pendidikan multikultural

10
KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM PLURALISME KALIMANTAN BARAT YUSRAN F03112046 Program studi Pendidikan Fisika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Unversitas Tanjungpura Abstrak Tulisan ini akan menjelaskan strategi yang dapat diterapkan akibat pluralisme melalui sistem pendidikan Indonesia khusus di Kalimantan Barat. Keragaman suku bangsa merupakan kekuatan bangsa dimiliki oleh provinsi Kalimantan Barat. Kemampuan untuk mengelola keragaman suku bangsa yang besar sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya konflik dan perpecahan yang akan mengganggu kesatuan bangsa. Konflik muncul dengan menggunakan simbol - simbol etnis, agama, dan ras. Hal ini terjadi akibat akumulasi "tekanan" secara mental, spiritual, politik sosial, budaya dan ekonomi yang dirasakan oleh sebagian masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut, maka pendidikan multikultural menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, secara khusus yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur, dan lain - lain. Pengenalan budaya sangat diperlukan dari berbagai etnis di Kalimantan Barat, sebagai faktor yang akan memperkuat perasaan kesatuan di Indonesia. Melalui implementasi pendidikan multikultural diharapkan akan membantu siswa mengerti, menerima dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya dan nilai kepribadian. Sehingga konflik etnis yang terus melanda di Kalimantan Barat dapat diredam dengan lahirnya generasi baru yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesatuan dan keutuhan bangsa. Kata kunci: pluralisme, pendidikan multikultural PENDAHULUAN Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat yang manapun dan tidak hanya mengenai sebagian dari cara hidup itu yaitu bagian oleh masyarakat dianggap lebih tinggi atau lebih diinginkan serta diterapkan pada cara hidup kita sendiri dengan cara berlaku yang akan kita ikuti selama hidup (Ihromi,1996). Indonesia merupakan negara yang mempunyai masyarakat yang multietnis, memiliki kebudayaan dan masyarakat beragam. Di satu sisi Indonesia negara yang plural, sehingga banyak sekali suku, budaya, adat istiadat, bahasa, dan agama. Dengan sifat yang plural itu negara Indonesia timbul sebuah konflik karena lebih sulit menjaganya dari pada ketentraman dan keamanan masyarakat yang homogen sehingga terjadi di beberapa daerah. Sehingga pengenalan budaya dari berbagai etnis di Indonesia sangat diperlukan, sebagai faktor yang akan memperkuat perasaan kesatuan di Indonesia. Konflik merupakan suatu gejala sosial yang melekat pada kehidupan masyarakat. Banyak peristiwa kerusuhan yang melibatkan masyarakat dalam sekala luas yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Sebagai contoh,

Upload: yusran

Post on 03-Jan-2016

307 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: pendidikan multikultural

KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM PLURALISME

KALIMANTAN BARAT

YUSRAN F03112046

Program studi Pendidikan Fisika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Unversitas Tanjungpura

Abstrak

Tulisan ini akan menjelaskan strategi yang dapat diterapkan akibat pluralisme

melalui sistem pendidikan Indonesia khusus di Kalimantan Barat. Keragaman

suku bangsa merupakan kekuatan bangsa dimiliki oleh provinsi Kalimantan

Barat. Kemampuan untuk mengelola keragaman suku bangsa yang besar sangat

diperlukan untuk mencegah terjadinya konflik dan perpecahan yang akan

mengganggu kesatuan bangsa. Konflik muncul dengan menggunakan simbol -

simbol etnis, agama, dan ras. Hal ini terjadi akibat akumulasi "tekanan" secara

mental, spiritual, politik sosial, budaya dan ekonomi yang dirasakan oleh

sebagian masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut, maka pendidikan

multikultural menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep

pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat,

secara khusus yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa,

agama, status sosial, gender, kemampuan, umur, dan lain - lain. Pengenalan

budaya sangat diperlukan dari berbagai etnis di Kalimantan Barat, sebagai

faktor yang akan memperkuat perasaan kesatuan di Indonesia. Melalui

implementasi pendidikan multikultural diharapkan akan membantu siswa

mengerti, menerima dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya dan

nilai kepribadian. Sehingga konflik etnis yang terus melanda di Kalimantan Barat

dapat diredam dengan lahirnya generasi baru yang menjunjung tinggi nilai-nilai

kesatuan dan keutuhan bangsa.

