pendidikan sumater barat

23

Click here to load reader

Upload: davyhendri

Post on 18-Jun-2015

316 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pendidikan Sumater Barat

PENDIDIKAN DI PROVINSI SUMATERA BARAT

Pendahuluan Paparan ini akan menjelaskan bagaimana situasi pendidikan di Provinsi Sumatera Barat dan apa implikasinya terhadap pencapaian target Millenium Development Goal (MDG). Beberapa indikator menjadi sentral perhatian dalam merencanakan bagaimana HDI berubah melalui perbaikan aspek pendidikan.

Pertama adalah terkait dengan pencapaian aspek pemerataan pendidikan. Untuk memenuhi analisis ini, pemerataan pendidikan dinilai dari persentase penduduk pada kelompok umur, 7-12, dan 13-15 tahun yang akses menempuh pendidikan formal. Dimana pemerataan pendidikan dasar telah terpenuhi, bilamana hampir keseluruhan dari kelompok usia itu akses ke jenjang pendidikan. Disertai juga dengan pemahaman bagaimana pendidikan PADU diintegrasikan kepada program pendidikan.

Kedua, juga dipahami persoalan pembasmian kebodohan, terkait dengan indikator buta huruf di Provinsi Sumatera Barat. Aspek ini dinilai dari seberapa besar persoalan yang terkait dengan penduduk berusia 15 tahun ke atas yang tidak dapat membaca huruf latin dan menulis. Terakhir tidak lupa pula melengkapi indikator kualitas pendidikan dengan segala pencapaian minimumnya. Dalam memenuhi hal ini, kualitas lebih ditujukan pada pencapaian komponen-komponen yang perlu diperbaiki dalam rangka menuju konsensus Milenium. Dimana kualitas minimum perlu juga dicapai, yang disesuaikan dengan keinginan masyarakat Provinsi Sumatera Barat.

Situasi Pendidikan Pada Awal RPJMD

alah satu konsensus masyarakat dunia dalam bidang pendidikan dewasa ini adalah menjamin tidak adanya lagi anak-anak pada rentang usia sekolah

dasar yang tidak bersekolah. Hal ini dicantumkan dalam target MDG’s (Millenium Development Goals) 2015, bahwa selambat-lambatnya pada tahun 2015, semua anak di dunia sudah menyelesaikan pendidikan dasarnya.

S

Dalam konteks itu pula, semenjak tahun 2005 Provinsi Sumatera Barat sudah memiliki dokumen perencanaan, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), dan telah pula menempatkan aspek kuantitas dan kualitas pendidikan sebagai aspek penting setidaknya selama lima tahun ke dapan.

KuantitasDari aspek kuantitas, beberapa isu penting terkait kuantitas pendidikan yang masih menjadi problema di provinsi Sumatera Barat, di antaranya adalah masih belum meratanya pendidikan pada berbagai level, belum terselesaikannya tingkat buta huruf dan kecendrungan meningkatnya angka putus sekolah.

Page 2: Pendidikan Sumater Barat

Pemerataan Pendidikan, Permasalahan utama yang terkait dengan pendidikan di Provinsi Sumatera Barat adalah belum terpenuhinya pemerataan pendidikan. Fakta ini terungkap dari indikator tingkat daftaran sekolah, baik kasar maupun murni (APK dan APM). Menariknya, ketimpangan akses sekolah ini terjadi baik pada level región (baik antar daerah maupun intra daerah kabupaten/kota di provinsi sumatera barat), kelompok umur, pendapatan dan gender serta berbagai karakteristik sosial-ekonomi lainnya.

Jika merujuk pada konsep ketimpangan antar región, maka dari data sekunder (Sumatera Barat dalam angka 2007) terbaca jelas bahwa capaian APM dan APK, beberapa kabupaten tertinggal cukup jauh dari rata-rata capain provinsi. Jika pada tahun 2007, persentase penduduk berumur 5 tahun ke atas yang belum pernah bersekolah di provinsi sumatera barat secara rata-rata berada pada kisaran 5,69 persen, maka dalam hal ini di kabupaten Mentawai jumlahnya mencapai 10,37 persen. Sementara itu di kabupaten sawahlunto/Sijunjung mencapai 8,71 persen, kabupaten Padang pariaman mencapai 8,36 persen dan kabupaten Pasaman Barat mencapai 7,02 persen.

Lebih parahnya ketimpangan intra-region sendiri juga sangat kentara. Pada beberapa kabupaten maka ketimpangan APM antara kecamatan yang bercirikan perkebunan dan pantai dengan kecamatan yang berciri kota, terbaca jelas dari berbagai penelitian lapangan. Penelitian yang dilakukan Elfindri dkk tahun 2006, tentang aksesibilitas pendidikan di kabupaten Agam menemukan fakta bahwa di daerah Pelembayan bahkan ditemukan sekitar 40% anak dari daerah sample yang tidak sekolah lagi. Angka angka pencapaian untuk Tanjung Mutiara dan Palupuh relatif berdekatan sekitar 16%, yang masih menunjukan tendensi yang masih jauh dibanding prestasi rata-rata kabupaten Agam.

Kelihatannya tesis yang menyebutkan bahwa angka APM yang rendah terjadi pada daerah-daerah khusus, seperti terisolir, perkebunan dan pantai, menemukan pembenarannya di sini. Pengaruh lokasi perumahan dapat terjadi pada kelompok mereka yang tinggal berjarak jauh ke sekolah. Ini dapat saja terjadi mengingat distribusi sekolah cendrung berada pada daerah yang padat penduduknya. Selain memakan waktu yang lama, unsur transportasi dapat mengatasi persoalan ini.

