pendukung pengungkapan akuntansi sukarela

15
Berbagai keunggulan dari pelaporan wajib mempengaruhi kecenderungan manajer untuk menyediakan pengungkapan sukarela (Einhorn, 2005). Studi terdahulu telah meneliti hubungan antara pelaporan wajib dan pengungkapan sukarela, terutama yang dimotivasi oleh pengungkapan sukarela yang alami. Dalam penelitiannya, Einhorn (2005) menguji interaksi antara pelaporan wajib dan pengungkapan sukarela yang dibuat oleh sebuah perusahaan individual. Secara spesifik penelitian tersebut meneliti bagaimana strategi pengungkapan sukarela dipengaruhi oleh keberadaan pelaporan wajib mereka. Kemudian penelitian tersebut juga menganalisis bagaimana dorongan perusahaan untuk mengungkapkan informasi secara sukarela berhubungan dengan berbagai keunggulan dalam pelaporan wajib. H1: For USLAC, a stricter mandatory disclosure environment in their home country will be associated with greater voluntary disclosures in the U.S. Ketatnya pengungkapan wajib di negara asal akan berhubungan dengan meningkatnya pengungkapan sukarela (Terdukung) Ukuran perusahaan adalah faktor penentu penting dalam pengungkapan perusahaan. Hasil dari penelitian terdahulu menunjukkan adanya hubungan positif antara ukuran perusahaan dan tingkat pengungkapan (Meek, Roberts dan Gray, 1995; Zarzeski, 1996). Terdapat beberapa argumentasi yang mendasar hubungan ukuran perusahaan dengan tingkat pengungkapan. Pertama, perusahaan besar yang memiliki sistem informasi pelaporan yang lebih baik cenderung memiliki sumberdaya untuk menghasilkan lebih banyak informasi dan biaya untuk menghasilkan informasi tersebut lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki keterbatasan dalam sistem informasi pelaporan. Kedua, perusahaan besar memiliki insentif untuk menyajikan pengungkapan sukarela, karena perusahaan besar dihadapkan pada biaya dan tekanan politik yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan kecil. Ketiga, perusahaan kecil cenderung untuk menyembunyikan informasi penting dikarenakan competitive disadvantage. Wallace, Naser dan Mora (1994) memberikan bukti bahwa tingkat pengungkapan berhubungan

Upload: arfankaf

Post on 08-Dec-2015

219 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pendukung Pengungkapan Akuntansi Sukarela

Berbagai keunggulan dari pelaporan wajib mempengaruhi kecenderungan manajer untuk menyediakan pengungkapan sukarela (Einhorn, 2005).

Studi terdahulu telah meneliti hubungan antara pelaporan wajib dan pengungkapan sukarela, terutama yang dimotivasi oleh pengungkapan sukarela yang alami. Dalam penelitiannya, Einhorn (2005) menguji interaksi antara pelaporan wajib dan pengungkapan sukarela yang dibuat oleh sebuah perusahaan individual. Secara spesifik penelitian tersebut meneliti bagaimana strategi pengungkapan sukarela dipengaruhi oleh keberadaan pelaporan wajib mereka. Kemudian penelitian tersebut juga menganalisis bagaimana dorongan perusahaan untuk mengungkapkan informasi secara sukarela berhubungan dengan berbagai keunggulan dalam pelaporan wajib.H1: For USLAC, a stricter mandatory disclosure environment in their home country will be associated with greater voluntary disclosures in the U.S. Ketatnya pengungkapan wajib di negara asal akan berhubungan dengan meningkatnya pengungkapan sukarela (Terdukung)

Ukuran perusahaan adalah faktor penentu penting dalam pengungkapan perusahaan. Hasil dari penelitian terdahulu menunjukkan adanya hubungan positif antara ukuran perusahaan dan tingkat pengungkapan (Meek, Roberts dan Gray, 1995; Zarzeski, 1996).

Terdapat beberapa argumentasi yang mendasar hubungan ukuran perusahaan dengan tingkat pengungkapan. Pertama, perusahaan besar yang memiliki sistem informasi pelaporan yang lebih baik cenderung memiliki sumberdaya untuk menghasilkan lebih banyak informasi dan biaya untuk menghasilkan informasi tersebut lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki keterbatasan dalam sistem informasi pelaporan. Kedua, perusahaan besar memiliki insentif untuk menyajikan pengungkapan sukarela, karena perusahaan besar dihadapkan pada biaya dan tekanan politik yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan kecil. Ketiga, perusahaan kecil cenderung untuk menyembunyikan informasi penting dikarenakan competitive disadvantage. Wallace, Naser dan Mora (1994) memberikan bukti bahwa tingkat pengungkapan berhubungan postif dengan ukuran perusahaan. Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis penelitian yang diajukan dalam penelitian ini adalah: H1: Ukuran perusahaan berpengaruh pada pengungkapan sukarela yang tercermin dalam indeks IFSR.