Kata kunci: pluralisme, pendidikan multikultural

PENDAHULUAN

Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat yang manapun

dan tidak hanya mengenai sebagian dari cara hidup itu yaitu bagian oleh

masyarakat dianggap lebih tinggi atau lebih diinginkan serta diterapkan pada cara

hidup kita sendiri dengan cara berlaku yang akan kita ikuti selama hidup

(Ihromi,1996).

Indonesia merupakan negara yang mempunyai masyarakat yang multietnis,

memiliki kebudayaan dan masyarakat beragam. Di satu sisi Indonesia negara yang

plural, sehingga banyak sekali suku, budaya, adat istiadat, bahasa, dan agama.

Dengan sifat yang plural itu negara Indonesia timbul sebuah konflik karena lebih

sulit menjaganya dari pada ketentraman dan keamanan masyarakat yang homogen

sehingga terjadi di beberapa daerah. Sehingga pengenalan budaya dari berbagai

etnis di Indonesia sangat diperlukan, sebagai faktor yang akan memperkuat

perasaan kesatuan di Indonesia.

Konflik merupakan suatu gejala sosial yang melekat pada kehidupan

masyarakat. Banyak peristiwa kerusuhan yang melibatkan masyarakat dalam

sekala luas yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Sebagai contoh,

Page 2: pendidikan multikultural

Kalimantan Barat (konflik etnis di Singkawang dan Sambas) yang kerap terjadi

dan dilakukan dalam rentang yang hampir berdekatan.

Peristiwa - peristiwa yang belum terselesaikan sampai sekarang disebabkan

karena persoalan - persoalan etnis dan persoalan agama, berbagai persoalan yang

menyangkut dengan kehidupan sosial, politik dan ekonomi yang kemudian justru

berlanjut menjadi masalah yang besar karena dikait-kaitkan dengan persoalan

yang dianggap sangat sensitif, yaitu masalah SARA.

Indonesia di perkuat dengan simbol Bhinneka Tunggal Ika, yang maknanya

adalah pluralisme didalam kesatuan. Oleh karena itu, pluralitas masyarakat bangsa

Indonesia sebagai suatu realitas sosial budaya dan realitas sejarah harus dilihat

sebagai sesuatu yang seimbang. Dalam arti bahwa semua konsep, semua wancana,

dan semua realitas mengenai pluralitas suku-suku bangsa itu di tempatkan pada

tingkatan yang sederajat. Kompleksitas permasalahan kesukubangsaan tidak

direfleksikan oleh seberapa besar warga komunitas, tetapi lebih difokuskan pada

substansi masalah yang dihadapi dalam rangka menegakkan perasaan kebangsaan

dan semangat persatuan.

Semboyan Bhineka Tunggal Ika yang ditunjukan kepada Indonesia

merupakan cita-cita bangsa Indonesia yang harus diperjuangkan dan diwujudkan

oleh segenap bangsa Indonesia. Mengenai persatuan nasional kerap kali bangsa

Indonesia diancam oleh berbagai pertentangan pendapat diberbagai kekuatan

sosial politik tertentu, jadi memang benar Bhineka Tunggal Ika harus

diperjuangkan secara terus menerus. Konflik juga kerap kali mewarnai upaya-

upaya dalam mewujudkan integrasi nasional. Dengan pluralisme itu, Indonesia

mudah sekali terjadi konflik, diakibatkan karena kurang kesadaran terhadap

simbol Bhineka Tunggal Ika yang menjunjung persatuan dan kesatuan.

Penerapan strategi pendidikan multikultural menjadi kian penting,

khususnya dalam upaya memberantas diskriminasi dan meminimalisasi konflik.

Di Indonesia, pendidikan multikultural relatif baru dikenal sebagai suatu

pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang

heterogen, terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru dilakukan.

Pendidikan multikultural yang dikembangkan di Indonesia sejalan pengembangan

demokrasi yang dijalankan sebagai counter terhadap kebijakan desentralisasi dan

otonomi daerah. Apabila hal itu dilaksanakan dengan tidak berhati-hati justru akan

menjerumuskan kita ke dalam perpecahan nasional.

Menyusun pendidikan multikultural dalam tatanan masyarakat yang penuh

permasalahan anatar kelompok mengandung tantangan yang tidak ringan.

Pendidikan multikultural tidak berarti sebatas "merayakan keragaman" belaka.