Sementara itu, merujuk pada ketimpangan akses pada level umur, maka ditemukan fakta bahwa angka APM pada rentang usia 13-15 tahun semakin menurun dari waktu ke waktu. Data dan Informasi Kemiskinan (BPS Provinsi Sumatera Barat, 2006) menyebutkan bahwa APM pada level 13-15 tahun pada tahun 2005 yang telah mencapai 89,24 persen, pada tahun 2006 turun menjadi 88,45 persen. Jika análisis dilanjutkan sampai level intra provinsi, maka beberapa kabupaten menunjukkan kecendrungan yang sama.

Jika merujuk lagi pada ketimpangan akses di level pendapatan, maka nyatalah bahwa kelompok masyarakat miskin tetap tertinggal jauh dari kelompok masyarakat yang lebih berada. Pada tahun 2005, APM rentang usia 7-12 tahun

Page 3: Pendidikan Sumater Barat

pada anak dari rumah tangga miskin telah mencapai 93,56 persen. Perbaikan tingkat partisipasi pada level ini kelihatannya berjalan lambat, di mana pada tahun 2006, angkanya baru mencapai 94,72 persen. Sementara itu, rumah tangga yang lebih berada, dalam hal ini APM tahun 2006 telah mencapai 98,34 persen.

Buta Aksara. Angka melek huruf juga dapat dijadikan sebagai tolok ukur keberhasilan dari sistem pendidikan yang dijalankan. Prestasi provinsi sumatera barat dalam hal ini juga belum menggembirakan. Secara khusus, prestasi antar waktu menunjukkan kecendrungan penurunan. Pada tahun 2005, angka melek huruf dewasa dicapai setinggi persen 97,74 persen pada penduduk usia 15-55 tahun. Artinya masih ditemukan sebesar 2,26 % lagi penduduk dewasa yang tinggal di daerah ini yang tidak dapat membaca dan menulis huruf latin. Nah, pada tahun 2006, angka ini menurun menjadi hanya 97,65.

Lebih parah lagi, angka ini pada level usia sekolah 15-24 tahun juga menunjukkan kecendrungan yang sama. Pada tahun 2005 angka melek huruf mencapai 99,12 persen maka pada tahun 2006 turun menjadi 99,09 persen. Di balik fakta ini, tersembunyi sebuah warning bahwa angka putus sekolah di kalangan penduduk usia 15-24 tahun di provinsi sumatera barat menunjukkan kecendrungan yang semakin mengkhawatirkan.

Putus SekolahPutus sekolah merupakan suatu keadaan di mana anak-anak usia sekolah 7-24 tahun tidak lagi melanjutkan pendidikan formalnya (SD, SMP, SMA dan PT). Konsep ini berkaitan erat dengan konsep buta aksara tadi. Kasus buta aksara dapat terjadi disebabkan gagalnya kelompok usia sekolah untuk masuk atau melanjutkan ke sekolah, baik karena aspek kesehatan, maupun disebabkan oleh cepatnya mereka putus sekolah sebelum kemampuan membaca dan menulis terbentuk. Biasanya hal ini lebih banyak terjadi pada kelompok usia yang sudah lebih dewasa, misalnya di atas usia 45 tahun. Atau mereka berstatus sebagai calon murid pada tahun enam puluhan.

Melek huruf untuk kajian di Provinsi Sumatera Barat terutama disebabkan karena cepatnya anak-anak putus sekolah serta sebagian diantara mereka yang tinggal jauh dari fasilitas publik mengalami ketidakpastian dalam pelayanan pendidikan. Fakta ini terbukti dari data bahwa angka putus sekolah pada rentang usia 7-12 tahun dan 13-15 tahun secara berturut-turut pada tahun 2005 baru 0,86 persen dan 6,52 persen, maka pada tahun 2006 jumlahnya telah meningkat menjadi 1,12 persen dan 6,66 persen.

Kualitas

Pencapaian NEM. Analisis berikut ingin menemukan batasan persoalan tentang kualitas yang telah dicapai di bawah sistem manajemen pendidikan. Tujuan analisis bagian ini adalah menemukan bagaimana persoalan kualitas diintegrasikan ke dalam rencana

Page 4: Pendidikan Sumater Barat

pencapaian pemerataan dan mutu pendidikan di Provinsi Sumatera Barat. Untuk itu data-data NEM dijadikan sebagai dasar untuk menilai kualitas, walaupun masih banyak sebenarnya ukuran lain tentang kualitas namun tidak memungkinkan datanya tidak tersedia.

Hasil analisis menunjukkan ketika standar kelulusan adalah berkisar antara 4 sampai 4,5, maka dapat dinyatakan pencapaian mutu untuk bidang studi dan menurut jenis pendidikan di atas ketentuan yang telah ditetapkan. Namun sangat jelas kita temukan bahwa pencapaian mutu pendidikan masih sangat bervariasi antara negeri dan swasta, antara IPA dan IPS. Gambaran yang sangat jelas bagi kita adalah bahwa sekolah swasta cendrung lebih rendah mutunya, dan hal ini perlu dijadikan sasaran dan prioritas perbaikan mutu pada masa yang akan datang

Pencapaian NEM menurut jenis SMP

Pencapaian NEM menurut jenis SMA

Sumber: Kompilasi Data oleh LPMP Sumatra Barat (2006)

SASARAN Secara umum sasaran pembangunan pendidikan Sumatera Barat sampai tahun 2010 adalah meningkatkan akses masyarakat pada pedidikan dasar dan menengah,

01

234

567

89

B Indo B Inggris Math

SMU-IPA SMU-IPS

Page 5: Pendidikan Sumater Barat

serta kualitas yang bertaraf lima besar tingkat nasional. Sasaran ini ditetapkan berdasarkan tingkat partisipasi pendidikan masyarakat Sumatera Barat, karena diproyeksikan tahun-tahun mendatang semakin tinggi tingkat kompetitif dalam mewujudkan pendidikan yang berkualitas.

