pendidikan humanisme dalam membangune-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5532/1/skripsi paling...

107
i

Upload: others

Post on 06-Jan-2020

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

i

ii

PENDIDIKAN HUMANISME DALAM MEMBANGUN

NILAI-NILAI KEMANUSIAAN RELIGIUS

PERSPEKTIF K.H MAHFUD RIDWAN

DAN Y.B MANGUNWIJAYA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Kewajiban dan Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Oleh:

AHMAD SYUKURI

NIM. 11114111

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

2019

iii

Dr. H. Miftahuddin, M. Ag

Dosen IAIN Salatiga

Persetujuan Pembimbing

Hal : Naskah Skripsi

Lampira : 4 (Empat) Eksemplar

Saudara : Ahmad Syukuri

Kepada

Yth. Dekan FTIK IAIN Salatiga

Di Salatiga

Assalamualaikum Wr. Wb

Setelah meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka bersama ini

kami kirimkan naskah skripsi saudara:

Nama

Fakultas

Jurusan

NIM

Judul

:

:

:

:

:

Ahmad Syukuri

Tarbiyah dan Ilmu Keguruan

Pendidikan Agama Islam

11114111

PENDIDIKAN HUMANISME DALAM MEMBANGUN

NILAI-NILAI KEMANUSIAAN RELIGIUS PERSPEKTIF

K.H MAHFUD RIDWAN DAN Y.B MANGUNWIJAYA

Dengan ini kami mohon kepada Bapak Dekan FTIK IAIN Salatiga bahwa

skripsi saudara di atas untuk dapat dimunaqosahkan. Demikian agar menjadi

perhatian.

Wassalamualaikum Wr. Wb

Salatiga, 2019

Pembimbing

Dr. H. Miftahuddin, M. Ag

NIP . 19700922 199403 1002

iv

SKRIPSI

PENDIDIKAN HUMANISME DALAM MEMBANGUN NILAI-NILAI

KEMANUSIAAN RELIGIUS PERSPEKTIF K.H MAHFUD RIDWAN

DAN Y.B MANGUNWIJAYA

Disusun oleh :

AHAMD SYUKURI

11114111

Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Pendidikan

Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Istitut Agama Islam Negeri

(IAIN) Salatiga, pada tanggal...................................................dan telah dinyatakan

memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana S1 Kependidikan Islam.

Susunan Panitia Penguji

Ketua Penguji : Dr. H. Agus Waluyo, M. Ag

Sekertaris : Dr. H. Miftahuddin, M. Ag

Penguji I : Suwardi, M. Pd

Penguji II : Dr. Hj. Maslikhah, M. Si

Salatiga,

Dekan Fakultas Tarbiyah dan

Ilmu Keguruan

Suwardi, M.Pd.

NIP. 19670121 199903 1 002

v

DEKLARASI

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Ahmad Syukuri

NIM : 11114111

prodi : Tarbiyah dan Ilmu Keguruan

Jurusan : Pendidikan Agama Islam

Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya

saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan

orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode

etik ilmiah. Skripsi ini diperkenakan untuk dipublikasikan pada e-repository IAIN

Salatiga

Demikian deklarasi ini dibuat oleh penulis untuk dapat dimaklumi.

Salatiga, 19 Januari 2019 Yang menyatakan

Ahmad Syukuri NIM: 11114111

vi

MOTTO

الناسأنفع ه مللناسخير

Artinya : “Sebaik-baik manusia ialah yang bermanfaat bagi orang lain”

(al Hadis)

Sejatine urip iku ngibadah lan ngabekti marang wong tuo

Artinya : “Sesungguhnya hidup itu beribadah dan berbakti kepada orang tua”

(K.H Mahfud Ridwan Lc)

vii

PERSEMBAHAN

Dengan penuh rasa syukur kepada Allah SWT serta tulusnya hati skripsi ini

penulis persembahkan teruntuk:

1. Kedua orong tuaku, Bapak Karmadi dan Ibu Salami (almh) yang selalu

mendo‟akan, membimbing dan mengarahkan, terimakasih atas kasih

sayangnya berjuang untuk penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini. Semoga Allah SWT selalu memberikan kasih sayang, dan selau

diberi kesehatan dan dimudahkan segalanaya.

2. K.H Mahfud Ridwan (alm), Ibu Hj. Nafisah Mahfud, K. Muhamad Hanif, M.

Hum berseta keluarga besar ndalem. Terimakasih atas bimbingannya,

nasehatnya serta pengarahan yang selalu di berikan kepada penulis.

3. Bapak Dr. H. Miftahuddin, M.Ag selaku pembimbing skripsi terimakasih atas

bimbingan pengarahan masukan atau saran yang telah bapak berikan hingga

skripsi saya selesai.

4. Saudara kandung, kakak-kakakku terimakasih atas motivasi dan

pengarahannya yang telah di berikan, dan buat adiku jangan pernah berhenti

belajar.

5. Rodziatus Sholikhah terimakasih atas segala bantuan, solusi, mememotivasi

serta do‟a yang selalu kamu berikan kepada penulis, semoga Allah SWT

senantiasa membalas kebaiakanmu, di mudahkan segalanya.

viii

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Bismillahirrahmanirrahim

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat taufiq

hidayah serta inayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini yang berjudul pendidikan humanisme religius perspektif K.H Mahfud

Ridwan dan Y.B Mangunwijaya. Sholawat serta salam semoga tetap tercurah ala

syaidina wahabibina wasyafi’ina Muhammad SAW. Skripsi ini disusun guna

untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd.) Pada Jurusan Pendidikan

Agama Islam Fakultas Tarbiyah IAIN Salatiga. Penulis mengucapkan terimakasih

kepada semua pihak yang telah membantu terseleasinya skripsi ini. Semoga

tercatat dan sebagai amal sholih

1. Bapak Dr. H. Rahmat Hariyadi, M. Pd selaku Rektor IAIN Salatiga

2. Bapak Suwardi, M. Pd selaku Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Salatiga

3. Ibu Hj. Siti Rukhayati, M. Ag selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam

4. Bapak Drs. H. Bahroni, M. Pd selaku Dosen Pembimbing Akademik

5. Bapak Dr. H. Miftahuddin, M. Ag selaku Dosen Pembimbing Skripsi

6. Segenap Bapak Ibu Dosen IAIN Salatiga serta seluruh karyawan

7. Keluarga besar ustadz ustadzah Pondok Pesantren Edi Mancoro, terimakasih

atas perjuangan yang diberikan kepada penulis.

8. Keluarga besar Bani Asyhari maturnuwun pandonganipun dan motivasinya.

9. Teman-teman pondok pesantren Edi Mancoro terima kasih atas segala

bantuanya.

ix

10. Teman-teman PPL IAIN Salatiga di SMP Muhamadiyah Suruh. Dan KKN

IAIN Salatiga di Desa Deras.

11. Gus Adib, Fauzil, Ashadil, Gus Farikh, Kang Sani (heo2), Sigit, Fauzi, Aam,

Galih, teman-teman Mahasiswa luar biasa, dan semua pihak yang telah

membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi.

12. Dan seluruh pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah

membantu terselesainya skripsi ini terimakasih saya ucapkan denagan tulus

hati, penulis hanya dapat membalas dengan iringan do‟a jaza kumullaha

khairan katsiran semoga Allah SWT membalas kebaiakanya lebih banyak.

Dalam penyusunan skripsi ini, Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih

jauh dari sempurna. dikarenakan keterbatasan dari segala bentuk yang dimiliki

oleh penulis. Mudah-mudahan skripsi yang jauh dari sempurna ini dapat

memberi manfaat bagi penulis dan orang lain yang membacanya.

Wassalamualaikum Wr. Wb

Salatiga, Januari 2019

Yang menyatakan

Ahmad Syukuri

NIM: 11114111

x

DAFTAR ISI

LEMBAR BERLOGO .................................................................................... i

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... ii PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................... iii

PENGESAHAN KELULUSAN ..................................................................... iv PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ....................................................... v MOTTO ........................................................................................................... vi

PERSEMBAHAN ........................................................................................... vii KATA PENGANTAR ..................................................................................... viii

DAFTAR ISI ................................................................................................... x DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xiii ABSTRAK ...................................................................................................... xiv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1

B. Fokus Penelitian ................................................................................... 6

C. Tujuan Penelitian .................................................................................. 6

D. Manfaat Penelitian ................................................................................ 8

E. Penegasan Istilah .................................................................................. 8

F. Sistematika Penulisan ........................................................................... 12

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Landasan Teori .................................................................................... 14

1. Pengertian Pendidikan .................................................................. 14

2. Pengertian Humanisme ................................................................ 17

a. Humanisme Sekuler.................................................................. 20

b. Humanisme Renaisans.............................................................. 22

c. Humanisme Modern ................................................................ 23

d. Humanisme Religius ............................................................... 25

3. Pendidikan Humanisme ................................................................ 27

xi

4. Pendidikan Religius ...................................................................... 31

5. Pendidikan Humanisme Religius ................................................. 43

B. Kajian Penelitian Terdahulu ................................................................ 45

BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian .................................................................................... 49

B. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................... 49

C. Sumber Data ......................................................................................... 52

D. Prosedur Pengumpulan Data ............................................................... 53

E. Analisis Data ....................................................................................... 54

F. Pengecekan keabsahan Data ................................................................ 57

BAB IV PAPARAN DAN ANALISIS DATA

A. Gambaran Umum ................................................................................ 59

1. Biografi K.H Mahfud Ridwan....................................................... 59

2. Biografi Romo Y.B Mangunwijaya ............................................. 60

B. Hasil Penelitian..................................................................................... 66

1. Pendidikan Humanisme dalam Membangun Nilai-Nilai

Kemanusiaan Religius Perspektif K.H Mahfud Ridwan................ 67

2. Pendidikan Humanisme dalam Membangun Nilai-Nilai

Kemanusiaan Religius Perspektif Y.B Mangunwijaya .................. 73

C. Pembahasan ......................................................................................... 75

1. Gagasan penidikan Humanisme dalam Membangun Nilai-Nilai

Kemanusiaan Religius .................................................................... 75

xii

2. Implementasi Pendidikan Humanisme dalam Membangun Nilai-

Nilai Kemanusiaan Religius ........................................................... 86

3. Sudut Pandang Epistemologi K.H Mahfud Ridwan dan Y.B

Mangunwijaya ................................................................................ 87

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan .......................................................................................... 89

B. Saran .................................................................................................... 90

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Lembar Konsultasi

Lampiran 2 : Surat Izin Penelitian

Lampiran 3 : Surat Keterangan Sudah Melakukan Penelitian

Lampiran 4 : Surat Pembimbing Skripsi

Lampiran 5 : Lembar Wawancara Penelitian

Lampiran 6 : Foto-Foto Penelitian

Lampiran 7 : Daftar Skk

Lampiran 8 : Riwayat Hidup Penulis

xiv

ABSTRAK

Syukuri, Ahmad. 2018. “Pendidikan Humanisme dalam Membangun Nilai-Nilai

Kemanusiaan Religius Perspektif K.H Mahfud Ridwan dan Y.B Mangunwijaya”. Skripsi, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan,

Jurusan Pendidikan Agama Islam. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing Dr. H. Miftahuddin, M. Ag.

Kata Kunci: Pendidikan Humanisme Religius, K.H Mahfud Ridwan, dan Y.B

Mangunwijaya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa saja gagasan-gagasan K.H

Mahfud Ridwan dan Y.B Mangunwijaya mengenai pendidikan humanisme dalam

membangun nilai-nilai kemanusiaan religius. dan bagaimana implementasi

gagasan humanisme dalam membangun nilai-nilai kemanusiaan religius K.H.

Mahfud Ridwan dan Y.B. Mangunwijaya.

Penelitian ini merupakan Penelitian kualitatif, metode pengumpulan data

yang digunakan yaitu observasi, wawancara dan dokumentasi. Analisis data

menggunakan langkah yaitu: Mengorganisasikan data, membuat kategori data,

mereduksi data, menyajikan fokus data dan penarikan kesimpulan.

Hasil penelitian sebagai berikut: (1). Gagasan K.H Mahfud Ridwan dan

Y.B Mangunwijaya mengenai pendidikan humanisme dalam membangun nilai-

nilai kemanusiaan religius yaitu sama-sama berpandangan bahwa agama hadir

sebagai dasar untuk membentuk kepribadian manusia dalam bertindak,

berkeyakinan, dan bersosial, dengan moral yang baik serta rasa nasionalisme yang

tinggi. Pandangan K.H Mahfud Ridwan dalam kehidupan bermasyarakat dapat

dilihat dari prinsip dan laku kesehariannya yaitu, sebaik-baik manusia ialah yang

bermanfaat bagi orang lain. Sedangkan Y.B Mangunwijaya Berpandangan bahwa

hidup itu tidak cukup melakukan pengabdian pada Tuhan saja, akan tetapi peduli

dengan kemanusiaan dan keseimbangan alam. Hal ini sesuai dengan prinsip dan

laku kesehariannya yaitu Tri Bina, bina manusia, bina usaha dan bina lingkungan.

(2). Implementasi pendidikan humanisme religius K.H Mahfud Ridwan dan Y.B

Mangunwijaya yaitu, sama-sama sebagai tokoh agama yang mendampingi

masyarakat secara nasionalis, pluralis, humanis dan religius, dengan sungguh-

sungguh. Hidupnya banyak bersentuhan denngan masyarakat bawah, khususnya

bagi mereka yang lemah, mengentaskan orang-orang yang hidup di bawah.

Memberi pelayanan pendampingan dan memang tulus berdasarkan hati nuraninya,

dengan tanpa mengaharap imbalan kepada pihak yang bersangkutan.

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan langkah terpenting di mana manusia sejak

lahir sudah mendapat pendidikan dari orang tuanya, saudaranya serta orang

lain, sehingga yang semula tidak tahu menjadi tahu yang semuala tidak

paham menjadi paham dan seterusnya, terlebih pendidikan humanisme dan

religius, manusia lahir dalam keadaan fitrah (suci) bagai air yang jernih.

Semakin bertambahnya usia akan semakin tambah pengetahuannya pula,

manusia tak bisa hidup sendiri tentu membutuhkan orang lain untuk hidup

bermasyarakat antra satu sama lain hidup berdampingan harus saling

melengkapi, tolong menolong, saling paham dan memahami. Untuk

mewujudkan kehidupan yang tentram dan harmonis, akan tetapi yang terjadi

saat ini masih sangat minim bahkan sangat memprihatinkan, terbukti

kejahatan masih terjadi merajalela di mana-mana dikabarkan melalui medsos

baik televisi, radio, handpone maupun melalui surat kabar, bahkan melihat

sendiri secara lasung seperti pelecehan seksual, pembunuhan perkelahian

tawuran antar pelajar, penganiayaan, penipuan, korupsi, kolusi dan lain

sebagainya. Banyak manusia yang hilang akan kemanusiannya yang gagah

menindas yang lemah, yang kaya tak peduli dengan yang miskin. Banyak

orang yang mengatasnamakan lembaga atau investasi untuk merampas, dan

membohongi orang lain. Seiring perkembangan zaman manusia semakin

2

pintar, bahkan tidak sedikit manusia yang menggunakan kata cinta sebagi

kunci atau pelampiasan untuk memenuhi segala hasrat keinginan yang tidak

berperi kemanusiaan.

Dalam aturan agama apapun yang dianutnya maupun ideologi

bangasa, memerintahkan untuk hidup menjunjung tinggi nilai-nilai

humanisme religius, memanusiakan manusia serta taat pada Tuhannya. Di

antaranya ber-Ketuhanan Yang Maha Esa dan kemanuisiaan yang adil dan

beradap, dan banyak lagi diatur dalam undang-undang hak asasi manusia

(HAM) maupun syariat agama. Manusia di samping sebagai mahluk individu

juga sebagai mahluk sosial, pasti tidak bisa hidup sendiri. Sebagai mahluk

sosial pada hakekatnya tidak bisa hidup menyendiri tanpa adaya bantuan dari

orang lain atau masyarakat. Berkumpulnya individu dengan individu lain,

individu dengan kelompok serta kelompok dengan kelompok lain, akan

melahirkan pranata sosial yang memerlukan adanya norma-norma sosial

sebagai pijakan untuk mengaktualisasikan tingkahnya, sehingga dapat dinilai

baik dan buruknya secara garis besar sebagai agama yang mempunyai ajaran

yang bersifat universal (Adnan, 2007: 18).

Humanisme pada saat itu ingin meningkatkan perkembangan yang

harmonis dari sifat-sifat dan kecakapan alamiah manusia (Bakhtiar, 2015:

148). Kehidupan manusia dalam beberapa fase dan tingkatannya mengalami

bermacam-macam bahaya dan malapetaka, disebabkan persengketaan dan

permusuhan sesama manusia. Masing-masing mereka ingin berkuasa dan

mementingkan kemuslihatan diri sendiri. Oleh sebab itu terjadilah

3

permusuhan antar sesama manusia, sehingga bernyala-nyalalah api

peperangan, akhirnya yang kuat menindas yang lemah, yang berkuasa

memperbudak yang kalah, dan yang kaya menganiaya simiskin.

Begitu juga kehidupan manusia memiliki bermacam-macam

kebatilan, perhubungan manusia dengan sesamanya penuh kedzaliman

penganiayaan. Tak ada tolong-menolong dan bantu-membantu bahkan sangat

jauh dari keadilan dan kejujuran.

Dengan demikian memperlakukan manusia baik dalam dirimu

maupun dalam segenap orang lain adalah tujuan yang tidak pernah semata-

mata sebagai sarana yang diharapkan seluruh manusia dalam kehidupan

bermasyarakat, masing-masing orang dihargai identitasnya begitulah

pentingnya humanisme dalam hidup bermasyarakat.

Religius merupakan keyakinan yang ada dan tertanam dalam jiwa

manusia yang dijadikan sebagai dasar untuk berperilaku, bersikap, dan

berbuat sesuai dengan keyakinan agama yanng dianutnya. Religius sangat

berpengaruh dalam berperilaku dan bersikap, seorang bila dalam berperilaku

dan bersikap baik, maka orang tersebut memiliki nilai religius yang baik pula

agama yang dianutnya. Religius sebagai pendorong manusia dalam

membangun keimanan, sehingga manusia dapat selalu berbuat kebaikan dan

selalu mengingat kebesaran Tuhannya, religius itu menyangkut diri pribadi

seseorang dan tingkat religiusnya seseorang yang berbeda-beda.

Menurut Johan dalam salah satu tulisannya mengatakan begini,

pendidikan agama sejak puluhan tahun diberikan di sekolah-sekolah, sejak

4

sekolah dasar sampai perugruan tinggi, radio dan televisi setiap pagi

memprogramkan kuliah subuh, khotbah-khotbah keagamaan diberikan di

berbagai kalangan remaja, anak-anak, pemuda, perempuan, dikantor-kantor

dan pada orang-orang dewasa umumnya. Perayaan hari-hari besar keagamaan

dilaksanakan dengan biaya yang tidak sedikit jumlahnya, rumah-rumah

ibadah bermunculan dalam wujud yang tidak jarang mengesankan bukan

hanya indah tetapi juga mewah, tapi mengapa muncul tindakan-tindakan

kekerasan atas nama agama yang semakin membudaya termasuk korupsi

yang semakin marak. Agama sebagai inspirator sekaligus peneguh bagi setiap

pemeluknya, untuk memikirkan dan memberlakukan segala kegiatan hidup

bermasyarakat atas dasar basic rights dan basic human needs.

Memang, kenyataan masih jauh dari harapan, apalagi bila

diperhatikan dengan seksama, masih banyak pemahaman keagamaan yang di

dalamnya juga banyak pejabat pemerintah, para pembuat kebijakan dan

pengambil keputusan, yang terbatas kepada hal-hal yang sifatnya simbolitis

belaka. Padahal dalam menjalankan fungsi kritisnya, umat beragama dalam

arti seluas- luasnya, dan para pemimpin agama tidak bisa buta terhadap

politik, sosial, budaya, hukum, ekonomi dan lain sebagainya, atau hanya

membatasi dalam soal-soal doktrin, dogma dan ritual serta peduli terhadap

dirinya sendiri. Agama perlu dijadikan dasar untuk merumuskan dan

memberlakukan pratek basic human rigths dan basic human needs yang

senyata-nyatanya, tidak sebagai simbol dan alat penguat yang berkaitan

dengan kepentingan sesaat, dan karena itu mudah disatu-padukan dengan

5

kekerasan. Tetapi agama yang menghargai perbedaan, menghargai

kepentingan kehidupan manusia jauh kedepan tidak sebatas perodisasi masa

pemerintahan, kekayaan atau jabatan dan kekuasaan para penguasa dan elit

pemerintahan atau pimpinan umat beragama (Effendi, 2010: XX-XXI).

