pendidikan anak berkebutuhan khusus · pdf filelebih lanjut pengelompokan abk antara lain:...

22
PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DOSEN PENGAMPU: Prof. Dr. Aceng Rahmat, M.Pd. Oleh: Kelompok V Kelas PB C 1. Noprival (7317167804) 2. M. Nur Hakim (7317167500) 3. Marlina Bakri (7317167492) Disusun untuk Memenuhi Tugas Presentasi Mata Kuliah Isu-Isu Kritis dalam Pendidikan PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA PROGRAM PASCASARJA UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA 2017

Upload: nguyentruc

Post on 26-Feb-2018

234 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN

KHUSUS

DOSEN PENGAMPU:

Prof. Dr. Aceng Rahmat, M.Pd.

Oleh:

Kelompok V

Kelas PB C

1. Noprival (7317167804)

2. M. Nur Hakim (7317167500)

3. Marlina Bakri (7317167492)

Disusun untuk Memenuhi Tugas Presentasi Mata Kuliah

Isu-Isu Kritis dalam Pendidikan

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA

PROGRAM PASCASARJA

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

2017

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan salah satu hak setiap warga Negara, tanpa

ada pengecualian, yakni pendidikan tidak memandang suku, agama, ras,

maupun golongon. Setiap warga Negara mempunyai peranan yang

sangat strategis dalam pembangunan suatu bangsa. Karena pada

dasarnya pendidikan dapat dijadikan sebagai wadah bagi setiap individu

dalam proses belajar, melalui pengembangan kecerdasan intelektual (IQ),

kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ), serta potensi

yang ada dalam setiap individu. Karena dengan belajar setiap individu

dapat membentuk keperibadian dan kedewasaan.

Seperti yang tertuang dalam Undang-undang RI No 20 Tahun 2003

Pasal 3 menjelaskan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi

mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban

bagsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,

bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi

manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,

berakhlak mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga

Negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.1 Dapat dipahami

bahwa setiap anak tentunya mempunyai hak untuk meningkatkan segala

potensi yang ada dalam dirinya melalui pendidikan.

1 Sisdiknas. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem

Pendidikan Nasional.

2

Tujuan pendidikan yang mulia hendaknya dapat dijadikan cita-cita

pendidikan yang ideal. Dalam hal ini, diperlukan adanya kerjasama antara

stakeholder yang peduli akan pendidikan dengan pemerintah. Pemerintah

memegang peranan yang sangat penting dalam proses pengembangan

pendidikan, karena pemerintah sebagai aktor utama dalam pembuatan

kebijakan pendidikan. Kebijakan yang dimaksud yakni pendidikan yang

merata, bermutu, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat. Salah satu

di antaranya, yang perlu mendapatkan perhatian tentang program sekolah

penyelengggara pendidikan inklusif.

Sebagaimana yang dikemukakan dalam Permendiknas No. 70

Tahun 2009 pasal 3 tentang pendidikan inklusif tertuang dalam ayat 1 dan

2, yaitu:2

(1) Setiap peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional,

mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan atau bakat

istimewa berhak mengikuti pendidikan secara inklusif pada

satuan pendidikan tertentu sesuai dengan kebutuhan dan

kemampuannya.

(2) Peserta didik yang memiliki kelainan sebagaimana dimaksud

dalam ayat 1 terdiri atas: (a) tunannetra; (b) tunarungu; (c)

tunawicara; (d) tunagrahita; (e) tunadaksa; (f) tunalaras; (g)

berkesulitan belajar; (h) lamban belajar; (i) autis; (j) memiliki

gangguan motorik; (k) menjadi korban penyalahgunaan

narkoba, obat terlarang, dan zat adiktif lainnya; (l) memiliki

kelainannya; dan (m) tunaganda.

Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Tahun 2003

tentang sistem pendidikan nasional dan Permendiknas No. 70 Tahun

2009 pasal 3 tentang pendidikan inklusif, tentunya dapat dijadikan acuan

bahwa anak berkebutuhan khusus pun layak untuk menimbah ilmu

2 Permendiknas No. 70 Tahun 2009 tentang: Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang

Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan atau Bakat Istimewa.