Secara lebih rinci sasaran pembangunan pendidikan yang akan dikembangkan sampai tahun 2010 antara lain ditandai oleh :

1. Meningkatnya akses masyarakat terhadap pendidikan, diukur dengan : Meningkatnya angka partisipasi murni pendidikan anak usia dini menjadi

35,05 %, sekolah dasar/MI/ paket A menjadi 99,56 %, SLTP menjadi 76,52 %, dan SLTA menjadi 51,97 %, dan pendidikan tinggi;

Menuntaskan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun dan merintis wajib belajar pendidikan menengah 12 tahun

Meningkatnya akses masyarakat terisolir dan tidak mampu 60,74 %, anak berkelainan fisik dan mental menjadi 23,07 %;

2. Meningkatnya kualitas pendidikan yang ditandai dengan: Meningkatnya jumlah lembaga pendidikan terakreditasi sampai 65 %; Meningkatnya lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pelayanan

unggul Meningkatnya program studi pada pendidikan tinggi yang menghasilkan

lulusan yang berkualitas Meningkatnya pendidikan tinggi menghasilkan temuan-temuan teknologi

tepat guna yang dapat digunakan masyarakat; Meningkatnya jumlah peserta didik yang meraih prestasi pada kegiatan

lomba-lomba akademik di tingkat daerah, regional dan internasional.

3. Meningkatnya relevansi pendidikan kejuruan/keterampilan dengan kebutuhan lapangan kerja yang ditandai dengan : Menurunnya jumlah pengangguran lulusan sekolah menengah kejuruan, dan

pendidikan tinggi; Menurunnya jumlah pengangguran lulusan pendidikan nonformal bidang

kejuruan/ keterampilan.

4. Meningkatnya jenjang pendidikan masyarakat ditandai dengan : Meningkatnya lama sekolah menjadi 9,5 tahun; Menurunnya jumlah siswa mengulang setiap tahunnya sebesar 7,56 %; Menurunnya jumlah siswa putus sekolah setiap tahunnya 9,15 %; Meningkatnya minat masyarakat memasuki pendidikan kesetaraan

pendidikan nonformal; Menurunnya jumlah penduduk berusia 10 tahun keatas yang dapat baca tulis; Meningkatnya jumlah mengikuti pendidikan kecakapan hidup pada lembaga

kursus, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan sanggar kegiatan belajar.

5. Meningkatnya profesionalitas dan kuantitas guru serta fasilitator pendidikan nonformal yang ditandai dengan :

Page 6: Pendidikan Sumater Barat

Meningkatnya kelayakan mengajar guru SD/MI menjadi 82 %, SMP/MTs menjadi 91,45 %, SMA/MA/SMK menjadi 98,70 %;

Meningkatnya jumlah guru yang berprestasi tingkat propinsi dan nasional; Meningkatnya penguasaan kompetensi bidang studi oleh guru; Meningkatnya rasio guru bidang studi dengan jumlah siswa secara merata

pada kabupaten/kota; Meningkatnya jumlah fasilitator pusat kegiatan belajar masyarakat dan

sanggar kegiatan belajar; Meningkatnya jumlah fasilitator pendidikan nonformal (tenaga lapangan

dikmas) pada tingkat nagari; Meningkatnya kualitas fasilitator kursus dan bimbingan belajar sesuai kebu-

tuhan warga belajar dan masyarakat.

6. Meningkatnya kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana pendidikan yang ditandai dengan : Meningkatnya rasio ideal siswa dan sekolah di daerah perkotaan terutama

yang melaksanakan double shift; Meningkatnya rasio siswa dan kelas di daerah perkotaan terutama yang

melaksanakan double shift; Meningkatnya sekolah yang memiliki perpustakaan ; Meningkatnya sekolah yang memiliki labor pada tingkat SMP/MTs,

SMA/MA, dan ruang praktek bagi SMK; Meningkatnya sekolah yang memiliki lapangan olah raga pada tingkat

SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA/SMK; Meningkatnya rasio buku mata pelajaran dengan murid menjadi 2 : 1; Meningkatnya pendayagunaan alat dan media dalam penyelenggaraan

pendidikan; Meningkatnya sekolah yang memanfaatkan teknologi informasi; Meningkatnya pusat kegiatan belajar masyarakat dan memiliki taman bacaan; Meningkatnya kursus yang memiliki ruang praktek/bengkel kerja dan taman

bacaan; Meningkatnya nagari yang memiliki taman bacaan; Meningkatnya Masjid penyelenggara majlis taklim dan wirid remaja yang

memiliki taman bacaan.

