan
bersahabat tanpa melihat/memperhatikan
kepintaran atau kemampuan orang lain. Justru
peserta didik yang memiliki kelebihan
daripada teman-temannya dapat membantunya
dengan memberikan penjelasan tentang materi
pelajaran yang belum dipahami dan
dimengerti. Setelah diberi penjelasan oleh
guru tentang arti persahabatan dan manfaat
kerja sama serta kerja kelompok, akhirnya
peserta didik mau membentuk kelompok,
melakukan diskusi, dan bekerja kelompok.
Dalam terapan tipe jigsaw, materi pelajaran
diberikan pada siswa dalam bentuk teks.
Setiap anggota bertanggungjawab untuk
mempelajari bagian tertentu bahan yang
diberikan. Anggota dari kelompok yang lain
mendapat tugas topik yang sama berkumpul
dan berdiskusi tentang topik tersebut.
Kelompok ini disebut dengan kelompok ahli
(Ibrahim, dkk. 2000 : 52).
Langkah-langkah model jigsaw
dibagi menjadi enam tahapan, yaitu :
(1) Menyampaikan tujuan belajar dan
membangkitkan motivasi
(2) Menyajikan informasi kepada siswa
dengan demonstrasi disertai penjelasan
verbal, buku teks, atau bentuk lain
(3) Mengorganisasikan siswa ke
dalam kelompok belajar
(4) Mengelola dan membantu siswa dalam
belajar kelompok dan kerja di tempat
duduk masing-masing
(5) Mengetes penguasaan kelompok
atas bahan ajar
(6) Pemberian penghargaan atau pengakuan
terhadap hasil belajar siswa (Nurhadi dan
Agus Gerrard, 2003 : 40)
Tabel.1 Aktivitas Siswa pada siklus 1
No Aktivitas siswa yang diamati Presentase
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Mendengarkan/memperhatikan penjelasan guru
Membaca buku
Bekerja dengan sesama anggota kelompok
Diskusi antar siswa/ antara siswa dengan guru
Menyajikan hasil pembelajaran
Menyajikan/ menanggapi pertanyaan/ ide
Menulis yang relevan dengan KBM
Merangkum pembelajaran
Mengerjakan tes evaluasi
16,67
12,08
17,29
14,38
4,16
10,63
9,38
7,08
8,33
Nursyamsu, Peningkatan Aktivitas Siswa dan Hasil Belajar Matriks
9
Ir. Nursyamsu* adalah Guru SMA Negeri 6 Banda Aceh
Berdasarkan tabel di atas tampak
bahwa aktivitas siswa yang paling dominan
adalah mendengarkan/ memperhatikan
penjelasan guru yaitu 16,67 %. Aktivitas lain
yang presentasinya cukup besar adalah bekerja
dengan sesama anggota kelompok 17,29%,
diskusi antara siswa atau antara siswa
dengan guru 14,38%, dan membaca buku
yaitu 12,08 %.
Pada siklus I, secara garis besar
kegiatan belajar mengajar dengan model
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw sudah
dilaksanakan dengan baik, walaupun peran
guru masih dominan untuk memberikan
penjelasan dan arahan, karena masih
dirasakan belum biasa mengajar dengan model
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw
disampaikan kepada siswa.
Tabel.2 Rekapitulasi Hasil Tes Formatif Siswa Pada Siklus I
No Uraian Hasil
Siklus I
1
2
3
Nilai rata-rata tes formatif
Jumlah siswa yang tuntas belajar
Persentase ketuntasan belajar
64,78
15
65,22
Dari tabel di atas dapat dijelaskan
bahwa dengan menerapkan model
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw diperoleh
nilai rata-rata prestasi belajar siswa adalah
64,78 dan ketuntasan belajar mencapai 65,22%
atau ada 15 siswa dari 23 siswa sudah tuntas
belajar. Hasil tersebut menunjukkan bahwa
pada siklus pertama secara klasikal siswa
belum tuntas belajar, karena siswa yang
memperoleh nilai ≥ 65 hanya sebesar 65,22%
lebih kecil dari persentase ketuntasan yang
dikehendaki yaitu sebesar 85%. Hal ini
disebabkan karena siswa masih merasa belum
biasa apa yang dimaksudkan dan digunakan
guru dengan menerapkan model pembelajaran
kooperatif tipe jigsaw.
B. Pada Siklus 2 Kerja kelompok yang dilakukan peserta
didik dalam pembelajaran Matematika
memotivasi peserta didik untuk belajar
Matematika lebih baik. Peserta didik berusaha
memahami topik-topik Matematika dan
mengumpulkan pertanyaan-pertanyaan yang
muncul saat membaca dan belajar topik-topik
Matematika.
Tabel.3 Aktivitas Siswa pada siklus 2
No Aktivitas siswa yang diamati Presentase
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Mendengarkan/ memperhatikan penjelasan guru
Membaca buku
Bekerja dengan sesama anggota kelompok
Diskusi antar siswa/ antara siswa dengan guru
Menyajikan hasil pembelajaran
Menyajikan/ menanggapi pertanyaan/ ide
Menulis yang relevan dengan KBM
Merangkum pembelajaran
Mengerjakan tes evaluasi
17,9
12,1
21,0
13,8
4,6
5,4
7,7
6,7
10,8
Berdasarkan tabel.3 di atas, tampak
bahwa aktivitas siswa yang paling dominan
pada siklus 2 adalah bekerja dengan sesama
anggota kelompok yaitu (21%). Jika
dibandingkan dengan siklus I, aktifitas ini
mengalami peningkatan. Aktifitas siswa yang
mengalami penurunan adalah
mengajukan/menanggapi pertanyaan/ide
(5,40%). merangkum pembelajaran(6,7%), dan
menulis yang relevan dengan KBM (7,7%)
Adapun aktifitas siswa yang mengalami
peningkatan adalah membaca buku (12,1%),
menyajikan hasil pembelajaran (4,6%),
mendengarkan/memperhatikan penjelasan
guru (17,9%), dan mengerjakan tes evaluasi
(10,8%).
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
10
Ir. Nursyamsu* adalah Guru SMA Negeri 6 Banda Aceh
Tabel.4. Rekapitulasi Hasil Tes Formatif Siswa Pada Siklus 2
No Uraian Hasil
Siklus II
1
2
3
Nilai rata-rata tes formatif
Jumlah siswa yang tuntas belajar
Persentase ketuntasan belajar
72,61
21
78,26
Dari tabel di atas diperoleh nilai rata-rata
prestasi belajar siswa adalah 72,61 dan
ketuntasan belajar mencapai 78,26% atau ada
21 siswa dari 26 siswa sudah tuntas belajar.
Hasil ini menunjukkan bahwa pada siklus 2 ini
ketuntasan belajar secara klasikal telah
mengalami peningkatan sedikit lebih baik dari
siklus I. Adanya peningkatan hasil belajar
siswa ini karena setelah guru
menginformasikan bahwa setiap akhir
pelajaran akan selalu diadakan tes sehingga
pada pertemuan berikutnya siswa lebih
termotivasi untuk belajar. Selain itu siswa juga
sudah mulai mengerti apa yang dimaksudkan
dan dinginkan guru dengan menerapkan model
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw.
C. Pada Siklus 3
Adapun proses belajar mengajar
mengacu pada rencana pelajaran dengan
memperha- tikan revisi pada siklus 2,
sehingga kesalahan atau kekurangan pada
siklus 2 tidak terulang lagi pada siklus 3.
Pengamatan (observasi) dilaksanakan
bersamaan dengan pelaksanaan belajar
mengajar.
Pada akhir proses belajar mengajar
siswa diberi tes formatif 3 dengan tujuan untuk
mengetahui tingkat keberhasilan siswa dalam
proses belajar mengajar yang telah dilakukan.
Instrumen yang digunakan adalah tes formatif
3. Adapun data hasil penelitian pada siklus 3
adalah sebagai berikut:
Tabel.5 Aktivitas Siswa pada siklus 3
Berdasarkan tabel diatas tampak bahwa
aktivitas siswa yang paling dominan pada
siklus 3 adalah bekerja dengan sesama anggota
kelompok yaitu (22,1%) dan
mendengarkan/memperhatikan penjelasan
guru (20,8%), aktivitas yang mengalami
peningkatan adalah membaca buku siswa
(13,1%) dan diskusi antar siswa/antara siswa
dengan guru (15,0%). Sedangkan aktivitas
yang lainnya mengalami penurunan.
Tabel.6 Hasil Tes Formatif Siswa Pada Siklus 3
No Uraian Hasil
Siklus III
1
2
3
Nilai rata-rata tes formatif
Jumlah siswa yang tuntas belajar
Persentase ketuntasan belajar
80,00
20
86,96
Berdasarkan tabel diatas diperoleh nilai
rata-rata tes formatif sebesar 80,00 dari 26
siswa (3 siswa keluar) sehingga tinggal 23
siswa dan yang telah tuntas sebanyak 20 siswa
dan 3 siswa belum mencapai ketuntasan
belajar. Maka secara klasikal ketuntasan
belajar yang telah tercapai sebesar 86,96%
(termasuk kategori tuntas). Hasil pada siklus 3
No Aktivitas siswa yang diamati Presentase
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Mendengarkan/ memperhatikan penjelasan guru
Membaca buku
Bekerja dengan sesama anggota kelompok
Diskusi antar siswa/ antara siswa dengan guru
Menyajikan hasil pembelajaran
Menyajikan/ menanggapi pertanyaan/ ide
Menulis yang relevan dengan KBM
Merangkum pembelajaran
Mengerjakan tes evaluasi
20,8
13,1
22,1
15,0
2,9
4,2
6,1
7,3
8,5
Nursyamsu, Peningkatan Aktivitas Siswa dan Hasil Belajar Matriks
11
Ir. Nursyamsu* adalah Guru SMA Negeri 6 Banda Aceh
ini mengalami peningkatan lebih baik dari
siklus 2. Adanya peningkatan hasil belajar
pada siklus 3 ini dipengaruhi oleh adanya
peningkatan kemampuan guru dalam
menerapkan model pembelajaran kooperatif
tipe jigsaw yang membuat siswa menjadi lebih
terbiasa dengan pembelajaran seperti ini
sehingga siswa lebih mudah dalam memahami
materi yang telah diberikan.
Tabel 4.1 Hasil Tiap Aspek PTK Selama Dua Siklus
No Aspek Penelitian Siklus
ke-1 (%) Siklus
ke-2 (%)
Siklus
ke-3 (%)
1
Aktivitas siswa dalam proses pembelajaran
a. Bekerja dengan sesama anggota kelompok 17.29 21.00 22.10
b. Mendengarkan/ memperhatikan penjelasan guru 16.67 17.90 20.80
c. Diskusi antar siswa/ antara siswa dengan guru 14.38 13.80 15.00
2
Hasil Belajar Siswa
a. Ketuntasan Belajar 65.22 78.26 86.96
b. Rataan Nilai Formatif 64.78 72.61 80.00
SIMPULAN DAN SARAN Dari hasil kegiatan pembelajaran yang
telah dilakukan selama tiga siklus, dan
berdasarkan seluruh pembahasan serta analisis
yang telah dilakukan dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Model pembelajaran kooperatif tipe
jigsaw memiliki dampak positif dalam
meningkatkan aktivitas siswa dilihat
dari hasil pengamatan selama Kegiatan
Belajar Mengajar (KBM) berlangsung
dimana persentase bekerja dengan
sesama kelompok, mendengarkan/ mem
perhatikan penjelasan guru, dan diskusi
antar siswa serta antara siswa dengan
guru mengalami kenaikan yang
signifikan yakni sebesar 22,10%,
20,80% dan 15,00%.
2. Penerapan model pembelajaran
kooperatif tipe jigsaw berpengaruh baik
terhadap hasil be lajar siswa yang
ditandai dengan peningkatan ketuntasan
belajar siswa dalam setiap sik -lus, yaitu
siklus 1 (65,22%), siklus 2 (78,26%),
dan siklus 3 (86,96%). Dan rataan nilai
formatif dari 64.78 siklus 1, 72.61 siklus
2, menjadi 80.00 siklus 3.
3. Penerapan model pembelajaran
kooperatif tipe jigsaw juga mempunyai
pengaruh positif, dapat meningkatkan
motivasi belajar siswa. Hal ini
ditunjukkan dari hasil wawancara de -
ngan beberapa siswa, rata-rata jawaban
siswa menyatakan bahwa mereka tertarik
dan berminat dengan model
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw
sehingga mereka menjadi ter motivasi
untuk belajar.
1. Saran-saran
Dari hasil penelitian yang diperoleh
dari uraian sebelumnya agar proses belajar
mengajar matematika lebih efektif dan lebih
memberikan hasil yang optimal bagi siswa,
maka disampaikan saran sebagai berikut:
1. Untuk melaksanakan model
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw
memerlukan persiapan yang cukup
matang, sehingga guru harus mampu
menentukan atau memilih topik yang
benar-benar bisa diterapkan dengan
model pembelajaran kooperatif tipe
jigsaw dalam proses belajar mengajar
sehingga diperoleh hasil yang optimal.
2. Dalam rangka meningkatkan hasil belajar
siswa, guru hendaknya lebih sering
melatih siswa dengan berbagai metode
pengajaran, walau dalam taraf yang
sederhana, dimana siswa nantinya dapat
menemukan pengetahuan baru,
memperoleh konsep dan keterampilan,
sehingga siswa berhasil atau mampu
memecahkan masalah-masalah yang
dihadapinya.
3. Perlu adanya penelitian yang lebih lanjut,
karena hasil penelitian ini masih sangat
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
12
Ir. Nursyamsu* adalah Guru SMA Negeri 6 Banda Aceh
sederhana dan perlu disempurnakan di
tahun –tahun mendatang.
4. Untuk penelitian yang serupa hendaknya
dilakukan perbaikan-perbaikan agar
diperoleh hasil yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 1993. Manajemen
Mengajar Secara Manusiawi.
Jakarta: Rineksa Cipta.
Arikunto, Suharsimi. 2001. Dasar-dasar
Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi
Aksara.
Dahar, R.W. 1989. Teori-teori Belajar.
Jakarta: Erlangga.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1994. Petunjuk Pelaksanaan Proses
Belajar Mengajar, Jakarta. Balai
Pustaka.
Djamarah, Syaiful Bahri. 2000. Strategi
Belajar Mengajar. Jakarta: Rineksa
Cipta.
Felder, Richard M. 1994. Cooperative
Learning in Technical Corse,
(online), (Pcll\d\My %
Document\Coop % 20 Report.
Hadi, Sutrisno. 1981. Metodogi Research.
Yayasan Penerbitan FakuLearning
Togetheras Psikologi Universitas
Gajah Mada. Yoyakarta.
Hamalik, Oemar. 1994. Media Pendidikan.
Bandung: Citra Aditya Bakti.
Hasibuan. J.J. dan Moerdjiono. 1998. Proses
Belajar Mengajar. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Hudoyo, H. 1990. Strategi Belajar Mengajar
Matematika. Malang: IKIP Malang.
KBBI. 1996. Edisi Kedua. Jakarta:
Balai Pustaka.
Margono, S. 1996. Metodologi Penelitian
Pendidikan. Jakarta: Rineksa Cipta.
Mursell, James ( - ). Succesfull Teaching
(terjemahan). Bandung: Jemmars.
Ngalim, Purwanto M. 1990. Psikologi
Pendidikan. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Nur, Muhammad. 1996. Pembelajaran
Kooperatif. Surabaya. Universitas
Negeri Surabaya.
Rustiyah, N.K. 1991. Strategi Belajar
Mengajar. Jakarta: Bina Aksara.
Sardiman, A.M. 1996. Interaksi dan Motivasi
Belajar Mengajar. Jakarta: Bina
Aksara.
Soekamto, Toeti. 1997. Teori Belajar dan
Model Pembelajaran. Jakarta: PAU-
PPAI, Universitas Terbuka.
Soetomo. 1993. Dasar-dasar Interaksi
Belajar Mengajar. Surabaya Usaha
Nasional.
Sudjana, Nana. 1989. Dasar-dasar Proses
Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru.
Syah, Muhibbin. 1995. Psikologi Pendidikan,
Suatu Pendekatan Baru. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Usman, Moh. Uzer. 2001. Menjadi Guru
Profesional. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Wahyuni, Dwi. 2001. Studi Tentang
Pembelajaran Kooperatif Terhadap
Hasil Belajar Matematika. Malang:
Program Sarjana Universitas Negeri
Malang.
Nursyamsu, Peningkatan Aktivitas Siswa dan Hasil Belajar Matriks
13
Dra. Hj. Cut Zuraidah* adalah Guru SMP Negeri 2 Banda Aceh
IMPROVING THE STUDENTS' COMPREHENSION IN DESCRIPTIVE TEXT THROUGH
TEAM PRODUCT IN COOPERAITVE LEARNING IN THE VIII/8 CLASS STUDENTS
OF SMP 2 BANDA ACEH 2013/2014 ACADEMIC YEARS
By
Cut Zuraidah*
Abstract The problems of this research were how to improve students' comprehension in Descriptive
text through Team Product in Cooperative Learning. The research was guided by a
conceptual framework leading to the using team product through group work to improve
their comprehension in English subject. The research type was an action research. The
subject consisted of 26 students of the second class (VIII/8) of SMP 2 Banda Aceh 2013-
2014 academic years. The research data were collected using test (test after first treatment
and test after the second treatment), observation for collecting data on the students'
motivation in improving the students' comprehension using Team Product. Data on
students' comprehension using Team Product were analyzed using the descriptive and
statistic analysis, using the increasing of mean after the first and the second treatment. The
study concluded that using Team Product through group work as a teaching strategy
variation has brought a new nuance in English language teaching in improving their
comprehension in Descriptive Text.
Keywords : Students' Comprehension, Descriptive Text, Cooperaitve Learning
Fungsi dan tujuan pembelajaran
Bahasa Inggris di sekolah menengah pertama
adalah untuk mendukung pencapaian
kompetensi lulusan SMP yang memiliki
pengetahuan, nilai, dan sikap terhadap empat
keterampilan bahasa sebagaimana digariskan
dalam kurikulum KTSP 2006, yaitu 1)
keterampilan mendengarkan, 2) keterampilan
berbicara, 3) keterampilan membaca, dan 4)
keterampilan menulis.
Dalam konteks tugas sekolah, para
siswa kadang-kadang ditugaskan untuk
membuat teks yang berisikan informasi
tentang penjelasan suatu phenomena baik yang
bersifat natural ataupun non-natural.
Penjelasan disini bukan hanya penjelasan
tentang proses terjadi atau terbentuknya
fenomena, akan tetapi penjelasan deskripsi,
yang berfungsi untuk memberikan informasi
yang bersifat scientific dan knowledge-
improving, yang bermanfaat sebagai tambahan
pengetahuan (knowledge) kepada para
pembaca.
Proses pembelajaran Bahasa Inggris
yang dilaksanakan masih bersifat satu arah
(teacher centered), yaitu guru hanya
menyampaikan pesan/informasi materi
pelajaran dan siswa sebagai penerima yang
pasif. Kecenderungan pembelajaran demikian
mengakibatkan lemahnya pengembangan
potensi diri siswa dalam pembelajaran
sehingga partisipasi siswa dalam belajar tidak
optimal.
Dalam rangka mencapai harapan
bahwa hasil belajar dalam kegiatan belajar ini
dapat meningkat, dikemukakan salah satu
altemative melalui sebuah penelitian yang
berjudul "Upaya Meningkatkan Kemampuan
Siswa Memahami Teks Dekriptif Bahasa
Inggris melalui Model Pembelajaran
Kooperatif Tipe Team Product di Kelas VIII/8
SMP Negeri 2 Banda Aceh Tahun Pelajaran
2013/2014”. Dengan menggunakan metode ini
diharapkan siswa dapat mengikuti
pembelajaran dengan baik yang bertujuan
meningkatkan hasil belajar siswa pada materi
teks Descriptive.
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Henry E. Garret (dalam
konsep dan makna pembelajaran:13) "Belajar
adalah proses yang berlangsung dalam jangka
waktu lama melalui latihan maupun
pengalaman yang membawa perubahan pada
diri dan perubahan cara mereaksi terhadap
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
14
Dra. Hj. Cut Zuraidah* adalah Guru SMP Negeri 2 Banda Aceh
suatu perangsang tertentu". Pembelajaran
sebagai suatu proses dimana suatu organisasi
berubah tingkah lakunya sebagai akibat dari
pengalaman. "Hasil belajar yang diperoleh
siswa adalah sebagai akibat dari proses belajar
yang dilakukan oleh siswa" (Nana Sudjana,
1989:111).
Investigasi Kelompok adalah strategi
belajar kooperatif yang menempatkan siswa ke
dalam kelompok secara heterogen dilihat dari
kemampuan dan latar belakang, baik dari segi
jenis kelamin, suku, dan agama, untuk
melakukan investigasi terhadap suatu topic
(Eggen & Kauchak, 1998:305)
Teks descriptif bertujuan untuk
menjelaskan orang, tempat, atau benda
tertentu. Jadi, dalam teks deskriptif, kita dapat
menjelaskan orang, tempat, atau benda yang
kita lihat atau miliki.
METODA PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di kelas
VIII/8 SMP Negeri 2 Banda Aceh semester 2
tahun ajaran 2013/2014. Lokasi penelitian ini
adalah di SMP Negeri 2 Banda Aceh yang
beralamat di Desa Lampriet Kecamatan Syiah
Kuala, Banda Aceh. Subjek penelitian ini
adalah siswa kelas VIII/8, yang berjumlah 26
orang siswa terdiri atas 13 siswa perempuan
dan 13 siswa laki-laki. Subjek penelitian ini
sangat heterogen dilihat dari kemampuannya,
yakni, ada sebagian siswa yang mempunyai
kemampuan tinggi, sedang, rendah dan sangat
rendah. Data dari penelitian ini berupa data
hasil tes, data hasil pengamatan pengelolaan
pembelajaran, dan data pengamatan aktivitas
siswa secara individu. Sumber data untuk
memperoleh data penelitian adalah siswa kelas
VIII/8. Alat pengumpulan data dalam
penelitian ini adalah (1) Soal Kuis (2) Lembar
pengamatan pengelolaan pembelajaran melalui
Team Product (3) Lembar pengamatan
aktivitas siswa.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data hasil observasi terhadap
aktivitas siswa terjadi peningkatan dari 50%
pada siklus I menjadi 82,9% di siklus II.
Sebagian besar aspek pengamatan telah
dilakukan dengan baik. Persentase di atas telah
mencapai indikator yang ditetapkan yaitu
mencapai kategori BAIK (76%-86%). Dari
hasil tes siswa, data pengamatan kemampuan
guru mengelola pembelajaran, dan aktivitas
siswa dapat disimpulkan bahwa penelitian ini
dianggap berhasil karena telah mencapai
indicator keberhasilan. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa model Team Product
memberi dampak positif dalam meningkatkan
hasil belajar siswa. Hal ini dapat dilihat dari
semakin meningkatnya nilai siswa pada hasil
tes materi teks deskriptif bahasa Inggris.
(Ketuntasan belajar meningkat dari siklus I ke
siklus II) yaitu masing-masing 42% pada
siklus I meningkat menjadi 88,4% pada siklus
Pada siklus II indicator keberhasilan telah
tercapai karena indicator yang ditetapkan
adalah sebesar 85% siswa mencapai nilai
KKM 70. Berdasarkan analisis data, diperoleh
informasi bahwa kemampuan guru dalam
mengelola pembelajaran juga meningkat
persentasenya dari siklus I ke siklus II. Pada
siklus I, kemarnpuan guru mengelola
pembelajaran mencapai 64,6% dan pada siklus
II mencapai 82,2% berarti telah mencapai
kategori BAIK (76%-86%). Nilai hasil tes
siswa mencapai persentase ketuntasan 88,4%,
pengelolaan pembelajaran mencapai 82,2%
atau berada pada kategori baik, dan aktivitas
siswa juga mencapai 82,85% sesuai dengan
indikator yang ditetapkan telah mencapai
kategori BAIK.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan di atas dapat disimpulkan: -
Penerapan model Team Product dalam
pembelajaran dapat meningkatkan kemampuan
siswa menguasai materi Teks Deskriptif
bahasa Inggris. -Melalui Team Product guru
dapat meningkatkan kemampuannya dalam
mengelola pembelajaran. -Penerapan model
Team Product dapat meningkatkan aktivitas
siswa dalam mengikuti pembelajaran bahasa
Inggris pada materi teks Deskriptif
DAFTAR PUSTAKA
Arends, R. I. 2002. Classroom Instruction and
Management. USA: The Mc. Graw
Hill Companies, Inc.
Blatner, A. 2002. "Drama In Education As
Mental Hygiene: A Child
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
15
Dra. Hj. Cut Zuraidah* adalah Guru SMP Negeri 2 Banda Aceh
Psychiatrist's Perspectii;e". Youth
Theatre Journal, 9, 92-96.
Depdiknas, Direktorat Pendidikan Menengah
Umum. 2003. Kurikulum Berbasis
Kompetensi Sekolah Menengah
Atas; Pedoman Pembelajaran
Tuntas. Jakarta.
Hamalik, O. 2002. Pengajaran Unit: Studi
Kurikulum dan Metodologi.
Bandung: Penerbit Alumni.
______. 2001. Kurikulum dan Pembelajaran.
Jakarta: Bumi Aksara.
______. 2002. Perencanaan Pengajaran
Berdasarkan Pendekatan Sistem.
Jakarta: Bumi Aksara.
Haryati, H. 2007. Model Teknik Penilaian
pada Tingkat Satuan Pendidikan.
Jakarta: Gaung Persada Press.
Joyce, B. 2000. Models of Teaching. New
Jersey: Prentice Hall International.
Karo-Karo, U. 1981. Metodologi Pengajaran.
Salatiga: CV. Saudara.
Kasbolah, K. 2001. Penelitian Tindakan Kelas.
Malang: Universitas Negeri Malang
Press.
Mulyasa, E. 2003. Implementasi Kurikulum.
Bandung: Remaja Rosda Karya.
Prawiradilaga, D. S. 2007. Prinsip Disain
Pembelajaran. Jakarta: Kencana.
Sardiman, A.M. 2004. Interaksi dan Motivasi
Belajar-Mengajar. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang
Mempengaruhinya. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
Sudjana. 2001. Metode dan Teknik
Pembelajaran Partisipatif. Bandung:
Falah Production.
Cut Zuraida, Improving The Students' Comprehension In Descriptive Text
16
Dra. Ratnawati* adalah Guru pada SMA Negeri 2 Banda Aceh
MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA TERHADAP PEMAHAMAN TEKS
BERBENTUK NARRATIVE DAN REPORT MELALUI CONTEXTUAL TEACHING AND
LEARNING (CTL) PADA MATA PELAJARAN BAHASA INGGRIS DI KELAS XI IS-1 SMA
NEGERI 2 BANDA ACEH SEMESTER GANJIL 2012/2013
Oleh
Ratnawati*
Abstrak
Penelitian ini mengkaji masalah bagaimana peningkatan ketuntasan hasil belajar siswa
terhadap pemahaman teks berbentuk Narrative dan Report melalui penerapan contextual
teaching and learning (CTL) dalam pembelajaran bahasa Inggris, serta bagaimana
peningkatan aktivitas guru dan siswa selama penerapan contextual teaching and learning
(CTL) dalam pembelajaran bahasa Inggris di kelas XI IS-1 SMA Negeri 2 Banda Aceh.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan ketuntasan hasil belajar siswa
terhadap pemahaman teks berbentuk Narrative dan Report melalui penerapan contextual
teaching and learning (CTL) dalam pembelajaran bahasa Inggris, serta peningkatan
aktivitas guru dan siswa selama penerapan contextual teaching and learning (CTL) dalam
pembelajaran bahasa Inggris di kelas XI IS-1 SMA Negeri 2 Banda Aceh. Jenis penelitian
yang digunakan penelitian tindakan kelas (classroom action research) melalui pendekatan
kualitatif. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas XI IS-1 SMA Negeri 2 Banda Aceh
sebanyak 24 orang. Hasil penelitian menunjukkan persentase ketuntasan belajar siswa pada
siklus I sebesar 45,83% dengan rata-rata hasil belajar siswa 63,75, persentase ketuntasan
belajar siswa pada siklus II sebesar 75,00% dengan rata-rata hasil belajar siswa 71,25, serta
persentase ketuntasan belajar siswa pada siklus III sebesar 95,83% dengan rata-rata hasil
belajar 78,33. Dengan demikian, hasil belajar siswa terhadap pemahaman teks berbentuk
Narrative dan Report melalui penerapan contextual teaching and learning (CTL) dalam
pembelajaran bahasa Inggris di kelas XI IS-1 SMA Negeri 2 Banda Aceh mengalami
peningkatan untuk tiap siklusnya. Rata-rata tingkat aktivitas guru dalam menerapkan
contextual teaching and learning (CTL) pada siklus I sebesar 3,17 dengan persentase
63,40%, rata-rata tingkat aktivitas guru pada siklus II sebesar 3,95 dengan persentase
79,00%, dan rata-rata tingkat aktivitas guru pada siklus III sebesar 4,42 dengan persentase
88,40%. Dengan demikian, aktivitas guru selama penerapan contextual teaching and
learning (CTL) dalam pembelajaran bahasa Inggris di kelas XI IS-1 SMA Negeri 2 Banda
Aceh mengalami peningkatan untuk tiap siklus sehingga pembelajaran yang diterapkan
guru efektif. Rata-rata tingkat aktivitas siswa selama penerapan contextual teaching and
learning (CTL) pada siklus I sebesar 2,54 dengan persentase 50,77%, rata-rata aktivitas
siswa pada siklus II sebesar 4,08 dengan persentase 81,60%, dan rata-rata tingkat aktivitas
guru pada siklus III sebesar 4,23 dengan persentase 84,62%. Dengan demikian, aktivitas
siswa selama penerapan contextual teaching and learning (CTL) dalam pembelajaran
bahasa Inggris di kelas XI IS-1 SMA Negeri 2 Banda Aceh mengalami peningkatan untuk
tiap siklus sehingga siswa aktif dan kreatif dalam pembelajaran.