Apalagi jika tatanan masyarakat yang ada masih penuh diskriminasi dan bersifat

rasis. Dapat pula dipertanyakan apakah mungkin meminta siswa yang dalam

kehidupan sehari-hari mengalami diskriminasi atau penindasan karena warna

kulitnya atau perbedaannya dari budaya yang dominan tersebut? Dalam kondisi

demikian pendidikan multikultural lebih tepat diarahkan sebagai advokasi untuk

menciptakan masyarakat yang toleran dan bebas toleransi.

Pluralisme Budaya dan Konflik Etnis di Kalimantan Barat

Pluralisme adalah suatu kemajemukan yang dipandang sebagai dasar-dasar

perbedaan dari unsur-unsur yang membuat keragaman tersebut dapat diukur

berdasarkan kualitas ataupun kuantitas.

Page 3: pendidikan multikultural

Ada 4 (empat) kelompok etnik utama di Kalimantan Barat: Dayak, Melayu,

Cina dan Madura. Dua kelompok etnik pertama merupakan penduduk asli-

mayoritas, sedangkan dua kelompok etnik berikutnya merupakan pendatang-

minoritas.

Bangsa melayu terdiri dari dari berbagai suku bangsa (etnis), jelas kelihatan

masing-masing etnis mengembangkan bahasa dan kebudayaannya sesuai dengan

kondisi geografis tempat mereka hidup. Proses ini telah terjadi ribuan tahun,

sehingga yang tampak pada masa kini seolah-olah tidak terdapat hubungan antara

suku bangsa dengan suku bangsa lain.

Istilah melayu dan dayak di Kalimantan Karat relatif unik kalau mengkaji

kepada sejarahnya, mereka yang disebut melayu dalam pengertian etnis itu ”tidak

ada”, kurang abad ke 18, seorang antropolog inggris menyebut “Orang Asli”

(indegan Ous People), yang memeluk agama islam adalah sebagai orang melayu.

Pada dasarnya “penduduk asli” Kalimantan Barat, baik Melayu maupun

dayak merupakan kelompok-kelompok kecil masyarakat yang masing-masing dari

padanya mengembangkan bahasa dan kebudayaan masing-masing. Cina dan

Madura merupakan kelompok minoritas atau pendatang yang memiliki

kecenderungan untuk mengusai ekonomi, politik dan sosial-kultural di wilayah

ini.

Secara sosiologis, pluralistis budaya ini sangat menyulitkan interaksi sosial

harmonis, sebaliknya cenderung menimbulkan konflik terbuka maupun tertutup.

Kalimantan Barat sebagai salah satu daerah yang dihuni oleh berbagai etnis tidak

terlepas dari persoalan tersebut. Mulai dari peristiwa Sanggau Ledo akhir 1996

hingga awal 1997 dan kerusuhan Sambas 1999 adalah sebuah contoh betapa

rentannya Kalimantan Barat terhadap konflik.

Menurut Koentjaraningrat (1982) sebenarnya telah mengingatkan bahwa

Kalimantan Barat menyimpan potensi konflik yang terpendam antar suku bangsa,

selain Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan dan

Sulawesi Tengah. Dalam pandangan Koejaningrat, selain daerah itu relatif

homogen juga karena tidak adanya kebudayaan dominan (dominant culture)

sebagai wadah pembauran (melting pot) dari masing-masing atau suku bangsa

yang hidup di daerah tersebut.

Konflik etnis di Kalimantan Barat diketahui bahwa telah terjadi konflik

etnis Madura dengan empat etnis di Kalimantan Barat mulai terjadi tahun 1993.

Dalam catatan Polda Kalbar (1999) sejak 1962 hingga 1999 sudah terjadi 14 kali.

Konflik tersebut terjadi antara komunitas Dayak dengan Tionghoa sebanyak 1 kali

1967, Dayak dengan Madura sebanyak 11 kali konflik, yakni pada tahun 1962,

1963, 1968, 1972, 1976, 1977, 1979, 1983, 1993, 1994, 1996-1997, dan Melayu

dengan Madura sebanyak dua kali yakni 1998 dan 1999. Konflik berikutnya tahun

2000 di kota Pontianak juga melibatkan etnis Melayu dan Madura.

Sejak konflik pertama hingga terakhir terjadi upaya memecahkan konflik

selalu dilakukan dengan cara membuat perjanjian damai dengan etnis yang

bertikai. Begitu konflik pertama terjadi penyelesaiannya segera dilakukan dengan

membuat perjanjian damai.

