pendidikan humanisme dalam membangune-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/5532/1/skripsi paling...
TRANSCRIPT
ii
PENDIDIKAN HUMANISME DALAM MEMBANGUN
NILAI-NILAI KEMANUSIAAN RELIGIUS
PERSPEKTIF K.H MAHFUD RIDWAN
DAN Y.B MANGUNWIJAYA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Kewajiban dan Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh:
AHMAD SYUKURI
NIM. 11114111
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2019
iii
Dr. H. Miftahuddin, M. Ag
Dosen IAIN Salatiga
Persetujuan Pembimbing
Hal : Naskah Skripsi
Lampira : 4 (Empat) Eksemplar
Saudara : Ahmad Syukuri
Kepada
Yth. Dekan FTIK IAIN Salatiga
Di Salatiga
Assalamualaikum Wr. Wb
Setelah meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka bersama ini
kami kirimkan naskah skripsi saudara:
Nama
Fakultas
Jurusan
NIM
Judul
:
:
:
:
:
Ahmad Syukuri
Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
Pendidikan Agama Islam
11114111
PENDIDIKAN HUMANISME DALAM MEMBANGUN
NILAI-NILAI KEMANUSIAAN RELIGIUS PERSPEKTIF
K.H MAHFUD RIDWAN DAN Y.B MANGUNWIJAYA
Dengan ini kami mohon kepada Bapak Dekan FTIK IAIN Salatiga bahwa
skripsi saudara di atas untuk dapat dimunaqosahkan. Demikian agar menjadi
perhatian.
Wassalamualaikum Wr. Wb
Salatiga, 2019
Pembimbing
Dr. H. Miftahuddin, M. Ag
NIP . 19700922 199403 1002
iv
SKRIPSI
PENDIDIKAN HUMANISME DALAM MEMBANGUN NILAI-NILAI
KEMANUSIAAN RELIGIUS PERSPEKTIF K.H MAHFUD RIDWAN
DAN Y.B MANGUNWIJAYA
Disusun oleh :
AHAMD SYUKURI
11114111
Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Pendidikan
Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Istitut Agama Islam Negeri
(IAIN) Salatiga, pada tanggal...................................................dan telah dinyatakan
memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana S1 Kependidikan Islam.
Susunan Panitia Penguji
Ketua Penguji : Dr. H. Agus Waluyo, M. Ag
Sekertaris : Dr. H. Miftahuddin, M. Ag
Penguji I : Suwardi, M. Pd
Penguji II : Dr. Hj. Maslikhah, M. Si
Salatiga,
Dekan Fakultas Tarbiyah dan
Ilmu Keguruan
Suwardi, M.Pd.
NIP. 19670121 199903 1 002
v
DEKLARASI
Saya yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Ahmad Syukuri
NIM : 11114111
prodi : Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya
saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan
orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode
etik ilmiah. Skripsi ini diperkenakan untuk dipublikasikan pada e-repository IAIN
Salatiga
Demikian deklarasi ini dibuat oleh penulis untuk dapat dimaklumi.
Salatiga, 19 Januari 2019 Yang menyatakan
Ahmad Syukuri NIM: 11114111
vi
MOTTO
الناسأنفع ه مللناسخير
Artinya : “Sebaik-baik manusia ialah yang bermanfaat bagi orang lain”
(al Hadis)
Sejatine urip iku ngibadah lan ngabekti marang wong tuo
Artinya : “Sesungguhnya hidup itu beribadah dan berbakti kepada orang tua”
(K.H Mahfud Ridwan Lc)
vii
PERSEMBAHAN
Dengan penuh rasa syukur kepada Allah SWT serta tulusnya hati skripsi ini
penulis persembahkan teruntuk:
1. Kedua orong tuaku, Bapak Karmadi dan Ibu Salami (almh) yang selalu
mendo‟akan, membimbing dan mengarahkan, terimakasih atas kasih
sayangnya berjuang untuk penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini. Semoga Allah SWT selalu memberikan kasih sayang, dan selau
diberi kesehatan dan dimudahkan segalanaya.
2. K.H Mahfud Ridwan (alm), Ibu Hj. Nafisah Mahfud, K. Muhamad Hanif, M.
Hum berseta keluarga besar ndalem. Terimakasih atas bimbingannya,
nasehatnya serta pengarahan yang selalu di berikan kepada penulis.
3. Bapak Dr. H. Miftahuddin, M.Ag selaku pembimbing skripsi terimakasih atas
bimbingan pengarahan masukan atau saran yang telah bapak berikan hingga
skripsi saya selesai.
4. Saudara kandung, kakak-kakakku terimakasih atas motivasi dan
pengarahannya yang telah di berikan, dan buat adiku jangan pernah berhenti
belajar.
5. Rodziatus Sholikhah terimakasih atas segala bantuan, solusi, mememotivasi
serta do‟a yang selalu kamu berikan kepada penulis, semoga Allah SWT
senantiasa membalas kebaiakanmu, di mudahkan segalanya.
viii
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat taufiq
hidayah serta inayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini yang berjudul pendidikan humanisme religius perspektif K.H Mahfud
Ridwan dan Y.B Mangunwijaya. Sholawat serta salam semoga tetap tercurah ala
syaidina wahabibina wasyafi’ina Muhammad SAW. Skripsi ini disusun guna
untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd.) Pada Jurusan Pendidikan
Agama Islam Fakultas Tarbiyah IAIN Salatiga. Penulis mengucapkan terimakasih
kepada semua pihak yang telah membantu terseleasinya skripsi ini. Semoga
tercatat dan sebagai amal sholih
1. Bapak Dr. H. Rahmat Hariyadi, M. Pd selaku Rektor IAIN Salatiga
2. Bapak Suwardi, M. Pd selaku Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Salatiga
3. Ibu Hj. Siti Rukhayati, M. Ag selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam
4. Bapak Drs. H. Bahroni, M. Pd selaku Dosen Pembimbing Akademik
5. Bapak Dr. H. Miftahuddin, M. Ag selaku Dosen Pembimbing Skripsi
6. Segenap Bapak Ibu Dosen IAIN Salatiga serta seluruh karyawan
7. Keluarga besar ustadz ustadzah Pondok Pesantren Edi Mancoro, terimakasih
atas perjuangan yang diberikan kepada penulis.
8. Keluarga besar Bani Asyhari maturnuwun pandonganipun dan motivasinya.
9. Teman-teman pondok pesantren Edi Mancoro terima kasih atas segala
bantuanya.
ix
10. Teman-teman PPL IAIN Salatiga di SMP Muhamadiyah Suruh. Dan KKN
IAIN Salatiga di Desa Deras.
11. Gus Adib, Fauzil, Ashadil, Gus Farikh, Kang Sani (heo2), Sigit, Fauzi, Aam,
Galih, teman-teman Mahasiswa luar biasa, dan semua pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi.
12. Dan seluruh pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah
membantu terselesainya skripsi ini terimakasih saya ucapkan denagan tulus
hati, penulis hanya dapat membalas dengan iringan do‟a jaza kumullaha
khairan katsiran semoga Allah SWT membalas kebaiakanya lebih banyak.
Dalam penyusunan skripsi ini, Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih
jauh dari sempurna. dikarenakan keterbatasan dari segala bentuk yang dimiliki
oleh penulis. Mudah-mudahan skripsi yang jauh dari sempurna ini dapat
memberi manfaat bagi penulis dan orang lain yang membacanya.
Wassalamualaikum Wr. Wb
Salatiga, Januari 2019
Yang menyatakan
Ahmad Syukuri
NIM: 11114111
x
DAFTAR ISI
LEMBAR BERLOGO .................................................................................... i
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... ii PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................... iii
PENGESAHAN KELULUSAN ..................................................................... iv PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ....................................................... v MOTTO ........................................................................................................... vi
PERSEMBAHAN ........................................................................................... vii KATA PENGANTAR ..................................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................................... x DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xiii ABSTRAK ...................................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1
B. Fokus Penelitian ................................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian .................................................................................. 6
D. Manfaat Penelitian ................................................................................ 8
E. Penegasan Istilah .................................................................................. 8
F. Sistematika Penulisan ........................................................................... 12
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Landasan Teori .................................................................................... 14
1. Pengertian Pendidikan .................................................................. 14
2. Pengertian Humanisme ................................................................ 17
a. Humanisme Sekuler.................................................................. 20
b. Humanisme Renaisans.............................................................. 22
c. Humanisme Modern ................................................................ 23
d. Humanisme Religius ............................................................... 25
3. Pendidikan Humanisme ................................................................ 27
xi
4. Pendidikan Religius ...................................................................... 31
5. Pendidikan Humanisme Religius ................................................. 43
B. Kajian Penelitian Terdahulu ................................................................ 45
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian .................................................................................... 49
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................... 49
C. Sumber Data ......................................................................................... 52
D. Prosedur Pengumpulan Data ............................................................... 53
E. Analisis Data ....................................................................................... 54
F. Pengecekan keabsahan Data ................................................................ 57
BAB IV PAPARAN DAN ANALISIS DATA
A. Gambaran Umum ................................................................................ 59
1. Biografi K.H Mahfud Ridwan....................................................... 59
2. Biografi Romo Y.B Mangunwijaya ............................................. 60
B. Hasil Penelitian..................................................................................... 66
1. Pendidikan Humanisme dalam Membangun Nilai-Nilai
Kemanusiaan Religius Perspektif K.H Mahfud Ridwan................ 67
2. Pendidikan Humanisme dalam Membangun Nilai-Nilai
Kemanusiaan Religius Perspektif Y.B Mangunwijaya .................. 73
C. Pembahasan ......................................................................................... 75
1. Gagasan penidikan Humanisme dalam Membangun Nilai-Nilai
Kemanusiaan Religius .................................................................... 75
xii
2. Implementasi Pendidikan Humanisme dalam Membangun Nilai-
Nilai Kemanusiaan Religius ........................................................... 86
3. Sudut Pandang Epistemologi K.H Mahfud Ridwan dan Y.B
Mangunwijaya ................................................................................ 87
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................... 89
B. Saran .................................................................................................... 90
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Lembar Konsultasi
Lampiran 2 : Surat Izin Penelitian
Lampiran 3 : Surat Keterangan Sudah Melakukan Penelitian
Lampiran 4 : Surat Pembimbing Skripsi
Lampiran 5 : Lembar Wawancara Penelitian
Lampiran 6 : Foto-Foto Penelitian
Lampiran 7 : Daftar Skk
Lampiran 8 : Riwayat Hidup Penulis
xiv
ABSTRAK
Syukuri, Ahmad. 2018. “Pendidikan Humanisme dalam Membangun Nilai-Nilai
Kemanusiaan Religius Perspektif K.H Mahfud Ridwan dan Y.B Mangunwijaya”. Skripsi, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan,
Jurusan Pendidikan Agama Islam. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing Dr. H. Miftahuddin, M. Ag.
Kata Kunci: Pendidikan Humanisme Religius, K.H Mahfud Ridwan, dan Y.B
Mangunwijaya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa saja gagasan-gagasan K.H
Mahfud Ridwan dan Y.B Mangunwijaya mengenai pendidikan humanisme dalam
membangun nilai-nilai kemanusiaan religius. dan bagaimana implementasi
gagasan humanisme dalam membangun nilai-nilai kemanusiaan religius K.H.
Mahfud Ridwan dan Y.B. Mangunwijaya.
Penelitian ini merupakan Penelitian kualitatif, metode pengumpulan data
yang digunakan yaitu observasi, wawancara dan dokumentasi. Analisis data
menggunakan langkah yaitu: Mengorganisasikan data, membuat kategori data,
mereduksi data, menyajikan fokus data dan penarikan kesimpulan.
Hasil penelitian sebagai berikut: (1). Gagasan K.H Mahfud Ridwan dan
Y.B Mangunwijaya mengenai pendidikan humanisme dalam membangun nilai-
nilai kemanusiaan religius yaitu sama-sama berpandangan bahwa agama hadir
sebagai dasar untuk membentuk kepribadian manusia dalam bertindak,
berkeyakinan, dan bersosial, dengan moral yang baik serta rasa nasionalisme yang
tinggi. Pandangan K.H Mahfud Ridwan dalam kehidupan bermasyarakat dapat
dilihat dari prinsip dan laku kesehariannya yaitu, sebaik-baik manusia ialah yang
bermanfaat bagi orang lain. Sedangkan Y.B Mangunwijaya Berpandangan bahwa
hidup itu tidak cukup melakukan pengabdian pada Tuhan saja, akan tetapi peduli
dengan kemanusiaan dan keseimbangan alam. Hal ini sesuai dengan prinsip dan
laku kesehariannya yaitu Tri Bina, bina manusia, bina usaha dan bina lingkungan.
(2). Implementasi pendidikan humanisme religius K.H Mahfud Ridwan dan Y.B
Mangunwijaya yaitu, sama-sama sebagai tokoh agama yang mendampingi
masyarakat secara nasionalis, pluralis, humanis dan religius, dengan sungguh-
sungguh. Hidupnya banyak bersentuhan denngan masyarakat bawah, khususnya
bagi mereka yang lemah, mengentaskan orang-orang yang hidup di bawah.
Memberi pelayanan pendampingan dan memang tulus berdasarkan hati nuraninya,
dengan tanpa mengaharap imbalan kepada pihak yang bersangkutan.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan langkah terpenting di mana manusia sejak
lahir sudah mendapat pendidikan dari orang tuanya, saudaranya serta orang
lain, sehingga yang semula tidak tahu menjadi tahu yang semuala tidak
paham menjadi paham dan seterusnya, terlebih pendidikan humanisme dan
religius, manusia lahir dalam keadaan fitrah (suci) bagai air yang jernih.
Semakin bertambahnya usia akan semakin tambah pengetahuannya pula,
manusia tak bisa hidup sendiri tentu membutuhkan orang lain untuk hidup
bermasyarakat antra satu sama lain hidup berdampingan harus saling
melengkapi, tolong menolong, saling paham dan memahami. Untuk
mewujudkan kehidupan yang tentram dan harmonis, akan tetapi yang terjadi
saat ini masih sangat minim bahkan sangat memprihatinkan, terbukti
kejahatan masih terjadi merajalela di mana-mana dikabarkan melalui medsos
baik televisi, radio, handpone maupun melalui surat kabar, bahkan melihat
sendiri secara lasung seperti pelecehan seksual, pembunuhan perkelahian
tawuran antar pelajar, penganiayaan, penipuan, korupsi, kolusi dan lain
sebagainya. Banyak manusia yang hilang akan kemanusiannya yang gagah
menindas yang lemah, yang kaya tak peduli dengan yang miskin. Banyak
orang yang mengatasnamakan lembaga atau investasi untuk merampas, dan
membohongi orang lain. Seiring perkembangan zaman manusia semakin
2
pintar, bahkan tidak sedikit manusia yang menggunakan kata cinta sebagi
kunci atau pelampiasan untuk memenuhi segala hasrat keinginan yang tidak
berperi kemanusiaan.
Dalam aturan agama apapun yang dianutnya maupun ideologi
bangasa, memerintahkan untuk hidup menjunjung tinggi nilai-nilai
humanisme religius, memanusiakan manusia serta taat pada Tuhannya. Di
antaranya ber-Ketuhanan Yang Maha Esa dan kemanuisiaan yang adil dan
beradap, dan banyak lagi diatur dalam undang-undang hak asasi manusia
(HAM) maupun syariat agama. Manusia di samping sebagai mahluk individu
juga sebagai mahluk sosial, pasti tidak bisa hidup sendiri. Sebagai mahluk
sosial pada hakekatnya tidak bisa hidup menyendiri tanpa adaya bantuan dari
orang lain atau masyarakat. Berkumpulnya individu dengan individu lain,
individu dengan kelompok serta kelompok dengan kelompok lain, akan
melahirkan pranata sosial yang memerlukan adanya norma-norma sosial
sebagai pijakan untuk mengaktualisasikan tingkahnya, sehingga dapat dinilai
baik dan buruknya secara garis besar sebagai agama yang mempunyai ajaran
yang bersifat universal (Adnan, 2007: 18).
Humanisme pada saat itu ingin meningkatkan perkembangan yang
harmonis dari sifat-sifat dan kecakapan alamiah manusia (Bakhtiar, 2015:
148). Kehidupan manusia dalam beberapa fase dan tingkatannya mengalami
bermacam-macam bahaya dan malapetaka, disebabkan persengketaan dan
permusuhan sesama manusia. Masing-masing mereka ingin berkuasa dan
mementingkan kemuslihatan diri sendiri. Oleh sebab itu terjadilah
3
permusuhan antar sesama manusia, sehingga bernyala-nyalalah api
peperangan, akhirnya yang kuat menindas yang lemah, yang berkuasa
memperbudak yang kalah, dan yang kaya menganiaya simiskin.
Begitu juga kehidupan manusia memiliki bermacam-macam
kebatilan, perhubungan manusia dengan sesamanya penuh kedzaliman
penganiayaan. Tak ada tolong-menolong dan bantu-membantu bahkan sangat
jauh dari keadilan dan kejujuran.
Dengan demikian memperlakukan manusia baik dalam dirimu
maupun dalam segenap orang lain adalah tujuan yang tidak pernah semata-
mata sebagai sarana yang diharapkan seluruh manusia dalam kehidupan
bermasyarakat, masing-masing orang dihargai identitasnya begitulah
pentingnya humanisme dalam hidup bermasyarakat.
Religius merupakan keyakinan yang ada dan tertanam dalam jiwa
manusia yang dijadikan sebagai dasar untuk berperilaku, bersikap, dan
berbuat sesuai dengan keyakinan agama yanng dianutnya. Religius sangat
berpengaruh dalam berperilaku dan bersikap, seorang bila dalam berperilaku
dan bersikap baik, maka orang tersebut memiliki nilai religius yang baik pula
agama yang dianutnya. Religius sebagai pendorong manusia dalam
membangun keimanan, sehingga manusia dapat selalu berbuat kebaikan dan
selalu mengingat kebesaran Tuhannya, religius itu menyangkut diri pribadi
seseorang dan tingkat religiusnya seseorang yang berbeda-beda.
Menurut Johan dalam salah satu tulisannya mengatakan begini,
pendidikan agama sejak puluhan tahun diberikan di sekolah-sekolah, sejak
4
sekolah dasar sampai perugruan tinggi, radio dan televisi setiap pagi
memprogramkan kuliah subuh, khotbah-khotbah keagamaan diberikan di
berbagai kalangan remaja, anak-anak, pemuda, perempuan, dikantor-kantor
dan pada orang-orang dewasa umumnya. Perayaan hari-hari besar keagamaan
dilaksanakan dengan biaya yang tidak sedikit jumlahnya, rumah-rumah
ibadah bermunculan dalam wujud yang tidak jarang mengesankan bukan
hanya indah tetapi juga mewah, tapi mengapa muncul tindakan-tindakan
kekerasan atas nama agama yang semakin membudaya termasuk korupsi
yang semakin marak. Agama sebagai inspirator sekaligus peneguh bagi setiap
pemeluknya, untuk memikirkan dan memberlakukan segala kegiatan hidup
bermasyarakat atas dasar basic rights dan basic human needs.
Memang, kenyataan masih jauh dari harapan, apalagi bila
diperhatikan dengan seksama, masih banyak pemahaman keagamaan yang di
dalamnya juga banyak pejabat pemerintah, para pembuat kebijakan dan
pengambil keputusan, yang terbatas kepada hal-hal yang sifatnya simbolitis
belaka. Padahal dalam menjalankan fungsi kritisnya, umat beragama dalam
arti seluas- luasnya, dan para pemimpin agama tidak bisa buta terhadap
politik, sosial, budaya, hukum, ekonomi dan lain sebagainya, atau hanya
membatasi dalam soal-soal doktrin, dogma dan ritual serta peduli terhadap
dirinya sendiri. Agama perlu dijadikan dasar untuk merumuskan dan
memberlakukan pratek basic human rigths dan basic human needs yang
senyata-nyatanya, tidak sebagai simbol dan alat penguat yang berkaitan
dengan kepentingan sesaat, dan karena itu mudah disatu-padukan dengan
5
kekerasan. Tetapi agama yang menghargai perbedaan, menghargai
kepentingan kehidupan manusia jauh kedepan tidak sebatas perodisasi masa
pemerintahan, kekayaan atau jabatan dan kekuasaan para penguasa dan elit
pemerintahan atau pimpinan umat beragama (Effendi, 2010: XX-XXI).