Kata kunci: hasil belajar siswa, contextual teaching and learning (CTL), bidang studi
bahasa Inggris
Sekolah merupakan salah satu
lembaga pendidikan formal yang selalu
berupaya menghasilkan manusia-manusia
yang berkualitas. Pendidikan di sekolah
dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang telah
ditetapkan. Tujuan pendidikan tersebut akan
tercapai dengan pemilihan pendekatan
pembelajaran yang tepat. Djamarah dan Zain
(2002:7) berpendapat, dalam pelaksanaan
kegiatan belajar mengajar agar berhasil sesuai
yang diharapkan perlunya memilih dan
menetapkan prosedur, metode dan teknik
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
17
Dra. Ratnawati* adalah Guru pada SMA Negeri 2 Banda Aceh
pembelajaran yang dianggap paling tepat dan
efektif. Metode, prosedur atau teknik
penyajian untuk memotivasi siswa agar
mampu menerapkan pengetahuan dan
pengalamannya dalam memecahkan masalah.
Siswa yang kurang aktif dalam pembelajaran
dapat membuat kondisi kelas bersifat pasif,
siswa mudah bosan, apalagi jika guru hanya
mengajarkan materi dengan pembelajaran
monoton. Kondisi ini terjadi pada siswa kelas
XI IS-1 SMA Negeri 2 Banda Aceh.
Berdasarkan hasil observasi penulis,
menunjukkan bahwa siswa sering merasa
bosan dan mengalami kesulitan dalam
memahami materi yang diajarkan khususnya
pada pelajaran bahasa Inggris. Hal ini
mungkin disebabkan karena umumnya guru
menyampaikan materi secara monoton dengan
metode ceramah tanpa mengaktifkan siswa
dalam kegiatan diskusi dan tanya jawab.
Akibatnya hasil belajar yang diperoleh siswa
pada pelajaran bahasa Inggris juga rendah.
Hal ini terlihat rata-rata hasil tes ulangan
siswa pada pelajaran bahasa Inggris yaitu 56,5
yang masih berada di bawah Kriteria
Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditetapkan
oleh SMA Negeri 2 Banda Aceh yaitu
minimal 65.
Untuk mengatasi kondisi tersebut,
upaya yang dapat dilakukan guru adalah
melalui penerapan kegiatan contextual
teaching and learning (CTL). Hal ini
dikarenakan konsep dari CTL adalah
mengaitkan konsep/materi dengan kehidupan
nyata (real) sehingga memudahkan siswa
untuk memahami konsep materi. Sejalan
dengan hal ini, Johar dkk (2006:72)
menjelaskan Contextual teaching and
learning (CTL) adalah suatu konsep belajar
dimana guru menghadirkan situasi dunia
nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimiliki dengan penerapannya dalam
kehidupan mereka sebagai anggota keluarga
dan masyarakat. Dengan demikian
pembelajaran akan lebih bermakna,
dikarenakan siswa dapat memahami konsep
dari materi yang diajarkan.
Siswa dalam contextual teaching and
learning (CTL) dituntut untuk aktif dalam
kegiatan pembelajaran. Siswa dimotivasi
untuk dapat mengaitkan materi yang sedang
dipelajarinya dengan penerapan di dunia
nyata ataupun dalam kehidupan sehari-hari.
Berkenaan dengan hal tersebut, Johar dkk
(2006:72) menambahkan bahwa Contextual
teaching and learning (CTL) merupakan
salah satu pembelajaran yang menekankan
pentingnya lingkungan alamiah diciptakan
dalam proses belajar agar kelas lebih hidup
dan lebih bermakna karena siswa mengalami
sendiri apa yang dipelajarinya. Dengan
konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan
lebih bermakna bagi siswa. Proses
pembelajaran berlangsung alamiah dalam
bentuk kegiatan siswa bekerja dan
mengalami, bukan mentransfer pengetahuan
dari guru ke siswa. Berkaitan dengan
contextual teaching and learning (CTL),
Sanjaya (2005:109) menyatakan bahwa CTL
merupakan suatu pembelajaran yang
menekankan kepada proses keterlibatan siswa
secara penuh untuk dapat menemukan materi
yang dipelajari dan menghubungkannya
dengan situasi kehidupan nyata sehingga
mendorong siswa untuk dapat menerapkannya
dalam kehidupan mereka.
Pada pembelajaran bahasa Inggris,
khususnya materi teks berbentuk descriptive
yang diajarkan di sekolah akan lebih
bermakna serta dapat diaplikasikan oleh siswa
secara langsung apabila contextual teaching
and learning (CTL) diterapkan. Penerapan
kontekstual dalam pembelajaran bahasa
Inggris pada materi teks berbentuk Narrative
dan Report, merupakan salah satu alternatif
yang baik untuk mengembangkan
pembelajaran yang memberikan kesempatan
pada siswa mengkonstruksikan
pengetahuannya sendiri. Siswa belajar
menghubungkan materi dengan dunia nyata,
sehingga proses belajar diharapkan akan lebih
bermakna bagi siswa. Selain itu, siswa
diharapkan dapat menemukan dan
membangun ide-ide serta konsep yang
diajarkan baik dari fenomena sehari-hari
ataupun dari masalah yang dapat
dibayangkan, sehingga mendidik siswa
bersikap kritis, logis serta mampu
memecahkan masalah. Dari uraian tersebut,
maka diperlukan suatu upaya dalam
meningkatkan hasil belajar siswa terhadap
pemahaman teks berbentuk Narrative dan
Report melalui contextual teaching and
learning (CTL) pada mata pelajaran bahasa
Inggris di kelas XI IS-1 SMA Negeri 2 Banda
aceh semester ganjil 2012/2013.
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
18
Dra. Ratnawati* adalah Guru pada SMA Negeri 2 Banda Aceh
Tujuan Penelitian ini adalah (1)
Untuk mengetahui peningkatan hasil belajar
siswa setelah penerapan contextual teaching
and learning (CTL) pada mata pelajaran
bahasa Inggris di kelas XI IS-1 SMA Negeri 2
Banda Aceh; dan (2) Untuk mengetahui
peningkatan aktivitas guru dan siswa selama
penerapan contextual teaching and learning
(CTL) pada mata pelajaran bahasa Inggris di
kelas XI IS-1 SMA Negeri 2 Banda Aceh.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Contextual Teaching and
Learning (CTL)
Djamarah (2000:12) menjelaskan
Pembelajaran adalah proses interaksi siswa
dengan guru dan sumber belajar pada suatu
lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan
bantuan yang diberikan pendidik agar dapat
terjadi proses pemerolehan ilmu dan
pengetahuan, penguasaan kemahiran dan
tabiat, serta pembentukan sikap dan
kepercayaan pada siswa. Sedangkan Sanjaya,
(2007:253) menjelaskan bahwa Contextual
teaching and learning (CTL) merupakan
strategi pembelajaran yang menekankan pada
proses keterlibatan siswa untuk menemukan
konsep materi yang dipelajari dan
menghubungkannya dengan situasi kehidupan
nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat
menerapkannya dalam kehidupan.
Berkenaan dengan konsep contextual
teaching and learning (CTL), Johar dkk
(2006:72) menjelaskan bahwa Contextual
teaching and learning (CTL) adalah suatu
konsep belajar dimana guru menghadirkan
situasi dunia nyata ke dalam kelas dan
mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimiliki dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka
sebagai anggota keluarga dan masyarakat.
Dengan demikian pembelajaran akan lebih
bermakna, dikarenakan siswa dapat
memahami konsep dari materi yang diajarkan.
Sejalan dengan pendapat di atas, Sanjaya
(2007:259) menjelaskan (1) kontekstual
menekankan pada proses keterlibatan siswa
untuk menemukan materi, artinya pada proses
belajar diorientasikan pada proses
pengalaman secara langsung. Proses belajar
dalam konteks kontekstual tidak
mengharapkan agar siswa hanya menerima
pelajaran, akan tetapi proses mencari dan
menemukan sendiri konsep materi pelajaran;
(2) kontekstual mendorong siswa agar dapat
menemukan hubungan materi yang dipelajari
dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa
dituntut untuk dapat menangkap hubungan
antara pengalaman belajar di sekolah dengan
kehidupan nyata. Hal ini sangat penting,
sebab dengan menghubungkan konsep materi
yang ditemukan dengan kehidupan nyata
bukan hanya akan membuat materi lebih
bermakna bagi siswa, bahkan materi yang
telah dipelajari akan tertanam erat dalam
memori siswa sehingga tidak mudah
dilupakan; (3) kontekstual mendorong siswa
untuk dapat menerapkan materi dalam
kehidupan nyata, artinya kontekstual bukan
hanya mengharapkan siswa dapat memahami
materi yang dipelajarinya tetapi juga
bagaimana materi pelajaran dapat mewarnai
perilaku siswa dalam kehidupan sehari-hari.
Materi pelajaran dalam konteks kontekstual
bukan hanya untuk ditumpuk di otak dan
kemudian dilupakan, akan tetapi sebagai
bekal bagi siswa dalam menjalani kehidupan
nyata.
Oleh karena itu, penerapan
kontekstual dalam pembelajaran bahasa
Inggris merupakan alternatif yang baik untuk
mengembangkan pembelajaran yang
memberikan kesempatan pada siswa
mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri.
Siswa belajar menghubungkan materi dengan
dunia nyata, sehingga proses pembelajaran
diharapkan akan lebih bermakna bagi siswa.
Selain itu, siswa dapat menemukan dan
membangun ide-ide serta konsep yang
diajarkan baik dari fenomena sehari-hari
ataupun dari masalah yang dapat
dibayangkan, sehingga mendidik siswa
bersikap kritis, logis serta mampu
memecahkan masalah.
Pada contextual teaching and
learning (CTL), program pembelajaran lebih
merupakan rencana kegiatan kelas yang
dirancang guru, yang berisi skenario tahap
demi tahap tentang apa yang akan dilakukan
bersama siswanya sehubungan dengan topik
yang akan dipelajarinya. Dalam program
tercermin tujuan pembelajaran, media untuk
mencapai tujuan tersebut, materi
pembelajaran, langkah-langkah pembelajaran,
dan autentik assesmennya. Dalam konteks itu,
program yang dirancang guru benar-benar
rencana pribadi tentang apa yang akan
Ratnawati, Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Terhadap Pemahaman Teks
19
Dra. Ratnawati* adalah Guru pada SMA Negeri 2 Banda Aceh
dikerjakannya bersama siswanya. Menurut
Johar dkk (2006:72), secara umum tidak ada
perbedaan mendasar format antara program
pembelajaran konvensional dengan program
contextual teaching and learning (CTL).
Sekali lagi, yang membedakan hanya pada
penekanannya. Program pembelajaran
konvensional lebih menekankan pada
deskripsi tujuan yang akan dicapai yaitu jelas
dan operasional dengan titik tujuan adalah
hasil, sedangkan program untuk contextual
teaching and learning (CTL) lebih
menekankan pada skenario pembelajarannya
dengan menitikberatkan pada proses dan
kebermaknaan bagi siswa.
Pada contextual teaching and
learning (CTL) pembelajaran lebih
ditekankan pada proses. Selain itu CTL siswa
dilibatkan dalam situasi dunia nyata ataupun
masalah kehidupan sehari-hari, sehingga
siswa mampu menemukan substansi atau
konsep dari materi pelajaran yang diajarkan
oleh guru. Contextual teaching and learning
(CTL) lebih menempatkan siswa sebagai
subjek dalam kegiatan dan bukan sebagai
objek. Oleh karena itu, siswa dalam CTL
dituntut untuk aktif dalam kegiatan
pembelajaran.
Tabel 1. Perbedaan Contextual Teaching and Learning (CTL) dengan Konvensional
No Contextual Teaching and Learning (CTL) Konvensional (Tradisonal)
1. Pemilihan informasi berdasarkan kebutuhan
siswa.
Pemilihan informasi ditentukan oleh guru.
2. Siswa terlibat secara aktif dalam proses
pembelajaran.
Siswa secara pasif menerima informasi.
3. Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan
nyata/masalah yang disimulasikan.
Pembelajaran sangat abstrak dan teoritis.
4. Selalu mengkaitkan informasi dengan
pengetahuan yang telah dimiliki siswa.
Memberikan tumpukan informasi kepada
siswa sampai saatnya diperlukan.
5. Cenderung mengintegrasikan beberapa
bidang.
Cenderung terfokus pada satu bidang
(disiplin) tertentu.
6. Siswa menggunakan waktu belajarnya untuk
menemukan, menggali, berdiskusi, berpikir
kritis, atau mengerjakan proyek dan
pemecahan masalah (melalui kerja
kelompok).
Waktu belajar siswa sebagian besar
dipergunakan untuk mengerjakan buku tugas,
mendengar ceramah, dan mengisi latihan
yang membosankan (melalui kerja
individual).
7. Perilaku dibangun atas kesadaran diri Perilaku dibangun atas kebiasaan
8. Keterampilan dikembangkan atas dasar
pemahaman.
Keterampilan dikembangkan atas dasar
latihan.
9. Hadiah dari perilaku baik adalah kepuasan
diri.
Hadiah dari perilaku baik adalah pujian atau
nilai (angka) rapor
10. Siswa tidak melakukan hal yang buruk
karena sadar hal tersebut keliru dan
merugikan.
Siswa tidak melakukan sesuatu yang buruk
karena takut akan hukuman.
11. Perilaku baik berdasarkan motivasi intrinsik. Perilaku baik berdasarkan motivasi
ekstrinsik.
12. Pembelajaran terjadi di berbagai tempat,
konteks dan setting.
Pembelajaran hanya terjadi dalam kelas.
13. Hasil belajar diukur melalui penerapan
penilaian autentik.
Hasil belajar diukur melalui kegiatan
akademik dalam bentuk tes/ujian/ulangan.
Sumber: Johar dkk (2006:74).
Contextual teaching and learning
(CTL) merupakan suatu proses pembelajaran
yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa
untuk memahami makna materi pelajaran
yang dipelajarinya dengan mengaitkan materi
tersebut dengan konteks kehidupan mereka
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
20
Dra. Ratnawati* adalah Guru pada SMA Negeri 2 Banda Aceh
sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan
kultural) sehingga siswa memiliki
pengetahuan atau keterampilan yang secara
fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari
satu permasalahan atau konteks ke
permasalahan atau konteks lainnya.
Contextual teaching and learning (CTL)
merupakan konsep belajar yang membantu
guru mengaitkan antara materi pelajaran yang
diajarkannya dengan situasi dunia nyata dan
mendorong siswa membuat hubungan antara
materi yang diajarkannya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka
sebagai anggota keluarga dan masyarakat.
Pada pembelajaran bahasa Inggris
lebih bermakna serta dapat diaplikasikan
langsung oleh siswa apabila contextual
teaching and learning (CTL) diterapkan. Hal
ini karena pembelajaran kontektual
menekankan pada lingkungan alamiah serta
menghubungkan materi yang telah dipelajari
dengan dunia nyata, siswa diberikan
kesempatan aktif dalam pembelajaran.
Sehingga materi yang sampaikan guru lebih
mudah dipahami oleh siswa baik dari segi
konsep, penerapan maupun manfaatnya.
Sehingga diharapkan hasil belajar yang
diperoleh juga optimal.
B. Tujuh Unsur Dalam Pendekatan
Contextual Teaching and Learning
(CTL)
1. Konstruktivisme (Constructivism) Konstruktivisme adalah proses
membangun atau menyusun pengetahuan baru
dalam struktur kognitif siswa berdasarkan
pengalaman. Pengetahuan memang berasal
dari luar, akan tetapi dikonstruksi oleh dan
dari dalam diri seseorang. Sehingga
pengetahuan terbentuk dari dua faktor yaitu
pengalaman dan kemampuan seseorang untuk
menginterpretasi pengalaman tersebut
(Sanjaya, 2006:262).
Konstruktivisme adalah landasan berpikir
(filosofi) dalam contextual teaching and
learning (CTL), yaitu bahwa pengetahuan
manusia dibangun secara bertahap, sedikit
demi sedikit. Johar dkk (2006:75)
menjelaskan bahwa Pengetahuan bukanlah
seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang
siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus
mengkonstruksi pengetahuan itu, dan
memberi makna melalui pengalaman nyata.
Dengan dasar ini, pembelajaran harus
dikemas dengan mengkonstruksi dan bukan
menerima pengetahuan. Dengan demikian,
dalam pandangan konstruktivisme strategi
memperoleh pengetahuan lebih diutamakan
agar siswa mampu membangun pemahaman
mereka sendiri berdasarkan pada pengetahuan
awal siswa. Sehingga siswa akan dapat
menemukan serta memahami sindiri konsep
dari materi yang diajarkan.
2. Menemukan (Inquiry)
Menemukan (inquiry) merupakan bagian
inti dari contextual teaching and learning
(CTL). Pengetahuan dan keterampilan siswa
diharapkan bukan hasil mengingat sejumlah
fakta, tetapi hasil menemukan sendiri. Johar
dkk (2006:75) mengatakan bahwa Siklus
inquiry terdiri dari kegiatan mengamati,
bertanya, menyelidiki, menganalisis dan
menemukan teori atau membuat kesimpulan.
Sejalan dengan hal ini, Sanjaya (2006:163)
menjelaskan Pengetahuan bukanlah sejumlah
fakta dari hasil mengingat, akan tetapi hasil
dari proses menemukan sendiri. Dengan
demikian, dalam inquiry terjadinya proses
perpindahan dari pengamatan menjadi
pemahaman siswa. Proses menemukan
merupakan cara belajar menggunakan
keterampilan berpikir kritis yang
mengakibatkan siswa mampu memaknai
hakikat konsep materi yang dipelajari.
3. Bertanya (Questioning)
Bertanya (questioning) merupakan strategi
utama pembelajaran yang berbasis
kontekstual. Kegiatan bertanya bukan hanya
bersumber dari guru, tetapi juga bersumber
dari siswa dengan kata lain komunikasi dua
arah. Johar dkk (2006:75) mengatakan bahwa
Bertanya dalam kegiatan pembelajaran
dipandang sebagai kegiatan guru untuk
mendorong, membimbing dan menilai
kemampuan berpikir siswa. Bagi siswa,
bertanya merupakan bagian penting dalam
pembelajaran berbasis inquiry. Sejalan
dengan hal tersebut, Sanjaya (2006:264)
menjelaskan bahwa Belajar pada hakikatnya
adalah bertanya dan menjawab pertanyaan.
Bertanya dapat dipandang sebagai refleksi
dari keingintahuan setiap orang, sedangkan
menjawab pertanyaan mencerminkan
kemampuan seseorang dalam berpikir. Dalam
proses contextual teaching and learning
(CTL), guru tidak menyampaikan materi
Ratnawati, Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Terhadap Pemahaman Teks
21
Dra. Ratnawati* adalah Guru pada SMA Negeri 2 Banda Aceh
begitu saja akan tetapi mendorong siswa
untuk dapat menemukan sendiri. Oleh karena
itu, peran bertanya sangat penting sebab
melalui pertanyaan-pertanyaan guru dapat
membimbing dan mengarahkan siswa untuk
menemukan setiap konsep materi yang
dipelajarinya.
4. Masyarakat Belajar (Learning
Community)
Konsep masyarakat belajar dalam
kontekstual menyarankan agar hasil
pembelajaran diperoleh melalui kerjasama
dengan orang lain. Kerja sama itu dapat
dilakukan dalam berbagai bentuk baik dalam
sekelompok belajar secara formal maupun
dalam lingkungan yang terjadi secara alamiah.
Hasil belajar dapat diperoleh dari hasil
sharing dengan orang lain, antar teman,
maupun antar kelompok (Sanjaya, 2006:265).
Johar dkk (2006:76) berpendapat bahwa
Konsep masyarakat belajar menyarankan agar
hasil pembelajaran diperoleh dari kerja sama
dengan orang lain. Dengan demikian,
sekelompok orang yang terikat dalam
kegiatan belajar dan bekerja sama dengan
orang lain akan lebih baik dari pada belajar
sendiri. Selain itu, dalam konsep masyarakat
belajar dapat terjadinya tukar pengalaman
serta berbagi ide antara siswa yang satu
dengan siswa lainnya.
5. Pemodelan (Modeling) Johar dkk (2006:76) menjelaskan,
Pemodelan dalam contextual teaching and
learning (CTL) maksudnya keterampilan atau
pengetahuan tertentu yang dipedomani dari
model yang bisa ditiru. Model yang dimaksud
dapat berupa cara mengoperasikan sesuatu,
mempraktekkan atau memperagakan suatu
materi atau dapat juga berupa benda atau
orang yang dijadikan model. Sejalan dengan
tersebut, Sanjaya (2006:265) menjelaskan
bahwa Pemodelan (modeling) merupakan
proses pembelajaran dengan memperagakan
sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh
setiap siswa. Dengan demikian, pemodelan
merupakan proses penampilan suatu contoh
agar orang lain berpikir, bekerja dan belajar
serta mengerjakan apa yang guru inginkan
agar siswa mengerjakannya.
6. Refleksi (Reflection)
Johar dkk (2006:77) mengatakan bahwa
Refleksi adalah cara tentang apa yang baru
dipelajari atau berpikir ke belakang tentang
apa-apa yang telah dilakukan. Sanjaya
(2006:266) menjelaskan bahwa Refleksi
merupakan proses menyimpulkan pengalaman
yang telah dipelajari yang dilakukan dengan
cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian
atau peristiwa pembelajaran yang telah dilalui
siswa. Refleksi dapat berbentuk langkah-
langkah atau juga trik-trik dalam menemukan
konsep dari suatu materi yang telah dipelajari.
Sehingga siswa mudah mengingat apa saja
yang telah dilakukannya dalam menemukan
substansi dari materi pelajaran.
7. Penilaian yang Sebenarnya (Authentic
Assesment)
Johar dkk (2006:145) menjelaskan bahwa
Assesmen adalah proses pengumpulan
berbagai data yang dapat memberikan
gambaran perkembangan hasil belajar siswa.
Karena gambaran tentang kemajuan belajar
itu, diperlukan disepanjang proses
pembelajaran. Assesmen tidak hanya
dilakukan pada akhir pembelajaran, tetapi
juga pada awal serta dalam proses
pembelajaran. Jadi, kemajuan dalam belajar
siswa bukan hanya dinilai pada hasil saja,
tetapi juga pada prosesnya. Dengan
melakukan assesmen di awal, dalam proses
serta pada akhir pembelajaran maka guru akan
dengan mudah memantau perkembangan hasil
belajar siswa. Selain itu juga berguna untuk
membuat serta mengambil suatu kebijakan
dalam memaksimalkan aktivitas siswa dalam
kegiatan pembelajaran.
C. Penerapan Contextual Teaching and
Learning (CTL) pada Materi Teks
Berbentuk Narrative dan Report
Materi teks berbentuk Narrative dan
Report adalah salah satu materi mata
pelajaran bahasa Inggris yang diajarkan pada
kelas XI IS-1 SMA semester I. Standar
Kompetensi (SK) pada materi ini yaitu
memahami makna dalam teks lisan fungsional
dan monolog pendek sederhana berbentuk
Narrative dan Report untuk berinteraksi
dalam konteks kehidupan sehari-hari. Adapun
Kompetensi Dasar (KD) materi ini adalah
merespon makna yang terdapat dalam
monolog pendek sederhana secara akura[----t,
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
22
Dra. Ratnawati* adalah Guru pada SMA Negeri 2 Banda Aceh
lancar, dan berterima untuk berinteraksi
dalam konteks kehidupan sehari-hari dalam
teks berbentuk . Penerapan model contextual
teaching and learning (CTL) pada materi teks
berbentuk Narrative dan Report dilakukan
dalam tiga kali pertemuan.
1. Kegiatan Pendahuluan
Pada kegiatan pendahuluan, guru
menyampaikan tujuan pembelajaran materi
teks berbentuk Narrative dan Report dan
memotivasi siswa untuk belajar. Langkah
selanjutnya, guru mengaitkan materi teks
berbentuk Narrative dan Report dengan
contoh kehidupan sehari-hari, misalnya
kegiatan jual beli di teks berbentuk Narrative
dan Report.
2. Kegiatan Inti
Pada kegiatan inti, guru membagi siswa
dalam beberapa kelompok belajar yang
beranggotakan 4 – 5 orang. Membagikan LKS
tiap kelompok, serta meminta siswa
berdiskusi dalam kelompok untuk
menyelesaikan permasalahan yang terdapat
dalam LKS. Guru mengajukan masalah
kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan
teks berbentuk Narrative dan Report, dan
membagikan LKS yang berisi rangkuman
tentang teks berbentuk Narrative dan Report ,
siswa dituntut untuk menentukan pengertian
teks berbentuk Narrative dan Report ,
macam-macam teks berbentuk Narrative dan
Report, serta bentuk teks berbentuk Narrative
dan Report. Selanjutnya guru memantau
jalannya diskusi dalam kelompok,
membimbing dan mempersilahkan siswa
untuk menjelaskan pada anggota kelompok
masing-masing jika terdapat materi yang
kurang dipahami.
Selanjutnya guru meminta perwakilan
kelompok untuk mempresentasikan hasil
diskusinya mengenai materi teks berbentuk
Narrative dan Report. Guru mempersilahkan
kelompok lainnya untuk menanggapi hasil
kerja kelompok penyaji. Kemudian guru
memberikan pertanyaan kepada masing-
masing siswa untuk mewakili kelompok, dan
tidak boleh dibantu teman kelompoknya. Skor
kelompok diperoleh dari penjumlahan nilai
jawaban anggota kelompok masing-masing.
Selanjutnya guru memberikan penghargaan
kepada kelompok-kelompok yang
memperoleh nilai yang tertinggi.
3. Kegiatan Penutup
Pada kegiatan ini, guru membimbing
siswa untuk menarik kesimpulan dari materi
yang telah dipelajari. Memberikan
penghargaan kepada kelompok terbaik dalam
diskusi dan kuis. Langkah terakhir adalah
menilai hasil belajar siswa terhadap materi
teks berbentuk Narrative dan Report dengan
memberikan tes. Kemudian ditutup dengan
memberikan PR kepada siswa.
METODA PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan kualitatif
dengan merujuk pada gambaran penelitian di
lapangan berdasarkan data kualitatif.
Berkenaan dengan data kualitatif, Riduwan
(2003:31) menjelaskan Data kualitatif adalah
data yang berhubungan dengan kategori,
karakteristik data berwujud pernyataan atau
berupa kata-kata. Jadi, pendekatan kualitatif
lebih menekankan pada jenis data yang
diperoleh dalam penelitian. Pendekatan ini
digunakan untuk mengkaji keadaan alamiah
siswa mengikuti pembelajaran bahasa Inggris
melalui contextual teaching and learning
(CTL) sesuai dengan karakteristiknya. Jenis
penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan
Kelas (Classroom Action Research), yang
merupakan suatu bentuk kajian yang bersifat
reflektif oleh pelaku tindakan (peneliti), yang
dilakukan untuk meningkatkan pemantapan
rasional dari tindakan-tindakan yang
dilakukan pada saat pelaksanaan,
memperdalam pemahaman serta memperbaiki
kondisi di mana praktek atau pelaksanaan
tindakan tersebut dilakukan (Wiriaatmadja,
2007:94).
B. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini siswa
kelas XI IS-1 SMA Negeri 2 Banda Aceh
yang berjumlah 24 orang. Pemilihan subjek
penelitian didasarkan pada pertimbangan
rendahnya hasil belajar siswa pada mata
pelajaran bahasa Inggris.
C. Prosedur Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian
tindakan kelas dengan prosedur penelitian
mengikuti model yang dikembangkan oleh
Kemmis dan Mc Taggart (dalam
Ratnawati, Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Terhadap Pemahaman Teks
23
Dra. Ratnawati* adalah Guru pada SMA Negeri 2 Banda Aceh
Wiriaatmadja, 2007:66) berupa siklus spiral,
meliputi kegiatan perencanaan, pemberian
tindakan, pengamatan, dan refleksi yang
membentuk siklus demi siklus sampai tuntas
penelitian, sehingga diperoleh data yang dapat
dijadikan jawaban dari permasalahan
penelitian.
1. Tahap perencanaan (plan); Pada tahap
perencanaan, yang dilakukan adalah
merencanakan kegiatan pembelajaran
dengan menggunakan contextual
teaching and learning (CTL). Adapun
kegiatan yang dilakukan pada tahap
perencanaan yaitu: (1) menyusun
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP); (2) menyiapkan sumber belajar;
(3) menyusun Lembar Kerja Siswa
(LKS) untuk masing-masing tindakan;
serta (4) menyiapkan media yang
dibutuhkan dalam kegiatan pembelajaran
contextual teaching and learning (CTL).