Salah satu sebab konflik adalah karena reaksi yang diberikan oleh satu atau

dua kelompok atau lebih dalam satu situasi yang berbeda-beda. Konflik juga

mudah terjadi apabila prasangka ini terlalu lama terdapat. Konflik ini dapat terjadi

karena :

Page 4: pendidikan multikultural

a. Kurangnya pengetahuan dan pengertian akan hidup pihak yang lain.

b. Kepentingan perseorangan dan golongan.

c. Ketidakinsafan akan kerugian yang dialami masing-masing apabila

prasangka di pupuk.

Ada berbagai situasi, wacana publik, dan mekanisme sosial yang

menyebabkan Kalbar di satu saat mengalami kekerasan etnik, namun di saat lain

justru perdamaian etnik.

a. Sebelum, selama dan sesudah kejadiannya, kekerasan etnik tidak dapat

dipisahkan dengan perdamaian etnik;

b. Kekerasan etnik bukan merupakan eskalasi konflik etnik. Kekerasan etnik

memiliki sifat dan dinamikanya sendiri. Ia cenderung bersifat temporal,

situasional, dan lokal;

c. Kekerasan etnik bukan merupakan konsekuensi yang logis dan spontan

dari bekerjanya faktor-faktor kultural, institusional dan struktural dalam

satu periode kesejarahan yang panjang;

d. Dalam masyarakat ada profil kekerasan etnik yang secara inheren mampu

menghasilkan kekerasan etnik di satu pihak, dan perdamaian etnik di pihak

lain;

e. Dalam masyarakat dan negara ada situasi, wacana dan mekanisme sosial,

baik disadari atau tidak, untuk mencegah dan/atau mengatasi terjadinya

kekerasan etnik;

f. Aktor-aktor dalam masyarakat dan negara memiliki peran penting untuk

menerima atau menolak terjadinya kekerasan etnik;

Teori Pendidikan Multikultur

Menurut Sosiolog Universitas Indonesia Parsudi Suparlan,Multikulturalisme

adalah konsep yang mampu menjawab tantangan perubahan zaman dengan alasan

multikulturalisme merupakan sebuah idiologi yang mengagungkan perbedaaan

budaya, atau sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya

pluralisme budaya sebagai corak kehidupan masyarakat.

Menurut Tilaar, pendidikan multikultural berawal dari berkembangnya

gagasan dan kesadaran tentang "interkulturalisme" seusai perang dunia II.

Kemunculan gagasan dan kesadaran "interkulturalisme" ini selain terkait dengan

perkembangan politik internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari

kolonialisme, dan diskriminasi rasial dan lain-lain, juga karena peningkatan

pluralitas di negara-negara Barat sendiri sebagai akibat dari peningkatan migrasi

dari negara-negara baru merdeka ke Amerika dan Eropa.

Banks (1993) telah mendiskripsikan evolusi pendidikan multikultur dalam

empat fase. Yang pertama, ada upaya untuk mempersatukan kajian-kajian etnis

pada setiap kurikulum. Kedua, hal ini diikuti oleh pendidikan multietnis sebagai

usaha untuk menerapkan persamaan pendidikan melalui reformasi keseluruhan

sistem pendidikan. Yang ketiga, kelompok-kelompok marginal yang lain, seperti

perempuan, orang cacat, homo dan lesbian, mulai menuntut perubahan-perubahan

mendasar dalam lembaga pendidikan. Fase keempat perkembangan teori, riset dan

praktek, perhatian pada hubungan antar-ras, kelamin, dan kelas telah

menghasilkan tujuan bersama bagi kebanyakan ahli teoritisi, jika bukan para

praktisi, dari pendidikan multikultur.

Page 5: pendidikan multikultural

Gerakan reformasi mengupayakan transformasi proses pendidikan dan

lembaga-lembaga pendidikan pada semua tingkatan sehingga semua murid,

apapun ras atau etnis, kecacatan, jenis kelamin, kelas sosial dan orientasi

seksualnya akan menikmati kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan.

Multikulturalisme akan menjadi pengikat dan jembatan yang

mengakomodasi perbedaan - perbedaan termasuk perbedaan kesukubangsaan dan

suku bangsa dalam masyarakat yang multikultural. Perbedaan itu dapat terwadahi

di tempat-tempat umum, tempat kerja dan pasar, dan sistem nasional dalam hal

kesetaraan derajat secara politik, hukum, ekonomi, dan sosial.