Religius memiliki dasar yang kuat sebagai cerminan bagi setiap
orang yang mendalami keyakinannya. Religius merupakan dasar dari
pembentukan budaya religius, karena tanpa adanya penanaman nilai religius
tidak akan terbentuk karakternya.
Pendidikan humanisme religius sangat penting ditanamkan pada
manusia sejak usia dini sebagai dasar (pondasi) karena diusia dini adalah
waktu atau kesempatan baik yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya
sehingga akan membangun kebiasaan dan terbentuk karakternya saat dewasa.
Buah hasil saat dewasa adalah gambaran dimana manusia sudah ditanamkan
penidikan humanisme religius ketika masih usia dini.
K.H. Mahfud Ridwan dan Y.B. Mangunwijaya adalah tokoh yang
sangat berperan dalam memajukan masyarakat, terutama dalam mewujudkan
dan menjujung tinggi nilai-nilai humanisme religius dalam masyarakat.
Meskipun kedua tokoh berbeda dalam keyakinan bragama akan tetapi sama-
sama berprinsip dalam hidupnya yaitu humanisme religius. K.H Mahfud
Ridwan menolong membina mamajukan orang-orang miskin pedesaan,
diantaranya melalui mendirikan Wisma Santri mendirikan Yayasan Desaku
Maju dan lain sebagainya. Sedang Y.B Mangunwijaya menolong pada
masyarakat miskin perkotaan dngan mendirikan Sekolahan, mendirikan
6
bangunan rumah untuk menampung masyarakat miskin, kaum marjinal
diperkotaan yang berada dikolong-kolong jembatan dengan dikasih binaan.
Dengan uraian latar belakang diatas maka peneliti akan membahas terkait
dengan judul “Pendidikan Humanisme dalam Membangun Nilai-Nilai
Kemanusiaan Religius Perspektif K.H Mahfud Ridwan dan Y.B
Mangunwijaya”.
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas maka
permasalahan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa saja gagasan-gagasan K.H Mahfud Ridwan dan Y.B Mangunwijaya
mengenai pendidikan humanisme dalam membangun nilai-nilai
kemanusiaan religius.?
2. Bagaimana pendidikan humanisme dalam membangun nilai-nilai
kemanusiaan religius yang diimplementasikan oleh K.H Mahfud Ridwan
dan Y.B Mangunwijaya.?
C. Tujuan Penelitian
Berdasar rumusan masalah diatas maka peneliti merumuskan tujun
peneliti sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui gagasan-gagasan K.H Mahfud Ridwan dan Y.B
Mangunwijaya mengenai pendidikan humanisme dalam membangun nilai-
nilai kemanusiaan religius perspektif keduanya.
7
2. Untuk mengetahui proses dan implementasi dari gagasan pendidikan
humanisme dalam membangun nilai-nilai kemanusiaan religius perspektif
K.H Mahfud Ridwan dan Y.B Mangunwijaya.
8
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang nanti dapat di peroleh sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis
a. Sebagai salah satu sarana atau memperkaya sarana ilmu peniddikan
humanisme dalam membangun nilai-nilai kemanusiaan religius bagi
seluruh manusia.
b. Sebagai sumbangsih akademik dan civitas akademika sebagai tambahan
bahan bagi yang mempelajari pendidikan humanisme dalam
membangun nilai-nilai kemanusiaan religius.
2. Manfaat praktis
a. Dapat digunakan sebagai refrensi pemahaman humanisme dalam
membangun nilai-nilai kemanusiaan religius, dalam rangka
menciptakan kehidupan rukun, tentram, berwawasan pendidikan
humanisme religius.
b. Bagi masyarakat sebagai tambahan mempermudah dalam mengetahui
pendidikan humanisme dalam membangun nilai-nilai kemanusiaan
religius.
E. Penegasan Istilah
Untuk memudahkan atau menjaga agar tidak terjadi kesalah fahaman
serta langkah awal menyatukan presepsi terhadap pembahasan penelitian
yang berjudul, „‟Pndidikan Humanisme Dalam Membangun Nilai-Nilai
Kemanusiaan Religius Perspektif K.H Mahfud Ridwan dan Y.B
9
Mangunwijaya”, maka perlu diberikan pegnesahan istilah dari judul diatas
yaiu antara lain:
1. Pendidikan
Pendidikan adalah usaha upaya memanusiakan manusia, usaha
untuk mengembangkan potensi yang dimiliki setiap individu sehingga
dapat hidup secara optimal, baik sebagai pribadi maupun sebagai bagian
dari masyarakat serta memiliki nilai-nilai moral dan sosial sebagai
pedoman hidupnya. Dengan demikian pendidikan dipandang sebagai
bentuk usaha sadar yang bertujuan dan berusaha mendewsakan anak
(Sujana, 1991 :01). Pendidikn adalah proses pengubahan sikap dan tata
laku seorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia
melalui upaya pengajaran. Serta pelatihan, proses, dan cara mendidik (Tim
Penysun KBBI, 2007: 263).
2. Humanisme
Humanisme menegaskan bahwa manusia adalah ukuran segala
sesuatu. Kebesaran manusia harus dihidupkan kembali, yang selama ini
terkubur pada abad pertengahan. Oleh karena itu, warisan filsafat klasik
harus dihidupkan dan warisan abad pertengahan ditinggalkan. Kebebasan
manusia adalah salah satu tema pokok humanisme. Piko salah satu seorang
tokoh humanisme berkata manusia dianugrahi kebebasan memilih oleh
Tuhan dan menjadikannya pusat perhatian dunia. Dengan posisi itu dia
bebas memandang dan memilih yang terbaik.
10
Valla berpendapat bahwa, humanisme pada awalnya tidak anti
agama. Humanisme ingin mengurangi peranan institusi gereja dan
kerajaan yang begitu besar, sehingga manusia sebagai mahluk Tuhan
kehilangan kebebasannya.
Humanisme pada awal Renaisans berbeda dengan humanisme
pada abad ke-19 dan 20 kendati dalam beberapa hal ada kesamaanya.
Humanisme pada saat itu ingin meningkatkan perkembangan yang
harmonis dari sifat-sifat dan kecakapan alamiah manusia
(Bakhtiar,2015:148). Humanis adalah orang yang mengedepankan dan
memperjuangkan terwujudnya pergaulan hidup yang lebih baik
berdasarkan asas perikemanusiaan pengabdi kepentingan sesama umat
manusia. Aliran yang menghidupkan perikemanusiaan dan mencita-
citakan pergaulan hidup yang lebih baik (Tim Penyusun KBBI, 2007:
412).
3. Religius
Religius adalah sumber nilai-nilai etika, yang takpernah kering,
karena agama melihat hakekat manusia pada perbuatan baiknya. Dalam
agama, tinggi rendah seseorang tidak ditentukan oleh harta, ilmu ataupun
kekuasaan, tetapi ditentukan semua oleh perbuatan baik atau taqwanya,
dan seberapa jauh nilai-nilai etika menjiwai dan mewarnai segala
tindakannya. Oleh karena itu agama untuk manusia dengan sendirinya,
etika atau moralitas menjadi salah satu ajaran yang amat penting dalam
agama apapun, dan dari sudut etika maupun moralitas. Rasanya semua
11
agama sepakat mempunyai pandangan yang sama, semua agama
memerintahkan pemeluknya berbuat baik dan melarang berbuat jahat.
Dalam konsep filsafat Islam, ada empat hal pokok yang
dibicarakan agama, yaitu Tuhan, manusia, alam dan kebudayaan. Etika
agama pada dasarnya mengatur manusia dengan Tuhannya, manusia
dngan sesamanya dan dengan dirinya, hubungan manusia dengan alam
sekitarnya serta hubungan manusia dengan kebudyaan ciptaanya (Asy‟ari,
2001: 17). Religus, kepercayaan kepada Tuhan, kepercayaan akan adnaya
kekuatan adikodrati (kepcayaan animisme, dinamisme) agama. Kesholihan
dapat di peroleh melalui pendidikan masyarakat terasing itu, juga
mengenal terentu, misal dengan mengubah perilaku religius bersifat
keagamaan (Tim Penyusun KBBI, 2007: 944).
4. Perspektif
Cara melukiskan suatu benda pada permukaan yang mendatar
sebagaimana yang terlihat oleh mata dengan tiga dimensi panjang, lebar
dan tinggiya (Tim Penyusun KBBI, 2007: 846).
5. K.H Mahfud Ridwan dan Y.B Mangunwijaya
K.H Mahfud Ridwan dan Y.B Mangunwijaya, adalah dua tokoh
yang dalam hidupnya sama-sama saling mengedepankan nilai-nilai
humanisme religius, terlihat dalam kehidupan bermasyarakat sangat peduli
dengan rakyat kecil, menolong orang-orang lemah masyarakat yang
termarjinalkan, memajukan masyarakat yang masih tertinggal. Dan dalam
berkeyakinan dengan agama yang dianutnya atau religius, sosok kedua
12
tokoh tersebut sangat baik dalam menjujung nilai-nilai religius untuk
dijadikan ukuran dalam bertindak dan bersikap, sehingga kereligiusannya
yang menjadi cerminan sebagai dasar segala aktifitasnya.
F. Sistematika penulisan
Untuk memberikan gambaran yang jelas dan menyeluruh sehingga
pembaca nantinya dapat memahami tentang skripsi ini dengan mudah, penulis
berusaha memberikan sistematika penulisan dengan penjelasan secara garis
besar. Yaitu skripsi ini terdiri dari lima bab yang masing-masing saling
berhubungan sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan. Yaitu merupakan gambaran secara global berisi
dari seluruh isi skripsi mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegesaan istilah, dan sistematika
penulisan.
BAB II Kajian Pustaka. Pada bab ini penulis membahas landasan
teoritis dari karya tulis ini beserta kajian pustaka terdahulu yang berkaitan
dengan judul penelitian ini.
BAB III Metode Penelitian. Bab ini berisi tentang metode penelitian
yang dipakai oleh penulis yang meliputi jenis penelitian, lokasi dan waktu
penelitian, sumber data, prosedur pengumpulan data, analisis data dan
pengecekan keabsahan data.
BAB IV Paparan dan Analisis Data. Bab ini berisi tentang paparan
data hasil penelitian yang kemudian dianalisa oleh penulis secara terperinci.
13
BAB V Penutup. Bab ini berisi tentang kesimpulan, saran, daftar
pustaka serta lampiran- lampiran yang mendukung penelitian ini.
14
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Pengertian Pendidikan
Pendidikan berasal dari kata education yang dapat diartikan
upbringing (pengembangan) teaching (pengajaran) intraction (perintah)
pedagogy (pembiasaan kepribadian) raising of animal (menumbuhkan)
(Nata, 2011: 14).
Dalam bahasa Arab kata pendidikan merupakan terjemahan dari kata
al-tarbiyah yang dapat diartikan proses penumbuhan dan mengembangkan
potensi yang terdapat pada diri seorang baik secara fisik, psikis, sosial,
maupun sepiritual. Selain itu kata tarbiyah juga dapat berarti
menumbuhkan dan mendewasakan peserta didik memperbaiki (aslaha)
menguasai, urusan, memelihara, merawat, memperindah, memberi makna,
mengasuh, memilki, mengatur, dan menjaga kelangsungan maupun
ekstitensi seseorang. Kata al-tarbiyah sebagaimana diatas juga mencakup
pengertian al-ta’lim (pengajaran tentang ilmu pengetahuan) al-ta’dib
(pendidikan budi pekerti) al-tahdzib (pendidikan budi pekerti) al-
mauidhah (nasihat tentang kebaikan) al-riyadhah (latihan mental
sepiritual) al-tazkiyah (pendidikan kebersihan diri) al-talqin (bimbingan
dan arahan) al-tadris (pengajaran) al-tafaqquh (memberikan pengertian
15
dan pemahaman) al-tabayun (penjelasan) al-tazkirah (memberikan
peringatan) dan al-irsyad (memberikan bimbingan) (Nata, 2011: 15).
Pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara yaitu upaya untuk
memajukan perkembangan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran
(intlektual), dan jasmani anak-anak. Dalam artian, supaya kita dapat
memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan
selaras dengan alam dan masyarakatnya. Oleh karena itu ada beberapa hal
yang harus diperhatikan seperti:
a. Segala syarat usaha dan cara pendidikan harus sesuai kodrat dan
keadaannya.
b. Untuk mengetahui garis hidup yang tetap dari suatu bangsa perlu
mengetahui jaman yang telah lalu, mengetahui menjelmanya jaman itu
kejaman sekarang, mengetahui jaman yang berlaku saat ini, untuk
dapat memahami jaman yang akan datang (Kumalasari, 2010: 51).
Pendidikan merupakan persoalan hidup manusia sepanjang hayatnya,
baik sebagai individu, kelompok sosial maupun sebagai bangsa.
Pendidikan dimasadepan perlu dikembangkan agar dapat menjadi lebih
responsif terhadap tuntutan masyarakat dan tantangan yang akan dihadapi
diduina ini, dan dimasa yang akan datang (Fathurrohman, 2015: 2).
Pendidikan adalah usaha pembentukan pola pikir terhadap peserta
didik, secara kodrati bersifat aktif dan kreaktif menjalani proses
pembentukan dan perwujudan diri untuk merangsang perkembangan yang
16
selalu aktif, peka, resekptif dan responsif terhadap ransangan (Slamet,
2005: 23).
Pendidikan yaitu suatu usaha sadar dan terrencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
sepiritual keagamaan. Pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan ahlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara. Karena pendidikan merupakan tugas dan kewajiban bersama
antara keluarga, masyarakat dan pemerintah (Fathurrohman, 2015:3).
Pendidikan diartikan dalam maha luas yaitu, pendidkan sama dengan
hidup. Pendidikan adalah segala situasi yang mempengaruhi pertumbuhan
seseorang. Pendidikan adalah pengalaman belajar. Oleh karena itu,
pendidikan dapat pula didefinisikan sebagai keseluruhan pengalaman
belajar yang tidak terbatas oleh ruang waktu dimanapun setiap orang dapat
belajar sepanjang hidupnya. Pendidikan berlangsung tidak dalam batas
usia, tetapi berlangsung sepanjang hidup sejak lahir bahkan sejak awal
hidup ketika masih dalam kandungan hingga mati (Mudyahardjo,
2010:46).
Definisi pendidikan menurut pasal 1, ayat (1) ditegaskan bahwa
bentuk kegiatan pendidikan adalah usaha sadar, yang dalam penjelasan
umum menurut undang-undang nomor 2 Tahun 1989, ada tiga unsur
pokok dalam kegiatan pendidikan yaitu:
17
a. Bimbingan,
b. Pengajaran dan
c. Latihan.
Bimbingan adalah jenis pendidikan yang terutama tertuju pada
pertumbuhan kepribadian manusia Indonesia yang bertaqwa kepada Tuhan
yang Maha Esa, memelihara budi pekerti kemanusiaan, dan memegang
teguh cita-cita moral rakyat yang luhur (Mudyahardjo, 2008: 57).
Pengajaran adalah jenis kegiatan pendidikan yang utama tertuju pada
pengembangan kemampuan intelektual dalam menguasai ilmu teknologi.
Sedangkan latihan adalah jenis kegiatan pendidikan yang terutama
bertujuan mempolakan kinerja atau tampilan kerja yang sesuai dengan
standar kerja yang diharapkan (Mudyahardjo, 2008: 57).
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahawa
pendidikan merupakan tugas pokok yang harus dilakuakan oleh beberapa
pihak yang bersangkutan antara diri sendiri, orang tua, masyarakat dan
pemerintah. Untuk mendapatkan hasil yang baik yang sesuai dengan apa
yang diharapkan, baik didapat dari sekolah, lingkungan hidup
(masyarakat) dan di tempat lain yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu,
sejak lahir hingga akhir hayatnya.
2. Pengertian Humanisme
Makna kemanusiaan adalah proses menjadi manusiawi dalam
interaksi antar sesama manusia dengan konteks dan tantangan yang terus
berkembang (Michael Sastrapratedja SJ: 2006). Menurutnya, dalam situasi
18
pluralisasi kehidupan dan kebudayaan sekarang, tidak mungkin
dirumuskan satu corak humanisme. Satu hal yang tak bisa ditiadakan
dalam humanisme ialah harkat dan martabat manusia harus dihormati dan
dikembangkan. Dalam hal ini filsafat berfungsi menafsirkan pengalaman
manusia dan berbagai tradisi budaya. Dari sana tercipta pemahaman
antara budaya yang pada gilirannya akan memberikan kontribusi bagi
peningkatan hidup dan martabat manusia. Dan makna humanisme menjadi
lebih ketara dan berfungsi justru pada saat konsep humanisme
diperdebatkan. Makna itu selalu "menggelincir'' dari pengertian yang tetap
(Subaidi, 2014: 12).
Satu-satunya yang berada dalam arti yang sesungguhnya adalah
beradanya manusia. Keberadaan benda-benda terpisah dengan yang lain,
sedang beradanya manusia, mengambil tepat ditengah-tengah dunia
sekitarnya (Hakim, 2008: 334). Keberadaan manusia disebut desein
(berada ditempat). Berada artinya menempati atau mengambil tempat.
Untuk itu, manusia harus keluar dari dirinya dan berdiri ditengah-tengah
segala yang berada keberadaan manusia yaitu berada di dunia maka harus
memberi tempat kepada yang lain disekitarnya, ia dapat bertemu dengan
benda-benda lain dan dengan sesama manusia, dapat bergaul dan
berkomunikasi dengan baik. Karena itu manusia terbuka dengan dunianya
dan bagi sesamanya. Keterbukaan ini bersandar atas tiga hal asasi, yaitu:
befundicheit (kepekaan), verstehen (memahami) dan rede (kata-kata,
bicara) (Hakim, 2008: 335).
19
Humanisme adalah suatu cabang etika yang asal usulnya lahir pada
awal abad ke-16, seiring dengan lahirnya reformasi didunia Kristen.
Kebangkitan humanisme yang terdahulu ditandai dengan datangnya
gagasan mengenai kebebasan manusia untuk menentukan nasibnya secara
sendiri yang dikemukakan oleh Erasmus.
Humanisme juga muncul sebagai anak dari renaisans. Masing-
masing aliran tersebut mempunyai target dan tujuan yang berbeda. Jika
rasionalisme mempunyai target untuk menentukan ekstitensi akal dan
liberalisme berada untuk membuka ladang persaingan yang kompetitif,
maka humanime secara sederhana dapat dipahami mengukuhkan sisi
kemanusiaan (Hanafi, 2007: V).
Humanisme dapat diartikan sebagai martabat (dignity) dan nilai
(volue) dari setiap manusia, dan semua upaya untuk meningkatkan
kemampuan-kemampuan alamiah (fisik atau non fisik) secara penuh.
Humanisme dapat dinamakan pula Neo Hmanisme, Neo Humanisme
berkembang pada abad ke-18 ketika para seniman, filsuf dan kaum
intelektual melihat lagi masa Yunani dan Romawi klasik, konsep
humanisme dipandang mempunyai kesamaan dengan konsep Yunani kuno
tentang bentuk tubuh dan pikiran yang harmonis (Suseno, 2007: 209).
Pada permulaan abad ke-19 dan seterusnya, humanisme dipandang
sebagai perilaku sosisal politik yang ditunjukkan untuk memenuhi
kebutuhan lembag-lembaga politik dan hukum yang sesuai dengan
gagasan martabat kemanusiaan. Sejak saat itu jelas bahwa humanisme
20
telah memasuki tahap etika poltik modern saat ini, konsep humanisme
tidak dihubungkan dengan orang-orang Eropa yakni dengan kebudayaan
Romawi dan Yunani kuno. Humanisme berkembang menjdi gerakan lintas
budaya dan universal, dalam arti berbagai sikap dan kualitas etis dari
lembag- lembaga politik yang bertujuan membentengi martabat
kemanusiaan (Suseno, 2007: 210).
Humanime berasal dari kata “human” bersifat manusiawi seperti
manusia yang dibedakan dari binatang, jin dan malaikat.
berperikemanusiaan baik budi, luhur budi, dan sebagainya. “humanis”
orang yang mendambakan dan memperjuangkan terwujudnya pergaulan
hidup yang lebih baik, berdasarkan asas kemanusiaan pengabdi
kepentingan sesama umat manusia, penganut paham yang menganggap
manusia sebagai objek terpenting (Tim Penyusun KBBI, 2007: 411).
