pendidikan tradisional

5
PENDIDIKAN TRADISIONAL Adnan Unm, 2010 A. CIRI-CIRI PENDIDIKAN TRADISONAL Tradisionalisme merupakan reaksi dari perkembangan sosial yang cepat dan tidak mampu dihadapi, sehingga nilai-nilai tradisional dianggap perlu dibangkitkan kembali. Ciri utama pendidikan tradisional termasuk : (1) anak-anak biasanya dikirim ke sekolah di dalam wilayah geografis distrik tertentu, (2) mereka kemudian dimasukkan ke kelas-kelas yang biasanya dibeda-bedakan berdasarkan umur, (3) anak-anak masuk sekolah di tiap tingkat menurut berapa usia mereka pada waktu itu, (4) mereka naik kelas setiap habis satu tahun ajaran, (5) prinsip sekolah otoritarian, anak-anak diharap menyesuaikan diri dengan tolok ukur perilaku yang sudah ada, (6) guru memikul tanggung jawab pengajaran, berpegang pada kurikulum yang sudah ditetapkan, (7) sebagian besar pelajaran diarahkan oleh guru dan berorientasi pada teks, (8) promosi tergantung pada penilaian guru, (9) kurikulum berpusat pada subjek pendidik, (10) bahan ajar yang paling umum tertera dalam kurikulum adalah buku-buku teks (Suyomukti, 2010; Freire, dkk, 2009 : 164-165). Lebih lanjut menurut Vernon Smith, pendidikan tradisional didasarkan pada beberapa asumsi yang umumnya diterima orang meski tidak disertai bukti keandalan atau kesahihan. Umpamanya: 1). ada suatu kumpulan pengetahuan dan keterampilan penting tertentu yang musti dipelajari anak-anak; 2). tempat terbaik bagi sebagian besar anak untuk mempelajari unsur-unsur ini adalah sekolah formal, dan 3). cara terbaik supaya anak-anak bisa belajar adalah mengelompokkan mereka dalam kelas-kelas yang ditetapkan berdasarkan usia mereka (Freire, dkk, 2009 : 165). Ciri yang dikemukan Vernon Smith ini juga dialami oleh pendidikan Islam di Indonesia sampai dekade ini. Misalnya : Sebagian Pesantren, Madrasah, dan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang lain masih menganut sistem lama, kurikulum ditetapkan merupakan paket yang harus diselesaikan, kurikulum dibuat tanpa atau sedikit sekali memperhatikan konteks atau relevansi dengan kondisi sosial masyarakat bahkan sedikit sekali memperhatika dan mengantisipasi perubahan zaman, sistem pembelajaran berorientasi atau berpusat pada guru. Paradigma pendidikan tradisional bukan merupakan sesuatu yang salah atau kurang baik, tetapi model pendidikan yang berkembang dan sesuai dengan zamannya, yang tentu juga memiliki kelebihan dan kelemahan dalam memberdayakan manusia, apabila dipandang dari era modern ini. B. PRINSIP-PRINSIP PENDIDIKAN TRADISONAL Prinsip-prinsip pengajaran tradisonal lainnya adalah (i) tidak ada teori yang dirumuskan secara koheren yang membahas kegiatan belajar dalam sistem pendidikan tradisonal (ii) motivasi didasari hukuman, ganjaran, atau hadiah dan persaingan, (iii) Belajar dengan menghafal, dan menyimpan informasi tanpa bantuan catatan ditekankan dalam pendidikan tradisonal (iv) psikologi behavioral memiliki pengaruh yang jelas dalam pendidikan tradisional, (v) psikologi kognitif tidak banyak memberi pengaruh, (vi) kurikulum tersembunyi memainkan peran kunci dalam kehidupan pelajar, (vii) pada umumnya proses pengajaran dalam sistem pendidikan tradisonal tidak diturunkan oleh teori tertentu, (viii) modus dominan pengajaran adalah guru bicara, (ix) sistem pendidikan tradisonal punya berbagai cara untuk mengelompokkan siswa-