Praktik-praktik akuntansi akan selalu menjadi acuan dalam pembuatan standar akuntansi, demikian juga sebaliknya standar dibuat terlebih dahulu untuk mengatur praktik. Jika datangnya standar akuntansi berasal dari praktik-praktik akuntansi (berupa pelaksanaan dan pengembangan yang dilakukan oleh pelaku bisnis) dan praktik-praktik akuntansi timbul karena adanya kultur masyarakat yang mewarnai serta mempengaruhi hubungan bisnis, pasar modal, lembaga keuangan, profesi akuntansi, pemerintahan suatu negara, maka standar akuntansi akan tampak sebagai kultur yang dikendalikan oleh kekuatan pasar atau masyarakat pengguna akuntansi (Zarzeski, 1996).

Jadi kultur tumbuh dan berkembang karena merespon stimuli-stimuli lingkungannya, demikian pula perilaku pembuatan pengungkapan laporan keuangan oleh perusahaan dan pembuatan standar akuntansi (pengungkapan laporan keuangan) di suatu negara. Hal ini didukung olah beberapa riset yang menunjukkan bahwa pola lingkungan suatu masyarakat atau negara akan memiliki hubungan dengan sistem atau aturan-aturan akuntansinya (Cooke, 1992; Lang dan

Page 2: Pendukung Pengungkapan Akuntansi Sukarela

Lundholm, 1993; Alford dkk., 1993; Wallace dkk., 1994 dan 1995; Meek dkk., 1995 serta Zarzeski, 1996).

Kultur adalah suatu kondisi yang mampu mendorong terbentuknya pola piker dan perilaku tertentu pada individu dan masyarakat (Shudarshan dkk., 2001). Lebih luas Hofstede mendefinisikan kultur sebagai “the collective programming of the mind which distinguishes one group category of people from another. The category of people here is the nation” (Zarzeski, 1996; Watts, 1999; Sudharshan, 2000; Aryani, 2002).

Berdasar uraian tersebut secara sederhana kultur adalah pola pikir dan cara pandang individu atau kelompok masyarakat dalam menyikapi hidup yang membedakan antara satu kelompok dengan kelompok masyarakat lainnya, antara satu bangsa dengan bangsa lainnya, antara satu negara dengan negara lainnya. Menurut Hofstede terdapat empat dimensi kultur yaitu: individualismcollectivism, uncertainty avoidance, masculinityfemininity dan power distance. (Zarzeski, 1996; Culpepper& Watts, 1999; Sudharshan dkk., 2001; Hodgetts & Luthans, 1997: 102-111)

Individualism-collectivism yaitu sejauh mana derajat individualisme yang berlaku pada suatu masyarakat atau seberapa besar derajat kolektivitas yang terjadi pada masyarakat di suatu negara. Individualisme merupakan tingkat dimana orangorang di suatu negara lebih memilih bertindak sebagai individu daripada sebagai kelompok. Individualisme bisa didefinisikan sebagai kecenderungan orangorang untuk hanya memperhatikan kepentingan dirinya sendiri, keluarga atau kerabatnya dan tidak menghiraukan kepentingan masyarakat secara umum. Masyarakat di negara yang tinggi derajat individualismenya pada umumnya didukung oleh etos kerja protestan, tingginya inisiatif individu dan promosi didasarkan pada prestasi kerja. Pada negara-negara yang derajat kolektivitasnya tinggi, individu sangat dibatasi oleh pranata sosial dan norma-norma yang menekankan pada tujuan kelompok atau orang banyak, terdapat kecenderungan orang-orang untuk berkelompok dan saling menjaga satu sama lainnya agar tercipta loyalitas. Masyarakat di negara yang tinggi derajat kolektivitasnya pada umumnya kurang didukung oleh etos kerja protestan, rendahnya inisiatif individu dan promosi didasarkan pada senioritas.

Pada level individu, derajat individualismekolektivisme ini bisa diukur dari seberapa besar tuntutan terhadap kesejahteraan orang banyak dan keberhasilan tujuan kelompok; seberapa keras usaha seseorang dalam mengejar tujuan atau keinginannya; seberapa besar kerelaan individu untuk berkorban demi kepentingan bersama; seberapa besar motivasi individu dalam bekerja untuk diri dan keluarganya; sejauh mana tingkat independensi seseorang dan seberapa besar tuntutan profesionalisme dalam pekerjaannya.