Humanisasi penumbuhan rasa perikemanusiaan. “humanisme” dapat
disimpulkan sebagai aliran yang bertujuan mengedepankan
perikemanusiaan dan mencita-citakan perjalanan hidup yang lebih baik,
paham yang menganggap manusia sebagai objek terpenting. Aliran zaman
reaisance yang menjadikan secara klasik (dalam bahasa latin Yunani)
sebagai dasar perbedaan manusia (Tim Penyusun KBBI, 2007: 412).
a. Humanisme Sekuler
Dalam bidang tertentu, kata humanisme juga mengalami perubahan
makna ketika dipakai oleh para filsuf dengan periode historis yang
berbeda. Misalnya pada zaman pencerahan (Enlightment), yang
21
ditandai dengan adanya upaya bebas dari paham tradisional bahwa
manusia hanya dapat dipahami melalui konteks tatanan Illahi dan
iman, paham humanisme juga menunjuk kepada proyek membangun
kehidupan manusia dan masyarakat menurut tatanan dan aturan akal
budi. Proyek ini juga mencakup analilis mengenai kemampuan
manusia untuk memahami realitas, yakni melalui akal budi, seperti
yang dilakukan oleh Immanuel Kant (Cahya, 2004: 17).
Humanisme sekuler yang berawal dari gerakan sekulerisme ini
mengurus dan mengelola kehidupan tanpa mengaitkannya dengan
urusan-urusan religius, adikodrati dan keakhiratan, melainkan
mengarahkan diri pada konteks duniawi saja (Sugiharto, 2008: 85).
Sekulerisme awalnya dicetuskan sebagai sistem etika dan filsafat
formal oleh J. Holoyake tahun 1846 di Inggris. Dasar pemikirannya
adalah kebebasan berpikir sebagai hak manusia demi kepentingan
manusia sendiri (Sugiharto, 2008: 86).
Kata sekuler sendiri berasal dari bahasa Inggris (secular) yang
berarti yang bersifat duniawi, fana, temporal, tidak bersifat spiritual,
abadi dan sakral, kehidupan diluar biara, dan sebagainya. Menurut para
peneliti, kata secular berasal dari kata saeculum, sebuah kata latin
yang berarti satu abad lebih sedikit, atau yang berarti abad sekarang.
Pengertian lain menyebutkan sebagai pembebasan manusia pertama-
tama dari agama dan metafisika yang mengatur nalar dan bahasanya.
Ada juga yang mendefinisikanya sebagai suatu proses yang terjadi
22
dalam segala sektor kehidupan masyarakat dan kebudayaan yang
terlepas dari dominasi lembaga- lembaga dan simbol-simbol
keagamaan (Praja, 2003: 188).
Humanisme sekuler sendiri tidak selalu menekankan bahwa
kebaikan hidup didunia ini adalah kebaikan yang juga benar-benar
real. Usaha untuk memperoleh kebaikan hidup adalah dengan
melakukan kebaikan pula. Ketika manusia masih hidup didunia,
manusia sebenarnya bisa mendapatan kehidupan yang baik. Manusia
tidak seharusnya hidup dalam kemiskinan, kebodohan, ketertindasan
dan keserakahan, melainkan harus hidup untuk memajukan
kehidupannya dengan bijaksana dan penuh belas kasih. Humanisme
sekuler tidak selalu menentang agama namun tidak juga menentang
adanya cahaya kebenaran, kebaikan dan adanya bimbingan dari
kenyataan real di alam ini (Sugiharto, 2008: 90).
Humanisme sekuler meyakini bahwa semua orang pada dasarnya
mampu menggali pengalaman hidupnya sendiri dan menarik banyak
pelajaran, nilai dan makna yang penting dari petualanganya.
Petualangan yang akan membawa pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip
yang luhur mengenai kebenaran, kebaikan, keindahan, kematangan,
kesucian dan sebagainya (Sugiharto, 2008: 90).
b. Humanisme Renaisans
Pada abad ke-14 adalah zaman yang dikenal sebagai zaman krisis
abad pertengahan dan berlangsung hingga abad ke-14. Pada abad ke-
23
16 ini dikuasai oleh sebuah gerakan yang bernama Renaisans. Arti
kata Renaisans adalah kelahiran kembali, secara historis renaisans
adalah suatu gerakan yang meliputi suatu zaman yang orang kala itu
merasa dirinya telah dilahirkan kembali dalam keadaban. Zaman ini
dapat dikatakan bahwa orang pada saat itu merujuk kembali kepada
keindahan sumber-sumber murni yang dihasilkan oleh pengetahuan
sehingga dapat menghasilkan keindahan. Gerakan ini dimulai pada
pembaharuan di bidang kerohanian, kemasyarakatan dan kegerajaan
yang telah dimulai pada pertengahan abad ke-16 di Italia, pergerakan
ini dilakukan oleh para orang humanis Italia (Hadiwjiono, 2011: 11).
c. Humanisme Modern
Pendidikan humanis memiliki dasar filosofis yang berbeda. Teori
filsafat pragmatisme, progresivisme, dan eksistensialisme merupakan
peletak dasar munculnya teori pendidikan humanistik pada tahun 1970.
Ketiga teori filsafat ini memiliki karakteristik masing-masing dalam
menyoroti pendidikan. Ide utama pragmatisme dalam pendidikan
adalah memelihara keberlangsungan pengetahuan dengan aktifitas
yang dengan sengaja mengubah lingkungan. Pragmatisme memandang
pendidikan (sekolah) seharusnya merupakan kehidupan dan
lingkungan belajar yang demokratis, yang menjadikan semua orang
berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan sesuai realitas
masyarakat. Pengaruh pemikiran ini sangat dirasakan dan bahkan
24
menjadi faktor utama munculnya teori atau pemikiran humanisme dan
progresivisme (Wahono, 2001: 14).
Kuatnya pengaruh arus kedua aliran tersebut muncullah Abraham
Harold Maslow (1908-1970) yang mencoba memformulasikan
gagasan-gagasan dua tokoh pendahulunya. Maslow yang sebelumnya
banyak belajar dari pemikiran-pemikiran kedua tokoh diatas, Sigmund
Freud dan John B. Watson, pada gilirannya memperkenalkan sebuah
metode psikologi yang dinamai psikologi madzhab ketiga atau dikenal
dengan sebutan psikologi humanistik (psychology of being). Sebuah
upaya untuk mengembangkan suatu pendekatan psikologi baru yang
lebih positif mengenai manusia, nilai-nilai tertinggi, cita-cita,
pertumbuhan dan aktualisasi potensi manusia (Komarudin, 2009: 63 ).
Sedangkan pendidikan yang humanistik memandang manusia
sebagai manusia, yakni makhluk hidup ciptaan Tuhan dengan fitrah-
fitrah tertentu. Sebagai makhluk hidup, ia harus melangsungkan,
mempertahankan, dan mengembangkan hidupnya. Pendidikan
humanistik adalah pendidikan yang mampu memperkenalkan
apresiasinya yang tinggi kepada manusia sebagai makhluk Allah SWT
yang mulia dan bebas serta dalam batas-batas eksistensinya yang
hakiki, dan juga sebagai pemimpin dibumi (Makin, 2005: 22). Dengan
demikian, pendidikan humanistik bermaksud membentuk manusia
yang memiliki komitmen humaniter sajati, yaitu manusia yang
memiliki kesadaran, kebebasan, dan tanggung jawab sebagai manusia
25
individual, namun tidak terangkat dari kebenaran faktualnya bahwa
dirinya hidup ditengah masyarakat. Dengan demikian, ia memiliki
tanggung jawab moral kepada lingkungannya, berupa kepekaan
kepedulian untuk mengabdikan dirinya demi kemaslahatan
masyarakatnya (Makin, 2005: 23).
Paradigma humanisme bependapat: Pertama, perilaku manusia itu
dipertimbangkan oleh multiple intelligence-nya. Bukan hanya
kecerdasan intelektual semata, tetapi juga kecerdasan emosional dan
spiritual. Dua kecerdasan terakhir tidak kalah pentingnya dalam
menentukan keberhasilan hidup anak didik. Kedua, anak didik adalah
makhluk yang berkarakter dan berkepribadian serta aktif dan dinamis
dalam perkembangannya, bukan benda yang pasif dan yang hanya
mampu mereaksi atau merespon faktor eksternal Ia memiliki potensi
bawaan yang penting. Karena itu pendidikan bukan membentuk anak
didik sesuai dengan keinginan guru, orangtua atau masyarakat,
melainkan pembentukan kepribadian itulah yang paling memegang
peran penting. Ketiga, berbeda dengan behaviorisme yang lebih
menekankan to have dalam orientasi pendidikannya, humanisme justru
menekankan to be dan aktualisasi diri (Thobroni, 2008: 122).
d. Humanisme Religius
Humanisme religius merupakan humanisme yang bercorak
teosentri (Tuhan sebagai pusat segalanya). Humanisme religius bisa
dari pihak Islam dan Kristen maupun dari agama lain. Humanisme ini
26
berkembang untuk mengimbangi humanisme sekuler yang
berkembang didunia, karena apabila humanisme sekuler tidak
diimbangi maka peran agama akan hilang secara perlahan. Marcel A
Boisard berpendapat bahwa Islam lebih dari sekedar ideologi, karena
Islam merupakan humanisme transendental yang diciptakan
masyarakat khusus dan melahirkan suatu tindakan moral yang sukar
untuk ditempatkan dalam rangka yang dibentuk oleh filsafat Barat.
Humanisme tidak mengesampingkan monoteisme mutlak yang
sebenarnya dan memungkinkan untuk memperkembangkan kebajikan
(Marscel, 1982: 151).
Humanisme dalam pandangan Islam harus dipahami sebagai suatu
konsep dasar kemanusiaan yang tidak berdiri dalam posisi bebas. Hal
ini mengandung pengertian bahwa makna penjabaran memanusiakan
manusia itu harus selalu terkait secara teologis. Dalam konteks inilah
al-Qur‟an memandang manusia sebagai wakil Allah SWT di Bumi,
untuk memfungsikan ke-khalifah-annya, Allah SWT telah melengkapi
manusia dengan intelektual dan spiritual. Manusia memliliki kapasitas
kemampuan dan pengetahuan untuk memilih, karena itu kebebasan
merupakan pemberian Allah SWT yang paling penting dalam upaya
mewujudkan fungsi kekhalifahannya (Hanafi, 2007: IX).
Kisah dan kejadian Adam a.s dalam al-Qur‟an adalah pernyataan
humanisme yang paling dalam dan maju. Adam mewakili seluruh
manusia dibumi, ia adalah esensi umat manusia, manusia dalam
27
pengertian filosofis dan bukan dalam pengertian biologis (Syari‟ati,
1982:111).
Menurut Nurcholis Madjid bahwa agama Ibrahim terdapat
wawasan kemanusiaan yang berdasarkan konsep dasar bahwa manusia
dilahirkan dalam keadaan fitri, karena fitrahnya tersebut manusia
memiliki sifat kesucian, yang kemudian dinyatakan dalam sikap-sikap
yang suci dan baik kepada sesamanya. Dan hakikat dasar
kemanusiannya itu merupakan sunnatullah karena adanya fitrah
manusia dari Allah dan perjanjian primordial antara manusia dengan
Allah (Madjid, 1995: 51).
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa humanisme
ialah memenusisakan manusia, saling menghormati menghargai satu
sama lainnya tanpa memandang suku, ras maupun agama, sehingga
dalam hidup bermasyarakat dan di manapun akan terasa nyman tanpa
ada kekhawatiran.
3. Pendidikan Humanimse
Pendidikan telah berkembang dengan mengadopsi prinsip-prinsip
pendidikan dari dua aliran, yaitu progresivisme dan eksistensialisme.
Tetapi pendidikan humanis juga memperoleh dukungan dari para ahli
psikologi humanistik dan ahli pendidikan kritis. Prinsip-prinsip pendidik
humanis yang diambil dari prinsip progresivisme adalah prinsip
pendidikan yang berpusat pada anak (child centered), peran guru yang
tidak otoriter, fokus pada keterlibatan dan aktivitas siswa, aspek
28
pendidikan yang demokratis dan kooperatif. Prinsip-prinsip pendidikan ini
adalah sebagai reaksi terhadap pendidikan tradisional yang menekankan
pada metode pengajaran formal yang kurang memberi kebebasan pada
siswa sehingga siswa menjadi tidak kreatif yang sekadar mengikuti
program pendidikan yang ditetapkan oleh orang dewasa. Prinsip-prinsip
pendidikan tradisional yang ditolak humanis adalah:
a. Guru yang otoriter,
b. Metode pengajaran yang menekankan pada buku teks semata,
c. Belajar pasif yang menekankan mengingat data atau informasi yang
diberikan guru,
d. Pendidikan yang membatasi pada ruang kelas sehingga terasing dari
realita kehidupan sosial dan
e. Penggunaan hukuman fisik atau rasa takut sebagai bentuk pembangun
disiplin.
Prinsip-prinsip pendidikan humanis yang diambil dari pandangan
progresivisme di atas lebih menekankan individu sebagai satuan sosial
(anggota masyarakat). Sedangkan prinsip pendidikan humanis yang
diambil dari pandangan eksistensialisme adalah menekankan pada
keunikan siswa sebagai individu. Setiap siswa dipandang sebagai individu
yang memiliki keunikan yang berbeda dengan siswa lain. Perbedaan
keunikan individu siswa dalam kegiatan pendidikan dan belajar harus
dapat tampak dan dihargai oleh pendidik atau guru. Pandangan
eksistensialis yang diambil oleh pendidik humanis adalah adanya
29
kemerdekaan atau kebebasan dalam diri individu untuk memilih apa yang
dianggap benar bagi dirinya, untuk dapat membangun dirinya menjadi (to
become) seperti apa yang diinginkan (Sutiyono, 2009: 3).
Kelahiran sebagai wujud keberadaan (eksistensi) individu di dunia
adalah titik awal bagi individu untuk mengembangkan esensi dirinya.
Esensi diri manusia dibangun melalui proses kehidupan di mana individu
memiliki kebebasan untuk memilih dan dia harus bertanggung jawab
terhadap apa yang telah dipilih. Individu akan terbentuk menjadi apa
adalah sesuai dengan pilihan bebas yang diambil, yang selanjutnya
terbentuk menjadi siapa dirinya, sebagai dokter, insinyur, atau guru adalah
sebagai akibat dan pilihan bebas yang dia lakukan. Nilai-nilai keagamaan
berada dalam diri individu yang memperoleh pemaknaan oleh individu
masing-masing, tidak ada otoritas diluar diri individu yang dapat
memberikan makna. Apabila individu melakukan perubahan makna akan
pengetahuan, nilai-nilai keagamaan, maka hal itu dilakukan oleh dirinya
dengan rasa sukarela dan bukan karena paksaan dan otoritas diluar dirinya.
Oleh karenanya, komunikasi atau dialog menjadi instrumen penting bagi
perubahan pemaknaan akan pengetahuan, nilai-nilai maupun keagamaan.
Dalam model pendidikan tradisional, komunikasi atau dialog yang bersifat
interaksi dua arah, dari guru pada siswa dan siswa pada guru, telah diubah
menjadi bentuk perintah atau penyampaian informasi yang satu arah.
Dalam hal ini, hak-hak siswa sebagai individu yang memiliki kebebasan
atau otoritas atas dirinya, telah dirampas oleh guru. Pengetahuan dan nilai
30
yang ditangkap siswa menjadi tidak orisinal atau tidak otentik, tetapi
sekadar pengetahuan yang tidak memiliki makna bagi individu dan
kehidupannya. Hanya dengan metode dialog maka pengetahuan dan nilai-
nilai yang dijadikan materi (isi) dialog tersebut dapat membantu mengubah
pengetahuan subjektif menjadi pengetahuan objektif (Sutiyono, 2009: 4).
Dalam metode dialog terjadi proses komunikasi yang setara antara
individu satu dengan individu lain, tidak ada unsur pemaksaan sehingga
memberi kebebasan bagi setiap individu untuk mengambil atau tidak
mengambil pengetahuan dan nilai-nilai. Hal ini juga sesuai dengan prinsip
belajar yang disampaikan Rogers, yaitu situasi belajar yang paling efektif
meningkatkan belajar yang bermakna adalah apabila:
a. Situasi yang mengancam diri siswa dikurangi seminimal mungkin,
b. Perbedaan persepsi terhadap objek pemahaman diizinkan atau
difasilitasi.
Paulo Freire menjelaskan dialog adalah sebagai cara yang menusiawi
untuk memaknai dunia, dalam arti juga untuk memahami dan memaknai
pengetahuan dan nilai-nilai. Dia mengatakan “dialog adalah pertemuan
antar orang (manusia), diperantarai oleh dunia, agar memahami
(memaknai) dunia”. Apabila ini diterapkan pada situasi belajar maka
dialog adalah perjumpaan antara guru dan siswa, diperantarai oleh materi
(isi) pelajaran, agar dapat memahami (memaknai) materi pelajaran. Dialog
tidak akan terjadi di antara mereka, di mana yang satu merampas hak
orang lain (penindas) dan yang lain dirampas haknya (tertindas). Atau
31
dengan bahasa lain bahwa dialog tidak akan terjadi antara guru yang telah
merampas hak kebebasan siswa, dengan siswa yang telah dirampas hak
kebebasannya oleh guru.
Terakhir, Friere mengatakan dialog tidak mungkin terjadi apabila
tidak melibatkan berfikir kritis. Manusia dan dunianya sebagai unsur yang
tidak terpisahkan, sebagaimana guru dan murid dengan materi pelajaran
sebagai unsur yang tidak terpisahkan. Pemahaman atau pemaknaan
terhadap dunia atau materi pelajaran dengan tujuan untuk melakukan
perubahan kehidupan tidak dapat dilakukan tanpa berfikir kritis. Dalam
proses pendidikan atau belajar dengan tujuan untuk perubahan kehidupan
maka guru dan siswa harus melakukan pemahaman atau pemaknaan
dengan menggunakan pemikiran kritis (Sutiyono, 2009: 5).
Dari beberapa teori diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
pendidikan humanisme adalah penanaman nilai-nilai perikemanusiaan
yang saling memahami, saling tolong-menolong, saling melengkapi
menjaga hak-hak asasi manusia, menjaga martabat manusia, menjaga
hubungan dengan sebaik-baiknya, serta baur-membaur tanpa ada
kesenjangan sedikitpun.
4. Pendidikan Religius
Pendidikan atau belajar pada awalnya cenderung merupakan bagian
dari kegiatan kehidupan keberagaman dan kebudayaan. Manusia dalam
kehidupan bermasyarakat di samping menciptakan organisasi untuk
mengatur kerja sama sebagai alat untuk mencapai tujuan bersama, juga
32
mengembangkan aturan-aturan untuk mengatur perilaku di antara warga
masyarakat. Keyakinan dan nilai-nilai keagamaan adalah inti yang menjadi
dasar bagi pengembangan aturan masyarakat. Selama ini kebanyakan umat
Islam disibukkan oleh aktivitas-aktivitas keilmuan yang tidak untuk
membuktikan bahwa Islam itu dinamis, kreatif, akomodatif, pluralistik,
berwawasan ke depan (prospektif), berorientasi kepada kualitas dan
kemajuan, melainkan sebaliknya umat Islam sibuk mengkaji Islam yang
berwawasan kerdil, kuno, mundur, terbelakang dan kurang maju.
Walaupun dalam kehidupan modern sumber nilai bergeser lebih ke arah
penggunaan nilai keilmuan yang lebih objektif seperti kemanusiaan dan
demokrasi, tetapi nilai keagamaan tetap tidak dapat dipisahkan dari
perilaku nyata kehidupan individu dan masyarakat (Hakim, 2008: 120).
Nilai-nilai keagamaan sering secara tidak sadar tetap menjadi
kekuatan yang laten bagi pilihan tindakan atau perilaku manusia dan
masyarakat. Karenanya, pandangan keagamaan memancarkan tatanan
kehidupan sosial seperti keadilan, keterbukaan dan demokrasi.
Sebagaimana fenomena yang bisa kita baca dalam referensi klasik, maka
kita akan menemukan keadaan Islam yang mendekati ideal. Oleh karena
itu, memahami masa klasik adalah cara terbaik.
