pendidikan tinggi teknik dan pengembangan industri;prosiding.bkstm.org/prosiding/2016/pd-005.pdf ·...
TRANSCRIPT
Proceeding Seminar Nasional Tahunan Teknik Mesin XV (SNTTM XV)
Bandung, 5-7 Oktober 2016
PD-005
[1] “World Bank national accounts data “, http://data.worldbank.org (diakses pada tanggal 27 september 2016)
Pendidikan Tinggi Teknik dan Pengembangan Industri;
Ultra-Marathon menuju 17000 US Dollar per Kapita
Djoko Suharto1,*, Arief Haryanto1, Satrio Wicaksono1, Bentang Arief Budiman1
1Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara, Institut Teknologi Bandung
Jl Ganesha 10 Bandung 40132, Indonesia
*Email: [email protected] / [email protected]
Abstrak
Makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang tantangan ke depan yang kita hadapi
untuk mencapai kesejahteraan bagi seluruh elemen bangsa. Tantangan di era globalisasi saat ini, yaitu
bagaimana berperan menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dan, yang tidak kalah
penting, tantangan untuk mengubah sikap mental bangsa kita sendiri. Pertama-tama akan dibahas
gambaran dari skenario perkembangan makro ekonomi sampai tahun 2045 (100 tahun kemerdekaan).
Selanjutnya akan dikemukakan pentingnya sumber daya manusia sebagai “Mesin Pertumbuhan
Ekonomi” yang dikembangkan melalui program pendidikan yang terencana dan terstruktur dengan
baik. Pendidikan yang meliputi pendidikan agama, budi pekerti, dan karakter, dimulai dari pendidikan
dasar sampai pendidikan tinggi. Pendidikan yang tidak hanya mempersoalkan kuantitas tetapi juga
kualitas dan relevansinya dengan tempat kerja, baik di sektor jasa maupun industri. Kemudian akan
didiskusikan kaitan dan peranan pendidikan teknik dalam pengembangan industri dan kontribusinya
ke pertumbuhan ekonomi nasional. Bagian terakhir dari makalah ini mengilustrasikan peranan
perguruan tinggi teknik, khususnya Teknik Mesin, dalam penelitian yang seharusnya diarahkan ke
industri supaya mempunyai dampak tinggi untuk Indonesia.
Kata kunci: Pendidikan Teknik, Industri, Pertumbuhan Ekonomi, Sumber Daya Manusia
Prolog
Alumni Teknik Mesin ITB mempunyai
modal sosial yang tidak ternilai harganya yaitu
semangat Solidarity Forever. Semangat ini
diwariskan oleh generasi senior ke generasi
muda dan diimplementasikan dalam suasana
kekeluargaan di perkumpulan alumni kami.
Sebagai contoh, saat ini alumni mengusahakan
bantuan dana untuk program Akreditasi
Internasional Fakultas Teknik Mesin dan
Dirgantara. Salah satu ide menarik untuk
pengumpulan dana adalah penyelenggaraan
kegiatan lari ultra-marathon dari Jakarta ke
Bandung. Tentu saja kondisi fisik yang prima
dan mental yang kuat serta tidak mudah
menyerah merupakan syarat mengikuti lari
ultra-marathon. Visi untuk meningkatkan
kesejahteraan bangsa, menuju tingkat ekonomi
yang memadai dengan dukungan dari
pengembangan industri, dapat dianalogikan
seperti lomba lari ultra-marathon. Lomba
tersebut memerlukan perencanaan dan
persiapan yang matang serta harus dijalani
dengan mental baja.
Skenario Makro Ekonomi
Indonesia saat ini sudah tidak lagi termasuk
negara miskin walaupun belum bisa
dikategorikan sebagai negara kaya. Dengan
pendapatan per kapita lebih dari 3000 dollar,
Indonesia termasuk pada kategori negara
berpendapatan menengah-bawah [1]. Bila
786
Proceeding Seminar Nasional Tahunan Teknik Mesin XV (SNTTM XV)
Bandung, 5-7 Oktober 2016
PD-005
[2] “Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)“, Lampiran peraturan presiden
republik indonesia no. 32 tahun 2011, 2011
[3] “Produksi Minyak Bumi dan Gas Alam tahun 1996-2014“, Badan Pusat Statistik, https://www.bps.go.id (diakses
pada tanggal 29 september 2016)
[4] “Saudi Arabia facts and figures“, Organization of the Petroleum and Exporting Countries (OPEC),
http://www.opec.org (diakses pada tanggal 27 september 2016)
dihitung dengan faktor power purchasing
parity pendapatan per kapita Indonesia berada
di tingkat rata-rata dunia. Berdasarkan data
Produk Domestik Bruto (PDB), Indonesia
sudah termasuk dalam G 20. Pada masa
pemerintahan presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY), perencanaan jangka
panjang berupa Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
(MP3EI) telah dibuat sampai tahun 2045, yang
merupakan skenario 100 tahun kemerdekaan
Indonesia [2].