3

pengetahuan, baik dalam lingkungan formal maupun non formal. Tidak

sedikit kita jumpai anak-anak yang lahir dengan kondisi yang kurang

normal, baik yang memiliki gangguan perkembangan fisik dan mentalnya.

Hasil sensus penduduk pada Tahun 2010, dari 237 juta penduduk

Indonesia, jumlah anak berkebutuhan khusus usia sekolah (5-18 Tahun)

sekitar 355.859 anak. Dari jumlah tersebut 74,6 persen belum

memperoleh layanan pendidikan. Jumlah SDLB dan SMP 516 sekolah,

sedangkan SD dan SMP swasta 2.113 sekolah.3 Dari data tersebut

tampak bahwa kesempatan anak berkebutuhan khusus atau penyandang

disabilitas menyelesaikan pendidikan relatif sedikit dibandingkan dengan

anak normal. Kesempatan yang kian kecil pada jenjang pendidikan tinggi.

Meski pemerintah telah menyelenggarakan pendidikan inklusif,

pada praktinya pendidikan inklusif masih cenderung dipaksakan. Banyak

sekolah inklusif tanpa guru khusus pendamping anak berkebutuhan

khusus. Selain itu, anak berkebutuhan khusus pun diberi ruang belajar

khusus dan tidak berbaur dengan siswa lain. Yang menjadi persoalan

yakni kebijakan pemerintah yang kerap dibuat tanpa melihat kebutuhan,

tetapi hanya didasarkan pada asumsi semata. Oleh karena itu,

penyandang disabilitas harus mampu menyampaikan suaranya sendiri.4

Dari uraian di atas, tentunya banyak hal yang dapat menimbulkan

suatu pertanyaan dalam masyarakat awaw, apakah anak-anak yang

memiliki kekurangan secara fisik maupun mental berhak mendapatkan

pelajaran? Jika anak-anak yang berkebutuhan khusus berhak

3 Kompas. Com, Jumlah SLB di Bawah Satu Persen: 23 Februari 2013. Diakses 18

Januari 2017. 4 Kompas. Com., op.cit., Diakses 18 Januari 2017.

4

mendapatkan pelajaran, lantas siapa yang bertanggungjawab terhadap

tercapainya pelaksanaan pendidikan mereka?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentunya dapat dijadikan acuan

bagi kita semua dalam mewujudkan pembuktian nyata bagi anak-anak

yang berkebutuhan khusus. Jawaban yang diharapkan bukan hanya

menjadi tugas pemerintah tetapi merupakan tugas bagi semua warga

Negara yang tentunya peduli terhadap kebutuhan pendidikan bagi anak-

anak yang memiliki keterbatasan dan kekurangan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, adapun yang menjadi

rumusan masalah dalam makalah ini dirumuskan dalam bentuk

pertanyaan, yaitu sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud anak berkebutuhan khusus?

2. Apa Undang-undang yang mengatur tentang anak berkebutuhan

khusus?

3. Bagaimana proses layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus?

4. Apa kendala dan persoalan pendidikan inklusif di Indonesia?

5. Bagaimana penyelenggaraan pendidikan anak berkebutuhan khusus di

Negara maju?

5

BAB II

PEMBAHASAN

A. Hakikat Anak Berkebutuhan khusus

1. Definisi Anak Berkebutuhan khusus

Wardi mengemukakan bahwa anak berkebutuhan khusus (Heward)

merupakan anak yang memiliki karateristik khusus dan berbeda dengan

anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan ketidakmampuan mental

emosi atau fisik. Lebih lanjut pengelompokan ABK antara lain: tunanetra,

tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan

berperilaku, anak dengan gangguan kesehatan. Istilah lain dari anak

berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa, anak cacat dan juga anak