Pendidikan keagamaan secara klasik cenderung memiliki tujuan
untuk membangun dalam diri manusia suatu kondisi moralitas yang baik
atau karakter yang mulia. Ungkapan-ungkapan dalam ajaran agama
memberikan gambaran akan hal tersebut, seperti dalam hadis:
33
انما بعثت ال تمم مكا رم االخال ق
Artinya: "Tidak Kami utus kamu Muhammad, kecuali untuk meyempurnakan akhlak”.
Secara umum, para Nabi dilahirkan dalam kondisi masyarakat
jahiliyah, yaitu masyarakat yang warganya mengalami kerusakan karakter,
sehingga kehidupan penuh dengan perilaku buruk, penghancuran hak-hak
manusia, penindasan atau perampasan secara semen-amena, pengkhianatan
dan kedengkian dalam hubungan, arogansi yang berkuasa (kaya) dan
ketertindasan yang lemah dan miskin. Tujuan diangkatnya kenabian secara
umum adalah memperbaiki moralitas atau akhlak manusia yang terjadi
pada zamannya (Hakim, 2008: 120).
Dalam kehidupan modern, tujuan pendidikan lebih dirumuskan
menggunakan nilai-nilai keilmuan yang bersifat ilmiah. Seperti gambaran
rumusan tujuan pendidikan yang disampaikan oleh Maslow (tokoh
psikologi humanistik) yang merumuskan tujuan pendidikan sebagai
pencapaian aktualisasi diri, yaitu suatu kondisi di mana individu dapat
menggunakan potensi-potensi (bakat, talenta, kapasitas) dirinya secara
penuh, sehingga dapat mengembangkan kehidupannya yang lebih
produktif. Ibarat sebatang pohon yang tumbuh dan berkembang, mulai dari
biji yang tumbuh dari dalam tanah, kemudian tumbuh batang dan daun
yang subur, selanjutnya pohon berbunga indah dan menarik, yang pada
akhirnya menghasilkan buah yang sangat bermanfaat bagi kehidupan
manusia maupun binatang. Mungkin dapat dikatakan pohon itu telah
beraktualisasi diri pada waktu pohon itu berbuah.
34
Rumusan tujuan pendidikan Maslow tersebut apakah bertentangan
atau berbeda dengan rumusan tujuan pendidikan keagamaan yang klasik
seperti di atas telah disampaikan. Teori pendidikan Maslow, memang tidak
lepas dari teori kebutuhan hidup manusia yang dibangun secara ilmiah atau
berdasarkan nilai-nilai dan pengetahuan (value of science). Berdasarkan
nilai-nilai pengetahuan, dia merumuskan kebutuhan manusia bersifat
hirarkis atau berbentuk piramida, berangkat dari kebutuhan dasar yang
bersifat umum bagi semua menusia dan juga binatang, yaitu kebutuhan
akan kehidupan fisik (material). Setiap manusia atau juga binatang secara
alamiah membutuhkan kebutuhan hidup seperti makan, minum, udara
segar, istirahat, tempat tinggal bahkan juga seksual. Pemenuhan kebutuhan
dasar ini yang menjadi dorongan dasar bagi manusia untuk dapat menjaga
eksistensinya atau memenuhi kelangsungan hidupnya. Karena begitu
pentingnya kebutuhan fisik (material) untuk memenuhi kelangsungan
hidup manusia, maka kebutuhan ini dipandang sebagai kebutuhan melebihi
segala-galanya. Menurut Maslow manusia juga memiliki kebutuhan lain,
yaitu kebutuhan rasa aman dan juga kasih sayang (sosial), tetapi kebutuhan
ini dikatakan baru dibutuhkan untuk dicapai apabila kebutuhan dasar fisik
(material) sudah dapat dicukupi (dipenuhi). Sebaliknya apabila kebutuhan
dasar fisik belum dapat terpenuhi maka kebutuhan rasa aman dan kasih
sayang tidak akan dapat dipenuhi. Begitu juga kebutuhan manusia yang
lebih tinggi harga diri, berkembang dan pencapaiannya sangat tergantung
pada dapat atau tidaknya kebutuhan di bawahnya dipenuhi. Aktualisasi diri
35
sebagai kebutuhan tertinggi bagi kehidupan manusia merupakan harapan
atau cita-cita semua manusia untuk dapat hidup produktif, tetapi belum
tentu semua manusia dapat mencapainya (Hakim, 2008: 121).
Rumusan tujuan pendidikan yang ditarik dari nilai-nilai pengetahuan
(seperti Maslow) cenderung diwarnai oleh pengajaran kebutuhan material
lebih dulu, walaupun pada akhirnya bertujuan pencapaian kebutuhan yang
lebih tinggi, yaitu aktualisasi diri. Aktualisasi diri apabila diartikan sekadar
kemampuan menggunakan potensi, talenta, atau kapasitas diri secara
optimal sehingga menjadi individu yang produktif mungkin belum
menyentuh nilai-nilai spiritual yang bersifat transendental. Tetapi apabila
aktualisasi diri diartikan sebagai pencapaian nilai kemanusiaan yang
tertinggi, ibarat sebatang pohon yang berbuah, di mana buahnya dapat
bermanfaat bagi kehidupan manusia atau binatang, diluar kebutuhan pohon
itu sendiri, maka tujuan aktualisasi diri bersifat tujuan moral, yaitu berbuat
kebaikan atau ikhsan terhadap orang lain, yaitu perwujudan dan konsep
akhlakul karimah sebagaimana telah menjadi tujuan pendidikan agama.
Banyak ahli yang tidak puas dengan bangunan teori kebutuhan
Maslow, seperti Danah Zohar dan Ian Marshal, keduanya lebih tertarik dan
percaya bahwa kebutuhan spiritual harus menjadi dasar bagi
pengembangan hidup manusia yang lebih adil dan sejahtera. Mereka
menulis buku yang berjudul “Spiritual Capital” (SC) yang menjadi
bestseller dan tulisan itu memiliki visi yang mulia untuk memperbaiki
36
sistem kehidupan masyarakat kapitalistik yang sering mendorong
keserakahan material.
Perjalanan kehidupan masyarakat kapitalistik bersifat
membahayakan bagi terwujudnya kehidupan yang berkeadilan, harmoni
dan sejahtera. Zohar dan Marshall menganjurkan sistem sosial
kemasyarakatan, ekonomi lebih didasarkan pada modal spiritual (nilai-
nilai spiritual sebagai modal), sehingga masyarakat lebih berkembang ke
arah tujuan yang baikan atau ikhsan seperti yang diajarkan dalam ajaran
agama (Hakim, 2008: 122).
Lebih dari tigaratus tahun filosofis Helan-Roman mencoba
mengganti agama rakyat, dengan menganti dengan ajaran yang
dipandangnya lebih rasional untuk keperluan hidupnya. Agama itu
dianggap sebagai suatu belengu, menanamkan rasa takut dalam hati
manusia. Oleh karena itu, agama dipandang oleh suatu pengahalang utuk
memperoleh suatu kesenagnagan hidup.
Kaum Sota memusatkan ajaranya kepada adanya hukum kausalita
alam yang mengatur segala jalan hidup diduania ini sehingga rasa takut itu
tidaK pada tempatnya. Manusia harus hidup pada hukum alam dan dengan
sendirinya ia akan mencapai kesenagan hidup.
Kaum Skeptis mengemukakan sikap sangsi kepada ajaran-ajaran
orang cerdik, pandai akan mencapai kesenagan. Akan tetapi beberapa
macam jalan yang ditunjukkan oleh berbagai filsafat Helen-Roman. Untuk
memperoleh kesenangan hidup tidak mencapai tujuan pada lahirnya
37
bangsa Yunani dan bangsa lainnya. Senang yang dibuat-buat dengan
memikirkan sifat kesenangan, tidak menimbulkan kesenangan yang
sebenarnya. Perasaan mereka senatiasa digoda oleh keadaan tidak merdeka
dibawah kekuasaan kerajaan Roma. Ajaran etik tidak dapat memberikan
obat, bahkan rasionalisasi filosofi pun menghadapi kebuntuan.
Perasaan agama yang muncul sesudah beberapa abad terpendam
dapat mengobati jiwa yang luka. Sungguhpun perasaan agama yang baru
muncul tidak serupa dengan bentuk agama lama, pengaruhnya sama saja.
Ia tidak bersarang diotak, tetapi hinggap disanumbari. Agama Kristen yang
baru muncul dipengaruhnya tidak di Asia Minor saja, tetapi lambat laun
meluas keseluruh Helen-Roma (Hakim, 2008: 123).
Karena agama sangat berpengaruh, filsafatpun terpengaruh sehingga
filosofisnya cenderung kearah mistik, keinginan untuk mengabdi kepada
Tuhan menjadi hidup kembali. Ajaran filosofis Helan-Yunani yang
menunjukan orang mengetahui tempatnya didunia dengan mendidik rasa
bebas dari berdiri sendiri ternyata tidak mempan. Kemudian filsafat
mistikalistiklah yang mengajak manusia menuju kepada Tuhan, dan
keyakina terhadap Tuhan sangat dirindukan karena mengajak kedamaian
tentram dalam hati.
Mistik telah menutup rasio, karena orang-orang pada saat itu
membutuhkan ketentraman jiwa, bukan kebingungan rasio. Pengaruh
pemikiran mistik sangat kuat kepada kehidupan di Asia Tengah dan di
Asia Barat. Perasaan mistik tidak dapat dipupuk dengan pikiran yang
38
rasional, melainkan dengan persaan yang murni dan mengabdi kepada
Tuhan.
Ada tiga aliran mistik yang membelokan alam pikiran Yunani.
Pertama, aliran neo-Pytagoras, kedua, aliran Philon yang berpusat di
Alexandreia, ketiga, aliran Plotinus yang sering juga disebut neo-
Platonisme.
a. Aliran Neo-Pythagoras
Aliran ini disebut aliran neo-Pythagoras karena ia berpangkal
kepada ajaran pythagoras yang mendidik kebatinan dengan belajar
mensucikan ruh. Akan tetapi dalam perkembanganya, aliran ini berjalan
sendiri.
Moderatus dari Gades adalah guru pertama aliran ini, yang hidup
pada abad pertama Masehi. Untuk mendidik perasaan cinta dan
mengabdi kepada Tuhan, orang harus menghidupkan perasaannya
dalam jarak yang jauh antara Tuhan dan manusia. Makin besar jarak itu,
makin besar cinta, dan makin kuat keinginan untuk mendekatkan
kepada Tuhan yang jauh itu (Hakim, 2008: 124).
Teori dalam mistik neo-pythagoras dididik perasaan demikian rupa
supaya terasa benar jauhnya Tuhan dari dunia ini, dari manusia, barang
dan yang banyak di dunia ini. Itu sebagi bentuk penguat perasaan
pengabdi kepada Tuhan, menanam cinta yang sebesar-besarnya kepada-
Nya. Tuhan dan manusia digambarkan oleh neo-pythagoras sebagai
perbedaan sebersih-bersinya dengan yang bernoda, sebersih-bersihnya
39
ialah Tuhan dan yang bernoda adalah manusia, barang dan yang banyak
didunia ini. Sehingga sesajen-sesajen yang dipanjatkan kepada Tuhan
mengotori-Nya. Tuhan hanya dapat didekati dengan kesucian serta
ketulusan do‟a.
b. Philon Alexandreia
Pandangan filsafat yang diajarkan oleh philon banyak diambil dari
kitab wasiat lama. Pokok filsafatnya ialah hubungan manusia dengan
Tuhan sang pencipta. Tuhan itu maha tinggi tempatnya. Tuhan hanya
dapat diketahui oleh manusia dari kata-kata-Nya yang terkandung
dalam kitab-kitab suci, dari alam, dan dari sejarah. Dari situ, dapat
diketahui secara terus-menerus. Tuhan sendiri tidak dapat diketahui
oleh manusia dengan pancaindranya. Karena sempurna-Nya dan suci-
Nya. Tuhan terpisah dari dunia yang bernoda. Rupanya tuhan tidak
dapat diketahui oleh manusia, tetapi keberadan-Nya dapat dimengerti
(Hakim, 2008: 125).
Philon merujuk pada ajaran Sota yang mengemukakan dua dasar
dunia, yang berkerja dan yang dikerjakan, yang berkerja ialah Tuhan,
semangat seluruh dunia. Tuhan sesuci-sesucinya bersih dan tidak
bercampur sama sekali. Tuhan lebih baik daripada budi, Tuhan tidak
bisa disamakan dengan yang ada didunia ini. Kedudukannya di atas
segala-galanya. Ia ada selama-lamanya, tunggal, tidak berubah-ubah.
Tuhan begitu tinggi kedudukannya, maka perlu ada mahluk-
mahluk perantara yang menghubungkan Tuhan dengan alam yang
40
dijadikan-Nya. Mahluk yang terutama dan yang terdekat pada Tuhan,
yang meliputi semuanya, selain dari Tuhan, ialah Logos. Logos adalah
sumber dari segala cita-cita sebagai pikiran Tuhan yang mengisi alam
yang tidak bertubuh. Dengan perantaraan Logos itu, Tuhan menjadika
dunia ini dan menyatakan adnya kepada manusia.
Hidup yang berfikir dan memandang keatas bagi Philon lebih besar
nilainya daripada bergelut dengan keadaan sehari-hari.kewajiban
manusia yang pertama adalah memelihara jiwa yang murni, dan hidup
yang sebesar-besarnya ialah mengabdikan kepada Tuhan.
c. Plotinus
Mulanya Plotinus mempelajari filsafat dari ajaran Yunani, terutama
dari buah tangan Plato akan tetapi ia merasa pengetahuannya belum
cukup dalam. Ia ingin memperdalamnya dengan mempelajari mistik
dari Persia dan India. Plotinus menawarkan diri untuk menjadi serdadu
dalam laskar Gordianus. Karena hidupnya yang sederhana, orang besar
dan orang biasa sama-sama menghormatinya. Tidak saja menghormati
bahkan ada yang mendewakannya, akan tetapi Plotinus tidak
terpengaruh karena itu. Ia tetap orang yang sederhana dan memandang
perbuatannya sebagai tugas hidup belaka (Hakim, 2008: 126).
Dari uraian di atas, pendidikan keagamaan dengan tujuan untuk
membangun manusia yang berakhlak mulia adalah tidak bertentangan
dengan rumusan tujuan pendidikan yang dirumuskan berdasar nilai-
nilai dan ilmu pengetahuan. Bahkan, dalam kehidupan pascamodern
41
manusia merasakan pentingnya nilai-nilai spiritual transendental
menjadi dasar bagi aktualisasi diri mereka dan kehidupan sehari-hari
mereka, sehingga kehidupan yang produktif memiliki makna kebaikan
(ikhsan) bagi sesama manusia (Sutiyono, 2009: 6).
Uraian di atas juga menggambarkan bahwa tujuan pendidikan tidak
cukup sekadar pencapaian tujuan humanis, tetapi lebih jauh
membutuhkan pencapaian tujuan kebutuhan spiritual transendental
(religius). Pencapaian tujuan kebutuhan spiritual transendental secara
umum menjadi tujuan pendidikan keagamaan (religius). Sebagaimana
didepan telah disampaikan bahwa hampir semua agama meletakkan
tujuan pendidikan adalah untuk pengembangan moral manusia, agar
manusia dapat berkembang menjadi berkarakter baik sehingga
hidupnya dapat berguna bagi orang lain dan dirinya sendiri. Dapat
dikatakan pendidikan yang dapat membangun moral manusia yang baik
dan membangun kapasitas (kemampuan) untuk merealisasikan tujuan
kehidupan secara produktif adalah pendidikan yang bersifat humanis
religius. Sebagaimana tujuan manusia hidup adalah untuk menggapai
ridhla Allah, ibtigha’a mardlatillah. Jika kita berusaha memperoleh
ridhla-Nya, maka apapun yang diberikan Tuhan kepada kita, kita akan
menerimanya dengan ridhla (senang) pula, ridhla dan diridhlai,
radliyatan mardliyyah (Sutiyono, 2009: 7).
Semua agama berdedikasi untuk memuja, memuliakan yang Maha
Agung yang disembah sebagai yang Tertinggi, yang Maha Kuasa.
42
hanya tradisi murid Yesuslah yang pertama kali dalam sejarah
keagamaan secara serius memulai suatu arus baru, berpaling kepada
manusia, berikhtiar mengangkat nasibnya, menyembuhkannya dari
berbagai derita, sakit, kesewenangannya dalam banyak dimensi.
Semangat Kristiani disamakan dengan semangat perikemanusiaan,
khususnya, dan terutama terhadap mereka yang selama ini tidak
dianggap, bahkan dipaksa hidup tanpa martabat dan kemanusiaan
(Mangunwijaya, 1994: 15).
Faham humanisme religius ini juga tampak dalam penghayatan
Romo Mangun sebagai Pastor, yang tidak konvensional. Panggilan
imamatnya berakar dan diinspirasikan oleh daya tarik rakyat yang
miskin, dan bukan panggilan kegerejaan atau keagamaan sebagaimana
kebanyakan Pastor, karena terharu pada partisipasi rakyat dalam perang
Gerilya, dan ia ingin “membayar hutang kepada rakyat”. Mudah
dipahami kalau dedikasinya sebagai pastor juga tidak terbatas pada
pelayanan gereja, paroki, melainkan pada sosialitas umum, pembelaan
kaum miskin, hal ini disetujui oleh Uskup sebagai atasannya. Lebih
lanjut religiusitas yang melebar ini, ia tunjukkan dalam keinginannya
untuk bekerja sama dengan agama lain. Dalam gereja Doaspora (salah
satu buku ciptaan Romo Mangun), Romo Mangun dengan jelas
mengidealkan gereja sebagai istilah- istilah yang ia gunakan
memperlihatkan religusitas yang dinamis dan terbuka (Mangunwijaya,
1999: 75).
43
Romo Mangun menyebutkan humanisme itu, kita harus
menghormati martabat manusia lain seutuhnya. Jadi termasuk juga
rahasia atau misteri pribadi yang ada pada setiap manusia. Misteri disini
tidak dalam cerita detektif, atau rahasia senjata sandi militer. Lebih dari
itu, misteri dalam arti kesucian, sesuatu yang mulia, amat mendalam
dan berharga, sehingga jangan dilempar, dijamah sembarangan.
Signifikan penuh makna ialah kata dalam bahasa Jawa wadi (rahasia)
untuk organ kelamin manusia yang sepantasnya ditutupi, dilindungi
tirai penghormatan (Mangunwijaya, 1997: 35).
5. Pendidikan Humanisme Religius
Humanisme merupakan kata yang ambivalen, meskipun dapat
dipastikan kalau kata ini memiliki makna positif, akan tetapi bagi para
pemeluk agama, kata humanisme bisa dipahami sebagai suatu sikap
seorang yang memandang dirinya sebagai subjek yang berdiri sendiri dan
terpisah bukan saja dari kekuasaan negara atau raja, yang sebenarnya hal
itu boleh-boleh saja akan tetapi harus dari Tuhan. Tetapi jika anda benar-
benar percaya pada Tuhan dan yakin bahwa segala sesuatu, alam serta
seisinya termasuk manusia, maka jelaslah bahwa sikap memisahkan diri
dari Tuhan itu termasuk penghinaan kepada Tuhan (Suseno, 2007: 208).
Driyarkara (1989: 9) berpendapat yaitu, sebagai salah seorang
pendidik humanis di Indonesia menyatakan bahwa pendidikan adalah
usaha sadar untuk memanusiakan manusia. Pengertian Driyarkara tersebut
menyiratkan pendidikan itu sebagai suatu kegiatan yang human. Manusia
44
lebih dipandang sebagai subjek bukan objek semata. Dikatakan sebagai
subjek, karena manusia sebagai peserta didik harus menentukan arahnya
sendiri dalam proses pendidikan menuju pada kedewasaan.
Sodiq A. Kuntoro mengemukakan pengertian pendidikan humanis
religius yang lebih jelas. Dikatakannya bahwa istilah pendidikan humanis
religius mengandung dua konsep pendidikan yang ingin diintegrasikan,
yaitu pendidikan humanis dan pendidikan religius. Pendidikan humanis
yang menekankan aspek kemerdekaan individu diintegrasikan dengan
pendidikan religius agar dapat membangun kehidupan individual-sosial
yang memiliki kemerdekaan, tetapi dengan tidak meninggalkan nilai-nilai
keagamaan (Rukiyati, 2013:2).