7. Meningkatnya profesionalitas pengelola dan kualitas manajemen pendidikan yang ditandai dengan : Meningkatnya profesionalitas pengelola dan penyelenggara manajemen

pendidikan formal dan nonformal; Meningkatnya pengelolaan sumber daya pendidikan yang mengoptimalkan

potensi yang tersedia di masyarakat; Meningkatnya penempatan pengelola dan penyelenggara manajemen

pendidikan berdasarkan the right man and right place;

8. Meningkatnya peranserta masyarakat dalam pembiayaan dan kualitas pendidikan yang ditandai dengan : Meningkatnya dana masyarakat dalam pembiayaan pendidikan

Page 7: Pendidikan Sumater Barat

Meningkatnya peranserta masyarakat terhadap kualitas penyelenggaraan pendidikan

Meningkatnya pemahaman orang tua terhadap arti dan pentingnya pendidikan anak usia dini;

Meningkatnya peranserta masyarakat dalam membentuk sikap dan perilaku agamis dan budaya anak didik.

9. Meningkatnya pembiayaan pendidikan dalam APBD propinsi dan Kabupaten/Kota yang diukkur dengan: Meningkatnya pembiayaan pendidikan dalam APBD menjadi 20 %; Meningkatnya upaya efisiensi dan efektifitas dalam penggunaan anggaran

pendidikan oleh pihak terkait.

10. Meningkatnya kerjasama pengelola dan penyelenggara pendidikan secara regional dan internasional yang ditandai dengan : Meningkatnya kerjasama internal guru dan fasilitator Pendidikan Non Formal

(PNF) Meningkatnya kerjasama pendidik dan tenaga kependidikan dengan pihak

eksternal pada tingkat regional dan internasional; Meningkatnya kerjasama informasi akademik antarunit pendidikan baik

internal maupun eksternal pada tingkat regional dan internasional.

Kenapa Tidak Sekolah Lagi?.Sasaran analisis kita pada bagian ini adalah menemukan akar persoalan dalam dua hal, yang terkait dengan pencapaian pemerataan pendidikan dan mengurangi kebodohan. Untuk menjawab aspek pemerataan, maka perlu hati-hati kita memprediksi bagaimana sesungguhnya kenyataan di lapangan. Apakah universal education mudah atau bahkan sebaliknya sulit untuk dicapai. Dapat dengan mudah kita lihat dari kenyataan di lapangan bahwa satu tahap, pada daerah penelitian pencapaian pendidikan untuk semua, pada kelompok usia 6-12 tahun sudah relatif tercapai. Mengingat pencapaian angka partisipasi murni telah mendekati 100%. Namun sebaliknya untuk pencapaian akses pendidikan menengah sangat bervariasi. Di daerah Pelembayan bahkan ditemukan sekitar 40% anak usia 13-15 tahun dari daerah sample yang tidak sekolah lagi. Angka angka pencapaian untuk Tanjung Mutiara dan Palupuh relatif berdekatan sekitar 16%, yang masih menunjukan tendensi yang masih tinggi dalam ukuran pencapaian yang seharusnya telah dicapai.

Kitapun persis mengetahui, 3 daerah yang masih tergolong tinggi angka tidak sekolah untuk jenjang pendidikan SLTP memiliki keunikan satu dengan yang lain, dalam aksesibilitas, lokasi dan sebagainya. Dapat diduga bahwa Palembayan dan Palupuh, dua kecamatan yang daya jangkau dan distribusi rumah tangga relatif tersebar, dan dapat dimengerti rendahnya pencapaian pemerataan dapat saja disebabkan karena faktor jarak antara rumah dengan fasilitas pendidikan. Namun ketika hal yang sama dilihat untuk kecamatan Tanjung Mutiara, maka jelaslah kiranya persoalan jarak tidak menjadi alasan yang masuk akal lagi, namun masih

Page 8: Pendidikan Sumater Barat

kita duga pasti ada faktor lainnya. Dengan arti kata penanganan pemerataan pendidikan untuk ketiga daerah ini seharusnya berbeda satu dengan lainnya.

Untuk menemukan jawaban yang persis, maka diajukan pertanyaan tentang alasan mereka tidak sekolah lagi. Sehingga yang menjawab pertanyaan ini adalah rumah tangga dimana anak anak tidak sekolah lagi. Berbagai jawaban telah diberikan oleh responden, namun dapat diklasifikasikan menjadi 3 bagian, apakah persoalan karena beban sekolah?,

Hipotesis yang cukup menarik diajukan adalah bahwa beban sekolah dan biaya transportansi seharusnya dua faktor yang paling dominan menjelaskan kenapa anak tidak sekolah lagi. Bahkan ketika terjadinya angka putus sekolah tahun pertama setelah krisis menunjukkan justru yang paling dominan penjelasannya adalah karena anak-anak membantu orang tua untuk menambah penghasilan, terutama untuk anak laki-laki. Dari kenyataan data lapangan menunjukkan bahwa beban SPP sekalipun ditetapkan pada standar lokal, namun kelihatannya lebih besar yang merasakan persoalan beban sekolah, ketimbang dari lokasi sekolah yang berjauhan dari tempat tinggal.

Sekalipun demikian jika kita teliti lebih dalam lagi, justru di daerah Palembayan, persoalan transportasi dan beban SPP sama-sama dijadikan alasan utama tidak sekola lagi. Pada daerah padat penduduk seperti tepi pantai, alasan transportasi tidak kelihatan, justru alasan beban ekonomi terhadap sekolah dirasakan cukup berat dan berarti. Artinya sama sekali tidak satu alasan untuk mengembalikan anak ke sekolah.