Upload: adnanunm3177

Post on 26-Jun-2015

2.983 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

PENDIDIKAN TRADISIONAL Adnan

Unm, 2010

A. CIRI-CIRI PENDIDIKAN TRADISONAL Tradisionalisme merupakan reaksi dari perkembangan sosial yang cepat dan tidak mampu

dihadapi, sehingga nilai-nilai tradisional dianggap perlu dibangkitkan kembali. Ciri utama pendidikan tradisional termasuk : (1) anak-anak biasanya dikirim ke sekolah di dalam wilayah geografis distrik tertentu, (2) mereka kemudian dimasukkan ke kelas-kelas yang biasanya dibeda-bedakan berdasarkan umur, (3) anak-anak masuk sekolah di tiap tingkat menurut berapa usia mereka pada waktu itu, (4) mereka naik kelas setiap habis satu tahun ajaran, (5) prinsip sekolah otoritarian, anak-anak diharap menyesuaikan diri dengan tolok ukur perilaku yang sudah ada, (6) guru memikul tanggung jawab pengajaran, berpegang pada kurikulum yang sudah ditetapkan, (7) sebagian besar pelajaran diarahkan oleh guru dan berorientasi pada teks, (8) promosi tergantung pada penilaian guru, (9) kurikulum berpusat pada subjek pendidik, (10) bahan ajar yang paling umum tertera dalam kurikulum adalah buku-buku teks (Suyomukti, 2010; Freire, dkk, 2009 : 164-165).

Lebih lanjut menurut Vernon Smith, pendidikan tradisional didasarkan pada beberapa asumsi yang umumnya diterima orang meski tidak disertai bukti keandalan atau kesahihan. Umpamanya: 1). ada suatu kumpulan pengetahuan dan keterampilan penting tertentu yang musti dipelajari anak-anak; 2). tempat terbaik bagi sebagian besar anak untuk mempelajari unsur-unsur ini adalah sekolah formal, dan 3). cara terbaik supaya anak-anak bisa belajar adalah mengelompokkan mereka dalam kelas-kelas yang ditetapkan berdasarkan usia mereka (Freire, dkk, 2009 : 165).

Ciri yang dikemukan Vernon Smith ini juga dialami oleh pendidikan Islam di Indonesia sampai dekade ini. Misalnya : Sebagian Pesantren, Madrasah, dan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang lain masih menganut sistem lama, kurikulum ditetapkan merupakan paket yang harus diselesaikan, kurikulum dibuat tanpa atau sedikit sekali memperhatikan konteks atau relevansi dengan kondisi sosial masyarakat bahkan sedikit sekali memperhatika dan mengantisipasi perubahan zaman, sistem pembelajaran berorientasi atau berpusat pada guru. Paradigma pendidikan tradisional bukan merupakan sesuatu yang salah atau kurang baik, tetapi model pendidikan yang berkembang dan sesuai dengan zamannya, yang tentu juga memiliki kelebihan dan kelemahan dalam memberdayakan manusia, apabila dipandang dari era modern ini.

B. PRINSIP-PRINSIP PENDIDIKAN TRADISONAL

Prinsip-prinsip pengajaran tradisonal lainnya adalah (i) tidak ada teori yang dirumuskan secara koheren yang membahas kegiatan belajar dalam sistem pendidikan tradisonal (ii) motivasi didasari hukuman, ganjaran, atau hadiah dan persaingan, (iii) Belajar dengan menghafal, dan menyimpan informasi tanpa bantuan catatan ditekankan dalam pendidikan tradisonal (iv) psikologi behavioral memiliki pengaruh yang jelas dalam pendidikan tradisional, (v) psikologi kognitif tidak banyak memberi pengaruh, (vi) kurikulum tersembunyi memainkan peran kunci dalam kehidupan pelajar, (vii) pada umumnya proses pengajaran dalam sistem pendidikan tradisonal tidak diturunkan oleh teori tertentu, (viii) modus dominan pengajaran adalah guru bicara, (ix) sistem pendidikan tradisonal punya berbagai cara untuk mengelompokkan siswa-

siswa untuk diajar, dan (x) segelintir modus pengajaran mendominasi sistem pendidikan tradisional ((Freire, dkk, 2009 : 174-183).

Bila dicermati lebih mendasar pada tujuan pendidikan, tujuan sekolah, ciri umum, subjek didik, administrasi, sifat dan hakikat kurikulum, mata pelajaran, metode-metode pengajaran, dan pengendalian ruang kelas, sesungguhnya pendidikan tradisonal bertumpu pada idiologi-ideologi pendidikan seperti fundamentalisme pendidikan, intelektualisme pendidikan dan konservatisme pendidikan (O’Neil, 2008: 498-521) C. PESANTREN SEBAGAI CONTOH PENDIDIKAN TRADISIONAL