Memanusiakan manusia mengandung makna bahwa potensi dan
bakat yang ada dalam diri hendak diaktualisasikan sehingga menjadi
kenyataan. Wujudnya dapat berupa pengetahuan, keahlian, sikap dan
moral yang baik sehingga manusia yang dididik tersebut menjadi manusia
yang telah mencapai realisasi diri yang optimal. Potensi-potensi diri
berkembang optimal karena ada upaya-upaya sadar untuk
mengembangkannya sejak dalam kandungan sampai pada tahap
perhentian perkembangan. Maka, tujuan pendidikan menjadi salah satu
pembahasan yang fundamental dalam pendidikan. Terkait dengan konsep
pendidikan humanis religius, tujuan pendidikan di Indonesia sebenarnya
juga telah memiliki konsep yang bersifat humanis religius (Rukiyati,
2013:5).
45
B. Kajian Penelitian Terdahulu
Penyusunan karya ilmiah dibutuhkan berbagai dukungan teori dari
berbagai sumber atau rujukan yang mempunyai relevansi dengan rencana
sebuah penelitian. Sebelum melakukan penelitian, peneliti telah melakukan
kajian terhadap karya-karya ilmiah yang berkaitan dengan pembahasan ini.
Kajian ini untuk melihat kedudukan diantara hasil-hasil penelitian dan
tulisan-tulisan yang relevan.
Skripsi yang di tulis oleh saudari Isro‟atul La ili (2017) yang berjudul
“Peran K.H Mahfud Ridwan Dalam Mewujudkan Kerukunan Antarumat
Beragama di Salatiga Tahun 1980-2015” skripsi ini lebih menitik beratkan
kepada pengaruhnya KH. Mahfud Ridwan merupakan seorang tokoh yang
memberi pengaruh besar dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan diwilayah
desa Gedangan dan kota Salatiga. K.H Mahfud merupakan seorang tokoh
yang memiliki pandangan bahwa untuk mengubah suatu hal maka dibutuhkan
suatu sarana yakni organisasi. Sebuah organisasi mampu mengubah tatanan
dalam masyarakat. Sosok K.H Mahfud Ridwan sebagai seorang tokoh
pemuka agama mendapat sorotan dari berbagai pihak. Pemikiran hidup rukun
dalam perbedaan ditunjukkkan melalui pandangan beliau mengenai
kehidupan masyarakat Salatiga yang terdiri atas berbagai agama. Pandangan
K.H Mahfud Ridwan ialah walaupun di dalam masyarakat hidup dalam
keberagaman agama namun penting untuk tetap menjaga kerukunan Antar
umat beragama. menjalin silaturahmi bukan hanya sesama pemeluk muslim
namun juga dengan umat nonmuslim. Islam mengajarkan untuk hidup rukun,
46
memahami dan menghargai ajaran agama selain Islam tidak akan menjadi
hambatan untuk seorang muslim beribadah kepada Allah SWT. dengan
kegiatan santri yang secara langsung berhubungan dengan masyarakat sekitar.
Berkaitan dengan skripsi yang saya tulis terdapat kesamaan, yaitu
pada nilai-nilai pluralisme dan toleransi yang di implementasikan oleh K.H
Mahfud Ridwan dan Y. B Mangunwijaya pada laku keseharianya serta
hubungan dalam sosial kemasyarakatannya terjalin dengan baik yang tanpa
memandang suku ras maupun agama.
Adapun perbedaan skripsi yang di tulis oleh saudari Isro‟atul Laili
dengan dengan skripsi yang peneliti bahas yaitu, peneliti terdahulu lebih
menitik beratkan pada pengaruhnya KH. Mahfud Ridwan dalam kehidupan
sosial-kemasyarakatan diwilayah desa Gedangan dan kota Salatiga,
sedangkan skripsi yang peneliti bahas lebih kepada pemberian pertolongan
kepada masyarakat khususnya bagai mayarakat miskin dan mereka yang
hidup kesusahan baik dari segi mental pendidikan keterampilan maupun
spiritual keagamaan secara luas.
Skripsi yang ditulis oleh saudari Stri Ana Farhana (2014) yang
berjudul “ Implementasi Dan Implikasi Pendidikan Humanisme Religius Pada
Pondok Pesantren Bagi Masyarakat (Studi di Pondok Pesantren Edi Mancoro,
Gedangan, Kabupaten Semarang Tahun 2014)” Yang diteliti oleh penulis
lebih kepada arahnya dimasyarakat serta pada sistem kajian yang terdapat di
pondok pesantran , Bentuk pendidikan yang terdapat di Pondok Pesantren Edi
Mancoro adalah penyelenggaraan pembelajaran dengan pendekatan
47
tradisional. Dan pembelajaran ilmu-ilmu Agama Islam dilakukan secara
individual atau kelompok dengan menggunakan kitab-kitab klasik berbahasa
Arab. Keterkaitan materi pendidikan dengan tradisi yang ada di pondok
pesantren. Kurikulum yang menekankan pengkajian kitab kuning yang ditulis
oleh ulama klasik menunjukkan bahwa pelaksanaan pendidikan pesantren
sejalan dengan pemikiran masa lalu namun masih tetap berlaku pada masa
sekarang.
Sistem pendidikan Pondok Pesantren Edi Mancoro menggunakan
beberapa sistem yang tradisional yaitu pola pengajaran sorogan, bandongan,
wetonan dan musyawarah dalam mengkaji kitab-kitab agama. Semua
kegiatan yang berlangsung dalam masyarakat sekitar Pondok Pesantren Edi
Mancoro untuk mewujudkan humanisme religius semata-mata ditujukan
untuk lebih dekat kepada masyarakat sekitar.
Peneliti terdahulu yang di tulis oleh saudari Striana Farhana lebih
berfokus pada pendekatan pendidikan humanisme religius lingkup pesantren
dan warga sekitar pesantren dan lebih kepada arahnya dimasyarakat serta
pada sistem kajian yang terdapat di pondok pesantran, Bentuk pendidikan
yang terdapat di Pondok Pesantren Edi Mancoro adalah penyelenggaraan
pembelajaran dengan pendekatan tradisional.
Sedangkan persamaan dengan skripsi yang peneliti tulis yaitu sama-
sama membahas tentang pendidikan humanisme religius yang di dalamnya
membahas tentang pengarahan kepada kemanusiaan, hidup bermasyarakat
keseimbangan antara nilai-nilai kemanusiaan dan keagamaan.
48
Beberapa tulisan yang terkait dengan penelitian yang penulis teliti
antara lain; Skripsi yang di tulis Saudari Oktaviani Damayanti (2017) yang
berjudul “Implementasi Humanisme Dalam Pandangan Yusuf Bilyarta
Mangunwijaya: Sebuah Konsep Teologi Pembebasan di Yogyakarta”
membahas tentang kemanusiaan tidak terlepas dari faham religiusitasnya
sebagai umat penganut agama Katolik. Secara fitrah manusia lahir untuk
saling menolong, memberi dan diberi, dan menebarkan cinta kasih kepada
sesama umat baik umat yang sama agamanya ataupun umat yang berbeda
agamanya dari yang kita yakini. Hasil penelitian lebih berfokus kepada sikap
keadilan dan toleransinya dan pemerdekaan rakyat miskin melalui
keseimbangan antara humanisme religiusnya.
Beberapa letak perbedaan antara penelitan terdahulu yang di tulis
oleh saudari Oktaviani Damayanti dengan skripsi yang peneliti tulis saat ini
yaitu, penelitian terdahulu terletak pada sikap keadilan toleransi dan
pemerdekaan rakyat miskin sedangkan penelitian yang saya tulis yaitu pada
pendidikan humanisme religius serta pemberian bimbingan pendampingan
kepada warga masyarakat yang tertinggal yang kehidupannya membutuhkan
bimbingan mental, pengarahan, pendmpingan baik secara pemberian material
maupun pendidikannya.
49
BAB III
METODE PENELITIAN
A. . Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (fild reaserch). Dalam
penelitian ini peneliti bertindak secara langsung sebagai pengumpul data dan
sebagai instrumen penelitian dalam upaya mengumpulkan data-data
dilapangan. Untuk memperoleh data-data yang valid yang dibutuhkan dalam
penelitian, maka peneliti hadir secara langsung dilokasi penelitian (Moleong,
2009:1)
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu “Pendekatan
yang dilakukan dengan pengolahan suatu data tanpa menggunakan hitungan
(statistik), namun melalui pemaparan suatu pemikiran, pendapat para ahli atau
fenomena yang ada dalam kehidupan masyarakat (Moleong, 2009:3).
Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi untuk memahami dan
menafsirkan nilai-nilai dan penerapan pendidikan humanisme religius
perspektif K.H Mahfud Ridwan dan Y.B Mangunwijaya.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
1. Pondok Pesantren Edi Mancoro
Pondok Pesantren Edi Mancoro, yang lebih dikenal dengan istilah
Wisma Santri Edi Mancoro berdiri pada 25 Desember 1989 dibawah
naungan “Yayasan Desaku Maju” (YDM) atau yang sekarang berganti
nama dengan Pondok Pesantren Edi Mancoro pada tanggal 31 Desember
50
2006 hingga sekarang, terletak diwilayah Kabupaten Semarang, tepatnya
di dusun Bandungan, desa Gedangan, kecamatan Tuntang, Kabupaten
Semarang Jawa Tengah. Walaupun dari luar daerah, pesantren ini lebih
akrab dengan sebutan Salatiga, karena memang secara geografis lebih
dekat dengan pusat pemerintahan kota Salatiga.
Pesantren ini berada diwilayah pinggiran Kota Salatiga yang
berada disebelah baratnya sekitar 4 kilometer perbatasan antara Kaupaten
Semarang dengan Kota Salatiga. Keadaanya memang tidak terlalu ramai
tapi dekat dengan Kota Salatiga. Sehingga merupakan tempat strategis
untuk pendidikan termasuk pendidikan keagamaan. Jarak yang tidak jauh
dari pusat Kota Salatiga yang merupakan sentral pendidikan formal, maka
banyak santri yang berminat untuk mendalami ilmu agama, selain ilmu
agama para santri juga diajarkan ilmu umum diantaranya: ilmu kompiuter,
menjahit, tata boga, bahasa (Inggris Arab dan Jawa) sebagai skiil
tambahan di pesantren ini, sebab kebanyakan santri yang menetap adalah
para pelajar di pendidikan formal, baik dari kalangan mahasiswa ataupun
pelajar bahkan banyak juga dari masyarakat sekitar yang ikut mencari ilmu
di pesantren ini.
2. Kampung Kali Code
Kampung Code, kelurahan Kota Baru, kecamatan Gondokusuman
kawasan bantaran Kampung Code, dibawah jenbatan Gondolayu, RT 01
RW 01 Code Utara. Kampung Kali Code sangat releven untuk dijadikan
lokasi penelitian, lokasi yang berada dibawah jembatan pinggir suangai
51
Code, dulu adalah sebagai tempat pembunagan sampah, kemudi dapat
dijadikan tempat penghunian (Kampung) dimulai dari mengubah
mentalitas membuang sampah sembarangan dibantaran Kali Code,
menjadi ditiadakan. Inisisasi perbaikan tata pemukiman dan lingkungan
Kali code sehingga hasilnya kawasan itu menjadi bersih dan tertata.
bersam temannya Romo Mangun mendirikan Yayasan Pondhok Rakyat
(YPR) yang merupakan wadah pemberdayaan masyarakat dalam bidang
lingkungan dan pendidikan.
Romo Mangun yang dikenal dengan sebutan Pemberdaya Wong
Cilik, ini sangat peduli dengan kaum bawah, gagasan humanismenya
sangat diterima oleh warga Kali Code, walaupun pada waktunya dulu,
orang-orang yang tinggal didaerah Kali Code belum mengerti arti dari
humanisme, tetapi mereka merasakan effect humanisme yang dibawa oleh
Romo, dan warga Kali Code pun banyak belajar tentang bagaimana
manusia pada hakikatnya dalam bertindak, berkata serta bersosialisasi
yang dimana hal tersebut dipaparkan dalam penjelasan dan pengertian
sikap humanisme (Damayanti, 2017:64).
Bagi warga Kali Code, Romo Mangun banyak meninggalkan
pelajaran berharga bagi penghuni sekitar, walaupun Romo Mangun tidak
pernah dilahirkan di daerah tersebut tetapi Romo membantu dengan ikhlas
dan tulus untuk kepentingan warga tersebut, hal yang selalu Romo
Mangun tekankan untuk masyarakat sekitar adalah, selalu belajarlah untuk
apapun hal yang bisa diambil pelajaran baiknya, dan terapkan hal tersebut
52
untuk kehidupan keluarga sendiri, sebarkan ke kehidupan warga sekitar
(Damayanti, 2017:65).
C. Sumber Data
Adapun jenis sumber data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data primer dan skunder yaitu :
1. Data primer
Data primer adalah data yang diperoleh dari sumber-sumber
primer, yakni sumber asli yang memuat informasi atau data tersebut
(Amirin, 1990:132). Adapun sumber data yang diambil dari penelitian ini
adalah hasil wawancara, baik dengan keluarga/ahli waris, narasumber
utama maupun kolega dari kedua tokoh yaitu K.H Mahfud Ridwan dan
Y.B Mangunwijaya dalam mewujudkan pendidikan humanisme religius
perspektif mereka.
2. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber yang
bukan asli memuat informasi data tesebut (Amirin, 1990: 132). Data yang
dikumpulkan diolah dan disaksikan oleh pihak lain biasanya dalam bentuk
publikasi, jurnal atau bentuk lainnya. Adapun data yang diambil dalam
penelitian ini adalah berasal dari pandangan para tokoh masyarakat
mengenai pendidikan humanisme religius perspektif K.H Mahfud Ridwan
dan Y.B Mangunwijaya.
53
D. Prosedur Pengumpulan Data
1. Observasi.
Dalam menggunakan metode observasi cara yang paling efektif
adalah melengkapinya dengan format atau blangko pengamatan sebagai
instrumen. Format yang disusun berisi item-item tentang kejadian dan
tingkah laku yang digambarkan terjadi (Arikunto, 2006: 229).
Dari penelitian pengalaman ini diperoleh suatu petunjuk bahwa
mencatat data observasi bukanlah sekadar mencatat, tetapi juga
mengadakan pertimbangan kemudian mengadakan penelitian kedalam
suatu perkara bertingkat (Arikunto, 2006: 229).
Observsi adalah sebuah pengumpulan data dengan jalan
pengamatan secara langsung mengenai objek penelitian. Dalam metode ini
penulis gunakan sebagai langkah awal untuk mengetahui subjek penelitian.
Dalam penelitian ini selain penulis mengamati langsung dilapangan
melainkan juga mencatat kejadian-kejadian yang ada, kemudian merekam
hasil wawancara penulis dengan objek yang diteliti.
2. Wawancara
Wawancara atau interview, adalah sebuah dialog yang dilakukan
oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara
(Arikunto, 1998: 145). Wawancara yang akan dilakukan dengan
menggunakan dua tahap, pertama peneliti melakukan deskripsi dan
orientasi awal tentang masalah dan subjek yang dikaji. Kedua melakukan
wawancara mendalam sehingga menemukan informasi yang lebih banyak
54
dan penting. Wawancara yang digunakan dengan model wawancara
terbuka, artinya seorang informan dapat mengungkapkan beberapa upaya,
gagasan, strategi yang akan dilakukan serta hambatan yang diprediksikan.
Dalam penelitian ini, peneliti melakukan wawancara kepada
keluarga, masyarakat yang bersangkutan serta para tokoh lain yang
membantu kedua narasumber utama dalam melaksanakan pendidikan
humanisme religius perspektif K.H Mahfud Ridwan dan Y.B
Mangunwijaya.
3. Dokumentasi
Dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel
yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen
rapat, lengger, agenda dan sebagainya (Arikunto, 1998: 236).
Dalam penelitian ini dokumentasi yang dimaksud adalah
pengambilan beberapa data tetang berbagai dokumen terkait dengan
pendidikan humanisme religius perspektif K.H Mahfud Ridwan dan Y.B
Mangunwijaya mulai dari gagasan-gagasan mereka, pelaksanaan dari
gagasan-gagasan tersebut dan implementasinya.
E. Analisis Data
Setelah data terkumpul kemudian data tersebut dianalisis seperlunya
agar diperoleh data yang matang dan akurat. Adapun jenis analisa data yang
diambil yaitu analisa data kualitatif. Analisa data kualitatif adalah upaya yang
dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data,
memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya,
55
mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang
dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain
(Moleong, 2009: 248).
Proses analisis data kualitatif yang dikemukakan oleh Moleong
diatas masih rumit dalam pemahaman penulis mengenai tahapan-tahapannya.
Oleh karena itu, penulis lebih memahami kalau proses analisis data dilakukan
melalui tahapan; reduksi data, penyajian atau display data dan kesimpulan
atau Verifikasi. Untuk lebih jelasnya, penulis akan menjelaskan proses
analisis tersebut sebagai berikut:
1. Mengorganisasikan data
Peneliti mendapatkan data langsung dari subjek melalui
wawancara mendalam (indepth inteviwer), dimana data tersebut direkam
dengan tape recoeder dibantu alat tulis lainya. Kemudian dibuatkan
transkipnya dengan mengubah hasil wawancara dari bentuk rekamaan
menjadi bentuk tertulis secara verbatim. Data yang telah didapat dibaca
berulang-ulang agar penulis mengerti benar data atau hasil yang telah di
dapatkan.
2. Membuat kategori data
Pada tahap ini dibutuhkan pengertiaan yang mendalam terhadap
data, perhatiaan yang penuh dan keterbukaan terhadap hal-hal yang
muncul diluar apa yang ingin digali. Berdasarkan kerangka teori dan
pedoman wawancara, peneliti menyusun sebuah kerangka awal analisis
sebagai acuan dan pedoman dalam melakukan coding. Dengan pedoman
56
ini, peneliti kemudian kembali membaca transkip wawancara dan
melakukan coding, melakukan pemilihan data yang relevan dengan pokok
pembicaraan. Data yang relevan diberi kode dan penjelasan singkat,
kemudian dikelompokan atau dikategorikan berdasarkan kerangka analisis
yang telah dibuat.
3. Mereduksi data
Yaitu merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan
pada hal-hal yang penting. Dicari tema dan polanya dan membuang yang
tidak perlu. Reduksi data bisa dilakukan dengan jalan melakukan
abstrakasi. Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti,
proses dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap berada
dalam data penelitian (Moleong, 2009: 247).
4. Menyajikan fokus data
Menurut Miles dan Hubermen yang dikutip oleh Muhammad
Idrus bahwa: Penyajian data adalah sekumpulan informasi tersusun yang
memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan (Idrus, 2009:151).
Langkah ini dilakukan dengan menyajikan sekumpulan informasi
yang tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan.
hal ini dilakukan dengan alasan data-data yang diperoleh selama proses,
penelitian kualitatif biasanya berbentuk naratif, sehingga memerlukan
penyederhanaan tanpa mengurangi isinya. Penyajian data dilakukan untuk
dapat melihat gambaran keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari
gambaran keseluruhan. Pada tahap ini peneliti berupaya
57
mengklasifikasikan dan menyajikan data sesuai dengan pokok
permasalahan yang diawali dengan pengkodean pada setiap sub pokok
permasalahan (Kusaeri, 2014: 209).
5. Penarikan kesimpulan
Yaitu data yang sudah disajikan dianalisis secara kritis
berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dilapangan. Penarikan kesimpulan
dikemukakan dalam bentuk naratif sebagai jawaban dari rumusan masalah
yang dirumuskan sejak awal (Sugiyono, 2013: 345).
Penggunaan metode analisis dan interpretasi bertujuan
memberikan penjelasan secara deskriptif agar membantu pembaca
mengetahui apa yang terjadi dilingkungan pengamatan, seperti apa
pandangan partisipan yang berada dilatar penelitian (Emzir, 2012: 174).
Deskripsi yang cukup dan pernyataan langsung dimaksudkan
untuk membantu pembaca memahami secara penuh dari pemikiran orang
yang terwakili secara naratif terkait pendidikan humanisme religius
perspektif K.H Mahfud Ridwan dan Y.B Mangunwijaya.