cerdas istimewa dan bakat istimewa (CIBI).5

Pendapat lain dikemukakan oleh Kosasih bahwa anak

berkebutuhan khusus dapat diartikan sebagai anak yang lambat atau

mengalami gangguan dan tidak akan pernah berhasil di sekolah

sebagaimana anak-anak pada umumnya. Selain itu, anak berkebutuhan

khusus juga dapat diartikan sebagai anak yang mengalami gangguan baik

secara fisik, mental, intelegensi, dan emosi sehingga membutuhkan

pembelajaran secara khusus.6

Berbagai istilah lain yang telah dipergunakan sebagai variasi dari

kebutuhan khusus, seperti disability yang menampilkan aktivitas sesuai

dengan aturan atau masih dalam batas normal, impraiment yang berarti

5 Wardi, Pendidikan Inklusif (Jakarta: Baduose Media, 2012), h. 25.

6 E. Kosasih, Cara Bijak Memahami Anak Berkebutuhan Khusus (Bandung: Yrama

Widya, 2012), h. 1

6

ketidaknormalan dalam hal psikologis dan biasya tampak pada level

organ, dan handicap yang berarti ketidakberuntungan individu yang

membatasi atau menghambat pemenuhan peran yang normal pada

individu.7

2. Jenis-jenis Anak Berkebutuhan Khusus

Menurut Wardi anak berkebutuhan khusus dikelompokkan menjadi

menjadi 6 jenis, yaitu: 1) tunanetra, 2) tunarungu, 3) tunagrahita, 4)

tunadaksa, 5) tunalaras, dan 6) kesulitan belajar. Berikut uraian tiap jenis

anak berkebutuhan khusus.8

a. Tunanetra

Tunanetra dapat dikatakan sebagai individu yang memiliki

hambatan dalam penglihatan. Tunanetra dapat diklasifikasikan ke dalam

dua golongan yaitu: buta total (blind) dan low vision. Karena tunanetra

memiliki keterbatasan dalam indra penglihatan maka proses pembelajaran

menekankan pada alat indra yang lain yaitu indra peraba dan indra

pendengaran. Oleh karena itu, prinsip yang harus diperhatikan dalam

memberikan pengajaran dalam individu ialah media yang digunakan harus

bersifat taktual dan bersuara. Sebagi contoh pada penggunaan tulisan

braille, gambar timbul, benda model, dan benda nyata. Sedangkan media

yang bersuara adalah tape recorder dan peranti lunak JAWS.

Dalam membantu anak tunanetra beraktivitas di sekolah luar biasa

mereka belajar orientasi dan mobilitas. Orientasi dan mobilitas diantaranya

mempelajari bagaimana tunanetra mengetahui tempat dan arah serta

7 Ibid., h. 2.

8 Wardi, loc. cit.

7

bagaimana menggunakan tongkat putih tongkat khusus tunanetra yang

terbuat dari alumunium).

b. Tunarungu

Jenis Anak berkebutuhan khusus yang kedua yakni tunarungu.

Tunarungu merupakan anak yang memiliki kendala dalam proses

pendengaran, baik permanen maupun tidak permanen. Klasifikasi

tunarungu berdasarkan tingkat gangguan pendengaran dikategorikan

menjadi lima jenis, yaitu sebagai berikut:

1) Gangguan pendengaran sangat ringan ( 27-40dB);

2) Gangguan pendengaran ringan (41-55dB);

3) Gangguan pendengaran sedang (56-70dB);

4) Gangguan pendengaran berat (71-90dB); dan

5) Gangguan pendengaran ekstrem/tuli di atas 91 dB).

Karena memiliki hambatan dalam pendengaran individu tunarungu

memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa disebut

tunawicara. Cara berkomunikasi dengan individu menggunakan bahasa

insyarat untuk abjad jari tengah dipatenkan cecara internasional

sedangakan untuk isyarat bahasa berbeda beda disetiap Negara.

Saat ini di beberapa sekolah dikembangkan komunikasi total yaitu

cara berkomunikasi dengan melibatkan bahasa verbal, bahasa isyarat,

dan bahasa tubuh. Individu tuna rungu cenderung kesulitan dalam

memahami konsep dari sesuatu yang abstrak.