2. Tahap pelaksanaan tindakan (actuat);
Tahap pelaksanaan tindakan yang
dilakukan dalam penelitian ini
merupakan rangkaian kegiatan
pembelajaran yang dilakukan dengan
menggunakan contextual teaching and
learning (CTL) pada materi teks
berbentuk Narrative dan Report di XI
IS-1 SMA Negeri 2 Banda Aceh.
Pemberian tindakan dalam penelitian ini
dilakukan sebanyak 3 (tiga) siklus,
dengan materi penelitian adalah teks
berbentuk. Pada siklus I, contextual
teaching and learning (CTL) diterapkan
pada pokok bahasan teks berbentuk
Narrative dan Report. Untuk siklus II
contextual teaching and learning (CTL)
diterapkan pada pokok bahasan teks
berbentuk Narrative dan Report.
Sedangkan untuk siklus III contextual
teaching and learning (CTL) diterapkan
pada pokok bahasan teks berbentuk
Narrative dan Report.
3. Tahap observasi (observe); Tahap
observasi merupakan kegiatan
pengamatan terhadap jalannya proses
pembelajaran. Pengamatan dilakukan
terhadap aktivitas guru (peneliti) dan
aktivitas siswa selama penerapan
contextual teaching and learning (CTL)
pada materi teks berbentuk Narrative
dan Report di kelas XI IS-1 SMA Negeri
2 Banda Aceh. Observasi dilakukan oleh
seorang guru bahasa Inggris yang
mengajar di sekolah tersebut dan dibantu
oleh seorang teman sejawat peneliti.
Semua kegiatan penerapan contextual
teaching and learning (CTL) diamati
dan dicatat untuk dijadikan bahan
perbaikan pembelajaran selanjutnya.
4. Tahap refleksi (reflect); Refleksi
merupakan kegiatan mengevaluasi
proses dan hasil tindakan yang
dilakukan. Kegiatan ini bertujuan untuk
mengkaji apa yang telah terjadi dan apa
yang akan dilakukan pada tindakan
selanjutnya, dengan mengacu hasil
refleksi yang telah diperoleh pada
tindakan sebelumnya. Hasil refleksi
merupakan acuan (pedoman) peneliti
dalam menerapkan contextual teaching
and learning (CTL) untuk siklus
selanjutnya.
D. Teknik Pengumpulan Data
1. Tes belajar, digunakan untuk
mengetahui hasil belajar siswa setelah
penerapan contextual teaching and
learning (CTL) pada materi teks
berbentuk Narrative dan Report di kelas
XI IS-1 SMA Negeri 2 Banda Aceh pada
setiap tindakan.
2. Observasi, dilakukan oleh pengamat
(observer) selama pelaksanaan tindakan
untuk mengamati aktivitas guru dan
aktivitas siswa selama pembelajaran
bahasa Inggris dengan contextual
teaching and learning (CTL) pada
materi teks berbentuk Narrative dan
Report di XI IS-1 SMA Negeri 2 Banda
Aceh. Aktivitas guru diamati oleh
seorang guru bahasa Inggris yang
mengajar di sekolah tersebut, sedangkan
aktivitas siswa diamati oleh seorang
teman sejawat.
E. Teknik Analisis Data
1. Data Hasil Belajar Siswa
Data hasil belajar siswa untuk setiap
siklus ditinjau berdasarkan ketuntasan belajar
siswa secara individual yang mengacu pada
KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) yang
ditetapkan SMA Negeri 2 Banda Aceh. Untuk
ketuntasan belajar secara klasikal, penulis
mengacu pada pendapat Mulyasa (2004:99)
yang menyebutkan Tuntas belajar secara
klasikal apabila di kelas tersebut terdapat
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
24
Dra. Ratnawati* adalah Guru pada SMA Negeri 2 Banda Aceh
minimal 85% dari jumlah siswa tuntas belajar
individual. Besarnya persentase hasil belajar
secara klasikal dihitung dengan rumus:
P = N
Fx 100%
Keterangan:
P = Persentase ketuntasan siswa
F = Jumlah siswa yang tuntas.
N = Jumlah seluruh siswa
(Sudijono, 2005:43).
Apabila persentase ketuntasan belajar
klasikal siswa masih di bawah 85%, maka
akan dijadikan sebagai bahan pertimbangan
untuk memperbaiki proses kegiatan
pembelajaran pada siklus selanjutnya.
2. Data Aktivitas Guru
Observasi aktivitas guru dilakukan oleh
observer (pengamat) selama pelaksanaan
tindakan, dengan berpedoman pada lembar
observasi. Analisis data hasil observasi
aktivitas guru selama penerapan contextual
teaching and learning (CTL) dilakukan
dengan menghitung persentase skor rata-rata
Tingkat Aktivitas Guru (TAG) pada setiap
indikator yang diamati, yaitu:
Persentase TAG = %100xmaksimalSkor
skorJumlah
Tabel 2. Kriteria Tingkat Aktivitas Guru
(TAG)
No. Tingkat Aktivitas
Guru (TAG) Kriteria
1.
2.
3.
4.
5.
0,00% – 60,00%
60,01% – 70,00%
70,01% – 80,00%
80,01% – 90,00%
90,01% – 100,00%
sangat kurang
kurang
cukup
baik
sangat baik
Sumber: Arif (2003:71).
Arif (2003:69) menjelaskan bahwa
Aktivitas guru selama pembelajaran dikatakan
mencapai taraf keberhasilan jika berada pada
kategori baik atau sangat baik. Apabila hasil
analisis data tidak memenuhi dari salah satu
kategori baik atau sangat baik pada penelitian
ini akan dijadikan bahan pertimbangan untuk
memperbaiki proses pembelajaran pada siklus
selanjutnya.
3. Data Aktivitas Siswa
Data yang diperoleh dari hasil pengamatan
aktivitas siswa kemudian dianalisis, untuk
menentukan persentase Tingkat Aktivitas
Siswa (TAS) selama kegiatan penerapan
contextual teaching and learning (CTL) pada
materi teks berbentuk Narrative dan Report di
kelas XI IS-1 SMA Negeri 2 Banda Aceh.
Penentuan besarnya persentase tingkat
aktivitas siswa digunakan rumus yaitu:
Persentase TAS = %100xmaksimalSkor
skorJumlah
Tabel 3. Kriteria Tingkat Aktivitas Siswa
(TAS)
No. Tingkat Aktivitas
Siswa (TAS) Kriteria
1.
2.
3.
4.
5.
0,00% – 60,00%
60,01% – 70,00%
70,01% – 80,00%
80,01% – 90,00%
90,01% – 100,00%
sangat kurang
kurang
cukup
baik
sangat baik
Sumber: Arif (2003:68).
Arif (2003:71) menjelaskan bahwa
Aktivitas siswa selama pembelajaran
dikatakan mencapai taraf keberhasilan jika
berada pada kategori baik atau sangat baik.
Apabila hasil analisis data tidak memenuhi
kategori baik atau sangat baik pada penelitian
ini akan dijadikan bahan pertimbangan untuk
memperbaiki proses pembelajaran pada siklus
selanjutnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Belajar Siswa
Dari hasil belajar siswa melalui
contextual teaching and learning (CTL) pada
materi teks berbentuk Narrative dan Report di
kelas XI IS-1 SMA Negeri 2 Banda Aceh
menunjukkan jumlah siswa yang mencapai
ketuntasan belajar secara individu sebanyak
11 orang atau 45,83%, sedangkan 13 orang
atau sebesar 54,17% belum mencapai
ketuntasan belajar. Rata-rata hasil belajar
yang diperoleh siswa adalah 63,75 dan berada
di bawah nilai KKM mata pelajaran bahasa
Inggris. Oleh karena persentase ketuntasan
belajar siswa masih berada di bawah 85%,
maka hasil belajar siswa kelas XI IS-1 SMA
Negeri 2 Banda Aceh pada materi teks
berbentuk Narrative dan Report untuk siklus I
belum mencapai ketuntasan belajar klasikal.
Ratnawati, Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Terhadap Pemahaman Teks
25
Dra. Ratnawati* adalah Guru pada SMA Negeri 2 Banda Aceh
Dari hasil belajar siswa pada siklus II
menunjukkan jumlah siswa yang mencapai
ketuntasan belajar secara individu sebanyak
18 orang atau 75,00%, sedangkan 6 orang
atau 25,00% lainnya belum mencapai
ketuntasan belajar. Adapun rata-rata hasil
belajar yang diperoleh siswa adalah 71,25 dan
berada di atas nilai KKM yang ditetapkan
oleh SMA Negeri 2 Banda Aceh. Walaupun
hasil belajar siswa pada siklus II lebih baik
dari pada hasil belajar siswa pada siklus I,
namun persentase ketuntasan belajar siswa
masih berada di bawah 85%. Dengan
demikian, hasil belajar siswa yang diterapkan
dengan contextual teaching and learning
(CTL) pada materi teks berbentuk Narrative
dan Report untuk siklus II belum mencapai
ketuntasan belajar secara klasikal atau
keseluruhan. Oleh karena itu, pada siklus III
selanjutnya hasil belajar siswa perlu
ditingkatkan dengan mengoptimalkan
aktivitas guru dan siswa agar ketuntasan
belajar klasikal tercapai.
Sementara itu, hasil belajar siswa
melalui penerapan contextual teaching and
learning (CTL) dalam pembelajaran bahasa
Inggris pada materi teks berbentuk Narrative
dan Report untuk siklus III menunjukkan
jumlah siswa yang mencapai ketuntasan
belajar individual sebanyak 23 orang atau
95,83%, sedangkan 1 orang atau 4,17% belum
mencapai ketuntasan belajar. Adapun rata-rata
hasil belajar yang diperoleh siswa adalah
78,33 dan berada di atas nilai KKM yang
ditetapkan oleh SMA Negeri 2 Banda Aceh
untuk mata pelajaran bahasa Inggris.
Persentase ketuntasan belajar siswa sebesar
95,83% lebih besar dari 85% untuk mencapai
ketuntasan klasikal. Dengan demikian,
disimpulkan hasil belajar siswa melalui
penerapan CTL dalam pembelajaran bahasa
Inggris pada materi teks berbentuk Narrative
dan Report dan siklus III di kelas XI IS-1
SMA Negeri 2 Banda Aceh sudah mencapai
ketuntasan belajar klasikal.
Hal tersebut membuktikan hasil
belajar siswa dengan penerapan contextual
teaching and learning (CTL) dalam
pembelajaran bahasa Inggris pada materi teks
berbentuk Narrative dan Report di kelas XI
IS-1 SMA Negeri 2 Banda Aceh mengalami
peningkatan untuk tiap siklusnya. Hal ini
secara tidak langsung juga menggambarkan
adanya upaya guru dalam meningkatkan
kualitas pembelajaran yang dilakukan,
sehingga berdampak positif terhadap hasil
belajar yang diperoleh siswa.
B. Aktivitas Guru Selama Penerapan
Contextual Teaching and Learning
(CTL)
Dari hasil penelitian, rata-rata
Tingkat Aktivitas Guru (TAG) pada tindakan
I diperoleh skor rata-rata 3,17 dengan
persentase sebesar 63,4%, sehingga secara
umum tingkat aktivitas guru dalam
menerapkan contextual teaching and learning
(CTL) masih kurang. Hal ini dapat dilihat dari
aspek: memotivasi siswa dan
menginformasikan tujuan dari pelajaran,
menginformasikan langkah-langkah
pembelajaran, mendorong para siswa agar
berpikir kritis melalui pertanyaan, menghargai
berbagai pendapat siswa dan memberikan
penghargaan terhadap hasil belajar siswa
sebagai motivasi belajar, serta pengelolaan
waktu, yang berada pada kategori penilaian
kurang dengan skor 2. Begitu juga untuk
aspek pengamatan: membuka pelajaran,
mengaitkan materi dengan materi
sebelumnya, menjelaskan dan mengajukan
masalah yang real/nyata kepada siswa,
mendorong siswa untuk membandingkan
jawaban dengan jawaban teman sekelompok,
mendorong siswa untuk mau bertanya,
mengeluarkan pendapat atau menjawab
pertanyaan, mengevaluasi hasil belajar siswa
dengan mengajukan pertanyaan langsung
kepada siswa untuk mempertahankan ingatan
siswa, mengarahkan siswa untuk menemukan
sendiri dan menarik kesimpulan tentang
konsep/prinsip/teorema/rumus, menegaskan
hal-hal penting atau intisari berkaitan dengan
pembelajaran, menyampaikan judul sub
materi berikutnya dan memberikan PR serta
menutup pelajaran, dan antusias siswa yang
masih berada pada kategori penilaian cukup
dengan skor 3. Oleh karena itu, pada
penerapan contextual teaching and learning
(CTL) untuk siklus II selanjutnya, aktivitas
guru dalam mengelola pembelajaran terutama
pada aspek-aspek tersebut perlu ditingkatkan.
Tingkat Aktivitas Guru (TAG) untuk
siklus II menunjukkan aktivitas guru dalam
menerapkan contextual teaching and learning
(CTL) semakin meningkat, hal ini terlihat dari
rata-rata tingkat aktivitas guru sebesar 3,95
dengan persentase 79,00% yang lebih baik
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
26
Dra. Ratnawati* adalah Guru pada SMA Negeri 2 Banda Aceh
dari siklus sebelumnya. Jika ditinjau
berdasarkan kriteria penilaian, maka aktivitas
guru dalam penerapan contextual teaching
and learning (CTL) pada materi teks
berbentuk Narrative dan Report untuk siklus
II di kelas XI IS-1 SMA Negeri 2 Banda Aceh
berada pada kategori cukup. Berdasarkan
aspek-aspek yang diamati, masih terdapat
aspek pengamatan yang berada pada kategori
kurang baik. Aspek-aspek pengamatan yang
perlu ditingkatkan untuk siklus III selanjutnya
antara lain yaitu: menginformasikan langkah-
langkah pembelajaran, mendorong para siswa
agar berpikir kritis melalui pertanyaan,
mendorong siswa untuk mau bertanya,
mengeluarkan pendapat atau menjawab
pertanyaan, mengevaluasi hasil belajar siswa
dengan mengajukan pertanyaan langsung
kepada siswa untuk mempertahankan ingatan
siswa, menegaskan hal-hal penting atau
intisari berkaitan dengan pembelajaran, serta
pengelolaan waktu masih berada pada
kategori cukup dengan skor 3. Oleh karena
itu, aspek ini perlu mandapat perhatian dalam
merevisi atau melakukan perbaikan-perbaikan
pada siklus selanjutnya.
Tingkat Aktivitas Guru (TAG) pada
siklus III menunjukkan aktivitas guru dalam
menerapkan contextual teaching and learning
(CTL) dalam pembelajaran bahasa Inggris
pada materi teks berbentuk Narrative dan
Report untuk siklus III sudah baik. Hal ini
terlihat dari skor rata-rata tingkat aktivitas
guru yang diperoleh yaitu 4,42 dengan
persentase 88,4%. Sehingga dengan mengacu
pada kriteria yang ditetapkan maka dapat
dikatakan bahwa aktivitas guru dalam
menerapkan contextual teaching and learning
(CTL) dalam pembelajaran bahasa Inggris
pada materi teks berbentuk Narrative dan
Report di kelas XI IS-1 SMA Negeri 2 Banda
Aceh adalah baik dan efektif. Hal ini juga
didukung dari catatan lapangan selama
pelaksanaan tindakan, guru pada tiap
penerapan contextual teaching and learning
(CTL) untuk tiap siklusnya selalu berusaha
untuk menciptakan suasana pembelajaran
yang kondusif, dengan pembelajaran yang
berpusat pada keaktifan dan kreativitas siswa
sehingga membuat pembelajaran lebih
kondusif, inovatif, serta menyenangkan. Hal
ini menunjukkan bahwa, adanya upaya
perbaikan yang dilakukan guru dalam
menerapkan contextual teaching and learning
(CTL) dalam pembelajaran bahasa Inggris
pada materi teks berbentuk Narrative dan
Report yang diajarkan di kelas XI IS-1 SMA
Negeri 2 Banda Aceh untuk tiap siklusnya.
C. Aktivitas Siswa Selama Penerapan
Contextual Teaching and Learning
(CTL)
Dari hasil penelitian, rata-rata
Tingkat Aktivitas Siswa (TAS) pada siklus I
adalah 2,54 dengan persentase 50,77% yang
menunjukkan skor tingkat aktivitas siswa
dalam mengikuti penerapan contextual
teaching and learning (CTL) dalam
pembelajaran bahasa Inggris pada materi teks
berbentuk Narrative dan Report untuk siklus I
masih sangat kurang. Oleh karena itu,
aktivitas siswa selama penerapan contextual
teaching and learning (CTL) pada materi teks
berbentuk Narrative dan Report untuk siklus I
di kelas XI IS-1 SMA Negeri 2 Banda Aceh
masih belum efektif. Tingkat aktivitas siswa
yang diamati menunjukkan bahwa untuk
aspek: menjawab pertanyaan guru yang
berkaitan dengan materi pembelajaran
sebelumnya; memperhatikan penjelasan guru;
membaca atau memahami naskah teks
berbentuk Narrative dan Report ;
memerankan naskah teks berbentuk Narrative
dan Report ; bertanya kepada siswa,
kelompok lain, atau guru; membuat
rangkuman atau kesimpulan; serta
menggunakan bahasa, intonasi, dan bahasa
dengan baik yang masih kurang baik karena
hanya memperoleh skor 2. Begitu juga aspek
pengamatan: memperhatikan dan memahami
tujuan pembelajaran, melakukan kerjasama
kelompok, berdiskusi antara siswa-guru atau
siswa-siswa, mengerjakan soal yang
diberikan, berusaha memperbaiki kelemahan
yang masih berada pada kategori penilaian
cukup dengan skor 3. Oleh karena itu, perlu
dilakukan revisi dan perbaikan terhadap
jalannya proses pembelajaran dan penerapan
contextual teaching and learning (CTL) pada
materi teks berbentuk Narrative dan Report
untuk siklus selanjutnya.
Tingkat Aktivitas Siswa (TAS)
selama mengikuti pembelajaran bahasa
Inggris dengan contextual teaching and
learning (CTL) untuk siklus II menunjukkan
aktivitas siswa semakin meningkat, hal ini
terlihat dari rata-rata tingkat aktivitas siswa
sebesar 4,08 juga dari persentase sebesar
Ratnawati, Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Terhadap Pemahaman Teks
27
Dra. Ratnawati* adalah Guru pada SMA Negeri 2 Banda Aceh
81,60% yang menunjukkan bahwa aktivitas
siswa sudah lebih baik dari siklus I
sebelumnya. Apabila ditinjau berdasarkan
kriteria penilaian, Tingkat Aktivitas Siswa
(TAS) dalam mengikuti pembelajaran bahasa
Inggris melalui contextual teaching and
learning (CTL) pada materi teks berbentuk
Narrative dan Report untuk siklus II di kelas
XI IS-1 SMA Negeri 2 Banda Aceh berada
pada kategori baik. Walaupun tingkat
aktivitas siswa selama mengikuti
pembelajaran bahasa Inggris melalui
penerapan contextual teaching and learning
(CTL) untuk siklus II sudah baik, namun
masih terdapat aspek pengamatan yang perlu
ditingkatkan yaitu berdiskusi antara siswa-
guru atau siswa-siswa, menggunakan bahasa,
intonasi, dan bahasa dengan baik yang masih
memperoleh skor 2. Sehingga untuk siklus III
selanjutnya guru perlu melakukan perbaikan
terhadap kegiatan pembelajaran CTL, serta
melibatkan siswa dalam pembelajaran
terutama terhadap aspek yang kurang optimal.
Sementara itu, Tingkat Aktivitas
Siswa (TAS) selama mengikuti pembelajaran
bahasa Inggris dengan contextual teaching
and learning (CTL) untuk siklus III
menunjukkan aktivitas siswa semakin
meningkat, hal ini terlihat dari rata-rata
tingkat aktivitas siswa sebesar 4,23 dengan
persentase sebesar 84,62%. Jika ditinjau
berdasarkan kriteria tingkat aktivitas siswa
yang ditetapkan, maka aktivitas siswa dalam
mengikuti pembelajaran bahasa Inggris
melalui penerapan contextual teaching and
learning (CTL) untuk siklus III di kelas XI
IS-1 SMA Negeri 2 Banda Aceh berada pada
kategori baik, sehingga pembelajaran yang
diterapkan juga efektif. Hasil penelitian
tersebut tentunya membuktikan bahwa dalam
penerapan contextual teaching and learning
(CTL), guru berusaha untuk memaksimalkan
aktivitas siswa selama kegiatan pembelajaran
bahasa Inggris di kelas XI IS-1 SMA Negeri 2
Banda Aceh. Sehingga aktivitas siswa selama
pembelajaran yang dilakukan guru untuk tiap
pertemuannya terus mencapai aktivitas yang
efektif. Oleh karena itu, penerapan contextual
teaching and learning (CTL) dalam
pembelajaran bahasa Inggris dapat
meningkatkan aktivitas dan kreativitas siswa
dalam pembelajaran, sehingga siswa terlibat
langsung dalam kegiatan pembelajaran,
membuat pembelajaran lebih kondusif,
inovatif, dan menyenangkan.
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian ini
dapat disimpulkan bahwa:
1. Persentase ketuntasan belajar siswa pada
siklus I sebesar 45,83% dengan rata-rata
hasil belajar siswa 63,75, persentase
ketuntasan belajar siswa pada siklus II
sebesar 75,00% dengan rata-rata hasil
belajar siswa 71,25, serta persentase
ketuntasan belajar siswa pada siklus III
sebesar 95,83% dengan rata-rata hasil
belajar 78,33. Dengan demikian, hasil
belajar yang diperoleh siswa terhadap
pemahaman teks berbentuk Narrative
dan Report melalui penerapan
contextual teaching and learning (CTL)
dalam pembelajaran bahasa Inggris
materi di kelas XI IS-1 SMA Negeri 2
Banda Aceh mengalami peningkatan
untuk tiap siklusnya.
2. Rata-rata tingkat aktivitas guru dalam
menerapkan contextual teaching and
learning (CTL) pada siklus I sebesar
3,17 dengan persentase 63,40%, rata-
rata tingkat aktivitas guru pada siklus II
sebesar 3,95 dengan persentase 79,00%,
dan rata-rata tingkat aktivitas guru pada
siklus III sebesar 4,42 dengan persentase
88,40%. Dengan demikian, aktivitas
guru selama penerapan contextual
teaching and learning (CTL) dalam
pembelajaran bahasa Inggris di kelas XI
IS-1 SMA Negeri 2 Banda Aceh
mengalami peningkatan untuk tiap siklus
sehingga pembelajaran yang diterapkan
guru efektif.
3. Rata-rata tingkat aktivitas siswa selama
penerapan contextual teaching and
learning (CTL) pada siklus I sebesar
2,54 dengan persentase 50,77%, rata-
rata aktivitas siswa pada siklus II sebesar
4,08 dengan persentase 81,60%, dan
rata-rata tingkat aktivitas guru pada
siklus III sebesar 4,23 dengan persentase
84,62%. Dengan demikian, aktivitas
siswa selama penerapan contextual
teaching and learning (CTL) dalam
pembelajaran bahasa Inggris di XI IS-1
SMA Negeri 2 Banda Aceh mengalami
peningkatan untuk tiap siklus sehingga
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
28
Dra. Ratnawati* adalah Guru pada SMA Negeri 2 Banda Aceh
siswa aktif dan kreatif dalam
pembelajaran.
1. Saran-saran
a. Mengingat penerapan contextual teaching
and learning (CTL) dapat meningkatkan
hasil belajar siswa, aktivitas guru dan
aktivitas siswa, serta membuat
pembelajaran lebih efektif. Penulis
menyarankan kepada para guru untuk
menggunakan contextual teaching and
learning (CTL) dalam pembelajaran
sebagai upaya untuk meningkatkan hasil
belajar siswa, dan menciptakan
pembelajaran yang kondusif serta efektif.
b. Hasil penelitian ini hendaknya dijadikan
masukan dan bahan pertimbangan guru
dalam menerapkan contextual teaching
and learning (CTL) dengan maksud
untuk memberikan penekanan pada
aspek-aspek aktivitas guru dan aktivitas
siswa yang masih belum optimal pada
penelitian ini. Dengan demikian,
diharapkan melalui upaya perbaikan
tersebut, aktivitas guru dan aktivitas
siswa tercapai secara optimal sehingga
mampu meningkatkan hasil belajar siswa.
c. Disarankan pada pihak lain untuk
melakukan penelitian yang sama pada
materi lain sebagai bahan perbandingan
dari hasil penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Arif. 2003. Belajar Kooperatif dengan
Pendekatan Struktural Untuk
Pemahaman Konsep Statistika Siswa
Kelas II SLTP Laboratorium Universitas
Negeri Malang. Tesis. Malang:
Universitas Negeri Malang.
Dalyono, M. 1997. Psikologi Pendidikan.
Cetakan I. Jakarta: Rineka Cipta.
Djamarah, Syaiful B. 2000. Guru dan Peserta
Dididk dalam Interaksi Edukatif.
Jakarta: Rineka Cipta.
________. 2002. Psikologi Belajar. Cetakan
I. Jakarta: Rineka Cipta.
Djamarah, S.B dan Zein, A. 2002. Strategi
Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka
Cipta.
Johar, Rahmah dkk. 2006. Strategi Belajar
Mengajar. Banda Aceh: FKIP
Universitas Syiah Kuala.
Mulyasa. 2004. Implementasi Kurikulum
2004. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mukhlis. 2005. Pembelajaran Matematika
Realistik untuk Materi Pokok
Perbandingan di Kelas VII SMP Negeri
I Pallangga. Tesis. Universitas Negeri
Surabaya.
Nasution, Noehi. 1993. Materi Pokok
Psikologi Pendidikan. Cetakan III.
Jakarta: Universitas Terbuka.
Nurhadi, M. 2003. Pembelajaran Kontekstual
dan Penerapannya dalam KBK. Malang:
Universitas Negeri Malang.
Nurkancana, Wayan. 2000. Evaluasi
Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
Purwanto, M. Ngalim. 1995. Prinsip-prinsip
dan Teknik Evaluasi Pengajaran.
Cetakan X. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Riduwan. 2003. Dasar-dasar Statistika.
Cetakan III. Edisii Revisi. Bandung:
Alfabeta.
Sanjaya, Wina. 2005. Pembelajaran dalam
Implementasi Kurikulum Berbasis
Kompetensi. Jakarta: Kencana.
_______. 2007. Strategi Pembelajaran
Berorientasi Standar Proses Pendidikan.
Jakarta: Kencana.
Slameto. 1991. Belajar dan Faktor-faktor
yang Mempengaruhinya. Cetakan IV.
Jakarta: Rineka Cipta.
Sudijono, Anas. 2005. Pengantar Statistik
Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press.
Winkel, W.S. 1984. Psikologi Pendidikan dan
Evaluasi Belajar. Jakarta: PT. Gramedia.
Wiriaatmadja, Rochiati. 2007. Metode
Penelitian Tindakan Kelas. Cetakan V.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ratnawati, Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Terhadap Pemahaman Teks
29
Dra. Silmi T.Abdullah* adalah Guru SMP Negeri 2 Banda Aceh
MENINGKATKAN HASIL BELAJAR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA MATERI
SHALAT JUM’AT MELALUI METODE DEMONSTRASI PADA SISWA
KELAS VII-3 DI SMP NEGERI 2 BANDA ACEH
Oleh
Silmi T.Abdullah*
Abstract Participation of students is a motivation in the learning process is used as a measure of the
progress of the student's achievements, both individually and collectively. The purpose of
this study was to determine the extent of the application of the method demonstration on the
subjects of Islamic Education. The subjects were students of class VII-3, SMP Negeri 2
Banda Aceh. This research was conducted in two cycles twice face to face. Each cycle of
data obtained from the student's ability to practice the Friday Prayers. In terms of mastery
learning, congregational Friday prayers material using demonstarsi reached 85%, which
means that teachers targeted ≤ 80%.
Keywords: Improved Learning Outcomes, Methods Demonstration.
Pendidikan agama merupakan bagian
integral dari sistem pendidikan nasional.
Pendidikan agama yang didalamnya termasuk
pendidikan agama islam terdapat disemua jalur
dan jenjang pendidikan yang menjadi penentu
tercapainya tujuan pendidikan nasional, karena
salah satu tujuanya adalah mewujudkan
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Salah satu jalur
jenjang pendidikan tersebut adalah pendidikan
dasar baik SD maupun SMP.
Pendidikan Agama Islam (PAI)
disekolah atau madrasah dalam
pelaksanaannya masih menunjukkan berbagai
permasalahan yang kurang menyenangkan,
seperti halnya proses pembelajaran Pendidikan
Agama Islam (PAI) yang saat ini hanya
menyampaikan pengetahuan tentang agama
islam, sangat sedikit pada proses internalisasi
nilai-nilai islam pada diri siswa.
Kondisi dilapangan yang terjadi pada
siswa kelas VII-3 SMP Negeri 2 Banda Aceh
yang nilai ketuntasan bekajarnya masih
rendah, khusunya pada materi shalat Jum’at.