F. Pengecekan Keabsahan Temuan
Keabsahan data merupakan hal yang sangat penting dalam
penelitian. Maka fakta-fakta ini nanti digunakan penulis sebagai bahan
pembahasan. Untuk memperoleh keabsahan temuan, penulis akan
menggunakan teknik triangulasi.
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain. Dengan tujuan untuk keperluan pengecekan
58
atau sebagai pembanding terhadap data tersebut. Menurut Denzin (1978)
membedakan empat macam tringulasi sebagai teknik pemeriksaan yang
memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik dan teori (Moleong,
2009: 330).
Teknik tringulasi yang digunakan penulis yaitu pemeriksaan melalui
sumber. Tringulasi dengan sumber yaitu membandingkan dan mengecek
balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan
alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif (Moleong, 2009: 330).
Untuk mendapatkan data yang akurat serta seperti yang diinginkan
penulis, maka penulis akan membandingkan data hasil pengamatan dengan
data hasil wawancara, membandingkan keadaan versi keluarga besar K.H
Mahfud Ridwan dan Y.B Mangunwijaya dan koleganya, dengan perspektif
masyarakat sekitar lokasi penelitian.
59
BAB IV
PAPARAN DAN ANALISIS DATA
A. Gambaran Umum
1. Biografi K.H Mahfud Ridwan
a. Latar belakang keluarga
K.H Mahfud Ridwan, atau akrab dipanggil dengan sebutan Abah,
beliau lahir di Pulutan, Sidoharjo Kota Salatiga, pada tanggal 10
Oktober 1941, beliau merupakan putra pertama yang dilahirkan dari
pasangan suami istri bernama bapak H. Ridwan dan ibunya bernama
Hj. Maimunah, beliau adalah lima bersaudara yang sejak kecil hidup
dalam lingkungan pesantren dimana Pulutan waktu itu menjadi salah
satu sentral pesantren di Salatiga.
b. Riwayat pendidikan
K.H Mahfud Ridwan dalam menempuh pendidikan dimulai dari
Sekolah Dasar (SD) Pulutan, setelah beliau lulus dari SD, beliau
menlanjutkan pendidikanya ke Pondok Pesantren Watucongol,
Magelang, mengaji kepad Kiai Nahrowi Dalhar (Mbah Dalhar), lalu
pindah ke Jawa Timur ke pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang,
Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, Pondok Pesantren Ploso Kediri akan
tetapi beliau tidak lama di sana berpindah-pindah kemudian ke Pondok
Pesantren Roudhotul Tholibin di Rembang dibawah asuhan K.H Bisri
Mustofa Ayah dari Gus Mus. Paling lama beliau mondok disana,
60
Setelah itu kembali ke Pondok Pesantren Watucongol ke tempat
pertama beliau mondok, untuk berguru lagi, setelah selesai dari
Watucongol lalu meneruskan ke Madrasah Aliyah di Makkah Selama 3
Tahun, disana beliau ikut dengan Syekh Yasin Al Fadani. Baru setelah
selesai belajar di Makkah beliau melanjutkan pendidikanya ke Bagdad
Untuk menempuh pendidikanyan SI di Universitas Bagdad, atas izin
Guru beliau yaitu Syekh Yasin Al Fadani, beliau disana mengambil
mata kuliah Quryatul Adab Qismus Syari‟ah, Qismus Lughoh, Qismus
Tarikh. Jadi kurang lebih selama 8 tahun beliau belajar di sana.
2. Biografi Romo Y.B Mangunwijaya
a. Latar belakang keluarga
Yusuf Bilyarta (Y.B) Mangunwijaya nama lengkapnya. Ia
dilahirkan di Ambarawa, Kbupaten Semarang Jawa Tengah, pada
tanggal 6 Mei 1929. Bapaknya bernama Yulianus Sumadi
Mangunwijaya, seorang guru Sekolah Rakyat sekarang Sekolah Dasar
di Desa. Begitu juga Ibunya, Serafin Kamdanijah. Ia terlahir sulung
dengan sebelas adik, tuju diantaranya perempuan, Mangunwija dikenal
sebagai Rohaniwan, Budayawan, Arsitek, Penulis, dan Aktivis. Ia juga
dikenal dengan panggilan populernya, Rama Mangun (atau dibaca
"Romo Mangun" dalam bahasa Jawa). Di dunia Kesusastraan Indonesia
ia termasuk dalam angkatan 1980-1990an Ia menamatkan SD di
Magelang tahun 1943, tatkala pendudukan miiliter Jepang sedang
mencengkram. Pada saat itulah ia mulai berkenalan dengan sastra.
61
Karya Sastra yang dibacanaya dan membekas sampaai ia menjadi
Novelis adalah Max Havelaar karya Multatuli. Struktur cerita Max
Havelaar pernah diakuinya sebagai model novelnya yang berjudul
Burung-Burung Manyar.
Sementara itu dalam salah satu karangannya yang berjudul
“Pengakuan Seorang Amatir”, dipaparkanya bahwa proses
kepenulisannya sebenarnya sejak awal telah ditanamkan oleh kedua
orang tuanya di samping juga dengan situasi konduktif yang dialaminya
tatkala ia menjadi murid Sekolah Dasar. Guru-gurunya di SD saat itu
adalah Biarawan-Biarawan Belanda (Rahmanto, 2001: 1).
Mereka benar-benar mendidik untuk berpikir, memperdalam rasa
kebenaran fairplay dan memupuk cita-cita manusia yang berhati mulia.
Guru-guru itu mengantarkan anak didikanya melalui pendidikan agar
para siswa gemar mencari cakrawala-cakrawala yang luas. Mereka
mengajarkan ilmu bumi bukan sekadar di mana letak kota, sungai, atau
laut tertentu, tetapi ilmu bumi yang dapat menyalakan fantasi para
siswa ke Negeri-negeri jauh dengan tidak lupa membeberkan adat
kebudayaan asing yang menarik minat para siswa, untuk menekuninya
mereka juga tidak lupa mengisahkan peristiwa-peristiwa sejarah yang
terkenal disuatu tempat yang sedang dijadikan bahan pelajaran,
sehingga imajinasi para siswa tumbuh subur dan mampu menembus
ruang dan waktu.
62
Metode pendidikan lain yang diakuinya sangat menguntungkan
bakatnya sebagai seorang penulis, ialah adanya mata pelajaran ekspresi
gagasan dan perasaan dalam bentuk latihan berbicara dimuka kelas dan
membuat karanagan tertulis. Setiap Minggunya, dua jenis latihan
seperti itu selalu dilakukan. Mangunwijaya kemudian membandingkan
bagaimana Guru-guru masa sekarang dan Guru-gurunya di sekolah
dasar saat itu. Mata pelajaran SD zaman Belanda dibuat tidak untuk
dihafalkan, absrtak, dan tidak bersangkut paut dengan kehidupan real,
tetapi benar-benar berakar pada kebutuhan serta situasional si anak
dengan dimensi pembukaan pintu gerbang masa depan.
Lebih lanjut, Mangunwijaya memberikan kesaksian bahwa pada
saat itu belajar di sekolah dasar setiap Minggu anak-anak diminta
membuat karangan dengan judul-judul wajib yang kongkrit, seperti
“Melihat- lihat di Pasar”, “Membeli Barang di Toko”, Pengalaman
dalam Liburan”, dan “Melihat Borobudur.” (Rahmanto, 2001: 2).
Masa yang dirasakannya sangat mengerikan adalah saat Indonesia
dibawah pendudukan fasis militer Jepang. Ketika itu keluarganya
tinggal di kota Magelang, kota tangsi yang bersuasana militer Belanda.
Suasana pendidikan yang sangat memperhatikan segi-segi penghalusan
akal budi dan pencerdasan akal sehat, digantikan dengan suasana
militeristis yang memporak-porandakan ekonomi dan kebudayaan.
Dunia fasis yang sangat kasar sangat dibencinya.
63
Begitu proklamasi dikumandangkan, ia ikut angkat senjata menjadi
Prajurit BKR, TKR Divisi III, Batalyon X, Kompi Zeni. Oleh karena itu
tidak mengherankan dalam Burung-Burung Manyar dan Durga Umayi
Mangunwijaya banyak mengkisahkan pertempuran-pertempuran yang
bergerliya dan serdadu-serdadu Belanda yang ingin kembali merebut
kota Yogyakarta. Pada bagian kedua pada novel Burung-Burung
Manyar, hampir seratus halaman ia berkisah tentang sepak terjang
serdadu-serdadu KNIL seperti Mayor Verbruggen, dan Setodewa
serdadu KNIL yang berkulit gelap dalam bertempur melawan
geriliyawan. Pada tahun 1947-1948, Mangunwijaya bahkan sempat
menjabat sebagai komendan seksi TP Brigade XVII, Kompi Kedu, dan
ikut menyaksikan bagaimana Palagan Ambarawa membara (Rahmanto,
2001: 4).
Selama 1980-1986, atas dorongan Dr. Soedjatmoko, Romo
Mangun melakukan pendampingan pada warga Kali Code yang
terancam penggusuran. Dia melakukan protes, Berkat pengupayaan dan
pembuatan perumahan untuk warga Kali Code, pada tahun 1992 ia
mendapat penghargaan The Aga Khan Award Pada tahun 1986-1994,
dia melakukan pendampingan lagi, yakni untuk warga Kedung O mbo
yang menjadi korban pembuatan waduk. Di samping itu, Romo
Mangun juga mendirikan Laboratorium Dinamika Edukasi Dasar
(DED) dan menerapkan eksperimennya di SD Kanisius Mangunan
(SDKM) yang bertempat di Dusun Mangunan Desa Kalitirto,
64
Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman, sekitar 13 kilometer sebelah
timur Yogyakarta. Pada 26 Mei 1998, dia menjadi salah satu pembicara
utama dalam aksi demonstrasi peringatan terbunuhnya Moses
Gatutkaca di Yogyakarta. Setahun kemudian, tepat pada 10 Februari
1999, setelah memberikan ceramah dalam seminar yang bertema
“Meningkatkan Peran Buku dalam Upaya Membentuk Masyarakat
Indonesia Baru” di hotel Le Maridian Jakarta, Romo Mangun
meninggal dunia akibat serangan jantung.
b. Riwayat pendidikan
Mangunwijaya menamatkan pendidikan SD di Magelang pada
tahun 1934, pada waktu pendudukan Militer Jepang sedang
mencengkram. Pada saat itulah ia mulai berkenalan dengan sastra.
Tahun 1949 lulus sekolah Teknik (setingkat SMP) kemudian
melanjutkan SLTA di Malang, dan tamat tahun 1951. Pada tahun itu
juga saat berumur dua puluh tahun Mangunwijaya memutuskan untuk
masuk Seminari Menengah di Jalan Code, Yogyakarta hingga tahun
1952. Setahun kemudian, dilanjutkan di Seminari Menengah
Mertoyudan, Magelang. Lulus dari sana, ia lalu masuk ke Institut
Filsafat dan Teologi Sancti Pauli, Yogyakarta, lulus dan ditahbiskan
sebagai imam tahun 1959.
Setelah menjadi imam, ia belajar Arsitektur di ITB hingga tahun
1960, dan dari sana melanjutkan kuliahnya di Sekolah Teknik Tinggi
Rhein, Westfalen, Aachen Repbulik Federasi Jerman hingga lulus tahun
65
1966. Ia pulang dan menjadi Pastor Desa di Salam. Selain itu ia juga
sebagai dosen luar biasa Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik di
Universitas Gajah Mada Yogyakarta (UGM). Beberapa tahun
kemudian, Mangunwijaya mulai aktif menulis kolom-kolom yang
berupa Esai diberbagai surat kabar dan majalah, akhirnya di kumpulkan
dicetak dan diterbitkan oleh Gramedia (1978), dengan judul Puntung-
Puntung Roro Mendut, dan Bunga Ramapai Soempah Pemoeda terbitan
balai pustaka. Di tengah kesibukan yang luar biasa, Mangunwijaya
pada tahun 1978 masih sempat mengikuti Fellow of Aspen Instut for
Humanistic Studies di Aspen, Colorado, Amerika Serikat (Rahmanto,
2001: 5).
c. Karya-karya
Romo Mangun adalah seorang rohaniawan arsitektur budayawan
dan sastrawan sehingga banyak karya yang di hasilkannya baik buku-
buku novel cerpan maupun artikael-artikel yang di tulis oleh beliau
diantaranya yang berupa tulisan ialah: Burung-Burung Manyar
(Djambatan, 1981), Puntung-Puntung Roro Mendut (Balai Pustaka,
1978), Dari Jodoh samapi Supiyah (Djambatan, 1976), Bunga Ramapi
Soempah Pemoeda (Balai Pustaka, 1978), Cerpen Rumah Bambu
(Kepustakaan Populer Gramedia, 2000), Di Bawah Bayang-Bayang
Adikuasa 1987, Tumbal 1994, Grundelan Orang Republik 1995, Romo
Rahadi (Pustaka Jaya, 1981), Ikan-Ikan Hiu Ido Homa (Sinar Harapan,
1983), Genduk Duku (Gramedia, 1987), Lusi Lindri (Gramedia, 1988),
66
Durga Umayi (Pustaka Utama Grafiti, 1991), Balada Becak 1985,
Burungg-Burung Rantau (Gramedia Pustaka Utama, 1992), Dara-Dara
Mendut (Yayasan Dinamika Edukasi, 1992), Pohon-Pohon Sesawi
(Kepustakaan Populer Gramedia, 1999).
Kemudian karya yang dihasilkan dari arsitekurnya yaitu:
Pemukiman Warga Tepi Kali Code Yogyakarta, Kompleks Religi
Sendangsono Yogyakarta, Gedung Keuskupan Agung Semarang Jawa
Tengah, Gereja Katolik Jetis Yogyakarta, Markas Kowihan II
Magelang, Biara Trappist Gedono Getasan Semarang Jawa Tengah,
Gereja Maria Sapta Duka Mendut Yogyakarta, Gereja Wisma Salam
Magelang Jawa Tengah, Rumah Bambu Arif Budiman Salatiga Jawa
Tengah.
B. Hasil Penelitian
Pada bagian ini penulis akan memaparkan hasil temuan penelitian
mengenai Pendidikan Humanisme Religius Perspektif K.H Mahfud Ridwan
dan Y.B Mangunwijaya yang dilakukan pada tanggal 02 November 2018
sampai selesai. Untuk memudahkan pembaca dalam memahami penelitian ini
maka penulis membagi menjadi dua bagian. Pertama, temuan penelitian
mengenai pendidikan humanisme religius perspektif K.H Mahfud Ridwan
beserta implementasiny. Kedua, penemuan penelitian mengenai pendidikan
humanisme religius perspektif Y.B Mangunwijaya dan implementasinya yang
diterapkan dimasyarakat.
67
1. Pendidikan Humanisme Dalam Membangun Nilai-Nilai Kemanusiaan
Religius Perspektif K.H Mahfud Ridwan
K.H Mahfud Ridwan dalam memberi pendidikan terkait dengan
pendidikan humanisme yaitu melalui lembaga- lembaga, Yayasan serta
dikenalkan dengan kelompok-kelompok usaha, lalu setelah para warga
masyarakat mengenal kemudian disana beliau mendampingi, membimbing
dan mengarahkan. Seperti halnya disampaikan oleh bapak MZ melalui
wawancara dirumah beliau.
“K.H Mahfud Ridwan sosok yang sangat diakui sebagi tokoh pemberdaya pendamping masyarakat, dengan adanya Yayasan Desaku Maju (YDM), dengan berbagai macam kegiatan itulah
sebagai sarana untuk mengembangkan masyarakat melalui kegiatan pertanian dan industri, banyak berkerjasama dengan
kelompok-kelompok lain, dan juga berkerjasama dengan perbankan, bank Indonesia. Dengan program PHBK, disitu saya mulai banyak terlibat sekitar tahun 1991 dikenalkan klompok-
klompok yang ada di pedesaan, dikenalkan dengan lembaga keuangan (bank), dulu namanya orang ndeso itu tidak kenal
dengan bank bahkan pada takut dengan bank, lalu sama beliau dijembatani dibimbing agar kenal dengan bank, dengan program PHBK. dulu orang yang punya usaha menitipkan uang satu juta
itu hanya bisa pinjam limaratus ribu, tapi dengan adanya proram ini orang punya uang satu juta bisa pinjam dua juta, tiga juta,
bahkan sampai lima juta. Sehingga dengan adanya program itu banyak sekali bermunculan di Dusun-dusun.” (MZ/S/05-11-2018/16:15 WIB)
Pandangan K.H Mahfud Ridwan tentang pendampingan
masyarakat Sama halnya disampaikan oleh AN yaitu ada kemiripan
yang disampaikan terletak pada pendampingan, pengarahan dan
perubahan kepada masyarakat.
“Dulu masyarakat sini sebagai sentral penderes kelapa, dan
masih banyak yang berhubungan dengan pihak bank (titil), kemudian oleh beliau didirikan koperasi yang notabenya
68
berbagai rasa, disitu terbentuk simpan pinjam yang cukup ringan
dan betul-betul untuk memnbantu akses masyarakat menjadi mudah, kususnya para penderes kelapa, kemudian berlanjut sampai urusan pendampingan keekonomian, di dirikannya BMT
Assya’adah oleh K.H Mahfud Ridwan untuk merubah kultur masyarakat yang dulu masyarakat masih berhubungan dengan
bank titil masalah keuangan, kemudian dengan adanya BMT itu membantu masyarakat yang notabenya kembali ke syariaat, masyarakat juga menjadi ringan dan sesuai dengan kaidah-
kaidah syariat.” (AN/M/07-11-2018/20:35 WIB).
Perubahan yang dilakukan oleh K.H Mahfud Ridwan kepada
masyarakat terkait pendidikan humanisme yaitu dengan cara
mendirikan BMT untuk memudahakan masyarakat dalam bentuk
keuangan. Hal yang sama disampaikan juga oleh MH di BLK Edi
Mancoro yaitu.
“Beliau bersama beberapa teman mendirikan lembaga-lembaga yang bertujuan untuk mengentaskan orang-orang yang seperti itu kurang mampu, tertinggal, dengan menggunakan bentuk
sumberdaya masyrakat membentuk koprasi yang hasilnya sangat mudah mendapatkan keringanan, dilakukan oleh seorang kiai,
yang secara literatur tidak di kenal melihat masyarakat sangat krosial dan kejem saat itu, dan memang mendiriakan koprerasi untuk mensejahterakan masyarakat.” (MH/P/08-11-2018/21:15
WIB).
Dari hasil wawancara dengan informan tersebut, peneliti
memperoleh informasi bahwa K.H Mahfud Ridwan dalam melakukan
pendampingan kepada masyarakat terkait dengan keunagan, beliau
mengenalkan sistim perbankkan kepada masyarakat, agar masyarakat
lebih ringan lebih terarah akses keuangannya, maka beliau mendirikan
koperasi BMT Assya‟adah sebagai wadah keuangan bagi masyarakat.
K.H Mahfud Ridwan dalam menjaga kerukunan antar umat
beragama solidaritas kepada lintas iman, dan para tokoh masyarakat
69
beliau membentuk yang namanya Forum Gedangan (FORGED), para
tokoh agama maupun tokoh masyarakat bertemu dalam forum tersebut
lalu terjadi sebuah diskusi didalamnya.