Religius memiliki dasar yang kuat sebagai cerminan bagi setiap

orang yang mendalami keyakinannya. Religius merupakan dasar dari

pembentukan budaya religius, karena tanpa adanya penanaman nilai religius

tidak akan terbentuk karakternya.

Pendidikan humanisme religius sangat penting ditanamkan pada

manusia sejak usia dini sebagai dasar (pondasi) karena diusia dini adalah

waktu atau kesempatan baik yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya

sehingga akan membangun kebiasaan dan terbentuk karakternya saat dewasa.

Buah hasil saat dewasa adalah gambaran dimana manusia sudah ditanamkan

penidikan humanisme religius ketika masih usia dini.

K.H. Mahfud Ridwan dan Y.B. Mangunwijaya adalah tokoh yang

sangat berperan dalam memajukan masyarakat, terutama dalam mewujudkan

dan menjujung tinggi nilai-nilai humanisme religius dalam masyarakat.

Meskipun kedua tokoh berbeda dalam keyakinan bragama akan tetapi sama-

sama berprinsip dalam hidupnya yaitu humanisme religius. K.H Mahfud

Ridwan menolong membina mamajukan orang-orang miskin pedesaan,

diantaranya melalui mendirikan Wisma Santri mendirikan Yayasan Desaku

Maju dan lain sebagainya. Sedang Y.B Mangunwijaya menolong pada

masyarakat miskin perkotaan dngan mendirikan Sekolahan, mendirikan

6

bangunan rumah untuk menampung masyarakat miskin, kaum marjinal

diperkotaan yang berada dikolong-kolong jembatan dengan dikasih binaan.

Dengan uraian latar belakang diatas maka peneliti akan membahas terkait

dengan judul “Pendidikan Humanisme dalam Membangun Nilai-Nilai

Kemanusiaan Religius Perspektif K.H Mahfud Ridwan dan Y.B

Mangunwijaya”.

B. Fokus Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas maka

permasalahan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apa saja gagasan-gagasan K.H Mahfud Ridwan dan Y.B Mangunwijaya

mengenai pendidikan humanisme dalam membangun nilai-nilai

kemanusiaan religius.?

2. Bagaimana pendidikan humanisme dalam membangun nilai-nilai

kemanusiaan religius yang diimplementasikan oleh K.H Mahfud Ridwan

dan Y.B Mangunwijaya.?

C. Tujuan Penelitian

Berdasar rumusan masalah diatas maka peneliti merumuskan tujun

peneliti sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui gagasan-gagasan K.H Mahfud Ridwan dan Y.B

Mangunwijaya mengenai pendidikan humanisme dalam membangun nilai-

nilai kemanusiaan religius perspektif keduanya.

7

2. Untuk mengetahui proses dan implementasi dari gagasan pendidikan

humanisme dalam membangun nilai-nilai kemanusiaan religius perspektif

K.H Mahfud Ridwan dan Y.B Mangunwijaya.

8

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang nanti dapat di peroleh sebagai berikut:

1. Manfaat teoritis

a. Sebagai salah satu sarana atau memperkaya sarana ilmu peniddikan

humanisme dalam membangun nilai-nilai kemanusiaan religius bagi

seluruh manusia.

b. Sebagai sumbangsih akademik dan civitas akademika sebagai tambahan

bahan bagi yang mempelajari pendidikan humanisme dalam

membangun nilai-nilai kemanusiaan religius.

2. Manfaat praktis

a. Dapat digunakan sebagai refrensi pemahaman humanisme dalam

membangun nilai-nilai kemanusiaan religius, dalam rangka

menciptakan kehidupan rukun, tentram, berwawasan pendidikan

humanisme religius.

b. Bagi masyarakat sebagai tambahan mempermudah dalam mengetahui

pendidikan humanisme dalam membangun nilai-nilai kemanusiaan

religius.

E. Penegasan Istilah

Untuk memudahkan atau menjaga agar tidak terjadi kesalah fahaman

serta langkah awal menyatukan presepsi terhadap pembahasan penelitian

yang berjudul, „‟Pndidikan Humanisme Dalam Membangun Nilai-Nilai

Kemanusiaan Religius Perspektif K.H Mahfud Ridwan dan Y.B

9

Mangunwijaya”, maka perlu diberikan pegnesahan istilah dari judul diatas

yaiu antara lain:

1. Pendidikan

Pendidikan adalah usaha upaya memanusiakan manusia, usaha

untuk mengembangkan potensi yang dimiliki setiap individu sehingga

dapat hidup secara optimal, baik sebagai pribadi maupun sebagai bagian

dari masyarakat serta memiliki nilai-nilai moral dan sosial sebagai

pedoman hidupnya. Dengan demikian pendidikan dipandang sebagai

bentuk usaha sadar yang bertujuan dan berusaha mendewsakan anak

(Sujana, 1991 :01). Pendidikn adalah proses pengubahan sikap dan tata

laku seorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia

melalui upaya pengajaran. Serta pelatihan, proses, dan cara mendidik (Tim

Penysun KBBI, 2007: 263).

2. Humanisme

Humanisme menegaskan bahwa manusia adalah ukuran segala

sesuatu. Kebesaran manusia harus dihidupkan kembali, yang selama ini

terkubur pada abad pertengahan. Oleh karena itu, warisan filsafat klasik

harus dihidupkan dan warisan abad pertengahan ditinggalkan. Kebebasan

manusia adalah salah satu tema pokok humanisme. Piko salah satu seorang

tokoh humanisme berkata manusia dianugrahi kebebasan memilih oleh

Tuhan dan menjadikannya pusat perhatian dunia. Dengan posisi itu dia

bebas memandang dan memilih yang terbaik.

10

Valla berpendapat bahwa, humanisme pada awalnya tidak anti

agama. Humanisme ingin mengurangi peranan institusi gereja dan

kerajaan yang begitu besar, sehingga manusia sebagai mahluk Tuhan

kehilangan kebebasannya.

Humanisme pada awal Renaisans berbeda dengan humanisme

pada abad ke-19 dan 20 kendati dalam beberapa hal ada kesamaanya.

Humanisme pada saat itu ingin meningkatkan perkembangan yang

harmonis dari sifat-sifat dan kecakapan alamiah manusia

(Bakhtiar,2015:148). Humanis adalah orang yang mengedepankan dan

memperjuangkan terwujudnya pergaulan hidup yang lebih baik

berdasarkan asas perikemanusiaan pengabdi kepentingan sesama umat

manusia. Aliran yang menghidupkan perikemanusiaan dan mencita-

citakan pergaulan hidup yang lebih baik (Tim Penyusun KBBI, 2007:

412).

3. Religius

Religius adalah sumber nilai-nilai etika, yang takpernah kering,

karena agama melihat hakekat manusia pada perbuatan baiknya. Dalam

agama, tinggi rendah seseorang tidak ditentukan oleh harta, ilmu ataupun

kekuasaan, tetapi ditentukan semua oleh perbuatan baik atau taqwanya,

dan seberapa jauh nilai-nilai etika menjiwai dan mewarnai segala

tindakannya. Oleh karena itu agama untuk manusia dengan sendirinya,

etika atau moralitas menjadi salah satu ajaran yang amat penting dalam

agama apapun, dan dari sudut etika maupun moralitas. Rasanya semua

11

agama sepakat mempunyai pandangan yang sama, semua agama

memerintahkan pemeluknya berbuat baik dan melarang berbuat jahat.

Dalam konsep filsafat Islam, ada empat hal pokok yang

dibicarakan agama, yaitu Tuhan, manusia, alam dan kebudayaan. Etika

agama pada dasarnya mengatur manusia dengan Tuhannya, manusia

dngan sesamanya dan dengan dirinya, hubungan manusia dengan alam

sekitarnya serta hubungan manusia dengan kebudyaan ciptaanya (Asy‟ari,

2001: 17). Religus, kepercayaan kepada Tuhan, kepercayaan akan adnaya

kekuatan adikodrati (kepcayaan animisme, dinamisme) agama. Kesholihan

dapat di peroleh melalui pendidikan masyarakat terasing itu, juga

mengenal terentu, misal dengan mengubah perilaku religius bersifat

keagamaan (Tim Penyusun KBBI, 2007: 944).

4. Perspektif

Cara melukiskan suatu benda pada permukaan yang mendatar

sebagaimana yang terlihat oleh mata dengan tiga dimensi panjang, lebar

dan tinggiya (Tim Penyusun KBBI, 2007: 846).

5. K.H Mahfud Ridwan dan Y.B Mangunwijaya

K.H Mahfud Ridwan dan Y.B Mangunwijaya, adalah dua tokoh

yang dalam hidupnya sama-sama saling mengedepankan nilai-nilai

humanisme religius, terlihat dalam kehidupan bermasyarakat sangat peduli

dengan rakyat kecil, menolong orang-orang lemah masyarakat yang

termarjinalkan, memajukan masyarakat yang masih tertinggal. Dan dalam

berkeyakinan dengan agama yang dianutnya atau religius, sosok kedua

12

tokoh tersebut sangat baik dalam menjujung nilai-nilai religius untuk

dijadikan ukuran dalam bertindak dan bersikap, sehingga kereligiusannya

yang menjadi cerminan sebagai dasar segala aktifitasnya.

F. Sistematika penulisan

Untuk memberikan gambaran yang jelas dan menyeluruh sehingga

pembaca nantinya dapat memahami tentang skripsi ini dengan mudah, penulis

berusaha memberikan sistematika penulisan dengan penjelasan secara garis

besar. Yaitu skripsi ini terdiri dari lima bab yang masing-masing saling

berhubungan sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan. Yaitu merupakan gambaran secara global berisi

dari seluruh isi skripsi mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegesaan istilah, dan sistematika

penulisan.

BAB II Kajian Pustaka. Pada bab ini penulis membahas landasan

teoritis dari karya tulis ini beserta kajian pustaka terdahulu yang berkaitan

dengan judul penelitian ini.

BAB III Metode Penelitian. Bab ini berisi tentang metode penelitian

yang dipakai oleh penulis yang meliputi jenis penelitian, lokasi dan waktu

penelitian, sumber data, prosedur pengumpulan data, analisis data dan

pengecekan keabsahan data.

BAB IV Paparan dan Analisis Data. Bab ini berisi tentang paparan

data hasil penelitian yang kemudian dianalisa oleh penulis secara terperinci.

13

BAB V Penutup. Bab ini berisi tentang kesimpulan, saran, daftar

pustaka serta lampiran- lampiran yang mendukung penelitian ini.

14

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Pengertian Pendidikan

Pendidikan berasal dari kata education yang dapat diartikan

upbringing (pengembangan) teaching (pengajaran) intraction (perintah)

pedagogy (pembiasaan kepribadian) raising of animal (menumbuhkan)

(Nata, 2011: 14).

Dalam bahasa Arab kata pendidikan merupakan terjemahan dari kata

al-tarbiyah yang dapat diartikan proses penumbuhan dan mengembangkan

potensi yang terdapat pada diri seorang baik secara fisik, psikis, sosial,

maupun sepiritual. Selain itu kata tarbiyah juga dapat berarti

menumbuhkan dan mendewasakan peserta didik memperbaiki (aslaha)

menguasai, urusan, memelihara, merawat, memperindah, memberi makna,

mengasuh, memilki, mengatur, dan menjaga kelangsungan maupun

ekstitensi seseorang. Kata al-tarbiyah sebagaimana diatas juga mencakup

pengertian al-ta’lim (pengajaran tentang ilmu pengetahuan) al-ta’dib

(pendidikan budi pekerti) al-tahdzib (pendidikan budi pekerti) al-

mauidhah (nasihat tentang kebaikan) al-riyadhah (latihan mental

sepiritual) al-tazkiyah (pendidikan kebersihan diri) al-talqin (bimbingan

dan arahan) al-tadris (pengajaran) al-tafaqquh (memberikan pengertian

15

dan pemahaman) al-tabayun (penjelasan) al-tazkirah (memberikan

peringatan) dan al-irsyad (memberikan bimbingan) (Nata, 2011: 15).

Pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara yaitu upaya untuk

memajukan perkembangan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran

(intlektual), dan jasmani anak-anak. Dalam artian, supaya kita dapat

memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan

selaras dengan alam dan masyarakatnya. Oleh karena itu ada beberapa hal

yang harus diperhatikan seperti:

a. Segala syarat usaha dan cara pendidikan harus sesuai kodrat dan

keadaannya.

b. Untuk mengetahui garis hidup yang tetap dari suatu bangsa perlu

mengetahui jaman yang telah lalu, mengetahui menjelmanya jaman itu

kejaman sekarang, mengetahui jaman yang berlaku saat ini, untuk

dapat memahami jaman yang akan datang (Kumalasari, 2010: 51).

Pendidikan merupakan persoalan hidup manusia sepanjang hayatnya,

baik sebagai individu, kelompok sosial maupun sebagai bangsa.

Pendidikan dimasadepan perlu dikembangkan agar dapat menjadi lebih

responsif terhadap tuntutan masyarakat dan tantangan yang akan dihadapi

diduina ini, dan dimasa yang akan datang (Fathurrohman, 2015: 2).

Pendidikan adalah usaha pembentukan pola pikir terhadap peserta

didik, secara kodrati bersifat aktif dan kreaktif menjalani proses

pembentukan dan perwujudan diri untuk merangsang perkembangan yang

16

selalu aktif, peka, resekptif dan responsif terhadap ransangan (Slamet,

2005: 23).

Pendidikan yaitu suatu usaha sadar dan terrencana untuk

mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik

secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan

sepiritual keagamaan. Pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan ahlak

mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan

negara. Karena pendidikan merupakan tugas dan kewajiban bersama

antara keluarga, masyarakat dan pemerintah (Fathurrohman, 2015:3).

Pendidikan diartikan dalam maha luas yaitu, pendidkan sama dengan

hidup. Pendidikan adalah segala situasi yang mempengaruhi pertumbuhan

seseorang. Pendidikan adalah pengalaman belajar. Oleh karena itu,

pendidikan dapat pula didefinisikan sebagai keseluruhan pengalaman

belajar yang tidak terbatas oleh ruang waktu dimanapun setiap orang dapat

belajar sepanjang hidupnya. Pendidikan berlangsung tidak dalam batas

usia, tetapi berlangsung sepanjang hidup sejak lahir bahkan sejak awal

hidup ketika masih dalam kandungan hingga mati (Mudyahardjo,

2010:46).

Definisi pendidikan menurut pasal 1, ayat (1) ditegaskan bahwa

bentuk kegiatan pendidikan adalah usaha sadar, yang dalam penjelasan

umum menurut undang-undang nomor 2 Tahun 1989, ada tiga unsur

pokok dalam kegiatan pendidikan yaitu:

17

a. Bimbingan,

b. Pengajaran dan

c. Latihan.

Bimbingan adalah jenis pendidikan yang terutama tertuju pada

pertumbuhan kepribadian manusia Indonesia yang bertaqwa kepada Tuhan

yang Maha Esa, memelihara budi pekerti kemanusiaan, dan memegang

teguh cita-cita moral rakyat yang luhur (Mudyahardjo, 2008: 57).

Pengajaran adalah jenis kegiatan pendidikan yang utama tertuju pada

pengembangan kemampuan intelektual dalam menguasai ilmu teknologi.

Sedangkan latihan adalah jenis kegiatan pendidikan yang terutama

bertujuan mempolakan kinerja atau tampilan kerja yang sesuai dengan

standar kerja yang diharapkan (Mudyahardjo, 2008: 57).

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahawa

pendidikan merupakan tugas pokok yang harus dilakuakan oleh beberapa

pihak yang bersangkutan antara diri sendiri, orang tua, masyarakat dan

pemerintah. Untuk mendapatkan hasil yang baik yang sesuai dengan apa

yang diharapkan, baik didapat dari sekolah, lingkungan hidup

(masyarakat) dan di tempat lain yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu,

sejak lahir hingga akhir hayatnya.

2. Pengertian Humanisme

Makna kemanusiaan adalah proses menjadi manusiawi dalam

interaksi antar sesama manusia dengan konteks dan tantangan yang terus

berkembang (Michael Sastrapratedja SJ: 2006). Menurutnya, dalam situasi

18

pluralisasi kehidupan dan kebudayaan sekarang, tidak mungkin

dirumuskan satu corak humanisme. Satu hal yang tak bisa ditiadakan

dalam humanisme ialah harkat dan martabat manusia harus dihormati dan

dikembangkan. Dalam hal ini filsafat berfungsi menafsirkan pengalaman

manusia dan berbagai tradisi budaya. Dari sana tercipta pemahaman

antara budaya yang pada gilirannya akan memberikan kontribusi bagi

peningkatan hidup dan martabat manusia. Dan makna humanisme menjadi

lebih ketara dan berfungsi justru pada saat konsep humanisme

diperdebatkan. Makna itu selalu "menggelincir'' dari pengertian yang tetap

(Subaidi, 2014: 12).

Satu-satunya yang berada dalam arti yang sesungguhnya adalah

beradanya manusia. Keberadaan benda-benda terpisah dengan yang lain,

sedang beradanya manusia, mengambil tepat ditengah-tengah dunia

sekitarnya (Hakim, 2008: 334). Keberadaan manusia disebut desein

(berada ditempat). Berada artinya menempati atau mengambil tempat.

Untuk itu, manusia harus keluar dari dirinya dan berdiri ditengah-tengah

segala yang berada keberadaan manusia yaitu berada di dunia maka harus

memberi tempat kepada yang lain disekitarnya, ia dapat bertemu dengan

benda-benda lain dan dengan sesama manusia, dapat bergaul dan

berkomunikasi dengan baik. Karena itu manusia terbuka dengan dunianya

dan bagi sesamanya. Keterbukaan ini bersandar atas tiga hal asasi, yaitu:

befundicheit (kepekaan), verstehen (memahami) dan rede (kata-kata,

bicara) (Hakim, 2008: 335).

19

Humanisme adalah suatu cabang etika yang asal usulnya lahir pada

awal abad ke-16, seiring dengan lahirnya reformasi didunia Kristen.

Kebangkitan humanisme yang terdahulu ditandai dengan datangnya

gagasan mengenai kebebasan manusia untuk menentukan nasibnya secara

sendiri yang dikemukakan oleh Erasmus.

Humanisme juga muncul sebagai anak dari renaisans. Masing-

masing aliran tersebut mempunyai target dan tujuan yang berbeda. Jika

rasionalisme mempunyai target untuk menentukan ekstitensi akal dan

liberalisme berada untuk membuka ladang persaingan yang kompetitif,

maka humanime secara sederhana dapat dipahami mengukuhkan sisi

kemanusiaan (Hanafi, 2007: V).

Humanisme dapat diartikan sebagai martabat (dignity) dan nilai

(volue) dari setiap manusia, dan semua upaya untuk meningkatkan

kemampuan-kemampuan alamiah (fisik atau non fisik) secara penuh.

Humanisme dapat dinamakan pula Neo Hmanisme, Neo Humanisme

berkembang pada abad ke-18 ketika para seniman, filsuf dan kaum

intelektual melihat lagi masa Yunani dan Romawi klasik, konsep

humanisme dipandang mempunyai kesamaan dengan konsep Yunani kuno

tentang bentuk tubuh dan pikiran yang harmonis (Suseno, 2007: 209).

Pada permulaan abad ke-19 dan seterusnya, humanisme dipandang

sebagai perilaku sosisal politik yang ditunjukkan untuk memenuhi

kebutuhan lembag-lembaga politik dan hukum yang sesuai dengan

gagasan martabat kemanusiaan. Sejak saat itu jelas bahwa humanisme

20

telah memasuki tahap etika poltik modern saat ini, konsep humanisme

tidak dihubungkan dengan orang-orang Eropa yakni dengan kebudayaan

Romawi dan Yunani kuno. Humanisme berkembang menjdi gerakan lintas

budaya dan universal, dalam arti berbagai sikap dan kualitas etis dari

lembag- lembaga politik yang bertujuan membentengi martabat

kemanusiaan (Suseno, 2007: 210).