Pertanyaan kemudian adalah bagaimana mengembalikan anak ke sekolah?. Opsi jawaban sebenarnya adalah untuk melihat apakah persoalan transportasi, biaya sekolah atau lainnya. Maka hasil analisis menunjukkan bahwa bantuan sekolah lebih dominan dirasakan oleh orang tua dibandingkan dengan bantuan transport.Bantuan transport sepanjang masih dalam jarak tempuh tidak terlalu bermasalah karena kebiasaan anak-anak tinggal di pedesaan untuk mampu berjalan kaki dalam jarak yang relatif jauh.

Dari jawaban demikian sangat jelas kepada kita bahwa beban sekolah justru berakumulasi menyebabkan anak-anak ke luar dari sistem pendidikan. Diantaranya adalah beban SPP, beli buku, serta keperluan lainnya yang terjadi sebagai akibat diterapkannya kurikulum. Berbeda dengan pengeluaran SPP, dia tidak secara langsung dan secara rutin dikeluarkan, kecuali setiap bulan. Sementara alasan lainnya misalnya anak-anak membantu orang tua bekerja adalah sebagai konsekwensi dari anak-anak tidak sekolah lagi, sehingga anak-anak ke luar sekolah bukanlah disebabkan terutama karena mereka membantu orang tua.

Page 9: Pendidikan Sumater Barat

Secara singkat cukup jelas bagi kita bahwa persoalan beban sekolah dapat dijadikan urutan utama akar masalah kenapa keluarnya anak-anak dari sistem pendidikan, disamping jarak antara rumah dengan fasilitas sekolah yang sebagian dapat dikatakan jauh.

Bagaimana Buta Huruf?.Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana buta huruf dapat diatasi ke depan?. Karena aspek ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pemerataan pendidikan dan mengatasi kebodohan. Buta huruf adalah sesuai dengan definisi yang diberikan oleh BPS, dimana penduduk dewasa yang tidak mampu baca tulis huruf latin. Namun dalam penelitian tidak ada upaya untuk menguji sebagaimana akurat dari pernyataan dari responden.Hasil analisis menunjukkan bahwa daerah-daerah yang dianggap semula adalah sudah rendah angka buta hurufnya juga ditemukan pada hasil penelitian lapangan, Dimana Kamang Magek dan Tanjung Mutiara adalah relatif sudah sangat rendah penduduk dewasa yang buta huruf. Kalaupun masih tersisa kelompok yang buta huruf, mereka adalah sudah berusia relatif tua, dan sangat sulit untuk diatasi.

Akan tetapi kita dapat melihat logika yang menyambung dimana daerah yang angka putus sekolah relatif tinggi, juga diiringi oleh tingkat buta huruf yang juga tinggi. Diantaranya adalah kecamatan Palupuh, Palembayan dan Tanjung Mutiara. Ketiga daerah ini juga ditandai oleh tingginya angka putus sekolah. Setelah dipelajari ternyata mereka yang buta huruf adalah penduduk yang sudah terlanjur tua, diantaranya yang lebih banyak berusia 44 tahun ke atas. Kenyataan di atas memberikan gambaran kepada kita bahwa persoalan kebodohan dapat diatasi dengan menekan angka putus sekolah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Program Kejar Paket A dan Kejar Paket B adalah program yang telah digunakan oleh pemerintah untuk mengatasi kebodohan. Namun program demikian masih tetap berguna pada kelompok usia di bawah 25 tahun, dan cukup sulit diterapkan untuk kelompok usia di atas 25 tahun, dengan alasan tidak menarik lagi. Upaya untuk meredisain kejar Paket A adalah salah satu kerja keras kita untuk mengatasi kebodohan. Diantaranya adalah perlunya dikembangkan life skill bagi mereka yang buta huruf, dengan pencapaian minimum peningkatan kemampuan membaca dan menulis.

RangkumanAnalisis pendidikan sebenarnya Sangat luas, dimensinya memperlihatkan berbagai aspek, pemerataan, kualitas, kurikulum, dan proses relajar mengajar, dan banyak diantaranya yang perlu dikupas secara komprehensif. Namur demikian jira kita seleksi hal yang terpenting untuk konteks konsensus milenium, maka aspek yang perlu diperdalam dalam pencapaiannya cukup pada analisis pemerataan pendidikan, mengatasi kebodohan, serta bagaimana memenuhi stándar minimum pendidikan.Ada dua fakta penting terkait pembangunan pendidikan Indonesia yang perlu dicermati sepanjang tahun 2007. Pertama, laporan capaian Millenium Development Goals (MDG’s) dan kedua, laporan capaian program Education For All (EFA).

Page 10: Pendidikan Sumater Barat

MDG’s Report in Indonesia 2007 yang dipublikasikan BAPPENAS bersama World Bank menyimpulkan bahwa Indonesia sudah berada dalam jalur yang benar. Indonesia termasuk salah satu negara berkembang di dunia dengan prestasi bagus dalam pencapaian angka partisipasi murni (APM) sekolah di tingkat sekolah dasar (SD), mendekati angka 100 persen.

Sementara itu, EFA Global Monitoring Report 2008, laporan tim EFA pada akhir 2007 menyatakan bahwa posisi EDI (EFA Development Index) Indonesia pada tahun 2005 berada pada rangking 62 dari 129 negara yang disurvei. Prestasi ini menurun jika dibandingkan dengan posisi tahun 2002, yaitu rangking ke-58 dari 121 negara.