Pemahaman siswa terhadap materi ini belum
memuaskan . Hal ini ditunjukkan dengan nilai
ketuntasan formatif masih 45% dari VII-3
siswa hanya orang yang memiliki KKM yang
sudah ditentukan yaitu . Oleh karena itu guru
PAI berinisiatif untuk melakukan
pembelajaran dengan mengunakan metode
yang variatif. Salah satu metode tersebut
adalah metode demonstrasi yang diterapkan
dalam materi shalat sunnah berjamaah.
Metode demonstrasi merupakan salah
satu metode mengajar yang tidak pernah lepas
pada proses pebelajaran Pendidikan Agama
Islam, khususnya pada materi-materi yang
berkenaan dengan ibadah seperti shalat,
wudhu’, tayamum, haji dan akhlak. Bagi siswa
sekolah menegah pertama, penerapan metode
demonstrasi sangat penting, karena pada
dasarnya siswa belum sempurna kekuatan
akalnya untuk menerima materi yang
disampaikan secara lisan saja, sehingga
diperlukan latihan atau demonstrasi.Penerapan
metode demonstrasi khususnya materi ibadah
shalat jum’at, akan meningkatkan kualitas
intelektual siswa baik dari aspek kognitif,
afektif dan psikomotorik, karena dengan
metode demonstrasi siswa diajak terlibat
langsung sehingga mendapatkan pengalaman
baru.
Berdasarkan latar belakang diatas ,
maka rumusan masalah pada penelitian ini
sebagai berikut: (1) Apakah dengan penerapan
metode demonstrasi dapat meningkatkan hasil
belajar PAI pada materi shalat jum’at siswa
kelas VII-3 SMP Negeri 2 Banda Aceh; dan
(2) Apakah dengan penerapan metode
demonstrasi dapat meningkatkan aktivitas dan
motivasi belajar siswa pada proses
pembelajarn PAI kelas VII-3 SMP Negeri 2
Banda Aceh.
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
30
Dra. Silmi T.Abdullah* adalah Guru SMP Negeri 2 Banda Aceh
Adapun tujuan penelitian sebagai
berikut: (1) Tujuan Umum, Untuk
meningkatkan hasil belajar siswa kelas VII-3
SMP Negeri 2 Banda Aceh dengan
menggunakan metode demonstrasi; dan (2)
Tujuan Khusus, Untuk meningkatkan
pemahaman siswa pada materi shalat jum’at
siswa kelas VII-3 SMP Negeri 2 Banda Aceh
dengan mentode demonstrasi, serta
meningkatkan aktivitas belajar PAI siswa
kelas VII-3 SMP Negeri 2 Banda Aceh
Adapun manfaat penelitian ini adalah
: (1) Manfaat teoritis, mendapatkan teori-teori
baru guna meningkatkan hasil dan mutu
pendidikan, disamping mendapatkan teori-
teori baru dan sebagai referensi untuk
penelitian selanjutnya; (2) Manfaat praktis,
bagi siswa adalah untuk meningkatkan
aktifitas siswa dan pemahaman terhadap mata
pelajaran PAI khususnya materi shalat jum’at,
bagi guru adalah sebagai bahan kajian dan
acuan untuk meningkat kualitas pembelajaran
dan pengembagan metode belajar yang
dikondiskan dengan siswa sekaligus
menambah kreatifitas, bagi peneliti merupakan
kegiatan ini sebagai salah satu kegiatan
pengembangan profesi yang akan diadakan
guru untuk memperoleh angka kredit melalui
tim penilai sebagai kenaikan pangkat satu
tingkat lebih tinggi, serta bagi sekolah adalah
sebagai masukan dan dapat dikembagkan
dalam pembelajaran pada mata pelajaran yang
lain.
METODA PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di kelas
VII-3 SMP Negeri 2 Banda Aceh tahun 2013,
penelitian ini dilaksanakan selama 4 minggu
atau 2 jam tatap muka dengan alokasi waktu 4
x 40 Menit. Semua umur siswa sama
sedangkan kecerdasan heterogen , Adapun
objek penelitian adalah dokumen
pembelajaran, dokumen nilai dan rekaman
kegiatan pembelajaran yan didokumentasikan
dalam bentuk foto-foto penelitian.
Indikator Kinerja
Adapun indikator yang diharapkan
pada penelitian ini adalah : terjadinya
peningkatan hasil belajar siswa dengan kriteria
sangat aktif dan aktif, kemudian pada
peningkatan belajar mengajar yang
diselenggrakan oleh guru dengan kriteria A
(bobot nilai 85- 100) , B (69-84 ) dan C (≥69).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada Siklus 1, diperoleh nilai rata-
rata siswa adalah 84 , siswa yang mencapai
nilai KKM 79 bertambah menjadi 19 siswa
atau 65 % dari 29 siswa dan yang belum
mencapai nilai ketuntasan adalah 35% atau 10
siswa . Adapun nilai tertinggi pada siklus 1
adalah 90 dan nilai terndah adalah 76, dengan
demikian terjadi peningkatan hasil belajar
pada siklus 1 yaitu 20%.
Sedangkan pada Siklus 2, diperoleh
nilai rata-rata siswa adalah 88. Siswa yang
mencapai nilai KKM 79 bertambah menjadi
26 siswa atau 95 % dari 29 siswa dan yang
belum mampu mencapai nilai ketuntasan
adalah 5 % atau 3 siswa. Adapun nilai
tertinggi pada siklus 2 adalah 90 dan yang
terendah 75. Dengan demikian terjadi
peningkatan hasil belajar pada siklus 2 yaitu
20%.
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa :
1. Melalui penerapan metode demonstrasi
dapat meningkatkan aktivitas belajar
dan proses pembelajaran PAI pada
materi shalat sunnah berjamaah pada
siswa kelas VII-3 SMP Negeri 2 Banda
Aceh.
2. Melalui penerapan metode demonstrasi
dapat meningkatkan hasil belajar PAI
pada siswa VII-3 SMP Negeri 2 Banda
Aceh tahun 2013.
3. Ketuntasan belajar materi shalat jum’at
dengan menggunakan metode
demonstarsi mencapai 85 % , Artinya
sesuai dengan target guru yaitu ≤ 80 %
1. Saran-saran
Adapun saran terhadap pelaksanaan
metode demonstrasi yaitu :
1. Hendaknya guru PAI lebih kreatif
dalam memilih metode pembelajaran
yang akan ditetapkan, karena metode
pembelajaran memberikan pengaruh
dalam mencapai tujuan yang
diharapkan.
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
31
Dra. Silmi T.Abdullah* adalah Guru SMP Negeri 2 Banda Aceh
2. Dalam pemilihan metode demonstrasi
hendakya guru juga
mempertimbangkan berbagai media
pembelajaran ya ng lain seperti
Pemutaran CD dan media belajar
lainnya.
Daftar Pustaka
Aminudin Rosyad , 2002, Metode
Pembelajarann Pendidikan Agama
Islam, Jakarta,Bumi Aksara
Anni, 2004 , Psikologi Belajar, , Semarang,
Unnes Press
Dimyati, 2006, Belajar dan Pembelajaran,
Jakarta, Rineka Cipta
Djamarah, 2006, Strategi Belajar Mengajar,
Jakarta, Rineka Cipta
Muhibbin Syah,2006, Psikologi Pendidikan
dengan Pendekatan Baru, Bandung,
Remaja Rosdakarya
Muazayyin Arifin,1987, Filsafat Pendidikan
Islam, Jakarta, Balai Aksara
Oemar Hamalik,2001, Proses Belajar
Mengajar, Jakarta, Rajawali
Sadirman, 2007, Interaksi dan Motivasi
Belajar Mengajar , Yogyakarta,UNY
Press
W.J.S Poerwadarmita,1976, Kamus Umum
Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai
Pustaka
Silmi T.Abdullah, Meningkatkan Hasil Belajar Pendidikan Agama Islam
32
Drs. Ruhadi, M.Pd* adalah Kepala SD.Negeri 14 Pango Raya Banda Aceh
PENERAPAN MODEL KOOPERATIF TIPE STAD UNTUK MENINGKATKAN
HASIL BELAJAR PADA MATERI SUMBER DAYA ALAM
DI KELAS IV SD NEGERI 14 BANDA ACEH
Oleh
Ruhadi*
Abstrak
Penelitian ini berjudul “Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD untuk
Meningkatkan Hasil Belajar pada Materi Sumber Daya Alam di Kelas IV SD Negeri 14
Banda Aceh”. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana aktivitas siswa
dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD pada materi sumber daya
alam dan bagaimana penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam
meningkatkan hasil belajar siswa pada materi sumber daya alam di kelas IV SD Negeri
14 Banda Aceh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas siswa dengan
penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD pada materi sumber daya alam di
kelas IV dan untuk mengetahui penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD
dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada materi sumber daya alam di kelas IV SD
Negeri 14 Banda Aceh. Metode penelitian dengan menggunakan pendekatan penelitian
kualitatif dan jenis penelitian menggunakan penelitian tindakan kelas. Subjek penelitian
ini adalah siswa di kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh yang berjumlah 20 orang yang
terdiri dari 8 laki-laki dan 12 perempuan. Teknik pengumpulan data dengan
menggunakan observasi dan tes. Hasil penelitian pada aktivitas siswa siklus I
memperoleh rata-rata 3,00 pada kategori cukup dan siklus II aktivitas siswa
memperoleh rata-rata 3,62 pada kategori baik. Hasil belajar siswa siklus I rata-rata
mencapai 64,00 ketuntasan belajar secara individu sebanyak 8 siswa dengan persentase
40%. Pada siklus II rata-rata hasil belajar mencapai 76,50 ketuntasan belajar secara
individu sebanyak 16 siswa dengan persentase 80%.
Kata kunci : model pembelajaran kooperatif tipe STAD, hasil belajar.
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)
merupakan salah satu mata pelajaran
diajarkan di sekolah, mulai dari jenjang
sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Hasil
pembelajaran IPA akan memberikan andil
yang penting dalam pencapaian tujuan
pendidikan secara umum, yaitu membentuk
manusia yang mampu berpikir cermat,
sistematis, dan terbuka dalam menghadapi
berbagai permasalahan. Salah satu masalah
yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia
adalah rendahnya mutu pendidikan
dikarenakan masih lemahnya proses
pembelajaran.
Tujuan pembelajaran IPA di SD
memberikan latihan berpikir siswa secara
kritis. Penerapan pembelajaran IPA di
sekolah dasar diajarkan melalui percobaan-
percobaan yang dilakukan oleh siswa sendiri
tanpa bantuan guru. Proses pembelajaran IPA
lebih ditekankan pada keterampilan proses,
hingga siswa dapat menemukan fakta-fakta,
membangun konsep-konsep, teori-teori, dan
sikap ilmiah siswa itu sendiri yang pada
akhirnya dapat berpengaruh positif terhadap
kualitas proses pendidikan maupun produk
pendidikan. Menurut Wahyana (dalam
Trianto, 2010:136) “pembelajaran IPA adalah
suatu kumpulan pengetahuan yang tersusun
secara sistematik dan dalam penggunaannya
secara umum, terbatas pada gejala-gejala
alam”.
Hasil observasi awal di kelas IV di
SD Negeri 14 Banda Aceh, aktivitas siswa
pada saat pembelajaran IPA tidak efektif,
masih banyak ditemukan siswa yang kurang
memahami materi yang diajarkan dan kurang
mampu menjawab soal-soal yang diberikan
oleh guru, pada akhirnya nanti akan
mempengaruhi hasil belajar siswa pada
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
33
Drs. Ruhadi, M.Pd* adalah Kepala SD.Negeri 14 Pango Raya Banda Aceh
umumnya. Nilai yang diperoleh siswa dari
setiap evaluasi rata-rata berkisar antara 61
sampai dengan 65. Hal ini dapat dilihat dari
hasil belajar IPA di akhir semester, masih ada
siswa yang memperoleh nilai di bawah
Kriteria Ketuntasan Kinimal (KKM) secara
individual sebesar 65 yang ditetapkan di SD
Negeri 14 Banda Aceh.
Melihat kondisi tersebut guru
mempunyai tugas untuk mengupayakan model
pembelajaran yang tepat untuk mengatasinya.
Oleh karena itu, peneliti ingin menerapkan
model pembelajaran kooperatif tipe STAD.
Pembelajaran IPA dengan menggunakan
model pembelajaran kooperatif tipe STAD
menurut Slavin (dalam Rusman, 2011:214)
gagasan utama kooperatif tipe STAD adalah
“memacu siswa agar saling mendorong dan
membantu satu sama lain untuk menguasai
keterampilan yang diajarkan guru”.
Menurut pengamatan peneliti
selama observasi awal, penerapan model
pembelajaran kooperatif tipe STAD jarang
digunakan oleh guru di SD Negeri 14 Banda
Aceh, maka peneliti mencoba melakukan
penelitian untuk mengetahui lebih lanjut
terhadap penerapan model pembelajaran
kooperatif tipe STAD dalam meningkatkan
hasil belajar siswa di SD Negeri 14 Banda
Aceh di kelas IV pada sumber daya alam.
Berdasarkan latar belakang
masalah di atas rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah (1) Bagaimana aktivitas
siswa dengan penerapan model pembelajaran
kooperatif tipe STAD pada materi sumber
daya alam di kelas IV SD Negeri 14 Banda
Aceh?; dan (2) Bagaimana penerapan model
pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam
meningkatkan hasil belajar siswa pada materi
sumber daya alam di kelas IV SD Negeri 14
Banda Aceh?
Berdasarkan rumusan masalah di
atas yang menjadi tujuan dalam penelitian
ini adalah (1) Untuk mengetahui aktivitas
siswa dengan penerapan model pembelajaran
kooperatif tipe STAD pada materi sumber
daya alam di kelas IV SD Negeri 14 Banda
Aceh; dan (2) Untuk mengetahui penerapan
model pembelajaran kooperatif tipe STAD
dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada
materi sumber daya alam di kelas IV SD
Negeri 14 Banda Aceh
Hasil penelitian ini diharapkan
dapat bermanfaat untuk kepentingan sebagai
berikut.
1. Bagi siswa hasil penelitian ini bermanfaat
meningkatkan aktivitas siswa dengan
penerapan model pembelajaran kooperatif
tipe STAD pada materi sumber daya alam
di kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh.
2. Bagi siswa hasil penelitian ini
bermanfaat untuk meningkatkan hasil
belajar siswa dalam proses pembelajaran
IPA.
3. Bagi guru hasil penelitian ini bermanfaat
sebagai memberikan informasi yang
berguna bagi guru kelas dalam memilih
model pembelajaran yang tepat dalam
menerapkan dan meningkatkan proses
kegiatan belajar mengajar.
4. Bagi sekolah hasil penelitian ini
menjadi wawasan berguna tentang model
pembelajaran yang inovatif dan efektif
sehingga tidak terpaku pada satu model
pembelajaran saja.
5. Bagi peneliti pengalaman dalam
melaksanakan penelitian ini dapat
melath diri mengembangkan keterampilan
mengajar di sekolah dan peningkatan
mutu pembelajaran di sekolah dasar dalam
Penelitian Tindakan Kelas (PTK).
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hakikat Pembelajaran IPA
Hakikat pembelajaran IPA
dibangun atas dasar produk ilmiah, proses
ilmiah, dan sikap ilmiah. Selain itu,
menurut Marsetio (dalam Trianto, 2010:137)
mengatakan “IPA dipandang sebagai proses,
sebagai produk, dan sebagai prosedur”. Oleh
karena itu, secara umum IPA dipahami sebagai
ilmu kealaman, yaitu ilmu tentang dunia zat
baik makhluk hidup maupun benda mati yang
diamati.
Secara umum IPA dipahami
sebagai ilmu yang lahir dan berkembang lewat
langkah-langkah observasi, perumusan
masalah, menyusun hipotesis, pengujian
hipotesis melalui eksperimen, penarikan
kesimpulan, serta penemuan teori dan konsep.
B. Keterampilan Proses Pembelajaran IPA
Model pembelajaran IPA yang
dikembangkan berdasarkan pandangan
konstruktivisme ini memperhatikan dan
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
34
Drs. Ruhadi, M.Pd* adalah Kepala SD.Negeri 14 Pango Raya Banda Aceh
mempertimbangkan pengetahuan awal siswa
yang mungkin diperoleh di luar sekolah. Agar
pengetahuan siswa diperoleh di luar sekolah
dipertimbangkan sebagai pengetahuan awal
siswa dalam sasaran pembelajaran, karena
sangat mungkin terjadi miskonsepsi.
Sebaliknya apabila guru tidak mempedulikan
konsepsi atau pengetahuan awal siswa, besar
kemungkinan kiskonsepsi yang terjadi akan
semakin kompleks.
Menurut pandangan
konstruktivisme dalam proses pembelajaran
IPA seyogianya disediakan serangkaian
berupa kegiatan nyata yang rasional atau
dapat dimengerti siswa dan memungkinkan
terjadinya interaksi secara langsung dengan
kegiatan nyata. Menurut Wahyana (dalam
Trianto, 2010:136) mengatakan bahwa “IPA
adalah suatu kumpulan pengetahuan tersusun
secara sistematik dan dalam penggunaannya
secara umum, terbatas pada gejala-gejala
alam”.
Dengan demikian, proses belajar
mengajar pembelajaran IPA lebih ditekankan
pada keterampilan proses, hingga siswa dapat
menemukan fakta-fakta, membangun konsep-
konsep, teori-teori, dan sikap ilmiah siswa itu
sendiri yang pada akhirnya dapat berpengaruh
positif terhadap kualitas proses pendidikan
maupun produk pendidikan.
C. Tujuan Pembelajaran IPA di SD
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)
merupakan hasil kegiatan manusia berupa
pengetahuan, gagasan, dan konsep yang
terorganisasi tentang alam sekitar, yang
diperoleh dari pengalaman melalui
serangkaian proses ilmiah. Mata pelajaran IPA
berfungsi untuk memberikan pengetahuan
tentang lingkungan alam, pengembangan
keterampilan, wawasan, dan kesadaran
tehnologi dalam kaitannya dengan
pemanfaatan bagi kehidupan sehari.
Di samping itu, diperlukan juga
kemampuan mengadakan pengamatan secara
teliti, menggunakan prinsip, menyelesaikan
percobaan sederhana, menyusun data, dan
mengemukakan dugaan. Menurut Tim
Pengajar IPA PGSD (2007:1) mengatakan
“ilmu pengetahuan alam adalah penyelidikan
yang terorganisir untuk mencari pola atau
keteraturan dalam alam”.
D. Model Pembelajaran Kooperatif
Manusia adalah makhluk individual
yang berbeda satu sama lain. Karena sifatnya
yang individual, manusia yang satu
membutuhkan manusia yang lainnya
sehingga sebagai konsekuensi logisnya
manusia harus menjadi makhluk sosial,
makhluk yang berinteraksi dengan
sesamanya. Model pembelajaran kooperatif
merupakan interaksi yang saling mengasihi
antar sesama siswa. Menurut Suprijono
(2010:54) “model pembelajaran kooperatif
adalah konsep yang luas meliputi semua jenis
kerja kelompok termasuk bentuk-bentuk yang
lebih dipimpin oleh guru atau diarahkan oleh
guru”.
Model pembelajaran kooperatif
merupakan model pembelajaran di dalam kelas
sehingga yang terjadi interaksi antara guru dan
siswa, siswa dan siswa. Dengan model ini
tidak ada lagi kelas yang sunyi selama
proses pembelajaran. Para siswa aktif, kreatif,
dan menyenangkan dalam menuntaskan
materi pelajaran, sehingga proses
pembelajaran efektif untuk mencapai
tujuannya. Meskipun berbagai prinsip model
pembelajaran kooperatif tidak berubah,
ada empat model pembelajaran kooperatif
yang bisa digunakan oleh guru Model
pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk
mencapai hasil belajar siswa berupa prestasi
belajar, toleransi, menerima keragaman, dan
pengembangan keterampilan sosial.
Sedangkan menurut Lie (dalam Suprijono,
2010:56) “model pembelajaran kooperatif
didasarkan pada falsafat homo homini sicius”.
Untuk mencapai hasil belajar penerapan model
pembelajaran kooperatif menuntut untuk
bekerja sama dan interdependensi siswa dalam
struktur tugas, struktur tujuan, dan struktur
rewardnya. Struktur tugas berhubungan
bagaimana tugas yang diorganisir di dalam
proses pembelajaran.
Model pembelajaran kooperatif
muncul dari konsep bahwa siswa akan
mudah menemukan dan memahami konsep
yang sulit jika siswa saling berdiskusi
dengan temannya. Siswa secara rutin bekerja
dalam kelompok untuk saling membantu
memecahkan masalah-masalah yang
kompleks. Jadi, hakikat sosial dan
penggunaan kelompok sejawat menjadi aspek
utama dalam pembelajaran kooperatif.
Menurut Suprijono (2010:58) untuk mencapai
Ruhadi, Penerapan Model Kooperatif Tipe STAD Untuk Meningkatkan Hasil Belajar
35
Drs. Ruhadi, M.Pd* adalah Kepala SD.Negeri 14 Pango Raya Banda Aceh
hasil yang maksimal, ada lima unsur dalam
model pembelajaran kooperatif yang harus
diterapkan, 5 (lima) unsur tersebut adalah
sebagai berikut: “(1) positive interdependence
(saling ketergantungan positif), (2) personal
responsibility (tanggung jawab perseorangan),
(3) pace to face promotive interaction
(interaksi promotif), (4) interpersonal skill
(komunikasi antar anggota), dan (5) group
processing (pemprosesan kelompok)”.
Berdasarkan pendapat di atas,
model pembelajaran kooperatif merupakan
model pembelajaran yang memungkinkan
kerja sama antar sesama siswa dalam
kelompok guna memahami suatu materi dan
siswa bertanggung jawab tidak hanya dirinya
sendirinya melainkan setiap anggota kelompok
bertanggung jawab untuk menguasai materi
yang diberikan oleh guru di dalam proses
pembelajaran
Model pembelajaran kooperatif
memanfaatkan kecenderungan siswa untuk
saling berinteraksi antar sesama siswa.
Sejumlah penelitian dalam setting kelas, siswa
lebih banyak belajar dari satu teman ke
teman lainnya antara sesama siswa bila
dibandingkan dengan belajar dari guru. Model
pembelajaran kooperatif sangat
menguntungkan baik bagi siswa yang
berkemampuan tinggi maupun yang rendah
untuk saling membantu di dalam proses
pembelajaran di dalam kelas.
E. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe
STAD
Model pembelajaran kooperatif tipe
STAD para siswa di bagi menjadi beberapa
tim belajar secara heterogen beranggotakan
empat sampai lima orang. Materi yang
disajikan kepada siswa berbentuk tes dan
setiap siswa bertanggung jawab atas
penguasaan materi yang diberikan oleh guru
dan bekerja sama dalam tim belajar. STAD
adalah singkatan dari Student Team
Achiements Division. Model pembelajaran
kooperatif tipe STAD merupakan suatu
proses kegiatan pembelajaran di kelas yang
menempatkan siswa belajar dalam kelompok
yang beranggotakan 4 sampai 5 orang siswa
secara heterogen serta menekankan kerja sama
dan tanggung jawab kelompok untuk
mencapai tujuan yang diinginkan.
Menurut Slavin (dalam Istarani,
2011:19) “menyatakan bahwa pada model
pembelajaran ini siswa ditempatkan dalam tim
belajar beranggotakan 4-5 orang yang
merupakan campuran menurut tingkat prestasi,
jenis kelamin, dan suku”.
Dalam model pembelajaran
kooperatif tipe STAD para siswa dibagi
menjadi beberapa tim belajar secara heterogen
yang beranggotakan empat sampai lima
orang siswa. Materi yang disajikan
kepada siswa berbentuk tes dan setiap
siswa bertanggung jawab atas penguasaan
materi yang diberikan. Siswa tidak hanya
mempelajari materi yang diberikan, tetapi juga
harus siap memberikan dan mengajarkan
materi tersebut pada anggota kelompoknya.
Dengan demikian, siswa saling ketergantungan
satu dengan yang lain dan harus bekerja sama
secara kooperatif untuk mempelajari materi
yang ditugaskan.
Selama bekerja dalam kelompok,
tugas anggota kelompok adalah mencapai
ketuntasan materi yang disajikan guru dan
saling membantu di antara teman
sekelompoknya untuk mencapai ketuntasan
materi. Jadi, setiap anggota kelompok
memiliki tanggung-jawab yang sama untuk
keberhasilan kelompoknya.
F. Langkah-langkah Model Pembelajaran
Kooperatif Tipe STAD Menurut Slavin (dalam Istarani,
2011:19) memaparkan gagasan utama model
pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah
“memacu siswa agar saling mendorong dan
membantu satu sama lain untuk menguasai
keterampilan yang diajarkan guru”. Adapun
langkah-langkah model pembelajaran
kooperatif tipe STAD menurut Istarani
(2011:20) adalah sebagai berikut.
1. Membentuk kelompok yang
beranggotakan ± 4 (empat) orang
secara heterogen (prestasi, jenis
kelamin, suku, dll).
2. Guru menyajikan pelajaran.
3. Guru memberi tugas kepada kelompok
untuk dikerjakan oleh anggota anggota-
anggota kelompok.
4. Guru memberi kuis/pertanyaan kepada
seluruh siswa. Pada saat menjawab kuis
tidak boleh saling membantu.
5. Memberi evaluasi.
6. Kesimpulan.
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
36
Drs. Ruhadi, M.Pd* adalah Kepala SD.Negeri 14 Pango Raya Banda Aceh
G. Sumber Daya Alam
Sumber daya alam meliputi
tumbuhan, hewan, dan bahan alam tidak
hidup. Berbagai bagian tumbuhan dibuat
menjadi bahan pangan, bahan sandang,
peralatan rumah tangga, serta produk
kesehatan, dan perawatan tubuh. Berbagai
bagian hewan dibuat menjadi bahan pangan,
bahan sandang, serta produk kesehatan. Bahan
alam tidak hidup yang banyak dimanfaatkan
antara lain tanah, batuan, dan bahan tambang.
1. Sumber daya alam yang dapat
diperbaharui
Sumber daya alam yang dapat
diperbaharui adalah SDA tetap tersedia
walaupun terus menerus dipakai. SDA seperti
ini dapat diusahakan agar selalu tersedia,
tumbuhan, hewan, tanah, udara merupakan
SDA yang dapat diperbaharui akan tetapi
meskipun SDA tersebut dapat diperbaharui
hendaknya manusia dapat berhati-hati dalam
penggunaanya. SDA harus digunakan dengan
baik, jika tidak demikian dikhawatirkan
generasi mendatang akan kehabisan SDA.
Untuk menjaga agar SDA ini tidak rusak,
maka diperlukan usaha untuk melestarikannya,
usaha yang perlu kita lakukan antara lain:
a. Usaha pelestarian tanah
Tanah merupakan tempat
berlangsungnya kehidupan makhluk hidup,
tanah juga merupakan tempat sumber bahan
makanan bagi semua makhluk hidup. Oleh
karena itu, pelestarian tanah harus kita jaga.
Pelestarian tanah dapat dilakukan dengan cara
berikut ini.
b. Melakukan penghijauan
Penghijauan adalah menanami
tanah yang sudah gundul dengan pepohonan
sehingga menjadi daerah yang hijau.
Penghijauan akan memperbaiki susunan tanah.
penghijauan juga dilakukan untuk
mendapatkan udara yang sejuk,pemandangan
yang menyegarkan,selian itu penghijauan
dikota dapat mengurangi polusi udara.
2. Sumber daya alam yang tidak dapat
diperbaharui
Sumber daya alam yang tidak dapat
diperbaharui adalah SDA yang akan habis
terpakai karena manusia tidak membuat atau
memperbanyak sumber daya alam itu. Sumber
dara alam yang tidak dapat diperbaharui
meliputi semua barang tambang contohnya.
a. Batu bara
Batu bara terjadi akibat
pembusukan penimbunan sisa tumbuhan
selama ribuan bahkan jutaan tahun, batu bara
merupakan bahan bakar yang penting, dahulu
batu bara hanya digunakan sebagai bahan
bakar otomotif saja. Sekarang batu bara telah
banyak digunakan di pabrik-pabrik besar dan
rumah penduduk.
b. Minyak bumi
Setiap hari kebanyakan orang
menggunakan minyak bumi seperti bensin,
untuk bahan dasar kendaraan dan minyak
tanah untuk kompor dan lampu. Dari
penyulingan minyak bumi akan dihasilkan
bahan sebagai berikut bensin untuk bahan
bakar kendaraan bermotor, kerosin minyak
tanah. untuk bahan bakar kompor, vaselin
untuk kosmeti,campuran salep dan obat-
obatan, parafin untuk bahan pembuatan lilin,
solar untuk bahan bakar kendaraan
diesel/mesin berat, oli untuk pelicin gigi roda,
dan aspal : untuk bahan pengeras jalan raya.
Timah ada dua jenis, yaitu timah
hitam dan putih: timah hitam sering digunakan
sebagai campuran logam lain, timah putih
digunakan untuk melapisi logam lain agar
tidak berkarat.
H. Hasil Belajar Hasil belajar digunakan oleh guru
untuk mengetahui dan mengukur tingkat
pencapaian kompetensi siswa, serta
digunakan sebagai bahan penyusunan laporan
kemajuan prestasi belajar siswa dan untuk
memperbaiki proses pembelajaran.