Humanime berasal dari kata “human” bersifat manusiawi seperti

manusia yang dibedakan dari binatang, jin dan malaikat.

berperikemanusiaan baik budi, luhur budi, dan sebagainya. “humanis”

orang yang mendambakan dan memperjuangkan terwujudnya pergaulan

hidup yang lebih baik, berdasarkan asas kemanusiaan pengabdi

kepentingan sesama umat manusia, penganut paham yang menganggap

manusia sebagai objek terpenting (Tim Penyusun KBBI, 2007: 411).

Humanisasi penumbuhan rasa perikemanusiaan. “humanisme” dapat

disimpulkan sebagai aliran yang bertujuan mengedepankan

perikemanusiaan dan mencita-citakan perjalanan hidup yang lebih baik,

paham yang menganggap manusia sebagai objek terpenting. Aliran zaman

reaisance yang menjadikan secara klasik (dalam bahasa latin Yunani)

sebagai dasar perbedaan manusia (Tim Penyusun KBBI, 2007: 412).

a. Humanisme Sekuler

Dalam bidang tertentu, kata humanisme juga mengalami perubahan

makna ketika dipakai oleh para filsuf dengan periode historis yang

berbeda. Misalnya pada zaman pencerahan (Enlightment), yang

21

ditandai dengan adanya upaya bebas dari paham tradisional bahwa

manusia hanya dapat dipahami melalui konteks tatanan Illahi dan

iman, paham humanisme juga menunjuk kepada proyek membangun

kehidupan manusia dan masyarakat menurut tatanan dan aturan akal

budi. Proyek ini juga mencakup analilis mengenai kemampuan

manusia untuk memahami realitas, yakni melalui akal budi, seperti

yang dilakukan oleh Immanuel Kant (Cahya, 2004: 17).

Humanisme sekuler yang berawal dari gerakan sekulerisme ini

mengurus dan mengelola kehidupan tanpa mengaitkannya dengan

urusan-urusan religius, adikodrati dan keakhiratan, melainkan

mengarahkan diri pada konteks duniawi saja (Sugiharto, 2008: 85).

Sekulerisme awalnya dicetuskan sebagai sistem etika dan filsafat

formal oleh J. Holoyake tahun 1846 di Inggris. Dasar pemikirannya

adalah kebebasan berpikir sebagai hak manusia demi kepentingan

manusia sendiri (Sugiharto, 2008: 86).

Kata sekuler sendiri berasal dari bahasa Inggris (secular) yang

berarti yang bersifat duniawi, fana, temporal, tidak bersifat spiritual,

abadi dan sakral, kehidupan diluar biara, dan sebagainya. Menurut para

peneliti, kata secular berasal dari kata saeculum, sebuah kata latin

yang berarti satu abad lebih sedikit, atau yang berarti abad sekarang.

Pengertian lain menyebutkan sebagai pembebasan manusia pertama-

tama dari agama dan metafisika yang mengatur nalar dan bahasanya.

Ada juga yang mendefinisikanya sebagai suatu proses yang terjadi

22

dalam segala sektor kehidupan masyarakat dan kebudayaan yang

terlepas dari dominasi lembaga- lembaga dan simbol-simbol

keagamaan (Praja, 2003: 188).

Humanisme sekuler sendiri tidak selalu menekankan bahwa

kebaikan hidup didunia ini adalah kebaikan yang juga benar-benar

real. Usaha untuk memperoleh kebaikan hidup adalah dengan

melakukan kebaikan pula. Ketika manusia masih hidup didunia,

manusia sebenarnya bisa mendapatan kehidupan yang baik. Manusia

tidak seharusnya hidup dalam kemiskinan, kebodohan, ketertindasan

dan keserakahan, melainkan harus hidup untuk memajukan

kehidupannya dengan bijaksana dan penuh belas kasih. Humanisme

sekuler tidak selalu menentang agama namun tidak juga menentang

adanya cahaya kebenaran, kebaikan dan adanya bimbingan dari

kenyataan real di alam ini (Sugiharto, 2008: 90).

Humanisme sekuler meyakini bahwa semua orang pada dasarnya

mampu menggali pengalaman hidupnya sendiri dan menarik banyak

pelajaran, nilai dan makna yang penting dari petualanganya.

Petualangan yang akan membawa pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip

yang luhur mengenai kebenaran, kebaikan, keindahan, kematangan,

kesucian dan sebagainya (Sugiharto, 2008: 90).

b. Humanisme Renaisans

Pada abad ke-14 adalah zaman yang dikenal sebagai zaman krisis

abad pertengahan dan berlangsung hingga abad ke-14. Pada abad ke-

23

16 ini dikuasai oleh sebuah gerakan yang bernama Renaisans. Arti

kata Renaisans adalah kelahiran kembali, secara historis renaisans

adalah suatu gerakan yang meliputi suatu zaman yang orang kala itu

merasa dirinya telah dilahirkan kembali dalam keadaban. Zaman ini

dapat dikatakan bahwa orang pada saat itu merujuk kembali kepada

keindahan sumber-sumber murni yang dihasilkan oleh pengetahuan

sehingga dapat menghasilkan keindahan. Gerakan ini dimulai pada

pembaharuan di bidang kerohanian, kemasyarakatan dan kegerajaan

yang telah dimulai pada pertengahan abad ke-16 di Italia, pergerakan

ini dilakukan oleh para orang humanis Italia (Hadiwjiono, 2011: 11).

c. Humanisme Modern

Pendidikan humanis memiliki dasar filosofis yang berbeda. Teori

filsafat pragmatisme, progresivisme, dan eksistensialisme merupakan

peletak dasar munculnya teori pendidikan humanistik pada tahun 1970.

Ketiga teori filsafat ini memiliki karakteristik masing-masing dalam

menyoroti pendidikan. Ide utama pragmatisme dalam pendidikan

adalah memelihara keberlangsungan pengetahuan dengan aktifitas

yang dengan sengaja mengubah lingkungan. Pragmatisme memandang

pendidikan (sekolah) seharusnya merupakan kehidupan dan

lingkungan belajar yang demokratis, yang menjadikan semua orang

berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan sesuai realitas

masyarakat. Pengaruh pemikiran ini sangat dirasakan dan bahkan

24

menjadi faktor utama munculnya teori atau pemikiran humanisme dan

progresivisme (Wahono, 2001: 14).

Kuatnya pengaruh arus kedua aliran tersebut muncullah Abraham

Harold Maslow (1908-1970) yang mencoba memformulasikan

gagasan-gagasan dua tokoh pendahulunya. Maslow yang sebelumnya

banyak belajar dari pemikiran-pemikiran kedua tokoh diatas, Sigmund

Freud dan John B. Watson, pada gilirannya memperkenalkan sebuah

metode psikologi yang dinamai psikologi madzhab ketiga atau dikenal

dengan sebutan psikologi humanistik (psychology of being). Sebuah

upaya untuk mengembangkan suatu pendekatan psikologi baru yang

lebih positif mengenai manusia, nilai-nilai tertinggi, cita-cita,

pertumbuhan dan aktualisasi potensi manusia (Komarudin, 2009: 63 ).

Sedangkan pendidikan yang humanistik memandang manusia

sebagai manusia, yakni makhluk hidup ciptaan Tuhan dengan fitrah-

fitrah tertentu. Sebagai makhluk hidup, ia harus melangsungkan,

mempertahankan, dan mengembangkan hidupnya. Pendidikan

humanistik adalah pendidikan yang mampu memperkenalkan

apresiasinya yang tinggi kepada manusia sebagai makhluk Allah SWT

yang mulia dan bebas serta dalam batas-batas eksistensinya yang

hakiki, dan juga sebagai pemimpin dibumi (Makin, 2005: 22). Dengan

demikian, pendidikan humanistik bermaksud membentuk manusia

yang memiliki komitmen humaniter sajati, yaitu manusia yang

memiliki kesadaran, kebebasan, dan tanggung jawab sebagai manusia

25

individual, namun tidak terangkat dari kebenaran faktualnya bahwa

dirinya hidup ditengah masyarakat. Dengan demikian, ia memiliki

tanggung jawab moral kepada lingkungannya, berupa kepekaan

kepedulian untuk mengabdikan dirinya demi kemaslahatan

masyarakatnya (Makin, 2005: 23).

Paradigma humanisme bependapat: Pertama, perilaku manusia itu

dipertimbangkan oleh multiple intelligence-nya. Bukan hanya

kecerdasan intelektual semata, tetapi juga kecerdasan emosional dan

spiritual. Dua kecerdasan terakhir tidak kalah pentingnya dalam

menentukan keberhasilan hidup anak didik. Kedua, anak didik adalah

makhluk yang berkarakter dan berkepribadian serta aktif dan dinamis

dalam perkembangannya, bukan benda yang pasif dan yang hanya

mampu mereaksi atau merespon faktor eksternal Ia memiliki potensi

bawaan yang penting. Karena itu pendidikan bukan membentuk anak

didik sesuai dengan keinginan guru, orangtua atau masyarakat,

melainkan pembentukan kepribadian itulah yang paling memegang

peran penting. Ketiga, berbeda dengan behaviorisme yang lebih

menekankan to have dalam orientasi pendidikannya, humanisme justru

menekankan to be dan aktualisasi diri (Thobroni, 2008: 122).

d. Humanisme Religius

Humanisme religius merupakan humanisme yang bercorak

teosentri (Tuhan sebagai pusat segalanya). Humanisme religius bisa

dari pihak Islam dan Kristen maupun dari agama lain. Humanisme ini

26

berkembang untuk mengimbangi humanisme sekuler yang

berkembang didunia, karena apabila humanisme sekuler tidak

diimbangi maka peran agama akan hilang secara perlahan. Marcel A

Boisard berpendapat bahwa Islam lebih dari sekedar ideologi, karena

Islam merupakan humanisme transendental yang diciptakan

masyarakat khusus dan melahirkan suatu tindakan moral yang sukar

untuk ditempatkan dalam rangka yang dibentuk oleh filsafat Barat.

Humanisme tidak mengesampingkan monoteisme mutlak yang

sebenarnya dan memungkinkan untuk memperkembangkan kebajikan

(Marscel, 1982: 151).

Humanisme dalam pandangan Islam harus dipahami sebagai suatu

konsep dasar kemanusiaan yang tidak berdiri dalam posisi bebas. Hal

ini mengandung pengertian bahwa makna penjabaran memanusiakan

manusia itu harus selalu terkait secara teologis. Dalam konteks inilah

al-Qur‟an memandang manusia sebagai wakil Allah SWT di Bumi,

untuk memfungsikan ke-khalifah-annya, Allah SWT telah melengkapi

manusia dengan intelektual dan spiritual. Manusia memliliki kapasitas

kemampuan dan pengetahuan untuk memilih, karena itu kebebasan

merupakan pemberian Allah SWT yang paling penting dalam upaya

mewujudkan fungsi kekhalifahannya (Hanafi, 2007: IX).

Kisah dan kejadian Adam a.s dalam al-Qur‟an adalah pernyataan

humanisme yang paling dalam dan maju. Adam mewakili seluruh

manusia dibumi, ia adalah esensi umat manusia, manusia dalam

27

pengertian filosofis dan bukan dalam pengertian biologis (Syari‟ati,

1982:111).

Menurut Nurcholis Madjid bahwa agama Ibrahim terdapat

wawasan kemanusiaan yang berdasarkan konsep dasar bahwa manusia

dilahirkan dalam keadaan fitri, karena fitrahnya tersebut manusia

memiliki sifat kesucian, yang kemudian dinyatakan dalam sikap-sikap

yang suci dan baik kepada sesamanya. Dan hakikat dasar

kemanusiannya itu merupakan sunnatullah karena adanya fitrah

manusia dari Allah dan perjanjian primordial antara manusia dengan

Allah (Madjid, 1995: 51).

Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa humanisme

ialah memenusisakan manusia, saling menghormati menghargai satu

sama lainnya tanpa memandang suku, ras maupun agama, sehingga

dalam hidup bermasyarakat dan di manapun akan terasa nyman tanpa

ada kekhawatiran.

3. Pendidikan Humanimse

Pendidikan telah berkembang dengan mengadopsi prinsip-prinsip

pendidikan dari dua aliran, yaitu progresivisme dan eksistensialisme.

Tetapi pendidikan humanis juga memperoleh dukungan dari para ahli

psikologi humanistik dan ahli pendidikan kritis. Prinsip-prinsip pendidik

humanis yang diambil dari prinsip progresivisme adalah prinsip

pendidikan yang berpusat pada anak (child centered), peran guru yang

tidak otoriter, fokus pada keterlibatan dan aktivitas siswa, aspek

28

pendidikan yang demokratis dan kooperatif. Prinsip-prinsip pendidikan ini

adalah sebagai reaksi terhadap pendidikan tradisional yang menekankan

pada metode pengajaran formal yang kurang memberi kebebasan pada

siswa sehingga siswa menjadi tidak kreatif yang sekadar mengikuti

program pendidikan yang ditetapkan oleh orang dewasa. Prinsip-prinsip

pendidikan tradisional yang ditolak humanis adalah:

a. Guru yang otoriter,

b. Metode pengajaran yang menekankan pada buku teks semata,

c. Belajar pasif yang menekankan mengingat data atau informasi yang

diberikan guru,

d. Pendidikan yang membatasi pada ruang kelas sehingga terasing dari

realita kehidupan sosial dan

e. Penggunaan hukuman fisik atau rasa takut sebagai bentuk pembangun

disiplin.

Prinsip-prinsip pendidikan humanis yang diambil dari pandangan

progresivisme di atas lebih menekankan individu sebagai satuan sosial

(anggota masyarakat). Sedangkan prinsip pendidikan humanis yang

diambil dari pandangan eksistensialisme adalah menekankan pada

keunikan siswa sebagai individu. Setiap siswa dipandang sebagai individu

yang memiliki keunikan yang berbeda dengan siswa lain. Perbedaan

keunikan individu siswa dalam kegiatan pendidikan dan belajar harus

dapat tampak dan dihargai oleh pendidik atau guru. Pandangan

eksistensialis yang diambil oleh pendidik humanis adalah adanya

29

kemerdekaan atau kebebasan dalam diri individu untuk memilih apa yang

dianggap benar bagi dirinya, untuk dapat membangun dirinya menjadi (to

become) seperti apa yang diinginkan (Sutiyono, 2009: 3).

Kelahiran sebagai wujud keberadaan (eksistensi) individu di dunia

adalah titik awal bagi individu untuk mengembangkan esensi dirinya.

Esensi diri manusia dibangun melalui proses kehidupan di mana individu

memiliki kebebasan untuk memilih dan dia harus bertanggung jawab

terhadap apa yang telah dipilih. Individu akan terbentuk menjadi apa

adalah sesuai dengan pilihan bebas yang diambil, yang selanjutnya

terbentuk menjadi siapa dirinya, sebagai dokter, insinyur, atau guru adalah

sebagai akibat dan pilihan bebas yang dia lakukan. Nilai-nilai keagamaan

berada dalam diri individu yang memperoleh pemaknaan oleh individu

masing-masing, tidak ada otoritas diluar diri individu yang dapat

memberikan makna. Apabila individu melakukan perubahan makna akan

pengetahuan, nilai-nilai keagamaan, maka hal itu dilakukan oleh dirinya

dengan rasa sukarela dan bukan karena paksaan dan otoritas diluar dirinya.

Oleh karenanya, komunikasi atau dialog menjadi instrumen penting bagi

perubahan pemaknaan akan pengetahuan, nilai-nilai maupun keagamaan.

Dalam model pendidikan tradisional, komunikasi atau dialog yang bersifat

interaksi dua arah, dari guru pada siswa dan siswa pada guru, telah diubah

menjadi bentuk perintah atau penyampaian informasi yang satu arah.

Dalam hal ini, hak-hak siswa sebagai individu yang memiliki kebebasan

atau otoritas atas dirinya, telah dirampas oleh guru. Pengetahuan dan nilai

30

yang ditangkap siswa menjadi tidak orisinal atau tidak otentik, tetapi

sekadar pengetahuan yang tidak memiliki makna bagi individu dan

kehidupannya. Hanya dengan metode dialog maka pengetahuan dan nilai-

nilai yang dijadikan materi (isi) dialog tersebut dapat membantu mengubah

pengetahuan subjektif menjadi pengetahuan objektif (Sutiyono, 2009: 4).

Dalam metode dialog terjadi proses komunikasi yang setara antara

individu satu dengan individu lain, tidak ada unsur pemaksaan sehingga

memberi kebebasan bagi setiap individu untuk mengambil atau tidak

mengambil pengetahuan dan nilai-nilai. Hal ini juga sesuai dengan prinsip

belajar yang disampaikan Rogers, yaitu situasi belajar yang paling efektif

meningkatkan belajar yang bermakna adalah apabila:

a. Situasi yang mengancam diri siswa dikurangi seminimal mungkin,

b. Perbedaan persepsi terhadap objek pemahaman diizinkan atau

difasilitasi.

Paulo Freire menjelaskan dialog adalah sebagai cara yang menusiawi

untuk memaknai dunia, dalam arti juga untuk memahami dan memaknai

pengetahuan dan nilai-nilai. Dia mengatakan “dialog adalah pertemuan

antar orang (manusia), diperantarai oleh dunia, agar memahami

(memaknai) dunia”. Apabila ini diterapkan pada situasi belajar maka

dialog adalah perjumpaan antara guru dan siswa, diperantarai oleh materi

(isi) pelajaran, agar dapat memahami (memaknai) materi pelajaran. Dialog

tidak akan terjadi di antara mereka, di mana yang satu merampas hak

orang lain (penindas) dan yang lain dirampas haknya (tertindas). Atau

31

dengan bahasa lain bahwa dialog tidak akan terjadi antara guru yang telah

merampas hak kebebasan siswa, dengan siswa yang telah dirampas hak

kebebasannya oleh guru.

Terakhir, Friere mengatakan dialog tidak mungkin terjadi apabila

tidak melibatkan berfikir kritis. Manusia dan dunianya sebagai unsur yang

tidak terpisahkan, sebagaimana guru dan murid dengan materi pelajaran

sebagai unsur yang tidak terpisahkan. Pemahaman atau pemaknaan

terhadap dunia atau materi pelajaran dengan tujuan untuk melakukan

perubahan kehidupan tidak dapat dilakukan tanpa berfikir kritis. Dalam

proses pendidikan atau belajar dengan tujuan untuk perubahan kehidupan

maka guru dan siswa harus melakukan pemahaman atau pemaknaan

dengan menggunakan pemikiran kritis (Sutiyono, 2009: 5).

Dari beberapa teori diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa

pendidikan humanisme adalah penanaman nilai-nilai perikemanusiaan

yang saling memahami, saling tolong-menolong, saling melengkapi

menjaga hak-hak asasi manusia, menjaga martabat manusia, menjaga

hubungan dengan sebaik-baiknya, serta baur-membaur tanpa ada

kesenjangan sedikitpun.

4. Pendidikan Religius

Pendidikan atau belajar pada awalnya cenderung merupakan bagian

dari kegiatan kehidupan keberagaman dan kebudayaan. Manusia dalam

kehidupan bermasyarakat di samping menciptakan organisasi untuk

mengatur kerja sama sebagai alat untuk mencapai tujuan bersama, juga

32

mengembangkan aturan-aturan untuk mengatur perilaku di antara warga

masyarakat. Keyakinan dan nilai-nilai keagamaan adalah inti yang menjadi

dasar bagi pengembangan aturan masyarakat. Selama ini kebanyakan umat

Islam disibukkan oleh aktivitas-aktivitas keilmuan yang tidak untuk

membuktikan bahwa Islam itu dinamis, kreatif, akomodatif, pluralistik,

berwawasan ke depan (prospektif), berorientasi kepada kualitas dan

kemajuan, melainkan sebaliknya umat Islam sibuk mengkaji Islam yang

berwawasan kerdil, kuno, mundur, terbelakang dan kurang maju.

Walaupun dalam kehidupan modern sumber nilai bergeser lebih ke arah

penggunaan nilai keilmuan yang lebih objektif seperti kemanusiaan dan

demokrasi, tetapi nilai keagamaan tetap tidak dapat dipisahkan dari

perilaku nyata kehidupan individu dan masyarakat (Hakim, 2008: 120).

Nilai-nilai keagamaan sering secara tidak sadar tetap menjadi

kekuatan yang laten bagi pilihan tindakan atau perilaku manusia dan

masyarakat. Karenanya, pandangan keagamaan memancarkan tatanan

kehidupan sosial seperti keadilan, keterbukaan dan demokrasi.