8

c. Tunagrahita

Tunagrahita merupakan anak yang memiliki intelegensi yang

signifikan berada di bawah rata-rata dan disertai dengan ketidakmampuan

dalam adaptasi perilaku yang muncul dalam masa perkembangan

klasifikasi tunagrahita berdasarkan tingkat IQ. Adapun klasifikasi

tunagrahita, dikelompokkan menjadi 4 jenis, yaitu sebagai berikut:

1) Tunagrahita ringan (IQ : 51-70)

2) Tunagrahita sedang (IQ :36-51)

3) Tuna grahita berat ( IQ : 20-35 )

4) Tunagrahita sangat berat ( IQ : 20)

Pembelajaran bagi individu tunagrahita dititikberatkan pada

kemampuan bina diri dan sosialisasi.

d. Tunadaksa

Tunadaksa merupakan anak yang memiliki gangguan gerak yang

sisebabkan oleh kelainan neuro-muscular dan strukrur tulang yang bersifat

bawaan, sakit atau akibat kecelakaan termasuk celebral palsy, amputasi,

polio, dan lumpuh. Tingkat gangguan pada tunadaksa masih dikategorikan

ringan karena hanya memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas fisik

tetapi masih dapat ditingkatkan melalui terapi, gangguan sedang yaitu

memiliki keterbatasan motorik dan mengalami gangguan kordinasi

sensorik, sedangkan gangguan berat yaitu memiliki keterbatasan total

dalam gerakan fisik dan tidak mampu mengontrol gerakan fisik.

9

e. Tunalaras

Tunalaras merupakan anak yang mengalami hambatan dalam

mengendalikan emosi dan kontrol sosial. Individu tunalaras pada biasanya

menunjukkan perilaku penyimpangan yang tidak sesuai dengan norma

dan aturan yang berlaku di sekitarnya. Tunalaras dapat disebabkan

karena faktor internal dan eksternal, yaitu pengaruh dari lingkungan

sekitar.

B. Undang-undang Anak Berkebutuhan Khusus

Pendidikan anak berkebutuhan khusus telah dirumuskan dalam UU

No. 17 Tahun 2010 tentang pengelolaan penyelenggaraan pendidikan dan

Permendiknas No. 70 Tahun 2009. Undang-undang tersebut tertuang

dalam beberapa pasal, yaitu sebagai berikut.

1. PP No. 17 Tahun 2010

Peraturan Pemerintah tentang pengelolaan dan penyelenggaraan

pendidikan, tertuang dalam beberapa pasal, yang dikutip oleh Wardi,

yaitu:9

a. Pasal 127

Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang

memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena

kelainan fisik, emosi, mental, sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan

bakat istimewa.

9 Wardi, op. cit., h. 255-263.

10

b. Pasal 129

1) Pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan berfungsi

memberirikan pelayanan pendidikan bagi peserta didik yang

memiliki kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena

kelainan fisik, emosional, mental intelektual atau sosial.

2) Pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan bertujuan untuk

mengembangkan potensi peserta didk secara optimal sesuai

kemampuannya.

3) Peserta dididk berkelainan terdiri atas peserta didik yang:

a) tunanetra;

b) tunarungu;

c) tunawicara;

d) tunagrahita;

e) tunadaksa;

f) berkesulitan belajar;

g) lamban belajar;

h) autis;

i) memiliki gangguan motorik;

j) menjadi korban penyalahgunaan narkotika, obat terlarang, dan

zat adiktif lain; dan

k) memiliki kelainan lain;

4) kelainan yang dimaksud pada ayat 3 dapat juga berwujud

gabungan dari dua atau lebih jenis kelaian yang di sebut

tunaganda.

11

c. Pasal 130

1) Pendidikan khusus bagi peserta didik dapat si selenggarakan pada

semua jalur dan jenis pendidikan pada jenjang pendidkan dasar

dan menengah

2) Penyelenggaraan pendidikan khusus dapat dilakukan melalui

satuan pendidikan khusus, satuan pendidikan umum satuan

pendidikan kejuruan/ atau satuan pendidikan keagamaan.

3) Ketentuan lebih lanjut mengenai program pendidikan khusus pada

satuan pendidikan khusus, satuan pendidikan umum satuan

pendidikan keagamaan sebagaimana yang diatur dalam ayat (2)

diatur dengan peraturan menteri.

d. Pasal 131

1) Pemerintah propinsi menyelenggarakan paling sedikit satu satuan

pendidikan khusus untuk setiap jenis kelainan dan jenjang

pendidikan sebagai model sesuai denngan kebutuhan peseserta

didik.