Uncertainty Avoidance didefinisikan sebagai tingkat dimana orang lebih menyukai situasi yang teratur atau terstruktur daripada situasi yang tidak terstruktur. Situasi yang teratur atau terstruktur menunjuk pada aturan yang jelas tentang bagaimana seseorang harus bertindak dalam melaksanakan segala aktivitasnya. Jadi Uncertainty Avoidance menjelaskan tentang orang yang merasa terancam oleh situasi yang tidak pasti dan telah memiliki keyakinan serta kebiasaan untuk menghindari ketidakpastian tersebut. Masyarakat yang tidak suka dengan ketidakpastian (high uncertainty avoidance) biasanya membutuhkan keamanan, sangat yakin dengan keahlian dan pengetahuan yang dimilikinya, aktivitasnya didasarkan pada struktur organisasi, banyak

Page 3: Pendukung Pengungkapan Akuntansi Sukarela

aturanaturan tertulis, manajernya kurang berani mengambil risiko, labor turnover yang rendah dan pekerjanya kurang berambisi (misal: Jerman, Jepang, Spanyol). Pada masyarakat dengan derajat uncertainty avoidance yang rendah (low uncertainty avoidance) pada umumnya berani mengambil risiko, hidup harus terus berjalan walaupun penuh dengan risiko, aktivitasnya kurang bertumpu pada struktur organisasi, sedikit aturan-aturan tertulis, manajer lebih berani mengambil risiko, labor turnover relatif tinggi, banyaknya pegawai yang berambisi, organisasi mendorong anggotanya untuk menggunakan inisiatifnya dan berasumsi bahwa mereka akan bertanggung jawab atas semua tindakannya (misal: Denmark, Inggris).

Pada level individu, operasional dari uncertainty avoidance bisa ditunjukkan oleh besarnya tuntutan seseorang terhadap keberadaan syarat-syarat pekerjaan dan instruksi yang rinci agar individu selalu tahu apa yang akan dilakukan; intensitas stress dan kecemasan yang menimpa seseorang pada khususnya dan masyarakat pada umumnya; seringnya timbul ketakutan atau kecemasan terhadap situasi yang tidak pasti dan risikonya; derajat implementasi secara konsekuen terhadap undang-undang, hukum dan peraturan yang ada.

Masculinity merupakan tingkat dimana nilai-nilai seperti assertiveness, performa, keberhasilan dan kompetisi yang hampir di seluruh masyarakat berhubungan dengan peranan pria. Jadi masculinity menunjuk pada nilai-nilai yang dominan dalam masyarakat yaitu: kesuksesan, uang dan materi (kebendaan), menekankan pada pendapatan (earning), pengakuan atau penghargaan (recognition), kemajuan (advancement), dan tantangan (challenge). Individu didorong untuk menjadi pengambil keputusan yang independen, keberhasilan ditunjukkan oleh penghargaan dan kemakmuran (kekayaan), stress kerja yang tinggi dan manajer percaya bahwa bawahannya tidak suka kerja maka perlu diawasi secara ketat (misal: Jepang).

Sedangkan femininity menunjuk pada nilai-nilai seperti kualitas hidup, memelihara hubungan yang akrab, pelayanan, kepedulian terhadap yang lemah dan solidaritas yang hampir di seluruh masyarakat berhubungan dengan peranan wanita. Jadi femininity menunjuk pada nilai-nilai dominan dalam masyarakat antara lain: peduli pada sesama, kualitas hidup, mementingkan kerja sama, persahabatan (friendly), keamanan atau kelangsungan kerja para pegawai (employment security). Individu didorong untuk mengambil keputusan secara kelompok, keberhasilan ditunjukkan oleh adanya hubungan manusia dan hidup yang serasi. Di tempat kerja ditandai dengan stress kerja yang rendah, manajer memberi keepercayaan dan tanggung jawab kepada bawahannya serta memberi kebebasan pada mereka (misal: Norwegia).

Pada level operasional, masculinity-femininity ini bisa dijelaskan oleh bagaimana situasi meeting, apakah lebih baik jika dipimpin oleh pria; pandangan tentang pria yang seharusnya memiliki karir profesional daripada wanita; apakah pria selalu menyelesaikan masalah dengan analisis yang lebih logis sedangkan wanita lebih intuitif; apakah penyelesaian masalah-masalah organisasi efektif menggunakan cara-cara yang lebih tegas dan keras yang merupakan tipikal pria; apakah lebih baik jika pria menduduki posisi pada level yang lebih tinggi daripada wanita; apakah segala sesuatu yang bersifat material itu lebih penting; apakah benar pria dianggap lebih tegas, ambisius dan rasional dibanding wanita; dan sebagainya.

Power Distance didefinisikan sebagai tingkat ketidaksamaan diantara orang dalam suatu populasi dan bisa menggambarkan distribusi kekuasaan individu dalam suatu organisasi sehingga

Page 4: Pendukung Pengungkapan Akuntansi Sukarela

secara lebih luas bisa menggambarkan sejauh mana tingkat kesenjangan kekuasaan yang ada pada masyarakat di suatu negara. Jadi power distance menjelaskan bahwa orang-orang yang memiliki kekuasaan yang kecil dalam suatu organisasi menerima jika kekuasaan terdistribusi secara tidak merata atau tidak sama.