Pengolahan hasil belajar merupakan bagian
yang sangat erat di mana prestasi belajar
akan tercemin dan diaplikasikan ke dalam
berbagai kegiatan pengembangan
pembelajaran. Menurut Sudjana (2009:22)
“hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan
yang dimiliki siswa setelah ia menerima
pengalaman belajarnya”.
Hasil belajar yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh
mana peningkatan hasil belajar siswa selama
penelitian berlangsung dengan penerapan
model pembelajaran kooperatif tipe STAD di
dalam proses pembelajaran pada materi
sumber daya alam.
Ruhadi, Penerapan Model Kooperatif Tipe STAD Untuk Meningkatkan Hasil Belajar
37
Drs. Ruhadi, M.Pd* adalah Kepala SD.Negeri 14 Pango Raya Banda Aceh
METODA PENELITIAN
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif. Jenis penelitian yang digunakan
adalah jenis penelitian tindakan kelas.
Penelitian tindakan kelas dalam bahasa Inggris
dikenal sebagai Classroom Action Research
(CAR), yaitu sebuah penelitian yang dilakukan
di dalam kelas. Menurut Rochiati (2008:56)
“penelitian tindakan kelas adalah penelitian
yang dilakukan oleh guru dikelasnya sendiri
melalui refleksi diri dengan tujuan
memperbaiki kinerja sehingga hasil belajar
siswa meningkat”.
Penelitian tindakan kelas (PTK)
merupakan salah satu perspektif baru dalam
penelitian yang mencoba menjembatani antara
praktik dan teori dalam pendidikan. PTK
dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan
hasil belajar siswa dengan penerapan model
pembelajaran kooperatif tipe STAD pada
materi sumber daya alam di kelas IV SD
Negeri 14 Banda Aceh. Secara garis besar
terdapat empat tahapan yang lazim dilalui
pada setiap siklus, yaitu (a) perencanaan
tindakan, (b) pelaksanaan tindakan, (c)
observasi, dan (d) refleksi.
Dalam penelitian ini direncanakan
dalam 2 (dua) siklus. Secara garis besar
terdapat empat tahap yang harus dilalui dari
setiap siklus, yaitu perencanaan tindakan,
pelaksanaan tindakan, observasi, dan refleksi.
Data yang dikumpulkan berupa data
pengamatan di lapangan. Sedangkan untuk
lebih jelasnya rancangan penelitian ini
peneliti menuangkannya dalam bentuk siklus
kegiatan dengan desain PTK.
B. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kelas
IV SD Negeri 14 Banda Aceh yang beralamat
di jalan Utama Pango Raya Kecamatan Ulee
Kareng Kota Banda Aceh.
C. Subjek Penelitian
Menurut Arikunto (2010:172)
“subjek penelitian adalah sumber data dalam
penelitian”. Subjek penelitian ini adalah siswa
kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh yang
berjumlah 20 orang yang terdiri dari 8 laki-laki
dan 12 perempuan.
D. Rancangan Penelitian
Adapun rancangan penelitian
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Perencanaan Tindakan
a. Menyampaikan tujuan dan
memotivasi siswa.
b. Menyusun Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP) tentang materi sumber
daya alam.
c. Mempersiapkan alat dan
perlengkapan.
d. Menyusun instrumen penelitian,
yaitu lembar observasi.
Observasi digunakan untuk
mengukur ataupun proses
kegiatan yang dapat diamati,
dalam proses pembelajaran.
Observasi dilakukan oleh peneliti
dan guru kelas selama
pelaksanaan tindakan.
2. Pelaksanaan Tindakan
Pelaksanaan kegiatan belajar
mengajar sesuai dengan judul penelitian
tentang penerapan model pembelajaran
kooperatif tipe STAD pada materi sumber
daya alam di kelas IV SD Negeri 14 Banda
Aceh. Dengan melaksanakan kegiatan
pembelajaran sesuai dalam RPP yang
dilaksanakan dalam kegiatan awal, kegiatan
inti, dan kegiatan akhir.
3. Observasi
Tahap observasi merupakan
kegiatan pengamatan terhadap jalannya proses
pembelajaran. Pengamatan dilakukan oleh 1
(satu) observer dengan menceklist lembar
aktivitas siswa yang disediakan peneliti, yang
menjadi observer dalam penelitian ini, yaitu
guru kelas. Tugas observer (pengamat)
merupakan hal penting dalam pembelajaran
dan berguna untuk mengetahui sejauh mana
penerapan model pembelajaran kooperatif tipe
STAD dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
Semua kegiatan yang diamati dicatat untuk
dijadikan bahan perbaikan dalam
pembelajaran siklus selanjutnya.
4. Refleksi
Refleksi merupakan kegiatan
melihat kembali proses dan hasil tindakan
yang dilakukan dari hasil pengamatan.
Kegiatan refleksi dilakukan oleh peneliti dan
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
38
Drs. Ruhadi, M.Pd* adalah Kepala SD.Negeri 14 Pango Raya Banda Aceh
observer. Kegiatan ini bertujuan untuk
mengkaji apa yang telah terjadi dan apa yang
akan dilakukan dalam proses pembelajaran.
Hasil dari refleksi dirangkum untuk
dilanjutkan keperbaikan siklus berikutnya.
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan dalam
penelitian ini adalah.
1. Observasi dilakukan terhadap siswa
yang difokuskan pada aktivitas
kelompok maupun individu pada saat
pembelajaran berlangsung. Menurut
Arikunto (2009:35) kriteria penilaian
aktivitas siswa dengan memberi tanda
checklist pada lembar observasi sesuai
dengan kriteria skor 1 = kurang sekali,
skor 2 = kurang, skor 3 = cukup, skor
4 = baik, skor 5 = baik sekali.
2. Hasil belajar siswa digunakan untuk
melihat peningkatan hasil belajar
siswa, dari setiap siklusnya setelah
diadakan tindakan.
F. Teknik Analisis Data
Setelah data terkumpul secara
keseluruhan, tahap selanjutnya adalah
mengolah data. Tahap ini merupakan
tahap yang sangat penting karena pada
tahap inilah hasil penelitian dirumuskan.
Analisis data dinilai melalui tes yang dianalisis
dengan menggunakan statistika sederhana
dengan hasil persentase. Tes diberikan setiap
akhir pembelajaran. Menurut Sudjana
(2009:131) persentase dari setiap tes
dihitung dengan menggunakan rumus sebagai
berikut.
f
P = x 100%
N
Keterangan :
P = Persentase ketuntasan
f = Frekuensi
N = Jumlah subjek
100% = Bilangan konstanta tetap
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis hasil penelitian dengan
menggunakan data deskriptif, yaitu persentase
untuk tujuan penelitian yang telah dirumuskan
sebelumnya. Berikut ini akan diuraikan data
hasil penelitian.
A. Siklus I
1. Perencanaan tindakan
peneliti ini akan menguraikan dan
membahas hasil yang diperoleh dari penelitian
yang dilaksanakan di SD Negeri 14 Banda
Aceh. Pada tahap perencanaan tindakan,
peneliti menerapkan model pembelajaran
kooperatif tipe STAD dalam meningkatkan
hasil belajar siswa pada materi sumber daya
alam di kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh.
Pada tahap perencanaan tindakan, peneliti
menyusun RPP siklus I sesuai dengan materi
pelajaran yang akan diajarkan, yaitu dengan
penerapan model pembelajaran kooperatif tipe
STAD pada materi sumber daya alam di kelas
IV SD Negeri 14 Banda Aceh. Peneliti juga
menyiapkan lembar kerja siswa (LKS), media
pembelajaran, lembar observasi aktivitas
siswa, dan lembar evaluasi.
2. Pelaksanaan tindakan
Dalam pelaksanaan tindakan pada
siklus I materi yang diajarkan adalah materi
sumber daya alam seperti yang tertera dalam
RPP siklus I. Pelaksanaan tindakan siklus I
dilakukan pada tanggal 15 Mei 2014 dengan
alokasi waktu 2 x 35 menit. Pelaksanaan
tindakan dilakukan dengan penerapan model
pembelajaran kooperatif tipe STAD yang
diikuti siswa sebanyak 20 orang siswa.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
penerapan model pembelajaran kooperatif tipe
STAD dalam meningkatkan hasil belajar siswa
pada materi sumber daya alam di kelas IV SD
Negeri 14 Banda Aceh. Adapun pelaksanaan
tindakan siklus I penulis melaksanakan
penelitian dengan mengikuti langkah-langkah
di dalam RPP, adapun kegiatan yang
dilakukan sesuai dengan kegiatan awal,
kegiatan inti, dan kegiatan akhir.
3. Observasi
a. Tingkat Aktivitas Siswa (TAS)
Untuk menilai kriteria aktivitas
siswa sesuai dengan kriteria penilaian yang
ditentukan oleh peneliti. Menurut Arikunto
(2009:35) kriteria penilaian aktivitas siswa
dengan memberi tanda checklist pada lembar
observasi sesuai dengan kriteria skor 1 =
kurang sekali, skor 2 = kurang, skor 3 =
cukup, skor 4 = baik, skor 5 = baik sekali.
Ruhadi, Penerapan Model Kooperatif Tipe STAD Untuk Meningkatkan Hasil Belajar
39
Drs. Ruhadi, M.Pd* adalah Kepala SD.Negeri 14 Pango Raya Banda Aceh
Aktivitas siswa selama proses pembelajaran
dengan penerapan model pembelajaran
kooperatif tipe STAD dalam meningkatkan
hasil belajar siswa pada materi sumber daya
alam di kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh
pada siklus I belum optimal. Hal ini terlihat
dari hasil pengamatan yang dilakukan oleh
peneliti selama siklus I yang dilakukan di
kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh.
Menunjukkan bahwa rata-rata
Tingkat Aktivitas Siswa (TAS) pada siklus I
memperoleh rata-rata 3,00 yang menunjukkan
bahwa skor tingkat aktivitas siswa dengan
penerapan model pembelajaran kooperatif tipe
STAD pada materi sumber daya alam di kelas
IV SD Negeri 14 Banda Aceh pada kategori
cukup. Oleh karena itu, aktivitas siswa pada
siklus I masih belum efektif dan perlu
dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap
proses pembelajaran pada siklus selanjutnya.
b. Hasil belajar siswa
Penilaian hasil belajar siswa
dilakukan setelah pembelajaran selesai pada
siklus I diperoleh melalui tes hasil belajar.
Dari tes hasil belajar yang diberikan kepada
seluruh siswa kelas IV SD Negeri 14 Banda
Aceh diketahui hasil belajar siswa selama
mengikuti pembelajaran dengan penerapan
model pembelajaran kooperatif tipe STAD
pada materi sumber daya alam di kelas IV SD
Negeri 14 Banda Aceh pada siklus I
Dari hasil belajar siswa setelah
penerapan model pembelajaran kooperatif tipe
STAD pada materi sumber daya alam di kelas
IV SD Negeri 14 Banda Aceh seperti pada
tabel di atas, berdasarkan nilai KKM yang
telah ditetapkan oleh SD Negeri 14 Banda
Aceh, yaitu minimal 65 pada materi sumber
daya alam di kelas IV SD Negeri 14 Banda
Aceh menunjukkan rata-rata hasil belajar
siswa mencapai 64,00. Menunjukkan jumlah
siswa yang mencapai ketuntasan belajar secara
individu sebanyak 8 orang siswa dari 20 siswa
sebesar 40%, sedangkan 12 orang siswa dari
20 siswa sebesar 60% lainnya belum mencapai
ketuntasan belajar secara individu. Oleh
karena itu, persentase ketuntasan belajar
siswa masih berada di bawah nilai yang
ditetapkan sebesar 65, maka hasil belajar siswa
pada materi sumber daya alam di kelas IV SD
Negeri 14 Banda Aceh pada siklus I belum
mencapai ketuntasan belajar secara klasikal.
4. Refleksi
Berdasarkan hasil analisis aktivitas
siswa dan hasil belajar siswa selama siklus I,
dapat disimpulkan hasil refleksi terhadap
peristiwa-peristiwa selama pelaksanaan siklus
I, yaitu sebagai berikut.
a. Tingkat Aktivitas Siswa (TAS) pada
siklus I memperoleh rata-rata 3,00 yang
menunjukkan bahwa skor tingkat
aktivitas siswa dengan penerapan model
pembelajaran kooperatif tipe STAD
pada materi sumber daya alam di kelas
IV SD Negeri 14 Banda Aceh pada
kategori cukup. Oleh karena itu,
aktivitas siswa pada siklus I masih
belum efektif dan perlu dilakukan
perbaikan-perbaikan terhadap proses
pembelajaran pada siklus selanjutnya.
b. Rata-rata hasil belajar siswa mencapai
64,00. Menunjukkan jumlah siswa yang
mencapai ketuntasan belajar secara
individu sebanyak 8 orang siswa dari 20
siswa sebesar 40%, sedangkan 12 orang
siswa dari 20 siswa sebesar 60%
lainnya belum mencapai ketuntasan
belajar secara individu. Oleh karena
itu, persentase ketuntasan belajar
siswa masih berada di bawah nilai
yang ditetapkan sebesar 65, maka hasil
belajar siswa pada materi sumber daya
alam di kelas IV SD Negeri 14 Banda
Aceh pada siklus I belum mencapai
ketuntasan belajar secara klasikal.
c. Hasil refleksi pada siklus I
menunjukkan kekurangan pada proses
pembelajaran yang dilakukan pada
siklus I pada aktivitas siswa dan hasil
belajar siswa belum mencapai nilai
KKM yang ditetapkan oleh SD
Negeri 14 Banda Aceh. Oleh karena itu,
penulis masih perlu memperbaiki dan
memperhatikan pelaksanaan
pembelajaran pada siklus II.
B. Siklus II
1. Perencanaan tindakan
Peneliti akan menguraikan dan
membahas hasil yang diperoleh dari penelitian
yang dilaksanakan di SD Negeri 14 Banda
Aceh. Pada tahap perencanaan tindakan,
peneliti menerapkan model pembelajaran
kooperatif tipe STAD dalam meningkatkan
hasil belajar siswa pada materi sumber daya
alam di kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh.
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
40
Drs. Ruhadi, M.Pd* adalah Kepala SD.Negeri 14 Pango Raya Banda Aceh
Pada tahap perencanaan tindakan, peneliti
menyusun RPP siklus II sesuai dengan materi
pelajaran yang akan diajarkan, yaitu dengan
penerapan model pembelajaran kooperatif tipe
STAD pada materi sumber daya alam di kelas
IV SD Negeri 14 Banda Aceh. Peneliti juga
menyiapkan lembar kerja siswa (LKS), media
pembelajaran, lembar observasi aktivitas
siswa, dan lembar evaluasi.
2. Pelaksanaan tindakan
Dalam pelaksanaan tindakan pada
siklus II materi yang diajarkan adalah materi
sumber daya alam seperti yang tertera dalam
RPP siklus II. Pelaksanaan tindakan siklus II
dilakukan pada tanggal 22 Mei 2014 dengan
alokasi waktu 2 x 35 menit. Pelaksanaan
tindakan dilakukan dengan penerapan model
pembelajaran kooperatif tipe STAD yang
diikuti siswa sebanyak 20 orang siswa.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
penerapan model pembelajaran kooperatif tipe
STAD dalam meningkatkan hasil belajar siswa
pada materi sumber daya alam di kelas IV SD
Negeri 14 Banda Aceh. Adapun
pelaksanaan tindakan siklus II penulis
melaksanakan penelitian dengan mengikuti
langkah-langkah di dalam RPP, adapun
kegiatan yang dilakukan sesuai dengan
kegiatan awal, kegiatan inti, dan kegiatan
akhir.
3. Observasi
a. Tingkat Aktivitas Siswa (TAS)
Untuk menilai kriteria aktivitas
siswa sesuai dengan kriteria penilaian yang
ditentukan oleh peneliti. Menurut Arikunto
(2009:35) kriteria penilaian aktivitas siswa
dengan memberi tanda checklist pada lembar
observasi sesuai dengan kriteria skor 1 =
kurang sekali, skor 2 = kurang, skor 3 =
cukup, skor 4 = baik, skor 5 = baik sekali.
Aktivitas siswa selama proses pembelajaran
dengan penerapan model pembelajaran
kooperatif tipe STAD dalam meningkatkan
hasil belajar siswa pada materi sumber daya
alam di kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh
pada siklus II sudah optimal. Hal ini terlihat
dari hasil pengamatan yang dilakukan oleh
peneliti selama siklus II yang dilakukan di
kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh.
Menunjukkan bahwa rata-rata
Tingkat Aktivitas Siswa (TAS) pada siklus II
memperoleh rata-rata 3,62 yang menunjukkan
bahwa skor tingkat aktivitas siswa dengan
penerapan model pembelajaran kooperatif tipe
STAD pada materi sumber daya alam di kelas
IV SD Negeri 14 Banda Aceh pada kategori
baik. Oleh karena itu, aktivitas siswa pada
siklus II sudah efektif.
b. Hasil belajar siswa
Penilaian hasil belajar siswa
dilakukan setelah pembelajaran selesai pada
siklus II diperoleh melalui tes hasil belajar.
Dari tes hasil belajar yang diberikan kepada
seluruh siswa kelas IV SD Negeri 14 Banda
Aceh diketahui hasil belajar siswa selama
mengikuti pembelajaran dengan penerapan
model pembelajaran kooperatif tipe STAD
pada materi sumber daya alam di kelas IV SD
Negeri 14 Banda Aceh pada siklus II.
Dari hasil belajar siswa setelah
penerapan model pembelajaran kooperatif tipe
STAD pada materi sumber daya alam di kelas
IV SD Negeri 14 Banda Aceh, berdasarkan
nilai KKM yang telah ditetapkan oleh SD
Negeri 14 Banda Aceh, yaitu minimal 65 pada
materi sumber daya alam di kelas IV SD
Negeri 14 Banda Aceh menunjukkan rata-rata
hasil belajar siswa mencapai 76,50.
Menunjukkan jumlah siswa yang mencapai
ketuntasan belajar secara individu sebanyak 16
orang siswa dari 20 siswa sebesar 80%,
sedangkan 4 orang siswa dari 20 siswa sebesar
20% lainnya belum mencapai ketuntasan
belajar secara individu. Oleh karena itu,
persentase ketuntasan belajar siswa berada di
atas nilai yang ditetapkan sebesar 65, maka
hasil belajar siswa pada materi sumber daya
alam di kelas IV SD Negeri 14 Banda Aceh
pada siklus II mencapai ketuntasan belajar
secara klasikal.
4. Refleksi
Berdasarkan hasil analisis aktivitas
siswa dan hasil belajar siswa selama siklus II,
dapat disimpulkan hasil refleksi terhadap
peristiwa-peristiwa selama pelaksanaan siklus
II, yaitu sebagai berikut.
a. Tingkat Aktivitas Siswa (TAS) pada
siklus II memperoleh rata-rata 3,62
yang menunjukkan bahwa skor tingkat
aktivitas siswa dengan penerapan model
pembelajaran kooperatif tipe STAD
pada materi sumber daya alam di kelas
IV SD Negeri 14 Banda Aceh pada
Ruhadi, Penerapan Model Kooperatif Tipe STAD Untuk Meningkatkan Hasil Belajar
41
Drs. Ruhadi, M.Pd* adalah Kepala SD.Negeri 14 Pango Raya Banda Aceh
kategori baik. Oleh karena itu, aktivitas
siswa pada siklus II sudah efektif.
b. Rata-rata hasil belajar siswa mencapai
76,50. Menunjukkan jumlah siswa yang
mencapai ketuntasan belajar secara
individu sebanyak 16 orang siswa dari
20 siswa sebesar 80%, sedangkan 4
orang siswa dari 20 siswa sebesar 20%
lainnya belum mencapai ketuntasan
belajar secara individu. Oleh karena
itu, persentase ketuntasan belajar siswa
berada di atas nilai yang ditetapkan
sebesar 65, maka hasil belajar siswa
pada materi sumber daya alam di kelas
IV SD Negeri 14 Banda Aceh pada
siklus II mencapai ketuntasan belajar
secara klasikal.
c. Hasil refleksi pada siklus II
menunjukkan kekurangan pada proses
pembelajaran yang dilakukan pada
siklus I pada aktivitas siswa dan hasil
belajar siswa sudah terjawab pada
siklus II. Oleh karena itu, penelitian
yang dilakukan telah terjawab dan
meniadakan perpanjangan siklus
berikutnya.
C. Tingkat Aktivitas Siswa (TAS)
Dari hasil penelitian yang telah
dipaparkan sebelumnya, menunjukkan adanya
peningkatan aktivitas siswa untuk setiap
siklusnya. Hal ini terlihat jelas dari hasil
analisis Tingkat Aktivitas Siswa (TAS) yang
memperlihatkan skor aktivitas siswa untuk
siklus I dan siklus II. Hal ini membuktikan
bahwa dengan penerapan model pembelajaran
kooperatif tipe STAD pada materi sumber
daya alam di kelas IV SD Negeri 14 Banda
Aceh selama pembelajaran dapat ditingkatkan.
Sehingga aktivitas siswa selama
pembelajaran yang dilakukan oleh peneliti
untuk setiap pertemuannya terus mencapai
peningkatan. Pada siklus I aktivitas siswa
memperoleh rata-rata 3,00 pada kategori
cukup dan pada siklus II aktivitas siswa
memperoleh rata-rata 3,62 pada kategori baik.
D. Hasil Belajar Siswa
Dari hasil analisis hasil belajar
siswa dengan penerapan model pembelajaran
kooperatif tipe STAD pada materi sumber
daya alam di kelas IV SD Negeri 14 Banda
Aceh menunjukkan adanya peningkatan hasil
belajar siswa untuk setiap siklusnya. Hal ini
terlihat jelas dari rata-rata hasil belajar siswa
pada masing-masing persiklus, yaitu pada
siklus I dan siklus II. Menurut Rusman (2011 :
13) “penilaian dilakukan oleh guru terhadap
hasil pembelajaran untuk mengukur tingkat
pencapaian kompetensi siswa, serta digunakan
sebagai bahan penyusunan laporan kemajuan
hasil belajar dan memperbaiki proses
pembelajaran”.
Begitu juga dengan persentase
ketuntasan belajar siswa, yaitu untuk siklus I
siklus II. Hal ini membuktikan hasil belajar
siswa mengalami peningkatan dan lebih baik
untuk setiap siklusnya. Pada siklus I rata-rata
hasil belajar siswa mencapai 64,00 jumlah
siswa yang mencapai ketuntasan belajar secara
individu sebanyak 8 orang siswa dengan
persentase 40%. Pada siklus II rata-rata hasil
belajar siswa mencapai 76,50 jumlah siswa
yang mencapai ketuntasan belajar secara
individu sebanyak sebanyak 16 orang siswa
dengan persentase 80%.
Dari hasil penelitian menunjukkan
adanya peningkatan rata-rata hasil belajar
siswa dengan penerapan model pembelajaran
kooperatif tipe STAD pada materi sumber
daya alam di kelas IV SD Negeri 14 Banda
Aceh yang diterapkan guru di kelas VI SD
Negeri 14 Banda Aceh. Menurut Rusman
(2011 : 79) “pengolahan hasil belajar
merupakan bagian yang sangat berkaitan
erat di mana pengolahan hasil belajar yang
baik akan tercermin pada penggunaan hasil
belajar yang diaplikasikan ke dalam berbagai
kegiatan pengembangan pembelajaran”.
Hal ini secara tidak langsung
juga menggambarkan adanya upaya-upaya
guru dalam meningkatkan kualitas
pembelajaran yang dilakukan yang
ditunjukkan dari adanya peningkatan hasil
belajar siswa untuk setiap siklusnya. Sehingga
hal ini juga berdampak positif terhadap hasil
belajar yang diperoleh siswa dengan
penerapan model pembelajaran kooperatif tipe
STAD pada materi sumber daya alam di kelas
IV SD Negeri 14 Banda Aceh.
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian ini
dapat disimpulkan bahwa.
1. Penerapan model pembelajaran
kooperatif tipe STAD dapat
meningkatkan aktivitas siswa pada
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
42
Drs. Ruhadi, M.Pd* adalah Kepala SD.Negeri 14 Pango Raya Banda Aceh
materi sumber daya alam di kelas IV
SD Negeri 14 Banda Aceh.
2. Penerapan model pembelajaran
kooperatif tipe STAD dapat
meningkatkan hasil belajar siswa pada
materi sumber daya alam di kelas IV
SD Negeri 14 Banda Aceh.
1. Saran-saran Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilakukan, maka penulis memberikan
beberapa saran untuk mempermudah guru
dalam melaksanakan pembelajaran. adapun
beberapa saran yang ingin dikemukakan
adalah sebagai berikut.
1. Diharapkan kepada guru-guru di SD
Negeri 14 Banda Aceh untuk dapat
menerapkan model pembelajaran
kooperatif tipe STAD karena telah
terbukti bahwa siswa dengan penerapan
model pembelajaran kooperatif tipe
STAD dapat meningkatkan hasil belajar
siswa.
2. Disarankan kepada Kepala Dinas
Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kota
Banda Aceh agar dapat meningkatkan
sarana dan prasarana di SD Negeri 14
Banda Aceh demi kemajuan pendidikan
di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2009. Evaluasi Program
Pendidikan Pedoman Teoritis Bagi
Mahasiswa dan Praktisi Pendidikan.
Bumi Aksara: Jakarta.
_________ . 2010. Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktik. Rineka
Cipta: Jakarta .
Haryanto. 2004. Ilmu Pengetahuan Alam
Kelas IV KTSP. Jakarta : Penerbit
Erlangga
Istarani. 2011. 58 Model Pembelajaran
Inovatif Referensi Guru dalam
Menentukan Model Pembelajaran.
Medan : Media Persada.
Mukhlis. 2005. Metode Statistik. Surabaya:
Tesis PPS Unesa.
Rusman. 2011. Model-model
Pembelajaran Mengembangkan
Profesionalisme Guru. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
Rochiati, Wiraaatmadja. 2008. Metoda
Penelitian Tindakan Kelas.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sudjana, Nana. 2009. Penilaian Hasil
Proses Belajar Mengajar. Cetakan
ketiga belas. Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya.
Trianto. 2010. Model Pembelajaran
Terpadu Konsep, Strategi, dan
Implementasinya dalam Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Cetakan kedua. Jakarta : Bumi
Aksara.
Ruhadi, Penerapan Model Kooperatif Tipe STAD Untuk Meningkatkan Hasil Belajar
43
Drs. M. Husin, M.Pd* adalah Dosen pada Prodi PGSD Unsyiah
UPAYA GURU DALAM MEMOTIVASI BELAJAR SISWA PADA
PEMBELAJARAN IPS DI SEKOLAH DASAR
(ANALISIS SISTEM PENGELOLAAN MENUJU PEMBELAJARAN
YANG MENYEANGKAN)
Oleh
M. Husin*
Abstrak
Guru telah melakukan usaha-usaha yang bisa membangkitkan motivasi belajar siswa dalam
pembelajaran IPS antara lain menghubungkan pengajaran dengan pengalaman dan minat
siswa, menerapkan modelling, melaksanakan komunikasi terbuka, memberikan kesempatan
kepada siswa untuk menyampaikan informasi yang telah dimilikinya, menggali prasyarat-
prasyarat, memberikan latihan/praktek, memberikan latihan terbagi untuk memudahkan
pemahaman siswa, mengkondisikan suasana yang menyenangkan dalam proses
pembelajaran, serta membimbing siswa disaat siswa mendapat kesulitan dalam belajar.
Usaha lain yang dilakukan guru dalam membangkitkan motivasi belajar siswa dalam
pembelajaran IPS antara lain menambahkan program remedial, menggunakan metode
pembelajaran yang variatif, serta guru menerapkan metode karya wisata setiap semester
dengan membawa siswa keluar kelas mengunjungi situs-situs sejarah dan situs budaya.
Kata Kunci : Upaya, motivasi, belajar dan pembelajaran IPS
Pasal 4 UU no. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional
menegaskan bahwa “Pembangunan nasional di
bidang pendidikan adalah mengembangkan
potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
yang Maha Esa, serta berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demoktratis serta
bertanggung jawab ”. (http://www.bpkp.go.id.)
Mencapai tujuan tersebut, maka
seorang guru harus berusaha agar anak didik
melakukan kegiatan pembelajaran.
Pembelajaran akan berjalan dengan baik bila
guru mampu memotivasi anak dalam belajar.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa
apabila anak tidak memiliki motivasi belajar,
maka tidak akan terjadi kegiatan belajar pada
diri anak tersebut. Walaupun begitu, hal itu
kadang-kadang menjadi masalah karena
motivasi bukanlah suatu kondisi. Apabila
motivasi anak itu rendah, umumnya
diasumsikan bahwa prestasi yang
bersangkutan akan rendah dan besar
kemungkinan ia tidak akan mencapai tujuan
belajar. Bila hal ini tidak diperhatikan, tidak
dibantu, siswa gagal dalam belajar.