Kontradiksi CapaianTak dapat dipungkiri, kedua fakta di atas kontradiktif. Ada capaian positif pada satu sisi, sementara itu di sisi lain tertoreh pula catatan negative. Sisi positifnya, dalam rentang 1992-2006 APM SD menunjukkan tren yang meningkat secara konsisten. Tahun 1992, APM SD sebesar 88.7 persen dan tahun 2006 meningkat menjadi 94.73 persen. Jika saja, tren ini terus dipelihara maka diperkirakan sebelum 2015 Indonesia bisa menuntaskan target ke-2 dari MDG’s tadi, yaitu tuntasnya SD bagi seluruh anak seusia itu.

Sisi negatifnya, EDI yang merupakan indeks komposit (gabungan) dari 4 indikator pendidikan utama yang menjadi proksi atas tujuan-tujuan EFA, resultantenya mengalami penurunan. Penurunan signifikan terjadi pada dua indikator, yaitu tingkat keberlanjutan sekolah sampai tahun ke 5 dan tingkat melek huruf dewasa . Terkait indikator yang disebutkan pertama tadi, jika tahun 2002, Indonesia berada pada rangking ke 68 maka pada tahun 2005 turun cukup jauh menjadi peringkat ke 77. Sementara dari sisi indikator tingkat melek huruf dewasa, peringkat Indonesia turun dari 67 menjadi 71 dalam rentang waktu yang sama.

Ada memang bagian yang senada dengan laporan MDG’s. Pada dua indikator komponen EDI tadi, mencatat perbaikan. Dari sisi APM, posisi Indonesia tahun 2002 yang berada pada ranking 39, naik cukup signifikan menjadi ranking 28 pada tahun 2005. Sementara itu, indeks kesetaraan gender, berada pada ranking yang sama dalam rentang 2002-2005 tersebut yaitu 65.

Bias IndikatorFakta kontradiktif di atas merupakan alarm akan adanya bias dalam pengukuran prestasi pembangunan pendidikan Indonesia. Ternyata, ukuran kuantitatif saja seperti tingkat daftaran siswa, baik itu APM maupun APK, tidak cukup untuk menunjukkan prestasi utuh bidang pendidikan suatu negara. Paling tidak ada dua masalah krusial dalam penggunaan indikator tingkat daftaran siswa saja sebagai proksi prestasi pembangunan pendidikan.

Page 11: Pendidikan Sumater Barat

Pertama, penggunaan indikator APK sebagai indikator prestasi, tak terhindarkan memberi kesan bahwa pemerintah lebih fokus pada program yang bersifat penyelamatan (ex-post) dari pada pencegahan (ex-ante). Dalam arti kata, pemerintah tidak berusaha cukup serius mencegah jangan sampai terjadi kasus tidak bersekolahnya anak sesuai umurnya (on-time). Jika APM masih di bawah 100 persen, maka semakin besar selisih APK dengan APM (dalam hal ini APK selalu lebih besar dari APM), berarti semakin banyak jumlah anak yang belum mengikuti level pendidikan tertentu sesuai usianya karena berbagai alasan.

Kedua, fokus terhadap perbaikan indikator APM dan APK saja telah melalaikan pemerintah dari pengawasan terhadap keberlanjutan dan penyelesaian pendidikan siswa. Di tengah prestasi APM SD yang hampir 100 persen, ternyata angka Drop-Out (DO) pada level SD secara nominal tercatat cukup tinggi, yaitu sekitar 414 ribu orang pada tahun 2005 (EFA, 2007). Belum lagi kita berbicara tentang kesiapan pribadi (kapabilitas) siswa SD untuk melanjutkan pendidikan ke level SLTP dan mempertahankan prestasi belajarnya di level tersebut.

Peluasan IndikatorDiantara berbagai faktor lainnya, fakta cukup besarnya jumlah DO di SD menjadi salah satu faktor penjelas terjadinya kontradiksi prestasi pendidikan Indonesia tadi. Di saat negara-negara lain telah mengalami perbaikan sangat bagus, dampak krisis moneter yang lebih parah telah memaksa banyak anak Indonesia berusia SD meninggalkan bangku sekolah lebih awal. Agaknya tidak berlebihan jika mengatakan bahwa di masa mendatang APM SD sebesar 100 persen mungkin tidak akan berkontribusi banyak terhadap perbaikan peringkat EDI Indonesia, apalagi pada pengurangan pertumbuhan angka kemiskinan dan pertumbuhan, apabila mutu pendidikan dasar rendah.

Oleh karenanya sudah saatnya pemerintah perlu memberikan perhatian khusus terhadap kualitas pendidikan. Pada tataran praktis, hal ini dapat dimulai dengan introduksi dan adaptasi indikator tingkat keberlanjutan sekolah sampai tahun ke-5, rasio guru-murid dan lainnya sebagai proksi kualitas sekolah. Pada beberapa negara maju, indikator itu dipertajam dengan menggunakan tingkat penyelesaian (completion rate) sekolah. Sebaliknya, penggunaan indikator APK sebagai indikator prestasi pendidikan hendaknya mulai dibatasi. APK hanya digunakan untuk mengukurkinerja pendidikan pada region dan masyarakat dengan karakteristik tertentu, seperti daerah konflik dan terisolir.