2) Pemerintah kabupaten kota menjamin terselenggaranya pendidikan

khusus pada satuan pendidikan umum dan satuan pendidikan

kejuruan sesuai dengan kebutuhan peserta didik.

3) Penjaminan terselenggaranya penjaminan khusus sebagaimana

dimaksud pada ayat 2 dilakukan dengan menetapkan paling sedikit

atu satuan pendidikan umum satu satuan pendidikan kejuruan yang

memberikan pendidikan khusus.

12

4) Dalam menjamin terselenggaranya pendidikan khusus sebagai

mana yang dimaksud pada ayat 3 pemerintah kabupaten kota

menyediakan sumberdaya pendidkan yang berkaitan dengan

kebutuhan peserta didik berkelainan.

5) Perguruan tinggi wajib menyediakan akses bagi mahasiswa

berkelainan.

6) Pemerintah propinsi membantu tersedianya sumberdaya

pendidikan yang berkaitan dengan peserta didik berkelainan

sebagaimana yang dimaksud pada ayat 4.

7) Pemerintah membantu tersedianya sumberdaya pendidikan yang

berkaitan dengan kebutuhan peserta didik berkelainan pada

pendidikan khusus sebagai mana yang dimaksud pada ayat 1, ayat

4, ayat 5 dan ayat 6 pada semua jalur dan jenjang jenis

pendidikan.

e. Pasal 132

Pendidikan khusus bagi peserta didik berkelaian pada jalur formal

diselenggarakan melalui satuan pendidikan anak usia dini, satuan

pendidikan dasar, dan satuan pendidikan menengah.

f. Pasal 133

1) Satuan pendidikan khusus pormal bagi peserta didik berkelaian

untuk anak usia dini berbentuk taman kanak-kanak luar biasa atau

sebutan lain untuk satuan pendidikan yang sejenis dan sederajat.

2) Satuan pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan pada

jenjang pendidikan dasar terdiri atas:

13

a) Sekolah dasar luar biasa atau sebutan lain untuk satuan

pendidikan yang sejenis dan sederajat dan

b) Sekolah menengah pertama luar biasa atau sebutan lain untuk

satuan pendidikan yang sejenis dan sederajat.

3) Satuan pendidikan khusus bagi peserta didik yang berkelaian pada

jenjang pendidikan menengah adalah sekolah menegah atas luar

biasa, sekolah menengah kejuruan luar biasa atau sebutan lain

untuk satuan pendidikan sejenis dan sederajat.

4) Penyelenggara satuan pendidikan khusus dapat dilaksanakan

secara integrasi antar jenjang pendidikan dan antar jenis kelainan.

5) Pendidikan khusus bagai peserta didik berkelainan dapat

diselenggarakan oleh satuan pendidikan pada jalur pendidikan

nonformal.

2. Permendiknas No. 70 Tahun 2009

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang pendidikan inklusif

bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/bakat istimewa,

yakni dikemukakan pada pasal 1 sampai pasal 15. Adapun salah satu

pasal yang memberikan kesempatan pada peserta didik dalam menempuh

pendidikan, yakni tertuang pada pasal 1 yang berbunyi “Dalam peraturan

ini, yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah sistem

penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada

semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi

kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau

14

pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama

dengan peserta didik pada umumnya”.10

Berdasarkan pasal di atas, yang telah ditetapkan oleh

Permendiknas, tentunya memberikan kita pemahaman bahwa, semua

anak di Indonesia layak memperoleh penddikan tanpa terkecuali. Anak

berkebutuhan khusus, harus mendapatkan perhatian penuh, bukan hanya

pemerintah atau lembaga yang berkecimpun di dunia pendidikan, tetapi

semua warga Indonesia wajib memberikan perhatian. Hal ini dimaksudkan

agar anak yang memiliki keterbelakangan atau kebutuhan khusus tidak

merasa tersisih, sehingga mereka juga mampu memberikan kontribusi

yang lebih kepada bangsa dan Negara.