Power distance merupakan dimensi kultur yang bersifat hirarkis dan menekankan pada eksistensi rentang antara atasan-bawahan berdasarkan kekuasaan formal, simbul-simbul prestise seperti pemisahan ruang kerja, ruang makan, tempat parkir dan adanya konsensus asumsi mengenai berhaknya atasan dalam memerintah bawahan.

Power distance yang rendah (low power distance) diindikasikan oleh adanya desentralisasi, struktur organisasi yang bersifat datar atau pendek (flat), supervisor yang sedikit, tenaga kerja level bawah diisi oleh orang-orang yang berkualitas (berkompeten). Sedangkan power distance yang tinggi (high power distance) tercermin pada keberadaan sentralisasi kekuasaan, struktur organisasi yang berjenjang (tinggi), banyaknya tenaga supervisor, tenaga kerja level bawah mengisi pekerjaan yang berkualifikasi rendah. Kondisis tersebut akan memicu ketidakseimbangan kekuasaan antar berbagai tingkatan (level) dalam organisasi. Pada level individu, kesenjangan kekuasaan ini secara operasional bisa dijelaskan oleh antara lain: apakah pimpinan mengambil keputusan tanpa berkonsultasi dengan bawahan atau staffnya, sering menggunakan otoritasnya ketika berhadapan dengan bawahannya, jarang meminta pendapat pada bawahannya, menghindar untuk berhubungan dengan karyawannya di luar dinas. Apakah karyawan harus tidak boleh menolak terhadap keputusan manajemen dan pimpinan tidak mendelegasikan tugas pentingnya terhadap karyawannya. Apakah terjadinya kesenjangan kekuasaan dalam masyarakat adalah disengaja atau diharapkan; apakah masyarakat umum sangat bergantung pada kelompok masyarakat yang memiliki akses dengan kekuasaan; bagaimana ketimpangan kekuasaan yang terjadi di masyarakat; apakah dikembangkan hubungan antara kelompok masyarakat yang lemah dalam hal akses kekuasaan dengan kelompok masyarakat yang kuat; bagaimana tuntutan masyarakat terhadap transparansi di segala bidang, dan sebagainya.

Menurut Gray (1988), Alford dkk. (1993), Meek dkk. (1995) dan Zarzeski (1996), kultur masyarakat suatu negara berpengaruh pada aktivitas bisnis dan pada akhirnya juga mempengaruhi praktik-praktik akuntansi di negara tersebut. Berdasarkan hasil penelitian Hofstede maka peneliti berikutnya jika ingin mengetahui bagaimana dampak atau pengaruh kultur terhadap laporan keuangan dan pengungkapannya, bisa menggunakan laporan tahunan perusahaanperusahaan pada berbagai kelompok negara yang berdasarkan riset sebelumnya memiliki kultur yang relatif berbeda.

Menurut alford dkk. (1993), Meek dkk. (1995) dan Zarzeski dkk. (1996), eksistensi perusahaan dan aktivitas bisnis (termasuk di didalamnya praktikpraktik akuntansi dan keuangan) keberadaannya dipengaruhi oleh kultur yang ada pada masyarakat sekitarnya. Alford menguji pengaruh kultur masyarakat tehadap akurasi kandungan informasi dalam pengungkapan laporan keuangan secara tidak langsung dengan cara melakukan survey pada berbagai negara di Eropa, USA, Jepang dan Afrika Selatan.

Page 5: Pendukung Pengungkapan Akuntansi Sukarela

Data hasil survey pada masing-masing negara disusun dalam bentuk tabel dan grafik, selanjutnya dibandingkan antara satu negara dengan negara lainnya dan dianalisis secara kualitatif. Meek melihat pengaruh kultur terhadap luas pengungkapan dengan cara memperlakukan kultur sebagai variabel dummy yaitu dengan cara mengelompokkan perusahaan-perusahaan yang berada di wilayah USA di satu pihak dan perusahaan-peruasahaan di wilayah UK serta Eropa kontinental di pihak lain. Zarzeski menguji pengaruh kultur terhadap luas pengungkapan dengan cara langsung dan tidak langsung. Pertama, melakukan survey dengan menyebar kuesioner kepada para pegawai yang ada pada perusahaan-perusahaan sampel di 64 negara. Cara kedua adalah secara tidak langsung yaitu dengan melakukan regresi karakteristik perusahaan terhadap luas pengungkapan pada perusahaan-perusahaan sampel yang beroperasi di Perancis, Jerman, Hong Kong, Jepang, UK dan USA.