Sebagaimana disampaikan oleh AN, di Masjid Darussalam Dusun
Bandungan yaitu:
“Dulu Salatiga belum terbentuk namanya forum lintas agama
sehingga Islam hidup sendiri, Kristen sendiri, Budha sendiri dan lain-lain, sampai Aliran-aliran agama hidup sendiri. mereka adalah saudara bukan musuh, mereka itu tetangga bukan lawan,
ketika sudah bicara masalah humanisme kemanusiaan beliau sangat peduli dengan hal itu, maka dengan adanya Forum
Gedangan (FORGED), itulah menjadi salah satu bentuk untuk mewujudkan kerukunan antar umat beragama saling menjaga memberi penghargaan kepada agama-agama yanga lain, maka
perbedaan itu menjadi ruh untuk belajar pedewasaan berfikir” (AN/M/07-11-2018/20:35 WIB)
Gagasan pendidikan humanisme religius terkait dengan
mewujudkan kerukunan antar umat beragama yaitu dengan membentuk
Forum Gedangan (FORGED) yang dilakukan oleh K.H Mahfud
Ridwan. Sama halnya disampaikan oleh MH di BLK Edi Macoro yaitu:
“Apa yang menjadikan beliau itu banyak dikenal para tokoh
agama, tokoh Bangsa dan bahkan tidak hanya tokoh Bangsa Indonesia saja, juga dari Negara lain, yang beliau tanamkan ialah berbuat kebaiakan. Ketika berbuat kebaiakan itu, orang
tidak pernah tanya apa agamanya, maka berbuat baik dengan siapapun beliau tidak pernah memandang agama, tidak pandang
bulu itu sampai kapanpun, yaitulah nilai-nilai yang di tanamkan oleh beliau kepada anak-anaknya kepada dan para santrinya dan kepada siapapun” (MH/P/08-11-2018/20:45 WIB)
Sosok K.H Mahfud Ridwan memanag banayak dikenal oleh
tokoh agama maupun tokoh bangsa, yaitu dengan prinsip berbuat
kebaiakan, maka orang ketika berbuat baiak dengan siapapun orang
70
tidak akan pernah tanaya apa agamanya. Sama halnya ada kemiripan
yang disampaikan oleh MZ di rumah beliau yaitu:
“K.H Mahfud Ridwan itu sosok tokoh panutan bagi masyarakat, menurut padangan saya para kiai kususnya di Kabupaten
Semarang itu beliau menjadi kiblatnya, hubunganya antar sesama kiai didaerah Kabupaten Semarang bisa terjalin dengan baik bahkan tidak hanya kiai toh dari tokoh agama lain, terbukti
saat di bulan Ramadhan dalam acara Asramanisaisi Ramandan di dalam acara itu terjadi semacam diskusi antar kiai dan para
tokoh agama yang datang dari Salatiga dan daerah Kabupaten Semarang, jadi disitu membahas suatu masalah dari beberapa sudut pandang, contoh dari Islam bagaimana, dari Kristen
bagaimana, dari Buda bagaimana, dari Hindu bagaimana dan agama yang lain, maka disinilah terjalinnya silaturahim,
kemudian mengangkat suatu masalah, sebagai contoh masalah poligami dilihat dari beberapa pandangan agama, ini diadakan setiap tahuan yang kemudian disebut diskusi lintas agama, dan
masih banyak terjadi diskusi dengan tokoh-tokoh formal mulai dari jajaran Kepela Desa, Camat, Bupati, Aparat negara baik
Polisi TNI, Menteri, Gubernur, bahkan sampai Presiden. Dulu pernah terjadi semacam gejolak diwilayah Salatiga lalu untuk mengatasi tidak nyamannya kota salatiga K.H Mahfud Ridwan
mengumpulkan tokoh-tokoh Agama, tokoh Masyarakat, yang kemudian disitulah lahirnya Forum Gedangan (FORGED).”
(MZ/S/05-11-2018/16:15 WIB) Dari hasil wawancara tersebut dapat simpulkan bahwa K.H
Mahfud Ridwan adalah sosok yang sangat toleran dengan siapapun
agama apapun, serta dengan organisasi apapun, kepedulian beliau
kepada masyarakat sangat tinggi, sehingga beliau dalam mengatasi
permasalahan tersebut beliau mengundang para tokoh agama untuk
berkumpul menyelesaikan maslah yang terjadi di masyarakat, saling
bertukar fikiran dari berbagai sudut pandang para tokoh agama, demi
mewujudkan masyarakat yang rukun damai dan berperikemanusiaan.
71
K.H Mahfud Ridwan adalah sosok kiai yang dalam berhubungan
dengan agama yang diyakininya sangat baik, dalam beribadah sangat
rajin, bekal ilmu agama yang didapatkan saat beliau masih mondok
sangat banyak, karena hampir semua pendidikan yang dilaluinya yaitu
dari pondok Pesantren. Meskipun dalam segi keagamaan sangat baik
namun tidak hanya pendidikan agama saja yang diajarkan kepada
muridnya atau kepada masyarakat. Melainkan pendidikan tentang
kemanusiaan, kepedulian kepada sesama manusia, lebih- lebih kepada
mereka kaum yang lemah teringgal dalam segi ekonomi maupun
pendidikannya.
Hal tersebut juga disamapaikan oleh AN di Masjid Darussalam
Dusun Bandungan yaitu:
“K.H Mahfud Ridwan itu sosok tokoh pendamping masyarakat khodimul ummah, lantas jika beliau tidak bercita-cita santrinya
itu harus jadi kiai, tapi yang beliau tekankan santrinya bisa mendampingi masyarakat, maka pendidikan yang diajarkan tidak hanya ilmu yang berkaitan dengan Hablun Minallah, atau agama
saja. Akan tetapi juga ilmu bagaimana cara mendampingi masyarakat, apa yang menjadi keluh kesahnya masyarakat dan
kesulitan yang di rasakan oleh masyarakat.” (AN/M/07-11-2018/20:35 WIB)
Keinginan K.H Mahfud Ridwan dalam mengajarkan ilmu kepada
muridnya tentang pendidikan humanisme religius yaitu tidak
menginginkan muridnya itu menjadi kiai atau ustad semata dalam
masyarakat, akan tetapai yang beliau inginkan lebih kepada
pendampingan kepada masyarakat. Hal yang hampir sama disampaikan
pula oleh MZ di rumah beliau yaitu:
72
“Kiai Mahfud memang beda dari kiai yang lain, biasanya kalau
pesantren yang lain itu (wes) pokoknya segala sesuatu itu kan diserahkan ke kiainya baik dalam hal kegiatan keorganisasian dan keuangan, tapi di Edi Mancoro memang beda dari yang lain,
semua diserahkan kepada santrinya itu sudah sejak Mbah Mahfud masih sehat memang tidak kepingin punya pesantren,
maka di Edi Mancoro ini tiap tahun diganti ketua umumnya berdasarkan hasil musyawarah santri. Itu mrupakan penanaman pendidikan di masyarakat, yang diharapkan santri itu nantinya
bisa menjadi pendamping masyarakat.” (MZ/S/05-11-2018/20:15 WIB).
Hal yang sama disampaikan juga oleh MH di BLK Edi Mancoro
mengatakan:
“Ya beliau memang hidupnya banyak bersentuhan dengan masyarakat bawah, beliau banyak prinsip bahwa kita hidup ini untuk melayani umat, orang-orang lemah. Maka belu tidak
menghendaki santrinya itu harus jadi kiai atau ustad tapi bener-benar santrinya itu ketika pulang ke masyarakat bisa menjadi
pelayan umat, mendampingi masyarakat secara sungguh-sungguh tidak hanya sekedar wajhnya saja” (MH/P/08-11-2018/20:45 WIB)
Hasil yang didapat dari informan dapat ditarik kesimpulan, bahwa
K.H Mahfud Ridwan adalah sosok pendamping masyarakat, beliau
mendampingi, memberi pengarahan dan bimbingan, kepada setiap
orang yang kesulitan yang mempunyai suatu maslah tanpa memandang
agama, suku, ras maupun organisasi. Sehingga para murid atau
santrinya tidak dituntut harus jadi kiai atau ustad, akan tetapi bisa
menjadi khodimul umah pendamping bagi masyarakat.
73
2. Pendidikan Humanisme Dalam Membangun Nilai-Nilai Kemanusiaan
Religius Perspektif Y.B Mangunwijaya
a. Gagasan Pendidikan Humanisme Dalam Membangun Nilai-Nilai
Kemanusiaan Religius Perspektif Y.B Mangunwijaya.
Romo Mangun menyampaikan gagasannya yaitu melalui
mendirikan rumah-rumah di Kampung Code baik itu rumah yaitu
rumah kereta rumah susun sebagai dukunganfinansial dari beliau.
Seperti halnya disampaikan oleh DS di masjid kampung code yaitu:
“Romo Mangun sangat baik, sangat dekat dengan warga kali code dukungan finansialnya, dari mulai membangun rumah bambu, rumah kereta, rumah susun di kampung sini sampe
mengalahkan arsitek Amerika, pada tahun 1992 terbukti pada tahun itu ia mendapat penghargaan The Aga Khan Award
(DS/TM/03-11-2018/15:30 WIB)
Y.B Mangunwijaya memang terkenal orang yang ramah kepada
siapapun beliau banyak memberi bantuan di Kampung Code melalui
keahliannya sebagai arsitektur. Seperti yang disamapikan C di masjid
Kampung Code mengatakan yaitu:
“Romo Mangun niku sae sanget kaleh warga masyarakat mriki mas, kaleh bocah-bocah alit nggeh sae kaleh tiang sepuh nggeh sae kaleh bocah nom-nom nggeh sae pokok,e kaleh sinten mawon
sae. Teng mriki katah mas bangunaipun ciri khas Romo niku rumah bambu mas misale ajeng di tembok nggeh kedahe sek
separo niku bambu. Riyen nganti angsal penghargaan tapi sakniki pun di pindah teng greja Jetis.”(HS/W/03-11-2018/15:30 WIB)
Kedua hasil dari informan tersebut dapat di simpulkan bahwa
Romo Mangunwijaya adalah orang yang sangat ramah kepada siapapun
tanpa memandang usia, kepedulian beliau kepada warga masyarakat
74
yang lemah sangat tinggi, sehingga beliau telah mampu menata
kampung dengan baik.
Pelayanan yang dilakukan Romo Mangun terkait dengan gagasan
beliau yaitu melakukan pendampingan kepada warga masyarakat yang
disitu terancam akan kenyamanannya. Seperti di sampaikan DS
dimasjid kampung Code beliauyaitu:
“Romo Mangun melakukan pendampingan pada warga Kali Code yang terancam penggusuran. Dia melakukan protes. Berkat
pengupayaan dan pembuatan perumahan untuk warga Kali Code. beliau juga mendirikan Laboratorium Dinamika Edukasi Dasar
(DED) dan menerapkan Eksperimennya di SD Kanisius Mangunan (SDKM) yang bertempat di Dusun Mangunan, Desa Kalitirto, Kecamatan Berbah, Kabupaten Seleman itu adalah
bentuk kepedulian Romo kepada masyrakat atau generasi untuk mengupayakan pembelajaran yang efektif.” (DS/TM/03-11-
2018/15:30 WIB)
Kepedulian beliau kepada anak-anak dalam hal pembelajaran
sangat tinggi degan didirikannya SD Kanisius tentu sangat memberi
pengaruh positif kepada masyarakat. Hal yang hampir mirip
disampaikan oleh C dimasjid kampung Code yaitu:
“Romo Mnagun niku teng masyarakat mriki nggeh ngajari belajar lare-lare, kaleh kiambak,e damel perpustakaan teng kampung mriki kangge mbantu belajar warga mriki.” (HS/W/03-
11-2018/15:30 WIB)
Hasil di atas dapat ditarik kesamaan bahwa Romo Mangun dalam
melangsungkan pendidikan bagi anak beliau menggunakan penerapan
eksperimen yang beda dengan kurikulum yang diterapkan pemerintah
sehingga para peserta didik lebih nyaman dalam kelangsungan
75
belajarnya, dan juga mendirikan perpustakaan disebuah kampung untuk
menfasilitasi belajar anak-anak antara lain di warga Code.
C. Pembahasan
1. Gagasan Penidikan Humanisme Dalam Membangun Nilai-Nilai
Kemanusiaan Religius
a. Gagasan Penidikan Humanisme Dalam Membangun Nilai-Nilai
Kemanusiaan Religius Perspektif K.H. Mahfud Ridwan
K.H. Mahfud Ridwan ialah sosok yang bener-bener menjadi
pengayom pendamping bagi masyarakat secara penuh dengan bekal
pendidikan yang sangat laus, baik pendidikan umum maupun ilmu
agama. Beliau sangat mementingkan orang lain di banding kepentingan
pribadinya maka beliau sangat dikenal dengan orang yang sangat peduli
dengan kemanusian membela masyarakat yang miskin, lemah, bahkan
orang-orang yang terbelakang baik pengalamannya maupun
pendidikannya selain sangat peduli dengan kemanusiaan belaiu tetap
taat menjalankan ibadah sebagai bentuk sorang hamba kepada
Tuhannya, dengan agama atau keyakinan yang dianutnya beliau sebagai
orang islam sanagt banyak gagasan yang diberikan kepada masyrakat
mualai dari rakyat biasa sampai para pejabat dan orang-orang jalanan.
Makna kemanusiaan adalah proses menjadi manusiawi dalam
interaksi antar sesama manusia dengan konteks dan tantangan yang
terus berkembang (Michael Sastrapratedja SJ: 2006).
76
K.H Mahfud Ridwan sangat diakui bagi masyarakat berkat jasa
beliau yang telah banyak memberi pengaruh positif bagi masyarakat
kususnya wilayah Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang dan tidak
hanya disekitar itu beliau juga berpaeran pada peristiwa Waduk Kedung
Ombo yang berada diwilah Sragen Purwodadi Boyolali, masyarakat
sekitar situ telah mengakui jasa beliu yang pada waktu mengadakan
rapat kepada para tokoh masyarakat dan pemerintah untuk membahas
peristiwa yang terjadi di Kedung Ombo.
K.H Mahfud Ridwan dalam mengajarkan pendidikan kepada
masyarakat tidak hanya menyuruh memberi tahu akan tetapi beliau ikut
terjun mendampingi membimbing membantu ditanya apa kendalanya
kemudian dicarikan jalan keluarnya sampai bener-bener bisa
melaksakan masing-masing warga binaanya, beliau adalah sosok yang
sangat peduli dengan masyrakat yang kurang mampu menjujung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan spenuhnya tanpa membeda-mbedakan etnis
agama memandang agama, karena beliau berpandangan bahwa agama
ialah sebagai dasar hidup untuk memperbaiaki hidupnya akan tetapi
urusan kemmanusiaan wajib bagi beliau untuk membela menjaga
keutuhan martabatnya.
Pendidikan atau belajar pada awalnya cenderung merupakan
bagian dari kegiatan kehidupan keberagaman dan kebudayaan. Manusia
dalam kehidupan bermasyarakat di samping menciptakan organisasi
untuk mengatur kerja sama sebagai alat untuk mencapai tujuan
77
bersama, juga mengembangkan aturan-aturan untuk mengatur perilaku
diantara warga masyarakat. Keyakinan dan nilai-nilai keagamaan
adalah inti yang menjadi dasar bagi pengembangan aturan masyarakat
Bimbingan adalah jenis pendidikan yang terutama tertuju pada
pertumbuhan kepribadian manusia Indonesia yang bertaqwa kepada
Tuhan yang Maha Esa, memelihara memelihara budi pekerti
kemanusiaan, dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur
(Mudyahardjo, 2008:57).
Jadi dapat dikatakan bahwa K.H Mahfud Ridwan dalam
mendampingi masyarakat bener-benar tulus untuk mewujudkan
masyrakat agar hidupnya tentram, ketika ada yng kesulitan maka beliau
mencarikan jalan keluarrnya yang harapannya dapat mengatasi maslah
yang di alami oleh masyarakat. Dengan adanya pendampingan itulah
sehingga memudahkan atau mengurangi kesulitan yang terjadi pada
masyarakat.
b. Gagasan Pendidikan Humanisme Dalam Membangun Nilai-Nilai
Kemanusiaan Religius Perspektif Y.B Mangunwijaya
Humanisme merupakan kata yang ambivilan, meskipun dapat
dipastikan kalo kata ini memiliki makna positif, akan tetapi bagi para
pemeluk agama, kata humanisme bisa dipahami sebagai suatu sikap
seorang yang memandang dirinya sebagai subjek yang berdiri sendiri
dan terpisah bukan saja dari kekuasaan negara atau raja, yang
sebenarnya hal itu boleh-boleh saja akan tetapi harus dari Tuhan. Tetapi
78
jika anda benar-benar percaya pada Tuhan dan yakin bahwa segala
sesuatu, alam serta seisinya termasuk manusia, maka jelaslah bahwa
sikap memisahkan diri dari Tuhan itu termasuk penghinaan kepada
Tuhan.(Suseno, 2007:208).
Nilai keagamaan tetap tidak dapat dipisahkan dari perilaku nyata
kehidupan individu dan masyarakat. Nilai-nilai keagamaan sering
secara tidak sadar tetap menjadi kekuatan yang paten bagi pilihan
tindakan atau perilaku manusia dan masyarakat. Karenanya, pandangan
keagamaan memancarkan tatanan kehidupan sosial seperti keadilan,
keterbukaan, dan demokrasi.
Pendidikan dalam realitanya masih menderita dehumanisasi
karena pengetahuan nilai-nilai masih diartikan sebagai objek pemilikan
(having) bukan menjadi pengetahuan dan nilai yang membangun
perubahan diri (being). Ada keterpisahan antara pengetahuan dan nilai-
nilai dengan diri manusianya, dan karena keterpisahan itu manusia
mengalami proses dehumanisasi, dan manusia mengalami penurunan
martabatnya menjadi serendah binatang yang serakah.
Pengetahuan, nilai-nilai, dan keterampilan dibangun manusia
sebenarnya adalah sebuah konstruksi, kreasi (ciptaan), atau penciptaan
kembali yang berada dan melekat dalam diri manusia (seseorang) dan
digunakan untuk memecahkan masalah kehidupannya untuk
mewujudkan tujuan kehidupan yang mulia. Namun, dalam realita yang
79
dilakukan di sekolah tradisional pengetahuan dan nilai berubah menjadi
sekadar kata-kata, ucapan-ucapan kosong yang bersifat verbalistik.
Pendidikan humanisme menurut Y.B mangunwijaya seperti
wawancara DS yang terekam bersama peneliti di atas bahwa ” Romo
Mangun sosok orang yang mempunyai prinsip mengembangkan
kehidupan manusia menjadi manusia yang utuh, menjalin relasi baik
dengan Tuhan yang menciptakannya. menjalin hubungan dengan
harmonis baik dengan sesama manusia maupun dengan alam semesta
sebagai sama-sama makhluk Tuhan. kesadaran ketuhanan ini menjadi
dasar untuk cara pandang, bertindak dan bersikap. Beliau dalam
hidupnya juga tidak lepas dari dasar “Tri Bina”, yakni bina manusia,
bina usaha dan bina lingkungan. Romo Mangun sangat menekankan
orientasi belajar kemandirian, anak didik dengan pola-pola kurikulum
yang kontekstual, dinamis, demokratis, humanis, sehingga menolak
kurikulum yang berakhir pada pembunuhan karakter anak didik, dalam
proses pembelajaranpun beliau mewujudkan belajar sejati yaitu
mengantar dan menolong anak didik untuk mengenal dan
mengembangkan potensi dirinya agar menjadi manusia yang mandiri,
dewasa dan utuh” (DS/T/3/11/ 2018 pukul 15:15-selesai).
Sedangkan pendidikan yang humanistik memandang manusia
sebagai manusia, yakni makhluk hidup ciptaan Tuhan dengan fitrah-
fitrah tertentu. Sebagai makhluk hidup, ia harus melangsungkan,
mempertahankan, dan mengembangkan hidupnya. Pendidikan
80
humanistik adalah pendidikan yang mampu memperkenalkan
apresiasinya yang tinggi kepada manusia sebagai makhluk Allah yang
mulia dan bebas serta dalam batas-batas eksistensinya yang hakiki, dan
juga sebagai pemimpin di bumi (Makin, 2005: 22)
Jadi pendidikan humanisme religius menurut Y.B mangunwijaya
adalah orang yang mempunyai prinsip mengembangkan kehidupan
manusia menjadi manusia yang utuh, menjalin relasi baik dengan
Tuhan yang menciptakannya serta relasi atas dasar humanisme yang
dibangun Y.B mangunwijaya terdapat suatu prinsip dasar cara pandang,
bertindak dan bersikap.
c. Persamaan dan Perbedaan Pendidikan Humanisme dalam
Membangun Nilai-Nilai Kemanusiaan Religius Perspektif K.H
Mahfud Ridwan dan Y.B Mangunwijaya
1) Persamaan
Kedua tokoh tersebut sama-sama menjadi pendamping,
pengayaom dan pemberdaya masyarakat miskin, terutama memberi
pendampingan pengarahan bagi masyarakat yang tertinggal,
masyarakat-masyarakat yang kurang mampu atau masyrakat bawah
bahkan sampai kaum marjinal yang berada dikolong jembatan
maupun dipinggir jalan dan ditrotoar. Kedua tokoh tersebut sangat
peduli dengan kemrosotan pendidikan, moral maupun ekonomi bagi
masyarakat. Sehingga K.H Mahfud dan Romo Mangun sering terjun
ke masyarakat untuk membantu mengubah masyrakat agar menjadi
81
lebih baik, terbina dan tertata lingkunganya. Maju dalam segi
pendidikan dan sumberdaya masyarakat, seperti masyrakat pada
umumnya.