Pengalaman berbagai negara menunjukkan adaptasi konsep ini terbukti memberikan manfaat besar terhadap prestasi dunia pendidikan. Beberapa hasil penelitian menyebutkan positif dan signifikannya pengaruh keberlanjutan siswa sampai tahun ke-5 dengan capaian skor test siswa di sekolah. Bahkan hasil penelitian lainnya juga menunjukkan bukti pengaruh positif dan signfikan keberlanjutan siswa sampai tahun ke 5 dengan kemampuan belajar pada level pendidikan SLTP.

Rendahnya APM SMP

Page 12: Pendidikan Sumater Barat

Namun dalam konteks Indonesia, argumen penggugah di atas belum sepebuhnya menjelma dalam ranah kebijakan. Pada level sekolah menengah capaian APM nya tidak begitu menggembirakan. Pada level SMP, tahun 1992 angkanya 41.9 persen. Pada akhir 2006 angka ini baru menjadi 66.5 persen. Secara eksplisit hal ini menunjukkan masih jauhnya pencapaian target APM universal (100 persen) SMP.

Problem akses pendidikan memang lebih signifikan untuk tingkat pendidikan SMP. Pada jenjang ini masih terdapat perbedaan jumlah partisipasi yang sangat besar di antara kelompok masyarakat dengan jumlah pendapatan yang berbeda, sesuatu yang tidak menjadi masalah pada level SD. Seorang anak yang berasal dari keluarga miskin mempunyai kemungkinan 20 persen lebih rendah untuk melanjutkan ke tingkat pendidikan SMP dibandingkan anak yang tidak berasal dari keluarga miskin. Dalam hal ini kebijakan pendidikan pemerintah pada level pendidikan menengah dan tinggi memang cendrung pro-rich (World Bank, 2006).

Selain itu, tingginya angka lulusan SD yang tidak melanjutkan (transisi) pendidikan ke level SMP/SMA merupakan fenomena yang meruyak pasca krisis ekonomi. Jumlah siswa SMP yang tidak melanjutkan ke SMA lebih tinggi pada saat ini, dibanding pada masa lampau. Dalam publikasinya, Causes of Low Secondary Enrollment in Indonesia 2006, SMERU menyebutkan bahwa jumlahnya mencapai sekitar 39,4 persen. Pada kelompok usia 35 ke atas jumlahnya hanya 37, 4 persen.

Kemana perginya yang 39,4 persen tadi ?. Sebagian besar menjadi penganggur, baik karena terpaksa maupun sukarela!. SMERU (Reducing Unemployment in Indonesia 2007) menyebutkan bahwa 70 persen dari jumlah pengangguran terbuka di Indonesia adalah para pemuda (15-24 tahun) dan terdidik. Jumlah ini hampir 3 kali lipatnya jumlah pengangguran terbuka di kalangan usia dewasa (24-54 +). Fakta yang patut digarisbawahi adalah bahwa selain karena ketiadaan biaya, faktor ketidaksiapan mengikuti pendidikan sekolah menengah turut berkontribusi atas fenomena tidak melanjutkan pendidikan ke level menengah (SMERU, 2006).

Agenda Ke DepanRendahnya capaian dan tingginya disparitas APM SMP antar kelompok pendapatan, etnik dan region merupakan indikator yang jelas bahwa upaya yang lebih kuat sangat diperlukan untuk meningkatkan akses pada jenjang pendidikan ini.

Dari sisi demand, perbaikan harus dimulai dari memperhatikan pendidikan di level SD. Perbaikan kualitas proses pendidikan di level SD sehingga output lulusannya memenuhi kualifikasi minimal siswa sekolah menengah, harus diintensifkan. Selanjutnya, sosialisasi akan pentingnya menyelesaikan SMP karena signifikannya perbedaan social rates of return dibandingkan sekedar lulus SD, juga harus diperluas. Dalam kasus ekstrem, pemerintah (pusat dan daerah)

Page 13: Pendidikan Sumater Barat

harus berani menjalankan program wajib belajar sembilan tahun secara konsisten yang selama ini telah didengung-dengungkan dengan segala konsekuensinya.

Pada gilirannya, peningkatan demand tadi akan beririsan dengan supply yang mencukupi. Pemerintah diharapkan mengalokasikan jumlah anggaran yang lebih besar untuk pendidikan sekolah menengah pertama dengan syarat efisiensi pengeluaran pemerintah yang lebih pro-poor seperti penajaman bantuan beasiswa bagi siswa yang berasal dari kelompok keluarga kurang beruntung. Pendidikan menengah, terutama pendidikan sekolah menengah pertama, merupakan prioritas untuk Indonesia saat ini. Dari sinilah masa depan Indonesia akan ditentukan.

Prioritas PendidikanPencapaian Pemerataan PendidikanPrioritas Penangangan Pendidikan yang dimaksudkan untuk Pencapaian Pemerataan Pendidikan adalah pada 3 daerah yang memiliki resiko pencapaian pemerataan pendidikan rendah. Daerah daerah yang dianggap penting didesain pelayanan dan pemodelan penyelenggaraan pendidikan adalah:a. Daerah terpencil yang hanya akses pada fasilitas pendidikan dasar dan

sekolah satu atap.b. Daerah kawasan perkebunan Tebu c. Daerah Kasawasan Tepi Pantai

Selain dari ketiga daerah juga disertai dengan anak anak yang berasal dari keluarga miskin. Oleh karenanya dalam kerangka pencapaian pendidikan untuk semua, maka prioritas pendidikan adalah untuk mencapai pemerataan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar, sekaligus untuk menurunkan tingkat kebodohan dan keterampilan kelompok masyarakat, yang relatif miskin.