Gambar 1 memperlihatkan skenario
tersebut. Dokumen MP3EI merupakan
perencanaan yang cukup komprehensif dan
bisa dijadikan referensi karena mengandung
data rinci untuk berbagai komoditas dan
kegiatan ekonomi Indonesia. Proyeksi
pertumbuhan ekonomi pada Gambar 1,
menurut pandangan kami, terlalu optimis
sehingga prediksi tahun 2014 pun sudah tidak
tercapai. Memang tidak mudah membuat
proyeksi ekonomi apalagi dalam jangka waktu
lama. Bila dibaca dengan hati-hati, prasyarat
yang dikemukakan dalam dokumen MP3EI
sangat berat untuk dipenuhi. Oleh sebab itu,
perlu dipikirkan alternatif skenario lain yang
lebih realistis.
Gambar 2 merupakan skenario alternatif
dengan memperhitungkan faktor energi yang
bisa disediakan dan kondisi lingkungan yang
wajib dijaga. Usulan pertumbuhan moderat
tersebut juga mempertimbangkan faktor
konektivitas negara kepulauan yang jauh lebih
sulit dari negara daratan, serta aspek sosial dari
berbagai suku bangsa. Kita semua setuju bila
persatuan bangsa dijaga dan dirawat dengan
baik, maka akan menjadi modal sosial yang
tidak ternilai untuk NKRI. Pada Gambar 2,
proyeksi pendapatan per kapita hanya
ditargetkan lebih dari dua kali dalam jangka
waktu 10 tahun dan antara 5 dan 6 kali pada
tahun 2045. Tergantung dari kondisi
pertumbuhan ekonomi, target tersebut juga
tidak mudah untuk dicapai, namun perlu
diusahakan sekuat tenaga agar Indonesia
terhindar dari fenomena middle class trap.
Sekali lagi analoginya adalah seperti lari ultra-
marathon yang memerlukan perencanaan dan
persiapan yang matang serta harus
diimplementasikan dengan mental baja.
Gambar 1. Proyeksi pertumbuhan ekonomi
Indonesia versi MP3EI [2]
Gambar 2. Usulan proyeksi pertumbuhan
ekonomi moderat yang berkelanjutan.
Sumber Daya Manusia sebagai Mesin
Pertumbuhan Ekonomi
Pola pikir bahwa Indonesia mempunyai
sumber daya alam (SDA) yang berlimpah
hendaknya dievaluasi dan ditinjau kembali
karena akan menimbulkan persepsi bahwa
Indonesia sangat kaya SDA dan dapat hidup
bergantung dari SDA. Contoh ekstrem adalah
produksi minyak bumi beberapa tahun
terakhir. Produksi Indonesia sudah kurang dari
800.000 barel per hari, jauh lebih rendah dari
Saudi Arabia yang menghasilkan sekitar 10
juta barel per hari [3, 4].
787
Proceeding Seminar Nasional Tahunan Teknik Mesin XV (SNTTM XV)
Bandung, 5-7 Oktober 2016
PD-005
[5] D. Suharto dan Z. Abidin, “Demographic Advantage, Where it should be directed“, Keynote Speaker Presentation,
2nd ACIKITA International Conference on Science and Technology, Jakarta, 26-28 August 2012.
[6] L. Lanqing, “Education for 1,3 Billion“, Pearson Education and Foreign Language Teaching & Research Press,
Beijing, 2005
[7] "World Economic Outlook Database", International Monetary Fund, April 2016.
[8] M. Abduhzen, “Pesan untuk Kemdikbud“, Kompas 29 Agustus 2016
Apabila dihitung per kapita, produksi
minyak Indonesia hanya 0.003 barel per
kapita-hari sedangkan Saudi Arabia lebih dari
seratus kalinya yaitu 0.309 barel per kapita-
hari. Data diatas tidak untuk membuat kita
menjadi pesimis tetapi kita harus bisa
menyadari kondisi kekayaan alam Indonesia.