Pendidikan multikultur merupakan sebuah model pengembangan wawasan

kebangsaan dalam dunia kependidikan. Pada penghujung abad 20, rasa persatuan

dan kesatuan atau semangat nasionalisme anggota masyarakat dari berbagai etnis

pada daerah tertentu tampak seperti tercabik-cabik karena konflik yang terjadi.

Paradigma multikultural secara implisit juga menjadi salah satu point dari

Pasal 4 UU N0. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal itu

dijelaskan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak

diskriminatif dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM), nilai

keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.

Sehingga pada point ini dapat dikatakan, tujuan utama dari pendidikan

multikultural adalah untuk menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan

empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda. Lebih jauh lagi,

penganut agama dan budaya yang berbeda dapat belajar untuk melawan atau

setidaknya tidak setuju dengan ketidak-toleranan seperti inkuisisi (pengadilan

negara atas sah-tidaknya teologi atau ideologi), perang agama, diskriminasi, dan

hegemoni budaya di tengah kultur monolitik dan uniformitas global.

Upaya untuk mewujudkan kedamaian dalam kehidupan di daerah rawan

konflik seperti Kalimantan Barat, internalisasi nilai-nilai seperti saling

memahami, saling menghargai, menghilangkan prasangka negatif serta

menjunjung tinggi nilai-nilai universal seperti nilai-nilai demokratis sejak dini,

merupakan hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.

Untuk menginternalisasi nilai-nilai itu, Kalbar membutuhkan pendidikan ini

bertujuan kelak setelah dewasa anak-anak dapat mengabaikan identitas etnisnya

untuk kedamaian hidup semua (Bank, 1993) dapat mengembangkan sikap yang

lebih demokratis serta mendapatkan kesempatan yang sama dalam kehidupan

masyarakat.

Konsep dasar pendidikan multikultur merupakan proses yang tujuan

utamanya adalah mengubah struktur sosial masyarakat melalui pengubahan kultur

sekolah yang diisi oleh beragama etnis maupun kelas sosial. Ada lima dimensi

pokok dalam pendidikan multikultur (Banks, 1993) yakni:

a. Content integrations

b. Knowledge constructions process

c. Preduce reductions

d. Equality pedagogy

e. Empowering school culture

Integrasi isi berkenaan dengan upaya-upaya guru untuk memasukkan

informasi ke-etnis-an dalam pembelajaran, seperti memberikan contoh data

maupun informasi dari berbagai kebudayaan ras atau etnis sebagai ilustrasi dalam

Page 6: pendidikan multikultural

menjelaskan konsep-konsep kunci dari mata pelajaran yang di ajarkan. Proses

konstruksi pengetahuan (knowledge constructions process) berkenaan dengan

prosedur bagaimana guru membantu siswa memahami materi pelajaran dan

bagaimana posisi individual dalam kelompok etnis dan kelas sosial berpengaruh

terhadap upaya memahami materi tersebut.

Dimensi pengurangan prasangka sosial dalam pendidikan multikultur

berkenaan dengan karakteristik sikap rasial siswa dan strategi-strategi yang dapat

digunakan untuk dapat membantu mereka menumbuhkan sikap dan nilai-nilai

demokratis. Dimensi keadilan pembelajaran (equality pedalogy) berkenaan

dengan upaya guru menfasilitasi sebagai kelompok etnis atau kelas sosial agar

mendapat kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan.

Kategori dimensi yang tumpang tindih. Namun pengkategorisasian seperti

ini sangat dibutuhkan untuk memperoleh konseptualisasi pendidikan multikultur.

Diantara kelima yang banyak mendapat poerhatian adalah dimensi integrasi isi

dan proses konstuksi pengetahuan dan dimensi prasangka sosial.

Pendidikan multikultur yang ditawarkan adalah pengeintegrasian pesan

multikultur dalam proses pendidikan di sekolah, kedua proses konstruksi

pengetahuan siswa, ketiga, pengurangan prasangka sosial antar etnis dikalangan

siswa, keempat, keadilan dalam pembelajaran dan kelima, pemberdayaan kultur

sekolah.

Konsep Pendidikan Multikultur

Pendidikan multikultural mencerminkan keseimbangan antara pemahaman

persamaan dan perbedaan budaya mendorong individu untuk mempertahankan

dan memperluas wawasan budaya dan kebudayaan mereka sendiri.