Sebagai pengajar, guru selalu
membantu perkembangan siswa untuk dapat
menerima dan memahami serta menguasai
ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk itu
guru harus memotivasi siswa agar senantiasa
belajar dalam berbagai kesempatan. Pada
akhirnya, seorang guru dapat memainkan
perannya sebagai motivator dalam proses
belajar mengajar bila guru itu menguasai dan
mampu melakukan keterampilan-keterampilan
didaktik dan metodik yang relevan dengan
situasi dan kondisi para siswa. Dengan
demikian siswa dapat menyerap apa yang telah
diajarkan oleh guru dan besar pengaruhnya
terhadap pertumbuhan dan perkembangan
potensinya. Motivasi belajar kerap dikenali
sebagai daya dorong untuk mencapai hasil
yang baik yang biasanya diwujudkan dalam
bentuk tingkah laku belajar atau menunjukkan
usaha-usaha untuk mencapai tujuan belajar.
Kenyataan di sekolah sekolah masih
banyak ditemukan bahwa guru kurang
meningkatkan motivasi dan kreativitas siswa,
sehingga menyebabkan kurangnya keaktifan
serta motivasi siswa dalam mengikuti
pembelajaran. Selain itu materi yang
tersampaikan belum dapat dipahami siswa
dengan baik. Hal ini menyebabkan hasil
belajar siswa masih kurang.
44
Drs. M. Husin, M.Pd* adalah Dosen pada Prodi PGSD Unsyiah
Motivasi Dalam Belajar Belajar merupakan suatu proses, suatu
kegiatan dan bukan suatu hasil atau tujuan.
Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi
luas daripada itu, yakni mengalami. Hasil
belajar bukan suatu penguasaan hasil latihan,
melainkan perubahan kedudukan. (Hamalik,
2010:36). Pengertian belajar merupakan suatu
diantara beberapa faktor psikologis yang turut
berpengaruh dan berkaitan erat. Motivasi itu
sesungguhnya merupakan seluruh proses
gerakan yang mencakup berbagai rangsangan,
dorongan, atau daya pembangkit bagi
terjadinya suatu prilaku. Dorongan dalam
proses gerakan itu pada dasarnya adalah
rangsangan pembangkit bagi terjadinya
perilaku, dalam rangka mencapai suatu tujuan.
Motivasi-motivasi yang timbul pada
diri individu mempunyai peranan dan fungsi
ganda yaitu sebagai pembangkit aktivitas
individu dan sebagai penyeleksi setiap
aktivitas yang dilakukan. Fungsi dan peranan
motivasi memiliki kecenderungan yang sangat
dominan dalam membentuk kepribadian
individu secara optimal. Hamalik (2010:121)
menjelaskan bahwa: ”Motivasi adalah suatu
perubahan energi dalam diri seseorang yang
ditandai oleh timbulnya perasaan dan reaksi
untuk mencapai tujuan. Motivasi memiliki
komponen dalam dan komponen luar. Ada
kaitan yang erat antara motivasi dan
kebutuhan, dan drive, dengan tujuan, dan
insentif”.
Dari pendapat di atas mengenai motif
dan motivasi dapat diambil kesimpulan bahwa
motif adalah suatu tenaga yang mendorong
atau menggerakkan individu untuk bertindak
melakukan sesuatu sedangkan motivasi adalah
suatu kondisi yang tercipta atau diciptakan
untuk membangkitkan dalam diri individu agar
mencapai tujuan tertentu. Adapun yang
dimaksud dengan motivasi belajar adalah
kekuatan-kekuatan atau tenaga-tenaga yang
dapat memberikan dorongan kepada kegiatan
belajar siswa.
Tingkah laku yang ditimbulkan oleh
situasi sangat dipengaruhi oleh seberapa
besarnya motivasi yang ditimbulkan pada diri
individu berarti pula perubahan energi yang
dimanfaatkanpun akan semakin besar, serta
didahului adanya reaksi-reaksi yang ingin
dicapai. Jadi motivasi belajar sebagai sistem
bimbingan internal yang berusaha untuk
menetapkan fokus anak dalam hal belajar,
namun harus berdiri pada dirinya sendiri dan
berkompetisi melawan semua hal menarik lain
pada eksistensi keseharian.
Sardiman (2011:75) mengemukakan
bahwa: ”Dalam kegiatan belajar motivasi
dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya
penggerak di dalam diri siswa yang
menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin
kelangsungan dari kegiatan belajar dan
memberikan arah pada kegiatan belajar,
sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subyek
belajar itu dapat tercapai”. Hamalik
(2010:105) mengatakan bahwa: ”Perbuatan
belajar akan berhasil bila berdasarkan motivasi
pada diri siswa. Siswa mungkin dapat dipaksa
untuk melakukan suatu perbuatan, tetapi dia
tidak mungkin dipaksa untuk menghayati
perbuatan itu sebagaimana mestinya”.
Motivasi belajar adalah dorongan atau
kekuatan dalam diri siswa yang menimbulkan
kegiatan serta arah belajar untuk mencapai
tujuan yang dikehendaki siswa.
Pendekatan Pembelajaran IPS di Sekolah
Dasar Pengajaran IPS untuk tingkat
pendidikan dasar, merupakan penyederhanaan,
adaptasi, seleksi, dan modifikasi dari disiplin
akademis ilmu-ilmu sosial yang diorganisir
dan disajikan secara ilmiah dan
paedagogis/psikologis pendidikan dasar dan
menengah dalam kerangka mewujudkan tujuan
pendidikan nasional yang berdasarkan
Pancasila (Saidihardjo, 2007:5). Perbedaan
yang menonjol antara Pendidikan Ilmu Sosial
dengan Pengajaran IPS terletak pada tingkat
kesukaran bahan dan intensitas penelitian
sosial serta kontribusinya dalam penyiapan
guru-guru IPS pada tingkat pendidikan dasar.
Pada Pendidikan Ilmu Sosial untuk
tingkat pendidikan tinggi, tidak ada istilah
penyederhanaan, memodifikasi bahan dari
disiplin Ilmu-ilmu Sosial seperti yang ada pada
tingkat pendidikan dasar dan menengah,
namun yang ada adalah seleksi bahan,
walaupun demkian tetap tidak boleh merubah
keutuhan dan sistematika struktur disiplin ilmu
sosial itu sendiri.
Sebenarnya bahan untuk pengajaran
IPS untuk pendidikan dasar bisa saja
diorganisir secara sistematis, tetapi untuk
tingkat pendidikan dasar dan menengah ada
masalah yaitu tingkat kecerdasan dan
membantu dalam hidup bermasyarakat. Oleh
45
Drs. M. Husin, M.Pd* adalah Dosen pada Prodi PGSD Unsyiah
karena itu bahannya harus disusun secara
psikologis agar lebih menarik dan sesuai
dengan tujuan pendidikan. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa materi IPS diambil
atau dipilih (setelah disederhanakan sesuai
dengan tingkat kematangan dan perkembangan
siswa) dari bagian-bagian pengetahuan atau
konsep-konsep Ilmu-ilmu Sosial yang
disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan dan
usia siswa. Dengan demikian berarti Ilmu-ilmu
Sosial merupakan sumber materi atau isi dari
IPS. Sebagai bidang studi dalam kurikulum
sekolah, IPS berbeda dengan Ilmu-ilmu Sosial.
IPS sebagai disiplin ilmu yang memiliki obyek
kajian, metodologi penyelidikan dan struktur
konsep, generalisas, dan teori tersendiri.
Menurut Hidayati (2007:8) bahwa:
“Materi IPS yang diambil dari
penyederhanaan/pengadaptasian bagian
pengetahuan dari Ilmu-ilmu Sosial terdiri dari:
(1) Fakta, konsep, generalisasi, dan teori; (2)
Metodologi penyelidikan dari masing-masing
ilmu-ilmu Sosial; (3) Keterampilan-
keterampilan intelektual yang diperlukan
dalam metodologi penyelidikan Ilmu-ilmu
Sosial”. Dalam pengajaran IPS menekankan
pada proses atau keterampilan proses dalam
pencapaian hasil belajar. Metode yang
digunakan ditekankan pada kegiatan
pendidikan (inquiry) dan pembelajaran
berpusat pada cara belajar siswa aktif.
Metodologi pengajaran yang digunakan antara
lain: model pembelajaran inquiry-discovery,
model pembelajaan konsep, model klasifikasi
nilai, dan model kontekstual, cooperative
learning dan inkuiri.
Pengajaran IPS pada saat sekarang ini
memiliki beberapa ciri khusus antara lain:
1. Tujuan pengajaran IPS adalah
menjadikan “warga negara yang baik”
(good zitizen). Hal ini menjadi tujuan
utama pengajaran IPS dalam
masyarakat demokratis.
2. IPS bukan sekedar “Ilmu-ilmu Sosial
yang disederhanakan untuk keperluan
pendidikan di sekolah”, karena IPS
selain mencakup pengetahuan
(knowledge) dan metode penyelidikan
ilmiah dari Ilmu-ilmu Sosial juga
mencakup komponen-komponen lain
seperti pendidikan, etika, filsafat,
agama, sosial, serta bahan
pengetahuan dari sumber-sumber
disiplin lainnya.
3. Komponen “pengambilan keputusan”
secara rasional harus dilakukan oleh
seorang warga negara yang baik dan
“pendidikan nilai”, keduanya
merupakan bagian penting dalam
pengajaran IPS.
4. Komponen “keterampilan-
keterampilan dasar” (basic skill) yang
terdiri dari keterampilan berfikir
(intelektual), keterampilan melakukan
penyelidikan inquiry dalam Ilmu-ilmu
Sosial, keterampilan studi (akademis),
dan keterampilan sosial, juga harus
diajarkan dalam pengajaan IPS. Hal
ini dimaksudkan agar siswa dapat
mencapai tujuan sebagai warga
negara yang baik dan dapat
mengambil keputusan secara rasional.
5. Strategi pengajaran yang dianut
dalam IPS menekankan pada model-
model pengajaran yang melibatkan
siswa secara aktif dalam kegiatan
belajar mengajar (misalnya CBSA,
activity based learning) seperti
strategi pembelajaran inquiry-
discovery (social science inquiry),
strategi pembelajaran konsep, model
klarifikasi nilai, dan sebagainya.
Berdasarkan kelembagaannya,
pendidikan di Indonesia dibedakan menjadi
tiga tingkat, yaitu: (1) Sekolah Pendidikan
Dasar. (2) Sekolah Pendidikan Menengah. (3)
Perguruan Tinggi dan Akademi. Setiap
lembaga pendidikan tersebut memiliki tujuan
institusional masing-masing. Ditinjau dari
sistem pendidikan secara menyeluruh, tujuan
institusional tersebut merupakan penjabaran
dari Tujuan Pendidikan Nasional. Oleh karena
itu Tujuan Institusional Pendidikan Dasar
menurut Hidayati (2007:9) dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. Membekali anak didik dengan sikap,
pengetahuan, dan keterampilan dasar
untuk dapat mengembangkan
pribadinya sebagai anggota
masyarakat yang dapat meningkatkan
kemampuan dirinya sendiri dan dapat
ikut mensejahterakan masyarakat.
2. Membekali anak didik dengan
kemampuan ilmu dan pengetahuan
dasar untuk melanjutkan pendidikan
ketingkat yang lebih tinggi.
Dengan pengetahuan, nilai, sikap, dan
kemampuan yang demikian, keluaran sekolah
46
Drs. M. Husin, M.Pd* adalah Dosen pada Prodi PGSD Unsyiah
pendidikan dasar diharapkan dapat
mengembangkan pribadinya sebagai warga
masyarakat yang secara minimal mampu
berdiri di atas kaki sendiri dan dapat
melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih
tinggi. Mengingat hakikat IPS merupakan
perpaduan pengetahuan dari ilmu-ilmu sosial
dan harus mencerminkan sifat interdisipliner,
oleh karena itu tujuan pengajaran IPS menurut
Hidayati (2007:9) sebagai berikut:
1. Membekali anak didik dengan
pengetahuan sosial yang berguna
dalam kehidupan di masyarakat.
2. Membekali anak didik dengan
kemampuan mengidentifikasi,
menganalisis, dan menyusun
alternatif pemecahan masalah sosial
yang terjadi dalam kehidupan di
masyarakat.
3. Membekali anak didik dengan
kemampuan berkomunikasi dengan
sesama warga masyarakat dan dengan
berbagai bidang keilmuan serta
berbagai keahlian.
4. Membekali anak didik dengan
kesadaran, sikap mental yang positif,
dan keterampilan terhadap lingkungan
hidup yang menjadi bagian dari
kehidupannya yang tidak terpisahkan.
5. Membekali anak didik dengan
kemampuan mengembangkan
pengetahuan dan keilmuan IPS sesuai
dengan perkembangan kehidupan,
perkembangan masyarakat,
perkembangan ilmu, dan teknologi.
Berdasarkan taksonomi tujuan
pendidikan dari Bloom, tujuan instruksional
dibagi menjadi tiga kelompok yaitu : cognitive
domain, affective-domain dan psychomotor
domain (Bloom Benjamin dalam Hidayati,
2007:9). Dalam ranah kognitif dapatlah
dikatakan bahwa dalam hal-hal tentang
manusia dan dunianya itu harus dapat dinalar
supaya dapat dijadikan alat pengambilan
keputusan yang rasional dan tepat. Jadi bahan
kajian IPS bukanlah hal yang bersifat hafalan
belaka, melainkan yang mendorong daya nalar
yang kreatif. Dengan demikian yang
dikehendaki bukanlah hanya fakta tentang
manusia dan dunia sekelilingnya, malainkan
terutama adalah konsep dan generalisasi yang
diambil dari analisis tentang manusia dan
lingkungannya. Pengetahuan yang diperoleh
dari hafalan kurang dapat bermakna, akan
tetapi pengetahuan yang diperoleh dengan
pengertian dan pemahaman akan lebih
fungsional.
Apabila perolehan pengetahuan dan
pemahaman dapat mendorong tindakan yang
berdasarkan nalar, diharapkan dapat dijadikan
alat berkiprah dengan tepat dalam kehidupan
siswa, oleh karena itu semangat ilmiah dan
imajinasi juga sangat penting. Inilah bagian
yang termasuk dalam afektif disamping nilai
dan sikap terhadap pengetahuan (dalam hal ini
IPS) juga yang lebih penting nilai dan sikap
terhadap masyarakat dan kemanusiaan, seperti
menghargai martabat manusia dan peka
terhadap perasaan orang lain, lebih-lebih lagi
nilai dan sikap terhadap negara dan bangsa.
Tujuan keterampilan yang dapat diraih dalam
pengajaran IPS adalah sangat luas.
Keterampilan-keterampilan yang harus
dikembangkan sudah barang tentu juga
meliputi keterampilan-keterampilan yang
dibutuhkan untuk memperoleh pengetahuan,
nilai dan sikap.
Guru dalam Membangkitkan Motivasi
Belajar Siswa dalam Pembelajaran IPS
Sebagai pengajar dan pendidikan guru
seharusnya membantu perkembangan siswa
untuk dapat menerima dan memahami serta
menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.
Untuk itu guru harus memotivasi siswa agar
senantiasa belajar dalam berbagai kesempatan.
Pada akhirnya, seorang guru dapat memainkan
perannya sebagai motivator dalam proses
belajar mengajar bila guru itu menguasai dan
mampu melakukan keterampilan-keterampilan
didaktik dan metodik yang relevan dengan
situasi dan kondisi para siswa. Dengan
demikian siswa dapat menyerap apa yang telah
diajarkan oleh guru dan besar pengaruhnya
terhadap pertumbuhan dan perkembangan
potensinya.
Guru dapat membangkitkan motivasi
belajar siswa dengan hal-hal sebagai berikut:
1. Kebermaknaan
Sesuatu yang dirasakan penting,
berharga, akan mempunyai nilai tertentu bagi
siswa. Menurut Hamalik (2010:156) bahwa:
”Siswa akan suka dan termotivasi belajar
apabila hal-hal yang dipelajari mengandung
makna tertentu baginya. Kebermaknaan
sebenarnya bersifat personal karena dirasakan
sebagai sesuatu yang penting bagi diri
seseorang”. Ada kemungkinan pelajaran yang
47
Drs. M. Husin, M.Pd* adalah Dosen pada Prodi PGSD Unsyiah
disajikan oleh guru tidak dirasakan sebagai
bermakna berusaha menjadikan pelajarannya
dengan makna bagi semua siswa. Caranya
ialah dengan mengaitkan pelajarannya dengan
pengalaman masa lampau siswa, tujuan-tujuan
masa mendatang, minat serta nilai-nilai yang
berarti bagi mereka.
a) Hubungan pengajaran dengan
pengalaman para siswa
Pelajaran akan bermakna bagi siswa
jika guru berusaha menghubungkan
dengan pengalaman masa lampau,
atau pengalaman-pengalaman yang
telah mereka miliki sebelumya.
Misalnya guru menjelaskan suatu
topik dalam pelajaran IPS, maka guru
dapat menghubungkannya dengan
pengalaman siswa misalnya tentang
kegiatan-kegiatan IPS yang telah
mereka lakukan sebelumnya. Cara itu
berdasarkan pada asumsi bahwa apa-
apa yang telah mereka miliki sebagai
pengalaman akan merangsang
motivasinya untuk mempelajari
masalah itu lebih lanjut
b) Hubungan pengajaran IPS dengan
minat siswa
Sesuatu yang menarik minat dan nilai
tertinggi bagi siswa berarti bermakna
baginya. Karena itu, guru hendaknya
berusaha menyesuaikan pelajaran
(tujuan, materi, dan metodik) dengan
minat para siswanya. Caranya antara
lain memberikan kesempatan ada
pada siswa berperan serta memilih.
2. Modelling
Siswa akan suka memperoleh tingkah
laku baru bila disaksikan dan ditirunya.
Pelajaran akan lebih mudah dihayati dan
diterapkan oleh siswa jika guru
mengajarkannya dala bentuk tingkah laku
model, bukan dengan hanya
menceramahkan/menceritakannya secara lisan.
Dengan model tingkah laku itu, siswa dapat
mengamati dan menirukan apa yang
diinginkan oleh guru. Menurut Hamalik
(2010:157) terdapat beberapa petunjuk yang
perlu diperhatikan dalam teknik modelling
adalah sebagai berikut:
1) Guru supaya menetapkan aspek-aspek
penting dari tingkah laku yang akan
dipertunjukkan sebagai model.
Jelaskan setiap tahap dan keputusan
yang akan ditempuh agar mudah
diterima oleh siswa.
2) Siswa yang dapat meniru model yang
telah dipertunjukkan hendaknya
diberikan ganjaran yang setimpal.
3) Model harus diamati sebagai suatu
pribadi yang lebih tinggi daripada
siswa sendiri, yang mempertujukkan
hal-hal yang lebih ditiru oleh siswa.
4) Hindarkan jangan sampai tingkah
laku model berbenturan dengan nilai-
nilai atau keyakinan siswa sendiri.
5) Modelling disajikan dalam teknik
mengajar atau dalam keterampilan
sosial.
3. Komunikasi terbuka
Siswa lebih suka belajar bila
penyajian terstruktur supaya pesan-pesan guru
terbuka terhadap pengawasan siswa. Menurut
Hamalik (2010:158), Ada beberapa cara yang
dapat ditempuh untuk melaksanakan
komunikasi terbuka, yaitu sebagai berikut:
1) Kemukakan tujuan yang hendak
dicapai kepada para siswa agar
mendapat perhatian siswa mereka.
2) Tunjukkan hubungan-hubungan,
kunci agar siswa benar-benar
mamahami apa-apa yang sedang
diperbincangkan.
3) Jelaskan pelajaran secara nyata,
diusahakan menggunakan media
instruksional sehingga lebih
menjelaskan masalah yang sedang
dibahas.
Pelajaran dirasakan akan bermakana
bagi diri siswa apabila pelajaran itu dapat
dilaksanakan atau digunakan pada kehidupan
sehari-hari diluar kelas pada masa mendatang.
Untuk itu, guru hendaknya menyajikan
macam-macam situasi yang mungkin ditemui
oleh siswa pada waktu mendatang. Untuk itu
mereka membutuhkan pengetahuan dan
keterampilan tertentu. Bila siswa telah
menyadari tentang kemungkinan aplikasi
pelajaran tersebut maka sudah tentu motivasi
belajar akan tergugah dan merangsang
kegiatan belajar lebih efektif.
4. Prasyarat
Apa yang telah dipelajari oleh siswa
sebelumnya mungkin merupakan faktor
penting yag menetukan hasil atau gagalnya
siswa belajar. Menurut Hamalik (2010:159)
48
Drs. M. Husin, M.Pd* adalah Dosen pada Prodi PGSD Unsyiah
bahwa: ”Kesempatan belajar bagi siswa yang
telah memiliki informasi dan keterampilan
yang mendasari perilaku yang baru akan lebih
besar. Karena itu, guru hendaknya
mengetahui/mengenali prasyarat-prasyarat
yang telah mereka miliki”. Siswa yang berada
dalam kelompok yang berprasyarat akan
mudah mengamati hubungan antara
pengetahuan yang sederhana yang telah
dimiliki dengan pengetahuan yang komplek
yang akan dipelajari. Berbeda halnya siswa
yang belum memiliki prasyarat yang
diperlukan, ternyata lebih sulit menerima
pelajaran baru dengan kemungkinan timbulnya
kegagalan dan frustasi.
Untuk mengenali apakah siswa telah
memiliki prayarat yang dibutuhkan itu, maka
guru dapat melakukan analisis terhadap tugas,
topik, dan tujuan yang dicapai. Kemudian guru
memberikan tes mengenai prasyarat tersebut.
Bertitik tolak dari keadaan siswa tersebut guru
akan lebih mudah menyesuaikan pelajarannya
sehingga membangkitkan motivasi belajar
yang lebih tinggi dikalangan siswa.
5. Novelty
Siswa akan termotivasi untuk belajar
apabila penyajian pelajaran diaksanakan
dengan hal-hal yang baru atau belum pernah
dialami oleh siswa diasajikan secara menarik
dan berinovasi. Menurut Hamalik (2010:159)
bahwa: ”Siswa lebih senang belajar bila
perhatiannya ditarik oleh penyajian-penyajian
yang baru (novelty) atau masih asing”. Sesuatu
gaya dan alat yang baru masing-masing bagi
siswa akan lebih menarik perhatian mereka
untuk belajar, misalnya yang belum pernah
dilihat sebelumnya. Cara-cara tersebut
misalnya menggunakan berbagai metode
mengajar secara bervariasi, berbagai alat
bantu, tugas macam-macam kegiatan yang
mungkin asing bagi mereka.
6. Latihan/praktek yang aktif dan bermanfaat
Siswa lebih senang belajar jika
mengambil bagian yang aktif dalam
latihan/praktek untuk mencapai tujuan
pengajaran. Praktek secara aktif berarti siswa
mengerjakan sendiri, bukan mendengarkan
ceramah dan mencatat pada buku tulis.
Pengajaran hendaknya disesuaikan dengan
prinsip ini, menurut Hamalik (2010:160)
metode latihan dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut :
1) Usahakan agar siswa sebanyak
mungkin menjawab pertanyaan-
pertanyaan atau memberikan respon
terhadap pertanyaan guru, sedangkan
siswa lainnya menulis jawaban-
jawaban dan menanggapi dengan
lisan.
2) Mintalah agar siswa menyusun atau
menata kembali informasi yang
diperolehnya dari bacaan.
3) Sediakan laboratorium dan situasi
praktek lapangan berdasarkan tujuan
penganjaran yang telah dirumuskan.
7. Latihan terbagi
Siswa lebih suka belajar apabila
latihan-latihan dilaksanakan dalam jadwal-
jadwal waktu yang singkat tetapi sering
dilakukan selama periode waktu tertentu.
Menurut Hamalik (2010:160) bahwa: ”Siswa
lebih senang belajar jika latihan dibagi
menjadi sejumlah kurun waktu yang pendek.
Latihan-latihan secara demikian akan lebih
meningkatkan motivasi siswa belajar
dibandingkan dengan latihan yang
menggunakan sekaligus dalam jangka waktu
yang panjang”. Cara yang terakhir itu akan
melelahkan siswa, bahkan mungkin
menyebabkan mereka tidak menyenangi
pelajaran, serta mengalami kekeliruan dalam
mempraktekkannya.
8. Kurangi secara sistematis paksaan belajar
Pada waktu mulai belajar, siswa perlu
diberi paksaan atau pemompaan. Akan tetapi
bagi siswa yang sudah mulai mengusai
pelajaran, maka secara sistematik pemompaan
itu dikurangi dan akhirnya lambat laun siswa
dapat belajar sendiri. Harus dihindarkan
jangan sampai mau belajar tergantung pada
pemompaan saja. Lagi pula pemompaan itu
jangan terlalu segera dihilangkan karena
mungkin siswa mendapat kekeliruan. Cara itu
memang perlu dilaksanakan dalam rangkaian
meningkatkan motivasi belajar siswa.
9. Kondisi yang menyenangkan
Siswa akan lebih senang melanjutkan
belajarnya jika kondisi pengajaran
menyenangkan. Meka guru dapat melakukan
cara berikut:
1) Usahakan jangan mengulangi hal-hal
yang telah mereka ketahui, karena
akan menyebabkan kejenuhan.
49
Drs. M. Husin, M.Pd* adalah Dosen pada Prodi PGSD Unsyiah
2) Suasana fisik kelas jangan sampai
membosankan.
3) Hindarkan terjadinya frustasi
dikarenakan situasi kelas yang tak
menentu atau mengajukan permintaan
yang tak masuk akal, dan diluar
jangkauan pikiran manusia.
4) Hirdarkan suasana kelas yang bersifat
emosional sebagai akibat adanya
kontak personal.
Menurut Hamalik (2010:161), untuk
menciptakan kondisi yang menyenangkan
dapat dilakukan dengan cara-cara berikut :
1) Siapkan tugas yang menantang
selama diselenggarakannya latihan.
2) Berikan siswa pengetahuan tentang
hasil-hasil yang telah dicapai oleh
masingmasing siswa.
3) Berikan ganjaran yang pantas
terhadap usaha-usaha yang dilakukan
oleh siswa.
Strategi Guru untuk Membangkitkan
Motivasi Siswa Belajar IPS
Strategi merupakan usaha untuk
memperoleh kesuksesan dan keberhasilan
dalam mencapai tujuan. Strategi merupakan
hal yang perlu di perhatikan oleh seorang guru
dalam proses pembelajaran. Menurut Sanjaya
(2007:124) bahwa: “Strategi pembelajaran
merupakan perencanaan yang berisi tentang
rangkaian kegiatan yang didesain untuk
mencapai tujuan pendidikan tertentu”. Wena
(2009:5), “Ada 3 jenis strategi yang berkaitan
dengan pembelajaran, yakni: (1) strategi
pengorganisasian, (2) strategi penyampaian,
dan (3) strategi pengelolaan”.
1. Strategi Pengorganisasian
Cara guru memilih dan menetapkan
bahan pembelaran,dengan urutan bahan,
membuat rumusan bahan yang sesuai dengan
isi pokok bahasan, merangkum menjadi satu
kesimpulan,yang keseluruhan nya mengacu
pada tujuan pembelajaran yang akan di
capai.Hal ini sesuai dengen pendapat
Roestiyah (2008:40) menyatakan bahwa:
”Strategi mengorganisasi isi pelajaran disebut
sebagai struktural strategi, yang mengacu pada
cara untuk membuat urutan dan mensintesis
fakta, konsep, prosedur dan prinsip yang
berkaitan”. Selanjutnya Made (2009:5)
menyatakan bahwa: ”Strategi
pengorganisasian merupakan cara untuk
menata isi suatu bidang studi, dan kegiatan ini
berhubungan dengan tindakan pemilihan
isi/materi, penataan isi, pembuatan diagram,
format dan sejenisnya”. Strategi
pengorganisasian, lebih lanjut dibedakan
menjadi dua jenis, yaitu strategi mikro dan
strategi makro. Strategi mikro mengacu
kepada metode untuk pengorganisasian isi
pembelajaran yang berkisar pada satu konsep,
atau prosedur atau prinsip. Strategi makro
mengacu kepada metode untuk
mengorganisasi isi pembelajaran yang
melibatkan lebih dari satu konsep atau
prosedur atau prinsip.
Strategi makro berurusan dengan
bagaimana memilih, menata urusan, membuat
sintesis dan rangkuman isi pembelajaran yang
saling berkaitan. Pemilihan isi berdasarkan
tujuan pembelajaran yang ingin dicapai,
mengacu pada penentapan konsep apa yang
diperlukan untuk mencapai tujuan itu.
Penataan urutan isi mengacu pada keputusan
untuk menata dengan urutan tertentu konsep
yang akan diajarkan. Pembuatan sintesis
diantara konsep prosedur atau prinsip.
Pembuatan rangkuman mengacu kepada
keputusan tentang bagaimana cara melakukan
tinjauan ulang konsep serta kaitan yang sudah
diajarkan.
2. Strategi Penyampaian
Merupaan cara yang dipilih oleh guru
atau menetap kan nya bisa bersama-sama
dengen siswa, baik itu dari pemilihan media
maupun metode yang akan di gunakan.
Menerut Wena (2009:6) mengatakan bahwa:
”Strategi penyampaian adalah cara untuk
menyampaikan pembelajaran pada siswa
dan/atau untuk menerima atau merespons
masukan dari siswa”. Uraian mengenai strategi
penyampaian pembelajaran menekankan pada
media apa yang dipakai untuk menyampaikan
pembelajaran, kegiatan belajar apa yang
dilakukan siswa, dan struktur belajar mengajar
bagaimana yang digunakan.
3. Strategi Pengelolaan
Merupakan komponen variabel
metode yang berurusan dengan bagaimana
menata interaksi pembelajaran dengan
variabel metode pembelajaran lain nya.