Sebagaimana fenomena yang bisa kita baca dalam referensi klasik, maka

kita akan menemukan keadaan Islam yang mendekati ideal. Oleh karena

itu, memahami masa klasik adalah cara terbaik.

Pendidikan keagamaan secara klasik cenderung memiliki tujuan

untuk membangun dalam diri manusia suatu kondisi moralitas yang baik

atau karakter yang mulia. Ungkapan-ungkapan dalam ajaran agama

memberikan gambaran akan hal tersebut, seperti dalam hadis:

33

انما بعثت ال تمم مكا رم االخال ق

Artinya: "Tidak Kami utus kamu Muhammad, kecuali untuk meyempurnakan akhlak”.

Secara umum, para Nabi dilahirkan dalam kondisi masyarakat

jahiliyah, yaitu masyarakat yang warganya mengalami kerusakan karakter,

sehingga kehidupan penuh dengan perilaku buruk, penghancuran hak-hak

manusia, penindasan atau perampasan secara semen-amena, pengkhianatan

dan kedengkian dalam hubungan, arogansi yang berkuasa (kaya) dan

ketertindasan yang lemah dan miskin. Tujuan diangkatnya kenabian secara

umum adalah memperbaiki moralitas atau akhlak manusia yang terjadi

pada zamannya (Hakim, 2008: 120).

Dalam kehidupan modern, tujuan pendidikan lebih dirumuskan

menggunakan nilai-nilai keilmuan yang bersifat ilmiah. Seperti gambaran

rumusan tujuan pendidikan yang disampaikan oleh Maslow (tokoh

psikologi humanistik) yang merumuskan tujuan pendidikan sebagai

pencapaian aktualisasi diri, yaitu suatu kondisi di mana individu dapat

menggunakan potensi-potensi (bakat, talenta, kapasitas) dirinya secara

penuh, sehingga dapat mengembangkan kehidupannya yang lebih

produktif. Ibarat sebatang pohon yang tumbuh dan berkembang, mulai dari

biji yang tumbuh dari dalam tanah, kemudian tumbuh batang dan daun

yang subur, selanjutnya pohon berbunga indah dan menarik, yang pada

akhirnya menghasilkan buah yang sangat bermanfaat bagi kehidupan

manusia maupun binatang. Mungkin dapat dikatakan pohon itu telah

beraktualisasi diri pada waktu pohon itu berbuah.

34

Rumusan tujuan pendidikan Maslow tersebut apakah bertentangan

atau berbeda dengan rumusan tujuan pendidikan keagamaan yang klasik

seperti di atas telah disampaikan. Teori pendidikan Maslow, memang tidak

lepas dari teori kebutuhan hidup manusia yang dibangun secara ilmiah atau

berdasarkan nilai-nilai dan pengetahuan (value of science). Berdasarkan

nilai-nilai pengetahuan, dia merumuskan kebutuhan manusia bersifat

hirarkis atau berbentuk piramida, berangkat dari kebutuhan dasar yang

bersifat umum bagi semua menusia dan juga binatang, yaitu kebutuhan

akan kehidupan fisik (material). Setiap manusia atau juga binatang secara

alamiah membutuhkan kebutuhan hidup seperti makan, minum, udara

segar, istirahat, tempat tinggal bahkan juga seksual. Pemenuhan kebutuhan

dasar ini yang menjadi dorongan dasar bagi manusia untuk dapat menjaga

eksistensinya atau memenuhi kelangsungan hidupnya. Karena begitu

pentingnya kebutuhan fisik (material) untuk memenuhi kelangsungan

hidup manusia, maka kebutuhan ini dipandang sebagai kebutuhan melebihi

segala-galanya. Menurut Maslow manusia juga memiliki kebutuhan lain,

yaitu kebutuhan rasa aman dan juga kasih sayang (sosial), tetapi kebutuhan

ini dikatakan baru dibutuhkan untuk dicapai apabila kebutuhan dasar fisik

(material) sudah dapat dicukupi (dipenuhi). Sebaliknya apabila kebutuhan

dasar fisik belum dapat terpenuhi maka kebutuhan rasa aman dan kasih

sayang tidak akan dapat dipenuhi. Begitu juga kebutuhan manusia yang

lebih tinggi harga diri, berkembang dan pencapaiannya sangat tergantung

pada dapat atau tidaknya kebutuhan di bawahnya dipenuhi. Aktualisasi diri

35

sebagai kebutuhan tertinggi bagi kehidupan manusia merupakan harapan

atau cita-cita semua manusia untuk dapat hidup produktif, tetapi belum

tentu semua manusia dapat mencapainya (Hakim, 2008: 121).

Rumusan tujuan pendidikan yang ditarik dari nilai-nilai pengetahuan

(seperti Maslow) cenderung diwarnai oleh pengajaran kebutuhan material

lebih dulu, walaupun pada akhirnya bertujuan pencapaian kebutuhan yang

lebih tinggi, yaitu aktualisasi diri. Aktualisasi diri apabila diartikan sekadar

kemampuan menggunakan potensi, talenta, atau kapasitas diri secara

optimal sehingga menjadi individu yang produktif mungkin belum

menyentuh nilai-nilai spiritual yang bersifat transendental. Tetapi apabila

aktualisasi diri diartikan sebagai pencapaian nilai kemanusiaan yang

tertinggi, ibarat sebatang pohon yang berbuah, di mana buahnya dapat

bermanfaat bagi kehidupan manusia atau binatang, diluar kebutuhan pohon

itu sendiri, maka tujuan aktualisasi diri bersifat tujuan moral, yaitu berbuat

kebaikan atau ikhsan terhadap orang lain, yaitu perwujudan dan konsep

akhlakul karimah sebagaimana telah menjadi tujuan pendidikan agama.

Banyak ahli yang tidak puas dengan bangunan teori kebutuhan

Maslow, seperti Danah Zohar dan Ian Marshal, keduanya lebih tertarik dan

percaya bahwa kebutuhan spiritual harus menjadi dasar bagi

pengembangan hidup manusia yang lebih adil dan sejahtera. Mereka

menulis buku yang berjudul “Spiritual Capital” (SC) yang menjadi

bestseller dan tulisan itu memiliki visi yang mulia untuk memperbaiki

36

sistem kehidupan masyarakat kapitalistik yang sering mendorong

keserakahan material.

Perjalanan kehidupan masyarakat kapitalistik bersifat

membahayakan bagi terwujudnya kehidupan yang berkeadilan, harmoni

dan sejahtera. Zohar dan Marshall menganjurkan sistem sosial

kemasyarakatan, ekonomi lebih didasarkan pada modal spiritual (nilai-

nilai spiritual sebagai modal), sehingga masyarakat lebih berkembang ke

arah tujuan yang baikan atau ikhsan seperti yang diajarkan dalam ajaran

agama (Hakim, 2008: 122).

Lebih dari tigaratus tahun filosofis Helan-Roman mencoba

mengganti agama rakyat, dengan menganti dengan ajaran yang

dipandangnya lebih rasional untuk keperluan hidupnya. Agama itu

dianggap sebagai suatu belengu, menanamkan rasa takut dalam hati

manusia. Oleh karena itu, agama dipandang oleh suatu pengahalang utuk

memperoleh suatu kesenagnagan hidup.

Kaum Sota memusatkan ajaranya kepada adanya hukum kausalita

alam yang mengatur segala jalan hidup diduania ini sehingga rasa takut itu

tidaK pada tempatnya. Manusia harus hidup pada hukum alam dan dengan

sendirinya ia akan mencapai kesenagan hidup.

Kaum Skeptis mengemukakan sikap sangsi kepada ajaran-ajaran

orang cerdik, pandai akan mencapai kesenagan. Akan tetapi beberapa

macam jalan yang ditunjukkan oleh berbagai filsafat Helen-Roman. Untuk

memperoleh kesenangan hidup tidak mencapai tujuan pada lahirnya

37

bangsa Yunani dan bangsa lainnya. Senang yang dibuat-buat dengan

memikirkan sifat kesenangan, tidak menimbulkan kesenangan yang

sebenarnya. Perasaan mereka senatiasa digoda oleh keadaan tidak merdeka

dibawah kekuasaan kerajaan Roma. Ajaran etik tidak dapat memberikan

obat, bahkan rasionalisasi filosofi pun menghadapi kebuntuan.

Perasaan agama yang muncul sesudah beberapa abad terpendam

dapat mengobati jiwa yang luka. Sungguhpun perasaan agama yang baru

muncul tidak serupa dengan bentuk agama lama, pengaruhnya sama saja.

Ia tidak bersarang diotak, tetapi hinggap disanumbari. Agama Kristen yang

baru muncul dipengaruhnya tidak di Asia Minor saja, tetapi lambat laun

meluas keseluruh Helen-Roma (Hakim, 2008: 123).

Karena agama sangat berpengaruh, filsafatpun terpengaruh sehingga

filosofisnya cenderung kearah mistik, keinginan untuk mengabdi kepada

Tuhan menjadi hidup kembali. Ajaran filosofis Helan-Yunani yang

menunjukan orang mengetahui tempatnya didunia dengan mendidik rasa

bebas dari berdiri sendiri ternyata tidak mempan. Kemudian filsafat

mistikalistiklah yang mengajak manusia menuju kepada Tuhan, dan

keyakina terhadap Tuhan sangat dirindukan karena mengajak kedamaian

tentram dalam hati.

Mistik telah menutup rasio, karena orang-orang pada saat itu

membutuhkan ketentraman jiwa, bukan kebingungan rasio. Pengaruh

pemikiran mistik sangat kuat kepada kehidupan di Asia Tengah dan di

Asia Barat. Perasaan mistik tidak dapat dipupuk dengan pikiran yang

38

rasional, melainkan dengan persaan yang murni dan mengabdi kepada

Tuhan.

Ada tiga aliran mistik yang membelokan alam pikiran Yunani.

Pertama, aliran neo-Pytagoras, kedua, aliran Philon yang berpusat di

Alexandreia, ketiga, aliran Plotinus yang sering juga disebut neo-

Platonisme.

a. Aliran Neo-Pythagoras

Aliran ini disebut aliran neo-Pythagoras karena ia berpangkal

kepada ajaran pythagoras yang mendidik kebatinan dengan belajar

mensucikan ruh. Akan tetapi dalam perkembanganya, aliran ini berjalan

sendiri.

Moderatus dari Gades adalah guru pertama aliran ini, yang hidup

pada abad pertama Masehi. Untuk mendidik perasaan cinta dan

mengabdi kepada Tuhan, orang harus menghidupkan perasaannya

dalam jarak yang jauh antara Tuhan dan manusia. Makin besar jarak itu,

makin besar cinta, dan makin kuat keinginan untuk mendekatkan

kepada Tuhan yang jauh itu (Hakim, 2008: 124).

Teori dalam mistik neo-pythagoras dididik perasaan demikian rupa

supaya terasa benar jauhnya Tuhan dari dunia ini, dari manusia, barang

dan yang banyak di dunia ini. Itu sebagi bentuk penguat perasaan

pengabdi kepada Tuhan, menanam cinta yang sebesar-besarnya kepada-

Nya. Tuhan dan manusia digambarkan oleh neo-pythagoras sebagai

perbedaan sebersih-bersinya dengan yang bernoda, sebersih-bersihnya

39

ialah Tuhan dan yang bernoda adalah manusia, barang dan yang banyak

didunia ini. Sehingga sesajen-sesajen yang dipanjatkan kepada Tuhan

mengotori-Nya. Tuhan hanya dapat didekati dengan kesucian serta

ketulusan do‟a.

b. Philon Alexandreia

Pandangan filsafat yang diajarkan oleh philon banyak diambil dari

kitab wasiat lama. Pokok filsafatnya ialah hubungan manusia dengan

Tuhan sang pencipta. Tuhan itu maha tinggi tempatnya. Tuhan hanya

dapat diketahui oleh manusia dari kata-kata-Nya yang terkandung

dalam kitab-kitab suci, dari alam, dan dari sejarah. Dari situ, dapat

diketahui secara terus-menerus. Tuhan sendiri tidak dapat diketahui

oleh manusia dengan pancaindranya. Karena sempurna-Nya dan suci-

Nya. Tuhan terpisah dari dunia yang bernoda. Rupanya tuhan tidak

dapat diketahui oleh manusia, tetapi keberadan-Nya dapat dimengerti

(Hakim, 2008: 125).

Philon merujuk pada ajaran Sota yang mengemukakan dua dasar

dunia, yang berkerja dan yang dikerjakan, yang berkerja ialah Tuhan,

semangat seluruh dunia. Tuhan sesuci-sesucinya bersih dan tidak

bercampur sama sekali. Tuhan lebih baik daripada budi, Tuhan tidak

bisa disamakan dengan yang ada didunia ini. Kedudukannya di atas

segala-galanya. Ia ada selama-lamanya, tunggal, tidak berubah-ubah.

Tuhan begitu tinggi kedudukannya, maka perlu ada mahluk-

mahluk perantara yang menghubungkan Tuhan dengan alam yang

40

dijadikan-Nya. Mahluk yang terutama dan yang terdekat pada Tuhan,

yang meliputi semuanya, selain dari Tuhan, ialah Logos. Logos adalah

sumber dari segala cita-cita sebagai pikiran Tuhan yang mengisi alam

yang tidak bertubuh. Dengan perantaraan Logos itu, Tuhan menjadika

dunia ini dan menyatakan adnya kepada manusia.

Hidup yang berfikir dan memandang keatas bagi Philon lebih besar

nilainya daripada bergelut dengan keadaan sehari-hari.kewajiban

manusia yang pertama adalah memelihara jiwa yang murni, dan hidup

yang sebesar-besarnya ialah mengabdikan kepada Tuhan.

c. Plotinus

Mulanya Plotinus mempelajari filsafat dari ajaran Yunani, terutama

dari buah tangan Plato akan tetapi ia merasa pengetahuannya belum

cukup dalam. Ia ingin memperdalamnya dengan mempelajari mistik

dari Persia dan India. Plotinus menawarkan diri untuk menjadi serdadu

dalam laskar Gordianus. Karena hidupnya yang sederhana, orang besar

dan orang biasa sama-sama menghormatinya. Tidak saja menghormati

bahkan ada yang mendewakannya, akan tetapi Plotinus tidak

terpengaruh karena itu. Ia tetap orang yang sederhana dan memandang

perbuatannya sebagai tugas hidup belaka (Hakim, 2008: 126).

Dari uraian di atas, pendidikan keagamaan dengan tujuan untuk

membangun manusia yang berakhlak mulia adalah tidak bertentangan

dengan rumusan tujuan pendidikan yang dirumuskan berdasar nilai-

nilai dan ilmu pengetahuan. Bahkan, dalam kehidupan pascamodern

41

manusia merasakan pentingnya nilai-nilai spiritual transendental

menjadi dasar bagi aktualisasi diri mereka dan kehidupan sehari-hari

mereka, sehingga kehidupan yang produktif memiliki makna kebaikan

(ikhsan) bagi sesama manusia (Sutiyono, 2009: 6).

Uraian di atas juga menggambarkan bahwa tujuan pendidikan tidak

cukup sekadar pencapaian tujuan humanis, tetapi lebih jauh

membutuhkan pencapaian tujuan kebutuhan spiritual transendental

(religius). Pencapaian tujuan kebutuhan spiritual transendental secara

umum menjadi tujuan pendidikan keagamaan (religius). Sebagaimana

didepan telah disampaikan bahwa hampir semua agama meletakkan

tujuan pendidikan adalah untuk pengembangan moral manusia, agar

manusia dapat berkembang menjadi berkarakter baik sehingga

hidupnya dapat berguna bagi orang lain dan dirinya sendiri. Dapat

dikatakan pendidikan yang dapat membangun moral manusia yang baik

dan membangun kapasitas (kemampuan) untuk merealisasikan tujuan

kehidupan secara produktif adalah pendidikan yang bersifat humanis

religius. Sebagaimana tujuan manusia hidup adalah untuk menggapai

ridhla Allah, ibtigha’a mardlatillah. Jika kita berusaha memperoleh

ridhla-Nya, maka apapun yang diberikan Tuhan kepada kita, kita akan

menerimanya dengan ridhla (senang) pula, ridhla dan diridhlai,

radliyatan mardliyyah (Sutiyono, 2009: 7).

Semua agama berdedikasi untuk memuja, memuliakan yang Maha

Agung yang disembah sebagai yang Tertinggi, yang Maha Kuasa.

42

hanya tradisi murid Yesuslah yang pertama kali dalam sejarah

keagamaan secara serius memulai suatu arus baru, berpaling kepada

manusia, berikhtiar mengangkat nasibnya, menyembuhkannya dari

berbagai derita, sakit, kesewenangannya dalam banyak dimensi.

Semangat Kristiani disamakan dengan semangat perikemanusiaan,

khususnya, dan terutama terhadap mereka yang selama ini tidak

dianggap, bahkan dipaksa hidup tanpa martabat dan kemanusiaan

(Mangunwijaya, 1994: 15).

Faham humanisme religius ini juga tampak dalam penghayatan

Romo Mangun sebagai Pastor, yang tidak konvensional. Panggilan

imamatnya berakar dan diinspirasikan oleh daya tarik rakyat yang

miskin, dan bukan panggilan kegerejaan atau keagamaan sebagaimana

kebanyakan Pastor, karena terharu pada partisipasi rakyat dalam perang

Gerilya, dan ia ingin “membayar hutang kepada rakyat”. Mudah

dipahami kalau dedikasinya sebagai pastor juga tidak terbatas pada

pelayanan gereja, paroki, melainkan pada sosialitas umum, pembelaan

kaum miskin, hal ini disetujui oleh Uskup sebagai atasannya. Lebih

lanjut religiusitas yang melebar ini, ia tunjukkan dalam keinginannya

untuk bekerja sama dengan agama lain. Dalam gereja Doaspora (salah

satu buku ciptaan Romo Mangun), Romo Mangun dengan jelas

mengidealkan gereja sebagai istilah- istilah yang ia gunakan

memperlihatkan religusitas yang dinamis dan terbuka (Mangunwijaya,

1999: 75).

43

Romo Mangun menyebutkan humanisme itu, kita harus

menghormati martabat manusia lain seutuhnya. Jadi termasuk juga

rahasia atau misteri pribadi yang ada pada setiap manusia. Misteri disini

tidak dalam cerita detektif, atau rahasia senjata sandi militer. Lebih dari

itu, misteri dalam arti kesucian, sesuatu yang mulia, amat mendalam

dan berharga, sehingga jangan dilempar, dijamah sembarangan.

Signifikan penuh makna ialah kata dalam bahasa Jawa wadi (rahasia)

untuk organ kelamin manusia yang sepantasnya ditutupi, dilindungi

tirai penghormatan (Mangunwijaya, 1997: 35).

5. Pendidikan Humanisme Religius

Humanisme merupakan kata yang ambivalen, meskipun dapat

dipastikan kalau kata ini memiliki makna positif, akan tetapi bagi para

pemeluk agama, kata humanisme bisa dipahami sebagai suatu sikap

seorang yang memandang dirinya sebagai subjek yang berdiri sendiri dan

terpisah bukan saja dari kekuasaan negara atau raja, yang sebenarnya hal

itu boleh-boleh saja akan tetapi harus dari Tuhan. Tetapi jika anda benar-

benar percaya pada Tuhan dan yakin bahwa segala sesuatu, alam serta

seisinya termasuk manusia, maka jelaslah bahwa sikap memisahkan diri

dari Tuhan itu termasuk penghinaan kepada Tuhan (Suseno, 2007: 208).

Driyarkara (1989: 9) berpendapat yaitu, sebagai salah seorang

pendidik humanis di Indonesia menyatakan bahwa pendidikan adalah

usaha sadar untuk memanusiakan manusia. Pengertian Driyarkara tersebut

menyiratkan pendidikan itu sebagai suatu kegiatan yang human. Manusia

44

lebih dipandang sebagai subjek bukan objek semata. Dikatakan sebagai

subjek, karena manusia sebagai peserta didik harus menentukan arahnya

sendiri dalam proses pendidikan menuju pada kedewasaan.