Untuk itu, perlu dilakukan studi secara ilmiah,
yaitu menghitung kekayaan alam Indonesia
per kapita dan membandingkannya dengan
kekayaan alam negara lain.
Sebaliknya, penduduk Indonesia yang
berjumlah lebih dari 250 juta jiwa adalah aset
yang sangat berharga bila mereka mendapat
pendidikan yang baik [5]. Sebagai ilustrasi
bandingan disajikan arsitektur makro pola
pendidikan di Singapura pada Gambar 3,
dimana Singapura menekankan pendidikan
vokasi melalui Institute of Technical
Education (ITE, semacam SMK) dan
Politeknik. Jumlah Universitas di negara
tetangga tersebut dibatasi dan ditujukan untuk
menghasilkan pemimpin, pemikir serta high
level professional. Namun lulusan ITE dan
Politeknik adalah komponen komunitas yang
juga sangat penting karena mereka adalah
pekerja profesional penggerak ekonomi dan
bagian terbesar dari golongan menengah.
Gambaran perbandingan yang lain, Cina
mempersiapkan sumber daya manusia dengan
serius pada awal reformasi ekonominya [6].
Sehingga saat ini Cina sudah menjadi kekuatan
ekonomi nomor dua di dunia setelah Amerika
Serikat [7].
Sebenarnya Indonesia juga sudah
mempunyai konsep yang baik, seperti
diperlihatkan pada arsitektur makro
pendidikan Indonesia (Gambar 4). Namun
konsep yang baik tidak cukup dan hanya akan
menjadi wacana saja. Oleh karena itu
diperlukan implementasi yang konsisten dan
berkelanjutan. Mohammad Abduzen, salah
satu pakar pendidikan Indonesia, secara
komprehensif menulis tentang angka
partisipasi sekolah, angka rata-rata lama
sekolah dan penajaman pendidikan vokasi
(SMK) [8]. Tantangan terbesar adalah
mengkaitkan pendidikan dengan lapangan
kerja (link and match) dan tidak hanya
mempersoalkan kuantitas anak didik tetapi
juga kualitas serta karakternya. Pada Gambar 4
diperlihatkan usaha untuk mengkaitkan
pendidikan dengan latihan kerja di industri
(further industrial training) yang secara
konsep sudah benar namun tidak mudah dalam
implementasinya. Seperti sudah diketahui,
industri di Indonesia sebagian besar masih
kepanjangan tangan dari industri dari luar
negeri dan peranan kita masih sebatas sebagai
operator. Oleh sebab itu, perlu dipikirkan cara
kerja sama dengan para investor untuk ikut
memberikan program latihan industri.
Tantangan terbesar saat ini adalah
menciptakan lapangan kerja baik di sektor jasa
maupun industri dan membuat Indonesia lebih
mandiri. Baru baru ini Komite Ekonomi dan
Industri Nasional (KEIN) mengumumkan
supaya Indonesia mengembangkan lapangan
kerja di industri pengolahan sumber daya
alam, maritim, pariwisata dan kreatif.
Tantangan bagi kita semua untuk melakukan
eksplorasi dan ikut membuka lapangan kerja
sehingga konsep di Gambar 4 dapat terealisasi.
Berbagai usaha untuk menjadikan SDM
sebagai Mesin Pertumbuhan Ekonomi ini
dapat dianalogikan sebagai bagian dari lomba
lari ultra-marathon yang memerlukan sikap
mental yang tangguh.
Gambar 3. Arsitektur makro pendidikan di
Singapura
788
Proceeding Seminar Nasional Tahunan Teknik Mesin XV (SNTTM XV)
Bandung, 5-7 Oktober 2016
PD-005
[9] “Pengembangan produk otomotif siswa SMK bersama mitra industri“, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
Indonesia, 2012.
[10] J. G. Wissema,“Toward the Third Generation University: Managing the University in Transition“, Cheltenham:
Edward Elgar Publishing, 2009.
[11] D.Suharto dan A.I. Mahyuddin, “How Should We Educate Our Engineers”, Proceedings of the SEAMEO
Colloquium on Engineering and Technology Education, Jakarta, Indonesia, , 9-11 January 1995.