C. Layanan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus

Layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus merupakan suatu

layanan yang diberikan oleh pendidik yang ahli dibidangnya, misalnya

guru yang memberikan pengetahuan kepada peserta didiknya yang

berkebutuhan khusus. Anak yang berkebutuhan khusus harus

memerlukan layanan pendidikan yang sesuai dengan permsalahan

pembelajaran yang dihadapai dan tentunya harus sesuai dengan

kebutuhan yang dimiliki oleh anak yang mengalami kebutuhan khusus.

Beberapa hal yang berkaitan dengan layanan pendidikan anak

berkebutuhan khusus ditinjau dari layanan akademik, meliputi: 1) peserta

didik, 2) kurikulum, 3) sarana dan prasarana, dan 4) pendidik.

10

Permendiknas No. 70 Tahun 2009 tentang: Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan atau Bakat Istimewa.

15

1. Peserta Didik

Hal yang menjadi sasaran pendidikan anak berkebutuhan khusus

yakni peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, sosial,

atau memiliki atau memiliki potensi kecerdasan atau bakat peserta didik.

Pemberian layanan pada peserta didik mencakup dua hal, yakni

identifikasi dan assesmen. Idintifikasi dalam hal ini dimaksudkan terhadap

pemahaman awal bahwa di antara siswa yang mengalami kesulitan dalam

proses pembelajaran disebabkan oleh kelainan dan kecatatan11. Melalui

identifikasi terhadap peserta didik diharapkan dapat diketahui apakah

peserta didik tersebut mengalami kebutuhan khusus atau tidak.

Selanjutnya pada tahap assesmen yakni proses yang dilakukan dengan

mengumpulkan informasi sebelum disusun program pembelajaran pada

peserta didik yang memiliki kelainan khusus. Pada dasarnya assesmen ini

dilakukan untuk mengetahui keunggulan dan hambatan-hambatan yang

dialami oleh peserta didik, serta program yang disusun sesuai dengan

kebutuhan belajar siswa.12

2. Kurikulum

Dedy Kustawan mengemukakan bahwa dalam menerapkan

pendidikan inklusif pada satuan pendidikan diperlukan penyusunan

kurikulum yang bersifat fleksibel dengan menyesuaikan pada komponen

yang mencakup pada tujuan, materi, proses, sampai pada evaluasi.

11

Parwoto, Strategi Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Direktorat Ketenagaan, 2007), h. 44. 12

Budiyanto, Modul Pelatihan Pendidikan Inklusif (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar, Direktoral Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Pendidikan Dasar, 2012), h. 19.

16

Pengembangan kurikulum bagi peserta didik yang berkebutuhan khusus

dikenal dengan model eskalasi, duplikasi, modifikasi, substitusi, dan dan

omisi.13

3. Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana yang diperlukan pada pendidikan anak

berkebutuhan khusus, hampir sama halnya yang digunakan di sekolah-

sekolah regular pada umumnya. Sebagai suatu contoh prasarana

pembangunan pintu kelas atau pintu WC, hendaknya disesuaikan jalan

yang bisa dilalui kursi roda. Demikian juga, apabila bagunan bertingkat

sebaiknya ada jalanan yang bisa dilalui kursi roda, atau jika dana sekolah

sudah memungkinkan sebaiknya menyediakan lift untuk bangunan

bertingkat.14 Sarana dan prasarana pendidikan bagi anak berkebutuhan

khusus tentunya harus disesuaikan dengan keamanan, kegunaan,

kemudahan, dan kemandirian, sehingga layanan yang diberikan sekolah

terhadap anak berkebutuhan khusus bisa maksimal.

4. Pendidik

Sebaiknya guru atau pendidik yang mengajar pada sekolah

berkebutuhan khusus harus menguasai bidang ilmunya. Dedy Kustawan

mengemukakan bahwa guru pembimbing yang dimaksud yakni memiliki

kualifikasi akademik dan kompetensi pendidikan yang diberikan tugas baik

oleh kepala sekolah, kepala dinas, maupun kepala pusat pendidkan,

13

Dedy Kustawan, Pendidikan Inklusif dan Upaya Implementasinya, (Jakarta: PT Luxima Metro Media 2012), h. 58-59. 14

Tarmansyah, Inklusif, Pendidikan untuk semua (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Direktorat Ketenagaan. 2007), h. 169.