Zarzeski beranggapan bahwa perbedaan kultur masyarakat di dunia ini bisa drepresentasikan oleh enam negara tersebut. Hasil regresi pada keenam negara tersebut selanjutnya dibandingkan dan Dianalisis sejauh mana perbedaannya, variabel-variabel karakteristik perusahaan apa saja yang signifikan berpengaruh terhadap variasi luas pengungkapan laporan keuangan pada masing-masing negara.

Hasil analisis uji beda tersebut di atas memperkuat bukti bahwa kultur lingkungan di tempat perusahaan berada berdampak pada aktivitas perusahaan. Temuan ini sesuai dengan Alford dkk. (1993), Meek dkk. (1995) dan Zarzeski (1996) bahwa aktivitas bisnis perusahaan dipengaruhi oleh kultur masyarakat sekitarnya tak terkecuali praktik-praktik akuntansi dan keuangan yang salah satunya tercermin pada luas pengungkapan laporan keuangan.H2: USLAC from individualistic countries are likely to provide more voluntary disclosures, in the U.S., than USLAC from collectivist countries. Negara individualistik lebih cenderung untuk memberikan pengungkapan sukarela daripada negara koletivisH3: USLAC from low power distance countries are likely to provide more voluntary disclosures, in the U.S., than USLAC from high power distance countries. USLAC dari negara dengan power distance yang rendah cenderung untuk memberikan pengungkapan sukarela daripada USLAC dari negara dengan power distances tinggi

INTISARI ARTIKEL: TARCA2004Penelitian ini menguji praktek pelaporan perusahaan-perusahaan yang sahamnya listing diluar negri dan domestik pada negara Inggris, Perancis, Jerman, Jepang dan Australia untuk mengetahui sejauh mana penggunaan standar akuntansi internasional yaitu apakah mengadopsi atau sebagaisuplemen. Standar akuntansi internasional yang dimaksud dalam artikel ini adalah International Accounting Standards (IAS) dan Standar Amerika Serikat (US GAAP).

Hasil dari penelitian ini membuktikan bahwa perusahaan yang menggunakan standar akuntansi internasional adalah perusahaan besar, pendapatan sebagian besar diperoleh dari luar negri dan saham perusahaan juga listing dipasar modal asing. Artikel ini memberikan gambaran pada para manager dan pembuat peraturan bahwa penggunaan standar akuntansi internasional sangat erat hubungannya dengan karakteristik perusahaan. Keputusan perusahaan untuk menggunakan standar akuntansi internasional sangat dipengaruhi oleh kerangka kerja institusi (sperti badan

Page 6: Pendukung Pengungkapan Akuntansi Sukarela

profesi akuntansi, hokum, praktisi dan lain sebagainya). Kerangka kerja institusi tersebut sangat mempengaruhi bentuk dan isi dari laporan keuangan perusahaan suatu negara. Di Jerman, mewajibkan perusahaan-perusahaan untuk menghasilkan laporan keuangan yang memiliki daya komparasi secara internasional dan berguna bagi investor asing dengan cara mengadopsi standar akuntansi internasional. Perusahaan yang ada di Perancis memiliki kondisi yang sama dengan yang ada di Jerman hanya saja tidak ada dukungan dari badan legislatif seperti di Jerman. Penggunaan standar Akuntansi Internasional lebih banyak di Jerman dibandingkan dengan di Perancis. Perusahaan-perusahaan baik di Jerman dan Perancis lebih memilih IAS dibandingkan Standar Amerikan (US GAAP) karena secara politik IAS bersifat netral. Di Jepang,sebagian besar praktek akuntansinya sangat dipengaruhi oleh standar Amerika Serikat. Peneliti menyimpulkan bahwa penggunaan Standar Akuntansi Internasional di negara Jerman, Perancis dan Jepang lebih besar dibandingkan dengan di Inggris dan Australia.

Penggunaan Standar Akuntansi Internasional dapat memberikan sinyal pada investor bahwa perusahaan mengungkapkan lebih banyak informasi kepada investor. Ashbaugh (2001) memberikan bukti bahwa perusahaan yang sahamnya terdaftar pada London Stock Exchange lebih menggunakan standar akuntansi internasional.

Dalam penelitian ini yang digunakan sebagai proksi atribut/karakteristik perusahaan adalah size, leverage dan industri. Perusahaan dengan size besar lebih menggunakan standar akuntansi internasional. Sedangkan beberapa pertanyaan penelitian yang ingin dijawab adalah:

1. Apakah banyak perusahaan yang menggunakan standar akuntansi internasional. 2. Mana yang sering digunakan perusahaan sebagai standar akuntansi internasional apakah

IAS ataukah US GAAP? 3. Bagaimanakah karakteristik perusahaan yang menggunakan standar akuntansi

internasional?