Pendidikan sudah seharusnya ditanamkan dalam membina generasi yang

memiliki nilai-nilai emotional yakni bagaimana ia bersikap terhadap orang-orang

berada di sekitar lingkungannya. Tidak ada paham siapa yang minoritas atau

mayoritas baik memiliki perbedaan warna kulit, ras, suku dan budaya.

Ada beberapa pendekatan dalam proses pendidikan multikultural, yaitu:

Pertama, tidak lagi terbatas pada menyamakan pandangan pendidikan (education)

dengan persekolahan (schooling) atan pendidikan multikultural dengan program-

program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai

transmisi kebudayaan membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab

primer menegmbangkan kompetensi kebudayaan di kalangan anak didik semata-

mata berada di tangan mereka dan justru semakin banyak pihak yang bertanggung

jawab karena program-program sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran

informal di luar sekolah.

Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan kelompok

etnik adalah sama. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-

mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini.

secara tradisional, para pendidik mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan

kelompok-kelompok sosial yang relatif self sufficient, ketimbang dengan sejumlah

orang yang secara terus menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam

satu atau lebih kegiatan. Dalam konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini

diharapkan dapat mengilhami para penyusun program-program pendidikan

multikultural untuk melenyapkan kecenderungan memandang anak didik secara

stereotip menurut identitas etnik mereka dan akan meningkatkan eksplorasi

Page 7: pendidikan multikultural

pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak

didik dari berbagai kelompok etnik.

Ketiga, karena pengembangan kompetensi dalam suatu "kebudayaan baru"

biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah

memiliki kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa uapaya-upaya untuk

mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik adalah antitesis terhadap

tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidarits

kelompok adalah menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan

bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan

secara logis.

Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam

beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi ditentukan oleh

situasi. Sehingga budaya di suatu daerah dapat dikenal oleh generasi muda dan

dipertahankan serta mudah di kenal oleh khalayak ramai dan menambah rasa

cintah air.

Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan (baik dalam maupun luar sekolah)

meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan.

Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya

atau dikotomi antara pribumi dan non-pribumi. Dikotomi semacam ini bersifat

membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan.

Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai

pengalaman normal manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa

pendidikan multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan

mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang

ada pada diri anak didik.

Pendidikan Multikultur di Lingkungan Keluarga

Pendidikan multikultural sebagai wacana baru di Indonesia sudah

sepantasnya dapat diimplementasikan tidak hanya melalui pendidikan formal

namun juga dapat di implementasikan dalam kehidupan masyarakat maupun

dalam keluarga. Dalam Pendidikan non formal wacana ini dapat disosialisasikan

melalui pelatihan-pelatihan dengan model pembelajaran yang responsive

multikultural dengan mengedepankan penghormatan terhadap perbedaan baik ras

suku, maupun agama antar anggota masyarakat.

Tak kalah penting wacana pendidikan multikultural ini dapat

diimplementasikan dalam lingkup keluarga. Di mana keluarga sebagai institusi

sosial terkecil dalam masyarakat, merupakan media pembelajaran yang paling

efektif dalam proses internalisasi dan transformasi nilai, serta sosialisasi terhadap

anggota keluarga. Peran orang tua dalam menanamkan nilai-nilai yang lebih

responsive multikultural dengan mengedepankan penghormatan dan pengakuan

terhadap perbedaan yang ada di lingkungan sekitar (agama, ras, golongan)

terhadap anak atau anggota keluarga yang lain merupakan cara yang paling efektif

dan elegan untuk mendukung terciptanya sistem sosial yang lebih berkeadilan.

Pendidikan Multikultur di Lingkungan Formal

Berbicara tentang pendidikan multikultural, tak ubahnya kita membedah isi

perut Indonesia secara substansial. Dengan menggunakan perbedaan-perbedaan

kultural yang ada pada siswa, seperti beda etnis, agama, bahasa, jenis kelamin,

Page 8: pendidikan multikultural

kelas sosial, ras, kemampuan, dan umur, proses belajar dapat diaplikasikan secara

efektif dan mudah.

Dengan pendidikan multikultural, karakter siswa akan dilatih dan dibangun

untuk mampu bersikap demokratis, humanis dan menerima keragaman. Atau

dalam bahasa lain, “sambil menyelam minum air”. Artinya, selain mudah

memahami, menguasai dan mempunyai kompetensi yang baik terhadap mata

pelajaran, siswa juga diharapkan mampu untuk selalu bersikap dan menerapkan

nilai-nilai demokrasi, humanisme dan keragaman di dalam maupun luar sekolah.