Sodiq A. Kuntoro mengemukakan pengertian pendidikan humanis

religius yang lebih jelas. Dikatakannya bahwa istilah pendidikan humanis

religius mengandung dua konsep pendidikan yang ingin diintegrasikan,

yaitu pendidikan humanis dan pendidikan religius. Pendidikan humanis

yang menekankan aspek kemerdekaan individu diintegrasikan dengan

pendidikan religius agar dapat membangun kehidupan individual-sosial

yang memiliki kemerdekaan, tetapi dengan tidak meninggalkan nilai-nilai

keagamaan (Rukiyati, 2013:2).

Memanusiakan manusia mengandung makna bahwa potensi dan

bakat yang ada dalam diri hendak diaktualisasikan sehingga menjadi

kenyataan. Wujudnya dapat berupa pengetahuan, keahlian, sikap dan

moral yang baik sehingga manusia yang dididik tersebut menjadi manusia

yang telah mencapai realisasi diri yang optimal. Potensi-potensi diri

berkembang optimal karena ada upaya-upaya sadar untuk

mengembangkannya sejak dalam kandungan sampai pada tahap

perhentian perkembangan. Maka, tujuan pendidikan menjadi salah satu

pembahasan yang fundamental dalam pendidikan. Terkait dengan konsep

pendidikan humanis religius, tujuan pendidikan di Indonesia sebenarnya

juga telah memiliki konsep yang bersifat humanis religius (Rukiyati,

2013:5).

45

B. Kajian Penelitian Terdahulu

Penyusunan karya ilmiah dibutuhkan berbagai dukungan teori dari

berbagai sumber atau rujukan yang mempunyai relevansi dengan rencana

sebuah penelitian. Sebelum melakukan penelitian, peneliti telah melakukan

kajian terhadap karya-karya ilmiah yang berkaitan dengan pembahasan ini.

Kajian ini untuk melihat kedudukan diantara hasil-hasil penelitian dan

tulisan-tulisan yang relevan.

Skripsi yang di tulis oleh saudari Isro‟atul La ili (2017) yang berjudul

“Peran K.H Mahfud Ridwan Dalam Mewujudkan Kerukunan Antarumat

Beragama di Salatiga Tahun 1980-2015” skripsi ini lebih menitik beratkan

kepada pengaruhnya KH. Mahfud Ridwan merupakan seorang tokoh yang

memberi pengaruh besar dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan diwilayah

desa Gedangan dan kota Salatiga. K.H Mahfud merupakan seorang tokoh

yang memiliki pandangan bahwa untuk mengubah suatu hal maka dibutuhkan

suatu sarana yakni organisasi. Sebuah organisasi mampu mengubah tatanan

dalam masyarakat. Sosok K.H Mahfud Ridwan sebagai seorang tokoh

pemuka agama mendapat sorotan dari berbagai pihak. Pemikiran hidup rukun

dalam perbedaan ditunjukkkan melalui pandangan beliau mengenai

kehidupan masyarakat Salatiga yang terdiri atas berbagai agama. Pandangan

K.H Mahfud Ridwan ialah walaupun di dalam masyarakat hidup dalam

keberagaman agama namun penting untuk tetap menjaga kerukunan Antar

umat beragama. menjalin silaturahmi bukan hanya sesama pemeluk muslim

namun juga dengan umat nonmuslim. Islam mengajarkan untuk hidup rukun,

46

memahami dan menghargai ajaran agama selain Islam tidak akan menjadi

hambatan untuk seorang muslim beribadah kepada Allah SWT. dengan

kegiatan santri yang secara langsung berhubungan dengan masyarakat sekitar.

Berkaitan dengan skripsi yang saya tulis terdapat kesamaan, yaitu

pada nilai-nilai pluralisme dan toleransi yang di implementasikan oleh K.H

Mahfud Ridwan dan Y. B Mangunwijaya pada laku keseharianya serta

hubungan dalam sosial kemasyarakatannya terjalin dengan baik yang tanpa

memandang suku ras maupun agama.

Adapun perbedaan skripsi yang di tulis oleh saudari Isro‟atul Laili

dengan dengan skripsi yang peneliti bahas yaitu, peneliti terdahulu lebih

menitik beratkan pada pengaruhnya KH. Mahfud Ridwan dalam kehidupan

sosial-kemasyarakatan diwilayah desa Gedangan dan kota Salatiga,

sedangkan skripsi yang peneliti bahas lebih kepada pemberian pertolongan

kepada masyarakat khususnya bagai mayarakat miskin dan mereka yang

hidup kesusahan baik dari segi mental pendidikan keterampilan maupun

spiritual keagamaan secara luas.

Skripsi yang ditulis oleh saudari Stri Ana Farhana (2014) yang

berjudul “ Implementasi Dan Implikasi Pendidikan Humanisme Religius Pada

Pondok Pesantren Bagi Masyarakat (Studi di Pondok Pesantren Edi Mancoro,

Gedangan, Kabupaten Semarang Tahun 2014)” Yang diteliti oleh penulis

lebih kepada arahnya dimasyarakat serta pada sistem kajian yang terdapat di

pondok pesantran , Bentuk pendidikan yang terdapat di Pondok Pesantren Edi

Mancoro adalah penyelenggaraan pembelajaran dengan pendekatan

47

tradisional. Dan pembelajaran ilmu-ilmu Agama Islam dilakukan secara

individual atau kelompok dengan menggunakan kitab-kitab klasik berbahasa

Arab. Keterkaitan materi pendidikan dengan tradisi yang ada di pondok

pesantren. Kurikulum yang menekankan pengkajian kitab kuning yang ditulis

oleh ulama klasik menunjukkan bahwa pelaksanaan pendidikan pesantren

sejalan dengan pemikiran masa lalu namun masih tetap berlaku pada masa

sekarang.

Sistem pendidikan Pondok Pesantren Edi Mancoro menggunakan

beberapa sistem yang tradisional yaitu pola pengajaran sorogan, bandongan,

wetonan dan musyawarah dalam mengkaji kitab-kitab agama. Semua

kegiatan yang berlangsung dalam masyarakat sekitar Pondok Pesantren Edi

Mancoro untuk mewujudkan humanisme religius semata-mata ditujukan

untuk lebih dekat kepada masyarakat sekitar.

Peneliti terdahulu yang di tulis oleh saudari Striana Farhana lebih

berfokus pada pendekatan pendidikan humanisme religius lingkup pesantren

dan warga sekitar pesantren dan lebih kepada arahnya dimasyarakat serta

pada sistem kajian yang terdapat di pondok pesantran, Bentuk pendidikan

yang terdapat di Pondok Pesantren Edi Mancoro adalah penyelenggaraan

pembelajaran dengan pendekatan tradisional.

Sedangkan persamaan dengan skripsi yang peneliti tulis yaitu sama-

sama membahas tentang pendidikan humanisme religius yang di dalamnya

membahas tentang pengarahan kepada kemanusiaan, hidup bermasyarakat

keseimbangan antara nilai-nilai kemanusiaan dan keagamaan.

48

Beberapa tulisan yang terkait dengan penelitian yang penulis teliti

antara lain; Skripsi yang di tulis Saudari Oktaviani Damayanti (2017) yang

berjudul “Implementasi Humanisme Dalam Pandangan Yusuf Bilyarta

Mangunwijaya: Sebuah Konsep Teologi Pembebasan di Yogyakarta”

membahas tentang kemanusiaan tidak terlepas dari faham religiusitasnya

sebagai umat penganut agama Katolik. Secara fitrah manusia lahir untuk

saling menolong, memberi dan diberi, dan menebarkan cinta kasih kepada

sesama umat baik umat yang sama agamanya ataupun umat yang berbeda

agamanya dari yang kita yakini. Hasil penelitian lebih berfokus kepada sikap

keadilan dan toleransinya dan pemerdekaan rakyat miskin melalui

keseimbangan antara humanisme religiusnya.

Beberapa letak perbedaan antara penelitan terdahulu yang di tulis

oleh saudari Oktaviani Damayanti dengan skripsi yang peneliti tulis saat ini

yaitu, penelitian terdahulu terletak pada sikap keadilan toleransi dan

pemerdekaan rakyat miskin sedangkan penelitian yang saya tulis yaitu pada

pendidikan humanisme religius serta pemberian bimbingan pendampingan

kepada warga masyarakat yang tertinggal yang kehidupannya membutuhkan

bimbingan mental, pengarahan, pendmpingan baik secara pemberian material

maupun pendidikannya.

49

BAB III

METODE PENELITIAN

A. . Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (fild reaserch). Dalam

penelitian ini peneliti bertindak secara langsung sebagai pengumpul data dan

sebagai instrumen penelitian dalam upaya mengumpulkan data-data

dilapangan. Untuk memperoleh data-data yang valid yang dibutuhkan dalam

penelitian, maka peneliti hadir secara langsung dilokasi penelitian (Moleong,

2009:1)

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu “Pendekatan

yang dilakukan dengan pengolahan suatu data tanpa menggunakan hitungan

(statistik), namun melalui pemaparan suatu pemikiran, pendapat para ahli atau

fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat (Moleong, 2009:3).

Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi untuk memahami dan

menafsirkan nilai-nilai dan penerapan pendidikan humanisme religius

perspektif K.H Mahfud Ridwan dan Y.B Mangunwijaya.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Pondok Pesantren Edi Mancoro

Pondok Pesantren Edi Mancoro, yang lebih dikenal dengan istilah

Wisma Santri Edi Mancoro berdiri pada 25 Desember 1989 dibawah

naungan “Yayasan Desaku Maju” (YDM) atau yang sekarang berganti

nama dengan Pondok Pesantren Edi Mancoro pada tanggal 31 Desember

50

2006 hingga sekarang, terletak diwilayah Kabupaten Semarang, tepatnya

di dusun Bandungan, desa Gedangan, kecamatan Tuntang, Kabupaten

Semarang Jawa Tengah. Walaupun dari luar daerah, pesantren ini lebih

akrab dengan sebutan Salatiga, karena memang secara geografis lebih

dekat dengan pusat pemerintahan kota Salatiga.

Pesantren ini berada diwilayah pinggiran Kota Salatiga yang

berada disebelah baratnya sekitar 4 kilometer perbatasan antara Kaupaten

Semarang dengan Kota Salatiga. Keadaanya memang tidak terlalu ramai

tapi dekat dengan Kota Salatiga. Sehingga merupakan tempat strategis

untuk pendidikan termasuk pendidikan keagamaan. Jarak yang tidak jauh

dari pusat Kota Salatiga yang merupakan sentral pendidikan formal, maka

banyak santri yang berminat untuk mendalami ilmu agama, selain ilmu

agama para santri juga diajarkan ilmu umum diantaranya: ilmu kompiuter,

menjahit, tata boga, bahasa (Inggris Arab dan Jawa) sebagai skiil

tambahan di pesantren ini, sebab kebanyakan santri yang menetap adalah

para pelajar di pendidikan formal, baik dari kalangan mahasiswa ataupun

pelajar bahkan banyak juga dari masyarakat sekitar yang ikut mencari ilmu

di pesantren ini.

2. Kampung Kali Code

Kampung Code, kelurahan Kota Baru, kecamatan Gondokusuman

kawasan bantaran Kampung Code, dibawah jenbatan Gondolayu, RT 01

RW 01 Code Utara. Kampung Kali Code sangat releven untuk dijadikan

lokasi penelitian, lokasi yang berada dibawah jembatan pinggir suangai

51

Code, dulu adalah sebagai tempat pembunagan sampah, kemudi dapat

dijadikan tempat penghunian (Kampung) dimulai dari mengubah

mentalitas membuang sampah sembarangan dibantaran Kali Code,

menjadi ditiadakan. Inisisasi perbaikan tata pemukiman dan lingkungan

Kali code sehingga hasilnya kawasan itu menjadi bersih dan tertata.

bersam temannya Romo Mangun mendirikan Yayasan Pondhok Rakyat

(YPR) yang merupakan wadah pemberdayaan masyarakat dalam bidang

lingkungan dan pendidikan.

Romo Mangun yang dikenal dengan sebutan Pemberdaya Wong

Cilik, ini sangat peduli dengan kaum bawah, gagasan humanismenya

sangat diterima oleh warga Kali Code, walaupun pada waktunya dulu,

orang-orang yang tinggal didaerah Kali Code belum mengerti arti dari

humanisme, tetapi mereka merasakan effect humanisme yang dibawa oleh

Romo, dan warga Kali Code pun banyak belajar tentang bagaimana

manusia pada hakikatnya dalam bertindak, berkata serta bersosialisasi

yang dimana hal tersebut dipaparkan dalam penjelasan dan pengertian

sikap humanisme (Damayanti, 2017:64).

Bagi warga Kali Code, Romo Mangun banyak meninggalkan

pelajaran berharga bagi penghuni sekitar, walaupun Romo Mangun tidak

pernah dilahirkan di daerah tersebut tetapi Romo membantu dengan ikhlas

dan tulus untuk kepentingan warga tersebut, hal yang selalu Romo

Mangun tekankan untuk masyarakat sekitar adalah, selalu belajarlah untuk

apapun hal yang bisa diambil pelajaran baiknya, dan terapkan hal tersebut

52

untuk kehidupan keluarga sendiri, sebarkan ke kehidupan warga sekitar

(Damayanti, 2017:65).

C. Sumber Data

Adapun jenis sumber data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah data primer dan skunder yaitu :

1. Data primer

Data primer adalah data yang diperoleh dari sumber-sumber

primer, yakni sumber asli yang memuat informasi atau data tersebut

(Amirin, 1990:132). Adapun sumber data yang diambil dari penelitian ini

adalah hasil wawancara, baik dengan keluarga/ahli waris, narasumber

utama maupun kolega dari kedua tokoh yaitu K.H Mahfud Ridwan dan

Y.B Mangunwijaya dalam mewujudkan pendidikan humanisme religius

perspektif mereka.

2. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber yang

bukan asli memuat informasi data tesebut (Amirin, 1990: 132). Data yang

dikumpulkan diolah dan disaksikan oleh pihak lain biasanya dalam bentuk

publikasi, jurnal atau bentuk lainnya. Adapun data yang diambil dalam

penelitian ini adalah berasal dari pandangan para tokoh masyarakat

mengenai pendidikan humanisme religius perspektif K.H Mahfud Ridwan

dan Y.B Mangunwijaya.

53

D. Prosedur Pengumpulan Data

1. Observasi.

Dalam menggunakan metode observasi cara yang paling efektif

adalah melengkapinya dengan format atau blangko pengamatan sebagai

instrumen. Format yang disusun berisi item-item tentang kejadian dan

tingkah laku yang digambarkan terjadi (Arikunto, 2006: 229).

Dari penelitian pengalaman ini diperoleh suatu petunjuk bahwa

mencatat data observasi bukanlah sekadar mencatat, tetapi juga

mengadakan pertimbangan kemudian mengadakan penelitian kedalam

suatu perkara bertingkat (Arikunto, 2006: 229).

Observsi adalah sebuah pengumpulan data dengan jalan

pengamatan secara langsung mengenai objek penelitian. Dalam metode ini

penulis gunakan sebagai langkah awal untuk mengetahui subjek penelitian.

Dalam penelitian ini selain penulis mengamati langsung dilapangan

melainkan juga mencatat kejadian-kejadian yang ada, kemudian merekam

hasil wawancara penulis dengan objek yang diteliti.

2. Wawancara

Wawancara atau interview, adalah sebuah dialog yang dilakukan

oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara

(Arikunto, 1998: 145). Wawancara yang akan dilakukan dengan

menggunakan dua tahap, pertama peneliti melakukan deskripsi dan

orientasi awal tentang masalah dan subjek yang dikaji. Kedua melakukan

wawancara mendalam sehingga menemukan informasi yang lebih banyak

54

dan penting. Wawancara yang digunakan dengan model wawancara

terbuka, artinya seorang informan dapat mengungkapkan beberapa upaya,

gagasan, strategi yang akan dilakukan serta hambatan yang diprediksikan.

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan wawancara kepada

keluarga, masyarakat yang bersangkutan serta para tokoh lain yang

membantu kedua narasumber utama dalam melaksanakan pendidikan

humanisme religius perspektif K.H Mahfud Ridwan dan Y.B

Mangunwijaya.

3. Dokumentasi

Dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel

yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen

rapat, lengger, agenda dan sebagainya (Arikunto, 1998: 236).

Dalam penelitian ini dokumentasi yang dimaksud adalah

pengambilan beberapa data tetang berbagai dokumen terkait dengan

pendidikan humanisme religius perspektif K.H Mahfud Ridwan dan Y.B

Mangunwijaya mulai dari gagasan-gagasan mereka, pelaksanaan dari

gagasan-gagasan tersebut dan implementasinya.

E. Analisis Data

Setelah data terkumpul kemudian data tersebut dianalisis seperlunya

agar diperoleh data yang matang dan akurat. Adapun jenis analisa data yang

diambil yaitu analisa data kualitatif. Analisa data kualitatif adalah upaya yang

dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data,

memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya,

55

mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang

dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain

(Moleong, 2009: 248).

Proses analisis data kualitatif yang dikemukakan oleh Moleong

diatas masih rumit dalam pemahaman penulis mengenai tahapan-tahapannya.

Oleh karena itu, penulis lebih memahami kalau proses analisis data dilakukan

melalui tahapan; reduksi data, penyajian atau display data dan kesimpulan

atau Verifikasi. Untuk lebih jelasnya, penulis akan menjelaskan proses

analisis tersebut sebagai berikut:

1. Mengorganisasikan data

Peneliti mendapatkan data langsung dari subjek melalui

wawancara mendalam (indepth inteviwer), dimana data tersebut direkam

dengan tape recoeder dibantu alat tulis lainya. Kemudian dibuatkan

transkipnya dengan mengubah hasil wawancara dari bentuk rekamaan

menjadi bentuk tertulis secara verbatim. Data yang telah didapat dibaca

berulang-ulang agar penulis mengerti benar data atau hasil yang telah di

dapatkan.

2. Membuat kategori data

Pada tahap ini dibutuhkan pengertiaan yang mendalam terhadap

data, perhatiaan yang penuh dan keterbukaan terhadap hal-hal yang

muncul diluar apa yang ingin digali. Berdasarkan kerangka teori dan

pedoman wawancara, peneliti menyusun sebuah kerangka awal analisis

sebagai acuan dan pedoman dalam melakukan coding. Dengan pedoman

56

ini, peneliti kemudian kembali membaca transkip wawancara dan

melakukan coding, melakukan pemilihan data yang relevan dengan pokok

pembicaraan. Data yang relevan diberi kode dan penjelasan singkat,

kemudian dikelompokan atau dikategorikan berdasarkan kerangka analisis

yang telah dibuat.

3. Mereduksi data

Yaitu merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan

pada hal-hal yang penting. Dicari tema dan polanya dan membuang yang

tidak perlu. Reduksi data bisa dilakukan dengan jalan melakukan

abstrakasi. Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti,

proses dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap berada

dalam data penelitian (Moleong, 2009: 247).

4. Menyajikan fokus data

Menurut Miles dan Hubermen yang dikutip oleh Muhammad

Idrus bahwa: Penyajian data adalah sekumpulan informasi tersusun yang

memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan (Idrus, 2009:151).

Langkah ini dilakukan dengan menyajikan sekumpulan informasi

yang tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan.

hal ini dilakukan dengan alasan data-data yang diperoleh selama proses,

penelitian kualitatif biasanya berbentuk naratif, sehingga memerlukan

penyederhanaan tanpa mengurangi isinya. Penyajian data dilakukan untuk

dapat melihat gambaran keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari

gambaran keseluruhan. Pada tahap ini peneliti berupaya

57

mengklasifikasikan dan menyajikan data sesuai dengan pokok

permasalahan yang diawali dengan pengkodean pada setiap sub pokok

permasalahan (Kusaeri, 2014: 209).

5. Penarikan kesimpulan

Yaitu data yang sudah disajikan dianalisis secara kritis

berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dilapangan. Penarikan kesimpulan

dikemukakan dalam bentuk naratif sebagai jawaban dari rumusan masalah

yang dirumuskan sejak awal (Sugiyono, 2013: 345).

Penggunaan metode analisis dan interpretasi bertujuan

memberikan penjelasan secara deskriptif agar membantu pembaca

mengetahui apa yang terjadi dilingkungan pengamatan, seperti apa

pandangan partisipan yang berada dilatar penelitian (Emzir, 2012: 174).

Deskripsi yang cukup dan pernyataan langsung dimaksudkan

untuk membantu pembaca memahami secara penuh dari pemikiran orang

yang terwakili secara naratif terkait pendidikan humanisme religius

perspektif K.H Mahfud Ridwan dan Y.B Mangunwijaya.