Penelitian ini menggunakan lima model regresi untuk tujuan sebagai berikut: 1. Model regresi 1 bertujuan untuk menentukan preferensi perusahaan lebih banyak

menggunakan standar nasional ataukan standar internasional.2. Model regresi 2 bertujuan untuk menentukan preferensi perusahaan yang menggunakan

standar akuntansi internasional dengan mengadopsi ataukah sebagai suplemen.3. Model regresi 3 bertujuan untuk menentukan preferensi perusahaan yang menggunakan

standar akuntansi internasional apakah lebih memilih IAS ataukah US GAAP.4. Model regresi 4 bertujuan untuk menentukan preferensi perusahaan yang

MENGADOPSI standar akuntansi internasional apakah lebih memilih IAS ataukah US GAAP.

5. Model regresi 5 bertujuan untuk menentukan preferensi perusahaan yang menggunakan standar akuntansi internasional sebagai STANDAR SUPLEMEN apakah lebih memilih IAS ataukah US GAAP.

HASIL PENELITIANPenggunaan Standar Akuntansi Internasional Penelitian ini memberikan bukti bahwa 35% dari sample perusahaan menggunakan standar akuntansi internasional. Standar Akuntansi Internasional digunakan oleh perusahaan-perusahaan besar yang sahamnya listing dipasar saham

Page 7: Pendukung Pengungkapan Akuntansi Sukarela

asing dan pendapatannya sebagian besar diperoleh dari luar negri. Temuan lain dalam penelitian ini menjukkan bahwa 76% perusahaan yang sahamya terdaftar di New York Stock Exchange (NYSE) menggunakan standar akuntansi internasional. Perusahaan-perusahaan pada negara-negara di Jerman, Perancis dan Jepang lebih banyak menggunakan standar akuntansi internasional dibandingkan perusahaan pada negara Inggris dan Australia dan Standar akuntansi internasional lebih banyak digunakan di Jerman di bandingkan di Perancis.

Perusahaan-perusahaan di Jerman yang menggunakan standar internasional adalah perusahaan yang terdaftar di bursa saham asing yaitu (NYSE dan OTC/Over The Counter) dan memiliki tingkat leverage yang rendah serta perusahaan-perusahaan pada kelompok industri manufacturing, konstruksi, perbankan, keuangan serta asuransi. Perusahaan-perusahaan di Jepang yang menggunakan standar internasional adalah perusahaan besar dan perusahaan yang listing di pasar saham asing yaitu (NYSE, OTC dan NON US).

Penggunaan Standar Internasional apakah diadopsi atau sebagai SuplemenHasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa perusahaan yang menggunakan standar internasional, 49% mengadopsi standar tersebut dan 51% menggunakan standar internasional sebagai standar suplemen. Perusahaan-perusahaan yang mengadopsi standar internasional adalah perusahaan-perusahaan yang pendapatannya dari luar negri dan sahamnya terdaftar di NYSE. Sedangkan perusahaan-perusahaan yang menggunakan standar internasional sebagai standar suplemen adalah perusahaanperusahaan size besar dan yang tergolong dalam industri mining dan utilities. Perusahaan-perusahaan yang ada di negara Jerman dan Jepang cenderung untuk mengadopsi standar internasional. Di Jerman, banyak perusahaan yang mengadopsi standar internasional (88%) daripada yang menggunakan standar internasional sebagai standar suplemen (12%). Banyak perusahaan di Perancis menggunakan standar internasional sebagai standar suplemen yaitu dengan menggunakan GAAP Perancis, dan beberapa menggunakan GAAP Amerika Serikat dan IAS. Di Inggris dan Australia, banyak perusahaan menggunakan standar internasional sebagai standar suplemen dan hanya sedikit perusahaan yang mengadopsi standar internasional. Perusahaanperusahaan di Inggris yang dijadikan sample sekitar 93% menggunakan standar internasional sebagai standar suplemen, dan di Australia sekitar 94% perusahaan yang dijadikan sample menggunakan standar internasional sebagai standar suplemen.

Preferensi Penggunaan Standar Internasional apakah IAS ataukan US GAAP Hasil penelitian ini menunjukkan preferensi perusahaan sample yang menggunakan GAAP Amerika Serikat sebagai standar internasional adalah 66%, sedangkan 30% lainnya menggunakan IAS dan 4% menggunakan standar di negara lain sebagai standar internasional. Perusahaan-perusahaan di Jerman lebih banyak yang menggunakan IAS daripada perusahaanperusahaan di negara lain yaitu 58% perusahaan di Jerman menggunakan IAS dan 42% perusahaan di Jerman menggunakan GAAP Amerika Serikat sebagai standar internasional. Perusahaan-perusahaan di Perancis yang menggunakan GAAP Amerika Serikat sebagai standar internasional terdapat 74% dan 15% menggunakan IAS, sisanya sebesar 11% menggunakan baik GAAP Amerika Serikat maupun IAS dan standar yang lain. Temuan lain dalam penelitian ini menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan di Perancis banyak yang menggunakan GAAP Amerika Serikat dibandingkan perusahaanperusahaan di Jerman.