Gambar 4. Arsitektur pendidikan di Indonesia [9]
Gambar 5. Klasifikasi universitas [10]
Kontribusi Pendidikan Tinggi Teknik
J.G. Wissema seorang guru besar dari Delft
University of Technology mendefinisikan
generasi dari universitas seperti terlihat pada
Gambar 5 [10]. Universitas generasi pertama
mempunyai fokus pada pendidikan sebagai
kegiatan utama dimana setiap lulusannya
diharapkan memenuhi persyaratan akreditasi
dan sebagian besar bisa menjadi pekerja
professional. Untuk pendidikan tinggi teknik,
lulusan tersebut harus mempunyai pengalaman
bekerja di bidang yang relevan supaya bisa
menjadi insinyur professional [11].
Saat ini perundangan dan peraturan tentang
insinyur professional sedang diterapkan agar
sarjana teknik kita dapat berkompetisi baik di
negara sendiri, di tingkat regional (ASEAN),
maupun di tingkat global. Tugas dari Fakultas
Teknik adalah menghasilkan lulusan dengan
Learning Outcomes yang memenuhi syarat.
Pengalaman dari Fakultas Teknik Mesin dan
789
Proceeding Seminar Nasional Tahunan Teknik Mesin XV (SNTTM XV)
Bandung, 5-7 Oktober 2016
PD-005
[12] “Putting Higher Education to Work“, Work Bank East Asia and Pasific Regional Report, 2012
[13] D.Suharto dan A.I. Mahyuddin, “Masa Depan Pendidikan Teknik Mesin di Indonesia“, Keynote Speaker
Presentation, Seminar Nasional Tahunan Teknik Mesin VII, Manado, 4 November 2008.
[14] D.Suharto, “Penyiapan Sumber Daya Manusia untuk Penguasaan dan Pengembangan Teknologi“, Sidang Senat
Terbuka ITB dalam rangka Penerimaan Mahasiswa Baru Angkatan 1991, 10 Agustus 1991
[15] “Developing Strategies for University, Industry and Government Partnership in Indonesia“, Ministry of Education
and Culture, 2013
[16] A. Kurnadi, “Membangun Generasi Insinyur Berkeunggulan“, Presentasi di Reuni Akbar Alumni Teknik Mesin ITB,
Puspitek Serpong, 26 September 2015.
Dirgantara ITB dalam program akreditasi
ASIIN (Jerman) dan EURO ACE (Masyarakat
Uni Eropa) serta usaha yang sedang dijalankan
oleh Fakultas Teknik Universitas Andalas
(UNAND) untuk memperoleh akreditasi dari
ABET (Amerika Serikat) bisa dijadikan bahan
pembelajaran.
Perlu ditekankan sekali lagi permasalahan
relevansi antara lapangan kerja dan program
pendidikan, industrial/employment pull yang
terkait dengan education push, yang juga
merupakan tantangan nyata untuk lulusan
perguruan tinggi. Masalah ini sebenarnya
merupakan masalah universal yang telah
dilaporkan oleh Bank Dunia tentang lima
fenomena disconnects, salah satunya adalah
fenomena disconnect antara lulusan perguruan
tinggi dan lapangan kerja [12]. Berbagai cara
untuk mendekatkan lapangan kerja dengan
lulusan bisa dilakukan misalnya dengan
program kerja praktek, magang, atau
latihan/pendidkan lanjutan di perusahaan,
yang sekarang dikenal sebagai Corporate
University. Istilah ini tidak boleh
disalahartikan, Corporate University bukanlah
universitas seperti yang kita kenal tetapi
merupakan sekolah atau program latihan di
perusahaan. Beberapa perusahaan seperti
Garuda Indonesia Airways dan Astra Grup
telah melaksanakan program Corporate
University ini dengan baik.
Universitas generasi kedua dimana kegiatan
riset juga dilaksanakan disamping pendidikan
tidak akan dibahas terlalu banyak di makalah
ini. Tulisan pada Seminar SNTTM ke 7 di
Manado [13] bisa dijadikan referensi untuk
kegiatan riset yang berkaitan dengan
pengembangan ilmu maupun riset aplikasi di
industri. Namun untuk bisa berkontribusi pada
skenario pendapatan per kapita 17000 US
Dollar atau lebih diperlukan usaha yang lebih
keras dengan sinergi manajemen nasional yang
kompleks.