Strategi ini berkaitan dengan pembelajaran lain
nya. Begitu juga yang di katkan Wena
(2009:6) bahwa strategi pengelolaan adalah
cara untuk menata interaksi antara siswa dan
50
Drs. M. Husin, M.Pd* adalah Dosen pada Prodi PGSD Unsyiah
variabel strategi pembelajaran lainnya
(variabel strategi pengorganisasian dan strategi
penyampaian). Strategi pengelolaan
pembelajaran berhubungan dengan pemilihan
tentang strategi pengorganisasian dan strategi
penyampaian yang digunakan selama proses
pembelajaran berlangsung. Strategi
pengelolaan pembelajaran berhubungan
dengan penjadwalan, pembuatan catatan
kemajuan siswa, dan motivasi.
PENUTUP
Guru melakukan usaha-usaha
membangkitkan motivasi belajar siswa dalam
pembelajaran IPS antara lain menghubungkan
pengajaran dengan pengalaman dan minat
siswa, menerapkan modelling, melaksanakan
komunikasi terbuka, memberikan kesempatan
kepada siswa untuk menyampaikan informasi
yang telah dimilikinya, menggali prasyarat-
prasyarat, memberikan latihan/praktek,
memberikan latihan terbagi untuk
memudahkan pemahaman siswa,
mengkondisikan suasana yang menyenangkan
dalam proses pembelajaran, serta membimbing
siswa disaat siswa mendapat kesulitan dalam
belajar. Usaha lain yang dilakukan guru dalam
membangkitkan motivasi belajar siswa dalam
pembelajaran IPS antara lain menambahkan
program remedial, menggunakan metode
pembelajaran yang variatif, meningkatkan
fungsi perpustakaan sekolah, mengadakan
perlombaan cerdas cermat dalam bidang IPS,
serta guru menerapkan metode karya wisata
setiap semester dengan menbawa siswa keluar
kelas mengunjungi situs-situs sejarah dan situs
budaya.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. Pasal 4 UU No. 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional.
http://www.bpkp.go.id. Diakses 6
Januari 2012.
Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan Praktek,
Rineka Cipta. Jakarta.
Dimyati, dkk. (2009). Belajar dan
Pembelajaran, Rineka Cipta. Jakarta.
Hamalik, Oemar (2010). Perencanaan
Pengajaran Berdasarkan Sistem, PT.
Bumi Aksara. Jakarta.
________. (2010). Kurikulum dan
Pembelajaran, PT. Bumi Aksara.
Jakarta.
Hidayati. (2007). Bahan Ajar Pelatihan
Implementasi ”Pakem” Pada Bidang
Studi IPS Sekolah Dasar, Depdiknas.
Universitas Yokyakarta.
Maha, Ramly. (2000). Perancangan
Pembelajaran Sistem Ilmu
Pengetahuan Sosial, Rajawali Pers.
Jakarta.
Poerwadarminta (2010). Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Balai Pustaka. Jakarta.
Roestiyah, N.K. (2008). Strategi Belajar
Mengajar, Salah Satu Unsur
Pelaksanaan Strategi Belajar
Mengajar: Teknik Penyajian, Rineka
Cipta. Jakarta.
Sanjaya, Wina. (2007). Strategi Pembelajaran,
Kencana. Jakarta.
Sardiman, A.M. (2011). Interaksi dan
Motivasi Belajar Mengajar, Rajawali
Pers. Jakarta.
Soedjiono, Anas. (2005). Pengantar Statistik
Pendidikan, Rajawali Pers. Jakarta.
Wena, Made. (2009). Strategi Pembelajaran
Inovatif Kontemporer Strategi
Pembelajaran Inovatif Kontemporer:
Suatu Tinjauan Konseptual
Operasional, PT. Bumi Aksara.
Bandung.
51
Drs. Abubakar, M.Si* adalah Dosen Universitas Serambi Mekkah dan Mahasiswa Program Doktor UIN
Ar-Raniry BandaAceh
Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd** adalah Dosen Universitas Serambi Mekkah
THE BARRIERS OF IMPLIMANTATION THE CHARACTER VALUE AND LOCAL
WISDOM LEARNING MATERIALS ANALYSIS OF SOCIOLOGY
SUBJECS IN HIGH SCHOOL BANDA ACEH
Oleh
Abubakar* dan Anwar**
Abstract
Begin 1976 the sociology officially became the subjects in senior high school, the main
problem is not the availability of learning that teachers have a background of sociology, this
led to a lack of ability of teachers in preparing and teaching material models based on local
wisdom, learning is often focused on textbooks alone, so that the development paradigm
character education can not be realized, unattractive and boring lessons, students learned
much from the local values and life experiences, this study is one of the important effort to
find the exact model of learning with the learning principles of sociology and the
availability of teaching materials which corresponds the paradigm of character education
and be able to identify various barriers and were able to find a way out. This research
method is descriptive qualitative triangulation approach, results show, shows,
Implementation character values based on local wisdom in teaching sociology in Banda
Aceh has some problems and become obstacles are: The existence of a standard regulatory
measurement of national education through the national final examination (standardized
testing) which emphasizes the realm koqnitif course, this raises the contradictory because it
is centralized, making it hard Implementation indigenous values that are decentralized.
Teachers do not have the experience of teaching sociology, they are not in field of
sociology, teaching sociology is additional subjects other than teaching main task in
mayority, with such conditions are often the task of teaching sociology courses in Banda
Aceh is a double play (multiple roles). The material used is a national and centralized
textbooks, teachers have not been able to develop special materials in the classroom-based
learning in the region. Many parents no longer pay attention to their children's education in
every school, they assume teenager education is the responsibility of school, the task of
parents is to deliver and finance only.
Key Words : Teaching Caracter Value and Local Wisdom
Tujuan pendidikan pada umumnya bernilai
baik, yaitu sebagai usaha sadar, sistimatis dan
terencana, yang bertujuan membentuk manusia
yang berkepribadian sesuai dengan karakter
bangsa dan masyarakatnya, banyak faktor
yang dapat mempengaruhi pendidikan, salah
satu factor yang menentukan (determinan
factor) tersedianya sumber daya manusia yang
kompeten menurut bidangnya, serta faktor lain
yang cukup penting adalah peran serta
masyarakat sebagai sumber belajar, hal ini
penting karena apa yang diberikan dan
dikembangkan di sekolah merupakan segala
sesuatu yang dibutuhkan dan apa yang
tersedia di masyarakat, oleh sebab itu
sesungguhnya apa yang dipelajari di sekolah
tidak boleh terlepas dari apa yang ada di dalam
masyarakatnya, apa bila itu terjadi maka akan
muncul apa yang disebut oleh Hary A
Gunawan 2013 dengan gejala desintegratif,
yaitu berkurangnya kesetiaan terhadap nilai-
nilai umum yang telah berlaku di masyarakat,
dengan demikian maksud dari tujuan
pendidikan yang sebenarnya tidak tercapai.
Provinsi Aceh merupakan daerah khusus
yang memiliki berbagai potensi, baik potensi
alam dan potensi sosialnya, serta memiliki
berbagai kearifan lokal yang selaras dengan
nilai-nilai Syariat Islam, demikian juga hal
dengan Kota Banda yang telah menetap
visinya menjadi kota madani berbasis Syariat
Islam, untuk itu perlu adanya upaya berbagai
pihak termasuk guru dalam mengembangkan
nilai-nilai Islami guna mewujudkan visi
tersebut, termasuk melalui berbagai
pembelajaran di sekolah adalah upaya nyata
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
52
Drs. Abubakar, M.Si* adalah Dosen Universitas Serambi Mekkah dan Mahasiswa Program Doktor UIN
Ar-Raniry BandaAceh
Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd** adalah Dosen Universitas Serambi Mekkah
dalam penanaman nilai-nilai kearifan lokal
pada generasi mudanya.
Salah satu pembelajaran penting
untuk mencapai tujuan itu adalah
pembelajaran mata pelajaran sosiologi, namun
sering sosiologi di anggap sebagai mata
pelajaran pelengkap, bahkan mata pelajaran
sosiologi hanya di berikan pada anak-anak
kelompok IPS saja, sering orang berpikir IPS
adalah jurusan di mana tempat berkumpulnya
anak-anak kurang cerdas dan nakal,
Pemahaman seperti itu akan terbagunnya
paradigma berpikir (frame of mind)
kebanyakan kita menyangkut dikhatomi
kelompok ilmu IPA dan IPS, IPA prioritas
sedangkan IPS menjadi alternatif, dengan
demikian tanpa kita sadari pembelajaranpun
akan berjalan seadanya saja dan mengikuti
karakter siswa sesuai dengan anggapan di atas.
METODA PENELITIAN
Penelitian ini bersifat kualitatif,
responden penelitian berasal dari seluruh guru
pengajar mata pelajaran sosiologi pada SMA
Kota Banda Aceh, beserta beberapa unsur dari
pihak terkait seperti pakar-pakar sosiologi dan
tokoh adat budaya yang dianggap memilki
pengetahuan sesuai dengan masalah yang
diteliti dan data yang diperlukan. Teknik
pengumpulan adalah wawancara mendalam,
observasi dan dokumentasi.
Pengolahan dan Analisis Data, data
yang terkumpul akan di olah dengan
Dengan metoda
kualitatif. Tujuannya untuk menggambarkan
katagori-katagori yang relevan dengan tujuan
yang ingin di capai dalam penelitian, sehingga
melahirkan luaran penelitian yang sempurna.
Reduksi data dilakukan sebagai usaha sejak
awal penelitian secara terus menerus, hal ini
di tempuh untuk menghindari penumpukan
data, sehingga memungkinkan peneliti
mengumpulkan data secara terus menerus
untuk memperdalam setiap temuan
sebelumnya dan untuk mempertajam data
data yang sudah ada.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembelajaran Sosiologi di Indonesia
termasuk mata pelajaran baru, masuk dalam
kurikulum Indonesia mulai tahun 1994, model
pembelajaran dan berbagai tujuannya terus
berkembang sesuai dengan arah tujuan, visi
utama pendidikan Indonesia yaitu
pembentukan karakter sesuai dengan Undang-
undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20
Tahun 2003, Pasal 3. Mengingat Indonesia
memiliki 1.128 suku mendiami pulau yang
berbeda-beda, maka nilai-nilai karakter perlu
diselaraskan pula dengan kearifan lokalnya,
sehingga hasil pembelajaran bermanfaat bagi
lulusannya ketika kembali ke masyarakat
lingkungannya.
Bagi guru sosiologi menyelaraskan
nilai-nilai karakter yang telah ditetapkan
secara nasional dengan nilai-nilai kearifan
lokal dirasa masih banyak hambatan,
hambatan itu baik yang berasal dari guru itu
sendiri, buku ajar, kurikulum dan model
pembelajaran yang belum selaras dengan
harapan pembelajaran yang diinginkan, bahkan
hambatan tersebut bersumber dari regulasi
pemerintah sendiri. Berikut ini penulis
mencoba mendeskripsikan beberapa problema
pembelajaran sosiologi berdasarkan hasil
penelitian tahun 2013 di Kota Banda Aceh.
1. Hambatan Implimentasi Penerapan
Nilai Karakter pada SMA Kota Banda
Aceh
Berdasarkan hasil pengelohan dan
analisis berbagai data yang terkumpul, dapat
disimpulakn sebagai berikut :
a. Hambatan Regulasi dan Standar
Pengukuran
UU No 20/ 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, menetapkan tujuan
pendidikan nasional ditujukan agar peserta
didik dapat mengembangkan potensi dirinya
secara aktif untuk memiliki kekuatan spiritual
keamanan, pengendalian diri, kepribadian,
akhlak mulia, kecerdasan, dan
keterampilan. Apa yang digariskan dalam
UUD tersebut jelas bahwa pendidikan bukan
hanya menjadikan peserta didik pandai dari
segi akademik, tetapi untuk menjadikan
manusia yang utuh yang mampu menjadi
manusia yang mengabdi kepada Sang Maha
Pencipta, menjadi manusia demi manusia
yang lain dan alam semesta.
Pendidikan nasional tidak hanya
bermkasud menciptakan kemampuan manusia
yang memiliki kecerdasan intelektual saja,
namun harus membangkitkan hati nurani yang
akan menghasilkan manusia yang tangguh
dalam menghadapi tantangan kehidupan nyata.
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
53
Drs. Abubakar, M.Si* adalah Dosen Universitas Serambi Mekkah dan Mahasiswa Program Doktor UIN
Ar-Raniry BandaAceh
Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd** adalah Dosen Universitas Serambi Mekkah
dasar pembelajaran harus mampu
mengembangkan nilai-nilai bijak, dan
mengarahkan pada kecerdasan
intelektual/akademik atau Intelegence Quotient
(IQ), kecerdasan emosional atau Emotional
Quotient (IQ), dan kecerdasan spiritual atau
Spiritual Quetient (SQ).
Mencermati maksud tersebut arah
pembangan pembelajaran perlu penekanan
pada berbagai karakternya, dengan demikian
pulu tidak bisa dipisahkan dengan kearifan
lokalnya sebagai tempat mereka beradaptasi
dan membesarkan keluarganya, tekanan
pembelajaran lebih bersifat desentralistik.
Sementara di sisi lain kebijakan penerapan
Ujian Akhir Nasional (standardized testing)
menekankan pada ranah koqnitif saja
menimbukan kontradiktif karena lebih bersifat
sentralistik. Dua kebijakan yang bertolak
belakang ini menimbulkan kebingungan bagi
guru dalam pelaksanaan pembelajarannya di
kelas, karena disatu sisi ada dasar penerapan
tujuan pembelajaran yang bersifat local dengan
berbagai keunggulannya, namun di sisi lain
pemerintah menghendaki adanya keseragaman
penguasaan materi yang bersifat nasional atau
provinsi, guru dipacu dengan luar biasa untuk
mencapai kelulusan tertinggi dalanm ujian itu
dengan sasaran materi terpusat, padahal setiap
daerah memiliki karakteristik yang berbeda-
beda.
Di samping itu ada anggapan dan
seorang guru, dihasil UAN banyak siswa yang
tidak lulus, maka kinerja guru tersebut
dianggap tidak bagus, disinilah beban batin
seorang guru berkecamuk antara kejujuran dan
kecurangan. Kejujuran adalah membiar hasil
ujian siswa apa adanya sesuai denga
kemampuan siswa pada mata pelajaran yang
diasuh, kecurangan adalah melakukan berbagai
upaya yang sistimatis untuk meningkatkan
tingkat kelulusan siswa pada mata pelajaran
yang diasuh untuk mempertahankan citra
kinerjanya, dan menyelamatkan citra
sekolahnya, karena tingkat kelulusan UAN
juga menjadi tolak ukur keberhasilan
sekolahdi Indonesia saat ini, regulasi seperti
ini dapat mencoreng nilai-nilai karakter dan
kearifan kal, karena tidak ada satupun budaya
karakter bernilai baik.
Dari fenomena itu banyak hal yang
kita petik sebagai indicator yang menjadi
penghambat karena :
1. Banyak guru yang bingung dalam
pembelajaran karena memiliki tujuan
ganda, secara tertulis tujuan
pembelajaran membangun karakter
sesuai dengan kearifan local
masyarakatnya, sementara siswa wajib
lulus UAN yang sentralistik sebagai
indicator keberhasilan siswa, guru dan
sekolah serta berbagai satuan kerja yang
terlibat.
2. guru dan sekolah apabila siswa gagal
UAN menyebabkan konsentrasi guru
lebih terfokus pada materi nasional dari
pada materi materi berbasis local.
3. Berkembangnya nilai buruk seperti
curang, jual beli kunci jawaban, tidak
jujur, padahal sekolah adalah lembaga
yang menjaga nilai nilai baik, berfungsi
menjadi pengembang nilai- nilai buruk.
4. Materi yang diujikan tidak sinkron
dengan amanat konstitusi dan
perundangan pendidikan nasional,
karena hanya memerhatikan kecerdasan
intelegensia. Kemampuan intelektual saja
jelas tidak menjamin kualitas dan
keberhasilan manusia karena kurang ada
kaitannya dengan etos kerja keras dan
hubungan dengan lingkungannya.
b. Kompetensi Mengajar Guru dan
tugas mengajar tidak sesuai
Di Kota Banda guru masih
merupakan faktor penentu keberhasilan
pembelajaran dan pencapaian tujuannya,
artinya keberhasilan belajar siswa masih
sangat memerlukan peran guru di kelas, dalam
pembelajaran siswa belum mandiri untuk
menciptakan kondisi belajarnya sendiri. Kalau
guru tidak bisa hadir maka sering kali siswa
menjadi ribut dan dapat mengganggu kelas
lain yang ada disampingnya. Meskipun
peranan guru sangat penting untuk
profesionalisme mengajar, namun untuk
pembelajaran sosiologi di Kota Banda Aceh
belum ada guru khusus yang memiliki
kemampuan pendidikan sosiologi.
Guru pengajar mata pelajran sosiologi
pada SMA Kota Banda Aceh 100% tidak
memiliki bidang yang relevan dan mata
pelajaran yang diasuh, pada umumnya mereka
Abubakar dan Anwar, The Barriers of Implimantation the Character Value and Local Wisdom
54
Drs. Abubakar, M.Si* adalah Dosen Universitas Serambi Mekkah dan Mahasiswa Program Doktor UIN
Ar-Raniry BandaAceh
Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd** adalah Dosen Universitas Serambi Mekkah
memiliki latar belakang pendidikan seperti
Geografi, Sejarah, Kewarganegaraan,
Administrasi Pendidikan, Ekonomi, dan
Bahasa Indonesia. Dengan demikian
pembelajaran sosiologi pada daerah yang
diteliti dapat dikatakan belum memenuhi unsur
profesionalnya. Karena pengalaman
pendidikan guru yang mereka peroleh tidak
sesuai mata pelajaran yang mereka asuh.
Dampaknya adalah minimnya
kompetensi profesi yang harus dikembangkan
sebagai seorang guru yang baik, dengan
demikian prinsip-prinsip dan sifat-sifat
pembelajaran sosiologi tidak diterapkan, baik
bagaimana model pembelajaran, bagaimana
menghubungkan materi-materi sosiologi
dengan nilai-nilai karakter masyarakat
localnya dalam pembelajaran sekolah.
Rendahnya latar pengetahuan guru bidang
sosiologi cukup menghambat guru dalam
mengembangkan materi-materi pembelajaran
dan mengembangkan metoda penelitian
sosiologi pada masyarakat.
c. Tidak ada pelatihan khusus untuk
tenaga pengajar sosiologi
Pelatihan merupakan suatu upaya
peningkatan keterampilan secara
berkelanjutan, minimal pelatihan dilakukan
setahun sekali, hal ini penting mengingat
perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi berjalan cepat, sehingga model-
model pembelajaran tersebut mengikuti juga
perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi tersebut, seluruh perkembangan
tersebut perlu disampaikan dan dikuasai oleh
setiap guru sebagai model pembelajarannya.
Meskipun dinyakini pentingnya
pelatihan dalam peningkatan ketrampilan guru
pengajar sosiologi selama ini guru tidak
mendapat pelatihan secara sistimatis dan
regular, guru mata pelajaran lain sebenarnya
hampir sama, namun frekwensi pelatihan
untuk guru lain sering dilakukan meskipun
belum juga memenuhi jumlah yang ideal, beda
halnya dengan guru pengajara mata pelajaran
sosiologi pelatihan pernah diberikan pada IKIP
padang tahun 1985 dan yang terakhir tahun
2006 pasca Tsunami yang didanai oleh LSM
asing. Pelatihan yang pernah diperoleh oleh
guru sosiologi dalam kedua tahun tersebut 1%
menyebutkan pernah mengikuti bidang materi
sosiologi dan 3% bidang metoda mengajar,
dengan demikian 96% guru pengajar sosiologi
Kota Banda Aceh belum pernah mengikuti
pelatihan yang mendukung pembelajaran
sosiologi di kelas.
Minimnya pelatihan tersebut
menyebabkan mengajar guru di kelas
dilakukan berdasarkan pengalaman yang
diperoleh pada saat menempuh pendidikan
dulu dari berbagai LPTK-nya. Mengingat
pendidikan berkarakter baru digalakkan pada
2003 sehingga tidak semua guru dapat
menguasai pola-pola, model-model
pembelajaran berkarakter pada mata pelajaran
sosiologi, karena wacana pendidikan
berkarakter tidak pernah didapatkan pada
LPTK tempat guru tersebut menempuh
pendidikannya dulu. Jadi terjadi bias yang
sangat jauh bagi guru antara tuntutan
penerapan pembelajaran berkarakter dengan
kemampuannya dalam bidang pembelajaran
berkarakter.
Sebagaimana telah disinggung di
muka guru sosiologi bukan berasal dari
bidang ilmu sosiologi, mereka berasal dari
berbagai disiplin ilmu, hal ini menggambarkan
pembelajaran sosiologi di Kota Banda Aceh
sangat bervariasi, baik dilihat dari kompetensi
guru, kemampuan menguasai materi, seni
mengajar dan kemampuan meneliti bidang
sosiologi serta kemampun mengkoloborasi
nilai-nilai karakter local dalam pembelajaran
sosiologi di kelas. Untuk itu palitihan sangat
penting bagi guru sosiologi Kota Banda Aceh
dapat berfungsi ganda, antara lain :
1. Meningkatkan kemampuan guru
mengajar sosiologi
2. Meningkatkan kemampuan dalam
pengimplimentasian nilai-nilai karakter
kearifan local dalam pembelajaran
sosiologi
3. Menyeragamkan materi, model dan
metoda pembelajaran sosiologi sesuai
dengan sifat-sifat, prinsip dan tujuan
pembelajaran sosiologi berkarakter
4. Mengembangkan model-model penelitian
sosiologi untuk mengembangkan materi-
materi pembelajarannya
d. Peran Ganda Bidang Tugas Mengajar
Guru
Sebagaimana yang telah dikemukan
di muka bahwa semua guru mengajar mata
pelajaran sosiologi tidak memiliki bidang
pendidikan sosiologi, mereka ditugaskan
membantu mengajar sosiologi pada suatu
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
55
Drs. Abubakar, M.Si* adalah Dosen Universitas Serambi Mekkah dan Mahasiswa Program Doktor UIN
Ar-Raniry BandaAceh
Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd** adalah Dosen Universitas Serambi Mekkah
waktu tertentu, sementara pada waktu lain
mengajar mata pelajaran yang lain sesuai
dengan bidangnya, peran ganda guru dapat
menimbulkan beban kerja dan
ketidaknyamanan kerja dikalangan guru
sendiri.
Kondisi peran ganda seperti ini
menimbulkan kecendrungan professional
yang tidak berimbang, bagi guru yang
mengajar bukan bidangnya afiliasi
professional lebih cenderung pada bidangnya
dan sering kali menjadi prioritas sedangkan
mata pengajaran sosiologi menjadi
alternatifnya. Peran ganda dapat
menyebabkan stress kerja seorang guru karena
di satu pihak dituntut kemampuan mengajar
dalam bidangnya sementara dipihak lain juga
harus professional dalam bidang yang
sebelumnya tidak dipelajari dalam pengalaman
pendidikannya, stress seperti ini menurut
Briner (Rahayu Apriliaswati 2014), disebut
stress internal bersifat Openness to
Experience.
Peran ganda seperti ini menyebabkan
pelaksanaan kerja tidak focus, padahal
mengajar ditutuntut konsentrasi penuh,
mepersiapkan materi, media dan metoda-
metodanya serta penelitian lapangan guna
menemukan berbagai muatan kearifan local
sesuai dengan pokok bahasannya. Mata
pelajaran sosiologi materi pembelajaran lebih
menekankan pada materi lapangan, dengan
demikian guru dituntut kerja ekstra dalam
menggali berbagai nilai-nilai kearifan local
sesuai dengan lingkungan masyarakatnya.
Kerja kerja seperti itu belum dilakukan oleh
guru guru pengajar di SMA Kota Banda
Aceh dalam memperkuat implimentasi nilai
karakter dalam pembelajaran sosiologi, karena
disamping mereka mengajar mata pelajaran
sosiologi juga mengajar beberapa mata
pelajaran lainnya, fokus profesionalismenya
dapat dikatakan bercabang.
e. Materi pembelajaran besifat terpusat
Dari hasil penelitian menunjukkan
semua guru-guru pengajar sosiologi masih
menggunakan buku-buku paket nasional,
sehingga masih sulit memasukkan unsur-unsur
kearifan lokal sebagai materi pelajaran
sosiologinya, dengan demikian apa yang ada
di luar dalam masyarakat belum masuk pada
pembelajaran sekolah.
Materi sosiologi memiliki karakteristik
tersendiri dan berbeda dengan berbagai ilmu
sosial lainnya, hal ini belum banyak dipahami
oleh guru, dalam pembelajaran sulit dibedakan
mana pendekatan sosologi, antropologi,
sejarah, eknomi dan ilmu-ilmu lainnya. Belum
ada buku materi sosiologi khusus yang sesuai
dengan karakter Ke-Acehan merupakan
kendala utama guru dalam mengembangkan
materi pembelajaran di kelas, pada umumnya
materi sosiologi di Kota Banda Aceh bersifat
nasional yang bersumber dari buku-buku paket
nasional. Guru belum mampu
mengembangkan materi khusus yang memuat
nilai-nilai kearifan lokal Aceh, para pakar
sosiologi di Banda Aceh juga belum ada yang
memberikan perhatian khusus untuk
pengembangan materi local guna memperkuat
pembelajar karakter di sekolah. Oleh sebab itu
penting kiranya disiapkan buku-buku ajar yang
berbasis kearifan lokal sehingga dengan
tersedianya materi-materi tersebut membuka
wacana bagi guru dalam mengembangkan
materi-materi lebih lanjut yang lebih
kontektual dengan kearifan lokal masyarakat.
f. Belum ada keterlibatan masyarakat
dan orang tua dalam pengembangan
Nilai-nilai kearifan Lokal
Orang tua merupakan salah satu unsur
penting dalam menunjung pendidikan, orang
tua seharusnya memahami bahwa merekalah
sebagai penanggung jawab utama dalam
pendidikan putra-putrinya sesuai dengan nilai-
nilai yang diharapkan. Dewasa ini banyak
orang tua yang tidak lagi menaruh perhatian
pada pendidikan anaknya di setiap sekolah.
Dengan berbagai alas an, seperti keterbatasan
waktu, menganggap sekolah yang bertanggung
jawab untuk keberhasilan pendidikan, tugas
orang tua hanya membiayai dan tidak adanya
kesempatan dengan berbagai model yang
dibangun sekolah yang memungkin orang tau
dapat terlibat dalam pembelajaran anak-
anaknya di sekolah, bisa saja hambatan ini
diakibatkan oleh sekolah sendiri yang tidak
membuat format yang memungkinkan orang
tua terlibat di dalam program sekolahnya.
Kecendrungan pola seperti itu telah
terjadi di berbagai kota besar termasuk di Kota
Banda Aceh, banyak satuan pendidikan
menjalankan pembelajaran sendiri melalui
berbagai usahanya, orang tua juga enggan
terlibat karena tidak diikutsertakan dan juga
Abubakar dan Anwar, The Barriers of Implimantation the Character Value and Local Wisdom
56
Drs. Abubakar, M.Si* adalah Dosen Universitas Serambi Mekkah dan Mahasiswa Program Doktor UIN
Ar-Raniry BandaAceh
Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd** adalah Dosen Universitas Serambi Mekkah
menganggap bukan tugasnya lagi dengan
berbagai alasan yang telah disebutkan di atas.
Oleh sebab itu kesalahan kesalahan
tersebut perlu dihilangkan karena upaya
pembentukan pendidikan karakter berbasis
kearifan local langkah awal sebenarnya
dimulai dari orang tua terlebih dahulu, nilai-
nilai kearifan local pertama sekali dihidupkan
oleh keluarga, terus berkembang menjadi
nilai-nilai universal di masyarakat, demikian
juga sebaliknya,
2. Pembelajaran berkarakter dengan
kearifan lokal dan dampak prilaku
sosial remaja Kota Banda Aceh
Penerapan pendidikan karakter di
Indonesia termasuk masih baru, banyak hal
yang perlu dibangun guna mengembang
pendidikan berkarakter secara sempurna,
pendidikan berkarakter merupakan suatu
sistem yang secara sadar dan terencana melalui
materi/alat penanaman nilai-nilai karakter
kepada warga sekolah, yang meliputi
komponen pengetahuan, kesadaran atau
kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan
nilai-nilai sebagaimana yang dipraktekan oleh
masyarakatnya, baik nilai nilai dalam
hubungannya dengan Allah SWT, nilai-nilai
terhadap diri sendiri, sesama, lingkungan,
maupun kebangsaan sehingga menjadi
manusia insan kamil. Program pendidikan
karakter bukanlah suatu proyek pembangunan,
tetapi adalah niat dan itikad dengan tujuan
terjadi perubahan karakter masyarakat secara
menyeluruh, kembali pada sumber daya yang
bersih, jujur, amanah, adil, tidak terlibat
berbagai pelanggaran yang bertentangan
dengan nilai agama dan budaya masyarakat
setempat.