Dalam pendidikan formal pendidikan multikultural ini dapat diintegrasikan

dalam sistem pendidikan melalui kurikulum mulai Pendidikan Usia Dini (PAUD),

Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas

(SMA) maupun Perguruan Tinggi.

Adanya penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar di sekolah

bukan menggunakan bahasa daerah karena bahasa daerah dapat menimbulkan

kesenjangan antara siswa yang dapat menimbulkan salah penafsiran makna

linguistik.

Sebagai wacana baru, Pendidikan Multikultural ini tidak harus dirancang

khusus sebagai muatan substansi tersendiri, namun dapat diintegrasikan dalam

kurikulum yang sudah ada tentu saja melalui bahan ajar atau model pembelajaran

yang paling memungkinkan diterapkannya pendidikan multikultural ini. Sebagai

contoh di Perguruan Tinggi, dari segi substansi, pendidikan multikultural ini dapat

dinitegrasikan dalam kurikulum yang berperspektif multikultural, misalnya

melalui mata kuliah umum seperti Kewarganegaraan, Ilmu Sosial Budaya Dasar

(ISBD), Agama dan Bahasa.

Demikian juga pada tingkat sekolah Usia Dini dapat diintegrasikan dalam

kurikulum pendidikan seperti dalam OutBond Program, dan pada tingkat SD,

SMP maupun SMA/SMK pendidikan multikultural ini dapat diintegrasikan dalam

bahan ajar seperti PKn, Agama, Sosiologi dan Antropologi, dan dapat melalui

model pembelajaran yang lain seperti melalui kelompok diskusi, kegiatan

ekstrakurikuler dan sebagainya.

KESIMPULAN

Kurikulum pendidikan di Indonesia saat ini masih bersifat sentralistik.

Dengan pendekatan multiskala, kurikulum tersebut tetap menjadi acuan, namun

dalam inplementasinya pada pendidikan sekolah di Kalimantan Barat, dimensi -

dimensi multikultural sudah seharusnya dimasukkan dalam kurikulum tersebut,

sehingga pendidikan di Kalimantan Barat memiliki ciri - ciri sendiri karena di

daerah tersebut sangat rawan konflik etnis, namun sistem pendidikan ini juga

tidak terlepas secara keseluruhan dari ciri - ciri pendidikan nasional.

Beberapa aspek yang menjadi kunci dalam melaksanakan pendidikan

multikultural di Kalimantan Barat adalah tidak adanya kebijakan yang

menghambat toleransi, termasuk tidak adanya penghinaan terhadap ras, etnis dan

jenis kelamin, serta harus menumbuhkan kepekaan terhadap perbedaan budaya,

antara lain mencakup pakaian, musik dan makanan kesukaan. Selain itu, juga

memberikan kebebasan bagi anak dalam merayakan hari-hari besar umat

beragama serta memperkokoh sikap anak agar merasa butuh terlibat dalam

pengambilan keputusan secara demokratis.

Page 9: pendidikan multikultural

Kurikulum pendidikan seharusnya lebih mengajarkan bagaimana ada rasa

saling menghargai dengan menitikberatkan kegiatan-kegiatan yang mempunyai

nilai-nilai budaya daerah. Disamping mereka mengenal budaya sendiri akan tetapi

memberi rasa memiliki rasa memiliki dan mencintai kebudayaan tanpa ada rasa

perbedaan antara satu ras dengan yang lain.

Paradigma pendidikan multikultur sangat bermanfaat untuk membangun

kohesifitas, solidaritas dan intimitas di antara keragaman etnik, ras, agama,

budaya dan kebutuhan di antara kita. Paparan di atas juga memberi dorongan dan

spirit bagi lembaga pendidikan nasional untuk mau menanamkan sikap kepada

peserta didik untuk menghargai orang, budaya, agama, dan keyakinan lain.

Penerapan pendidikan multikultur dengan cara kurikulum tersembunyi

(hidden curiculum) pada mata pelajaran tertentu. Dalam implementasinya,

paradigma pendidikan multikultural dituntut untuk berpegang pada prinsip-prinsip

berikut ini:

1. Pendidikan multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang

merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang.

2. Pendidikan multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada

penafsiran yang tunggal terhadap kebenaran sejarah.

3. Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan

sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda.

4. Pendidikan multikultural harus mendukung prinsip-prinisip pokok dalam

memberantas pandangan klise tentang ras, budaya dan agama.

Penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar di pendidikan formal

sangat penting di terapkan di Kalimantan Barat karena di daerah ini banyak sekali

bahasa sehari-hari yang digunakan sebagai langkah untuk mencegah perbedaan

antara etnis tertentu.

Pendidikan multikultural harus bisa memfasilitasi proses belajar mengajar

yang mengubah perspektif monokultural yang esensial, penuh prasangka dan

diskriminatif ke perspektif multikulturalis yang menghargai keragaman dan

perbedaan, toleran dan sikap terbuka. Perubahan paradigma semacam ini

menuntut transformasi yang tidak terbatas pada dimensi kognitif belaka.

Implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural, diharapkan akan

membantu siswa mengerti, menerima dan menghargai orang lain yang berbeda

suku, budaya dan nilai kepribadian. Sehingga konflik etnis yang terus melanda di

Kalimantan Barat dapat diredam dengan lahirnya generasi baru yang menjunjung

tinggi nilai-nilai kesatuan dan keutuhan bangsa ini.

Adapun dampak yang ditimbulkan dengan adanya implementasi pendidikan

multikultur terhadap konflik etnis di Kalimantan Barat , maka dapat dirumuskan

beberapa hal sebagai berikut :

1. Daerah Kalimantan Barat sangatlah rawan terhadap konflik sehingga

pentingnya suatu pendidikan multikultur yang berbasis lokal tanpa

mengurangi nilai-nilai dan tujuan pendidikan inasional.

2. Menerapan pendidikan multikultur untuk meredam konflik sangat

berrmanfaat dalam menumbukan generasi baru yang lebih menjunjung

nilai-nilai dan rasa kesatuan dalam kehidupan bhineka tunggal ika.

Page 10: pendidikan multikultural

3. Sudah seharusnya pendidikan multikultur di ajarkan tidak hanya di

lingkungan formal akan tetapi ruang lingkungan memiliki pengaruh yang

sangat penting untuk membentuk karakter yang saling menghargai.

4. Pada lingkungan formal pendidikan multikultur dapat diimplementasikan

melalui kurikulum tersembunyi (hidden curicculum) dimana nilai-nilai

budaya daerah di ajarkan juga bersamaan pada kurikulum pendidikan

nasional.

Dalam terlaksananya pendidikan multikultur sudah seharusnya didukung

oleh beberapa aspek, yakni :

1. Perlu adanya koordinasi antara pemerintah dan masyarakat dalam

menyelesaikan konflik etnis di Kalimantan Barat.

2. Meninjau sejarah konflik etnis di Kalimantan Barat sehingga perlunya

peran dinas terkait untuk menerapkan pendidikan multikultur di

Kalimantan Barat saat ini.

DAFTAR PUSTAKA

Banks, J.A (1993). Multicultural Education: Historical Development, Dimension,

and Practice. Review of Research in Education. vol. 19, edited by L.

Darling- Hammond. Washington, D.C.: American Educational Research

Association.

DEPAG RI dan IRD, Majalah: Inovasi Kurikulum: Kurikulum Berbasis

Multikulturalism, Edisi IV, Tahun 2003.

Ihromi. (1996). Pokok - pokok antropologi budaya. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia.

Koentjaningrat. (1982). Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jogjakarta:

Djambatan.

Koentjaningrat. (1974). Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta:

Gramedia.

Kuper, Adam & Jessica Kuper. (2000). Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada.

Paul Gorski, Six Critical Paradigm Shiifd For Multicultural Education and

The Question We Should Be Asking. (online). www.

Edchange.org/multicultural diakses Mei 2013).

Soedijarto. (2000). Pendidikan Nasional sebagai Wahana mencerdaskan

kehidupan Bangsa dan Membangun Peradaban Negara-Bangsa.

Jakarta: CINAPS.

Stavenhagen, Rudolfo (1996). "Education for a Multikultural world", in

Jasque Delors (et all), Learning: the treasure within. Paris: UNESCO.

Sumarjo, Endro, dkk. (2000). Rekonstruksi Sosial di Sambas. Jakarta: Kerja

sama antara Sekretariat DP-KTI dengan Biro Perencanaan, Depdiknas

Tilaar, H. A. R, (2002). Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar

Pedagogik Transformatif untuk Indonesia. Jakarta: Grasindo.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Pendidikan

Nasional.

Zubaidi. (2005). Pendidikan Berbasis Masyarakat. Jakarta: Pustaka Pelajar.