Pengembangan Teknologi dan Industri
Universitas generasi ke-3 seperti disajikan
pada Gambar 5 bisa berkontribusi aktif pada
pengembangan industri, menciptakan nilai
tambah dan ikut mendirikan industri lokal
yang mandiri. Pengembangan industri
memerlukan rekayasa bisnis untuk menguasai
pasar dan menyediakan modal, rekayasa
teknologi untuk alih atau adapsi teknologi, dan
bahkan inovasi teknologi bila ingin menjadi
pioner dan juara di industri tertentu. Selain itu
tidak kalah pentingnya adalah rekayasa sosial
untuk bisa mengembangkan sumber daya
manusia yang mumpuni serta bersinergi
dengan baik. Anjuran untuk program
penyiapan sumber daya manusia dalam
penguasaan dan pengembangan teknologi bisa
dilihat di referensi berikut [14] yang menurut
pendapat kami tidak bisa diimplementasikan
dengan baik karena terkendala berbagai faktor
ekonomi, politik, dan sosial, seperti krisis
moneter 1998 serta kondisi keuangan yang
kurang memadai. Disamping itu, program
penguasaan dan pengembangan teknologi
untuk mendukung industri belum sepenuhnya
bisa diterapkan di Indonesia. Studi yang
dilakukan oleh Balitbang Kemdikbud
memetakan berbagai masalah yang dihadapi
dan mempresentasikan beberapa contoh
kerjasama antara universitas, industri, dan
institusi pemerintahan [15]. Achdiat Kurniadi
memetakan strategi penguasaan teknologi di
industri menjadi beberapa tahap (Gambar.6)
mulai dari smart follower, smart competitor,
dan akhirnya smart innovator [16].
Menurut pendapat kami diperlukan
pemikiran dan perencanaan yang lebih matang
untuk mensinergikan berbagai konsep dan
permasalahan dengan usaha perencanaan
makro yang sudah dibuat seperti Masterplan
790
Proceeding Seminar Nasional Tahunan Teknik Mesin XV (SNTTM XV)
Bandung, 5-7 Oktober 2016
PD-005
[17] “Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional 2015-2035”, Pusat Komunikasi Publik Kementerian Perindustrian,
2015
Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia-MP3EI, 2011 dan juga
Rencana Induk Pembangunan Industri
Nasional 2015-2035 [17]. Untuk implementasi
dalam level mikro, diusulkan pembentukan
institusi atau badan kerjasama yang menangani
suatu pengembangan industri yang
diproyeksikan bisa masuk ke smart competitor
atau smart innovator sehingga beberapa
industri kita bisa mandiri, mempunyai nilai
tambah, dan pada akhirnya bisa berkontribusi
pada pertumbuhan pendapatan per kapita yang
memadai. Bila hal ini tidak dilakukan, maka
kita hanya akan tetap menjadi konsumen
produk teknologi dan operator saja. Bentuk
institusi seperti Fraunhofer di Jerman bisa
dijadikan contoh bentuk ideal institusi untuk
pengembangan teknologi pendukung industri.
Institusi yang bisa mensinergikan universitas
atau lembaga penelitian dan industri, bisa
menerima pendanaan baik dari negara maupun
swasta, serta berbentuk badan hukum publik
yang nirlaba.
Epilog
Tantangan untuk mencapai kesejahteraan
yang lebih tinggi dengan skenario 17000 US
Dollar per kapita, yang disertai distribusi
pendapatan/asset yang lebih merata, bukanlah
pekerjaan mudah. Perjuangan dengan sinergi
seluruh komponen bangsa sangat diperlukan,
ditambah dengan sikap mental yang tangguh
serta berani mengubah berbagai hal yang
selama ini salah atau kurang tepat. Falsafah
dasar negara kita Panca Sila harus dipegang
teguh dan diimplementasikan dengan baik.
Pendidikan secara menyeluruh yang
dimulai dari pendidikan agama, budi pekerti,
dan karakter ditambah pendidikan dasar 9
tahun merupakan prasyarat yang tidak bisa
ditawar lagi. Setelah itu pendidikan vokasi
yang relevan dengan lapangan kerja
merupakan tahap selanjutnya supaya sumber
daya manusia bisa menjadi mesin
pertumbuhan ekonomi.
Pada tingkat universitas harus dihasilkan
pemimpin, pemikir, dan high level
professional. Lulusan pendidikan tinggi teknik
harus siap berkompetisi di level internasional
dan menjadi insinyur professional. Selanjutnya
kerjasama antara akademisi dan dunia industri
harus dipersiapkan untuk mendukung industri
supaya lebih banyak menciptakan nilai tambah
dan mandiri. Semua langkah diatas bisa
diibaratkan seperti lomba lari ultra-marathon
dan sebaiknya kita mulai mempersiapkan diri.
Gambar 6. Tahap penguasaan teknologi [16]
791