Page 8: Pendukung Pengungkapan Akuntansi Sukarela

Perusahaan-perusahaan di Jepang 73% menggunakan GAAP Amerika Serikat sebagai standar internasional dan 27% menggunakan IAS sebagai standar internasional. Perusahaan-perusahaan di Jepang yang menggunakan GAAP Amerika Serikat sebagai standar internasional adalah perusahaan dengan kelompok industri perbankan, keuangan dan asuransi. Perusahaanperusahaan di Inggris, 86% menggunakan GAAP Amerika Serikat, 7% menggunakan IAS dan 7% menggunakan standar Australia dan Hongkong. Perusahaan-perusahaan di Australia, 81% menggunakan GAAP Amerika Serikat, 6% menggunakan IAS dan 13% menggunakan baik standar Amerika Serikat, IAS ataupun standar Inggris.

Preferensi untuk Mengadopsi Standar Internasional apakah menggunakan IAS ataukah US GAAP Preferensi untuk mengadopsi standar internasional adalah 61% menggunakan US GAAP dan 39% menggunakan IAS. Perusahaan-perusahaan yang terdaftar di NYSE cenderung mengadopsi standar akuntansi Amerika Serikat sedangkan perusahaan-perusahaan dengan size besar cenderung mengadopsi IAS.

Preferensi untuk Menggunakan Standar Internasional sebagai Standar Suplemen apakah menggunakan IAS ataukah US GAAP Prefernsi untuk menggunakan standar internasional sebagai standar suplemen adalah 69% menggunakan GAAP Amerika Serikat, 22% menggunakan IAS dan 9% menggunakan baik GAAP Amerika Serikat maupun IAS

H4: Larger USLAC are more likely to use ‘‘international’’ standards. USLAC yang tergolong besar akan cenderung menggunakan standar internasional.H5: USLAC with a greater proportion of foreign revenue are more likely to use ‘‘international’’ standards. USLAC dengan proporsi pendapatan yang besar akan cenderung menggunakan standar internasional

PENGUNGKAPAN AKUNTANSI SUKARELA (PERUSAHAAN ASIA YANG LIST DI US)STUDI INI MENGUJI PENGUNGKAPAN SUKARELAHASIL PENELITIAN MENUNJUKKAN BAHWA SECARA SIGNIFIKAN SEDIKIT ATAU BESARNYA PENGUNGKAPAN SUKARELA AS TERDAFTAR PADA PERUSAHAAN ASIA DARI NEGARA NEGARA YANG KURANG KETAT DENGAN PENGUNGKAPAN WAJIB.

1. MENGANALISIS PENGARUH LINGKUNGAN PENGUNGKAPAN WAJIB DALAM PENGUNGKAPAN SUKARELA USLAC

2. BAGAIMANA PENGUNGKAPAN SUKARELA PERUSAHAAN YANG KONVERGEN DAN PENGARUH DOMESTIKNYA

3. STANDAR INTERNASIONAL DALAM KONSOLIDASIAlasan penggunaan metode yang dikembangkan oleh Botosan (1997) adalah karena Botosan (1997) telah melakukan pengujian reliabilitas dan validitas atas indeks pengungkapan sukarela dan hasilnya adalah bahwa indeks pengungkapan tersebut telah reliabel dan valid. Lang dan Lundholm (1993) dalam Botosan (1997 : 329) menyatakan bahwa tingkat pengungkapan laporan tahunan berkorelasi positif dengan jumlah pengungkapan yang diberikan melalui media yang

Page 9: Pendukung Pengungkapan Akuntansi Sukarela

lain. Berdasarkan hasil dari penelitian Lang dan Lundholm (1993) tersebut maka pengungkapan sukarela dalam penelitian ini menggunakan proksi laporan tahunan (annual report).Karakteristik perusahaan dapat menjelaskan variasi luas pengungkapan sukarela dalam laporan tahunan, karakteristik perusahaan merupakan prediktor kualitas pengungkapan (Lang and Lundholm, 1993). Secara umum, hubungan antara tingkat pengungkapan informasi yang dilakukan oleh perusahaan dengan kinerja pasar perusahaan masih sangat beragam. Secara teoritis, ada hubungan positif antara pengungkapan (termasuk pengungkapan sukarela) dan kinerja pasar perusahaan (Lang & Lundholm, 1993). Laporan tahunan adalah salah satu media yang digunakan oleh perusahaan untuk berkomunikasi langsung dengan para investor. Pengungkapan informasi dalam laporan tahunan yang dilakukan oleh perusahaan diharapkan dapat mengurangi asimetri informasi dan juga mengurangi agency problems (Healy et al, 2001, dalam Sayekti dan Wondabio, 2007).Penelitian Lang dan Lundholm (1993) mengenai pengungkapan sukarela menunjukkan bahwa tingkat pengungkapan yang lebih tinggi berasosiasi dengan kinerja pasar yang lebih baik (yang diukur dengan return saham). Lang dan Lundholm (1993) menggunakan korelasi laba dan return saham perusahaan sebagai proksi asimetri informasi. Hal ini konsisten dengan motif adverse selection (Lang dan Lundholm, 1993). Korelasi laba dan return saham yang rendah mengindikasikan bahwa informasi laba hanya memberikan sedikit informasi tentang nilai perusahaan yang menunjukkan bahwa masih terdapat asimetri informasi yang tinggi. Pengungkapan tersebut bertujuan mengurangi asimetri informasi terutama pada perusahaan yang memiliki korelasi earning/ returns yang rendah. Dengan demikian, Lang et al (1993) menyatakan adanya hubungan negatif antara returns atu ERC dengan tingkat pengungkapan.