Salah satu contoh pendidikan tradisonal adalah pesantren. Pada mulanya, pesantren yang ada masih bersifat salafiah (tradisional) dan hanya mengajarkan ilmu agama seperti fikih, tasawuf, dan akidah dengan kitab kuning sebagai rujukannya. Untuk keperluan ini para kiai menyediakan ruangan khusus untuk penginapan dan tempat-tempat khusus yang terdapat di kiri-kanan masjid. Aktivitas yang dilakukan dinamakan pengajian. Lembaga pengajian ini kelak berkembang menjadi lembaga pesantren. Menurut Nawawi (2006) dan Siregar (1996) dalam pertumbuhannya, pondok pesantren telah mengalami beberapa fase perkembangan. Ada 5 macam pola fisik pondok pesantren, sebagai berikut. (i) Pondok pesantren yang hanya terdiri dari masjid dan rumah Kiai. Pondok pesantren bersifat sederhana sekali, Kiai mempergunakannya untuk tempat mengajar, santri hanya datang dari daerah sekitar pesantren itu sendiri, (ii) Pondok pesantren selain masjid dan rumah Kiai, juga telah memiliki pondok atau asrama tempat menginap para santri, (iii) Pola ini, di samping memiliki kedua pola tersebut di atas dengan sistem weton dan sorogan, pondok pesantren ini telah menyelenggarakan sistem pendidikan formal seperti madrasah, (iv) Pola ini selain memiliki pola-pola tersebut di atas, juga telah memiliki tempat untuk pendidikan keterampilan, seperti peternakan, dan perkebunan, dan (v) Dalam pola ini, di samping memiliki pola keempat tersebut, juga terdapat bangunan-bangunan seperti: perpustakaan, dapur umum, ruang makan, kantor administrasi, dan toko.

Walaupun tiap pesantren mempunyai ciri yang khas, namun ada beberapa prinsip dasar pendidikannya, yang tetap sama (Siregar, 1996, dan Nawawi, 2006), yaitu; (i) Adanya hubungan yang akrab antara santri dan Kiai, lebih bebas dan saling membutuhkan, (ii) Santri taat dan patuh kepada Kiainya, karena kebijaksanaan yang dimiliki oleh Kiai, (iii) Santri hidup secara mandiri dan sederhana, kehidupan antara santri sangat demokratis, (iv) Adanya semangat gotong royong dalam suasana penuh persaudaraan, (v) Para santri terlatih hidup berdisiplin dan tirakat, (vi) Di samping pelajaran agama pesantren juga mengajarkan idealisme, persaudaraan dan kesamaan serta rasa percaya diri. D. IMPLIKASI PENDIDIKAN TRADISIONAL BAGI PENGEMBANGAN

PENDIDIKAN NASIONAL INDONESIA. Implikasi pendidikan tradisional bagi pengembangan pendidikan nasional dapat dilihat dalam berbagai aspek antara lain: 1. UU Sisdiknas Tahun 2003

Ayat 1, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,

akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,bangsa dan negara. Ayat 2, Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Pasal 12 ayat 1 bagian a Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak: mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama;

Pasal 1 ayat 1 di atas utamanya pada kata ” memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia” kata mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya pada pasal 12 ayat 1dan kata “yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional “ sangat jelas merupakan perwujudan dari pengaruh pendidikan tradisional yang sangat mementingkan nilai-nilai luhur bagi peserta didik. Implikasi pendidikan tradisional bagi pengembangan pendidikan nasional adalah dijadikannya Pendidikan Agama dan PPKN sebagai pendidikan wajib untuk semua jenjang pendidikan mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Bahkan PPKN dan Agama merupakan dua pelajaran yang wajib dilulusi oleh anak dalam Ujian Nasional. Khusus pada perguruan tinggi, Ilmu sosial dan budaya dasar merupakan mata kuliah yang wajib diprogramkan oleh para peserta didik. Akhir-akhir ini lagi disemarakkan pendidikan karakter oleh Kementerian Pendidikan Nasional pada dasarnya sangat sarat dengan semangan pendidikan tradisional.

Pasal 1 ayat 19 berbunyi : Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, da bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Adanya sebuah kurikulum yang jelas sebagai pedoman bagi guru dalam pelaksanaan pembelajaran merupakan cirri dari pembelajaran tradisional. Artinya hamper semua bentuk pendidikan formal di Negara kita (Indonesia) masih sangat dipengaruhi oleh pendidikan tradisional. Impilikasi pendidikan tradisional ini sangat berpengaruh terhadap pengembangan pendidikan di Indonesia. Hal ini dapat saya lihat pada setiap kali pergantian kurikulum. Sejumlah kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah dalam dunia pendidikan sangat dipengaruhi oleh jenis kurikulum yang diberlakukan pada saat itu. Kebijakan-kebijakan tersebut memberikan pengaruh yang sangat luas bagi keterlaksanaan proses pembelajaran di kelas yang wajib diikuti dan diterapkan oleh guru pada semua jenjang pendidikan.

Pasal 1 ayat 11 berbunyi: Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Pasal ini sangat bersesuaian dengan karakter pendidikan tradisional, yaitu mereka kemudian dimasukkan ke kelas-kelas yang biasanya dibeda-bedakan berdasarkan umur, anak-anak masuk sekolah di tiap tingkat menurut berapa usia mereka pada waktu itu, mereka naik kelas setiap habis satu tahun ajaran. Implikasi pendidikan tradisional terhadap pengembangan pendidikan nasional dapat dilihat pada penjenjangan kelas pada setiap jenjang pendidikan, hingga pelaksanaan ujian untuk kenaikan kelas/kenaikan tingka pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.