17

dengan harapan memiliki latar belakang pendidikan luar biasa, atau sudah

pernah melakukan pelatihan tentang pendidikan luar biasa.15

D. Problematika Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus di

Indonesia

1. Banyak Anak yang Belum Bisa Mengenyam Pendidikan

Di Indonesia ada 10 juta anak jalanan ditaksir oleh Departemen

sosial. Diantaranya 1,6 juta anak berkebutuhan khusus.16 Berdasarkan

data dari direktorat jenderal pendidikan dasar kementerian pendidikan dan

kebudayaan, sekitar 184.000 anak berkebutuhan khusus di Indonesia

belum menikmati pendidikan layaknya anak dengan kondisi mental dan

fisik normal. Tentunya angka ini terus bertambah seiring bertambahnya

jumlah penduduk hingga hari ini.17

a. Minimnya Fasilitas Anak Berkebutuhan Khusus

Pada dasarnya banyak orang tua yang ingin menyekolahkan anak

di sekolah luar biasa. Namun, keterbatasan jumlah sekolah tersebut

sehingga beberapa siswa yang tinggal di daerah tetentu relatif jauh untuk

menjangkau sekolah. Pada dasarnya anak-anak berkebutuhan khusus

tidak harus sekolah di sekolah luar biasa. Ada beberapa alternatif selain

SLB. Menurut Suyanto & Mudjito A.K. (20012: 5), ada tiga model

pendidikan untuk menggabungkan anak berkebutuhan khusus dengan

anak normal dalam satu lingkungan belajar, yakni:

15

Dedy Kustawan, op. cit., h. 74 16

Mudjito, Elfindri, Harizal, & Rimilton Riduan, Pendidikan Layanan khusus: Model-model dan Implementasi (Jakarta: Baduose Media, 2014) h. 26. 17

http://www.antaranews.com/berita/395235/184-ribu-anak-berkebutuhan-khusus-belum-nikmati-pendidikan (diakses pada tanggal 19 Januari 2017).

18

1) Mainstream, adalah sistem pendidikan yang menempatkan anak-

anak berkebutuhan khusus di sekolah umum, mengikuti kurikulum

akademis yang berlaku, dan guru juga tidak harus melakukan

adaptasi kurikulum. Diikuti oleh anak-anak yang sakit namun tidak

berdampak pada kemampuan kognisinya.

2) Integrasi, adalah menempatkan anak-anak berkebutuhan khusus

dalam kelas anak-anak normal, dimana mereka mengikuti

pelajaran-pelajaran yang dapat mereka ikuti dari gurunya.

Sedangkan untuk mata pelajaran akademis lainnya anak-anak

berkebutuhan khusus itu memperoleh pengganti di kelas yang

berbeda dan terpisah. Penempatan integrasi itu tidak sama dengan

integrasi pengajaran dan itegrasi sosial, karena tergantung pada

dukungan yang diberikan sekolah.

3) Inklusi, adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang

memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang

memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat

istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam

lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik

pada umumnya (Permendiknas No. 70 tahun 2009).18

Namun demikian, sekolah-sekolah umum belum begitu ramah

terhadap anak berkebutuhan khusus. Contohnya di Indonesia sangat

jarang kita lihat sekolah negeri yang menyediakan fasilitas yang ramah

untuk siswa yang menggunkan kursi roda.

18

Permendiknas No. 70 Tahun 2009 tentang: Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan atau Bakat Istimewa.