BOTOSAN (1997) MENGGUNAKAN 35 ITEM PENGUNGKAPAN YANG DISUSUNNYA, MENEMUKAN ADANYA HUBUNGAN NEGATIF ANTARA TINGKATB PENGUNGKAPAN TERHADAP COEC DENGAN MENGGUNAKAN VARIABEL KONTROL UKURAN PERUSAHAAN, BETA, DAN JUMLAH ANALIS PERUSAHAAN. HIGH > COEC HIGHBotosan (1997) memilih satu industri yang sama karena industri yang berbeda mempunyai pola pengungkapan yang berbeda. Botosan (1997) menggunakan perioda waktu satu tahun yaitu tahun 1991 dengan argumen bahwa kebijakan pengungkapan perusahaan cenderung stabil dari tahun ke tahun. Pengungkapan sukarela diproksikan melalui indeks pengungkapan sukarela, yang mana itemitem dalam daftar tersebut dihasilkan berdasarkan rekomendasi dari studi pelaporan bisnis American Institute of Certified Public Accountant (seperti Laporan Jenkins Committe), survei kebutuhan informasi investor dari SRI International, dan studi laporan tahunan Canadian Institute of Chartered Accountants. Dalam menghitung cost of equity capital, Botosan (1997) mengadopsi pendekatan yang menggunakan formula penilaian berbasis akuntansi yang dikembangkan oleh Edwards dan Bell (1961), Ohlson (1995) serta Feltham dan Ohlson (1995) dalam Botosan (1997). Dalam penelitian ini, ia menyertakan juga variabel kontrol beta pasar dan ukuran perusahaan. Beta pasar diestimasi dengan model regresi pasar dengan paling sedikit 24 dari 60 return bulanan hasil observasi dalam waktu 5 tahun yang berakhir pada 31 Desember 1991. Ukuran perusahaan dihitung dengan pendekatan kapitalisasi pasar. Hasilnya menunjukkan bahwa untuk perusahaanperusahaan yang bersifat low analyst following, pengungkapan yang semakin luas berhubungan dengan cost of equity capital yang semakin rendah. Namun, untuk perusahaan yang bersifat high analyst following, pengungkapan tidak berhubungan dengan cost of equity capital. Penelitian Botosan tersebut menarik perhatian berbagai kalangan. Penelitian-

Page 10: Pendukung Pengungkapan Akuntansi Sukarela

penelitian dengan topik yang sama kemudian banyak bermunculan, baik di luar negeri maupun di dalam negeri. Hingga kini, hasil penelitiannya masih kontradiktif.

Penelitian Lang dan Lundholm (1993) mengenai pengungkapan sukarela menunjukkan bahwa tingkat pengungkapan yang lebih tinggi berasosiasi dengan kinerja pasar yang lebih baik (yang diukur dengan return saham). Lang et al., (1993) menggunakan korelasi laba dan return saham perusahaan sebagai proksi asimetri informasi. Hal ini konsisten dengan motif adverse selection (Lang et al.,1993). Korelasi laba dan return saham yang rendah mengindikasikan bahwa informasi laba hanya memberikan sedikit informasi tentang nilai perusahaan yang menunjukkan bahwa masih terdapat asimetri informasi yang tinggi. Pengungkapan tersebut bertujuan mengurangi asimetri informasi terutama pada perusahaan yang memiliki korelasi earning/ returns yang rendah. Dengan demikian, Lang et al., (1993) menyatakan adanya hubungan negatif antara korelasi earnings/returns (ERC) dengan tingkat pengungkapan.

Penelitian yang bertujuan untuk menguji hubungan antara pengungkapan sukarela dan cost of equity capital telah banyak dilakukan. Penelitian ini dipelopori oleh Botosan (1997) yang melakukan penelitian terhadap perusahaanperusahaan yang berada pada industri permesinan, dengan aktivitas operasi utamanya antara lain primary metals, fabricated metal products except machinery and transportation equipment serta industrial and commmercial machinery.