F. Pengecekan Keabsahan Temuan

Keabsahan data merupakan hal yang sangat penting dalam

penelitian. Maka fakta-fakta ini nanti digunakan penulis sebagai bahan

pembahasan. Untuk memperoleh keabsahan temuan, penulis akan

menggunakan teknik triangulasi.

Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang

memanfaatkan sesuatu yang lain. Dengan tujuan untuk keperluan pengecekan

58

atau sebagai pembanding terhadap data tersebut. Menurut Denzin (1978)

membedakan empat macam tringulasi sebagai teknik pemeriksaan yang

memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik dan teori (Moleong,

2009: 330).

Teknik tringulasi yang digunakan penulis yaitu pemeriksaan melalui

sumber. Tringulasi dengan sumber yaitu membandingkan dan mengecek

balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan

alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif (Moleong, 2009: 330).

Untuk mendapatkan data yang akurat serta seperti yang diinginkan

penulis, maka penulis akan membandingkan data hasil pengamatan dengan

data hasil wawancara, membandingkan keadaan versi keluarga besar K.H

Mahfud Ridwan dan Y.B Mangunwijaya dan koleganya, dengan perspektif

masyarakat sekitar lokasi penelitian.

59

BAB IV

PAPARAN DAN ANALISIS DATA

A. Gambaran Umum

1. Biografi K.H Mahfud Ridwan

a. Latar belakang keluarga

K.H Mahfud Ridwan, atau akrab dipanggil dengan sebutan Abah,

beliau lahir di Pulutan, Sidoharjo Kota Salatiga, pada tanggal 10

Oktober 1941, beliau merupakan putra pertama yang dilahirkan dari

pasangan suami istri bernama bapak H. Ridwan dan ibunya bernama

Hj. Maimunah, beliau adalah lima bersaudara yang sejak kecil hidup

dalam lingkungan pesantren dimana Pulutan waktu itu menjadi salah

satu sentral pesantren di Salatiga.

b. Riwayat pendidikan

K.H Mahfud Ridwan dalam menempuh pendidikan dimulai dari

Sekolah Dasar (SD) Pulutan, setelah beliau lulus dari SD, beliau

menlanjutkan pendidikanya ke Pondok Pesantren Watucongol,

Magelang, mengaji kepad Kiai Nahrowi Dalhar (Mbah Dalhar), lalu

pindah ke Jawa Timur ke pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang,

Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, Pondok Pesantren Ploso Kediri akan

tetapi beliau tidak lama di sana berpindah-pindah kemudian ke Pondok

Pesantren Roudhotul Tholibin di Rembang dibawah asuhan K.H Bisri

Mustofa Ayah dari Gus Mus. Paling lama beliau mondok disana,

60

Setelah itu kembali ke Pondok Pesantren Watucongol ke tempat

pertama beliau mondok, untuk berguru lagi, setelah selesai dari

Watucongol lalu meneruskan ke Madrasah Aliyah di Makkah Selama 3

Tahun, disana beliau ikut dengan Syekh Yasin Al Fadani. Baru setelah

selesai belajar di Makkah beliau melanjutkan pendidikanya ke Bagdad

Untuk menempuh pendidikanyan SI di Universitas Bagdad, atas izin

Guru beliau yaitu Syekh Yasin Al Fadani, beliau disana mengambil

mata kuliah Quryatul Adab Qismus Syari‟ah, Qismus Lughoh, Qismus

Tarikh. Jadi kurang lebih selama 8 tahun beliau belajar di sana.

2. Biografi Romo Y.B Mangunwijaya

a. Latar belakang keluarga

Yusuf Bilyarta (Y.B) Mangunwijaya nama lengkapnya. Ia

dilahirkan di Ambarawa, Kbupaten Semarang Jawa Tengah, pada

tanggal 6 Mei 1929. Bapaknya bernama Yulianus Sumadi

Mangunwijaya, seorang guru Sekolah Rakyat sekarang Sekolah Dasar

di Desa. Begitu juga Ibunya, Serafin Kamdanijah. Ia terlahir sulung

dengan sebelas adik, tuju diantaranya perempuan, Mangunwija dikenal

sebagai Rohaniwan, Budayawan, Arsitek, Penulis, dan Aktivis. Ia juga

dikenal dengan panggilan populernya, Rama Mangun (atau dibaca

"Romo Mangun" dalam bahasa Jawa). Di dunia Kesusastraan Indonesia

ia termasuk dalam angkatan 1980-1990an Ia menamatkan SD di

Magelang tahun 1943, tatkala pendudukan miiliter Jepang sedang

mencengkram. Pada saat itulah ia mulai berkenalan dengan sastra.

61

Karya Sastra yang dibacanaya dan membekas sampaai ia menjadi

Novelis adalah Max Havelaar karya Multatuli. Struktur cerita Max

Havelaar pernah diakuinya sebagai model novelnya yang berjudul

Burung-Burung Manyar.

Sementara itu dalam salah satu karangannya yang berjudul

“Pengakuan Seorang Amatir”, dipaparkanya bahwa proses

kepenulisannya sebenarnya sejak awal telah ditanamkan oleh kedua

orang tuanya di samping juga dengan situasi konduktif yang dialaminya

tatkala ia menjadi murid Sekolah Dasar. Guru-gurunya di SD saat itu

adalah Biarawan-Biarawan Belanda (Rahmanto, 2001: 1).

Mereka benar-benar mendidik untuk berpikir, memperdalam rasa

kebenaran fairplay dan memupuk cita-cita manusia yang berhati mulia.

Guru-guru itu mengantarkan anak didikanya melalui pendidikan agar

para siswa gemar mencari cakrawala-cakrawala yang luas. Mereka

mengajarkan ilmu bumi bukan sekadar di mana letak kota, sungai, atau

laut tertentu, tetapi ilmu bumi yang dapat menyalakan fantasi para

siswa ke Negeri-negeri jauh dengan tidak lupa membeberkan adat

kebudayaan asing yang menarik minat para siswa, untuk menekuninya

mereka juga tidak lupa mengisahkan peristiwa-peristiwa sejarah yang

terkenal disuatu tempat yang sedang dijadikan bahan pelajaran,

sehingga imajinasi para siswa tumbuh subur dan mampu menembus

ruang dan waktu.

62

Metode pendidikan lain yang diakuinya sangat menguntungkan

bakatnya sebagai seorang penulis, ialah adanya mata pelajaran ekspresi

gagasan dan perasaan dalam bentuk latihan berbicara dimuka kelas dan

membuat karanagan tertulis. Setiap Minggunya, dua jenis latihan

seperti itu selalu dilakukan. Mangunwijaya kemudian membandingkan

bagaimana Guru-guru masa sekarang dan Guru-gurunya di sekolah

dasar saat itu. Mata pelajaran SD zaman Belanda dibuat tidak untuk

dihafalkan, absrtak, dan tidak bersangkut paut dengan kehidupan real,

tetapi benar-benar berakar pada kebutuhan serta situasional si anak

dengan dimensi pembukaan pintu gerbang masa depan.

Lebih lanjut, Mangunwijaya memberikan kesaksian bahwa pada

saat itu belajar di sekolah dasar setiap Minggu anak-anak diminta

membuat karangan dengan judul-judul wajib yang kongkrit, seperti

“Melihat- lihat di Pasar”, “Membeli Barang di Toko”, Pengalaman

dalam Liburan”, dan “Melihat Borobudur.” (Rahmanto, 2001: 2).

Masa yang dirasakannya sangat mengerikan adalah saat Indonesia

dibawah pendudukan fasis militer Jepang. Ketika itu keluarganya

tinggal di kota Magelang, kota tangsi yang bersuasana militer Belanda.

Suasana pendidikan yang sangat memperhatikan segi-segi penghalusan

akal budi dan pencerdasan akal sehat, digantikan dengan suasana

militeristis yang memporak-porandakan ekonomi dan kebudayaan.

Dunia fasis yang sangat kasar sangat dibencinya.

63

Begitu proklamasi dikumandangkan, ia ikut angkat senjata menjadi

Prajurit BKR, TKR Divisi III, Batalyon X, Kompi Zeni. Oleh karena itu

tidak mengherankan dalam Burung-Burung Manyar dan Durga Umayi

Mangunwijaya banyak mengkisahkan pertempuran-pertempuran yang

bergerliya dan serdadu-serdadu Belanda yang ingin kembali merebut

kota Yogyakarta. Pada bagian kedua pada novel Burung-Burung

Manyar, hampir seratus halaman ia berkisah tentang sepak terjang

serdadu-serdadu KNIL seperti Mayor Verbruggen, dan Setodewa

serdadu KNIL yang berkulit gelap dalam bertempur melawan

geriliyawan. Pada tahun 1947-1948, Mangunwijaya bahkan sempat

menjabat sebagai komendan seksi TP Brigade XVII, Kompi Kedu, dan

ikut menyaksikan bagaimana Palagan Ambarawa membara (Rahmanto,

2001: 4).

Selama 1980-1986, atas dorongan Dr. Soedjatmoko, Romo

Mangun melakukan pendampingan pada warga Kali Code yang

terancam penggusuran. Dia melakukan protes, Berkat pengupayaan dan

pembuatan perumahan untuk warga Kali Code, pada tahun 1992 ia

mendapat penghargaan The Aga Khan Award Pada tahun 1986-1994,

dia melakukan pendampingan lagi, yakni untuk warga Kedung O mbo

yang menjadi korban pembuatan waduk. Di samping itu, Romo

Mangun juga mendirikan Laboratorium Dinamika Edukasi Dasar

(DED) dan menerapkan eksperimennya di SD Kanisius Mangunan

(SDKM) yang bertempat di Dusun Mangunan Desa Kalitirto,

64

Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman, sekitar 13 kilometer sebelah

timur Yogyakarta. Pada 26 Mei 1998, dia menjadi salah satu pembicara

utama dalam aksi demonstrasi peringatan terbunuhnya Moses

Gatutkaca di Yogyakarta. Setahun kemudian, tepat pada 10 Februari

1999, setelah memberikan ceramah dalam seminar yang bertema

“Meningkatkan Peran Buku dalam Upaya Membentuk Masyarakat

Indonesia Baru” di hotel Le Maridian Jakarta, Romo Mangun

meninggal dunia akibat serangan jantung.

b. Riwayat pendidikan

Mangunwijaya menamatkan pendidikan SD di Magelang pada

tahun 1934, pada waktu pendudukan Militer Jepang sedang

mencengkram. Pada saat itulah ia mulai berkenalan dengan sastra.

Tahun 1949 lulus sekolah Teknik (setingkat SMP) kemudian

melanjutkan SLTA di Malang, dan tamat tahun 1951. Pada tahun itu

juga saat berumur dua puluh tahun Mangunwijaya memutuskan untuk

masuk Seminari Menengah di Jalan Code, Yogyakarta hingga tahun

1952. Setahun kemudian, dilanjutkan di Seminari Menengah

Mertoyudan, Magelang. Lulus dari sana, ia lalu masuk ke Institut

Filsafat dan Teologi Sancti Pauli, Yogyakarta, lulus dan ditahbiskan

sebagai imam tahun 1959.

Setelah menjadi imam, ia belajar Arsitektur di ITB hingga tahun

1960, dan dari sana melanjutkan kuliahnya di Sekolah Teknik Tinggi

Rhein, Westfalen, Aachen Repbulik Federasi Jerman hingga lulus tahun

65

1966. Ia pulang dan menjadi Pastor Desa di Salam. Selain itu ia juga

sebagai dosen luar biasa Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik di

Universitas Gajah Mada Yogyakarta (UGM). Beberapa tahun

kemudian, Mangunwijaya mulai aktif menulis kolom-kolom yang

berupa Esai diberbagai surat kabar dan majalah, akhirnya di kumpulkan

dicetak dan diterbitkan oleh Gramedia (1978), dengan judul Puntung-

Puntung Roro Mendut, dan Bunga Ramapai Soempah Pemoeda terbitan

balai pustaka. Di tengah kesibukan yang luar biasa, Mangunwijaya

pada tahun 1978 masih sempat mengikuti Fellow of Aspen Instut for

Humanistic Studies di Aspen, Colorado, Amerika Serikat (Rahmanto,

2001: 5).

c. Karya-karya

Romo Mangun adalah seorang rohaniawan arsitektur budayawan

dan sastrawan sehingga banyak karya yang di hasilkannya baik buku-

buku novel cerpan maupun artikael-artikel yang di tulis oleh beliau

diantaranya yang berupa tulisan ialah: Burung-Burung Manyar

(Djambatan, 1981), Puntung-Puntung Roro Mendut (Balai Pustaka,

1978), Dari Jodoh samapi Supiyah (Djambatan, 1976), Bunga Ramapi

Soempah Pemoeda (Balai Pustaka, 1978), Cerpen Rumah Bambu

(Kepustakaan Populer Gramedia, 2000), Di Bawah Bayang-Bayang

Adikuasa 1987, Tumbal 1994, Grundelan Orang Republik 1995, Romo

Rahadi (Pustaka Jaya, 1981), Ikan-Ikan Hiu Ido Homa (Sinar Harapan,

1983), Genduk Duku (Gramedia, 1987), Lusi Lindri (Gramedia, 1988),

66

Durga Umayi (Pustaka Utama Grafiti, 1991), Balada Becak 1985,

Burungg-Burung Rantau (Gramedia Pustaka Utama, 1992), Dara-Dara

Mendut (Yayasan Dinamika Edukasi, 1992), Pohon-Pohon Sesawi

(Kepustakaan Populer Gramedia, 1999).

Kemudian karya yang dihasilkan dari arsitekurnya yaitu:

Pemukiman Warga Tepi Kali Code Yogyakarta, Kompleks Religi

Sendangsono Yogyakarta, Gedung Keuskupan Agung Semarang Jawa

Tengah, Gereja Katolik Jetis Yogyakarta, Markas Kowihan II

Magelang, Biara Trappist Gedono Getasan Semarang Jawa Tengah,

Gereja Maria Sapta Duka Mendut Yogyakarta, Gereja Wisma Salam

Magelang Jawa Tengah, Rumah Bambu Arif Budiman Salatiga Jawa

Tengah.

B. Hasil Penelitian

Pada bagian ini penulis akan memaparkan hasil temuan penelitian

mengenai Pendidikan Humanisme Religius Perspektif K.H Mahfud Ridwan

dan Y.B Mangunwijaya yang dilakukan pada tanggal 02 November 2018

sampai selesai. Untuk memudahkan pembaca dalam memahami penelitian ini

maka penulis membagi menjadi dua bagian. Pertama, temuan penelitian

mengenai pendidikan humanisme religius perspektif K.H Mahfud Ridwan

beserta implementasiny. Kedua, penemuan penelitian mengenai pendidikan

humanisme religius perspektif Y.B Mangunwijaya dan implementasinya yang

diterapkan dimasyarakat.

67

1. Pendidikan Humanisme Dalam Membangun Nilai-Nilai Kemanusiaan

Religius Perspektif K.H Mahfud Ridwan

K.H Mahfud Ridwan dalam memberi pendidikan terkait dengan

pendidikan humanisme yaitu melalui lembaga- lembaga, Yayasan serta

dikenalkan dengan kelompok-kelompok usaha, lalu setelah para warga

masyarakat mengenal kemudian disana beliau mendampingi, membimbing

dan mengarahkan. Seperti halnya disampaikan oleh bapak MZ melalui

wawancara dirumah beliau.

“K.H Mahfud Ridwan sosok yang sangat diakui sebagi tokoh pemberdaya pendamping masyarakat, dengan adanya Yayasan Desaku Maju (YDM), dengan berbagai macam kegiatan itulah

sebagai sarana untuk mengembangkan masyarakat melalui kegiatan pertanian dan industri, banyak berkerjasama dengan

kelompok-kelompok lain, dan juga berkerjasama dengan perbankan, bank Indonesia. Dengan program PHBK, disitu saya mulai banyak terlibat sekitar tahun 1991 dikenalkan klompok-

klompok yang ada di pedesaan, dikenalkan dengan lembaga keuangan (bank), dulu namanya orang ndeso itu tidak kenal

dengan bank bahkan pada takut dengan bank, lalu sama beliau dijembatani dibimbing agar kenal dengan bank, dengan program PHBK. dulu orang yang punya usaha menitipkan uang satu juta

itu hanya bisa pinjam limaratus ribu, tapi dengan adanya proram ini orang punya uang satu juta bisa pinjam dua juta, tiga juta,

bahkan sampai lima juta. Sehingga dengan adanya program itu banyak sekali bermunculan di Dusun-dusun.” (MZ/S/05-11-2018/16:15 WIB)

Pandangan K.H Mahfud Ridwan tentang pendampingan

masyarakat Sama halnya disampaikan oleh AN yaitu ada kemiripan

yang disampaikan terletak pada pendampingan, pengarahan dan

perubahan kepada masyarakat.

“Dulu masyarakat sini sebagai sentral penderes kelapa, dan

masih banyak yang berhubungan dengan pihak bank (titil), kemudian oleh beliau didirikan koperasi yang notabenya

68

berbagai rasa, disitu terbentuk simpan pinjam yang cukup ringan

dan betul-betul untuk memnbantu akses masyarakat menjadi mudah, kususnya para penderes kelapa, kemudian berlanjut sampai urusan pendampingan keekonomian, di dirikannya BMT

Assya’adah oleh K.H Mahfud Ridwan untuk merubah kultur masyarakat yang dulu masyarakat masih berhubungan dengan

bank titil masalah keuangan, kemudian dengan adanya BMT itu membantu masyarakat yang notabenya kembali ke syariaat, masyarakat juga menjadi ringan dan sesuai dengan kaidah-

kaidah syariat.” (AN/M/07-11-2018/20:35 WIB).

Perubahan yang dilakukan oleh K.H Mahfud Ridwan kepada

masyarakat terkait pendidikan humanisme yaitu dengan cara

mendirikan BMT untuk memudahakan masyarakat dalam bentuk

keuangan. Hal yang sama disampaikan juga oleh MH di BLK Edi

Mancoro yaitu.

“Beliau bersama beberapa teman mendirikan lembaga-lembaga yang bertujuan untuk mengentaskan orang-orang yang seperti itu kurang mampu, tertinggal, dengan menggunakan bentuk

sumberdaya masyrakat membentuk koprasi yang hasilnya sangat mudah mendapatkan keringanan, dilakukan oleh seorang kiai,

yang secara literatur tidak di kenal melihat masyarakat sangat krosial dan kejem saat itu, dan memang mendiriakan koprerasi untuk mensejahterakan masyarakat.” (MH/P/08-11-2018/21:15

WIB).

Dari hasil wawancara dengan informan tersebut, peneliti

memperoleh informasi bahwa K.H Mahfud Ridwan dalam melakukan

pendampingan kepada masyarakat terkait dengan keunagan, beliau

mengenalkan sistim perbankkan kepada masyarakat, agar masyarakat

lebih ringan lebih terarah akses keuangannya, maka beliau mendirikan

koperasi BMT Assya‟adah sebagai wadah keuangan bagi masyarakat.

K.H Mahfud Ridwan dalam menjaga kerukunan antar umat

beragama solidaritas kepada lintas iman, dan para tokoh masyarakat

69

beliau membentuk yang namanya Forum Gedangan (FORGED), para

tokoh agama maupun tokoh masyarakat bertemu dalam forum tersebut

lalu terjadi sebuah diskusi didalamnya.