Jangkauan program lebih diutamakan untuk memperbaiki ketimpangan penyelenggaraan pendidikan, kususnya daerah daerah yang dianggap rawan pencapaian pemerataan pendidikan. Prioritas tersebut ditujukan pada pemantapan ketersediaan alat pembelajaran, mutu guru, dan aksesibilitas anak didik terhadap pendidikan umum dan agama.

Sekolah sekolah yang menjadi prioritas adalah dimana sekolah tersebut memiliki mutu yang rendah, lebih khusus sekolah yang jauh dari fasilitas Publik, dan sekolah sekolah yang diselenggarakan oleh swasta, baik sekolah umum maupun sekolah yang bernaung di bawah yayasan keagamaan.

7.2.2. Strategy Pencapaian Pemerataan PendidikanUntuk mempercepat pencapaian pemerataan pendidikan pada daerah daerah ini, maka strategy mempercepat pendidikan hádala dengan mempersiapkan program khusus melalui perbaikan dan pemilihan system penyelengaraan pendidikan. Sistem satu atap yanga da saat ini sebaiknya digandeng dengan sistem pendidikan berasrama atau “boarding school system”.

7.2.3. Program Peningkatan Kualitas SDM

Page 14: Pendidikan Sumater Barat

Untuk pencapaian kualitas SDM sesuai dengan prinsip prinsip Millenium Development Goal (MDG), maka 3 program utama. Tahun 2015 akan dicapai pencapaian pendidikan untuk semua. Untuk mewujudkan pencapaian di atas, maka sesuai dengan akar masalah yang ditemukan, maka program akan diarahkan kepada:

1. Program beasiswa untuk keluarga miskin. Sampai tahun 2012, seluruh keluarga miskin akan dikover melalui program pemberian beasiswa, baik yang diberikan melalui dana APBD, maupun yang dikembangkan melalui partisipasi masyarakat. Anak miskin diperkirakan akan membutuhkan beasiswa setiap tahunnya dengan unit cost beasiswa adalah sebesar Rp.100.000 per bulan.

2. Program pengembangan bahan bacaan minimal. Tahun 2012, di seluruh sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, buku ajar tersedia lengkap untuk mata ajar Sains, Bahasa Indonesia dan Matemática. Oleh karena jumlah kelas berada semenjak pendidikan dasar sampai kelas SMP, maka diperlukan 3 jenis buku pada masing masing jenjang kelas untuk seluruh jenjang pendidikan, setidaknya Matemátika, Sains, dan Bahasa Indonesia.

3. Program rehabilitas ringan perpustakaan. Tahun 2012, diharapkan seluruh sekolah dasar (SD) dan SMP di Agam telah memiliki ruangan perpustakaan. Untuk itu diharapkan pengadaan ruangan berukuran 1 kamar menjadi perlu dicapai selama sampai tahun 2012.

4. Program pengangkatan tenaga pendidik. Guru yang ada sesuai dengan ketersediaan tahun 2005 adalah sebanyak 2663 orang untuk Sekolah Dasar dan 1236 orang untuk SMP. Tahun 2012, jumlah guru yang diperlukan sudah tersedia sesuai dengan estándar yang ditetapkan oleh Diknas. Untuk itu pengangkatan guru sampai tahun 2012 adalah sebanyak 673 orang untuk guru SD dan 40 orang guru SMP. Jenis kualifikasi didasarkan lepada keadaan masing masing sekolah.

5. Program Pendirian 3 Boarding School. Di tiga daerah prioritas tadi direncanakan akan disediakan sebuah sistem pendidikan berasrama, Prioritas diberikan kepada mereka yang tinggal di daerah terpencil, disertai mereka yang masuk ke dalam kriteria kemiskinan.

6. Pemantapan Proses Belajar Mengajar. Untuk pencapaian mutu pendidikan, ketika infrastruktur sudah mulai tersedia, maka guru-guru akan diutamakan pencapaian kompetensinya pada 3 mata ajar tadi dengan berbagai penguatan baik dibidang keterampilan mengajar, maupun penelitian tindakan kelas. Pengiriman pendidikan lanjutan masih prioritas, disertai dengan pengembangan fungsí Kelompok Kerja Guru (KKG) dan KGMP.

7.2.4. Program Mengatasi buta aksara dan kebodohan.

Page 15: Pendidikan Sumater Barat

Tahun 2012 sekitar 2% saja dari kelompok usia penduduk berusia 15 tahun ke atas yang tidak dapat baca tulis. Program strategis untuk mengatasi hal ini ada dua. Pertama adalah melanjutkan program paket A dan Paket B. Kedua adalah menyelenggarakan keterampilan kerja sekitar 25% dari mereka yang buta huruf.

1. Program Paket A dan Paket B. Program Paket A dan Paket B segera harus dilaksanakan dengan mencicil setiap tahun. Program ini dapat dilaksanakan di sekolah yang ada di daerah sasaran program, atau pada institusi sarana peribadatan. Prioritas diberikan pada kelompok usia penduduk antara 15-24 tahun.

2. Program berketerampilan Kerja (life skills). Pada masa yang akan datang program berketerampilan kerja tetap harus dilanjutkan. Sasaran darikelanjutan ini adalah terbinanya sekelompok masyarakat yang mampu pada akhirnya menggunakan keterampilan verja. Program ini disesuaikan dengan program penanggulangan kemiskinan yang