Tentunya masih banyak contoh-contoh implikasi pendidikan tradisional dalam pengembangan pendidikan nasional kita pada berbagai pasal dalam UU sisdikna No 20 tahun 2003 bila ditelisik satu demi satu.

Dari aspek pelaksanaan pembelajaran, harus diakui bahwa hingga saat ini sejumlah kelas-kelas formal dalam system pendidikan kita masih didominasi oleh psikologi behavioral seperti teori Classical conditioning (Ivan Petrovich Pavlov 1849:1936): Teori ini menekankan bahwa

belajar terdiri atas pembangkitan respons dengan stimulus yang pada mulanya bersifat netral atau tidak memadai. Melalui persinggungan (congruity) stimulus dengan respos, stimulus yang tidak memadai untuk menimbulkan respons tadi akhirnya mampu menimbulkan resposns.

Implikasi teori belajar ini dalam pendidikan adalah (i) Tingkah laku guru mengharapkan murid menghafal secara mekanis/otomatis (ii) Verbalitis karena tingkah laku mechanistis dan reflektif (iii) Guru tersebut membiasakan muridnya dengan latihan(iv) Sekolah D (duduk), tidak ada inisiatif karena perasaan, pikiran tak mengarahkan tingkah laku (v) Guru hanya memberi tugas tanpa disadari oleh muridnya (vi) Guru tidak memperhatikan perbedaan individu (vii) Guru menggunakan “learning by parts” (viii) Guru menyuapi murid saja dan murid menerima yang diolah guru, jadi guru aktif.

The Law Of Effect (Edward L.Thorndike;1874-1949) : S-R Theory. Thorndike berkesimpulan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus dan respons. Itulah sebabnya teori ini disebut SR Bond Theory atau S-R Psycology of Learning” atau S-R Theory disebut juga teori “Trial and Error Learning” Berdasarkan teori belajar tersebut , maka implikasinya bagi dalam pendidikan sebagai berikut :1. Tak memperhatikan perbedaan individual. 2. Kadang-kadang lupa akan tujuan pokok, karena terlalu memperhatikan hadiah 3. Biasanya yang berhasil adalah murid yang struggle untuk menerima hadiah

Hal ini didasarkan pada pendapat teori diatas :1. Manusia belajar karena kepuasan untuk memperoleh ganjaran 2. Tingkah laku terbentuk karena hasil trial & error dan law of effect 3. Yang dilakukan seseorang disebabkan kesenangan sehingga berlangsung secara otomatis conditioning. Praktik belajar masih banyak digunakan untuk memotivasi siswa dengan pemberian hadiah/ganjaran/reward pada berbagai jenjang pendidikan nasional di Indonesia. Segala yang menyenangkan (law of effect) akan diingat oleh siswa dan akan mudah dipelajari oleh siswa, maka berdasarkan teori ini guru harus mampu menciptakan suasana belajar mengajar yang menyenangkan. Guru harus mampu membuat pelajaran matematika yang menyeramkan menjadi yang menyenangkan. Kaitan dengan masalah menyenangkan ini, dalam salah satu model pembelajaran, yaitu model pembelajaran Kooperatif, salah satu sintaksnya adalah memberikan penghargaan. Ini semua merupakan bentuk-bentuk implikasi pendidikan tradisional dalam praktek pembelajaran di kelas (Guruvalah, 2009) Freire, P; Illich, I dan Fromm, E. 2009. Menggugat Pendidikan (Fundamentalis, Konservatif,

liberal dan anarkis) (Alih Bahasa: Naomi). Pustaka pelajar. Yogyakarta. Guruvalah. Orientasi baru dalam psikologi belajar. http://www.guruvalah diakses tahun 2009. Nurani, S. 2010. Teori-Teori pendidikan: Tradisional, Neoliberal, Marxis-sosialis, Postmodern.

Ar Ruzz Media. Yogyakarta. Nawawi. 2006. Sejarah dan Perkembangan Pesantren. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri

(STAIN) Purwokerto O’Neill, W.F. Educational Idiologies (Ideologi-Ideologi pendidikan, Alih bahasa: Naomi).

Pustaka pelajar. Yogyakarta. Peraturan Pemerintah No 66 Tahun 2010 Tentang perubahan atau peraturan pemerintah Nomor

17 Tahun 2010 Tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan.

Siregar, S. 1996. Pondok Pesantren: Sebagai Model Pendidikan Tinggi ? Seminar Nasional Universitas Model Pesantren Mungkinkah? Kampus STMIK Bandung Bandung, 12 Desember 1996