Sebagaimana disampaikan oleh AN, di Masjid Darussalam Dusun

Bandungan yaitu:

“Dulu Salatiga belum terbentuk namanya forum lintas agama

sehingga Islam hidup sendiri, Kristen sendiri, Budha sendiri dan lain-lain, sampai Aliran-aliran agama hidup sendiri. mereka adalah saudara bukan musuh, mereka itu tetangga bukan lawan,

ketika sudah bicara masalah humanisme kemanusiaan beliau sangat peduli dengan hal itu, maka dengan adanya Forum

Gedangan (FORGED), itulah menjadi salah satu bentuk untuk mewujudkan kerukunan antar umat beragama saling menjaga memberi penghargaan kepada agama-agama yanga lain, maka

perbedaan itu menjadi ruh untuk belajar pedewasaan berfikir” (AN/M/07-11-2018/20:35 WIB)

Gagasan pendidikan humanisme religius terkait dengan

mewujudkan kerukunan antar umat beragama yaitu dengan membentuk

Forum Gedangan (FORGED) yang dilakukan oleh K.H Mahfud

Ridwan. Sama halnya disampaikan oleh MH di BLK Edi Macoro yaitu:

“Apa yang menjadikan beliau itu banyak dikenal para tokoh

agama, tokoh Bangsa dan bahkan tidak hanya tokoh Bangsa Indonesia saja, juga dari Negara lain, yang beliau tanamkan ialah berbuat kebaiakan. Ketika berbuat kebaiakan itu, orang

tidak pernah tanya apa agamanya, maka berbuat baik dengan siapapun beliau tidak pernah memandang agama, tidak pandang

bulu itu sampai kapanpun, yaitulah nilai-nilai yang di tanamkan oleh beliau kepada anak-anaknya kepada dan para santrinya dan kepada siapapun” (MH/P/08-11-2018/20:45 WIB)

Sosok K.H Mahfud Ridwan memanag banayak dikenal oleh

tokoh agama maupun tokoh bangsa, yaitu dengan prinsip berbuat

kebaiakan, maka orang ketika berbuat baiak dengan siapapun orang

70

tidak akan pernah tanaya apa agamanya. Sama halnya ada kemiripan

yang disampaikan oleh MZ di rumah beliau yaitu:

“K.H Mahfud Ridwan itu sosok tokoh panutan bagi masyarakat, menurut padangan saya para kiai kususnya di Kabupaten

Semarang itu beliau menjadi kiblatnya, hubunganya antar sesama kiai didaerah Kabupaten Semarang bisa terjalin dengan baik bahkan tidak hanya kiai toh dari tokoh agama lain, terbukti

saat di bulan Ramadhan dalam acara Asramanisaisi Ramandan di dalam acara itu terjadi semacam diskusi antar kiai dan para

tokoh agama yang datang dari Salatiga dan daerah Kabupaten Semarang, jadi disitu membahas suatu masalah dari beberapa sudut pandang, contoh dari Islam bagaimana, dari Kristen

bagaimana, dari Buda bagaimana, dari Hindu bagaimana dan agama yang lain, maka disinilah terjalinnya silaturahim,

kemudian mengangkat suatu masalah, sebagai contoh masalah poligami dilihat dari beberapa pandangan agama, ini diadakan setiap tahuan yang kemudian disebut diskusi lintas agama, dan

masih banyak terjadi diskusi dengan tokoh-tokoh formal mulai dari jajaran Kepela Desa, Camat, Bupati, Aparat negara baik

Polisi TNI, Menteri, Gubernur, bahkan sampai Presiden. Dulu pernah terjadi semacam gejolak diwilayah Salatiga lalu untuk mengatasi tidak nyamannya kota salatiga K.H Mahfud Ridwan

mengumpulkan tokoh-tokoh Agama, tokoh Masyarakat, yang kemudian disitulah lahirnya Forum Gedangan (FORGED).”

(MZ/S/05-11-2018/16:15 WIB) Dari hasil wawancara tersebut dapat simpulkan bahwa K.H

Mahfud Ridwan adalah sosok yang sangat toleran dengan siapapun

agama apapun, serta dengan organisasi apapun, kepedulian beliau

kepada masyarakat sangat tinggi, sehingga beliau dalam mengatasi

permasalahan tersebut beliau mengundang para tokoh agama untuk

berkumpul menyelesaikan maslah yang terjadi di masyarakat, saling

bertukar fikiran dari berbagai sudut pandang para tokoh agama, demi

mewujudkan masyarakat yang rukun damai dan berperikemanusiaan.

71

K.H Mahfud Ridwan adalah sosok kiai yang dalam berhubungan

dengan agama yang diyakininya sangat baik, dalam beribadah sangat

rajin, bekal ilmu agama yang didapatkan saat beliau masih mondok

sangat banyak, karena hampir semua pendidikan yang dilaluinya yaitu

dari pondok Pesantren. Meskipun dalam segi keagamaan sangat baik

namun tidak hanya pendidikan agama saja yang diajarkan kepada

muridnya atau kepada masyarakat. Melainkan pendidikan tentang

kemanusiaan, kepedulian kepada sesama manusia, lebih- lebih kepada

mereka kaum yang lemah teringgal dalam segi ekonomi maupun

pendidikannya.

Hal tersebut juga disamapaikan oleh AN di Masjid Darussalam

Dusun Bandungan yaitu:

“K.H Mahfud Ridwan itu sosok tokoh pendamping masyarakat khodimul ummah, lantas jika beliau tidak bercita-cita santrinya

itu harus jadi kiai, tapi yang beliau tekankan santrinya bisa mendampingi masyarakat, maka pendidikan yang diajarkan tidak hanya ilmu yang berkaitan dengan Hablun Minallah, atau agama

saja. Akan tetapi juga ilmu bagaimana cara mendampingi masyarakat, apa yang menjadi keluh kesahnya masyarakat dan

kesulitan yang di rasakan oleh masyarakat.” (AN/M/07-11-2018/20:35 WIB)

Keinginan K.H Mahfud Ridwan dalam mengajarkan ilmu kepada

muridnya tentang pendidikan humanisme religius yaitu tidak

menginginkan muridnya itu menjadi kiai atau ustad semata dalam

masyarakat, akan tetapai yang beliau inginkan lebih kepada

pendampingan kepada masyarakat. Hal yang hampir sama disampaikan

pula oleh MZ di rumah beliau yaitu:

72

“Kiai Mahfud memang beda dari kiai yang lain, biasanya kalau

pesantren yang lain itu (wes) pokoknya segala sesuatu itu kan diserahkan ke kiainya baik dalam hal kegiatan keorganisasian dan keuangan, tapi di Edi Mancoro memang beda dari yang lain,

semua diserahkan kepada santrinya itu sudah sejak Mbah Mahfud masih sehat memang tidak kepingin punya pesantren,

maka di Edi Mancoro ini tiap tahun diganti ketua umumnya berdasarkan hasil musyawarah santri. Itu mrupakan penanaman pendidikan di masyarakat, yang diharapkan santri itu nantinya

bisa menjadi pendamping masyarakat.” (MZ/S/05-11-2018/20:15 WIB).

Hal yang sama disampaikan juga oleh MH di BLK Edi Mancoro

mengatakan:

“Ya beliau memang hidupnya banyak bersentuhan dengan masyarakat bawah, beliau banyak prinsip bahwa kita hidup ini untuk melayani umat, orang-orang lemah. Maka belu tidak

menghendaki santrinya itu harus jadi kiai atau ustad tapi bener-benar santrinya itu ketika pulang ke masyarakat bisa menjadi

pelayan umat, mendampingi masyarakat secara sungguh-sungguh tidak hanya sekedar wajhnya saja” (MH/P/08-11-2018/20:45 WIB)

Hasil yang didapat dari informan dapat ditarik kesimpulan, bahwa

K.H Mahfud Ridwan adalah sosok pendamping masyarakat, beliau

mendampingi, memberi pengarahan dan bimbingan, kepada setiap

orang yang kesulitan yang mempunyai suatu maslah tanpa memandang

agama, suku, ras maupun organisasi. Sehingga para murid atau

santrinya tidak dituntut harus jadi kiai atau ustad, akan tetapi bisa

menjadi khodimul umah pendamping bagi masyarakat.

73

2. Pendidikan Humanisme Dalam Membangun Nilai-Nilai Kemanusiaan

Religius Perspektif Y.B Mangunwijaya

a. Gagasan Pendidikan Humanisme Dalam Membangun Nilai-Nilai

Kemanusiaan Religius Perspektif Y.B Mangunwijaya.

Romo Mangun menyampaikan gagasannya yaitu melalui

mendirikan rumah-rumah di Kampung Code baik itu rumah yaitu

rumah kereta rumah susun sebagai dukunganfinansial dari beliau.

Seperti halnya disampaikan oleh DS di masjid kampung code yaitu:

“Romo Mangun sangat baik, sangat dekat dengan warga kali code dukungan finansialnya, dari mulai membangun rumah bambu, rumah kereta, rumah susun di kampung sini sampe

mengalahkan arsitek Amerika, pada tahun 1992 terbukti pada tahun itu ia mendapat penghargaan The Aga Khan Award

(DS/TM/03-11-2018/15:30 WIB)

Y.B Mangunwijaya memang terkenal orang yang ramah kepada

siapapun beliau banyak memberi bantuan di Kampung Code melalui

keahliannya sebagai arsitektur. Seperti yang disamapikan C di masjid

Kampung Code mengatakan yaitu:

“Romo Mangun niku sae sanget kaleh warga masyarakat mriki mas, kaleh bocah-bocah alit nggeh sae kaleh tiang sepuh nggeh sae kaleh bocah nom-nom nggeh sae pokok,e kaleh sinten mawon

sae. Teng mriki katah mas bangunaipun ciri khas Romo niku rumah bambu mas misale ajeng di tembok nggeh kedahe sek

separo niku bambu. Riyen nganti angsal penghargaan tapi sakniki pun di pindah teng greja Jetis.”(HS/W/03-11-2018/15:30 WIB)

Kedua hasil dari informan tersebut dapat di simpulkan bahwa

Romo Mangunwijaya adalah orang yang sangat ramah kepada siapapun

tanpa memandang usia, kepedulian beliau kepada warga masyarakat

74

yang lemah sangat tinggi, sehingga beliau telah mampu menata

kampung dengan baik.

Pelayanan yang dilakukan Romo Mangun terkait dengan gagasan

beliau yaitu melakukan pendampingan kepada warga masyarakat yang

disitu terancam akan kenyamanannya. Seperti di sampaikan DS

dimasjid kampung Code beliauyaitu:

“Romo Mangun melakukan pendampingan pada warga Kali Code yang terancam penggusuran. Dia melakukan protes. Berkat

pengupayaan dan pembuatan perumahan untuk warga Kali Code. beliau juga mendirikan Laboratorium Dinamika Edukasi Dasar

(DED) dan menerapkan Eksperimennya di SD Kanisius Mangunan (SDKM) yang bertempat di Dusun Mangunan, Desa Kalitirto, Kecamatan Berbah, Kabupaten Seleman itu adalah

bentuk kepedulian Romo kepada masyrakat atau generasi untuk mengupayakan pembelajaran yang efektif.” (DS/TM/03-11-

2018/15:30 WIB)

Kepedulian beliau kepada anak-anak dalam hal pembelajaran

sangat tinggi degan didirikannya SD Kanisius tentu sangat memberi

pengaruh positif kepada masyarakat. Hal yang hampir mirip

disampaikan oleh C dimasjid kampung Code yaitu:

“Romo Mnagun niku teng masyarakat mriki nggeh ngajari belajar lare-lare, kaleh kiambak,e damel perpustakaan teng kampung mriki kangge mbantu belajar warga mriki.” (HS/W/03-

11-2018/15:30 WIB)

Hasil di atas dapat ditarik kesamaan bahwa Romo Mangun dalam

melangsungkan pendidikan bagi anak beliau menggunakan penerapan

eksperimen yang beda dengan kurikulum yang diterapkan pemerintah

sehingga para peserta didik lebih nyaman dalam kelangsungan

75

belajarnya, dan juga mendirikan perpustakaan disebuah kampung untuk

menfasilitasi belajar anak-anak antara lain di warga Code.

C. Pembahasan

1. Gagasan Penidikan Humanisme Dalam Membangun Nilai-Nilai

Kemanusiaan Religius

a. Gagasan Penidikan Humanisme Dalam Membangun Nilai-Nilai

Kemanusiaan Religius Perspektif K.H. Mahfud Ridwan

K.H. Mahfud Ridwan ialah sosok yang bener-bener menjadi

pengayom pendamping bagi masyarakat secara penuh dengan bekal

pendidikan yang sangat laus, baik pendidikan umum maupun ilmu

agama. Beliau sangat mementingkan orang lain di banding kepentingan

pribadinya maka beliau sangat dikenal dengan orang yang sangat peduli

dengan kemanusian membela masyarakat yang miskin, lemah, bahkan

orang-orang yang terbelakang baik pengalamannya maupun

pendidikannya selain sangat peduli dengan kemanusiaan belaiu tetap

taat menjalankan ibadah sebagai bentuk sorang hamba kepada

Tuhannya, dengan agama atau keyakinan yang dianutnya beliau sebagai

orang islam sanagt banyak gagasan yang diberikan kepada masyrakat

mualai dari rakyat biasa sampai para pejabat dan orang-orang jalanan.

Makna kemanusiaan adalah proses menjadi manusiawi dalam

interaksi antar sesama manusia dengan konteks dan tantangan yang

terus berkembang (Michael Sastrapratedja SJ: 2006).

76

K.H Mahfud Ridwan sangat diakui bagi masyarakat berkat jasa

beliau yang telah banyak memberi pengaruh positif bagi masyarakat

kususnya wilayah Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang dan tidak

hanya disekitar itu beliau juga berpaeran pada peristiwa Waduk Kedung

Ombo yang berada diwilah Sragen Purwodadi Boyolali, masyarakat

sekitar situ telah mengakui jasa beliu yang pada waktu mengadakan

rapat kepada para tokoh masyarakat dan pemerintah untuk membahas

peristiwa yang terjadi di Kedung Ombo.

K.H Mahfud Ridwan dalam mengajarkan pendidikan kepada

masyarakat tidak hanya menyuruh memberi tahu akan tetapi beliau ikut

terjun mendampingi membimbing membantu ditanya apa kendalanya

kemudian dicarikan jalan keluarnya sampai bener-bener bisa

melaksakan masing-masing warga binaanya, beliau adalah sosok yang

sangat peduli dengan masyrakat yang kurang mampu menjujung tinggi

nilai-nilai kemanusiaan spenuhnya tanpa membeda-mbedakan etnis

agama memandang agama, karena beliau berpandangan bahwa agama

ialah sebagai dasar hidup untuk memperbaiaki hidupnya akan tetapi

urusan kemmanusiaan wajib bagi beliau untuk membela menjaga

keutuhan martabatnya.

Pendidikan atau belajar pada awalnya cenderung merupakan

bagian dari kegiatan kehidupan keberagaman dan kebudayaan. Manusia

dalam kehidupan bermasyarakat di samping menciptakan organisasi

untuk mengatur kerja sama sebagai alat untuk mencapai tujuan

77

bersama, juga mengembangkan aturan-aturan untuk mengatur perilaku

diantara warga masyarakat. Keyakinan dan nilai-nilai keagamaan

adalah inti yang menjadi dasar bagi pengembangan aturan masyarakat

Bimbingan adalah jenis pendidikan yang terutama tertuju pada

pertumbuhan kepribadian manusia Indonesia yang bertaqwa kepada

Tuhan yang Maha Esa, memelihara memelihara budi pekerti

kemanusiaan, dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur

(Mudyahardjo, 2008:57).

Jadi dapat dikatakan bahwa K.H Mahfud Ridwan dalam

mendampingi masyarakat bener-benar tulus untuk mewujudkan

masyrakat agar hidupnya tentram, ketika ada yng kesulitan maka beliau

mencarikan jalan keluarrnya yang harapannya dapat mengatasi maslah

yang di alami oleh masyarakat. Dengan adanya pendampingan itulah

sehingga memudahkan atau mengurangi kesulitan yang terjadi pada

masyarakat.

b. Gagasan Pendidikan Humanisme Dalam Membangun Nilai-Nilai

Kemanusiaan Religius Perspektif Y.B Mangunwijaya

Humanisme merupakan kata yang ambivilan, meskipun dapat

dipastikan kalo kata ini memiliki makna positif, akan tetapi bagi para

pemeluk agama, kata humanisme bisa dipahami sebagai suatu sikap

seorang yang memandang dirinya sebagai subjek yang berdiri sendiri

dan terpisah bukan saja dari kekuasaan negara atau raja, yang

sebenarnya hal itu boleh-boleh saja akan tetapi harus dari Tuhan. Tetapi

78

jika anda benar-benar percaya pada Tuhan dan yakin bahwa segala

sesuatu, alam serta seisinya termasuk manusia, maka jelaslah bahwa

sikap memisahkan diri dari Tuhan itu termasuk penghinaan kepada

Tuhan.(Suseno, 2007:208).

Nilai keagamaan tetap tidak dapat dipisahkan dari perilaku nyata

kehidupan individu dan masyarakat. Nilai-nilai keagamaan sering

secara tidak sadar tetap menjadi kekuatan yang paten bagi pilihan

tindakan atau perilaku manusia dan masyarakat. Karenanya, pandangan

keagamaan memancarkan tatanan kehidupan sosial seperti keadilan,

keterbukaan, dan demokrasi.

Pendidikan dalam realitanya masih menderita dehumanisasi

karena pengetahuan nilai-nilai masih diartikan sebagai objek pemilikan

(having) bukan menjadi pengetahuan dan nilai yang membangun

perubahan diri (being). Ada keterpisahan antara pengetahuan dan nilai-

nilai dengan diri manusianya, dan karena keterpisahan itu manusia

mengalami proses dehumanisasi, dan manusia mengalami penurunan

martabatnya menjadi serendah binatang yang serakah.

Pengetahuan, nilai-nilai, dan keterampilan dibangun manusia

sebenarnya adalah sebuah konstruksi, kreasi (ciptaan), atau penciptaan

kembali yang berada dan melekat dalam diri manusia (seseorang) dan

digunakan untuk memecahkan masalah kehidupannya untuk

mewujudkan tujuan kehidupan yang mulia. Namun, dalam realita yang

79

dilakukan di sekolah tradisional pengetahuan dan nilai berubah menjadi

sekadar kata-kata, ucapan-ucapan kosong yang bersifat verbalistik.

Pendidikan humanisme menurut Y.B mangunwijaya seperti

wawancara DS yang terekam bersama peneliti di atas bahwa ” Romo

Mangun sosok orang yang mempunyai prinsip mengembangkan

kehidupan manusia menjadi manusia yang utuh, menjalin relasi baik

dengan Tuhan yang menciptakannya. menjalin hubungan dengan

harmonis baik dengan sesama manusia maupun dengan alam semesta

sebagai sama-sama makhluk Tuhan. kesadaran ketuhanan ini menjadi

dasar untuk cara pandang, bertindak dan bersikap. Beliau dalam

hidupnya juga tidak lepas dari dasar “Tri Bina”, yakni bina manusia,

bina usaha dan bina lingkungan. Romo Mangun sangat menekankan

orientasi belajar kemandirian, anak didik dengan pola-pola kurikulum

yang kontekstual, dinamis, demokratis, humanis, sehingga menolak

kurikulum yang berakhir pada pembunuhan karakter anak didik, dalam

proses pembelajaranpun beliau mewujudkan belajar sejati yaitu

mengantar dan menolong anak didik untuk mengenal dan

mengembangkan potensi dirinya agar menjadi manusia yang mandiri,

dewasa dan utuh” (DS/T/3/11/ 2018 pukul 15:15-selesai).

Sedangkan pendidikan yang humanistik memandang manusia

sebagai manusia, yakni makhluk hidup ciptaan Tuhan dengan fitrah-

fitrah tertentu. Sebagai makhluk hidup, ia harus melangsungkan,

mempertahankan, dan mengembangkan hidupnya. Pendidikan

80

humanistik adalah pendidikan yang mampu memperkenalkan

apresiasinya yang tinggi kepada manusia sebagai makhluk Allah yang

mulia dan bebas serta dalam batas-batas eksistensinya yang hakiki, dan

juga sebagai pemimpin di bumi (Makin, 2005: 22)

Jadi pendidikan humanisme religius menurut Y.B mangunwijaya

adalah orang yang mempunyai prinsip mengembangkan kehidupan

manusia menjadi manusia yang utuh, menjalin relasi baik dengan

Tuhan yang menciptakannya serta relasi atas dasar humanisme yang

dibangun Y.B mangunwijaya terdapat suatu prinsip dasar cara pandang,

bertindak dan bersikap.

c. Persamaan dan Perbedaan Pendidikan Humanisme dalam

Membangun Nilai-Nilai Kemanusiaan Religius Perspektif K.H

Mahfud Ridwan dan Y.B Mangunwijaya

1) Persamaan

Kedua tokoh tersebut sama-sama menjadi pendamping,

pengayaom dan pemberdaya masyarakat miskin, terutama memberi

pendampingan pengarahan bagi masyarakat yang tertinggal,

masyarakat-masyarakat yang kurang mampu atau masyrakat bawah

bahkan sampai kaum marjinal yang berada dikolong jembatan

maupun dipinggir jalan dan ditrotoar. Kedua tokoh tersebut sangat

peduli dengan kemrosotan pendidikan, moral maupun ekonomi bagi

masyarakat. Sehingga K.H Mahfud dan Romo Mangun sering terjun

ke masyarakat untuk membantu mengubah masyrakat agar menjadi

81

lebih baik, terbina dan tertata lingkunganya. Maju dalam segi

pendidikan dan sumberdaya masyarakat, seperti masyrakat pada

umumnya.