Untuk memaksimalkan pendidikan
karakter di sekolah, semua komponen
(stakeholders) harus dilibatkan, termasuk
komponen-komponen pendidikan itu sendiri,
yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan
penilaian serta berbagai perangkatnya, kualitas
hubungan, penanganan atau pengelolaan mata
pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan
aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler,
pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan,
dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan
sekolah wajib berfungsi aktif dan berperan
sesuai dengan masing-masing fungsinya.
Mencermati berbagai komponen
tersebut, dapat kita simpulkan bahwa
pelaksanaan pendidikan berkarakter dengan
memanfaatkan kearifan lokal pada SMA Kota
Banda Aceh belum terwujud, belum adanya
tindakan konkrit dari seluruh elemen sekolah
dalam meningkatkan pembelajaran dengan
pemanfaatan nilai-nilai kearifan lokal. Banyak
nara sumber yang belum faham sifat-sifat
pembelajaran sosiologi dan belum menguasai
bagaimana membuat rencana pembelajaran
berbasis lokal, yang perlu dipahami dan
diteladani oleh semua pihak sebagai penduan
hidup dalam bermasyarakat dan beragama
yang terintegrasi dalam pembelajaran di
sekolah.
Apa yang dijalankan selama ini
adalah apa yang telah lama dilakukan, dengan
muatan materi yang sangat umum dari buku-
buku nasional dan masih banyak di antara nara
sumber yang belum paham, tentang materi-
materi lokal yang dapat dimasukan dalam
pembelajaran sosiologi di sekolah. Bahkan ada
yang berpendapat bahan ajar sosiologi berbasis
materi dari nilai-nilai lokal tidak diperlukan
dengan berbagai alasan. Dari ungkapan
tersebut tersirat bahwa banyak para guru yang
mengajar sosiologi yang belum mengetahui
bagaimana memadukan konsep teoritis
nasional dengan nilai-nilai yang berlaku di
lingkunagn masyarakat, pada hal
sesungguhnya apa yang tersurat dalam teori
universal faktanya banyak bertebaran pada
masyarakat sekitar.
Terlepas dari berbagai kekurangan
dalam praktik pendidikan Aceh pada
umumnya, nilai nilai karakter yang
sebelumnya menjadi acuan hidup yang
bersumber dari Syariat Islam, kini telah
mengalimi perubahan, baik pada kalangan
generasi muda dan dewasa, hal ini ditandai
pada banyak genarasi muda yang
menghabiskan waktunya untuk kegiatan yang
tidak bermanfaat, nongkrong di caffe-caffe,
yang sebelumnya banyak dilakukan oleh
remaja pria, kini kebiasaan itu juga sudah
mulai digandrungi juga oleh remaja putri,
pembunuhan oleh kelompok tertentu,
pemerasan dalam berbagai bentuk, pindah
agama, sogok menyogok dalam berabagai
kesempatan, jual beli skripsi, mencontek,
curang ujian UAS dan UAN, merokok (kini
sudah merambah pada remaja putri,
sebelumnya sangat tabu) narkoba, freesex telah
cukup banyak dijumpai di kalangan remaja
SMA Kota Banda Aceh (2,46% remaja SMA
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
58
Drs. Abubakar, M.Si* adalah Dosen Universitas Serambi Mekkah dan Mahasiswa Program Doktor UIN
Ar-Raniry BandaAceh
Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd** adalah Dosen Universitas Serambi Mekkah
Di kelas sebenarnya nilai karakter
dapat dilaksanakan melalui proses belajar
setiap mata pelajaran atau kegiatan, tidak perlu
muluk-muluk namun perlu yang di rancang
khusus sebagaimana yang telah di singgung di
muka. Setiap kegiatan belajar mengembangkan
kemampuan dalam ranah kognitif, afektif, dan
psikomotor. Oleh karena itu tidak selalu
diperlukan kegiatan belajar khusus untuk
mengembangkan nilai-nilai pada pendidikan
budaya masyarakat setempat dan karakter
bangsa. Meskipun demikian, untuk
pengembangan nilai-nilai tertentu seperti,
religius, adil, kerja keras, jujur, toleransi,
disiplin, mandiri, semangat kebangsaan, cinta
tanah air, dan gemar membaca dapat
dikembangkan melalui kegiatan belajar yang
biasa di lakukan guru baik melalui materi
maupun tugas-tugasnya.
Untuk pegembangan beberapa nilai
lain seperti peduli sosial, peduli lingkungan,
rasa ingin tahu, dan kreatif memerlukan upaya
pengkondisian secara sengaja dan terorganisir
dengan model dan metoda pembelajaran
yang relevan sehingga peserta didik memiliki
kesempatan untuk memunculkan perilaku yang
menunjukkan nilai tersebut. Oleh sebab itu di
ujung pembahasan ini kita berkesimpulan
upaya-upaya yang sinergi semacam itu belum
dilakukan dalam pembelajaran sosiologi di
SMA Kota Banda Aceh.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian di atas,
maka ada beberapa poin penting yang dapat di
tarik sebagai hasil penelitian, antara lain :
a. Disamping beberapa hambatan yang dapat
mengganggu yang paling dicari jalan
keluarnya adalah regulasi pemerintah dan
standar pengukuran, Pendidikan nasional
tidak hanya bermkasud menciptakan
kemampuan manusia yang memiliki
kecerdasan intelektual saja, namun
pendidikan hartus mengembangkan nilai-
nilai bijak, berbasis karakter masing-
masing potensi daerahnya secara
desentralistik. Dipihak lain ada kebijakan
penerapan Ujian Akhir Nasional
(standardized testing) menekankan pada
ranah koqnitif saja menimbulkan
kontradiktif karena lebih bersifat
sentralistik. Dua kebijakan yang bertolak
belakang ini menimbulkan kebingungan
bagi guru dalam pelaksanaan
pembelajarannya di kelas, guru dipacu
dengan luar biasa untuk mencapai
kelulusan tertinggi dalanm ujian itu dengan
sasaran materi terpusat, padahal setiap
daerah memiliki karakterustik yang
berbeda-beda, berbagai upaya ditempuh
membocorkan kunci jawaban, memberi
jawaban dan lain-lain yang justru
mencoreng nilai karakter lokalnya.
b. Guru pengajar mata pelajran sosiologi pada
SMA Kota Banda Aceh 100% tidak
memiliki bidang yang relevan dan mata
pelajaran yang diasuh serta rendah
frekwensi pelatihan yang diterima guru,
minimnya pengalaman akan berdampak
pada minimnya kompetensi profesi yang
harus dikembangkan sebagai seorang guru
yang baik, dengan demikian prinsip-prinsip
dan sifat-sifat pembelajaran sosiologi tidak
dapat dikembangkan, baik bagaimana
model pembelajaran, bagaimana
menghubungkan materi-materi sosiologi
dengan nilai-nilai karakter masyarakat
localnya dalam pembelajaran sekolah, dan
akan berpengaruh pada kemampuan
penelitian sosiologinya guna menemukan
dan merangkumkan berbagai materi yang
bertebaran dalam masyarakatnya.
c. Guru pengajar sosiologi biasannya
ditugaskan mengajar lebih dari satu mata
pelajaran yang berbeda, sehingga
seringkali mereka berperan ganda (multiple
role) kondisi ini menimbulkan beban kerja
dan ketidaknyamanan kerja dikalangan
guru sendiri. Kondisi peran ganda seperti
ini menimbulkan kecendrungan
professional yang tidak berimbang, bagi
guru yang mengajar bukan bidangnya,
afiliasi professional lebih cenderung pada
bidangnya dan sering kali menjadi prioritas
sedangkan mata pengajaran sosiologi
menjadi alternatifnya. Peran ganda dapat
menyebabkan stress kerja seorang guru
karena di satu pihak dituntut kemampuan
mengajar dalam bidangnya sementara
dipihak lain juga harus professional dalam
bidang yang sebelumnya tidak dipelajari
dalam pengalaman pendidikannya, kondisi
seperti dapat menimbulkan stress kerja
bagi guru.
d. Materi sosiologi memiliki karakteristik
tersendiri dan berbeda dengan berbagai
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
59
Drs. Abubakar, M.Si* adalah Dosen Universitas Serambi Mekkah dan Mahasiswa Program Doktor UIN
Ar-Raniry BandaAceh
Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd** adalah Dosen Universitas Serambi Mekkah
ilmu sosial lainnya, hal ini belum banyak
dipahami oleh guru, dengan demikian
dalam pembelajaran sulit dibedakan mana
pendekatan sosologi, antropologi, sejarah,
eknomi dan ilmu-ilmu lainnya. Belum ada
buku materi sosiologi khusus yang sesuai
dengan karakter Ke-Acehan, merupakan
kendala utama guru dalam
mengembangkan materi pembelajaran di
kelas, pada umumnya materi sosiologi di
Kota Banda Aceh bersifat nasional yang
bersumber dari buku-buku paket nasional.
Guru belum mampu mengembangkan
materi khusus yang memuat nilai-nilai
kearifan lokal Aceh.
e. Orang tua dan masyarakat merupakan
unsure penting dalam menunjung
pendidikan karakter. Dewasa ini banyak
orang tua yang tidak lagi menaruh
perhatian pada pendidikan anaknya di
setiap sekolah, mereka beranggapan
pendidikan anak usia remaja adalah
tanggungjawab sekolah, tugas orang tua
adalah mengantar dan membiayainya,
kecendrungan seperti itu telah terjadi di
berbagai kota besar termasuk di Kota
Banda Aceh, di samping itu banyak satuan
pendidikan menjalankan pembelajaran
sendiri melalui berbagai usahanya, orang
tua juga enggan terlibat karena tidak
diikutsertakan oleh sekolah dalam berbagai
program termasuk dalam menyiapkan
materi pembelajaran untuk anaknya.
f. Karakter secara akademik adalah
pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti,
pendidikan moral, pendidikan watak,
tujuannya mengembangkan kemampuan
siswa untuk memberikan keputusan baik-
buruk berdasarkan nilai-nilai masyarakat,
menjaga dan memelihara apa yang baik itu,
dan mampu mewujudkan nilai-nilai
kebaikan tersebut dalam kehidupan sehari-
hari secara empati atau tanpa adanya
pemaksaan lagi. Pembentukan nilai-nilai
karakter di kelas perlu di bangun secara
menyeluruh setiap mata pelajaran sesuai
dengan ranah cakupannya dan
terintegrasikan dalam semua mata
pelajaran (embeded approach). Di Kota
Banda Aceh secara mikro belum tergambar
adanya tahapan tahapan yang jelas
menyangkut dengan nilai karakter apa yang
akan dicapai, baik melalui proses belajar
mengajar, budaya sekolah, ekstra kurikuler
serta nilai-nilai karakter di rumah dan
dalam masyarakat sekitarnya. Pada
umumnya di sekolah ke 18 nilai karakter
diajarkan, namun guru belum mampu
menghubungkan dan mengembangkan
nilai-nilai tersebut secara mikro di kelas.
Ucapan Terima Kasih :
Ucapan terima kasih yang tak terhingga
kepada semua pihak yang telah berpartisipasi
aktif mendukung keberhasilan penelitian ini
antara lain :
1. Puji syukur kepada Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmadnya
sehingga penelitian ini berjalan sesuai
dengan rencana.
2. Ditlitabmas Dikti Kemdikbud RI
yang telah mendukung dana sehingga
penelitian ini dapat berjalan dengan
lancar
3. Seluruh kepala sekolah dan guru
pengajar mata pelajaran sosiologi di
lingkungan SMA Negeri Kota Banda
yang telah membantu berbagai
informasi yang diperlukan
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar, Dkk (2013) Model Pembelajaran
Sosiologi Dalam Membentuk
Pendidikan Berkarakter Berdasarkan
Kearifan Lokal Pada Sma Di Kota
Banda Aceh. Laporan Penelitian Dikti
Kemendikbud RI, LP2M USM Banda
Aceh
Abubakar dan Anwar, 2013, JURNAL
KOMUNITASResearch & Learning in
Sociology and
Anthropologyhttp://journal.unnes.ac.id
/nju/index.php/komunitas. Volume 5,
Nomor 2 Edisi September 2013. Unes,
Semarang
Agus Santosa, 2012. Pembelajaran Sosiologi
di SMA, Diunduh di http://agsa
sman3yk.wordpress.com).
Ary H. Gunawan, 2010. Sosiologi Pendidikan
Suatu Analisis Sosiologi tentang
Pelbagai Problem Pendidikan, Penerbit
Reneka Cipta, Jakarta.
Abubakar dan Anwar, The Barriers of Implimantation the Character Value and Local Wisdom
60
Drs. Abubakar, M.Si* adalah Dosen Universitas Serambi Mekkah dan Mahasiswa Program Doktor UIN
Ar-Raniry BandaAceh
Drs. Anwar, S.Pd., M.Pd** adalah Dosen Universitas Serambi Mekkah
Coleman, James dan Donald Cressey. 1984.
Social Problem, Harper & Row
Publishers Inc. USA
Etin Solihatin, Hj. dan Raharjo, 2009.
Cooperative Leaning, Analisis Model
Pembelajaran IPS, Penerbit Bumi
Aksara. Jakarta
George Ritzer, Douglas J dan Goodman, 2011.
Teori Sosiologi Modern, edisi ke enam.
Alih bahasa oleh : Alimandan. Penerbit
Kencana Prenada Media Group. Jakarta
Hess, Beth. B. Dkk. 1985. Sociology. Second
Edition. Macmillan Publishing
Company. New York. Collier
Macmillan Publishers. London
LA Tahang 2010. Pengemabangan
Pembelajaran Sosiologi Berbasis E-
Learning, Diunduh di http://
prodibpi.wordpress.com/2010/08/01/pe
ngembangan-pembelajaran-so
siologi-berbasis-e-learning-di-sma
ma/.
Prayogo Bestari dan Syaifullah Syam, 2010,
Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan dalam Membangun
Karakter Bangsa (Nation and
Character Building): Refleksi,
Komitmen dan Prospek, Laboratorium
PKn, Bandung
Robert C. Bogdan. 1982. Qualitative Research
For Education to Theory and Methods.
Allyn and Bacopns, Inc. Boston,
London, Sydney, Toronto
Saifuddin, 2008, Strategi Pembelajaran
Sosiologi pada SMA, Seri Jurnal
Medika, Volume : 6 Nomor 2 tahun
2008, Edisi Mei Agustus 2008,
Diunduh di http://isjd.pdii.
lipi.go.id/admin/jurnal/6208396407.pdf
Seriwati Bukit, 2013. Pendidikan Karakter,
http://sumut.kemenag.go.id/
Widyaiswara Madya Balai Diklat
Keagaman Medan
Tirta Rahardja Umar dan Lasula, 2000,
Pengantar Pendidikan, Penerbit Pusat
Perbukuan. Depdikbud dan PT. Reneka
Cipta, Jakarta
Usman, Sunyoto. 1999. Konsep Dasar
Sosiologi. Diktat Kuliah Sosiologi
FISIPOL UGM. Yokyakarta.
Xaveary, 2010, Strategi Pembelajaran
Sosiologi Tingkat SMA, Diunduh di
http://re-searchengines.com/
xaviery6-04.html
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
61
Drs. Badaruddin, MDM* adalah Dosen Universitas Serambi Mekkah
Drs. Soewarno S., M.Si** adalah Dosen Universitas Syiah Kuala
PENGEMBANGAN MODEL PELATIHAN PENDALAMAN MATERI UNTUK
MENINGKATKAN PROFESIONALISME GURU FISIKA
SMA DI KOTA BANDA ACEH
Oleh
Badaruddin* dan Soewarno S.**
Abstract
This study aimed to develop a model of deepening training materials for teachers to
improve high school physics teacher professionalism. This study uses a design research and
development ( R & D ) as a design grant. Object of study is a high school physics teachers
in Banda Aceh, determined by sampling randoom stratified sampling technique. Variable
which is the object of research are: teacher training models for this, models have been
followed teacher training, knowledge and understanding of the material physics teacher, a
teacher for the learning performance, the conditions and the needs of teachers to design a
training model and training model operational and practical. The model has been developed
airworthiness then tested through experimentation. To collect data related to the variables
studied, used observation, questionnaires and interviews. Before being used in the study, all
first validated instruments. To analyze the data used descriptive analysis techniques. Based
on the research and analysis of the data showed that: learning physics have not been
implemented in accordance with the demands of the curriculum. This is because there are
many KD is not controlled by the teacher . Inadequate professional development of teachers
especially concerning the understanding of the material, teachers' understanding of the
material to be memorized, Farther both teachers and principals want the training material
based on deepening the comprehensive concept.
Keywords: models of training, professionalism, deepening of the material, physics.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap
hasil UN tahun 2011 yang dilakukan di SMA
Kota Banda Aceh, ternyata Kompetensi Dasar
(KD) yang tidak dikuasai paling banyak terjadi
pada pelajaran fisika yang mencapai 17 KD.
Berdasarkan hasil penelusuran penyebabnya
adalah KD tersebut tidak diajarkan, hal ini
disebabkan guru tidak menguasai KD
dimaksud (Muhammad Harun, dkk; 2011).
Dari 46 guru fisika SMA di Kota Banda
Aceh yang mengikuti UKG tahun 2012
memperoleh nilai rata-rata 41,63 dengan nilai
tertinggi 63 (hanya 1 orang) dan nilai terendah
14 (LPMP; 2012). Kenyataan tersebut
mengindikasikan bahwa kompetensi
profesional guru fisika SMA di Kota Banda
Aceh dapat digolongkan masih rendah.
Untuk itu diperlukan suatu desain
model pelatihan pendalaman materi bagi guru-
guru Fisika SMA yang operasional dan praktis
yang dapat meningkatkan kompetensi
profesional. Untuk dapat mendisain model
pelatihan dimaksud, maka diperlukan data
tentang kondisi dan kinerja riel guru Fisika
SMA selama ini serta model pelatihan yang
bagaimana yang dibutuhkan guru sesuai
dengan kondisi yang ada (need assessment).
Telah banyak reformasi pendidikian
yang dilakukan pemerintah untuk
meningkatkan mutu pendidikan, namun
reformasi pendidikan yang dilakukan tersebut
masih belum seutuhnya memperhatikan
konsepsi belajar dan pembelajaran. Reformasi
pendidikan seyogyanya bukan semata-mata
pada hasil belajar, tetapi dimulai dari
bagaimana siswa belajar dan bagaimana guru
mengajar, (Brook & Brook, 1993).
Praktik-praktik pembelajaran hanya
dapat diubah melalui pengujian terhadap cara-
cara guru mengemas dan melaksanakan
pembelajaran. Untuk itu, diperlukan program-
program pembinaan profesi guru. Program-
program tersebut membutuhkan fasilitas,
antara lain dalam bentuk pelatihan
pembelajaran untuk meningkatkan profesi
guru (Santyasa, I.W, 2009).
Salah satu program pembinaan
profesi guru dapat dilakukan melalui program
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
62
Drs. Badaruddin, MDM* adalah Dosen Universitas Serambi Mekkah
Drs. Soewarno S., M.Si** adalah Dosen Universitas Syiah Kuala
peningkatan kualitas pembelajaran melalui
pelatihan dan pelaksanaan pembelajaran dan
asesmen inovatif atau pelatihan dan
pelaksanaan lesson study (Suastra ;2006)
Adapun kompetensi professional
merupakan kemampuan penguasaan materi
pembelajaran secara luas dan mendalam yang
meliputi: (a) konsep, strukur, dan metoda
keilmuan/ teknologi/ seni yang
menaungi/koheren dengan materi ajar; (b)
materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah;
(c) hubungan konsep antar mata pelajaran
terkait; (d) penerapan konsep-konsep keilmuan
dalam kehidupan sehari-hari; dan (e)
kompetensi secara professional dalam konteks
global dan dengan tetap melestarikan nilai dan
budaya nasional (Akhmad Sudrajat 2007).
Tujuan Khusus Penelitian ini adalah
(a) Mendiskripsikan : model pembinaan
profesi guru Fisika yang berlangsung di
sekolah selama ini, model-model pelatihan
yang pernah diikuti oleh guru Fisika,
pengetahuan dan pemahaman guru terhadap
pembelajaran/materi Fisika, kinerja guru
dalam pembelajaran Fisika, kondisi dan
kebutuhan guru Fisika terhadap model
pelatihan pembelajaran yang dapat
meningkatkan profesionalismenya sesuai
dengan kondisi di lapangan; (b)
Mengembangkan model pelatihan
pembelajaran Fisika yang sesuai dengan
kebutuhan untuk peningkatan profesionalisme
guru Fisika SMA di Kota Banda Aceh.
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Sehubungan dengan tujuan utama
penelitian ini, maka penelitian ini dapat
dikategorikan sebagai salah satu jenis penelitian
pengembangan.
B. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah guru
Fisika SMA di Kota Banda Aceh. Sebagai sampel
sekolah diambil seluruh sekolah sebanyak 16
sekolah (total sampling), sedangkan sebagai
sampel guru diambil 3 guru Fisika, yaitu masing-
masing 1 guru dari kelas X, XI, dan XII secara
randooml sampling. Sehingga jumlah sampel
dalam penelitian ini sebanyak 48 orang.
C. Variabel dan Definisi Operasional
Variabel
Variabel utama yang akan diselidiki
dalam penelitian ini adalah model-model
pembinaan profesi guru yang dilakukan selama
ini, model-model pelatihan yang pernah diikuti
guru, pengetahuan dan pemahaman guru
terhadap materi dan pembelajaran Fisika, kinerja
pembelajaran guru selama ini, kondisi dan
kebutuhan guru terhadap model pelatihan.
Definisi operasional masing-masing variabel
tersebut adalah:
(1) Model-model pembinaan profesi guru yang
dilakukan selama ini adalah bentuk
operasional pembinaan profesi guru yang
dilakukan oleh pihak sekolah untuk
meningkatkan profesionalisme guru. Data
dapat diperoleh dari kepala sekolah melalui
dokumentasi data program pengembangan
sumber daya manusia yang telah dan yang
akan dilakukan pihak sekolah serta
wawancara.
(2) Model-model pelatihan yang pernah diikuti
guru adalah model-model pelatihan apa
saja yang pernah diikuti guru selama ini
serta dampaknya terhadap kinerja guru.
Data diperoleh dengan angket dan
wawancara kepada guru.
(3) Pemahaman guru terhadap materi Fisika,
adalah kondisi pengetahuan konseptual
guru tentang materi Fisika. Kondisi
pengetahuan yang dimiliki guru akan
diperoleh melalui hasil wawancara dan
angket.
(4) Kebutuhan guru terhadap model pelatihan
adalah model pelatihan yang bagaimana
yang dibutuhkan guru sesuai dengan
kondisi yang ada. Data diperoleh melalui
angket dan wawancara.
D. Pengumpulan dan Analisis Data
1) Instrumen Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang diperlukan
dalam penelitian ini, sesuai dengan variabel
penelitian, mempergunakan instrumen-instrumen
sebagai berikut:
a) Pedoman wawancara.
b) Angket.
c) Dokumentasi.
2) Teknik Analisis Data dan Cara Penafsiran
Hasil Penelitian
Data tentang (1) model-model
pembinaan profesi guru yang dilakukan sekolah
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1
63
Drs. Badaruddin, MDM* adalah Dosen Universitas Serambi Mekkah
Drs. Soewarno S., M.Si** adalah Dosen Universitas Syiah Kuala
selama ini, (2) model-model pelatihan yang
pernah diikuti guru, (3) pemahaman guru
terhadap materi Fisika SMA, dan (4) kebutuhan
guru terhadap model pelatihan akan dianalisis
secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Model-model pembinaan profesi guru
yang dilakukan sekolah.
Belum ada pembinaan guru Fisika
dalam hal pendalaman materi seara kontinyu.
Pembinaan yang ada sebatas musyawarah guru
mata pelajaran (MGMP).
B. Pemahaman guru tentang materi fisika.
Pemahaman guru terhadap materi ajar
tergolong rendah. Indikasinya adalah :
1. Dari hasil angket diperoleh informasi
bahwa masih banyak KD yang belum dikuasai
guru. Kondisi ini mendorong guru tidak
mengajarkan KD tersebut. Adapun KD-KD
yang tidak dikuasai guru sebagai berikut :
a) Kelas X
2.2 Menganalisis besaran fisika pada gerak
melingkar dengan laju konstan.
3.1 Menganalisis alat-alat optik secara
kualitatif dan kuantitatif.
3.2 Menerapkan alat-alat optik dalam
kehidupan.
4.1 Menganalisis pengaruh kalor terhadap
suatu zat.
4.3 Menerapkan azas Black dalam pemecahan
masalah.
5.1 memformulasikan besaran-besaran listrik
rangkaian tertutup sederhana (satu loop).
5.2 Mengidentifikasi penerapan listrik AC dan
DC dalam kehidupan sehari-hari.
5.3 Menggunakan alat ukur listrik.
6.1 Mendiskripsikan spektrum gelombang
elektromagnetik.
Kelas XI
1.1 Menganalisis gerak lurus, gerak
melingkar, dan gerak parabola dengan
menggunakann vektor.
1.2 Menganalisis keteraturan gerak planet
dalam tata surya berdasarkan ukum-
hukum Newton.
2.1 Memformulasikan hubungan antara konsep
torsi, momentum sudut, dan momen
inersia berdasarkan hukum II Newton
2.2 Menganalisis hukum - hukum yang
berhubungan dengan fluida statis dan
dinamik serta penerapannya dalam
kehidupan sehari-hari
Kelas XII
1.1 Mendiskripsikan gejala dan ciri-ciri
gelombang secara umum.
1.2 Mendiskripsikan gejala dan ciri-ciri
gelombang bunyi dan cahaya.
1.3 Menerapkan konsep dan prinsip
gelombang bunyi dan cahaya dalam
teknologi.
2.1 Memformulasikan gaya listrik, kuat medan
listrik, fluks, potensial listrik, energi
potensial listrik serta penerapannya pada
keping sejajar.
2.2 Menerapkan induksi magnetik dan gaya
magnetik pada beberapa produk
teknologi.
2.3 Memformulasikan konsep induksi Faraday
dan arus bolak balik serta penerapannya.
3.1 Menganalisis secara kualitatif gejala
kuantum yang mencakup hakekat dari
sifat-sifat radiasi benda hitam serta
penerapannya.
3.2 Mendiskripsikan perkembangan teori
atom.
3.3 Memformulasikan teori relativitas khusus
untuk waktu, panjang dan massa dengan
energi yang diterapkan dalam tekhnologi.
4.1 Mengidentifikasi karakteristik inti atom
dan radioaktifitas.
4.2 Mendiskripsikan pemanfaatan radioaktif
dalam teknologi dan kehidupan sehari-
hari.
2. Pemahaman guru terhadap konsep bersifat
hafalan (textbook). Hal ini berdampak pada
proses pembelajaran, dimana siswa cenderung
menghafal. Kenyataan ini sangat bertentangan
dengan hakikat fisika itu sendiri.
C. Pengetahuan Guru Tentang Model-
Model pembelajaran
Dari hasil analisis data ternyata guru-
guru Fisika SMA Negeri di Kota Banda Aceh
belum memahami model-model pembelajaran
yang cocok untuk pembelajaran fisika. Hal ini
berakibat pada monotonnya proses
pembelajaran itu sendiri, sehingga siswa jadi
bosan yang pada gilirannya hasil belajar siswa
rendah.
Badaruddin dan Soewarno S., Pengembangan Model Pelatihan Pendalaman Materi
64
Drs. Badaruddin, MDM* adalah Dosen Universitas Serambi Mekkah
Drs. Soewarno S., M.Si** adalah Dosen Universitas Syiah Kuala
D. Keinginan guru-guru dan Kepala
Sekolah tentang pelatihan.
Pada umumnya semua guru Fisika
dan kepala sekolah SMA Negeri di Banda
Aceh menginginkan adanya pelatihan
pendalaman materi dengan pendekatan
berbasis konsep.
KESIMPULAN
1. Belum ada pembinaan guru Fisika
dalam hal pendalaman materi seara
kontinyu.
2. Masih banyak KD yang belum
difahami oleh guru.
3. Pemahaman guru terhadap materi
bersifat hafalan (textbook).
4. Guru Fisika dan Kepala Sekolah
menginginkan pelatihan tentang
pendalaman materi berbasis konsep.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, (2012), Laporan Hasil Uji
Kompetensi Guru (UKG), Lebaga
Penjaminan Mutu Guru (LPMP),
Provinsi Aceh.
Brooks, J. G., & Brooks, M. G. 1993. In
search of understanding: The case for
constructivist classrooms. Virginia:
Association for Supervision and
Curriculum Development.
Muhammad Harun, dkk., 2011. Pemetaan dan
Peningkatan Mutu pendidikan Siswa
SMA di Kabupaten Aceh Besar dan
Kota Banda Aceh. Laporan Penelitian.
Penelitian Pemetaan dan pengembangan
Mutu Pendidikan Tahun Anggaran 2011.
Ditlitabmas Ditjen Dikti Kemendiknas.
Santyasa, I W., 2009. Keberadaan Dan
Kepentingan Pengembangan Model
Pelatihan Untuk Pembinaan Profesi
Guru, Program Pascasarjana Universitas
Pendidikan Ganesha.
Suastra, I W. 2006. Strategi dalam menyikapi
berlakunya Undang-Undang Guru dan
Dosen. Makalah. Disajikan pada
workshop peningkatan profesionalisme
pengawas sekolah se kabupaten
Buleleng, tanggal 24-26 Agustus 2006, di
Singaraja.
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi Mei 2014 Volume 18 Nomor 1