19

b. Minimnya Tenaga Pengajar di SLB

Minimnya guru untuk anak berkebuthan khusus merupakan salah

satu masalah utama yang dihadapi oleh berbagai daerah di Indonesia.

menyikapi situasi seperti ini banyak sekolah luar biasa yang merekrut guru

yang bukan mempunyai latar belakang Pendidikan luar biasa.19

E. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus di Luar Negeri

Salah satu Negara maju yang dijadikan contoh pendidikan anak

berkebutuhan yakni Finlandia. Angka pendidikan berkebutuhan khusus di

Finlandia relatif tinggi dengan presentase 30% siswa wajib belajar

menerima bantuan tambahan. Sekitar 8% siswa belajar pada pendidikan

anak berkebutuhan khsusu penuh sedangkan sisanya 22% lainnya

bersifat part-time special education.

1. Identifikasi Dini dengan Langsung Memberikan Bantuan

Finlandia menekankan pada identifikasi dini dan memberikan

bantuan, hal ini dikarenakan tingginya angka anak berkebutuhan khusus

disana. Fokus pada identifikasi dini dimulai jauh sebelum usia sekolah,

dengan jaringan klinik kesehatan anak yang menyediakan penilaian rutin

terhadap kondisi perkembangan sosial, fisik, dan mental. Tim yang terdiri

dari berbagai disiplin ilmu yang melakukan identifikasi diantaranya

perawat, dokter, penterapi berbicara, psikolog.

19

http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/14/09/23/nccmyv-indonesia-kurang-guru-slb ( diakses pada tanggal 19 Januari 2017).

20

2. Komitment Terhadap Inklusi

Finlandia sangat komitment terhadap prinsip inklusi terhadap

pendidikan anak berkebutuhan khusus, dengan menekankan pada

diagnosa dini dan melakukan terapi untuk memungkinkan siswa bisa

beradaptasi dengan sekolah umum. Artinya pemerintah semaksimal

mungkin untuk menyatukan antara siswa yang normal dan yang

berkebutuhan khusus. Bilamana hal ini benar-benar tidak bisa berjalan,

maka siswa baru dibawa ke sekolah anak berkebutuhan khusus.

3. Kejasama Langsung dari Berbagai Pihak dengan Dikomandoi

Guru

Identifikasi pendidikan anak berkebuthan khusus tidak berdasarkan

hasil diagnosa. Namun, orang tua dan guru menentukan apakah anak

mereka membutuhkan bantuan tambahan. Tim yang bertanggungjawab

untuk perencanaan pendidikan menetapkan apa yang dibutuhkan orang

tua dan siswa, setelah berkonsultasi dengan guru pendidikan

berkebutuhan khusus dan pertimbangan psikolog.

21

BAB III

PENUTUP

Pendidikan adalah hak semua warga negara Indonesia, tanpa

terkecuali anak yang berkebutuhan khusus. Peran semua pihak sangat

dibutuhkan untuk mensukseskan pendidikan tersebut. Selaku pemerintah

wajib memperhatikan rasio guru, anggaran, fasilitas, serta pendukung

lainnya yang besumber dari pemerintah. Sementara bagi orang tua

hendaknya selalu mendampingi anak yang berkebutuhan khusus agar

pelaksanaan pendidikan optimal kepada anak. Karena bagaimanapun

secara emosional anak lebih nyaman dan lebih dekat dengan orang tua

dan orang tua juga mengetahui banyak apa yang dibutuhkan anak dalam

hal pendidikan. Kemudian bagi masyarakat untuk tidak memandang anak

berkebutuhan khusus adalah kelompok marjinal akan tetapi membantu

telaksananya proses pendidikan bagi mereka dengan baik. Apabila anak

yang diabilitas bersekolah di sekolah umum (pendidikan inklusif) agar

siswa lainnya mengerti tentang keadaan temannya dan membantu proses

belajar dikelas.

Dengan dukungan berbagai pihak diharapkan potensi yang dimiliki

anak berkebutuhan khusus bisa dikembangkan secara maksimal. Karena

mereka memiliki kemampuan yang sama dengan masyarakat umumnya.

Sejarah mencatat bahwa banyak ilmuan-ilmuan merupakan anak yang

berkebuthan khusus, salah satunya Albert Enstein bahwa ia menderita

sidrom perger (sebuah kondisi yang berhubungan dengan autisme).

Namun karena diasah dan diarahkan ke teknologi ia bisa menjadi ilmuan