Keduanya sama-sama mempunyai prinsip yang tinggi dalam

menjaga martabat kemanusiaan seutuhnya, dan tidak lupa pula

didasari dengan nilai-nilai religius keimanan yang tinggi sebagai

mahluk hamba (abdullah). Sudah sepantasnya sebagai seorang

hamba untuk tetap menjalin relasi dengan baik dan sungguh-

sungguh, dalam segala upaya selalu disandarkan kepada Allah Tuhan

semesta alam. Kedua tokoh tersebut memang sosok pendamping

masyrakat khodimul umah yang dalam perjalanan hidupnya banyak

dilakukan untuk pelayanan masyarakat, antara keduanya memang

sama-sama mempunyai sifat kepribadian yang sangat toleran kepada

siapapun, dengan tanpa memandang agama maupun golongan,

karena kedunya sama-sama berprinsip kalau urusan keyakian itu

sudah terbawa dari hati nurani masing-masing sebagai dasar dalam

bersikap, bertindak dan berucap, tentunya semua agama sama-sam

mengajarkan kebaikan, karena yang diyakini oleh keduanya tidak

ada agama yang mengajarkan keburukan, jadi kalau sudah urusan

agama atau keyakinan itu sudah urusan mereka dengan tuhan. Kedua

tokoh yaitu K.H Mahfud dan Romo Mangun memang tokoh

humanisme religius. Sama-sama menjadi seorang imam pemimpin

dalam agama yang diyakini masing-masing, utuk menjadi tokoh

82

pengaruh bagi masyarakat maupun bangsa, keduanya tidak cukup

hanya bekal belajar dalam negeri saja. Keduanya yaitu sama-sama

belajar diluar negeri, Kiai Mahfud diantaranya belajar ke Bagdad,

dan Romo Mangun ke Jerman, sampai situlah perjuangan kedua

tokoh yang dikenal sebagai pendamping, pengayom dan pemberdaya

masyarakat. Setelah peneliti memaparkan persamaan humanisme

religius antara kedua tokoh tersebut sehingga terdapat juga

perbedaan pemikiran tersebut yaitu.

2) Perbedaan

Perbedaan humanisme religius antara K.H Mahfud Ridwan dan

Y.B Mangunwijaya, yaitu terletak pada proses menuju

pendampingan yang dilaluinya. K.H Mahfud Ridwan dalam meraih

pendidikan banyak didapatkan dari pendidikan non formal, yaitu

dibeberapa pesantren dan itu dimulai sejak K.H Mahfud Ridwan

tamat dari Sekolah Dasar, hingga sampai tamat dari perguruan

tinggi, beliau banyak menghabiskan waktu belaajar yaitu di

pendidikan pesantren, tentu itu adalah waktu yang tidak sedikit yang

dilalui oleh beliau, dari situlah pasti berpengaruh besar bagi karakter

sudut pandang K.H Mahfud Ridwan. Sedangkan Y.B Mangunwijaya

banyak menghabiskan waktunya yaitu di lembaga sekolah formal,

meskipun beliau juga masuk ke Seminari seperti halnya pesantren

kalau dalam islam, akan tetapi lebih banyak di pendidikan

formalnya. Y.B Mangunwijaya lebih kepada pendalaman tetang

83

karyanya baik itu berupa tulisan maupun bangunan karena beliau

juga meneruskan bakatnya yaitu sebagai arsitektur. Akan tetapi

beliau juga terkenal sebagai rohaniawan budayawan, disitulah beliau

banyak meggagas tentang religus dan kemanusiaan atau humanise.

Melalui karya yang berupa tulisan itulah beliau banyak penghayatan

tetang kepeduliannya kepada rakyat miskin, masyrakat bawah dan

kaum lemah. Lain halnya dengan K.H Mahfud Ridwan beliau

membawa bekal pendidikan yang banyak diperoleh dari pesantren

sehingga beliau dalam menyamapaikan kepeduliannya kepada

masyarakat bawah yaiatu melalui penyamapain pidatonya, atau

pengajian-pengajian baik dipondok pesantrennya, dimasyarakat,

dimasjid-masjid maupun dirumah beliau. Disitulah letak

perbedannya kedua tokoh tersebut.

2. Implementasi Pendidikan Humanisme dalam Membangun Nilai-Nilai

Kemanusiaan Religius

a. Implementasi Pendidikan Humanisme dalam Membangun Nilai-

Nilai Kemanusiaan Religius Perspektif K.H Mahfud Ridwan

K.H Mahfud Ridwan memang sosok kiai yang bener-bener

mengutamakan kepentingan orang lain, membantu dengan sepenuh hati

tanpa pamrih dan mengedepankn keistiqomahan dan kesabaran jadi

segala sesuatu yang terjadi senantiasa diserahkan kepada Allah SWT.

Beliau melakukan pendampingan kepada masyarakat secara sungguh-

84

sungguh tanpa memandang agama jadi dengan siapaun beliau selalu

terbuka siapapun dalam memberi kemaslahatan.

Pendidikan keagamaan secara klasik cenderung memiliki tujuan

untuk membangun dalam diri manusia suatu kondisi mora litas yang

baik atau karakter yang mulia. Ungkapan-ungkapan dalam ajaran

agama memberikan gambaran akan hal tersebut, seperti ungkapan:

Tidak kami utus kamu Muhammad, kecuali untuk memperbaiki akhlak .

Secara umum, para nabi dilahirkan dalam kondisi masyarakat jahiliyah,

yaitu masyarakat yang warganya mengalami kerusakan karakter

sehingga kehidupan penuh dengan perilaku buruk, penghancuran hak-

hak manusia, penindasan atau perampasan secara semenamena,

pengkhianatan dan kedengkian dalam hubungan, arogansi yang

berkuasa (kaya) dan ketertindasan yang lemah dan miskin. Tujuan

diangkatnya kenabian secara umum adalah memperbaiki moralitas atau

akhlak manusia yang terjadi pada zamannya.

Dalam kehidupan modern, tujuan pendidikan lebih dirumuskan

menggunakan nilai-nilai keilmuan yang bersifat ilmiah. Seperti

gambaran rumusan tujuan pendidikan yang disampaikan oleh Maslow

(tokoh psikologi humanistik) yang merumuskan tujuan pendidikan

sebagai pencapaian aktualisasi diri, yaitu suatu kondisi dimana individu

dapat menggunakan potensi-potensi (bakat, talenta, kapasitas) dirinya

secara penuh sehingga dapat mengembangkan kehidupannya yang lebih

produktif. Ibaratnya sebatang pohon yang tumbuh dan berkembang,

85

mulai dari biji yang tumbuh dari dalam tanah, kemudian tumbuh batang

dan daun yang subur, selanjutnya pohon berbunga indah dan menarik,

dan pada akhirnya menghasilkan buah-buah yang sangat bermanfaat

bagi kehidupan manusia maupun binatang. Mungkin dapat dikatakan

pohon itu telah beraktualisasi diri pada waktu pohon itu berbuah.

K.H Mahfud Ridwan sangat mengutamakan nilai-nilai

humanisme dalam upaya memberi pengayaoman kepada masyarakat

yang dan tidak lepas dari prinsip-prinsip religius yang beliau lakukan

Esensi diri manusia dibangun melalui proses kehidupan dimana

individu memiliki kebebasan untuk memilih dan dia harus bertanggung

jawab terhadap apa yang telah dipilih. Individu akan terbentuk menjadi

apa adalah sesuai dengan pilihan bebas yang diambil, yang selanjutnya

terbentuk menjadi siapa dirinya, sebagai dokter, insinyur, atau guru

adalah sebagai akibat dan pilihan bebas yang dia lakukan. Nilai-nilai

keagamaan berada dalam diri individu yang memperoleh pemaknaan

oleh individu masing-masing, tidak ada otoritas di luar diri individu

yang dapat memberikan makna. Apabila individu melakukan perubahan

makna akan pengetahuan, nilai-nilai, atau keagamaan maka hal itu

dilakukan oleh dirinya dengan rasa sukarela dan bukan karena paksaan

dan otoritas di luar dirinya.

86

b. Implementasi Pendidikan Humanisme dalam Membangun Nilai-

Nilai Kemanusiaan Religius Perspetif Y.B Mangunwijaya

Pendidikan humanisme yang di ajarkan oleh Romo Mangun yaitu

sangat menjujung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, menjaga kerukunan

antar umat berbeda keyakinan, bahkan dengan orang lain yang berbeda

agama beliau sering mengingatkan ketika tiba waktunya beribadah,

beliau sangat menghargai kepada orang islam dan tidak hanya kepada

orang islam saja akan tetapi kepada semua umat berbeda agama.

Pendidikan tidak cukup sekadar pencapaian tujuan humanis,

tetapi lebih jauh membutuhkan pencapaian tujuan kebutuhan spiritual

transendental (religius). Pencapaian tujuan kebutuhan spiritual

transendental secara umum menjadi tujuan pendidikan keagamaan

(religius). Sebagaimana didepan telah disampaikan bahwa hampir

semua agama meletakkan tujuan pendidikan adalah untuk

pengembangan moral manusia, agar manusia dapat berkembang

menjadi berkarakter baik sehingga hidupnya dapat berguna bagi orang

lain dan dirinya sendiri.

Konsep memerdekaan manusia yang sangat diperjuangkan oleh

beliau dan tidak ada hubungannya dengan agama apapun, tidak ada

unsur pamrih yang Ia lakukan semua murni datang dari hati nuraninya

beliau sangat peduli dengan kaum yang lemah yang terpinggirkan

beliau banyak sekali melakukan pendampingan kepada masyarakat

87

terutama masyarakat bawah masyarakat yang kurang mampu baik itu

pendidikannya maupun segi ekonominya.

Konsep humanisme tidak dihubungkan denan orang-orang Eropa

yakni dengan kebudayaan Romawi dan Yunani kuno. Humanisme

berkembang menjdi gerakan lintas budaya dan universal, dalam arti

berbagai sikap dan kualitas etis dari lembag- lembaga politik yang

bertujuan membentengi martabat kemanusiaan (Suseno, 2007: 209-

210).

Setiap siswa dipandang sebagai individu yang memiliki keunikan

yang berbeda dengan siswa lain. Perbedaan keunikan individu siswa

dalam kegiatan pendidikan dan belajar harus dapat tampak dan dihargai

oleh pendidik atau guru. Pandangan eksistensialis yang di ambil oleh

pendidik humanis adalah adanya kemerdekaan atau kebebasan dalam

diri individu untuk memilih apa yang dianggap benar bagi dirinya untuk

dapat membangun dirinya menjadi (to become) seperti apa yang

diinginkan.

3. Sudut Pandang Epistemologi K.H Mahfud Ridwan dan Y.B

Mangunwijaya

Pandangan K.H Mahfud Ridwan dalam berkeyakinan sebagai

tokoh muslim yaitu berpedoman kepada al-Qur‟an, Hadis, dan Ijtihat para

Ulama. dasar keilmuan beliau banyak didapat dari pondok pesantren baik

itu pengetahuan agama mupun umum. Sehingga dari situlah terbentuk

karakter pemikiran beliau, sebagai seorang kiai yang juga dikenal sebagai

88

sosok pendamping masyarkat secara totalitas melaluai kereligiusannya

maupun humanismenya. Sedang Romo Mangunwijaya ialah sebagai tokoh

katolik yang berpedoman kepada al-kitab, beliau banyak meraih ilmu dari

sekolah umum maupun sekolah seminari. Namun beliau juga mempunyai

banyak guru yang mempengaruhi karakter pemikiran beliau, maka beliau

sebagai rohaniawan yang memang bener-bener melayani umat secara

penuh dan sungguh-sungguh. karena ketekunannya dalam belajar sehingga

beliau menjadi tokoh humanisme religius yang sangat berpengaruh bagi

masyarakat tentang keimannaya sebagai Romo maupun sesial

kemanusiaannya.

K.H Mahfud Ridwan dalam mennyampaikan gagasan-gagasannya

baik kapada masyarakat, santri, maupun para pengikutnya yaitu melalui

pengajian dimasjid, dimasyarakat, dirumah maupun dipondok yang di

dirikannya, beliau juga terjun memberi pendampingan secara lasung

maupun di balik layar. Tak hanya dengan cara seperti itu beliau juga sering

mengundang para tokoh agama tokoh masyarakat pejabat pemerintah

maupun orang umum, disitu diajak diskusi atau musyawarah yang

bertujuan untuk mempererat parsaudaraan saling tukar pemikiran

kemudian melihat problem yang terjadi di masyrakat untuk diselesaikan

secara bersama. Tak beda jauh dengan Y.B Mangunwijaya, sebagai

seorang romo tentu dalam menyampaikan gagasanya juga melaluai pidato

di Gereja kepada para jemaatnya, lembaga mapun dalam kegiatan mengisi

seminar.

89

BAB V

PENUTUPAN

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini tentang pendidikan humanisme dalam

membangun nilai-nilai kemanusiaan religius prespektif K.H Mahfud Ridwan

dan Y.B Mangunwijaya setelah peneliti melakukan penelitaian maka dapat

simpulkaan:

1. Gagasan kedua tokoh tersebut mengenai pendidikan humanisme dalam

membangun nilai-nilai kemanusiaan religius hampir sepaham, yaitu sama-

sama berpendapat bahwa agama hadir sebagai dasar untuk membentuk

kepribadian manusia dalam bertindak, berkeyakinan, dan bersosial dengan

moral yang baik serta rasa nasionalisme yang tinggi. Pandangan K.H

Mahfud Ridwan dalam kehidupan bermasyarakat dapat dilihat dari

prinsipnya yaitu sebaik-baik manusia ialah yang bermanfaat bagi orang

lain. prinsip beliau bahwa hidup untuk melayani masyarakat. Dengan

prinsip pendidikan humanisme religius tersebut maka harapan beliau para

santrinya ketika sudah pulang ke masyarakat bisa menjadi pelayan umat,

mendampingi masyarakat secara sungguh-sungguh. Sedangkan Y.B

Mangunwijaya sebagai seorang rohaniawan sastrawan budayawan

berpandangan bahwa semua manusia berhak mendapat pendidikan tanpa

membeda-bedakan agamanya. Beliau dalam hidupnya tidak cukup

melakukan pengabdian hanya pada Tuhan, akan tetapi juga peduli dengan

90

kemanusiaan dan keseimbangan alam. Hal ini sesuai dengan prinsip beliau

yang tertera pada dasar “Tri Bina”, yakni bina manusia, bina usaha dan

bina lingkungan.

2. Implementasi pendidikan humanisme dalam membangun nilai-nilai

kemanusiaan religius yang dilakukan kedua tokoh di atas ialah sama-sama

sebagai tokoh agama yang nasionalais, pluralis, humanis religius.

Kehidupnya banyak bersentuhan denngan masyarakat lemah, yang

hidupnya di kalangan bawah, memberi pendampinagan kepada masyarakat

secara sungguh-sungguh dan memang datang dari keinginan hati

nuraninya tanpa mengaharap imbalan kepada pihak yang bersangkutan.

B. SARAN

Dari peneliti yang dilakukan, ada beberapa saran yang perlu kiranya

ntuk di pertimbangkan, yaitu:

1. Bagi masayarakat jadilah manusia yang bermanfaat bagi orang lain, yang

dapat mendampingi masyarakat secara penuh tulus ikhlas dan sungguh-

sungguh tanpa pamrih, dengan tanpa membeda-bedakan suku, ras maupun

agama.

2. Bagi peneliti sendiri diharapkan jangan hanya sekadar meneliti kedua

tokoh tersebut, akan tetapi dapat mencotoh kepribadiannya dan budi

pekerti luhurnya.

3. Bagi pembaca semoga bermanfaat, dapat meneladani tokoh tersebut dan

dapat menjadi refrensi bagi peneliti selanjutnya.

91

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Mas‟ud, 2002. Menggagas Pendidikan Non Dikotomik .

Yogyakarta: Gama Media.

Ahmad Mubarak. 2016. Psikologi Keluarga: dari Keluarga Sakinah Hingga

Keluarga Bangsa. Jakarta: Bina

Ali Syari‟ati. 1992. Humanisme Antara Islam dan Madzab Barat. Bandung:

Pustaka Hidayah.

Arikunto Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.

Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Arikunto,Suharsami. 1998. Prosedur Penelitian. Cetakan ke 11 Jakarta: PT

Rineka Cipta Anggota IKPI.

Bambang Sugiharto. 2008. Humanisme dan Humaniora: Relevansinya Bagi

Pendidikan. Yogyakarta: Jalasutra.

Cahya Thomas Hidaya. 2004. Humanisme dan Skolastisisme, Sebuah Debat.

Yogyakarta: Kanisius.

Creswell,Jhon. W.Teig. Achmad Fawaid. 2010. Research Desaign (pendekatan

kulitatif , Kuantitatif dan Mixed). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Departemen Pendidikasn dan Kebudayaan, 1994, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Jakarta: Balai Pustaka

Hadi,Sutrisno. 1981. Metodologi Research. Yogyakarta: UGM Fakultas Psikologi.

Harun Hadiwijono. 2011. Sari Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta:Kanisius.

Hassan Hanafi. dkk. 2007. Islam dan Humanismee: Aktualisasi Humanismee di

Tengah Krisis Humanismee Universal. Semarang: IAIN Walisongo.

92

Juhaya S Praja. 2003. Aliran-aliran Filsafat dan Etika. Jakarta: Prenada Media.

Kaelan. 2010. Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner. Yogyakarta:

Paradikma.

Kusaeri. 2014. Metodologi Penelitian. Surabaya: UIN Sunan Ampel Press.

Lexy J. Moleong. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya Offset.

Madjid, Nurcholish. 2000. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis

tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan. Jakarta:

Paramadina.

Marcel A Boisard. 1982. Humanismee Dalam Islam. terj. H. M. Rasjidi. Jakarta:

Bulan Bintang.

Moh. Baharuddin Makin. 2017. Pendidikan Humanistik. Yogyakarta: Ar-Ruzz

Media.

Mulkhan, Abdul Munir. 2002. Nalar Spiritual Pendidikan: Solusi Problem

Filosofis Pendidikan Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Nata, Abuddin. dan Fauzan (eds). 2005. Pendidikan dalam Perspektif Hadits.

Ciputat: UIN Jakarta Press.

Nurcholish Madjid. 1995. Islam Agama Kemanusiaan. Jakarta: Paradimana.

Nurhayati. 2000. Dialog Pendidikan Islam dengan psikologi Humanistik tentang

Potensi Manusia. Yogyakarta Tesis : PPs UIN

Rulan,Rosady. 2010. Metode Penelitian Publik Reiations dan Komunikasi.

Jakarta: PT 0020 Raja Grafindo Persada.

93

Sastrapratedja, Michael, dalam pidato pengukuhan guru besar ilmu filsafatnya di

STF (Sekolah Tinggi Filsafat) Driyarkara, Jakarta, Sabtu 8 Maret 2006.

Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfa Beta.

Suracmad,Winarno. 2007. Dasar Penelitian Teknik Research. Bandung: Pustaka

Setia.

Suryabrata, Sumadi. 1998. Metode Penelitian. Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada.

Hasan, Hanafi. 2007. Tengah Krisis Humanisme Universal. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Adnan. 1986. Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin. Semarang: Fakultas Ushuluddin

IAIN Walisogo Semarang.

Tobroni. 2008. Pendidikan Islam: Paradigma Teologis, Filosofis dan

Spiritualitas. Malang: UMM Press.

Y. B Mangunwijaya. 1994. Spiritualitas baru: Agama an aspirasi rakyat. Jakarta:

Institut Dian/Interfedei.

Y. B Mangunwijaya. 1997Politik Hati Nurani. Jakarta: Grafiasri Mukti.

Y. B Mangunwijaya. 1999. Saya Ingin Membayar Utang Kepada Rakyat.

Yogyakarta: Kanisius.

Yunus, Hadi Saebani. 2010. Metodologi Wilayah Kontenporer. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Zed, Mestika. 2004. Metode Penelitian Kepustaan. Jakarta: Yaysan Obor

Indonesia