Keduanya sama-sama mempunyai prinsip yang tinggi dalam
menjaga martabat kemanusiaan seutuhnya, dan tidak lupa pula
didasari dengan nilai-nilai religius keimanan yang tinggi sebagai
mahluk hamba (abdullah). Sudah sepantasnya sebagai seorang
hamba untuk tetap menjalin relasi dengan baik dan sungguh-
sungguh, dalam segala upaya selalu disandarkan kepada Allah Tuhan
semesta alam. Kedua tokoh tersebut memang sosok pendamping
masyrakat khodimul umah yang dalam perjalanan hidupnya banyak
dilakukan untuk pelayanan masyarakat, antara keduanya memang
sama-sama mempunyai sifat kepribadian yang sangat toleran kepada
siapapun, dengan tanpa memandang agama maupun golongan,
karena kedunya sama-sama berprinsip kalau urusan keyakian itu
sudah terbawa dari hati nurani masing-masing sebagai dasar dalam
bersikap, bertindak dan berucap, tentunya semua agama sama-sam
mengajarkan kebaikan, karena yang diyakini oleh keduanya tidak
ada agama yang mengajarkan keburukan, jadi kalau sudah urusan
agama atau keyakinan itu sudah urusan mereka dengan tuhan. Kedua
tokoh yaitu K.H Mahfud dan Romo Mangun memang tokoh
humanisme religius. Sama-sama menjadi seorang imam pemimpin
dalam agama yang diyakini masing-masing, utuk menjadi tokoh
82
pengaruh bagi masyarakat maupun bangsa, keduanya tidak cukup
hanya bekal belajar dalam negeri saja. Keduanya yaitu sama-sama
belajar diluar negeri, Kiai Mahfud diantaranya belajar ke Bagdad,
dan Romo Mangun ke Jerman, sampai situlah perjuangan kedua
tokoh yang dikenal sebagai pendamping, pengayom dan pemberdaya
masyarakat. Setelah peneliti memaparkan persamaan humanisme
religius antara kedua tokoh tersebut sehingga terdapat juga
perbedaan pemikiran tersebut yaitu.
2) Perbedaan
Perbedaan humanisme religius antara K.H Mahfud Ridwan dan
Y.B Mangunwijaya, yaitu terletak pada proses menuju
pendampingan yang dilaluinya. K.H Mahfud Ridwan dalam meraih
pendidikan banyak didapatkan dari pendidikan non formal, yaitu
dibeberapa pesantren dan itu dimulai sejak K.H Mahfud Ridwan
tamat dari Sekolah Dasar, hingga sampai tamat dari perguruan
tinggi, beliau banyak menghabiskan waktu belaajar yaitu di
pendidikan pesantren, tentu itu adalah waktu yang tidak sedikit yang
dilalui oleh beliau, dari situlah pasti berpengaruh besar bagi karakter
sudut pandang K.H Mahfud Ridwan. Sedangkan Y.B Mangunwijaya
banyak menghabiskan waktunya yaitu di lembaga sekolah formal,
meskipun beliau juga masuk ke Seminari seperti halnya pesantren
kalau dalam islam, akan tetapi lebih banyak di pendidikan
formalnya. Y.B Mangunwijaya lebih kepada pendalaman tetang
83
karyanya baik itu berupa tulisan maupun bangunan karena beliau
juga meneruskan bakatnya yaitu sebagai arsitektur. Akan tetapi
beliau juga terkenal sebagai rohaniawan budayawan, disitulah beliau
banyak meggagas tentang religus dan kemanusiaan atau humanise.
Melalui karya yang berupa tulisan itulah beliau banyak penghayatan
tetang kepeduliannya kepada rakyat miskin, masyrakat bawah dan
kaum lemah. Lain halnya dengan K.H Mahfud Ridwan beliau
membawa bekal pendidikan yang banyak diperoleh dari pesantren
sehingga beliau dalam menyamapaikan kepeduliannya kepada
masyarakat bawah yaiatu melalui penyamapain pidatonya, atau
pengajian-pengajian baik dipondok pesantrennya, dimasyarakat,
dimasjid-masjid maupun dirumah beliau. Disitulah letak
perbedannya kedua tokoh tersebut.
2. Implementasi Pendidikan Humanisme dalam Membangun Nilai-Nilai
Kemanusiaan Religius
a. Implementasi Pendidikan Humanisme dalam Membangun Nilai-
Nilai Kemanusiaan Religius Perspektif K.H Mahfud Ridwan
K.H Mahfud Ridwan memang sosok kiai yang bener-bener
mengutamakan kepentingan orang lain, membantu dengan sepenuh hati
tanpa pamrih dan mengedepankn keistiqomahan dan kesabaran jadi
segala sesuatu yang terjadi senantiasa diserahkan kepada Allah SWT.
Beliau melakukan pendampingan kepada masyarakat secara sungguh-
84
sungguh tanpa memandang agama jadi dengan siapaun beliau selalu
terbuka siapapun dalam memberi kemaslahatan.
Pendidikan keagamaan secara klasik cenderung memiliki tujuan
untuk membangun dalam diri manusia suatu kondisi mora litas yang
baik atau karakter yang mulia. Ungkapan-ungkapan dalam ajaran
agama memberikan gambaran akan hal tersebut, seperti ungkapan:
Tidak kami utus kamu Muhammad, kecuali untuk memperbaiki akhlak .
Secara umum, para nabi dilahirkan dalam kondisi masyarakat jahiliyah,
yaitu masyarakat yang warganya mengalami kerusakan karakter
sehingga kehidupan penuh dengan perilaku buruk, penghancuran hak-
hak manusia, penindasan atau perampasan secara semenamena,
pengkhianatan dan kedengkian dalam hubungan, arogansi yang
berkuasa (kaya) dan ketertindasan yang lemah dan miskin. Tujuan
diangkatnya kenabian secara umum adalah memperbaiki moralitas atau
akhlak manusia yang terjadi pada zamannya.
Dalam kehidupan modern, tujuan pendidikan lebih dirumuskan
menggunakan nilai-nilai keilmuan yang bersifat ilmiah. Seperti
gambaran rumusan tujuan pendidikan yang disampaikan oleh Maslow
(tokoh psikologi humanistik) yang merumuskan tujuan pendidikan
sebagai pencapaian aktualisasi diri, yaitu suatu kondisi dimana individu
dapat menggunakan potensi-potensi (bakat, talenta, kapasitas) dirinya
secara penuh sehingga dapat mengembangkan kehidupannya yang lebih
produktif. Ibaratnya sebatang pohon yang tumbuh dan berkembang,
85
mulai dari biji yang tumbuh dari dalam tanah, kemudian tumbuh batang
dan daun yang subur, selanjutnya pohon berbunga indah dan menarik,
dan pada akhirnya menghasilkan buah-buah yang sangat bermanfaat
bagi kehidupan manusia maupun binatang. Mungkin dapat dikatakan
pohon itu telah beraktualisasi diri pada waktu pohon itu berbuah.
K.H Mahfud Ridwan sangat mengutamakan nilai-nilai
humanisme dalam upaya memberi pengayaoman kepada masyarakat
yang dan tidak lepas dari prinsip-prinsip religius yang beliau lakukan
Esensi diri manusia dibangun melalui proses kehidupan dimana
individu memiliki kebebasan untuk memilih dan dia harus bertanggung
jawab terhadap apa yang telah dipilih. Individu akan terbentuk menjadi
apa adalah sesuai dengan pilihan bebas yang diambil, yang selanjutnya
terbentuk menjadi siapa dirinya, sebagai dokter, insinyur, atau guru
adalah sebagai akibat dan pilihan bebas yang dia lakukan. Nilai-nilai
keagamaan berada dalam diri individu yang memperoleh pemaknaan
oleh individu masing-masing, tidak ada otoritas di luar diri individu
yang dapat memberikan makna. Apabila individu melakukan perubahan
makna akan pengetahuan, nilai-nilai, atau keagamaan maka hal itu
dilakukan oleh dirinya dengan rasa sukarela dan bukan karena paksaan
dan otoritas di luar dirinya.
86
b. Implementasi Pendidikan Humanisme dalam Membangun Nilai-
Nilai Kemanusiaan Religius Perspetif Y.B Mangunwijaya
Pendidikan humanisme yang di ajarkan oleh Romo Mangun yaitu
sangat menjujung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, menjaga kerukunan
antar umat berbeda keyakinan, bahkan dengan orang lain yang berbeda
agama beliau sering mengingatkan ketika tiba waktunya beribadah,
beliau sangat menghargai kepada orang islam dan tidak hanya kepada
orang islam saja akan tetapi kepada semua umat berbeda agama.
Pendidikan tidak cukup sekadar pencapaian tujuan humanis,
tetapi lebih jauh membutuhkan pencapaian tujuan kebutuhan spiritual
transendental (religius). Pencapaian tujuan kebutuhan spiritual
transendental secara umum menjadi tujuan pendidikan keagamaan
(religius). Sebagaimana didepan telah disampaikan bahwa hampir
semua agama meletakkan tujuan pendidikan adalah untuk
pengembangan moral manusia, agar manusia dapat berkembang
menjadi berkarakter baik sehingga hidupnya dapat berguna bagi orang
lain dan dirinya sendiri.
Konsep memerdekaan manusia yang sangat diperjuangkan oleh
beliau dan tidak ada hubungannya dengan agama apapun, tidak ada
unsur pamrih yang Ia lakukan semua murni datang dari hati nuraninya
beliau sangat peduli dengan kaum yang lemah yang terpinggirkan
beliau banyak sekali melakukan pendampingan kepada masyarakat
87
terutama masyarakat bawah masyarakat yang kurang mampu baik itu
pendidikannya maupun segi ekonominya.
Konsep humanisme tidak dihubungkan denan orang-orang Eropa
yakni dengan kebudayaan Romawi dan Yunani kuno. Humanisme
berkembang menjdi gerakan lintas budaya dan universal, dalam arti
berbagai sikap dan kualitas etis dari lembag- lembaga politik yang
bertujuan membentengi martabat kemanusiaan (Suseno, 2007: 209-
210).
Setiap siswa dipandang sebagai individu yang memiliki keunikan
yang berbeda dengan siswa lain. Perbedaan keunikan individu siswa
dalam kegiatan pendidikan dan belajar harus dapat tampak dan dihargai
oleh pendidik atau guru. Pandangan eksistensialis yang di ambil oleh
pendidik humanis adalah adanya kemerdekaan atau kebebasan dalam
diri individu untuk memilih apa yang dianggap benar bagi dirinya untuk
dapat membangun dirinya menjadi (to become) seperti apa yang
diinginkan.
3. Sudut Pandang Epistemologi K.H Mahfud Ridwan dan Y.B
Mangunwijaya
Pandangan K.H Mahfud Ridwan dalam berkeyakinan sebagai
tokoh muslim yaitu berpedoman kepada al-Qur‟an, Hadis, dan Ijtihat para
Ulama. dasar keilmuan beliau banyak didapat dari pondok pesantren baik
itu pengetahuan agama mupun umum. Sehingga dari situlah terbentuk
karakter pemikiran beliau, sebagai seorang kiai yang juga dikenal sebagai
88
sosok pendamping masyarkat secara totalitas melaluai kereligiusannya
maupun humanismenya. Sedang Romo Mangunwijaya ialah sebagai tokoh
katolik yang berpedoman kepada al-kitab, beliau banyak meraih ilmu dari
sekolah umum maupun sekolah seminari. Namun beliau juga mempunyai
banyak guru yang mempengaruhi karakter pemikiran beliau, maka beliau
sebagai rohaniawan yang memang bener-bener melayani umat secara
penuh dan sungguh-sungguh. karena ketekunannya dalam belajar sehingga
beliau menjadi tokoh humanisme religius yang sangat berpengaruh bagi
masyarakat tentang keimannaya sebagai Romo maupun sesial
kemanusiaannya.
K.H Mahfud Ridwan dalam mennyampaikan gagasan-gagasannya
baik kapada masyarakat, santri, maupun para pengikutnya yaitu melalui
pengajian dimasjid, dimasyarakat, dirumah maupun dipondok yang di
dirikannya, beliau juga terjun memberi pendampingan secara lasung
maupun di balik layar. Tak hanya dengan cara seperti itu beliau juga sering
mengundang para tokoh agama tokoh masyarakat pejabat pemerintah
maupun orang umum, disitu diajak diskusi atau musyawarah yang
bertujuan untuk mempererat parsaudaraan saling tukar pemikiran
kemudian melihat problem yang terjadi di masyrakat untuk diselesaikan
secara bersama. Tak beda jauh dengan Y.B Mangunwijaya, sebagai
seorang romo tentu dalam menyampaikan gagasanya juga melaluai pidato
di Gereja kepada para jemaatnya, lembaga mapun dalam kegiatan mengisi
seminar.
89
BAB V
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini tentang pendidikan humanisme dalam
membangun nilai-nilai kemanusiaan religius prespektif K.H Mahfud Ridwan
dan Y.B Mangunwijaya setelah peneliti melakukan penelitaian maka dapat
simpulkaan:
1. Gagasan kedua tokoh tersebut mengenai pendidikan humanisme dalam
membangun nilai-nilai kemanusiaan religius hampir sepaham, yaitu sama-
sama berpendapat bahwa agama hadir sebagai dasar untuk membentuk
kepribadian manusia dalam bertindak, berkeyakinan, dan bersosial dengan
moral yang baik serta rasa nasionalisme yang tinggi. Pandangan K.H
Mahfud Ridwan dalam kehidupan bermasyarakat dapat dilihat dari
prinsipnya yaitu sebaik-baik manusia ialah yang bermanfaat bagi orang
lain. prinsip beliau bahwa hidup untuk melayani masyarakat. Dengan
prinsip pendidikan humanisme religius tersebut maka harapan beliau para
santrinya ketika sudah pulang ke masyarakat bisa menjadi pelayan umat,
mendampingi masyarakat secara sungguh-sungguh. Sedangkan Y.B
Mangunwijaya sebagai seorang rohaniawan sastrawan budayawan
berpandangan bahwa semua manusia berhak mendapat pendidikan tanpa
membeda-bedakan agamanya. Beliau dalam hidupnya tidak cukup
melakukan pengabdian hanya pada Tuhan, akan tetapi juga peduli dengan
90
kemanusiaan dan keseimbangan alam. Hal ini sesuai dengan prinsip beliau
yang tertera pada dasar “Tri Bina”, yakni bina manusia, bina usaha dan
bina lingkungan.
2. Implementasi pendidikan humanisme dalam membangun nilai-nilai
kemanusiaan religius yang dilakukan kedua tokoh di atas ialah sama-sama
sebagai tokoh agama yang nasionalais, pluralis, humanis religius.
Kehidupnya banyak bersentuhan denngan masyarakat lemah, yang
hidupnya di kalangan bawah, memberi pendampinagan kepada masyarakat
secara sungguh-sungguh dan memang datang dari keinginan hati
nuraninya tanpa mengaharap imbalan kepada pihak yang bersangkutan.
B. SARAN
Dari peneliti yang dilakukan, ada beberapa saran yang perlu kiranya
ntuk di pertimbangkan, yaitu:
1. Bagi masayarakat jadilah manusia yang bermanfaat bagi orang lain, yang
dapat mendampingi masyarakat secara penuh tulus ikhlas dan sungguh-
sungguh tanpa pamrih, dengan tanpa membeda-bedakan suku, ras maupun
agama.
2. Bagi peneliti sendiri diharapkan jangan hanya sekadar meneliti kedua
tokoh tersebut, akan tetapi dapat mencotoh kepribadiannya dan budi
pekerti luhurnya.
3. Bagi pembaca semoga bermanfaat, dapat meneladani tokoh tersebut dan
dapat menjadi refrensi bagi peneliti selanjutnya.
91
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Mas‟ud, 2002. Menggagas Pendidikan Non Dikotomik .
Yogyakarta: Gama Media.
Ahmad Mubarak. 2016. Psikologi Keluarga: dari Keluarga Sakinah Hingga
Keluarga Bangsa. Jakarta: Bina
Ali Syari‟ati. 1992. Humanisme Antara Islam dan Madzab Barat. Bandung:
Pustaka Hidayah.
Arikunto Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Arikunto,Suharsami. 1998. Prosedur Penelitian. Cetakan ke 11 Jakarta: PT
Rineka Cipta Anggota IKPI.
Bambang Sugiharto. 2008. Humanisme dan Humaniora: Relevansinya Bagi
Pendidikan. Yogyakarta: Jalasutra.
Cahya Thomas Hidaya. 2004. Humanisme dan Skolastisisme, Sebuah Debat.
Yogyakarta: Kanisius.
Creswell,Jhon. W.Teig. Achmad Fawaid. 2010. Research Desaign (pendekatan
kulitatif , Kuantitatif dan Mixed). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Departemen Pendidikasn dan Kebudayaan, 1994, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka
Hadi,Sutrisno. 1981. Metodologi Research. Yogyakarta: UGM Fakultas Psikologi.
Harun Hadiwijono. 2011. Sari Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta:Kanisius.
Hassan Hanafi. dkk. 2007. Islam dan Humanismee: Aktualisasi Humanismee di
Tengah Krisis Humanismee Universal. Semarang: IAIN Walisongo.
92
Juhaya S Praja. 2003. Aliran-aliran Filsafat dan Etika. Jakarta: Prenada Media.
Kaelan. 2010. Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner. Yogyakarta:
Paradikma.
Kusaeri. 2014. Metodologi Penelitian. Surabaya: UIN Sunan Ampel Press.
Lexy J. Moleong. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya Offset.
Madjid, Nurcholish. 2000. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis
tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan. Jakarta:
Paramadina.
Marcel A Boisard. 1982. Humanismee Dalam Islam. terj. H. M. Rasjidi. Jakarta:
Bulan Bintang.
Moh. Baharuddin Makin. 2017. Pendidikan Humanistik. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media.
Mulkhan, Abdul Munir. 2002. Nalar Spiritual Pendidikan: Solusi Problem
Filosofis Pendidikan Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Nata, Abuddin. dan Fauzan (eds). 2005. Pendidikan dalam Perspektif Hadits.
Ciputat: UIN Jakarta Press.
Nurcholish Madjid. 1995. Islam Agama Kemanusiaan. Jakarta: Paradimana.
Nurhayati. 2000. Dialog Pendidikan Islam dengan psikologi Humanistik tentang
Potensi Manusia. Yogyakarta Tesis : PPs UIN
Rulan,Rosady. 2010. Metode Penelitian Publik Reiations dan Komunikasi.
Jakarta: PT 0020 Raja Grafindo Persada.
93
Sastrapratedja, Michael, dalam pidato pengukuhan guru besar ilmu filsafatnya di
STF (Sekolah Tinggi Filsafat) Driyarkara, Jakarta, Sabtu 8 Maret 2006.
Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfa Beta.
Suracmad,Winarno. 2007. Dasar Penelitian Teknik Research. Bandung: Pustaka
Setia.
Suryabrata, Sumadi. 1998. Metode Penelitian. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Hasan, Hanafi. 2007. Tengah Krisis Humanisme Universal. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Adnan. 1986. Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin. Semarang: Fakultas Ushuluddin
IAIN Walisogo Semarang.
Tobroni. 2008. Pendidikan Islam: Paradigma Teologis, Filosofis dan
Spiritualitas. Malang: UMM Press.
Y. B Mangunwijaya. 1994. Spiritualitas baru: Agama an aspirasi rakyat. Jakarta:
Institut Dian/Interfedei.
Y. B Mangunwijaya. 1997Politik Hati Nurani. Jakarta: Grafiasri Mukti.
Y. B Mangunwijaya. 1999. Saya Ingin Membayar Utang Kepada Rakyat.
Yogyakarta: Kanisius.
Yunus, Hadi Saebani. 2010. Metodologi Wilayah Kontenporer. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Zed, Mestika. 2004. Metode Penelitian Kepustaan. Jakarta: Yaysan Obor
Indonesia